Karakteristik Warga Jakarta dan Strategi Pemberdayaan Gumilar Rusliwa Somantri, Ph.D. I Masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, kini tengah memasuki era kehidupan global. Dalam kaitan ini globalisasi difahami sebagai proses yang ditandai oleh mobilitas di atas muka bumi ini dari mulai fisik, uang, informasi, imaji, hingga sampah yang menjadi semakin diverse (Urry, 1999). Hal ini merubah peran negara termasuk pemerintah daerah (local state), meminjam istilah Bauman (1997), dari “gardening” menjadi “gamekeeper”. Peran pertama merujuk pada sifat pemerintah daerah yang analog dengan kegiatan “bertani”, terdapat pembedaan yang tegas antara “kebun” (garden) dan pekebun (gardener). Pekebun terlibat dalam aspek detil kegiatan pengolahan kebun seperti menentukan jenis tanaman, metoda dan praktek bercocok tanam, bahkan ternak yang terdapat di area pertanian tersebut. Secara lebih langsung peran pemerintah daerah di atas dicontohkan oleh fenomena “developmentalist state” dari pemerintah daerah khusus Ibu Kota selama tiga dasa warsa silam. Pemerintah daerah selain berperan di level regulasi juga menjadi aktor pembangunan yang signifikan. Sementara itu para wakil rakyat berperan dalam menentukan mana yang perlu dan tidak perlu untuk digarap. Dalam posisi serupa, ilmuwan sosial dilibatkan dalam “husbandry” sumber daya lengkap dengan sodoran model-model intervensif serta masukan mengenai apa yang perlu dan tidak perlu diprioritaskan. Peranan pemerintah daerah seperti digambarkan di atas di era global berubah pada bentuk fasilitatif (“gamekeeper”). Ia tidak masuk ke area detail. Regulasi dengan peran utama mengatur lalu lintas gembalaan dalam area maupun lintas area, termasuk ke arena yang lebih luas dari ekonomi global. Dengan kata lain, peran pemerintah daerah melalui kebijakan dan regulasi diibaratkan sebatas menjaga jumlah khewan buruan agar mencukupi bagi para pemburu yang akan melakukan kegiatan perburuan pada musim tertentu. Para wakil rakyat, dalam konteks ini, lebih disibukan dengan persoalan mendasar masyarakat yang lebih eksistensial-universal. Dalam cara pandang yang sama, para ilmuwan sosial, dengan orientasi pada pemeliharaan semangat keilmuan yang otonom, hirau pada penciptaan iklim yang kondusif bagi perkembangan civil society.
II Menyoal memahami “reinventing government” untuk kasus Jakarta, ia salah satunya dapat diletakan pada reinterpretasi peranan pemerintah dalam dinamika perubahan masyarakat yang berbentuk “gamekeeper”. Pemerintah daerah yang semula dianggap sebagai aktor serba tahu, mampu, dan sebagainya; kini menghadapi kenyataan bahwa kemampuannya terbatas. Jadi, mitos pemerintah daerah bersifat di atas perlu dirubah. Pemerintah daerah mempunyai keterbatasan yang nyata dalam banyak hal termasuk sumber daya manusia, finansial, dan informasi yang akurat mengenai mekanisme kongkrit kehidupan dan kebutuhan warganya. Warga “miskin”, yang merupakan bahagian terbesar penduduk Jakarta, adalah tidak mungkin dientaskan oleh programprogram pemerintah yang berfokus pada output ekonomi dan pembagian sumber daya finansial. Mereka membutuhkan sentuhan yang berbeda, yaitu yang menempatkan mereka sebagai fokus utama. Langkah pembangunan sosial pun dapat ditempuh dengan pendekatan empatis, people centred social development, sehingga partisipasi dan sinergi daya masyarakat dapat diciptakan. Perlu dicatat di sini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sejalan dengan semangat di atas. Pertama, penggunaan kekuasaan dalam setiap implementasi pembangunan sosial termasuk perencanaan, sepatutnya disosialisasikan terlebih dahulu. Kedua, pemunculan lembaga baru akan lebih bermanfaat jika “bottom up”. Ketiga, proses belajar masyarakat dalam lembaga baru bersifat kontekstual-alamiah. Selain ketiga hal di atas, penggunaan teknologi bersifat lokal yang dipadukan dengan pengetahuan fasilitatif manajer kota. II Contoh