PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus : Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor )
Oleh : GIBTHI IHDA SURYANI A14202029
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN GIBTHI IHDA SURYANI. PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI) Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala ya ng mendunia. Proporsi penduduk Lansia dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, proporsi Lansia meningkat hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun, dari 4,5 persen pada tahun 1971 diperkirakan meningkat menjadi 11,3 persen pada 2020. Lebih dari 50 persen Lansia adalah perempuan, dan sekitar tiga perlima (61,7 persen) bertempat tinggal di pedesaan. Peningkatan ini mempunyai konsekuensi terhadap berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, kesehatan dan politik; dan yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan jumlah Lansia terlantar dan rawan terlantar. Resolusi dari United Nations (PBB) dirumuskan untuk hak dan kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat. Namun, hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya dengan kehidupan politik, di kalangan pengemban kepentingan (stakeholders) masih minim. Hal ini ironis dengan nilai budaya masyarakat Indonesia yang masih menempatkan Lansia dalam posisi terhormat dalam pengambilan keputusan, terutama dalam masyarakat desa. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti apakah yang masih mene mpati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut, dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan Tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan. (2) mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa. (3) menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa, serta menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini. Lokasi penelitian di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang dilaksanakan pada bulan September-November 2006. Metode penentuan sampling untuk penelitian ini menggunakan metode cluster sampling. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan uji statistik yang relevan. Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini mayoritas berada pada rentang umur 60-67 tahun, dengan satu orang responden tertua berusia 90 tahun. Sebanyak 23 orang responden berjenis kelamin perempuan. Hampir setengah dari responden perempuan tersebut mengaku buta huruf. Ditinjau dari aspek ekonomi responden yang berpendapatan di bawah Rp100.000 pun mayoritas adalah perempuan Lansia, dimana 12 orang di antaranya berstatus janda. Lebih dari 90 persen responden tinggal di rumah sendiri, dan 80 persen masih mandiri dalam perawatan. Dari pengalaman berorganisasi ditemukan bahwa mayoritas memiliki tingkat pengalaman organisasi yang sedang, dan terdapat satu orang perempuan Lansia yang memiliki tingkat pengalaman berorganisasi yang tinggi. Situasi ini menggambaran kehidupan sosial kemasyarakatan responden.
Rapat formal desa, para dewan dan pamong desa serta musyawarah desa merupakan institusi dimana warga Situ Udik menyalurkan aspirasi politik serta sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan. Tingkat partisipasi responden dengan dalam rapat formal desa yang tinggi hanya sebesar 25 persen saja. Lebih dari 77 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dewan desa. Responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam musyawarah desa hanya sebesar 15 persen. Hal ini menunjukkan pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa, dipertegas dengan pengujian keterhubungan dengan uji statistik. Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara tingkat pendapatan dengan kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan sikap Lansia terhadap politik. Hasil uji ini menjadi melemah atau bahkan memiliki derajat hubungan yang dapat diabaikan dengan kontrol dari terpaan media massa dan partisipasi dalam Pemilu 2004. Hasil uji Koefisien Kotingensi menunjukkan hanya terdapat signifikasi hubungan antara faktor sosial ekonomi dari responden Lansia laki- laki dengan sikap terhadap politik. Hasil uji Spearman pun menunjukkan keterhubungan hal terebut antara sikap terhadap politik dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini menunjukkan perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik, mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa. Masyarakat Desa Situ Udik berorientasi pada “ketokohan” kyai dalam keseharian termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Keberhasilan politik orang-orang elite desa ini dalam mempertahankan dominasi disebabkan mereka memiliki kebijaksanaan sosial, dan kokohnya pola hubungan ‘kebapakan’ dan ‘saduluran’. Disertai prinsip safety first atau dahulukan selamat yang kemudian melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral pola hubungan sosial masyarakat Desa Situ Udik. Pola hubungan kekuasaan dan nilai ‘kebapakan’ menjadi etika yang menampilkan tindakan dengan bentuk kesetiaan secara sukarela hormat kepada ‘dununganna’. Gelombang reformasi politik lewat partisipasi dalam Pemilu 2004 dan terpaan berita politik dari media massa pun tidak mampu memberikan dampak yang mendasar terhadap dinamika politik lokal. Kuatnya konstruksi sosial ini menyingkirkan perempuan ‘sepuh’ dari perpolitikan desa. Perempuan masih menghadapi tuntutan dari tradisi sebagai seorang ibu, istri atau bahkan ketika perempuan tua menjadi seorang nenek yang mengurus cucunya.
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus : Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Oleh : Gibthi Ihda Suryani A14202029
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama
:
Gibthi Ihda Suryani
NRP
:
A14202029
Program Studi
:
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
:
Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS NIP. 131 622 687 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian: 10 Mei 2007
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL
KARYA
MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN
SAYA YANG
SENDIRI PERNAH
DAN
TIDAK
DITULIS
ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2007
Gibthi Ihda Suryani A14202029
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan dengan nama Gibthi Ihda Suryani pada tanggal 12 Maret 1985, anak pertama dari pasangan Suroso dan Yulinar. Penulis memulai pendidikan formalnya di SDN Panaragan I Kodya Bogor dan lulus pada bulan Mei 1996. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya pada SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada bulan Juni 1999. Kemudian penulis melanjutkan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada bulan Juni 2002. Penulis menempuh jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) untuk melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor, dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa penulis telah menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Sosiologi Umum pada semester ga njil tahun ajaran 2004/2005, asisten dosen untuk praktek lapang Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 dan tahun ajaran 2006/2007, serta asisten dosen untuk Mata Kuliah Perubahan Sosial semester ganjil tahun ajaran 2006/2007. Sedangkan untuk kegiatan ekstrakurikuler penulis pernah berpartisipasi dalam beberapa kegiatan dan kepanitiaan kampus. Kepanitiaan yang pernah diikuti adalah Agro Career 2004 yang diselenggarakan oleh MISETA, serta Malam Keakraban KPM 2004. Penulis juga pernah
tergabung
dalam
organisasi
mahasiswa
IRCyD
divisi
penelitian.
KATA PENGANTAR
Mengawali Penulisan skripsi ini perkenankan penulis untuk berucap syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, karena atas segala karuniaNya lah kita mendapatkan nikmat hidup, nikmat iman, dan nikmat Islam serta penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini tepat pada waktunya. Salawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan dan suri teladan kita Nabi Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati yang membawa kita pada pencerahan. Penulisan skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Topik dari penulisan skripsi ini adalah studi lansia dan kelembagaan desa. Topik ini dianggap menarik karena mengingat pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut pada abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia, yang tentunya menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus segera ditangani. Adapun judul dari penulisan skripsi ini adalah “Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa” Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya maka dari itu kritik dan saran sangatlah diharapkan. Semoga apa yang kita kerjakan mendapat ridho dari-Nya dan memberikan manfaat bagi dunia pendidikan dan pengembangan serta pemberdayaan masyarakat pertanian di negara ini.
Bogor, Mei 2007
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghanturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak, baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian tugas ini, antara lain : 1. Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
sabar
membimbing,
dan
memberi
arahan
kepada
saya
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku dosen selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini. 3. Bapak (Bang) Martua Sihaloho, SP, Msi selaku dosen penguji perwakilan Departemen yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini. 4. Mamiku, Papa, Adikku tersayang PITAK, Om Yud, Te’ Melly, Lulu, Ade Luna dan Bi Ukit yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moral serta dana selama ini. 5. Keluarga Bapak Lamsuni, Ibu Neneng, King, Adik-adikku (Najma, Lula, Ahla, Azka, Zul, Tria, Fiky) Teh Cicih, Teh Neng, Teh Nining serta Agung, terima kasih atas bantuannya selama saya penelitian di Desa Situ Udik serta penerimaannya yang luar biasa baik. Saya sangat beruntung pernah mengenal mereka. 6. Perangkat Desa Situ Udik, Bapak Kepala Desa H. Miftahullukman, Bapak Sekdes Saiful Manan, Pak Mista dan Pak Ucok, terima kasih atas bantuannya selama saya penelitian. 7. Warga Desa Situ Udik, khususnya para bapak-bapak dan ibu- ibu Lansia di Kampung Al Barokah, Ganda Rasa, Cimanggu, Cikadondong dan Malang Nengah atas bantuannya. 8. Anandita Puspitasari terima kasih atas dukungan serta persahabatan kita selama delapan tahun, Sindo Group: Siti Anis Musyarofah, Niken Tiara F.A, Ajipadma Dhara K., Isnanik Dian A. Teman satu bimbinganku Gina Septania, pembahas
kolokiumku Yohan Budiman dan rekan-rekan sejawat KPM 39 lainnya, semoga tali silaturahmi yang telah terjalin selama ini tidak akan terputus. 9. Teman-temanku di KPM 40: Rizky Ali Akbar, Lina, Utari, Dipa. Adik-adikku di KPM 41: Bayu, Nessa, dan kawan-kawan serta adik-adikku di KPM 42 terutama kelompok Al-Barokah. 10. Anggi Muhammad Adriawan atas bimbingan SPSS dan les singkat statistiknya. 11. Mas Anton dan Mbak Hana yang telah banyak memberi masukan untuk penulisan Skripsi ini serta buku-bukunya yang telah dipinjamkan. 12. Teman-temanku di LTYC dan Acem atas kebersamaan kita selama ini; Antonius Jemi atas bantuannya. 13. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................................... ii DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 9
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ...................................................................... 10 2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................................... 10 2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan............................................ 10 2.1.2 Lanjut Usia: Perkembangan Teori Gerontologi............................ 12 2.1.3 Konsep Successful Aging .............................................................. 15 2.1.4 Kelembagaan Politik Desa............................................................ 18 2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik ...................................... 23 2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal .............. 29 2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ............................................... 92 2.2 Kerangka Analisis .................................................................................. 33 2.3 Hipotesis ................................................................................................. 37 2.4 Definisi Operasional .............................................................................. 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 42 3.1 Metode Penelitian .................................................................................. 42 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 43 3.3 Metode Penentuan Sampling ................................................................. 43 3.4 Metode Pengumpulan Data.................................................................... 45 3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 46
BAB IV KONTEKS LOKASI .................................................................................. 48 4.1 Infrastruktur .......................................................................................... 48 4.1.1 Kondisi dan Letak Geografis ......................................................... 48 4.1.2 Struktur Pemerintahan, Sarana dan Prasarana ............................... 49 4.1.3 Karakteristik Masyarakat ............................................................... 54 4.2. Suprastruktur ........................................................................................ 56 4.2.1 Pengajian: Kelembagaan Sosial, Keagamaan, dan Politik Masyarakat Desa Situ Udik ........................................................... 56 4.2.2 Lansia dan Kelembagaan Ekonomi Desa ..................................... 60
BAB V PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA DESA SITU UDIK .................................................................................... 62 5.1 Struktur Umur dan Jenis Kelamin .......................................................... 62 5.2 Tingkat Pendidikan................................................................................. 65 5.3 Tingkat Pendapatan ................................................................................ 69 5.4 Status Pernikahan.................................................................................... 73 5.5 Tempat Tinggal dan Perawatan .............................................................. 75 5.5.1 Tempat Tinggal.............................................................................. 75 5.5.2 Perawatan....................................................................................... 77 5.6 Pengalaman Berorganisasi...................................................................... 78 5.6.1 Keikutsertaan dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat..................................................................................... 78 5.6.2 Peran dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat................. 80
BAB VI PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK .................... 85 6.1 Lansia dan Politik ................................................................................... 85 6.1.1 Tingkat Partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004 ............................. 85 6.1.2 Tingkat Keterdedahan terhadap Media Massa .............................. 91 6.2 Nilai Sosial dan Budaya Politik Lansia 6.2.1 Sikap terhadap Politik .................................................................... 94 6.2.2 Kepercayaan terhadap Kinerja Lembaga Politik Desa .................. 98 6.2.3 Persepsi: Kriteria Pemimpin .......................................................... 100
BAB VII PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA........................................................................................................... 102 7.1 Partisipasi Lansia dalam Rapat Formal Desa ......................................... 102 7.2 Partisipasi Lansia dalam Dewan Desa .................................................... 108 7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa........................................... 112
BAB VIII PARTISIPASI LANSIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI .................................................................................. 117 8.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Nilai Budaya Masyarakat Desa .................. 117 8.1.1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Nilai Budaya Masyarakat Desa............................................................................ 118 8.1.2 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Politik dan Nilai Budaya Masyarakat Desa .............................................................. 121 8.1.3 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Jenis Kelamin dan Nilai Budaya Masyarakat Desa .............................................................. 123 8.2 Hubungan Nilai Budaya Masyarakat Desa dengan Partisip asi dalam Kelembagaan Politik Desa ........................................................... 126
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 129 9.1 Kesimpulan ............................................................................................. 129 9.2 Saran ....................................................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 137 LAMPIRAN ......................................................................................................... ..... 141
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1.
Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis kelamin di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 2.
Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe daerah di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 3.
Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
3
Tabel 4.
Jumlah aparat dalam perangkat desa tahun 2005/2006
49
Tabel 5.
Jumlah aparat dan kader dalam lembaga- lembaga Desa Situ Udik tahun 2005
50
Tabel 6.
Fasilitas pendidikan dan perbandingan tenaga pengajardengan murid Desa Situ Udik tahun 2005/2006
53
Tabel 7.
Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan mata pencaharian tahun 2005
54
Tabel 8.
Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir tahun 2005
55
Tabel 9.
Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan kelompok umur tahun 2005
55
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006
65
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006
66
Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006
68
Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006
70
Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006
72
Tabel 15. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pernikahan
74
dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006 Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat tinggal, Desa Situ Udik tahun 2006
75
Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan caregiving dan status pernikahan, Desa Situ Udik tahun 2006
77
Tabel 18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis organisasi yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
79
Tabel 19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis perkumpulan yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
80
Tabel 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi/jabatan dalam organisasi/perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
81
Tabel 21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama keikutsertaan dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
82
Tabel 22. Jumlah responden berdasarkan tingkat pengalaman berorganisasi dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
83
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan partai politik yang dipilih pada Pemilu 2004, Desa Situ Udik
87
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan perana n yang ditampilkan dalam kampanye Pemilu 2004, Desa Situ Udik
88
Tabel 25. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam partai politik, Desa Situ Udik tahun 2006
89
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu legislatif 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 27. Tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 28. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
91
Tabel 29. Jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap berita politik, Desa Situ Udik tahun 2006
93
Tabel 30. Tingkat Keterdedahan responden terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
93
Tabel 31. Jumlah dan persentase responden Lansia pernyataan politiknya, Desa Situ Udik tahun 2006
berdasarkan
95
Tabel 32. Tabulasi silang antara frekuensi sebut pernyataan sikap tentang politik dengan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
96
Tabel 33. Jumlah responden berdasarkan minat keikutsertaan dalam kelembagaan politik dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
97
Tabel 34. Sikap responden terhadap politik Desa Situ Udik berdasarkan jenis kelamin, tahun 2006
98
Tabel 35. Jumlah dan persentase responden bedasarkan penilaian terhadap kinerja perangkat desa, Desa Situ Udik tahun 2006
99
Tabel 36. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
104
Tabel 37. Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk-bentuk rapat formal yang pernah diikuti
105
Tabel 38. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
106
Tabel 39. Tingkat partisipasi responden dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
107
Tabel 40. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi yang ditempati dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
109
Tabel 41. Jumlah dan persentase responden yang menjadi dewan desa berdasarkan proses penempatan posisi dalam Kelembagaan Politik Desa Situ Ud ik
110
Tabel 42. Tingkat partisipasi Lansia dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
111
Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
113
Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
114
Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
115
Tabel 46
Hubungan faktor sosial ekonomi dengan faktor nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik tahun 2006
118
Tabel 47
Hubungan antara faktor sosial ekonomi, faktor politik dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
121
Tabel 48
Keputusan uji statistik kotingensi hubungan antara faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
124
Tabel 49
Hubungan antara nilai budaya masyarakat desa dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik Desa Situ Udik, tahun 2006
127
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran.............................................................................41
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Abad 21 merupakan abad lanjut usia (era of population aging) karena pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut (Lansia) pada abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia. Proporsi penduduk Lansia dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia 1 . Suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat dari proses transisi demografi yaitu perubahan tingkat kelahiran, dari tingkat kelahiran tinggi ke tingkat yang lebih rendah serta perubahan tingkat kematian, dari angka kematian tinggi me njadi angka kematian yang rendah (Rusli, 1983). Demikian juga yang terjadi di Indonesia, bahkan diproyeksikan pada beberapa dekade mendatang jumlah penduduk Lansia di Indonesia akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah balita. Saat ini Indonesia menempati posisi kesepuluh dengan jumlah populasi Lansia terbanyak didunia, dan menjadi negara terbanyak penduduknya di ASEAN dengan jumlah absolut Lansia tertinggi. Antara tahun 2010 dan 2020, angka pertumbuhan populasi Lansia akan menjadi 3,7 persen, berbanding dengan tingkat pertumbuhan populasi 0,8 persen (Dung Do-Le dan Raharjo, 2002). Jika dilihat berdasarkan komposisi penduduk menurut umur, struktur penduduk Indonesia semakin mengarah ke penduduk tua. Suatu negara memasuki era penduduk struktur tua (aging population) jika proporsi penduduk lanjut usianya telah berada pada patokan penduduk berstruktur tua yakni tujuh persen dari total populasi. Penduduk dengan usia 60 tahun keatas mengalami peningkatan, dilihat dari proporsi dari total 1
Lilis Heri Mis Cicih, Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Indonesia Masa Kini dalam Warta Demografi, Tahun 35, No. 3, 2005.
2
penduduk Indonesia, dari sekitar 4,5 persen (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 7,2 persen (15.054.877 jiwa) di tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 11,3 persen pada tahun 2020 2 . Fenomena yang terjadi dari peningkatan penduduk Lansia di Indonesia, seperti halnya di negara- negara berkembang lain, jika ditinjau dari perbandingan jenis kelamin baik di desa maupun di kota, jumlah penduduk Lansia perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk Lansia laki- laki. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis kelamin di Indonesia tahun 2004 Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Perempuan 8.687.222 52,58 Laki-laki 7.835.089 47,42 Perempuan+Laki-laki 16.522.311 100,00 Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004. Badan Pusat Statistik. 2004.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dengan usia lanjut (60 tahun keatas) kini telah mencapai 16,5 juta jiwa. Tabel tersebut juga memberikan gambaran bahwa sebagian besar jumlah penduduk Lansia di Indonesia sampai tahun 2004 (52,6%) adalah perempuan. Sejalan dengan proses pembangunan yang disertai dengan perkembangan sektor industri dan perdagangan khususnya di daerah perkotaan telah menarik ’orang muda’ dari desa untuk mencari pekerjaan. Akibatnya dari migrasi tersebut adalah bertambahnya jumlah penduduk Lansia di pedesaan (Lihat Tabel 2). Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe daerah di Indonesia tahun 2004 Tipe Daerah Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan
Jumlah 6.328.909 10.193.402 16.522.311
Persentase (%) 38,31 61,69 100,00
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Tahun 2004. BPS.
2
Lansia Lebih Banyak dari Balita. http://HarianTerbit.com/2june2004/rubrik/nasional.htm. Diakses tanggal 29 April 2006
3
Berdasarkan Tabel 2, maka nampak bahwa hampir dua pertiga dari jumlah populasi penduduk Lansia di Indonesia bertempat tinggal di Pedesaan. Indonesia di masa reformasi tahun 1998 dan desentralisasi, secara administatif, terbagi menjadi 32 provinsi. Terdapat lima provinsi yang memiliki struktur populasi yang menua; termasuk diantaranya DI Yogyakarta yang memiliki proporsi Lansia tertinggi (13,7 persen). Beberapa provinsi lain yang telah mengalami proses penuaan penduduk dibandingkan dengan apa yang terjadi secara nasional yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Bahkan beberapa propinsi mempunyai persentase Lansia yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain 3 . Perbaikan taraf kehidupan dan kesehatan dari suatu masyarakat berdampak pada bertambah panjang masa hidup seseorang. Indonesia diperkirakan akan terjadi “Silver Tsunami” yang sangat meningkat jumlah penduduk usia lanjut. Perkembangan jumlah lanjut usia termasuk sangat cepat disebabkan karena penurunan tingkat fertilitas penduduk. Harapan hidup penduduk Indonesia mengalami peningkatan jumlah dan proporsi sejak tahun 1980, dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000 Sensus Penduduk Tahun 1971 1980 1990 2000
Laki-laki 44,20 50,64 58,06 63,45
Perempuan 47,17 53,69 61,54 67,30
Laki-laki+Perempuan 45,73 52,21 59,80 65,43
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan, http//:www.portal.menegpp.go.id.htm
Berdasarkan Tabel 3 di atas, terlihat bahwa harapan hidup perempuan Indonesia di tahun 2000 mampu bertahan hidup hingga mendekati 70 tahun serta memiliki harapan hidup yang lebih lama dibandingkan laki- laki. Beberapa tahun mendatang usia
3
Jutaan Lansia Butuh Pelayanan Sosial, http//:www.suarakarya-online.com/wacana_wanita/2004.htm, diakses tanggal 25 Mei 2006.
4
rata-rata penduduk dapat mencapai 100 tahun. Hal inilah yang kemudian akan menambah peliknya permasalahan peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut di Indonesia. Sejalan dengan proses penuaan, kondisi fisik maupun non-fisik Lansia yang mengalami penurunan maka dibutuhkan peningkatan pelayanan sosial bagi penduduk Lansia. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Wirakartakusumah et al. (1995) tentang determinan Lansia bekerja dan bertempat tinggal di Indonesia
maupun
Wahyuni (2003) yang mengkaji tentang kesejahteraan Lansia di pedesaan Jawa Barat, serta Indawati (2003) yang melakukan identifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan banyaknya Lansia di Kabupaten Lamongan, menunjukkan bahwa perempuan Lansia dan yang tinggal di pedesaan merupakan Lansia yang yang sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini karena perempuan Lansia cenderung lebih tua, tidak bekerja, hidup sendiri, berstatus tidak kawin (janda), tingkat pendidikannya rendah, miskin, tinggal di pedesaan dan mayoritas hidup sendiri. Masyarakat Indonesia pada umumnya menempatkan lanjut usia (Lansia) pada posisi yang dihormati. Hal ini bukan saja karena sesuai dengan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat, tetapi juga karena Lansia tergolong ke dalam kelompok rentan. Penghormatan itu antara lain, berupa pemberian fasilitas dan pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak- hak mereka. Pada mulanya program pemerintah dalam penanganan terhadap penduduk Lansia lebih menekankan pemberian santunan kepada mereka yang terlantar, sesuai dengan UndangUndang (UU) No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Kemudian untuk dapat mempunyai sasaran yang lebih luas dengan memberikan dorongan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan Lansia kepada keluarga dan
5
masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya Lansia yang berguna, berkualitas dan mandiri, maka diatur Pasal 8 UU No.39/1999. Meskipun perhatian mulai diberikan kepada Lansia, namun hingga saat ini masih terdapat sekitar 3,7 juta lanjut usia (Lansia) di Indonesia yang memerlukan pelayanan sosial. Sebagian besar di antara mereka dalam keadaan terlantar dan memerlukan upaya perlindungan khusus. Pada tahun 1998, jumlah Lansia yang terlantar sebanyak 3.485.066 orang dan rawan terlantar 4.975.942 orang. Sedangkan pada tahun 2002, jumlah Lansia telantar 3.754.569 orang dan rawan terlantar menjadi 5.102.800 orang
(www.suarakaryaonline.htm/wanita.htm).
Namun,
bentuk
perhatian
dan
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selama inipun masih terbatas dikarenakan mereka miskin bukan karena mereka Lansia. Pemusatan perhatian masih terbatas pada masalah sosial ekonomi, belum menyentuh pada hak Lansia dalam kehidupan berpolitiknya. Padahal isu kesetaraan perempuan Lansia baru mulai mengemuka dan diakui dunia sejak Konferensi Dunia I tentang Perempuan tahun 1975. Kemudian ditindaklanjuti dengan mulai berperspektif gender pada Konferensi Dunia III tentang perempuan tahun 1985 yang mengidentifikasi ”perempuan Lansia” sebagai salah satu dari 14 isu yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini dimaksudkan agar perempuan Lansia tidak hanya diperlakukan sebagai objek yang rawan dan memerlukan berbagai bantuan, pelayanan dan perawatan, tetapi juga sebagai subjek yang mempunyai berbagai kemampuan dan memberikan sumbangan bagi pembangunan4 . Kemudian dilakukan evaluasi pelaksanaan hasil- hasil Konferensi Dunia tentang Lansia (1982) yang menghasilkan United Nation Principles for Older Persons, yang dicetuskan pada 1991
4
Perempuan Lanjut Usia dan Politik. Media Perempuan, edisi No.3.2003
6
dengan Resolusi No 46/91 menghimbau negara- negara anggota PBB tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat5 . Konsepsi tersebut berkembang hingga kemudian dalam pertemuan Sidang Lanjut Usia kedua di Madrid tahun 2002 menghasilkan kesepakatan Rencana Aksi Internasional Lanjut Usia (Madrid International Plan of Action of Ageing). Tindak lanjut dari rencana aksi yakni dilaksanakannya seminar di Shanghai September 2002 yang
menghasilkan
strategi
implementasi
bagi
para
lanjut
usia
(Shanghai
Implementation Strategy)6 . Hasil Strategi tersebut memberikan gambaran orang lanjut usia bukanlah suatu beban, melainkan suatu keberhasilan tidak saja menyangkut kesejahteraan sosial, akan tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan dalam pembangunan, termasuk bidang politik. Walaupun konsep successful aging tersebut diformulasikan dari pengalaman dan penelitian negara maju. Tetapi dalam praktek pembinaan usia lanjut, harus mengakomodasi faktor-faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial setempat. Hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya dengan kehidupan politik, dikalangan pengemban kepentingan (stakeholders) belum ada. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang urgensi dan kompleksnya isu Lansia ini menjadi salah satu penyebabnya Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian maupun studi-studi tentang Lansia khususnya partisipasi Lansia dalam politik. Kelembagaan politik desa menjadi fokus penelitian ini dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan. 5 6
Lansia Indonesia Tercepat. www.suaramerdeka.com/Sabtu/290504.htm. Diakses tanggal 5 Mei 2006. Loc.cit.
7
1.2 Perumusan Masalah Proses menua (aging) adalah proses alami ya ng disertai adanya penurunan kondisi fisik, biologis, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Menua adalah juga proses kehilangan, mulai dari kehilangan peran sosial (misalnya karena pensiun), kehilangan pendapatan, hingga kehilangan teman dan keluarga karena kematian. Keadaan itu cenderung berpotensi tidak saja menimbulkan bagi masalah bagi kondisi fisik Lansia namun juga kondisi mentalnya. Sebagai bagian dari masyarakat, kita lebih terobsesi dengan aspek negatif daripada positif dalam hal pertambahan usia. Tapi bukti yang terdapat dalam berbagai bukti ilmiah jelas-jelas menunjukkan hal- hal yang berbeda dari stereotipe yang ada. Bahkan membaiknya teknologi kesehatan dan gaya hidup sehat yang dianut sebagian masyarakat menunjukkan peningkatan angka harapan hidup manusia. Maka sama seperti yang diungkapkan oleh penulis Theodore Rozak, "Masa depan di tangan orangorang dewasa". Meskipun sebagian dari penduduk Lansia dianggap menjadi beban bagi penduduk produktif karena kondisi fisik, mental, sosial yang menurun sehingga tidak memungkinkan mereka berperan dalam pembangunan. Namun di sisi lain Lansia memiliki pengalaman, kearifan, keahlian, semangat kejuangan dan kekayaan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh generasi yang lebih muda. Khus usnya pada masyarakat pedesaan yang erat kaitannya dengan nilai- nilai ketradisionalan. Ketradisionalan masyarakat desa diidentifikasi melalui pandangan bahwa segala kegiatan dianggap baik bila sesuai dengan norma-norma yang telah diwariskan nenek moyang secara turun temurun (Prijono dan Prijono, 1983). Pola pikir ini pulalah yang mendasari nilai-nilai masyarakat desa dalam menentukan pemimpin maupun orang-orang yang memegang peranan penting di
8
masyarakat. Seorang lurah misalnya, dipilih bukan hanya latar belakang pendidikannya tapi juga karena usia dan kebijaksanaannya. Hal ini disebabkan seorang lurah bukan hanya semata-mata kepala desa saja, tapi juga sebagai “bapak” bagi semua penduduk desa. Demikian pula dengan para pamong desa, biasanya terdiri dari orang-orang tua desa, yang umumnya menjadi anggota masyarakat terpenting karena pengetahuannya akan adat istiadat. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti apakah yang masih menempati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut. Jika kelembagaan politik desa identik dengan istilah maskulinitas dan atribut ‘kebapakan’ seorang pemimpin desa, maka apakah perempuan Lansia juga memiliki tempat didalamnya. Berdasarkan hasil pemaparan di atas serta pemaparan sebelumnya pada latar belakang, ingin diteliti lebih lanjut beberapa aspek yang terkait dengan masalah tersebut, yaitu : 1. Bagaimana karakteristik Lansia di pedesaan? 2. Bagaimanakah partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa? 3. Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
mempengaruhi
partisipasi
Lansia
dalam
kelembagaan politik desa?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta membuat suatu analisis terhadap partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi faktor- faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial di pedesaan (khususnya Desa Situ Udik) dalam kaitannya dengan konsep successful aging
9
dan teori aktivitas sebagai landasan teoritisnya. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut ini: 1. mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan 2. mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa 3. menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa 4. menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi
Lansia
dalam kelembagaan politik desa.
1.4 Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, terdapat beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu : 1. Dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan terkait dengan isu- isu Lansia secara lebih mendalam. 2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan Lansia khususnya perempuan. 3. Menambah khasanah pengetahuan tentang kajian kependudukan khususnya studi tentang Lansia dengan melakukan perbandingan antara laki- laki lansia dan perempuan lansia ditinjau dari berbagai aspek baik sosial, ekonomi, religikultural yang berkaitan erat dengan kehidupan berpolitik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendekatan Teoritis 2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan Lanjut usia adalah setiap warga negara Indonesia pria atau wanita yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik potensial maupun tidak potensial. Batasan lanjut usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi Kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia usia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari ciriciri fisiknya, manusia lanjut usia memang mempunyai karakteristik yang spesifik. Secara alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya (Rully, 2003). Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN, 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.
11
Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) dalam Suhartini (2004) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Berbagai aspek pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai
sumber
data
kependudukan.
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : 1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, 2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, 3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan 4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Saparinah (1983) dalam Suhartini (2004) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap prapensiun pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Hal ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hidupnya. Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Sedangkan dalam
12
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas dinyatakan bahwa yang disebut sebagai lanjut usia adalah laki- laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Merujuk pada hal tersebut maka dalam penelitian ini batasan lanjut usia adalah individu berusia 60 tahun ke atas.
