Edisi 14 O Juli 2009
3 5 6 7 9 10
”Kami Tak Melihat Siapa yang Diperiksa”
11
Kritis dan Lantang untuk Kebaikan Profesi
P2KB: Menaikkan Mutu Menuai Kritik ”Kalau Sudah Dibuka Bukunya, Tidaklah Sulit” Menyeret Gerbong P2KB P2KB IDI Online, Klik! Peneliti Indonesia Pertama yang Menelisik Leukemia Mieloid
P2KB: Jaga dan Tingkatkan Profesionalisme Dokter U
ndang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) mengamanatkan bahwa setiap dokter yang berpraktik wajib menjaga dan meningkatkan kompetensinya. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengejawantahkan amanat ini dalam bentuk Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Setiap dokter, termasuk dokter spesialis penyakit dalam, yang berpraktik harus mengikuti program P2KB. Kebijakan baru ini tak pelak menuai kritik dari sebagian kalangan dokter. Alasannya, program ini sangat merepotkan dokter. Para dokter saat ini telah disibukan dengan tugas profesinya masing-masing. Bahkan tak sedikit dokter yang masih praktik hingga larut malam. Alasan lain, bagi dokter yang mengabdi di daerah terpencil, akan merasakan kesulitan bila harus menghadiri berbagai seminar. Kritik yang dilontarkan para sejawat dapat dipahami oleh Ketua KKI, Dr. Hardi Yusa. SpOG(K). Dokter spesialis obsgyn ini mengaku juga merasakan kesulitan ketika memulai menjalankan program P2KB. Tapi, katanya, bila telah memahami Buku Petunjuk Teknis dan Buku Log, aturan-aturan yang tampak rumit itu sebenar mudah dimengerti. ”Maklum, P2KB merupakan program baru. Jadi masih banyak pertanyaan-pertanyaan,” katanya santai. Kendala serupa juga dialami DR.dr. Aru W. Sudoyo, SpPD,K-HOM, FACP. Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PB PAPDI) ini menenggarai persoalan di atas karena kurangnya sosialisasi program P2KB. Informasi yang lengkap soal P2KB bukan hanya tidak diterima oleh dokter di daerah, tapi dokter yang berpraktik di kota besar juga luput dari kabar P2KB. Untuk sosialisasi, PAPDI telah melakukan beberapa kegiatan, diantaranya roadshow ke berbagai cabang di Indonesia, lewat website, sms dan media Halo Internis. ”Mudah-mudahan cara ini efektif,” imbuh Dr. Aru. Kendati demikian, P2KB sebagaimana amanat UU, mesti dijalankan. Selain itu, harus dipahami tujuan program ini sangat bermanfaat bagi dokter dalam rangka mempertahankan kompetensinya untuk memberikan pelayanan medis yang berkualitas. ”Kemampuan dan keahlian dokter lambat laun akan menurun, oleh karena itu mesti dijaga kompetensinya,” ujar Dr. Hardi Yusa. (HI)
Susunan Redaksi: Penanggung Jawab: DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD,K-HOM,FACP • Pemimpin Redaksi: Dr. Cosphiadi Irawan, SpPD,K-HOM • Bidang Materi dan Editing: Dr. Indra Marki, SpPD; Dr. Sally A. Nasution, SpPD; Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD,K-GEH,MMB; Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD • Koresponden: Cabang Jakarta, Cabang Jawa Barat, Cabang Surabaya, Cabang Yogyakarta, Cabang Sumut, Cabang Semarang, Cabang Padang, Cabang Manado, Cabang Palembang/Sumbagsel, Cabang Makassar, Cabang Bali, Cabang Malang, Cabang Surakarta, Cabang Riau, Cabang Kaltim, Cabang Kalbar, Cabang Dista Aceh, Cabang Kalsel, Cabang Palu, Cabang Banten, Cabang Bogor, Cabang Purwokerto, Cabang Lampung, Cabang Kupang, Cabang Jambi, Cabang Kepulauan Riau, Cabang Gorontalo, Cabang Cirebon, Cabang Maluku, Cabang Papua, Cabang Maluku Utara, Cabang Bekasi • Sekretariat: Dr. Triana Puspita Dewi, M.Kes (Sekretaris Eksekutif PAPDI); Sdr. M. Muchtar; Sdri. Siti Romlah; Sdr. Husni; Sdr. M. Yunus • Alamat: PB PAPDI Lt. 2 Departemen Penyakit Dalam, FKUI/RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71 Jakarta 10430, Telp. (021) 31931384, Faks. (021) 3148163 • E-mail:
[email protected]
2 Sekapur Sirih
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
ejawat Ahli Penyakit Dalam di tanah air, kembali kita jumpa di tabloid Halo Internis Edisi 14, suatu media komunikasi bagi kita semua. Halo Internis PAPDI edisi kali ini, kembali akan mengulas beberapa topik yang tim redaksi harapkan tetap menarik dan bermanfaat untuk sejawat sekalian. Sama kita ketahui, perkembangan dunia kedokteran di Indonesia saat ini sedang mengalami “sorotan”, di samping perkembangan yang demikian pesat di bidang ilmu dan teknologi kedokteran. Di lain sisi masyarakat sebagai pengguna jasa medik tampaknya juga semakin kritis menelaah interaksi antara dokter dan dirinya sebagai pasien. Ini terlihat dari semakin banyaknya kasus keluhan dan tuntutan baik yang masuk ke MKEK (Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran), perdata dan bahkan juga pidana. Kita sebagai ahli penyakit dalam sangat menyadari bahwa diperlukan suatu proses pendidikan yang berkesinambungan yang seyogyanya terukur, mampu laksana, dan dapat diakses dengan mudah di seluruh tanah air sehingga tingkat kemampuan kita/kompetensi tetap terjaga. Untuk itulah P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) yang merupakan program IDI patut kita dukung dan sosialisasikan seoptimal mungkin. Untuk mengkaji dan membahas apa dan bagaimana P2KB, beberapa narasumber diantaranya Prof. Dr. I Oetomo Marsis, SpOG (K) - IDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP - Ketua Umum PB. PAPDI, DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, M.Epid - Ketua Tim P2KB Pusat, akan
S Dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, K--HOM, Pimpinan Redaksi.
Tim Sekretariat PB PAPDI.
