PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS DUAL GRADIENT DRILLING
TUGAS AKHIR Oleh: JURYANTO TANDEPADANG NIM 122 06 096
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011
PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS DUAL GRADIENT
TUGAS AKHIR Oleh: JURYANTO TANDEPADANG NIM 122 060 96
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Disetujui oleh: Pembimbing Tugas Akhir,
Prof. Dr. –Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S
PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS DUAL GRADIENT Oleh Juryanto Tandepadang* Pembimbing Prof. Dr.ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S.
Sari Pemboran dengan pressure window yang sempit akan banyak memberikan persoalan pada well control dan cost. Untuk menanggulangi kondisi ini, dikembangkanlah managed pressured drilling. Khusus untuk pengeboran offshore, Managed Pressure Drilling jenis Dual Gradient dapat menjadi pilihan karena didesain untuk zona dengan pressure window sempit. Hidrolika berkaitan erat dengan pembersihan lubang dan pemberian tekanan pada open hole. Oleh karena itu, pengaturan parameter hidrolika menjadi penting untuk memperoleh kondisi operasi yang optimum. Data yang digunakan dalam studi kasus ini ingin memperlihatkan bagaimana kaitan parameter hidrolika terhadap pengangkatan cutting dan pemberian tekanan pada lubang sumur. Parameter tersebut adalah densitas, reologi, geometri sumur, laju pemompaan dan back pressure. Kondisi optimum yang diharapkan adalah laju sirkulasi fluida pemboran tidak menyebabkan tekanan dasar sumur (BHP) berada di luar operating window, baik pada saat statik maupun dinamik. Operating window yang dimaksud adalah daerah operasi diantara Qmin, Qmaks, tekanan rekah dan tekanan pori formasi. Optimasi hidrolika di bit dilakukan untuk memperoleh laju optimum pompa rig Dari studi kasus yang dilakukan, terlihat bahwa meningkatnya harga densitas dan reologi dari lumpur pemboran akan memperluas operating window. Jika densitas fluida yang digunakan lebih kecil, BHP yang dihasilkan juga lebih kecil. Viskositas yang lebih kecil cenderung menyebabkan pengangkatan cutting kurang efektif, sehingga laju sirkulasi tidak dapat terlalu besar, jika dibandingkan dengan fluida dengan viskositas lebih baik. Kata kunci: Dual Gradient, Mud Lift Pump, hidrolika, densitas, reologi, pressure window, Qopt
Abstract Drilling with narrow pressure window will cause many problem in well control and cost. To overcome this problem, managed pressured drilling have been developed. Dual Gradient drilling is one of alternative to drilling in offshore, which have narrow pressure window. Hydraulics very close related with hole cleaning and pressure control in open hole. Thus, control of hydraulics parameter is the key to gain optimum working operation. Data for case study will give the impact of hydraulic parameters to hole cleaning and pressure control in open hole. Those are density, rheology, bore hole geometry, circulating rate and back pressure. Optimum condition that expected is circulation rate cause bottom hole pressure not lay outside the operating window, for static and dinamic condition. The operating window is region between Qmin, Qmaks, pore pressure and fracture gradient in Q vs BHP plot. Bit hydraulic optimation are held to gain the optimum circulation rate of rig’s pump. It conclude from case study that the higher the density and rheology, the wider the operating window. If use fluid with small density, BPH will smaller too. Fluid with smaller viskosity will cause hole cleaning less effective, so circulation rate shouldn’t be too high, compare to fluid with higher viscosity.
Keywords: Dual Gradient, Mud Lift Pump, hydraulic, density, rheology, pressure window, Qopt *)
Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan – Institut Teknologi Bandung
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, teknologi memungkinkan pengeboran dilakukan pada daerah dengan tingkat kesulitan yang tinggi, seperti pada zona dengan pressure window yang sempit dan zona total loss. Jika dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun silam, pengeboran di zona ini masih belum memungkinkan atau pengeboran tetap dilakukan namun tidak efisien. Managed Pressure Drilling (MPD) menjadi salah satu alternatif teknologi pengeboran yang dikembangkan untuk menjawab kebutuhan pengeboran di zona-zona yang sulit. Prinsip teknologi ini adalah mengontrol tekanan anulus lubang bor sehingga tetap berada dalam pressure window. Dual Gradient Drilling (DGD) sebagai salah satu jenis MPD, dikembangkan untuk menjawab kebutuhan pengeboran offshore, yang memiliki pressure window yang sempit. Dengan teknologi konvensional, pengeboran di zona ini akan mengalami banyak kesulitan sehubungan dengan well control. Dampaknya adalah penggunaan casing yang lebih banyak, tubing produksi yang kecil, Non Productive Time (NPT) meningkat, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada biaya pengeboran. DGD dapat menjadi alternatif penting karena mampu mengurangi persoalan-persoalan pengeboran konvensional dan memungkinkan pengeboran yang lebih efektif secara teknis dan ekonomis. Seperti halnya pengeboran pada umumnya, salah satu aspek penting DGD adalah hidrolika. Parameter hidrolika seperti densitas lumpur dan laju sirkulasi lumpur perlu ditentukan agar dapat mencapai kondisi operasi DGD yang optimum, yakni tekanan anulus saat sirkulasi lumpur ataupun saat statik tetap berada pada pressure window. Hal ini tentu akan berpengaruh pada pembersihan lubang dengan pengangkatan cutting oleh lumpur ke permukaan secara efektif dan kemampuan pompa.
Managed Pressure Drilling jenis Dual Gradient Drilling 3. mengaplikasikan parameter hidrolika tersebut pada contoh kasus yang diberikan
2. TEORI DASAR 2.1 Hidrolika Fluida Pemboran Hidrolika pemboran berkaitan erat dengan pembersihan lubang bor dan pemberian tekanan pada open hole. Pengangkatan cutting yang dilakukan secara efektif akan memberikan dampak positif pada pengeboran. Tekanan pada open hole diberikan oleh kolom lumpur dalam anulus, yang nilainya terletak antara tekanan pori formasi dan tekanan rekah. 2.1.1 Pengangkatan Cutting Dalam proses pemboran, bit yang dipakai akan menggerus batuan formasi dan menghasilkan cutting. Semakin dalam pemboran berlangsung, semakin banyak pula cutting yang dihasilkan. Supaya tidak menumpuk di bawah lubang dan tidak menimbulkan masalah kebersihan lubang seperti pipe sticking, maka cutting tersebut perlu diangkat ke permukaan. Idealnya banyaknya cutting yang terangkat sebanding dengan cutting yang dihasilkan. Lumpur dapat dikatakan mengangkat cutting secara efektif apabila konsentrasi cutting dalam lumpur dapat dijaga serendah mungkin. Biasanya harga maksimum konsentrasi cutting yang diperbolehkan adalah 5%. Berikut ini adalah parameter yang sangat berpengaruh dalam mekanisme pengangkatan cutting : a)
Vslip (kecepatan slip) yaitu kecepatan kritik dimana cutting mulai akan terendapkan. b) Vcut (kecepatan cutting) yaitu kecepatan cutting untuk naik ke permukaan . c) Vmin (kecepatan minimum) yaitu kecepatan lumpur minimum sehingga cutting dapat terangkat ke permukaan tanpa terjadi penggerusan kembali.