pendekatan yang keliru dapat disimak dalam praktek program JPS di masa krisis sosial melanda Jakarta. Krisis (crisis) dimengerti secara umum sebagai “an unstable or crucial time or state of affairs” (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994). Secara sfesifik, krisis sosial mengacu pada kehidupan masyarakat yang penuh ketidakpastian, rawan, mempunyai kohesi yang rapuh, serta lemahnya peranan negara. Indikasi dari lahirnya krisis sosial dapat disimak dewasa ini seperti semakin menyedihkannya kualitas anak didik, maraknya fenomena anak jalanan, rawan pangan yang merebak di perkotaan dan perdesaan, tingkat kriminalitas yang meningkat secara dramatis, penafian hukum, pelanggaran hak asasi kerap terjadi, lemahnya moral birokrasi, serta bangkitnya visi komunalisme yang sempit dan destruktif. Sebagaimana dikenal luas, salah satu langkah kongkrit yang diambil pemerintah, termasuk pemerintah kota Jakarta, untuk mengurangi intensitas maupun dampak krisis sosial bagi kalangan miskin adalah program Jaring Pengaman Sosial (social savety net program). Program ini telah dilaksanakan dalam bentuk lain jauh sebelum krisis melanda. Program pengentasan kemiskinan Orde Baru, lengkap dengan segala kekuranganya, dapat dilihat sebagai bagian dari hal ini. Sedangkan penerapan pada masa krisis semakin banyak di dukung oleh dana pinjaman dari Bank Dunia. Distribusi dana telah banyak dilakukan meskipun dinilai masih lambat. Kelambatan ini diakibatkan tidak adanya infrastruktur sistem distribusi yang komunikatif terhadap pola kehidupan sosial masyarakat sasaran program Selama penerapan yang telah dilakukan terutama pada paruh terakhir 1998 dan awal tahun ini, evaluasi menunjukkan bahwa efektivitas program ini sebagai salah satu langkah mengatasi krisis sosial adalah relatif rendah. Program ini secara idealistik sangat baik, yaitu menolong lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi “emergensi”, sehingga mereka dapat bangkit dan pada gilirannya membawa dampak pada daya tahan serta perbaikan ekonomi secara keseluruhan (lihat Gunawan Sumodiningrat 1999). Namun sayangnya titik berat
implementasi program lebih bersifat jangka pendek, “delivery”, dan sekali beri. Implementasi semacam ini terbukti merupakan salah satu major culprits dari kegagalan JPS selama ini di tanah air kita. Program ini akhirnya bersifat tidak mendidik, mengajarkan ketergantungan, dan menebar bibit baru penyalahgunaan uang rakyat (lihat Rubin dan Rubi 1987). Faktor kegagalan lain terletak pada pelaksanaan program yang mengandalkan birokrasi yang ditandai struktur yang rentan penyelewengan dan korupsi. Transparansi alokasi program dan pertanggungjawaban sulit diharapkan dalam mekanisme kronis seperti saat ini. Bahkan secara politik, praktek program ini mengundang kecurigaan sementara masyarakat bahwa pemerintah mempergunakannya sebagai instrumen “money politics”. Hal ini bertalian dengan waktu pelaksanaan program, yang entah secara kebetulan, berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu Juni 1999. Dana JPS diperoleh dari pinjaman luar negeri, berarti uang rakyat yang diperoleh dari berhutang. Jadi dana ini bukan milik pemerintah (rejim) atau partai politik yang berkuasa, namun milik negara atau seluruh rakyat yang harus dipergunakan secara bertanggung jawab. Faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan selama ini, terkait juga dengan aspek tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah hanya membagi sasaran berdasarkan sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal, yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti dilakukan di tingkat komunitas. Kalau pun ada disadari pentingnya tataran ini, pemahaman diwarnai penyamarataan struktur sosial setempat seperti keberadaan elit lokal yang potensial dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Wirutomo 1997). Selanjutnya, pemahaman semacam ini menafikan