PARAMETER DEWAN REDAKSI
Penanggung Jawab: Hermanto (Ketua) Azhar M. Yatim (Anggota) Darmawan bin Mi’an (Anggota) Andariati Afrida (Anggota) Abd. Hakim (Anggota) Irnanto (Anggota) Oriza Santifa (Anggota) Tim Editor: Tasdik Ilhamudin (Ketua) Haniah (Sekretaris) Devi Indriastuti (Anggota) Yudi Purbosari (Anggota) Penyunting: M. Shabri Abd. Majid (Universitas Syiah Kuala) Saiful Mahdi (Universitas Syiah Kuala) T. Zulham (Universitas Syiah Kuala) Layout: Hendra Dharmawan
Redaksi menerima tulisan ilmiah dari segenap masyarakat pemerhati dan peminat statistika, ekonomi, dan sosial. Tulisan ditulis dalam format word sebanyak 5-20 halaman A4 dengan spasi 1,15 dan huruf calibri ukuran 11. Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah intisari tulisan. Terima kasih.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
i
PARAMETER DAFTAR ISI DEWAN REDAKSI .........................................................................................................
ii
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
ii
KESENJANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTARWILAYAH DI PROPINSI ACEH (Azwar) .......................................................................................................................
1
HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN EFEKTIF DAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH: SEBUAH STUDI KASUS KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA (Dita S. N. A. Diliani) ...................................................................................................
18
KARAKTERISTIK PEKERJA LANSIA DI PROVINSI ACEH. PERLUKAH MEREKA BEKERJA? (Tasdik Ilhamudin) ......................................................................................................
34
HARGA BARANG-BARANG MELONJAK, KOK INFLASI KECIL? (MEMAHAMI ANGKA INFLASI) (Tim Redaksi) ............................................................................................................. PEMETAAN PERKIRAAN ZONA TANAH LONGSOR MENGGUNAKAN SIG DI KAWASAN CAMERON HIGHLANDS, MALAYSIA (Raja Maulana) ..........................................................................................................
53
PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) DALAM KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2014 (Ditalia Trisnawati) .....................................................................................................
67
PENGARUH PENYERAPAN TENAGA KERJA TERHADAP PERANAN MASING-MASING SEKTOR PADA STRUKTUR PDRB PROVINSI ACEH TAHUN 2006-2013 (Hella Citra) ......................................................................................................................
87
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
48
PARAMETER KESENJANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI ANTARWILAYAH DI PROPINSI ACEH Oleh: Azwar* ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengkaji besarnya efek kumulatif (cumulative causation effect) yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi antarwilayah Basajan-Pijay, Timur-Utara, Barat-Selatan, dan Tengah-Pedalaman di Propinsi Aceh. Kemudian, penelitian ini juga mengkaji pengaruh PDRB per kapita, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, produktivitas tenaga kerja wilayah, alokasi investasi pemerintah, dan aksesibilitas wilayah terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di propinsi Aceh, baik tanpa memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif maupun dengan memasukkan variabel ini ke dalam model. Penelitian ini menggunakan data data panel periode waktu 11 (sebelas) tahun 20002010 pada setiap kabupaten/kota yang ada dalam masing-masing wilayah, yaitu 23 (dua puluh tiga) kabupaten/kota. Hasil penelitian menunjukkan untuk antarwilayah di propinsi Aceh menunjukkan kondisi berpotensi untuk konvergensi karena faktor dominan yang mempengaruhi kesenjangan tanpa memasukkan variabel efek kumulatif, konsentrasi kegiatan ekonomi antarwilayah berpengaruh positif dan IPM berpengaruh negatif. Dengan memasukkan variabel efek kumulatif, ternyata IPM berpengaruh negatif, sedangkan pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah sendiri dan PDRB per kapita berslope positif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah berpotensi untuk konvergensi jika dan hanya jika ada campur tangan melalui kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat untuk menurunkan kesenjangan. Dari hasil penelitian direkomendasikan bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu mendorong pertumbuhan PDRB setiap tahunnya sama dengan atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional agar produktivitas tenaga kerja menjadi meningkat sehingga kesejahteraan ekonomi juga meningkat (spread effect lebih besar dari backwash effect) karena bekerjanya pertumbuhan efek kumulatif dalam wilayah dan antarwilayah. Kata Kunci : Kesenjangan, Backwash effect, Spread Effect
* Dr. Azwar, M.Si. Staf BPS RI
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
1
PARAMETER I. PENDAHULUAN Kesenjangan pembangunan ekonomi antardaerah merupakan hal yang krusial dalam konsep pembangunan ekonomi nasional. Besarnya kesenjangan tergantung pada faktor yang mempengaruhinya, seperti perbedaan struktur ekonomi dan distribusi spasial dari faktor-faktor endowment. Dengan demikian, kesenjangan pertumbuhan ekonomi antardaerah cenderung meningkat di negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kesenjangan pembangunan ekonomi antardaerah selalu muncul dan cenderung semakin meluas, dikenal dengan Center-Periphery. Hal ini berarti bahwa daerah maju semakin maju, sedangkan daerah tertinggal semakin terbelakang. Penyebabnya adalah akibat dari efek kumulatif (commulative causation), yaitu spread effect dan backwash effect. Menurut Myrdal (1976), backwash effect lebih besar dari spread effect. Menurut Myrdal, ada tiga tahap terjadinya keseimbangan pertumbuhan ekonomi regional. Pertama, rendahnya kesenjangan antardaerah sebelum industrialisasi. Kedua, meningkatnya kesenjangan antardaerah karena efek kumulatif (backwash effect lebih besar dari spread effect). Ketiga, Spread effect lebih besar dari backwash effect untuk mengurangi kesenjangan (Knowles dan Wareing,1994). Kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap propinsi dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kemajuan aktivitas ekonomi dan penduduk suatu daerah. Kontribusi PDRB antarwilayah juga dapat digunakan untuk menganalisis konsentrasi kegiatan ekonomi antarwilayah atau yang lebih dikenal dengan aglomerasi. Pemusatan aktivitas ekonomi juga menjadi salah satu penyebab kesenjangan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat kabupaten/kota mana sebagai penyumbang tertinggi untuk propinsi dan kabupaten/kota mana yang terendah. Kontribusi (share) tertinggi disumbang oleh wilayah Timur-Utara sebesar 42,41%, disusul Basajan-Pijay 25,97%, selanjutnya wilayah Barat-Selatan sebesar 21,08%. Sedangkan penyumbang terendah adalah wilayah Tengah-Pedalaman, hanya 10,54%. Kabupaten/kota di wilayah Basajan-Pijay dan Timur-Utara memberi kontribusi lebih dari dua pertiga PDRB Propinsi Aceh. Sedangkan wilayah Barat-Selatan dan TengahPedalaman menyumbang kurang dari sepertiga PDRB propinsi. Pemusatan ekonomi terjadi pada wilayah Basajan-Pijay dan Timur-Utara yang terdiri dari 11 kabupaten/ kota. Sedangkan wilayah Barat-Selatan dan Tengah-Pedalaman mencakup 12 kabupaten/kota sedikit sekali menyumbang PDRB untuk propinsi. Propinsi Aceh yang memiliki 23 Kabupaten/Kota yang dibagi menjadi empat wilayah dengan potensi dan karakteristik daerah yang relatif berbeda mengalami kesenjangan. Kecenderungan (trend) perkembangan PDRB per kapita tertinggi masih diduduki oleh wilayah Timur-Utara, disusul Basajan-Pijay sebagai peringkat kedua, selanjutnya wilayah Tengah-Pedalaman sebagai peringkat ketiga, disusul peringkat terakhir adalah wilayah Barat-Selatan. Wilayah Tengah-Pedalaman dan Barat-Selatan berada di bawah rata-rata propinsi. Rata-rata PDRB per kapita tertinggi diduduki oleh
2
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER wilayah Timur Utara, yaitu Rp 5.929.786, selanjutnya wilayah Basajan-Pijay sebesar Rp5.828.734, disusul wilayah Tengah-Pedalaman sebesar Rp4.634.749 sebagai peringkat ketiga. Sedangkan yang terakhir adalah wilayah Barat-Selatan dengan jumlah Rp4.425.794. Masih terlihat jelas bahwa wilayah Tengah-Pedalaman dan Barat-Selatan menunjukkan PDRB per kapita di bawah propinsi, yaitu Rp5.204.765, sedangkan wilayah Timur-Utara dan Basajan-Pijay berada di atas rata-rata propinsi. Rata-rata PDRB per kapita tertinggi diduduki oleh wilayah Timur Utara, yaitu Rp 5.929.786, selanjutnya wilayah Basajan-Pijay sebesar Rp5.828.734, disusul wilayah Tengah-Pedalaman sebesar Rp4.634.749 sebagai peringkat ketiga. Sedangkan yang terakhir adalah wilayah Barat-Selatan dengan jumlah Rp4.425.794. Masih terlihat jelas bahwa wilayah Tengah-Pedalaman dan Barat-Selatan menunjukkan PDRB per kapita di bawah propinsi, yaitu Rp5.204.765, sedangkan wilayah Timur-Utara dan Basajan-Pijay berada di atas rata-rata propinsi. Untuk mengkaji tingkat kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota antarwilayah di propinsi Aceh, indikator yang paling tepat digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini tampaknya paling akurat digunakan sekali gus menganalisis kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah karena mempertimbangkan variabel-variabel sosial dan ekonomi sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia di daerah. IPM tertinggi berada di wilayah Basajan-Pijay dengan kisaran angka 66,39 pada tahun 2000 hingga 74,21 pada tahun 2010 dengan trend yang meningkat, disusul wilayah Timur-Utara dengan kisaran indeks 61,52 pada tahun 2000 menjadi 72,80 pada tahun 2010 sebagai urutan kedua. Selanjutnya, wilayah Tengah-Pedalaman dengan kisaran angka indeks 60,76 pada tahun 2000 sampai 71,03 pada tahun 2010 sebagai urutan ketiga. Sedangkan wilayah Barat-Selatan sebagai rangking terakhir memiliki besaran indeks 66,67 pada tahun 2000 menjadi 69,62 pada tahun 2010. Dua wilayah terakhir masih berada di bawah propinsi Aceh dengan kisaran indeks 60,60 pada tahun 2000 hingga 71,03 pada tahun 2010. Berdasarkan latar belakang di atas, terlihat bahwa kabupaten/kota di wilayah Basajan-Pijay dan Timur-Utara memberikan kontribusi lebih besar untuk PDRB Propinsi jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang ada di wilayah BaratSelatan dan Tengah-Pedalaman. Hal ini juga memunculkan beberapa pertanyaan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Berapakah besar efek kumulatif (cumulative causation effect) yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah Basajan-Pijay, Timur-Utara, Barat-Selatan, dan Tengah-Pedalaman di Propinsi Aceh? 2. Apakah PDRB per kapita, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, produktivitas tenaga kerja wilayah, alokasi investasi pemerintah, dan aksesibilitas wilayah tanpa memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah berpengaruh terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di propinsi Aceh?
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
3
PARAMETER 3. Apakah PDRB per kapita, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, produktivitas tenaga kerja wilayah, alokasi investasi pemerintah, dan aksesibilitas wilayah dengan memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah berpengaruh terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di propinsi Aceh? II. LANDASAN TEORITIS Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional Neoklasik Model neoklasik menarik perhatian ahli ekonomi regional karena mengandung teori tentang mobilitas faktor. Implikasi dari persaingan sempurna terhadap modal dan tenaga kerja akan berpindah, jika balas jasa faktor tersebut berbeda. Modal akan berarus dari daerah yang mempunyai tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah karena memberikan penghasilan (return) yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru sebagai pendorong untuk pertumbuhan di daerah tersebut (Adisasmita, 2005). Secara teoritis, permasalahan kesenjangan pertumbuhan antarwilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang teori pertumbuhan neoklasik. Dalam teori tersebut dimunculkan suatu prediksi tentang hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara dan ketimpangan pembangunan antarwilayah.Tokoh neoklasik lainnya, seperti Kuznets yang dikenal dengan hipotesis U terbalik (Reserve atau Inverted U-shape Curve), mengatakan bahwa kesenjangan pertumbuhan antarwilayah cenderung meningkat hingga kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Jika proses pembangunan terus berlanjut, secara bertahap kesenjangan regional tersebut menurun (Sjafrizal, 2008). Pada negara sedang berkembang umumnya kesenjangan antarwilayah cenderung meningkat, sedangkan pada negara maju kesenjangan tersebut lebih rendah. Hal ini disebabkan pada saat proses pembangunan baru dimulai, peluang dan kesempatan pembangunan dimanfaatkan oleh daerah yang maju (developed region), sedangkan daerah yang terbelakang (underdeveloped region) kurang mampu melaksanakan kesempatan ini karena keterbatasan sumber daya manusia, sarana/prasarana, dan faktor sosial budaya lainnya, sehingga tidak banyak mengalami kemajuan yang berarti. Akibatnya adalah kesenjangan antarwilayah cenderung melebar (Sjafrizal, 2008). Kesimpulannya adalah model pertumbuhan regional neoklasik kurang menjelaskan alasan-alasan real mengapa beberapa daerah mempunyai daya saing yang kuat dan beberapa daerah lain mengalami kegagalan. Neoklasik berpendapat bahwa dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang senantiasa akan muncul kekuatan tandingan (counter force) yang dapat menanggulangi ketidakseimbangan dan mengembalikan penyimpangan kepada kondisi seimbang yang stabil sehingga tidak diperlukan intervensi kebijakan pemerintah secara aktif.
4
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Teori Regional Penyebab Kumulatif (Cumulative Causation Theory) Berdasarkan prinsip kausasi kumulatif dapat dijelaskan bahwa proses efek kumulatif (cumulative causation) terjadi berdasarkan kekuatan “spread effect” dan “backwash effect”. Spread effect adalah segala kekuatan menuju konvergensi antara daerah kaya dan daerah miskin, sedangkan “backwash effect” adalah mengalirnya sumber daya (resources) dari daerah miskin ke daerah kaya karena elastisitas pendapatan yang rendah, migrasi modal dan tenaga terampil ke daerah kaya. Myrdal yakin bahwa spread effect pasti lebih kecil dari backwash effect karena meningkatnya ketidakseimbangan ekonomi antara daerah maju (developed region) dan daerah terbelakang (Fujita, 2004). Pengaliran modal uang (money capital) dapat dilakukan oleh individu atau perusahaan melalui lembaga keuangan antarwilayah sangat cepat. Motivasi aliran modal uang merupakan bagian dari keseimbangan untuk mengoptimumkan pertumbuhan antarwilayah. Wilayah yang diperkirakan memberikan pertumbuhan antarwilayah yang tinggi akan menerima uang dari wilayah dengan pertumbuhan rendah. Modal fisik dapat berpindah tempat secara individual sepanjang mempunyai nilai ekonomis. Pemindahan modal fisik dilakukan dengan dipindahkan atau dijual terlebih dahulu kemudian ditransfer dalam wujud uang seolah-olah secara fisik berpindah tempat (Nugroho dan Dahuri, 2004). Aliaran modal antarwilayah secara teoritis dipengaruhi oleh besarnya resiko investasi. Modal akan mengalir ke wilayah yang memiliki tingkat resiko investasi yang rendah, tersedianya infrastruktur, perekonomian yang kondusif, dan pengalaman investasi yang menguntungkan. Sebaliknya, aliran investasi dapat terhambat bahkan dalam wilayah dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor non ekonomi, seperti: ketidakstabilan politik, kelemahan kelembagaan, perilaku pelaku ekonomi yang mengutamakan kepentingan pribadi, dan tingginya biaya transaksi karena perbedaan jarak (Nugroho dan Dahuri, 2004). Kesimpulannya adalah bahwa terdapat efek kumulatif dalam pertumbuhan ekonomi regional. Teori kausasi kumulatif Myrdal (Cumulative Causation Myrdal’s) menyatakan bahwa backwash effects (divergent process) lebih besar dari pada spread effects (convergence). Untuk mengurangi kesenjangannya (backwash efect/divergent) tidak serta merta diserahkan kepada mekanisme pasar, namun melalui kebijakan ekonomi pemerintah daerah di dalam meminimalisasi kesenjangan tersebut. Faktor-Faktor Penyebab Kesenjangan Ekonomi Regional Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi antarwilayah di antaranya dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. 2) akumulasi dari berbagai faktor lingkaran setan kemiskinan (cumulative causation of poverty propensity). 3) pengaruh spread effect dan backwash effect. 4) distorsi pasar seperti
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
5
PARAMETER immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja, dan sebagainya (Rustiadi dkk, 2009). Terdapat beberapa faktor yang mendorong kesenjangan pembangunan antarwilayah antara lain: konsentrasi kegiatan ekonomi, mobilitas barang (perdagangan), faktor produksi antardaerah, dan alokasi investasi (pemerintah dan swasta) antarwilayah. Di samping itu, kebijakan yang dilakukan oleh suatu daerah dapat pula mempengaruhi kesenjangan pembangunan ekonomi regional (Sjafrizal, 2008). III. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data panel periode waktu 11 (sebelas) tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 pada setiap kabupaten/kota yang ada di wilayah basajanpijay, timur-utara, tengah-pedalaman, dan barat–selatan yaitu 23 (dua puluh tiga) kabupaten/kota. Caranya adalah jumlah periode 11 tahun dikalikan dengan 4 wilayah (Basajan-pijay, Timur-Utara, Barat-Selatan, dan Tengah-Pedalaman), akan diperoleh 44 (empat puluh empat) observasi. Untuk mengukur kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah (Basajan-Pijay, Timur-Utara, Barat-Selatan, dan Tengah-Pedalaman) di Propinsi Aceh, digunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2007) dengan formula:
di mana Yr adalah PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota di wilayah r, Nr adalah jumlah kabupaten/kota dalam wilayah r, dan R adalah jumlah keseluruhan wilayah di Propinsi Aceh. Sedangkan untuk menganalisis besarnya efek kumulatif yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi antarwilayah digunakan model efek kumulatif (cumulative causation model) berikut ini (Soukiazis and Madaleno, 2007) : rit = α + λ(g)it, ...................................................................................................(3.2) di mana : rit adalah tingkat pertumbuhan dari produktivitas tenaga kerja (growth rate of labor productivity), git adalah tingkat pertumbuhan PDRB di wilayah i pada tahun t, α adalah konstanta atau the growth of autonomous productivity, sedangkan λ adalah koefisien Verdoorn atau the elasticity of labour productivity growth with respect to output growth (Verdoorn’s Coefficient) sesuai dengan nama yang menemukannya. Model Efek Kumulatif (Cumulative Causation Model) dapat juga dinyatakan dalam bentuk yang sederhana dengan menggunakan persamaan linier (McDonald, 1997). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : r = a + bY................................................................................................................ (3.3) Di mana r adalah tingkat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja (rate of labor productivities growth), a adalah konstanta, b adalah koefisien Verdoorn, sedangkan
6
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini terjadi karena adanya aglomerasi dan inreasing return to scale yang semakin besar jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi antarwilayah. Sedangkan tingkat efesiensi upah digunakan formula : w = c – dr ..............................................................................................................(3.4) di mana w adalah tingkat pertumbuhan efesiensi upah, c adalah konstanta, sedangkan d adalah koefisien estimasi. Selanjutnya, untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat upah ril dapat ditulis: Y = e – fw ..............................................................................................................(3.5) Dengan mensubstitusi persamaan (3.3) dan (3.4) ke persamaan (3.5), akan diperoleh: Yt+1 = e + f(ad - c) + bdfYt .......................................................................................(3.6) Persamaan (3.6) disederhanakan menjadi: Yt+1 = gYt + h ..........................................................................................................(3.7) Di mana : g = bdf dan h = e + f(ad - c). Karena b bilangan positif, d dan f adalah negatif maka g > 0. Tingkat keseimbangan pertumbuhan (Ye) dapat diperoleh dengan syarat: Ye = Yt = Yt+1 pada persamaan (3.7) sehingga diperoleh: ..........................................................................(3.8) Solusi dari persamaan (3.9) adalah: Yt = (Y0 – Ye)gt + Ye .................................................................................................(3.9) Di mana Y0 adalah laju pertumbuhan ekonomi daerah pada tahap awal. Kondisi untuk terjadinya pertumbuhan efek kumulatif adalah: g > 1 dan Y0 > Ye, seterusnya Ye > 0, kemudian g > 1, h < 0 atau g < 1, h > 0. Jika Y0 > Ye dan g < 1, h< 0 berarti tidak terjadi efek kumulatif, akan tetapi cenderung menuju ke titik keseimbangan. Sebelum mencapai titik keseimbangan, g > 1 dan h < 0, bermakna bahwa tidak terjadi efek kumulatif (spread effects) pada pertumbuhan ekonomi regional sehingga kesenjangan cenderung mengecil (convergence). Sebaliknya, jika g < 1 dan h > 0 bermakna bahwa telah terjadi efek kumulatif (backwash effects) pada daerah tersebut sehingga kesenjangan cenderung melebar atau divergence. Hubungan antara kesenjangan regional dan tingkat pertumbuhan ekonomi tidak linear, persamaan regresi dapat pula dilakukan dalam bentuk fungsi nonlinear. Dengan demikian, persamaan yang dapat digunakan untuk menganalisis faktor dominan kesenjangan pembangunan antarwilayah menurut Sjafrizal (2008), kemudian model tersebut mengganti variabel terikut dengan Indeks entropi menghasilkan: I(y) = ϴYcβ (LQ)γ Mδ Iπ ...........................................................................................(3.10)
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
7
PARAMETER Persamaan (3.10) dapat dilakukan dengan regresi setelah dilakukan transformasi dengan menggunakan logaritma sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut: Log I(y) = Logϴ + β LogYc + γLog LQ + δLog M + πLog I + ε ..................................(3.11) di mana I(y) adalah Indeks Entropi, Yc adalah PDRB per kapita, LQ adalah konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, M adalah migrasi tenaga kerja (dalam persen), I adalah alokasi investasi (dalam persen), dan ϴ, β, γ, δ, π, adalah koefisien regresi. Sedangkan ε adalah faktor kesalahan (disturbance term). Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan ekonomi regional antarwilayah, tanpa memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah, model persamaan (3.10) tersebut dimodifikasi dan dikembangkan menjadi model regresi berganda data gabungan (panel data) seperti berikut ini : LnKPRit = Lnα0+α1LnPPit+α2LnKEWit+α3LnIPMit+α4LnPWit+α5LnDAU+α6LnDAKit+α7LnAKit+εit ........... (3.12)
dimana KPRit
= Kesenjangan pembangunan ekonomi wilayah i pada tahun t
PPit
= PDRB per kapita wilayah i pada tahun t.
KEWit = Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah i pada tahun t.
IPMit = Indeks Pembangunan Manusia wilayah i tahun t
= Produktivitas Tenaga Kerja wilayah i tahun t
DAUit = Dana Alokasi Umum wilayah i tahun t DAKit = Dana Alokasi Khusus wilayah i tahun t AKit
= Aksesabilitas wilayah i tahun t diukur dengan panjang jalan per satuan luas wilayah
= Error term
εit
α0
α1 – α7 = Koefisien regresi
= Konstanta
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan ekonomi regional antarwilayah, dengan memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah, model persamaan (3.10) tersebut dimodifikasi dan dikembangkan lagi menjadi model regresi berganda data gabungan seperti berikut ini : LnKPRit=Lnα0+α1LnPPit+α2LnKEWit+α3LnIPMit+α4LnPWit+α5LnDAU+α6LnDAKit+α7LnAKit+α8LnYe+εit...(3.13)
dimana:
8
KPRit
= Kesenjangan pembangunan ekonomi wilayah i pada tahun t
PPit
= PDRB per kapita wilayah i pada tahun t.
KEWit
= Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah i pada tahun t.
IPMit
= Indeks Pembangunan Manusia wilayah i tahun t
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER PWit
= Produktivitas Tenaga Kerja wilayah i tahun t
DAUit
= Dana Alokasi Umum wilayah i tahun t
DAKit
= Dana Alokasi Khusus wilayah i tahun t
AKit Ye εit α0 α1 – α8
= Aksesabilitas wilayah i tahun t yang dengan panjang jalan per satuan luas wilayah = Tingkat pertumbuhan efek kumulatif wilayah
= Error term. = Konstanta = Koefisien regresi
Asumsi yang digunakan dalam fixed effect model adalah mempercayai bahwa studi analisis identik secara fungsional. Tujuan kita menggunakan model ini adalah untuk mengidentifikasi populasi baik mengumpulkan maupun menggeneralisasi populasi lain. Model Fixed Effect dapat dituliskan sebagai berikut : ................................................... ........................................................................(3.14) Di mana Yit adalah variabel dependen, αi adalah intersep, xjit adalah variabel independen, βj adalah parameter, dan εit adalah error term. Tujuan dari analisis model random effect adalah untuk menyimpulkan interval dari skenario/simulasi. Dalam model ini, populasi didefinisikan secara sempit, tidak meramalkan pada populasi lain dan kegunaan analisis tersebut terbatas. Model ini dapat ditulis sebagai berikut : Yit = α + xjitβj + εit .................................................................................................(3.15) εit = μi + νt + ωit ....................................................................................................(3.16) Di mana : μi ~ Ṅ (ϴ, δμ2) adalah komponen error cross section, νt ~ Ṅ (ϴ, δμ2) adalah komponen time series, dan ωit ~ Ṅ (ϴ, δμ2) adalah komponen error term kombinasi keduanya. IV. HASIL PENELITIAN Pertumbuhan Efek Kumulatif (Cumulative Causation Effect) Antarwilayah Untuk menganalisis hubungan antara tingkat produktivitas tenaga kerja wilayah dan pertumbuhan ekonomi antarwilayah, digunakan Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model, dan Random Effect Model dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
9
PARAMETER Tabel 4.1 Hasil regresi sederhana hubungan antara produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi antarwilayah dengan menggunakan model PLS, fixed Effect, dan Random Effect (Variabel dependen : Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja wilayah)
Variabel Konstanta Pertumbuhan Ekonomi R2 Jumlah Observasi
PLS -3,69487 (-3,8844) *** 0,947183 (7,0693) *** 0,54 44
Fixed Effect Model -3,47322 (-3,5418) *** 0,903347 (6.4292) *** 0,57 44
Random Effect Model -3,60119 (-3,2302) *** 0,928656 (6,8981) *** 0,50 44
Sumber : Data diolah Catatan : *** = signifikan pada derajat kepercayaan 99% Dari Tabel 4.1 di atas dan berdasarkan hasil diagnosa Chow Test dan Hausman Test, diambil suatu keputusan bahwa estimasi dengan menggunakan Fixed effect Model lebih baik dari pada Pooled Least Square (PLS) dan Random Effect Model. Hasil regresi hubungan antara pertumbuhan PDRB antarwilayah terhadap produktivitas tenaga kerja antarwilayah menunjukkan hasil sebagai berikut : rit = -3,47322 + 0,903347it Dengan menggunakan Fixed Effect Model diperoleh hasil bahwa koefisien verdoorn, a = 0,90. Hal ini bermakna bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menyebabkan produktivitas tenaga kerja tumbuh sebesar 0,90%, artinya the elasticity of labour productivity growth with respect to output growth adalah inelastis (kurang dari satu), sedangkan the growth of autonomous productivity (konstanta) adalah -3,47%. Sedangkan untuk menganalisis hubungan antara tingkat upah dan produktivitas tenaga kerja wilayah juga digunakan Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model, dan Random Effect Model dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini.
