bagian III
Berkarya di Lemigas
P
ada tahun 1968, Ir. Gufron, salah seorang dosen Teknik Perminyakan, memanggil Rachmat bersama mahasiswa lainnya ke kantornya. “Kita masih punya sisa dana proyek Survey. Saya minta kalian untuk mengumpulkan data ke Ditjen Migas dan Lemigas di Jakarta. Kalian diberi waktu tiga hari,” jelasnya. Tentu saja kami sangat gembira mendapat tugas tersebut. Rachmat memang mengenal Lemigas untuk pertama kali waktu dia masih duduk dibangku kuliah. ” Setelah dari Ditjen Migas yang waktu itu berada di Jalan Hayam Wuruk, sampai dipemberhentian opelet terakhir di Mayestik kami terpaksa naik andong untuk dapat sampai ke kantor Lemigas di Cipullir, Kebayoran Lama. Waktu itu belum ada kendaraan umum menuju kesana. Saya lihat Lemigas baru di bangun di atas lahan luas yang masih terdapat banyak pohon buahbuahan. Gedung-gedungnya terlihat masih sederhana, tapi saya lihat didalamnya terpasang peralatan laboratorium geologi dan petrofisik yang canggih.” Laboratorium petrofisik tersebut dibangun melalui kerja sama dengan Core Laboratories (Corelab), perusahaan jasa teknik dari Amerika Serikat yang terkenal di industri migas. Dia cukup terkesan atas tekad dan kesungguhan pimpinan Lemigas waktu itu untuk mengisi kekosongan bidang jasa yang cukup mendasar, pekerjaan ‘rutin’ yang waktu itu terpaksa dilakukan di luar negeri. Di bagian belakang dari komplek perkantoran dan laboratorium itu, Rachmat melihat perumahan karyawan yang kemudian hari semuanya dipindah sehingga seluruh lahan seluas kurang lebih delapan hektar diperuntukan untuk perkantoran dan laboratorium. |
43
|
Pertambang
Berkarya di Lemigas
a | Rachmat Sudibjo
Gambar 21. Syarif A Loebis, Kepala Lemigas ke-I, dan Subijanto, Kepala Bidang XX.
Lembaga Minyak dan Gas Bumi, atau disingkat LEMIGAS didirikan tahun 1965 setelah melalui persiapan yang dilakukan sejak tahun 1961, setahun setelah Undang-undang No. 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Migas dilahirkan, menggantikan Undang-undang kolonial ’Mijnwet’. Ir. Sjarif A Loebis yang memimpin persiapan pembentukan lembaga ini diangkat sebagai Direktur Lemigas. Melalui lembaga ini Pemerintah ingin menggiatkan kegiatan penelitian, pendidikan dan latihan serta menyediakan data dan informasi Migas yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan. Lemigas menjadi besar setelah Pemerintah melikuidasi perusahaan negara PERMIGAN dan kilang minyak di Cepu serta lapangan-lapangan minyak di sekitar Cepu diserahkan kepada Lemigas untuk dijadikan pusat pendidikan dan pelatihan lapangan di bidang migas. Akademi Minyak dan Gas Bumi (Akamigas) Cepu ditetapkan sebagai bagian dari Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Migas dalam lingkungan Lemigas. Kepada seluruh karyawan Lemigas diberlakukan Peraturan Gaji Pegawai Perusahaan Minyak, dan semua pegawai diberi pangkat dan golongan |
44
|