2.1.2 Lanjut Usia : Perkembangan Teori Gerontologi Terdapat sejumlah teori yang digunakan dalam menjelaskan fenomena penuaan (aging) dalam ilmu sosiologi. Penuaan dapat dianalisa menurut ilmu sosiologi sebagai tiga proses yang mempengaruhi orang-orang ketika mereka menjadi tua: biologis, psikologis, dan sosial; Tiga proses tersebut mengusulkan tiga metafor waktu perkembang yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lainnya 1. Penuaan biologis secara khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, kerutan, suatu kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan lemak, dan penurunan efisiensi kardiovaskuler. 2. Tua
menurut
psikologis
diasumsikan
bahwa
memori,
pelajaran,
kecerdasan/inteligensi, keterampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung untuk merosot karena umur. 3. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai- nilai, dan peran yang secara kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu . Sosial gerontologi adalah bidang studi multidisipliner dan merupakan instrumen teoritis utama kaum ortodoks yang berkenaan dengan lanjut usia terutama di Amerika Serikat, Inggris dan akademisi Australia (Phillipson 1998; Biggs dalam Powell 2001). Berikut ini penjelasan singkat mengenai teori-teori tersebut yang merupakan ikhtisar dari buku ”Sosiologi Wanita”, Ollenburger dan Moore (1996). Teori- teori tersebut dibagi dalam tiga tipe dasar yakni teori-teori fungsionalis yang memfokuskan pada
13
diskontinuitas dalam proses penuaan dan hilangnya status; teori-teori yang memfokuskan pada penuaan individu dan interaksinya dengan masyarakat serta lingkunganya; dan teori-teori kritis yang memperhatikan faktor-faktor struktural yang mempengaruhi kaum Lansia. Teori Fungsionalis, terdiri dari beberapa teori yang membangun diantaranya: 1. Teori peran, komponen utama teori ini adalah hilangnya peran dan penyesuaian diri atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan peran-peran baru dalam usia tua. Perubahan peran yang terjadi setelah pensiun, ketika peran kerja yang bebas digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang tergantung. Salah satu premisnya, wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan peran-peran usia tua, karena mereka mengalami transisi yang lebih lancar kedalam peran-peran ketergantungan pada umumnya. Teori ini cenderung melestarikan nilai- nilai kultural yang dominan, dan melukiskan suatu gambaran wanita dalam masyarakat yang strereotipe. 2. Teori aktivitas, mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan positif antara aktifitas sosial dan kepuasan hidup. Lebih jauh teori ini menjelaskan bahwa orang yang masa mudanya sangat aktif dan terus juga memelihara keaktifannya setelah dia menua. Ahli jiwa mengatakan bahwa “sense of integrity” dibangun semasa muda dan akan tetap terpelihara sampai tua. Ericson, membuat suatu ringkasan tentang fase- fase perkembangan manusia sejak bayi sampai tua, yang mana tiap fase menerangkan tentang adanya krisis-krisis untuk memilih antara ke arah mana seseorang akan berkembang. Fase terakhir disebut bahwa ada pilihan antara: “sense of integrity” dan “sense of despair” karena adanya rasa takut akan kematian. Pada masa tua terjadi krisis antara deferensiasi egonya (ego
14
differentitation) melawan preokupasi peranannya dalam bekerja (work role preoccupation). Hal ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran tentang pensiun. Juga ditambahkan bahwa pada masa ini ada krisis, seseorang itu dapat membangun suatu
hubungan-hubungan
yang
memuaskan
dengan
orang
lain
dan
mengembangkan aktivitas-aktivitas yang kreatif untuk melawan pikiran-pikiran yang terpusat kepada kemunduran-kemunduran fisiknya (Powell, 2001). Namun, teori ini menganggap bahwa individu mempunyai suatu elemen kontrol terhadap dunia sosial mereka, dan mengabaikan persoalan kemiskinan, gender, dan diskriminasi ras. 3. Teori keterlepasan, mengemukakan bahwa pengurangan interaksi sosial diharapkan oleh individu- individu Lansia, terjadi saling menarik diri antara Lansia dan non-Lansia di dalam sistem sosial. 4. Teori lingkungan sosial, memfokuskan pada pengaruh lingkungan sosial dan fisik kaum Lansia terhadap aktivitas-aktivitas sosial, pola-pola interaksi Lansia dengan tetangga dan keluarga, dan kepuasan hidup mereka yang terlihat dari persepsi dan makna yang diterapkan dalam kehidupan sehari- hari Lansia. Hal ini dikembangkan dalam suatu tipologi dengan memperhatikan lingkungan berusia sama dan lingkungan beragam usia. 5. Teori pertukaran, fokusnya adalah pada individu- individu, karena mereka berinteraksi dan berupaya mempertahankan suatu keseimbangan ketika mereka mempertukarkan
imbalan- imbalan,
hukuman
dan
persahabatan.
Norma
pertukaran ini merujuk pada bagaimana orang di sekitar Lansia membantu mereka, dan mereka juga memberikan dukungan kepada orang lain. Bagi wanita
15
Lansia, pertukaran ini seringkali dinegosiasikan dalam arti kesukarelawanan atau bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak dibayar. Teori-teori kritis dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural dalam menjelaskan fenomena penuaan populasi ini: 1. stratifikasi umur, teori ini menganalisis lapisan- lapisan sosial berdasarkan kelas, yang membagi individu- individu dan kelompok-kelompok dalam beberapa golongan sosial, yang memiliki akses yang berbeda pada imbalan, sumbersumber dan kekuasaan. 2. Ekonomi politik penuaan, bahwa perbedaan ancaman dan diskriminasi terhadap kaum Lansia, mencerminkan distribusi kekuasaan, pendapat, dan pemilikan dalam keseluruhan struktur sosial. Kebutuhan kaum Lansia menjadi prioritas yang rendah dalam suatu sistem berdasarkan kapitalisme dan pencarian keuntungan.
Kemiskinan
kaum
tua
sekarang,
merupakan
fungsi
dari
ketidakmampuan sistem kapitalis untuk mengontrol institusi- institusi politik, ekonomi, dan sosial.
2.1.3 Konsep Successful Aging Perkembangan teori-teori tersebut kemudian melahirkan bagan atau kerangka konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua yang sukses adalah "succesful aging", yang pertama kali dikemukakan oleh R. J. Havighurst pada tahun 1961. Konsep dari sukses di usia lanjut merupakan pusat dari ilmu usia lanjut (gerontologi), dan artikel oleh Havighurst muncul sebagai konsep dalam isu pertama tentang publikasi Gerontologis (Bearon, 1996).
16
Definisi konsep sukses ini sendiri menimbulkan kerancuan tidak ada definisi yang dengan baik diterima atau model tentang successful aging yang telah teruji selama ini. Havighurst (1961) mendefinisikannya sebagai "adding life to the years" dan "memperoleh kepuasan hidup". Palmore (1995) dalam ensiklopedi tentang proses penuaan, mengemukakan bahwa suatu definisi yang komprehensif tentang successful aging yang berkombinasi dengan survival (umur panjang), kesehatan (ketiadaan cacat), dan kepuasan hidup (kebahagiaan). Rowe dan Kahn (1987) mendefinisikannya dalam kaitan dengan berbagai variabel fisiologis dan psikologis (Bearon, 1996). Terdapat tiga teori gerontologi sosial yang dijadikan dasar dari munculnya konsep successful aging ini, diantaranya teori aging yang pertama, Cumming dan Henry dengan "teori keterlepasan" (1961), yang mengemukakan pada proses/rangkaian penuaan yang normal, seseorang secara berangsur-angsur menarik atau melepaskan dari peranan sosial sebagai tanggapan alami untuk mengurangi kemampuan dan mengurangi minat, dan untuk kurangnya dorongan untuk partisipasi bermasyarakat. Di dalam model ini, orang yang sukses di masa tuanya dengan sepenuh hati mengundurkan diri dari pekerjaan atau kehidupan berkeluarga dan dengan puas berada di kursi goyang, atau mengucilkan diri, aktivitas pasif yang bersiap-siap menghadapi kematian (Bearon, 1996). Teori utama aging yang kedua, dikenal sebagai "teori aktivitas", yang mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka mengambil bagian dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk (Lemon, Bengtson dan Peterson, 1972 dalam Bearon, 1996). Kini, teori-teori tersebut tidak lagi digunakan oleh gerontologis yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang terlalu membatasi dalam anjuran dari suatu gaya hidup tertentu. Riset empiris menunjukkan heterogenitas para
17
Lansia, mencakup orang-orang yang memilih kehidupan sedikit terstruktur tersusun atau tidak memperhatikan kesehatan atau berarti untuk mengejar suatu jadwal aktivitas penuh. Meskipun demikian, aktivitas secara luas diakui oleh para Lansia sendiri sebagai kunci mereka menuju sukses diusia tuanya, sehingga gerontologis sudah menggelari filosofi ini "etnis yang sibuk" (Powell, 2001). Teori ketiga tentang penuaan yang telah dipandang dengan memiliki banyak kelebihan di tahun terakhir disebut "teori kesinambungan”. Teori ini mengusulkan bahwa orang berumur paling sukses sukses adalah mereka yang memindahkan kebiasaan, pilihan, gaya hidup dan hubungan dari paruh baya hingga akhir hidup (Bearon, 1996). Kriteria sukses dalam pembinaan kelompok usia lanjut, cukup kompleks seperti indikator subyektif dan obyektif. Indikator subyektif di antaranya meliputi kepuasan batin (makna hidup). Sedang indikator obyektif berupa usia yang panjang, kesehatan mental dan produktif sosial. Itu akan bisa tercapai jika seseorang bisa melakukan kontrol personal. Konsep succesful aging sebagai perspektif yang berorientasi pada proses merupakan mekanisme dengan modal selektif, optimalisasi dan kompensasi. Hal ini, yang dimaksud selektif adalah membatasi aktivitas sehari- hari secara proaktif sesuai dengan motivasi dan kemampuan yang dimiliki. Model kedua adalah kompensasi, model ini tidak hanya mengandung adaptasi terhadap aktivitas yang selama ini dilakukan tetapi juga menciptakan aktivitas baru sesuai dengan kondisi Lansia. Agar hasilnya bisa maksimal di samping dua hal tersebut, perlu diimbangi dengan optimalisasi. Sebab dengan adanya optimalisasi secara tidak langsung memberikan
18
kesempatan pada Lansia untuk melakukan praktek dan latihan dengan menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif. Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika mereka masih kecil. Para usia lanjut mempunyai peranan yang menonjol sebagai seorang yang “dituakan”, bijak dan berpengalaman, pembuat keputusan, dan kaya pengetahuan. Mereka sering berperan sebagai model bagi generasi muda, walaupun pada kenyataannya banyak diantara mereka tidak mempunyai pendidikan formal Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai- nilai sosal budaya sehingga dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya yang dimiliki orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh para generasi penerus mereka (Yasa, 1999 dalam Suhartini, 2004).
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa Penggunaan kata kelembagaan disini mengacu pada istilah kelembagaan sosial yang berasal dari istilah social institution. Namun, Koentjaraningrat dalam Soekanto (1990) menggunakan istilah pranata sosial yang didefinisikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat, dalam menggambarkan dan menjelaskan istilah social institution tersebut. Penekanan diberikan pada sistem tata kelakuan atau norma dalam memenuhi kebutuhan. Coward dalam Cernea (1988) juga
19
menggunakan konsep pranata sosial untuk menperjelas perspektif sosiologi dalam kelembagaan irigasi, hanya saja hal ini juga dikaitkannya dengan konsep organisasi sosial. Konsep pranata ini menurutnya banyak dipakai dalam sosiologi, yang menunjuk pada perilaku ideal dan harapan peranan sebagai suatu konsep umum berbagai aturan yang menyokong pola perilaku sosial: norma, cara-cara rakyat, adat kebiasaan dan hukum. Istilah ‘Social Institution’ oleh Soemardjan (1964) diterjemahkan dengan istilah lembaga kemasyarakatan. Hal ini dengan maksud istilah lembaga, kecuali menunjuk pada suatu bentuk, juga mengandung pengertian yang abstrak tentang adanya normanorma dan peraturan-peraturan tertentu yang merupakan ciri dari lembaga itu. Kelembagaan yang dipaparkan Schmid (1977) dalam Tonny (2004), adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lain. Hak- hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya pemanfaatan sumberdaya tertentu. Ahli ekonomi memakai konsep yang sama dalam mendefinisikan lembaga sebagai suatu peraturan perilaku. Pola perilaku sosial pada setiap kelompok penduduk dan interaksi dapat disebut sebagai organisasi sosial. Organisasi sosial ini terdiri dari pola kelompok-kelompok yang kurang resmi, bertujuan, ataupun mapan seperti rapat antara badan yang berwenang dengan kelompok musyawarah masyarakat. Konsep kelembagaan sosial ini bukanlah istilah ‘lembaga’ (yang berasal dari kata institute) yang biasa digunakan dalam percakapan sehari- hari (Tonny, 2003). Umumnya, kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi, dalam banyak hal dapat merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut. Lebih lanjut Tonny
20
(2003) menjelaskan bahwa istilah lembaga biasanya merujuk pada suatu ‘badan’, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai organisasi yang memiliki beragam tujuan. Sehingga disimpulkan bahwa kelembagaan sosial merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai- nilai yang penting. Esensinya, menurut Polak (1966), kelembagaan itu memiliki tujuan yang mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Tonny, 2003). Setiap masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu yang apabila dikelompokan akan terhimpun menjadi suatu kelembagaan sosial. Berdasarkan hal tersebut, sebagai suatu batasan, dapat dikatakan kelembagaan adalah himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam masyarakat. Wujud kongkrit dari kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (Soekanto, 1990), hal ini diperkuat oleh Mc Iver dan Page dalam Soemardjan (1964) yang membandingkan istilah kelembagaan dengan istilah association--asosiasi. Sedangkan kelembagaan merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya (Bertrand, 1974 dalam Tonny, 2003). Kelembagaan sosial yang merupakan seperangkat aturan dan perilaku yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan tersebut. Koenjtaraningrat dalam Soekanto (1990) mengkategorikannya menjadi kelembagaan kekerabatan atau domestik, ekonomi, pendidikan, ilmiah, keagamaan, somatik, estetika dan rekreasi serta kelembagaan politik. Kelembagaan politik merupakan kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran yakni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian dari politik itu sendiri
21
adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan tersebut. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh anggota masyarakat, dan bukan tujuan pribadi seseorang. Politik ini juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk dalam hal ini partai politik dan kegiatan perorangan (Budiarjo, 1972). Rush dan Althoff (2003) mengemukakan bahwa perhatian sentral dari politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu; atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai- nilai tertentu; atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa esensi dari politik tergantung pada opini maupun pendapat masing- masing. Lebih lanjut Rush dan Althoff (2003) menerangkan bahwa pada banyak segi, kekuasaan merupakan titik sentral dari suatu studi politik. Hal ini kemudian menjuruskan kita pada esensi dari politik, yakni sarana-sarana dengan mana manusia memecahkan permasalahannya bersama-sama dengan manusia lain. Pada aspek ini kajian politik mencakup juga studi mengenai permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang dikembangkan manusia untuk memecahkan masalah tersebut, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi manusia untuk mengarasi permaslahan yang ada. Permasalahan tersebut menyangkut pemerintahan dalam pengertian ”aktivitas menjaga ketentraman” . Konsepsi politik merupakan istilah yang diberikan oleh pengamat terhadap tipetipe kegiatan tertentu, Adrain dalam Fadhilah (2005) kemudian mengkategorikannya kedalam beberapa pola, yaitu: pertama, politik sebagai pengajaran kepentingan umum. Kedua, politik sebagai pengoperasian negara. Ketiga, politik sebagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
22
Berdasarkan beberapa konsepsi tersebut diatas, sebagai suatu kegiatan, politik itu beraneka ragam dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari suatu individu ke individu yang lain. Sehingga, politik tidak hanya menunjuk pada suatu kebijakan tertentu melainkan pada aspek yang berkaitan dengan perumusan dan penerapan kebijakan-kebijakan yang mengikat bagi suatu masyarakat. Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa yang dikuasai (rakyat) dalam bentuk pemerintahan, pengunaan kekuasaan tersebut, orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya. Lembaga politik
kemasyarakatan
merupakan
lembaga
yang
bersangkut
paut
dengan
pengelompokkan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem kemasyarakatan (Sastroatmodjo, 1995). Coward dalam Cernea (1988) menyebutkan terdapat tiga elemen yang membentuk suatu kelembagaan dan organisasi sosial, diantaranya: 1. Aturan-aturan kunci, seperti sanksi-sanksi dan sarana-sarana lain dalam upaya pengendalian sosial 2. Peranan-peranan yang penting; Suatu sistem sosial terdiri dari anggota-anggota dengan status-status dan peranan-peranan yang kemudian membentuk suatu struktur sosial. Terdapat tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai peranan dan status yang menonjol, mereka inilah disebut pemimpin. Kepemimpinan menjadi menjadi salah satu penyusun dari elemen ini 3. kelompok-kelompok sosial yang penting Berdasarkan adat istiadat Jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (baik formal
23
maupun informal), badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa (Prijono dan Prijono, 1983).
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik Suatu sistem sosial tersusun atas dua unsur yakni kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok dalam sistem sosial. Sistem sosial oleh Soekanto (1990) diartikan sebagai suatu pola-pola perilaku yang mengatur hubungan antara individu, masyarakat, dan individu dengan masyarakatnya, dimana kedudukan dan peran memiliki arti yang penting. Kedudukan merupakan tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu, tetapi jika dipisahkan dari individu yang memilikinya maka status-status tersebut merupakan kumpulan hak dan kewajiban. Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki beberapa kedudukan
sekaligus
dan
selalu
terdapat
suatu
kedudukan
yang
menonjol/utama yang kemudian mendasari penggolongan masyarakat ke dalam kelaskelas sosial. Apabila seseorang menjalankan suatu hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dapat dikatakan ia telah menjalankan suatu peranan. Suatu peranan berasal dari pola-pola yang ada dalam sistem sosial, dan diatur oleh norma-norma yang berlaku dan terbentuk dari pola tersebut. Sehingga peran menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat serta kesempatankesempatan
yang
diberikan
oleh
masyarakat
kepadanya.
Soekanto
(1990)
menyimpulkan peranan mencakup tiga hal, yakni: 1. norma-norma yang dikaitkan dengan status sosial sehingga merupakan rangkaian aturan yang mengarahkan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. 2. konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat 3. perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
24
Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran maupun lingkungan yang memberi peran kepadanya. Pareek dalam Rohmad (1998) mengemukakan peran merupakan sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh seseorang sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial yang bersangkutan dan harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial yang bersangkutan dan harapan-harapannya sendiri dari jabatan (posisi) yang ia duduki dalam sistem sosial itu. Berdasarkan pengertian tersebut, peran dapat dibedakan menjadi tiga yakni (Berlo dan Berry dalam Rohmad, 1998): 1.
Presicription role atau peran tertentukan, yaitu harapan-harapan yang dinyatakan secara formal dan eksplisit tentang perilaku yang harus dilakukan menurut posisi tertentu.
2.
Expectation role atau peran harapan, yaitu gambaran atau kesan (images) yang ada dalam diri orang tentang perilaku yang dilakukan oleh orang dalam peran tertentu,
3.
Performances role atau sering disebut description role atau peran aktual, yaitu suatu laporan perilaku yang secara nyata dilakukan oleh orang dalam peran tertentu. Jika dikaitkan dengan suatu kegiatan pembangunan masyarakat, maka peran
harus dikaji berdasarkan pada prinsip, misi dan tugas atau pekerjaan peran tersebut. Rohmad (1998) menjelaskan peran-peran dalam suatu pembangunan masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga peran, yakni: (1) peran interpersonal; (2) peran informasional; (3) peran memutuskan. Ketiga peran tersebut saling mempengaruhi, sehingga menjadi satu-kesatuan.
25
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peran merupakan perilaku yang diharapkan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Perilaku politik ini merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum yang menyangkut persoalan politik, maka perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Sastroadmodjo, 1995). Interaksi sosial dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik ini adalah esensi dari perilaku politik tersebut. Perilaku ini berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut. perilaku ini merupakan hasil pengaruh dari beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budayanya. Terkait dengan perilaku ini, maka sikap politik merupakan suatu kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik sebagai suatu bentuk penghayatan terhadap objek tersebut (Sastroadmodjo, 1995). Munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul atau sekurangkurangnya kecenderungan untuk berperilaku. Salah satu bentuk perilaku individu yang dapat diamati (overt behavior) dalam kehidupan berpolitik adalah partisipasi politik. Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai
26
dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan7 . Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni relasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) alokasi barangbarang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Sedangkan didalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain- lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being 8 . Makna terdalam partisipasi adalah suara (voice), akses dan kontrol masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya seharihari, dengan uraian sebagai berikut 9 : Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Kedua, Akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan me nentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan 7
Definisi Partisipasi Politik dalam Ensiklopedia Digital, http//:www.wikipedia.org/partisipasi_politik/wiki.htm, diakses tanggal 19 Mei 2006 8 Suara, Akses dan Kontrol Masyarakat. LESUNG Edisi 3 Tahap II, April 2003. http://www.fppm.org/Lesung/Edisi%203%20tahun%202003/perspektif.htm. 9 Ibid.
27
tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangk ut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan dan lain- lain. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan. Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (selfcontrol) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Pola kontrol (penguasaan) yang ada dalam masyarakat juga dapat dikaji dari analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga maupun masyarakat. Analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga dilakukan untuk melihat : (a) siapa bertanggung jawab, untuk apa; (b) siapa memperoleh manfaat, apa; (c) siapa bisa dijadikan mitra untuk kegiatan program pembangunan yang menyangkut perubahan sikap dan perilaku (Sugiarti & Handayani, 2002).
28
Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan bentuknya. Sebagai suatu bentuk kegiatan maka partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan pasif. Orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluran politik, sementara partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran politik saja (Sastroatmodjo, 1995). Partisipasi aktif mencakup kegiatan mengajukan usul, menyalurkan aspirasi politik, mengajukan kritik dan saran, membayar pajak, ikut serta dalam pemilihan umum. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin. Terdapat sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang dari apa yang telah dicita-citakan. Hal ini diaktualisasikan oleh mereka dalam suatu sikap apatis. Kategori orang yang apatis ini diterjemahkan oleh Milbarth dan Goel (Sastroadmodjo, 1995) sebagai suatu sikap dimana seseorang yang menarik diri dari proses politik. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan seseorang bersikap apatis, pertama, mereka beranggapan bahwa denga n mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai politik tertentu. Alasan kedua, karena individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan sia-sia belaka serta ia tidak mungkin mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik. Argumen ketiga adalah atas pemikiran bahwa politik hanyalah memberi kepuasan sedikit dan tidak langsung, sedang hasil yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain, partisipasi politik baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Rush dan Althoff, 2003) Fachrozy (2002) menggunakan beberapa indikator untuk mengukur tingkat partisipasi politik masyarakat nelayan, diantaranya:
29
1. Keikutsertaan dalam kampanye pemilihan umum 2. Keikutsertaan dalam kegiatan pemungutan suara untuk memilih perwakilan rakyat 3. Keikutsertaan secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah 4. Ikut serta dan keanggotaan dalam organisasi atau kelompok berkepentingan 5. Frekuensi mengikuti diskusi informal mengenai masalah yang terjadi di desa 6. Frekuensi berkomunikasi dengan pihak berwenang dalam menyelesaikan permasalahan Rush dan Althoff (2003) berusaha menempatkan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam suatu hirearki partisipasi politik, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini. Dijelaskan juga bahwa partisipasi pada satu tingkatan hierarki tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi. Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apathi total
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal Kebudayaan Sunda, ya itu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata
30
kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik ); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dan sebagainya. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta’awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis 10 . Etos menurut Koentjaraningrat (1994) dalam memaknai hakekat hidup terdapat perbedaan antara masyarakat di desa dengan di kota. Masyarakat desa mempunyai kecenderungan memaknai hidup sebagai nasib yang harus diterima. Hal dapat dilihat dari ungkapan yang sering dikemukakan, seperti “setiap orang harus ingkang nrimah“ yang artinya harus dapat menerima keadaan dalam hidupnya. Ungkapan lain yang juga sering dikemukakan adalah “pasrah lan sumarah“ yang maknanya adalah menyerah dan menerima keadaan. Hal ini berbeda dengan masyarakat kota, meskipun memaknai hidup sebagai sebuah nasib yang harus diterima, akan tetapi diwajibkan untuk berusaha 10
Kahmad, Dadang. Agama Islam Dalam Perkembangan Budaya Sunda. http://www.dilibrary.net/images/topics/Islam%20dan%20Budaya.pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2007
31
memperbaiki kehidupan. Konsep berusaha untuk memperbaiki kehidupan inilah yang dikenal dengan “ikhtiar“. Mengenai hakekat karya atau etos kerja, bagi masyarakat desa yang awam (kurang terpelajar) hakekat karya atau etos kerja tidak terlalu berarti. Mereka memaknai pekerjaan sebagai sesuatu yang memang harus dilakukan jika ingin bertahan hidup. Hal ini sedikit berbeda dengan masyarakat desa yang terpelajar, bagi mereka hakekat tentang karya dan etos kerja dikaitkan dengan konsep pahala dalam agam Islam. Artinya, setiap pekerjaan yang dilakukan akan mendapatkan balasan atau hasil. Konteks tersebut juga dimiliki oleh masyarakat Jawa di kota. Hanya saja pemaknaan terhadap pahala bagi masyarakat kota dikontekskan sebagai sesuatu pencapaian yang bersifat konkrit. Bagi masyarakat priyayi, yang menjadi representasi masyarakat kota, pencapaian konkrit yang dimaksudkan adalah kedudukan dan kekuasaan, akan lambanglambang lahiriah dari kekayaan, serta hubungan dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi (Koentjaraningrat, 1994). Soetarto (1998) mengaitkan etos komunal dengan bentuk partisipasi aktif dalam politik desa yang antara lain mengajukan kritik-kritik sosial. Lebihlanjut diuraikan bahwa etos komunal merupakan sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu sifat etos yang dianut suatu kelompok sehingga etos tidak terlepas dari lingkungan dan kelompok. Ritus agama dan kepercayaan pada gilirannya akan menguatkan pemberian sangsi yang lebih tinggi, sehigga orang takut untuk berperilaku menyimpang. Dihubungkan dengan masyarakat desa di daerah Jawa Barat yang erat kaitannya dengan kehidupan komunitas tani. Scott (1983) menyatakan bahwa kebanyakan komunitas khususnya yang bersifat pra-kapitalis, kekhawatiran kekurangan pangan
32
telah menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan etika subsistensi. Etika ini menimbulkan
prinsip
safety
first
atau
dahulukan
selamat
yang
kemudian
melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris prakapitalis. Satu asumsi yang kritis dari prinsip safety first itu adalah bahwa pekerjaan rutin subsitensi memberikan hasil yang memuaskan. Berdasarkan konteks ekonomi etika subsistensi yang tak ingin mengambil resiko ini mempunyai implikasi- implikasi sosial dan politik yang sama pentingnya seperti sikap masyarakat di pedesaan Sunda yang biasa, yakni hati- hati dan skeptis.
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Kemampuan dan tingkat partisipasi seseorang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berhubungan dengan latar belakang karakteristik individu yang bersangkutan.
Madrie
kekosmopolitan,
dan
(1986)
menyatakan
kesesuaian
dengan
bahwa
tingkat
kebutuhan
pendidikan,
merupakan
faktor
umur, yang
mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan. Partisipasi merupakan bentuk dari perilaku, kegiatan berpartisipasi akan dipengaruhi oleh unsur- unsur kepribadian tertentu, misalnya sikap, minat, keterampilan, ambisi, dan juga dipengaruhi oleh suasana lingkungan. Selain itu, partisipasi juga merupakan suatu bentuk khusus didalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung jawab dalam komunitasnya. Tjondronegoro dalam Madrie (1986) mengungkapkan bahwa partisipasi akan dipengaruhi oleh needs, motivasi, struktur sosial, startifikasi sosial didalam masyarakat, dan orang akan berpartisipasi menyangkut adanya kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan serta akan meningkatkan statusnya. Purwatiningsih (2003) mengungkapkan sejumlah faktor yang mempengaruhi partisipasi politik Lansia dalam kelembagaan masyarakat diantaranya:
33
1. Faktor Sosial Ekonomi; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga. 2. Faktor Politik, yakni peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi : a. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan b. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan. Pengetahuan meliputi Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil. Pengetahuan disini merupakan informasi yang diketahui seseorang yang akan diperoleh melalui proses belajar maupun pengalaman. 3. Faktor lingkungan, adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya. Hal ini terkait dengan lokasi tempat tinggal dan sarana serta prasarana. 4. Faktor Nilai Budaya, nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
2.2 Kerangka Analisis Keberhasilan pembangunan di bidang kependudukan, pendidikan, kesehatan dan program-program yang terkait, berdampak pada menurunnya angka kelahiran dan
34
meningkatnya usia harapan hidup. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan penduduk berusia lanjut. Proses penuaan populasi ini membawa berbagai konsekuensi baik dari aspek sosial, ekonomi maupun politik. Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Penuaan dapat dianalisa menurut ilmu sosiologi sebagai tiga proses yang mempengaruhi orang-orang ketika mereka menjadi tua: biologis, psikologis, dan sosial. Penuaan biologis secara khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, kerutan, suatu kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan lemak, dan penurunan efisiensi kardiovaskuler. Tua menurut psikologis diasumsikan bahwa memori, pelajaran, kecerdasan/inteligensi, ketrampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung untuk merosot karena umur. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai- nilai, dan peran yang secara kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu. Fenomena penuaan ini menyebabkan berkembangnya bagan atau kerangka konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua yang sukses yakni "successful aging”, yang diformulasikan dari pengalaman dan penelitian negara maju. Konsep ini lalu diintegrasikan dalam suatu prinsip-prinsip PBB tahun 1991 untuk Lansia yang memberikan pengarahan yang meliputi yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat. Konsep ini berkembang menyertai perkembangan di dalam teori sosial dan aspek-aspek psikologis penuaan, sebab gagasan tentang apa yang mendasari sukses di usia lanjut secara implisit dimasukkan pada setiap teori. Salah satu teori gerontologi sosial yang dijadikan dasar dari munculnya konsep successful aging ini adalah " teori aktivitas", yang mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka
35
mengambil bagian dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk (Lemon, Bengtson& Peterson ( 1972) dalam Bearon (1996)). Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Sehingga Lansia khususnya di daerah pedesaan masih memiliki peran aktif. Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran maupun lingkungan yang memberi peran kepadanya. peran dapat dibedakan menjadi tiga yakni (Berlo dan Berry dalam Rohmad, 1998) yakni: (1) presicription role atau peran tertentukan, yaitu harapan-harapan yang dinyatakan secara formal dan eksplisit tentang perilaku yang harus dilakukan menurut posisi tertentu; (2) expectation role atau peran harapan, yaitu gambaran atau kesan (images) yang ada dalam diri orang tentang perilaku yang dilakukan oleh orang dalam peran tertentu; (3) performances role atau sering disebut description role atau peran aktual, yaitu suatu laporan perilaku yang secara nyata dilakukan oleh orang dalam peran tertentu. Perilaku politik ini merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum yang menyangkut persoalan politik, maka perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan
dengan
proses
pembuatan
dan
pelaksanaan
keputusan
politik
(Sastroadmodjo, 1995). Salah satu bentuk perilaku individu yang dapat diamati (overt behavior) dalam kehidupan berpolitik adalah partisipasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
36
keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan bentuknya. Sebagai suatu bentuk kegiatan maka partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan pasif. Orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluaran politik, sementara partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran politik saja. Pengkategorian ini bukan hanya meliputi itu saja, tetapi terdapat sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang dari apa yang telah dicita-citakan. Hal ini diaktualisasikan oleh mereka dalam suatu sikap apatis. Kemampuan dan tingkat partisipasi seseorang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berhubungan dengan latar belakang karakteristik individu yang bersangkutan
khususnya
kekosmopolitannya,
tingkat
status
sosial
pendidikan
ekonomi serta
yang
berdasarkan
dapat
dilihat
hitungan
dari
ekonomi
(pendapatan). Status sosial ekonomi ini akan menentukan sikap, minat, keterampilan, serta ambisi dipengaruhi oleh suasana lingkungan. Unsur ini tidak hanya menggambarkan psikologis seseorang tapi juga menyangkut ideologis, nilai serta budaya yang terdapat dalam masyarakat. Partisipasi merupakan bentuk dari perilaku, kegiatan berpartisipasi akan dipengaruhi oleh unsur- unsur ini. Soekanto (1990) menjelaskan bahwa masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu untuk dapat menjalankan peranan. Kelembagaan merupakan bagian dari masyarakat yang menyediakan peluang dan kesempatan untuk melaksanakan peran. Namun, seringkali didalam proses sosial, kedudukan seringkali lebih dipentingkan, sehingga terjadi hubungan-hubungan yang timpang yang kemudian
37
cenderung mementingkan suatu pihak hanya mempunyai hak saja sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban belaka. Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa yang dikuasai (rakyat) dalam bentuk pemerintahan, penggunaan kekuasaan tersebut, orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya. Berdasarkan adat istiadat jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (baik formal maupun informal), badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa (Prijono dan Prijono, 1983).
2.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diduga faktor sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan serta tingkat pengalaman berorganisasi mempengaruhi sikap, persepsi serta kepercayaan terhadap kelembagaan politik desa. 2. Diduga faktor nilai budaya yang terdiri dari persepsi, sikap, pengetahuan dan kepercayaan politik berpengaruh terhadap partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa .
