PANDUAN ETIKA DAN PERILAKU PROFESI DOKTER SPESIALIS ANAK INDONESIA (PEP-‐DSAI) (RANCANGAN)
Tim Penyusun Agus Firmansyah Hadjat S Digdowirogo Soepardi Soedibyo Zakiudin Munasir Iramaswati Kamarul
KONTRIBUTOR Staf Ahli Agus Purwandianto Herkutanto
Sesepuh IDAI Bambang Permono Husein Alatas Iskandar Wahidiyat Koesno Martoatmodjo Rusdi Ismail Soetjiningsih Anggota BP2A Cabang Adrian Umboh Ag. Soemantri Hardjojuwono Ahmad Dimyati Syakur Aumas Pabuti Bidasari Lubis Charles Hutasoit Edi Hartoyo Erling David Kaunang Herry D. Nawing I Nyoman Sugitha I. Boediman Indra Yanti. M. Sjoekri Ridwan Made Tirtha Yasa Meita Dhamayanti Metrizal Munar Lubis Nurul Hidayah Pandji Prijadi Budojo Raihan Ridwanto Riswandi Riza Iriani Nasution Rudi Ruskawan Sunartini Hapsara Syamsul Arief Syarif Darwin Ansor Wisman Herminto
Anggota IDAI Cabang Ade Febrina Catharina Rini Pratiwi Chairul Yoel
Dyah Silviaty Endah Citra Resmi Etty Widyastuti Faisal Haris Marta Saputra Ina Rosalina Irwanto Julius Anzhar Leberina Tresia Maria Lilia Dewayanti Murdoyo Rahmanoe Novie Hamenta Rampengan. Riva Auda Sang Ayu Kompiang Indriyani Sudigdo Sastroasmoro Wulandewi Marhaen Yazid Dimyati
Sambutan Ketua Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota, Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP2A IDAI)
Sejawat yang terhormat, Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, Nilai-‐nilai etika bukanlah milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat. Dengan nilai-‐nilai etika tersebut, suatu kelompok masyarakat diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh karena itu, Panduan Etika dan Perilaku Profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-‐hari. Dengan kata lain, panduan etika dan perilaku profesi ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Berhubung kelompok masyarakat bersifat dinamis maka nilai–nilai etika juga berkembang sesuai kemajuan IPTEK dan zaman. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-‐perilaku sebagian anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-‐nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam panduan etika dan perilaku profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Masyarakat dokter spesialis anak merupakan masyarakat yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi, yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu, hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat dokter spesialis anak sendiri. Kehadiran IDAI dengan perangkat built-‐in mechanism berupa Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Setelah melakukan diskusi yang panjang, mendalam dan memakan waktu, akhirnya kami dapat merangkum prinsip-‐prinsip dan nilai-‐nilai luhur yang dianut oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebagai perhimpunan profesi kita. Panduan etika dan perilaku profesi ini merupakan suplemen dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan peraturan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi kita. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi sejawat sekalian, sebagai acuan, dalam menjalankan pekerjaan dan pergaulan sehari-‐hari. Asupan berupa komentar dan kritik atau apapun sangat kami hargai dan harapkan untuk penyempurnaan buku ini di masa mendatang. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, Ketua BP2A IDAI Prof. DR. Dr. Agus Firmansyah, SpA(K)
Sambutan Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Salam hormat dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pertama tama, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada BP2A IDAI yang telah merangkum prinsip -‐ prinsip dan nilai nilai luhur dari IDAI menjadi satu Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia. Kami memahami untuk mewujudkan hal ini bukan satu pekerjaan yang mudah; diperlukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait dan kajian mendalam, agar hasil yang diperoleh dapat menjadi pedoman setiap anggota IDAI. Etik dan profesionalisme menjadi hal yang makin diperhatikan, tidak saja oleh masyarakat tetapi juga oleh organisasi profesi. Kode etik kedokteran di berbagai negara terus dikembangkan, direvisi dan disempurnakan. Keselamatan dan kesehatan pasien menjadi pokok utama. Para profesional juga memerlukan kode etik yang lebih rinci sesuai bidangnya, sehingga mereka memiliki panduan yang lebih jelas. Sebuah kematangan dan kebanggaan dari sebuah organisasi profesi, ketika melihat anggotanya bekerja selalu memperhatikan kode etik. Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia sangat diperlukan oleh IDAI sebagai organisasi profesi dokter spesialis anak satu-‐satunya di Indonesia, agar anggotanya dapat bekerja di bidangnya secara profesional dan terintegrasi. Dengan mempertimbangkan bahwa anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa secara umum, maka keberadaan Panduan Etika dan Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia menjadi sangat penting. Panduan ini diharapkan dapat melengkapi hal yang telah tercantum secara umum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) maupun peratuan perundangan terkait kesehatan anak yang ada, agar para dokter spesialis anak Indonesia lebih mudah dalam mengimplementasi nilai-‐nilai etika dan profesionalisme yang diharapkan pada dirinya. Kami berharap semua anggota IDAI membaca panduan ini dan menerapkannya saat menjalankan keprofesiannya sehari-‐hari, sehingga kita dapat selalu memberikan pelayanan kesehatan anak yang lebih baik dari waktu sebelumnya. Selamat bertugas, semoga Tuhan Yang Mahe Esa selalu memberkahi segala upaya kita dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak Indonesia. Dr. Badriul Hegar, Ph.D, SpA(K) Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sambutan Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Pusat Ikatan Dokter Indonesia Salam sejawat, Saya ucapkan terimakasih kepada IDAI yang telah menjabarkan KODEKI menjadi lebih spesifik di bidang kesehatan anak. Sebagaimana diketahui keputusan etik selalu mendasari setiap perilaku dokter di dalam melakukan pelayanan kesehatan dan Kedokteran. Dasar keputusan etik kedokteran bersumber pada Autonomy, Beneficence , Non Maleficence dan Justice. Saya percaya bahwa dalam Pendidikan Dokter Spesialis Anak pasti ada modul tentang etika kedokteran dan saya percaya para Gurubesar dan Senior di Ikatan Dokter Anak Indonesia selalu berupaya menjadi role model yang baik dalam menjalankan praktek spesialisasi sebagai dokter spesialis anak, tetapi karena zaman selalu berubah maka sebagai ketua MKEK saya membuat kebijakan pada setiap kegiatan CPD/CME harus ada materi etika jika ingin mendapatkan nilai satuan kredit dari IDI. Hal tersebut dimaksudkan supaya Etika Kedokteran dihayati dalam setiap langkah kita sebagai dokter. Sekali lagi selamat mengabdi pada kemanusiaan dengan selalu mengedepankan nilai nilai Etika Kedokteran. Wassalam, Dr. Prijo Sidipratomo, Sp. Rad Ketua MKEK Pusat IDI.