Kenali Tatalaksana Swine Influenza
mengisi sorot utama kali ini di samping beberapa opini dari Sejawat Penyakit Dalam. Selanjutnya info medis membahas tentang “Peran NF-κ dan COX-2 serta hubungannya dengan karakteristik klinikopatologis” oleh DR.Dr. Murdhani Abdullah, SpPD, K-GEH akan memberi asupan perkembangan terkini di bidang Gastroenterologi. Semangat, sepak terjang dan filsafat DR. Dr. Pranawa, SpPD, K-GH dalam perjalanan karirnya akan mengisi profil PAPDI kali ini. Kiranya pengalaman beliau akan dapat menjadi inspirasi dan dorongan semangat bagi kita semua untuk tetap berkiprah dan berbuat dalam pengembangan keilmuan kita. Hal yang tak kalah menyegarkan adalah PAPDI sebagai salah satu anggota ISIM (International Society of Internal Medicine) untuk pertama kalinya akan mewisuda atau konvokasi para ahli penyakit dalam baru dengan gelar FISIM (Fellow of the Indonesian Society of Internal Medicine) di KOPAPDI XIV Jakarta yang akan datang. Apa dan bagaimana arti Fellow akan sedikit dibahas oleh Ketua Umum PB. PAPDI kita, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP. Demikianlah edisi kita kali ini dan tim redaksi tak bosanbosannya tetap mengharapkan saran, kritik dan artikel dari teman-teman sejawat di tanah air untuk menambah menarik tabloid kita ini pada edisi berikutnya. Salam Redaksi
! G N I T N E P INFO
Penyebab: Influenza A strain H1N1 Penularan: Manusia ke manusia Gejala: Demam, ispa, batuk/pilek/nyeri tenggorokan, komplikasi pneumonia
Diagnostik: O
O
Suspek: Bila ada kontak/riwayat perjalanan ke negara dengan kasus positif dan demam > 38 derajat celcius disertai gejala infeksi saluran nafas Probable/definite: Dengan RT PCR
Pengobatan: O O
Antiviral oseltamivir segera dalam 48 jam pada kasus suspek dosis 2 x 75 mg (selama 5 hari. Rujuk ke rumah sakit yang merawat avian influenza
Pencegahan: Gunakan alat pelindung diri (APD), hindari kontak, cuci tangan, dan isolasi penderita SUMBER: Dr. Khie Chen, SpPD, K-PTI, Divisi Tropik Infeksi FKUI-RSCM
Sorot Utama Halo Internis Edisi 15 • Oktober 2009 : Harapan dan Tantangan PAPDI di Masa Depan Redaksi menerima masukan dari sejawat, baik berupa kritik, saran, kiriman naskah/artikel dan foto-foto kegiatan PAPDI di cabang, yang dapat dikirimkan ke REDAKSI HALO INTERNIS d/a. Sekretariat PB PAPDI, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 31931384, 31930808 ext. 6703, Faks. (021) 3148163 E-mail:
[email protected] SMS PB PAPDI : 0856 9578 5909
Kiprah PAPDI 3
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
”Kami Tak Melihat Siapa yang Diperiksa”
D
harus bebas dari penyakit. “Tapi penyakit itu, diperkirakan dengan evidence based, tidak akan mengganggu aktivitas dalam menjalankan kepemimpinan, dalam waktu 5 tahun mendatang,” kata Dr. Imam. Baik Dr. Czeresna, Dr. Imam, maupun Prof. Zubairi mengatakan, penyakit-pe-
Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, K--HOM.
Pemeriksaan fisik dan kesimpulan akhir yang dibuat oleh ahli penyakit dalam menjadi acuan untuk pemeriksaan selanjutnya
obat-obatan sebelumnya. Prof. Zubairi memaparkan pemeriksaan lain yang dilakukan terhadap para calon tersebut. Pemeriksaan pertama adalah tes dengan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) berupa tes yang dapat menggambarkan kepribadian dan gejala emosi bagi mereka yang menjalani tes ini. Ada beberapa KORAN JAKARTA
alam pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang lalu, kesehatan menjadi salah satu syarat bagi para calon presiden dan wakil presiden seperti yang diamanatkan UndangUndang No 42 tahun 2008. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, bersama-sama dengan koleganya dari disiplin ilmu kedokteran yang lain dari IDI, turut serta dalam hajatan besar bangsa untuk memilih calon pemimpin negeri ini. Adalah Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, K-HOM terpilih sebagai Ketua Tim Pemeriksa Kesehatan Capres dan Cawapres pada Pemilihan Presiden Pemilu 2009. Sedangkan duduk sebagai anggota, dari spesialis ilmu penyakit dalam adalah Dr. Imam Subekti, SpPD, K-EMD, dan DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, MEpid. “Yang membanggakan, Departemen Ilmu Penyakit Dalam diminta leading dalam melakukan anamnesis terhadap para bakal calon,” tutur Dr. Imam. ”Pemeriksaan fisik dan kesimpulan akhir yang dibuat oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam menjadi acuan untuk pemeriksaan selanjutnya.” Menurut tim dokter, kriteria sehat yang digunakan adalah para calon capres dan cawapres adalah mampu melakukan semua aktivitas keseharian yang dibutuhkan sebagai manusia. “Yang terpenting apakah ia bisa melakukan aktivitas secara mandiri tanpa bantuan,” ujar Dr. Czeresna. Menurut Dr. Imam, kondisi kesehatan para bakal calon itu, tidak berarti mereka
ISTIMEWA
Tes Kesehatan Capres dan Cawapres:
Capres dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) menjalani pemeriksaan kesehatan oleh tim dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
nyakit seperti diabetes, hipertensi, atau asma, mungkin saja didapatkan pada para calon, dan sejauh ini penyakit-penyakit tersebut dapat dikendalikan dengan melakukan upaya kontrol yang baik. Dalam proses tersebut, urai Dr. Czeresna, tim dokter juga melakukan penapisan terhadap berbagai keluhan, riwayat operasi, riwayat penyakit, alergi, hingga penggunaan
skala ukuran seperti depresi atau ansietas dalam tes yang dilakukan selama 90 menit. Tes selanjutnya adalah pemeriksaan psikiatri yang memakan waktu sekitar 1 jam, dan selanjutnya adalah tes kelainan neurologi dengan waktu 45 menit. Pada proses pemeriksaan tersebut, tim dokter mengatakan bahwa para calon tersebut sangat kooperatif untuk setiap tin-
Dr. Samsul Ashar, SpPD: Tak banyak dokter yang terjun ke politik praktis. Apalagi mencalonkan diri menjadi kepala pemerintahan. Kalaupun ada, jarang yang berhasil lolos. Tapi Dr. Samsul Ashar SpPD sukses melaju mulus ke kursi Walikota Kediri. Apa misi dan faktor pendukungnya? erebaknya kabar seorang balita yang meninggal akibat gizi buruk di wilayah Kota Kediri membuat hati Dr. Samsul Ashar, SpPD terenyuh. Sebagai seorang dokter, nuraninya tersentuh akan kenyataan pahit di kota kelahirannya tersebut. Maka, dengan dukungan tiga partai, PAN, PPP dan PDS, Samsul, begitu biasa disapa, melaju ke pencalonan sebagai walikota Kediri di Pemilihan Walikota 2008.
M
Dalam pemilihan itu, dokter kelahiran 16 September 1961 ini, akhirnya berhasil memenangkan pemilihan dengan suara lebih dari 30 persen bersama pasangannya, Abdullah Abubakar. Keduanya pun resmi mejadi pasangan walikota dan wakil walikota Kediri untuk periode 20092014. “Dokter juga bisa jago politik!,” ucapnya. Pasca resmi terpilih, dokter jebolan Universitas Brawijaya, Malang ini, langsung membuat langkah untuk mereali-
WWW.KOTAKEDIRI.GO.ID
Tetap Praktik Meski Jadi Walikota
dakan yang perlu dilakukan. “Mereka sangat mengerti tugas tim pemeriksa,” ujar Dr. Imam. Sedangkan mengenai kesan dengan melakukan pemeriksaan terhadap calon pemimpin, Prof. Zubairi dengan tegas menyatakan, “Pada prinsipnya kami tidak melihat siapa yang kami periksa.” Sedangkan Dr. Czeresna mengatakan, “Tentu saja kami melihat mereka masing-masing sebagai calon presiden, tapi ketika dikembalikan kenapa IDI meminta kesediaan kami untuk membantu, yang mengemuka adalah panggilan profesi.” Prof. Zubairi mengatakan, dari keseluruhan pemeriksaan yang dilakukan memang menemukan penyakit tertentu pada bakal calon presiden. Tapi penyakit-penyakit tersebut dapat ditolerir dan dikontrol selama 5 tahun mendatang. Demikian juga terdapat kelainan pada tes neurologi. Namun ini semua masih dalam tahap yang wajar. “Bahkan saya, jika dilakukan tes, juga mungkin akan terdapat kelainan itu,” kata Profesor yang juga Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Dalam ini. Hasil pemeriksaan hanya dapat dinyatakan layak atau tidak layak. Hasil tes kesehatan tidak dapat diumumkan secara rinci. Berdasarkan kode etik, dokter tidak dibenarkan untuk memberitahukan catatan medis pasien kepada pihak lain tanpa seizin pasiennya. “Tim pemeriksa bekerja untuk dan atas nama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada prinsipnya, data dan kesimpulan yang didapatkan, kami serahkan ke KPU,” ujar Prof. Zubairi. Hal ini, ujarnya, berbeda dengan di luar negeri seperti di Amerika, dimana hasil tes kesehatan calon presiden menjadi urusan publik. (HI)
sasikan misi utama yang ia janjikan waktu pemilihan, yakni pengembangan bidang kesehatan bagi Kota Tahu tersebut.
