Affordances dan Adaptasi Penumpang pada Gerbong KRL Commuter Line Zahrina Basyarah, Antony Sihombing 1. Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia 2. Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Commuter line sebagai ruang yang bergerak dan berpindah dalam rel penggunanya bersifat sementara dan beragam. Dari hasil pengamatan langsung terhadap lapangan, pengguna yang beragam ini menyebabkan perilakunya juga beragam dalam menilai ruang commuter line. Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisik dari ruangan itu sendiri dan faktor non fisik dari pemikiran manusia terhadap faktor fisik yang ada. Perilaku manusia yang beragam ini termasuk ke dalam affordances dan affordances yang dilakukan berkali-kali dengan melalui pertimbangan serta prediksi dari penggunanya sehingga sampai kepada tahap beradaptasi. Adaptasi penting untuk dilakukan agar dapat bertahan pada gerbong KRL commuter line yang berbeda dari ruang-ruang pada umumnya, bergerak (dalam rel), tetap, terbatas, dan keberagaman penumpangnya tiap kurun waktu.
Affordances and Adaptation of The Passangers in KRL Commuter Line Car Abstract Commuter line as a moving space in its tracks is temporary and diversed. From the results of direct observation of the field, this diverse user behavior cause variousity in commuter line space assessment. It is influenced by the physical factors of the room itself and the non-physical factors of the human mind to the physical factors that exist. This diverse human behavior belong to the affordances and affordances that done many times with the consideration and prediction of users that come to the stage of adaptation. Adaptation is important to do in order to survive in KRL commuter line car, which are different from other spaces in general, moves (in rails), fixed, finite, and the diversity of passengers of each period.
Keywords : commuter line, physical, non-physical, affordances, adaptation
Pendahuluan Transportasi menjadi jawaban bagi sebuah kota dalam memfasilitasi penduduknya untuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang cepat. Biasanya kota-kota besar di negara maju mengandalkan angkutan masal sebagai transportasi utamanya. Angkutan masal berupa transportasi umum menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif dari kemacetan, polusi, dan sebagainya yang membuat kota mengalami penurunan kualitas terutama dari segi lingkungan. Transportasi umum di Jabodetabek yang paling efektif menurut saya adalah commuter line. Hal ini karena commuter line dapat memfasilitasi
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
perpindahan penduduknya dalam jumlah besar dalam satu waktu dan terhindar dari kemacetan. Walaupun pada kenyataannya commuter line di Jabodetabek masih dalam tahap optimalisasi layanan. Masih seringkali terjadi keterlambatan atau gangguan sinyal yang dapat menghambat keberlangsungan commuter line dalam beroperasi. Jika dilihat kenyataannya kini, terdapat berbagai macam pemanfaatan gerbong KRL commuter line oleh penumpang berbagai macam diantaranya; duduk, terdapat tempat duduk dan tempat duduk prioritas yang diutamakan bagi penyandang cacat, ibu hamil, manula, dan ibu dengan balita; berdiri, terdapat pegangan atas dan pegangan samping bagi para pengguna kereta yang berdiri agar tetap aman dan tidak terjatuh saat kereta hendak mengerem atau hendak mengegas; adapula beberapa penumpang yang ingin duduk dan tidak mendapatkan tempat duduk membawa tempat duduk portablenya sendiri dan menggunakan ruang berdiri untuk dapat duduk. Ada lagi perilaku pengguna yang tidak segan-segan menggunakan ruang berdiri untuk duduk dan bersandar ke dinding kereta. Perilaku ini biasanya terdapat di bagian pinggir-pinggir kereta agar tidak terinjak dan menghambat alur sirkulasi penumpang lain; penyimpanan, terdapat tempat penyimpanan diatas tempat duduk untuk menaruh barang bawaan dan meringankan beban penumpang. Tempat penyimpanan sangat membantu bagi penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk dan diharuskan berdiri; dan sebagainya. Fenomena pemanfaatan gerbong KRL commuter line yang berbagai macam ini memunculkan beberapa pertanyaan bagi saya, Apakah sebenarnya faktor yang mempengaruhi perilaku manusia dalam menempati gerbong KRL commuter line, dan mengapa kecenderungan perilaku ini bisa terjadi demikian di gerbong KRL commuter line? Lingkup penulisan skripsi yang saya bahas akan dibatasi pada studi literatur mengenai teoriteori terkait dan juga melakukan studi kasus dengan mengamati gerbong KRL commuter line. Gerbong KRL commuter line yang akan saya amati dibatasi pada gerbong campur (2 – 7) dengan jurusan Bekasi – Jakarta kota dan sebaliknya. Pengamatan dilakukan dengan cakupan waktu dari pagi sampai malam hari dan di hari kerja sampai di hari libur yang tentu saja penggunaan terhadap ruang akan berbeda satu sama lainnya.