pula struktur dan organisasi sosial lokal yang sebenarnya merupakan “entry point” yang efektif untuk mengatasi persoalan mikro secara berkesinambungan seperti upaya mengatasi krisis sosial di atas. Menilik beberapa kekeliruan seperti digambarkan di atas, program JPS yang secara real ditopang dana pinjaman luar negeri yang cukup besar, implementasinya harus mendapat koreksi total di tingkat palsafah strategi maupun implementasi. Palsafah dari JPS adalah pemberdayaan sosial (social empowerment). Jadi program ini sebaiknya bersifat mendidik untuk mampu mengatasi permasalahan dengan mengerahkan potensi sendiri. Jadi program bersifat berkelanjutan, dana yang diberikan bernuansa dampingan, dan ditumbuhkan perilaku kolektif ditingkat mikro yang mencerminkan nilai rukun, perduli, mandiri dan sejahtera. Berarti penggunaan organisasi akar rumput mutlak diperlukan agar program bersifat mengakar dan kontekstual. Selain itu, perlu disadari secara arif, bahwa target waktu penyelenggaraan yang dipatok berdasarkan tahun anggaran apalagi agenda politik merupakan negasi kontra produktif dari ide dasar JPS yang semestinya berorientasi pada agenda lebih luas seperti pemberdayaan, demokratisasi, dan penegakkan hak asasi dalam kerangka pembangunan civil society. Dalam konteks ini civil society dipahami sebagai “a social sphere of freedom, voluntary association, and plurality of human relationships, identities, differences, and values as contrsted with the coercive political power of state and government (Lihat Payne 1998). III Tampaknya pemerintah kota Jakarta memahami pentingnya organisasi lokal dalam implementasi “program pembangunan”. Surat Keputusan Gubernur 546 tahun 1996 tentang Petunjuk Pembinaan dan Pengelolaan Usaha Ekonomi Desa menjadi dasar bagi pembentukan Usaha Permodalan Kelurahan. Secara seragam kini dapat
ditemukan UPK di seluruh kelurahan di Jakarta. Melalui Instruksi Gubernur nomor 82 tahun 1999 pemerintah bermaksud melakukan pemberdayaan UPK dalam wadah LKMD/K. Upaya ini ditempuh sebagai salah satu solusi dari masalah tidak terintegrasinya penyaluran bantuan yang berdampak pada tertib administrasi dan pembinaan yang lemah. Langkah-langkah yang hendak dilakukan pemerintah, dalam kaitan dengan pemberdayaan UPK, adalah pelatihan manajemen keuangan bagi pengurus, rekrutmen pegawai profesional, dan sebagainya. Mengkaji upaya di atas dalam kerangka peranan baru dari pemerintah daerah sebagai “gamekeeper”, yang merupakan semangat “reinventing government”, beberapa analisis dan koreksi dapat dikemukan. Analisa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah masih mengikuti logik dan langkah “developmentalist state” yang bersifat top-down. Ia tergoda untuk selalu bersifat instruktif dan terjun jauh ke aspek detail (petunjuk yang bermuara pada budaya patron-klien/bapakisme). Misalnya pemerintah memperkenalkan lembaga baru UPK di tingkat lokal, atas pertimbangan kepentingan sendiri seperti dibungkus dengan istilah “tertib administrasi” dan “pembinaan masyarakat”. Kemudian kerangka yaitu lembaga baru (UPK) diisi, diaktifkan, dan dibina (diberdayakan”). Kedua, langkah penyeragaman dalam mengatasi kemiskinan bukanlah strategi yang efktif. Hal ini telah dibuktikan dalam banyak kasus “pembangunan” di negara-negara berkembang. Penyeragaman dapat berguna hanya di tataran pendekatan dan strategi, namun menghindari penyeragaman lembaga, program, tehnik, serta “pembinaan”. Ketiga, langkah di atas mencerminkan pemerintah menempuh pembangunan sosial dengan menempatkan “aspek manusia” sebagai hal yang sekunder. Pemerintah melihat output ekonomi dan distribusi sumber daya finansial masih sebagai fokus utama. Analisa di atas mengarahkan kita pada prediksi bahwa program pengentasan kemiskinan melalui pengenalan dan pemberdayaan UPK dapat tidak efektif membuatkan hasil. Sebaliknya, yang akan muncul adalah lembaga keuangan lokal yang bersifat