1.2. Tujuan Adapun tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: 1. menentukan parameter hidrolika yang berpengaruh pada Managed Pressure Drilling jenis Dual Gradient. 2. menghasilkan desain pompa dengan memperhatikan parameter-parameter hidrolika pada
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
2
Vs = 1 +
2 θ 3 + ρ m
RPM 1 − Vsv ..........(2.4a) 45 15 600
Untuk : θ ≥ 45
o
3 + ρ m RPM 1 − Vsv .....................(2.4b) 600 15
Vs = 3
Gambar 2.1 Mekanisme Transpor Cutting 2) Dari gambar skematis di atas, dapat diturunkan kecepatan minimum lumpur berikut. Vmin = Vslip + Vcut ............................................(2.1) Kecepatan Cutting (Vcut) Persamaan berikut dapat digunakan untuk menghitung Vcut. Vcut =
ROP ..................................(2.2) 2 dp 36 1 − Cconc dh
Kecepatan Slip (Vslip) korelasi Moore Penentuan Vslip untuk sumur vertikal pada Newtonian fluid 4). Vs = 1.89�
dcut ρs − ρf f
�
ρf
�
.......................................(2.3)
Nilai f ditentukan berdasarkan harga NRe, dengan aliran laminer, transisi ataupun turbulen. Penentuan nilai Vs dilakukan secara iteratif, seperti pada gambar 1 di lampiran B Untuk sumur directional sampai horizontal penentuan Vslip dapat menggunakan korelasi yang dikembangkan oleh Rudi-Shindu. Koreksi dilakukan terhadap parameter inklinasi, densitas lumpur dan rotary speed (RPM). 6) Vs = (Ci x Cmw x C RPM )Vsv ...............................(2.4) Untuk θ ≤ 45
o
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
Laju minimum lumpur adalah batasan minimum kecepatan cutting yang ada dalam lumpur dapat terangkat, sehingga pembersihan lubang dapat berlangsung dengan efektif. Batas laju minimum ini dapat ditentukan dengan persamaan berikut. Qmin = A annulus x Vmin .................................(2.5) 2.1.2 Kehilangan Tekanan
Kehilangan tekanan pada sistem sirkulasi terjadi akibat friksi dalam pipa dan anulus dan dipengaruhi oleh laju alir dan perubahan luas area yang dilewati fluida pemboran seperti pada bit. Besarnya kehilangan tekanan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan matematis sesuai dengan model reologi fluida pemboran. Lumpur pemboran merupakan fluida Non Newtonian sehingga digunakan model reologi Power Law. Prosedur perhitungannya dapat dilihat pada gambar 2 lampiran B. ΔPsistem=ΔPsurf+ΔPpipe+ΔPann+ΔPbit ............(2.6) Kehilangan tekanan ini akan mempengaruhi efektifitas lumpur dalam mengangkat cutting, sehingga perlu dikompensasi dengan tekanan dari pompa. Namun, pemberian tekanan balik dari pompa lumpur untuk mengganti kehilangan tekanan di sepanjang sistem ini tidak boleh melebihi tekanan maksimum pompa yang tersedia di permukaan. Dengan demikian, tekanan yang terjadi pada open hole adalah kombinasi dari tekanan hidrostatik lumpur dan tekanan pompa yang dibutuhkan untuk mengatasi kehilangan tekanan sepanjang annulus. Dengan mengetahui nilai tekanan dan laju alir lumpur, dapat ditentukan besarnya daya pompa yang dibutuhkan. Sebaliknya, kemampuan pompa sendiri dibatasi oleh horse power maksimumnya, sehingga berpengaruh pada nilai tekanan dan kecepatan alirnya. Berikut ini adalah persamaan yang memperlihatkan hubungan horse power, tekanan pemompaan dan laju alir lumpur 2).
3
HP =
P.Q 1714
...........................................................(2.7)
2.1.3 Hidrolika Bit Kehilangan tekanan terbesar terjadi pada bit, karena perubahan area yang dialiri lumpur. Lumpur melewati nozzle yang memiliki area yang jauh lebih kecil sehingga diperoleh laju alir lumpur yang sangat tinggi. Hal ini dimaksudkan agar semburan lumpur menumbuk formasi dan membantu melepaskan cutting. Optimasi hidrolika di bit menyangkut kehilangan tekanan di bit. Besarnya kehilangan tekanan di bit (Pb) dibatasi oleh daya pompa maksimum (HPm) dan tekanan maksimum pompa yang tersedia di permukaan (Pm). Total kehilangan tekanan pada peralatan permukaan, sepanjang pipa dan anulus disebut kehilangan tekanan parasitik (Pp) yang terjadi akibat friksi saat sirkulasi. Hal ini berarti ada hubungan antara laju alir dan kehilangan tekanan, seperti pada persamaan berikut. Pp = KQz .............................................................(2.8)
K merepresentasikan properti lumpur dan geometri lubang. Harga z dan K diperoleh dengan melakukan tes aliran, yaitu pompa dijalankan dengan beberapa kecepatan dan dilihat tekanan yang terjadi pompa. Plot antara Pp (Ppompa-Pb) vs Q menghasilkan kemiringan tertentu, yang merupakan harga z. Pengujian ini dinamakan slow pump rate test. Dari tes ini diperoleh normal rate (Q1) dan slow rate (Q2) dari pompa. Selain itu juga, dapat diketahui tekanan pompa pada saat pemompaan normal rate (P1 @ Q1) dan pada saat pemompaan slow rate (P2 @ Q2). Untuk menentukan kehilangan digunakan persamaan2) :
tekanan
di
bit
𝜌𝑄2
𝑃𝑏 = 10858 𝐴𝑛2.......................................................(2.9) dimana:
Dan P parasitik Pp = P- Pb...........................................................(2.10) Nilai z dan K dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.11) hingga (2.14)
Z=
(
log Pp1 / Pp2
(
log Q1 / Q 2
)
Z=
(
log Pp2 / Pp1
log (Q2 / Q1)
K p = Pp1 x Q1
−z
K p = Pp2 x Q2
) .............................................(2.12) ...............................................(2.13)
−z
..............................................(2.14)
Telah dikenal ada tiga kriteria yang dipakai untuk optimasi hidrolika, yaitu : 1. Bit Hydraulic Horse Power (BHHP) Memaksimumkan daya yang dipakai di bit dari Horse Power pompa yang tersedia di pemukaan. BHHP =
Q Pb
1714
...............................................(2.8)
2. Bit Hydraulic Impact Force (BHI) Memaksimumkan tumbukan sesaat (impact) yang diterima batuan formasi oleh pancaran lumpur dari bit. BHI = 0.0173 x Q x (ρm Pb )0.5 ...................(2.9)
3. Jet Velocity (JV) Memaksimumkan kecepatan pancaran lumpur dari bit (Vnozzle). JV = 0.321
Q
An
..............................................(2.10)
Masing-masing kriteria memberikan kehilangan tekanan di bit yang berbeda, sehingga laju optimum dan ukuran nozzle yang perlu digunakan juga akan berbeda. Untuk melakukan optimasi perlu diketahui terlebih dahulu laju pompa minimum dan laju pompa maksimum yang diperbolehkan, hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa laju optimum berada pada batas-batas laju yang diperbolehkan. Laju pompa minimum didapat dari kecepatan minimum lumpur untuk mengangkat cutting. Laju pompa maksimum didapat dari kecepatan kritikal lumpur yaitu saat pola aliran lumpur mulai berubah dari laminar menjadi turbulen pada annulus lubang (open hole), karena aliran turbulen dapat menggerus lubang sumur. Qmaks juga dapat berupa laju alir yang menyebabkan rekahan, karena melebihi gradien rekah formasi. 2.2 Managed Pressure Drilling 2.2.1 Definisi Managed Pressure Drilling (MPD) International Association Drilling Committee (IADC) memberikan defenisi MPD berikut:
) .............................................(2.11)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
4
“an adaptive drilling process used to more precisely control the annular pressure profile throughout the wellbore.” The objectives of MPD are “to ascertain the downhole pressure environment limits and to manage the annular hydraulic pressure profile accordingly." Dari definisi ini, dapat diketahui MPD merupakan teknologi pengeboran yang prinsip utamannya adalah pengontrolan tekanan anulus secara cermat agar tetap berada dalam batas-batas tekanan di lubang sumur yang telah ditetapkan. Batasan tekanan tersebut adalah tekanan pori dan tekanan rekah formasi, atau yang lebih dikenal dengan istilah pressure window. 2.2.2 Variasi Teknik Managed Pressure Drilling Beberapa jenis teknik MPD yang telah berkembang antara lain: 1. Constant Bottomhole Pressure (CBHP) Merupakan salah satu jenis dari MPD yang mampu melakukan pemboran melewati pressure window yang sempit. Tujuan CBHP adalah untuk mencapai Bottom Hole Pressure (BHP) yang terletak dalam pressure window, saat statik dan dinamik. Pada saat statik, tekanan dalam anulus dijaga agar tetap berada pada pressure window
(b) Gambar 2.2 Profil Tekanan Annulus CBHP (a) Saat statik (b) Saat Dinamik 10) 2. Mud Cap Drilling (MCD) Dilakukan pada lubang sumur yang mengalami total lost circulation atau near total lost. Mud Cap Drilling menggunakan dua jenis fluida, yaitu mud cap yang berviskositas tinggi dan densitas tinggi, diinjeksikan ke annulus untuk memberi tekanan hidrostatik agar tidak terjadi kick akibat turunnya kolom hidrostatik ketika terjadi lost, dan sacrifice fluid yang berdensitas lebih rendah sebagai fluida pemboran yang dibiarkan masuk ke dalam zona total lost bersama serpihan pemboran (cutting). Tidak ada aliran lumpur yang kembali ke permukaan, seperti pada blind drilling. Teknik ini efektif pada formasi yang sangat vugular (berguagua), seperti formasi karbonat yang berekah.
