Memilikimu? "Pada dasarnya aku tidak pernah memilikimu." Credit : Cover by @freakbutawesome
Part 1: Perasaan ^ "Hai, Prad. Aku kangen sama kamu tau gak sih? Sibuk ya kita sekarang. Sibuk sendiri-sendiri. Ketemuan yuk? Eh iya, jadwal kita tabrakan mulu. Ya udah mungkin kita memang harus gini kan ya? Siapa sekarang yang jagain kamu dari perempuan-perempuan genit? Atau sekarang, kamu yang genitin mereka ya?" -Rena ^ "Rasanya tuh aneh banget. Aku bingung harus gimana lagi, Wen. Dia itu sahabat aku, sahabat dari kita kecil. Ya walaupun kita tuh udah lama gak ketemu ya. Nah, kita udah lama gak ketemu kok jadinya aku yang mikirin dia terus gini ya Wen? Wena, aku bingung. Aneh banget tau gak sih. Biasanya kalo kangen juga gak gini Wena." Itu yang aku rasain sekarang. Ya biasalah, kalo kamu punya masalah, kamu bakal cerita kan sama sahabatmu. Nah, sama kayak gue sekarang. "Tenang aja. Biarin rasa yang kamu rasain itu ngalir gitu aja. Kalo itu cuma bentar, ya kamu cuma kangen biasa. Tapi kalo lama, ya pasti ada yang lebih dari sekedar kangen." Sumpah, sahabat gue bijak banget. Gini nih kalo udah cerita sama dia, pasti langsung aja gitu, masalahnya langsung hilang gitu aja. "Nah kan, kalo aku kangen biasanya gak gini Wen. Beda banget. Ini tuh kayak gelisah gitu deh. Kayak ada rasa takutnya gitu. Takut kalo akhirnya bakalan kehilangan dia." Ya iya, lo tau kan ya. Kita kan udah sahabatan gitu, gue udah nyaman banget sama kita yang kayak gini. Eh, tiba-tiba aku punya rasa yang beda, rasa yang bakalan minta lebih dari temenan. Tiba-tiba juga, hubungan persahabatan kita rusak cuma gara-gara masalah rasa. Aku gak rela lah ya, sahabatan lama banget, terus tibatiba aku suka sama sahabatku itu, dan setelah itu dia tau, tiba-tiba lagi karena dia tau terus dia kayak jaga jarak gitu, terus udah gak ada kata kita lagi gitu. Yang ada cuma aku dan kamu doang. Udah sendiri-sendiri kayak gak bisa barengan gitu. Ya aku gak mau nantinya bakalan gitu. "Nah, berarti kamu ngerasain point yang kedua Rena sayang. Kehilangan gimana yang kamu takutin?" Aduh Wena, masih gak ngerti juga kehilangan yang kayak gimana. "Takut. Jadi ya Wen, Kan aku sama Prada udah sahabatan dari dulu. Buat apa persahabatan kita harus rusak cuma gara-gara masalah kayak gini. Gini deh, intinya kamu lebih baik pertahanin apa yang udah ada, yang udah bikin kamu nyaman. Daripada kamu egois ngumbar itu semua ke orang-orang yang akhirnya gak selalu kayak yang kamu mau. Kalo kamu maunya dia-orang yang kamu sayang bakalan ngeliat ke kamu dan dia bakalan punya rasa yang sama, itu gak selalu sama kayak yang bakalan terjadi. Tapi kalo yang kejadian malah dia ngejauh, dia jaga jarak, dia keluar dari kehidupan kita gimana? Tapi sekali lagi itu gak sama kayak yang bakalan terjadi. Ekspektasi sama realita itu beda Wen." "Nah, itu kamu tau. Hidup itu pilihan Ren. Yang bakalan terjadi kalo gak ini ya itu. Atau bahkan gak hanya dua pilihan, tapi ada banyak pilihan dan itu tetap harus dipilih. Sekarang waktunya kita positive thinking. Kalo udah positive thinking, semoga aja realitanya sama seperti ekspektasi kita." "Tapi hasilnya belum tentu kan kalo gitu. Kalo nanti dia jaga jarak, dia keluar dari kehidupan kita gimana?"