Daftar Isi Sambutan Ketua Badan Pembinaan dan Pembelaan Anggota IDAI.........................................................iii Sambutan Ketua Pengurus Pusat IDAI.......................................................................................................v Sambutan Ketua MKEK IDI.......................................................................................................................vii MUKADIMAH................................................................................................................................................1 BAB I
UMUM................................................................................................................................3
BAB II
PANDANGAN TERHADAP ANAK..........................................................................................5
BAB III
TUMBUH KEMBANG...........................................................................................................7
BAB IV
PRINSIP TATA LAKSANA KASUS...........................................................................................9
BAB V
PANDANGAN TERHADAP PENGOBATAN KOMPLEMENTER DAN ALTERNATIF ................14
BAB VI
HUBUNGAN DOKTER – PASIEN.........................................................................................15
BAB VII
HUBUNGAN ANTAR SEJAWAT..........................................................................................18
BAB VIII
HUBUNGAN DOKTER DENGAN MASYARAKAT.................................................................19
BAB IX
KEWAJIBAN TERHADAP DIRI DAN PENGEMBANGAN PROFESI.............................................................................................................................23
BAB X
SANKSI DAN REHABILITASI....................................................... ........................................25
PENUTUP....................................................................................................................................................26 DAFTAR KEPUSTAKAAN..............................................................................................................................27
MUKADIMAH Kehidupan manusia (sikap dan perilaku) secara individual maupun kolektif di dalam suatu organisasi (poleksosbud), tidak bisa lepas dari batasan norma-‐norma kehidupan yang baik: Agama (demi keyakinan terhadap Tuhan YME), Hukum (aturan tentang hak dan kewajiban), serta Etika (sadar kewajiban antar sesama manusia). Dokter adalah suatu profesi, maka layaknya seorang profesional seorang dokter harus mematuhi norma-‐norma etika, disiplin keilmuan dan hukum. Untuk norma etika diperlukan suatu kode etik yang mengaturnya. Panduan etika dan perilaku profesi merupakan pedoman dasar yang didesain untuk membantu profesional bekerja di bidangnya secara jujur dan berintegritas. Panduan etika dan perilaku profesi sebuah organisasi dibuat untuk membantu anggotanya memahami pengertian tentang yang “baik” dan “buruk” sesuai kepatutan dan menerapkan pengertian itu dalam menjalankan keprofesiannya. Panduan ini adalah panduan moral bagi dokter spesialis anak agar martabat profesi yang mulia tetap terjaga. Sebagai panduan moral rumusan-‐rumusan dalam pasal-‐pasal panduan etika dan perilaku profesi dokter spesialis anak Indonesia ini tidak dapat digunakan untuk menentukan pelanggaran seorang dokter dalam bidang hukum.. Untuk menentukan pelanggaran seorang dokter dalam bidang hukum, digunakan norma-‐norma hukum dan bukan norma-‐norma etika profesi. Untuk menjaga kehormatan ilmu kedokteran digunakan disiplin keilmuan. Dokter spesialis anak adalah dokter yang terdidik hingga lulus dan dipercaya memberikan pelayanan kesehatan anak secara komprehensif. Selain terikat pada peraturan perundangan yang berlaku di negeri ini, dokter spesialis anak juga harus mematuhi Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia (PEP-‐DSAI). Sebagai dasar, anak bukan miniatur orang dewasa karena anak adalah manusia dengan keunikan dan kekhususannya, yang memerlukan perhatian pada norma-‐norma dan nilai-‐nilai khusus dalam pelayanan kesehatan anak. Anak, pada umumnya, adalah mereka yang berusia di bawah delapan belas tahun. Anak melewati masa neonatus, bayi, anak dan remaja, sebelum menjadi manusia dewasa. Semua tahapan perkembangan itu mempunyai keunikan dan kekhususan tersendiri. PEP-‐DSAI ini mengandung kerangka garis besar norma-‐norma etika dan perilaku profesi bagi dokter spesialis anak Indonesia. Buku ini tentu tidak dapat memberikan jawaban dan solusi yang mudah bagi masalah pelayanan kesehatan anak yang kompleks yang dihadapi dokter spesialis anak sehari-‐ hari, tetapi paling tidak memberikan refleksi prinsip-‐prinsip dan nilai-‐nilai yang dianut IDAI dalam memberikan pedoman sikap dan perilaku anggotanya dalam melaksanakan profesinya. Pada hakekatnya, nilai-‐nilai yang dikandung dalam buku ini merupakan landasan moral yang menjunjung tinggi kemanusiaan, kearifan, saling menghormati, demokratis, kejujuran, integritas, kearifan, keberanian, tidak diskriminatif (inklusivitas), saling asah asih asuh, tanggung jawab sosial-‐budaya dan berakhlak mulia. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Moral merupakan ajaran-‐ajaran, patokan-‐patokan, lisan maupun
tertulis. Manusia harus hidup dan bertindak menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika merupakan pemikiran yang kritis dan mendasar, yang menjadi dasar kesusilaan dan tata krama. Selain KODEKI, panduan ini diharapkan menjadi rujukan bagi sikap dan perilaku dokter spesialis anak dalam menjalankan tugasnya sehari-‐hari melayani kesehatan anak di Indonesia.
BAB I UMUM Pasal 1 Setiap dokter spesialis anak wajib memiliki martabat dan mematuhi etika, sopan santun dan mematuhi peraturan yang berlaku Penjelasan: Dokter spesialis anak menampilkan dirinya dalam cara berpikir, bertindak dalam sikap dan budi pekerti yang luhur serta penuh sopan santun. Dokter spesialis anak wajib menjunjung tinggi sumpah dokter dan KODEKI serta tidak akan menggunakan profesinya bertentangan dengan asas perikemanusiaan. Secara sadar, dokter spesialis anak mematuhi peraturan perundang-‐undangan dan pedoman keilmuan yang berlaku. PEP-‐DSAI ini berlaku pula pada dokter spesialis anak asing yang berpraktek di Indonesia.
Pasal 2 Dalam mengamalkan profesi kedokteran, setiap dokter spesialis anak wajib bersikap professional, yaitu jujur dan dapat dipercaya, dapat dihandalkan dan bertanggung jawab, menghormati orang lain, bersikap kasih sayang dan empati, tidak diskriminatif, selalu meningkatkan kemampuan diri, kesadaran terhadap kemampuan diri, mampu berkomunikasi dan berkolaborasi dengan anak, serta berjiwa pengabdian Penjelasan: Komunikasi secara jujur dengan isi informasi yang dapat dipercaya baik oleh kelompok keahlian maupun oleh pasien, keluarga dan masyarakat. Keputusan dan langkah-‐langkahnya dapat diandalkan dan dipertanggung jawabkan, karena selalu didasarkan kepada bukti ilmiah yang mutakhir. Kepentingan pasien lebih diutamakan, disampaikan secara simpatik dengan empati, tanggap dan responsif terhadap masalah yang dihadapi oleh pasien beserta keluarganya. Dalam hal dijumpai masalah yang di luar kemampuan kompetensinya, dokter spesialis anak wajib melakukan kerjasama/konsultasi dengan sejawat lain yang memiliki kompetensi sesuai yang dibutuhkan pasien. Dokter spesialis anak diharapkan tidak mencantumkan sebutan atau gelar yang bukan haknya atau tidak relevan dengan praktik profesinya.
Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter spesialis anak tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi Penjelasan: Dalam melaksanakan kegiatan profesinya seorang dokter spesialis anak harus bersikap rasional, artinya bertindak sesuai indikasi, biaya yang wajar sesuai dengan manfaat, berbasis bukti, aman, mematuhi tatalaksana (standar prosedur operasional yang berlaku), serta memberi informasi yang memadai. Nuansa etika pada penggunaan berbagai alat kedokteran, daftar obat esensial dan pedoman pengobatan dapat berpengaruh pada kewajaran tindakan kedokteran. Jiwa pengabdian mendorong dokter spesialis anak bersikap lebih mementingkan kepentingan pasien daripada kepentingan pribadi. Atas pelayanan yang telah diberikan dokter spesialis anak memperoleh jasa medis. Dalam kaitan ini, dokter spesialis anak dituntut untuk mematuhi etika serta menghindari adanya konflik kepentingan. Kontribusi perusahaan farmasi kepada dokter disepakati hanya untuk kegiatan peningkatan profesionalisme, dalam bentuk registrasi, akomodasi dan transportasi.
Pasal 4 Dalam menangani pasien anak, dokter spesialis anak wajib memperlakukannya sebagai anak sendiri Penjelasan: Anak sendiri pasti diperlakukan dengan cara yang terbaik oleh orangtuanya. Anak diberikan yang terbaik dan dihindarkan dari yang buruk dan diasabilitas. Dokter spesialis anak wajib melakukan rawat inap sesuai indikasi, menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan melakukan tindakan medis sesuai panduan / kedokteran berbasis bukti yang berkualitas tinggi sesuai dengan kebutuhan pasien.
Pasal 5 Penelitian pada anak harus mengikuti prinsip dasar etika penelitian yang dianut secara internasional Penjelasan: Prinsip dasar etika penelitian adalah (1) menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity), (2) menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality), (3) keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), dan (4) memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditumbulkan (balancing harms and benefits). Peneltian kesehatan harus berlandaskan moral yang tinggi yang menjadi dasar ‘bukti ilmiah’. Keterlibatan anak dalam penelitian diatur pada Deklarasi Helsinki. Penelitian yang melibatkan anak hendaknya berpotensi memberi manfaat untuk anak secara umum, selama penelitian tersebut tidak merugikan kepentingannya atau hanya berisiko minimal. Selain itu, memiliki manfaat terapeutik bagi pasien sendiri dengan mempertimbangkan rIsiko yang mungkin terjadi dan diusahakan seminimal mungkin. Untuk
menjaga ketentuan di atas, rancangan penelitian terlebih dahulu memperoleh lolos uji etik dari Komite Etik Penelitian setempat.
Pasal 6 Setiap dokter spesialis anak wajib berhati-‐hati dalam mengumumkan dan menerapkan temuan hasil penelitian atau analisis Penjelasan: Dokter spesialis anak dianjurkan menulis artikel penelitian atau analisis ilmiahnya dalam media umum atau jurnal kedokteran. Dokter spesialis anak wajib berhati-‐hati dalam menulis artikel atau analisis yang dapat menimbulkan polemik maupun kekhawatiran publik tanpa didasari kajian ilmiah. Dokter spesialis anak juga perlu berhati-‐hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap temuan teknik pengobatan atau obat baru yang belum diuji kebenarannya. Temuan baru untuk menatalaksana penyakit anak sebaiknya dibahas terlebih dahulu dalam forum ilmiah IDAI.
Pasal 7 Dana penelitian dapat diperoleh dari donasi mitra IDAI, dengan ketentuan bahwa hasil penelitian dipublikasi sesuai dengan hasil yang diperoleh tanpa sensor dari pihak sponsor Penjelasan: Dalam hal melakukan penelitian, pendanaan tidak menerima donasi dari perusahaan yang bergerak di bidang tembakau dan produk lain tembakau, alkohol dengan produk lainnya, tidak melanggar UU dan Peraturan Pemerintah tentang ASI eksklusif. Hasil penelitian yang didanai sponsor, dipublikasi sesuai hasil tanpa intervensi pihak sponsor. Segala hal-‐ihwal donasi dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Bermitra Ikatan Dokter Anak Indonesia, tahun 2010.
BAB II PANDANGAN TERHADAP ANAK
Pasal 8 Area kompetensi dokter spesialis anak terbatas pada seseorang sejak lahir hingga sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun Penjelasan: Batasan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (kecuali bila sudah menikah dini). Dengan demikian anak yang sudah memasuki umur lebih dari 18 tahun, bukan lagi area kompetensi dokter anak untuk menangani kesehatannya. Masalah muncul kalau setelah usia 18 tahun, anak atau orang tua meminta kepada dokter anak untuk tetap berperan. Mungkin pula dokter yang memiliki kompetensi sesuai penyakit yang diderita pasien tidak bersedia atau tidak ada di daerah tinggal pasien. Untuk memperpanjang hubungan dokter-‐pasien, agar tidak menyalahi
peraturan yang ada, orang tua/pengampu perlu membuat permintaan tertulis. Sama halnya dengan bayi dalam kandungan, dimana pemeliharaan kesehatan kandungan dan kehamilannya menjadi kompetensi dokter spesialis kandungan dan ginekologi. Dalam keadaan khusus, bila telah terdekteksi bayi dengan kelainan bawaan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup setelah dilahirkan, dokter spesialis anak wajib memberikan pertimbangan. Demikian juga kelahiran dengan risiko tinggi, dokter spesialis anak wajib menganjurkan kelahiran dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas dan sumber daya yang memadai. Bagi anak/remaja yang telah menikah, bila status formal telah bersuami, dianggap sebagai orang dewasa. Tetapi bila tidak jelas menikah, merupakan abuse, dokter spesialis anak secara moral masih diharapkan melindunginya. Secara etika kasus demikian ditangani oleh tim multi profesi.