gaji sesuai dengan peraturan tersebut. Pertamina juga mengalokasikan dana bagi Lemigas yang dianggap sebagai ujung tombak penelitian dan pengembangan teknologi migas. Kerja sama dengan pihak ketiga, seperti Corelab dilakukan melalui pembentukan Unit Swadana. Dalam suasana dan semangat itulah Lemigas melakukan rekrutmen pegawai melalui program kader spesialis, dimana Rachmat masuk dan bergabung sebagai gelombang pertama yang diberangkatkan ke Perancis. Di samping calon pegawai pada gelombang pertama juga dikirim pegawai yang sudah bekerja beberapa tahun, diantaranya adalah Umar Said yang dikemudian hari mempengaruhi perjalanan karir Rachmat. Pada saat Rachmat masih melaksanakan tugas belajar di luar negeri, tahun 1977 Lemigas diubah menjadi Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” (PPTMGB “LEMIGAS”) dalam lingkungan Direktorat Jenderal Migas dan Prof. Wahjudi Wisaksono diangkat sebagai Kepala Pusat menggantikan Syarif A. Loebis. Proses impassing dari seluruh karyawan Lemigas menjadi pegawai negeri selesai dilakukan tahun 1978. Perubahan status Lemigas antara lain adalah akibat dampak dari krisis Pertamina yang mencapai puncaknya pada tahun 1975. Karena impassing ini Lemigas kehilangan beberapa tenaga manajemen inti karena hijrah ke perusahaan swasta. Rachmat kembali dari Perancis tahun 1977 dan diangkat sebagai Ketua Kelompok Penelitian Produksi, yang berstatus fungsional di bawah koordinasi Bidang Eksplorasi-Eksploitasi, kita biasa menyebutnya Bidang XX (baca eks-eks). Kelompok penelitian Rachmat ini hanya merupakan salah satu dari beberapa Kelompok Penelitian lainnya di lingkungan Eksploitasi, antara lain Kelompok Penelitian Penilaian Formasi, Reservoir dan Pemboran. Secara struktural Bidang ini juga membawahi Jasa Teknik laboratorium dan lapangan. Masih di bawah Bidang XX terdapat Proyek Konservasi Migas (PROVASI) yang mendapat pendanaan dari APBN di bawah program Pembangunan Nasional Lima Tahun (PELITA). PROVASI ini bertujuan untuk mendukung kegiatan sarana dan prasarana penelitian, termasuk membangun gedung eksploitasi menggantikan gedung laboratorium lama yang dibangun pada saat awal Lemigas berdiri.
|
45
|
Pertambang
Berkarya di Lemigas
a | Rachmat Sudibjo
Kelompok Penelitian Produksi yang kemudian berubah menjadi Kelompok Penelitian Peningkatan Produksi bertanggung jawab atas persiapan penelitian EOR untuk mendukung pemerintah dan industri apabila pada saatnya nanti dibutuhkan. Metoda EOR bertujuan untuk meningkatkan perolehan minyak dari lapangan yang sudah lama berproduksi tapi sisa cadangan minyaknya masih relatif besar. Dengan metoda konvensional perolehan minyak hanya sekitar 30-40% dan dengan metoda EOR angka itu dapat ditingkatkan hingga 60%. Posisi kelompok ini cukup strategis. Waktu itu industri migas Indonesia sudah berusia hampir 100 tahun dan mayoritas lapangan minyak di negara kita sudah tua. Banyak lapangan minyak kita ditemukan pada tahun 1920-1930 dan produksinya sudah menurun sehingga metoda EOR ini memang sangat diperlukan. Namun demikian, pada akhir tahun 1970-an, di Indonesia penelitian semacam ini masih belum mendapat perhatian khusus mengingat teknologinya masih dipandang canggih dan mahal. Bahkan pada skala global, mayoritas proyek EOR yang dilaksanakan banyak yang masih dalam tahap pilot