Part 1 : Aku Menghajar Nenek-Nenek Dengan Cangkul
Aku tak tahu bagaimana semua peristiwa ini bermula. Yang jelas, keadaan sudah sangat memburuk ketika aku keluar dari kamar mandi dan Ali masuk ke kamarku seperti orang kesetanan. “KEMAALLL!!!” “Apa? Apa?” Aku bahkan masih memakai handuk saat itu. “Cepat pakai baju! Hal yang kita takutkan terjadi!” Aku berpikir sebentar, “Rhoma Irama jadi presiden?” “Bukan,” kata Ali makin panik, sesekali dia melihat ke jendela luar, “pakai saja baju dulu, akan kujelaskan sambil kita pergi.” Aku mau bertanya kemana kita akan pergi, tapi karena dia terlihat panik, aku langsung berpakaian. Sementara itu Ali sesekali mengecek jendela dengan gugup. Ini anak kenapa sih? “Oke, aku sudah siap,” kataku.
“Ambil ini.” Ali melempar cangkul ke aku. “Buat apa nih?” tanyaku bingung. Ali tak berkata apa-apa. Dia mengambil gitar dari kamarku dan berlari ke bawah. Aku mengikutinya dengan perasaan bingung. “Hei, kemana orang-orang di rumah?” tanyaku, lebih ke diriku sendiri daripada ke Ali. “Mereka sudah kabur, tadi aku ketemu di depan. Kau aja yang telmi banget.” “Telmi? Emangnya ada apa sih?” tanyaku makin penasaran. “Kau lihat saja sendiri. Siapkan senjatamu.” Ali menarik napas, lalu membuka pintu rumah. Tepat saat itu juga, tetanggaku bernama Pak Joko yang sudah cukup tua masuk. Aku baru hendak menyapanya ketika tiba-tiba Ali mengantamnya keras di kepala dengan gitarku. “Hei!! Apa yang kau lakukan??” Ali menghantamnya sekali lagi. Aku menahannya, “Kau gila ya? Itu orang tua!!” “Kem, dia itu zombie!”
langsung
“Apa?” “Zombie!” kata Ali melepaskan diri dariku, “Seperti yang ada di game-game, tapi kali ini nyata.” Aku melihatnya dengan aneh, “Mana mungkin zombie itu beneran ada? Mungkin Pak Joko hanya mau mengambil piring yang kemarin dipinjam ibuku.” Ali seperti capek denganku. Dia menarik tanganku keluar rumah. “Lihat keadaan sekitarmu.” Aku tak percaya apa yang kulihat. Tetanggaku dengan penuh nafsu sedang memakan tetanggaku yang lain di pinggir jalan. Banyak orang dengan badan yang tidak utuh lagi berjalan kesana kemari. Keadaan jalan sangatlah kacau. Ali benar, hal ini benar-benar terjadi. Zombie ada dimana-mana. “Percaya sekarang?” Aku mengangguk, “Ini mengerikan. Jadi kita sekarang harus kemana?” “Tadi polisi sempat memberitahu kalau kita harus evakuasi ke kantor walikota.” “Oke, kau pimpin jalan.”
Ali hanya diam. Kami saling bertatapan dan saat itulah kami sadar kalau tak ada satupun dari kami yang tahu jalan ke kantor walikota. “Kukira kau yang tahu,” kata Ali membela diri. “Aku tahu sih jalannya kalau naik angkot.” “Mana mungkin masih ada angkot yang beroperasi saat kayak gini.” “Kalau gitu, kita harus cari orang yang tahu.” Aku mulai melihat-lihat keadaan sekeliling untuk mencari seseorang yang masih hidup. Saat itulah terdengar suara teriakan. “Di rumah itu,” Ali menunjuk ke salah satu rumah, “Ayo, dia satu-satunya kesempatan kita sekarang.” Untunglah para zombie itu lamban, jadi kami bisa melewatinya dengan mudah sambil sesekali memukul yang terlalu dekat. Cukup menyedihkan karena banyak yang kukenal. Kami masuk ke rumah tempat sumber suara itu, dan langsung terlihat seorang lelaki sedang berjuang sekuat tenaga menahan seorang zombie nenek. Ali bertindak cepat dengan memukul kakinya, dan aku langsung menghantam kepalanya ketika zombie itu terjatuh.