Pasal 9 Seorang dokter spesilais anak wajib memberlakukan anak remaja sesuai dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya Penjelasan: Anak usia remaja (sejak usia 10 tahun) mengalami pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksinya. Terjadi perubahan pada alat kelamin primer dan alat kelamin sekunder, tertarik pada lawan jenisnya, ingin memperlihatkan identitas diri, ingin tahu proses yang sedang berlangsung pada dirinya. Karena secara psikologis remaja tidak mau lagi disamakan dengan anak kecil, diperlukan tempat pemeriksaan yang menjamin privatisasinya, baik pada pelayanan rawat jalan maupun pelayanan rawat inap. Terlebih pelayanan kesehatan seksual remaja bersifat pribadi dan konfidensial. Tuntunan kesehatan reproduksi adalah menjamin tidak terganggunya atau menghambat kemampuan reproduksi secara sehat. Dalam hal remaja menderita penyakit kronik yang akan memasuki usia lebih dari 18 tahun, sesuai jenis kasusnya dilimpahkan ke dokter yang memiliki kompetensi untuk menangani kasus tersebut. Tetapi kalau tidak terdapat dokter yang bisa meneruskan/tidak bersedia, maka penanganan kasus bisa dilanjutkan dengan terlebih dahulu memberi informasi kepada Komite Medik rumah sakit setempat atau perhimpunan dokter terkait.
BAB III TUMBUH KEMBANG Pasal 10 Setiap dokter anak wajib berupaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak secara komprehensif meliputi upaya promotif, preventif/pencegahan penyakit termasuk melalui program imunisasi, diagnosis dini, kuratif/pengobatan segera hingga rehabilitasi sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab untuk menangani masalah mendasar kesehatan anak di Indonesia Penjelasan: Sehat meliputi kesehatan jasmani/fisik, rohani, intelektual, sosial dan spiritual. Dengan demikian diharapkan, anak sehat dapat menjadi manusia dewasa sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Oleh
karena itu upaya kesehatan harus dilakukan secara komprehensif, meliputi upaya promotif, pencegahan penyakit termasuk imunisasi, diagnosis dini, pengobatan segera dan rehabilitasi. Imunisasi memberikan kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu, oleh karena itu wajib diberikan. IDAI telah menyusun skedul imunisasi yang setiap saat mengalami penyempurnaan sesuai dengan perkembangan baru. Penjelasan kepada orangtua perlu diberikan sebelum melakukan imunisasi. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pasal 15 berbunyi: “Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai program pemerintah, dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.” Dalam hal orangtua tetap menolak imunisasi setelah diberikan penjelasan lengkap, maka penolakan orangtua, perlu dicatat pada berkas rekam medis. Sementara kemampuan pemerintah terbatas, imunisasi yang belum dimasukkan ke dalam program pemerintah, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan orangtua pasien.
Pasal 11 Setiap Dokter spesialis anak wajib berupaya memanfaatkan Air Susu Ibu (ASI) secara dini dan optimal untuk tumbuh kembang anak Penjelasan: Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Pelaksanaan pemberian ASI eksklusif telah diatur pada peraturan pemerintah. Pemerintah Indonesia meluncurkan ‘Program Rumah Sakit Sayang Bayi’ dengan melaksanakan 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui. Untuk itu, perusahaan di mana ibu menyusui yang bekerja dan di tempat-‐tempat umum, dianjurkan penyediaaan ‘pojok ASI’.
Pasal 12 Dalam melakukan pelayanan kesehatan anak, setiap dokter spesialis anak mempunyai tanggung jawab untuk mengawal anak untuk mencapai kualitas hidup optimal sesuai dengan kondisi dan tumbuh kembang anak Penjelasan: Proses tumbuh kembang dimulai sejak bertemunya sperma dengan sel telur di kandungan seorang ibu, melalui masa dalam kandungan, persalinan, neonatus, masa bayi, balita, usia sekolah, masa remaja dan memasuki usia dewasa setelah melampaui umur 18 (delapan belas) tahun. Yang dimaksud dengan berkualitas optimal adalah tidak hanya bebas dari penyakit namun juga berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai keadaan misalnya malnutrisi, berbagai penyakit infeksi, penyakit menahun, pengaruh lingkungan, keganasan atau gangguan dalam proses pembentukan organ, menyebabkan seorang anak berada dalam keadaan tidak ideal, sehingga tidak memungkinkan mencapai kualitas seperti anak yang tidak memiliki masalah. Demikian pula halnya dengan pelayanan terhadap anak dengan kebutuhan khusus/disabilitas/difabel. Untuk hal seperti ini menjadi kewajiban dokter spesialis anak untuk mengupayakan tumbuh kembang secara maksimal untuk mencapai hasil yang optimal. Bila dalam pengananan kasus mengalami kesulitan, harus merujuk kepada yang lebih kompeten. Intinya adalah pemenuhan hak anak terhadap akses pelayanan kesehatannya.
BAB IV PRINSIP TATA LAKSANA KASUS Pasal 13 Setiap dokter spesialis anak wajib mengikuti bukti ilmiah yang ada disertai Komunikasi-‐ Informasi – Edukasi (KIE) yang meliputi penjelasan umum kasus, pencegahan, pengobatan dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup anak dengan memperhatikan nilai-‐nilai, harkat dan martabat anak (value) dengan mengutamakan keselamatan pasien Penjelasan: Organisasi IDAI dibentuk untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu dalam menghadapi setiap kasus dan masalah kemasyarakatan harus dikembalikan ke tujuan organisasi. Dalam menangani setiap kasus tumbuh kembang anak harus dinilai. Pedoman pelayanan medis, Rekomendasi, dan buku – buku rujukan lain yang direkomendasikan oleh IDAI dipakai sebagai panduan penyelesaian kasus (yang disusun berdasarkan bukti ilmiah). Sesuai dengan tingkat pelayanan institusi pelayanan kesehatan di tempat anggota IDAI bekerja, panduan-‐panduan tersebut disusun dalam Standar Prosedur Operasional/SPO, termasuk tempat praktek pribadi. Tindakan medik yang dilakukan berdasarkan indikasi, yang dikerjakan mengikuti SPO serta seijin orangtua pasien untuk melindungi dokter spesialis anak dari tuntutan hukum. Selain itu, komunikasi – informasi -‐ edukasi terhadap pasien dan antar dokter merupakan bagian penting yang harus dilakukan sebagai upaya untuk meningkatan kesehatan pasien. Bila diperlukan, dokter spesialis anak harus melaksanakan penanganan multidisiplin dalam satu tim yang melayani pasien. Anggota tim harus berperan sesuai dengan kompetensinya, serta menghargai profesi mitra kerjanya (Interprofessional teamwork).