10
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Tabel 4.2 Hasil regresi sederhana hubungan antara tingkat upah dan produktivitas tenaga kerja antarwilayah (efek kumulatif) dengan menggunakan model PLS, fixed Effect, dan Random Effect (Variabel dependen: Tingkat Upah antarwilayah) Variabel Konstanta Pertumbuhan Ekonomi R2 Jumlah Observasi
PLS
Fixed Effect Model
Random Effect Model
920747 (17,4005) *** 38102,4 (2,3177) ** 0,51
926420 (17,3008) *** 31536,3 (1,8332) * 0,61 44
923331 (13,03) ** 35112 (2,13) **
44
44
Sumber : Data diolah Catatan : *** signifikan pada derajat kepercayaan 99% ** signifikan pada derajat kepercayaan 95% * signifikan pada taraf kepercayaan 90% Dari Tabel 4.2 di atas dan berdasarkan hasil diagnosa Chow Test dan Hausman Test, diambil suatu keputusan bahwa estimasi dengan menggunakan Pooled Least Square (PLS) lebih baik dari pada Fixed effect Model dan Random Effect Model. Hasil regresi hubungan antara pertumbuhan produktivitas tenaga kerja antarwilayah terhadap upah tenaga kerja antarwilayah menunjukkan hasil yang signifikan seperti berikut ini. wit = 920.747 + 38.102 it Lebih lanjut, untuk menganalisis hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan upah antarwilayah, menggunakan Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model, dan Random Effect Model dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini. Tabel 4.3 Hasil regresi sederhana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan upah antarwilayah dengan menggunakan model PLS, fixed Effect, dan Random Effect (Variabel dependen: Pertumbuhan ekonomi wilayah) Variabel Konstanta Pertumbuhan Ekonomi R2 Jumlah Observasi
PLS -22.4339 (-200.4081) *** 0,000028 (243.3645) *** 0,99 44
Fixed Effect Model -22.4291 (-188.3762) *** 2.83444 (228.6413) *** 0,99 44
Random Effect Model -22.4328 (-198.7496) *** 2.83482 (241.9049*** 44
Sumber : Data diolah.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
11
PARAMETER Catatan : *** signifikan pada derajat kepercayaan 99% ** signifikan pada derajat kepercayaan 95% * signifikan pada taraf kepercayaan 90% Dari Tabel 4.3 di atas dan berdasarkan hasil diagnosa Chow Test dan Hausman Test, diambil suatu ketetapan bahwa estimasi dengan menggunakan Pooled Leas Square (PLS) lebih baik dari pada Fixed effect Model dan Random Effect Model. Hasil regresi hubungan antara pertumbuhan tingkat upah antarwilayah terhadap pertumbuhan PDRB antarwilayah menunjukkan hasil yang signifikan. Yit = -22,4339 + 0,000028Wit Untuk menganalisis tingkat keseimbangan pertumbuhan ekonomi antarwilayah, dengan menggunakan Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model, dan Random Effect Model memperlihatkan hasil seperti pada Tabel 4.4 berikut ini. Berdasarkan Tabel 4.4 di bawah ini, dari hasil diagnosa Chow Test dan Hausman Test, diambil suatu ketetapan bahwa estimasi dengan menggunakan Fixed effect Model lebih baik dari pada Pooled Least Square (PLS) dan Random Effect Model. Hasil keseimbangan pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah menunjukkan hasil sebagai berikut: Yt+1 = 0,29767Ŷt + 3,65 Tabel 4.4 Hasil regresi sederhana keseimbangan pertumbuhan ekonomi antarwilayah (efek kumulatif) dengan menggunakan model PLS, fixed Effect, dan Random Effect (Variabel dependen : Tingkat Pertumbuhan ekonomi antarwilayah = Yt+1) Variabel Konstanta Pertumbuhan Ekonomi R2 Jumlah Observasi
PLS 3,462612 (4,160617) *** 0,337125 (2,308241) ** 0,12 40
Fixed Effect Model 3,649163 (4,167631) *** 0,297670 (1,6496)* 0,15 40
Sumber: Data diolah Catatan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 99% ** signifikan pada derajat kepercayaan 95% * signifikan pada derajat kepercayaan 90%
12
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
Random Effect Model 3,690881 (3,444322) *** 0,88846 (1,9587) * 0,08 40
PARAMETER Dengan menggunakan Fixed effect Model diperoleh hasil bahwa koefisien keseimbangan pertumbuhan, g = 0,30. Hal ini bermakna bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi tahun sekarang tumbuh sebesar 0,30%, sedangkan besarnya konstanta (h) adalah 3,65. Artinya g < 1, sedangkan h > 0, hal ini bermakna bahwa terjadi efek kumulatif antarwilayah di Propinsi Aceh. Faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunanan Ekonomi Antarwilayah Tanpa Memasukkan Variabel Efek Kumulatif Wilayah Untuk menganalisis besarnya pengaruh PDRB per kapita, produktivitas tenaga kerja antarwilayah, Indeks Pembangunan Manusia, konsentrasi kegiatan ekonomi, alokasi investasi pemerintah, dan aksesibilitas antarwilayah, tanpa memasukkan pertumbuhan efek kumulatif wilayah dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut ini. Tabel 4.5 Hasil regresi berganda variabel yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah dengan menggunakan model PLS, fixed Effect, dan Random Effect (Tanpa memasukkan Efek Kumulatif) PLS
Fixed Effect Model
Random Effect Model
-55,4763 (-9,5167)***
0,920517 (0,0860)
-55,4763 (-13,78768)***
4,81017 (10,1004)*** -0,118076 (-0,8370)
0,598337 (0,8574)
4,810166 (14,63335)***
0,444438 (2,9194) ***
-0,118076 (-1,212688)
Ln IPM
-1,22161 (-0,8842)
-3,50255 (-2,8673)***
-1,221605 (-1,281046)
Ln PW
-1,42351 (-3,9279)***
0,586571 (1,2366)
-1,423512 (-5,690612)***
Ln DAU
-2,28637 (-8,8750)***
0,084207 (0,1935)
-2,286386 (-12,85791)***
Ln DAK
0,571571 (3,8477)***
-0,0380814 (-0,2621)
0,571571 (5,574485)***
Ln Aks
-0,0515957 (-0,4300)
-0,0225404 (-0,2928)
-0,051596 (-0,622947)
0,94
0,98
0,22
44
44
44
Variabel Konstanta Ln PDRB per kapita Ln KEW ( LQ)
R2 Jumlah Observasi
Sumber: Data diolah Catatan: ** * signifikan pada derajat kepercayaan 99% ** signifikan pada derajat kepercayaan 95%
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
13
PARAMETER Dari Tabel 4.5 di atas, berdasarkan hasil uji Chow Test dan Hausman Test dapat diambil suatu keputusan bahwa estimasi dengan menggunakan Fixed effect Model lebih baik dari pada Pooled Least Square (PLS) dan Random Effect Model karena berdasarkan uji Chow p-value 0,0000 lebih kecil dari 0,05 berarti menolak H0, Fixed effect Model yang digunakan. Hasil regresi berganda dengan menggunakan program Gretl Using Panel Data dan Eviews versi 7.0, pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan konsentrasi kegiatan ekonomi (LQ wilayah terhadap kesenjangan pertumbuhan ekonomi antarwilayah, tanpa memasukkan pertumbuhan efek kumulatif menunjukkan hasil sebagai berikut: LnKPRit = 0,44LnKEWit - 3,50LnIPMit Faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah dengan Memasukkan Variabel Efek Kumulatif Wilayah Untuk membandingkan hasil regresi dengan menggunakan Pooled Least Square Model (PLS), Fixed Effect Model, dan Random Effect Model dengan memasukkan pertumbuhan efek kumulati antarwilayah, dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut ini. Tabel 4.6 Hasil regresi berganda variabel yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah menggunakan model PLS, fixed Effect, dan Random Effect dengan memasukkan pertumbuhan efek kumulatif wilayah PLS
Fixed Effect Model
Random Effect Model
-52.6334 (-9.0458)***
-7.668565 (-2.255114)**
-52.63343 (-12.52780)***
4.86497 (10.5653) *** -0,211539 (-1.4626)
1.276864 (2.934092) ***
4.864969 (13.02175) ***
0.307172 (1.957849)*
-0,211539 (-2.126593)**
Ln IPM
-2.04206 (-1.4580)
-3.357760 (-3.227709)***
-2.042055 (-1.688820)
Ln PW
-1.43386 (-4.0993)***
0.322253 (0.552389)
-1.433856 (-4.399434)***
Ln DAU
-2.29859 (-9.2428)***
-0.188143 (-1.096201)
-2.298586 (-12.44525)***
Ln DAK
-0.534596 (-3.6958)***
-0.023523 (-0.317735)
-0.534596 (-7.480927)***
Ln Aks
-0.0839949 (-0.7177)
-0.060874 (-0.834913)
-0.083995 (-0.659024)
0,92
0,98
0,12
44
44
44
Variabel Konstanta Ln PDRB per kapita Ln KEW ( LQ)
R2 Jumlah Observasi
Sumber: Data diolah
14
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Catatan: ** * signifikan pada derajat kepercayaan 99% ** signifikan pada derajat kepercayaan 95% * signifikan pada derajat kepercayaan 90% Dari Tabel 4.6 di atas, berdasarkan hasil uji Chow Test dan Hausman Test, diambil suatu keputusan bahwa estimasi bahwa dengan menggunakan Fixed effect Model lebih baik dari pada Pooled Least Square (PLS) dan Random Effect Model karena berdasarkan uji Hausman diperoleh p-value 0,0000 lebih kecil dari 0,05 berarti menolak H0, Fixed effect Model yang digunakan. Hasil regresi berganda dengan menggunakan program Gretl Using Panel Data dan Eviews versi 7.0 menunjukkan bahwa pengaruh PDRB per kapita, konsentrasi kegiatan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pertumbuhan efek kumalatif terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah dengan memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah menunjukkan hasil sebagai berikut: LnKPRit = -7,67 + 1,28LnPDRBPerkapitait + 0,31LnKEWit – 3,37LnIPM + 0,09LnȲefffect Dengan menggunakan fixed effect model diperoleh hasil bahwa PDRB per kapita, Konsentrasi Ekonomi Wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, dan pertumbuhan efek kumulatif wilayah berpengaruh secara signifikan terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di Propinsi Aceh. Sedangkan produktivitas wilayah, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan aksesibilitas wilayah tidak signifikan terhadap kesenjangan pertumbuhan ekonomi Ada satu hal yang lebih menarik adalah salah satu penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah adalah variabel pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah, di mana variabel ini dapat meningkatkan kesenjangan sebesar 0,09% jika pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah meningkat sebesar 1%. Hasil kesenjangan antarwilayah di Propinsi Aceh, dari hasil regresi koefisien verdoorn menunjukkan angka 0,90 berarti inelastis (divergence), demikian pula dengan efek kumulatif wilayah menunjukkan konstanta (h) sebesar 3,65 dan koefisien (g) sebesar 0,30 memenuhi syarat untuk divergence. Namun dengan tampilan grafik, di mana Y0 < Ye dan faktor dominan yang mempengaruhi kesenjangan tanpa memasukkan variabel efek kumulatif, konsentrasi kegiatan ekonomi antarwilayah dan IPM yang mempengaruhi kesenjangan bertanda positif dan negatif. Dengan memasukkan variabel efek kumulatif antarwilayah ternyata IPM berpengaruh negatif, sedangkan pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah sendiri dan PDRB per kapita berpengaruh positif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah berpotensi untuk konvergensi jika dan hanya jika ada campur tangan melalui kebijakan pemerintah dalam menurunkan kesenjangan.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
15
PARAMETER V. KESIMPULAN Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut ini. 1. Pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah di Propinsi Aceh masih dalam tahap menuju proses konvergensi, namun belum mencapai titik konvergensi. 2. Tanpa memasukkan pertumbuhan efek kumulatif di dalam model, diperoleh hasil bahwa Konsentrasi Ekonomi Wilayah yang diukur dengan LQ dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh secara signifikan terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di Propinsi Aceh. Sedangkan PDRB per kapita, produktivitas wilayah, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan aksesibilitas wilayah tidak signifikan. Jadi, satu-satunya variabel yang dapat menurunkan kesenjangan ekonomi antarwilayah tanpa memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 3. Dengan memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif di dalam model, diperoleh hasil bahwa PDRB per kapita, Konsentrasi Ekonomi Wilayah yang diukur dengan LQ, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah sendiri berpengaruh secara signifikan terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di Propinsi Aceh. Sedangkan produktivitas wilayah, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan aksesibilitas wilayah tidak signifikan. PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah. Variabel yang dapat menurunkan kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di Propinsi Aceh adalah variabel IPM dan pertumbuhan efek kumulatif antarwilayah. Jadi, dengan memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah ke dalam model secara langsung dapat menurunkan kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah di propinsi Aceh. 4. Peran pertumbuhan efek kumulatif wilayah di dalam model adalah di samping menjadi salah satu faktor penyebab kesenjangan, secara tidak langsung menambah variabel lainnya menjadi lebih banyak signifikan dibandingkan tanpa memasukkan variabel pertumbuhan efek kumulatif wilayah. Jadi, satusatunya variabel yang dapat menurunkan kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah adalah Indek Pembangunan Manusia (IPM). DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, H.Raharjo (2000). Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik, (1993-2010). Indikator Ekonomi Provinsi-provinsi di Indonesia. Publikasi oleh BPS, Jakarta. __________, (1993-2010). Statistik Indonesia. PT. Duta Tamaru Sakti, Publikasi oleh BPS Jakarta.
16
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Fujita, Nanako (2004). Gunnar Myrdal’s Theory of Cumulative Causation Revisited, Economic Research Center Discussion Paper, No 137 April. Knowles, R. And J. Wareing (1994). Economic and Social Geography. Mad Simple Books, London. Kuncoro, Mudrajad (2007). Ekonomika Industri Indonesia : Menuju Negara Industri Baru 2030. Andi, Yogyakarta. McDonald, John F. (1997). Fundamentals of Urban Economics. Prentice-Hall Inc, New Jersey. Myrdal, G. (1976). Bangsa-bangsa Kaya dan Miskin. Terjemahan Paul Sitohang: Gramedia, Jakarta. Nugroho, Iwan dan Rochmin Dahuri (2004). Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta Rustiadi, Ernan dkk (2009). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sjafrizal, (2008). Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Penerbit : Baduose Media, Padang – Sumatera Barat. Soukiazis, Elias Ana Madaleno (2007). How Well the Cumulative Causation and Export-led Approaches Predict Actual Growth of the EU (15) Countries. Discussion Paper No. 44 June, 2007: 6-9. Villaverde, Jose and Adolfo Maza (2009). Measurement of Regional Economic Disparities, Journal of Comparative Regional Intergration Studies, August 26th, 2009. United Nation University, Belgium, page 4-6.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
17
PARAMETER HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN EFEKTIF DAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH: SEBUAH STUDI KASUS KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH KABUPATEN/ KOTA DI INDONESIA Dita S. N. A. Diliani*
Abstrak Berangkat dari asumsi bahwa perilaku pemimpin publik dapat mempengaruhi kinerja pemerintah daerah, melalui penelitian ini kami ajukan Public Leader Organization Scale (POLS) untuk mengidentifikasi perilaku efektif pemimpin publik. Berdasarkan studi kami terhadap tiga orang walikota dan seorang bupati di Indonesia, evaluasi subjektif yang kami lakukan menghasilkan bahwa impersonality (keadilan) adalah perilaku terkuat bila dihubungkan dengan kinerja. Selanjutnya, studi ini juga menemukan bahwa personal integrity (integritas) dan writing communication skill (kemampuan menulis) mempengaruhi kinerja pemerintah daerah lebih baik daripada kombinasi perilaku lainnya. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa integritas pemimpin dianggap lebih memiliki hubungan dengan kinerja daripada skills (keahlian) atau influence (pengaruh). Oleh karena itu, disarankan bagi para pemimpin publik untuk dapat menampilkan perilaku berintegritas apabila berkeinginan untuk mencapai kinerja pemerintahan yang baik. Kata kunci: Indonesia, perilaku, kinerja, efektif, pemerintah Pendahuluan Lebih dari 100 definisi kepemimpinan muncul dalam literatur kepemimpinan (Rost, 1991). Kepemimpinan dapat dipahami melalui bermacam sudut pandang baik itu sebagai trait (sifat), ability (kemampuan), skills (keahlian), behaviors (perilaku), relationship (hubungan) dan suatu pekerjaan dalam posisi administratif (Chemers, 1997; Northouse P. G., 2001; Stogdill, 1974). Namun, studi kepemimpinan yang ada sekarang ini terlalu berfokus pada kepemimpinan organisasi swasta dibandingkan kepemimpinan organisasi publik misalnya organisasi pemerintah, sehingga perkembangan studi kepemimpinan pada organisasi publik dirasa terabaikan. Pada dasarnya, efektivitas organisasi publik tidak hanya bergantung pada sumber daya manusia dan budaya organisasi itu sendiri, tapi juga bagaimana organisasi tersebut memandang equity (kesetaraan). Berbeda dari organisasi swasta (profit), organisasi publik membutuhkan usaha yang lebih dalam memenuhi prinsip equity (Wu, Ramesh, Howlett, & Fritzen, 2010). Equity dalam organisasi publik adalah dimana semua orang mendapatkan perlakuan yang sama dalam mengakses pelayanan publik tanpa memandang strata sosial atau latar belakang apapun. Sedangkan organisasi swasta memandang equity yaitu dengan memberikan pelayanan yang
*
Dita Siti Nurhayati Anastasia Diliani (Dita S.N.A. Diliani) bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Pada akhir Januari 2015 telah menyelesaikan program doktor di National Cheng Chi University Taiwan
18
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER setara berdasarkan prinsip orientasi klien atau client-oriented principle. Kompleksitas pelaku administrasi organisasi publik untuk mencapai equity membuat pimpinan organisasi publik tersebut harus memiliki bukan hanya keahlian dan sifat yang mendukung, tapi juga kemampuan mempengaruhi yang positif (good influence behavior) (Moore, 1995). Artikel ini akan membahas hubungan antara perilaku pemimpin organisasi publik yaitu walikota dan bupati dengan kinerja pemerintah daerah, dengan harapan hasilnya nanti dapat menunjukkan sejauh mana perilaku kepala daerah dapat berpengaruh terhadap pencapaian pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Dan tentunya perilaku efektif yang teridentifikasi dapat dipertimbangkan dan perlu bagi kepala daerah untuk memperhatikan caranya berperilaku demi mencapai kinerja pemerintah yang efektif. Effective Leadership Behaviors Dalam literatur kepemimpinan, ada beberapa traits, skills dan influence behaviors yang dapat mempengaruhi efektivitas seorang pemimpin (Ammeter A. P., Douglas, Gardner, Hochwater, & Ferris, 2002; Nana & Jackson, 2010; Wart, 2005; Wood & Vilkinas, 2005). Untuk leader’s trait, studi difokuskan pada personal integrity sedangkan skills berfokus pada keahlian berkomunikasi dan administratif. Akhirnya, untuk influence behaviors, studi ini berfokus pada taktik exchange dan coalition. Personal integrity dianggap sebagai salah satu atribut kepemimpinan yang memberikan dampak positif terhadap keefektivan pimpinan dan organisasi (Kirkpatrick & Locke, 1995; Moore, 1995; Blunt, Turner, & Lindroth, 2012). Para ilmuwan memiliki definisi yang berbeda untuk personal integrity diantaranya Gary Yukl (2002) mendefinisikan personal integrity sebagai as a person’s behavior that consistent with the espoused values. Sedangkan Wart (2005) mendefinisikan personal integrity sebagai the state of being whole and/or connected with oneself, one’s profession and the society of which one is a member, as well as being incorruptible. Kemudian Cox, La Case dan Levine (2003) mendefinisikan integrity sebagai doing the right thing if no one is looking, or even if others are not doing the right thing. Studi yang dilakukan oleh Manyak dan Katono (2010) dan Abraha (2010) adalah sebagian kecil contoh studi yang berfokus pada personal integrity. Studi yang mereka lakukan pada kepemimpinan di negara-negara Afrika menemukan bahwa ketidakhadiran kepemimpinan yang tepat telah mengantarkan pemerintahan di negara-negara Afrika pada kegagalan. Temuan ini dilakukan setelah melakukan wawancara dengan para pemimpin senior di negara tersebut. Para ilmuwan ini menyebutkan akan pentingnya seorang pemimpin yang memiliki beberapa atribut positif seperti honesty (kejujuran), integrity (integritas), just (adil), trustworthy (terpercaya) and visionary (memiliki visi). Contoh studi lainnya yang menyebutkan akan pentingnya personal integrity untuk seorang pemimpin adalah studi yang dilakukan oleh Blunt, et.al (2012). Studinya pada pelayanan kesehatan dan pendidikan di Indonesia menemukan bahwa dalam manajemen sumber daya manusia telah terjadi korupsi dan hubungan patronage yang berakibat pada efektivitas perekrutan, penempatan, mutasi dan promosi pegawai. Dengan menggunakan metode kualitatif yang dikombinasikan dengan wawancara, focus group discussion (FGD) dan juga tulisan-
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
19
PARAMETER tulisan yang terkait dengan praktek patron dan korupsi, mereka menemukan bahwa beberapa staf ditempatkan pada posisi dimana secara teknis mereka tidak memiliki kemampuan dalam posisi tersebut. Bahkan, ketika para staf yang direkrut memang memiliki kompetensi untuk menghasilkan kinerja yang efektif, penempatan mereka dilokasi yang mereka inginkan telah mengakibatkan penyimpangan pada distributsi kebutuhan pegawai. Akibatnya, penempatan staf atas dasar lokasi yang diinginkan ini telah mengorbankan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik di daerah terutama di daerah pedalaman. Dalam hal keahlian kepemimpinan, Van Wart (2005) menyebutkan enam keahlian yang dapat mempengaruhi efektivitas seorang pemimpin. Keahlian tersebut antara lain, keahlian komunikasi (communication skills), keahlian bersosialisasi (social skills), keahlian mempengaruhi (influence skills), keahlian analisis (analytical skills), keahlian teknikal (technical skills), dan keahlian untuk mempelajari sesuatu secara kontinyu (continual learning skills). Senada dengan hal diatas, Northouse (2009) beranggapan bahwa keahlian administratif juga memiliki peran utama dalam kepemimpinan yang efektif. Dalam studi ini, keahlian administratif termasuk diantaranya mengelola sumber daya (managing resources), mengelola manusia (managing people), dan memiliki kemampuan teknis (technical competence). Sedangkan dalam hal keahlian berkomunikasi, termasuk diantaranya keahlian mendengarkan (listening), nonverbal, oral dan keahlian menulis. Akhirnya dalam hal perilaku mempengaruhi (leader’s influence behaviors), studi ini berfokus pada taktik exchange dan coalition. Taktik exchange yaitu ketika si pemimpin menawarkan insentif, menyarankan adanya pertukaran bantuan atau suatu kegiatan yang mengindikasikan kemauan untuk bekerjasama apabila si target bersedia melakukan yang diminta oleh si pemimpin. Sedangkan untuk taktik coalition yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh si agen atau pemimpin untuk meminta bantuan dari pihak pertama untuk membujuk pihak ke dua agar pihak kedua mau melakukan sesuatu untuk pihak pertama, atau, menggunakan dukungan pihak lain sebagai alasan agar target yang dituju menyetujui. Keberhasilan mantan Walikota Herry Zudianto untuk merelokasi pedagang kaki lima tanpa keributan menjadi bukti keberhasilan taktik exchange (Nurmandi, 2011). Walikota berhasil membujuk para pedagang untuk pindah dengan memberikan solusi-solusi supaya dagangan para penjual tersebut tetap memiliki pembeli. Sebagai ringkasan, ada tiga grup perilaku pemimpin dan empat aspek kinerja pemerintah (kinerja tenaga kesehatan, kualitas fasilitas kesehatan, kualitas fasilitas pendidikan dan kinerja ekonomi daerah) yang akan dianalisa. Sebagai catatan, kepuasan responden kami artikan bahwa kinerja yang dilakukan oleh pemerintah sudah baik. Fenomena aparat publik yang korup telah memperburuk citra birokrasi. Padahal, perilaku aparatur yang terlihat oleh publik akan mempengaruhi persepsi masyarakat dan pada akhirnya akan berpengaruh pada pencapaian/pembangunan daerah tersebut. Kami berasumsi bahwa ketika aparatur atau birokrat bersikap positif kemungkinan pembangunan daerah akan meningkat. Sebaliknya, ketika aparatur atau birokrat bersikap tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku di masyarakat, pembangunan daerah kemungkinan akan menurun. Untuk
20
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER membuktikan asumsi tersebut, kami membuat kuesioner yang terdiri dari 12 item indikator perilaku kepemimpinan yang efektif. Kami gunakan Public Organization Leadership Scale (POLS) yang kami kembangkan berdasarkan konsep-konsep yang digunakan oleh pakar-pakar kepemimpinan seperti Gary Yukl, Montgomery van Wart dan P. G Northouse, dan juga literatur kepemimpinan dalam bidang organisasi publik. Seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya bahwa kami membuat penelitian ini dilatarbelakangi keprihatinan kami atas kurangnya studi tentang kepemimpinan pada organisasi publik atau pemerintah. Padahal disisi lain, perlu obat yang mujarab untuk dapat mengatasi krisis yang disebabkan kurangnya kehadiran pemimpin yang tepat. Oleh karena itu, kami menggunakan Public Organization Leadership Scale (POLS) untuk mengukur efektivitas kepemimpinan kepala daerah dan hubungannya dengan kinerja pemerintah. Diharapkan temuan dari penelitian ini dapat menunjukkan sejauh mana perilaku yang ditampilkan oleh para kepala daerah mampu mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Selain itu, diharapkan juga hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman kita tentang pentingnya seorang pimpinan publik untuk tampil efektif. Public Organization Leadership Scale (POLS) Kurangnya studi yang dapat memberikan jawaban sejauh mana keefektifan perilaku pimpinan terhadap kinerjanya sejalan dengan argument Yukl (2012) bahwa kebanyakan studi kepemimpinan yang ada saat ini terlalu berfokus pada seberapa sering perilaku kepemimpinan tertentu digunakan daripada sejauh mana atau seefektif apa perilaku tersebut bila ditampilkan. Ferris et.al (2002) bahkan menyatakan bahwa walaupun penelitian telah banyak dilakukan terhadap politik organisasi, namun kekurangan yang serius adalah kegagalan untuk mengevaluasi keahlian politik seorang pemimpin yaitu kemampuan mempengaruhi lawan/target. Akibat dari kurangnya studi mengenai isu tersebut, tidak banyak informasi yang dapat menjelaskan mengapa pengaruh seorang pemimpin dapat berhasil atau tidak. Dengan kata lain, tidak banyak studi yang mempelajari secara khusus keberhasilan taktik mempengaruhi. Tabel 1 menunjukkan definisi perilaku dalam studi ini yang secara empiris diamati melalui evaluasi subjektif. Untuk menguji hal abstrak menjadi kongkrit perlu dibuat indikator untuk mengujinya (King, Keohane, & Verba, 1994). Hal ini dilakukan atas dasar agar indikator yang digunakan akan lebih mudah untuk diamati. Tabel 1. Indikator Perilaku Kepemimpinan Perilaku
Indikator
Honesty
Pemimpin melarang orang dekatnya untuk terlibat dalam tender pemerintahan
Impersonality
Pemimpin menyarankan bawahannya untuk memberikan pelayanan publik yang setara kepada masyarakat
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
21
PARAMETER Consistency
Terkait dengan kebijakannya, pemimpin memperlihatkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan
Managing people
Pemimpin mendelegasikan tugasnya kepada orang yang tepat
Managing resource
Pemimpin mempunyai manajemen terencana dalam mencapai tujuan organisasinya
Technical competence
Dalam menerapkan kebijakan pemerintah, pemimpin mengadakan monitoring atau pengawasan
Listening communication
Pemimpin menunjukkan perhatian dan dukungannya dengan mendengarkan pendapat atau keluhan masyarakat
Oral communication
Dalam memberikan instruksi, pemimpin mampu mengartikulasikan maksudnya dengan jelas
Writing communication
Pemimpin menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan masyarakatnya
Nonverbal communication
Jabat tangan dilakukan oleh pemimpin sebagai bentuk apresiasi kepada orang yang ditemuinya
Exchange tactics
Melakukan pertukaran bantuan atau adanya suatu kemauan untuk bekerjasama jika si target mau melakukan yang diminta pemimpin
Coalition tactics
Mencari bantuan pihak lain untuk membujuk target agar mau melakukan yang diminta pemimpin. Atau, menggunakan dukungan dari pihak lain dengan tujuan agar target menyetujui maksud pemimpin
Sumber: Diadaptasi dari Yukl (2002) Kami menemukan beberapa ahli menggunakan analisis statistik untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku pimpinan dengan kinerja organisasi. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Fleishman and Harris (1962) pada sebuah perusahaan perkebunan tee International Harvester Company. Mereka menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pertimbangan manager dengan kepuasan pegawai. Perilaku 57 supervisor digambarkan oleh para bawahan dengan mengisi kuesionar Supervisory Behavior Description (SBDQ). Analisis statistik mengkonfirmasi adanya suatu hubungan curvilinear yang signifikan. Contoh penelitian lainnya adalah study yang dilakukan oleh Negussie dan Demissie (2013) dalam hal hubungan antara gaya kepemimpinan manager perawat dengan kepuasan kerja perawat di Jimma University Specialized Hospital. Mereka menemukan bahwa para perawat cenderung lebih merasa puas dengan gaya kepemimpinan transformasional daripada transaksional. Karenanya, disarankan agar para manajer perawat menggunakan gaya kepemimpinan transformasional supaya dapat meningkatkan kepuasan kerja para perawat.
22
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Research Design Ada tiga mantan walikota dan seorang bupati aktif yang diteliti dalam studi ini. Para kepala daerah ini telah memimpin selama dua periode (10 tahun) berturut-turut. Mereka diakui akan kinerja mereka yang baik selama memimpin daerah mereka. Kota dan kabupaten dalam studi ini berpenduduk antara 122 ribu hingga 400 ribu jiwa. Sumber pendapatan daerah untuk ketiga kota adalah berasal dari sektor tersier yakni dari sektor perdagangan, hotel dan restauran; transportasi dan komunikasi; sektor keuangan, sewa dan industri pabrik, dan juga pelayanan. Sedangkan untuk kabupaten, sumber pendapatan daerahnya berasal dari sektor primer yakni pertanian, pertambangan dan penggalian. Dengan menggunakan metode non-purposive sampling, sekitar 569 responden berhasil didapatkan. Namun, studi ini hanya menggunakan 291 sampel dengan dasar proporsi gender populasi ditiap-tiap daerah yang diteliti. Tabel 2 memperlihatkan jumlah sampel yang digunakan dalam studi ini. Table 2. Sampel Penelitian Banyaknya Populasi Sampel
Laki-laki 416.749 149
Perempuan 428.379 142
Total 845.128 291
Sumber: Data Penelitian Para responden berusia antara 19 hingga 71 tahun dengan nilai mean usia 40,32 terdiri dari 51 persen responden laki-laki dan 49 persen responden perempuan. Mayoritas responden bekerja sebagai pegawai negeri sipil (47,8%) dan mayoritas responden telah menyelesaikan tingkat pendidikan level sarjana (47,4%). Kuesioner dalam studi ini menggunakan close-ended question dengan jawaban menggunakan standar Likert skala 1-5 agreement (very disagree hingga very agree). POLS memiliki reliabilitas Cronbach’s alpha 0,854 dan nilai diatas 0,70 dapat diterima sebagai instrumen tahap awal (Hinkin, 2005). Untuk menganalisa hasil survey, studi ini menggunakan aplikasi SPSS. Kinerja yang diobservasi diberikan nilai antara 4 hingga 20 poin. Semakin tinggi poin didapat maka semakin baik kinerja yang dinilai.
Hasil Tabel 3 menunjukkan nilai mean dan standard deviation setiap perilaku yang diobservasi. Impersonality mendapatkan nilai tertinggi dan ini sesuai dengan karakteristik mental masyarakat Indonesia yang memegang nilai kesetaraan (sama rata sama rasa) (Koentjaraningrat, 1974).