formal yang kegunaannya terbatas, seperti terkait dengan peningkatan tertib administratif. Bagaimanakah solusi yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi kegagalan kebijakan dan program, yang sudah terlanjur dikembangkan? Pertama, menempatkan UPK lebih sebagai mediating institution diantara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat di sini diwakili oleh organisasi akar rumput demokratis (seperti kelompok arisan, pengajian, dan sebagainya) dan formal (RT dan RW). UPK sebagai mediator mempunyai beberapa manajer kota ditingkat lokal yang langsung berhubungan masyarakat. Mengidentifikasi kelompok masyarakat berikut potensi yang ada, termasuk kegiatan pencarian nafkah yang berada diluar jalur pelaporan statistik resmi (misalnya sektor informal dan subsistensi). Program dari UPK dijalankan berdasarkan situasi, kebutuhan, dan kemampuan setempat. Termasuk dalam penggunaan teknologi lokal yang diperbaiki sehingga mampu melahirkan revitalisasi kegiatan yang sudah nyata ada. Jadi, kemiskinan baru dapat dientaskan oleh orang miskin sendiri. Melalui fasilitasi pemerintah kota Jakarta lengkap dengan manajer, lembaga, dan kebijakan. Khusus mengenai kebijakan, di masa datang perlu direnungkan untuk lebih tepat lagi mengambil posisi “gamekeeper” daripada “gardening”. Referensi Fischer, C (1984) The Urban Experience. Harcourt, New York. Jarry, R and J. Jarry (1987) Dictionary of Sociology. Collins, London. Nakagawa, N (1998) The Crisis in Indonesia (unpublished paper). PSJ-UI, Jakarta. Payne, Michael (ed.) (1998) A dictionary of Cultural and Critical Theory. Blackwell,
Cambridge. Rubin, Herbert J and Irene Rubin (1992) Community Development and Community Organization. Macmillan, New York. Urry, John (1999) Sociology beyond Societies. Routledge, London. Webster New Encyclopedic Dictionary 1994. HR, New York.
Karakteristik dan Strategi Pemberdayaan Warga Jakarta Gumilar Rusliwa Somantri, Ph.D. I Sejak tahun 1970-an, Jakarta telah terintegrasi pada sistem ekonomi kapitalis dunia. Mulai dekade tersebut kota Jakarta berkembang pesat hingga saat krisis ini. Penduduk kota pada awal tahun 1970 berjumlah sekitar 4 juta orang. Jumlah ini berlipat menjadi sekitar 12 juta di tahun 2001 ini (estimasi konservatif). Sedangkan luas wilayah kota dalam kurun waktu yang sama bertambah dari sekitar 300 km2 menjadi sekitar 700 km2. Sementara itu, kepadatan penduduk pun turut meningkat pesat. Catatan statistik memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk (population density) Jakarta dewasa ini berada pada kisaran di atas 11 ribu orang per km2. Pertumbuhan kota di atas di sumbang oleh tiga hal. Pertama adalah jumlah migrasi masuk (net in migration). Kedua, adalah kelahiran alamiah. Dan ketiga adalah aneksasi wilayah perdesaan menjadi bagian dari administrasipolitik Jakarta. Hal yang penting untuk disimak adalah ciri sosiologis dari warga Jakarta. Banyak survey memperlihatkan bahwa kebanyakan penduduk Jakarta adalah pendatang (70 persen). Mereka tinggal di kampung-kampung. Istilah kampung di sini merujuk pada apa yang dikatakan Krausse (1975) sebagai permukiman penduduk berpenghasilan rendah. Kampung di Jakarta dapat dibagi tiga: (1) kampung tua dalam kota; (2) kampung kawasan transisi; dan (3) kampung pinggiran kota. Kawasan ini merupakan area berpemukiman padat penduduk (highly-densely populated area). Kebanyakan penduduk bekerja di sektor informal atau bagian
