Padatnya Keretaku: Studi Deskriptif Pengalaman Kepadatan (Crowding Experience) pada Pengguna KRL Commuter Line Iqbal Maesa Febriawan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstrak dan Kata Kunci Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line adalah salah satu moda transportasi publik dengan daya angkut besar yang diperuntukkan bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebagaimana moda transportasi lain, KRL Commuter Line juga memiliki masalah. Salah satu masalah yang dialami adalah kepadatan yang dirasakan pengguna Commuter Line. Persepsi dan pengalaman kepadatan dapat berdampak pada kenyamanan penumpang dalam bertransportasi. Studi ini mencoba melihat gambaran pengalaman dan persepsi kepadatan pada pengguna Commuter Line. Analisis yang dilakukan mengenai persepsi dan pengalaman kepadatan adalah analisis data deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan mempersepsikan Commuter Line sangat padat dan profil pengalaman kepadatan yang menonjol adalah reaksi afektif. Analisis crosstab dilakukan terhadap variabel data kontrol. Saran dijelaskan setelah pembahasan dan diskusi terkait hasil penelitian. Kata Kunci: KRL, Commuter Line, Kepadatan
Latar Belakang Kereta rel listrik (KRL) adalah salah satu moda transportasi publik yang digunakan orang-orang untuk rute Jakarta dari atau ke kota pendukung seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Menurut Darmawan (2009), KRL adalah alternatif transportasi yang murah, dapat dijangkau masyarakat, memiliki layanan operasional yang luas, dan mudah secara teknologi jika dibandingkan dengan model ‘kereta’ lain seperti subway atau monorail. KRL dibagi menjadi dua tipe yang berbeda dari segi fasilitas dan harga: Ekonomi dan Commuter Line. Data yang tercatat di Ditjen Perkeretaapian Indonesia menunjukkan bahwa pengguna KRL Jabodetabek berjumlah 151,26 juta pengguna pada tahun 2009 (Rukmini, 2012). Iles (2005) menyatakan bahwa sistem transportasi yang baik penting untuk perkembangan sebuah negara. Transportasi publik yang memadai sangat penting bagi negara karena rasio kendaraan pribadi dan penduduk tidak birelasional sehingga transportasi publik menjadi alternatif warga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kereta sebagai mode pengangkut massa terbesar semestinya memperhatikan kesejahteraan (well-being) penumpangnya. Salah satu indikator kesejahteraan penumpang adalah kenyamanan penumpang ketika menggunakan jasa transportasi. Kenyamanan dalam gerbong merupakan salah satu faktor yang mendukung kepuasan konsumen terhadap jasa KRL (Darmawan, 2009). Berdesak-desakan terutama pada saat traffic hour merupakan salah satu penyebab gangguan kenyamanan penumpang kereta api. Singer, Lundberg, dan Frankenhauser (1978, dalam Wener & Evans, 2011) menemukan bahwa kereta yang terlalu padat akan menimbulkan stres fisik bagi penumpangnya. Kepadatan yang terjadi disebabkan jumlah pengguna yang membludak dan fasilitas kereta api yang belum optimal menampung pengguna kereta api (Surya, 2006). Hidayat (2009) berpendapat bahwa meningkatnya pengguna jasa KRL disebabkan oleh peningkatan pekerja di wilayah Jabodetabek, tingkat kemacetan di jalan raya Jabodetabek, pengalihan trayek (bus), dan minimnya transportasi publik lain yang menghubungkan kota pendukung – terutama di wilayah Bogor dan sekitarnya – dengan Jakarta. Dampak langsung yang dirasakan akibat kepadatan kereta adalah berkurangnya rasa aman dan nyaman selama perjalanan menggunakan KRL. Sebagai upaya untuk mengurangi gangguan sebagai dampak dari kepadatan transportasi, riset tentang kepadatan dapat dilakukan. Terkait dengan rencana PT. Kereta Api Indonesia Commuter Jabodetabek (PT. KCJ) untuk meningkatkan jumlah penumpang hingga dua juta individu (Darmawan, 2009), penelitian ini bermanfaat ke depannya untuk