project. Ditambah lagi harga minyak relatif masih rendah, yakni sekitar 10-15 USD per barel. Metoda EOR ini baru dapat diterapkan secara komersial jika harga minyak berada di atas 30-40 USD. Namun demikian dengan semakin sulit ditemukannya lapangan minyak baru dan semakin tingginya biaya eksplorasi, kegiatan yang bersifat intensifikasi semacam EOR ini harus mulai dikembangkan. Program penelitian EOR sifatnya jangka panjang. Sebenarnya laboratorium pendukung sudah ada, yaitu berupa laboratorium petrofisik dan PVT yang dibangun bersama Corelab dan laboratorium analisis kimia yang dikelola oleh Bidang Proses. Kelompok penelitian di lingkungan Lemigas pada umumnya mempunyai keterbatasan baik terkait dengan kualitas SDM maupun dana. Sulit diharapkan bahwa penelitian EOR dengan biaya relatif tinggi ini mendapatkan prioritas pendanaan dari pimpinan mengingat anggaran Lemigas sendiri sangat terbatas. Beruntung bahwa rencana penelitian EOR ini mendapat dukungan dari PROVASI. Nur Subagyo, Pimpinan PROVASI, seorang Pimpinan Proyek (Pimpro) yang pragmatis dan open minded dapat mengerti gagasan Rachmat untuk melengkapi prasarana laboratorium EOR. Rangkaian peralatan |
46
|
laboratorium EOR harus didesain khusus (tailor made) dan tidak bisa diperoleh ready-stock seperti peralatan laboratorium yang sudah standar. Selaku Ketua Kelompok Penelitian, Rachmat mengusulkan untuk membeli peralatan-peralatan dari Perancis. “Pertimbangannya adalah karena peralatannya sudah saya kenal ketika studi program S3 di IFP,” ujar Rachmat. Dengan demikian, diharapkan Lemigas tidak mengalami kesulitan untuk mengoperasikan peralatan-peralatan tersebut. Kendala dalam pengoperasian peralatan tersebut adalah tersedianya suku cadang yang relatif langka. Lemigas memang punya bengkel tiup gelas untuk membuat berbagai bentuk bejana dan tabung gelas yang diperlukan. Namun sayang bahwa tidak ada bengkel khusus sebagai pendukung perbaikan peralatan laboratorium seperti mesin bubut dan sebagainya. Jika ada bagian peralatan yang rusak, perbaikannya membutuhkan waktu lama karena harus pesan dulu. “Di Perancis tinggal telepon, dan spare part yang diperlukan segera datang. IFP punya afiliasi dengan Beicip yang dapat memfabrikasi peralatan laboratorium secara taylor made. Lah, kalau di Lemigas kita menelepon kemana? Ini karena industri pendukung kita belum berkembang sehingga kita kewalahan kalau terjadi kerusakan walaupun yang sederhana seperti seal karet yang tahan temperatur tinggi. Akhirnya, banyak peralatan yang dikanibal di sana sini. Itu adalah handicap utama dari penelitian yang menggunakan peralatan laboratorium yang kompleks,” Rachmat menjelaskan. Ada keberuntungan lain yang diperoleh Rachmat yang sebenarnya merupakan blessing in disguise. Lemigas mempunyai perjanjian kerja sama dengan British Geology Service (BGS) dari Inggris. Misi utama dari BGS adalah membantu Lemigas di bidang geologi untuk penelitian daerah potensial bagi eksplorasi migas. Di luar dugaan, saat mendengar Lemigas kesulitan untuk melengkapi peralatan laboratorium EOR, mereka malahan menawarkan bantuan peralatan yang lebih canggih. Dan itupun diberikan secara cuma-cuma melalui hibah (grant). Melalui kerja sama dengan Herriot Watt University, Scotland, BGS memberikan bantuan peralatan laboratorium yang dapat digunakan untuk pendesakan kimiawi (chemical flooding) dengan instrumentasi yang serba otomatis. Lebih lanjut, BGS juga memberikan bantuan kepada lima kader eksploitasi |