marjinal dari sektor formal. Singkat kata, secara umum Jakarta dihuni oleh banyak penduduk berpenghasilan rendah atau “miskin” yang diidentifikasi oleh Evers (1991) sebagai “massa apung” perkotaan. Somantri (1995) mengemukakan bahwa struktur anatomis kota ini lebih tepat jika dikatakan sebagai hamparan kampung yang mempunyai pusat-pusat hierarkhis. Menilik karakteristik dan struktur kota Jakarta di atas, tampaknya upaya melakukan pembangunan sosial dalam rangka pemberdayaan warga perlu memperhatikan beberapa hal. Hal pertama adalah bergesernya paradigma mengenai peranan masyarakat. Aspek kedua adalah pendekatan atau strategi pemberdayaan yang lebih hirau dengan aspek manusia (people centred). Ketiga adalah pemanfaatan organisasi lokal demokratis dalam proses pembangunan sosial sehingga dapat terjadi sinergi fungsi dengan organisasi serupa yang selama ini lebih dikenal sebagai perpanjangan tangan pemerintah (state-induced local organization). II Masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, kini tengah memasuki era kehidupan global. Dalam kaitan ini globalisasi difahami sebagai proses yang ditandai oleh adanya mobilitas yang semakin aneka ragam di atas muka bumi ini. Mobilitas fisik, uang, imaji, barang, hingga sampah kini terjadi secara lintas masyarakat. Mobilitas yang diverse di atas dapat bersifat hibrid (Urry, 1999). Perkembangan di atas secara nyata merubah peran negara, termasuk pemerintah daerah (local state). Peran ini, meminjam istilah Bauman (1997), berubah dari “gardening” menjadi “gamekeeper”. Peran pertama (gardening) merujuk pada peran pemerintah daerah yang demikian “besar”. Peranan tersebut analog dengan seorang pekebun/petani yang tengah melakukan kegiatan “bertani”. Dalam kaitan ini, analogi menunjukan terdapat pembedaan yang tegas antara “kebun” (garden) dan pekebun (gardener). Pekebun terlibat dalam aspek detil kegiatan pengolahan kebun seperti menentukan jenis tanaman, metoda dan praktek bercocok tanam, bahkan jenis ternak yang terdapat di area pertanian tersebut.
Secara lebih kongkret peran pemerintah daerah di atas dicontohkan oleh fenomena “developmentalist state” (negara/pembangun) dari pemerintah daerah khusus Ibu Kota selama tiga dasa warsa silam. Pemerintah daerah selain berperan di level regulasi juga menjadi aktor pembangunan yang signifikan. Sementara itu para wakil rakyat berperan dalam menentukan mana yang perlu dan tidak perlu untuk digarap. Dalam posisi serupa, ilmuwan sosial dilibatkan dilibatkan dalam proses “husbandry” sumber daya. Mereka memberikan sodoran model-model intervensif serta masukan mengenai apa yang perlu dan tidak perlu diprioritaskan. Peranan pemerintah daerah seperti digambarkan di atas di era global berubah pada bentuk fasilitatif (“gamekeeper”). Ia seyogyanya tidak masuk ke area detail. Negara mempunyai peran regulatif, yaitu mengatur lalu lintas “gembalaan” (modal, barang, informasi, dsb.) di dalam arealnya, maupun secara lintas area (lintas batas masyarakat baik secara nasional maupun internasional). Dengan kata lain, peran pemerintah daerah melalui kebijakan dan regulasi diibaratkan sebatas menjaga “jumlah khewan buruan” agar mencukupi bagi para “pemburu” yang akan melakukan kegiatan perburuan pada musim tertentu. Para wakil rakyat, dalam konteks ini, layaknya lebih disibukan dengan persoalan mendasar masyarakat yang lebih eksistensial-universal. Dalam cara pandang yang sama, para ilmuwan sosial, dengan orientasi pada pemeliharaan semangat keilmuan yang otonom, hirau pada penciptaan iklim yang kondusif bagi perkembangan civil society. III
Wacana peranan pemerintah dalam pembangunan masyarakat kota diwarnai perhatian yang relatif besar pada konsep “reinventing government”. Konsep ini perlu diletakan pada perubahan konteks sosial masyarakat Jakarta yang tengah mengalami proses globalisasi dan demokratisasi. Ia seyogyanya difahami pada reinterpretasi peranan pemerintah yang lebih dekat dengan wujud dari seorang “gamekeeper”. Pemerintah daerah yang semula dianggap sebagai aktor serba tahu, “mampu”, dan sebagainya; kini menghadapi kenyataan bahwa kemampuannya terbatas. Jadi, “mitos” bahwa pemerintah daerah bersifat “superior” di atas kini tidak relevan lagi dan perlu dirubah. Pemerintah daerah mempunyai keterbatasan yang nyata dalam banyak hal termasuk sumber daya manusia, finansial, dan informasi yang akurat mengenai