memberikan insight mengenai persepsi kepadatan armada Commuter Line sehingga perlu ada modifikasi tertentu dalam sistem perkeretaan. Estimasi kepadatan optimal kereta dapat menguntungkan pihak jasa kereta dan penumpang karena dapat memaksimalkan daya angkut tanpa memicu stres pada penumpang. Hal ini dapat dibuktikan oleh studi Meyer dan Dauby (2002, dalam Wener & Evans, 2011) yang menemukan bahwa stres akibat padatnya penumpang pada kereta di Jepang dapat dikurangi karena pihak yang terkait dengan kereta telah memrediksi kepadatan optimal kereta. Studi ini mencoba melihat gambaran pengalaman kepadatan pada pengguna KRL Commuter Line. Fokus studi ini berada pada kereta Commuter Line karena adanya wacana penghapusan KRL ekonomi sehingga Commuter Line menjadi satu-satunya jenis transportasi kereta yang mengangkut penumpang dari dan ke Bogor, Jakarta, Tangerang, serta Bekasi. Said (2013) menyatakan bahwa terdapat kelonjakan penumpang Commuter Line setelah kebijakan tersebut diberlakukan.
Pembahasan Makalah ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai gambaran pengalaman kepadatan pada pengguna moda transportasi Commuter Line. Pembahasan mengenai hal tersebut terbagi atas penjabaran teori dan metode penelitian untuk menjawab pertanyaan tersebut. Landasan Teori Kepadatan dapat dipandang sebagai fenomena objektif (density) maupun pengalaman subjektif (crowding). Crowding menurut Paulus dan Baum (2010) adalah pengalaman eksposur banyaknya orang dalam ruang yang sempit. Pengalaman tersebut sifatnya lebih bersifat negatif. Kepadatan secara objektif tidak selalu terkait dengan pengalaman subjektifnya dan hanya kepadatan sebagai pengalaman subjektif yang dapat menimbulkan stres (Cox, Houdmont, & Griffiths, 2006). Penelitian mengenai pengalaman subjektif kepadatan kereta pertama kali dilakukan oleh Strategic Rail Authority (2002, dalam Mahudin, 2012) yang menyatakan bahwa kepadatan (kereta) adalah ketiadaan ruang untuk duduk atau ruang untuk berdiri kurang dari 0,55 m2. Davis Associates (2008, dalam Mahudin, 2012) mengungkapkan bahwa pengalaman kepadatan dimaknai penumpang kereta sebagai ketersediaan tempat duduk, durasi berdiri penumpang, dan ruang personal. Individu dapat memaknai sebuah ruang sebagai padat ketika ruang tersebut terbatas dalam pergerakan, menghambat untuk mencapai tujuan, atau mengganggu ruang pribadi (Eroglu, Machleit, & Barr, 2005; Evans & Wener, 2007, dalam Mahudin, 2012). Pengalaman kepadatan dalam konteks transportasi berbeda di setiap negara. Penelitian di Inggris mengemukakan bahwa lima penumpang per meter persegi untuk tempat berdiri adalah batas nyaman untuk penumpang kereta sedangkan penelitian di India menyatakan bahwa 14-16 orang per meter persegi adalah standar maksimal untuk penumpang kereta (Tipping Point Institute, 2009; Nair & Kumar, 2005, dalam Hirsch & Thompson, 2011). Studi mengenai density ini juga pernah dilakukan oleh PT. KCJ. Hidayat (2009) mengutip hasil studi tersebut yang menyatakan bahwa enam orang per meter persegi adalah titik dense pada jam sibuk (sekitar pukul 05.00 – 10.00 WIB dan 16.00 – 19.00 WIB). Studi tersebut hanya mengoperasionalisasikan penumpang sebagai individu yang membeli tiket namun ada individu yang tidak membeli tiket namun dapat masuk ke gerbong kereta. Studi ini pun hanya melihat kepadatan secara objektif namun belum menyasar ke crowdedness-nya.