Gambar 2.3 Profil Tekanan Annulus pada MCD11)
(a)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
3. Dual Gradient Drilling (DGD) Merupakan pemboran dengan menggunakan dua gradient tekanan fluida. Teknik ini biasanya digunakan di offshore terutama dengan pressure window yang sempit. Tujuan dari DGD adalah mencegah overbalance yang terlalu besar yang dapat melebihi gradient rekah formasi.
5
Gambar 2.5 Aliran Fluida Pemboran pada Mudlift Drilling System 7)
Gambar 2.4 Perbandingan Profil Tekanan Annulus Pada DGD dan Pemboran Konvensional12) 4. Continous Circulating System (CCS) Merupakan peralatan khusus untuk melakukan penyambungan pipa (connection) tanpa harus menghentikan sirkulasi (mematikan pompa). Tujuannya adalah untuk mempertahankan BHP konstan, terutama dan pada formasi dengan pressure window yang sempit. Karena saat pompa dimatikan, untuk melakukan penyambungan pipa, tekanan di lubang sumur berkurang sehingga dapat menyebabkan kick, formasi runtuh sehingga pipa terjepit, dan pada saat pompa dinyalakan lagi, tekanan akan naik agar dapat memecah mud yang menjadi gel saat pompa mati, tekanan dapat meningkat tajam hingga mengakibatkan lost circulation.
Salah satu fenomena yang perlu di atasi pada Dual Gradient drilling adalah efek pipa-U, karena akan menghasilkan deteksi kick yang absurd. Adanya perbedaan tekanan hidrostatis dalam drillstring dan anulus saat sirkulasi dihentikan, menyebabkan fluida cenderung untuk mencari keseimbangan. Pada DGD, efek pipa-U ini akan selalu menjadi faktor yang berpengaruh dan dapat terjadi secara berulang selama pengeboran. Solusi untuk mengatasi efek pipa-U ini adalah penggunaan DSV. Meskipun nampaknya merugikan, efek pipa-U ini juga memberikan keuntungan karena tekanan sirkulasi yang rendah dari pompa di rig, sehingga perbedaan kecil pada tekanan akan mudah dideteksi. Perubahan tekanan ini juga sering menjadi detektor akan adanya kick. Berikut ini adalah ilustrasi efek pipa-U pada DGD.
2.2.3 Dual Gradient Drilling (DGD) Prinsip DGD adalah terdapat dua jenis pressure gradient fluida dalam anulus. Kondisi ini dapat tercapai dengan mengurangi densitas fluida dalam riser. Untuk mewujudkan hal ini, salah satu metode yang diterapkan pada DGD adalah menggunakan subsea mudlift pumps yang ditempatkan di dasar laut. Hal ini berarti tekanan di pompa akan sama dengan tekanan air laut di dasar sumur. Secara sederhana sistem SMD ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.6 Ilustrasi efek pipa-U pada DGD 9) Beberapa peralatan khusus yang digunakan pada DGD: a. Subsea Mudlift Pump Subsea Mudlift Pump (MLP) adalah peralatan penting dan memberi pengaruh yang signifikan
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
6
pada sistem DGD. Fungsi utamanya adalah mengangkat hasil pengeboran dari dasar laut ke permukaan dan menjaga tekanan dalam lubang sumur konstan dengan menjaga tekanan masukan pompa yang konstan. b. Drillstring Valve (DSV) Saat sirkulasi lumpur berhenti, karena menyambung atau melepas pipa, lumpur dalam drill string akan mengalir keluar menuju lubang sumur dan anulus untuk mencari kesetimbangan. DSV dipasang dalam rangkaian drillpipe untuk mengatasi adanya aliran fluida. c. Subsea Rotating Diverter (SRD) Lumpur yang telah melewati anulus dan membawa cutting akan dibelokkan dari BOP ke pompa lumpur bawah laut (subsea pump) menggunakan rotating head. Dalam kondisi adanya kerusakan/kegagalan pada peralatan bawah permukaan (misalnya MLP), SRD akan menutup aliran fluida ke MLP dan mengalirkan lumpur melewati anulus, sama seperti metode konvensional. Hal ini berarti sistem dual gradient drilling tidak terjadi.
terjadi akan semakin besar. Di sisi lain, pengangkatan cutting yang efisien diberikan oleh harga gel strength, sehingga viskositas lumpur perlu disesuaikan. 3.
Geometri lubang sumur dan konfigurasi drillstring Besarnya kehilangan tekanan di annulus akan bervariasi bergantung pada ukuran dan kedalaman annulus. Kehilangan tekanan di annulus akan semakin besar dengan semakin kecilnya ukuran annulus. Maka pemilihan geometri lubang juga harus dipertimbangkan agar tidak menghasilkan tekanan pada annulus yang sangat besar, sehingga ECD dapat meningkat sampai melebihi gradien rekah formasi. Namun, jika ukuran annulus ingin diperbesar dengan mengurangi diameter pipa, perlu juga mempertimbangkan tekanan di dalam drillstring agar tidak mengakibatkan tekanan standpipe yang tinggi.
4.
Laju sirkulasi Pada ukuran annulus tertentu, semakin besar laju alir maka semakin besar tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan fluida dengan laju alir tersebut. Biasanya laju sirkulasi dikurangi untuk mengurangi ECD, namun densitas lumpur dapat meningkat karena konsentrasi serpih pemboran (cutting) meningkat. Saat konsentrasi cutting meningkat efektifitas pembersihan lubang berkurang sehingga laju pemboran (ROP) juga akan berkurang. Sehingga laju sirkulasi akan terbatasi oleh tekanan maksimum yang terjadi dan efektifitas pengangkatan cutting.
5.
Back pressure Back pressure menjadi parameter penting pada operasi DGD saat terjadi kick. Setelah kick diatasi dan dialirkan ke permukaan melewati return line, gas dapat menyebabkan pengurangan densitas dalam return line sehingga mengurangi tekanan hidrostatik fluida. Hal ini tentu tidak diharapkan karena akan menyebabkan sirkulasi dalam return line terganggu. Untuk mengatasi hal ini, diberikan back pressure pada pompa subsea menggunakan choke line, untuk memberikan tambahan tekanan saat terjadi kick. Selain itu, pada kondisi statik MLP berperan sebagai pemberi tekanan balik ke anulus menggantikan ALP yang hilang saat pemboran berlangsung. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kick selama sirkulasi lumpur terhenti.
d. Return line (RL) Pipa dengan diameter 6 in atau 4,5 in yang digunakan untuk mengalirkan fluida hasil pengeboran dari subsea pump menuju permukaan. 2.2.4 Parameter Hidrolika yang Penting pada Operasi DGD-MPD Kehilangan tekanan pada operasi DGD dipengaruhi oleh beberapa parameter hidrolika yang saling berkaitan. Oleh karena itu, parameter hidrolika berikut ini harus direncanakan secara tepat untuk memenuhi tujuan MPD itu sendiri. 1.