mekanisme kongkrit kehidupan dan kebutuhan warganya. Warga “miskin”, yang merupakan bahagian terbesar penduduk Jakarta tidaklah mungkin dientaskan oleh program-program pemerintah yang berfokus pada indikator output ekonomi dan pembagian sumber daya finansial. Mereka membutuhkan sentuhan yang berbeda, yaitu yang menempatkan mereka sebagai fokus utama. Langkah pembangunan sosial pun dapat ditempuh dengan pendekatan empatis, people centred social development, sehingga partisipasi dan sinergi daya masyarakat dapat diciptakan. Perlu dicatat di sini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sejalan dengan semangat di atas. Pertama, penggunaan kekuasaan dalam setiap implementasi pembangunan sosial termasuk perencanaan, sepatutnya disosialisasikan terlebih dahulu. Kedua, pemunculan lembaga baru akan lebih bermanfaat (fungsional) jika ditempuh melalui mekanisme “bottom up” yang demokratis. Ketiga, proses belajar masyarakat dalam “lembaga baru” tersebut bersifat kontekstual-alamiah. Selain ketiga hal di atas, kami mencatat signifikansi pemanfaatan teknologi yang bersifat lokal serta dipadukan dengan pengetahuan “akademis”. Proses pemaduan ini sangat tergantung pada kepiawaian “manajer kota” bertindak fasilitatif. IV Contoh pendekatan yang keliru dapat disimak dalam praktek program JPS di masa krisis sosial melanda Jakarta. Krisis (crisis) dimengerti secara umum sebagai “an
unstable or crucial time or state of affairs” (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994). Secara sfesifik, krisis sosial mengacu pada kehidupan masyarakat yang penuh ketidakpastian, rawan, mempunyai kohesi yang rapuh, serta lemahnya peranan negara. Indikasi dari lahirnya krisis sosial dapat disimak dewasa ini seperti semakin menyedihkannya kualitas anak didik, maraknya fenomena anak jalanan, rawan pangan yang merebak di perkotaan dan perdesaan, tingkat kriminalitas yang meningkat secara dramatis, penafian hukum, pelanggaran hak asasi kerap terjadi, lemahnya moral birokrasi, serta bangkitnya visi komunalisme yang sempit dan destruktif. Sebagaimana dikenal luas, salah satu langkah kongkrit yang diambil pemerintah, termasuk pemerintah kota Jakarta, untuk mengurangi intensitas maupun dampak krisis sosial bagi kalangan miskin adalah program Jaring Pengaman Sosial (social savety net program). Program ini telah dilaksanakan dalam bentuk lain jauh sebelum krisis melanda. Program pengentasan kemiskinan Orde Baru, lengkap dengan segala kekuranganya, dapat dilihat sebagai bagian dari hal ini. Sedangkan penerapan pada masa krisis semakin banyak di dukung oleh dana pinjaman dari Bank Dunia. Distribusi dana telah banyak dilakukan meskipun dinilai masih lambat. Kelambatan ini diakibatkan tidak adanya infrastruktur sistem distribusi yang komunikatif terhadap pola kehidupan sosial masyarakat sasaran program Selama penerapan yang telah dilakukan terutama pada paruh terakhir 1998 dan awal tahun ini, evaluasi menunjukkan bahwa efektivitas program ini sebagai salah satu langkah mengatasi krisis sosial adalah relatif rendah. Program ini secara idealistik sangat baik, yaitu menolong lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi “emergensi”, sehingga mereka dapat bangkit dan pada gilirannya membawa dampak pada daya tahan serta perbaikan ekonomi secara keseluruhan (lihat Gunawan Sumodiningrat 1999). Namun sayangnya titik berat implementasi program lebih bersifat jangka pendek, “delivery”, dan sekali beri. Implementasi semacam ini terbukti merupakan salah satu major culprits dari kegagalan JPS selama ini di tanah air kita. Program ini akhirnya bersifat tidak mendidik, mengajarkan ketergantungan, dan menebar bibit baru penyalahgunaan uang rakyat (lihat Rubin dan Rubi 1987). Faktor kegagalan lain terletak pada pelaksanaan program yang mengandalkan birokrasi yang ditandai struktur yang rentan penyelewengan dan korupsi. Transparansi alokasi program dan