47
|
Pertambang
Berkarya di Lemigas
a | Rachmat Sudibjo
Lemigas untuk studi S2 dan S3 di Inggris. Itu semua mereka berikan di luar dari bantuan utama untuk bidang geologi. “Suatu keberuntungan bagi Lemigas karena di samping mendapatkan bantuan berupa peralatan laboratorium yang canggih dan mahal kita juga memperoleh bantuan untuk meningkatkan capacity building Lemigas dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penelitian yang handal,” ungkap Rachmat. Kader-kader tesebut antara lain Rida Mulyana dan Bambang Widarsono, yang kemudian memegang peran penting baik di Lemigas maupun di Kementerian ESDM. Dari keberhasilan para juniornya yang dikirim studi ke Inggris, Rachmat berpendapat, bahwa sebaiknya kalau mengirim kader untuk belajar ke luar negeri dilakukan dalam satu grup. “Jadi, menurut saya supaya efektif, kalau mengirim ke luar negeri jangan satu-satu. Mengirim satu grup yang terdiri dari kurang lebih 10 orang akan lebih efektif dalam melaksanakan pekerjaan setelah mereka kembali nantinya. Mereka akan lebih solid dan akan jadi satu tim yang kuat karena saling mendukung. Mereka akan kompak karena saat di luar negeri merasa senasib sepenanggungan, pergi ke mana-mana selalu sama-sama.” Pendapat Rachmat itu didasarkan atas pengalamannya sendiri waktu dikirim ke Perancis dalam satu grup yang terdiri dari 10 orang sebagai kader spesialis Lemigas. Tidak lama sekembalinya Rachmat dari Perancis, Pertamina melalui Badan Koordinasi Kontraktor Asing (BKKA) meminta bantuan Lemigas untuk melakukan evaluasi kinerja waterflood yang diterapkan di lapangan raksasa Minas yang dioperasikan oleh Caltex. Studi ini dilakukan untuk menentukan besarnya insentif yang harus dibayarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai hasil dari peningkatan produksi dan perolehan minyak dari proyek waterfood ini. Rachmat ditunjuk menjadi Tim Leader, memimpin tenaga Lemigas yang ditugaskan dalam studi tersebut. Setelah beberapa kali menyelesaikan studi yang serupa, agar pelaksanaan studi-studi dapat lebih terkoordinir, Lemigas membentuk satuan adhoc yang disebut Proyek Studi Eksploitasi disingkat PROSEPT, dan Rachmat dipercaya untuk mengepalai unit ini. PROSEPT ditaruh di bawah koordinasi Bidang XX yang waktu itu dikepalai oleh Subijanto, sesama alumni ENSPM, pindahan dari Diklat Cepu. “Pak Bijanto sangat |
48
|
mendukung keberadaan PROSEPT, karena merupakan unit ‘extra’ yang banyak menghadapi kendala administratif, dukungan logistik dan keuangan.” Terlebih – lebih sebagian besar dari studi eksploitasi dilakukan di luar kota dan sering kali ke luar negeri karana Lemigas tidak mempunyai komputer mainframe berkapasitas besar yang dibutuhkan untuk melakukan simulasi reservoir.