Densitas lumpur Pressure window yang sempit menuntut penggunaan densitas lumpur yang cermat. Pada DGD tekanan yang diberikan pada open hole merupakan penjumlahan dari tekanan hidrostatik dua jenis fluida itu kompensasi tekanan pompa akibat kehilangan tekanan karena friksi. Penggunaan densitas lumpur perlu mempertimbangkan kondisi saat statis maupun dinamik sehingga tekanan yang diberikan tidak berada di luar pressure window.
2.
Rheology lumpur Viskositas lumpur berpengaruh pada besarnya kehilangan tekanan yang terjadi. Semakin besar viskositas lumpur maka kehilangan tekanan yang
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
7
2.2.4.1 Laju Sirkulasi Lumpur
2.2.4.3 Back pressure
Sistem pemboran konvensional mensyaratkan laju optimum pemompaan lumpur berada antara Qmin pengangkatan cutting dan Qmaks terjadinya aliran turbulen. Qopt dapat diperoleh dengan optimasi hidrolika pada bit.
Ketika kick (gas) memasuki return line, akan terjadi penurunan tekanan hidrostatik dan mempengaruhi tekanan keluaran pompa. Jika tekanan keluaran pompa ini turun melebihi tekanan masukan pompa, pompa tidak dapat menyediakan perbedaan tekanan dan dapat menyebabkan adanya aliran fluida melewati pompa karena adanya perbedaan tekanan. Jika hal ini terjadi, hal ini akan menyebabkan penurunan pada BHP dan hilangnya kontrol sumur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan back pressure melalui choke di permukaan, untuk memberikan perbedaan tekanan yang positif pada pompa
DGD menggunakan dua jenis pompa, yang sistem kerjanya berbeda. Pompa lumpur di permukaan harus mampu mengkompensasi kehilangan tekanan pada sistem sirkulasi di sepanjang lubang bor, dari TD hingga permukaan seafloor, sebelum fluida pemboran masuk ke dalam pompa subsea. Jika pada pemboran konvensional Qopt berada antara Qmin dan Qmaks, maka batasan utama pada DGD adalah tekanan yang diberikan pada open hole tidak berada di luar pressure window. Hal ini tentunya tetap memperhatikan Qmin dan Qmaks. Qmin adalah laju pengangkatan cutting minimal dan Qmaks adalah laju terendah antara laju yang menyebabkan terjadinya rekahan atau aliran turbulen. Output yang diharapkan adalah adanya operating window pompa permukaan dengan memperhatikan Qmin, Qmaks dan pressure window, dengan memperhatikan parameter yang berpengaruh pada hidrolika di atas. Pompa subsea menyediakan head pengangkatan fluida pemboran dari seafloor ke permukaan melewati return line. Pressure window tidak menjadi persoalan, tetapi tetap memperhatikan Qopt, yaitu terletak antara Qmin dan Qmaks. 2.2.4.2 Laju Sirkulasi Lumpur saat terjadi Kick Pada saat terjadi kick, pompa subsea memainkan peranan penting, baik dalam deteksi kick maupun dalam menghentikan kick. Pompa subsea ini akan bertindak sebagai choke yang mengatur tekanan dan laju alir fluida. Pada kondisi normal, pompa subsea diatur pada tekanan masukan yang konstan (constant Pinlet). Saat terjadi kick, influx fluida formasi (gas) akan menyebabkan densitas lumpur menurun dan menyebabkan BHP juga menurun. Laju pemompaan akan meningkat untuk mempertahankan Pinlet konstan, sebanding dengan laju influx gas. Untuk menghentikan influx ini, pompa diatur menjadi kondisi laju alir konstan dan laju keluaran dari pompa berkurang menjadi laju alir sebelum terjadi kick. Hal ini akan menyebabkan tekanan masukan pompa meningkat, memberikan semacam tekanan balik, yang dapat meningkatkan BHP sehingga influx dapat dihentikan. Selanjutnya kick akan di sirkulasi melalui anulus ke pompa, return line dan akhirnya ke permukaan. Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
Back pressure juga ditanggungkan pada Pinlet MLP saat sistem dalam keadaan statik. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kick. 2.2.4.4 Spesifikasi Pompa Pompa jenis positive displacement mampu memberikan tekanan yang besar dan memompa volume fluida yang besar. Pompa jenis ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu pompa lumpur jenis triplex-single acting yang biasa digunakan pada rig offshore, sedangkan pompa lumpur duplex-double acting digunakan pada pengeboran onshore. Pompa triplex digunakan pada offshore karena lebih ringan, menghasilkan tekanan keluaran yang lebih stabil, dan biaya pemeliharaan yang lebih rendah. Berdasarkan kesimpulan dari SMD JIP, pompa (subsea) pada sistem DGD harus mampu memenuhi beberapa persyaratan penting berikut. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.1 dan 2.2 Tabel 2.1 Spesifikasi Subsea Mudlift Drilling7) Parameter Desain
Spesifikasi
Seawater Depth
10,000 ft
Flow Rate
1800 gpm
Fluid Density
8.55 - 18.5 ppg
Suction Pump Pressure
4522 psi (tekanan hidrostatis air laut + 50 psi trip margin)
Liquid Flow Control
Pump at any rate from 0-1800 gpm and maintain a fixed rate
Pressure Maintenance
Maintain a fixed inlet pressure regardless of rate fluctuation 8
Tabel 2.2 Kebutuhan Mudlift Pump7) Parameter Desain
Spesifikasi
Total static head (ft)
10.000 ft
Differential pressure (psi)
6.500 psi
Hydraulic Horsepower
4.800 HP
Operating temperature
28 ºF - 180 ºF
Perbedaan tekanan pompa adalah selisih antara tekanan keluaran (Poutlet) dan tekanan masukan (Pinlet) pompa. Poutlet dan Pinlet dapat dihitung 7) dengan persamaan berikut. Pin = ρ sw x 0.052 x D sw + TM ..............................(3.1) Pout = 0.052 x ρ m x D w + ΔP f,RL + ΔPchoke ........(3.2)
harga laju alir, dengan memperhatikan parameterparameter hidrolika seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Harga BHP dibentuk oleh tekanan hidrostatik dan kehilangan tekanan akibat friksi di annulus. Data-data yang dibutuhkan meliputi data properti lumpur yaitu densitas dan data hasil viskometer, data konfigurasi sumur, data cutting dan laju pemboran (ROP) rata-rata dan data pressure window (EMW tekanan pori dan gradien rekah formasi), dengan variasi kedalaman laut dan geometri sumur. Laju optimum pompa subsea terletak antara Qmin dan Qmaks pengangkatan cutting. 3.1.1 Perhitungan Kehilangan Tekanan di Annulus Perhitungan kehilangan tekanan dapat dilihat pada gambar 2 lampiran B. 3.1.2 Perhitungan Tekanan Hidrostatik
3. METODE PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA DUAL GRADIENT Seperti yang telah dijelaskan di atas, parameter hidrolika yang akan ditentukan harus dapat menghasilkan kondisi operasi yang optimum, baik pada saat dinamik (saat pemboran berlangsung) maupun saat statik (saat penyambungan pipa). Laju optimum perlu ditentukan saat dinamik sehingga dapat diperkirakan ukuran nozzle yang sesuai untuk mengoptimasi hidrolika di bit. Saat statik yang perlu ditentukan adalah besarnya back pressure yang harus dibebankan pada MLP. Perhitungan keseluruhan dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel. Selain itu, diperoleh grafik dan profil tekanan hidrolika di annulus. 3.1 Penentuan Laju Pompa Optimum Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pompa pada sistem DGD ada dua, pompa permukaan dan pompa subsea (MLP). Pada pompa permukaan, laju sirkulasi dikatakan optimum selama masih berada pada batas-batas laju yang diperbolehkan berdasarkan pertimbangan batasbatas tekanan (tekanan pori dan rekah formasi), pengangkatan cutting dan kestabilan lubang bor. Plot antara tekanan anulus dan laju sirkulasi digunakan untuk menentukan batas-batas laju yang diperbolehkan tersebut. Untuk keperluan pembuatan plot ini maka perlu dihitung terlebih dahulu harga BHP untuk beberapa Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
Tekanan hidrostatik sangat dipengaruhi oleh densitas lumpur yang digunakan. Selain itu, cutting yang dihasilkan dari pemboran dapat meningkatkan densitas lumpur, yang berakibat pada meningkatnya BHP. Densitas yang memasukkan faktor konsentrasi cutting dalam lumpur ini dinamakan densitas efektif. Konsentrasi cutting di annulus dipengaruhi efektifitas pengangkatan cutting. Seperti telah dijelaskan pada bab II, efektifitas pengangkatan cutting dipengaruhi kecepatan pengendapan cutting (Vslip) dan kecepatan minimum lumpur yang digunakan (Vmin) sehingga didapatkan kecepatan cutting terangkat (Vcut). Sehingga dalam perhitungan BHP, perlu diperhitungkan harga Vslip yang akan mengurangi kecepatan cutting terangkat. Langkah perhitungan tekanan hidrostatik adalah sebagai berikut: 4) 1.
