Patutkah Program JPS Dilanjutkan? Oleh Gumilar Rusliwa Sumantri Krisis sosial tengah melanda bangsa Indonesia dewasa ini. Tampaknya krisis ini akan terus berlangsung tahun ini. Apalagi jika agenda politik nasional seperti Pemilihan Umum Juni 1999 ternyata tidak sukses dan berhasil menelurkan pemerintahan yang legitimate, krisis akan terus berlarut-larut hingga beberapa tahun ke muka. Pada situasi semacam ini, lapisan penduduk berpenghasilan rendah yang merupakan silent majority akan semakin terpuruk pada pelbagai kesengsaraan sosial. Salah satu jalan keluar yang diyakini dapat meminimalisasi dampak dari krisis ini adalah program Jaring Pengaman Sosial. Namun demikian, dalam kenyataan program ini tidak terlaksana sesuai dengan harapan, bahkan Bank Dunia mengancam menghentikan kucuran dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) (kompas, 11 Februari 1999). Memang berbagai penyimpangan baru akibat kurangnya transparansi dan accountability semakin marak. Apakah program ini patut diteruskan? Sejak bulan Juli 1997 bangsa Indonesia menderita ”Asian Flu” yang dahsyat. Krisis ekonomi ini bermula dari terpuruknya nilai tukar rupiah atasa dolar AS yang mencapai titik dramatis 70 persen. Badai moneter ini mencerminkan gagalnya sektor publik negeri kita yang secara nyata tidak siap memasuki pasar uang global. Infrakstruktur sistem keuangan yang lemah begitu vunerable terhadap ”permainan” para fund manager, keadaan ini merembet pada rontoknya ”bubble economy”. Struktur ekonomi kita ditandai oleh hadirnya swasta yang kurang kuat fondasi bisnisnya. Banyak diantara mereka tertarik untuk menenamkan uangnya di sektor spekulatif. Sehungga, hancur leburlah bangunan usaha mereka tatkala dihadapkan pada
fluktuasi nilai tukar rupiah atas dolar yang terjadi. Sektor riil kemudian ikut macet yang diikuti oleh meledaknya angka pengangguran. Masyarakatpun merasakan pahitnya krisis ekonomi ketika dihadapkan pada melambungnya harga-harga. Pada masa akhir hayat Orde Baru, diyakini solusi mujarab dari persoalan aktual diatas adalah reformasi total di berbagai bidang kehidupan termasuk ekonomi dan politik. Namun sikap mengulur waktu dan resistensi rezim pada masa itu, mengarahkan situasi pada hal yang semakin buruk. Sebagai akinatnya, secara cepat krisis sosial sudah mulai merambahi berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Namun demikian, lapisan termiskin (Low-Income Group), merasakan paling getir dampak krisis karena lemahnya kemampuan untuk bertahan hidup meski pada tingkat yang dasar. Keadaan ini terus berlanjut setelah pasca pergantian kepala negara, bahkan dinilai semakin parah. Pasalnya, pemerintah baru dinilai kental melanjutkan ”perilaku” rezim sebelumnya. Reformasi total diterima dalam sikap yang mendua muka antara kepentingan partikularisitik dan bangsa. Krisis (crisis) dimengerti secara umum sebagai “unstable or crusial time for state of affairs ”(webster’s new encyclopedic dictionary, 1994). Jadi, krisis sosial mengacu pada kehidupan masyarakat yang penuh