Satu Kelurahan, Satu Dokter “Saya akan mewujudkan program satu kelurahan satu dokter,” ujar dokter yang masih menjabat Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Kediri ini. Dr. Samsul bekerja sama dengan IDI dan sejumlah fakultas kedokteran di Jawa Timur untuk pemesanan dokter. Sebab sejauh ini pemerintah kota mengaku masih kekurangan 18 dokter lagi. Dengan upaya mengalokasikan 18 persen anggaran dari APBD, dokter yang meluluskan gelar spesialnya di Universitas Airlangga, Surabaya, ini berusaha mewujudkan janjinya untuk memberikan pelayan-
4 Kiprah PAPDI an kesehatan yang terjangkau dan berkualitas kepada seluruh masyarakat Kediri. Ia berkomitmen untuk meningkatkan sistem pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Gambiran dan seluruh puskesmas yang ada di Kediri. ”Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, karenanya kami memprioritaskan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bagus kepada masyarakat,” ujar bapak dari tiga anak tersebut. Selain itu, Dr. Samsul mengupayakan jaminan kesehatan bagi para PNS, anggota ABRI, polisi, dan karyawan melalui askes. Warga miskin pun tak terlewatkan, yang tidak tercover oleh jamkesmas akan diberi jamkesda.
“Dokter juga bisa jago politik!” Tetap Praktik Dedikasinya sebagai seorang dokter pun tak ia lupakan. Meski sudah menjabat walikota, dokter yang juga aktif di organisasi sejak masih kuliah ini berjanji akan tetap membuka praktik untuk melayani pasiennya. Hanya saja, dia hanya buka praktik pada Rabu malam dan Sabtu saja. “Itu juga salah satu cara saya agar tetap bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat Kota Kediri. Dengan bertemu pasien, keluhan langsung masyarakat bisa diketahuinya. Sehingga, bisa dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan keputusan,” ungkapnya. Agar praktik itu tidak mengganggu tugas-tugasnya sebagai walikota, Dr. Samsul berjanji untuk mengaturnya agar tidak berbenturan. Salah satunya dengan membatasi jumlah pasien. Maksimal sepuluh orang dalam setiap pertemuan.
Pengembangan Perekonomian dan Pendidikan Tak melulu di bidang kesehatan, Dr. Samsul mencanangkan suatu program untuk pengembangan di bidang perekonomian. Ia berjanji akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Langkah utamanya dengan mengoptimalkan sektor pertanian. Meski lahan kota sempit, itu bukan masalah baginya. “Saya akan memprioritaskan agrobisnis, saya yang akan mendampingi langsung proses produksi hingga pemasarannya, saya juga akan mengembangkan bidang peternakan dan perikanan, di antaranya dengan budidaya ikan hias,” janjinya. Komitmennya di bidang ekonomi ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa dari sekitar 260.000 penduduk Kota Kediri, 45.000 diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Dr. Samsul, warga miskin ini harus diberdayakan melalui cara menjalankan peran pemerintah yang efektif. Rencananya Dr. Samsul akan mengalokasikan anggaran minimal 20 persen dari APBD untuk program pengembangan pendidikan. Dengan alokasi ini dirinya berharap, biaya pendidikan di Kota Kediri benar-benar bisa digratiskan, mulai SD hingga SMA. Semoga!! (HI)
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
FELLOW DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP ellows are the highest grade of membership of most professional societies. Lower grades are referred to as members (who typically share voting rights with the fellows), or associates (who may or may not, depending on whether ”associate” status is a form of full membership). How a fellowship is acquired varies for each society, but may typically involve some or all of these: • A qualifying period in a lower grade • Passing a series of examinations • Nomination by two existing fellows who know the applicant professionally • Evidence of continued formal training post-qualification • Evidence of substantial achievement in the subject area • Submission of a thesis or portfolio of works which will be examined Di dalam perhimpunan-perhimpunan profesi kedokteran berbagai negara seperti di Amerika Serikat dan Eropa, “Fellow” adalah sebuah gelar kehormatan yang dicapai melalui pengakuan dari sesamanya (“peers”) atas integritas pribadi, kompetensi yang superior dalam Ilmu Penyakit Dalam, dan bukti atas prestasi pribadi serta akademik. Dalam perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam di Amerika Serikat (American College of Physician atau ACP), misalnya, seorang Fellow berasa di atas anggota biasa (member) ataupun variasinya (associate dan affliate member). Pengakuan itu diberikan oleh sebuah komite khusus (disebut credentials subcommittee), setelah mempelajari data profesional anggota yang melamar, serta dikukuhkan setiap tahun pada pertemuan tahunan organisasi dalam sebuah upacara konvokasi. Beberapa perhimpunan memberikan gelar Honorary Fellow pada individu-individu di luar organisasi atau profesinya atas jasa maupun kontribusi terhadap profesi/organisasi. Pimpinan perhimpunan mancanegara yang datang sebagai tamu pada pertemuan tahunan juga kerap dikukuhkan dengan gelar tersebut. Seorang Fellow mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anggota biasa, dengan berbagai fasilitas tambahan seperti biaya registrasi yang lebih ringan pada konferensi dan sebagainya. Para Fellow diperkenankan menggunakan gelar tersebut dalam kegiatan profesional mereka sepanjang mereka masih berstatus anggota pada perhimpunan yang bersangkutan, serta diperbolehkan menjadi sponsor atas lamaran anggota lain yang melamar untuk menjadi Fellow. Pada hakikatnya, status Fellow itu diciptakan sebagai pengakuan atas kontribusi seorang anggota yang dianggap secara profesi “lebih dari biasa”, dan tidak hanya mencakup kegiatan maupun pencapaian akademis saja. Seorang internis yang jauh dari laboratorium maupun pusat pendidikan namun dianggap berhasil dalam mengangkat nama organisasi profesi penyakit dalam di masyarakat atau di daerah terpencil pun dapat dipertimbangkan.