Tanyaku takut. "Yaudah lah enjoy aja. Jangan dibawa susah, dibawa seneng aja lagi. Sini sini, mungkin kamu lagi pengen dipeluk." Jawab Wena. "Ya ampun, makasih ya Wen. Akhirnya lega juga, makasih say." Kataku sambil tertawa. "Iya. Untuk yang ini jangan terlalu berlebihan ya, usahain semua itu bener-bener dari hati. Intinya dibawa asik aja, enjoy aja. Jangan sampe sakit hati untuk kesekian kalinya cuma karna cowok." ^ Note Hai! Maklumin ya masih coba-coba nulis di wattpad nih. Semoga suka dan menunggu kelanjutannya yaps Jangan lupa vote+comment! -Raaya
Part 2: 7 Tahun Lalu Rumahku, 14:00 WIB "Gini deh, biar kamu gak kangen sama Prada lagi, kamu ceritain waktu kalian berdua masih kecil. Pasti lucu deh." "Setidaknya berkurang dikit lah kangennya." Lanjut Wena. Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita. "Waktu kecil, aku udah jagain Prada dari perempuan-perempuan genit. Kita dari playgroup sampai SD sekolahnya bareng. Jadi waktu playgroup, temen sekelas tuh udah pada genit-genit. Setiap hari kita berangkat bareng. Lumayan kalo aku sama Prada, yang genitin dia bisa berkurang tuh.-" "Jadi kamu udah galak dari kecil ya Ren?" Potong Wena. Yang hanya kupelototi sebagai kode supaya Wena mendengarkan dulu jangan memotong. "Gak tau kenapa pada berhenti genitin Prada. Setiap kali di genitin dia cuekin tuh sama si Prada. Kadang agak kasian sih, tapi si Pradanya cuek aja. Jadinya aku mainnya sama cowok gitu, gara-gara kalo aku pergi temen-temen langsung deh nyerbu Prada. Jadi Prada risih, makanya dia minta aku sama dia terus." "Lucu deh. Makanya sekarang jadi macho gitu ya kamu." Goda Wena. "Oh gitu ya Wen? Kayaknya lebih macho kamu deh. Kan kamu kemana-mana pake celana, ya gak?" Jadi, Wena itu orangnya feminim banget. Kemana-mana pake rok, sampe-sampe naik gunung aja pake rok dia. "Gak usah ngejekin gitu deh." "Ya gak usah cemberut gitu deh. Kan kamu cantik kalo pake celana terus, eh rok maksudnya." "Tuh kan gitu. Yaudah pulang aja deh kalo gitu. Kamunya ngeselin." Itu hanya kelakarnya agar bisa pamit pulang. "Ya udah sana pergi." Aku mengizinkannya.
Dengan cerita tadi, aku kembali ingat saat-saat aku dan Prada masih playgroup. Cerita hari ini memang sudah selesai, tapi bukan berarti aku tidak boleh mengingatnya bukan? ^ *Flashback On* "Prad, jangan lari-lari dong. Tungguin aku." "Rena, sekarang itu kita harus puas-puasin main lari-lariannya. Karena besok kalau kita udah tambah tua, kita gak akan bisa main seperti ini lagi." "Iya Prad, aku tahu. Tapi kan kita besok bisa tetap main bareng kan? Lagian capek tahu main lari-larian." "Jadi kamu capek, Rena?" Nada bicaranya terdengar aneh. Saat aku baru menyadari apa yang akan terjadi, Prada sudah duduk di sebelahku. Prada langsung menggelitiki aku. "Prad! Udah dong! Geli tahu!" "Iya, okay okay!" "Walaupun kita udah dewasa besok, kita tetap sahabat kan?" "Iya lah, Ren! Siapa lagi coba yang bisa jagain aku dari teman-teman yang genit? Kan cuma kamu." "Iya ya!" "Tapi nih ya, kalau kamu harus jagain aku, berarti kita harus satu sekolah terus ya Ren! Gak mau tahu, pokoknya kita harus satu sekolah terus, harus sama-sama terus! Seperti kata Kak Aldo." "Gak memungkinkan deh Prad. Masa iya kita satu sekolah terus?" "Ya setidaknya kita tetap sahabatan seperti ini deh Ren." "Kalau itu mah pasti Prad." "Janji?" Tanyanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. "Janji." Aku mengaitkan jari kelingkingku sambil tersenyum. Kamipun tertawa bersama dan kembali berlari-larian. "Eh tunggu-tunggu Prad. Kita bakalan terus seperti ini kan? Selalu bersama-sama, selalu ada untuk satu sama lain."