“Maaf Nek,” kataku sedikit mual. Sampai lima menit yang lalu, aku tak akan pernah terpikirkan untuk memecahkan kepala nenek-nenek dengan cangkul. “Hei, kau tidak apa-apa?” kata Ali kepada lelaki itu. “Nenek...” jawabnya terbata-bata, “Nenek sedang mendengar lagu Justin Beiber yang baru saat tiba-tiba dia melompat ke aku dan mulai menggigitku.” “Justin Beiber?” tanyaku heran, tapi Ali sepertinya tertarik pada hal lain. “Kau...digigit?” Lelaki itu memperlihatkan bekas gigitan di tangannya. Aku dan Ali saling bertukar pandangan cemas. “Kenapa? Aku tidak apa-apa kan?” Aku memutuskan tidak menjawab dan balik bertanya, “Apa kau tahu dimana kantor walikota?” Dia berpikir sebentar, “Ya, kurasa ada di Jalan Soedirman. Memangnya kenapa?” Aku melihat Ali, dan dia sepertinya mengerti. “Maaf kami harus meninggalkanmu disini.” Dia terlihat heran, tapi kami langsung beranjak pergi sebelum dia bertanya-tanya lagi. Aku sedikit merasa bersalah. Setelah agak jauh, kami mendengar teriakan
lagi. Aku menoleh kebelakang dan melihat rumah tadi sudah mulai dimasuki zombie. “Sudahlah, dia memang sudah terinfeksi,” kata Ali. “Aku tahu,” kataku, menghela nafas, “tapi kenapa neneknya bisa jadi zombie. Menurut ceritanya, dia hanya sedang mendengar lagu.” “Menurut kabar yang kudengar, lagu terbaru Justin Beiber yang berjudul ‘False Address’ adalah penyebabnya. Entah bagaimana, orang yang mendengar lagu itu langsung terinfeksi. Semuanya bermula dari situ.” “Hufft, untung aku belum mendengarnya,” kataku lega. “Ya, kita berdua beruntung,” jawab Ali setuju, “jadi kita ke arah mana sekarang?” Aku berhenti. Ali juga berhenti sesaat kemudian. Dia melihatku, “Jangan bilang...” “Aku tak tahu dimana Jalan Soedirman.” “APA!” teriak Ali. Suaranya itu mengundang zombiezombie sekitar dan mereka mulai mengejar. Kami terpaksa lari sambil mencaci maki satu sama lain. Saat seperti ini, sifat buta arah kami berdua benar-benar menyusahkan.
Setelah berlari sekitar setengah jam tanpa tujuan untuk menghindari zombie, kami berhenti sejenak di pinggir jalan. “Gak bisa gini terus nih, kita harus cari tahu jalan ke kantor walikota?” “Kau benar,” jawab Ali, “Tapi gimana? Gak ada orang lagi di jalan?” Aku melihat keadaan sekitar. Memang benar sih, tidak ada orang sama sekali di jalan. Jangan-jangan mereka sudah pergi ke kantor walikota semua. Tiba-tiba aku mendapat ide, “Gimana kalau kita liat internet aja? Google Maps?” “Wah iya juga! Hapemu bisa internet?” “Hapeku kan masih model lama, hapemu gimana?” Ali mengeluarkan hape dari kantongnya, “Nokia 3310, jauh lebih jadul dari hapemu deh kayaknya.” “Yah, paling gak hape itu bisa jadi senjata. Katanya hape itu sulit dihancurkan.” Aku melihat ke salah satu rumah. Samar-samar terlihat dari jendela salah satu komputer masih hidup. “Li, lihat tuh!”