Hitung Kecepatan Lumpur Rata-Rata (Average Velocity) Average Velocity (AV) adalah kecepatan lumpur rata-rata yang dihasilkan berdasarkan laju pompa yang digunakan. AV menggantikan Vmin pada penentuan viskositas apparent untuk menentukan Vslip. Q
2.
𝐴V = ���� ..........................................................(3.3)
3.
Hitung Kecepatan Pengendapan Cutting (Vslip)
Ca
Hitung Viskositas apparent dengan persamaan pada gambar 2 lampiran B. Harga Vmin diganti dengan AV.
9
a.
Pertama anggap aliran lumpur adalah laminar. Harga Vslip laminar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Moore untuk aliran transisi, tidak menggunakan persamaan untuk N RE <3, karena jarang sekali ditemukan.
subsea yang persamaan.
b.
Hitung N RE dengan input harga Vslip yang telah dihitung.
c.
Jika N RE < 300, maka Vslip hitungan dapat dipakai. Tetapi jika N RE > 300, maka aliran turbulen, Vslip harus dihitung dengan persamaan pada gambar 2 lampiran B.
ECD =
d.
Vslip kemudian dikalikan faktor koreksi terhadap inklinasi, densitas, dan RPM berdasarkan persamaan metode Vslip RudiShindu (persamaan 2.4a, 2.4b).
4.
Hitung Kecepatan Cutting terangkat (Vcut) Vcut = AV-Vsl...............................................(3.4)
5.
Konsentrasi cutting (%) didapat mengubah rumus ( 2.9) menjadi berikut
6.
7.
Cconc =
ROP x Dh2 x 100
dengan
...........................(3.5)
Dengan memasukkan konsentrasi cutting didapatkan harga densitas lumpur efektif Cconc 100
� + � ρ x (1 −
Hitung Tekanan Hidrostatik
Phidrostatik = ..................(3.7)
ρe
x
Cconc 100
)� ..........(3.6)
0.052
x
TVD
3.1.3 Perhitungan BHP BHP pada operasi MPD perlu memperhatikan kondisi statik dan dinamik, sehingga besarnya tetap berada dalam pressure window. BHP dinamik
dapat
dihitung
dengan
ECD adalah besarnya densitas yang ekivalen dengan tekanan dalam lubang bor selama sirkulasi, yang dapat dihitung dengan persamaan berikut. BHPdinamik 0.052 x TVD
...............................................(3.10)
BHP statik
Kondisi ini terjadi ketika sirkulasi terhenti karena penyambungan pipa maupun saat tripping. BHP statik = HSP mud + HSP seawater .............(3.11) Return Line
Return Line
Static Pressure across the Mudlift Pump
Drillstring Hydrostatic Drillstring
DGD Mud: Drillstring and Annulus PRESSURE
Annulus DSV
PRESSURE (a)
60 x Vcut x (Dh2 −Dp2 )
ρe = �ρs x
besarnya
(b)
Gambar 3.1 Static Pressures DGD (a) tanpa DSV (b) dengan DSV 9) Dari gambar di atas terlihat bahwa efek pipa-u menyebabkan perbedaan profil tekanan dalam drillstring (garis merah). DSV menahan lumpur dalam drillstring dan mencegah penurunan kolom fluida pemboran seperti pada gambar 3.1a. Pada kondisi statik, pompa subsea juga berperan untuk memberikan tekanan balik sehingga pada formasi, untuk mengkompensasi AFP yang hilang. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kick. Dengan demikian, BHP statik dapat dituliskan sebagai berikut. BHP statik = HSP mud + HSP seawater + Back pressure................................................................(3.12)
BHP dinamik = HSP mud + APL + Pinlet 7).........(3.8)
ESD adalah besarnya densitas yang ekivalen dengan tekanan dalam lubang bor pada kondisi statik, yang dapat dihitung dengan persamaan berikut.
Pada operasi DGD, BHP dinamik terjadi akibat tekanan hidrostatik lumpur sepanjang anulus di bawah mud line, sehingga persamaan 4.13 dapat dituliskan sebagai berikut.
ESD =
BHP dinamik = ρ e x 0.052 x D BML + APL + Pinlet ...............................................................................(3.9) Dimana D BML adalah kedalaman lubang bor dibawah mud line. Pinlet adalah tekanan masukan pompa Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
BHPstatik
0.052 x TVD
...............................................(3.13)
3.2 Optimasi Hidrolika di Bit Menggunakan Data Slow Pump Rate Seperti telah dibahas pada bab II, bahwa diperlukan data hasil slow pump rate test untuk melakukan optimasi hidrolika di bit dengan cara perhitungan. Data ini diperlukan untuk mendapatkan z dan K yang dipengaruhi oleh kondisi lubang sebenarnya yang 10
terjadi saat pemboran. Optimasi Hidrolika di bit berdasarkan masing-masing kriteria (BHHP, BHI atau JV) dipengaruhi oleh laju pompa yang digunakan, maka untuk masing-masing kriteria akan didapat laju optimum. Perhitungan laju optimum dan ukuran nozzle dapat mengikuti langkah perhitungan yang telah diuraikan pada bagian 2 dan diagram alir perhitungan pada lampiran B. 3.3 Penentuan Back pressure Ketika sirkulasi terhenti karena penyambungan pipa (making connection), APL akan hilang sehingga perlu digantikan oleh tekanan balik dari MLP. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kick. Return Line Circulating
Return Line Circulating Static
Static
Return Line Friction
Annulus Circulating
Annulus Circulating
Annulus Static
PRESSURE
PRESSURE
(a)
PRESSURE
(c)
AFP
Return Line - Circulating Static Return Line Friction
Return Line Friction New Annulus - Static
Old Annulus - Static
Data yang diasumsikan adalah ROP maksimum dan kecepatan putar (rotary speed) maksimum yang terjadi saat pemboran sebesar 120 ft/jam dan 80 rpm, dan daya maksimum serta tekanan maksimum pompa dapat mencapai 2200 HP dan 7500 psi. spesifikasi yang lebih jelas, dapat dilihat pada lampiran A. Untuk melihat pengaruh dari parameter ini, digunakan beberapa skenario sutdi kasus, seperti tampak pada tabel berikut.
Return Line Friction
Annulus Static
(b)
Static
relevan. Sumur yang ditinjau adalah sumur vertikal pada offshore dengan kedalaman laut 10000 ft. Besarnya pore pressure dan fracture gradient dapat dilihat pada tabel 7. Operasi DGD dilakukan pada interval open hole setelah casing terakhir yang berukuran 12 5/8 inci OD sepanjang 15000 ft.