Part 3: Dia Kembali "Rena, kamu kangen gak sama Prada?" Tanya Mama lagi saat aku tak menjawab pertanyaannya. "Kangen sih, tapi ya udah terbiasa Ma." "Terbiasa gimana maksud kamu?" "Ya udah terbiasa gak ketemu, jadinya ya gak masalah. Kangen sekangen-kangennya pun aku gak bakal bisa
ngapa-ngapain juga kan?" "Ya bisalah. Kamu cuma harus sms atau chat Prada bilang kangen atau apa gitu, minta ketemu. Gampang kan?" "Gak segampang itu Mama," Keluhku pada Mama yang menggampangkan segala masalah. "Apa susahnya sih Ren, tinggal ngetik terus kirim juga udah." "Gak gampang buat aku mulai pembicaraan dulu Ma," Aku sudah mulai kesal berdebat dengan Mama. "Kalau misalkan kamu gak mau ngetik, Mama mau kok ngetikin," Tawar mama. "Apa sih Ma, gak usah bahas Prada lagi deh. Nanti aku bakal coba hubungin dia deh," Kataku akhirnya mengalah dalam perdebatan ini. "Kamu suka ya sama Prada?" "Udah Mama, gak perlu bahas Prada lagi, okay?" "Wah beneran nih kamu suka sama Prada," Kata-kata Mama tak akan ku balas. Bukannya aku marah atau apa, tapi kalau akau menjawabnya perdebatan ini tidak akan selesai. ^ "Eh gila! Akhirnya reunian juga. Ternyata gak cuma aku yang kangen," Rena sedang menatap layar ponselnya. Teman-temannya mengajak untuk reunian. Walaupun hanya sekelas, itu sudah cukup. Karena Prada sudah termasuk di dalamnya. "Eh, tapikan belum tentu dia ikut," Pikir Rena. Tiba-tiba layar ponselnya menyala dan muncul sebuah notif line. Prada : Ikut reuni? Rena terbelalak menatap notif line yang ditujukan untuknya. Prada menanyakan di chat pribadi bukan? Tidak di grup kan? Entah bagaimana, jantungnya berdegup kencang saat ia memastikan bahwa pesan itu untuknya. Ya, benar! Pesan itu ditujukan untuknya. Rena S. : Mungkin. Masih belum pasti sih Akhirnya Rena membalasnya dengan pesan itu. Rena bingung mau membalas apa. Sebenarnya ia ingin sekali mengungkapkan rasa rindunya, tapi mengingat pesan Prada yang sangat singkat, ia mengurungkan niatnya. Bukan hanya singkat, Prada tidak menyebut namanya sama sekali! Prada : Kalo ikut bilang ya, nanti aku jemput Rena sangat amat ingin berteriak saat ini juga. Tapi mengingat mamanya yang menggodanya tadi, ia kembali mengurungkan niatnya. Rena hanya bisa bersorak-sorai dalam hati sambil tersenyum menahan rasa bahagianya. Rena S. : Emang masih inget jalan ke rumah? Rena hanya ingin mentupi rasa bahagianya tersebut dengan menjawab Prada cuek. Tapi Rena menambahkan nada bercanda agar Prada tidak marah padanya.
Prada : Jangan ngambek dong Ma, Papa kan pergi juga buat masa depan kita Akhirnya Rena tertawa membaca balasan Prada itu. Rena pikir, Prada sudah lupa bagaimana cara bercanda. Rena S. : Kan gak harus pergi pagi pulang pagi juga kan Pa :( Rena merebahkan badannya di kasur. Rena merasa sangat senang. Senang karena bisa kembali bersama Prada. Prada : Sekarang Mama istirahat, besok Papa yang jemput ya Rena masih berbaring. Rena tersenyum lega membacanya. Karena dengan perasaannya yang sudah berbeda pada Prada, ia masih bisa berada di dekat lelaki itu. Tapi Rena masih belum bisa membayangkan apa yang terjadi jika Prada tahu soal perasaannya. Dengan itulah, Rena berusaha menutupi semua rasa yang ia simpan untuk Prada. ^ Saat sarapan pagi, Rena meminta ijin pada kedua orang tuanya agar ia bisa reunian. Tapi malah mendapat ejekan dari sang Mama. "Rena boleh ikutan reunian ya Ma, Pa?" "Boleh, mau Papa anter gak Ren?" "Gak usah Pa. Nanti Rena dijemput Prada." "Waaaah! Lancar banget Ren ngajakin reuniannya. Cuma berdua ya?" "Enggak lah Ma. Kalo cuma berdua aku gak bakal nyebut itu reunian, tapi kangen-kangenan," Balasnya sambil tertawa. "Emangnya Prada kangen sama kamu?" Tanya Mama dengan nada mengejek. "Enggak Ma, dia gak kangen," jawabnya dengan wajah murung. "Lah Pa, anaknya marah." "Ya iyalah, Mama sih." "Tapi kayaknya dia kangen deh Ren. Soalnya dia mau jemput kamu," Tawar Mama dengan sedikit kesal karena Papa tak mau membantunya. "Kayaknya gak jadi, aku mau bareng teman-teman aja. Barusan dapet kabar suruh ke sekolah dulu, ada rapat." "Pasti Prada mau kok Ren jemput kamu di sekolah," Aku memutuskan untuk tidak menjawabnya. Aku tahu itu tidak sopan, tapi aku sedang malas berbicara untuk saat ini. ^ Rena S. : Prad, aku nanti berangkat sama teman-teman aja ya. Soalnya aku harus rapat dulu di sekolah. Prada : Aku jemput di sekolah gak apa-apa kok