F
FELLOW OF THE INDONESIAN SOCIETY OF INTERNAL MEDICINE (FISIM) Adalah gelar kehormatan pertama kali dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) yang akan diberikan kepada para internis dan guru besar. Proses pemberian gelar tersebut dalam acara konvokasi akan diselenggarakan pada Kamis, 12 November 2009 di Hotel Grand Indonesia Kempinski di Ruang Bali Room yang bersamaan dengan Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XIV). Prestasi dan hasil kerja seorang internis mungkin dibatasi oleh ruang lingkup kerja serta ketersediaan sumber daya, namun tidak mengurangi kesempatan/terpilihnya menjadi Fellow karena pengakuan diberikan atas sumbangsihnya pada masyarakat di mana ia tinggal dan bekerja. Ini berarti fellow diberikan tidak harus berkaitan dengan aktifitas akademik. Beberapa nilai yang digunakan: O Menjunjung tinggi dan mempraktekkan standar
DR. Aru menerima anugerah gelar kehormatan ACP di Washington.
klinis dan idealisme etika. Menunjukkan kepemimpinan di masyarakatnya secara regional atau nasional dalam hal-hal yang menyangkut peningkatan dalam bidang kesehatan, komunitas dan sosial. O Memberikan pendidikan dan informasi pada orang lain termasuk mahasiswa, residen, trainee dan petugas kesehatan lain. O Bekerja memajukan profesinya melalui keterlibatan dalam panitia, komite medik rumah sakit, perhimpunan profesi, dan organisasi dalam masyarakat. O Memberikan tenaganya secara sukarela pada kegiatankegiatan medik di masyarakat. O Menjadi anggota dalam panitia atau komite di fakultas atau rumah sakit serta memajukan profesi sebagai karir. O Menjalankan penelitian dalam ilmu kedokteran serta aktif dalam kegiatan-kegiatan yang menunjang penyakit dalam sebagai profesi. O Selalu mengupayakan up to date dalam pendidikan kedokteran. O Ikutserta dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Jadi pada dasarnya seorang Fellow dipilih oleh sebuah komite, bukan karena jenjang karir, gelar profesor atau doktor, ataupun kedudukan. Kehormatan dan pengakuan atas dasar profesionalisme yang tinggi itu diberikan juga pada mereka yang bekerja di perifer dan di tengah masyarakat tertinggal tanpa dukungan fasilitas. Jadi kata kuncinya adalah: achievement, dedicated dan commitment. R O
Sorot Utama 5
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
Menaikkan Mutu Menuai Kritik
P2KB: ejak diterapkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tatanan sistem kedokteran di Indonesia berangsur-angsur teratur. Ketetapan demi ketetapan dalam undang-undang itu banyak yang sudah dijalankan, namun tak sedikit yang masih dalam proses penerapannya. Di antara kebijakan yang saat ini sedang menyedot perhatian khalayak dokter adalah Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) atau Continuing Professional Development (CPD). P2KB merupakan amanat UU Praktik Kedokteran (UUPK). Oleh karena itu, setiap dokter, termasuk dokter spesialis penyakit dalam, yang berpraktik wajib mengikuti program P2KB. Aktifitas P2KB dapat bersifat formal, seperti temu pakar, pembahasan kasus, temu audit; maupun informal yang ditujukan untuk mempertahankan, meningkatkan, mengembangkan serta menambah pengetahuan, ketrampilan, dan sikap (attitude) sebagai respon atas kebutuhan pasien. Kegiatan P2KB ini diatur oleh kolegium dokter umum maupun spesialis di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lewat buku petunjuk teknis dengan merujuk pada World Federation for Medical Education (WFME) yang telah disetujui oleh World Health Organization (WHO) dan World Medical Assocation (WMA). Setiap dokter mesti menjaga kompetensi mutu pelayanan medisnya. Untuk itu, mereka dituntut melakuan aktifitas P2KB yang nantinya akan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Sertifikat ini menjadi salah satu syarat mutlak penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). STR wajib diperbaharui setiap lima tahun sekali. Karena itu, sertifikat kompetensi yang dikeluarkan kolegium juga harus diperbaharui atau resertifikasi kompetensi setiap lima tahun sekali. ”Setiap dokter yang ingin berpraktik wajib memiliki STR yang dikeluarkan KKI. Untuk mengurus STR, salah satu syaratnya memiliki sertifikat kompetensi dari kolegium. Karena STR masa berlakunya lima tahun, maka sertifikat kompetensi juga mesti diperbaharui setiap lima tahun sekali. Ini adalah amanat undang-undang,” kata Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Dr. Hardi Yusa, SpOG (K) kepada Halo Internis. Dokter yang telah lulus, Hardi Yusa mencontohkan, akan mendapat sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh kolegium. Sertifikat kompetensi tersebut dilampirkan bersama prasyarat yang lain dibawa ke KKI untuk memperoleh STR. Dari sini, STR digunakan untuk mengurus Surat Izin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan setempat. Setelah lima tahun, dokter tersebut mesti mengurus STR kembali yang disertai dengan sertifikat kompetensi yang baru. Untuk mendapat sertifikat kompetensi ulang,
Program ini tergolong baru di Indonesia. Profesi kedokteran telah memulai CPD lebih dahulu, dikenal dengan P2KB. Resertifikasi kompetensi mudah diperoleh selama, dokter itu masih praktik, memegang pasien dan aktif di organisasi profesi.
S
bangan ilmu. Sementara, kriteria kegiatan P2KB beserta nilai SKP ditentukan oleh kolegium dokter umum maupun spesialis dengan mengacu pada ketetapan BP2KB-PB IDI.
Kurang Sosialisasi Kebijakan baru ini tak pelak menuai kritik dari sebagian kalangan dokter. Alasannya, program ini sangat merepotkan dokter. Para dokter saat ini telah dis-
ISTIMEWA
dokter itu mesti melakukan kegiatan-kegiatan keprofesian atau P2KB untuk mempertahankan kompetensinya. ”Dengan demikian profesionalisme dokter tetap terjaga. Kita tidak menghendaki dokter yang kompetensinya sudah menurun masih melayani pasien,” tegas Dr. Hardi Yusa yang mengaku telah memiliki satu koper khusus untuk menyimpan semua dokumen bukti kegiatan-kegiatan P2KB.
Dr. Hardi Yusa, SpOG (K).