2.4 Definisi Operasional Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dalam penelitian,
38
maka peneliti mengembangkan beberapa definisi operasional, diantaranya sebagai berikut: Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel serta mengaitkannya. 1. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Hal tersebut diukur dengan sejauhmana Lansia baik laki- laki maupun perempuan mendapatkan kesempatan untuk dapat terlibat dalam kegiatan dalam kelembagaan politik desa. Partisipasi politik Lansia terhadap kelembagaan politik desa dapat dibedakan menjadi: a. Partisipasi aktif atau tingkat partisipasi tinggi yakni jika skor keikutsertaan Lansia dalam kegiatan rapat desa, musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa, termasuk dalam kategori skor tinggi. b. Partisipasi pasif atau tingkat partisipasi rendah yakni jika skor keikutsertaan Lansia termasuk dalam kategori sedang dalam kegiatan rapat desa, musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa. c. Apatis yakni tingkat partisipasi dengan skor keikutsertaan dalam kegiatan rapat desa, musyawarah, serta dewan desa termasuk dalam kategori rendah. 2. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal terakhir yang telah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan klasifikasi sebagai berikut: - Tidak pernah sekolah, tidak lulus dan SD Lulus SD, digolongkan dalam kategori tingkat pendidikan rendah
39
- Tidak lulus SMP, lulus SMP, Tidak lulus SMA, lulus SMA dan digolongkan dalam kategori tingkat pendidikan sedang - Sarjana dan diploma digolongkan dalam kategori pendidikan tinggi. 3. Pendapatan adalah total pendapatan per bulan yang diperoleh baik yang berasal dari bekerja, hasil pensiun maupun yang berasal dari pemberian santunan kepada Lansia. Besar pendapatan ini digolongkan menjadi tinggi, sedang dan rendah dengan klasifikasi sebagai berikut: - Tingkat pendapatan tinggi, dengan total pendapatan per bulan kurang dari Rp 100.000 - Tingkat pendapatan sedang, dengan total pendapatan per bulan Rp 100.000-Rp 500.000 - Tingkat pendapatan tinggi, dengan total pendapatan per bulan lebih dari Rp 500.000 4. Pengalaman berorganisasi adalah keikutsertaan Lansia dalam suatu organisasi formal maupun perkumpulan informal dalam masyarakat yang dilihat berdasarkan skor yang diaktegorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi. 6. Caregiving adalah perawatan yang diberikan atau dilakukan bagi individu Lansia baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain (anak/kerabat). 7. Faktor Nilai Budaya, nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya dalam penelitian ini dilihat lewat persepsi menyangkut kriteria terhadap pemimpin dan Lansia yang masih aktif (negatif dan positif), pernyataan sikap politik (positif dan negatif), dan kepercayaan terhadap perangkat desa(percaya dan tidak percaya).
40
8. Faktor Politik, yakni peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir, meliputi : a. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan. Diukur berdasarkan keikutsertaan dalam Pemilu 2004 yang meliputi keikutsertaan, peran dalam kampanye serta keikutsertaan dalam penghitungan suara pemilu. b. Pengetahuan terhadap proses pengambilan keputusan politik, merupakan informasi yang diketahui seseorang yang akan diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman.Diukur berdasarkan keterdedahan terhadap media massa khususnya berita politik. 9. Lansia adalah setiap individu yang berusia 60 tahun ke atas. 10. Usia adalah umur dari individu lanjut usia (Lansia) yang digolongkan menjadi tiga bagian yaitu : * Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, * Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan * Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. 11. Kelembagaan politik desa adalah institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (formal), musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa.
41
Gambar 2. Kerangka pemikiran ”Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa”.
Successful Aging Ke man di ri an
Kar akteri sti k Lansi a: 1. Usi a 2. Stat us P erni kah an 3. Te mp at ti nggal 4. Caregiving
F aktor sosi al ekonomi : 5. P endi di kan 6. P engal aman B erorgani sasi 7. B esar pen dap atan
P el ayanan
Fakto r pol it ik: 1 . Kes adaran po litik
2
Peng eta hu an
3
po litik Je nis Ke lamin
F aktor ni l ai bu d aya: 1. Si kap terhad ap poli ti k 2 P ersepsi terhad ap pemi mpi n 3 Ke percayaan terhad ap ki nerja l embaga poli ti k desa
Pe me nuha n di ri
P artisi pasi B ermartab at
Kelembagaan Politik Desa: 1. Rapat formal desa, 2 Musyawarah desa, 3 Dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa
Spri tual
Keterang an: Mempengaruh i: Var iabe l kontrol: Keter libatan da lam : Mempengaruh i hubungan:
Pros es Pengambilan Keputus an Politik
42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yang berusaha mengidentifikasi keterlibatan dan peran Lansia dalam kehidupan politik di daerah pedesaan melalui metode survey. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui kondisi tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan penafsiran peneliti. Metode survey diartikan sebagai penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode ini dipilih dengan beberapa pertimbangan, diantaranya: 1. Topik kajian penelitian ini mengenai partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa, sehingga penggunaan metode ini dianggap tepat. 2. Penggunaan metode ini memungkinkan untuk mengumpulkan data dari responden dalam jumlah besar, dengan waktu yang relatif singkat. 3. Metode ini dapat digunakan untuk mengeneralisasi temuan dari sampel kepada populasi yang lebih luas. Penelitian ini dilakukan tidak hanya untuk menggambarkan karakteristik sebuah populasi, melainkan juga disusun dengan tujuan untuk memberikan penjelasan (explanatory research) mengenai hubungan antar variabel yang dihipotesiskan. Sementara itu, terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik, maka ditambahkan pula data kualitatif yang mendukung penjelasan jawaban. Adapun pengertian data kualitatif dalam hal ini adalah data
43
deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang diamati (Sitorus, 1998).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposif), yaitu di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Desa Situ Udik dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan kesesuaian dengan fokus penelitian, serta mengingat pada kedekatan lokasi penelitian dengan Kampus IPB Dramaga, kemudahan akses untuk sampai ke Desa Situ Udik, peneliti memiliki hubungan baik dengan aparat desa sehingga dapat memudahkan dalam pengumpulan data, selain itu desa ini bukan merupakan desa pemekaran sehingga memiliki kesesuaian dengan kajian penelitian. Penelitian dimulai pada tanggal 15 September sampai dengan 24 Oktober 2006. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di lapangan, sehingga studi penjajakan tidak tercakup dalam periode waktu tersebut. Pilihan waktu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan perencanaan penelitian, sehingga peneliti pada saat penelitian di lapang dapat bekerja secara optimal.
3.3. Penentuan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis yang akan diselidiki karakteristik dan ciri-cirinya. Populasi sampling dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Desa Situ Udik yang berjenis kelamin perempuan dan laki- laki serta berusia lanjut (Lansia). Berfokus pada populasi sasaran adalah Lansia yang aktif terlibat dalam kegiatan politik desa dan Lansia yang cenderung tidak terlibat dalam kegiatan politik desa. Penentuan ini terkait dengan konteks dan fokus penelitian dalam usaha untuk
44
membuat perbandingan antara Lansia ya ng memiliki peran aktif dalam kelembagaan politik desa dengan Lansia yang cenderung pasif. Kerangka sampling diperoleh dari data monografi desa serta informasi yang diperoleh dari informan. Besarnya sampel suatu penelitian bergantung pada: (1) keragaman karakteristik populasi; (2) tingkat presisi yang dikehendaki; (3) rencana analisis; (4) tenaga, waktu, dan biaya (Muljono, 2003). Sampel dalam penelitian ini diambil secara acak proposional dengan jumlah 40 orang dari laki- laki dan perempuan masyarakat Desa Situ Udik yang dilakukan dengan teknik pengambilan sampel gugus sederhana atau "Simple Cluster Sampling". Alasan pengambilan sampel dengan teknik ini karena dihadapkan kenyataan dimana kerangka sampel yang dijadikan dasar untuk pemilihan sampel tidak tersedia atau tidak lengkap. Khususnya data mengenai jumlah penduduk berusia 60 tahun keatas yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Guna mengatasi hal tersebut, maka unit-unit analisa dalam populasi digolongkan dalam suatu gugus yakni dalam suatu dusun. Desa Situ Udik terbagi atas tiga Dusun, 12 RW, dan 43 RT. Dusun 2 yang terdiri lima RW dipilih menjadi gugus sampel. Sampel ini diambil dengan pertimbangan informasi dari aparat Desa Situ Udik bahwa diperkirakan dusun tersebut memiliki penduduk yang berusia diatas 60 tahun terbanyak. Selain itu dusun tersebut memiliki jumlah RW terbanyak dibandingkan dusun lainnya, RW 09 dipilih sebagai gugus sampel karena merupakan pusat dari dusun 2 (ketua dusun dan berberapa aparat desa bertempat tinggal di RW ini). Kemudian dari RW tersebut diambil dua RT secara acak sebagai gugus sampel. Sampel dalam hal ini merupakan responden yakni pihak yang akan memberi keterangan mengenai dirinya terkait dengan topik penelitian. Individu yang akan
45
menjadi responden dalam penelitian ini dipilih dengan sengaja atau purposive. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan responden yang menjadi sasaran merupakan Lansia yang kebanyakan memiliki keterbatasan fisik. Mengatasi hal tesebut maka akan dipilih individu Lansia yang berumur 60 tahun keatas, tidak mengalami dimensia atau kepikunan, masih dapat berkomunikasi dengan baik serta tidak mengalami gangguan kesehatan lainnya. Selain itu dipilih sejumlah informan yang terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, pemimpin perempuan, kader-kader PKK dan posyandu, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat (kepala dusun, ketua tani, dan sebagainya). Hal ini dilakukan guna memberikan informasi yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan topik penelitian. Informan merupakan pihak yang akan memberi keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Informan ini kemudian akan membantu peneliti dalam memilih responden yang valid atau memberi keterangan tambahan tentang topik kajian.
3.4 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui metode survey. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian dokumen dan literatur. Kajian literatur yang peneliti lakukan berasal dari monografi desa untuk mengetahui gambaran umum di daerah penelitian, seperti keadaan lokasi (topografi) dan karakteristik masyarakatnya. Peneliti juga melakukan penelaahan pada literatur lain seperti buku teks yang berisi rujukan teori dan hasil penelitian yang berhubungan dengan fokus penelitian, artikel, jurnal, data-data statistik dari Badan Pusat Statistik
46
(BPS), dan juga internet. Kajian literatur ini kemudian akan menjadi data sekunder dalam penelitian ini. Survey dilakukan dengan melakukan wawancara dengan alat bantu berupa kuesioner yang terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup. Pengisian kuesioner ini dipandu oleh peneliti mengingat subyek penelitian merupakan berusia Lansia yang umumnya memiliki berbagai keterbatasan fisik.
3.4. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan program SPSS 12 dan program Microsoft Excel 2003 . Tabel frekuensi dan tabulasi silang digunakan untuk menyajikan deskripsi tentang karakteristik individu, tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa serta faktor- faktor yang mempengaruhinya. Uji Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan, tingkat pengalaman berorganisasi, dan tingkat pendapatan yang menjadi ciri dari karakteristik sosial ekonomi Lansia. Rumus yang digunakan untuk uji
Spearman berdasarkan buku
Statistika NonParametrik Untuk Ilmu- Ilmu Sosial oleh Sidney Siegel (1997), adalah sebagai berikut : N
rs = 1 -
6∑ d i 2 i =1 3
N −N
Keterangan : rs = koefisien korelasi Speraman di = selisih peringkat antara dua variabel yang berkorelasi n
= banyaknya pasangan data
47
Analisis uji korelasi parsial digunakan untuk menguji hubungan variabel (dua variabel) dengan variabel lain yang berpengaruh terhadap korelasi kedua variabel pokok (variabel dependen dan independen). Analisis ini dilakukan dengan melihat besar nilai korelasi. Kategori nilai korelasi menurut Young dalam Trihendrardi (2002) sebagai berikut: 0,7-1,00
:
Baik dengan tanda positif atau negatif, menunjukkan derajat hubungan yang tinggi
0,4-0,7
:
Baik dengan tanda positif maupun negatif, menunjukkan derajat hubungan yang substansial
0,2-0,4
:
Baik dengan tanda positif maupun negatif, menunjukkan derajat hubungan yang rendah
Kurang dari 0,2
:
Baik dengan tanda positif maupun negatif, menunjukkan derajat hubungan yang dapat diabaikan.
Analisis juga menggunakan uji Koefisien Kontingensi dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang keterkaitan antar variabel sosial ekonomi dan variabel nilai budaya masyarakat desa dengan memasukkan variabel jenis kelamin sebagai variabel kontrol. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana konsepsi pembagian gender mempengaruhi hubungan kedua variabel pokok. Adapun rumus untuk Koefisien Kontingensi berdasarkan kutipan dari Walsh (1999) adalah sebagai berikut: C
=
X2 X2+N
48
BAB IV KONTEKS LOKASI
4.1 Infrastruktur 4.1.1 Kondisi dan Lokasi Geografis Penelitian yang dilakukan berlokasi di RW 09 Desa Situ Udik, yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Desa Situ Udik secara keseluruhan adalah seluas tersebut 370,150 Ha. Pemanfaatan luas lahan tersebut mayoritas dipergunakan menjadi perumahan/pemukiman dan pekarangan (70 Ha) dan areal persawahan (170 Ha). Jarak dari Desa Situ Udik ke pusat pemerintahan kecamatan Cibungbulang adalah 5 km, sedangkan jarak ke pusat pemerintahan Kabupaten Bogor adalah 40 km, serta berjarak 145 km dari ibu kota Provinsi Jawa Barat. Letak desa ini berbatasan langsung dengan Desa Situ Ilir di sebelah utara, Desa Pasarean di sebelah selatan, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Cimayang, serta berbatasan dengan Desa Karacak di sebelah timur. Dilihat dari letak geografisnya, Desa Situ Udik berada pada ketinggian 460 meter diatas permukaan laut. Berada dengan topografi yang sedang, sehingga jumlah curah hujan di desa ini rata-rata 3000-4000 mm pertahun. Sedangkan suhu rata-rata sepanjang tahun di Desa Situ Udik adalah 19°C hingga 29°C. Letak topografi dan geografi ini menjadikan Desa Situ Udik sebagai daerah pertanian. Didukung pula kondisi fisik tanah yang subur dan irigasi yang berasal dari sumber mata air yang ada. Meski demikian, beberapa daerah di Desa Situ Udik kerap mengalami kekeringan, khususnya pada daerah yang lebih tinggi. Hal ini karena Desa Situ Udik terletak di kaki Gunung Salak sehingga sebagian daerah berkontur tanah berbukit dan terjal.
49
4.1.2
Struktur Pemerintahan, Sarana dan Prasarana Desa Situ Udik terdiri atas tiga Dusun, 12 Rukun Warga (RW), dan 43 Rukun
Tetangga (RT), dan dipimpin oleh seorang kepala desa yang merupakan hasil pemilihan masyarakat Desa Situ Udik bulan Maret 2003 yakni H. Miftahullukman. Menurut pembagian wilayah administrasi terkecilnya, tiap dusun terbagi menjadi tiga RW (Dusun Dua terdiri atas lima RW), dan umumnya tiap RW terdiri atas tiga sampai lima RT (Rukun Tetangga) yang umumnya dibatasi oleh jalan, sungai atau area persawahan. Tiap RT di Desa Situ Udik merupakan representasi dari satu kampung tertentu. Struktur organisasi pemerintahan Desa Situ Udik saat ini disusun dengan berlandaskan Perda nomor 29 tahun 2004. Berdasarkan peraturan tersebut terdapat dua bentuk pola dalam penyusunan suatu struktur keorganisasian pemerintahan desa, yakni pola minimal dan pola maksimal. Perbedaan dalam kedua pola tersebut adalah jumlah aparatur pada subbidang keorganisasian yang berada dalam garis instruksi kepala desa, baik unsur teknis dan unsur wilayah. Pola yang dipergunakan Desa Situ Udik dalam penyusunan struktur organisasi pemerintahan adalah pola maksimal, dengan enam orang aparat pada subbidang organisasi desa. Unsur teknis yang menjadi subbidang organisasi pemerintah desa adalah subbidang pertanian (pamong tani), perairan (ulu- ulu) serta keamanan. Unsur wilayah yang terdiri kepala dusun yang terdapat di Desa Situ Udik. Selain terdiri atas kedua unsur tersebut, kepala desa dibantu oleh sekretaris desa dan sejumlah perangkat desa, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jumlah aparat dalam perangkat desa tahun 2005/2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jabatan Kepala Urusan Kepala Dusun (Unsur wilayah) dan pelaksana Staf administrasi desa Ketua RT Ketua RW Anggota Linmas
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Jumlah 5 orang 6 orang 2 orang 43 orang 12 orang 15 orang
50
Kepala desa dalam menjalankan tugas berkoordinasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi dewan desa dalam suatu Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Anggota BPD dipilih langsung oleh masyarakat Desa Situ Udik dalam suatu pemilihan umum. Saat ini terdapat 12 orang yang menjadi anggota BPD dari 13 anggota terpilih, satu orang mengundurkan diri. Pemilihan ketua BPD didasarkan musyawarah antara tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih menjadi anggota BPD dalam pemilihan umum, kepala desa maupun beberapa elemen masyarakat dari lembaga- lembaga desa, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5. Tabel 5. Jumlah aparat dan kader dalam lembaga-lembaga Desa Situ Udik tahun 2005 No 1. 2. 3. 4.
Lembaga Anggota LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Anggota BPD TP PKK Desa Kader PKK dan Posyandu
Jumlah 18 orang 12 orang 22 orang 50 orang
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Rumah-rumah penduduk yang terdapat di Desa Situ Udik secara keseluruhan sudah berupa bangunan yang permanen. Pola pemukiman di Desa Situ Udik sebagian masih mengelompok berdasarkan kampung-kampung dengan dikelilingi oleh lahan garapan pertanian, sedangkan pemukiman yang berdekatan dengan Jalan Raya Cemplang mulai mengikuti pola memanjang dan menyebar disepanjang jalan tersebut. Fasilitas permukiman yang ada di Desa Situ Udik secara umum belum memadai.
Hal
ini karena banyak fasilitas umum maupun sosial, seperti fasilitas kepengurusan desa, sarana ibadah, kesehatan, olahraga dan fasilitas jasa lainnya tidak dimiliki atau bahkan berada dalam kondisi yang membutuhkan perbaikan. Balai Desa sebagai pusat pemerintahan desa pun belum memiliki sarana maupun prasarana yang memadai. Upaya perbaikan sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Situ Udik sudah dilakukan sejak tahun 2002 dengan dana bantuan yang berasal dari Pemerintah Daerah
51
Kabupaten Bogor maupun swadaya masyarakat. Aula desa merupakan sarana pemerintahan desa yang biasa dipergunakan untuk mengadakan rapat-rapat formal desa, sosialisasi program pembangunan, penyuluhan, maupun sebagai tempat berkumpul masyarakat Desa Situ Udik. Namun, sejak awal tahun 2006 Aula Desa tersebut kini dijadikan sebagai studio musik. Studio musik ini merupakan milik salah satu kerabat kepala desa yang sebagian pendapatannya menjadi pemasukan bagi kas desa. Fasilitas jalan yang terdapat di Desa Situ Udik hanya sebagian saja yang memiliki kondisi yang baik yakni terbuat dari aspal maupun semen dengan lebar 3-4 meter. Fasilitas inipun dibangun sebagai sarana penunjang proyek-proyek pembangunan yang pernah dicanangkan bagi Desa Situ Udik. Jalan beraspal mulai dibangun sejak tahun 1995, saat itu jalan dibangun sebagai penunjang pelaksanaan proyek kawasan usaha ternak. KPS (Kawasan Peternakan Sapi Ternak) merupakan daerah pengelolaan susu sapi perah yang mulai dicanangkan di Desa Situ Udik sejak tahun 1997. Lokasi proyek Kunak (Kawasan Usaha Ternak Sapi) ini di Gunung Sarengseng dan sekitarnya. Sehingga, sebagian jalan lain yang terdapat di Desa Situ Udik yang menghubungkan antar RT atau RW masih berupa jalan setapak ataupun jalan yang berbatu, yang sulit untuk dapat diakses dengan kendaraan bermotor. Terutama di kampung-kampung terpencil, serta daerah di Desa Situ Udik dengan kontur yang terjal. Awal tahun 1999, perbaikan fasilitas jalan mulai dilakukan baik dengan swadaya dan swadana masyarakat, maupun bantuan dari partai politik yang berkampanye saat pemilu maupun dari pemerintah. Perbaikan fasilitas jalan ini kemudian memperbesar akses masyarakat dalam bertransportasi. Motor kemudian menjadi pilihan alat transportasi bagi warga Desa Situ Udik. Hal ini mengingat fasilitas jalan yang sempit dan berkontur terjal, sehingga motor mampu menjangkau daerah-daerah terpencil di
52
Desa Situ Udik. Kini, sekitar 40 persen warga Desa Situ Udik memiliki motor, baik sebagai alat transportasi untuk kepentingan pribadi maupun umum yakni sewa ojek. Fasilitas listrik mulai masuk ke Desa Situ Udik sejak tahun 1987. Namun, saat itu hanya sebagian masyarakat saja yang dapat memanfaatkannya. Hal ini karena biaya pemasangan instalansinya yang mahal, dan baru sekitar tahun 1994 listrik mulai masuk secara merata ke kampung-kampung yang ada di Desa Situ Udik menyertai dan menyukseskan proyek KPS (Kawasan Peternakan Sapi Ternak). Membaiknya fasilitas jalan serta masuknya listrik membuka akses penduduk Desa Situ Udik untuk melakukan migrasi ke luar desa dan juga mempelancar arus masuknya teknologi. Khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan media massa. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kepemilikan pesawat televisi, telepon, radio, serta mulai tersedianya fasilitas telepon umum dan warung telekomunikasi (wartel). Tahun 2005, sekitar 973 KK memiliki pesawat televisi, 329 buah pesawat radio dimiliki oleh penduduk Desa Situ Udik, dan 116 buah pesawat telepon sudah terpasang. Saat ini pun terdapat dua warung telekomunikasi dan telepon umum yang beroperasi di Desa Situ Udik. PUSKESMAS merupakan sarana kesehatan yang banyak dimanfaatkan oleh warga Desa Situ Udik. Namun, kondisi Puskesmas pun belum memadai. Hal ini mengingat terbatasnya prasarana kesehatan yang menunjang. Tenaga dokter yang bertugas di Puskesmas Situ Udik hanya dua orang dibantu dengan delapan orang perawat dan tiga orang bidan. Sementara jumlah penduduk yang berobat sepanjang tahun 2005 sebanyak 3238 orang. Sarana maupun prasarana kesehatan lain yang terdapat di Desa Situ Udik adalah Posyandu. Saat ini terdapat 12 Posyandu yang berada di tiap RW, dan hanya terdapat dua Posbindu (Posyandu Lansia). Pelayanan Posyandu saat ini dibantu oleh 50 orang kader yang juga termasuk dalam kader PKK.
53
Sarana pendidikan di Desa Situ Udik hingga saat ini masih dalam kondisi yang belum memadai. Fasilitas pendidikan formal seperti Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah yang adapun terbatas. Saat ini terdapat dua sekolah dasar negeri, satu sekolah menengah tingkat pertama dan satu sekolah menengah tingkat atas serta empat madrasah ibtidaiyah. Fasilitas pendidikan informal lain yang menunjang di Desa Situ Udik antara lain Taman Kanak-kanak sebanyak satu sekolah, dan 15 pondok pesantren yang didirikan menyebar hampir disetiap RW. Prasarana pendidikan terutama berkaitan dengan tenaga pengajar jauh dari memadai, hal ini berdasarkan perbandingan jumlah tenaga guru dengan murid. Terdapat 25 tenaga pengajar di sekolah dasar negeri yang harus mengajar 825 murid. Begitupula dengan madrasah ibtidaiyah, hanya terdapat 41 tenaga pengajar yang harus menangani 1316 murid.
Perbandingan jumlah tenaga
pengajar dan siswa sekolah di Desa Situ Udik sampai tahun 2005-2006 ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6. Fasilitas pendidikan dan perbandingan tenaga pengajardengan murid Desa Situ Udik tahun 2005/2006 No
Fasilitas
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sekolah Dasar Negeri Madrasah Ibtidaiyah Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Pondok Pesantren Taman Kanak-kanak
Jumlah (buah) 2 4 1 1 15 1
Jumlah Tenaga Pengajar (orang) 25 41 26 23 30 45
Jumlah Murid (orang) 875 1316 546 367 1525 85
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Beberapa fasilitas umum yang terdapat di Desa Situ Udik baik yang berupa bangunan fisik, tempat usaha dan sarana ekonomi, sarana olahraga maupun sarana sosial lainnya mulai meningkat meski dalam belum dalam kondisi yang memadai. Masyarakat Desa Situ Udik harus mengaksesnya untuk beberapa fasilitas sosial ekonomi ke tingkat kecamatan atau kota Bogor.
54
4.1.3 Karakteristik Masyarakat Menurut data kependudukan yang didapat dari Data Monografi Desa Situ Udik tahun 2004, total penduduk Desa Situ Udik adalah 14.097 jiwa dengan proporsi laki- laki sejumlah 7.052 jiwa (49 persen) dan perempuan 7.418 jiwa (51 persen) atau 3.410 Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar penduduk beragama Islam dan hanya lima orang yang memeluk agama Kristen. Berdasarkan suku bangsa, mayoritas warga Desa Situ Udik berasal dari suku Sunda Dilihat dari struktur mata pencaharian, sebagian besar warga Desa Situ Udik bekerja di bidang pertanian yakni sekitar 65 persen bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani. Umumnya, masyarakat di desa ini memiliki pola nafkah ganda yakni pada sektor pertanian dan sektor non pertanian ketika migrasi ke kota. Jika dilihat berdasarkan data monografi desa hal ini tidak tergambar jelas, seperti dalam Tabel 7. Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan mata pencaharian tahun 2005
Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Peta ni
715
Buruh tani
918
Pegawai Negeri Sipil
105
TNI/Polisi
5
Pegawai Swasta
235
Wirausaha
421
Pertukangan
315
Pensiunan
65
Pemulung
7
Jasa
365
Total
3151 Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
55
Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan, sebagian besar penduduk Desa Situ Udik adalah tamatan pendidikan setingkat SD (2205 orang atau 60 persen), secara lebih terperinci jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir tahun 2005 Jumlah
Tingkat Pendidikan Terakhir
(orang)
Tamatan SD/MI
2.205
Tamatan SLP atau sederajat
750
Tamatan SLA atau sederajat
584
Tamatan Diploma
101
Tamatan Strata satu (S1)
36
Tamatan Strata dua (S2)
2 Total
3.678
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar warga adalah kelompok umur dewasa (diatas 20 tahun hingga 59 tahun, yakni sekitar 58 persen atau sebanyak 8.258 jiwa. Meski demikian hal ini dalam sepuluh tahun mendatang dengan perbaikan dalam berbagai sarana dan prasarana yang tersedia khususnya sarana kesehatan struktur penduduk Desa Situ Udik menuju struktur tua dimana terdapat kecenderungan terjadi penambahan jumlah penduduk pada kelompok umur diatas 60 tahun. Tabel 9. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan kelompok umur tahun 2005
Kelompok Umur(tahun)
Jumlah (orang)
0-4
1313
5-9
2084
56
10-14
1183
15-19
580
20-24
1025
25-29
1254
30-34
1100
35-39
1060
40-44
1031
45-49
1257
50-54
841
55-59
690
60-64
306
65-69
298
+
178
70
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Saat ini terdapat sekitar 782 orang berusia diatas 60 tahun atau sekitar 5,6 persen. Distribusi penduduk dengan usia diatas 60 tahun paling banyak yakni pada rentang umur 60-69 tahun, 604 orang atau sekitar 4,3 persen dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada di Desa Situ Udik. Data pada Tabel 9 tidak dapat memberikan gambaran yang jelas perbandingan keadaan penduduk jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin, karena tidak tersedianya data kependudukan yang memadai tentang Desa Situ Udik selain data monografi desa. Berdasarkan sebaran jumlah penduduk di atas, Desa Situ Udik seperti halnya Provinsi Jawa Barat belum dapat dikategorikan sebagai daerah dengan struktur penduduk tua. Berdasarkan data statistik dari BPS tahun 2000 proporsi penduduk Lansia di Jawa Barat mencapai 6,61 persen dan diperkirakan akan terus meningkat.
4.2 Suprastruk tur 4.2.1 Pengajian: Kelembagaan Sosial, Politik dan Keagamaan di Masyarakat
57
Masyarakat Desa Situ Udik mayoritas beragama Islam, sehingga budaya islami sangat kental dalam kehidupan sehari- hari. Pengajian bagi masyarakat Desa Situ Udik tidak hanya sebagai kelembagaan keagamaan namun juga sebagai kelembagaan sosial politik. Hal ini disebabkan hampir setiap kegiatan sosial politik di Desa Situ Udik berpusat pada kegiatan pengajian. Pengajian sebagai suatu kelembagaan keagamaan berfungsi sebagai wadah proses pengajaran nilai- nilai agama Islam. Pengajian sebagai suatu kegiatan diselenggarakan baik ditiap kampung, RW, dusun maupun tingkat desa. Namun, pembagian kegiatan pengajian ini tidak membatasi setiap warga desa yang hendak mengikutinya. Pengajian di Kamp ung Al Barokah misalnya, diikuti juga oleh warga dari Kampung Cikadondong, serta kampung disekitarnya. Pengajian di tingkat kampung diselenggarakan rutin setiap satu minggu sekali, yang terbagi menjadi pengajian Ibu- ibu maupun pengajian Bapak-bapak. Pengajian di tingkat RW, Dusun ataupun Desa diadakan untuk memperingati hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, 1 Muharram, dan sebagainya. Pengajian ibu- ibu biasanya diselenggarakan pada pagi hari, sedangkan pengajian bapak-bapak diadakan pada malam hari diakhir pekan. Pengajian remaja biasanya diadakan diakhir bulan dan pada sore atau malam hari. Pada pengajian rutin diselenggarakan dengan membaca kalimat-kalimat dzikir, sholawat Nabi Muhammad, Sholawat Nariyah, 10 surat Juzz Amma atau 10 surat pendek terakhir dalam Al-Quran, sholawat pada sahabat-sahabat Nabi Muhammad serta sholawat bagi tokoh-tokoh yang berjasa dalam syiar Islam yang digelari syeikh. Jika terdapat permintaan dari seorang warga yang ingin mendoakan kerabatnya yang telah meninggal maka akan dibacakan doa khususon disertai dengan satu kendi air yang
58
nantinya akan dipergunakan untuk siraman bagi makamnya. Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah atau tausiyah dari ustadz atau ustadzah. Biasanya tausiyah ini berisikan anjuran-anjuran dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang berlandaskan Al-Quran, Al-Hadits serta sunnah Rasul. Bahasa yang digunakan dalam penyampaian ceramah adalah bahasa sunda secara lisan, jika ustadz atau ustadzah memberikan ‘tuntunan’ maka akan dituliskan dengan menggunakan huruf arab gundul-sunda. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyampaian kepada para peserta penggajian yang sebagian besar berusia diatas 40 tahun. Penggajian pemuda hanya diselenggarakan satu bulan sekali, biasanya diakhiri dengan latihan rebana (alat musik perkusi). Pengajian sebagai fungsi sosial, memiliki pengorganisasian sederhana dalam suatu kepanitiaan pengajian. Kepanitiaan ini diketuai oleh ustadz atau ustadzah dan dibantu oleh beberapa pengurus yang bertugas sebagai pemimpin doa dan pemandu acara serta pengumpul sumbangan perelek berupa beras atau uang yang sebagian diberikan kepada ustadz atau ustadzah serta sebagian lagi disimpan untuk keperluan masyarakat seperti beras untuk tahlilan jika ada anggota masyarakat yang meninggal serta untuk keperluan pengurusan mayat (kain kafan, dan sebagainya). Selain itu setiap bulannya anggota pengajian ini mengumpulkan satu liter beras yang dikumpulkan sebagai dana anak yatim, jompo serta janda. Pengajian juga berfungsi sebagai sarana komunikasi dan informasi masyarakat Desa Situ Udik. Biasanya stelah pengajian pemimpin lokal baik kepala desa, kepala dusun, ketua RT/RW maupun ketua kampung menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan pemerintahan desa. Contoh sosialisasi program pembangunan desa
59
atau kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan seperti gotong royong, perayaan harihari besar, dan sebagainya. Pengajian merupakan satu-satunya lembaga yang dapat dengan bebas diakses oleh semua warga Desa Situ Udik yang beragama Islam. Bagi perempuan di Desa Situ Udik, pengajian merupakan satu-satunya kelembagaan yang menjadi pertemuan sekaligus perkumpulan, dimana perempuan memiliki kontrol yang besar pada kegiatan pengajian yang diperuntukkan bagi Ibu-ibu. Kelompok pengajian ini tidak berhubungan langsung dengan kelompok pengajian lain seperti pengajian bapak-bapak atau pengajian pemuda. Pengajian sebagai suatu fungsi politik, dimana proses pengambilan keputusan politik serta sebagai wadah atau tempat musyawarah untuk suatu konsensus diselenggarakan seusai pengajian rutin bapak-bapak dilaksanakan. Selain itu pengajian juga berfungsi sebagai wadah pengendalian sosial dimana aspirasi politik disalurkan. Setiap satu bulan sekali pengajian keliling ke tiap dusun dilakukan oleh BPD untuk menampung aspirasi dari masyarakat. Sehingga pengajian sebagai suatu sarana yang fungsional dan efektif untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan kelompok sosial. Namun, sejak setahun belakangan kegiatan pengajian keliling anggota BPD ditiap kampung ini tidak lagi berjalan. Berdasarkan informasi hasil wawancara dengan kepala desa, vakumnya pengajian ini sejak H. Aib sebagai tokoh alim ulama yang paling dihormati yang juga merupakan ketua BPD wafat. Kegiatan ini baru akan digalakkan setelah bulan haji (dzulhijjah) dimulai dengan pengajian di tiap dusun setiap tiga minggu sekali. Bagi penduduk Lansia, pengajian merupakan kelembagaan dimana mereka memiliki keluasaan akses serta kontrol yang besar. Keikutsertaan Lansia dalam
60
kelembagaan pengajian ini ditandai dengan munculnya Lansia baik laki- laki maupun perempuan sebagai pemimpin atau bagian dari struktur organisasi kelembagaan tersebut. Sebagian besar pengurus dari pengajian kelompok Ibu- ibu atau Bapak-bapak adalah Lansia, khususnya para ustadz maupun ustadzah yang menjadi pemimpinnya. Guru agama ditempatkan pada posisi terhormat. Khususnya kyai, yang menjadi pusat orientasi dan sosialisasi nilai- nilai sosial, religi-kultural dan politik. Kyai hampir selalu menempati status yang tinggi baik jika ditinjau dari aspek sosial maupun politik dengan dukungan status ekonomi yang ‘berada’ di masyarakat. Kepatuhan terhadap guru agama khususnya kyai ini berpengaruh dalam setiap fungsi pengambilan keputusan dalam masyarakat. Label kyai ini butuh pengakuan dari masyarakat dan pengaruhnya akan lebih besar jika label ini ditambah dengan usia tua, serta kebijaksanaan sosial dengan kedermawanan.