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
23
PARAMETER Tabel 3. Mean dan Standard Deviation Variabel
Mean
Technical competence skill Managing people skill Managing resources skill
4.01 3.87 4.13
Listening communication skill Oral communication skill Honesty Impersonality Consistency Writing communication skill Nonverbal communication skill Coalition tactics Exchange tactics n = 291, significant at p < 0.50 N items = 12, Cronbach’s Alpha .854
4.12 4.10 3.62 4.19 3.96 3.59 3.98 3.75 3.78
Standard Deviation .786 .772 .796 .763 .662 1.073 .926 .891 .948 .785 .812 .805
Dalam hal personal integrity, tabel 4 menunjukkan bahwa consistency memiliki hubungan signifikan dengan kinerja pemerintah yang diikuti oleh honesty dan akhirnya impersonality. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsistensi adalah perilaku terpenting dalam personal integrity yang mempengaruhi keefektivan kepala daerah. Oleh karena itu, penting untuk para pemimpin organisasi publik untuk konsisten antara ucapan dan perbuatan. Table 4 Analisis korelasi personal integrity kepala daerah dan kinerja pemerintah Impersonality Honesty Consistency Government performance
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1 1 .424** .000 .566** .000 .375** .000
2
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
4
1 .484** .000 .400** .000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
24
3
1 .474** .000
1
PARAMETER Selanjutnya, dalam hal perilaku pemimpin yang menunjukkan keahlian administratif, tabel 5 menunjukkan bahwa semua perilaku memiliki korelasi yang signifikan dengan kinerja pemerintah. Korelasi terkuat ditunjukkan oleh managing resources skill kemudian diikuti oleh managing people skill dan terakhir technical competency. Tabel 5 Analisis korelasi administrative skills dan kinerja pemerintah Managing people skill Managing resources skill Technical competence skill Government performance
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
1 1
2
.568** .000 .474** .000 .319** .000
3
4
1 .417** .000 .356** .000
1 .272** .000
1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Perilaku pemimpin yang menunjukkan keahlian lainnya adalah kompetensi keahlian berkomunikasi. Tabel 6 menunjukkan bahwa semua perilaku memiliki korelasi yang signifikan dengan kinerja pemerintah. Korelasi terkuat ditunjukkan oleh listening communication sedangkan korelasi paling lemah ditunjukkan oleh kompetensi oral communication skill. Tabel 6. Analisis korelasi communication skill dan kinerja pemerintah Listening communication skill
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Oral communica- Pearson Correlation tion skill Sig. (2-tailed) Writing commu- Pearson Correlation nication skill Sig. (2-tailed) Nonverbal com- Pearson Correlation munication skill Sig. (2-tailed) Government Pearson Correlation performance Sig. (2-tailed)
1 1
2
.536** .000 .364** .000 .257** .000 .448** .000
1
3
.371** .000 .315** .000 .333** .000
4
5
1 .292** 1 .000 .440** .359** .000 .000
1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Akhirnya, dalam hal influence behavior kepala daerah Tabel 7 menunjukkan bahwa taktik exchange memiliki korelasi yang lebih kuat dengan kinerja pemerintah dibandingkan dengan taktik coalition. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa di
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
25
PARAMETER masyarakat Indonesia, dialog atau negosiasi lebih efektif daripada taktik koalisi. Tabel 7 Analisis korelasi influence behaviors kepala daerah dan kinerja pemerintah Exchange tactics Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Coalition tactics Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Government Pearson Correlation performance Sig. (2-tailed)
1 1
2
.347** .000 .366** .000
1 .247** .000
3
1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Untuk melakukan analisis regresi, hasil survei untuk setiap perilaku dikelompokkan ke dalam tiga grup utama, yakni personal integrity, skills dan influence behaviors. Impersonality, consistency dan honesty dikelompokkan menjadi personal integrity. Managing people, managing resource, technical competency, listening, oral, writing dan nonverbal communications dikelompokkan menjadi skills (keahlian). Dan akhirnya, taktik exchange dan coalition dikelompokkan sebagai influence behaviors. Analisis regresi dilakukan untuk dapat memberikan gambaran tentang hubungan antara ketiga kelompok perilaku kepemimpinan tersebut diatas dengan kinerja pemerintah. Hasil regresi menunjukkan bahwan dengan F (3,286) = 51.917, p < 005, R2 = 0.594, null hypothesis dapat ditolak sehingga asumsi bahwa ada korelasi yang signifikan antara perilaku kepala daerah dengan kinerja pemerintah dapat diterima. Hasil R square mengindikasikan bahwa 59,4 persen dari seluruh variasi dalam kinerja pemerintah dapat dijelaskan oleh perilaku kepala daerah. Berdasarkan regresi tersebut, kami mendapatkan rumus untuk dapat memperkirakan kinerja daerah berdasarkan perilaku kepala daerah sebagai berikut: Performance = 1.316 + 0.366(INTEGRITY) + 0.273(SKILLS) + 0.218(INFLUENCETACTICS). Hasil ini mengindikasikan bahwa semua predictor berpengaruh secara positif terhadap kinerja pemerintah dimana INTEGRITY dianggap sebagai kelompok perilaku yang memberikan kontribusi terbesar (Tabel 8). Table 8. Analisis regresi perilaku kepemimpinan dan kinerja pemerintah Variable Weight Std. Error Constant 1.316 1.160 Leader’s Personal Integrity .366 .080 Leader’s skills .273 .052 Leader’s influence tactic .218 .130 a. Dependent Variable: Kinerja pemerintah
t 1.134 4.595 5.199 1.679
Sig. .258 .000 .000 .094
Rumus tersebut mengindikasikan bahwa untuk setiap orang yang menganggap
26
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER bahwa komponen personal integrity ditunjukkan oleh kepala daerah, maka nilai kinerja pemerintah meningkat 0,366 poin. Untuk setiap orang yang menganggap bahwa komponen skills pemimpin ditunjukkan oleh kepala daerah, maka nilai kinerja pemerintah meningkat 0,273 poin. Dan akhirnya, untuk setiap orang yang menganggap bahwa komponen influence behavior ditunjukkan oleh kepala daerah, maka kinerja pemerintah meningkat 0,218 poin. Personal integrity dan skills kepala daerah menunjukkan koefisien yang signifikan tapi tidak untuk influence behaviors. Setiap kepala daerah akan menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berbeda tergantung pada isu yang mereka hadapi. Seperti yang sudah kami sampaikan sebelumnya bahwa organisasi publik memandang kesetaraan berbeda dari organisasi swasta (profit). Berdasarkan nilai kesetaraan tersebut, pemimpin organisasi publik membutuhkan kombinasi perilaku kepemimpinan yang efektif untuk dapat mencapai tujuannya. Untuk mengetahui kombinasi kepemimpinan yang berkontribusi pada keefektifan para kepala daerah dalam mencapai tujuannya, studi ini menjalankan factor analysis.
Tabel 9. Factor analysis perilaku efektif kepala daerah Variable Technical competence skill Managing people skill Managing resources skill
1 .754 .741 .733
Component 2
3
.326 .226
.195
Listening communication skill .723 .248 Oral communication skill .660 Honesty .143 .839 Impersonality .176 .692 Consistency .383 .673 Writing communication skill .169 .539 Nonverbal communication skill Coalition tactics .146 Exchange tactics .170 .383 n = 291, significant at p < 0.50 N items = 12, Cronbach’s Alpha .854 Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization = .880 a. Rotation converged in 5 iterations.
.269 .412 .315 .191 .436 .762 .636 .580
Tabel 9 menunjukkan variasi perilaku efektif yang ditampilkan oleh para kepala daerah. Ada 3 gaya kepemimpinan dihasilkan dari factor analysis tersebut, yaitu gaya kepemimpinan 1 terdiri dari technical competence, managing people,
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
27
PARAMETER managing resources, listening dan oral communication skills. Gaya kepemimpinan 2 terdiri dari kombinasi perilaku honesty, impersonality, consistency dan writing communication skill. Terakhir, gaya kepemimpinan 3 terdiri dari kombinasi perilaku nonverbal communication skill, exchange dan coalition tactics. Analisis regresi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara ketiga gaya kepemimpinan tersebut dengan kinerja pemerintah secara subjektif. Hasil regresi menunjukkan bahwa dengan F (3,286) = 53.706, p < 005, R2 = 0.360, null hypothesis dapat ditolak sehingga adanya korelasi yang signfikan antara kinerja pemerintah dan gaya kepemimpinan 1, 2 dan 3. Hasil R square menunjukkan bahwa 36 persen dari seluruh total variasi kinerja pemerintah dapat dijelaskan oleh perilaku pemimpin. Koefisien regresi analisis untuk ketiga gaya kepemimpinan lebih kecil daripada regresi berdasarkan kelompok perilaku sebelumnya. Rumus yang dihasilkan untuk dapat mengukur kinerja pemerintah adalah sebagai berikut: Performance = 14.384 + 0.899(leadership style1) + 1.270(leadership style2) + 1.020 (leadership style3). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa semua prediktor bukan hanya berkontribusi secara positif terhadap kinerja pemerintah namun juga memiliki korelasi yang signifikan. Kombinasi perilaku honesty, impersonality, consistency dan writing skills (kepemimpinan gaya 2) dianggap memberikan kontribusi lebih besar daripada gaya yang lain. Temuan ini sesuai dengan temuan sebelumnya.
Table 10. Analisis regresi kinerja 4 daerah and perilaku ke 4 kepala daerah Variable Weight Std. Error Constant 14.834 .146 Leadership style1 .899 .147 Leadership style2 1.270 .147 Leadership style3 1.020 .147 a. Dependent Variable: Government performance
t 101.384 6.131 8.667 6.958
Sig. .000 .000 .000 .000
Rumus tersebut diatas mengindikasikan bahwa untuk setiap satu orang yang menganggap kepala daerah telah menunjukkan gaya kepemimpinan 1, maka kinerja pemerintah meningkat 0,899 poin. Untuk setiap satu orang mengakui bahwa kepala daerah telah menunjukkan gaya kepemimpinan 2, maka kinerja pemerintah meningkat 1,270 poin. Terakhir, meningkat 1,020 poin. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa Public Organization Leadership Scale dapat digunakan untuk mengidentifikasi perilaku kepemimpinan yang efektif pada pimpinan organisasi publik. Dalam studi ini, impersonality merefleksikan perilaku efektif kepala daerah yang paling banyak diidentifikasi di masyarakat empat daerah
28
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER yang diteliti. Bukan hanya impersonality telah merefleksikan perilaku efektif para kepala daerah yang sukses dalam posisinya namun juga telah menunjukkan bahwa personal integrity pemimpin dianggap memberi pengaruh lebih terhadap kinerja pemerintah dibandingkan skills and influence behaviors. Selain itu, kombinasi perilaku yang dihasilkan dari Principle Component Analysis (factor analysis) menunjukkan hubungan yang lebih signifikan terhadap kinerja pemerintah dibandingkan dengan saat perilaku tersebut diuji secara independen. Gaya kepemimpinan 2 menunjukkan kombinasi perilaku paling kuat dibandingkan gaya lainnya. Gaya kepemimpinan 2 ini mencakup personal integrity dan writing communication skills. Temuan dalam studi ini mengindikasikan bahwa kepala daerah yang sukses di Indonesia telah menunjukkan beberapa hal berikut ini untuk efektif: Gaya kepemimpinan 1 terdiri dari: 1. Monitoring atau supervisi 2. Menunjukkan kemampuan membangun manajemen terencana untuk mewujudkan visinya 3. Mampu mendelegasikan tugas kepada orang yang tepat 4. Memiliki sensitifitas untuk mendengarkan pendapat atau keluhan dari warga 5. Mampu menyampaikan maksudnya dengan jelas Gaya kepemimpinan 2 terdiri dari: 1. Melarang keluarga atau orang terdekat untuk terlibat dalam pengadaan yang dilakukan pemerintah. 2. Meminta bawahan untuk memberikan pelayanan public yang setara kepada seluruh masyarakat tanpa melihat latar belakang atau statusnya. 3. Menunjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan terutama terkait dengan kebijakan pemerintah. 4. Memiliki akun media sosial untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat. Gaya kepemimpinan 3 terdiri dari: 1. Menunjukkan taktik exchange atau kemampuan untuk membujuk pihak lain untuk melakukan yang diminta (pertukaran bantuan). 2. Menunjukkan taktik coalition atau kemampuan untuk menggunakan bantuan dari pihak lain untuk membujuk target agar bersedia melakukan yang diminta pemimpin. 3. Menunjukkan komunikasi nonverbal seperti jabat tangan untuk menunjukkan apreasiasi kepada orang yang ditemui. Menanggapi studi kepemimpinan pada organisasi publik sebelumnya, studi ini telah menunjukkan temuan yang memperkuat studi dan argumen yang diajukan oleh Abraha, Manyak dan Katono, dan juga Blunt et.al studies bahwa memiliki kepemimpinan yang tepat untuk memimpin suatu daerah merupakan hal yang sangat penting. Selanjutnya, analisis regresi yang dihasilkan oleh studi ini juga telah menjawab kritik yang diajukan oleh Gary Yukl bahwa studi perilaku pemimpin kurang memberi perhatian pada sejauh mana perilaku tersebut dapat menjadi efektif. Kami
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
29
PARAMETER meyakini bahwa alat ukur yang digunakan dalam studi ini berguna untuk dapat mengidentifikasi perilaku efektif pemimpin publik yang tentunya akan menghasilkan temuan yang berbeda antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Sebagai kesimpulan, kami menyarankan bahwa untuk dapat mencapai kinerja pemerintah yang baik perlu kiranya pemimpin publik untuk mempertimbangkan perilaku yang mereka tunjukkan ke publik untuk tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat. Dengan menunjukkan perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya, pemimpin akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dengan adanya rasa percaya tersebut, pemimpin akan dapat mencapai tujuannya dengan efektif. KUESIONER: PUBLIC ORGANIZATION LEADERSHIP SCALE (SKALA KEPEMIMPINAN ORGANISASI PUBLIK) Persepsi Perilaku Kepemimpinan Berikan respon anda terhadap pernyataan-pernyataan berikut ini berdasarkan pengalaman anda dengan memilih 1 (Sangat Tidak Setuju), 2 (Tidak Setuju), 3 (Tidak Tahu/Ragu), 4 (Setuju), 5 (Sangat Setuju). Sangat Tidak Setuju
1
Tidak Setuju 2
Tidak Tahu 3
Setuju Sangat Setuju 4
5
1. Walikota/Bupati menyarankan bawahannya untuk memberikan pelayanan public dengan adil. 2. Walikota/Bupati melarang keluarganya untuk terlibat dalam pengadaan atau lelang yang diadakan oleh pemerintah. 3. Terkait dengan kebijakannya, Walikota/Bupati konsisten dengan ucapannya. 4. Walikota/Bupati memiliki kemampuan untuk melimpahkan pekerjaan kepada orang yang tepat. 5. Walikota/Bupati mempunyai manajemen terencana dalam mencapai tujuannya 6. Walikota/Bupati melakukan pengawasan untuk memeriksa hasil kerja yang dilaksanakan. 7. Walikota/Bupati menunjukkan perhatian dan dukungannya dengan mendengarkan ide dan keluhan masyarakatnya. 8. Dalam memberikan perintah, Walikota/Bupati mampu menyampaikan keinginannya dengan jelas. 9. Walikota/Bupati menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan masyarakat. 10. Untuk menunjukkan apreasiasinya, Walikota/Bupati menyalami masyarakat yang ditemuinya. 11. Untuk dapat mewujudkan kebijakannya, Walikota/Bupati menggunakan Exchange Tactics. 12. Untuk dapat mewujudkan kebijakannya, Walikota/Bupati menggunakan
30
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Coalition Tactics. Persepsi Kinerja Pemerintah Daerah 13. Saya merasa puas dengan kualitas tenaga kesehatan dibawah pemerintahan sang Walikota/Bupati. 14. Saya merasa puas dengan kualitas sarana dan prasarana kesehatan tersedia dibawah pemerintahan sang Walikota/Bupati. 15. Saya merasa puas dengan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia dibawah pemerintahan sang Walikota/Bupati. 16. Saya merasa bahwa dibawah kepemimpinan beliau, ekonomi masyarakat kota/ kabupaten ini telah meningkat. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. S. (1985). Birokrasi dan Pembangunan Nasional. Makassar: Universitas Hasanuddin. Abraha, D. (2010). Leadership crisis and nation building in a politically turbulent environment: The case of the so called People for Front Decmoracy and Justice (PFDJ) Central Office in Eritrea. Journal of Leadership, Accountability and Ethics, 8(1), 108-123. Ammeter, A. P., Douglas, C., Gardner, W., Hochwater, W. A., & Ferris, G. R. (2002). Toward a Political Theory of Leadership. The Leadership Quarterly, 13, 751796. Atwater, L. E., Dionne, S. D., Camobreco, J. F., Avolio, B. J., & Lau, A. (1998). Individual attributes and leadership style: predicting the use of punishment and its effects . Journal of Organizational Behavior, 559-576. Blunt, P., Turner, M., & Lindroth, H. (2012). Patronage, Service Delivery and Social Justice in Indonesia. International Journal of Public Administration, 35(3), 214-220. Chemers, M. M. (1997). An integrative theory of leadership. NJ, Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates. Cox, D., La Caze, M., & Levine, M. (2003). Integrity and the fragile self. Aldershot, England: Ashgate. Ferris, G. R., Hochwarter, W. A., Douglas, C., Blass, F. R., Kolodinsky, R. W., & Treadway, D. C. (2002). Social Influence Process in Organizations and Human Resources Systems. In J. M. (Ed), Research in Personnel and Human Resources Management (Vol. 21, pp. 65-127). Oxford, UK: JAI/Elsevier Science. Fleishman, E., & Harris, E. (1962). Patterns of Leadership Behavior Related to Employee Grievances and Turnover. Personnel Psychology, 15(2), 43-56. Hinkin, T. R. (2005). Scale Development Principles and Practices. In R. A. Swanson,
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
31
PARAMETER & E. Holton III, Research in Organizations: Foundations and Methods of Inquiry (pp. 161-179). San Fransisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc. King, G., Keohane, R. O., & Verba, S. (1994). Designing Social Inquiry, Scientific Inference in Qualitative Research. New Jersey: Princenton University Press. Kirkpatrick, S. A., & Locke, E. A. (1995). Do Traits Matter? In J. T. Wren, The Leader’s Companion: Insight on Leadership Through the Ages (pp. 133-143). New York: The Free Press. Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Manyak, T. G., & Katono, I. W. (2010). Decentralization and Conflic in Uganda : Governance a Drift. African Studies Quaterly, 11(4), 1-24. Moore, M. H. (1995). Creating Public Value: Strategic Management in Government. London, England: Harvard University Press. Nana, E., & Jackson, B. (2010). Attributing leadership personality and effectiveness from the leader’s face: an exploratory study. Leadership & Organization Development Journal, 31(8), 720-742. Negussie, N., & Demissie, A. (2013). Relationship Between Leadership Style of Nurese Managers and Nurses’s Job Satisfaction in Jimma University Specialized Hospital. Ethiopian Journal of Health Science, 23(1), 49-58. Northouse, P. (2009). Introduction to Leadership: Concept and Practice. California: Sage Publication. Northouse, P. G. (2001). Leadership: Theory and Practice. California: Sage Publications, Inc. Nurmandi, A. (2011, November). Directing Urban Planning from the Top: Rezoning the urban informal sector in the multi-party system of Yogyakarta city. Working Paper Series No.168. Singapore: Asia Research Institute. Prasojo, E. (2011). Understanding Big Bang Proliferation of Local Government in Indonesia. Paper presented at the Asian Association for Public Administration (AAPA) 3rd Annual Conference, Administrative Innovation and Reform: Local Culture and Traditions, International Learning and Influence. Hongkong. Rost, J. C. (1991). Leadership For The Twenty-First Century. Wesport: CO:Praeger. Stogdill, R. M. (1974). Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research. New York: Free Press. Wart, M. v. (2005). Dynamics of Leadership in Public Service: Theory and Practice. New York: M.E., Sharpe, Inc. Wood, J., & Vilkinas, T. (2005). Characteristics Associated with success: CEO’s
32
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER perspectives. Leadership and Organization Development Journal, 186-196. Wu, X., Ramesh, M., Howlett, M., & Fritzen, S. (2010). The Public Policy Primer: Managing the policy process. New York: Routledge. Yukl, G. (2002). Leadership in organizations (5th ed.). Upper Saddle Creek, NJ: Prentice-Hall. Yukl, G. (2012). Effective Leadership Behaviors: What We Know and What Questions Need More Attention. Academy of Management Perspectives, 26(4), 6685.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
33
PARAMETER KARAKTERISTIK PEKERJA LANSIA DI PROVINSI ACEH. PERLUKAH MEREKA BEKERJA? Tasdik Ilhamudin* Abstrak Keberadaan Lansia di Provinsi Aceh semakin banyak, walaupun proporsinya cenderung mendatar. Disisi lain, angka harapan hidup penduduk Aceh semakin panjang. Lebih khusus lagi, persentase penduduk Lansia yang sehat (tidak mengalami sakit) juga semakin banyak. Kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan, karena Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Lansia dalam kurun sekitar 1 (satu) dekade terakhir nyaris tidak berubah. Apakah karakteristik di dalamnya tidak mengalami perubahan berarti? Dalam penelitian ini ditemukan setidaknya 2 hal. Pertama, secara agregat variabel karakteristik penentu seseorang Lansia aktif dalam kegiatan ekonomi tidak berbeda dalam 1 dekade terakhir. Kedua, jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya ada 2 hal mendasar perbedaan karakteristik Lansia yang aktif dalam kegiatan ekonomi, yaitu masalah kesehatan dan status perkawinan. Selama Lansia belum merasa jaminan yang memadai dalam kehidupannya, maka mereka akan terus merasa perlu untuk bekerja atau mencari kerja demi memperoleh nafkah. Dalam jangka pendek atau menengah, sistem jaminan hari tua seperti tabungan atau asuransi pensiun merupakan pemecahan masalah yang paling masuk akal. Ini dapat dilakukan bersama-sama oleh masyarakat dan eksekutif/pemerintah. Kata Kunci: Lansia, kesempatan kerja, jaminan hari tua I. PENDAHULUAN Keberadaan penduduk lanjut usia (Lansia) di dunia semakin besar dalam beberapa dekade terakhir. United Nations (Population Division, DESA; 2002) memproyeksikan pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia berusia 60 tahun keatas sebanyak 2 miliar jiwa lebih. Angka tersebut jauh meningkat dibandingkan 25 tahun sebelumnya yang diperkirakan baru mencapai 1,25miliar jiwa. Lebih jauh, populasi penduduk pada rentang usia tersebut hanya sebanyak 737 juta jiwa pada 2009.Praktis dalam kurun waktu sekitar 4 dekade proporsi Lansia meningkat 2 kali lipat menjadi 22 persen. Di Indonesia sendiri, populasi Lansia tercatat 20,23 juta jiwa pada 2009, kemudian diperkirakan melonjak menjadi 71,59 juta jiwa pada 2050. Untuk Provinsi Aceh khususnya, proporsi penduduk usia tersebut pun semakin besar. Pada tahun 2010 (BPS, Sensus Penduduk 2010) penduduk usia 60 tahun keatas di Provinsi Aceh sebesar 5,87 persen dari total penduduk (4,494 juta jiwa). Tiga tahun berikutnya proporsi penduduk kelompok usia tersebut meningkat hingga 282 ribu jiwa lebih *
34
Karyawan BPS Provinsi Aceh, Seksi Analisis Statistik Lintas Sektor
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER (5,89 persen). Lebih spesifik, proporsi penduduk Lansia perempuan lebih besar daripada Lansia laki-laki . Menurut Undang-undang RI Nomor Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Terkait dengan penduduk lanjut usia, selanjutnya dalam penelitian ini disebut Lansia, telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Dalam kedua dokumen penting tersebut disebutkan bahwa Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa. Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat dua sisi dalam kehidupan Lansia.Pertama, semua penduduk (termasuk Lansia) membutuhkan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari.Kedua, tidak semua penduduk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Seperti kelompok penduduk lainnya, terdapat keterbatasan dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia, namun dalam kelompok ini pemenuhan kebutuhan semakin terbatas seiring menurunnya kemampuan akibat usia semakin tua. Terdapat kenyataan bahwa kelompok Lansia semakin besar, ini terjadi karena tingkat kesehatannya semakin membaik dengan umur yang semakin panjang, sebagai akibat kesejahteraannya yang meningkat.Selanjutnya, dengan kondisi kesehatan yang masih prima, mereka masih mampu bekerja dan beraktivitas ekonomi untuk memperoleh pendapatan. Patut diapresiasi dengan keberadaan Lansia yang masih aktif bekerja dan tidak membebani penduduk kelompok usia produktif. Dalam perspektif lainnya, tidak dapat dimungkiri bahwa masa usia lanjut adalah waktu untuk bersantai, tidak perlu bekerja lagi. Namun tidak semuanya setuju dengan pendapat ini, bahkan dari kalangan Lansia sekalipun. Blau (1994) menemukan fakta bahwa transisi tenaga kerja transisi usia tua terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan. Jaminan sosial memiliki dampak yang besar terhadap transisi tenaga kerja usia tua, serta pentingnya aspek dinamis pasokan tenaga kerja pekerja tua, dengan beberapa (lag) variabel endogen yang memiliki efek penting pada tingkat transisi. Data United Nations memaparkan bahwa sekitar 66 persen penduduk Lansia lakilaki masih aktif bekerja, sementara pada Lansia perempuan hanya setengah dari proporsi laki-laki (32 persen). Lebih khusus, di Provinsi Aceh (BPS: 2014), penduduk Lansia yang masih bekerja atau sedang mencari kerja untuk memperoleh pendapatan hampir mencapai 46,77 persen. Angka tersebut tidak beranjak dari satu dasawarsa sebelumnya yang tercatat 46,23 persen.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
35
PARAMETER Tabel 1. Beberapa Indikator Kependudukan Provinsi Aceh Tahun 2005, 2009, 2013 Indikator Angka Harapan hidup Jumlah Lansia (60+)
Persentase Lansia dengan keluhan kesehatan Persentase Angkatan Kerja Lansia
2005 68,00 257.410 (6,38%)
2009 68,60 282.066 (6,88%)
2013 69,40 249.783
72,43
67,59
(5,23%) 62,76
46,23
46,38
46,771)
1) Tahun 2014
Sumber: BPS Provinsi Aceh
Jumlah Lansia terhadap penduduk secara keseluruhan semakin besar, sejalan dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi. Di sisi lain, keluhan kesehatan yang dialami Lansia pun semakin mengecil. Akan tetapi, proporsi penduduk Lansia yang aktif dalam kegiatan perekonomian tidak berubah. Berdasar latar belakang di atas, timbul pertanyaan mengenai keberadaan Lansia di Aceh dalam perannya di kegiatan ekonomi.Dengan tingkat kesehatan yang lebih baik, proporsi Lansia yang aktif dalam kegiatan ekonomi tidak berubah dalam 1 dasawarsa terakhir. Apakah ada perbedaan karakteristik Lansia yang aktif dalam kegiatan perekonomian pada 2004 dan 2013 2 titik waktu tersebut? Fakta di berbagai belahan dunia dan Indonesia menunjukkan semakin besarnya populasi Lansia, namun khusus di Aceh proporsi Lansia tidak berubah dalam 1 dasawarsa terakhir.Diduga karakteristik Lansia dalam 1 dasawarsa terakhir tidak berubah signifikan sehingga tidak mampu mengubah kesempatan kerjanya . Penelitian-penelitian terdahulu menganalisis beberapa variabel penentu kesempatan kerja penduduk tua pada suatu titik waktu. Sementara penelitian ini mencakup dua titik waktu dalam kurun 10 tahun, sehingga dapat diketahui perubahan karakteristik yang terjadi pada lansia selama 1 dasawarsa tersebut. Penelitian ini sangat penting karena perubahan karakteristik selama kurun waktu tersebut adalah waktu yang cukup untuk melihat perubahan kesempatan kerja lansia, sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan kebijakan terkait lansia. Adapun organisasi penulisan artikel ini terbagi menjadi 5 bagian: 1. Pendahuluan 2. Tinjauan Teoritis 3. Data dan Model Penelitian 4. Pembahasan 5. Kesimpulan
36
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER II. TINJAUAN TEORITIS Pendapatan pekerja yang berpendidikan rendah, pekerja perempuan berketrampilan rendah, serta pekerja dengan ras nonkulit putih cenderung tidak stabil bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki berkeahlian tinggi (Hoynes, 1999). Di Mexico, penurunan status kesehatan memiliki efek negatif yang kuat pada upah untuk laki-laki pekerja lanjut usia. Terutama dalam konteks negara berkembang yang tidak memiliki sistem jaminan sosial yang universal dan oleh karena itu dapat diartikan bahwa banyak orang tua bekerja, apakah tingkat kesehatan mereka mengijinkannya. Kesehatan yang buruk juga dapat mencegah orang untuk bekerjadan dengan demikian berkontribusi terhadap tingkat kemiskinan yang tinggi di kalangan orang tua (Parker, 1999). Health and Retirement Survey (HRS) di Amerika menunjukkan bahwa orang tua yang cenderung aktif mencari kerja, lebih besar kemungkinan bekerja setelah pensiun. Mereka yang memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik juga lebih banyak yang bekerja setelah usia pensiun. Jika mereka masih memiliki pasangan, maka waktu luang bersama menjadi penentu status kerja bersama kesehatan dan umur pasangan (Silva, 2000). Model ini menggunakan multinomial dan model logit binomial untuk memperkirakan keputusan untukmengubah status tenaga kerja lakilaki dan perempuan. Efek asuransi kesehatan mempengaruhi pasar tenaga kerja seperti yang telah ditemukan dalam literatur.Pengaruh pernikahan juga konsisten dengan penelitian sebelumnya, bahwapria menikah kemungkinan untuk kembali bekerja sebagai karyawan dan lebih kecil kemungkinannya untuk meninggalkan dunia kerja. Ditemukan fakta bahwa pasar tenaga kerja berubah, tidak terkecuali penawaran tenaga kerja dan permintaan untuk pekerja Lansia/tua. Pendidikan tinggi (yaitu keterampilan yang lebih tinggi) menyebabkan partisipasi angkatan kerja yang lebih tinggi, terutama untukibu tunggal dengan anak. Lokasi perkotaan dikaitkan dengan probabilitasbekerja dan pendapatan upah potensial, namun tidak berpengaruh pada partisipasi Family Investment Program. Mereka yang berpendidikan rendah dan non-kulit putih lebih dipengaruhi oleh lingkungan pasar tenaga kerja lokal (Pan et al., 2001). Sebagaimana juga ditemukan di Nigeria dan Ghana bahwa risiko menjadi miskin kemungkinan lebih besar terjadi pada kaum tua daripada kaum yang lebih muda. Penelitian ini mengidentifikasi potensi individu (kesehatan, pendidikan, keluarga, dll) menentukan besarnya risiko tersebut (Ogwumike dan Aboderin, 2005). Di Indonesia sendiri (Affandi, 2009) sekitar 43,3 persen Lansia masih berstatus bekerja, sebanyak 27,6 persen diantaranya berusia 70 tahun keatas. Lansia yang bekerja lebih banyak laki-laki (66,4persen) dibanding Lansia perempuan (33,6 persen). Masih banyaknya Lansia yang bekerja berkaitan dengan statusnya sebagai kepala keluarga. Dari sejumlah Lansia yang bekerja, lebih dari 75 persen berstatus kawin. Semakin tinggi tingkat pendidikan Lansia makapersentase yang bekerja
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
37
PARAMETER cenderung semakin rendah.Lansia yang mencapai tingkat pendidikan tinggi umumnya adalah mereka yang dulunyamempunyai pekerjaan yang baik, sehingga sekarang pada masa tuanya mereka tidak perlu lagibekerja karena sudah mampu menghidupi dirinya sendiri atau dengan keluarganya, tanpa harusbekerja. Sedangkan untuk Lansia yang berpendidikan rendah, mereka terpaksaharus bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan saat itu saja, tanpa memikirkan adanya jaminanhari tua. Dengan demikian ketika memasuki usia tua mereka tidak mempunyai warisan atautabungan yang dapat menjamin hari tua mereka. Hasil empiris menunjukkan bahwa usia, tingkat pendidikan, dan status perkawinan memiliki efek yang signifikan dan positif terhadap partisipasi angkatan kerja perempuan (Ejaz,2007). Pendidikan kaum perempuan di daerah perdesaan lebih buruk daripada mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Untuk turut serta berpartisipasi dalam angkatan kerja yang produktif, seseorang membutuhkan stamina baik kesehatan fisik maupun mental. Ia akan lebih mampu bertahan bekerja dalam periode yang lebih panjang jika mempunyai kesehatan yang prima. Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa kesehatan memiliki efek positif pada partisipasi angkatan kerja secara signifikan (Pandey, 2009). Di Mesir, kaum perempuan lebih banyak yang memilih pensiun dini daripada laki-laki. Kondisi kesehatan yang baik juga disimpulkan mampu membuat orang lebih lama dalam pekerjaannya (Başlevent dan El-Hamidi, 2010). Suatu penelitian di China (Giles et al., 2011) menunjukkan sebuah hubungan yang kuatantara status kesehatan dan penawaran tenaga kerja tua di daerah pedesaan, perbaikandalam akses ke perawatan kesehatan memainkan peranan dalam memperlama masa kerja. Terdapat persepsi bahwa penduduk pedesaan yang lebih tua cenderung bekerja selamakarena mereka mampu secara fisik.Jika tersedia asuransi pensiun jauh lebih memungkinkan pekerja untuk menghentikan kegiatan produktif pada usia yang relatif lebih muda. Reformasi ketenagakerjaan di China terjadi akibat ledakan populasi penduduk Lansia. Salah satu penelitian menyimpulkan tidak terdapat bukti empiris bahwa penundaan usia pensiun pekerja tidak menimbulkan efek negatif terhadap upah pekerja nonLansia (Zhang dan Zhao, 2012). Dalam penelitian pola dan faktor-faktor penentu status pekerjaan Lansiadi Sri Lanka, menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen Lansia saat ini tidak aktif, namun lima persen tertua dan 18 persen dari orang tua dengan kondisi kesehatan yang buruk yang terlibat dalam kegiatan pasar tenaga kerja. Hasil lebih lanjut menunjukkan bahwa laki-laki lebih muda, yang sudah menikah dan tinggal di rumah tangga yang dikepalai perempuan lebih mungkin untuk dipekerjakan. Penerimaan dari pengiriman uang, pembayaran jaminan sosial, dan kesehatan yang buruk mengurangi untuk bekerja. Namun, etnis tidak memainkan peran penting dalam menentukan status pekerjaan Lansia (Senanayaka dan Kumara, 2012).