Cheng (2010, dalam CRC for Rail Innovation, 2011) menyatakan bahwa pengalaman kepadatan adalah faktor terkuat penyebab kecemasan dalam bertransportasi. Kepadatan secara subjektif juga diasosiasikan dengan pengalaman menakutkan dan persepsi resiko pada penumpang kereta (Cullen, 2001; House of Commons Transport Committee, 2003, dalam Cox, Houdmont, & Griffiths, 2006). Pengalaman kepadatan juga terkait dengan berkurangnya minat sosialisasi, meningkatkan agresivitas (Paulus & Baum, 2010). Berkurangnya minat sosialisasi juga berdampak pada menurunnya peluang mendapatkan dukungan sosial, yang mana berkontribusi terhadap stres akibat mengalami kepadatan. Persepsi negatif terkait kepadatan bermula dari terganggunya ruang pribadi seseorang. Paulus dan Baum (2010) menyatakan bahwa penelitian mengenai pengalaman kepadatan menemukan bahwa persepsi atas kontrol perilaku (perceived control) adalah faktor utama untuk memahami penyebab dan akibat pengalaman kepadatan. Secara spesifik, Mahudin (2012) mengemukakan dimensi subjektif dari kepadatan antara lain evaluasi aspek psikologis-sosial dari kepadatan, evaluasi terhadap aspek lingkungan (keruangan), dan reaksi afektif terhadap pengalaman kepadatan dalam ruangan. Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah non-eksperimental dengan satu variabel. Variabel pengalaman kepadatan dioperasionalisasikan dengan skor kuesioner yang diisikan partisipan. Partisipan penelitian adalah individu yang pernah menggunakan kereta Commuter Line. Sebagai validasi penggunaan Commuter Line, pertanyaan mengenai frekuensi menggunakan Commuter Line dicantumkan dalam data kontrol. Penarikan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling karena peneliti tidak memiliki data pengguna Commuter Line dan kuesioner diadministrasikan secara daring (online). Siapapun yang menemukan tautan tersebut dan pernah menggunakan Commuter Line dapat mengisi kuesioner tersebut. Pengumpulan data menggunakan alat ukur adaptasi dari kuesioner yang dikembangkan Mahudin (2012). Alat ukur ini terdiri dari 20 item yang berskala 1-5 dan mengukur tiga dimensi yang berkontribusi terhadap pengalaman kepadatan, yaitu evaluasi aspek psikologis-sosial dari kepadatan (7 item, α = .93), deskripsi aspek lingkungan (ambient) (4 item, α = .86), dan reaksi afektif terhadap pengalaman kepadatan dalam ruangan (9 item, α = .91). Pengalaman kepadatan yang bersifat subjektif-psikologis lebih baik dioperasionalisasikan dalam skala yang bersifat multidimensional sehingga interpretasi hasil bukan merupakan kategori pengalaman padat-atau-tidak, melainkan menunjukkan faktor-
faktor yang berperan dalam menyusun pengalaman kepadatan (Mahudin, 2013). Kuesioner disebarkan
melalui
fasilitas
Google
Docs
di
tautan
https://docs.google.com/forms/d/1pVcKOAXAueuaPoo660eOiwzOh3Exd66weXUf2mLvAh I/viewform mulai tanggal 16 Juli 2013 – 20 Juli 2013. Pengolahan data menggunakan statistik deskriptif dengan Microsoft Excel 2012 dan SPSS 17.0.