Gambar 22. Acara Santai Bersama Staf Eksploitasi Lemigas
Gambar 23. Menunggu Acara di Lobi Departemen Pertambangan dan Energi
|
49
|
Pertambang
Berkarya di Lemigas
a | Rachmat Sudibjo
SOP yang mengatur perjalanan dinas sangat ketat dan kalau tidak salah ini berlaku secara nasional. Uang saku yang diberikan hanya berlaku penuh untuk minggu pertama dan untuk hari-hari selebihnya hanya dibayarkan separuh dari yang normal. Tentu banyak anggota Tim yang keberatan, karena penugasan ke luar kota yang dilakukan secara bergantian umumnya diberikan minimal dua minggu. Alasannya adalah karena studi ini memerlukan kesinambungan dari sebab-akibat perubahan parameter yang dilakukan untuk memperoleh model yang representatif. “Beruntung bahwa pak Bijanto sangat membantu memecahkan persoalan ini dan seringkali harus ‘konfrontasi’ dengan bagian keuangan demi kelancaran studi yang dilakukan PROSEPT. Akhirnya dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Pusat (Kapus) yang mengatur khusus perjalanan dinas bagi studi-studi yang dilakukan dalam rangka kerja sama dengan Pertamina ini. Kalau tidak salah waktu ada pemeriksaan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), beberapa staf keuangan agak kebingungan karena aturan yang agak lain ini. Waktu mereka menunjukkan SK Kapus tersebut, pemeriksa bilang: ”Lha ini yang kita butuhkan, yang penting ada bukti tertulis bahwa pimpinan tertinggi kalian tahu dan setuju. Jadi tindakan kalian tidak ‘liar’. SK ini sudah cukup.” Semua bernafas lega, beruntung bahwa pemeriksa waktu itu tidak pakai kacamata kuda. Setelah kendala tentang logistik teratasi, kelompok ini dapat bekerja sangat produktif. Saat itu komputer di Indonesia belum memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan studi reservoir. Pada tahun 1978 belum ada komputer yang memadai. Studi simulasi reservoir, karena memerlukan komputer yang besar banyak dikerjakan di kantor pusat dari perusahan minyak asing di luar negeri walaupun semuanya dikerjakan oleh Tim Lemigas. Sering kali anggota Tim tinggal selama 2–3 bulan secara bergantian di Dallas dan Houston, Texas, yang merupakan pusat perminyakan Amerika Serikat dimana puluhan perusahaan migas Amerika yang beroperasi di Indonesia berkantor pusat. Tim studi juga pulang-balik ke Paris untuk melakukan evaluasi gas deliverability dari wilayah Kalimantan untuk suplai ke kilang LNG Bontang yang produksinya didominasi Total, perusahaan Perancis. Itulah pengalaman internasional |
50
|
dari Lemigas. Dengan pengalaman tersebut, potensi sumber daya manusia di Lemigas dapat ditingkatkan. Satu tantangan bagi Rachmat dan kawan-kawannya adalah bahwa mereka harus bekerja sambil belajar karena kebanyakan baru pertama kali mengerjakan simulasi reservoir dan langsung diterapkan pada lapangan raksasa Minas. Hasil dari studi menunjukkan bahwa claim Caltex tidak seluruhnya benar dan diwajibkan untuk mengembalikan insentif yang sudah terlanjur dipotong dari penerimaan migas. Karena dianggap berhasil, Pertamina meminta Lemigas untuk melakukan kajian serupa dan puncaknya adalah kajian untuk lapangan minyak Duri. Karena minyak Duri sangat kental walaupun perolehan cadangannya sangat besar dan produksinya sangat rendah. Melalui penerapan teknologi pendesakan dengan uap air (steam flooding), produksinya berpotensi untuk dapat dinaikan sepuluh kali lipat dari tingkat produksi saat itu. Kebetulan penugasan ini sesuai dengan bidang yang Rachmat geluti selama studinya di Perancis. “Metoda itulah yang saya dalami saat menyelesaikan tesis di laboratorium IFP,” ujar Rachmat. Untuk menentukan skenario pengembangan yang optimal, studi dilakukan dengan menggunakan simulasi reservoir yang mampu memperhitungkan perubahan parameter heat transfer. Caltex mengikut sertakan tenaga ahlinya