Tinjauan Teoritis Affordances dalam bahasa Inggris mempunyai dasar kata afford yang mempunyai arti mampu menyediakan, mengadakan, memberikan, menyajikan kemungkinan. Penggunaan kata
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
affordances dipopulerkan oleh Gibson (1950), seorang psikolog amerika yang memandang bahwa dunia ini bukan hanya apa saja yang ada di dalamnya beserta hubungannya dengan sekitar, tetapi juga bagaimana dunia ini menjadi objek agar manusia bisa melakukan kemungkinan apapun terhadapnya baik maupun buruk. Menurut Gibson (1950), manusia dengan aktif mengeksplor lingkungan mereka dan menyikapinya dengan berbagai cara; merasakan permukaannya, merasakan teksturnya, melihat dari berbagai sisi perspektif dan sebagainya. Proses ini yang kemudian menjadikan manusia dapat mempersepsikan objek menjadi fungsi yang beragam. Affordances menjadi salah satu naluri manusia dalam memanfaatkan suatu hal untuk bisa menjadi banyak hal, karena tentunya banyak sekali kemungkinan-kemungkinan bagaimana manusia menilai suatu lingkungan. Kemungkinan-kemungkinan ini jika dalam skala besar yang kemudian menjadikan suatu lingkungan hidup terus-menerus dengan banyak fungsi yang terus menerus terjadi. Contoh affordances dalam bacaan Another Pavement, Another Beach: Skateboarding and the Performative Critique of Architecture yaitu sebuah taman di Los Angeles. Pegangan tangga dan kursi tempat duduk yang tidak ada penggunanya dimanfaatkan sebagai lintasan skateboard untuk melompat dan turun kembali dari pegangan oleh para skateboarder. Contoh lain yang lebih sederhana terjadi di sekitar kita seperti dinding yang dijadikan tempat bersandar, tempat duduk panjang yang dijadikan tempat berbaring, dan sebagainya. Fenomena affordances juga di ungkapkan serupa oleh Shilling (1993) dan Turner (1996). Suatu ruang tidak statis hanya dengan satu fungsi saja tapi justru bagaimana ruang tersebut berpotensi untuk bisa menjadi ruang-ruang lainnya untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Sedangkan Kaplan & Kaplan (1982) mengungkapkan hal yang serupa bahwa mengalami persepsi terdiri dari banyak signifikansi, rangsangan, atau kejadian yang menyadarkan keberadaan manusia. Kaplan menyebutnya dengan istilah functionalism. Bagaimana manusia menilai lingkungan menjadi banyak hal atas dasar upaya manusia dalam mempertahankan dirinya. Adaptasi lain halnya dengan affordances dan functionalism. Berasal dari kata adaptāre dalam bahasa latin dan adapter dalam bahasa Perancis yang mempunyai arti menyesuaikan. Sedangkan Adaptation dalam bahasa Inggris mempunyai arti proses menyesuaikan atau disesuaikan. Menyesuaikan atau disesuaikan menjadi bagian dalam pemenuhan kebutuhan
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
dan mempertahankan diri. Mempunyai tujuan yang sama namun dalam berjalan menuju tujuan tersebut berbeda prosesnya. Menurut Scary (1985) dan Marcus (1995) adaptasi itu bagaimana manusia memilih dalam menempati ruang yang nyaman bagi mereka, menikmati, intim, mendalam, dan mengerti mereka. Sedangkan menurut Lang (1985) adaptasi merupakan proses bagaimana tubuh manusia mencocokkan diri terhadap lingkungannya. Sedangkan pendapat Franck & Lepori (2000) dalam bukunya Architecture Inside Out menyatakan bahwa tempat yang cocok terhadap manusia, selain perpanjangan dari tubuh, memiliki unsur ingatan dan harapan. Menjadikan tempat tersebut punya nilai, memberikan aspirasi, dan kepemilikan terhadap tempat tersebut dengan atau tanpa batasan fisik terhadap orang tertentu. Namun tidak sebatas itu saja, menurut Bell (2001), pada proses adaptasi terdapat variabel penting di dalamnya yaitu memprediksi. Dalam bukunya Space & Place, Yi-Fu Tuan (1977) melakukan suatu percobaan dengan sebuah tikus selama beberapa kali untuk dapat melihat bagaimana tikus dalam beradaptasi dengan ruang. Penelitian ini beliau beri nama learning maze. Penelitian Yi Fu Tuan ini menyimpulkan bahwa