Pasal 14 Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak, seorang dokter spesialis anak dapat memanfaatkan teknologi kedokteran baru yang telah terbukti secara ilmiah dan melalui kajian IDAI, dengan tujuan untuk kepentingan terbaik anak Penjelasan: Dengan kemajuan teknologi pemahaman terhadap penyakit/gangguan kesehatan dan penanganan penyakit berkembang dengan pesat. Misalnya transplantasi organ (hati, sumsum tulang), pemeriksaan genetika, terapi genetika, pemanfaatan sel punca, reproduksi buatan, mesin ventilator, mesin hemodialisis, endoskopi, kardiologi intervensi, dan sebagainya. Fertilsasi in vitro dapat dibenarkan dalam batasan pasangan perkawinan. Skrining genetika dilakukan sebagai upaya menegakkan diagnosis dan pencegahan karena ditemukannya keluhan dan gejala klinis. Pemeriksaan genetika pada anak sehat disarankan ditunda pada usia dewasa, menunggu yang bersangkutan sudah dapat sendiri meminta pemeriksaan dan memperoleh penjelasan dampak terhadap kesehatannya serta akibat-‐akibat lainnya. Untuk beberapa penyakit, misalnya thalassemia dan sindrom Down malah harus dilakukan lebih dini. Donor organ oleh anak dimungkinkan
sepanjang telah dikaji secara mendalam: (1). Memberi keuntungan baik bagi donor dan penerima, (2). Risiko bedah untuk donor sangat minimal, (3). Semua kematian dan donor hidup telah dipelajari dengan seksama, (4). Tidak ada paksaan kepada donor minor, (5). Risiko dampak emosi dan psikologis pada donor diupayakan seminimal mungkin. Anak dapat menjadi resipien organ dari orang dewasa baik dari orangtuanya atau keluarganya atau orang dewasa lain. Di samping aspek manfaat, pelaksana dan institusi di tempat prosedur akan dilaksanakan harus sudah melalui pengujian pengetahuan, keterampilan semua pelaku, dan didukung oleh alat dan sumber dana memadai. Pengkajian akan dilakukan oleh IDAI, lembaga penelitian, lembaga pendidikan serta memperhatikan ketentuan dan norma agama, kepercayaan, budaya yang berlaku.
Pasal 15 Setiap dokter spesialis anak wajib melakukan sendiri pemeriksaan anak dan dicatat pada berkas rekam medis (rawat jalan/rawat inap) yang disediakan serta mengikuti ketentuan-‐ketentuan yang berlaku
Penjelasan: Dokter yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) mempunyai wewenang antara lain mewancarai pasien, memeriksa fisik dan mental, menentukan pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis, menentukan pelaksanaan dan pengobatan, menulis resep obat dan alat kesehatan. Khusus di institusi pendidikan, pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prosedur di tempat tersebut sesuai SIP yang dimiliki. Kewenangan klinis (Clinical Previledge) dokter spesialis anak terkait dengan tempat praktiknya. Komunikasi dokter-‐pasien atau dokter-‐orangtua pasien, di luar tempat praktik bersifat wacana, tidak memiliki aspek medikolegal hubungan dokter-‐pasien. Oleh karena itu dokter dituntut bijaksana dan disertai kehati-‐hatian. Hasil pemeriksaan dan rencana-‐rencana yang akan dilakukan ditulis pada rekam medis pasien. Rekam medis ini merupakan alat bukti tertulis utama yang berisi identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding, tata laksana, masalah, dan edukasi sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik.
Pasal 16 Seorang dokter spesialis anak dalam memilih terapi medikamentosa wajib mengikuti diagnosis yang ditegakkan sesuai panduan pemakaian obat secara rasional di institusi pelayanan setempat demi kepentingan terbaik anak dan keselamatan pasien Penjelasan: Data WHO menyebutkan sekitar 50% dari seluruh obat yang diresepkan, penggunaannya tidak tepat dan tidak rasional. Terapi medikamentosa diberikan secara rasional, artinya sesuai dengan diagnosis, dosis dan cara pemberian yang benar, terjangkau, sesuai dengan kondisi dan situasi setempat dan disetujui oleh orangtua pasien. Resistensi antimikroba adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menanggapi positif dengan kebijakan dibentuknya Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di rumah sakit. Masalah penggunaan antibiotik yang tidak terkendali sesungguhnya merupakan bagian dari masalah penggunaan obat yang irasional. Perlu diupayakan menegakkan diagnosis etiologis, yang dapat
dengan cara empiris maupun pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Pilih antibiotik yang merupakan obat pilihan utama untuk etiologi yang bersangkutan. Kalau oleh karena suatu sebab pilihan utama tidak dapat diberikan, maka diberikan antibiotik lini kedua.
Pasal 17 Dalam memberikan pelayanan pasien, setiap dokter spesialis anak wajib memperhatikan hak pasien, hak anak, hak orangtua/wali dan hak masyarakat dalam rangka mewujudkan prinsip keselamatan pasien
Penjelasan: Hak pasien adalah memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman. Joint Commission International dalam International Patient Safety Goals pada tanggal 9 Februari 2012 meringkas tindakan yang dapat mencegah hal–hal yang dapat mengancam keamanan pasien yaitu : (1) Melakukan identifikasi pasien dengan benar, (2) Melakukan komunikasi efektif, (3) Meningkatkan pengawasan penggunaan obat yang high-‐alert, (4) Memperhatikan prosedur keselamatan operasi dan prosedur tindakan medik lain, dengan menjamin tempat benar, prosedur benar, pasien benar, (5) Mengurangi risiko infeksi selama perawatan, dan (6) mengurangi risiko bahaya karena jatuh. Rencana penanganan kesehatan anak, wajib dibicarakan terlebih dahulu dengan orangtua pasien. Didengar bagaimana pendapat orangtua, diperhatikan kepercayaan terhadap sistim pengobatan yang telah dipercaya oleh orangtua pasien, dicatat pengobatan komplementer dan alternatif yang telah dilakukan. Keputusan akhir diserahkan kepada orangtua pasien.
Pasal 18 Dalam menetapkan kebijakan medis (obat dan tindakan), setiap dokter spesialis anak wajib mempertimbangkan kemampuan pasien/orangtuanya, fasiltas yang tersedia pada institusi pelayanan dengan mengutamakan keselematan pasien (patient safety) dan prognosis terhadap kualitas hidup anak pasca tindakan Penjelasan: Setiap institusi pelayanan kesehatan harus memiliki standar pelayanan yang disesuaikan dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. Perlu diutarakan beberapa alternatif tindakan dan dijelaskan kelebihan dan kekurangan pada setiap pilihan. Pilihan diserahkan kepada orangtua pasien. Dalam hal adanya ketidakmampuan institusi pelayanan dalam menangani pasien, dengan pertimbangan keberhasilan yang lebih baik, perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
Pasal 19 Setiap dokter speialis anak melakukan tindakan medis invasif setelah melalui pertimbangan medis berdasarkan uji ilmiah serta sumber daya yang tersedia di institusi pelayanan di tempat pasien berada, sesuai pilihan orangtua, dan terjaminnya kualitas hidup anak
Penjelasan: Sebelum melakukan tindakan medis, dokter wajib minta persetujuan secara tertulis dari pasien/ orangtua/wali. Untuk anak remaja, harus didengar pula pendapatnya. Perlu dijelaskan sebelumnya tentang diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan, alternatif tindakan dan risiko serta komplikasi yang mungkin terjadi. Institusi pelayanan harus sudah dilengkapi dengan sumber daya dan fasilitas memadai untuk menghadapi komplikasi dan risiko. Meskipun ada dokter yang kompeten, tetapi kalau sumber daya manusia yang lain dan atau fasilitas pelayanan kurang memadai, perlu dipertimbangkan untuk dirujuk ke tempat lain atau dicari tindakan alternatif yang masih mungkin bisa dikerjakan.