38
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER
Hasil empiris mengindikasikan keaksaraan (melek huruf) dantingkat urbanisasi memiliki dampak positif dan signifikan terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan. Variabel seperti tingkat kesuburan dan PDB per kapita memiliki efek negatif dan signifikan terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan. Namun ternyata, partisipasi pendidikan perempuan dan keterbukaan perdagangantidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan di negara-negara dalam penelitian ini (Mesir, Maroko, Turki, Pakistan) (Aboohamidi and Chidmi, 2013). Perempuan tua (62 tahun keatas) setelah melewati masa pengasuhan anak, cenderung rendah kemungkinannya untuk kembali bekerja atau meningkatkan jam kerjanya. Perempuan yang sebelumnya tidak bekerja sangat kecil kemungkinannya untuk bekerja penuh ataupun paruh waktu. Perempuan yang sebelumnya pernah bekerja, lebih besar kemungkinannya untuk bekerja kembali setelah masa pengasuhan (Skira, 2014).
III. DATA DAN MODEL PENELITIAN Variabel terikat yang digunakan adalah partisipasi kerja dan variabel bebas yang meliputi beberapa karakteristik dari lansia. Oleh karenanya kita menggunakan fungsi umum: Yi = f(X1…Xi) Dimana Yi adalah partisipasi kerja Lansia Xi variabel penentu partisipasi kerja Lansia, yaitu kesehatan, wilayah, jenis kelamin, perkawinan, pendidikan, usia, status kepala rumahtangga.
Dimana yi* adalah variabel laten. Kita menggunakannya sebagai dummy variable yi yang didefinisikan: = 1 jika yi*>0 yi = 0 untuk lainnya y sama dengan 1 jika Lansia turut berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan sama dengan 0 (nol) jika tidak. β adalah vektor baris dari parameter dan εi berdistribusi normal dengan mean 0. Model probit dan logit berbeda dalam menspesifikasikan distribusi µ (kesalahan) dalam persamaan , sehingga diasumsikan bahwa kesalahan berdistribusi normal dan kesalahan mengikuti distribusi logistik. Data ini menggunakan data cross-section Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
39
PARAMETER 2005 dan tahun 2013 untuk lingkup Provinsi Aceh. Data yang digunakan mencakup penduduk berusia 60 tahun keatas. Rumus model logistik: Prob (Lansia dalam angkatan kerja) = Nilai βi ditunjukkan: Odds ratio = P(Lansia angkatan kerja)/P(Lansia tidak dalam angkatan kerja) = e-z βi menunjukkan ukuran perubahan (logaritma dari rasio odds) kesempatan Lansia dalam angkatan kerja untuk tidak dalam angkatan kerja. Untuk menguji signifikansi model digunakan statistik uji G2, uji ini digunakan untuk menguji kesesuaian model dengan melihat semua peubah bebas. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : βTTG = βKEL = ...= βSTA artinya tidak ada pengaruh antara peubah penjelas dengan tingkat pendapatan H1 : minimal terdapat satu βi ≠ 0 artinya ada pengaruh antara peubah penjelas dengan tingkat pendapatan, dimana i = variabel penjelas
dimana L0 = likelihood tanpa peubah penjelas, dan L1 = likelihood dengan peubah penjelas Gambar 1. Bagan Karakteristik Umum Lansia, 2005 dan 2013
40
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Variabel yang digunakan dalam estimasi model seperti dalam tabel berikut: Tabel 2. Variabel yang Digunakan Dalam Penelitian Variabel Keterangan Nilai Dependen variabel Partisipasi angkatan kerja Partisipasi angkatan kerja 1 jika Lansia masuk dalam Lansia Lansia angkatan kerja, atau bernilai 0 jika lainnya. Independen variabel Kesehatan Status kesehatan 1 jika sehat, 0 jika sakit Wilayah Lokasi tempat tinggal 1 jika perkotaan, 0 jika perdesaan Jenis Kelamin Jenis Kelamin 1 jika laki-laki, 0 jika perempuan Perkawinan Status perkawinan 1 jika kawin atau cerai), 0 jika belum pernah kawin Pendidikan Tingkat pendidikan 1 jika tamat SMP keatas, tertinggi yang ditamatkan 0 jika lainnya Usia Usia Lansia Status kepala Status hubungan dalam 1 jika sebagai kepala rumahtangga rumahtangga rumahtangga, 0 jika lainnya
IV. PEMBAHASAN Uji Model Model regresi logistik aktivitas Lansia dalam kegiatan perekonomian pada tahun 2005 adalah signifikan, karena mempunyai nilai [G2=-2 ln(L0/L1)=19294] > [χ2(0,05:8) = 15,507], dengan nilai p-value 0,013. H0 ditolak atau setidaknya ada satu variabel penjelas yang mempengaruhi aktivitas Lansia dalam kegiatan ekonomi. Data sampel yang digunakan berhasil menjelaskan 73,04 persen dalam model regresi logistik ini. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,3266 menunjukkan bahwa aktivitas Lansia dalam kegiatan ekonomi dipengaruhi oleh variabel penjelas sebesar 32,66 persen secara bersama-sama. Untuk model tahun 2013 hampir tidak berbeda, dimana [G2 = 18212] > [χ2(0,05:8) = 15,507] dan mempunyai nilai p-value 0,020. Sekitar 74,23 persen data berhasil diklasifikasikan menggunakan model tersebut. Sementara 41,15 persen aktivitas ekonomi Lansia dipengaruhi oleh variabel penjelas secara simultan (Nagelkerke R Square = 0,4115). Dengan demikian model aktivitas Lansia dalam perekonomian tahun 2013 lebih baik daripada tahun 2005.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
41
PARAMETER Dari bahasan di atas, terlihat hampir tidak ada perbedaan nyata pada model aktivitas ekonomi Lansia pada satu dasawarsa terakhir. Tabel 3. Informasi Umum Hasil Penelitian
Rincian Jumlah Observasi
2005 2834
2013 3151
Hosmer and Lemeshow Test Chi-square df Sig.
19,294 8 0,013
25,540 8 0,001
Classification Table (%)
73,04
74,23
Nagelkerke R Square
0,3266
0,4115
Uji Parameter Secara simultan keduanya memenuhi syarat yang baik sebagai model. Lebih jauh, akan dilihat parameter untuk kedua model tersebut. Untuk model pada awal dekade (2005), dari 7 variabel bebas, sebanyak 2 variabel bebas (wilayah dan status perkawinan) secara parsial tidak mempengaruhi keberadaan Lansia dalam kegiatan ekonomi, dengan asumsi variabel lainnya tetap. Sebaliknya, dalam model di akhir dekade (2013) seluruh variabel bebas secara nyata mempengaruhi Lansia dalam kegiatan ekonomi. Tabel 4. Parameter Hasil Penelitian Variables in the Equation Constant
Wald
2013 Sig.
Exp(B)
B
Wald
Sig.
Exp(B)
4,995
50,636
0,000
147,630
5,228
106,575
0,000
186,407
KESEHATAN
-0,400
20,334
0,000
0,670
0,757
67,537
0,000
2,131
WILAYAH
-0,087
0,124
0,724
0,917
-0,836
64,826
0,000
0,433
1,360
187,081
0,000
3,897
0,954
45,891
0,000
2,596
JENIS KELAMIN PERKAWINAN
-0,431
0,632
0,427
0,650
0,995
57,132
0,000
2,705
PENDIDIKAN
-0,701
26,782
0,000
0,496
-0,919
38,290
0,000
0,399
UMUR
-0,090
164,128
0,000
0,914
-0,109
233,763
0,000
0,896
1,141
105,464
0,000
3,130
1,333
83,913
0,000
3,794
STATUS KRT
42
2005 B
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Model logit (regresi logistik) aktivitas ekonomi Lansia tahun 2005 adalah: Jika variabel bebasnya diisikan nilai minimal, maka diperoleh 0,0979. Artinya peluang seseorang Lansia aktif dalam kegiatan ekonomi hanya sebesar 9,79 persen jika ia mengalami sakit, tinggal di perdesaan, berjenis kelamin perempuan, belum pernah kawin, tidak tamat sekolah lanjutan pertama, bukan berstatus kepala rumahtangga, dan usianya 80 tahun. Kondisi ini agak berbeda dengan model logit tahun 2013, yaitu: Jika variabel bebasnya diisikan nilai yang sama dengan model tahun 2005, maka pada model logit 2013 diperoleh 0,0285. Artinya peluang seseorang Lansia aktif dalam kegiatan ekonomi sebesar 2,85 persen untuk kondisi yang sama. Peluang seseorang Lansia akan berubah signifikan jika variabel bebas diisikan angka yang sebaliknya. Model tahun 2005 menjadi 0,6143 dan 0,7198 untuk tahun 2013. Dengan demikian jika seseorang Lansia yang sehat, tinggal di perkotaan, berjenis kelamin laki-laki, pernah kawin, minimal menamatkan SMP, berstatus sebagai KRT, dan usianya 60 tahun, maka peluangnya aktif dalam kegiatan ekonomi sebesar 61 persen untuk model tahun 2005 dan 72 persen untuk model 2013. Perbedaan kedua model tersebut tidak terlepas dari perbedaan arah masing-masing parameter. Setidaknya ada 2 variabel (kesehatan dan perkawinan) yang mempunyai perbedaan nyata pada kedua model, karena memiliki arah yang berlawanan. Pada model tahun 2005, kesehatan memiliki pengaruh negatif terhadap kegiatan ekonomi Lansia. Artinya jika ia sakit, maka ia akan lebih aktif mendorong dalam kegiatan ekonomi. Hal sebaliknya terjadi pada model 2013, jika seseorang Lansia sehat, maka hal tersebut akan mendorongnya aktif dalam kegiatan ekonomi. Ini sama seperti variabel perkawinan, jika Lansia tersebut masih terikat dalam ikatan perkawinan atau pernah kawin, pengaruhnya negatif pada tahun 2005 dan berbeda pada tahun 2013 yang memiliki efek positif. Sementara 5 variabel bebas lainnya mempunyai arah yang sama, walaupun besarannya berbeda. Selanjutnya akan dibahas nilai odds ratio atau rasio kecenderungan masing-masing variabel bebas, khususnya untuk kasus yang nilainya berbeda. Paling tidak ada 2 variabel dengan nilai yang sangat berbeda pada kedua model, yakni variabel kesehatan dan perkawinan, serta variabel wilayah yang memiliki nilai cukup berbeda. Berikut paparan parameter untuk model 2013. Variabel kesehatan sangat mempengaruhi Lansia untuk aktif dalam kegiatan ekonomi, jika ia sehat maka kemungkinannya 2,13 kali lipat lebih besar terlibat daripada Lansia yang sakit. Demikian pula halnya untuk variabel jenis kelamin dan perkawinan. Bahkan untuk variabel status kepala rumahtangga, jika seseorang Lansia adalah juga seorang kepala rumahtangga, maka kecenderungannya untuk bekerja/mencari pekerjaan mencapai 3,79 kali lipat daripada jika ia hanya seorang anggota rumahtangga.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
43
PARAMETER Seiring bertambahnya usia lansia, kecenderungan untuk terus aktif dalam kegiatan ekonomi semakin mengecil. Sementara untuk variabel wilayah dan pendidikan justru kontradiktif dengan dugaan sementara. Karena ternyata Lansia yang bertempat tinggal di perdesaan justru lebih aktif daripada jika bertempat tinggal di perkotaan. Demikian pula dengan pendidikan, seseorang Lansia yang berpendidikan rendah (paling tinggi tamat SD) mempunyai kecenderungan lebih besar untuk terus bekerja di usia senjanya. Barangkali untuk kedua variabel yang disebutkan terakhir berkaitan dengan bekal hidup di masa tuanya. Seseorang yang berpendidikan tinggi atau tinggal di perkotaan mempunyai visi atau wawasan lebih untuk menyimpan tabungan di masa depan/masa tua. Bisa jadi mereka mempunyai program asuransi, misalnya, sehingga kehidupan pada masa tuanya lebih terjamin.
V. KESIMPULAN Populasi Lansia di Provinsi Aceh mencapai 250 ribu, dengan keluhan kesehatan yang semakin minim. Angka harapan hidup penduduk juga semakin meningkat, mencapai 69,40 tahun pada 2013. Namun keterlibatan Lansia dalam kegiatan perekonomian ternyata tidak berubah dalam satu dasawarsa terakhir. Tingkat partisipasi angkatan kerja kelompok Lansia pada awal (2005) dan akhir (2013) dasawarsa terakhir, tidak jauh berbeda. Secara agregat, 7 (tujuh) variabel karakteristik Lansia mempengaruhi keterlibatannya dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian, terjadi perubahan mendasar dalam kurun waktu tersebut. Perubahan tersebut terjadi pada variabel kesehatan dan status perkawinan, akan tetapi perubahan tersebut belum mampu merubah partisipasi Lansia dalam kegiatan ekonomi. Oleh karenanya, selama Lansia belum dijamin kelangsungan hidupnya, maka Lansia masih perlu aktif dalam kegiatan perekonomian atau bekerja. Untuk jangka waktu pendek atau menengah, kehidupan Lansia dapat dijamin melalui sistem regulasi dari pemerintah. Dalam jangka panjang, Lansia mungkin dapat menjamin hidupnya secara mandiri, misalnya melalui tabungan pensiun atau asuransi hari tua. Diperlukan kajian lebih mendalam terhadap tema ini. Misalnya latar belakang ekonomi objek tersebut yang belum banyak dibahas dalam penelitian ini. Kajian tentang Lansia yang ingin bekerja atau tidak ingin bekerja di masa tuanya juga dapat dilakukan, karena hal ini dapat menjadi pijakan pihak berwenang dalam mengambil kebijakan terkait penduduk usia tua pada khususnya.
44
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER DAFTAR PUSTAKA _______. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 144. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta. 2004. _______. 2012. Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta. _______. 1998. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 190. Menteri Negara Sekretaris Negara. Jakarta. 1998. _______. 2013. World Population Ageing 2013. Department of Economic and Social Affairs Population Division,United Nations. ST/ESA/SER.A/348. New York. 2013 Aboohamidi, Abbas and Chidmi, Benaissa. 2013. Female Labor Force Participation in Pakistan and Some MENA Countries. Department of Agriculture and Applied Economics,Texas Tech University. Başlevent, Cem and Fatma El-Hamidi. 2010. Preferencesfor Early Retirement among Older Government Employees in Egypt. JEL. http://www.ccsenet.org/journal/index. php/ijef/article/viewFile/13672/9434 Blau David M. 1994. Labor Force Dynamics Of Older Men. Econometrica, Vol 62, No. 1 (Januari, 1994), 117-156. Ejaz, Mehak.2007. Determinants of Female Labor Force Participation in Pakistan An Empirical Analysis of PSLM (2004-05) Micro Data. The Lahore Journal of Economics, Special Edition (September 2007). Lahore School of Economics, Lahore. Giles, John., Dewen Wang, Wei Cai. 2011. The Labor Supply and Retirement Behavior of China’s Older Workers and Elderly in Comparative Perspective. Policy Research Working Paper 5853. The World Bank, Development Research Group, Human Development and Public Services Team. October 2011. Hoynes, Hilary. 1999. The Employment, Earnings, and Income of Less-Skilled Workers over the Business Cycle. Department of Economics, University of California, Berkeley. Ogwumike, Fidelis O. and Isabella Aboderin. 2005. Exploring the Links between Old Age and Poverty in Anglophone West Africa: Evidence from Nigeria and Ghana. British Society of Gerontology. Generations Review. Vol. 15, No. 2, 7–15. Pan,Suwen, Wayne A. Fuller, and Helen H. Jensen. 2001. Welfare reform and labor participation: Are there Urban and Rural Differences? Department of Economics, Iowa State University. Pandey, Manoj K. 2009. Labor Force Participation among Indian Elderly: Does Health Matter? Institute of Economic Growth, Delhi-110007, INDIA.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
45
PARAMETER Parker, Susan W. 1999. Elderly Health and Salaries in the Mexican Labor Market. Latin American Research Network. January 1999. Working Paper Series R-353. Senanayaka, Tharaka Sameera and Ajantha Sisira Kumara. 2012. The Employment Status of the Elderly in Sri Lanka: Patterns and Determinants. Faculty of Management Studies and Commerce, University of SriJayewardenepura. Sri Lanka. 2012. Silva, Hugo Benitez. 2000. Micro Determinants of Labor Force Status Among Older Americans. Economics Department, State University of New York at Stony Brook. Stony Brook, New York. September 30, 2000. Skira, Meghan M. 2014. Dynamic Wage and Employment Effects of Elder Parent Care. JEL, February 4, 2014. University of Georgia.
46
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER LAMPIRAN Tabel L1. Persentase (Baris) Observasi Menurut Karakteristiknya 2005 Variabel
Bukan Angkatan Kerja
2013
Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Angkatan Kerja
Sakit
45,48
55,73
45,67
29,10
Sehat
54,52
44,27
54,33
70,90
Desa
96,36
97,10
67,83
79,82
Kota
3,64
2,90
32,17
20,18
Perempuan
68,26
29,35
72,99
32,95
Laki-Laki
31,74
70,65
27,01
67,05
Bukan KRT
47,87
14,44
36,75
13,22
KRT
52,13
85,56
63,25
86,78
Tdk/blm kawin
0,44
0,73
59,30
26,82
Pernah kawin
99,56
99,27
40,70
73,18
Tidak Tamat SD
88,71
87,50
89,17
90,01
SMP+
11,29
12,50
10,83
9,99
Tabel L2. Persentase (Kolom) Observasi Menurut Karakteristiknya 2005 Variabel
Bukan Angkatan Kerja
2013
Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Angkatan Kerja
Sakit
51,20
48,80
60,92
39,08
Sehat
61,28
38,72
43,21
56,79
Desa
56,06
43,94
45,77
54,23
Kota
61,70
38,30
61,29
38,71
Perempuan
74,93
25,07
68,75
31,25
Laki-Laki
36,61
63,39
28,57
71,43
Bukan KRT
81,00
19,00
73,41
26,59
KRT
43,92
56,08
41,99
58,01
Tdk/blm kawin
43,75
56,25
68,71
31,29
Pernah kawin
56,32
43,68
35,58
64,42
Tidak Tamat SD
56,58
43,42
49,59
50,41
SMP+
53,73
46,27
51,83
48,17
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
47
PARAMETER HARGA BARANG-BARANG MELONJAK, KOK INFLASI KECIL? (MEMAHAMI ANGKA INFLASI) Oleh: Tim Redaksi A. PENDAHULUAN Ada apa ini, barang-barang kebutuhan sehari-hari naik tinggi ... kok inflasi cuma nol koma. Beras naik, sayuran naik, cabe naik 50 persen, bawang merah 30 persen, ikan juga. Bahkan pakaian pun ikut-ikutan naik, pencatatan dan penghitungannya bagaimana sih? Apa di meja saja? Barangkali celoteh kekesalan dari masyarakat seringkali didengar seperti itu. Mungkin kita sendiri juga turut bertanya-tanya tentang hal tersebut. Tulisan ini akan mencoba membahas secara sederhana mengenai inflasi. Bagaimanakah ia hanya bergerak sedikit, padahal ada beberapa barang dan jasa yang harganya melonjak tinggi. Atau sebaliknya. Penulis ingin menuliskan secara lebih sederhana sehingga masyarakat awam dapat mudah memahaminya.
B. PEMBAHASAN Apakah inflasi? Dalam publikasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik, inflasi adalah persentase tingkat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa yang secara umum dikonsumsi rumahtangga. Kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu negara. Beberapa definisi lain menyebutkan: - A rising overall level of prices is inflation. A falling overall level of prices is deflation (The Essentials of Economic, Krugman, et. all). - Economists use the term “inflation” to denote an ongoing rise in the general level of prices quoted in units of money. Inflation thus means an ongoing fall in the overall purchasing power of the monetary unit (http://www.econlib.org/library/ Enc/Inflation.html). - A sustained, rapid increase in prices, as measured by some broad index (such as Consumer Price Index) over months or years, and mirrored in the correspondingly decreasing purchasing power of the currency (http://www.businessdictionary. com/definition/inflation.html). - The rate at which the general level of prices for goods and services is rising, and, subsequently, purchasing power is falling. Central banks attempt to stop severe inflation, along with severe deflation, in an attempt to keep the excessive growth of prices to a minimum (http://www.investopedia.com/terms/i/inflation.asp). - Inflation means a sustained increase in the aggregate or general price level in an
48
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER economy. Inflation means there is an increase in the cost of living (http://www. economicshelp.org/macroeconomics/inflation/definition/). “Inflation means that your money won’t buy as much today as you could yesterday”. Anggaplah Anda mempunyai sejumlah kebutuhan sehari-hari, mulai dari makan, minum, pakaian, hingga jasa pangkas rambut. Masing-masing jenis barang dan jasa nilainya bervariasi dari yang kecil (jasa pangkas) hingga yang besar (makan, misal beras). Semua jenis barang dan jasa dengan volume dan harga tertentu hingga total konsumsi sebulan misalnya 1 juta rupiah. Kita pasti tahu dan menyadari, bahwa harga yang harus dibayarkan untuk masing-masing kebutuhan berbeda-beda sesuai dengan volume (banyaknya) jenis barang/jasa dan harganya. Barangkali harga beras tidak terlalu mahal, namun dikonsumsi setiap hari sehingga kebutuhannya banyak, akibatnya membutuhkan biaya yang cukup besar. Sebaliknya, pulsa telepon harganya cukup tinggi (sekali isi Rp 50.000), namun hanya sekali sebulan. Kita pasti memahami kebutuhan anggaran setiap jenis barang dan jasa yang dibutuhkan, berbeda-beda, masing-masing sesuai dengan volume dan harga yang dibayar per unit (gram, liter, botol, bungkus, dll). Oleh karenanya, besar dan kecilnya anggaran yang dikeluarkan sesuai dengan kontribusi atau peranan setiap jenis barang dan jasa. Besarnya pengeluaran untuk masing-masing jenis barang dan jasa akan menentukan nilai “inflasi” atau “deflasi” secara keseluruhan. Bisa jadi, harga beras hanya naik sedikit, namun terjadi inflasi. Hal ini karena bobotnya yang besar dalam pengeluaran. Atau sebaliknya, harga tomat segar dan kentang melonjak dua kali lipat. Namun ternyata, inflasi yang terjadi sangat kecil... ini disebabkan oleh bobot kedua barang tersebut sangat kecil. Bahkan, mungkin kita pun mengalami, dimana harga barang dan jasa lebih banyak yang naik daripada yang turun. Akan tetapi, justru “deflasi” yang terjadi. Saat ini Anda tentu mulai dapat memahaminya bukan? Formula indeks yang digunakan untuk menghitung IHK oleh BPS dapat dijabarkan dengan Formula Laspeyres yang dimodifikasi sebagai berikut:
Dimana: IHKn = Indeks Harga Konsumen bulan berjalan Pni = Harga suatu jenis barang pada bulan berjalan P(n-1)i = Harga suatu jenis barang pada bulan sebelumnya P(n-1)iQ0i = Nilai konsumsi suatu jenis barang pada bulan sebelumnya P0iQ0i = Nilai konsumsi suatu jenis barang pada tahun dasar k = Jumlah jenis barang/jasa yang tercakup dalam paket komoditas kota yang bersangkutan.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
49
PARAMETER Perhatikan tabel berikut, anggap ke-10 jenis barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan sehari-hari yang dikonsumsi penduduk. Tentu saja, penentuan barang dan jasa itu melalui survei terlebih dahulu. Dalam hal ini BPS melakukan Survei Biaya Hidup selama sekitar 12 bulan untuk menentukan jenis barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat serta menentukan bobot atau besarannya per jenis. Dari 10 jenis kebutuhan tersebut masing-masing mempunyai ukuran volume dan harga tersendiri, sehingga nilainya menentukan bobot sebagai penimbang terhadap nilai keseluruhan konsumsi/pengeluaran rumahtangga. Pada tabel di bawah, misalnya komoditi beras dalam satuan kilogram (kg) dengan volume yang dibutuhkan setiap bulan rata-rata 30 kilogram dan harga pada saat survei Rp 15.000/ kg. Sehingga nilai (volume dikalikan harga) konsumsi beras adalah Rp 450.000 per bulan dan setara dengan 52 persen total konsumsi rumahtangga. Untuk komoditi ikan tongkol sebanyak 5 kg dan harganya Rp 10.000 per kg, sehingga nilai konsumsi per bulan mencapai Rp 50.000. Dengan demikian bobotnya terhadap total pengeluaran sebesar 0,06 atau 6 persen. Demikian pula halnya untuk komoditi jasa pangkas rambut. Rata-rata rumahtangga hanya mengkonsumsi 2 bulan sekali atau hanya setengah per bulan. Setiap kali melakukan pangkas rambut ongkosnya Rp 18.000, sehingga ongkosnya sebesar itu dikeluarkan setiap 2 bulan sekali. Oleh karenanya, bobotnya pada total pengeluaran sekitar 1 persen. Tabel 1. Contoh Penghitungan Angka Inflasi No
Jenis barang
(1)
(2)
banyaknya/ volume (gr, ons, kg, ml, liter, bungkus, dll)
volume Q0
(3)
(4)
harga P0 (rupiah)
Bobot/ penimbang
(7)
(8)
t1 P1
IHK t1
inflasi t1
kumulatif t1 (12)
(9)
(10)
(11)
Beras
kg
30
15 000
450 000
100,00
0,52
17 000
113,33
13,33
13,33
2
Cabe
kg
2
15 000
30 000
100,00
0,03
15 000
100,00
0,00
0,00
3
Ikan tongkol
kg
5
10 000
50 000
100,00
0,06
10 000
100,00
0,00
0,00
4
Terigu
kg
1
7 000
7 000
100,00
0,01
7 000
100,00
0,00
0,00
5
Baju kaos
unit
1
60 000
60 000
100,00
0,07
60 000
100,00
0,00
0,00
6
Premium
liter
20
7 700
154 000
100,00
0,18
7 700
100,00
0,00
0,00
50000
1
50 000
100,00
0,06
1
100,00
0,00
0,00
0,5
18 000
9 000
100,00
0,01
18 000
100,00
0,00
0,00
Banda Aceh-Sigli
1
40 000
40 000
100,00
0,05
40 000
100,00
0,00
0,00
kg
2
8 000
16 000
100,00
0,02
8 000
100,00
0,00
0,00
866 000
100,00
1,00
106,93
6,93
6,93
7
Pulsa telepon Pangkas rambut
9
Ongkos bus
10
Kentang Total
1 kali
(6)
IHK t0
1
8
(5)
Nilai Q0P0
Kita perhatikan pada contoh tabel di atas, perubahan harga pada periode berikutnya (t1 atau bulan berikutnya) hanya terjadi pada komoditi beras menjadi Rp 17.000 per kg. Perubahan harga sebesar Rp 2.000/kg pada beras meningkatkan nilai IHK beras menjadi 113,33 dan meningkatkan IHK umum menjadi 106,93. Akibatnya, inflasi t2 sebesar 6,93 persen...ini terjadi hanya karena perubahan harga beras.