Rena S. : Gak usah Prad, nanti muter-muter kamunya Prada : Gak masalah Rena S. :Gak usah Prad, nanti ada barengan kok. Ketemu di tempat aja Prada : Ya udah Rena S. : Gak marah kan? Prada : Enggak kok. Pulangnya bareng aku ya, aku anter ke rumah Rena S. : Siap Pa! Prada : Tunggu Papa ya Ma Rena S : Eh itu tadi kurang r, harusnya Pra hehe :) Prada : Auk. Terserah. Rena tersenyum lagi menatap layar ponselnya. Rena sudah sangat senang dengan hubungan yang seperti ini. Rena sudah senang bersahabat dengan Prada. Dengan itu, Rena tidak akan begitu saja merusaknya dengan perasaannya yang tumbuh untuk Prada. ^ Rena sedang berada di ruang OSIS sekolahnya sekarang. Rena sudah selesai rapat dan akan berangkat menuju cafe tempatnya reuni bersama teman-temannya. "Berangkat sekarang kan Ren?" Rena sedang bersama teman SMP yang sekarang teman SMA nya juga. Mereka akan berangkat bersama menuju cafe. "Iya ne. Kamu duluan ke depan aja, aku ada urusan sebentar," Rena membuka aplikasi LINE di ponselnya. Rena mendapatkan pesan dari Prada saat rapat tadi. Prada : Jangan lama-lama rapatnya. Aku tunggu di cafe ya, see you Rena kembali tertawa melihat pesan Prada itu. Rena S. : Otw Rena hanya terus berusaha menutupi rasa yang terus tumbuh. Rasa cinta yang tumbuh untuk Prada. Rena tahu dengan mereka bertemu, itu tidak mudah untuk menutupinya. Apalagi Rena mudah sekali salah tingkah. Walaupun begitu, Rena selalu ingat untuk tidak membiarkan Prada tahu soal perasaannya itu. Rena terlalu bahagia dengan suasana hidupnya saat ini. Ia tak mungkin menghancurkan semuanya hanya dengan membiarkan Prada mengetahui perasaannya. Rena akan meneruskan cinta sendirinya ini. ^ Note
Haiiiii! Akhirnya aku kembali membawakan update untuk kalian *apasih Udah selesai UKK nih jadi bisa update mumpung ide lagi ngalir hehe Jangan lupa tambahkan ceritaku di library kalian yaah! Juga jangan lupa buat vote+commentnya yaa, ditungguuu Raaya
Part 4: Bertemu "RENA!" "Uh? Iya, udah sampe ya?" Rena sedang dalam perjalanan menuju cafe. Rena bersama Anne sekarang. Anne adalah temannya sejak SMP, sampai SMA ini mereka masih satu sekolah. "Dah sampe pala lu peang," ucap Anne dengan cepat. "Kalo ada orang ngomong dengerin dong. Kamu kenapa sih? Ada masalah nih pasti." "Gak ada kok ne, aku cuma seneng aja. Kita bakal ketemu temen-temen lagi," jawab Rena dengan nada senang, wajah senang, tapi Anne bisa melihat kebohongan dari wajah Rena. Walaupun Rena sudah mengangkat kedua tangannya lalu menggerak-gerakkannya seperti anak kecil sebagai tanda bahwa ia tidak berbohong, Anne tetap melihatnya. Melihat kebohongan di mata lawan bicaranya itu. "Kalo bohong jangan sama aku, sama orang yang baru kamu kenal. Biar orang itu gak kecewa tahu kamu bohongin dia," Rena tersudut mendengarnya. "Lagian mana ada orang seneng jadi tegang begitu? Kalo seneng tuh ya yang ceria, lupa ya gimana caranya seneng?" kata-kata Anne selalu saja tidak enak di dengar. Rena hanya tertawa mendengarnya, seolah dia adalah orang yang paling bodoh sedunia. "Prada?" lanjut Anne. "Hm?" tanya Rena berusaha setenang mungkin. "Pasti ada sangkut pautnya sama Prada kan?" "Kamu cenayang?" Rena langsung merutuki dirinya sendiri setelah sadar apa yang dilakukannya. Itu sama saja Rena memberi tahu Anne kalau dia sedang memikirkan Prada. "Cerita aja, gak mungkin seorang Rena bisa menyimpan ceritanya sendiri," kata Anne setelah menertawakan sahabatnya itu. "Gak bakal aku simpen sendiri dan gak bakal aku cerita ke kamu tentang cerita kali ini, Ne. Maaf," ucap Rena sambil tertawa tipis. Anne menghela napas panjang. "Okey, yang penting ada orang lain yang bisa dengerin cerita kamu itu. Tugasku sudah ada yang gantiin ya?" ucapnya sambil tersenyum pahit. "Maaf, tapi menurutku kamu cukup tahu yang kamu tahu aja Ne. Tapi kalau memang aku harus cerita ke kamu, aku pasti cerita kok." "Ya, sebaiknya."