Pasal 20 Seorang dokter spesialis anak dalam melakukan tindakan medis wajib meminta persetujuan orangtua (informed consent) dan mengikuti ketentuan yang ada Penjelasan: Setiap tindakan kedokteran harus mendapat persetujuan pasien dan/atau orangtua/wali. Dari aspek hukum tindakan kedokteran tersebut, selain memerlukan persetujuan pasien dan/atau orangtua/wali pasien, juga harus berdasarkan indikasi sesuai bukti ilmiah dan dilakukan mengikuti tatalaksana yang telah ditetapkan. Meskipun anak berhak untuk memberikan persetujuan bila telah mampu memahami dan menimbang pilihan-‐pilihan yang ada, namun dari aspek perlindungan terhadap anak, keputusan orang tua tetap diperlukan. Anak remaja perlu dimintai pendapatnya dan didengar serta dipertimbangkan. Sesuai dengan pemahaman anak, orang tua diminta membicarakan terlebih dahulu dengan anak. Pendapat orangtua dan anak dikupas untung ruginya dibandingkan dengan rencana tindakan kedokteran yang disarankan. Dokter mengikuti pendapat akhir orangtua/ wali dan anak secara tertulis. .
BAB V PANDANGAN TERHADAP PENGOBATAN KOMPLEMENTER -‐ ALTERNATIF Pasal 21 Seorang dokter spesialis anak memanfaatkan pengobatan komplementer-‐alternatif terbatas pada hal-‐hal yang sudah dibuktikan secara ilmiah. Penjelasan: Dalam upaya masyarakat mengatasi dan menyembuhkan penyakitnya banyak mempergunakan jamu tradisional, herbal dari berbagai daerah atau dari mancanegara. Sudah ada MOU antara PB IDI dengan Litbangkes Kementerian Kesehatan dalam rangka saintifikasi jamu. Dalam penggunaan produk herbal dan suplemen makanan, harus berpegang pada patient safety dengan penekanan diberikan kepada produk yang telah teruji keamanan dan efikasinya.
BAB VI HUBUNGAN DOKTER -‐ PASIEN Pasal 22 Hubungan antara dokter spesialis anak dengan orangtua pasien dan pasien adalah hubungan berdasarkan landasan moral dan kepercayaan terhadap integritas dokter Penjelasan: Hubungan antara dokter spesialis anak dengan orangtua pasien/pasien didasarkan atas kepercayaan dengan memperhatikan hak dan kewajiban masing–masing. Pasien percaya bahwa dokter spesialis anak akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit. Kepercayaan menjadi salah satu bukti kredibilitas dokter di samping keahliannya menangani pasien. Dokter spesialis anak harus dapat menyakinkan orangtua pasien, bahwa dia tidak akan merugikan pasien, akan berbuat baik, menghargai kepentingan pasien dan berbuat adil. Dalam proses komunikasi dokter-‐pasien, sikap profesional dokter ‘sambung-‐rasa’ (empati) dan mampu menjadi pendengar yang baik, membuat pasien dan keluarganya merasa aman, nyaman, dan menambah kepercayaan pasien kepada dokter. Selain itu, dokter juga mempunyai hak memperoleh informasi lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya serta menerima imbalan jasa. Dokter spesialis anak disarankan tidak mengobati sendiri anaknya atau anak keluarga dekatnya, karena dikhawatirkan terganggu objektivitasnya. Perkecualian terhadap masalah sederhana, yang bisa ditangani oleh masyarakat umum.
Pasal 23 Setiap Dokter spesialis anak wajib membatasi hubungan dengan pasien dan atau orangtua pasien, sebatas kepentingan pelayanan medis Penjelasan: Pertanggungan jawab medis seorang dokter ditentukan oleh moral dokter, sesuai dengan panduan perilaku dokter di bidang medis maupun di bidang nonmedis. Kompetensi dan kepercayaan dapat diukur dari bagaimana mekanisme sertifikasi, kredensial rumah sakit, dan panduan yang dibuat oleh peer group. Pemeriksaan anak di dalam kamar periksa perlu mempertimbangkan aspek kebiasaan, budaya, agama keluarga pasien, serta menjaga kerahasiaan pasien. Hak dari masyarakat untuk melindungi anaknya dari praktek seksual, yang tidak hanya tidak etis, tetapi juga sudah termasuk tindak kriminal. Keberhasilan hubungan dokter-‐pasien atau dokter-‐keluarga bergantung pada adanya kepercayaan kepada dokter secara paripurna. Orangtua pasien suka memberikan hadiah kepada dokter setelah dokter berhasil membantu mengatasi sakit yang berat dan kompleks. Dalam batas tertentu pemberian ini tidak menimbulkan konflik, tetapi hadiah yang melebihi kewajaran dapat berpengaruh terhadap psikis dan kesulitan etika dalam mepertahankan hubungan terbatas antara dokter orangtua pasien.
Pasal 24 Dalam memenuhi permintaan pasien atau orangtua pasien, dokter spesialis anak wajib tetap mengikuti bukti ilmiah, nilai-‐nilai pasien dan orangtuanya, mengutamakan keselamatan dan menghormati hak otonominya Penjelasan: Kepentingan pasien menjadi pertimbangan utama (altruism), dibandingkan dengan kepentingan dokter dan institusi pelayanan. Meskipun demikian, profesionalisme menuntut dokter spesialis anak untuk selalu bisa mempertanggung jawabkan tindakannya. Oleh karena itu, perlu ada solusi bagaimana memadukan antara keinginan pasien atau orangtuanya dengan pertimbangan medis ilmiah. Dokter spesialis anak wajib memberi informasi dengan jelas, hasil yang ingin dicapai, serta akibat tertundanya atau tidak dilakukan tindakan medis yang disarankan. Kalau perlu orangtua diberi kesempatan untuk berpikir, atau mencari pendapat dari dokter lain atau dari informasi teknologi yang ada. Dalam hal keinginan pasien/orangtua bisa membahayakan kesehatannya, maka dokter bisa menolak dan memutuskan hubungan terapeutik. Pemutusan hubungan dokter-‐pasien juga dapat dilakukan bila dokter menilai kepercayaan pasien (trust) terhadap dokter menurun atau tidak ada lagi, dan dokter menyarankan untuk berobat ke dokter lain. Sebelum pemutusan, perlu dikemukakan pilihan lain yang masih dalam batas toleransi ilmiah medis.