50
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Pada periode selanjutnya t2 beberapa jenis barang dan jasa mengalami perubahan harga. Beras turun menjadi Rp 16.000/kg atau turun seribu rupiah per kilogram. Sebaliknya, komoditi cabe, terigu, premium, dan angkos bus naik. Cabe naik menjadi Rp 17.000/kg, terigu naik 2 kali lipat menjadi Rp 14.000/kg, premium menjadi Rp 8.000/liter, dan ongkos bus naik menjadi Rp 45.000. Perhatikan kolom 14, IHK masing-masing komoditi berubah dan menghasilkan inflasi pada kolom 15. Komoditi beras mengalami inflasi negatif alias deflasi, sementara 4 komoditi lainnya mengalami inflasi, premium sebesar 3,90 persen dan terigu sebesar 100 persen. Bagaimanakah dengan inflasi umum? Barangkali banyak diantara kita yang menduga, pasti terjadi inflasi diatas 2 dijit!... Tapi lihatlah kenyataan yang sesungguhnya, periksalah kolom 14 dan 15 baris terakhir. Ternyata IHK t2 sebesar 106,00 menurun dari periode sebelumnya yang tercatat 106,93. Selanjutnya deflasi tak dapat dihindari, karena indeks harga menurun, yakni sebesar 0,86 persen. Apa yang dapat disimpulkan dari kejadian tersebut? Ternyata akibat menurunnya satu jenis barang, dan sebaliknya terdapat beberapa jenis barang/jasa yang naik, namun yang terjadi adalah deflasi. Dalam kalimat sederhana, artinya sejumlah uang yang dikeluarkan pada periode ini lebih sedikit, daripada uang yang dikeluarkan pada periode sebelumnya untuk membayar sejumlah barang dan jasa yang sama. Lanjutan Tabel 1 t2 No
t3
Jenis barang
(1)
IHK t2
inflasi t2
kumulatif t2
P3
IHK t3
inflasi t3
kumulatif t3
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(13)
(14)
1
Beras
16 000
106,67
-5,88
6,67
15 000
100,00
-6,25
0,00
2
Cabe
17 000
113,33
13,33
13,33
17 000
113,33
0,00
13,33
3
Ikan tongkol
10 000
100,00
0,00
0,00
20 000
200,00
100,00
100,00
4
Terigu
14 000
200,00
100,00
100,00
10 000
142,86
-28,57
42,86
5
Baju kaos
60 000
100,00
0,00
0,00
70 000
116,67
16,67
16,67
6
Premium
8 000
103,90
3,90
3,90
7 500
97,40
-6,25
-2,60
7
Pulsa telepon
1
100,00
0,00
0,00
2
150,00
50,00
50,00
8
Pangkas rambut
18 000
100,00
0,00
0,00
18 000
100,00
0,00
0,00
9
Ongkos bus
45 000
112,50
12,50
12,50
45 000
112,50
0,00
12,50
8 000
100,00
0,00
0,00
110,74
4,47
10,74
10
(2)
P2
Kentang Total
8 000
100,00
0,00
0,00
106,00
-0,86
6,00
Kita lanjutkan ke periode t3. Pada periode ini sebanyak 6 jenis barang/jasa mengalami perubahan harga, tiga jenis komoditi naik dan lainnya menurun dari periode sebelumnya. Untuk kali ini, kita lebih sulit menduganya, apakah terjadi inflasi atau sebaliknya. Tentu dengan melihat bobot masing-masing jenis barang dan jasa, hal tersebut akan lebih pasti. IHK t3 naik menjadi 110,74 dan otomatis terjadi inflasi
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
51
PARAMETER (karena lebih besar daripada IHK sebelumnya) sebesar 4,47 persen. Dengan melihat semua jenis barang dan jasa yang termasuk dalam keranjang inflasi, kita dapat lebih mudah memperkirakan inflasi yang akan terjadi. Dalam kebijakan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga, beberapa jenis barang dan jasa dikendalikan oleh pemerintah. Oleh karenanya ada istilah inflasi administered price. Dalam publikasi BPS, istilah tersebut merupakan komponen IHK yang dibagi menurut komponen hasil, yaitu IHK Umum terbagi menjadi IHK 1) Inti (core), 2) Harga diatur Pemerintah (administered price), dan 3) Bergejolak (volatile). Masingmasing kelompok mempunyai bobot tersendiri, seperti kelompok IHK yang biasa dipublikasikan (7 kelompok). C. KESIMPULAN Dalam kalimat sederhana, inflasi terjadi jika untuk memperoleh beberapa barang dan jasa dibutuhkan uang yang lebih banyak daripada periode sebelumnya. Sebaliknya, jika sejumlah uang yang sama dapat membayar lebih banyak konsumsi, maka disebut deflasi. Inflasi atau deflasi terjadi akibat perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam komponen barang dan jasa penghitungan IHK (paling banyak dikonsumsi masyarakat). Setiap jenis barang dan jasa mempunyai nilai tertentu (konsumsi) yang menentukan bobot masing-masing terhadap total pengeluaran. Semakin besar bobotnya, semakin besar pula pengaruh perubahan harganya terhadap inflasi/ deflasi. Jadi, kenaikan sebagian kecil harga barang dan jasa dapat mengakibatkan inflasi karena bobotnya besar. Demikian pula sebaliknya, kenaikan sebagian besar harga barang dan jasa belum tentu memberikan dampak yang nyata pada inflasi secara umum. DAFTAR PUSTAKA _______. 2015. Indeks Harga Konsumen Aceh 2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2015. Banda Aceh. _______. http://sirusa.bps.go.id/sirusa/ _______. http://www.econlib.org/library/Enc/Inflation.html _______. http://www.businessdictionary.com/definition/inflation.html _______. http://www.investopedia.com/terms/i/inflation.asp _______. http://www.economicshelp.org/macroeconomics/inflation/definition/ Krugman, Paul, Robin Wells, and Kathryn Graddy. 2014. The Essentials of Economic. 2014. New York.
52
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER PEMETAAN PERKIRAAN ZONA TANAH LONGSOR MENGGUNAKAN SIG DI KAWASAN CAMERON HIGHLANDS, MALAYSIA Oleh: Raja Maulana*
Abstrak Bencana tanah longsor adalah satu dari bencana yang paling sering terjadi di Malaysia. Kawasan yang secara geografis terbentuk sebagai daerah perbukitan adalah kawasan yang paling rentan terkena bencana longsor. Malaysia, sebagai salah satu negara yang terletak di regional Asia Tenggara, beriklim tropis. Ini berarti negara ini menerima curah hujan yang tinggi hampir sepanjang tahun. Selain itu, fitur lain seperti sungai, hilir, bukit dan hutan juga mempunyai kontribusi terhadap fenomena alam, seperti bencana alam. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah salah satu dari teknologi informasi yang semakin berkembang, salah satu penggunaannya dalam hal pencegahan seperti pemetaan daerah rentan tanah longsor. Sebagai sebuah teknologi terapan, SIG membantu pembentukan basis data terkait tanah longsor karena kemampuannya dalam mengolah data dalam jumlah besar. SIG dilengkapi dengan berbagai tools untuk menganalisa dan membangun simulasi sesuai model yang ditentukan sehingga pemetaan kawasan rentan bencana tanah longsor dapat terwujud. Kata Kunci: tanah longsor, pemetaan, SIG, Cameron Highlands.
1. PENDAHULUAN Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, India, dan Meksiko adalah beberapa negara yang sering diterpa oleh bencana. Sebut saja bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi dan bahkan tsunami telah beberapa terjadi di negara-negara tersebut. Tanah longsor merupakan satu dari tujuh bencana terbesar di dunia dengan korban jiwa telah mencapai lima belas ribu jiwa (Nadim, 2006). Letak geografis yang memicu terdampaknya suatu daerah di suatu negara terhadap bencana alam seperti tanah longsor seolah tidak dapat dihindari. Namun seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, pencegahan atas tingginya kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh bencana alam dapat diminimalisir. Penelitian ini memusatkan perhatian pada negara Malaysia, yang sering diterpa oleh bencana banjir dan tanah longsor. Beriklim sama dengan negara Indonesia, hujan tropis dapat dipastikan terjadi sepanjang tahun di Malaysia. Faktor pemicu utama tanah longsor di Malaysia menurut penelitian lain adalah curah hujan yang tinggi (Pradhan, 2008). Dengan intensitas curah hujan yang tinggi, bencana banjir *
Staf BPS Provinsi Aceh
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
53
PARAMETER dan tanah longsor terjadi mulai dari daerah berdataran rendah sampai ke kawasan perbukitan. Dataran tinggi di Malaysia sekarang ini telah banyak terganggu oleh aktivitas perluasan kawasan untuk tempat tinggal (housing) serta pengembangan daerah perkotaan (urban areas). Pengembangan kawasan perbukitan di Malaysia telah berlangsung selama lima belas tahun terakhir (Gue dan Tan, 2004) dan selama rentang waktu tersebut kawasan perbukitan telah berubah menjadi bangunan mega struktur dari apartemen dan hotel. Perubahan fungsi lahan dari daerah perhutanan menjadi daerah hunian dan objek pariwisata telah berdampak pada kestabilan sistem pertanahan di kawasan tersebut. Daerah yang dicakup dalam penelitian ini adalah kawasan dataran tinggi Cameron (Cameron Highlands), salah satu distrik di negara bagian Pahang, Malaysia. Kawasan perbukitan ini seluas 75 persen cakupannya merupakan daratan dengan ketinggian rata-rata 1000 meter di atas permukaan laut (Kumaran dan Ainuddin, 2004). Koordinat observasi penelitian berada dalam jangkauan sekitar latitudes 4◦ 15’ N sampai dengan 4◦ 50’ N dan longitudes 100◦ 10’ E sampai dengan 100◦ 20’ E. Kawasan ini dinaungi oleh hutan hujan tropis dengan temperatur dingin rata-rata 100C – 230C. Sehingga kawasan ini menjadi daerah yang cocok untuk perkebunan teh, kopi, sayuran, strawberi dan budidaya jamur (Tew dan Azman, 2004). Sekitar 70 persen dari Cameron Highlands berfungsi sebagai hutan lindung dengan fungsi sebagai daerah tangkapan air, perlindungan flora dan fauna endemik, dan fungsi proteksi tanah. Daerah hutan lindung ini diantaranya mencakup seluas 8.600 hektar di Bukit Bujang, 8.000 hektar di Bukit Jerut, dan 2.000 hektar di Sungai Terla (Kumaran dan Ainuddin, 2004). Sejak tahun 1920, kawasan perbukitan Cameron ditanami oleh sekitar 2.800 hektar perkebunan teh dan sebagai pemanfaatan lahan perkebunan lainnya (Barrow, 2004). Seiring waktu, pengembangan kawasan ini berubah menjadi daerah tujuan wisata (tourism destination) di Malaysia sehingga pembangunan infrastrukturnya mengikuti kebutuhan daerah wisata, seperti bangunan hotel, apartemen hingga pelebaran jalan dan pembangunan tol. Kerusakan lingkungan akibat perubahan yang terjadi dari fungsi lahan Cameron dari lahan perkebunan menjadi lahan tempat tinggal dan objek wisata pada akhirnya tidak dapat dihindari. Beberapa kali bencana tanah longsor telah menimbulkan dampak pada perekonomian masyarakat sekitar, bahkan sampai dengan level nasional. Menurut catatan, pada tahun 2000, sekitar 60 persen produk pertanian dan perkebunan Malaysia berasal dari dataran tinggi Cameron (Barrow, 2004). Artinya jika terjadi kerusakan akibat bencana alam, tentunya akan mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan dari kawasan tersebut. Untuk mengatasi masalah tanah longsor, pemerintah Malaysia bekerjasama dengan lembaga nonpemerintah (NGO) seperti REACH (Regional Environment Awarness of Cameron Highlands) dan Malaysian Nature Society mencanangkan dan menjalankan program menejemen
54
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER lingkungan dan menerapkan langkah-langkah preventif untuk memperkecil kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh tanah longsor di Cameron. Gambar 1. Peta geografis kawasan Cameron Highlands, Malaysia
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
55
PARAMETER
Tabel 1. Beberapa Peristiwa Tanah Longsor di Cameron Highlands, Malaysia Tanggal
Lokasi
Korban/Kerusakan
29-05-1991
Tapah-Cameron Highlands Road
Tidak ada korban dan kerusakan
6/7-12-1994 Cameron Highlands
9 orang korban jiwa
08-12-1994
Tanah Rata
2 korban jiwa, 5 hilang, 3000 direlokasi
24-10-1995
Tringkap, Cameron Highlands
1 korban jiwa
Dec 1995
Cameron Highlands
7 korban jiwa
09-10-1996
Kuala Terla, Cameron Highlands
3 korban jiwa
18-10-1996
Tanah Rata
16 rumahtangga direlokasi
06-12-1999
Tapah, Cameron Highlands
1 korban jiwa
06-01-2000
Kampung. Raja, Cameron Highlands
6 korban jiwa, 5 luka, 15 ribu direlokasi
08-01-2000
Taman Tringkap Puncak
Tidak ada korban dan kerusakan
17-01-2003
Puncak Arabella
Tidak ada korban dan kerusakan
24-02-2004
Tapah-Ringlet Road
Tidak ada korban dan kerusakan
08-11-2004
Tapah-Tanah Rata Km.52-Kg Habu
Tidak ada korban dan kerusakan
17-01-2008
Tringkap
2 korban jiwa
14-04-2008
Tapah Km.55, Cameron Highlands
Tidak ada korban dan kerusakan
28-11-2008
Ringlet
2 rumahtangga direlokasi
03-01-2009
Batu 49, Jalan Kg.Terla-Kg.Raja
Tidak ada korban dan kerusakan
03-01-2009
Jalan Kampung Terla – Brinchang Tidak ada korban dan kerusakan
Dalam kurun waktu tahun 1961 sampai dengan tahun 2009, frekuensi terjadinya bencana tanah longsor di Cameron menunjukkan angka peningkatan. Beberapa kejadian bahkan sampai menelan korban jiwa dan ribuan penduduk yang harus direlokasi tempat tinggalnya. Tabel 1 menampilkan beberapa kejadian tanah longsor beserta keterangan kerusakan dan korban jiwa. Disebutkan sebelumnya bahwa langkah-langkah pencegahan dilakukan sebagai salah satu fase mitigasi bencana. Langkah-langkah ini dieksekusi dengan pendekatanpendekatan berbagai bidang studi dan penelitian. Berkembangkan teknologi informasi sangat membantu penanganan bencana melalui pemetaan perkiraan kawasan rentan bencana. Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam hal ini digunakan untuk membangun sistem pemetaan yang akurat, mulai dari perkiraan zona bencana sampai dengan pemetaan kawasan pascabencana. SIG dengan berbagai tools dan perangkat analisisnya dapat membangun suatu sistem yang terintegrasi dengan simulasi pemodelan matematika dan analisa statistika multi-kriteria sehingga terbentuk pemetaan bencana alam. 2. DATA DAN METODOLOGI Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor pemicu
56
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER tanah longsor di Cameron dan membentuk pemetaan daerah rentan tanah longsor di kawasan tersebut dengan menggunakan SIG dan analisis keputusan multi-kriteria. Adapun batasan cakupan yang dikehendaki adalah penggunaan data sekunder untuk membangun 9 kriteria yang dilibatkan dalam analisa data. Tabel 2. Daftar Data yang Dipergunakan dalam Penelitian Data
Tipe
Skala
Sumber
Lokasi Tanah Longsor
Titik
1:50.000
Digitasi dari peta digital dari ISPRS (2008)
Topografi
Garis
1:50.000
Department of Survey and Mapping Malaysia (1992)
Curah Hujan
Titik
1:50.000
Department of Irrigation and Drainage Malaysia (1998)
Jalan
Garis
1:50.000
Digitasi dari peta digital dari Masmap-online (2009)
Geologi
Poligon 1:50.000
Department of Survey and Mapping (1992)
Pengunaan Lahan
Poligon 1:50.000
Department of Town and Country Planning (1996)
Sungai
Garis
Department of Survey and Mapping (1992)
1:50.000
Kesembilan kriteria tersebut adalah Antecedent Precipitation Index (API) diperoleh dari data curah hujan dari berbagai stasiun pencatat iklim dan cuaca di Malaysia; DEM (Digital Elevation Model) dari data tingkat topografi; Kemiringan tanah; Aspek tanah; Kelengkungan tanah; Penggunaan Lahan; Litologi (karakteristik batuan); Jarak dari jalanraya dan Jarak dari sungai. Disamping kesembilan kriteria tersebut, data sekunder dari kejadian tanah longsor yang sebelumnya terjadi di Cameron, dikumpulkan dalam bentuk titik koordinat. Penelitian ini dijalankan dengan memetakan titik-titik tanah longsor pada setiap kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria-kriteria ini kemudian di dalam pemetaan disebut sebagai layers. Kemudian semua layers disatukan atau istilahnya di-overlaid¬kan untuk membentuk suatu pemetaan zona rawan longsor di Cameron. Pemilihan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor ditentukan melalui prosedur analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) yang merupakan salah satu metode dalam pengambilan keputusan multi-kriteria. Untuk memenuhi hal ini, kuesioner penelitian dibentuk untuk mendapat opini dari para ahli dibidang tanah longsor dan ilmu batuan.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
57
PARAMETER Gambar 2. Diagram Alur Metodologi Penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data titik-titik terjadinya tanah longsor dipetakan dalam wilayah penelitian tanah tinggi Cameron. Terdapat 292 titik kejadian tanah longsor di masa lalu yang dijadikan data untuk persebaran tanah longsor di Cameron (Gambar 3). Faktor pemicu tanah longsor yang utama, yaitu curah hujan dikalkulasikan menjadi suatu indeks, yaitu API (Antecedent Precipitation Index). Kemudian dibentuklah poligon Thiessien yang menggambarkan keterkaitan antara titik-titik tanah longsor dengan pusat data pencatatan API, yaitu tiga stasiun meteorologi setempat. Dari tampilan poligon yang terbentuk, digabungkan dengan persebaran titik-titik tanah longsor (Gambar 4), maka diperoleh 3 wilayah/zona dengan nilai API 77,80 (13 titik longsor), API 88,48 (112 titik longsor) dan API tertinggi mencapai 98,45 (167 titik longsor). Nilai API yang tinggi diperoleh dari nilai curah hujan yang tinggi. Terhitung 57,19 persen dari total titik kejadian tanah longsor berada pada zona yang memiliki curah hujan paling tinggi di kawasan Cameron. Besarnya pengaruh dari curah hujan ini akan ditentukan kemudian dalam proses AHP.
58
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Lebih lanjut, faktor lokasi sering dicantumkan dalam penelitian perihal bencana alam, khususnya tanah longsor. Jarak daerah perbukitan atau tanah tinggi Cameron dengan ruas jalan raya, yang merupakan salah satu perintis pengembangan daerah tersebut kepada pembangunan daerah pariwisata dan kawasan tempat tinggal, serta jarak dengan sungai merupakan dua faktor yang dilibatkan dalam penelitian perkiraan zona rentan tanah longsor ini. Peta jarak dari jalan dibangkitkan dari tool yang terdapat pada software ArcView, yaitu Find Distance Analysist. Kemudian, diperoleh interval jarak dari ruas jalan, yaitu 0-1.670 meter, 1.670-3.330 meter dan seterusnya. Persebaran titik lokasi terjadinya tanah longsor di masa lalu, terhitung sebanyak 235 titik berada pada interval terdekat dengan jalan (Gambar 5). Lebih dari 80 persen kejadian longsor terjadi pada kawasan yang dekat dengan ruas jalan. Hal ini sedikitnya menjadikan dugaan bahwa pengembangan suatu wilayah dengan proses pelebaran atau penambahan ruas jalan baru memberi dampak pada lingkungan, sampai efek buruk seperti terjadinya bencana alam. Besarnya bobot pengaruh jarak dari ruas jalan ini juga akan ditentukan melalui proses AHP. Peta persebaran titik tanah longsor terhadap kondisi topografi dibangun dari DEM (Digital Elevation Model) yang dipadukan dengan lokasi-lokasi terjadinya tanah Gambar 3. Persebaran Titik Longsor di Cameron Highlands, Malaysia
Gambar 4. Persebaran Titik Longsor dalam Poligon Thiessen terhadap Nilai API
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
59
PARAMETER longsor di Cameron Highlands. Dari hasil DEM diperoleh fakta bahwa kondisi kontur ketinggian tanah dalam kawasan Cameron adalah berkisar antara 860 meter hingga mencapai 2.080 meter. Suatu kondisi yang sangat mendukung untuk terjadinya kejadian tanah longsor. Di kawasan ini, tercatat sebanyak 103 titik kejadian tanah longsor pada ketinggian 1.100-1.350 meter dan 115 titik longsor pada ketinggian 1.350-1.590 meter. Artinya adalah lebih dari 70 persen bencana longsor di Cameron terjadi pada ketinggian di atas seribu meter (Gambar 6). Daerah dengan DEM tertinggi di Cameron adalah kawasan Brinchang dan Tringkap. Pada interval ketinggian di kedua kawasan tersebut yaitu antara 1.840 meter hingga 2.080 meter pernah terjadi 6 titik longsor. Sementara itu, beberapa kali peristiwa longsor juga pernah terjadi di Kampung Raja, Tanah Rata, Ringlet, dan Habu. Sebagai kawasan penghasil tanaman sayuran dan buahan terbesar di Malaysia, Cameron Highlands di negara bagian Pahang ini menjadi daerah yang tersibuk dalam hal distribusi hasil perkebunan. Sebanyak rata-rata 60 truk pengangkut hasil alam melewati ruas jalan di dataran tinggi ini dengan membawa sekitar 400 metrik ton sayuran, buahan dan bunga-bunga hasil perkebunan Cameron menuju negara bagian lain di Malaysia, hingga diekspor ke mancanegara. Sehingga ketika terjadi tanah longsor, maka akan berakibat pada penutupan ruas jalan dan menghambat aktivitas masyarakat yang bekerja pada sektor tersebut (ww2.utusan.com.my, 2004). Gambar 4. Persebaran Titik Longsor Terhadap Faktor Jarak dari Ruas Jalan
60
Gambar 5. Persebaran Titik Longsor Terhadap Faktor Jarak dari Sungai
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Tidak hanya ketinggian topografi, derajat kemiringan tanah juga masuk dalam faktor pemicu yang diperhitungkan dalam penelitian ini. Secara teori, peluang kejadian tanah longsor berbanding lurus dengan besarnya derajat kemiringan. Maknanya, semakin tinggi derajat kemiringan lahan, maka semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya tanah longsor (Wan Mohd, 2005). Akan tetapi, tidak selamanya berjalan sesuai teori. Dalam kajian tanah longsor di Cameron Highlands, mayoritas titik longsor justru terjadi pada tanah dengan kemiringan 15-25 derajat. Namun demikian, juga terjadi tanah longsor sebanyak 21 titik pada kemiringan yang lebih tinggi, yaitu 2535 derajat. Dilanjutkan dengan faktor dari derajat arah kemiringan aspek tanah. Terdapat empat klasifikasi derajat aspek tanah, yaitu 450 – 1350, 1350 – 2250, 2250 – 3150, dan 3150 – 450. Pembagian kelompok ini terkait dengan pembagian zona dari tanah yang terkena sinar matahari lebih banyak atau lebih sedikit. Wan Muhd (2005), pakar kajian tanah longsor dari Malaysia menyimpulkan bahwa arah kemiringan lahan pada arah 450 – 1350 dan 2250 – 3150 merupakan tanah yang menerima sinar matahari lebih Gambar 6. Persebaran Titik Longsor Terhadap Ketinggian Topografi di Cameron Highlands, Malaysia
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
61
PARAMETER banyak dan peluang kejadian tanah longsor lebih sedikit. Hal ini ternyata sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada kawasan Cameron. Sebanyak 60 persen atau 177 titik longsor terjadi pada lahan dengan arah kemiringan yaitu 1350 – 2250 dan 3150 – 450 yang tanahnya mendapat lebih sedikit sinar matahari sehingga peluang kejadian tanah longsor lebih besar. Tingkat kelengkungan tanah terbagi atas dua jenis, yaitu kelengkungan negatif (cekung) dan kelengkungan positif (cembung). Hasil penelitian terhadap tanah longsor di Cameron menyatakan bahwa sebanyak 70 persen kejadian tanah longsor terjadi pada jenis kelengkungan negatif (-0,5 sampai dengan 0). Peta persebaran titiktitik tanah longsor terhadap faktor derajat kemiringan lahan, aspek arah kemiringan tanah dan tingkat kelengkungan tanah disajikan pada Gambar 7. Litologi batuan atau karakteristik batuan terkait struktur, komposisi mineral, warna hingga tekstur batuan, dimasukkan ke dalam faktor yang dapat mempengaruhi kondisi lahan hingga terjadinya tanah longsor. Di area penelitian Cameron, klasifikasi litologi batuan terdiri dari 2 grup utama. Penyebaran titik lokasi tanah longsor kebanyakan terjadi pada kawasan dengan kondisi batuan bertipe Acid intrusive, yaitu sebanyak 198 titik longsor (68 persen). Sedangkan pada tipe batuan Schist, Phyllite, Slate and Limestone, Minor intercalations of sandstone and volcanic terjadi peristiwa tanah longsor sebanyak 94 titik (32 persen). Penggunaan lahan pada kawasan Cameron Highlands hanya terbagi atas 5 kelompok, yaitu sebagai lahan pertanian/perkebunan, lahan pengembangan (perumahan), lahan kehutanan, lahan rekreasi dan kawasan perairan. Hasil penelitian ini menunjukkan persebaran titik longsor paling banyak terjadi pada kawasan kehutanan (259 titik longsor) dan sisanya terjadi pada lahan perkebunan (22 titik longsor) dan bahkan pernah terjadi pada kawasan perumahan, meskipun dalam jumlah minor (11 titik longsor). Gambar 8 dan Gambar 9 mengilustrasikan distribusi kejadian titik longsor berdasarkan keadaan litologi batuan dan pembagian penggunaan lahan. Gambar 7. Persebaran Titik Longsor Terhadap Faktor Kemiringan Lahan, Aspek Arah Kemiringan dan Kelengkungan Tanah di Cameron Highlands, Malaysia
62
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Tahapan selanjutnya adalah penentuan bobot dari kesembilan faktor pemicu tanah longsor. Metode penentuan bobot ini menggunakan AHP dengan penyebaran kuesioner untuk mendapatkan opini ahli. Hasil dari pembobotan berasal dari tool pada software IDRISI Kilimamjaro, yaitu Decision Wizard. Konsistensi jawaban dari opini ahli juga dikontrol dengan tingkat CR (Consistency Ratio) di bawah 0,10 dan untuk kasus ini diperoleh CR = 0,08. Tabel 3 menyajikan besaran bobot semua faktor yang terlibat. Indeks kelembapan dari curah hujan (API) merupakan faktor pemicu paling utama terhadap tanah longsor di Cameron. Disusul oleh faktor jarak dari jalan dan jarak dari sungai. Ketiga faktor tersebut yang memiliki bobot paling tinggi hasil dari analisis penentuan multi-kriteria dengan AHP. Tabel 3. Besaran bobot masing-masing faktor Faktor
Bobot
Faktor
Bobot
API Curah Hujan
0.2532
Penggunaan Lahan
0.1400
DEM/Ketinggian
0.0742
Litologi Batuan
0.0223
Arah Kemiringan
0.0242
Jarak dari Jalan
0.1796
Derajat Kemiringan
0.0719
Jarak dari Sungai
0.1577
Kelengkungan Tanah
0.0769
Keseluruh faktor pendorong tanah longsor yang termasuk ke dalam penelitian ini kemudian di-overlaid-kan sehingga menghasilkan image fuzzy peta kerentanan tanah longsor untuk kawasan Cameron Highlands. Gambar 8. Persebaran Titik Longsor Terhadap Litologi Batuan
Gambar 9. Persebaran Titik Longsor Terhadap Jenis Penggunaan Lahan
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
63
PARAMETER Tahap final adalah pembentukan zona kerentanan tanah longsor dan proses validasi terhadap peta zona yang terbentuk. Untuk memenuhi prosedur ini, dari total 292 titik tanah longsor yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu 146 titik digunakan untuk pembentukan zona dan 146 titik lainnya sebagai control points yang akan menvalidasi kebenaran zona yang dihasilkan. Hasil perzonaan diperoleh dari pengekstrakan 146 titik longsor dengan image fuzzy pada Gambar 10. Sehingga menghasilkan peta akhir zona kerentanan tanah longsor di kawasan Cameron Highlands seperti ditunjukkan pada Gambar 11. Klasifikasi zona rentan tanah longsor ini merupakan pengelompokan berdasarkan nilai peluang (p-values) dari kemungkinan terjadinya titik longsor pada rentang nilai 0,05 sampai dengan 1. Kemudian terbentuklah 4 kelompok zona, yaitu sangat rendah, rendah, menengah dan tinggi. Tabel 4. Hasil Klasifikasi Zona Kerentanan dan Perkiraan Luas Wilayah Zona
Kategori
P-Values Class
1
Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi
0 - 0.30
2 3 4 Total
Jumlah Titik Longsor 0
0.30 - 0.60 11 0.60 – 0.85 73 0.85 – 1.00 62 146
Persentase (%)
Persentase (%)
0
Perkiraan Luas Area (km2) 26.84
7.53 50.00 42.47 100
59.30 145.89 26.84 258.87
22.92 56.36 10.36 100
10.36
Gambar 11. Peta Zona Kerentanan Tanah Longsor, Cameron Highlands, Malaysia
64
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Dari tabel 4 disimpulkan bahwa pada zona kerentanan sangat rendah dengan zero occurrance atau tidak ada kejadian tanah longsor hanya meliputi kawasan seluas 26,84 kilometer persegi atau 10,36 persen dari keseluruhan wilayah Cameron. Sementara pada zona menengah dan zona tinggi terdapat total 135 titik longsor atau 92,47 persen dari titik sampel yang dimasukkan ke dalam sistem. Untuk memvalidasi kebenaran perzonaan tersebut, digunakan 146 titik longsor tersisa yang diasumsikan sebagai titik longsor baru. Control points ini diekstrak dengan image fuzzy zona kerentanan (Gambar 11). Sehingga diperoleh distribusi titik longsor ke dalam empat zona seperti berikut: Tabel 5. Sebaran Titik Kontrol pada Zona Kerentanan Longsor Zone 1 2 3 4
Kategori Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi
Jumlah Titik Longsor 3 13 86 44 146
Persentase (%) 2.05 8.90 58.90 30.15 100.00
Hasil validasi ini menyatakan bahwa 130 titik longsor berada pada zona kerentanan menengah dan tinggi atau 89,05 persen. Ini berarti hampir sama dengan hasil yang ditunjukkan pada pembentukan peta zona kerentanan longsor, yaitu 92,47 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peta zona kerentanan tanah longsor di Cameron Highlands, Malaysia telah dikembangkan dengan benar. Gambar 10. Image Fuzzy Peta Kerentanan Tanah Longsor
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
65
PARAMETER DAFTAR PUSTAKA Barrow, J. B. (2004). Sustainable Agriculture in The Cameron Highlands, Malaysia. Paper presented at the International Seminar on Sustainable Development of Cameron Highlands: Issues & Challenges”. 11-12 December 2004, Brinchang, Cameron Highlands, Malaysia. Department of Irrigation and Drainage Malaysia. (1998). Data Hujan Bulanan Kawasan Kajian. Scale 1:50,000. Kuala Lumpur. Department of Survey and Mapping Malaysia. (1992). Peta Topografi Kawasan Kajian. Scale 1:50,000. Kuala Lumpur. Department of Town and Country Planning Malaysia. (1996). Peta Guna Tanah Tahun 1996. Scale 1:50,000. Kuala Lumpur. Gue, S. S. & Tan, Y. C. (2004), “Guidelines for Development on Hill-Site”, G&P Geotechnics, [Online]. Tropical Residual Soils Engineering (TRSE), 6 – 7 July 2004. Available at: http://www.gnpgeo.com.my/download/publication/L_07.pdf [10 July 2009] http://ww2.utusan.com.my/utusan/special.asp?pr=PR11&y=2004&dt=0224&pub= Utusan_Malaysia&sec=Terkini&pg=bt_02.htm Kumaran, S. & Ainuddin, A. N. (2004). Forests, Water and Climate of Cameron Highlands. Paper presented at the International Seminar on “Sustainable Development of Cameron Highlands: Issues & Challenges”. 11-12 December 2004, Brinchang, Cameron Highlands, Malaysia. Nadim, F., Kjekstad, O., Peduzz, P., Herold, C. & Jaedicke, C. (2006). Global Landslide and Avalanche Hotspots. Landslides, 3: pp. 159-173. Pradhan, B., Mansor, S., Lee, S., Manfred, F. & Buchroithner. (2008). Application of Data Mining Model for Landslide Hazard Mapping. The International Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, (27): pp. 187-196. Tew, K. H. & Azman, A. B. (2004). Soil Erosion and Sedimentation Assessment, Control and Monitoring Plans for Agricultural Prohects in Cameron Highlands. Paper presented at the International Seminar on “Sustainable Development of Cameron Highlands: Issues & Challenges”. 11-12 ecember 2004, Brinchang, Cameron Highlands, Malaysia. Wan Mohd Muhiyuddin Wan Ibrahim. (2005). Pembentukan Model Ruangan Kegagalan Cerun bagi Sub-Lembangan Hulu Sungai Langat. Dissertasi Doctor Falsafah Universiti Sains Malaysia, Unpublished.