ketidakpastian, rawan, mempunyai kohesi yang rapuh, serta lemahnya peranan negara. Indikasi dari lahirnya krisis sosial dapat disimak dewasa ini seperti semakin menyedihkannya kualitas anak didik kita, semakin maraknya fenomena anak jalanan, rawan pangan yang merebak di perkotaan dan di pedesaan, kualitas dan kuantitas kriminalitas melambung tajam, penafian hukum sebagai panglima di negeri ini, pelanggaran hak asasi yang kian dalam, lemahnya moral birokrasi serta hubungan antar umat beragama dan kelompok yang destruktif bahkan cenderung lahirnya vendeta (balas
dendam) seperti tergambar jelas pada kasus kerusuhan Ketapang, Kupang, Ambon, Kampung Rambutan, dan sebagainya. Salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk mengurangi intensitas maupun dampak krisis sosial bagi kalangan miskin adalah Program Jaringan Pengaman Sosial (social safety net program). Program ini telah mulai dilaksanakan dalam bentuk lain jauh sebelum krisis melanda. Program pengentasan kemiskinan Orde Baru, lengkap dengan segala kekurangannya, dapat dilihat sebagai bagian hal ini. Sedangkan penerapan pada masa krisis semakin banyak didukung oleh dana pinjaman dari Bank Dunia. Distribusi dana telah semakin banyak dilakukan meskipun dinilai terlambat. Kelambatan ini diakibatkan tidak adanya infrastruktur sistim distribusi yang komunikatif terhadap pola kehidupan sosial masyarakat sasaran program. Selama penerapan yang telah dilakukan terutama pada paruh terakhir 1998 dan awal tahun ini, evaluasi menunjukan bahwa efektifitas program ini sebagai suatu langkah untuk mengatasi krisis sosial yang parah relatif rendah. Program ini secara idealistik sangat baik, yaitu menolong lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi darurat, sehingga mereka dapat bangkit dan pada gilirannya membawa dampak pada daya tahan serta perbaikan ekonomi secara keseluruhan. Namun sayangnya titik berat implementasi program lebih bersifat jangka pendek, delivery, dan sekali beri. Implementasi semacam ini terbukti merupakan salah satu major culprits dari kegagalan JPS selama ini di tanah air. Program ini akhirnya bersifat tidak mendidik, mengajarkan ketergantungan, dan menebarkan bibit baru penyalahgunaan uang rakyat. Faktor kegagalan lain terletak pada pelaksanaan program yang mengandalkan birokrasi yang ditandai struktur yang rentan penyelewengan dan korupsi. Transparansi alokasi program dan
pertanggungjawaban sulit diharapkan dalam mekanisme kronis seperti saat ini. Bahkan secara politik, praktik program ini mengundang kecurigaan sementara
masyarakat
bahwa
pemerintah
mempergunakan
sebagai
instrumen politik uang (money politics). Hal ini bertalian dengan pelaksanaan program, yang entah secara kebetulan, berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu Juni 1999. Dana JPS diperoleh dari pinjaman luar negeri, berarti uang rakyat yang diperoleh dari berutang. Jadi dana ini bukan milik pemerintah (rezim) atau partai yang berkuasa, bahkan nenek moyang para koruptor yang tengah aji mumpung, namun milik negara atau seluruh rakyat.