Hening. Suasana canggung sedang memenuhi mobil dan hati mereka. "Udahlah ya, kita gak perlu berdebat lagi soal ini. Kita di sini untuk senang-senang kan? Maafin aku sudah terlalu egois ya Ren. Ceritain apa yang pengen kamu ceritain aja, aku siap dengerin kok." Rena hanya tersenyum sambil terus menatap ke depan mendengar perkataan sahabatnya itu. Lalu menepuk lembut pundak Anne beberapa kali, sebagai tanda bahwa ia pasti akan cerita pada sahabatnya itu. ^ Sudah sampai. Rena dan Anne sudah berada di parkiran cafe tersebut. Semoga aku bisa mengendalikan sikapku di depan Prada. Kedekatan kami dulu pasti memudahkanku menghadapi Prada. Ya, pasti aku bisa menghadapinya. Batin Rena. "Yuk, Ren," ajak Anne sambil menarik lembut tangan Rena. Mereka memasuki cafe tersebut dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Hap! Teman-temannya berada di meja pojok. Mereka sudah ramai sekali. Biasalah, efek tidak bertemu berbulan-bulan. Bisa. Pasti bisa menemui Prada dengan sikap seperti biasanya. Sembunyikan. Sembunyikan semua perasaanmu, Rena. Batin Rena.
Part 5: PACAR?! "Ah, udah ketebak nih dari raut mukamu. Pasti nih, pasti," kata Prada sambil menunjuk-nunjuk ke arah Rena. "Apaan sih. Ngarep banget jadi cowok. Jomblo jangan ngenes-ngenes amat dong." "Ya ampun Ren, jangan nyelekit gitu kek ngomongnya. Mulai deh tuh mulut, pedes," kata Prada melebihlebihkan. "Pedes-pedes, kayak pernah ngerasain aja." "Boleh?" "Hah? Ngomong apaan barusan? Minta banget dibanting?" "Sama pacar gak boleh gitu, tadi kamu sendiri sih yang nawarin." "Pacar gimana? Nawarin gimana?" "Selaw mbak, selaw. Kita belum putus kan? Langgeng banget loh kita, udah berapa tahun coba?" "Ngomong apa sih, Prad?" Rena mengerutkan keningnya. "Masa kamu lupa sih, sayang?" Goda Prada sambil mencolek dagu Rena. Yang dicolek malah mengerutkan keningnya mengingat-ingat kapan ia dan Prada resmi menjadi pacar. ^ "Mamaaaa! Kak Aldo punya pacar maa!"