66
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) DALAM KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2014 Oleh: Ditalia Trisnawati* Abstrak Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh pada masa lampau telah memberi kaum perempuan kedudukan yang sama dengan kaum pria, sehingga muncul banyak tokoh perempuan Aceh, baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, peran perempuan Aceh semakin terpinggirkan. Dorongan pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam perencanaan pembangunan cukup keras gaungnya. Salah satu komitmen yang ingin dicapai Pemerintah Kota Banda Aceh adalah mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Kota Ramah Gender. Hal ini tidak terlepas dari tujuan MDGs yang ketiga, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Target yang ingin dicapai antara lain semakin meningkatnya ratio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh dengan sarana dan prasarana yang tentu lebih baik dari wilayah lain, salah satunya adalah dari aspek pendidikan. Tersedianya beberapa fasilitas pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi mendorong penduduk usia sekolah melakukan migrasi ke Kota Banda Aceh. Secara tidak langsung Kota Banda Aceh mengalami Bonus Demografi karena banyaknya penduduk usia produktif. Hal ini ditunjukkan dengan Angka Beban Ketergantungan (ABK) sebesar 37,07 persen pada tahun 2014, dimana setiap 100 orang usia produktif harus menanggung sekitar 38 penduduk usia tidak produktif. Persentase penduduk laki-laki dan perempuan di Kota Banda Aceh hampir sama. Meskipun demikian, masih terdapat ketimpangan gender baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Secara umum, kesetaraan gender bidang pendidikan di Kota Banda Aceh telah tercapai, khususnya dalam partisipasi pendidikan di jenjang SMP (RAPM SMP sebesar 120,94 persen) serta melek huruf (RAMH sebesar 100 persen) pada tahun 2014. Kesetaraan gender bidang ketenagakerjaan di Kota Banda Aceh telah tercapai, ditunjukkan dengan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian yang melampaui 50 persen. Peran perempuan di bidang politik di Kota Banda Aceh masih sangat rendah. Pada periode 2009-2014, dari 30 orang anggota DPRK Banda Aceh, hanya ada satu anggota perempuan. Dari 9 kecamatan, hanya ada satu perempuan yang menjabat menjadi camat sedangkan untuk jabatan keuchik, seluruhnya dipegang oleh laki-laki. *
Staf BPS Kota Banda Aceh
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
67
PARAMETER Tingkat capaian pembangunan manusia yang diukur secara umum (Indeks Pembangunan Manusia/IPM) maupun dengan mempertimbangkan gender (Indeks Pembangunan Gender/IPG) menunjukkan hasil yang semakin baik dalam tiga tahun terakhir. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal sumbangan pendapatan. Kata Kunci: gender, kesenjangan, IPM I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Tujuan Pembangunan Milenium”, adalah sebuah paradigma pembangunan global yang dideklarasikan Konferensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan. Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu: 1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3. Mendorong kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan, 4. Menurunkan angka kematian anak, 5. Meningkatkan kesehatan ibu, 6. Memerangi HIV/AIDs, malaria dan penyakit menular lainnya, 7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan 8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan. Deklarasi MDGs merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan bersama antara negara-negara berkembang dan maju. Negara-negara berkembang berkewajiban untuk melaksanakannya, termasuk salah satunya Indonesia dimana kegiatan MDGs di Indonesia mencakup pelaksanaan kegiatan monitoring MDGs. Sedangkan negaranegara maju berkewajiban mendukung dan memberikan bantuan terhadap upaya keberhasilan setiap tujuan dan target MDGs. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi MDGs, Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan program pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah, dan panjang. Pada hakikatnya setiap tujuan dan target MDGs telah sejalan dengan program pemerintah jauh sebelum MDGs menjadi agenda pembangunan global dideklarasikan. Potret dari kemakmuran rakyat diukur melalui berbagai indikator seperti bertambah tingginya tingkat pendapatan penduduk dari waktu ke waktu, kualitas pendidikan dan derajat kesehatan yang membaik, bertambah banyaknya penduduk yang menempati rumah layak huni, lingkungan permukiman yang nyaman
68
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER bebas dari gangguan alam dan aman. Penduduk mempunyai kesempatan untuk mengakses sumber daya yang tersedia, lapangan kerja yang terbuka untuk semua penduduk, serta terbebas dari kemiskinan dan kelaparan. Pemerintah Indonesia mengklaim delapan target MDGs hampir semuanya tercapai. Hal tersebut tertera dalam laporan Bappenas 2010. Di antaranya pemerintah mengklaim berhasil menurunkan angka kemiskinan penduduk yang berpendapatan 1 dolar per hari (standar Bank Dunia), dari 20,6 persen tahun 1990 menjadi 5,8 persen tahun 2008. Namun, klaim keberhasilan itu dibantah oleh sejumlah organisasi massa yang berhimpun dalam Indonesian Peoples Alliance (IPA) atau Aliansi Rakyat Indonesia. IPA menilai, pencapaian MDGs gagal seiring dengan meningkatnya kemiskinan, tidak adanya akses masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan dasar, ketahanan pangan, dan kerusakan lingkungan serta konflik agraria. Namun, gagal atau tidaknya kembali lagi kepada masyarakat Indonesia sendiri bagaimana menanggapinya (Annisa, 2013). 1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh pada masa lampau (Perlak, Pasai, Lingga, Daya, dan akhirnya Darussalam) semuanya mengambil Al Qur’an dan Al-Sunnah sebagai sumber hukumnya. Sesuai dengan ajaran Islam, maka kerajaan-kerajaan tersebut telah memberi kaum perempuan kedudukan yang sama dengan kaum pria, sehingga muncul banyak tokoh perempuan Aceh, baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan. Beberapa perempuan Aceh yang berperan dalam pemerintahan antara lain, Putri Lindung Bulan, Puteri Pahang, Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamal Syah. Sementara itu, perempuan Aceh yang berperan dalam peperangan antara lain, Laksamana Malahayati, Teungku Fakinah, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, dan Teungku Fakinah (Emi, 1993:3). Peran perempuan Aceh muncul kembali ketika isu perdamaian di Aceh mulai diangkat. Perempuan Aceh telah berani bicara tentang perdamaian dan dialog untuk menyelesaikan konflik Aceh di Duek Pakat Inong Aceh (Kongres Perempuan Aceh). Kongres tersebut dilaksanakan pada Februari 2000, ketika intensitas konflik sangat tinggi di Aceh dan tidak ada laki-laki yang berani bicara damai, sehingga penyelesaian konflik Aceh harus melalui dialog. Namun seiring dengan perjalanan waktu, peran perempuan semakin terpinggirkan. Perempuan Aceh mulai bersentuhan dengan berbagai budaya luar yang datang ketika masa tanggap darurat pascatsunami Aceh. Tata pergaulan dunia global semakin mengaburkan indentitas mereka yang tak mungkin terelakkan (Boelah, 2009). Ketika Aceh harus membangun kembali pasca tsunami, program rehabilitasi dan rekonstruksi umumnya hanya dibicarakan dengan keuchik (kepala desa), dimana semua keuchik yang menjabat saat itu adalah laki-laki. Perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan yang membicarakan berbagai kepentingan pengungsi. Menurut Illiza, kondisi tersebut berlanjut ketika digelar musyawarah
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
69
PARAMETER perencanaan pembangunan (Musrenbang). Persentase kehadiran perempuan tidak mencukupi dari populasi yang ada sehingga aspirasi dalam musyawarah tersebut tidak mengakomodasi kepentingan kaum hawa. Tak salah jika pada 2006, BRR telah mencanangkan Gampong Ramah Perempuan dan Anak (Garapan) di 10 kabupaten/kota. Ide dasar gerakan ini adalah menempatkan perempuan dan anak sebagai pusat pembangunan. Maka, pembangunan Balee Ureung Inong juga menjadi prioritas agar kaum perempuan di Aceh memiliki tempat kegiatan. Dorongan agar Aceh melibatkan perempuan dalam pembangunan memang keras gaungnya. Merespon hal tersebut, pada tahun 2007, Gubernur Irwandi Yusuf pun mengubah nama Biro Pemberdayaan Perempuan menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Keuchik yang selama ini menjadi jatah laki-laki di Aceh, sekarang pun mulai diisi perempuan. Pascatsunami hingga 2008, terhitung ada enam perempuan yang menjabat sebagai keuchik. Di daerah tingkat dua, baru ada satu perempuan yang menjadi eksekutif, yaitu Illiza, yang kemudian menjadi motor Pemerintah Kota Banda Aceh merealisasikan pelibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan. Illiza adalah penerima Gender Award dari Deutsche Gesellschaft far Technische Zusammenarbeit (GTZ), yang diserahkan oleh Menteri Kerja Sama Pembangunan Jerman, Heidemarie Wieczorek Zeul, pada 8 Maret 2008. Penghargaan ini diperoleh berkat upayanya dalam meningkatkan peran perempuan dalam perencanaan pembangunan (Syukriy, 2009). Senin, 27 Juli 2009, Illiza, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Walikota Banda Aceh, mempresentasikan konsep Banda Aceh sebagai kota ramah gender di seminar “Membangun dan Mengembangkan Konsep Kota Ramah Gender”. Perwujudan Kota Banda Aceh sebagai kota ramah gender tidak terlepas dari salah satu tujuan MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Target yang ingin dicapai antara lain meningkatnya ratio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. 1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya tulis ini adalah mengetahui seberapa besar pencapaian target MDGs dalam mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan permepuan di Kota Banda Aceh tahun 2014. Adapun tujuan secara khusus dari penulisan ini adalah: 1. Mengetahui pencapaian kesetaraan gender di bidang pendidikan di Kota Banda Aceh, 2. Mengetahui pencapaian kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan di Kota Banda Aceh, 3. Mengetahui pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di bidang politik di Banda Aceh
70
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER II. LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Secara umum, adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas. Gender jelas berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis. Dalam mengisi pembangunan dibutuhkan kesejajaran antara kedua jenis kelamin agar tidak menimbulkan pembangunan dengan hasil yang timpang. Pembangunan dengan orientasi pada peningkatan kualitas manusia lebih menekankan pada upaya menempatkan manusia dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, diperlukan adanya pemberdayaan bagi kaum perempuan sehingga pembangunan yang berwawasan gender dapat semakin digalakkan dengan baik (Winanda, 2014). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran sederhana yang dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan manusia. Meskipun demikian, IPM belum dapat menjelaskan kesenjangan capaian pembangunan antar kelompok gender. Untuk itu, penghitungan Indeks Pembangunan Gender (IPG) menjadi sangat relevan karena IPG mengukur pembangunan manusia dengan mempertimbangkan hasil pembangunan yang dicapai menurut gender. Tingkat kesetaraan capaian pembangunan manusia antara perempuan dan laki-laki dapat tergambar dengan menganalisis IPM dan IPG secara bersama-sama. Dengan melihat selisih (gap) antara IPM dan IPG akan dapat dilihat kesetaraan gender. Jika nilai IPG sama dengan IPM menunjukkan bahwa tidak terjadi ketimpangan capaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, karena pembangunan manusia yang diukur secara umum maupun dengan mempertimbangkan gender memberikan hasil yang sama. Sebaliknya, jika nilai IPG dibawah nilai IPM berarti terjadi ketimpangan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Semakin besar gap antara IPM dan IPG menunjukkan bahwa semakin besar ketidasetaraan gender di wilayah tersebut. Meskipun demikian, indikator ini tidak dapat menunjukkan kelompok gender mana yang lebih dominan. Untuk melihat kelompok mana yang dominan hanya bisa dilihat dari analisis masing-masing komponen IPG. Seperti yang diketahui, jika berbincang tentang kesetaraan gender, maka termasuk di dalamnya pemikiran mengenai bagaimana memanfaatkan kemampuan yang dimiliki masing-masing kelompok gender untuk berbuat maksimal dalam kehidupan. Salah satu upayanya adalah berbuat maksimal untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, proses pengambilan keputusan, baik di bidang politik maupun penyelenggaraan pemerintah. Unsur-unsur persamaan peranan tersebut merupakan komponen yang tercakup dalam penghitungan Indeks Perberdayaan Gender (IDG). IDG merupakan ukuran komposit yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana persamaan peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan serta
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
71
PARAMETER kontribusi dalam aspek ekonomi maupun sosial. IDG menggambarkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik melalui indikator persentase perempuan di parlemen, keterlibatan perempuan dalam posisi strategis di dunia kerja melalui indikator persentase perempuan sebagai tenaga kerja manajer, profesional, administrasi, dan teknisi, serta menggambarkan keterlibatan perempuan sebagai penyumbang pendapatan rumah tangga melalui indikator persentase sumbangan perempuan dan pendapatan kerja. 2.2 Kajian Teori Tujuan MDGs yang ketiga adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Target yang ingin dicapai antara lain meningkatnya ratio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor nonpertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legistlatif. Target tersebut dipantau dengan menggunakan indikator sebagai berikut: 1. Ratio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar (SD) dan lanjutan (SMP dan SMA) yang diukur melalui Angka Partisipasi Murni (APM) anak perempuan terhadap laki-laki, 2. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui Angka Melek Huruf (AMH) perempuan terhadap laki-laki, 3. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian, 4. Proporsi kursi DPRK yang diduduki perempuan, 5. Proporsi pegawai wanita dengan jabatan Eselon II ke atas, 6. Proporsi camat dan kepala desa perempuan, 7. IPM, IPG dan IDG. 2.4 Konsep Definisi Beberapa konsep definisi yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut: 1. Angka Partisipasi Murni (APM) adalah rasio anak yang masih sekolah di jenjang pendidikan tertentu pada usia sekolah tersebut terhadap jumlah penduduk usia normal untuk jenjang yang sama. 2. Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah proporsi dari keseluruhan penduduk dari berbagai kelompok usia tertentu (7-12, 13-15, 16-18, dan 19-24) yang masih duduk di bangku sekolah. 3. Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah persentase jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (berapapun usianya) terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. 4. Angka Melek Huruf (AMH) dewasa adalah persentase penduduk usia 15 - 24 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis. 5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks komposit yang disusun dari tiga indikator, yaitu lama hidup yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir, pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas, dan standar hidup yang
72
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER diukur dengan pengeluaran perkapita (PPP rupiah).Nilai indeks berkisar antara 0 sampai dengan 100. 6. Angka Harapan Hidup waktu lahir (e0) adalah perkiraan hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut umur. 7. Rata-Rata Lama Sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun keatas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. 8. Indeks Pembangunan Gender (IPG) mengukur pencapaian dimensi dan variabel yang sama seperti IPM, namun menangkap ketidakadilan dalam hal pencapaian antara laki-laki dan perempuan. IPM hanya disesuaikan ke bawah akibat ketidaksetaraan gender. Semakin besar perbedaan gender dalam pembangunan asasi manusia, maka semakin rendah pula IPG dibandingkan dengan IPM. 9. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) adalah indeks komposit yang disusun dari beberapa variabel yang mencerminkan tingkat keterlibatan wanita dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik dan ekonomi. IDG didasarkan pada tiga indikator, yaitu persentase wanita di parlemen, persentase wanita di lingkungan kerja profesional, teknis, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, serta sumbangan wanita sebagai penghasil pendapatan. Nilai indeks berkisar antara 0 sampai dengan 100. 10. Penduduk Usia Kerja yang digunakan di Indonesia adalah penduduk berusia 15 tahun keatas. 11. Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok bekerja dan kelompok pengangguran. 12. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam berturut-turut/tidak putus selama seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi. 13. Pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa/merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discourage worker), atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja/mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (future starts). 14. Jenis pekerjaan/jabatan adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau ditugaskan kepada seseorang. Klasifikasi jenis pekerjaan menggunakan Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan/Jabatan Indonesia (KBJI) 2002 yang mengacu pada The International Standard Classification of Occupation (ISCO). 15. Status pekerjaan adalah jenis kedudukan seseorang dalam pekerjaan yang terdiri atas berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar, buruh/karyawan/ pegawai, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja tak dibayar.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
73
PARAMETER 16. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja (15 tahun keatas) yang aktif secara ekonomi di suatu negara atau wilayah. TPAK diukur sebagai persentase jumlah angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) terhadap penduduk usia kerja. Indikator ini menunjukkan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (labour supply) yang tersedia untuk produksi barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Angkatan kerja wanita, usia muda dan usia tua sering menjadi fokus dalam analisis pasar kerja di suatu negara atau wilayah, disamping mereka yang digolongkan sebagai angkatan kerja prima/utama (prime age), yaitu usia 25–54 tahun. 17. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memberikan indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase pengangguran terhadap jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja. 18. Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja yang bekerja atau sementara tidak bekerja di suatu negara atau wilayah. Tingkat kesempatan kerja diukur sebagai persentase penduduk yang bekerja terhadap jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja III. METODOLOGI 3.1 Metode Pengumpulan Data Karya tulis ini menggunakan data sekunder hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), Survei Politik dan Keamanan (POLKAM), serta data pendukung lain dari publikasi Banda Aceh Dalam Angka dan Kecamatan Banda Aceh Dalam Angka.Periode waktu yang digunakan dalam karya tulis ini dimulai dari tahun 2010 sampai dengan 2014 sesuai dengan ketersediaan data. 3.2 Metode Analisis Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk mendukung analisis deskriptif kuantitatif. Penggunaan data hasil pengukuran sebagai bahan analisis merupakan bagian analisis deskriptif kuantitatif. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik dan tabel. Analisis deskriptif ini digunakan untuk mengetahui pencapaian target MDGs dalam mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Kota Banda Aceh. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kota Banda Aceh Kota Banda Aceh secara geografis terletak diantara 05°16’15”-05°36’16” Lintang Utara dan 95°16’15”- 95°22’35” Bujur Timur dengan luas wilayah 61,36 km² (61.359 Ha). Tinggi rata-rata wilayah Kota Banda Aceh sekitar 0,80 m di atas permukaan laut. Wilayah Kota Banda Aceh sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Secara Administrasi, Kota Banda Aceh terdiri dari sembilan kecamatan dan 90 gampong (desa). Kecamatan yang berada di Kota Banda Aceh adalah Kecamatan
74
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala dan Ulee Kareng. Hasil proyeksi penduduk tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Banda Aceh adalah 249.499 jiwa dengan komposisi jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang hampir sama. Penduduk laki-laki berjumlah 128.487 jiwa (51,5 persen) dan perempuan 121.012 jiwa (48,5 perssen), dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 106. Ini berarti, untuk setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 106 penduduk laki-laki. Pertumbuhan penduduk Kota Banda Aceh tahun 2013-2014 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 2,08 persen menjadi 4,22 persen (Tabel 4.1.).
Penduduk Kota Banda Aceh sebagian besar berada pada kelompok umur produktif (usia 15-64 tahun) atau masih tergolong struktur umur muda, yaitu sebesar 72,95 persen pada tahun 2014. Selama periode 2010 sampai dengan 2014, persentase penduduk usia produktif cenderung mengalami peningkatan diiringi dengan berkurangnya jumlah penduduk usia non produktif (usia 15 tahun ke bawah dan 65 tahun ke atas).
Secara tidak langsung, Kota Banda Aceh telah mengalami Bonus Demografi, yaitu bonus yang diperoleh suatu wilayah sebagai akibat dari besarnya jumlah penduduk usia produktif. Berdasarkan Gambar 4.1., terlihat bahwa jumlah penduduk usai produktif sebagian besar berada pada usia 20-24 tahun. Hal ini disebabkan karena Kota Banda Aceh merupakan salah satu daerah tujuan pendidikan dengan beberapa
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
75
PARAMETER perguruan tinggi didalamnya, sehingga mendorong adanya migrasi penduduk usia sekolah yang masuk ke Kota Banda Aceh.
Untuk mengetahui sejauh mana besarnya beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif terhadap penduduk non produktif, dapat dilihat dari besarnya Angka Beban Ketergantungan (ABK). Gambar 4.2. memperlihatkan bahwa sejak tahun 2010 sampai dengan 2014, ABK Kota Banda Aceh cenderung mengalami penurunan dari 37,73 persen menjadi 37,07 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 38 penduduk usia non produktif. Jika dilihat menurut jenis kelamin, ABK perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2014, ABK laki-laki sebesar 35,85 persen sedangkan ABK perempuan sebesar 38,39 persen. Meskipun demikian, keduanya cenderung mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir.
76
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER 4.2 Pencapaian Kesetaraan Gender Bidang Pendidikan di Kota Banda Aceh Keberhasilan pembangunan suatu wilayah ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan salah satu cara meningkatkan kualitas SDM tersebut. Oleh karena itu peningkatan mutu pendidikan harus terus diupayakan, dimulai dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan tanpa mengenal jenis kelamin. Untuk mengetahui seberapa banyak penduduk yang memanfaatkan fasilitas pendidikan dapat dilihat dari persentase penduduk menurut partisipasi sekolah. Untuk melihat partisipasi sekolah dalam suatu wilayah biasa dikenal beberapa indikator untuk mengetahuinya, antara lain: Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), serta Angka Partisipasi Murni (APM). Rasio Angka Partisipasi Murni (RAPM) digunakan untuk mengukur kesenjangan partisipasi pendidikan antara penduduk perempuan dengan penduduk laki-laki. Meskipun komposisi penduduk perempuan dan laki-laki di Kota Banda Aceh hampir sama, indikator ini tetap diperlukan untuk menggambarkan kesetaraan dan keadilan gender. RAPM perempuan terhadap laki-laki diperoleh dari hasil bagi antara APM perempuan terhadap laki-laki. Target yang ingin dicapai adalah partisipasi sekolah antara laki-laki dan perempuan di jenjang pendidikan tertentu pada usia sekolah tersebut adalah sama atau jika dinyatakan dalam angka yaitu sebesar 100 persen.
Pada Gambar 4.3. terlihat bahwa RAPM SD di Kota Banda Aceh sedikit mengalami penurunan menjadi sebesar 98,04 persen tahun 2014 setelah sebelumnya mencapai angka lebih dari 100 persen pada tahun 2011 dan 2012. Berdasarkan Lampiran 4, selama tiga tahun terakhir besarnya APM SD cenderung mengalami kenaikan baik secara total maupun dengan memperhatikan jenis kelamin. Akan tetapi, kenaikan APM SD perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan lakilaki sehingga RAPM SD tidak dapat mencapai 100 persen. Dengan demikian, dapat
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
77
PARAMETER dikatakan bahwa kesetaraan gender di tingkat SD belum tercapai. Pada jenjang SMP, RAPM pada tahun 2014 telah mencapai 120,94 persen. Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat SMP telah tercapai kesetaraan gender. Lain halnya dengan tingkat pendidikan SMA, RAPM sebesar 106,94 persen pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kesetaraan gender telah tercapai. Namun sayang, pada tahun 2014 RAPM SMA mengalami penurunan menjadi 77,52 persen. Berdasarkan Lampiran 6, APS perempuan usia 16-18 tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki sejak tahun 2010 hingga 2014. APS lakilaki usia 16-18 tahun sebesar 76,86 persen sedangkan APS perempuan usia 16-18 tahun sebesar 84,10 persen pada tahun 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya RAPM perempuan di tingkat SMA disebabkan karena masih terdapat siswi usia 16-18 tahun yang seharusnya berada pada tingkat pendidikan SMA, tetapi karena beberapa alasan menyebabkan siswa tersebut masih duduk di bangku SMP atau sudah melanjutkan ke perguruan tinggi. 4.2.2 Rasio Melek Huruf Perempuan terhadap Laki-Laki pada Kelompok Usia 15 - 24 Tahun Data Susenas menunjukkan terjadinya perbaikan tingkat melek huruf di Kota Banda Aceh sejak tahun 2010 sampai dengan 2014. Berdasarkan Lampiran 7, tingkat melek huruf penduduk usia 15-24 tahun meningkat dari 99,16 persen pada tahun 2010 menjadi 100 persen pada tahun 2014. Hal ini diikuti dengan semakin kecilnya kesenjangan tingkat melek huruf perempuan dan laki-laki, yang ditunjukkan oleh meningkatnya Rasio Angka Melek Huruf (RAMH) penduduk perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yaitu dari 98,89 persen pada tahun 2010 menjadi 100 persen pada tahun 2014 (Gambar 4.4.).