Kasus
Tabel 4.1 skenario studi kasus Depth, ft Densitas Θ600/θ300
1
10000
18,8
148/84
2
10000
18,5
400/300
New Annulus - Circulating
Old Annulus - Static
PRESSURE
PRESSURE
AFP
(d)
(e)
Slide 41 of 72
Gambar 3.2 Profil tekanan pada DGD pada sebelum, selama dan sesudah penyambungan pipa 9). Pada gambar (a) terlihat profil tekanan dinamik, sesaat sebelum pompa dimatikan. Profil tekanan berbeda karena adanya friksi dalam pipa dan anulus (garis merah) pada gambar (b). Tekanan statik DGD saat pompa lumpur mati (c). Untuk mencegah terjadinya kick, diberikan back pressure pada anulus dengan mengatur Pinlet pompa, yang besarnya sama dengan APL yang hilang karena pompa mati (d). Gambar (e) menunjukkan profil tekanan setelah pompa lumpur kembali aktif. 3.4 Pembuatan Profil Tekanan di Annulus Profil tekanan menggambarkan distribusi tekanan dalam lubang bor pada tiap kedalaman, baik saat statik maupun dinamis. Profil dibuat dengan memplot besar EMW, gradient rekah, dan tekanan lumpur di lubang (ECD atau ESD) pada tiap kedalaman (MD tertentu). Tujuannya adalah untuk mengevaluasi tekanan dalam lubang sumur tetap berada dalam pressure window. 4. STUDI KASUS 4.1 Data Data yang digunakan dalam paper ini merupakan data sekunder, yang dihimpun dari berbagai sumber yang Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
4.2 Hasil dan Pembahasan 4.2.1 Daerah Operasi DGD-MPD
Kasus 1 Tekanan dasar sumur (BHP) dihitung pada setiap laju alir, menghasilkan kurva seperti gambar 4.1. Kurva ini menunjukkan pula efek dari konsentrasi cutting terhadap BHP. Terlihat bahwa semakin bertambah laju alir, konsentrasi cutting juga menurun. Fenomena ini berlangsung hingga suatu batas tertentu, biasanya hingga konsentrasi cutting 5%. Setelah itu, pertambahan laju alir memberikan efek yang berlawanan. BHP semakin meningkat, meskipun konsentrasi cutting terus menurun. Hal ini disebabkan karena efek friksi yang terjadi selama sirkulasi mendominasi dibandingkan tekanan yang timbul akibat densitas fluida. Kurva BHP vs Q akan menjadi salah satu penentu operating window MPD, termasuk DGD. Selain itu, seperti tampak pada gambar 4.2, operating window juga dibatasi oleh laju minimum pengangkatan cutting dan laju maksimum. Laju minimum yang diperoleh dari hasil perhitungan adalah 264 gpm. BHP yang diakibatkan laju minimum ini juga harus berada dalam pressure window. Dengan laju alir tersebut, diperoleh BHP 24153 psi, terletak di atas tekanan pori formasi. Sedangkan laju maksimum ditentukan oleh laju kritik terjadinya aliran turbulen ataupun BHP melebihi 11
gradien rekah formasi. Pada kasus ini, Qkritis mencapai 7461 gpm, yaitu aliran pada interval drill collar dan open hole. Q rekah 1240 gpm. Dengan demikian, laju maksimum adalah Qrekah 1240 gpm.
Kasus 2 Pada kasus 2, seperti yang terlihat pada gambar 4.4 dengan menurunnya densitas dan viskositas, daerah operasi juga makin mengecil. Qmin 258 gpm dan Qrekah 359 gpm. Hal itu disebabkan oleh densitas yang lebih kecil, memberikan BHP yang lebih kecil. Viskositas yang lebih kecil cenderung menyebabkan pengangkatan cutting kurang efektif, sehingga laju minimumnya perlu lebih kecil
untuk menentukan ukuran nozzle yang harus digunakan, jika kita ingin menggunakan laju pompa tertentu yang besarnya berada pada kisaran laju pompa yang diperbolehkan (antara Qmin dan Qmaks). Plot tersebut juga dapat kita pakai untuk menentukan laju pompa yang harus digunakan jika ada ukuran nozzle tertentu yang ingin kita gunakan. Kasus 2 Tabel 4.3 Hasil Optimasi Hidrolika kasus 2. Parameter
BHHP
BHI
JV
Optimum rate pump (Qopt)
359,43
359,43
400
Pump Presurre at surface (Ps)
2000
2000
2000
Hp pump at surface (HPs)
419,41
419,41
466,74
Presure at bit (Pb)
1779,99
1779,99
1735,26
Hydraulik HP di bit (Hpb)
373,27
373,27
404,96
4.2.2 Laju Optimum dan Ukuran Nozzle Bit
Hydraulik Inpac (BIFb)
795,73
795,73
874,34
Penentuan laju optimum untuk BHHP, BHI dan JV menggunakan data slow pump rate test. Hasil perhitungan laju laju optimum dapat dilihat pada tabel berikut.
Mud Velocity at Bit (Vb)
465,26
465,26
459,38
Total Nozel Area (An)
0,25
0,25
0,28
3 nozle Combination
10.11.11
10.11.11
11.11.12
Untuk melihat perbandingan operating window kedua jenis contoh kasus diatas, dapat dilihat pada gambar 4.4.
Kasus 1 Tabel 4.2 Hasil Optimasi Hidrolika Bit Parameter
BHHP
BHI
JV
Optimum rate pump (Qopt)
720,21
800
400
Pump Presurre at surface (Ps)
2000
2000
2000
Hp pump at surface (HPs)
840,38
933,49
466,74
Presure at bit (Pb)
1267,54
1121,47
1735,26
Hydraulik HP di bit (Hpb)
532,61
523,44
404,96
Hydraulik Impac (BIFb)
1345,48
1405,80
874,34
Mud Velocity at Bit (Vb)
392,61
369,30
459,38
Total Nozel Area (An)
0,59
0,70
0,28
3 nozle Combination
16.16.16
18.18.18
11.11.12
Untuk kriteria JV laju optimum adalah sebesar laju minimum 400 gpm, BHHP laju optimum sebesar 720,21 gpm, dan untuk kriteria BHI laju optimum adalah sebesar laju maksimum, 800 gpm. Ketiga kriteria ini berada dalam rentang daerah operasi DGD. Dari hasil perhitungan diatas terlihat bahwa pompa rig yang dibutuhkan harus mampu mengakomodasi daya hingga 933 hp, tekanan 2000 psi dan laju alir 800 gpm.
Untuk kasus 2, nilai Qopt BHHP dan BHI cenderung lebih kecil dibandingkan kasus 1, namun tekanan di bit lebih besar. 4.2.3 Back pressure Besarnya back pressure yang ditanggung oleh MLP sesuai dengan besarnya APL saat sirkulasi. Dalam kasus ini, back pressure yang ditanggung oleh MLP adalah 576 psi untuk kasus 1 dan 432 psi untuk kasus 2. Contoh perhitungan APL dapat dilihat pada tabel 8 lampiran C. 4.2.4 Profil Tekanan pada DGD Kedua contoh kasus memberikan nilai BHP yang terletak dalam pressure window. Kasus 1 dengan ECD 15,48 ppg, sementara kasus 2 dengan ECD 15,63 ppg. Terlihat bahwa BHP kasus 1 lebih tinggi dibandingkan kasus 2, karena pengaruh dari pengangkatan cutting pada kasus 1 lebih baik dari kasus 2. Profil tekanan pada kedua contoh kasus tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5 lampiran C. Untuk pompa subsea, perbedaan tekanan masukan dan keluaran dapat dihitung dengan menentukan besarnya Pin dan Pout, menggunakan persamaan 3.1 dan 3.2. Contoh perhitungan dapat dilihat pada tabel 9 lampiran C.