tahapan-tahapan yang dilalui tikus dimulai dari awalnya hanya space kosong, dilalui, dialami, dan dipelajari sampai akhirnya teridentifikasi patokanpatokannya (landmark). Setelah semakin familiar terhadap ruang tersebut akhirnya terbentuk pola jalan yang benar dan cepat. Proses dari space menuju place yang dialami selama berkalikali ini menjadi salah satu bentuk kemampuan tikus dalam beradaptasi terhadap labirin untuk dapat menemukan jalan yang benar dan cepat. Mirip halnya dengan manusia, proses adaptasi dilakukan dengan mengalami, mempelajari, dan mengidentifikasi sampai manusia terbiasa dan merasa ini cara atau tempat yang tepat bagi mereka merasa nyaman dan cocok untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan mempertahankan hidupnya. Namun berbeda dengan tikus sebagai hewan, manusia sebagai makhluk
yang
paling
sempurna
mempunyai
kerumitan
diantaranya
faktor
yang
mempengaruhi menurut Bell (2001): perbedaan individu (jenis kelamin, usia), faktor situasional (waktu, bentuk fisik, ukuran), kondisi sosial (gaya hidup), faktor budaya (suku, agama, latar belakang).
Pembahasan Bentuk perilaku manusia dalam menilai gerbong KRL commuter line sejalan dengan pendapat Gibson (1950) mengenai affordances. Affordances memberikan apapun kemungkinan yang
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
dapat diberikan oleh lingkungan kepada manusia untuk dapat menilainya. Hal ini terjadi sangat beragam dan bervariasi sesuai dengan pengguna commuter line yang beragam dan terus berubah juga setiap rentan waktunya. Pada kasus commuter line, ruang berdiri bisa digunakan tidak hanya untuk berdiri saja tapi juga untuk duduk, duduk santai, duduk sila, untuk bersandar, untuk anak kecil bermain kesana kemari, dan sebagainya. Ruang duduk bisa digunakan tidak hanya untuk duduk tapi juga untuk duduk selonjoran, untuk tiduran, untuk anak kecil naik keatasnya lalu melihat pemandangan keluar, untuk tempat menaruh barang agar terlihat oleh jangkauan mata pemiliknya, dan sebagainya. Namun affordances dalam studi kasus commuter line tidak sering memanfaatkan ruang kereta untuk menghidupkan ruang tersebut seperti pada taman kota di Los Angeles yang ingin menghidupkan suatu lokasi yang mati aktivitasnya dengan bermain skateboard dan memanfaatkan fasilitas yang ada seperti pegangan tangga dan tempat duduk. Tetapi affordances dalam gerbong KRL commuter line ini lebih mengarah ke teori functionalism oleh Kaplan & Kaplan (1972) dalam tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan mempertahankan hidup mereka pada ruang publik yang bergerak dengan situasi manusia yang beragam.
Gambar 1. Ragam Perilaku Affordances Penumpang pada Gerbong KRL Commuter Line
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
Adaptasi terjadi ketika manusia sudah mengalami affordances berkali-kali dan mengetahui mana yang membuat mereka nyaman dan dapat bertahan. Kemudian membentuk perilaku manusia yang dipilih sampai akhirnya menjadi suatu kebiasaan dalam memberikan kenyamanan sebagai ruang perpanjangan tubuhnya sendiri. Jika menurut Bell (2001) dalam bukunya Environmental Psychology, adaptasi terjadi melalui suatu proses manusia melakukan pertimbangan dan prediksi terhadap bagaimana mereka akan berperilaku terhadap suatu ruang. Dalam commuter line prediksi yang dilakukan merupakan bagian dari faktor non fisik yang kemudian mempengaruhi perilaku manusia sebagai imbas dari faktor fisik yang ada di gerbong KRL commuter line. Adaptasi mirip halnya dengan percobaan learning maze yang dilakukan oleh Yi Fu Tuan. Manusia mengalami gerbong KRL commuter line terlebih dahulu, baru kemudian menilainya menjadi suatu tempat (melakukan berbagai affordances). Melalui proses trial dan error berkali-kali sampai akhirnya mereka mengetahui kecenderungannya tempat mana yang paling nyaman dan tempat yang paling tidak nyaman bagi mereka. Sehingga proses sampai dengan pada tahap ini yang dinamakan adaptasi.