78
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER 4.3 Pencapaian Kesetaraan Gender Bidang Ketenagakerjaan di Kota Banda Aceh Target MDGs yang ingin dicapai di bidang ketenagakerjaan adalah meningkatnya kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian hingga sebesar 50 persen. Indikator ini bertujuan untuk mengukur tingkat keterbukaan pasar tenaga kerja bagi perempuan di sektor nonpertanian serta untuk melihat peran perempuan terhadap pembangunan ekonomi. Data Sakernas pada lampiran 8 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perempuan di Kota Banda Aceh (14,32 persen) hampir dua kali lipat TPT laki laki (7,80 persen). Sementara itu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan (46,19 persen) lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki (72,06 persen). 4.3.1 Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Nonpertanian di Kota Banda Aceh Kontribusi penduduk perempuan dalam pekerjaan upahan untuk sektor nonpertanian cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2010, yaitu dari 74,82 persen menjadi 60,59 persen pada tahun 2014. Meskipun demikian, target MDGs sudah tercapai karena kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan untuk sektor nonpertanian sudah melebihi 50 persen. Jika dilihat dari status penduduk perempuan yang bekerja sebagai pengusaha, baik itu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tetap atau tidak tetap, kontribusi perempuan justru mengalami kenaikan dari 20,81 persen pada tahun 2012 menjadi 22,34 persen pada tahun 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa, sebagian perempuan memilih untuk berusaha sendiri dibandingkan bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai (lampiran 9 dan 10).
4.4 Pencapaian Kesetaraan Gender Bidang Politik di Kota Banda Aceh Kemajuan dalam bidang politik yang dicapai adalah dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU), UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol, disusul dengan Undang-Undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
79
PARAMETER Undang-Undang tersebut mengamanatkan dengan jelas 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik di tingkat pusat dan daerah dalam daftar yang diajukan untuk calon anggota legislatif. Target yang ingin dicapai adalah meningkatnya partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. 4.4.1 Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di DPRK Banda Aceh Pada periode 2009-2014, proporsi perempuan di DPRK Banda Aceh adalah 3,45 persen. Pada periode tersebut, dari seluruh anggota DPRK yang berjumlah 30 orang, hanya satu orang diantaranya yang perempuan. Jika dilihat dari pendidikan, anggota DPRK perempuan tersebut berpendidikan S1, sementara itu anggota DPRK laki-laki yang berpendidikan S1 sebanyak 65,52 persen dan sisanya berpendidikan SMA dan Diploma (Lampiran 12). Sementara itu, pada periode pemerintahan sebelumnya, terdapat tiga anggota perempuan di DPRK (10 persen).
Pada tahun 2014, jumlah PNS yang memiliki kedudukan eselon II sampai IV di Kota Banda Aceh sebanyak 607 orang, yang terdiri dari 381 laki-laki dan 226 perempuan. Dari 26 PNS dengan jabatan eselon II ke atas, dua diantaranya adalah perempuan (8,33 persen). Angka ini hanya sedikit mengalami perubahan dari tahun sebelumnya yang hanya terdapat satu perempuan dengan jabatan eselon II ke atas. Meskipun demikian, di Kota Banda Aceh terdapat enam kepala dinas/badan/instansi perempuan yang menjabat. 4.4.2 Proporsi Pegawai Wanita dengan Jabatan Eselon II ke Atas di Banda Aceh
Camat d Kota Banda Aceh mulai diisi oleh perempuan sejak tahun 2009, yaitu sebanyak dua orang masing-masing di Kecamatan Jaya Baru dan Kuta Raja hingga tahun 2010. Berdasarkan Tabel 4.6., selama periode 2010-2014, dari sembilan
80
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER kecamatan di Kota Banda Aceh, terdapat 3 camat perempuan (33,33 persen) yang menjabat, yaitu di Kecamatan Jaya Baru, Baiturrahman, dan Kuta Raja. Sementara itu, pada tahun 2014 terjadi penurunan jumlah camat menjadi satu orang, yaitu di Kecamatan Baiturrahman. Selain sebagai camat, perempuan juga memiliki kesempatan untuk menduduki posisi keuchik. Selama periode 2010-2014, dari 90 gampong (desa) di Kota Banda Aceh, seluruhnya dipimpin oleh keuchik laki-laki. 4.4.3 Proporsi Camat dan Keuchik Perempuan di Banda Aceh
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa peran perempuan dalam bidang politik masih kurang. Dengan demikian, partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan disamping sebagai pemilih dan calon legislatif, perlu terus diberi peluang untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan di bidang politik, ekonomi, dan sosial. 4.5 Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pemberdayaan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Kota Banda Aceh Gambar 4.5. memberikan gambaran perkembangan IPM dan IPG selama tiga tahun terakhir. Secara umum IPM dan IPG Kota Banda Aceh terus meningkat, yang menggambarkan capaian pembangunan manusia secara umum maupun dengan mempertimbangkan capaian laki-laki dan perempuan terus membaik. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa jarak antara IPM dan IPG selama kurun waktu tersebut relatif sama dengan kecenderungan menyempit, yaitu 12,01 persen pada tahun 2011 menjadi 11,27 persen pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan dalam pengurangan ketimpangan gender di Kota Banda Aceh.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
81
PARAMETER
Untuk melihat sejauh mana keberhasilan program pengarusutamaan gender, di Kota Banda Aceh dapat dilihat dari capaian masing-masing komponen IPG dan IPM. Pada tahun 2013, capaian kesehatan dilihat dari Angka Harapan Hidup menunjukkan capaian perempuan sudah di atas laki-laki. Sementara itu, Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lama Sekolah laki-laki secara umum lebih tinggi dibandingkan perempuan. Yang sangat mencolok adalah sumbangan pendapatan yang diberikan perempuan sangat rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini yang memicu perbedaan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan.
Secara umum, peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang politik, sosial, dan ekonomi di Kota Banda Aceh yang diukur melalui IDG memperlihatkan perkembangan yang semakin membaik. Pada tahun 2011, IDG di Kota Banda Aceh sebesar 46,72 persen meningkat menjadi 48,24 pada tahun 2013. Ini menunjukkan bahwa peranan perempuan dalam pengambilan keputusan pada tahun 2011 sebesar 46,72 persen dari peranan yang dijalankan laki-laki, kemudian meningkat menjadi 48,24 persen pada tahun 2013.
82
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER
Jika dilihat menurut masing-masing komponen IDG, peranan perempuan masih sangat kecil, terutama dalam keterlibatannya di parlemen, yaitu sebesar 3,33 persen pada tahun 2013. Sementara itu, peranan perempuan sebagai tenaga manager, profesional, administrasi, teknisi sebesar 45,34 persen, dan sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja hanya seperempat dari pendapatan kerja yang diperoleh laki-laki.
IV. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kota Banda Aceh telah mengalami Bonus Demografi yang ditunjukkan dengan ABK sebesar 37,07 persen pada tahun 2014, dimana setiap 100 orang usia produktif harus menanggung sekitar 38 penduduk usia tidak produktif. Hal ini disebabkan karena Kota Banda Aceh merupakan salah satu kota tujuan pendidikan sehingga mendorong terjadinya perpindahan penduduk usia sekolah dari wilayah lain ke Banda Aceh. 2. Secara umum, kesetaraan gender bidang pendidikan di Kota Banda Aceh telah tercapai, khususnya dalam partisipasi di jenjang pendidikan SMP dan melek huruf yang ditunjuukan dari nilai RAPM SMP sebesar 120,94 persen
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
83
PARAMETER dan RAMH sebesar 100persen pada tahun 2014. Sementara itu, partisipasi di jenjang pendidikan SD dan SMA belum tercapai karena masih kurang dari 100 persen (RAPM SD sebesar 98,04 persen dan RAPM SMA sebesar 77,52 persen). 3. Kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan sudah tercapai di Kota Banda Aceh. Hal ini ditunjukkan dari kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian yang melampaui 50 persen, yaitu sebesar 60,59 persen pada tahun 2014. 4. Peran perempuan di bidang politik di Kota Banda Aceh masih sangat kurang. Dari 30 orang anggota DPRK Banda Aceh, hanya ada satu anggota perempuan. Dari 9 kecamatan, hanya ada satu perempuan yang menjabat menjadi camat sedangkan untuk jabatan keuchik, seluruhnya dipegang oleh laki-laki. 5. Tingkat capaian pembangunan manusia yang diukur secara umum dan mempertimbangkan gender menunjukkan hasil yang semakin baik dalam tiga tahun terakhir, yaitu masing-masing sebesar 79 persen untuk IPM dan 67,73 persen untuk IPG. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal sumbangan pendapatan. 6. Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang politik, sosial, dan ekonomi di Kota Banda Aceh yang diukur melalui IDG memperlihatkan perkembangan yang semakin membaik meskipun masih sangat kecil. Pada tahun 2011, IDG di Kota Banda Aceh sebesar 46,72 persen meningkat menjadi 48,24 pada tahun 2013. 5.2 Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang diperoleh, beberapa saran yang dapat diberikan sebagai pertimbangan kebijakan serta pembahasan lanjutan adalah sebagai berikut: 1. Potensi kelompok umur muda yang dimiliki Kota Banda Aceh, perlu mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan tenaga-tenaga terampil, mandiri untuk mengisi peluang-peluang ekonomi dan tantangan ke depan pada era perdagangan bebas dan globalisasi. 2. Partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan disamping sebagai pemilih dan calon legislatif, perlu terus diberi peluang untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan di segala bidang. 3. Perempuan perlu mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menduduki jabatan yang tinggi dalam pekerjaannya sehingga dapat meningkatkan peranannya dalam sumbangan pendapatan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukriy. Aceh dan Wawasan Gender. 20 Januari 2015. https://syukriy. wordpress.com/2009/08/20/aceh-dan-wawasan-gender/. Badan Pusat Statistik. 2011. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2009-2010, Keterkaitan antara IPM, IPG, dan IDG. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bappenas. BUKU BS RPJMN KG 2014. 22 Januari 2015. http://bappenas.go.id/files/ kp3a/BUKU-BS-RPJMN-KG-2014.pdf.
84
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Bappenas. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemerndayaan Perempuan. 22 Januari 2015. http://www.deptan.go.id/pug/admin/pengumuman/Paparan_Kebijakan_PUG_ Kementan_22-23_Okt_2013.pdf. Bappenas. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals). 22 Januari 2015. http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/bi/indonesiamdg_bi_goal3.pdf. BPS Provinsi Papua. 2009. Laporan MDGs. Provinsi Papua 2009. Jayapura: BPS Provinsi Papua. Dimensi Gender dalam Pembangunan. 8 Juli 2015. www.bappenas.go.id/index. php/download_file/view/7015/718/. Dinu. Angka Partisipasi Sekolah, Angka Partisipasi Kasar, dan Angka Partispiasi Murni. 9 Juli 2015. http://duniadinu.blogspot.com/2012/10/angka-partisipasisekolah-angka_5679.html. Goehang, Boelah. Perempuan Aceh di Sepanjang Kisah. 8 Juli 2015. http:// bulahguhang.blogspot.com/2009/11/perempuan-aceh-di-sepanjang-kisahdari.html. Gusti. Dunia Internasional Dorong Pencapaian MDGs Persamaan Gender. 22 Januari 2015. http://ugm.ac.id/id/berita/8365-dunia.internasional.dorong. pencapaian.mdgs.persamaan.gender. Hasjmy, A. Wanita Aceh dalam Peperangan dan Pemerintahan. Suntingan Dra. H. Emi Suhaimi. Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy, 1993. Jonatan. Kerangka Analisis Perencanaan Gender. 22 Januari 2015. http://www.google. com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CE4QFjAI&url=h ttp%3A%2F%2Fwww.zef.de%2Fmodule%2Fregiste r%2Fmedia%2Fe0ad_Ker angka%2520Analisis%2520Perencanaan%2520Gender-Jonatan%2520Hivos. doc&ei=1_rBVIa9BMe2mQW7jIHIAw&usg=AFQjCNFJpZ1_uTnaSSoG77wGPih Y0RyM6A&sig2=bgsiw5H9hpGaztKQU4IdYg. Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. 22 Januari 2015. http://www. slideshare.net/jenytha/3-kesetaraan-gender. Kesetaraan Gender Mengalami Sedikit Perbaikan di Indonesia. 22 Januari 2015. http://www.tribunnews.com/nasional/2014/03/08/kesetaraan-gendermengalami-sedikit-perbaikan-di-indonesia. Keswara, Ratih. Persamaan Gender Jadi Masalah Capaian MDGs. 22 Januari 2015. http://nasional. sindonews.com/read/800664/15/persamaan-gender-jadi-masalah-capaianmdgs-1383237547. Kusumawardani, Annisa Dewi. Apa Itu MDGs?. 7 Juli 2015. http://www.kompasiana. com/annisadewikusumawardani/apa-itu mdgs 5528a3dff17e61fa6f8b4570. Laporan Pencapaian MDGS Prov Kepri. 22 Januari 2015. http://tkpk.kepriprov.go.id/ downloads/Pencapaian-MDGs-Kepri-2012.pdf. Martiany, Dina. Percepatan Pencapaian Mdgs Dan Kesetaraan Gender. 22 Januari 2015. http://dunia-dmart.blogspot.com/2010/11/normal-0-false-false-falseen-us-x-none_02.html. MDGs Kesetaraan Gender. 22 Januari 2015. http://www.tabloiddiplomasi.org/
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
85
PARAMETER previous-isuue/116-desember-2010/998-mdgs-kesetaraan-gender.html. Rizkyannisa, Winanda. Gender dan Pembangunan. 8 Juli 2015. http:// winandarizkyannisa.blog.fisip.uns.ac.id/2014/10/08/gender-danpembangunan/. Puspitawati, Herien. Konsep, Teori dan Analisis Gender. 22 Januari 2015. http://ikk. fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/gender.pdf. Sally. Pembangunan Nasional Berwawasan Gender. 22 Januari 2015. http:// www.paudni.kemdikbud.go.id/bindikmas/sites/default/files/documents/ files/SALLY%20-%20PEMBANGUNAN%20NASIONAL%20BERWAWASAN%20 GENDER%2029%20Nov%202012.pdf. Teknik Analisis Gender Lemlit. 22 Januari 2015. http://www.google.com/url?sa=t& rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&ur l=http%3A%2F%2Ftrisakti.staff.umm.ac.id%2Ffiles%2F2010%2F03%2FTeknikAnalisis-Gender-Lemlit.pps&ei=1_rBVIa9BMe2mQW7jIHIAw&usg=AFQjCNG HSmR8I7S7X48JFcUUk9ToIBrL_w&sig2=fox9hDcQefLV3ATmjkGT2A. UNFPA. Millennium Development Goals (MDGs). 22 Januari 2015. http://unwomenasiapacific.org/docs/cedaw/archive/indonesia/PathwaytoGenderEquality_ Bahasa.pdf. Yuswadiwijaya. Usia Ideal Anak Masuk Sekolah Dasar. 26 Januari 2015. http:// yuswadiwijaya.blogspot.com/2013/06/usia-ideal-anak-masuk-sekolahdasar_9791.html.
86
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER PENGARUH PENYERAPAN TENAGA KERJA TERHADAP PERANAN MASING-MASING SEKTOR PADA STRUKTUR PDRB PROVINSI ACEH TAHUN 2006-2013 Oleh: Hella Citra* Abstrak Pertumbuhan tenaga kerja di Aceh bervariasi untuk tiap sektornya. Sektor Primer memiliki tren pertumbuhan menurun dari tahun ke tahun. Sektor sekunder sangat berfluktuatif tiap tahunnya. Sektor tersier memiliki kecenderungan pertumbuhan naik tiap tahunnya. Peningkatan peran sektor tersier ini selalu diikuti dengan penurunan kontribusi sektor primer. Sementara itu dari tahun ke tahun sektor sekunder dalam perekonomian Aceh masih sulit untuk berkembang. Pergeseran struktur PDRB ini diteliti dari sisi penyerapan tenaga kerja. Hasilnya, pada sektor primer korelasi antara peningkatan peran PDRB dan penyerapan tenaga kerja tergolong cukup kuat dan memiliki arah positif, yaitu sebesar 0,73. Korelasi antara PDRB dan tenaga kerja di Sektor Sekunder tidak signifikan/kekuatannya rendah yaitu sebesar -0,01. Hal ini disebabkan karena ketidakkonsistenan dari kedua kelompok pengamatan. Pertumbuhan tenaga kerja sektor sekunder sendiri mengalami fluktuasi yang tidak beraturan walaupun pertumbuhan PDRB sektor sekunder selalu positif. Sektor tersier memiliki korelasi yang signifikan atau cukup kuat dan memiliki arah positif yaitu sebesar 0,78. Kata Kunci: tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja, struktur PDRB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam satu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha. Pada dasarnya PDRB didukung oleh 9 sektor lapangan usaha yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Sektor dan Subsektor PDRB Sektor
SubSektor
Primer
1. 2.
Pertambangan dan Penggalian
Sekunder
3.
Industri Pengolahan
4.
Listrik, Gas, dan Air Bersih
5.
Bangunan
6.
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
8.
Keuangan, Sewa Bangunan, dan Jasa Perusahaan
9.
Jasa-Jasa
Tersier
*
Pertanian
Staf BPS Kota Banda Aceh
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
87
PARAMETER PDRB dapat pula dipandang sebagai data statistik yang diperlukan untuk kegiatan perencanaan ekonomi makro dan menentukan strategi/kebijakan pembangunan perekonomian. Secara umum, kegiatan ekonomi dapat kita bedakan ke dalam tiga kelompok yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda secara mendasar. Kelompok pertama adalah sektor ekonomi yang memanfaatkan sumber daya alam secara langsung. Kegiatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah kegiatan di sektor pertanian, perikanan, perternakan, kehutanan, pertambangan, dan penggalian. Dengan demikian ciri-ciri kegiatan ini disebut sebagai resource base activities yang pada masa tertentu akan mengalami penurunan produksi secara alami, misalnya minyak, batu bara, dan mineral lainnya, termasuk pula hasil pertanian dalam arti luas. Kelompok yang kedua adalah kegiatan ekonomi yang mengubah bahan baku (input) menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Masuk dalam kelompok ini adalah berbagai kegiatan industri dalam arti luas baik dengan skala kecil, sedang atau besar. Ciri-ciri sektor ini adalah menghasilkan barang (goods) sebagai dampak dari kreativitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Biasa disebut dengan sektor ekonomi sekunder. Kelompok yang ketiga adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan jasa biasa disebut dengan kelompok tersier. Ciri-ciri sektor ini adalah menghasilkan produk (jasa). Sebagai contoh adalah kegiatan jasa perdagangan, hotel, restaurant, jasa pengangkutan dan komunikasi, jasa persewaan, keuangan, jasa perusahaan dan jasa-jasa lain. Struktur ekonomi yang kuat dalam pembangunan perekonomian dapat diwujudkan dengan adanya keseimbangan dan keserasian yang ideal antara berbagai sektor. Pendistribusian PDRB menurut sektor lapangan usaha tersebut menunjukan besarnya struktur perekonomian dan peranan masing-masing sektor menurut lapangan usaha dalam suatu wilayah. Pada tahun 2014, perekonomian Aceh mengalami perubahan struktur PDRB. Peran kelompok primer dalam dominasi PDRB mulai diambil alih oleh kelompok tersier. Pada triwulan II tahun 2014, Kelompok tersier mendominasi PDRB dengan migas maupun tanpa migas dengan kontribusi sebesar 43,16 persen, naik dari triwulan sebelumnya yang berada pada angka 42,69 persen. Kelompok primer memberikan kontribusi sebesar 36,67 persen, turun dari triwulan I yang berada pada angka 37,04 persen. Sementara itu, kelompok sekunder juga mengalami penurunan sebesar 0,10 poin dari triwulan sebelumnya menjadi 20,17 persen. Peningkatan peran kelompok tersier dalam menyumbang PBRD telah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Peningkatan peran kelompok tersier ini selalu diikuti dengan penurunan kontribusi kelompok primer. Sementara itu dari tahun ke tahun kelompok sekunder dalam perekonomian Aceh masih sulit untuk berkembang. Perubahan dominasi sektor tertentu dalam suatu kegiatan ekonomi mampu
88
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER memberi dampak positif pada perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat, jika jumlah tenaga kerja yang terserap dalam sektor yang dominan tersebut juga meningkat dengan proporsi yang sama. Pada Februari 2014, sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak di Provinsi Aceh. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada kelompok primer mencapai 956 ribu orang atau sekitar 47,15 persen, dengan kata lain satu dari dua orang di Provinsi Aceh bekerja di kelompok primer. Diikuti oleh kelompok tersier yang menyerap tenaga kerja cukup banyak yaitu sebesar 800 ribu orang atau sekitar 39,47 persen, artinya sekitar empat dari sepuluh orang di Provinsi Aceh bekerja di kelompok tersier. Kelompok yang paling sedikit menyerap tenaga kerja di Provinsi Aceh adalah kelompok sekunder pengolahan yang hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 271 ribu orang atau sekitar 13,37 persen. Berdasarkan fenomena diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perubahan struktur PDRB yang ditandai dengan peningkatan peran kelompok tersier dan penurunan peran kelompok primer, serta keterkaitannya dengan distribusi penyerapan tenaga kerja pada setiap kelompok. 1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah Identifikasi Masalah: 1. Bagaimana keadaan PDRB berdasarkan kegiatan utama di Provinsi Aceh? 2. Bagaimana keadaan tenaga kerja pada tiga sektor kegiatan ekonomi utama? 3. Apakah ada korelasi antara perubahan strukrtur PDRB berdasarkan lapangan usaha dengan penyerapan tenaga kerja pada masing-masing sektor di Provinsi Aceh? 4. Bagaimana kemampuan daya serap tenaga kerja di setiap sektor mampu mempengaruhi pertumbuhan PDRB di Provinsi Aceh? 5. Bagaimana keadaan perekonomian dan kesejahteraan rakyat di Provinsi Aceh ditinjau dari penyerapan tenaga kerja dan PDRB berdasarkan 3 kegiatan ekonomi utama? Batasan Masalah : Sektor Ekonomi digolongkan pada tiga kelompok besar berdasarkan kegiatan ekonomi utama yaitu : • Kelompok primer terdiri dari sektor pertanian, perikanan, perternakan, kehutanan, pertambangan, dan penggalian. • Kelompok sekunder terdiri dari sektor industri pengolahan; sektor listrik, air, dan gas; dan sektor bangunan. • Kelompok tersier / tersier terdiri dari sektor perdagangan, hotel, restaurant; tersier pengangkutan dan komunikasi; tersier persewaan, keuangan, tersier perusahaan; dan tersier-tersier lain. 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengkaji tentang perubahan perananan kelompok primer, sekunder, dan tersier dalam kontribusi PDRB di Provinsi Aceh
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
89
PARAMETER 2. Untuk meneliti tentang penyerapan tenaga kerja pada masing-masing kelompok primer, sekunder, dan tersier di Provinsi Aceh. 3. Untuk menganalisis hubungan antara kenaikan tenaga kerja pada sektor kegiatan utama (primer, sekunder, tersier) dan kenaikan PDRB 4. Untuk menganalisis kemampuan daya serap tenaga kerja di setiap sektor terhadap pertumbuhan PDRB di Provinsi Aceh. 5. Untuk meneliti tentang keadaan perekonomian dan kesejahteraan rakyat di Provinsi Aceh ditinjau dari penyerapan tenaga kerja dan PDRB berdasarkan 3 kegiatan ekonomi utama. II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Menurut Subandi, dalam bukunya Sistem Ekonomi Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum adalah: 1. faktor produksi 2. faktor investasi 3. faktor perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran 4. faktor kebijakan moneter dan inflasi 5. faktor keuangan negara. Sedangkan Tambunan, dalam bukunya Perekonomian Indonesia, menulis bahwa di dalam teori-teori konvensional, pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kualitas dari faktorfaktor produksi seperti SDM, kapital, teknologi, bahan baku, enterpreneurship dan energi. Akan tetapi, faktor penentu tersebut untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Adanya perubahan struktural ekonomi dapat tercermin dalam peranan sektorsektor dalam pembentukan produksi nasional maupun besarnya persentase tenaga kerja pada masing-masing sektor ekonomi tersebut. Dimana peranan ataupun sumbangan sektor primer (pertanian dan pertambangan) dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) ataupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akan semakin berkurang, sedangkan peranan sektor sekunder (industry manufaktur, konstruksi) serta sektor tersier (tersier-tersier) akan semakin meningkat, dengan semakin majunya perekonomian suatu wilayah. Disamping itu, semakin tinggi pendapatan perkapita suatu negara, akan semakin kecil peranan pertanian dalam menyediakan dan menyerap kesempatan kerja, dan sebaliknya sektor sekunder akan semakin penting dan meningkat peranannya dalam menampung tenaga kerja. (Kamaludin: 1999) Pertumbuhan ekonomi yang terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur perekonomian wilayah. Transformasi struktural berarti suatu proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor sekunder atau tersier, dimana masing-masing sektor akan mengalami proses transformasi yang berbeda-beda. Selanjutnya Chenery dalam Tambunan (2001)
90
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER juga menyatakan bahwa perubahan struktur ekonomi yang umum disebut dengan transformasi struktural diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi Agregat Demand, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), Agregat Supply (produksi dan penggunaan faktorfaktor produksi seperti tenaga kerja dan modal yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Transformasi ekonomi merupakan salah satu indikator terjadinya pembangunan perekonomian wilayah. Jika terjadi proses transformasi ekonomi maka dapat dinyatakan bahwa telah terjadi pembangunan ekonomi dan perlu pengembangan lebih lanjut, akan tetapi jika tidak terjadi proses transformasi maka pemerintah daerah perlu mengadakan perbaikan dalam penyusunan perencanaan wilayahnya, sehingga kebijakan pembangunan yang disusun menjadi lebih terarah agar tujuan pembangunan dapat tercapai. Sukirno (2006) menjelaskan bahwa, berdasarkan lapangan usaha maka sektorsektor ekonomi dalam perekonomian Indonesia dibedakan dalam tiga kelompok utama yaitu: 1. Sektor primer, yang terdiri dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian. 2. Sektor sekunder, terdiri dari industri pengolahan, listrik, gas dan air, bangunan. 3. Sektor tertier, terdiri dari perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, sewa dan tersier perusahaan, tersier-tersier lain (termasuk pemerintahan.) Pada umumnya, transformasi yang terjadi di negara berkembang adalah transformasi dari sektor primer ke sektor sekunder, atau terjadinya transformasi dari sektor primer kepada sektor non primer (sekunder dan tertier). Seperti yang terlihat pada Gambar 1, dimana berdasarkan hasil studi Chenery dan Syrquin bahwa perubahan kontribusi sektoral terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto Regional dalam jangka panjang akan menunjukkan pola sebagai berikut:
Gambar 1. Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan Ekonomi (Sumber: Tulus Tambunan: 2001) Terlihat pada Gambar tersebut bahwa kontribusi output dari sektor primer terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) semakin mengecil sedangkan
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
91
PARAMETER pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor sekunder dan tertier mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan pendapatan nasional perkapita. Dengan demikian, transformasi ekonomi menunjukkan terjadinya peralihan kegiatan ekonomi dari perekonomian tradisional menjadi perkonomian yang modern. 2.2. Konsep Definisi Ketenagakerjaan Penduduk Usia Kerja adalah penduduk berusia 15 tahun keatas. Angkatan Kerja adalah penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok bekerja dan kelompok pengangguran. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam berturut-turut/tidak putus selama seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi. Pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa/merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discourage worker), atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja/mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (future starts). Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Lapangan usaha/pekerjaan adalah bidang kegiatan dari pekerjaan/ usaha/ perusahaan/kantor tempat seseorang bekerja. Klasifikasi lapangan usaha menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang mengacu pada The International Standard of Industrial Classification (ISIC). 2.3. Konsep Definisi PDRB Wilayah Domestik dan Regional merupakan Propinsi atau Daerah Kabupaten/Kota. Transaksi Ekonomi yang akan dihitung adalah transaksi yang terjadi di wilayah domestik suatu daerah tanpa memperhatikan apakah transaksi dilakukan oleh masyarakat (residen) dari daerah tersebut atau masyarakat lain (non-residen). Produk Domestik ialah semua barang dan tersier sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk dareha tersebut, merupakan produk domestik daerah yang bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan domestik. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah berasal dari daerah lain atau dari luar negeri, demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimilki oleh penduduk daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu daerah tidak sama dengan pendapatan yang
92
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER diterima penduduk daerah tersebut. Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari da ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara produk domestik dan produk regional. Produk Regional merupakan produk domestik ditambah dengan pendapatan dari faktor produksi yang diterima dari luar daerah/negeri dikurangi dengan pendapatan dari faktor produksi yang dibayarkan ke luar daerah/negeri. Jadi produk regional merupakan produk yang ditimbulkan oleh faktor produksi yang dimiliki oleh residen. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai keseluruhan semua barang dan tersier yang diproduksi dalam suatu wilayah dalam suatu jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Laju Pertumbuhan PDRB menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan tersier di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Distribusi Persentase PDRB adalah sumbangan dari setiap satuan unit pengamatan (lapangan usahan dalam PB/PDRB sektoral atau penggunaan dalam PDB/PDRB pengeluaran) terhadap total agregat PDRB yang dinyatakan dalam persentase. 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis riset dalam penelitian ini ialah : i. Penyerapan tenaga kerja di sektor primer berpengaruh positif terhadap peranan sektor primer pada struktur ekonomi Provinsi Aceh. ii. Penyerapan tenaga kerja di sektor sekunder berpengaruh positif terhadap peranan sektor sekunder pada struktur ekonomi Provinsi Aceh. iii. Penyerapan tenaga kerja di sektor tersier berpengaruh positif terhadap peranan sektor tersier pada struktur ekonomi Provinsi Aceh. III. METODOLOGI 3.1. Metode Pengumpulan Data Makalah ini menggunakan data sekunder hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dan data PDRB serta data pendukung lain dari publikasi Aceh Dalam Angka. Periode waktu yang digunakan dalam makalah ini dimulai dari tahun 2006 sampai dengan 2013 sesuai dengan ketersediaan data. 3.2. Metode Analisis 3.2.1 . Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah salah satu metode penyajian/interpretasi data melalui penggambaran keadaan menggunakan tabel atau grafik. Proses analisis didasari oleh pola yang terbentuk dari grafik atas data yang ada kemudian mengaitkannya dengan fenomena yang terjadi pada suatu wilayah dalam periode tertentu. Analisis deskriptif dapat disebut analisis deduktif karena hanya merangkum sejumlah data agar mudah dibaca dan cepat memberikan informasi.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
93
PARAMETER 3.2.2. Analisis Korelasi Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Jika hubungan dua variabel tidak linier, maka koefesien korelasi Pearson tersebut tidak mencerminkan kekuatan hubungan dua variable yang sedang diteliti; meski kedua variable mempunyai hubungan kuat. Simbol untuk korelasi Pearson adalah “p” jika diukur dalam populasi dan “r” jika diukur dalam sampel. Korelasi Pearson mempunyai jarak antara -1 sampai dengan + 1. Jika koefesien korelasi adalah -1, maka kedua variable yang diteliti mempunyai hubungan linier sempurna negatif. Jika koefesien korelasi adalah +1, maka kedua variable yang diteliti mempunyai hubungan linier sempurna positif. Jika koefesien korelasi menunjukkan angka 0, maka tidak terdapat hubungan antara dua variable yang dikaji. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan salah satu variabel disertai dengan perubahan variabel lainnya, baik dalam arah yang sama ataupun arah yang sebaliknya. Harus diingat bahwa nilai koefisien korelasi yang kecil (tidak signifikan) bukan berarti kedua variabel tersebut tidak saling berhubungan. Mungkin saja dua variabel mempunyai keeratan hubungan yang kuat namun nilai koefisien korelasinya mendekati nol, misalnya pada kasus hubungan non linier. Dengan demikian, koefisien korelasi hanya mengukur kekuatan hubungan linier dan tidak pada hubungan non linier. Harus diingat pula bahwa adanya hubungan linier yang kuat di antara variabel tidak selalu berarti ada hubungan kausalitas, sebab-akibat. Dengan analisis koefisien korelasi, dapat diketahui tiga penafsiran korelasi, meliputi: pertama, melihat kekuatan hubungan dua variabel; kedua, melihat signifikansi hubungan; dan ketiga, melihat arah hubungan. Terdapat beberapa asumsi yang dibutuhkan untuk menguji korelasi antara beberapa variabel, antara lain, pemeriksaan linieritas dan homoskedastisitas, pemeriksaan non-autokorelasi, normalitas, dan non multikolinieritas. 3.2.3. Analisis Regresi Linier Analisis regresi adalah suatu teknik statistika yang dipergunakan untuk menganalisis pengaruh di antara suatu variabel dependen dan variabel independen (Gujarati, 2003; Hair et al, 1998). Analisis Regresi Linier merupakan salah satu metode analisis statistik yang digunakan untuk estimasi. Analisis Regresi Linier merupakan hubungan secara linear antara satu variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini digunakan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen. Apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Rumus regresi linear sederhana dirumuskan sebagai berikut: Y’ = a+bx Keterangan: Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
94
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER x = Variabel independen a = Intercept (nilai Y’ apabila X = 0) b = Slope (nilai peningkatan ataupun penurunan) Penilaian Kelayakan Model Salah satu upaya penilaian terhadap kelayakan model regresi yang dihasilkan adalah dengan menggunakan koefisien determinasi. Koefisien determinasi (coefficient of determination atau R2) digunakan untuk mengukur proporsi variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Nilai R2 terletak antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai R2 berarti regresi yang dihasilkan semakin baik. Secara matematis, rumus untuk menghitung R2 adalah: R2 = SSR/SST Keterangan: R2 = Koefisien determinasi SSR = Jumlah kuadrat regresi = SSE = Jumlah kuadrat error = Uji Asumsi Klasik Setelah mendapatkan model regresi, selanjutnya perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi klasik. Sebab, apabila asumsi-asumsi ini tidak terpenuhi, maka tidak akan dapat menghasilkan nilai parameter yang BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). a. Uji Kenormalan Uji kenormalan digunakan untuk menguji apakah nilai residual yang dihasilkan dari persamaan (15) terdistribusi secara normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah yang memiliki nilai residual yang terdistribusi secara normal. b. Uji homoskedastisitas Uji ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi homoskedastisitas. Homoskedastisitas dapat diartikan sebagai kesamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya gejala heteroskedastisitas. c. Uji autokorelasi Uji ini diperlukan untuk melihat apakah ada hubungan linear antara error serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series). Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Oleh karena itu, uji autokorelasi perlu dilakukan jika data yang dianalisis merupakan data time series (Gujarati, 1993). d. Pendeteksian multikolinearitas Penilaian ada atau tidaknya pelanggaran asumsi non-multikolinearitas dideteksi dengan membandingkan nilai VIF (Variance Inflation Factor) masing-masing
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
95
PARAMETER koefisien regresi dengan suatu angka indikator. Menurut Gujarati (2004) dan Neter, Wasserman, & Kutner (1989), angka indikator yang direkomendasikan adalah 10. Adapun menurut Rogerson (2001), angka indikator untuk maksimum nilai VIF yang direkomendasikan adalah 5 sehingga bila VIF J < 5 maka dapat dikatakan bahwa asumsi non- multikolinearitas terpenuhi. Asumsi ini mensyaratkan tidak adanya hubungan linear yang erat antara variabel bebas. Berhubung pada penelitian ini, variabel bebasnya hanya satu, maka asumsi multikolinearitas pada penelitian ini, terpenuhi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Peranan Sektor Primer dalam Perekonomian Provinsi Aceh Sektor Primer terdiri dari pertanian, pertambangan dan penggalian. Selama 20062013 telah terjadi pergeseran yang cukup berarti dalam struktur ekonomi Provinsi Aceh. Sumbangan sektor primer semakin mengecil, dari 49,82 persen pada tahun 2006 menjadi 36,78 persen pada tahun 2013. Angka ini konsisten dengan tingkat laju pertumbuhan PDRB yang selalu bernilai negatif sejak tahun 2007. Angka ini juga sejalan dengan penurunan persentase jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor primer, dari 53,70 persen pada tahun 2006 menjadi 47,28 persen pada tahun 2013. Gambar 2. Persentase PDRB Provinsi Aceh per sektor, 2006-2013
Pada tahun 2006, pertumbuhan PDRB terlihat berbeda signifikan di semua sektor. Hal ini disebabkan adanya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami yang menggerakkan semua sektor perekonomian. Semua sektor mengalami pertumbuhan yang fluktuatif, namun 3 tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, kecuali sektor tersier. Tingkat pertumbuhan sektor tersier relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sektor primer yang hanya mencapai -2,99 persen pada tahun 2013. Sektor primer mengalami tren penurunan, dimana tahun 2006 produksi sektor primer mengalami peningkatan, akan tetapi tahun-tahun setelahnya selalu mengalami penurunan.