Jadi,
manipulasi
“kesan”
sebagi
rezim
pemurah
melalui
penghamburan uang rakyat tersebut merupakan tindakan politik tidak etis dan semestinya dihindari. Faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan selama ini, terkait juga dengan aspek tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah hanya membagi sasaran berdasarkan sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti dilakukan di tingkat komunitas. Kalaupun ada disadari pentingnya tataran ini, pemahaman diwarnai penyamarataan struktur sosial setempat seperti keberadaan elit lokal yang potensial dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya, pemahaman semacam ini menafikan pula struktur dan organisasi sosial lokal yang sebenarnya merupakan entry poin yang efektif untuk mengatasi persoalan mikro secara berkesinambungan seperti upaya mengatasi krisis sosial di atas. *** MENILIK beberapa kekeliruan seperti digambarkan diatas, program
JPS yang secara riil ditopang dana yang cukup besar, implementasi harus mendapat koreksi total di tingkat falsafah, strategi, maupun implementasi. Falsafah dari JPS adalah pemberdayaan sosial (social empowerment). Jadi program ini sebaliknya bersifat mendidik untuk mampu mengatasi permasalahan dengan mengerahkan potensi sendiri. Jadi program bersifat berkelanjutan, dana yang diberikan bernuansa dampingan dan ditumbuhkan perilaku kolektif di tingkat mikro yang mencerminkan nilai rukun, peduli, mandiri dan sejahtera. Berarti penggunaan organisasi tingkat bawah (akar rumput) mutlak diperlukan agar program bersifat mengakar dan kontekstual. Tak kalah penting lagi, hilangkan target waktu penyelenggaraan yang dipatok berdasarkan tahun anggaran apalagi agenda politik. Upaya ini merupakan negasi kontraproduktif dari ide dasar JPS yang semesttinya berorientasi
pada
agenda
yang
lebih
luas
seperti
pemberdayaan,
demokratisasi dan penegakan hak asasi dalam kerangka pembangunan masyarakat madani. Sedangkan
strategi
yang
tepat
bagi
pelaksana
JPS
adalah
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (community organization and community development) (lihat Rubin dan Rubin 1987). Masyarakat seyogyanya
dirangsang
untuk
membangun
komunitas
dengan
mengorganisasikan diri sehingga potensi yang kecil bisa menjadi besar setelah terkumpul dalam satu wadah organisasi setempat. Jaringan antar organisasi pun ditumbuhkan agar terjadi penyebarluasan kemajuan. Akan lebih besar lagi potensi yang terhimpun apabila local elite dilibatkan. Dalam suatu komunitas tidak semua orang miskin atau bodoh. Para elite inilah yang merupakan minoritas penting yang jika dirangsang untuk berkiprah dapat menjadi sumber daya tak ternilai bagi lingkungannya. Sedangkan peranan pemerintah perlu pula diposisikan dalam bentuk memfasilitasi kegiatan
seperti dana sampingan jika diperlukan dan menyebarluaskan ide-ide progresif pemberdayaan. Fasilitator lain dapat diambil dari kalangan universitas dan LSM. Jadi, penanganan krisis sosial melalui JPS ini melibatkan organisasi akar rumput (grass roots organization) di tingkat komunitas. Secara sederhana, komunitas dapat dibagi dua, yaitu komunitas kepentingan (community of interest) dan komunitas
spasial (spatial community).
Tampaknya yang paling praktis untuk identifikasi komunitas adalah yang disebutkan terakhir misalnya secara administratif-politik, komunitas spasial di Indonesia analog dengan tingkat RW. Namun demikian, intervensi dapat dilakukan dengan memperhatikan kedua bentuk komunitas di atas, misalnya revitalisasi fungsi dari organisasi sosial di tingkat RW sebagai contoh kelompok majelis ta’lim, banjar dan sebagainya. Organisasi semacam ini bersifat mengakar, solid, voluntir, dan sangat hirau dengan persoalan setempat (local issues) seperti pengangguran, konflik internal dan eksternal, kekurangan pangan dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam majelis ta’lim biasanya terdapat seksi sosial yang dapat ditingkatkan peranannya dalam rangka memerangi krisis sosial dan dampak di lingkungan terdekat. Misalnya, dana JPS didistribusikan kepada kelompok ini dengan besarnya sesuai dengan dana dasar setempat. Sistem matching fund ini membutuhkan kehadiran fasilitator seperti dikemukakan di atas yang ditempatkan sekurang-kurangnya satu per kecamatan bahkan ideal per kelurahan / desa. Peranan LSM dan universitas dituntut pula dalam hal pengembangan sistem distribusi dan pengawasan sehingga JPS dapat menjadi program yang dapat dipertanggungjawabkan. * Gumilar Rusliwa Sumantri, Doktor Sosiologi dan Universitas Bielefeld, Jerman (1995), mengajar di jurusan sosiologi dan pasca sarjana
UI. Wakil Direktur Eksekutif Pusat Studi Jepang UI.