EE Gomaa, seorang keturunan Mesir yang mengerjakan simulasi reservoir panas bumi di Jawa Barat. Dalam kegiatan operasinya kemudian, produksi lapangan Duri dapat ditingkatkan dari 30.000 menjadi 300.000 barel per hari. Ini merupakan proyek steam flooding yang terbesar di dunia. “Proyek besar tersebut dilaksanakan dalam waktu satu setengah tahun dan untuk itu Lemigas harus menyewa komputer dengan kapasitas yang besar untuk dapat melakukan simulasi reservoir dengan software nya yang canggih. Hasilnya di-appreciate oleh pihak Caltex,” ujar Rachmat bangga. Studi itu dilakukan sekitar tahun 1983-1984 dan kemudian diterapkan pada tahun 1985 sebagai proyek steam flood yang terbesar di dunia. Proyek demi proyek berhasil dilakukan oleh kelompok studi yang diketuai Rachmat Sudibjo atas permintaan dan kepercayaan dari Pertamina. Sebagai Badan yang mendapatkan tugas untuk melakukan
|
51
|
Pertambang
Berkarya di Lemigas
a | Rachmat Sudibjo
pengawasan terhadap industri hulu migas, BKKA Pertamina harus melakukan banyak evaluasi lapangan migas di Indonesia. Namun jumlah karyawan BKKA yang ditugaskan untuk hal tersebut sangat terbatas. Dengan kendala sumber daya manusia yang ada, Pertamina melihat potensi Lemigas yang memiliki sumber daya manusia yang cukup yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan studi yang diperlukan. Dan kebijakan ini dicetuskan sejak dibawah pimpinan BKKA Derajat (Jack) Zahar dan dukungan terus menerus dari Mohammad AS Anwar, populer dengan singkatannya ASA, Kadin Eksploitasi BKKA yang mempunyai andil besar dalam membesarkan peran Lemigas dalam industri hulu migas. “Jadi, peran Lemigas waktu itu memang cukup dipandang di dalam industri migas” ujar Rachmat. Sampai-sampai Rachmat pernah dipanggil oleh Sekretariat Negara (Setneg). Mereka dapat laporan dari beberapa perusahaan konsultan bahwa Lemigas memonopoli studistudi hulu migas. “Wah biasanya konsultan plat merah yang mengadu minta perlindungan kita, ini malah sebaliknya. Ya sudah sana, jalan terus,” kata pejabat Setneg setelah bertemu dan mendapat penjelasan dari Rachmat. Dalam waktu kurun 20 tahun antara tahun 1980-an sampai tahun 2000an, secara berturut-turut Lemigas mengerjakan studi lapangan minyak dan gas yang besar di Indonesia. “Hampir 100 studi di berbagai lapangan migas di seluruh Indonesia kita kerjakan waktu itu,” ungkap Rachmat. Tim Lemigas terdiri dari Rachmat Sudibjo yang juga sebagai Ketua Program Studi Eksploitasi Lemigas, Nur Subagyo, Sutomo Sudomo, Bambang Pujianto, Wiria Tirtasudira, dan Wiyono Ciptorahardjo. Inilah anggota tim inti. Selain itu, ada beberapa orang sebagai pendukung, di antaranya Sumardiono, Estu Bagyo, dan Supriyo. Jadi, secara keseluruhan sekitar 20 orang. Tim ini juga mengundang partisipasi dari perguruan tinggi. “Kebetulan kita dekat dengan ITB. Beberapa dosen yang baru selesai dari studi luar negeri itu kita ajak berpartisipasi antara lain itu almarhum Wijayono dan Dodi Abdasah,” imbuh Rachmat. Sekiranya beberapa studi harus dilakukan secara paralel, tim ini akan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang masing-masing diketuai
|
52
|
Gambar 24. Di Depan Camp di Rumbai Caltex, Pekanbaru, 1979
oleh seorang Team Leader dan dibantu sekitar 3-4 orang. Dengan jumlah anggota tim sekitar 20 orang, empat studi secara paralel dapat dilakukan. Dalam pelaksanaan studi-studi tersebut, BKKA Pertamina kemudian melakukan supervisi studi-studi tersebut. Sebagai koordinator dari BKKA saat itu antara lain adalah Didit Hadiyatno, Sofyan Farhan dan Heru Cokro yang kemudian dilanjutkan oleh Sungarna Sukandar dan Eteng Salam. Mereka semua mempunyai andil dan peran yang besar yang secara tidak langsung ikut membesarkan peran PROSEPT.
|
53
|
Pertambang
Berkarya di Lemigas
|
54
|
a | Rachmat Sudibjo