Pendapat Dr. Hardi Yusa dibenarkan oleh Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG (K). Menurut Ketua Badan P2KB PB IDI ini program P2KB dimaksudkan untuk mempertahankan dan meningkatkan professionalisme seorang dokter. Dengan begitu, ada jaminan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat telah terstandar. Alasan lain, agar dokter-dokter Indonesia senantiasa mengup-date keilmuannya seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sehingga kemampuannya tidak kalah dengan dokter dari luar negeri. ”Yang paling utama adalah meningkatkan standar kualitas pelayanan medis,” ujarnya. Sertifikasi kompetensi ulang dapat diperoleh bila telah memenuhi kriteria penilaian tertentu. BP2KB PB IDI telah menetapkan penilaian berdasarkan jumlah SKP (CPD point), yaitu minimal 250 SKP per lima tahun. Akumulasi nilai SKP ini didapat dengan mengikuti program P2KB yang dibagi dalam lima ranah kegiatan, yaitu kinerja profesional, kinerja pembelajaran, kinerja pengabdian masyarakat, kinerja publikasi dan kinerja pengem-
ibukan dengan tugas profesinya masingmasing. Bahkan tak sedikit dokter yang masih praktik hingga larut malam. Alasan lain, bagi dokter yang mengabdi di daerah terpencil, akan merasakan kesulitan bila harus menghadiri berbagai seminar. Kritik yang dilontarkan para sejawat dapat dipahami oleh Hardi Yusa. Dokter spesialis obgyn ini, sudah terbiasa menghadapi kritik dari koleganya, terkait pelaksanaan UUPK. Ketika penetapan dokter hanya boleh tiga tempat praktik, misalnya. Kendati demikian, P2KB sebagaimana amanat UU, mesti dijalankan. Selain itu, mesti dipahami tujuan program ini sangat bermanfaat bagi dokter dalam rangka mempertahankan kompetensinya untuk memberikan pelayanan medis yang berkualitas. ”Kemampuan dan keahlian dokter lambat laun akan menurun, oleh karena itu mesti dijaga kompetensinya,” ujar Dr. Hardi Yusa. Lantas bagaimana bila tidak mengikuti program P2KB? Menurut Dr. Hardi Yusa, memang tidak ada sanksi tertulis soal itu.Dalam UUPK tidak diatur sanksi bagi dokter yang tidak melakukan pro-
gram P2KB. Namun, secara otomatis karena sistem registrasi sudah saling berkaitan maka dokter tersebut tidak dapat memperoleh SIP baru, yang berbuntut tidak dapat melakukan praktik. ”Tidak melakukan CPD maka ia tidak mendapatkan sertifikat kompetensi baru dan tidak dapat mengurus STR yang pada akhirnya tidak dapat dikeluarkan SIP baru untuk lima tahun ke depan.” Dr. Hardi Yusa mengaku juga merasakan kesulitan ketika memulai menjalankan program P2KB. Tapi, katanya, bila telah memahami buku petunjuk teknis dan buku log, aturan-aturan yang tampak rumit itu sebenar mudah dimengerti. ”Maklum, CPD ini program baru. Jadi masih banyak pertanyaan-pertanyaan,” katanya santai. Meskipun penentuan materi dan penilaian kegiatan-kegiatan P2KB domainnya IDI, Dr. Hardi Yusa mengatakan, panduan itu sudah cukup obyektif dengan mempertimbangkan kondisi dan geografis dokter. Jumlah 250 SKP per lima tahun dapat mudah didapat asalkan dokter itu masih praktik, aktif di organisasi profesi serta lingkungannya dan menghadiri seminar. Hal itu dibenarkan oleh Prof. Marsis. Untuk memenuhi batas minimal SKP, setiap dokter tidak mesti melakukan lima ranah kegiatan P2KB. Minimal ia dapat aktif di tiga ranah: kinerja professional, kinerja pembelajaran, dan kinerja pengabdian masyarakat. Sementara dua ranah terakhir: kinerja publikasi dan kinerja pengembangan ilmu, sifatnya sunah, karena kategori tersebut sangat tergantung dengan tempat dokter bekerja. Umumnya, hal itu hanya dapat dilakukan oleh dokter yang bekerja di rumah sakit pendidikan yang sarat dengan sarana penelitian. Kendala serupa juga dialami DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP. Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) ini menengarai persoalan di atas karena kurangnya sosialisasi program P2KB. Informasi yang lengkap soal P2KB bukan hanya tidak diterima oleh dokter di daerah, tapi dokter yang berpraktik di kota besar juga luput dari kabar P2KB. Untuk sosialisasi, PAPDI telah melakukan beberapa kegiatan, di antaranya roadshow ke berbagai cabang di Indonesia, lewat website, sms dan media halo internis. ”Mudah-mudahan cara ini efektif,” imbuh Dr. Aru. Sementara PB IDI telah membangun portal P2KB online untuk mengakses program itu. Setiap dokter baik yang berada di pusat kota maupun di daerah dapat dengan mudah melakukan reser tifikasi kompetensi. Ke depan, IDI akan terus mengembangkan portal ini dengan melakukan kerjasama dengan instansi kedokteran terkait, serta bekerjasama dengan provider untuk memperkuat jaringan internet untuk di Indonesia bagian Timur. Dengan begitu, diharapkan untuk urusan administratif dapat dilakukan dengan mudah dan cepat serta dengan biaya rendah. (HI)
6 Sorot Utama
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP
P2KB IPD: ”Kalau Sudah Dibuka Bukunya, Tidaklah Sulit” rogram P2KB menjadi perhatian serius seluruh dokter, tak terkecuali dokter spesialis penyakit dalam. Semua kolegium baik kolegium dokter umum dan spesialis sibuk menyiapkan perangkat mulai dari membuat buku petunjuk teknis dan buku log untuk anggotanya, distribusi buku tersebut hingga sosialisasi program P2KB. Begitu pula dengan dokter yang mesti mengerti dan menjalankan program ini. P2KB merupakan program baru yang diamanatkan oleh UUPK. Lumrah, suatu kebijakan baru tidak langsung berjalan lancar. Seperti apa kendala yang timbul di kalangan anggota PAPDI, berikut kutipan wawancara Halo Internis dengan DR. Dr. Aru. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP, Ketua Umum PB PAPDI.
P
DOKUMENTASI DR. ARU
Bagaimana kendala pelaksanaan P2KB di kalangan internis? Ada tiga hal yang menjadi tantangan PAPDI. Pertama, bagaimana buku Petunjuk Teknis P2KB IPD dan Buku Log itu sampai di tangan internis. Kedua, bagaimana buku iitu mau dibuka dan dibaca oleh internis. Dan ketiga, bagaimana menjelaskan bila ada pertanyaan-pertanyaan soal P2KB. Masih banyak sekali yang belum mengerti bagaimana melaksanakan program ini. Memang ini adalah program baru dengan aturan-aturan yang tampaknya rumit, namum bila memahami buku log maka bisa diatasi.
DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP
Internis mesti percaya diri mendokumentasi aktivitas mereka ke dalam buku log. Ini sesuatu dari atas (KKI) dan kami juga mengetahui kebenarannya. Sebenarnya, Buku Log dan Buku panduan telah didistribusikan ke anggota. Cuma perlu di evaluasi apakah telah diterima oleh para anggota. Contohnya saya, buku tersebut telah lama diterima tapi karena terhimpit oleh berkas-berkas yang lain, jadi baru tampak lagi belakangan ini. Bagaimana antisipasinya? PAPDI melakukan beberapa kegitan sosialisasi, di antaranya dengan roadshow, informasi melalui website, layanan sms, dan media Halo Internis. PAPDI telah melakukan roadshow ke beberapa cabang di daerah seperti Medan, Banjarmasin, Cirebon, Surabaya, Semarang, Bandung dan cabang-cabang lain, untuk menjelaskan program ini. PAPDI telah menyiapkan 500 trainer untuk menjelaskan ke 1.771 anggota PAPDI. PAPDI masih terus sosialisasi ke cabang-cabang lain. Tapi mengapa masih di bawah sepuluh persen yang telah memulai program ini? Ini merupakan program baru yang dirasakan seluruh dokter di Indonesia, bukan hanya di penyakit dalam. Ini perubahan yang amat mendasar dalam kehidupan dokter dimana para dokter, diminta mempertanggungjawabkan secara tertulis se-
mua kegiatannya, pertanggungjawaban tertulis itu diisi dalam format yang baku, dan pertanggungjawaban itu mesti dilaporkan. Sesuatu di negara maju sudah biasa, yang dikenal dengan CME (Continuing Medical Education) dan kemudian diperluas menjadi CPD. Saya yakin ini akan berjalan baik. Hal ini mirip ketika setiap orang harus mengisi SPT pajak. Apakah ini menjadi beban bagi dokter? Hampir semua dokter tidak terbiasa mencatat aktivitas mereka. Ketika di FK dulu, kami hanya membaca literatur kemudian ditutup dan ujian, tidak biasa membuat ringkasan dari apa yang kami baca. Dengan ditetapkannya P2KB, sekarang semua kegiatan mesti tercatat, mulai dari mencatat jumlah pasien, mengumpulkan surat-surat tugas, mengumpulkan majalah-majalah yang memuat artikel publikasi mereka, membuat resume dari litertur-literatur yang mereka baca. Nah, saat ini dokter dituntut memulai sesuatu yang belum menjadi kebiasaan. Yaitu membiasakan membuat bukti aktivitas dalam bentuk dokumen. Dokter tak bisa selesai praktik begitu saja, mereka
mesti membuat dokumentasi aktivitas mereka. Berarti program P2KB ”dipaksakan”? P2KB merupakan instruksi dari KKI yang telah ditetapkan oleh UUPK. PAPDI bagian dari masyarakat kedokteran mesti menjalankan. Terus terang ini sesuatu dari atas (KKI) dan kami juga mengetahui kebenarannya. Jadi, ini bukan proyeknya PAPDI. Kemajuan itu mesti dipaksakan. Karena kami sadar lambat laun dokter Indonesia menjadi bagian masyarakat kedokteran international. Dalam masyarakat kedokteran international aktivitas ini (CPD) telah menjadi kebiasaan dalam mempertahankan kualitas pelayanan medis. Itulah kenapa mesti dipaksakan karena perbaikan dan kebaikan harus dipaksakan hingga menjadi kebiasaan dan akhirnya mereka berkata kenapa tidak dari dulu. Untuk itu, internis mesti percaya diri mendokumentasi aktivitas mereka ke dalam Buku Log. Jumlah 250 SKP per lima tahun bagi sebagian dokter, terutama di daerah terpencil cukup memberatkan. Bagaimana menurut Anda? Ada yang mesti diluruskan di sini. Dari lima kategori, yang wajib hanya tiga kategori. Tapi untuk konsulen kelima kategori tersebut menjadi wajib. Untuk internis yang bertugas di daerah terpencil telah kami pertimbangkan dan pasti bisa. Pengisisan P2KB tidak melulu dari kehadiran di simposium. Hadir di simposium bisa 1-2 kali setahun. Memegang pasien rawat inap atau rawat jalan saja sudah dapat SKP. Membaca jurnal dan membuat resumenya juga dapat SKP. Seorang internis yang memberikan penyuluhan di lingkungannya, baik di rumah sakit maupun di masyarakat tempatnya tinggal itu juga mendapatkan SKP bila ada dokumen dari kepala rumah sakit atau kepala masyarakat setempat. Karena ini program baru, IDI bersama perhimpunan dokter spesialis tidak mempersulit. Kami juga sedang belajar. Semua masyarakat kedokteran dari yang membuat regulasi sampai pemakai regulasi, semua sedang belajar. Jadi, bila ada yang miring-miring sedikit, kami toleransi. Apakah cukup dengan mengumpulkan CPD point, tanpa ujian kembali? Saat ini cukup dengan mengumpulkan nilai SKP, tidak diberlakukan ujian lagi. Itu mungkin masa akan datang. Kami longgar dulu yang penting ini berjalan. Hal berbeda dengan Amerika yang menerapkan ujian untuk resertifikasi kompetensi. (HI)
Sorot Utama 7
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
Menyeret Gerbong P2KB IPD dar Alatas, SpPD dari PAPDI cabang Purwokerto berujar, “(Soal administrasi) ini merupakan kerja ekstra.” Dr. Andreas N. Fernandez Lewai, SpPD dari PAPDI cabang Kupang juga mengakui, soal dokumentasi memang cukup merepotkan. “Kami harus mengingatkan panitia untuk membuat surat permintaan tugas atau membuat surat ke IDI. Hal-hal tersebut kadang terlewati,” ujarnya. Point lain, adalah dengan menghadiri seminar yang dirasa para peserta daerah tidak semudah seperti teman sejawatnya yang tinggal di kota besar. Aktivitas menulis juga dianggap hal yang baru bagi beberapa dokter. “Media untuk memenuhi aktivitas itu sangat kurang. Informasi bagaimana tata cara menulis yang baik juga kurang tersedia,” ujar Andreas.
D
DOKUMENTASI DR. SITI SETIATI
Manusiawi Dr. Setiati, paham akan suara-suara sejawatnya yang mempersoalkan program P2KB. Kegiatan ini, ujar Ketua Komisi P2KB Pusat ini, memang mengharuskan orang untuk disiplin, mengumpulkan surat tugas, makalah, atau sertifikat. “Membutuhkan kerapihan, ketertiban, dan kedisiplin, sedangkan selama ini orang tidak terbiasa begitu,” ujarnya. Maka, ‘keberatan’ tersebut, dikatakan ibu dua putera ini, cukup manusiawi. Namun sebenarnya yang terjadi, menurut Dr. Setiati adalah karena dokter belum mengenal P2KB ini. Maka, ketika program ini diundangkan, dokter merasa hal ini akan menyulitkan. Dokter spesialis geriatri ini mengungkapkan, cukup banyak anggota PAPDI yang belum mendalami buku petunjuk teknis program P2KB ini. Jadi, belum lagi mencoba melaksanakan yang terkandung di buku itu, yang muncul justru kekhawatiran. Kuncinya, adalah dengan mulai mengumpulkan data terkait dengan kegiatan-kegiatan P2KB, baik itu internal maupun eksternal. “Mulailah dikerjakan dan mulailah (buku log) diisi. Dengan begitu, akan segera
DR. Dr. Siti Setiati, SpPD K-Ger, MEpid.
Untuk mendapatkan SKP, dapat dipilih minimal 2 kategori aktivitas dari 5 kategori aktivitas yang ditawarkan. diketahui apa sih yang belum bisa dipenuhi?” ujar konsultan geriatri ini. Dr. Setiati juga paham, yang umumnya dikhawatirkan oleh dokter adalah mengumpulkan SKP dari kegiatan eksternal, yang menyatakan dokter untuk mengikuti kegiatan workshop, simposium, atau kongres. Kegiatan tersebut, memang membutuhkan biaya dan kerap membuat dokter harus meninggalkan prakteknya. “Itu betul, makanya karena kami sangat paham bahwa kegiatan eksternal itu menyulitkan dan mahal, kami memberikan alternatif kegiatan internal, yaitu kegiatan yang dilakukan dokter sehari-hari,” katanya. Melayani pasien di poliklinik, ruang rawat, menjawab konsultasi, membaca jurnal, mengajar perawat atau mahasiswa adalah sederet contoh. Ujar istri dari Dr. Asdineri, SpOG ini, hal ini tidak terlalu sulit dilakukan, termasuk untuk mengajar perawat, karena umumnya dokter penyakit dalam bertugas di rumah sakit.