Hasil laju optimum (Q optimum) dan luas area nozzle (An) masing-masing kriteria dapat diplot dan dipakai Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
12
Pompa yang dapat digunakan pada rig dapat dilihat pada lampiran, jenis yang tersedia tipe TPK yang memiliki kapasitas 2000 hp, tekanan 7000 psi dan Qmaks 826 gpm Parameter desain pompa pada kedua contoh kasus di atas, dapat diperlihatkan pada tabel berikut: Tabel 4.4 parameter desain pompa pada kasus 1 dan 2. Kasus
Qopt, gpm
HP
Pm, psi
APL, psi
ΔP, psi
1
800
933
2000
576
6237
2
400
467
2000
432
5953
Dari tabel 4.4 terlihat bahwa desain pompa subsea telah sesuai dengan spesifikasi yang ada dan pompa rig dapat menggunakan pompa lumpur seperti yang tertera pada lampiran A.
akhir ini bisa terselesaikan. Terima kasih kepada keluarga tercinta, Papa, Mama, Mitha, Rethi, Andro, Ari, dan Aldi, serta Seli, atas dukungan dan semangat selama ini. Penulis juga ingin mengucap terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr-Ing.Ir. Rudi Rubiandini R.S. selaku dosen pembimbing, atas bimbingannya selama mengerjakan tugas akhir ini. Juga terima kasih kepada segenap dosen teknik perminyakan atas ilmu dan courage yang telah diberikan selama penulis menempuh studi. Terima kasih juga kepada Pak Oman, Pak Haryanta, Pak Haryono dan petugas tata usaha lainnya atas bantuan dalam hal administrasi. Tak lupa kepada teman-teman seperjuangan Cigadung, Dea, Anggi, Dito, Pandu, Fadli, Reza, Rilsen, Oji, Marcel, teman-teman TM 2006 dan HMTM-Patra, abang, kakak, saudara, dan adik-adik KTB, PMK OH, dan teman-teman lain yang tak dapat disebut satu persatu, terima kasih atas kebersamaan, dukungan dan semangatnya, Tuhan memberkati senantiasa.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
7. DAFTAR SIMBOL
Adapun yang menjadi kesimpulan dari penulisan tugas akhir ini adalah: 1. Parameter hidrolika yang berpengaruh pada DGD adalah densitas, viskositas, laju pemompaan dan back pressure. Densitas dan viskositas yang meningkat memberikan daerah operasional yang lebih luas. Semakin besar laju pemompaan, semakin tinggi kehilangan tekanan, sehingga semakin besar pula back pressure yang perlu diberikan. 2. Parameter yang perlu diperhatikan pada desain pompa adalah horse power, tekanan pompa dan laju pemompaan. 3. Untuk kedua contoh kasus, pompa rig dapat menggunakan triplex mud pump jenis TPK yang memiliki kapasitas 2000 hp, tekanan 7000 psi dan Qmaks 826 gpm. Perbedaan tekanan pada pompa subsea telah sesuai dengan desain subsea pump yang tersedia (hingga 6600 HP)
ROP Dp Dh Ccont Vs dcut ρs ρf f θ Ci ρm C mw C RPM RPM L ρ PV YP HP P Q AV ���� 𝐶𝑎
5.2. Saran Penentuan parameter hidrolika pada offshore drilling sebaiknya memasukkan pengaruh dari tekanan dan temperatur.
6. UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatakan kepada Tuhan Yesus atas kasih dan anugrahNya sehingga tugas Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
HSP mud z K Q
= Rate of Penetration (ft/s) = OD pipa (in) = diameter hole (in) = konsentrasi Cutting (%) = Vslip, ft/s = diameter cutting, in = densitas cutting, ppg = densitas lumpur, ppg = friction factor = sudut inklinasi, deg = koreksi sudut. = densitas lumpur, ppg = koreksi terhadap densitas lumpur. = koreksi terhadap RPM = Kecepatan putar/rotary = hole length , ft = mud weight, ppg = plastic viscosity, cp = yield point, lb/100ft2 = Horse power pompa, hp = Tekanan Pemompaan, psi = Kecepatan alir, gpm = kecepatan lumpur rata-rata, ft/min = kapasitas annular rata-rata, gal/ft =
total volume annular
Measure Depth (MD)
= Hidrostatik pressure mud, psi = konstanta eksponen aliran. = konstanta kehilangan tekanan = laju alir, gpm 13
An Pb Pin Pout ΔP f,RL
= luas nozzle, in2 = kehilangan tekanan di bit, psi. = tekanan suction pompa subsea, psi = tekanan discharge pompa subsea, psi = tekanan friksi dalam return line, psi
13. https://www. sunnda.com/ Sunnda Coorporation Product Manual
8. DAFTAR PUSTAKA 1. Rabia, H., Oilwell Drilling Engineering: Principles and Practice, Graham & Trotman, Oxford, UK, 1985. 2. Rubiandini Rudi, Diktat Kuliah TM-2231 Teknik Operasi Pemboran, Penerbit ITB, Bandung, 2008 3. Nur El Kamal, Putri, Penentuan Parameter Hidrolika pada Operasi Managed Pressure Drilling Jenis Constant Bottom Hole, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Perminyakan ITB, Bandung, 2009. 4. Adam T. Bourgoyne Jr., Keith K. Millhelm, Martin E. Chenevert, F.S. Young Jr., SPE Textbook Series Vol. 2, “Applied Drilling Engineering”, First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. 5. Moore, Preston L., Drilling Practices Manual, PennWell Books, Tulsa, USA, 1986. 6. Lucky., Shindu, Persamaan Baru Penentuan Kecepatan Minimum Lumpur Untuk Mengangkat Cutting Sumur Vertikal, Miring dan Horizontal, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Perminyakan, FIKTM, 1999. 7. Oluwadairo, Tolulope, An Evaluation of Subsea Pump Technologies that Can be Used to Achieve Dual Gradient Drilling, Thesis, Petroleum Engineering Texas A&M University, 2007. 8. Juvkam-Wold , Hans C., Dual Gradient Drilling Basic Technology: Wellbore Pressure, 2000. 9. http://www.akersolutions.comDocumentsPandTM HWirth drilling equipment 2010. 10. http://www.weatherford.com/weatherford/groups/ public/documents/general/wft021445.pdf, (Weatherford Application Answers : Constant Bottomhole Pressure, Well Design to Energize Assets. 2006) 11. http://www.signaengineering.com/Engineering/pa pers/MPD/Variations of MPD Exhibit Application Potential.pdf,(Medley G, P Reynolds: Distinct Variations of Managed Pressure Drilling Exhibit Application Potential – Article inWorld Oil, March, pp. 41. 2006). 12. https://txspace.tamu.edu/handle/1969.1/3884, (Martin, Mathew D. : Managed Pressure Drilling, Technique and Tools. Thesis Texas A&M University May 2006). Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
14
LAMPIRAN A (DATA)
Tabel 1 Data konfigurasi sumur kedalaman (ft) 0- 10000
seksi annulus Riser
D hole (in)
OD pipe (in)
ID pipe (in)
Keterangan Seawater
10000 - 25000
Casing - DP
12,625
5
4,276
DGD
25000 - 29100
OH - DP
12,25
5
4,276
DGD
29100 - 29700
OH- HWDP
12,25
5,5
3
DGD
29700-30000
OH -DC
12,25
8
3,25
DGD
Tabel 2 Data lumpur, data cutting dan parameter pemboran Data Mud
Data cutting
Parameter pemboran
Densitas
18,2
ppg
SG
2.3
PV
64
cp
diameter
0.3
YP
20
lb/100 ft2
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
in
ROP
120
ft/hr
Rotary speed
80
rpm
15
Tabel 3 Data EMW tekanan pori dan gradien rekah pada sumur dengan kedalaman laut 10000 ft Depth, ft PP, ppg FG, ppg 10.000
8,65
8,65
10.260
8,65
8,69
10.804
8,66
8,84
11.393
8,66
9,18
12.025
8,68
9,51
12.686
9,01
9,93
13.364
9,40
10,35
14.055
9,77
10,74
14.760
10,14
11,12
15.478
10,49
11,47
16.213
10,73
11,79
16.974
10,77
12,03
17.763
10,93
12,31
18.573
11,16
12,60
19.402
11,40
12,89
20.253
11,65
13,17
21.131
11,83
13,42
22.045
11,91
13,65
22.996
12,09
13,90
23.983
12,13
14,11
25.000
12,39
14,39
26.037
12,53
14,62
27.106
12,55
14,81
28.215
12,48
14,98
29.373
12,31
15,12
30.589
12,04
15,23
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
14
Tabel 4. Spesifikasi Triplex Mud Pump Jenis APK9)
Tabel 5.Spesifikasi triplex mud pump SDF-220013)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
15
Tabel 6 Tabel Luas Total Kombinasi Nozzle 2)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
16
LAMPIRAN B (DAFTAR GAMBAR)
Gambar 1. Flowchart penentuan Vcut, Vmin dan Vslip untuk Sumur Vertikal 2)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
17
START
Input : θ300 & θ600 atau PV & YP ,Q, ρ ,Dh,OD, L , TVD
θ300 = PV+YP θ600 = 2PV + YP n = 3.32 x log K =
Va =
Vca = � Qca =
θ300 511n
24.5 x Q (Dh2 − OD2 ) 1
( ) 3.878 x 104 x K 2−n � ρ
Vca x (Dh2 − OD2 ) 24.5
aliran LAMINAR ← YA
θ600 θ300
x�
n
2.4 x(2n+1) (2−n) , � (Dh−OD) x 3n
Va < Vca ?