4.2.2 Lansia dan Kelembagaan Ekonomi Desa Mata pencaharian utama masyarakat Desa Situ Udik adalah bertani, sehingga kehidupan perekonomian berpusat pada sektor pertanian khususnya sawah. Hal ini didukung ekologi dari Desa Situ Udik yang sebagian besar merupakan lahan persawahan, sehingga sistem kelembagaan ekonomi di Desa Situ Udik adalah sistem perekonomian pertanian sawah. Sistem produksi di desa ini mengalami perubahan sejak program Bimas-Inmas dilaksanakan. Pergeseran pola-pola produksi pun terjadi, terutama dalam penggunaan pupuk buatan, obat pengendali hama, bibit unggul padi serta penggunaan alat-alat, dilihat dari pergantian pemakaian etem atau ani-ani menjadi sabit. Tekanan teknologi revolusi hijau ini kemudian berdampak pada munculnya petani gurem dan fragmentasi lahan pertanian. Kini, sebagian besar lahan pertanian tidak lagi
61
dimiliki oleh warga Desa Situ Udik, tetapi orang-orang kaya desa yang kemudian mempekerjakan penduduk sekitar sebagai buruh tani. Sistem bagi hasil pertanian kemudian mengalami pergeseran, terutama dalam sistem upah yang semula dengan menggunakan upah natura digantikan dengan upah berupa uang bagi para buruh tani. Jika petani yang masih berlahan ‘cukup luas’ beraktualisasi dengan membentuk kelompok tani, maka buruh-buruh tani tergabung dalam suatu kelompok-kelompok kerja seperti kelompok penandur dan pembabut serta panen. Kelompok ini bekerja pada pemilik-pemilik lahan yang cukup luas yang biasanya tergabung dalam kelompok tani tersebut. Kelompok penandur ini biasanya terdiri dari 5-20 orang, berusia diatas 50 tahun yang memiliki pembagian tugas sendiri. Ibu- ibu dalam kelompok ini bertugas untuk menandur, ngoyos, ngababut, memotong padi serta ngagebot/menumbuk padi. Sedangkan laki- laki bertugas untuk ngabajak, ngagaru serta mencangkul. Rata-rata upah perorang yang diterima ibu-ibu dalam kelompok ini untuk setengah hari kerja (mulai dari pukul 06.00-12.00 WIB) sebesar Rp 8.000, sedangkan upah laki- laki untuk setengah hari kerja juga sebesar Rp 12.500-Rp 15.000. Lansia di desa ini biasanya dapat mengakses kelompok ini dengan mudah serta memiliki kontrol karena anggota kelompok penand ur serta ngagaru ini adalah tetangga mereka. Kebanyakan para Lansia ini mencari nafkah hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tanpa target tertentu. Sedangkan petani yang masih berusia muda tapi tidak berlahan biasanya bekerja sebagai penggarap dan mereka umumnya melakukan migrasi ketika musim sepi dan kembali saat musim panen dan musim tanam. Saat ditinggal oleh penggarapnya, biasanya sawah diusahakan oleh istri, kerabat (saudara, tetangga, atau orang tuanya).
62
Kelembagaan ekonomi lainnya yang menunjang kebutuhan hidup penduduk Desa Situ Udik pada umumnya maupun Lansia adalah bank keliling sebagai lembaga swasta tempat simpan pinjam, koperasi simpan pinjam, pedagang keliling dan kredit barang rumah tangga serta beberapa kelompok usaha produktif seperti industri kecil rumah tangga (arkilik, pemasangan mute atau manik- manik untuk jilbab atau baju muslim).
BAB V PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA
5.1 Struktur Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan pemaparan data distribusi penduduk kelompok umur pada Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah Lansia di Desa Situ Udik hanya 5,6 persen dari keseluruhan populasi penduduk. Namun, berdasarkan pengamatan selama di Desa Situ Udik, khususnya di RW 09 justru penduduk yang berusia lanjut, anak-anak serta perempuanlah yang terbanyak. Hal ini disebabkan banyaknya penduduk berusia produktif (15-55 tahun) bermigrasi untuk bekerja di kota. Mereka hanya kembali ke desa saat musim tanam, musim panen, akhir pekan, hari-hari raya Islam (Iedul Fitri, Iedul Adha, Maulid Nabi Muhammad, dan Tahun Baru Islam 1 Muharram) dan hari besar serta hari libur nasional (peringatan kemerdekaan 17 Agustus dan tahun baru). Responden dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Situ Udik yang bertempat tinggal di Dusun 2, RW 09 dan didefinisikan lanjut us ia ditinjau dari pendekatan kronologis. Usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka, dalam hal ini responden berusia kronologis 60 tahun keatas. Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini berada pada rentang umur 60-67 tahun sebanyak 31 orang, responden berusia 70 tahun sebanyak tiga orang, berusia 75 tahun sebanyak satu orang, berusia 78 tahun sebanyak dua orang, berusia 80 tahun sebanyak dua orang dan responden dengan usia paling tua yakni 90 tahun sebanyak 90 tahun. Berdasarkan hasil kuesioner, sebanyak 34 orang atau 84 persen responden berada pada kelompok umur 60 tahun sampai 74 tahun, sebanyak lima orang atau 13 persen responden berada pada kelompok umur 75 tahun sampai 90 tahun. Jumlah
responden terkecil berada pada kelompok dengan kisaran umur di atas 90 tahun sebanyak satu orang atau tiga persen. Kecenderungan penduduk Lansia di Desa Situ Udik yang masih didominasi oleh penduduk Lansia ’muda’, disebabkan responden banyak terdistribusi pada usia 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Hal ini menjadi gambaran dampak ‘silver tsunami’ di pedesaan. Salah satu kenyataan dari usia harapan hidup penduduk Indonesia yang meningkat mencapai 65 tahun saat memasuki abad 21. Faktor penyebab lain adalah responden tidak mengetahui dengan tepat umur kronologisnya. Selain itu tidak terdapat data atau catatan kependudukan yang dapat digunakan sebagai acuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa, data umur pada catatan kependudukan desa sebagian besar merupakan umur perkiraan saja. Lebih lanjut dikemukakan oleh aparat desa, Bapak Mi, bahwa dahulu warga jarang melaporkan informasi tentang kelahiran bayi, sehingga menyulitkan pencatatan sipil. “Kalo jaman dulu mah, orang melahirkan masih di paraji (dukun beranak) dan tidak ada posyandu kayak sekarang. Orang-orang yang udah tua disini jarang yang punya akte kelahiran mah.” (Bapak Mi, 34 tahun).
Demikian juga seperti yang dikemukakan oleh seorang responden ketika ditanyakan tahun kelahirannya “Duka atuh neng tahun sabaraha, pokoknya pas PKI saya udah nikah dan punya anak satu. Lamun dikira-kira mah saya udah umur 65-an lah” (Bapak Id, 65 tahun).
Sampai kini, di Indonesia seperti halnya di banyak negara- negara berkembang lain, disamping sistem regristrasi penduduk belum dilaksanakan secara menyeluruh, data dari regristrasi penduduk (jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi) sering tidak lengkap dan kurang dapat dipercaya.
Masyarakat Desa Situ Udik memiliki anggapan bahwa usia lanjut adalah usia ‘ekstra’, seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sho (80 tahun) berikut ini (dalam terjemahan bebas): “Bila seseorang mencapai usia 80 tahun, dan ia beriman, Allah menghapuskan seluruh dosa sebelumnya dan dia dikembali ke keadaan seperti anak -anak yang suci. Artinya Allah memberi umur ekstra agar saya bisa beribadah, serta terus berguna bagi keluarga dan orang disekitar saya”.
Seseorang dianggap sebagai Lansia atau sepuh adalah mereka yang secara fisik memiliki keterbatasan seperti berkurangnya pendengaran, siwer (penglihatan yang mulai kabur), mulai sakit-sakitan. Bapak Idi (65 tahun) misalnya, meski sudah termasuk dalam usia lanjut sesuai batasan penelitian ini, namun beliau tidak merasa termasuk Lansia, seperti yang dikemukakannya berikut: “Ah masa iya saya udah Lansia, soalnya saya mah masih kuat kemana-mana. Walau rambut sudah ubanan. Lansia mah yang cuma bisa diem dirumah ajah, sok poho wae alias pikun, kos budak leutik deui (seperti anak kecil lagi)”
Fenomena yang terjadi baik di desa maupun di kota, jumlah perempuan berusia lanjut lebih banyak. Demikian juga dengan responden Lansia di Desa Situ Udik, jika ditinjau dari perbandingan jenis kelamin, jumlah penduduk Lansia perempuan yang lebih banyak dibandingkan penduduk Lansia laki- laki. Sebanyak 23 orang atau 57,5 persen responden berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 17 orang atau 42,5 persen responden adalah laki- laki. Terdapat 19 orang responden dan 15 orang responden lakilaki berusia antara 60-74 tahun. Gambaran responden jika ditinjau dari kelompok umur serta jenis kelamin ditunjukkan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006 Kelompok Umur
Jenis kelamin Laki-laki 15 (88,2%) 2 (11,8%) 0 (0%) 17 (100,0%)
60-74 tahun 75-90 tahun Di atas 90 tahun Total
Total
Perempuan 19 (82,6%) 3 (13,0%) 1 (4,3%) 23 (100,0%)
34 (85,0%) 5 (12,5%) 1 (2,5%) 40 (100,0%)
Tabel 10 juga memberikan gambaran bahwa harapan hidup responden perempuan lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Hal ini ditunjukkan terdapat satu orang responden perempuan berusia 90 tahun. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden, Ibu Neng (60 tahun) terdapat perempuan di Kampung Batu Belah berusia mencapai 108 tahun. Pola ini memang terlihat baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan, dimana persentase penduduk Lansianya cukup tinggi (di atas 6 persen) ada kecenderungan jumlah penduduk Lansia perempuan lebih tinggi daripada laki- laki (Wahyuni, 2003). Penduduk Lansia di Desa Situ Udik saat ini mencapai 5,6 persen sehingga hal ini memperkuat kecenderungan tersebut.
5.2 Tingkat Pendidikan Informasi tentang tingkat pendidikan Lansia menjadi sangat penting karena tidak saja menjadi determinan penting dari cara berfikir rasional dan sistematis seseorang tapi juga
terhadap
kesejahteraan
Lansia.
Rasionalitas
seseorang
tentunya
akan
mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Dikaitkan dengan partisipasi sebagai suatu bentuk tindakan, rasionalitas tentunya akan mempengaruhi kualitas partisipasi seseorang.
Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak lulus Sekolah Dasar, dan tamatan Sekolah Dasar (SD) ke dalam kategori tingkat pendidikan rendah. Selanjutnya tidak lulus Sekolah Menengah baik tingkat pertama (SMP) maupun tingkat atas serta tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dikategorikan dalam tingkat pendidikan rendah. Sedangkan tamatan Akademi/D1/D3, dan tamatan Perguruan Tinggi dikategorikan dalam tingkat pendidikan tinggi. Berikut ini tabel yang menunjukkan tingkat pendidikan responden. Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tidak lulus SD Lulus SD Lulus SMA Total
Jumlah (orang)
Persentase (%) 13 17 9 1 40
32,5 42,5 22,5 2,5 100,0
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan responden Lansia rendah. Secara rata-rata tiga perempat responden Lansia tidak pernah sekolah maupun tidak lulus Sekolah Dasar (SD). Bahkan terdapat 10 orang diantara para responden Lansia tersebut mengaku buta huruf, delapan orang diantaranya adalah perempuan Lansia. Masyarakat Desa Situ Udik memiliki pandangan yang berbeda tentang pendidikan tinggi, hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden berikut ini: "Orang yang memiliki pendidikan di atas S1 disini dianggap sebagai orang yang tercabut dari akar budayanya"(Ibu Neng, 60 tahun)
Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab rendahnya pendidikan responden Lansia tersebut, yakni faktor ekonomi, fasilitas (sarana dan prasarana) pendidikan, faktor sosial budaya, serta lokasi
desa. Faktor ekonomi dianggap menjadi determinan utama rendahnya pendidikan responden Lansia. Hal ini karena para Lansia ini pernah melewati masa usia sekolah dimana sistem pendidikan yang masih kental warisan zaman kolonialisasi yang membatasi kesempatan memperoleh pendidikan masyarakat pribumi, serta pasca kemerdekaan yang sarat akan konflik dan perekonomian mengalami resesi. Beberapa responden menyatakan bahwa prioritas mereka adalah apa yang mereka makan esok hari, seperti yang dikemukakan oleh Ibu Njnh (65 tahun) berikut: “Saya pengen sekali sekolah, tapi kan kalo orang kecil cuma boleh sampe kelas tiga SR. Terus, jangankan untuk sekolah, buat makan saja tidak ada. Baju aja dari gedebog pisang.”
Faktor fasilitas pendidikan yang tersedia juga menjadi faktor penyebab. Menurut keterangan yang diperoleh dari responden, dahulu di Desa Situ Udik hanya tersedia madrasah dan sekolah rakyat sebagai lembaga pendidikan yang dapat diakses. Hal ini karena letak sekolah lain yang jauh dari desa. Jarak sarana dan prasarana pendidikan yang jauh ini juga memiliki pertimbangan ekonomi, karena selain biaya pendidikan yang dinilai mahal harus ditambah dengan biaya untuk transportasi ke luar desa. Hal ini dikemukakan oleh M. Nas (61 tahun) yang merupakan satu-satunya responden Lansia yang lulus sekolah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni Pendidikan Guru Agama (PGA). “Dulu, jika ingin meneruskan sekolah, orang harus keluar desa dulu. Butuh waktu, tenaga, dan biaya yang banyak karena di Bogor cuma ada satu PGA”.
Bapak M. Nas (61 tahun) lebih jauh menjelaskan bahwa dahulu akses masyarakat untuk keluar desa sangatlah sulit, karena belum adanya fasilitas jalan. Fasilitas jalan yang ada adalah jalan setapak atau bahkan pematang sawah, sehingga untuk mencapai pasar atau sarana umum yang ada di tingkat kecamatan membutuhkan waktu hingga setengah hari perjalanan. Ibu Neng (61 tahun) juga menjelaskan jika
hendak keluar dari desa, perempuan haruslah ditemani oleh bapak, suami atau saudara lelakinya. Hal ini karena banyak hambatan selama diperjalanan. Faktor penyebab lainnya adalah faktor sosial budaya, dimana terdapat anggapan bahwa dengan bersekolah menjadikan seseorang justru menjadi miskin. Hal ini karena uang yang seharusnya untuk makan sehari- hari harus dialokasikan ke biaya pendidikan. Selain itu, mengakarnya budaya patriarki pada masyarakat membuat perempuan Lansia khususnya berpendidikan sangat rendah, ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006 Jenjang Pendidikan Tidak sekolah tidak lulus SD lulus SD lulus SMA Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 2 11 5,0% 27,5% 7 10 17,5% 25,0% 7 2 17,5% 5,0% 1 0 2,5% 0% 17 23 42,5% 57,5%
Total 13 32,5% 17 42,5% 9 22,5% 1 2,5% 40 100,0%
Gambaran rendahnya pendidikan perempuan yang diperoleh dari tabel tersebut akibat faktor sosial budaya diperkuat oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa anak perempuan pasti akan pergi ke dapur juga, stigma masyarakat bahwa sekolah menjadikan perempuan sebagai perawan tua dan tidak ada yang mau menjadikan istri jika pendidikannya terlalu tinggi. Di lain pihak, laki- laki Lansia berpendidikan rendah disebabkan juga oleh faktor sosial budaya dimana terdapat keharusan membantu kebutuhan finansial orang tua. Sekolah tidak penting bagi laki- laki karena yang paling terpenting adalah menghasilkan uang dengan segera untuk menunjang kebutuhan hidup sehari- hari keluarga.
Pendidikan non formal di pesantren menjadi pilihan masyarakat Desa Situ Udik, karena keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan formal. Sehingga meski banyak dari para Lansia buta huruf latin, namun para Lansia ini justru melek huruf arab gundul dan Al-Quran serta mampu menulis huruf arab gundul ini dengan baik. Hingga kini huruf arab gundul ini masih digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan tertulis. Namun, huruf arab gundul ini punya sedikit perbedaan, sebab ini digunakan untuk bahasa sehari-hari mereka yakni bahasa sunda. Hal ini ditunjukkan saat pengajian ibuibu di Kampung Al- Barokah, dimana panitia pengajian memberikan materi pengajian yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul. Menurut mereka ini mempermudah dalam penyampaiannya, khususnya bagi ibu- ibu berusia lanjut. Program Keaksaraan Fungsional pernah digalakkan di Desa Situ Udik. Namun program ini tidak berkelanjutan. Hal ini karena ketiadaan sarana serta prasarana, sebab kegiatan program ini dinilai tumpang tindih dengan kegiatan PKK. Sehingga yang dominan justru kegiatan PKK bukan program KF.
5.3 Tingkat Pendapatan Masa tua merupakan masa kemunduran, kemuduran fisik karena penurunan fungsi organ tub uh kemudian berdampak lanjut juga pada penurunan pendapatan seseorang. Penurunan ini selain karena penurunan produktifitas namun juga disebabkan karena penurunan motivasi seseorang dalam memperoleh hasil dari pekerjaannya. Hal ini diperkuat oleh pendapat responden Lansia di Desa Situ Udik, bahwa idealnya masa tua adalah masa menikmati hasil kerja keras semasa mereka muda. Investasi dimasa tua yang mereka nikmati tidak hanya diperoleh dari tabungan namun juga dari anak mereka. Pendapatan disini merupakan jumlah uang yang diperoleh setiap bulannya baik yang didapat individu maupun rumah tangga, karena beberapa responden merupakan
pasangan suami istri. Sumber atau asal pendapatan yang diperoleh oleh responden Lansia setiap bulannya, dapat dilihat dari Tabel 13. Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006 Asal Pendapatan
Frekuensi (orang) Laki-laki Perempuan
Uang Pensiun Dana BLT BBM Anak Bekerja Sumbangan/Santunan
1 10 5 14 2 Total
4 19 8 7 5
Persentase Total (Laki-laki+Perempuan) (%) 5,4 39,2 17,6 28,4 9,5 100,0
Tabel tersebut memberikan gambaran bahwa hampir 40 persen responden menerima dana BLT BBM sebagai sumber pendapatannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen responden Lansia tersebut berasal dari keluarga miskin. Namun, menurut keterangan ketua RT 02, Kampung Al Barokah memiliki kebijakan mengenai pembagian dana BLT BBM ini. Dana yang diperoleh setiap rumah tangga miskin dipotong RP 50.000 setiap triwulan penerimaan dana tersebut. Potongan tersebut kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mendapatkan dana BLT-BBM ini. Hal ini bertujuan untuk mencegah kecemburuan, konflik dan pemerataan bagi semua warga Kampung Al Barokah yang menghendaki mendapatkan dana tersebut. Namun, di kampung lain tidak memiliki kebijakan seperti itu maka banyak Lansia yang seharusnya mendapatkan dana tersebut tidak memperolehnya tapi justru anak atau cucunya yan memperoleh. Tabel 13 juga menunjukkan terdapat 21 orang atau 28,4 persen Lansia masih bekerja. Umumnya, Lansia ini masih bekerja di sektor pertanian, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh tani. Perempuan Lansia biasanya menjadi buruh tani untuk pekerjaan-pekerjaan seperti ngababut, nandur, ngarambet. Sedangkan panen, nyangkul dan ngagaru merupakan pekerjaan-pekerjaan dimana Lansia laki- laki menjadi
buruh tani. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya Lansia ini bekerja sebagai buruh tani, yakni: mereka tidak berlahan lagi karena proses pewarisan kepada anak-anak mereka dan fragmentasi lahan, selain itu beruh tani merupakan satu-satunya pekerjaan yang dapat diakses oleh para Lansia dan mendapatkan upah yang setara dengan buruh tani ‘muda’. Data mengenai sumber pendapatan pada tabel di atas memberikan gambaran bahwa ketiadaan jaminan sosial di hari tua yakni berupa pensiun (hanya empat responden mempunyai dana pensiun) menyebabkan para Lansia ini harus tetap bekerja baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun kebutuhan anak maupun cucu. Ibu Ali (66 tahun) misalnya, beliau masih bekerja dengan berdagang makanan keliling disekitar kampung tempatnya tinggal untuk menghidupi empat orang cucunya yang ditinggalkan orangtua yang bercerai. Bekerja dalam hal ini merupakan suatu strategi responden Lansia untuk ‘produktif’, dimana bekerja dinilai oleh para Lansia ini sebagai kegiatan untuk mengisi hari tua. Artinya bekerja merupakan suatu kegiatan sampingan yang tidak memiliki target tertentu kecuali untuk mengisi waktu luang. Tidak sedikit dari para responden masih melakukan aktivitas dalam keluarga meski dalam kontribusi yang kecil. Sehingga hasil yang dicapai dengan bekerja sendiri dianggap sebagai hasil tambahan atau minimal pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tingkat pendapatan dalam penelitian ini digolongkan dalam tiga kategori berdasarkan besarnya uang yang diterima setiap bulannya yakni tinggi, rendah dan sedang. Batasan rendah yakni dibawah Rp 100.000 ditentukan berdasarkan jumlah uang yang diterima jika Lansia hanya memperoleh pendapatan dari dana BLT BBM.
Sedangkan batasan lebih dari Rp 500.000 untuk mengkategorikan tingkat pendapatan rendah didasarkan pada besarnya nilai uang pensiun PNS. Informasi yang diperoleh dari kuesioner bahwa lebih dari 52 persen responden berpendapatan sedang dan 30 persen diantaranya berpendapatan dibawah Rp 100.000. Responden yang berpendapatan dibawah Rp100.000 ini mayoritas adalah perempuan Lansia. Tingkat pendapatan berdasarkan jenis kelamin, ditunjukkan dalam Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006 Jenis kelamin < Rp 100.000 Laki-laki Perempuan Total
3 (7,5%) 9 (22,5%) 12 30,0%
Besar Pendapatan Rp 100.000-Rp Lebih dari Rp 500.000 500.000 9 (22,5%) 5 (12,5%) 12 (30,0%) 2 (5,0%) 21 7 52,5% 17,5%
Total
17 (42,5%) 23 (57,5%) 40 100,0%
Informasi yang ditunjukkan dalam Tabel 14 membawa pada kesimpulan bahwa sebagian dari responden merupakan perempuan dari rumah tangga miskin. Sebanyak sembilan orang perempuan berpendapatan dibawah Rp 100.000 menyatakan bahwa pendapatan itupun diperoleh dari dana BLT-BBM maupun dana anak yatim dan janda yang dikumpulkan warga dalam paguyuban dan perelek. Dana yatim, jompo dan janda ini dibagikan setiap satu tahun sekali menjelang hari raya Iedul Fitri. Setiap bulannya warga masyarakat memberikan sumbangan berupa 1 liter beras atau dalam bentuk uang sebesar RP 2.500. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat desa ini memiliki suatu sistem yang dapat menunjang kesejahteraan Lansia khususnya bagi Lansia janda dan jompo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan puasa ramadhan dan bertepatan dengan diturunkannya dana BLT BBM tahap keempat serta pembagian zakat bagi orang yang membutuhkan (mustahiq).
Masa tua merupakan masa kemunduran, baik fisik maupun finansial seseorang. Data hasil kuisioner menunjukkan bahwa tidak terdapat responden di atas usia 67 tahun yang memperoleh pendapatan di atas Rp 500.000. Terdapat satu orang perempuan berusia 90 tahun, Ibu Hal, memperoleh pendapatan antara Rp 100.000-Rp 500.000, yang mana diperoleh dari pensiun suaminya. Namun, uang tersebut dipergunakan juga untuk menopang kehidupan anak serta cucunya, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut: “Uang dari pensiunan suami mah habis buat makan, sama berobat saya. Berobat juga ke Puskesmas aja. Gak mau ah ngebebanin anak.”
Hal ini juga menunjukkan bahwa masih memiliki penghasilan merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi Lansia, karena dengan demikian masih merasa dibutuhkan atau diperlukan bagi keluarganya bukan dipandang sebagai beban. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi perkembangan diri para Lansia ini, mereka akan merasa diperhatikan kehadirannya sehingga secara psikologis ini dapat memenuhi kebutuhan bereksistensi mereka dan mereka tidak merasa memperoleh perlakuan yang ‘berbeda’ yang dapat menimbulkan mereka merasa tersisih dari lingkungan sosialnya.
5.4 Status Pernikahan Status pernikahan Lansia menjadi salah satu faktor yang penting karena ini kemudian akan berhubungan dengan perawatan serta kemandirian Lansia terutama Lansia laki- laki. Menurut Waerness (Wahyuni, 2003), suatu kenyataan bahwa secara tradisional mengasuh/memberi perawatan adalah pekerjaan seorang perempuan, oleh karena itu fungsi perkawinan sebagai suatu institusi untuk mendapatkan perawatan hanya berlaku bagi Lansia laki- laki. Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh informasi bahwa lebih dari dua pertiga responden (67,5 %) masih berstatus menikah dan sisanya yakni 32,5 persen atau
sebanyak 13 orang yang berstatus janda/duda. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan Lansia di pedesaan masih berstatus menikah. Namun yang perlu dicermati adalah bagaimana proporsi Lansia yang masih menikah berdasarkan jenis kelaminnya, guna memperkuat dugaan di atas, lihat Tabel 15. Tabel 15. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pernikahan dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Status Pernikahan Menikah Janda/Duda 16 1 40,0% 2,5% 11 12 27,5% 30,0% 27 13 67,5% 32,5%
Total 17 42,5% 23 57,5% 40 100,0%
Proporsi Lansia perempuan yang tidak lagi berstatus menikah atau janda lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Hal ini ditunjukkan dari Tabel 15, hanya satu orang responden laki- laki yang berstatus duda. Ini berhubungan dengan perbedaan umur antara suami dan istri. Kebiasaan yang ada di masyarakat, umur suami lebih tua dibandingkan istrinya. Selain itu, perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Lansia laki- laki cenderung memperoleh perawatan dari istri sedangkan Lansia perempuan tidak mendapatkan ini karena kematian suami. Perempuan Lansia masih distreotipekan pada peran-peran melayani kebutuhan suami, anak-anak, cucu maupun mengurus dan mengatur keseharian rumah tangga. Sehingga yang terjadi adalah ketergantungan laki- laki terhadap perempuan sebagai sosok seorang ibu yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa laki- laki lebih tergantung dibandingkan perempuan. Perempuan meskipun berusia lanjut masih mampu merawat dirinya sendiri, yakni dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestiknya. Mak Uha (80 tahun) misalnya, masih mengerjakan pekerjaan domestik seperti mencuci, menyapu halaman, memasak
atau untuk sekedar memperoleh sedikit uang dari upah dengan menjahit kasur kapuk atau menisik manik- manik. Berbeda dengan laki- laki Lansia yang lebih dahulu kehilangan pasangannya, mereka cenderung menikah lagi agar memperoleh perawatan dari istri yang biasanya berumur lebih muda atau bahkan tidak bisa bertahan lebih lama. Bapak Nur (75 tahun) misalnya, saat ini beliau tidak lagi mampu bekerja karena keterbatasan fisiknya. Sehingga untuk menghidupi keluarganya, istri Bapak Nur yang lebih muda 20 tahun, bekerja sebagai tukang jahit, buruh tani atau kadangkala menjadi tukang pijat. Bahkan Lansia perempuan di pedesaan seperti di Desa Situ Udik kebanyakan ikut merawat cucu sementara orangtuanya bekerja di kota.
5.5 Tempat Tinggal dan Perawatan 5.5.1 Tempat Tinggal Penelitian Suhartini (2004) menunjukkan bahwa Lansia di perkotaan secara umum lebih cenderung ikut dengan anak daripada Lansia di pedesaan. Living arrangements atau tempat tinggal yang dibahas dalam penelitian ini dibagi atas tiga jenis yakni tinggal dirumah sendiri, ikut dengan anak, maupun menumpang pada sanak saudara. Tempat tinggal di panti jompo tidak termasuk, karena tidak terdapat fasilitas tersebut. Data pada Tabel 16 menujukkan bentuk pengaturan tempat tinggal bagi responden Lansia di Desa Situ Udik. Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat tinggal, Desa Situ Udik tahun 2006 Tempat Tinggal Rumah sendiri Menumpang pada anak Menumpang pada sanak saudara Total
Frekuensi (orang) 37 2 1 40
Persentase (%) 92,5 5,0 2,5 100,0
Persentase tertinggi adalah Lansia yang tinggal di rumah sendiri, lebih dari 90 persen responden tinggal di rumah sendiri. Bahkan, meski telah menikah, kebanyakan anak masih tinggal di rumah orangtuanya. Hal ini didasarkan oleh sistem pewarisan, berdasarkan adat istiadat masyarakat sunda bahwa bungsu baik laki- laki maupun perempuan selalu berhak mewarisi rumah yang sekarang ditempati orang tuanya. Sehingga dalam susunan hak waris anak bungsu selalu mendapat rumah, tetapi untuk anak sulung sesuai aturan islam yang ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar anak tetap menjalankan fungsi keluarganya dalam memberikan perawatan terhadap orang tua yang telah Lansia (care of age). Tabel 16 menunjukkan terdapat dua orang responden yang bertempat tinggal di rumah anak atau cucu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Nurj (65 tahun), yang menjadi alasannya adalah karena beliau sudah berstatus janda, tidak lagi bekerja, tidak memiliki rumah lagi karena sudah dijual. Berdasarkan hasil kuesioner juga diperoleh data terdapat 10 orang responden yang sudah berstatus janda atau duda namun masih tinggal dirumahnya sendiri. Hal disebabkan beberapa responden masih mengurus anak atau cucu maupun cicitnya, hal ini menunjukkan bahwa tinggal bersama cucu atau cicit dan merupakan salah satu bentuk perawatan yang diberikan.