kal maupun nasional dapat menghasilkan 4-5 SKP. Dalam dua hari, kuota 10 SKP per tahun dapat terpenuhi. Tercapailah sudah 250 SKP yang dibutuhkan. Dokter, tidak perlu melakukan kegiatan yang lain, seperti kriteria publikasi yang mengharuskan dokter menulis, atau kinerja pengembangan ilmu yang mengharuskan dokter membimbing karya ilmiah di perguruan tinggi. “Untuk mendapatkan SKP, dapat dipilih minimal 2 kategori aktivitas dari 5 kategori aktivitas yang ditawarkan,” kata Dr. Setiati. Jadi, dokter spesialis penyakit dalam tidak perlu harus melakukan semua kegiatan yang dijabarkan untuk memperoleh SKP tersebut. “(Program) ini realistis (untuk dijalankan).” Dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, K-HOM, Kepala Bidang Humas dan Publikasi PAPDI juga tidak menampik, bahwa internis yang tinggal di kota besar relatif lebih mudah mengakses berbagai kegiatan terkait P2KB. “Heterogenitas ini harus diDOKUMENTASI DR. SITI SETIATI
etik jam menjelang pukul setengah sebelas malam di Hotel Arum Banjarmasin, 6 Juni lalu. Alih-alih suasana semakin sepi, sebuah ruang justru semakin dipenuhi oleh dokter penyakit dalam yang akan mendengarkan paparan DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, MEpid mengenai topik Pendidikan Dokter Berkelanjutan. Acara yang diadakan PAPDI Kalimantan Selatan Tengah itu tidak disia-siakan oleh para pesertanya. Tiba sessi tanya jawab, seorang peserta dengan lugas menyampaikan uneg-unegnya. “Pendapat saya pribadi, nggak perlu sebenarnya ada halhal (aturan-aturan) semacam ini,” ujarnya. Menurut peserta tadi, ketentuanketentuan teknis yang tercakup dalam program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) cukup merepotkan. P2KB, saat ini nampaknya menjadi topik hot untuk para internis. Betapa tidak? P2KB mengharuskan dokter memiliki sejumlah SKP agar mereka tetap bisa berpraktek menjalankan tugas. Ketentuan ini, diawali dengan terciptanya Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 agar dokter yang melakukan praktek kedokteran wajib menambah ilmu pengetahun dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. UU itu juga menyebutkan, setiap dokter praktik wajib memenuhi kompetensi profesional yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi menjadi syarat dikeluarkannya Surat Tanda Registrasi (STR) oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Nah, STR ini diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Dengan demikian, sertifikat kompetensi yang diterbitkan kolegium juga harus diperbaharui 5 tahun sekali. Dalam ketentuan teknis P2KB Kolegium Ilmu Penyakit Dalam, dokter spesialis penyakit dalam harus memenuhi SKP sejumlah 250 per 5 tahun. Nilai SKP ini diambil dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam aktivitas kinerja profesional, pembelajaran, pengabdian masyarakat/profesi, publikasi, dan pengembangan ilmu. Nah, dengan adanya ketentuan ini, dokter merasa ada ‘pekerjaan tambahan’ yang harus dilakukan. Jika dulu, beberapa kegiatan hanya dilakukan secara ‘sukarela’ kini hukumnya berubah jadi wajib. Terlebih, secara administratif dokter juga harus lebih teratur untuk menyimpan dokumen yang akan dijadikan bukti untuk pengumpulan SKP. Dalam acara di Banjarmasin tersebut di atas, peserta lain lagi juga melontarkan sebuah pertanyaan, “Ini serius atau nggak sih? Kalau bisa sih, hal ini dibatalkan saja,” ujar peserta tersebut. Tak hanya Banjarmasin, Halo Internis juga mendapati dokter yang ‘berwajah muram’ di RSCM Jakarta, ketika seorang staf mengingatkan seorang internis untuk segera menyerahkan dokumen untuk bukti pengumpulan SKP. Dr. Hai-
Timbang Hitung Syarat SKP SKP berjumlah 250, berasal dari beberapa kegiatan. Kinerja profesional, yaitu kegiatan praktek yang dilakukan dokter sehari-hari, dapat menghasilkan 150 SKP per 5 tahun. Perhitungannya, untuk rata-rata 100 pasien rawat jalan per bulan, akan menghasilkan SKP 15. Jika untuk jumlah pasien per minggu, 100 pasien dibagi 4, maka per minggu hanya ‘butuh’ pasien 25 orang. 25 pasien per minggu, maka per hari hanya sekitar 4 pasien, jika dihitung 6 hari waktu praktek. Belum lagi SKP yang diperoleh dari pasien rawat inap, pasien konsultasi, dan melakukan tindakan tertentu. Dari kegiatan tersebut, dapat dihasilkan 60 SKP per tahun. Jadi, jumlah SKP maksimal 150, sangat mungkin dipenuhi dari kegiatan sehari-hari dokter. Berarti, tinggal mencari 100 SKP lagi. Jumlah 100 SKP per lima tahun, juga dapat diambil dari kegiatan-kegiatan internal, seperti penyuluhan di RS, atau melakukan kegiatan medis di masyarakat. Dari kategori kinerja pengabdian masyarakat, dapat diperoleh 50 SKP. Jadi, tinggal membutuhkan 50 SKP. Jumlah tersebut, bisa saja dipenuhi dari kegiatan eksternal yang hanya 1 tahun sekali. Per tahun hanya dibutuhkan 10 SKP. Padahal, satu hari datang ke kegiatan eksternal seperti seminar baik lo-
akomodasi oleh PB PAPDI. Tapi, tentu saja bukan merupakan hal yang mudah,” ujar dokter spesialis hematologi ini. Salah satunya, ada wacana untuk membuat program yang disesuaikan dengan kondisi geografis tersebut, misalnya dengan memberikan sistem skoring yang berbeda. “Teman-teman di Ambon atau Kalimantan mungkin diberi point yang lebih tinggi untuk pelayanan pasien,” ujar Dr. Cosphiadi. Apapun wacana yang nantinya akan dibuat, yang jelas sosialisasi P2KB tengah gencar dilakukan, termasuk di Jakarta yang disebut-sebut sebagai wilayah dengan berbagai kemudahan akses. Berbagai roadshow juga telah dilaksanakan ke berbagai daerah di Indonesia.
Hal Mendasar untuk P2KB Prof. DR. Dr. Daldiyono Harjodisastro, SpPD, K-GEH dengan tegas menyatakan bahwa P2KB merupakan ukuran mendasar dan harus dikerjakan oleh ahli penyakit dalam. “Internis harus terus meningkatkan mutu namun (peningkatan mutu tersebut) juga harus dilakukan dengan cara yang terukur,”ujarnya. Ahli penyakit dalam, menurutnya, tidak dibenarkan praktek sepanjang zaman, tanpa pernah menambah dan mengembangkan ilmunya. Namun, ujarnya, program yang tercakup dalam P2KB masih jauh dari cukup. P2KB, ujarnya belum memasukkan hal
8 Sorot Utama
tanpa pondasi dan banyak diantaranya menjadi internis yang bingung,” ujar Prof. Daldiyono. Solusinya, sangat sederhana. “Masukkan hal yang basic ini dalam P2KB,” katanya tandas. Professor yang sangat concern terhadap pendidikan ini melanjutkan, visi, misi, dan tujuan untuk internis harus lengkap. Dan proses untuk mencapai tujuan
ISTIMEWA
mendasar yang justru dibutuhkan internis. “Basic Thinking internis saat ini tidak kuat,” ujar Professor yang telah meluncurkan berbagai buku ini. Dalam pendidikan ahli penyakit dalam, masih banyak kelemahan. Proses pendidikan memang sudah cukup baik, namun metodologi pendidikan, urai Prof. Daldiyono, masih sangat kurang. Mereka memiliki ilmu, atau pengetahuan, namun tidak tahu cara menggunakannya. Kesalahan yang sekarang terjadi dalam pendidikan, semua masalah diobati dan di-planning secara tersendiri. Seharusnya, semua masalah sesudah dikaji, lalu dibuat kesimpulan secara holistik, komprehensif, dan integratif, baru setelah itu dibuat planning. “Jadi, internis sekarang ibarat bangunan
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009 yang digariskan harus berasal dari PB PAPDI dan internis itu sendiri. “(Organisasi) Profesi harus aktif,” katanya. “P2KB harus dilanjutkan dan diintensifkan, namun harus ada pengembangan dalam pendidikan itu sendiri,” ujar Prof. Daldiyono. Ke depannya, internis akan menghadapi banyak sekali problema, dan rakyat juga tidak selalu bisa menerima apapun yang terjadi sebagai ‘nasib’. “Maka diperlukan kerja keras dan upaya yang terukur,” tegas Profesor yang memiliki hobi wayang orang ini.