BAB VII HUBUNGAN ANTAR SEJAWAT Pasal 25 Setiap Dokter spesialis anak wajib mengingatkan kepada sejawat lain dengan dasar kejujuran, kepercayaan dan saling menghormati dalam berinteraksi melayani pasien sehingga efisiensi dan efektivitas kerja sama dapat tercapai Penjelasan: Anggota tim saling menjaga aspek etika dan moral dalam melayani pasien. Kehormatan profesi mencakup bagaimana bertindak secara benar dan bertanggung jawab, menghargai kompetensi profesi lain, saling belajar satu sama lain, dan bekerja sama merawat pasien. Menaruh perhatian kepada peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS), kolega profesi medis lain, tidak menyalahkan dan mempermalukan di depan pasien atau keluarga pasien dan atau staf lain. Tidak toleran terhadap praktik penggunaan kata dan bentuk kekejaman fisik terhadap pasien dan profesi medis lain, untuk menghindari moral hazard. Dokter anak wajib menjawab konsultasi/rujukan yang diminta sejawat lain menurut pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika.
Pasal 26 Setiap dokter spesialis anak wajib memberikan ilmu dan keterampilannya kepada mitra di lingkungan kerjanya demi peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien Penjelasan: Di lingkungan kerjanya, seorang dokter spesialis anak melakukan kerjasama atau dibantu oleh dokter umum, paramedik dan mahasiswa. Ia wajib memberikan ilmu dan ketrampilannya kepada mereka sesuai dengan tingkat kompetensinya. Ia juga diharapkan menjadi contoh dan teladan dalam praktek profesional yang berkualitas tinggi, menghormati dan menghargai profesi lain dalam jiwa team work.
Pasal 27 Konflik intra profesi antar dokter spesialis anak atau antara dokter spesialis anak dengan dokter lain diselesaikan dengan mengikuti ketentuan dan peraturan yang berlaku. Penjelasan: Konflik di antara anggota IDAI diselesaikan secara internal melalui Dewan Etika IDAI di tempat anggota berada. Penyelesaian masalah etikolegal diselesaikan mengikuti Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI. Bila tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, konflik antar anggota perhimpunan dokter diselesaikan melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Cabang IDI setempat. Untuk menghindari konflik antar sejawat, dokter spesialis anak diharapkan tidak menanggapi keluhan orangtua pasien mengenai sejawat lain dan tidak mencemarkan nama baik sejawat lain.
BAB VIII HUBUNGAN DOKTER DENGAN MASYARAKAT Pasal 28 Setiap dokter spesialis anak wajib menjaga keluhuran profesinya di tengah masyarakat yang membutuhkan pengabdiannya Penjelasan: Keluhuran sikap ditunjukkan dengan sifat-‐sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial. Oleh karena itu, sikap dan kerjanya tidak keluar dari visi dan misi IDAI untuk mensejahterakan anak Indonesia. Pengaruh luar yang menyimpang dari tujuan utama tersebut harus dihindari dan ditolak. Kerjasama dengan pihak ketiga, terbatas kepada mereka yang memiliki tujuan sama. Tidak menerima donasi dari perusahaan yang merusak kesehatan anak, misalnya perusahaan yang bergerak dalam bisnis tembakau, alkohol, persenjataan, eksploitasi anak, dan melanggar undang–undang dan Peraturan Pemerintah mengenai
ASI eksklusif. Di manapun dokter spesialis anak beraktivitas tetap terkait dengan KODEKI, PEP-‐DSAI dan peraturan lainnya.
Pasal 29 Setiap Dokter spesialis anak dilarang terlibat dalam kegiatan promosi obat, alat kesehatan, pelayanan kesehatan dan atau kegiatan memuji diri sendiri Penjelasan: Dokter spesialis anak dituntut kemandiriannya dan menghindari dari memuji diri sendiri. Dengan ketatnya persaingan bisnis pelayanan kesehatan, perkembangan dan penemuan obat dan peralatan medis baru, menuntut para pengusaha mengintensifkan kegiatan pengenalan dan promosi produk yang dijualnya. Tenaga kesehatan dilarang mengiklan dan atau menjadi model iklan obat, alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan, kecuali dalam iklan layanan masyarakat, yaitu iklan promosi kesehatan yang bertujuan untuk mengubah masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) atau mendukung program pemerintah dan tidak bersifat komersial. Kegiatan penyuluhan kesehatan, pembinaan kesehatan/penyuluhan kesehatan melalui radio, televisi atau melalui media lain, perlu dijaga substansinya supaya tidak menjurus ke arah promosi.
BAB IX KEWAJIBAN TERHADAP DIRI DAN PENGEMBANGAN PROFESI Pasal 30 Setiap dokter spesialis anak wajib menjaga kesehatan pribadi, baik aspek jasmani, mental, intelektual, sosial, serta bebas dari kemungkinan menjadi sumber penularan penyakit yang dapat membahayakan kepentingan pasien Penjelasan: KODEKI mengamanatkan bahwa setiap dokter harus memelihara kesehatannya agar dapat bekerja baik. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol termasuk perilaku yang melanggar disiplin profesi dokter. Tembakau dan produk yang mengandung tembakau termasuk bahan yang mengandung zat adiktif yang membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, harus diamankan penggunaanya. Konsil Kedokteran Indonesia dengan Perkonsil Nomor 16/KKI/KEP/XI/2006 Tentang Penerbitan Surat Keterangan Sehat Fisik dan Mental Bagi Dokter/Dokter Gigi, perlu dinyatakan tentang ada/tidak adanya disabilitas, yang dapat mengganggu fungsi luhur. Bila ada disabilitas atau ada keraguan, wajib dikonsulkan ke Majelis Penguji Kesehatan (MPK) pada rumah sakit terdekat. Untuk dokter yang bekerja di rumah sakit, kompetensi, kesehatan fisik dan mental, perilaku dan etika profesi anggota staf medis, menjadi tugas dan fungsi Komite Medik Rumah Sakit untuk pemeriksaan dan pengkajiannya. Akan terpuji kalau dokter dapat menilai diri sendiri, apakah dirinya masih mampu mengamalkan profesinya melayani masyarakat atau tidak.
.