5. 5.2 Caregiving (Perawatan) Perawatan memiliki keterkaitan dengan tempat tinggal Lansia, hal ini kemudian menunjukan kemandirian dari Lansia. Kemandirian kemudian berkaitan juga dengan kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kelembagaan politik desa. Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah tidak dapat mengurus
dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika mereka masih kecil. Data dari kuesioner diperoleh gambaran bahwa kebanyakan Lansia (80 persen) masih mandiri. Hanya tiga orang yang dirawat oleh anaknya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, pertama anak dari para Lansia yang menurut adat seharusnya merawat orang tuanya melakukan migrasi baik sirkuler maupun migrasi permanen. Kedua, ditunjukkan dari Tabel 15 bahwa lebih dari dua per tiga responden masih berstatus menikah sehingga perawatan masih diberikan oleh pasangannya. Gambaran caregiving yang diberikan jika dikaitkan dengan status pernikahan responden dapat dilihat di Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan caregiving dan status pernikahan, Desa Situ Udik tahun 2006 Caregiving Mandiri/Istri atau suami Sanak saudara Anak Total
Status Pernikahan Menikah 26 (65,0%) 0 (0%) 1 (2,5%) 27 67,5%
Janda/Duda 6 (15,0%) 5 (12,5%) 2 (5,0%) 13 32,5%
Total 32 (80,0%) 5 (12,5%) 3 (7,5%) 40 100,0%
Tabel 17 memberikan juga memberikan gambaran bahwa perawatan bagi responden Lansia masih diberikan oleh pasangan baik oleh suami atau istri (65 persen). Perawatan oleh kerabat atau sanak saudara lebih banyak dilakukan bagi responden yang memiliki status pernikahan janda atau duda dibandingkan dengan perawatan yang diberikan oleh anak. Hal ini dikarenakan mayoritas responden Lansia ini masih bertempat tinggal di rumah sendiri, meski demikian anak mereka umumnya bertempat tinggal tidak terlalu jauh. Bapak Lam (61 tahun) misalnya, ketiga anaknya yang telah menikah masih bertempat tinggal di kampung yang sama, sehingga ini merupakan salah satu bentuk perawatan bagi Lansia.
5.6 Pengalaman Berorganisasi 5.6.1 Keikutsertaan dalam Organisasi Formal atau Perkumpulan Masyarakat Pengalaman berorganisasi merupakan faktor penting dari karakteristik sosial ekonomi Lansia yang kemudian dapat dilihat bagaimana keterhubungannya dengan partisipasi dalam kelembagaan politik. Pengalaman berorganisasi dalam penelitian ini diukur berdasarkan keikutsertaan responden dalam organisasi/perkumpulan, jabatan atau posisi maupun peran yang pernah ditampilkan dalam organisasi yang pernah diikuti tersebut serta lama keikutsertaan dalam organisasi/ perkumpulan. Berdasarkan data yang diperoleh hasil dari kuesioner mayoritas responden pernah mengikuti perkumpulan maupun organisasi kemasyarakatan baik yang terdapat di Desa Situ Udik maupun diluar desa. Keikutsertaan responden dalam organisasi maupun perkumpulan bahwa hampir seluruh responden memiliki pengalaman ikutserta dalam organisasi, perkumpulan maupun kegiatan kemasyarakatan. Hanya terdapat lima orang (13 persen) saja yang tidak pernah memiliki keikutsertaan dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat. Beberapa responden yang tidak memiliki pengalaman ini menyatakan bahwa semasa muda mereka disibukkan untuk mencari uang, sedangkan ketika tua mereka jarang memiliki kesempatan. Hal ini disebabkan sebagian dari mereka masih bekerja. Terlebih lagi responden perempuan Lansia yang tidak pernah tergabung mereka menyatakan bahwa ketika muda mereka harus mengurus anak serta rumah tangga. Ketika mereka beranjak tua, mereka harus mengurus cucu. Hal yang kemudian harus dicermati adalah jenis-jenis organisasi apa saja yang dapat diakses untuk kemudian dapat dilihat kecenderungan terhadap partisipasi politk serta pembagian ruang serta peran bagi individu dalam masyarakat. Jenis-jenis
organisasi yang pernah diikuti oleh Lansia di Desa Situ Udik pada Tabel 18 menunjukkan pengembangan hubungan sosial dalam masyarakat. Tabel 18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis organisasi yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006 Jenis Organisasi Partai Politik Koperasi Organisasi Kepemudaan Organisasi Perempuan Sosial/Yayasan Pertanian
Frekuensi (orang) 4 5 6 3 2 1
Persentase (%) 19,0 23,8 28,6 14,3 9,5 4,8
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa organisasi kepemudaan serta koperasi yang banyak diikuti. Terdapat tiga orang responden yang pernah mengikuti organisasi perempuan, antara lain PKK dan IWAPI. Namun berdasarkan hasil kuesioner hanya 10 responden yang menyatakan memiliki pengalaman dalam organisasi. Hal ini disebabkan jika mereka ingin tergabung dalam suatu organisasi formal mereka harus berafiliasi dengan orang luar desa, minimal tingkat kecamatan. Kebijakan orba yang tidak memperbolehkan organisasi ada di tingkat desa menyebabkan sedikitnya responden Lansia yang pernah mengikuti organisasi formal. Di antara kesepuluh responden yang mengikuti organisasi formal tersebut adalah mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi dalam masyarakat. Sisanya lebih banyak memiliki keikutsertaan dalam perkumpulan, kelompok maupun kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 19. Lebih dari 55 persen Lansia masih tergabung dalam kegiatan pengajian serta lebih dari sepertiga responden masih aktif dalam kegiatan perairan atau yang disebut dengan ulu- ulu.
Tabel 19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis perkumpulan yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006 Jenis Perkumpulan Pengajian Kelompok Tani Ulu-ulu Paguyuban (Kematian, anak yatim, perelek)
Jumlah (orang) 33 6 18 2 Total
Persentase (%) 55,9 10,2 30,5 3,4 100,0
Tabel 19 memberikan informasi bahwa Lansia memiliki akses yang lebih tinggi terhadap perkumpulan yang lebih bersifat informal dibandingkan organisasi formal. Ditunjukkan bahwa hampir seluruh Lansia ini ikut serta dalam pengajian. Meski terdapat dua kelompok tani di RW 09, namun responden menyatakan terbatasnya akses ke kelompok tani (Bapak Lam (61 tahun), Bapak Han (62 tahun). Hal ini karena sebagian besar petani yang ada di Desa Situ Udik adalah buruh tani atau petani penggarap. Biasanya yang dapat mengikuti kelompok tersebut adalah petani pemilik lahan atau petani penggarap dari pemilik lahannya atau bahkan buruh tani tetapi memiliki ikatan kekerabatan atau hubungan tetangga yang erat dengan ketua kelompok tani.
5.6.2 Peran dalam Organisasi atau Perkumpulan Masyarakat Peran yang ditampilkan akan menunjukkan kualitas dari partisipasi Lansia dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat. Sayogjo seperti yang dikutip oleh Farida (2005) sebagai dasar teorinya untuk mengungkapkan keikutsertaan perempuan dalam organisasi yakni bahwa lembaga yang memungkinkan peran serta perempuan maupun pedesaan sunda, baik dalam pengambilan keputusan pada tahap perencanaan dan pelaksanaannya adalah kelembagaan pengajian, arisan, paguyuban, perelek yang umumnya berkembang di tingkat RT atau RK (Rukun Kampung).
Hasil penelitian di Desa Situ Udik ini juga menemukan kecenderungan yang serupa dengan hal tersebut, dimana Lansia memiliki peranan penting dalam perkumpulan maupun lembaga informal masyarakat khususnya pengajian. Hal ini karena mereka dihormati dan dianggap memiliki pengetahuan akan agama Islam lebih baik. Contohnya, dalam terdapat kegiatan pengajian rema ja dan anak-anak, juga dikelola oleh seorang ustadz atau ustadzah Lansia sebagai guru mengaji, penitia penyelenggara pengajian. Panitia penyelenggara pengajian biasanya juga merupakan orang-orang yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti paguyuban dana kematian, dana anak yatim, serta perelek yang umumnya berkembang di tingkat RT atau RK (Rukun Kampung). Penempatan Lansia pada posisi ini sekaligus menunjukkan bahwa Lansia memiliki peran dalam sosialisasi baik di tingkat keluarga maupun komunitasnya. Hal ini diperjelas dengan Tabel 20. Tabel 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi/jabatan dalam organisasi/perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006 Posisi/Jabatan Ketua/Pemimpin/Kepala/Ustadz Pengurus/Panitia Anggota
Frekuensi (orang) 7 5 34
Persentase (%) 15,2 10,9 73,9
Tabel 20 menunjukkan sebagian besar hanya menempati posisi sebagai anggota saja. Menurut mereka, jika harus menempati posisi sebagai ketua atau pemimpin dalam organisasi maupun perkumpulan di masyarakat menuntut alokasi waktu yang lebih besar, tenaga serta harus ‘rela berkorban’ materi. Hal ini juga dikemukakan oleh salah seorang responden yang aktif dalam organisasi serta kegiatan kemasyarakatan Ibu Neng (61 tahun): “Kalo mau ikutan jadi kader, atau panitia pengajian, ngurus perelek mah harus banyak berkorban. Makanya jarang yang mau, mana gak dibayar. Dibayarpun juga uangnya gak gede-gede amat.”
Lansia, khususnya laki- laki lebih akses di perkumpulan informal masyarakat karena mereka saat muda tidak atau jarang berada di desa dan bermigrasi untuk mencari pekerjaan di kota. Kalaupun ikutserta dalam perkumpulan mereka jarang menghadiri. Saat usia mereka mencapai usia 50 tahun mereka baru aktif dalam kegiatan kemasyarakatan karena mereka memiliki banyak waktu luang. Hal ini diperlihatkan dari lamanya mereka tergabung dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat (Tabel 21). Tabel 21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama keikutsertaan dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006 Lama Tergabung dalam Organisasi/Perkumpulan Tidak pernah ikut 1-5 tahun 5-10 tahun Lebih dari 10 tahun
Jumlah (orang) 5 0 7 28 40
Total
Persentase (%) 2,6 0 17,5 70,0 100,0
Tabel 21 menunjukkan bahwa kebanyakan Lansia di Desa Situ Udik tergabung dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun. Hal ini ditunjukkan dari data bahwa 70 persen responden Lansia tergabung dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat lebih dari 10 tahun. Selain ketersediaan waktu luang, menampilkan peran dalam perkumpulan masyarakat di usia tua disini dapat merepresentasikan kepada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan psikologis dalam kapasitas yang lebih besar. Memiliki peran dalam organisasi maka secara psikologis akan dapat memenuhi kebutuhan psikologis yang semakin besar pula, misal kebutuhan untuk bereksistensi, berkomunikasi dan beraktualisasi Berdasarkan
data
tentang
keikutsertaan
responden
Lansia
yang
telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan tingkat pengalaman berorganisasi responden Lansia, bahwa mayoritas (70 persen) responden memiliki tingkat pengalaman organisasi yang sedang artinya mereka tergabung atau ikutserta dalam organisasi maupun
perkumpulan dalam masyarakat, namun berperan hanya sebagai anggota saja, atau mereka ikutserta dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat, berperan sebagai pengurus atau panitia namun lama keikutsertaan mereka antara 5-10 tahun. Terdapat 12,5 persen responden yang memiliki tingkat pengalaman organisasi yang rendah artinya mereka tidak pernah tergabung sama sekali dalam organisasi maupu perkumpulan di masyarakat. Responden Lansia yang memiliki tingkat pengalaman organisasi yang tinggi artinya mereka ikutserta dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat, berperan sebagai pemimpin maupun pengurus atau panitia serta mereka tergabung dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun. Jika pengalaman berorganisasi dilihat berdasarkan perbedaan jenis kelamin akan dapat menunjukkan bagaimana pembagian peran dalam suatu masyarakat. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa meski berusia ‘sepuh’ dan dianggap memiliki waktu yang lebih banyak untuk tampil dalam perkumpulan namun perempuan memiliki tingkat pengalaman berorganisasi yang minim, seperti yang terlihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah responden berdasarkan tingkat pengalaman berorganisasi dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Tingkat Pengalaman Beroganisasi Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 0 5 10 17 7 1 17 23
Total 5 27 8 40
Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa hanya satu orang saja yang memiliki tingkat pengalaman berorganisasi yang tinggi dan mayoritas responden memiliki tingkat pengalaman berorganisasi yang sedang. Artinya, meski mereka punya akses dalam perkumpulan maupun organisasi namun mereka tidak memiliki kontrol didalamnya. Hal ini disebabkan keikutsertaan responden perempuan dalam kelembagaan tersebut hanya
sebagai anggota atau peserta saja. Kepemimpinan perempuan sebagai tanda bentuk peran aktif perempuan hanya terdapat pada organisasi atau perkumpulan perempuan saja seperti perkumpulan pengajian ibu- ibu atau PKK, sehingga perempuan Lansia di Desa Situ Udik memiliki partisipasi yang pasif dalam bidang publik baik formal maupun informal.
BAB VI PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK
6.1 Lansia dan Politik 6.1.1 Tingkat Partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004 Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan suatu ‘hajatan’ besar bagi rakyat Indonesia dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Terlebih lagi dalam Pemilu 2004, dimana diakui membuka banyak peluang partisipasi politik masyarakat. Semakin besar peluang partisipasi politik masyarakat, akan memberi ruang kepada masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya. Tidak saja menyuarakan tetapi masyarakat juga dapat mengontrol legislatif baik tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten untuk selalu berpihak kepada kepentingan masyarakat karena dengan Pemilu legislatif rakyatlah yang memberi mandat langsung kepada calon-calon yang akan duduk di DPR, DPRD tingkat I maupun DPRD tingkat II. Bagi masyarakat Desa Situ Udik, Pemilu merupakan momen penting dalam kehidupan berpolitik. Bahkan warga yang melakukan migrasi untuk bekerja di kota menyempatkan diri ‘mudik’ ke Desa Situ Udik agar dapat memberikan suaranya untuk memilih anggota legislatif yang dinilai mampu menyuarakan aspirasi politiknya. Bagi Lansia di Desa Situ Udik, mengikuti Pemilu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Ahd TOP (63 tahun): “Ikut Pemilu itu juga ibadah neng. Sabab miluan Pemilu aya pautanana jeung manusa disakitaran. Jadi ikut Pemilu mah wajib hukumnya”
Informasi yang diperoleh dari hasil kuesioner menunjukkan bahwa 100 persen responden Lansia mengikuti Pemliu 2004. Partai politik pemenang Pemilu legislatif tahun 2004 di lokasi yang menjadi sampel penelitian, RW 09, adalah Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), diikuti dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, dan Golongan Karya (Golkar). Hal yang menarik berdasarkan hasil wawancara, responden Lans ia ini tidak mengetahui dengan pasti apa nama partai yang menjadi pilihan mereka. Mereka mengidentifikasi partai yang dipilih berdasarkan warna, asosiasi pada tokoh pentingnya serta gambar atau lambang dari partainya. Seperti saat ditanyakan partai apa yang dipilih sebagian besar responden tidak dapat menyebutkan nama partai, yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut: Cau (pisang) emas
: PKS
Centong tibalik (panci terbalik)
: Golongan Karya
Ka’bah
: PPP
Megawati
: PDI-P
Gusdur/NU
: PKB
Bulan Bintang
: PBB
SBY
: Partai Demokrat Menurut responden Lansia terlalu sulit untuk menghapalkan nama partai,
mengingat keterbatasan fisik, memori, serta terdapat Lansia yang buta huruf. Selain itu juga mereka lebih memperhatikan gambar serta nama partai dibandingkan siapa yang mereka pilih sebagai wakil dalam lembaga legislatif. Beberapa responden juga menyatakan tidak begitu mengerti dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 2004. Hal menjadi pertimbangan para responden ini dalam memilih partai politik dalam Pemilu 2004 adalah seberapa besar kontribusi partai tersebut khususnya dalam pembangunan infrastruktur dan memberikan perubahan kesejahteraan bagi masyarakat Desa Situ Udik. Hal ini terlihat dalam partai politik yang dipilih oleh responden pada Pemilu 2004, yang ditunjukkan dalam Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan partai politik yang dipilih pada Pemilu 2004, Desa Situ Udik Partai
Jumlah
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Golongan Karya (Golkar) PPP (Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Demokrat Partai Bulan Bintang Lainnya Total
Persentase 18 2 6 1 1 7 4 1 40
45,0 5,0 15,0 2,5 2,5 17,5 10,0 2,5 100,0
Hal yang perlu dicermati dari Tabel 23 adalah lima dari delapan partai yang disebutkan responden sebagai partai yang dipilih dalam Pemilu 2004 adalah partai yang memiliki landasan agama Islam. Hanya Partai Demokrat yang cukup banyak dipilih (17,5 persen) yang tidak berlandaskan agama Islam. Hal ini secara umum, membawa kesimpulan bahwa sosial budaya mempengaruhi partisipasi responden dalam Pemilu legislatif tahun 2004. Tingkat partisipasi dalam Pemilu 2004 dalam penelitian ini tidak hanya diukur berdasarkan kuantitasnya saja tapi juga kualitasnya, yakni keikutsertaan dan peranan dalam kampanye, peran dalam partai politik, serta kehadiran dalam penghitungan suara. Tingkat partisipasi dalam Pemilu 2004 menjadi faktor penting yang memiliki keterhubungan dengan partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini karena menyangkut pengetahuan serta kesadaran politik seseorang dapat dilihat dari partisipasinya dalam Pemilu. Kampanye merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan menjelang Pemilu 2004. Bentuk dari kampanye yang diukur disini adalah berbagai bentuk kampanye aktif mulai dari pawai keliling, debat terbuka lewat media massa, maupun kampanye pada suatu tempat. Berdasarkan informasi dari hasil kuesioner diketahui
bahwa jumlah responden yang mengikuti kampanye sebanyak 19 orang (47,5 persen), dan hanya 21 orang saja yang menyatakan tidak pernah mengikuti kampanye politik selama Pemilu 2004. Hasil wawancara yang dilakukan dengan responden yang merupakan juru kampanye salah satu partai politik menyebutkan bahwa keikutsertaan warga dalam kampanye pada dasarnya bukan sebagai bentuk aktif dalam mengikuti rangkaian kegiatan Pemilu, namun lebih kepada mobilisasi saja. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Ud (65 tahun): “Saya udah lama jadi kader dan kalo kampanye saya jadi juru kampanye partai. Biasanya, warga disini mau ikutan kampanye (pawai) kalo dikasih dulu baik berupa barang (atribut partai: topi, kaos, payung) ataupun uang.”
Terkait dengan hal tersebut Tabel 24 menjadi fakta dari jumlah responden berdasarkan peranan yang ditampilkan dalam kegiatan kampanye Pemilu 2004. Tabel 24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan yang ditampilkan dalam kampanye Pemilu 2004, Desa Situ Udik Peranan Hanya ikut pawai keliling (jadi peserta saja) Juru Kampanye Tidak ikut pawai keliling tapi ikut kumpul di kantor desa Total
Jumlah 16 2 1 19
Persentase 84,21 10,52 5,26 100
Tabel 24 memberi gambaran dan memperkuat pernyataan Bapak Ud (65 tahun) tentang peranan yang ditampilkan responden dalam keikutsertaannya pada kampanye Pemilu tahun 2004. Hampir seluruh responden (84 persen) hanya mengikuti pawai keliling dalam rangkaian kampanye. Biasanya dalam rangkaian kegiatan pawai keliling tersebut mereka berkumpul di lapangan dekat dengan pusat-pusat pemerintahan desa, kecamatan atau kabupaten untuk mengikuti orasi dari juru kampanye. Namun, hiburan berupa orkes dangdut merupakan faktor yang menarik mereka mau ikutserta dalam pawai keliling.
Keikutsertaan dalam Pemilu terkait juga dengan peranan yang ditampilkan dalam suatu partai politik. Hal ini akan menentukan derajat keaktifan seseorang dalam Pemilu. Keaktifan responden Lansia dalam partai politik ditunjukkan dalam Tabel 25. Tabel 25. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam partai politik, Desa Situ Udik tahun 2006 Peranan Simpatisan Kader Pengurus Total
Jumlah 37 3 0 40
Persentase 92,5 7,5 0 100
Terlihat bahwa hanya tiga orang responden yang menjadi kader dalam partai politik sedangkan pada Tabel 24 hanya dua orang saja yang menjadi juru kampanye. Responden yang menjadi kader namun tidak menjadi juru kampanye menyatakan bahwa saat itu ia tidak bersedia untuk ikut serta menjadi juru kampanye secara langsung dan hanya membantu anaknya menjadi juru kampanye suatu partai politik (Bapak Lam, 61 tahun). Namun beliau me nyatakan ia menjadi panitia penyelenggara Pemilu di Kampung Al Barokah, karena beliau merupakan ketua RW dan ketua RK. Hal ini dilakukan agar Pemilu tetap berjalan sesuai asasnya luber (langsung, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur, adil). Peran para Lansia ini sebagai juru kampanye formal tergantikan dengan yag lebih muda. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Bapak Lam (61 tahun) dan Bapak Nas (61 tahun), para sesepuh memiliki peran dalam menggerakkan pilihan terhadap partai politik tertentu. Jumlah responden berdasarkan keikutsertaannya dalam penghitungan suara, ditunjukkan dalam Tabel 26.
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu legislatif 2004, Desa Situ Udik Keikutsertaan Ikut Tidak ikut Total
Jumlah
Persentase 18 22 40
45,0 55,0 100,0
Tabel 26 memperlihatkan sebagian besar (55 persen) responden menyatakan tidak mengikuti proses penghitungan suara yang masuk di TPS (Tempat Pemungutan Suara) masing- masing. Menurut mereka yang tidak mengikuti proses penghitungan suara menjadi tidak terlalu penting. Hal ini karena sudah bisa dipastikan transparansinya, sebagian juga menyatakan tidak punya waktu untuk ikut dalam penghitungan suara karena harus kembali bekerja di sawah sedangkan proses penghitungan suara membutuhkan waktu yang lama. Mengingat yang dihitung tidak hanya suara untuk partai tetapi juga suara untuk calon anggota legislatif dari tingkat nasional hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten. Informasi tentang keikutsertaan dalam kampanye, peranan dalam partai serta keikutsertaan dalam proses penghitungan suara yang telah dikemukakan sebelumnya, sehingga dapat diidentifikasi tingkat partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004. Tingkat partisipasi dikategorikan menjadi rendah dengan memberikan skor 2, kategori sedang dengan memberikan skor 4-9, dan tinggi dengan memberikan skor 10-15. Tabel 27 merangkum gambaran tentang tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004. Tabel 27. Tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004, Desa Situ Udik Tingkat Partisipasi Pemilu 2004 Sedang (skor: 4-9) Tinggi (skor: 10-15) Total
Jumlah
Persentase 37 3 40
92,5 7,5 100,0
Tabel 27 memberikan informasi bahwa hampir seluruh (92,5 persen) responden memiliki tingkat partisipasi yang sedang. Tingkat partisipasi sedang disini berarti bahwa
para responden Lansia tidak hanya memberikan suara dalam Pemilu 2004 tetapi juga ikut terlibat aktif dalam rangkaian kegiatannya seperti kampanye politik (pawai keliling) serta penghitungan suara. Tabel 27 juga menunjukkan terdapat responden yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam Pemilu 2004 meski hanya 3 orang. Secara umum dapat disimpulkan bahwa responden Lansia di Desa Situ Udik masih tetap berpartisipasi aktif dalam Pemilu 2004.
6.1.2 Tingkat Keterdedahan terhadap Media Massa Keterdedahan terhadap media massa merupakan komponen penting yang kemudian dapat mendorong partisipasi politik seseorang. Lerner membuktikannya dengan penelitiannya pada masyarakat Turki11 . Disini ia mengungkapkan bahwa akses terhadap media massa merupakan salah satu rekomendasi yang diajukan untuk melepaskan masyarakat Turki dari keterbelakangan dan ketradisionalan yang dianggap membelenggu. Tingkat keterdedahan atau akses terhadap media massa dalam penelitian ini diukur berdasarkan kepemilikan akan media massa (televisi, radio, media cetak) serta mengikuti perkembangan berita politik di media massa. Pada bab konteks lokasi telah dikemukakan bahwa kepemilikan sarana media massa masyarakat Desa Situ Udik khususnya televisi termasuk tinggi. Hal ini diperkuat dari informasi pada Tabel 28. Tabel 28. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006 Akses dan Kepemilikan terhadap Media Massa Televisi Membeli secara eceran Koran Tidak punya Total 11
Jumlah
Persentase 31 1 8 40
77,5 2,5 20 100,0
Daniel Lerner. 1958. The Passing of Tradition Society dalam Kumpulan Bahan Bacaan Praktikum Mata Kuliah Perubahan Sosial Tahun Ajaran 2006/2007. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Tabel 28 memberikan gambaran bahwa hampir seluruh responden (77,5 persen) akses terhadap televisi. Seperti yang telah dikemukakan pada bab konteks lokasi bahwa peningkatan kepemilikan televisi mulai meningkat sejak masuknya listrik ke Desa Situ Udik, yakni sekitar tahun 1988 dan 1994. Pada tahun 1994, listrik mulai masuk secara merata ke seluruh pelosok Desa Situ Udik. Radio sudah jarang diakses masyarakat Desa Situ Udik., semenjak masuknya televisi. Namun, menurut salah satu responden, Ibu Neng (60 tahun) bukan hanya hal tersebut yang menjadi sebab radio tidak lagi diakses. Menurutnya, acara radio sekarang tidak lagi seperti acara radio ’zaman dulu’. Saat ini, acara radio hanya berisikan iklan, kirim-kirim salam serta musik-musik dangdut. Sedangkan acara-acara di radio ’zaman dulu’ lebih bervariasi seperti drama seri, penyuluhan, berita. Sebelum listrik masuk radio tidak hanya sebagai media infromasi bagi warga Desa Situ Udik tetapi juga media hiburan serta kelembagaan informasi. Ibu Neng mengemukakan bahwa dulu ’para sepuh’ sering berkumpul bersama untuk mendengarkan radio. Sehingga mendengarkan radio merupakan kebiasaan ’khas’ para sesepuh di kampung tersebut. Kebiasaan berkumpul bersama mendengarkan radio maupun menonton televisi secara bersama luntur sejak masuknya listrik. Hal ini dikemukakan oleh Ibu Neng (60 tahun): ”Sebelum ada TV, pada ngumpul didepan rumah sini buat dengerin radio bareng-bareng. Pas masuk TV item putih, yang punya TV kan Cuma disini jadi pada miluan nonton disini. Pada ngumpulnya sore, abis ashar. Apalagi kalo bulan puasa sambil ngabuburit.”
Saat ini, televisi lebih dimanfaatkan sebagai media hiburan dibandingkan media informasi bagi masyarakat Desa Situ Udik. Hampir dua per tiga responden (62,5 persen) mengikuti perkembangan berita politik di media massa. Media massa yang banyak diakses adalah televisi karena dinilai lebih praktis, serta dapat diterima baik dengan
antena. Berdasarkan wawancara dengan respoden pagi hari dan sore hari merupakan waktu yang biasanya mereka pergunakan untuk menonton berita politik di televisi. Berdasarkan informasi dari hasil kuesioner diperoleh bahwa mayoritas responden laki- laki yang memiliki keterdedahan terhadap berita politik di media massa, seperti ditunjukkan pada Tabel 29. Tabel 29. Jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap berita politik, Desa Situ Udik tahun 2006 Keterdedahan terhadap berita politik Ya, sering mengikuti Tidak pernah mengikuti Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 15 10 2 13 17 23
Total 25 15 40
Tabel 29 memberi gambaran bahwa 15 dari 17 responden laki- laki memiliki keterdedahan terhadap berita politik di media televisi. Sedangkan hanya 10 dari 23 responden perempuan yang tertarik untuk mengikuti perkembangan berita politik di media massa. Seluruh responden perempuan yang tidak pernah mengikuti berita politik bahwa mereka lebih tertarik menonton infotaiment, sinetron, atau acara-acara hiburan. Berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa serta keterdedahan terhadap berita-berita politik dapat diidentifikasi tingkat keterdedahan responden Lansia terhadap media massa dengan mengkategorikannya pada tingkat rendah dengan pemberian
skor kurang dari dua, serta tingkat tinggi dengan pemberian skor 3-5.
Informasi tingkat keterdedahan responden terhadap media massa dapat dilihat pada Tabel 30 Tabel 30. Tingkat Keterdedahan responden terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
Tingkat keterdedahan terhadap media massa Rendah Tinggi Total
Jumlah
Persentase 15 25 40
37,5 62,5 100,0
Tabel 30 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen responden memiliki tingkat keterdedahan terhadap media massa yang tinggi. Mengacu pada rekomendasi Lerner di atas maka dengan tingkat keterdedahan yang tinggi terhadap media massa maka hal ini akan mendorong pada tingkat partisipasi politik yang tinggi juga, karena media massa meningkatkan juga kesadaran serta pengetahuan masyarakat terhadap politik. Bergulirnya reformasi serta keterdedahan terhadap media massa membuat sikap masyarakat desa kian kritis seperti yang dikemukakan oleh Bapak H.Zae (55 tahun) yang merupakan anggota BPD yang menyebutkan semenjak reformasi setidaknya terjadi beberapa kali protes langsung yang disampaikan kepada kepala desa. Terutama yang terjadi berkenaan dengan penyaluran dana BLT BBM. Masyarakat yang merasa layak menerima dana tersebut tapi tidak terdaftar mengajukan protes secara langsung.
6.2 Nilai Sosial dan Budaya Politik Lansia 6.2.1 Sikap terhadap Politik Sikap merupakan manifestasi dari pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Sikap bukan perilaku, tetapi sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Variabel sikap terhadap politik dapat diketahui melalui asosiasi atau top of mind dari responden Lansia, artinya apa yang terlintas pertama kali ketika mendengar kata politik, mencerminkan sikap seseorang terhadap politik. Berikut ini adalah sejumlah pernyataan yang dilontarkan oleh responden ketika ditanyakan asosiasi atau top of mind ketika mendengar kata politik: 1. Saya enggan/ merasa risih jika harus membicarakan tentang politik 2. Politik itu tabu untuk dibicarakan 3. Politik itu jahat, penuh intrik, saling menjatuhkan, mencari keuntungan.
4. saya mau/tertarik/ingin selalu terlibat dalam dunia politik 5. politik itu dibutuhkan karena menyangkut pencapaian tujuan bersama 6. politik itu menyangkut tata cara dalam mengatur masyarakat 7. Saya tidak tahu, tidak mengerti apa itu politik karena saya ‘orang kecil’ 8.
politik itu partai politik dan Pemilu
Tabel 31 berikut menunjukkan kecenderungan sikap responden Lansia terhadap politik yang tercermin lewat pernyataan. Pernyataan sikap yang diambil menjadi data hanyalah tiga pernyataan sikap yang pertama kali disebutkan oleh responden. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam membuat pengelompokkan jawaban, karena pertanyaan yang diajukan dalam kuesio ner adalah bentuk pertanyaan terbuka. Tabel 31. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan pernyataan politiknya, Desa Situ Udik tahun 2006 Pernyataan Sikap 1 2 3 4 5 6 7 8
Frekuensi Sebut 12 8 10 3 10 9 15 8 Total
Persentase 16,9 11,7 13,0 3,9 13,0 11,7 19,5 10,4 100,0
Tabel 38 memberikan informasi bahwa pernyataan nomor tujuh serta nomor satu yang paling banyak disebut sebagai asosiasi mereka tentang politik. Jika dikategorikan pernyataan nomor satu tersebut termasuk ke dalam pernyataan yang menunjukkan pernyataan sikap negatif. Pernyataan sikap yang cenderung netral ditunjukkan dari pernyataan nomor tujuh. Jika pernyataan tersebut dikelompokkan menjadi kategori pernyataan sikap yang negatif untuk pernyataan 1, 2, dan 3; pernyataan sikap yang netral untuk pernyataan 7 dan 8 sedangkan pernyataan sikap yang positif untuk pernyataan 4, 5, dan 6; maka dapat dilihat bahwa yang mengasosiasikan politik dengan sesuatu yang negatif lebih banyak (frekuensi sebut: 30) dibandingkan yang
mengasosiasikan politik dengan sesuatu yang positif (frekuensi sebut: 22) maupun yang cenderung netral (frekuensi sebut: 23). Hal ini kemudian menunjukkan bahwa terdapat keengganan responden masuk ke dunia politik praktis karena sosialisasi yang diterimanya dan konstruksi sosial memandang politik identik dengan sesuatu yang kotor, bukan tempat yang ’aman’, politik adalah dunia maskulin, keras, penuh intrik, dan didominasi logika kalah menang. Anggapan seperti ini pun menyebabkan perempuan ’tersingkir’ secara politis. Terlebih lagi jika perempuan itu adalah perempuan Lansia, tersirat dalam Tabel 32. Tabel 32. Tabulasi silang antara frekuensi sebut pernyataan sikap tentang politik dengan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006 Pernyataan Sikap
Jenis Kelamin Perempuan
Negatif Netral Positif
11 17 5
Laki-laki 9 4 10
Tabel 32 menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menyebut pernyataan sikap tentang politik sebagai sesuatu yang negatif dibandingkan laki- laki. Sedangkan laki- laki lebih menyebutkan politik sebagai sesuatu yang positif lewat pernyataan sikapnya dibandingkan perempuan. Namun, mayoritas perempuan Lansia lebih menyebutkan pernyataan tentang politik lewat pernyataan yang lebih bersifat netral. Wujud dari sikap terhadap politik dapat dilihat dari minat politik seseorang. Guna melihat hal tersebut, ditanyakan kepada responden berkenaan dengan minat mereka untuk ikut tergabung atau ikutserta dalam kelembagaan politik desa terutama untuk menjadi perangkat desa seperti pamong desa, kader maupun dewan desa seperti BPD. Berdasarkan informasi dari hasil kuesioner, lebih dari 42 persen Lansia respoden berminat ikutserta dalam kelembagaan politik desa.