pertanggungjawaban sulit diharapkan dalam mekanisme kronis seperti saat ini. Bahkan secara politik, praktek program ini mengundang kecurigaan sementara masyarakat bahwa pemerintah mempergunakannya sebagai instrumen “money politics”. Hal ini bertalian dengan waktu pelaksanaan program, yang entah secara kebetulan, berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu Juni 1999. Dana JPS diperoleh dari pinjaman luar negeri, berarti uang rakyat yang diperoleh dari berhutang. Jadi dana ini bukan milik pemerintah (rejim) atau partai politik yang berkuasa, namun milik negara atau seluruh rakyat yang harus dipergunakan secara bertanggung jawab. Faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan selama ini, terkait juga dengan aspek tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah hanya membagi sasaran berdasarkan sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal, yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti dilakukan di tingkat komunitas. Kalau pun ada disadari pentingnya
tataran
ini, pemahaman
diwarnai
penyamarataan struktur sosial setempat seperti keberadaan elit lokal yang potensial dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Wirutomo 1997). Selanjutnya, pemahaman semacam ini menafikan pula struktur dan organisasi sosial lokal yang sebenarnya merupakan “entry point” yang efektif untuk mengatasi persoalan mikro secara berkesinambungan seperti upaya mengatasi krisis sosial di atas. Menilik beberapa kekeliruan seperti digambarkan di atas, program JPS yang secara
real
ditopang
dana
pinjaman
luar
negeri
yang
cukup
besar,
implementasinya harus mendapat koreksi total di tingkat palsafah strategi maupun implementasi.
Palsafah
dari
JPS
adalah
pemberdayaan
sosial
(social
empowerment). Jadi program ini sebaiknya bersifat mendidik untuk mampu mengatasi permasalahan dengan mengerahkan potensi sendiri. Jadi program bersifat berkelanjutan, dana yang diberikan bernuansa dampingan, dan ditumbuhkan perilaku kolektif ditingkat mikro yang mencerminkan nilai rukun, perduli, mandiri dan 0produktif dari ide dasar JPS yang semestinya berorientasi pada agenda lebih luas seperti pemberdayaan, demokratisasi, dan penegakkan hak asasi dalam kerangka pembangunan civil society. Dalam konteks ini civil society
dipahami sebagai “a social sphere of freedom, voluntary association, and plurality of human relationships, identities, differences, and values as contrsted with the coercive political power of state and government (Lihat Payne 1998). V Contoh lain yang dapat dijadikan rujukan dari koreksi peranan pemerintah dalam pembangunan masyarakat adalah kasus UPK di Jakarta. Tampaknya pemerintah kota Jakarta memahami pentingnya organisasi lokal dalam implementasi “program pembangunan”. Surat Keputusan Gubernur 546 tahun 1996 tentang Petunjuk Pembinaan dan Pengelolaan Usaha Ekonomi Desa menjadi dasar bagi pembentukan Usaha Permodalan Kelurahan. Secara seragam kini dapat ditemukan UPK di seluruh kelurahan di Jakarta. Melalui Instruksi Gubernur nomor 82 tahun 1999 pemerintah bermaksud melakukan pemberdayaan UPK dalam wadah LKMD/K. Upaya ini ditempuh sebagai salah satu solusi dari masalah tidak terintegrasinya penyaluran bantuan yang berdampak pada tertib administrasi dan pembinaan yang lemah. Langkahlangkah yang hendak dilakukan pemerintah, dalam kaitan dengan pemberdayaan UPK, adalah pelatihan manajemen keuangan bagi pengurus, rekrutmen pegawai profesional, dan sebagainya. Mengkaji upaya di atas dalam kerangka peranan baru dari pemerintah daerah sebagai “gamekeeper”, yang merupakan semangat “reinventing government”, beberapa analisis dan koreksi dapat dikemukan. Analisa tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama,
pemerintah
masih
mengikuti
logik
dan
langkah