Hasil dan Pembahasan Tautan kuesioner ditutup pada tanggal 20 Juli 2013. Setelah ditutup, data direkapitulasi dan dicek kelengkapannya. Setelah melalui proses rekapitulasi dan pembersihan data, 39 orang dianggap sebagai partisipan penelitian yang memiliki data yang lengkap. Persebaran data kontrol penelitian disajikan sebagai berikut. Dua puluh orang partisipan adalah laki-laki dan sembilan belas orang adalah perempuan. Umur partisipan tersebar dari 16 – 54 tahun (M = 23,15 tahun; SD = 7,12). Domisili partisipan terbanyak ada di Jakarta (n = 13). Stasiun besar yang kebanyakan partisipan akses adalah stasiun Jakarta Kota (n = 13). Partisipan penelitian ini kebanyakan menggunakan Commuter Line secara tentatif (n = 19). Sebagian besar partisipan mempersepsikan Commuter Line yang ditumpanginya terakhir kali (recent experience) sebagai sangat padat (n = 16). Skala yang mengukur aspek psikologis-sosial memiliki skor 10-35 (M = 24,03; SD = 6,71), aspek afektif memiliki skor 10-45 (M = 28,03; SD = 9,46), dan aspek deskripsi lingkungan (ambiens) memiliki skor 4-20 (M = 12,72; SD = 4,24). Profil setiap individu pun dilihat di masing-masing aspek. Skor tertinggi pada suatu aspek dijadikan sebagai faktor yang paling dipersepsi partisipan dalam pengalaman kepadatan. Skor tertinggi pada aspek afektif diraih oleh sebagian besar partisipan penelitian (n = 28) disusul oleh aspek sosial-psikologis (n = 8). Tiga orang partisipan memiliki skor yang sama pada aspek afektif dan sosial-psikologis. Tidak ada partisipan yang memiliki skor tertinggi di aspek ambiens. Analisis crosstab dilakukan pada variabel persepsi kepadatan. Persepsi Commuter Line yang padat hingga sangat padat dialami oleh 10 orang partisipan laki-laki dan 15 orang partisipan perempuan. Berdasarkan domisili, persepsi padat hingga sangat padat dalam menggunakan Commuter Line paling banyak dirasakan oleh individu yang berdomisili di Bogor (n = 8). Berbeda dengan pendapat bahwa semakin sering menggunakan Commuter Line akan berdampak pada persepsi kepadatan, pemaknaan padat hingga sangat padat justru lebih banyak dialami oleh pengguna Commuter Line yang sifatnya tentatif (n = 10). Analisis crosstab berikutnya dilakukan pada variabel pengalaman kepadatan, terutama aspek afektif. Aspek afektif dari pengalaman kepadatan dialami oleh laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama, yaitu 14 orang. Penumpang Commuter Line yang
menggunakan moda transportasi secara tentatif dan setiap hari kerja paling banyak mengalami kepadatan secara afektif (n = 11).
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas partisipan penelitian ini mempersepsikan KRL sebagai moda transportasi yang sangat padat. Aspek pengalaman kepadatan yang paling dirasakan partisipan penelitian ini adalah aspek afektif. Meskipun partisipan perempuan lebih banyak mempersepsi Commuter Line sebagai moda transportasi yang padat, pengalaman kepadatan secara afektif dialami partisipan laki-laki sama banyaknya dengan partisipan perempuan. Partisipan yang tentatif menggunakan Commuter Line mempersepsi padat moda transportasi tersebut. Selain pengguna tentatif, pengalaman kepadatan juga dialami oleh pengguna Commuter Line yang setiap hari kerja menggunakan moda transportasi tersebut. Pada ranah teoretis, penelitian ini telah menjawab gambaran pengalaman kepadatan pada pengguna kereta Commuter Line dan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya. Limitasi penelitian ini antara lain adalah studi ini masih bersifat deskriptif sehingga tidak dapat digeneralisasikan pada seluruh populasi pengguna Commuter Line. Meskipun hasil mengaitkan pengalaman dan persepsi kepadatan dengan beberapa variabel dalam data kontrol melalui analisis crosstab, interpretasi hasil tidak serta-merta menyimpulkan bahwa ada korelasi atau pengaruh variabel tersebut pada pengalaman kepadatan. Penelitian lanjutan mengenai hubungan atau pengaruh pengalaman kepadatan sangat disarankan sebagai