Hal tersebut memberikan gambaran bahwa sebagian besar responden Lansia menyatakan tidak lagi berminat untuk ikutserta dalam kelembagaan politik desa (lebih dari 50 persen). Responden yang menyatakan masih berminat ikutserta dalam menyalurkan aspirasi politiknya di tingkat desa mayoritas laki- laki Lansia. Lansia perempuan mayoritas memilih tidak ingin terjun dalam kelembagaan politik yang dapat menyalurkan aspirasi mereka, seperti yang terlihat dalam Tabel 33. Tabel 33. Jumlah responden berdasarkan minat keikutsertaan dalam kelembagaan politik dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006 Minat
Jenis Kelamin Laki-laki
Masih berminat Tidak berminat Total
Perempuan 11 6 17
6 17 23
Hasil tabulasi silang dalam Tabel 33 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden yang menyatakan tidak berminat untuk ikutserta dalam kelembagaan politik adalah perempuan. Demikian juga sebaliknya, responden yang menyatakan masih berminat untuk ikutserta dalam kelembagaan politik desa hampir seluruhnya adalah laki- laki. Data mengenai minat serta pernyataan sikap di atas meberikan gambaran tentang kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek tertentu yang bersifat politik, sebagai suatu penghayatan terhadap nilai- nilai budaya dalam masyarakat pedesaan. Munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang akan muncul12 . Variabel sikap terhadap politik yang dikuantifikasi lewat pernyataan tentang sikap terhadap politik dan minat akan keterlibatan dalam politik desa ini akan menjadi suatu variabel antara dalam analisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Hasil skoring dari sikap
12
Sudijono Sastroadmodjo, 1995, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press.
terhadap politik yang kemudian mengkategorikan sikap responden dalam sikap yang positif, netral maupun negatif (nilai skoring dapat dilihat dalam lampiran 2). Hail skoring dari data kuesioner memperlihatkan bahwa mayoritas responden Lansia di Desa Situ Udik memiliki sikap terhadap politik desa yang netral (47,5 persen). Namun, terdapat sebagian besar lagi yakni 37,5 persen para Lansia ini memiliki sikap yang positif dan hanya enam orang dari total keseluruhan responden bersikap negatif. Salah satu penyebab sikap yang lebih banyak netral ini adalah karena mayoritas responden adalah perempuan. Hal ini digambarkan dalam Tabel 34. Tabel 34. Sikap responden terhadap politik Desa Situ Udik berdasarkan jenis kelamin, tahun 2006 Jenis Kelamin Positif Laki-laki Perempuan Total
Jenis Kelamin Netral 10 3 5 16 15 19
Total Negatif 4 2 6
17 23 40
Tabel 34 memberikan gambaran yang jelas bahwa laki- laki lebih menunjukkan sikap yang lebih positif dibandingkan perempuan. Perempuan Lansia di Desa Situ Udik lebih memilih bersikap netral dalam kehidupan politik pedesaan. Sikap ini, berdasarkan tabel, dipilih karena sebagian besar responden ini menyatakan enggan untuk terlibat langsung dalam parktek politik desa. Namun, berdasarkan wawancara dengan beberapa responden Ibu Oon (60 tahun), Ibu Uum (67 tahun), Ibu Neng (60 tahun), dan Ibu Mas (61 tahun) menyatakan ingin mengetahui perkembangan politik pedesaan terutama berkaitan dengan kinerja perangkat desa.
6.2.2. Kepercayaan terhadap Kinerja Perangkat Desa Sikap dan minat yang ditunjukkan oleh responden pada Tabel 33 dan 34 kemudian memiliki keterhubungan dengan kepercayaan terhadap kelembagaan politik
desa. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pandangan responden Lansia terhadap kelembagaan politik desa baik aksesibilitas dalam rapat-rapat formalnya, serta kinerja dewan desa baik kepala desa, para pamongnya maupun BPD dalam menampung aspirasi masyarakat. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar responden (52,5 persen) menyatakan bahwa rapat-rapat formal yang diselenggarakan di desa sulit untuk mereka dari golongan Lansia mengaksesnya apalagi mempunyai kontrol terhadap rapat-rapat tersebut. Hanya 15 persen yang menyatakan pandangan bahwa rapat-rapat formal desa mudah untuk diakses serta mempunyai kontrol dalam penyelenggaraannya. Responden yang menyatakan bahwa mereka bisa akses terhadap rapat desa namun mereka diikutsertakan untuk sosialisasi program dan pelaksanaan saja, sehingga mereka tidak mempunyai kontrol terhadap rapat-rapat formal yang mendahuluinya (data lebih lengkap lihat Lampiran 4). Pandanga n tentang aksesibilitas terhadap rapat-rapat formal desa tersebut memiliki keterhubungan dengan penilaian terhadap kinerja perangkat kelembagaan politik desa seperti kepala desa, para pamong, serta dewan desa di BPD. Wujud dari penilaian ini adalah pernyataan puas/ sukses atau tidak puas/ tidak sukses terhadap kinerja perangkat desa dalam kelembagaan politik desa selama ini. Informasi yang diperoleh dari hasil kuesioner mengenai pandangan terhadap kinerja perangkat kelembagaan politik desa dapat terlihat dalam Tabel 35. Tabel 35. Jumlah dan persentase responden bedasarkan penilaian terhadap kinerja perangkat desa, Desa Situ Udik tahun 2006 Pandangan terhadap kinerja perangkat desa Puas/ sukses Tidak puas/ tidak sukses Total
Jumlah 27 13 40
Persentase 67,5 32,5 100,0
Tabel 35 menunjukkan bahwa lebih dari dua per tiga reponden menyatakan puas terhadap kinerja perangkat desa dalam kelembagaan politik desa. Hal ini karena kebanyakan dari mereka menilai, sukses ini tidak terlepas dari peran RT, RW maupun RK yang aktif. Ketua RT dan RW serta tokoh masyarakat merupakan penyalur aspirasi politik responden. Elite desa di tingkat kampung (RT) ini justru menyatakan tidak puas terhadap kinerja kepala desa yang tidak pernah ‘turun’ ke bawah. Hal ini ditunjukkan lewat pernyataan Bapak Ahd (63 tahun): “Sukses atau tidak seorang kepala desa di Situ Udik itu diniliainya dari sering tidaknya dia hadir di pengajian ke tiap-tiap kampung. Kalo hadir di pengajian pasti dia dengerin masalah dari rakyatnya. Tapi selama ini kepala desa yang sekarang mah belum pernah ‘turun’ ke bawah. Pamong serta BPD juga kurang ‘membumi”.
Tokoh masyarakat, RK, RT dan RW dianggap memiliki peranan yang lebih dominan dalam menyalurkan aspirasi politik.
6.2.3 Persepsi: Kriteria Pemimpin Kepercayaan terhadap perangkat desa kemudian menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi responden Lansia terhadap pemimpin yang ada di Desa Situ Udik. Hal ini dapat dilihat dari kriteria mereka terhadap pemimpin yang cocok bagi para responden adalah yang berusia tua. Hal ini karena menurut mereka dengan berusia tua, pemimpin lebih memiliki kearifan, bijaksana, pengalaman serta pengetahuan tentang masyarakat lebih baik dibandingkan kepada pemimpin dari golongan muda yang dianggap masih belum punya pengalaman (lihat Lampiran 5). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bapak H.Zae, (50 tahun): “Seorang pemimpin bagi masyarakat disini yang paling penting itu pendidikan agamanya tinggi, berpengaruh, cukup dituakan, dermawan, masih sanggup fisiknya untuk mengurus, mau berkorban.”
Pengalaman merupakan sesuatu yang bernilai tinggi dalam masyarakat Desa Situ Udik, hal ini karena jarang warga desa yang berpendidikan formal tinggi. Ketokohan maupun kepemimpinan pun kemudian didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan akan ilmu- ilmu agamanya. Seorang kyai atau ustadz menempati posisi yang dihormati dalam masyarakat. Namun, kyai lebih memiliki pengaruh dibandingkan hanya seorang ustadz. Kriteria untuk seorang pemimpin yang dikemukakan oleh responden yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin adalah pemimpin tersebut mempunyai tingkat kekosmopolitan yang tinggi, artinya pemimpin haruslah orang yang pernah merantau atau bermigrasi ke luar desa. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa hampir seluruh ketua RT maupun RW serta perangkat desa yang lain adalah orang yang pernah migrasi ke luar desa. Seseorang yang pernah bekerja di luar desa khususnya pergi ke ibukota memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Bekerja di Jakarta dapat meningkatkan status seseorang di masyarakat meski hanya sebagai buruh bangunan, pedagang kaki lima, ataupun pembantu rumah tangga. Menurut pendapat responden, dengan pergi ke Jakarta seseorang akan mempunyai orientasi kota yang lebih maju dibandingkan jika hanya menetap di desa sebagai buruh tani atau petani penggarap. Selain itu, melakukan pola pekerjaan ganda dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya telah lama dilakukan masyarakat Desa Situ Udik. Pekerjaan tersebut seringkali merupakan kombinasi dari pekerjaan di sektor pertanian dan di luar pertanian. Mereka juga menganggap bertani itu tidak bisa lagi dijadikan tumpuan hidup dan adanya gengsi di antara masyarakat dikarenakan ada suatu penilaian bagi orang yang bekerja di kota bahwa mereka pasti mempunyai materi lebih dibandingkan dengan
yang hanya bekerja sebagai buruh tani. Hal ini menimbulkan suatu kebiasaan di Desa ini masalah siapa yang mengerjakan lahan pertanian. Pada saat menggarap yang bekerja itu adalah akuannya tetapi hanya suami yang bekerja sedangkan untuk babut, nandur, ngarambet sampai pada saat waktu panen yang bekerja itu adalah para istri. Suami tidak ikut bekerja karena mereka bekerja di kota sebagai kuli bangunan atau berdagang. Setelah seseorang mencapai usia lanjut, biasanya mereka ‘kembali’ lagi untuk menggarap lahan pertanian serta ‘mengurus’ masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari persepsi responden terhadap posisi atau jabatan yang pantas bagi Lansia yang masih aktif dalam kegiatan politik serta sosial kemasyarakatan responden menempatkan seseorang yang masih aktif dalam kegiatan sosial politik pada posisi yang terhormat (lihat Lampiran 6). Hal ini terlihat dari pendapat responden (75 persen) yang menyatakan
menempatkan
Lansia
aktif
dalam
posisi
pemimpin
atau
penasihat/pembimbing dalam kegiatan sosial politik di Desa Situ Udik. Selain itu, responden juga menyatakan lebih mempercayakan posisi untuk dewan desa serta pamong desa kepada mereka yang telah berumur lanjut. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden: Bapak M. Nas, Bapak Nur, dan Ibu Mas, diperolah keterangan meski memiliki keterbatasn dengan fisiknya namun para Lansia ini dianggap lebih mampu menjalankan pemerintahan berdasarkan nilai- nilai serta tradisi Desa Situ Udik. Artinya, dengan demikian seorang Lansia yang aktif akan memiliki peranan yang sentral dalam pengambilan keputusan politik di desa. Meski dalam kelembagaan politik formal (struktur pemerintahan desa, dewan desa) mulai berkurang keterwakilannya. Namun, pengaruh mereka dalam masyarakat belum mampu digeser oleh para anggota dewan desa yang lebih muda.
BAB VII PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA
7.1 Partisipasi Lansia dalam Rapat Formal Desa Proses demokrasi desa dapat terlihat secara jelas dalam pencapaian keputusan. Proses pencapaian keputusan dalam masyarakat desa diartikan sebagai proses menuntun masyarakat ke persetujuan atau pertentangan dengan usulan yang diberikan oleh masyarakatnya. Rapat formal desa merupakan salah satu kelembagaan dimana masyarakat desa menyalurkan aspirasi politiknya. Pencapaian keputusan secara bersama seharusnya terjadi dalam rapat-rapat desa yang dihadiri oleh semua penduduk dewasa dari masyarakat itu (Prijono, 1986). Lansia sebagai penduduk dewasa dalam masyarakat desa seharusnya menjadi bagian dalam proses pencapaian dan pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua per tiga (65 persen) responden pernah mengikuti rapat-rapat formal desa, dan sepertiganya (35 persen) tidak pernah mengikuti rapat formal desa. Berdasarkan tabel tersebut juga menunjukkan 14 orang tidak pernah mengikuti rapat, dan dari jumlah tersebut 12 orang diantaranya adalah perempuan. Hanya dua orang laki- laki yang tidak pernah mengikuti rapat formal di desa. Ibu Oon (60 tahun) mengemukakan sebagai berikut: “Kalau disuruh ikut rapat ke kantor desa biasanya diajak ama Pak RK, atau ibunya. Kalau saya, suka males ikut yang kaya gituan, diwakilin ajah sama suami atau anak”
Informasi ini diperkuat dengan data frekuensi keikutsertaan Lansia di Desa Situ Udik yang mayoritas memiliki frekuensi yang tinggi dalam rapat-rapat formal, pada Tabel 36. Tabel 36 memberikan informasi bahwa rata-rata responden Lansia rata-rata mengikuti rapat formal desa lebih dari dua kali. Ditunjukkan lebih dari 60 persen responden pernah mengikuti rapat formal desa dalam satu tahun terakhir ini.
Tabel 36. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006 Frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal desa Jumlah 1-2 kali 10 Lebih dari dua kali 16 Total 26
Persentase 38,46 61,54 100,0
Berdasarkan keterangan dari Bapak Lam (61 tahun) yang merupakan ketua RW 09, biasanya jika kantor desa hendak menyelenggarakan suatu rapat formal, undangan disampaikan baik secara tertulis (undangan resmi) maupun secara informal. Undangan rapat secara formal biasanya untuk kegiatan-kegiatan yang dihadiri oleh para pemuka desa seperti tokoh pemuda, ketua kelompok tani, maupun pamong desa. Undangan rapat yang disampaikan secara informal, biasanya untuk menggalang kehadiran warga untuk suatu kegiatan. Undangan ini disampaikan melalui ketua RW, RT atau ketua kampung untuk kemudian disampaikan kepada seluruh warga masyarakat. Pamong desa (pegawai administrasi desa) bertugas menyampaikannya kepada jajaran pemimpin wilayah dibawah desa. Proses
pencapaian
keputusan
dalam
penelitian
ini
adalah
dengan
mempertimbangkan tiga aspek yaitu perencanaan, pengambilan keputusan serta pelaksanaan. Perencanaan merupakan suatu proses permulaan atau prakarsa dimana dirumuskan usulan-usulan dari masyarakat untuk menyusun rencana pelaksanaan program/proyek maupun kegiatan pembangunan desa juga berhubungan dengan kehendak untuk melaksanakannya. Perencanaan ini juga menunjukkan apakah program/proyek maupun kegiatan ini merupakan keperluan, kebutuhan serta keinginan dari semua pendud ukdesa atau hanya merupakan tekanan dari suatu golongan untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Pengambilan keputusan mencakup baik pertimbangan persiapan sebelum rapat dan pertimbangan yang muncul saat rapat. Pelaksanaan berarti semua kegiatan yang diarahkan kepada realisasi apa yang telah dirumuskan dalam perencanaan serta yang dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan mencakup pengkomunikasiannya dalam bentuk sosialisasi maupun penyuluhan serta penjelasan prosedur proyek/program pembagunan serta kegiatan kemasyarakatan, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 37. Tabel 37. Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk -bentuk rapat formal yang pernah diikuti Bentuk-bentuk rapat formal Sosialisasi/penyuluhan program/proyek/kegiatan Penyusunan atau perencanaan Pengambilan Keputusan/Mengikuti semua Total
Jumlah 14 6 6 26
Persentase 53,84 23,08 23,08 100,0
Tabel 37 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden hanya mengikuti rapat formal desa berupa sosialisasi proyek/program/kegiatan guna pelaksanaannya. Hanya enam orang atau 23 persen yang mengikuti penyusunan/perencanaan kegiatan/proyek/program maupun pengambilan keputusan. Artinya bentuk keikutsertaan dari responden Lansia ini mayoritas hanyalah mobilisasi dari para pemuka atau pemimpinnya. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa meski Lansia ini memiliki akses terhadap rapat-rapat formal desa namun mereka hampir tidak memiliki kontrol dalam rapat formal yang diselenggarakan dalam satu tahun terakhir ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan salah seorang pamong desa, Bapak Mi (35 Tahun), biasanya suatu usulan diajukan oleh kepala desa, pemimpin formal atau informal lainnya, ataupun kepala rumah tangga lain yang ada di desa. Begitu pula dengan pertimbangan atau pengambilan keputusan hanya terjadi antara pemimpin formal (kepala desa, ketua BPD, ketua PKK serta kepala/ketua lembaga formal desa) dan pemimpin informal desa (tokoh masyarakat yang terdiri dari
ketua kampung, tokoh pemuda, tokoh agama) yang kemudian memainkan peran penting dalam proses pelaksanaannya. Namun, yang paling sering dilakukan adalah perencanaan dilakukan seluruhnya secara terperinci oleh administrasi desa, baru dirapatkan untuk pengambilan keputusan. Hasil tersebut kemudian diintruksikan ke administrasi desa pada tingkat yang lebih rendah (ketua RW dan RT) dan disosialisasikan kepada seluruh warga Desa Situ Udik. Informasi dari Bapak Mi (35 tahun) serta data dari Tabel 37 mengenai peran dalam penyelenggaraan rapat formal desa diperkuat dalam Tabel 38. Tabel 38. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006 Peranan dalam Rapat Formal Peserta/Anggota Rapat Ikut memberikan usulan/informasi, mengajukan pendapat Pengambil keputusan Total
Jumlah 16 5 5 26
Persentase 61,54 19,23 19,23 100,0
Informasi dari Tabel 38 menunjukkan bahwa sebagian besar responden peranan dalam rapat desa yang pernah diikuti hanya sebagai peserta maupun anggota rapat saja. Hal ini terkait dengan bentuk rapat desa yang diikuti berupa sosialisasi proyek/program serta kegiatan. Hanya lima orang atau 19 persen yang berperan sebagai pengambil keputusan maupun memberikan pendapat, saran serta usulan dalam perencanaan. Data yang diperoleh juga menunjukkan hanya dua orang responden perempuan yang pernah memberikan usul atau mengajukan pendapatnya. Selain itu, tidak ada seorangpun dari responden perempuan yang pernah ikut dalam pengambilan keputusan dari rapat-rapat formal yang diselenggarakan. Kepala Desa Situ Udik juga mengemuk akan, dalam rapat penetapan ADRT, hanya ketua (Ibu Ken, 58 tahun) atau pengurus PKK saja yang diikutsertakan. Hal tersebut menunjukkan perempuan khususnya Lansia tidak memiliki kontrol, meskipun
memiliki kontrol namun terbatas dalam proses pengambilan keputusan lewat rapat formal desa. Selain itu dikemukakan oleh Bapak Mif selaku Kepala Desa bahwa hal yang disampaikan oleh perwakilan perempuan dalam rapat ADRT biasanya berkenaan dengan kegiatan-kegiatan sosial, keluarga maupun pendidikan. Tingkat partisipasi Lansia dalam rapat formal desa dalam penelitian ini diidentifikasi melalui skoring dari keikutsertaan, frekuensi, bentuk-bentuk rapat serta peranan yang ditampilkan dalam rapat tersebut. Berdasarkan data pada tabel 36, 37 dan 38 telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah tingkat partisipasi responden Lansia dalam rapat formal desa. Tabel 39. Tingkat partisipasi responden dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006 Tingkat partisipasi dalam rapat formal desa Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah 14 16 10 40
Persentase 35,0 40,0 25,0 100,0
Tabel 39 menunjukkan bahwa 40 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang sedang, artinya responden pada tingkat partisipasi ini pernah mengikuti rapat formal desa, bentuk rapat desa yang diikuti berupa sosialisasi atau penyuluhan program/proyek/kegiatan pembangunan atau kemasyarakatan, bisa juga mengikuti perencanaan atau penyusunan namun perannya hanya sebagai peserta atau anggota rapat saja. Sisanya, 35 persen responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam rapat formal desa, artinya tidak pernah sama sekali mengikuti rapat formal desa. Responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi hanya sebesar 25 persen saja. Responden pada tingkat ini mengikuti rapat formal desa dengan frekuensi lebih dari dua kali, terlibat dalam hampir keseluruhan tahapan proses pengambilan keputusan serta menampilkan peranan yang penting dalam proses tersebut.
7.2 Partisipasi Lansia dalam Dewan Desa Dewan desa dalam penelitian ini mencakup pemimpin-pemimpin di Desa Situ Udik. Hofsteede (1990) mengidentifikasikan pemimpin sebagai orang yang memberikan pengaruh pada lingkungannya. Terdapat tiga kategori tokoh yang merupakan pemimpin di Desa Situ Udik, yakni tokoh formal, tokoh informal, dan tokoh kader. Tokoh formal adalah tokoh pemerintahan desa, seperti kepala desa, para pamong desa, kepala dusun, ketua lembaga formal yang ada di desa seperti BPD, LPM, Hansip serta para ketua RT dan RW. Sementara tokoh informal terdiri dari para pemimpin desa diberbagai bidang kehidupan, tetapi tidak mempunyai jabatan resmi. Kepemimpinan informal terlihat dalam kegiatan-kegiatan seperti perayaan hari nasional dan keagamaan, pelaksanaan proyek desa, musyawarah desa, serta berbagai upacara adat di lingkungan desa. Mereka adalah petani kaya, petani menengah, petani miskin yang tergabung dalam suatu kelompok maupun perkumpulan petani, lebe, ustadz, kyai, pegawai, bekas pamong desa, guru, pensiunan, veteran, orang desa yang lama migran sehingga dianggap punya banyak pengalaman, pedagang, bidan, perawat, istri pejabat, pengurus organisasi wanita, maupun tokoh pemuda yang mempunyai pengaruh. Tokoh kader merupakan penduduk desa yang dibina oleh Dinas/Instansi tertentu dalam implementasi program pembangunan. Tokoh kader yang saat ini terdapat di Desa Situ Udik diantaranya kader PKK, Posyandu, serta KB. Kebanyakan tokoh kader ini adalah perempuan, karena kader ini dikhususkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Kader-kader partai politik di Desa Situ Udik biasanya merupakan tokoh masyarakat baik formal maupun informal. Tokoh dari kader partai politik ini baru memiliki peranan dalam kelembagaan politik di Desa Situ Udik saat era reformasi. Hal ini mengingat pada
era orde baru tokoh-tokoh partai politik tidak begitu berfungsi karena usaha- usaha golkarisasi. Pergeseran yang ada di masyarakat Desa Situ Udik adalah pemimpin formal saat ini merupakan orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, dan berusia muda (dibawah 50 tahun). Jumlah dan persentase responden yang pernah atau saat ini tergabung dalam dewan desa dapat dilihat lebih dari tiga per empat responden tidak pernah tergabung dalam dewan desa, dan hanya sembilan orang atau 22,5 persen yang pernah atau saat ini menjadi dewan desa. Hal ini dapat menunjukkan kecenderungan bahwa perekrutan maupun akses terhadap posisi penting di kelembagaan politik desa bagi para responden Lansia ini terbatas. Terdapat pula kecenderungan mulai tergeser posisinya dalam dewan desa diperkuat dari data Tabel 40. Tabel 40. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi yang ditempati dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006 Posisi di Dewan Desa Tidak pernah menjadi dewan desa Kader, tokoh informal, ketua RT/RW Kepala desa, kepala dusun, BPD, pamong desa Total
Jumlah 31 8 1 40
Persentase 77,5 20,0 2,5 100,0
Tabel 40 menunjukkan bahwa lebih dari tiga per empat responden tidak pernah menempati posisi-posisi penting dalam kelembagaan politik yang ada di Desa Situ Udik. Hanya satu orang saja yang menempati posisi kepala dusun yakni Bapak Ud (65 tahun). Artinya para Lansia di Desa Situ Udik dalam struktur pemerintahan desa hanya menempati tingkatan administrasi yang rendah. Tabel 40 memperkuat gambaran bahwa kebanyakan responden yang menjadi dewan desa merupakan tokoh infomal, kader partai politik serta ketua RT/RW. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pamong desa, Bapak Man (34 tahun), saat ini Lansia yang menempati posisi formal di pemerintahan Desa Situ Udik hanya lima orang. Hal ini disebabkan juga adanya
kebijakan yang menjadi prasyarat jika hendak menempati posisi-posisi formal desa haruslah berusia maksimal 60 tahun dan berpendidikan minimum tamatan SD. Hal ini jika melalui proses pemilihan oleh masyarakat namun jika melalui proses penunjukkan tidak ada batasan mengenai usia maupun pendidikan. Sehingga kebanyakan Lansia tergabung atau menjadi dewan desa melalui proses penunjukkan dari kepala desa, ditunjukkan pada Tabel 41. Tabel 41. Jumlah dan persentase responden yang menjadi dewan desa berdasarkan proses penempatan posisi dalam Kelembagaan Politik Desa Situ Udik Proses penempatan Ditunjuk oleh kepala desa Ditunjuk dan dipilih oleh masyarakat Dipilih oleh masyarakat Total
tokoh
Jumlah 4
Persentase 44,44
4
44,44
1 9
11,11 100,0
Tabel 41 menunjukkan bahwa Lansia menjadi dewan desa lebih banyak melalui proses penunjukkan dibandingkan melalui proses pemilihan. Disimpulkan bahwa kepemimpinan di Desa Situ Udik merupakan kepemimpinan para elit. Kepala desa yang menjabat sekarang memiliki hubungan kekerabatan dengan ketua BPD saat itu yang merupakan tokoh paling berpengaruh di Desa Situ Udik, Alm. KH. Aib. Tingkat partisipasi dalam dewan desa dapat diidentifikasi berdasarkan skoring dari keikutsertaan, posisi atau jabatannya serta proses penempatannya dalam dewan desa. Hasil skoring ini kemudian membagi responden menjadi responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi dan rendah dalam dewan desa. Berdasarkan data pada Tabel 40 dan Tabel 41 yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah tingkat partisipasi responden Lansia dalam dewan desa.
Tabel 42. Tingkat partisipasi Lansia dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006 Tingkat partisipasi dalam dewan desa Rendah Tinggi Total
Jumlah 31 9 40
Persentase 77,5 22,5 100,0
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 42 lebih dari 77 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dewan desa. Artinya lebih dari tiga per empat responden ini tidak pernah terlibat menjadi dewan desa. Hanya terdapat sembilan orang dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam dewan desa. Pada tingkat partisipasi yang tinggi dalam dewan desa, responden pernah menjadi kader/pamong desa/kepengurusan RT/RW baik ditunjuk, dipilih masyarakat maupun inisiatif pribadi serta pernah menjadi kepala desa, dan anggota BPD baik ditunjuk, inisiatif pribadi maupun dipilih oleh masyarakat. Berdasarkan data yang telah dikemukakan dalam Tabel 42 yang berkenaan dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa menunjukkan bahwa dasar kehidupan komunitas desa setempat masih ditopang dengan kokoh oleh bentuk-bentuk pengelompokan sosial yang menjalin warganya saling kenal mengenal yaitu ikatan kekerabatan. Sistem kekerabatan membentuk suatu solidaritas sosial antar kekerabatan yang terbina erat dalam siklus kehidupan masyarakat. Faktor pengutamaan kerabat dekat untuk mengisi peluang, disusul kemudian dari kerabat luas dan baru kepada orang lain jika masih ada sisa peluang. Bapak Lam (61 tahun) misalnya, menjadi ketua RK karena merupakan salah satu kerabat dekat dari dengan kepala desa sebelumnya. Be gitu pula dengan anaknya yang menjadi anggota BPD, Bapak Tao (48 tahun). Faktor pengutamaan kaum kerabat dekat untuk mengisi peluang, disusul kemudian dari kerabat luas baru kemudian kepada orang lain jika masih ada sisa
peluang. Hubungan ini kian menyentuh ke dimensi politik khususnya kekuasaan lokal. Lansia yang merupakan pemuka masyarakat memiliki andil dalam ’penurunan’ kekuasaan pada kerabat dekat ini.
7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa Pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh musyawarah dalam pencapaian atau pengambilan keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan keputusan tersebut merupakan dasar dari sistem sosial ekonomi serta politik di pedesaan (Prijono, 1983). Musyawarah inilah yang menjadi dasar pembangunan desa. Musyawarah dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai pertemuan secara informal di tingkat RT/RT atau kampung. Hal ini karena di Desa Situ Udik, musyawarah di tingkat RT, RW maupun kampung inilah yang kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan politik di tingkat desa. Namun, tidak selalu pengambilan keputusan politik di tingkat desa menjadi dasar pengambilan keputusan di tingkat kampung. Secara umum, hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan responden dalam musyawarah di tingkat RT/RW maupun kampung memberikan gambaran hampir seluruh responden yakni 80 persen pernah mengikuti musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung. Hanya terdapat delapan orang atau 20 persen saja yang menyatakan tidak pernah mengikuti musyawarah yang pernah diselenggarakan di tingkat RT/RW atau kampung. Besarnya persentase ini karena musyawarah biasanya diselenggarakan setelah pengajian. Pengajian merupakan kelembagaan yang paling sering diakses oleh Lansia. Sehingga keikutsertaan responden dalam musyawarah pun tinggi. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi dari keikusertaan dalam musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung dalan Tabel 43
Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006 Frekuensi Keikutsertaan Tidak pernah 1-2 kali Lebih dari dua kali Total
Jumlah 8 2 30 40
Persentase 20 5,0 75,0 100,0
Tabel 43 menunjukkan bahwa tiga per empat responden memiliki frekuensi kehadiran dalam musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung lebih dari dua kali. Keikutsertaan ini dapat juga menunjukkan frekuensi responden dalam menghadiri pengajian. Hanya dua orang saja yang frekuensi kehadirannya dalam musyawarah sebanyak 1-2 kali. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara, kedua orang tersebut rendah frekuensi kehadirannya dikarenakan kondisi fisiknya yang melemah. Namun, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah aspek dari musyawarah yang dilakukan, karena ini akan menunjukkan sejauhmana akses serta kontrol Lansia dalam musyawarah tersebut. Aspek-aspek dari musyawarah diantaranya berkenaan dengan kegiatan keagamaan, perencanaan kegiatan dan gotong royong pembangunan infrastruktur kampung, penyelesaian konflik, pemilihan ketua RT/RW atau kampungserta pengaturan pemanfaatan sumberdaya/fasilitas umum. Tabel 44 menunjukkan aspek dari musyawarah yang diselenggarakan. Tabel 44 memberikan informasi bahwa responden Lansia lebih akses dalam musyawarah- musyawarah yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal ini ditunjukkan 33 responden menyatakan ikutserta dalam musyawarah yang membahas tentang kegiatan keagamaan, maupun persoalan-persoalan yang berkenaan dengan keagamaan, misal tentang hukum penggunaan alat kontrasepsi serta siapa yang berhak
mendapatkan BLT BBM jika didasarkan pada aturan siapa yang berhak menerima zakat, musyawarah penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan. Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006 Bentuk-bentuk musyawarah
Jumlah
Persentase
Kegiatan keagamaan
33
34,4
Perencanaan kegaiatan kemasyarakatan/pembangunan Penyelesaian masalah/konflik
28 10
29,2 10,4
Pemilihan/penunjukkan calon/ketua RT/RW
12
12,5
Pengaturan pemanfaatan SDA atau fasilitas umum serta normanorma
13
13,5
Lansia perempuan memiliki akses yang tinggi dalam musyawarah yang berkenaan dengan kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Akses yang terbatas bahkan tertutup bagi perempuan Lansia untuk musyawarah yang berkenaan dengan pendistribusian kekuasaan dalam pemilihan pemimpin atau pengalokasian sumberdaya alam dan fasilitas publik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara, Bapak Lam (61 tahun), mengatakan bahwa untuk musyawarah yang berkenaan dengan penyelesaian konflik atau pemilihan ketua RT/RW atau kampung, perempuan sudah ‘diwakili’ oleh kehadiran suami- suami mereka. “Perempuan mah kalo untuk urusan milih RT/RW diwakili saja lewat suaminya, nanti juga kalo dirumah dikasih tau hasil rapatnya jadi buat apa harus ikutan dateng juga”, (Bapak Lam, 61 tahun).