Gambar 2. Ragam Perilaku Adaptasi Penumpang pada KRL Commuter Line
Adaptasi yang dilakukan sebagai tindakan diri dalam menghadapi permasalahan kepadatan penumpang. Dalam studi kasus gerbong KRL commuter line, adaptasi pasti terjadi pada saat tingkat kepadatannya tinggi. Ketika tingkat kepadatan tinggi, penumpang tidak mendapatkan ruangnya untuk berdiam di ruang yang bergerak secara layak yang kemudian penumpang beradaptasi dengan ruang yang seadanya. Commuter line dengan kepadatan tinggi dari hasil pengamatan paling mungkin sering terjadi pada hari kerja pagi hari Bekasi – Jakarta Kota, dan pada hari kerja sore hari Jakarta Kota – Bekasi. Hal ini juga berkaitan dengan penumpang
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
pada rentan waktu ini merupakan penumpang tetap yang biasa menggunakan commuter line untuk tujuan yang sama setiap hari kerjanya, sehingga diperkirakan sudah mengalami ruang secara berkali-kali, mengerti, dan memilih ruangnya sehingga proses adaptasi terjadi. Kepadatan
Hari Kerja Bekasi – Jakarta Kota
12 10 8 6 4 2 0
Kepadatan
Pagi (05 -‐ 10)
Siang (10 -‐ 15)
Sore (15 -‐ 20)
Malam (20 -‐ 24)
Hari Kerja Jakarta Kota – Bekasi
10 8 6 4 2 0
Pagi (05 -‐ 10)
Siang (10 -‐ 15)
Sore (15 -‐ 20)
Malam (20 -‐ 24)
Gambar 3. Kurun Waktu Kemungkinan Banyak Terjadinya Adaptasi
Namun ada saja bagi mereka penumpang yang tidak melakukan adaptasi terjadi peristiwa seperti tidak kuat sampai pingsan dalam prosesnya berpindah menuju tempat yang dituju.
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
Bagi karakteristik commuter line yang bergerak (dalam rel), tetap, terbatas, dan keberagaman penumpangnya tiap kurun waktu adaptasi penting untuk dilakukan untuk dapat bertahan.
Kesimpulan Dari studi kepustakaan dan studi kasus yang saya lakukan maka terdapat dua faktor yang mempengaruhi manusia dalam berperilaku di dalam gerbong KRL commuter line yaitu faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik terdiri dari ukuran (volum), bentuk (proporsi), warna dan penerangan, jendela, organisasi ruang, dan furnitur. Faktor-faktor fisik ini menjadi faktor yang secara langsung dapat dilihat oleh manusia dan secara langsung pula mempengaruhi perilaku manusianya. Sedangkan faktor non fisik terdiri dari kenyamanan dan mobilitas, keselamatan dan keamanan, faktor sosial, faktor psikologi, dan sistem pemeliharaan. Faktorfaktor non fisik menjadi faktor yang tidak bisa dilihat secara langsung melainkan dialami, dirasakan, dan dipertimbangkan bagi penggunanya. Keduanya berjalan bersamaan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam membentuk perilaku manusia di gerbong KRL commuter line. Manusia dalam mengalami dan memproses gerbong KRL commuter line hingga memberikan nilai kepadanya akan mengalami faktor fisik terlebih dahulu secara langsung yang kemudian menjadikan faktor non fisik sebagai tinjaunnya sekaligus referensi atau bahan pertimbangan dari menentukan perilakunya terhadap faktor fisik ruangan yang ada. Sehingga akan terbentuk pilihan yang dibuat oleh pengguna terhadap ruang fisik sebagai ruang perpanjangan dari tubuhnya atas pertimbangannya dari faktor non fisik gerbong KRL commuter line yang bergerak (dalam rel), tetap, dan terbatas. Affordances bisa terjadi kapan saja namun kemungkinannya akan lebih besar dan banyak terjadi di gerbong KRL commuter line pada saat keadaan commuter line normal dapat berpindah di dalam gerbong. Ketika keadaan commuter line normal dapat berpindah di dalam gerbong, lebih banyak kemungkinan apa saja yang bisa diberikan ruang bagi penumpangnya. Sedangkan adaptasi lebih banyak dilakukan di gerbong KRL commuter line pada saat keadaan padat sesak tidak dapat berpindah di dalam gerbong sehingga pengguna di dalamnya memanfaatkan ruang yang segitu saja agar dapat bertahan. Penumpang pada rentan waktu ini juga merupakan pengguna tetap yang biasa menggunakan commuter line untuk tujuan yang sama setiap hari kerjanya, sehingga diperkirakan sudah mengalami ruang secara berkali-kali, mengerti, dan memilih ruangnya sehingga mencapai proses adaptasi. Tindakan dan perilaku penggunanya yang melakukan adaptasi berarti sekaligus melakukan affordances pula namun