96
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Gambar 3. Pertumbuhan PDRB Provinsi Aceh per Sektor, 2006-2013
Distribusi Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja di kelompok primer naik-turun dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja di sektor primer juga cenderung bernilai negatif. Penurunan jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja di sektor pertanian diakibatkan oleh berkurangnya peran kelompok primer dalam perekonomian Aceh. Selain itu, perkembangan sektor tersier yang semakin bervariatif menarik minat tenaga kerja untuk bekerja di sektor tersier. Walaupun sektor primer mengalami pertumbuhan yang naik turun, sektor ini masih unggul dalam menyerap tenaga kerja, hampir 50 persen dari total tenaga kerja terserap ke sektor ini sepanjang tahun. Tidak dapat diabaikan bahwa sektor pertanian masih menjadi lapangan usaha penting penekan angka pengangguran di provinsi Aceh, walaupun kontribusinya dalam perekonomian Aceh cenderung statis bahkan menurun. Gambar 4. Persentase Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja di Provinsi Aceh per Kelompok Sektor, 2006-2013
Pertumbuhan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja di Aceh bervariasi untuk tiap sektornya. Sektor Primer memiliki tren pertumbuhan menurun dari tahun ke tahun. Sektor sekunder cenderung mengalami penurunan tiap tahunnya. Sektor tersier memiliki kecenderungan pertumbuhan naik tiap tahunnya.
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
97
PARAMETER Gambar 5. Pertumbuhan Tenaga Kerja Aceh per Kelompok Sektor, 2006-2013
Titik pertumbuhan terendah terjadi di tahun 2007 oleh sektor sekunder -13,32 persen. Sedangkan pertumbuhan tertinggi terjadi di tahun yang sama oleh sektor tersier yaitu sebesar 16,76 persen. Aceh memiliki tenaga kerja yang didominasi oleh pekerja sektor primer, sedangkan share PDRB terbesar diperoleh dari sektor tersier. Maka akan diselidiki apakah ada korelasi penyerapan tenaga kerja ini dengan pergeseran peranan masing-masing sektor pada PDRB Aceh. Dengan alat bantu aplikasi Herodes 1.4 dihasilkan output sebagai berikut: ANALISIS REGRESI LINIER Gambar 6. Pemeriksaan Linieritas dan Homoskedastisitas pada Kelompok Sektor Primer.
98
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Jika plot menunjukkan pola acak, maka asumsi linieritas dan homoskedastisitas terpenuhi. (terpenuhi) Gambar 7. Pemeriksaan Non-autokorelasi pada Kelompok Sektor Primer
Jika plot menunjukkan pola acak, maka asumsi nonautokorelasi terpenuhi.(terpenuhi) Gambar 8. Pengecekan Kenormalan pada Kelompok Sektor Primer.
Jika plot menunjukkan pola garis lurus, maka asumsi kenormalan sisaan terpenuhi.(terpenuhi)
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
99
PARAMETER Tabel 2. Pemeriksaan Multikolinieritas pada Kelompok Sektor Primer Pemeriksaan Multikolinieritas Variabel
Toleransi
VIF
tenaker primer
1,00
1,00
Model regresi linier tidak mengalami multikolinieritas karena hanya ada satu variabel bebas.
Tabel 3. Pemeriksaan Koefisien Korelasi Antarvariabel pada Kelompok Sektor Primer Koefisien Korelasi Antarvariabel Variabel
pdrb primer
tenaker primer
pdrb primer
1,00
0,73
tenaker primer 0,73
1,00
Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antarvariabel.
Tabel 4. Kesesuaian Model pada Kelompok Sektor Primer Kesesuaian Model R
R Kuadrat
R Kuadrat yang Disesuaikan
0,73
0,53
0,52
Nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0,52. Dapat disimpulkan bahwa 52,47 % keragaman pdrb primer dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya.
Tabel 5. Analisis Ragam pada Kelompok Sektor Primer Analisis Ragam Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat Tengah
F Hitung F Tabel
Signifikansi
Regresi
28521,81
1
28521,81
202,98 3,89
0,00
Galat
25573,72
182
140,51
Total
54095,53
183
Pada taraf uji sebesar 5 %, minimal ada satu variabel bebas yang mempengaruhi pdrb primer.
100
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Tabel 6. Penduga Koefisien Regresi pada Kelompok Sektor Primer Penduga Koefisien Regresi Variabel
Koefisien
Galat Baku
t Hitung t Tabel Signifikansi
Konstanta
8,42
2,40
3,51
1,97
0,00
tenaker primer 0,66
0,05
14,25
1,97
0,00
Pada taraf nyata sebesar 5 %, variabel bebas yang signifikan mempengaruhi pdrb primer adalah tenaker primer Y’ = a+Box Tabel 7. Hasil Regresi dan Korelasi per Kelompok Sektor. Kelompok
a
b
r
Primer
8,42
0,66
0,73
Sekunder
15,46
-0,01
-0,01
Tersier
15,88
0,74
0,78
Keterangan: Y’ = Persentase PDRB Provinsi Aceh masing-masing sektor x = Persentase Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja di Provinsi Aceh masing-masing sektor a = Intercept (nilai Y’ apabila X = 0) b = Slope (nilai peningkatan ataupun penurunan) r = Koefisien korelasi Koefisien korelasi adalah angka yang menyatakan arah dan keeratan hubungan antara dua kelompok data. Korelasi yang diteliti adalah persentase masing-masing sektor dalam struktur PDRB yang mewakili peranan masing-masing sektor dalam perekonomian, menjadi variable terikat sedangkan persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menjadi variable bebas.. Secara umum hanya sektor sekunder yang memiliki koefisien korelasi sangat lemah karena nilainya mendekati nol, sedangkan sektor primer dan tersier memiliki korelasi yang cukup kuat dengan peranan masing-masing. Sektor primer memiliki korelasi positif yang signifikan sebesar 0,73. Pertumbuhan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja yang tetap minus dengan pertumbuhan PDRB yang minus pula menghasilkan korelasi yang positif antar dua kelompok pengamatan ini. Sehingga pada sektor primer korelasi antara peranannya pada struktur PDRB dengan penyerapan tenaga kerja tergolong kuat. Hasil pengolahan data tampak bahwa nilai intercept (a) dan nilai slope (b) pada
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
101
PARAMETER sektor primer menunjukkan nilai intercept (a) dan nilai slope (b) positif. Hal ini berarti setiap peningkatan 1 persen tenaga kerja mengakibatkan peningkatan peranan sektor primer pada struktur PDRB sebesar 0,66 persen. Ditinjau dari segi ekonomi, terdapat dua jenis pertanian di dunia. Yang pertama, pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat efisiensi tinggi dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang juga tinggi. Sehingga dengan jumlah petani yang sedikit dapat menyediakan output yang besar. Pola kedua, pola pertanian yang tidak atau kurang efisien. Tingkat produktivitasnya begitu rendah. Provinsi Aceh tergolong dalam pola kedua. Sistem pertanian tradisional dengan aneka peralatan tradisonal serta keterbatasan metode produksi dan pemeliharaan, seperti buruknya fasilitas untuk panen, perawatan bibit unggul, pemeliharaan unggas dari penyakit, serta bahan pakan dan pupuk yang mahal bagi petani dan peternak merupakan penyebab utama rendahnya produktivitas di sektor primer. Faktor penting lainnya adalah kelangkaan tenaga kerja, apalagi pada musim sibuk panen dan tanam. Sedangkan pada waktu-waktu lain tenaga kerja justru sulit mendapatkan pekerjaan. 4.2. Peranan Sektor Sekunder dalam Perekonomian Provinsi Aceh Gambar 9. Pertumbuhan Tenaga Kerja Aceh dan PDRB Sektor Sekunder, 2007-2013
Sektor Sekunder terdiri dari lapangan usaha industri pengolahan, listrik,gas dan air bersih, serta bangunan. Peranan sektor sekunder dalam menciptakan pendapatan nasional tidak mengalami perubahan yang berarti dan perubahan itu tidak konsisten sifatnya. Tenaga kerja di sektor sekunder memiliki share paling kecil dalam total jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja. Dengan menyerap 10,16 persen tenaga kerja dan menyumbang PDRB sebesar 20,29 persen pada tahun 2013, sektor sekunder merupakan sektor yang paling tidak produktif baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun dalam peranannya pada perekonomian Aceh. Dengan alat bantu aplikasi Herodes 1.4 dihasilkan output sebagai berikut:
102
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER ANALISIS REGRESI LINIER Gambar 10. Pemeriksaan Linieritas dan Homoskedastisitas pada Kelompok Sektor Sekunder
Jika plot menunjukkan pola acak, maka asumsi linieritas dan homoskedastisitas terpenuhi. (terpenuhi) Gambar 11. Pemeriksaan Non-autokorelasi pada Kelompok Sektor Sekunder
Jika plot menunjukkan pola acak, maka asumsi nonautokorelasi terpenuhi (terpenuhi).
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
103
PARAMETER Pada taraf uji sebesar 5 %, tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi pdrb sekunder.
Tabel 10. Penduga Koefisien Regresi pada Kelompok Sekunder Penduga Koefisien Regresi Variabel
Koefisien
Galat Baku
t Hitung t Tabel Signifikansi
Konstanta
15,46
0,68
22,71
1,97
0,00
tenaker sekunder
-0,01
0,05
-0,12
-1,97
0,91
Pada taraf nyata sebesar 5 %, tidak ada variabel bebas yang signifikan mempengaruhi pdrb
sekunder.
Korelasi antara pertumbuhan PDRB dan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja di Sektor Sekunder sangat lemah dan berhubungan negatif yaitu sebesar -0,01. Ini berarti bahwa hampir tidak ada hubungan antara peningkatan PDRB dan juga penyerapan tingkat tenaga kerja pada sektor sekunder. Hal ini disebabkan karena ketidakkonsistenan dari kedua kelompok pengamatan. Pertumbuhan tenaga kerja sektor sekunder sendiri mengalami fluktuasi yang tidak beraturan walaupun pertumbuhan PDRB sektor sekunder selalu positif, sehingga mengakibatkan tidak akuratnya slope dan intercept dalam analisis regresi, maka dari itu slope dan intercept dari sektor sekunder dapat diabaikan. 4.3. Peranan Sektor Tersier dalam Perekonomian Provinsi Aceh Sektor tersier terdiri dari lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, sewa bangunan dan tersier perusahaan serta tersier-tersier.
Gambar 13. Persentase PDRB Provinsi Aceh per Sektor, 2006-2013
104
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER Gambar 12. Pemeriksaan Kenormalan pada Kelompok Sektor Sekunder
Jika plot menunjukkan pola garis lurus, maka asumsi kenormalan sisaan terpenuhi. (terpenuhi)
Tabel 8. Koefisien Korelasi Antarvariabel pada Kelompok Sektor Sekunder Koefisien Korelasi Antarvariabel Variabel
pdrb sekunder
tenaker sekunder
pdrb sekunder
1,00
-0,01
tenaker sekunder
-0,01
1,00
Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antarvariabel.
Tabel 9. Analisis Ragam pada Kelompok Sektor Sekunder Analisis Ragam Sumber Keragaman Jml Kuadrat
Derajat Bebas Kuadrat Tengah
F Hit
FTab
Sig.
0,01
3,89
0,91
Regresi
0,34
1
0,34
Galat
4552,51
182
25,01
Total
4552,86
183
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
105
PARAMETER Penurunan kontribusi PDRB sektor pertanian diikuti dengan pertumbuhan kontribusi sektor tersier. Hampir di setiap tahun, kontribusi sektor tersier selalu meningkat, bahkan dari 2010 hingga 2013, sektor tersier selalu menjadi penyumbang terbesar total PDRB Provinsi aceh. Pada akhir tahun 2014, sektor tersier memberi bagian 42,93 persen PDRB Aceh. Sementara itu dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor tersier menempati posisi kedua dibawah dominasi sektor pertanian. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit peningkatan tenaga kerja berlangsung secara kontinu dari tahun ke tahun. Terjadi kesenjangan produktivitas tenaga kerja antara sektor pertanian dengan sektor tersier. Dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit daripada sektor pertanian, sektor tersier mampu memberikan sumbangan PDRB lebih besar dari pada sektor pertanian. Yang berarti bahwa setiap tenaga kerja sektor tersier mendapatkan bagian PDRB lebih besar daripada mereka yang bekerja di sektor primer. Gambar 14. Persentase Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Bekerja di Provinsi Aceh per Kelompok Sektor, 2006-2013
Sektor tersier memiliki korelasi yang signifikan, dimana korelasi antara pertumbuhan PDRB dan Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja pada sektor tersier sendiri tergolong kuat, dengan koefisien korelasi sebesar 0,78. Kekonsistenan dari pertumbuhan kedua kelompok menyebabkan koefisien korelasi menjadi tinggi. Tingginya koefisien korelasi berdampak pada akurasi penduga analisis regresi. Dengan alat bantu aplikasi Herodes 1.4 dihasilkan output sebagai berikut:
106
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER
Gambar 15. Pemeriksaan Linieritas dan Homoskedastisitas pada Kelompok Sektor Tersier Jika plot menunjukkan pola acak, maka asumsi linieritas dan homoskedastisitas terpenuhi (terpenuhi). Gambar 16. Pemeriksaan Non-autokorelasi pada Kelompok Sektor Tersier
Jika plot menunjukkan pola acak, maka asumsi nonautokorelasi terpenuhi (terpenuhi).
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
107
PARAMETER
Gambar 17. Pemeriksaan Kenormalan pada Kelompok Sektor Tersier Jika plot menunjukkan pola garis lurus, maka asumsi kenormalan sisaan terpenuhi (terpenuhi).
Tabel 11. Koefisien Korelasi Antarvariabel pada Kelompok Sektor Tersier Koefisien Korelasi Antarvariabel Variabel
pdrb tersier
tenaker tersier
pdrb tersier
1,00
0,78
tenaker tersier
0,78
1,00
Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier antarvariabel.
Tabel 12. Kesesuaian Model pada Kelompok Tersier Kesesuaian Model R
R Kuadrat
R Kuadrat yang Disesuaikan
0,78
0,61
0,61
Nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0,61. Dapat disimpulkan bahwa 60,54 % keragaman pdrb tersier dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya.
108
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER
Tabel 13. Analisis Ragam pada Kelompok Sektor Tersier Analisis Ragam Sumber Keragaman Jml Kuadrat
D. Bebas Kuadrat Tengah
F Hitung F Tabel Signifikansi
Regresi
26482,16
1
26482,16
281,78 3,89
Galat
17104,56
182
93,98
Total
43586,72
183
0,00
Pada taraf uji sebesar 5 %, minimal ada satu variabel bebas yang mempengaruhi pdrb tersier. Tabel 14. Penduga Koefisien Regresi pada Kelompok Sektor Tersier Penduga Koefisien Regresi Variabel
Koefisien
Galat Baku
Konstanta
15,88
1,84
tenaker tersier 0,74
0,04
t Hitung t Tabel Signifikansi
8,63 1,97
0,00
16,79 1,97
0,00
Pada taraf nyata sebesar 5 %, variabel bebas yang signifikan mempengaruhi pdrb tersier adalah tenaker tersier Korelasi pada sektor tersier memiliki arah positif dan signifikan kuat yaitu 0,78 yang berarti peningkatan tenaga kerja pada sektor tersier, secara nyata mempengaruhi pertumbuhan PDRB suatu wilayah. Berdasarkan uji analisis regresi linier juga tampak bahwa nilai slope (kemiringan) kurva adalah 0,74. Hal ini berarti dibanding dengan variabel-variabel yang lain, sektor tersier memiliki hubungan paling kuat dengan rata-rata penyerapan tenaga kerja. Untuk setiap kenaikan 1 persen tenaga kerja sektor tersier dapat menyebabkan peningkatan peranan sektor tersier sebesar 0,74 persen dalam struktur PDRB Provinsi Aceh. Namun tidak dapat dikatakan pula bahwa sektor tersier di Aceh tergolong sangat produktif, walaupun sektor ini lebih unggul pada sisi produktifitas daripada sektor pertanian. Beberapa penduduk Provinsi Aceh yang bekerja di sektor tersier tergolong sebagai pekerja informal karena terdapat berbagai kemudahan yang tersedia bagi pekerja informal diantaranya, perizinan yang mudah, tidak membutuhkan modal yang besar, elastisitas waktu kerja, dan tidak dibutuhkannya skill dan ketrampilan tenaga kerja terdidik untuk bekerja informal. Hasil yang diperoleh dari sektor informal tidak tetap dan cenderung sedikit. Walaupun terbuka peluang bagi para pekerja informal untuk mengembangkan usahanya menjadi besar, namun sebagian mereka memilih statis dengan adanya kendala modal, kekurangan informasi dan pendidikan
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
109
PARAMETER yang memadai. Sementara itu perekonomian Provinsi Aceh masih mengikuti pola struktur industri negara berkembang dimana sektor industri pengolahan sangat lambat pertumbuhannya. Pada beberapa negara maju, ketika produktivitas dan pendidikan meningkat, maka struktur bergeser ke sektor tersier. Ketika kita dihadapkan pada hal ini. Peran masing masing sektor dapat diturunkan atau dinaikkan tergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Pemilihan yang sesuai dengan keadaan dan potensi daerah dapat mengantarkan suatu daerah menuju perekonomian yang lebih maju dan menyejahterakan rakyat. IV. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, kondisi perekonomian Aceh telah mengalami banyak perubahan. Utamanya pada pergeseran struktur PDRB yang makin didominasi oleh sektor tersier, diakibatkan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut. 2. Sektor Primer yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan dan penggalian memperkerjakan tenaga kerja dengan jumlah yang paling banyak. Sementara itu sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas dan pengadaan air bersih, serta bangunan) memperkerjakan tenaga kerja paling sedikit. 3. Terdapat korelasi yang kuat antara pertumbuhan PDRB pada sektor primer dan tersier dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor ini. Artinya, terdapat hubungan yang signifikan diantara kedua variabel ini. Hubungan ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,73 dan 0,78. 4. Apabila jumlah tenaga kerja di sektor primer meningkat sebanyak 1 persen maka akan meningkatkan peranan sektor primer pada struktur PDRB Provinsi Aceh sebesar 0,66 persen. Begitupula pada sektor tersier, jika jumlah tenaga kerja meningkat sebanyak 1 persen maka akan meningkatkan peranan sektor sekunder pada struktur PDRB Provinsi Aceh sebesar 0,74 persen. 5. Sektor primer Provinsi Aceh masih mengikuti pola pertanian tidak efisien dengan tingkat produktivitas rendah, sementara itu sektor tersier masih sulit berkembang dengan maraknya pekerja informal. Sektor sekunder sangat lambat pertumbuhannya. 5.2. Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang diperoleh, beberapa saran yang dapat diberikan sebagai pertimbangan kebijakan serta pembahasan lanjutan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Aceh perlu menjaga keamanan di Aceh agar tercipta kondusif yang aman dan kondusif dan dapat menarik investor. 2. Pemerintah Aceh perlu memacu peningkatan produksi di sektor pertanian karena sektor pertanian menjadi sumber penghasilan utama sebagian besar
110
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL
PARAMETER masyarakat Aceh, seperti pengadaan irigasi, pupuk dan bibit unggul. 3. Pemerintah Aceh dapat mencoba program-program pengurangan jumlah pengangguran yang berkaitan langsung dengan sektor primer dan tersier, dan atau membentuk program terintegrasi antara ketiga sektor, sehingga pengangguran di Provinsi Aceh dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Contohnya bantuan modal usaha kewirausahaan, pengembangan agro industri seperti kilang padi modern di Aceh Utara. 4. Pemerintah Aceh sebaiknya juga menaruh perhatian pada sektor pariwisata. Dengan adanya AFTA, pintu Aceh berarti terbuka bagi masyarakat global sehingga Aceh berkesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya di sektor pariwisata. Sektor pariwisata memiliki peranan yang cukup penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya sebagai sumber penerimaan devisa namun juga pemerataan kesempatan kerja dan berusaha sehingga dapat mendorong peningkatan kegiatan sektor ekonomi lainnya termasuk perhotelan dan akomodasi. Maka sebaiknya objek-objek wisata di Aceh harus dikelola secara profesional dan mutu pelayanan ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Aceh.2014. Aceh Dalam Angka 2014. Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh. BPS Provinsi Aceh. BRS Tenaga Kerja No.27/05/Th.XVIII, 5 Mei 2015. Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh. BPS Provinsi Aceh. BRS PDRB Q1 2015 No.25/05/Th.XVIII, 5 Mei 2015. Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh. BPS Provinsi Aceh. PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi Aceh 2010-2014. Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh. BPS Provinsi Aceh. PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi Aceh Triwulan I 2015. Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh. Damodar Gujarati dan Dawn C. Porter. 2012. Dasar-Dasar Ekonometrika, Buku 2, cetakan kelima. Jakarta: Salemba Empat Mankiw, N Gregory. (2006). Makroekonomi (edke-6). Jakarta: Erlangga. Michael P. Todaro. 1983, Ekonomi Pembangunan di Dunia ketiga,terjemahan Mursid. Jakarta: Balai Aksara. Sadono Sukirno. 2006. Ekonomi Pembangunan Proses masalah Kebijakan,cetakan ketiga.Jakarta: Kencana.
dan Dasar
Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Jakarta : Ghalia Indonesia http://www.dw.de/ten-years-after-the-tsunami-how-has-aceh-changed/
Volume 1 • Nomor 1 • Oktober 2015
111
PARAMETER a-18149958 (Diakses 6 Januari 2015) http://aceh.bps.go.id/index.php/publikasi/index?Publikasi[tahunJudul]=&Publikasi [kataKunci]=pdrb&yt0=Tampilkan (Diakses 6 Desember 2014) http://aceh.bps.go.id/?r=brs/view&id=439 (Diakses 30 Agustus 2014) http://estuungguldrajat.blogspot.com/2013/04/transformasi-struktural.html (Diakses 3 Januari 2015) https://id.wikipedia.org/wiki/Sektor_primer (Diakses 14 Juli 2014) http://www.bisnisaceh.com/headline/struktur-ekonomi-aceh-telah-bergeser/ index.php (Diakses 14 Juli 2014). http://cvalfabeta.com/0034-detail-sistem_ekonomi_indonesia.html September 2014)
(Diakses
5
http://eryputri.blogspot.com/2013/03/pdb-pertumbuhan-dan-perubahan-struktur. html (Diakses 15 September 2014) https://www.academia.edu/6228602/Evaluasi_kinerja_ekonomi_aceh (Diakses 14 Oktober 2014) http://www.unido.org //fileadmin/user_media/Publications/Research_ and_statistics/Branch_publications/Research_and_Policy/Files/ Working_Papers/2010/WP%2004%20Emerging%20Patterns%20of%20 Manufacturing%20Structural%20Change.pdf (Diakses 15 Oktober 2014).
112
MEDIA PEMERHATI DAN PEMINAT STATISTIKA, EKONOMI, DAN SOSIAL