dPa K 2.4 Va 2n + 1 n = x� x � dL 300(Dh − OD) (Dh − OD) 3n
TIDAK → aliran TURBULEN
dPa (8.91 x 10−5 x ρ 0.8 x Q 1.8 x (PV) 0.2) = dL (Dh − OD)3 (Dh + OD)1.8
Pa =
dPa xL dL
Ulangi langkah di atas untuk tiap geometri annular (Dh,OD dan L yg berbeda)
APL = ΣPa
FINISH
Gambar 2. Flowchart penentuan kehilangan tekanan dalam anulus (APL) 3)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
18
START
Input :, Q, n, K, Dh,OD, L , MD, ρ , ρs, dcut, ROP
Dhole2 − OD2 Vol = � � xL 24.5 Hitung volume untuk tiap geometri annular (Dh,OD dan L yg berbeda)
��� = Σ Volume interval/MD Ca Q AV = ��� Ca μe =
200x Kx (Dh − Dp) 2.4 x AV x (2n + 1) x� � (Dh − Dp) x 3n AV 𝑉𝑠𝑣 − 𝑙𝑎 =
175 𝑥 𝑑𝑐𝑢𝑡 𝑥 (𝜌𝑠 − 𝜌)0.667 𝜌0.333 𝜇𝑒 0.333 15.47 x ρ x dcut xVsl μe
NRe = aliran LAMINAR ← YA
𝑉𝑠𝑣 − 𝑡𝑢 = 92.4�𝑑𝑐𝑢𝑡 �
𝜌𝑠 − 𝜌 � 𝜌
θ ≥45 ?
Ya
𝑉𝑠𝑙 = �3 x �
TIDAK → aliran TURBULEN
Nre < 300 ?
Vsv = Vsv- la
θ ≥ 45 :
n
Tidak θ < 45:
3 + 𝜌𝑚 600 − 𝑅𝑃𝑀 �� �� 𝑉𝑠𝑣 15 600
2𝜃
𝑉𝑠𝑙 = ��1 + 45 � �
3+𝜌𝑚 15
��
600−𝑅𝑃𝑀 600
�� 𝑉𝑠𝑣
Vcut = AV − Vsl Cconc = ρe = �ρs x
ROP x Dh2 x 100 60 x Vcut x (Dh2 − Dp2 )
Cconc Cconc )� � + � ρ x (1 − 100 100
BHP = ρe x 0.052 x TVD + APL Effective ECD =
BHP 0.052 x TVD
FINISH
Gambar 3. Flowchart penentuan BHP dan ECD 3) Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
19
Gambar 4 Diagram Alir Konsep BHHP 2)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
20
Gambar 5 Diagram Alir Konsep BHI 2)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
21
Gambar 6 Diagram Alir Konsep JV 2)
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
22
LAMPIRAN C (GRAFIK DAN HASIL PERHITUNGAN)
40.00
24,260
35.00
24,600
30.00
24,400
20.00 24,200 BHP
24,180
Ccont
15.00
5.00
24,140
0.00 2000
500
1000
1500
24,200 24,000 23,800 23,600 23,400
10.00
24,160
0
BHP, psi
25.00
24,220
24,800
Ccont, %
24,240 BHP, psi
25,000
24,280
23,200 23,000
0
500
1000
1500
Q, gpm
Q, gpm
Gambar 4.1 Plot BHP dan Konsentrasi Cutting terhadap Laju Pompa
24,450 24,400 24,350 BHP, psi
PP
FG
Qmin
Qc
Qrekah
Kasus 1
Qmin1
Qrekah1
Gambar 4.4 Perbandingan operating window kasus 1 dan 2.
24,500
24,300 24,250 24,200 24,150
Q
24,100 24,050 24,000 0
500
1000
1500
2000
Q, gpm BHP FG Qc
PP Qmin Qrekah
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
y = 749.03x + 279.15
y = 1035.2x + 110.66
0
0.2
0.4
0.6
0.8
An
Gambar 4.2 Daerah operasi kasus 1
Gambar 4.3 Penentuan Ukuran Nozzle pada Laju Pompa Tertentu
25,000 24,800
405
24,600
400
24,400
395
y = 1286.9x + 40.295
390
24,200 24,000 23,800
BHP
385
PP
380
FG
Q
BHP, psi
Kasus 2
375
23,600
Qmin
370
23,400
Qc
365
23,200
Qrekah
360 355
23,000 100
200
300
400
500
Q, gpm
Gambar 4.3 Daerah operasi kasus 2
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
0.24
0.25
0.26
0.27
0.28
0.29
An
Gambar 4.4 Penentuan Ukuran Nozzle pada Laju Pompa Tertentu
23
psia 0
10000
20000
10000
30000 HSP sw 15,48 15,63
ft
15000
20000
25000
30000
Gambar 4.5 BHP kasus 1 dan 2 Tabel 7 Perhitungan Qmin
Power Law
q300 84,000 q600 148,000 n 0,817 K 0,516 Perhitungan Kecepatan Minimum Lumpur Vcut Vslip, ft/s Vmin, ft/s µe, cp Nre f Vsl2
0,800 0,031 0,018 0,831 0,818 157,038 157,512 1,039 0,587 21,585 68,116 0,031 0,017 0,000 0,000 Abs(Vsl2-Vsl1) Vslip cor 0,039 0,022 3
269,613
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
264,164
13
Tabel 8 Perhitungan BHP dan ECD
Q, gpm
39,762
V vc Ket Pa lam Pa tur Pa pakai APL, psi AV, fpm µe, cp Vs, fpm Nre Vs cor, fpm Vcut, fpm Ccont ρe BHP, psi ECD efektif
OH-DC OH-HWDP OH-DP Casing-DP 11,32 8,13 7,79 7,25 1426,25 1962,70 2061,92 2134,95 laminer laminer laminer laminer 0,42 0,28 1,61 5,05 0,03 0,02 0,10 0,31 0,42 0,28 1,61 5,05 7,36 7,42 222,68 3
Tabel 9 Perhitungan Perbedaan Tekanan pada Pompa Subsea
ρsw Depth TM Pin
Pout Pompa 179,778 212,207 ya 0,007 71,665 71,665 0,000 9856,995 Pin Pompa 8,65 10.000 50 4.548
Δppompa
5.309,0
Vp Vcp Vp
Juryanto Tandepadang 122 06 096 - Semester II 2010/2011
14