"Hush, Prada. Gak boleh bahas pacar-pacaran dulu," jawab sang mama. "Emang pacar itu apa sih ma?" "Besok kamu juga tahu sendiri, sayang." "Kenapa gak sekarang aja?" "Ya udah deh. Pacar itu orang yang kamu sayang dan sayang sama kamu." "Berarti Rena pacar Prada dong?" Mama Prada tersenyum lalu bertanya, "Emang kamu sayang sama Rena?" Prada mengangguk. Lalu mamanya tersenyum lagi dan bertanya, "Emang Rena sayang sama kamu?" Prada mengangguk lagi. Lalu mamanya tertawa. "Mama kenapa ketawa?" "Enggak. Iya deh, Rena pacar kamu," kata sang mama sambil tak henti tertawa. "Mama kenapa deh ketawa?" Tanya Prada lagi. "Kamu tuh lucu banget tahu gak sih," sang mama mencubit pipinya. Setelah Prada melepaskan tangan mama dari pipinya, ia langsung berlari keluar rumah. Prada ingin bertemu Rena. Ingin bertemu dengan sang pacar. Saat bertemu Rena, Prada langsung menceritakan apa saja yang diberitahu mamanya soal 'pacar'. Ia juga memberitahu Rena bahwa Rena adalah pacarnya dan ia sendiri adalah pacar Rena. "Oh, jadi kita itu pacaran?" Tanya Rena setelah mendengarkan penjelasan Prada. "Iya. Karena kita saling menyayangi jadi kita pacaran. Gitu kata mama." Rena mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. ^ Rena tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata setelah mengingat kejadian itu. "Kok malah ketawa sih?" "Ya kamu sih, Prad. Bego dipelihara. Dari dulu lagi," ujar Rena sambil terus tertawa Merasa diolok-olok, Prada pun tidak terima. Prada langsung mencubit kedua pipi Rena sambil berkata, "Diem gak? Kalo gak aku cium nih!" Rena tetap tertawa. Karena dia tahu, ancaman itu tidak berlaku untuknya. Prada tidak akan menciumnya sembarangan.
"Tau banget sih kalo gak bakal aku cium. Ketawa aja terus!" Setelah berpura-pura marah, Prada keluar dari kamar Rena. Tepat saat pintu ditutup, Rena menangis. Tapi tidak lagi dengan tertawa. Ia merasa persahabatannya dengan Prada sangatlah berharga. Ia terus berjanji tidak akan merusaknya. Apalagi dengan masalah kecil yang disebut cinta. Mungkin jika Rena mengalaminya dengan orang lain, cinta bukanlah masalah. Bahkan bagi mereka, cinta adalah kebahagiaan. Tapi jika dengan Prada, cinta bisa jadi masalah. Karena cinta bisa menciptakan jarak diantara mereka nantinya. Udah Ren, setidaknya masih bisa ada di dekat Prada. Persahabatan lebih penting dari apapun, kan? Tanya Rena pada dirinya sendiri. ^ Setelah aku menutup pintu kamar Rena, aku berjalan menuju taman belakang rumahnya. Terasa sekali bedanya kami dulu dengan sekarang. Mungkin kami masih bisa bercanda. Tapi masih ada canggung yang aku rasakan. Seharusnya keluargaku tidak perlu pindah rumah. Seharusnya aku tidak pisah sekolah dengan Rena. Seharusnya kami masih sedekat dulu. Seharusnya kami masih bisa bercanda tanpa ada rasa canggung. Seharusnya saat ini akulah yang menjaganya. Seharusnya akulah yang ada disampingnya saat dia butuh seseorang. "Aish! Melow banget elah," aku mengatai diriku sendiri. "Sepi banget sih ini rumah. Berasa sendiri. Gimana Rena biasanya ya? Kan dia gak bakal kuat sendirian. Atau udah ada temennya yang sering kesini kayak aku dulu? Ya, semoga aja ada. Jadi, aku gak perlu terlalu merasa bersalah. Aku juga punya alasan kenapa aku menjauh. Rena pasti ngerti. Siapa ya yang sering jadi tempat curhat Rena? Cewek atau cowok? Eh, Rena udah punya pacar belum sih?" Ah, tau deh." "Rena belum pernah ngajak teman laki-lakinya ke rumah, Prad. Kamu satu-satunya teman laki-lakinya yang dia ajak ke rumah." "Terus temannya Rena siapa? Dia kan jarang dekat sama perempuan." Sejak kecil, aku sama Rena sudah berteman. Kami memang selalu berdua sampai kami lulus sekolah dasar. Waktu kecil, banyak teman perempuan sekelas kami yang genit-genit ke aku. Tapi kalau ada Rena pasti mereka langsung kabur. Aku kira mereka takut sama Rena, tapi ternyata mereka cuma gak mau aku tahu kalau mereka benci banget sama Rena. Sampai suatu hari semua teman perempuan kami menjauhi Rena. Apa saja yang dilakukan Rena, menurut mereka itu semua salah. Sehingga mulai saat itu Rena tidak mau berteman dengan perempuan. Menurut dia semua perempuan jahat kecuali mamanya dan mamaku. Rena berpikir bahwa berteman dengan laki-laki jauh lebih baik daripada berteman dengan perempuan. "Nah itu, tante juga bingung kenapa Rena bisa dekat lagi sama perempuan. Bahkan jadi sahabatnya." "Pasti bukan perempuan biasa tuh tante. Seorang perempuan bisa berteman sama Rena itu gak gampang. Tante tahu sendiri kan?" "Ish! Wonder Woman kali ah, bukan perempuan biasa."