kelanjutan dari penelitian ini. Penelitian ini pun dapat diperkaya pembahasannya dengan penelitian yang menggunakan pengukuran fisiologis atau observasi. Penelitian selanjutnya juga dapat meneruskan temuan analisis crosstab yang dilakukan dalam penelitian ini. Salah satu variabel yang disarankan untuk dicari hubungan atau pengaruh dari pengalaman kepadatan adalah spillover effect. Spillover effect adalah terpengaruhnya domain lain dalam kehidupan sebagai akibat dari persepsi kepadatan (Evans & Cohen, 2004; White & Rotton, 1998, dalam Mahudin, 2012). Spillover effect dapat berdampak mulai dari kualitas hubungan interpersonal yang menurun hingga berkurangnya produktivitas kerja. Paulus dan Baum (2010) memberikan beberapa saran untuk mengurangi efek pengalaman kepadatan. Saran pertama adalah memberikan pengguna KRL antisipasi akan kepadatan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasang sistem pada kereta untuk menyatakan kepadatan kereta. Apabila pengguna kereta telah mengetahui kereta yang akan ditunggunya padat, penumpang dapat mempertimbangkan untuk tetap menumpang kereta
tersebut, menunggu kereta selanjutnya, atau menggunakan alternatif transportasi lain untuk mengurangi dampak buruk kepadatan. Saran kedua adalah melakukan modifikasi fisik untuk mengurangi dampak kepadatan. Dalam konteks Commuter Line, modifikasi fisik dapat dilakukan dengan menambah armada atau melakukan analisis ergonomi. Penambahan armada dilakukan agar rasio luas gerbong dan penumpang tidak terlalu menumpuk sehingga menyebabkan kepadatan. Analisis ergonomi terkait dengan fitur-fitur fisik dalam kereta, seperti jumlah pintu dan jendela, fungsi penyejuk udara, dan fitur fisik lain. Stakeholder atau peneliti di bidang ergonomi dapat merancang bentuk kereta yang dapat memuat penumpang seoptimal mungkin tanpa mengacuhkan aspek pengalaman kepadatan.
Daftar Pustaka Cox, T., Houdmont, J., & Griffiths, A. (2006). Rail passenger crowding, stress, health and safety in britain. Transportation Research: Part A 40 , 244-258. CRC for Rail Innovation. (2011). An annotated bibliography of passenger crowding on metropolitan railways: Psychological, cultural, human and economic factors. Brisbane: CRC for Rail Innovation. Darmawan, D. A. (2009). Analisis faktor permintaan jasa angkutan kereta api commuter di jabodetabek. In A. S. Hidayat, Optimalisasi Peran Jasa Transportasi Kereta Api: Pendekatan Model Diamond's Porter (pp. 47-94). Jakarta: Departemen Pendidikan & Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hidayat, A. S. (2009). Analisis kesenjangan permintaan dan penawaran jasa angkutan kereta api commuter jabodetabek. In A. S. Hidayat, Optimalisasi Peran Jasa Transportasi Kereta Api: Pendekatan Model Diamond's Porter (pp. 115-133). Jakarta: Departemen Pendidikan & Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Iles, R. (2005). Public transport in developing countries. Oxford: Elsevier, Inc. Mahudin, N. D. (4 Juli 2013). Crowding scale (Electronic mail). (I. M. Febriawan, Interviewer) Mahudin, N. D. (2012). Quality of rail passenger experience: The direct and spillover effects of crowding on individual well-being and organisational behaviour. Nottingham: University of Nottingham. Paulus, P. B., & Baum, A. S. (2010). Crowding. In J. M. Levine, & M. A. Hogg, Encyclopedia of Group Processes & Intergroup Relations (pp. 166-169). California: Sage Publication, Inc. Rukmini, M. (2012). Studi implementasi kebijakan dan aksesibilitas penyelenggaraan krl jabodetabek. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Said, M. (5 Juli 2013). Jumlah penumpang commuter line meningkat signifikan. Retrieved 19 Juli 2013, from radaronline: http://www.radaronline.co.id/berita/read/25748/2013/Jumlah-Penumpang-CommuterLine-Meningkat-Signifikan Surya, A. (2006). Arus penglaju dan moda angkutan darat di kota metropolitan indonesia. Jurnal Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Wahana Hijau 1 (3) , 84-88.