Informasi tersebut juga menunjukkan bahwa keikutsertaan responden Lansia dalam musyawarah di RT/RW atau kampung diselenggarakan oleh para tokoh masyarakatnya. Tokoh yang merupakan pemimpin di tingkat kampung ini secara moral mereka diharuskan memelihara kerukunan dengan orang lain dan norma bagi pemimpin adalah menjaga pengikutnya. Oleh karena itu cara-cara pencapaian tujuan di masyarakat
masih bergantung pada pemimpinnya. Hal ini ditunjukkan bahwa musyawarah diprakarsai oleh para tokohnya. Masyarakat Desa Situ Udik membedakan jenis pertemuan-pertemuan dalam kelembagaan politik desa khususnya terkait dengan fungsi pengambilan keputusan. Rapat dipandang sebagai sesuatu yang formal sedangkan musyawarah merupakan ajang informal dalam proses pengambilan politik. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Uj (60 tahun) sebagai berikut: “ Rapat itu asal katanya dari kata rapet, jadi cuma sedikit orang aja yang bisa ikutan. Biasanya untuk yang lebih resmi-resmian. Jadi, sebenernya keputusan udah dibuat duluan tapi biar lebih kuat putusannya diadain rapat. Kalo musyawarah itu semua warga duduk bareng untuk bicara, tuker pendapat untuk mecahin masalah bersama juga.”
Tingkat partisipasi dalam musyawarah dapat diidentifikasi berdasarkan skoring dari keikutsertaan, frekuensi keikutsertaan, serta peran sebagai pemrakarsa. Hasil skoring ini kemudian membagi responden menjadi responden dengan tingkat partisipasi yang rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 43 dan 44 yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah tingkat partisipasi responden Lansia dalam musyawarah. Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006 Tingkat partisipasi Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah 7 27 6 40
Persentase 17,5 67,5 15,0 100,0
Tabel 45 menunjukkan bahwa 67,5 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang sedang, artinya responden pada tingkat partisipasi ini pernah mengikuti musyawarah desa, dengan frekuensi lebih dari dua kali tetapi tidak pernah menjadi pemrakarsa diadakan musyawarah. Sisanya, 17,5 persen responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam musyawarah desa, artinya tidak pernah sama sekali
mengikuti rapat formal desa. Sedangkan responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi hanya sebesar 15 persen saja. Responden pada tingkat ini mengikuti musyawarah desa dengan frekuensi lebih dari dua kali, terlibat dalam hampir keseluruhan tahapan proses pengambilan keputusan serta pernah menampilkan peranan menjadi pemrakarsa diadakan musyawarah. Pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa. Sehingga nasib rakyat menjadi tergantung pada jasa baik mereka. Selain itu hubungan kekuasaan dalam musyawarah sebagai suatu ajang penyaluran aspirasi politik masyarakat adalah hubungan yang paternalisasi. Meskipun Lansia khususnya Lansia laki- laki dari golongan masyarakat kebanyakan akses terhadap musyawarah yang diselenggarakan dalam suatu ajang penggajian bapak-bapak ini mereka tidak memiliki kontrol. Kalaupun memiliki kontrol, masih sangat terbatas. Elit desa yang umumnya golongan kaya dianggap menempati posisi yang ’luhur’ atau tinggi sehingga penghormatan harus selalu diberikan dan sulit untuk bisa melangkahi atau mengabaikan hal tersebut. Keikutsertaan dalam organisasi sosial sering didasari kedekatan seseorang yang telah terjalin erat sebelumnya di luar organisasi formal maupun lembaga formal yang ada di desa, misal kekerabatan atau ketetanggaan.
BAB VIII PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
8.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Nilai Budaya Masyarakat desa Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk menunjukkan kondisi sosial ekonomi responden Lansia antara lain adalah besar pendapatan yang digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan kondisi ekonomi Lansia. Indikator pendidikan dan pengalaman berorganisasi digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial responden Lansia. Berikut ini adalah keterhubungan karakteristik sosial ekonomi responden Lansia dengan nilai- nilai dalam budaya masyarakat desa dalam aspek kehidupan berpolitik dengan menggunakan variabel sikap terhadap politik, persepsi terhadap pemimpin dan kepercayaan terhadap kinerja kelembagaan politik desa sebagai indikator. Variabel nilai budaya ini merupakan variabel antara dalam menganalisis keterhubungan status sosial ekonomi dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Dimana kemudian digunakan variabel faktor politik dengan indikatornya adalah keikutsertaan dalam Pemilu 2004 dan keterdedahan terhadap berita politik di media massa sebagai variabel kontrol. Hal ini dilakukan untuk memperjelas hubungan antar variabel pokok, sebab pada dasarnya fenomena sosial dipengaruhi oleh serangkaian sebab akibat. Sehingga pada akhirnya diharapkan hubungan yang semula nampak antara kedua variabel pokok dapat menjadi lebih kuat, atau lebih lemah atau bahkan tidak terdapat hubungan sama sekali.
8.1.1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Partisipasi Lansia Dalam Kelembagaan Politik Desa Hubungan antara faktor sosial ekonomi Lansia dengan nilai budaya masyarakat desa dapat dianalisis dengan uji Spearman, karena tingkat pendapatan, tingkat pendidikan serta tingkat pengalaman berorganisasi dikategorikan menjadi suatu tingkatan atau ranking tertentu (tinggi, sedang, dan rendah) merupakan data dengan skala ordinal. Demikian juga dengan variabel-variabel dari nilai budaya masyarakat desa yang termasuk data ordinal. Variabel sikap terhadap politik dikategorikan menjadi sikap positif, netral dan negatif. Variabel kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa dalam lembaga politik desa dikategorikan menjadi percaya dan tidak percaya. Variabel persepsi terhadap pemimpin dikategorikan menjadi persepsi positif dan negatif. Analisis data dari hasil uji statistik Spearman disajikan dalam Tabel 46. Tabel 46. Hubungan faktor sosial ekonomi dengan faktor nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik tahun 2006 Signifikasi Hubungan
Tingkat Pendapatan
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengalaman Berorganisasi
Nilai Budaya Masyarakat Sikap terhadap politik
Kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa
Persepsi terhadap pemimpin
Koefisien Korelasi
-0,135
-0,461
-0,028
Probabilitas
0,406
0,003(**)
0,864
Keputusan
Tidak terdapat hubungan
Ada hubungan
Tidak terdapat hubungan
-0,463(**)
-0,101
-0,072
Probabilitas
0,003
0,534
0,661
Keputusan
Ada Hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Koefisien Korelasi
-0,573(**)
-0,188
-0,003
Probabilitas
0,000
0,246
0,986
Keputusan
Ada hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Koefisien Korelasi
Berdasarkan Tabel 46 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat kepercayaan responden terhadap kinerja perangkat desa dalam lembaga politik desa. Demikian juga terdapat korelasi antara tingkat pendidikan serta tingkat tingkat pengalaman berorganisasi dengan sikap responden terhadap politik. Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitas yang lebih kecil dari taraf nyata yang ditetapkan yaitu α = 0.10, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Namun, tidak terdapat hubungan antara variabel faktor sosial ekonomi dengan persepsi responden terhadap pemimpin yang daam hal ini menyangkut kriteria terhadap pemimpinnya. Ketiadaan korelasi juga nampak pada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap responden terhadap politik maupun tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan tingkat kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa dalam lembaga politik desa. Analisis terhadap tanda dari koefisien yang ditunjukkan dalam Tabel 46 yakni semua angka koefisien korelasi bertanda negatif. Tanda ini menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah antar variabel, atau dengan kata lain semakin tinggi status sosial ekonomi seorang responden maka akan semakin rendah tingkat keterpengaruhannya terhadap nilai- nilai budaya masyarakat desa dalam kehidupan berpolitik. Artinya responden dengan tingkat pendapatan, pendidikan serta pengalaman berorganisasi yang tinggi memiliki kecenderungan bersikap lebih negatif terhadap politik, memiliki ketidakpercayaan terhadap kinerja perangkat desa, serta lebih cenderung berpersepsi negatif terhadap pemimpinnya. Analisis terhadap hasil uji statistik tersebut memberikan penguatan bahwa status sosial ekonomi menentukan keseluruhan hidup seseorang karena akan cenderung untuk meniru nilai-nilai, norma-norma serta perilaku sosial yang menjadi subkultur
berdasarkan posisinya dalam masyarakat. Posisi yang rendah dalam ekonomi menyebabkan seseorang lebih memiliki keikutsertaan yang minim dalam perkumpulan dan hubungan sosialnya. Kesibukan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi, disertai rendahnya pendidikan membentuk mereka untuk lebih menarik diri dari kehidupan berpolitik. Hal ini kemudian menjadikan beberapa responden menunjukkan sikap yang apathi terhadap politik. Salah satunya terlihat bahwa mereka cenderung merasa bahwa politik bukanlah urusan ‘orang kecil’, meski mereka memiliki ketidakpuasan terhadap kinerja perangkat desa. Hal ini menjadikan penggolongan status sosial dan kesenjangan yang terjadi karenanya menjadi sesuatu gejala yang tidak dapat dihindari. Masyarakat pada dasarnya tersusun atas pelbagai pekerjaan yang membutuhkan suatu alokasi peranan dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberi jaminan bagi terisinya jabatan-jabatan pentig oleh orang-orang yang cakap. Pekerjaan atas jabatan penting tersebut, dalam hal ini untuk pengaturan masyarakat dalam kelembagaan politik desa, diberikan imbalan yang lebih tinggi karena alasan tingginya tingkat kesulitan dan kepentingannya, sehingga memerlukan bakat dan pendidikan yang lebih tinggi pula (Moore dalam Horton dan Hunt, 1999). Cara pandang tersebutlah menjadi dasar atas penempatan seorang kyai maupun elite politik Lansia melalui peranan yang sentral dalam politik desa. Kyai memenuhi kriteria masyarakat baik dari bakat serta pendidikan yang tinggi dalam ilmu agama Islam untuk mengatur masyarakat desa menjadi suatu masyarakat yang lebih harmonis. Selaras dengan ajaran dan nilai dalam Islam dan menjadi tauladan masyarakat.
8.1.2 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Politik dan Nilai Budaya Masyarakat Desa Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Partisipasi dalam Pemilu 2004 dan keterdedahan terhadap berita politik dalam media massa
mencerminkan bentuk komunikasi, pengetahuan serta
kesadaran terhadap politik yang akan memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai, normanorma dalam budaya politik masyarakat desa. Jika dilakukan kontrol terhadap keterhubungan antara faktor sosial ekonomi dengan nilai budaya masyarakat desa, hasil uji korelasi parsial menunjukkan suatu pergeseran (lihat Tabel 47). Tabel 47. Hubungan antara faktor sosial ekonomi, faktor politik dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006 Nilai budaya masyarakat desa Sikap terhadap politik Tingkat pendapatan Tingkat partisipasi dalam pemilu 2004 Tingkat keterdedahan terhadap berita politik di media massa Tingkat pendidikan
-0,361
Kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa -0,194
Persepsi terhadap pemimpin -0,128
-0,342
-0,147
-,027
Tingkat partisipasi dalam pemilu 2004
-0,270
-0,198
-0,297
Tingkat keterdedahan terhadap berita politik di media massa
-0,230
-0,119
-0,121
Tingkat pengalaman Tingkat partisipasi berorganisasi dalam pemilu 2004 Tingkat keterdedahan terhadap berita politik di media massa
-0,455 -0,367
-0,246 -0,196
-0,126 0,012
Jika koefisien korelasi pada Tabel 47 dibandingkan dengan koefisien dalam tabel yang menunjukkan signifikasi hubungan tanpa pengaruh dari faktor politik maka terlihat bahwa derajat keterhubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap terhadap politik serta memiliki kekuatan hubungan yang lebih menguat. Namun, justru kekuatan hubungan antara tingkat pendapatan dengan kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa dalam lembaga politik desa menjadi lebih lemah bahkan menjadi suatu hubungan yang dapat diabaikan. Pengaruh dari kedua variabel dari faktor politik ini semakin nampak pada keterhubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan nilai budaya yang ada pada masyarakat Desa Situ Udik. Kekuatan hubungan antara variabel pokok menjadi lebih lemah, jika dibandingkan dengan hasil nilai koefisien korelasi tanpa pengaruh dari variabel faktor politik sebagai variabel kontrol. Derajat hubungan tersebut melemah menjadi suatu kekuatan hubungan pada tingkat yang lebih rendah atau bahkan menjadi hubungan yang dapat diabaikan atau hilang pengaruhnya. Ketersentuhan yang meningkat terhadap media massa dari para Lansia di Desa Situ Udik menjadikan mereka lebih ‘melek’ terhadap politik. Reformasi pada struktur pemerintahan memberikan ‘hawa yang lebih segar’ terhadap kehidupan berpolitik masyarakat desa. Kebijakan politik yang banyak berubah disertai dengan berkurangnya tekanan dari pemegang kekuasaan terhadap masyarakat. Akses bagi masyarakat kebanyakan dibuka lebar dengan harapan mampu memberikan kontrol terhadap dijalankannya kekuasaan dan berdasarkan keabsahannya. Minat terhadap politik pun semakin meningkat. Hal ini kemudian ditunjukkan dengan menangnya partai-partai yang lebih progresif dalam Pemilu 2004 yang mampu menggeser pengaruh golkarisasi di masa orde baru.
Keprogresifan ini tidak terlepas dari figur seorang tokoh masyarakat terutama tokoh agama masih kuat. Hal ini terlihat dari kepatuhan warga atas apa yang diucapkan oleh para pemuka agama, khususnya kyai. Kyai merupakan sumberdaya yang cukup langka sebab perlu pemahaman agama yang baik serta sikap yang dapat menjadi suri tauladan bagi mayarakatnya. Seorang guru agama akan menempati posisi yang terhormat dan memperoleh hak-hak istimewa dari masyarakat. Dana perelek misalnya sebagian besar dialokasikan sebagai ‘bayaran’ untuk para ustadz. Kapasitas seorang kyai juga menjadi kontrol sosial dalam masyarakat melalui teguran-teguran atau sanksi moral yang diberikan pada kasus-kasus yang bertentangan dengan nilai- nilai masyarakat desa. Dominannya peran Kyai sebagai orientasi keseharian masyarakat Desa Situ Udik dapat dilihat dari keberadaannya yang dianggap sangat penting dalam mengambil segala keputusan, termasuk keputusan politik. Kahmad (2000) mengemukakan bagi masyarakat berkembang, agama selalu menjadi komoditas politikuntuk menarik massa dan sumber isu- isu untuk menarik simpati dan suara politik. Setiap partai politik kerap mendekati pemimpin kelompok agama tertentu untuk menarik simpati anggotanya demi meraih dukungan dalam pemilihan umum.
8.1.3 Hubungan Antara Faktor Sosial Ekonomi, Jenis Kelamin dan Nilai Budaya Masyarakat Desa Situasi sosial yang ada yakni budaya, struktur sosial dan tentunya menyangkut tentang interaksi sosial serta relasi gender. Jika dikaitkan dalam kehidupan politik di desa, peran serta posisi perempuan selalu terpinggirkan. Konstruksi sosial menyebabkan politik seolah-olah hanya ur usan laki- laki, yang diperbolehakan mengurusi sektor publik semata, sementara sektor domestik tidak memiliki korelasi sama sekali. Usaha untuk
melihat hal tersebut dilakukan dengan melakukan uji analisis dengan uji korelasi kontingensi guna melihat keterkaitan tersebut dengan memasukkan variabel jenis kelamin sebagai suatu variabel yang mempengaruhi. Keputusan analisis terhadap uji statistik ditunjukkan pada Tabel 48. Tabel 48. Keputusan uji statistik kotingensi hubungan antara faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006 Nilai budaya masyarakat desa Sikap terhadap politik Tingkat pendapatan
Tingkat pendidikan
Perempuan
Ada hubungan
Laki-laki
Ada hubungan
Perempuan
Tidak terdapat hubungan Ada hubungan
Laki-laki Tingkat pengalaman berorganisasi
Perempuan Laki-laki
Tidak terdapat hubungan Ada hubungan
Kepercayaan Persepsi terhadap terhadap kinerja pemimpin lembaga politik desa Tidak terdapat Tidak terdapat hubungan hubungan Tidak terdapat Tidak terdapat hubungan hubungan Tidak terdapat Tidak terdapat hubungan hubungan Tidak terdapat Tidak terdapat hubungan hubungan Tidak terdapat Tidak terdapat hubungan hubungan Tidak terdapat Tidak terdapat hubungan hubungan
Keputusan hasil uji statistik yang ditunj ukkan dalam Tabel 48 nampak bahwa signifikasi hubungan hanya nampak pada responden laki- laki. Signifikasi hubungan hanya nampak bagi responden perempuan jika ditinjau berdasar tingkat pendapatan. Hasil statistik ini menunjukkan betapa mapannya budaya patriarki dalam kehidupan politik masyarakat Desa Situ Udik. Laki- laki dipandang lebih bisa untuk menjadi pemimpin dibandingkan perempuan, karena menurut pandangan mereka kaum pria mempunyai figur yang lebih kuat untuk bisa dijadikan seorang pemimpin dalam membimbing kaum wanita dan anak-anak di kesehariannya. Nilai agama diterapkan dengan pengaruh besar dari konstruksi sosial yang ada bahwa kaum pria lebih kuat dibandingkan kaum wanita, kemudian lebih memberikan
ruang yang lebih besar bagi laki- laki khususnya Lansia dalam kelembagaan politik desa. Kebiasaan laki- laki yang lebih sering shalat di masjid dibandingkan perempuan maka laki- laki lebih cepat menerima informasi- informasi penting yang disampaikan di masjid, baik disampaikan secara langsung (dari mimbar masjid) oleh kyai maupun dari interaksinya dengan orang lain ketika berada di lingkungan masjid. Munculnya perempuan sebagai pemuka masyarakat tidak terlepas dari posisi sosial ekonomi dari suami, keluarga luasnya atau relasi sosialnya dalam kelompok penting di masyarakat seperti kelompok tani. Istri seorang pemuka masyarakat seperti Ibu Neng (60 tahun) bertugas untuk menjalankan fungsi sosial kemasyarakatan dari posisi politik suaminya sebagai ketua RW dan ketua kelompok tani yang berpengaruh di Desa Situ Udik. Ibu Neng menjadi pengurus dana perelek, ustdzah dalam pengajian ibuibu, menjadi pengurus zakat serta menjadi ketua kelompok wanita tani. Namun, dalam keseharian pemuka perempuan ini juga menjalankan fungsi komunikasi politik bagi suami, atau anak lelakinya. Keleluasaan dalam akses dan memiliki kontrol terhadap kelembagaan sosial dalam masyarakat ini karena mereka lebih memiliki keluangan waktu sehingga mereka mampu untuk mengembangkan hubungan sosialnya dalam perkumpulan dan mampu berpartisipasi dalam organisasi. Hal ini kemudian mempengaruhi sikap mereka terhadap politik, meski masih dibatasi oleh budaya ‘ketokohan’ yang kental akan maskulinitas yang menyebabkan mereka pasif memberikan kontrol terhadap dijalankannya kekuasaan dalam kelembagaan politik desa. Kepercayaan dan persepsi mereka terhadap pemimpin desa menjadi salah satu cerminan dari relasi gender yang ada dalam masyarakat Desa Situ Udik.
8.2 Hubungan antara Nilai Budaya Masyarakat dengan Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan Politik Desa Partisipasi merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat diamati (overt behavior). Perilaku tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi mengandung keterkaitan dengan hal- hal lain. Sikap, persepsi dan kepercayaan tidak hanya dapat memberikan gambaran kondisi internal seorang individu tetapi juga kondisi eksternal masyarakat yakni menyangkut nilai-nilai sosial budaya yang terdapat dalam masyarakat. Hal ini karena pada dasarnya sikap, persepsi serta kepercayaan seseorang ditentukan oleh nilai- nilai, norma- norma serta budaya yang ada di sekitarnya. Sikap, persepsi dan kepercayaan merupakan serangkaian kecenderungan yang menunjukkan gejala untuk berperilaku. Khususnya dalam suatu perilaku dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Nilai budaya yang difokuskan pada nilai budaya politik merupakan masalah keterlibatan secara psikologis, ideologis bukan secara konkret. Keterhubungan antara nilai budaya politik sebagai sesuatu yang abstrak dengan partisipasi sebagai suatu keterlibatan yang lebih konkret dalam penelitian ini dikaji dengan menggunakan uji statistik. Uji Spearman digunakan sebagai alat uji yang dianggap mampu menjembatani permasalahan tersebut. Pemilihan uji ini sebagai salah satu alat analisis didasari pertimbangan variabel- variabel tersebut termasuk dalam skala pengukuran ordinal. Analisis dari hasil uji statistik tersebut terlihat dalam Tabel 49. Berdasarkan Tabel 49 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa dengan sikap terhadap politik. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya yang sebesar 0,002 yang lebih kecil dari taraf nyata yang ditetapkan yaitu α = 0,10 yang berarti kedua variabel memiliki korelasi dan hubungannya signifikan secara statistik. Namun, tidak terdapat keterhubungan antara
tingkat partisipasi dengan kepercayaan serta persepsi Lansia di Desa Situ Udik . Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitasnnya yang lebih besar dari taraf nyata yang telah ditetapkan. Tabel 49. Hubungan antara nilai budaya masyarakat desa dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik Desa Situ Udik, tahun 2006 Hubungan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa Koefisien Korelasi Probabilitas Keputusan
Nilai budaya masyarakat desa Sikap terhadap Kepercayaan terhada p Persepsi terhadap politik kinerja lembaga politik desa pemimpin -0,479(**)
-0,131
0,040
0,002
0,421
0,805
Ada hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tabel 49 juga menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel nilai budaya masyarakat dengan tingkat partisipasi memiliki koefisien korelasi yang bertanda negatif. Tanda ini menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah antara kedua variabel atau dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat partisipasi responden disebabkankan besarnya pengaruh nilai- nilai dan budaya yang berlaku pada masyarakat Desa Situ Udik. Kuatnya pengaruh budaya ‘ketokohan’ dan pola hubungan ‘saduluran pada masyarakat Desa Situ Udik tercermin dalam pemilihan kepala desa dan perekrutan para pamong serta perangkat desa. Dukungan tokoh kyai berpengaruh menjadi syarat utama untuk dapat menggalang suara masyarakat. Dukungan ini akan menjadi ‘fatwa’ atau semacam himbauan yang mampu memobilisasi suara massa. Kepala desa sekarang juga dipilih karena beliau adalah anak seorang tokoh masyarakat yang memiliki banyak pengikut dan memberikan kontribusi langsung (dana) kepada masyarakat. Hal ini adalah sebagai wujud dari kedermawanan untuk mengayomi masyarakat.
Bentuk partisipasi Lansia secara aktif muncul ketika berkenaan dengan penyaluran dana BLT-BBM. Dimana mereka yang merasa termasuk dalam keluarga miskin dan tidak memperoleh aliran dana tersebut melakukan aksi protes secara berkelompok untuk mempengaruhi keputusan pemerintahan desa yang dinilai lebih mementingkan ikatan- ikatan relasi untuk menentukan penerima dana.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Usia tua menempatkan seseorang pada posisi yang terhormat dalam masyarakat Desa Situ Udik yang menggolongkan orang yang dianggap lebih tua itu kepada kaum sesepuh yang patut untuk banyak didengarkan nasihat- nasihat dari mereka serta pengalaman hidup yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum yang masih muda. Meski terhormat tidak semua Lansia memiliki pengaruh dalam kelembagaan politik desa. Kondisi sosial ekonomi Lansia yang menjadi determinan utama partisipasi mereka dalam kelembagaan yang menjalankan fungsi penyaluran aspirasi, pengambilan keputusan serta pendistribusian kekuasaan pada masyarakat desa. Lansia di Desa Situ Udik dicirikan dengan mayoritas berusia yang tergolong dalam kategori lanjut usia (elderly—yakni antara 60-75 tahun), dimana perempuan Lansia lebih tua dari laki- laki Lansia. Ditinjau secara sosial Lansia ini berpendidikan rendah, bahkan banyak yang masih buta huruf. Meski mayoritas Lansia perempuan lebih banyak berstatus janda dan tidak memiliki jaminan pensiun atau fasilitas rumah jompo namun komunitas menyediakan sistem pendukung dalam perawatan Lansia ini baik secara sosial (ikatan sosial kekerabatan) maupun secara ekonomi. Perkumpulan yang ada di masyarakat seperti pengajian, ulu- ulu, dana perelek dan paguyuban menjadi institusi dimana mayoritas Lansia pada umumnya di Desa Situ Udik masih ikuserta. Kehidupan politik Lansia di pedesaan ditunjukkan dari partisipasi dalam Pemilu 2004. Menangnya Partai Keadilan Sejahtera menunjukkan dinamika politik di pedesaaan yang tengah progresif sejalan dengan era reformasi. Demikian juga dengan
ketersentuhan terhadap berita politik yang tinggi sebagai cermin meningkatnya minat terhadap politik. Meski keprogresifan tersebut hanya di permukaan saja, karena baik pilihan terhadap partai politik maupun keikutsertaan dalam kampanye politik lebih merupakan mobilisasi politik dari pemimpin lokal terutama kyai sebagai panutan. Nilai Budaya Masyarakat Desa Situ Udik dan Partisipasi Semu Gambaran dari nilai- nilai, norma serta budaya politik masyarakat Desa Situ Udik tercermin dari sikap terhadap politik, kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa serta persepsi terhadap pemimpin. Masyarakat Desa Situ Udik cenderung berorientasi “ketokohan”, artinya peran-peran politik desa pada umumnya ditanggungjawabkan atau dipercayakan pada orang-orang yang ditokohkan dalam masyarakat. Nilai ini terikat pula dengan nilai religi yang menempatkan guru-guru agama sebagai tokoh yang dipatuhi dan ditempatkan pada posisi elite. Kyai sebagai tokoh sentral yang menjadi panutan karena kharisma yang dimilikinya. Kyai sebagai orientasi keseharian masyarakat termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Elite diposisikan sebagai seorang ‘bapak’ yang mengayomi dan melindungi masyarakat sebagai anaknya. Hal ini juga mempengaruhi persepsi dan kriteria masyarakat tentang pemimpin yang berpengaruh dengan yang berusia tua atau berusia matang (middle age); memiliki pengalaman (pernah migrasi ke Jakarta) dan pengetahuan yang akan ilmu- ilmu agama (kyai, ustadz/ustadzah) serta terhadap norma, nilai serta tradisi; serta dermawan. Keberhasilan politik orang-orang elite desa disebabkan me reka memiliki kebijaksanaan sosial dalam hal ini kedermawanan yang seringkali menguntungkan golongan sosial ekonomi bawah (massa). Keberhasilan politik ini membuktikan bahwa massa bisa menerima pemimpin dari golongan elite, jika pemimpin tersebut ternyata peka terhadap
kebutuhan golongan sosial ekonomi bawah, sehingga membuat massa percaya akan legitimasi para elite. Prinsip ini memiliki keterkaitan dengan etika komunitas petani yang menjadi inti kehidupan masyarakat Desa Situ Udik. Prinsip safety first atau dahulukan selamat kemudian mejadi latar belakang pegaturan teknis, sosial, dan moral pola hubungan ‘kebapakan’. Pola ini memiliki hubungan yang lebih ‘halus’ dibandingkan hubungan patron client yang memberikan tekanan pada aspek material saja. Sikap yang netral, hati-hati, skeptis serta cenderung menghindarkan diri dari konflik dengan pihak yang elite membentuk pola perilaku yang dianggap wajar. Soetarto (1999) menyatakan ini sebagai suatu bentuk pengendalian sosial, yang berwujud pada pembatasan minat, antusias serta ambisi. Pembatasan ini mempengaruhi kelembagaan politik desa sebagai institusi atau sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, mempunyai fungsi pencapaian keputusan dan pendistribusian kekuasaan. Kharisma kyai yang memudar saat dunia sosial kehilangan tokoh yang kekuasaan dan pengaruh yang besar. Dominasi kemudian berlanjut dengan penguasa yang melanjutkan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin kharismatis. Keabsahan didasarkan pada tradisi, serta ‘administrasi’ tradisional, yang para ‘pejabat’- nya merupakan kerabat dekat, disusul dengan kerabat luas baru kemudian ruang diberikan kepada orang lain jika masih ada sisa peluang. Keputusan-keputusan disini berkaitan dengan kepentingan orang banyak, sebagian besar diinisiasi atau diprakarsai oleh tokoh tersebut. Masyarakat kampung biasanya ”patuh” terhadap keputusan-keputusan tersebut. Pola hubungan kekuasaan dan
nilai ‘kebapakan’ menjadi etika yang menampilkan tindakan dengan bentuk kesetiaan secara sukarela hormat kepada ‘dununganna’. Musyawarah di tingkat kampung dalam kegiatan pengajian merupakan kelembagaan penyaluran aspirasi yang mampu diakses oleh para Lansia dengan budaya ‘titip’ aspirasi yang masih kental diterapkan. Terutama bagi perempuan Lansia yang jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi maupun musyawarah politik desa. Hal ini menunjukkan meski memiliki akses namun ‘mutu’ partisipasi yang minimal karena kontrol yang hampir tertutup dalam fungsi pengambilan keputusan, menampilkan kesemuan dari keterlibatan dalam kelembagaan politik desa. Dimana Lansia tidak dapat berperan secara efektif dan penuh. Namun, ketika hal ini menyentuh kebutuhan mereka untuk bertahan hidup, mendorong mereka untuk melakukan bentuk partisipasi yang lebih aktif untuk mempengaruhi kebijakan politik desa. Pengaruh Terpaan Media Massa dan Pemilu 2004 Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara status sosial ekonomi dengan sikap dan kepercayaan yang menjadi cermin nilai budaya masyarakat. Hal ini ini menunjukkan bahwa identifikasi terhadap status atau posisi seseorang secara sosial maupun ekonomi akan menentukan keseluruhan hidup seseorang. Hal ini karena pada dasarnya seseorang akan meniru nilai, norma maupun perilaku sosial sesuai dengan posisinya dalam masyarakat. Lansia dengan status sosial ekonomi yang tinggi menganggap keterlibatan dalam politik merupakan suatu tugas fungsional untuk tampil sebagai pemimpin dan penguasa dari atas posisinya tersebut. Mereka dianggap lebih memiliki kecakapan untuk mengemukakan pendapat dan menyampaikan apa yang menjadi aspirasi orang lain. Lansia elite ini kemudian memiliki akses untuk menjalin hubungan pada politik atas desa yang lebih progresif seperti tergabung dalam partai
politik yang berada di tingkat kecamatan dan menjadi kader di desa atau kampungnya. Tidak demikian dengan Lansia dengan status sosial ekonomi bawah, yang masih harus berjuang untuk memperjuangkan subsistensi hidupnya, sehingga mereka menganggap politik bukan urusan penting bagi hidup mereka. Nilai ini mulai meluntur lewat sikap yang lebih terbuka pada politik yang mempengaruhi
kepercayaan
mereka
terhadap
dijalankannya
dominasi
dalam
kelembagaan politik desa. Hasil uji statistik korelasi secara parsial menunjukkan bahwa gelombang reformasi politik lewat partisipasi dalam Pemilu 2004 dan ketersentuhan terhadap berita politik di media massa memberikan dampak yang signifikan terhadap dinamika politik lokal namun dapat dikatakan tidak begitu memberikan dampak yang mendasar. Dimungkinkan hal ini disebabkan oleh ikatan-ikatan tradisional atau primordialisme yang masih kuat mengakar di masyarakat. Di sisi lain faktor pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang rendah menjadi salah satu hal yang mempengaruhi kurangnya proses adopsi terhadap perubahan-perubahan dari luar termasuk dinamika politik di tingkat supra lokal. Wujud dari hal ini terlihat dari partisipasi dalam kelembagaan politik desa, meski berpartisipasi Lansia kebanyakan ini hanya mampu mengembangkan hubungan sosial politiknya dalam kelembagaan informal desa dengan memberikan dan mempersiapkan generasi yang lebih muda—middle age untuk menjalankan dominasi formal desa. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi penarikan dunia politik formal reformasi yang lebih progresif dengan menggeser orang-orang yang tua yang dinilai konservatif.