"Lagian ngapain pake pisah sekolah segala sih, Prad? Kalian masih bisa satu sekolah lagi kok sebenarnya," lanjut Tante. "Nanti tante juga bakalan tahu kok," "Halah, sok misterius banget sih," goda tante sambil mencolek daguku. "Haruslah, biar cool gitu tante." "Lah apa hubungannya?" "Ada hubungannya, ya. Lagian tante tuh kalo ngomong gaya bahasanya diganti lah, tan. Biar gak kayak anak muda, sekali-kali jadi ibu-ibu bisa kali, tan." "Tante memang masih muda kali." "Dengerin tuh ma, sekali-kali jadi ibu-ibu bisa, kan?" Tiba-tiba Rena datang. ^ Akhirnyaaaaah! Wkwkwk :v Gimana nih, bentar kan nunggunya wkwk *padahal gk ada yg nunggu* Selamat menunggu part selanjutnya yang entah kapan bakal dipublish ya, hehe :D -Raaya
Part 6: Batal "Cepet cerita!" Saat ini Rena sudah bersama Wena. Mereka berdua sedang berada di kantin bagian paling pojok. Wena sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari sahabatnya itu. Sejak kemarin, Wena dibuat penasaran oleh Rena karena Rena tidak menjawab pesannya seharian. Dan lagi, selama pelajaran Wena meminta sahabatnya untuk bercerita tapi sahabatnya itu hanya tersenyum sambil berkata "Sst, diem deh. Lagi pelajaran tahu!" Mendengar itu, Wena hanya menghela napasnya kasar. Dan di sini lah Wena. Duduk berhadapan dengan Wena. Tak lupa dua piring siomay dan dua air mineral di atas meja sebagai teman bercerita. Rena sudah mulai bercerita sambil sesekali memakan siomaynya. Rena menceritakan semuanya. Mulai dari ia memasuki cafe lalu duduk di samping Prada. Tak lupa ia juga menceritakan bahwa ia dan Prada tidak mengobrol secara pribadi saat di cafe. Rena juga menceritakan apa yang terjadi di kamarnya. "Hah? Kok dia bisa tahu kalo kamu suka sama dia sih, Ren?" "Awalnya aku kaget lah ya Wen, denger dia tanya begitu. Tapi ya ternyata dia cuma bercanda doang." Rena melanjutkan ceritanya. "Harusnya kamu bisa tanya sama dia Ren, kan gak begitu ketahuan kamu suka dia atau enggak. Karena waktu itu dia bercanda, jadi kamu tanya gitu sebagai candaan kamu. Gitu, ngerti kan?" "Gila apa? Gak lah, belum siap denger jawabannya juga." "Halah alay banget. Kayak apaan aja. Ya udah deh lanjutin."
Rena pun memberi tahu Wena bahwa setelah itu Prada keluar dari kamar Rena. Tak lupa ia juga bercerita bahwa tepat saat pintu ditutup, Rena mentikkan air matanya. "Kenapa nangis?" "Ya. Sedih aja gitu. Kenapa aku harus suka sama dia? Padahal banyak cowok lain lho Wen. Kenapa Prada?" "Cinta datang karena terbiasa, Rena." "Kenapa gak dari dulu? Aku sama Prada udah sama-sama sejak kecil lho Wen." "Harusnya kamu bersyukur lah! Masih untung sekarang, kalau kemarin-kemarin? Persahabatan kalian bisa aja makin terasa canggung atau bahkan sekarang kalian udah gak sama-sama lagi. Intinya tetap bersyukur Ren," ucap Wena sambil menepuk pundak Rena lembut. Perdebatan mereka diakhiri dengan helaan napas panjang oleh Rena. Setelah itu mereka sepakat untuk kembali ke kelas karena bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Saat beranjak dari kursi, Rena menghetikan langkahnya karena merasakan getaran pada handphonenya. Ternyata ia mendapatnkan 2 notifikasi line. Setelah membacanya, Rena tersenyum tipis dan melanjutkan jalan menuju kelasnya. Prada : Nanti aku jemput Prada : Gak ada penolakan. read. Bel tanda berakhirnya istirahat pertama berbunyi saat Rena dan Wena sudah sampai di kelas mereka. "Nanti ke toko buku kan, Ren?" Pada hari Senin, Rena dan Wena selalu pergi ke toko buku. Kalau orang lain ke toko buku untuk membeli buku, tidak untuk mereka. Karena mereka menganggap bahwa toko buku adalah perpustakaan yang juga menyediakan buku-buku yang baru terbit. Mereka akan membuka segel buku dan membacanya di tempat duduk yang sudah disediakan. Terkadang mereka juga sembunyi-sembunyi karena tidak diijinkan oleh pihak toko buku. Mereka akan bertahan di toko buku tersebut sampai sore hari. Jika buku itu belum selesai dibaca, mereka akan melanjutkan di Senin berikutnya. "Oh iya, lupa." "Gak bisa ya, Ren?" "Bisa kok, aku batalin yang sama Prada aja."