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
pengguna yang melakukan affordances belum tentu mereka melakukan adaptasi juga. Adaptasi pada gerbong KRL commuter line muncul setelah affordances yang dilakukan secara berkali-kali dan melalui pertimbangan serta prediksi dari penggunanya sehingga baru dapat dikatakan beradaptasi. Maka pada perilaku adaptasi sering terjadi pada kebutuhan pengguna commuter line untuk pergi dan pulang bekerja yang rutin dilakukan setiap harinya oleh penumpang pada hari kerja. Sedangkan affordances terjadi kebanyakan pada pengguna commuter line yang menggunakan commuter line dengan kebutuhan tertentu saja dan tidak secara rutin. MANUSIA
RUANG
Gambar 4. Diagram Manusia Menilai Ruang, Ruang Membentuk Perilaku Manusia
Sehingga pada contoh kasus gerbong KRL commuter line, gerbong KRL commuter line menjadi salah satu contoh ruang (lingkungan) yang membentuk kebiasaan atau perilaku dari penggunanya (manusia). Bagi karakteristik commuter line yang berbeda dari ruang-ruang pada umumnya, bergerak (dalam rel), tetap, terbatas, dan keberagaman penumpangnya tiap kurun waktu, adaptasi penting untuk dilakukan untuk dapat bertahan.
Daftar Referensi Bell et all. (1996) Environmental Psychology, 4th edition. Harcourt College. Borden, I. (2001) Another pavement, another beach: skateboarding and the performative critique of architecture. Carmona et all. (2003) Public Places Urban Spaces: The Dimensions of Urban Design. London: Architectural Press. Ching, F. (1996) Architecture: Form, Space, and Order, 2nd edition. New York. Franck, K. & Lepori, R. (2000) Architecture Inside Out. Wiley Academy. Greeno, J. (1994) Gibson’s Affordances. American Psychological Association. Hall, T. (1966) The Hidden Dimension. New York: Doubleday. Neufert (2000) Architect’s Data, 3rd Edition. Blackwell Science. Panero, J. & Zelnik, M. (1979) Human Dimension & Interior Space. Watson-Guptil.
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014
Pollan, M. (1997) A Place of my own: The Education of an Amateur Builder. New York: Dell Publishing Pribadi,
D.
(2013)
Warisan
Kolonial
dan
Sejarah
Sosial
Kereta
Api.
Diakses
pada
http://travel.kompas.com/read/2013/12/20/1237288/Warisan.Kolonial.dan.Sejarah.Sosial.Kereta.Api [16 mei 2014 11:54] PT. KAI Commuter Jabodetabek (2014) Sekilas KRL. Diakses pada http://www.krl.co.id/sekilas-krl.html [16 april 2014 10:28] PT.
Kereta
Api
Indonesia
(2010)
Lintas
Jalan
Rel
Kereta
Api.
Diakses
pada
http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&id=165&Itemid=159&lang=id [16 mei 2014 11:52] Tuan, Y. (1977) Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota. Tunggal, N. & Herusansono, W. (2014) Menelusuri Jejak Stasiun Kereta Api Pertama di Indonesia. Diakses pada
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/menelusuri-jejak-stasiun-kereta-api-pertama-di-
indonesia [16 mei 2014 11:53] Woodson, W. (1981) Human Factors Design Handbook: Information and Guidlines for the Design of Systems, Facilities, Equipment, and Products for Human Use. McGraw-Hill.
Affordances Dan..., Zahrina Basyarah, FT UI, 2014