Perspektif Politik Perempuan Lansia di Pedesaan Pembedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial menunjukkan relasi gender yang berlaku di masyarakat. Relasi ini merupakan bagian dari nilai- nilai budaya masyarakat desa yang memiliki pengaruh dalam hubungan antara status sosial ekonomi dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hasil uji statistik koefisiesn kontigensi menunjukkan bagaimana nilai-nilai gender mempengaruhi sikap seseorang terhadap politik. Laki- laki yang diposisikan secara sosial maupun ekonomi lebih tinggi dibandingkan perempuan mempengaruhi juga partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini menunjukkan apa yang oleh Murniarti (2004) bahwa perkembangan pengertian politik didasari cara pandang yang biner patriarki, yang akhirnya menciptakan pengertian politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan yang sudah mapan dalam masyarakat. Pengaburan pengertian politik (klasik) seperti yang dikemukakan oleh Rush dan Althoff (2003) bahwa perhatian sentral dari politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan tertentul; atau secara otoritatif mengalokasi sumber-sumber dan nilai- nilai tertentu; telah berubah menjadi pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh yang hanya bisa dan mampu diakses dan dikontrol laki- laki yang dianggap lebih mampu bertahan. Pengertian politik yang demikian makin menyingkirkan perempuan terlebih lagi perempuan Lansia dalam kehidupan politik. Perempuan Lansia dalam masyarakat, masih menentukan posisi sosialnya berdasarkan posisi/status dari suami maupun anak laki- lakinya. Meski tergolong sepuh namun hambatan untuk melakukan mobilitas dalam kegiatan politik dengan modal penghormatan karena usianya. Salah satu sebab
perempuan untuk bisa terjun dalam kegiatan yang politik yang dinilai penuh resiko sementara ada tuntutan dari tradisi sebagai seorang ibu, istri atau bahkan ketika perempuan tua menjadi seorang nenek yang mengurus cucunya. Perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik, mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa. Anggapan bahwa politik hanya mengurusi sektor publik semata, sementara sektor domestik tidak memiliki korelasi sama sekali. Pembagian peran gender yang hanya memberikan perempuan Lansia bisa ‘bergerak’ bebas di bidang sosial, serta pendidikan namun tidak keterlibatan dalam politik. Fungsi pengambilan keputusan pun menjadi bias kepentingan, karena permasalahannya yang ‘banyak bicara’ adalah laki- laki. Perempuan Lansia cenderung tidak dihiraukan atau bahkan pengalaman yang dimiliki ‘dipukul rata’ dengan generasi muda yang dinilai lebih awam. Hasil keputusan pun jika diterapkan akan gagal mengakomodir kepentingan perempuan Lansia.
9.2 Saran Konsepsi tentang kesuksesan di masa tua ini, khususnya dalam pemahaman bangsa Indonesia tidak terlepas dari konstruksi sosial yang ada. Atas dasar banyak aspek yang membentuk pribadi, kemudian hidup dalam masyarakat, hal ini tidak hanya dapat diartikan sebagai kebahagian secara material. Konsepsi successful aging ini haruslah menyangkut segala sesuatu yang berguna dan dibutuhkan masyarakat terkait dengan kesejahteraan hidupnya secara keseluruhan . Baik bersifat rohani maupun jasmani, agar setiap anggota masyarakat maupun golongan dapat mengusahakan kesejahteraan, terutama untuk di masa tuanya, tanpa menghalangi usaha sesamanya. Pengembangan aktivitas sosial di hari tua dari konsepsi ini hendaknya meperhatikan hambatan rendahya pendidikan, ketiadaan jaminan pensiun sehingga
masih harus tetap produktif untuk memenuhi kebutuhan hidup meski tanpa target tertentu. Pengembangan kelembagaan dan jejaring pengajian ibu-ibu mejadi suatu kelembagaan politik untuk menyalurkan aspirasi politik. Pelibatan PKK untuk mengembangkan keterampilan rumah tangga tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran gender dengan mengadakan pelatihan. Peningkatan kesadaran gender diharapkan mampu meningkatkan kesadaran perempuan Lansia untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara penuh dan efektif dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Kelemahan dari penelitian ini adalah penggunaan indikator- indikator untuk mengukur variabel- variabel sikap, persepsi dan kepercayaan. Penulis mendorong penelitian terkait selanjutnya dalam penggunaan ukuran yang lebih valid dan reliabel. Salah satu permasalahan yang masih menggantung dari penelitian ini yang tidak mampu memberikan gambaran yang jelas bagaimana interaksi antara secara sosial politik antara Lansia dengan generasi muda khususnya elite Lansia dalam menggerakkan partisipasi politik. Hal ini sekaligus mengarahkan penelitian selanjutnya untuk mengkaji tentang bagaimana jaringan politik kyai dan keterkaitannya dengan budaya religi-kultural pada masyarakat sunda. Guna mengembangkan konsepsi tentang successful aging peneliti juga menyarankan untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana peran Lansia dalam menjalankan voluntary work dalam kelembagaan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2005. Survey Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2004. Jakarta: BPS.
Bearon, Lucille B. Successful Aging: What does the "good life" look like?. The Forum Journal. Vol. 1, No. 3, Summer 1996.
Budiarjo, Miriam.1972. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Dung Do-Le, Kim and Yulfita Raharjo. Community-Based Support for the Elderly in Indonesia: The Case of PUSAKA. Paper presented at the 2002 IUSSP Regional Population Conference on “Southeast Asia’s Population in A Changing Asian Context”. Bangkok, Thailand, 10-14 June 2002.
Cernea, Michael. 1988. Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan: Variabelvariabel Sosiologi di dalam Pembangunan Desa. Jakarta: UI Press.
Fachrozy, Afdhal. 2002. Tingkat Partisipasi Masyarakat Nelayan Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Farida, Rokhila. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Perempuan Sunda terhadap Kepemimpinan Perempuan (Kasus Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan. Universitas Muhammadiyah Malang.
Horton, dan Paul Hunt. 1999. Sosiologi: Jilid 2. Alih bahasa: Amiruddin Ram. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hofsteede, W. 1994. Pembangunan Masyarakat: Kumpulan Karangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Indawati, Rachmah. Identifikasi Beberapa Faktor yang Berkaitan dengan Banyaknya Lansia Di Kabupaten Lamongan (Studi Eksplorasi Data). Laporan Penelitian. Airlangga University Library Online.
Jutaan Lansia Butuh Pelayanan Sosial.http://www.suarakaryaonline.htm/wanita.htm Diakses tanggal 29 Mei 2006.
Lansia Lebih Banyak Daripada Balita. 2004. www.harianterbit.com/02062004/15:16.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2006.
Madrie. 1986. Beberapa Faktor Penentu Partisipasi Anggota Masyarakat dalam Pembangunan Pedesaan (Kasus: Desa-desa di Kecamatan Palas, Lampung). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Muljono, Pudji. 2003. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender; Buku Pertama [Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM]. Magelang: Indonesiatera
Ollenburger, Jane C., Helen A. Moore. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Powell, Jason Powell L. 2001.Theorising Social Gerontology: The Case Of Social Philosophies Of Age. The Internet Journal of Internal Medicine. Volume 2 Number 1.
Prijono, Tjiptoherijanto, Yumiko M. Prijono. 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Purwatiningsih, Annisa. 2003. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Suatu Kajian Dalam Kebijakan Program Dana Pembangunan Desa Wringin Anom Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang). http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/Annisa%20partisipasi%20politik%20dalam%20pembangunan%20desa.pdf. Diakses tanggal 2 Juni 2006.
Rahmi, Elfi. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Ibu-ibu Lansia dalam Kegiatan Bina Keluarga Lansia (Kasus: Kelompok Bina Keluarga Lansia di Kotamadya Bogor, Jawa Barat). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Rohmad, Zaini. 1998. Peran Pemuda dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan (Kasus Penelitian Desa-desa Wilayah Perkotaan, Pinggiran dan Pedesaan di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Rusli, Said. 1984. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Rush, Michael, Phillip Althoff. 2003. Pengantar Sosiologi Politik. Alih bahasa: Kartini Kartono. Edisi 1 Cetakan 10. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Rully, R. 2003. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di Rumah Sakit Umum dalam Perspektif HAM. http://www.balitbangham.go.id/JURNAL/Jurnal%20HAM%20I%20RULLY.do c. Diakses tanggal 5 Mei 2006.
Sastroadmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Press.
Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Siegel, Sidney. 1990. Statistik NonParametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (editor). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Soemardjan, Selo. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Soetarto, Endriatmo. 1999. Dialog Kritis anatara Golongan Elite dan Warga Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Studi Kasus: Desa Situ Raja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat). Disertasi.Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Suhartini, Ratna. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketergantungan Lansia. (http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunair.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2006.
Tonny, Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy (Studi Desentraliasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam). Project Working Paper Series No.4. Pusat Studi Pembangunan. Institut Pertanian Bogor.
_____________. 2003. Diktat Kuliah Pengembangan Masyarakat. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
UlHaq, M. Zia. 2002. Kelembagaan, Modal Sosial, dan Pola Adaptasi Ekologi dalam Masyarakat Pesisir dan Lautan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Wahyuni, Ekawati Sri. 2003. Kajian terhadap Kesejahteraan Penduduk Lanjut Usia di Pedesaan (Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu Tahun 2003). Kementerian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Walsh, Anthony. 1990. Statistics for The Social Sciences; With Computer Applications. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Pengkategorian variabel, ukuran, batasan gambaran pertanyaan dan penilaian No
Variabel
Ukuran
Batasan
1.
Tingkat pendidikan
Rendah
1. Tidak sekolah 2. Tidak lulus SD 3. Lulus SD 4. Tidak lulus SMP 5. Lulus SMP 6. Tidak lulus SMA 7. Lulus SMA 8. Diploma/akademi 9. S-1/ S-2/ S-3 Tidak pernah mengikuti organisasi, kelompok maupun perkumpulan dalam masyarakat
Sedang
Tinggi 2.
Pengalaman Berorganisa si
Rendah (skor: 1)
Sedang (skor: 5-9)
Tinggi (skor: 1013)
3.
Pendapatan
Ikut organisasi, kelompok, maupun perkumpulan dalam masyarakat; lama keikutsertaan lebih dari 5 tahun; hanya menjadi anggota saja Ikut organisasi, kelompok atau perkumpulan masyarakat; pernah menjabat sebagai pengurus, pemimpin, ketua, atau kepala; lama keikutsertaan lebih dari 5 tahun
Rendah
Masih memperoleh pendapatan tiap bulan; kurang dari Rp 100.000; Pendapatan baik berasal dari santunan/ sumbangan/dana BLT, dari anak/kerabat
Sedang
Masih memperoleh pendapatan dari bekerja
Pertanyaan
Keikutsertaan dalam organisasi/kelompok atau perkumpulan: 1. Ya 2. Tidak Banyak organisasi/kelompok atau perkumpulan yang pernah diikuti: 1. 1-2 organisasi/perkumpulan 2. lebih dari dua organisasi atau perkumpulan Jabatan/posisi dalam organisasi/kelompok atau perkumpulan: 1. anggota 2. pengurus/panitia 3. ketua/pemimpin/kepala Lama keikutsertaan dalam organisasi/kelompok/perku mpulan: 1. kurang dari lima tahun 2. lebih dari lima tahun Berasal dari manakah pendapatan yang diperoleh setiap bulannya : 1. Uang Pensiun 2. Uang santunan dari anak/kerabat 3. Uang santunan/BLT_BBM 4. Bekerja 5. Lainnya Besar pendapatan yang diperoleh setiap bulannya:
Nilai
2 1
1 2
1 2 3
1 2
Tinggi
4.
Tempat tinggal dan care giving
Mandiri
Tergantun g
5.
Status pernikahan
6.
Jenis Kelamin
7.
Usia
8.
Tingkat Partisipasi
1. Menika h 2. Duda atau Janda 3. Tidak Menika h/selibat perman en 1. Lakilaki 2. Peremp uan 1. Lanjut usia 2. Lanjut usia tua 3. Usia sangat tua Rendah (skor: 1)
atau uang pensiun maupun dari uang santunan/sumbangan; besar pendapatan antara Rp 100.000 sampai Rp 500.000 Memperoleh pendapatan dari bekerja atau uang pensiun maupun uang santunan atau sumbangan; besar pendapatan lebih dari Rp 500.000 Tinggal dirumah sendiri; tidak dirawat orang lain (mandiri)
Menumpang di rumah anak/kerabat; dirawat oleh anak, kerabat/sanak saudara atau orang lain
1. kurang dari Rp 100.000 2. Rp 100.000-Rp 500.000 3. lebih dari Rp 500.000
Tempat tinggal saat ini: 1. Rumah sendiri 2. Menumpang dirumah anak 3. Menumpang dirumah kerabat/saudara Caregiving: 1. mandiri/tinggal sendiri/ suami atau istri 2. dirawat anak 3. dirawat kerabat/saudara
Usia 60-74 tahun Usia 75-90 tahun
Usia lebih dari 90 tahun Tidak pernah mengikuti rapat formal desa
Keikutsertaan dalam rapat formal desa:
dalam rapat formal desa
Sedang (skor 5-9)
Tinggi (skor 1016)
9.
10
Tingkat partisipasi dalam dewan desa (pamong desa, kader, kepala desa, BPD)
Tingkat
Rendah (skor 1)
Pernah mengikuti rapat formal desa, bentuk rapat desa yang diikuti berupa sosialisasi atau penyuluhan program/proyek/kegiatan pembangunan atau kemasyarakatan, bisa juga mengikuti perencanaan atau penyusunan namun perannya hanya sebagai peserta saja; Pernah mengikuti rapat formal desa; frekuensi keikutsertaan lebih dari dua kali; mengikuti rapat penyusunan atau perencanaan maupun ikut dalam pengambilan keputusan; berperan sebagai pemberi masukan maupun pengambil keputusan Tidak pernah aktif menjadi pamong/kader
Pernah menjadi kader/pamong desa/kepengurusan RT/RW baik ditunjuk, dipilih masyarakat maupun inisiatif pribadi
Tinggi (skor 4-7)
Pernah menjadi kepala desa, dan anggota BPD baik ditunjuk, inisiatif pribadi maupun dipilih oleh masyarakat
Rendah
Tidak pernah mengikuti
1. pernah 2. tidak pernah Frekuensi keikutsertaan: 1. 1-2 kali 2. lebih dari dua kali Bentuk rapat desa yang diikuti: 1. sosialisasi/penyuluhan proyek/program/kegiata n pembangunan maupun kemasyarakatan untuk pelaksanaannya 2. perencanaan, penyusunan, dan perencanaan 3. pengambilan keputusan
2 1
4. mengikuti semua Peranan yang ditampilkan 1. peserta saja 2. ikut memberikan usulan/pendapat 3. ikut dalam pengambilan keputusan
4
Keikutsertaan dalam dewan desa: 1. pernah 2. tidak pernah Posisi atau jabatan yang pernah ditempati: 1. Pamong desa/ kader/kepengurusan RT/RW 2. Kepala desa atau BPD
1 2 1
2
3
1 2 3
2 1 1 2
Keikutsertaan berdasarkan: 1. Ditunjuk oleh pihak desa atau pihak atas desa 1 2. Dipilih masyarakat 3. Inisiatif Pribadi 2 3 Keikutsertaan dalam
partisipasi dalam musyawarah informal desa
(skor: 1) Sedang (skor: >2=5)
Tinggi (skor > 5)
11.
Tingkat Rendah partisipasi (skor 1-6) dalam Pemilu 2004 dan partai Sedang politik (skor 710)
Tinggi (skor 1114)
musyawarah Pernah mengikuti musyawarah informal desa; frekuensinya rendah; tidak pernah menjadi pemrakarsa diadakan musyawarah Pernah mengikuti musyawarah informal desa; frekuensi tinggi; menjadi pemrakarsa atau penyelenggara kegiatan
Hanya memilih saja dalam Pemilu 2004
Ikut Pemilu 2004; tapi berperan minimal dalam partai politik, kampanye politik.
Ikut Pemilu 2004; menjadi juru kampanye Pemilu; kader maupun pengurus partai; mengikuti penghitungan
musyawarah informal desa: 1. pernah 2. tidak pernah Frekuensi keikutsertaan musyawarah informal desa: 1. 1-2 kali 2. lebih dari dua kali Bentuk kegiatan musyawarah informal yang sering diikuti: 1. kegiatan keagamaan 2. perencanaan kegaiatan kemasyarakatan/pemban gunan 3. penyelesaian masalah/konflik 4. pemilihan/penunjukkan calon/ketua RT/RW 5. pengaturan pemanfaatan SDA atau fasilitas umum serta normanorma Pemrakarsa musyawarah: 1. para pemimpin desa (kepala desa, pamong, kader, ketua RT/RW, tokoh masyarat) 2. pribadi Keikutsertaan dalam Pemilu 2004: 1. Ya 2. Tidak Partai yang dipilih: 1. PKS 2. Golkar 3. PPP 4. PDI-P 5. Partai Demokrat 6. PBB 7. PKB 8. Lainnya Peran dalam partai politik: 1. Simpatisan 2. Kader 3. Pengurus Peran dalam kampanye
2 1
1 2
1
2 2 1
1 2 3
suara
12
Tingkat keterdedaha n terhadap media massa
Rendah (skor : =2)
Tinggi (skor 3-5)
13.
Sikap terhadap politik
Positif (skor 2-5)
Netral (skor 0-1)
Tidak memiliki akses terhadap media massa (tidak memiliki sarana), tidak pernah mengikuti perkembangan berita politik Memiliki sarana untuk mengakses media massa, tapi tidak pernah mengikuti perkembangan berita politik Memiliki sarana untuk mengakses media massa serta selalu mengikuti perkembangan berita politik Menganggap bahwa politik menyangkut pencapaian tujuan bersama, tata cara dalam mengatur masyarakat dan tertarik untuk terjun dan terlibat dalam politik; menyatakan masih berminat berpartisipasi aktif dalam politik desa
Menyatakan bahwa tidak mengerti dan tidak tahu apa itu politik karena merasa ’orang kecil’ jadi tidak perlu mengetahui apa itu politik; menganggap bahwa
Pemilu: 1. Tidak ikut 2. Ikut pawai kampanye 3. Juru Kampanye Keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu 2004: 1. Tidak ikut 2. Ikut Kepemilikan sarana media massa: 1. Televisi 2. Radio 3. Media cetak 4. Tidak punya Mengikuti perkembangan berita politik di media massa: 1. Ya 2. Tidak
Pernyataan sikap tentang politik: 1. Saya enggan dan merasa risih jika harus membicarakan segala sesuatu yang ’berbau’ politik 2. politik itu tabu untuk dibicarakan 3. politik itu jahat, penuh intrik, dan saling menjatuhkan 4. Saya mau/tertarik/ingin selalu terlibat dalam dunia politik 5. politik itu diperlukan untuk pencapaian tujuan bersama 6. politik itu menyangkut tata cara dalam
1 2 3
1 2 1 1 1 0 2 1
-1
-1 -1
1
1 1
Negatif (skor -3 s/d -1)
14.
Kepercayaa n terhadap kelembagaa n politik desa
Percaya (skor 3-5)
Tidak percaya (skor 2)
15.
Persepsi terhadap lansia aktif
Positif (skor: 1-3)
politik itu hanya menyangkut partai politik dan pemilu. Cenderung masih berminat terlibat dalam kegiatan politik desa. Menganggap bahwa politik itu tabu untuk dibicarakan dan enggan untuk berbicara politik, tidak tahu dan tidak mau tahu tentang politik; menyatakan tidak berminat lagi untuk terlibat atau berpartisipasi dalam politik desa Menganggap bahwa rapat desa mudah untuk diakses dan memiliki kontrol terhadapnya; menganggap bahwa kinerja perangkat desa baik atau sukses serta puas terhadap kinerjanya
Menganggap bahwa rapat desa sulit untuk diakses dan tidak memiliki kontrol maupun dapat diakses tetapi tidak memiliki kontrol; menyatakan kinerja perangkat desa tidak baik dan tidak puas terhadap kinerjanya. Menganggap lansia lebih dapat memenuhi kriteria sebagai pemimpin desa; menganggap lansia yang aktif masih dibutuhkan dan masih layak berperan dalam kelembagaan desa
mengatur kehidupan masyarakat 7. saya tidak tahu dan mengerti apa itu politik, karena saya ’orang kecil’ jadi tidak perlu tahu 8. politik itu partai dan pemilu Minat berpartisipasi dalam kelembagaan politik desa 1. berminat 2. tidak berminat
Anggapan terhadap aksesibilitas rapat serta musyawarah desa: 1. Sulit diakses serta tidak memiliki kontrol 2. dapat diakses tetapi tidak memiliki kontrol 3. dapat diakses serta memiliki kontrol
Penilaian terhadap kinerja perangkat desa: 1. puas/baik/sukses 2. tidak puas/belum sukses/buruk
Yang lebih memenuhi kriteria sebagai pemimpin atau orang-orang yang terlibat dalam kelembagaan politik desa: 1. golongan tua (lansia) 2. sama saja 3. golongan muda
0
0
2 1
1
2
3
2 1
3 2 1
Negatif (skor : 46)
Menganggap bahwa golongan muda lebih memenuhi kriteria sebagai pemimpin desa; menganggap bahwa lansia tidak perlu berpartisipasi.
Anggapan terhadap lansia yang masih berpartisipasi aktif dalam kelembagaan politik desa: 1. tidak cocok/pensiun saja 2. boleh, tapi lebih baik yang muda 3. boleh, tidak masalah
16.
Tingkat partisipasi dalam kelembagaa n politik desa
Rendah
Sedang
Tinggi
Skor total dari keikutsertaan dalam rapat desa, musyawarah serta dewan desa yakni 3-5 Skor total dari keikutsertaan dalam rapat desa, musyawarah serta dewan desa yakni 6-15 Skor total dari keikutsertaan dalam kelembagaan politik desa yakni 16-26
1 2 3
Lampiran 3. Kuesioner. Nama Pewawancara: Tanggal Wawancara: Berikan tanda silang [ X ] pada kotak yang telah disediakan ataupun pilihan yang sesuai dengan pilihan anda. A. Karakteristik Pribadi Lansia I. Identitas Diri 1. Nama : 2. Tempat Tanggal Lahir : 3. Alamat : 4. Jenis Kelamin : ? Laki- laki II. Tingkat Pendidikan
: Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi
? Perempuan
:? :? :? :?
Tidak Lulus Tidak Lulus Tidak Lulus Sarjana (S1)
? ? Lulus ? Lulus ? Lulus ? Diploma /Akademi
III. Pengalaman Berorganisasi 5. Apakah Bapak/Ibu saat ini atau pernah mengikuti organisasi atau perkumpulan dalam masyarakat? ? Ya/Pernah, ? Tidak/Tidak Pernah (langsung ke pertanyaan no.8 6. Jika Ya/Pernah, berapa banyak organisasi atau perkumpulan yang diikuti? Sebutkan! ? 1-2 organisasi : ______________________________________________ ? Lebih dari 2 : ______________________________________________ 7. Apa jabatan/posisi Bapak/Ibu dalam kepengurusan organisasi maupun perkumpulan dalam masyarakat tersebut? Berapa lamakah Bapak/Ibu menduduki jabatan atau posisi tersebut? No. Nama Organisasi/Perkumpulan Jabatan/Posisi Lama (Tahun)
IV. Pendapatan 8. Apakah Ibu/Bapak setiap bulannya memperoleh pendapatan? ? Ya ? Tidak 9. Berasal dar imanakah pendapatan yang diperoleh setiap bulannya? ? Uang Pensiun ? Uang santunan/sumbangan
? Anak ? Lainnya (sebutkan),____________
? Bekerja/Usaha
10. Berapa besar pendapatan yang Bapak/Ibu peroleh setiap bulannya? ? Kurang dari Rp 100.000 ? Rp 100.000 sampai Rp 500.000 ? Lebih dari Rp 500.000 V. Tempat tinggal dan Caregiving 11. Dimanakah Bapak/Ibu saat ini bertempat tinggal? ? Rumah Sendiri ? Menumpang di rumah anak ? Menumpang di rumah sanak saudara 12. Siapa yang merawat Bapak/Ibu? ? Mandiri/tinggal sendiri ? Sanak saudara (adik, keponakan, sepupu, dsb.) ? Anak ? Cucu/Cicit ? Orang lain, sebutkan hubungannya______________________ VI. Status Pernikahan 13. Saat ini, bagaimanakah status pernikahan Bapak/Ibu? ? Menikah ? Tidak menik ah (selibat permanen) ? Janda/Duda B. Partisipasi dalam Kelembagaan Politik Desa 14. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat atau pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa (Kelurahan)? ? Pernah ? Tidak Pernah, (langsung ke pertanyaan no. 18) 15. Berapa kali Bapak/Ibu mengikuti rapat atau pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa (Kelurahan)? ? 1-2 kali ? Lebih dari 2 kali 16. Rapat atau pertemuan tersebut diadakan dalam rangka kegiatan apa? Sebutkan! ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ 17. Peranan apa sajakah yang Bapak/Ibu tampilkan dalam mengikuti rapat atau pertemuan tersebut?__________________________________________________________ _________________________________________________________________ 18. Apakah Bapak/Ibu pernah atau saat ini menjadi lurah, pamong ataupun kader desa? ? Ya/Pernah, sebutkan menjadi apa? ? Tidak/Tidak pernah (langsung ke ______________________________ pertanyaan no.19) 19. Jika ya/pernah, bagaimanakah Bapak/Ibu dapat menjadi lurah, pamong atau kader desa? ? Ditunjuk oleh pemerintah desa/pemerintah atas desa ? Dipilih oleh warga masyarakat ? Inisiatif sendiri
20. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat atau musyawarah yang diadakan oleh masyarakat (diadakan secara informal)? ? Pernah ? Tidak pernah (langsung ke pertanyaan no.24) 21. Berapa kali Bapak/Ibu mengikutinya? ? 1-2 kali ? lebih dari 2 22. Musyawarah tersebut diadakan dalam rangka kegiatan apa? Sebutkan! __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ 23. Siapa yang memprakarsai kegiatan tersebut?_______________________________ 24. 1. Apakah Bapak/Ibu mengikuti Pemilu tahun 2004? ( ) Ya ( ) Tidak 2. Partai apa yang Bapak/Ibu pilih pada Pemilu 2004?_______________________ 25. Apa peran Bapak/Ibu dalam partai tersebut? ? Simpatisan ? Kader Parpol ? Pengurus 26. Bagaimana dengan pelaksanaan kampanye, apa peran Bapak/Ibu? ? Hanya ikut pawai ? Juru kampanye ? Tidak mengikuti 27. Apakah Bapak/Ibu ikut saat penghitungan suara? ? Ya ? Tidak 28. Apakah Bapak/Ibu masih mengikuti perkembangan berita politik di media massa? ? Ya, (sebutkan medianya________________________) ? Tidak, (Alasan,_______________________________________________________) 29. Apa yang terlintas pertama kali dibenak bapak/ibu ketika mendengar kata ’politik’? 30. Apakah Bapak/Ibu masih berminat untuk berpartisipasi dalam politik di desa? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 31. Menurut Bapak/Ibu orang yang seperti apakah yang masih pantas terjun dalam dunia politik? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 32. Bagaimana gambaran masa tua yang ideal/sukses menurut pendapat Bapak/Ibu? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 33. Apa pandangan Bapak/Ibu mengenai kelembagaan politik yang terdapat di Desa ini? a. Rapat-rapat desa ? Bisa diakses, tapi tidak punya kontrol ? Bisa diakses, dan punya kontrol ? Sulit untuk diakses, dan tidak punya kontrol b. Kinerja Kepala Desa dan Pamong Desa
? Sukses/Baik ? Belum Sukses/Buruk ? Tidak tahu 34. Apakah sarana dan prasarana politik yang terdapat di Desa ini sudah cukup menunjang partisipasi bagi semua warga desa? Sebutkan alasannya! a. Jarak ? Dekat dan bisa diakses dengan berjalan kaki ? Jauh, tapi masih bisa diakses drngan alat transportasi (contoh: ojek) ? Jauh, tidak bisa diakses 35. Posisi apakah yang layak diberikan bagi para lansia yang aktif dalam kelembagaan politik di desa ini? Alasannya? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________
*Terima Kasih*
Lampiran 3. Panduan pertanyaan 1. Kapan terpilih menjadi kepala desa? Alasan mengapa ingin menjadi kepala desa?(coba gali soal adanya kecenderungan hubungan kekerabatan dalam hal ini) 2. bagaimana proses untuk dapat terpilih menjadi kepala desa? Persyaratannya apa saja, ceritakan tentang proses pencalonan? Adakah kampanye, jika iya bagaimana prosesnya? 3. mana yang lebih diselenggarakan lebih dahulu, pemilihan BPD atau pemilihan kepala desa? 4. Apa saja tugas, wewenang serta tanggung jawab seorang kepala desa Situ Udik baik secara formal maupun informal? 5. Dalam menjalankan pemerintahan kepala desa dibantu oleh perangkat desa, apa saja peranan yang dijalankan oleh perangkat desa ini? Bagaimana proses pemilihan para pamong atau perangkat desa? 6. Rapat-rapat formal apa saja yang diselenggarakan di Desa Situ Udik? Bentuk kegiatannya seperti apa? Siapa saja yang dapat mengikuti rapat formal desa? Rapat yang seperti apa yang bisa diikuti oleh seluruh warga? 7. Bagaimana proses pengambilan keputusan politik dilakukan? 8. Bagaimana pola hubungan antara BPD dengan kepala desa? 9. Siapa ketua BPD sekarang? Apa syarat (formal dan informal—individu yang seperti apa menurut masyarakat Desa Situ Udik) jadi BPD? Bagaimana penilaian anda tentang lembaga ini? 10. Seberapa sering diskusi-diskusi informal diselenggarakan? Siapa saja yang kerap berdiskusi secara informal? Dimana diskusi ini seringkali dilakukan? Topik apa saja yang menjadi bahan pembicaraan dalam diskusi-diskusi tersebut? 11. Bagaimanakah posisi, peran serta status lansia dalam kelembagaan politik desa? Dalam hal atau permasalahan apa lansia biasanya dilibatkan? Lansia seperti apa yang sering dilibatkan kaitannya dengan politik desa? 12. Sulitkah menggalang partisipasi masyarakat Desa Situ Udik khususnya dari aspek politiknya? 13. Apa saja bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan bagi lansia?
14. Apa suka dan duka seorang kepala desa? 15. Upaya apa sajakah yang dilakukan untuk menampung aspirasi dari masyarakat? 16. Menurut anda apakah sarana serta prasarana yang ada sudah mampu menunjang partisipasi masyarakat dalam kelembagaan politik desa? Panduan pertanyaan untuk Pamong Desa 1. Sejak kapan jadi pamong desa? Mengapa menjadi pamong desa? 2. Bagaimana prasyarat (formal dan informal) untuk dapat menjadi seorang pamong desa? 3. Apa saja tugas, tanggung jawab serta wewenang pamong desa? 4. Jika ada rapat-rapat formal apa peranan yang ditampilkan? 5. Bagaimana bentuk pelayanan yang diberikan bagi lansia? Dibedakankah dari orang yang lebih muda? 6. Menurut anda apakah sarana dan prasarana yang ada sudah mampu menunjang partisipasi masyarakat? 7. Apa yang menjadi suka dan duka seorang pamong desa? 8. Sulitkah menggalang partisipasi masyarakat dalam politik desa? 9. Siapa aja yang biasanya memiliki akses dan kontrol dalam kelembagaan politik desa? 10. Apa pandangan anda tentang lansia yang masih aktif dalam kelembagaan politik desa? 11. Bagaimanakah konsep sukses di masa tua menurut anda?
Lampiran 4. Pandangan lansia tentang aksesibilitas dalam rapat-rapat formal desa, Desa Situ Udik tahun 2006 Pandangan 1: sulit untuk diakses serta tidak punya kontrol 2: bisa diakses tapi tetap tidak bisa punya kontrol 3: mudah untuk diakses serta mempunyai kontrol Total
Jumlah 21 13 6 40
Persentase 52,5 32,5 15,0 100,0
Lampiran 5. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kriteria terhadap pemimpin, Desa Situ Udik tahun 2006 Kriteria berdasarkan usia Pemimpin adalah yang berusia tua Pemimpin seharusnya adalah yang muda Sama saja baik tua atau muda Total
Jumlah 16 16 8 40
Persentase 40,0 40,0 20,0 100,0
Lampiran 6. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi terhadap posisi atau jabatan yang pantas bagi lansia yang masih aktif, Desa Situ Udik tahun 2006 Posisi atau jabatan yang pantas Pengikut Pengurus, kader, tokoh masyarakat, serta pamong desa Penasihat atau pembimbing Pemimpin, dewan desa Total
Jumlah 9 1 15 15 40
Persentase 22,5 2,5 37,5 37,5 100,0