Part 7: Penenang "Ada tamu, Ren?" Saat ini Rena dan Wena sedang berada di rumah Rena. Setelah melakukan rutinitas mereka di toko buku, mereka memutuskan untuk chit chat di rumah Rena. "Mirip sama motornya Prada kalau ini mah."
"Eh, ya udah aku pulang aja. Nanti ganggu lagi." "Sorry, Wen. Aku gak tahu kalau dia mau ke sini." "Iya, gak apa-apa. Tadi juga dia batal ketemu kamu gara-gara aku. Ya udah, sampai ketemu besok, Ren!" "Bye~ hati-hati di jalan!" "Hati kamu tuh yang hati-hati. Jangan sampai sakit lagi!" ucap Wena sambil berjalan menuju jalan raya lalu menunggu bus yang akan mengantarnya ke rumah di halte. ^ "Hai, sayang." Rena memasuki rumahnya dan langsung disambut oleh mamanya dan Prada di ruang keluarga. "Ngapain ke sini?" "Ih, Rena. Kamu itu kalau masuk rumah harusnya salam dulu. Kalau disapa sama Mama juga dibalas dong. Kasihan Mama nanti kalau sapaannya tak terbalas," kata Prada panjang lebar lalu tertawa cekikikan karena perkataannya sendiri. "Gak usah ngalihin pembicaraan deh, Prad." "Rena, Mama gak pernah ngajarin kamu gak sopan sama orang, ya. Prada ke sini mau ketemu sama Mama kan, Prad? Bukan sama kamu, jadi jangan gede rasa dulu, Rena." Prada hanya menganggukkan kepalanya sambil memasang muka sok cool. Walau menurut Rena, Prada memang cool kecuali saat sedang menggodanya. "Oh gitu, ya udah lanjutin aja ngobrolnya. Rena mau ke kamar dulu. Maaf ya mam, udah ganggu chit chat nya," kata Rena sambil mengecup pipi mamanya. "Idih, kenapa bisa punya anak baperan begitu, ya?" Ucap sang mama saat Rena sudah jauh dari mereka. Prada hanya terkekeh mendengarnya. "Prada nyusul Rena dulu, Tan." "Jangan lupa berhenti, Prad." "Maksud tante?" "Berhenti sama Rena atau berhenti sama rokok. Kamu bisa pilih salah satu. Kamu tahu sendiri gimana bencinya Rena sama benda itu? Gak ada alasan buat Rena gak benci sama pemakainya." Prada hanya terdiam. Namun ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Mama sahabatnya. Ia hanya bingung harus menjawab apa. Karena ia juga tidak bisa berjanji untuk melakukannya. Itu bisa jadi pilihan sulit. Mungkin hatinya memilih untuk berhenti merokok, namun otaknya berkata bahwa itu tidak mudah. Sama tidak mudahnya untuk berhenti menemui, berbincang, bercanda, menggoda, menjaga, bahkan mencintai Rena. "Bantu Prada, Tan," kata Prada setelah beberapa lama terdiam.
"Tergantung kamu pilih yang mana. Kalau yang pertama, pasti Tante bantu. Tapi untuk yang kedua itu Tante gak bisa bantu apa-apa. Itu tergantung kamu, kalau kamu udah niat pasti bisa berhenti." Prada hanya mengangguk. Ia merasakan aura tidak enak dari calon mertuanya ini. Ia takut jika nanti hubungannya dengan Rena tidak disetujui karena calon mertuanya itu telah mengetahui bahwa ia adalah perokok aktif. "Ganti baju sana," kening Prada berkerut demi mendengar perkataan calon mertuanya itu. "Hidung Rena peka banget sama bau rokok. Lebih dari tante. Bisa-bisa kamu langsung ditendang dari kamarnya kalau kamu masih pake baju seragam," Prada mengangguk mengerti. "Pake baju Rian aja, ada di kamarnya," setelah mendengarnya Prada mengangguk dan berjalan menuju kamar Rian. Rian adalah kakak dari Rena yang sudah lama meninggal. Umur mereka berdua terpaut 5 tahun. Rian meninggal saat kelas 3 SMP.