Pasal 31 Setiap dokter spesialis anak wajib selalu meningkatan pengetahuan dan keterampilan profesionalismenya mengikuti perkembangan baru sesuai dengan kompetensi Penjelasan: Visi IDAI menetapkan bahwa pada tahun 2015 terbentuk komunitas dokter spesialis anak yang profesional, berkualitas tinggi dengan standar global, selalu memperhatikan etik profesi kedokteran, dan mengabdikan dirinya untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia. Tanpa dilandasi oleh etika yang baik, kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter specials akan hilang. Oleh karena itu IDAI telah membangun tata nilai (values) : integritas, visioner, unggul (excellence), koordinasi dan transparansi. Di samping mengikuti program Continuing Professional Development (CPD), juga mengikuti jurnal ilmiah secara pribadi, mempublikasi hasil penelitian yang dibuat, serta aktif dalam diskusi ilmiah di tempat bekerja atau diskusi yang diselenggarakan oleh perhimpunan. Hasil pendidikan dan pelatihan yang diikuti, akan menjadi prasyarat registrasi ulang ke KKI yang harus diperbaharui setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 32 Seorang dokter spesialis anak wajib memajukan pendidikan dokter khususnya dokter spesialis anak, baik langsung maupun tidak langsung. Penjelasan: Tujuan didirikannya IDAI antara lain, sebagai peran dalam memberikan pengarahan, pembinaan, pengembangan dan pelaksanaan pendidikan ilmu kesehatan anak, serta membina dan meningkatkan kemampuan profesi dokter spesialis anak. Dengan demikian tujuan ini mengikat semua anggota IDAI, di manapun mereka berada. Masing-‐masing berperan sesuai dengan fungsi dan jabatan, misalnya pada institusi pendidikan, tenaga fungsional maupun manajemen pada institusi pelayanan kesehatan, bahkan mereka yang sudah purna bakti. Pendidikan, upaya pembinaan dan peningkatan profesionalisme tidak terbatas pada masalah medis saja tetapi juga menyangkut aspek tingkah laku dan etika. Keteladanan bagi mereka yang lebih senior sangat penting dalam menciptakan dokter spesialis anak yang berkualitas global dan beretika mulia.
BAB X SANKSI DAN REHABILITASI Pasal 33 Penelaahan dan pemberian sanksi terhadap dugaan konflik etikolegal, sengketa medik dan pelanggaran etika kedokteran dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku
Penjelasan: Dokter spesialis anak dan IDAI bertanggung jawab atas pelaksanaan Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia dan berkewajiban mendiseminasikannya kepada rekan sejawat. Pelanggaran adalah perilaku menyimpang atau tidak melaksanakan Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi dokter spesialis anak. Konflik etikolegal, sengketa medik dan pelangaran etika kedokteran dapat mempengaruhi keselamatan pasien, berpotensi menurunkan citra dan kehormatan profesi dan mengganggu kepentingan umum. Oleh karena itu, pelanggaran tersebut perlu diberikan sanksi setelah ditelaah kebenarannya oleh Dewan Etika IDAI. Sanksi yang diberikan sesuai dengan “Kompendium MKEK IDI”, berupa upaya pembinaan kepada dokter spesialis anak yang melakukan pelanggaran dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat profesi dokter spesialis anak. Bila terdapat laporan masuk ke BP2A pusat/cabang mengenai kemungkinan pelanggaran terhadap PEP-‐DSAI, untuk mencegah berlanjutnya pelanggaran, Dewan Etika IDAI akan melakukan klarifikasi secara lisan (bisa melalui telpon) dan bimbingan bila diperlukan sebelum melakukan pemanggilan dan menelaah kemungkinan pelanggaran etika.
PENUTUP Dokter spesialis anak seyogyanya berusaha dengan sungguh-‐sungguh untuk menghayati, mematuhi dan mengamalkan KODEKI dan PEP-‐DSAI dalam menjalankan profesinya sehari-‐hari, demi martabat profesi dan kepercayaan masyarakat. Panduan Etika dan Perilakui Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia merupakan panduan bagi anggota IDAI untuk dipatuhi dalam kegiatan profesinya. Dengan diterbitkannya Buku Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia ini, maka pelaksanaan KODEKI bagi pasien anak telah dilengkapi dengan panduan yang lebih jelas dan tegas. Dengan demikian, dokter spesialis anak dapat mengamalkan keprofesiannya tanpa ragu. IDAI telah berkembang menjadi organisasi profesi yang dewasa, karena telah dapat memperlihatkan bentuk tanggung jawabnya kepada masyarakat. Norma-‐norma etika dalam buku ini merupakan komitmen IDAI yang telah disepakati secara nasional agar anggotanya dapat bekerja dengan profesionalisme yang tinggi disertai etika terpuji. Menjadi kewajiban anggota IDAI untuk mematuhi dan tunduk kepada norma etika dan perilaku yang telah ditetapkan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Undang-‐Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 2. Pedoman Praktik Dokter Spesialias Anak, IDAI, 2010. 3. Kesepakatan Bersama Tentang Etika Promosi Obat antara GP Farmasi Indonesia dengan PB IDI tanggal 11 Juni 2007. 4. Pedoman Penegakan Disiplin Kedokteran, KKI, 2006. 5. Undang-‐Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 6. Undang-‐Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. 8. Panduan Imunisasi Di Indonesia, Edisi 4, Balai Penerbit IDAI 2011. 9. Anggaran Dasar IDAI, 2011. 10. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik Di Indonesia, KKI, 2007. 11. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Tahun 2012. 12. Manual Rekam Medis, KKI, 2006. 13. Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, KKI, 2006. 14. Pedoman Praktik Dokter Spesialis Anak, IDAI, 2010. 15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan. 16. Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-‐Pasien, KKI, 2007. 17. Surat Keputusan KKI No. 17/KKI/KRP/VIII/2006 Tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran. 18. Undang-‐Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. 19. Pedoman Organisasi Dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, IDI, 2007. 20. Permenkes Nomor 1787/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Iklan Dan Publikasi Pelayanan Kesehatan. 21. Deklarasi Helsinki, WMA, 2004. 22. Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran, KKI, 2006. 23. Isnanto RR. Buku Ajar Etika Profesi. Univesitas Diponegoro, Semarang, 2009. 24. Permenkes Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah sakit. 25. Rencana Strategi IDAI 2009-‐2015, IDAI, 2009. 26. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 9A Tahun 2008 Tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan. 27. Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IVP). 28. WHO/UNICEF. A Joint Statement: The Ten Steps to successful breastfeeding, Geneva, Switzerlands, 1989. 29. Joint Commission International. International Patient Safety Goals, Updated 9 February 2012. 30. The Idaho Psychological Association, Ethics Committee. Effect of religions on ethical issues including end of life consideration, genetic counseling, abortion, artificial reproduction and organ donation, October, 2009.
31. American Academy of Pediatrics. Minors as living solid organ donors. Pediatrics 2008;122:454-‐ 61. 32. Canadian Pediatric Society, Bioethics Committee. Guidelines for testing of healthy children – addendum. Pediatr Child Health 2008;13:311. 33. American Academy of Pediatrics. Policy Statement-‐Pediatrician-‐Family-‐Patient Relationships: Managing the Boundaries. Pediatrics 2009;129:1685-‐88. 34. Undang-‐undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Right of Persons Wtih Disabilities. 35. Majelis Umum PBB: Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention On the Rights of Persons With Disabilities, 13 Desember 2006.