“developmentalist state” yang bersifat top-down. Ia tergoda untuk selalu bersifat instruktif dan terjun jauh ke aspek detail (petunjuk yang bermuara pada budaya patron-klien/bapakisme). Misalnya pemerintah memperkenalkan lembaga baru UPK di tingkat lokal, atas pertimbangan kepentingan sendiri seperti dibungkus dengan istilah “tertib administrasi” dan “pembinaan masyarakat”. Kemudian kerangka yaitu lembaga baru (UPK) diisi, diaktifkan, dan dibina (diberdayakan”). Kedua, langkah penyeragaman dalam mengatasi kemiskinan bukanlah strategi yang efktif. Hal ini
telah dibuktikan dalam banyak kasus “pembangunan” di negara-negara berkembang. Penyeragaman dapat berguna hanya di tataran pendekatan dan strategi, namun menghindari penyeragaman lembaga, program, tehnik, serta “pembinaan”. Ketiga, langkah di atas mencerminkan pemerintah menempuh pembangunan sosial dengan menempatkan “aspek manusia” sebagai hal yang sekunder. Pemerintah melihat output ekonomi dan distribusi sumber daya finansial masih sebagai fokus utama. Analisa di atas mengarahkan kita pada prediksi bahwa program pengentasan kemiskinan melalui pengenalan dan pemberdayaan UPK dapat tidak efektif membuatkan hasil. Sebaliknya, yang akan muncul adalah lembaga keuangan lokal yang bersifat formal yang kegunaannya terbatas, seperti terkait dengan peningkatan tertib administratif. Bagaimanakah solusi yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi kegagalan kebijakan dan program, yang sudah terlanjur dikembangkan? Pertama, menempatkan UPK lebih sebagai mediating institution diantara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat di sini diwakili oleh organisasi akar rumput demokratis (seperti kelompok arisan, pengajian, dan sebagainya) dan formal (RT dan RW). UPK sebagai mediator mempunyai beberapa manajer kota ditingkat lokal yang langsung berhubungan masyarakat. Mengidentifikasi kelompok masyarakat berikut potensi yang ada, termasuk kegiatan pencarian nafkah yang berada diluar jalur pelaporan statistik resmi (misalnya sektor informal dan subsistensi). Program dari UPK dijalankan berdasarkan situasi, kebutuhan, dan kemampuan setempat. Termasuk dalam penggunaan teknologi lokal yang diperbaiki sehingga mampu melahirkan revitalisasi kegiatan yang sudah nyata ada. Jadi, kemiskinan baru dapat dientaskan oleh orang miskin sendiri. Melalui fasilitasi pemerintah kota Jakarta lengkap dengan manajer, lembaga, dan kebijakan. Khusus mengenai kebijakan, di masa datang perlu direnungkan untuk lebih tepat lagi mengambil posisi “gamekeeper” daripada “gardening”. VI Beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan di sini adalah peranan pemerintah daerah dalam pembangunan masyarakat kota. Ia seyogyanya bergeser ke
bentuk yang lebih fasilitatif. Namun demikian, pergeseran ini masih memungkinkan pemerintah daerah untuk mengembangkan secara optimal program pembangunan sosial. Berbicara mengenai pembangunan sosial di perkotaan, salah satu hal yang perlu ditempuh adalah memilih strategi pembangunan yang melihat “masyarakat” sebagai fokus utama. Dengan demikian, program pembangunan sosial akan dijalankan dalam pijakan potensi lokal. Strategi ini mencakupi tehnik yang cermat dalam pemanfaatan pengetahuan/teknologi lokal, organisasi akar rumput, dan sebagainya.
Referensi Fischer, C (1984) The Urban Experience. Harcourt, New York. Jarry, R and J. Jarry (1987) Dictionary of Sociology. Collins, London. Krausse, G (1975) “Kampung of Jakarta”. Dissertation at Pitsburg University. Nakagawa, N (1998) The Crisis in Indonesia (unpublished paper). PSJ-UI, Jakarta. Payne, Michael (ed.) (1998) A dictionary of Cultural and Critical Theory. Blackwell, Cambridge. Rubin, Herbert J and Irene Rubin (1992) Community Development and Community Organization. Macmillan, New York. Somantri, Gumilar (1995) Migration within Cities: A Study of Socioeconomic Processes, Intra-City Migration, and Grassroots Politics in Jakarta. UMI, Michigan. Urry, John (1999) Sociology beyond Societies. Routledge, London. Webster New Encyclopedic Dictionary 1994. HR, New York.