Belajar Seumur Hidup Tujuan akhir program P2KB ini, adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi. Sedangkan tujuan besarnya, orang dirangsang untuk terus memper tahankan keahlian yang dimiliki dan meningkatkan ilmu, dengan terus berpraktek dan terus belajar. “Bagaimana cara mempertahankan, orang harus tetap berpraktik. Tidak cuma berpraktik, tapi juga harus menambah ilmu. Karena tidak mungkin praktek terus dengan menggunakan ilmu 5 tahun lalu,” kata Dr. Setiati. Dengan P2KB dokter akan terpacu untuk selalu belajar, mencari informasi, mencari pengetahuan dan selalu mengingat atau mendokumentasikan aktivitas yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun. Maka kegiatan P2KB harus dilaporkan selambatlambatnya tanggal 30 April setiap tahun
Prof. DR. Dr. Daldiyono Harjodisastro, SpPD, K-GEH.
untuk aktivitas yang dilakukan pada tahun sebelumnya, yang menjadi syarat didapatkannya SKP. Jumlah SKP ini menjadi hulu untuk mendapatkan sertifikat kompetensi, lalu
STR, dan pada akhirnya Surat Izin Praktek (SIP). “Jika (sampai waktu yang ditentukan) SKP tidak tercapai, maka dokter tidak dapat berpraktek dulu untuk sementara waktu, sampai terkumpul 250 SKP,” kata Dr. Setiati. Jika ada kemungkinan dokter terus berpraktek meski tidak memenuhi SKP dan tidak mendapatkan SIP, ditakutkan akan menjadi problema di kemudian hari. “Kami hanya mampu menolong, tapi jika ada masalah, yang mengejar-ngejar kan orang (dari profesi) lain. Bagaimana jika ada masalah, lalu ketahuan tidak memiliki SIP,” ujar Dr. Setiati. Mau tidak mau, suka tidak suka, dokter harus segera berbenah untuk menjalankan program P2KB ini. “Mari kita jalani saja, karena ini suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan,” ujar Dr. Cosphiadi. (HI)
Tips Tertib Administrasi P2KB • Segera buka dan baca buku Petunjuk Teknis P2KB. • Rencanakan program P2KB Anda, dan buat jadwal secara garis besar. • Sediakan satu koper yang khusus diperuntukkan untuk menyimpan dokumen bukti. • Masukkan semua jenis dokumen yang didapat dari setiap kegiatan terkait P2KB. • Jangan lupa untuk selalu meminta bukti aktivitas kegiatan yang dilakukan. • Secara periodik, 1 minggu sekali, catatlah kegiatan Anda selama 1 minggu. • Satu bulan sekali, klasifikasikan kegiatan Anda, menurut 5 kategori P2KB. Ini penting agar Anda bisa mengukur kegiatan apa saja yang telah menghasilkan SKP. • Berdayakan orang sekeliling untuk membantu Anda, misalnya sekretaris atau pasangan Anda untuk me-record semua kegiatan dan menyimpan dokumen bukti.
P2KB di Mata Internis
DOKUMENTASI DR. SITI SETIATI
”P2KB bagi para dokter internis memang sudah seharusnya diadakan. Dengan program tersebut kompetensi para dokter internis bisa memiliki standar yang jelas. Saya sih sangat memandang positif program ini, memang sudah saatnya ada aturan seperti ini. Untuk wilayah DKi mungkin pemenuhan standarisasi itu tidak sesulit di daerah ya, jadi kita lihat saja nanti.” Dr. Dedi Wihandi, SpPD, Peserta Didik KKV RS Bakti Husada
”Program P2KB memiliki nilai penting karena akan terdapat ada standarisasi kompetensi bagi dokter. Dengan begitu mutu para dokter akan jadi lebih baik.” Dr. Rahmad Isnanta, SpPD. Peserta Didik KKV FKUSU – RS Adam Malik Gambar Bagan Tatacara Permohonan Sertifikasi Kompetensi dan Registrasi Ulang (STR Ulang) Keterangan : 1. Anggota PAPDI mengajukan penilaian resertifikasi kompetensi dengan mengirimkan formulir pengajuan beserta berkas persyaratan kepada Komisi P2KB IPD Cabang. 2. Komisi P2KB IPD Cabang memeriksa jumlah SKP pada database P2KB yang telah dikumpulkan oleh anggota PAPDI. Jika Angka kredit yang bersangkutan telah cukup dan yang bersangkutan dinyatakan LAYAK, maka Komisi P2KB IPD Cabang akan menerbitkan rekomendasi hasil pencapaian jumlah SKP ditujukan kepada Komisi P2KB IPD Pusat. 3. Komisi P2KB IPD Pusat memeriksa persyaratan permohonan kemudian meneruskan permohonan pada KIPD agar dapat diterbitkan sertifikat kompetensinya. 4. KIPD menerbitkan sertifikat kompetensi yang bersangkutan. Sertifikast kompetensi asli dan 4 lembar fotokopi legalisir asli akan dikirimkan kepada anggota. Sedangkan 1 lembar legalisir asli beserta persyaratan registrasi ulang akan dikirimkan ke KKI untuk proses penerbitan STR ulang. 5. KKI meneliti persyaratan permohonan. Jika permohonan disetujui, maka KKI akan menerbitkan STR baru selambat-lambatnya 3 bulan setelah berkas diterima KKI dari KIPD. STR asli dan 3 lembar fotokopi legalisir asli akan dikirimkan langsung kepada pemohon, dengan tembusan DinKes Kabupaten/Kota dan PB IDI atau PB PDGI.
”Saya sedikit repot dengan program P2KB. Ya, bayangkan kita harus sibuk mengisi buku log, kemudian mengumpulkan sekian sertifikat untuk bukti, mengumpulkan sekian laporan begini dan begitu. Tapi saya setuju demi menambah mutu para dokter, hal tersebut memang harus dilakukan agar mutu para dokter di Indonesia dibina terus. Program ini masih belum cukup efektif untuk menilai standar kompetensi seorang dokter. Saya lebih suka dengan uji tes, dengan begitu dokter-dokter tersebut menjadi terdorong untuk belajar. Saya merasa cukup senang mendengar uraian pengurus bahwa ke depan program standarisasi ini mungkin akan berjalan ke arah seperti yang citakan.” Dr. Leo W. Natasurya, SpPD, RS Pondok Indah
Sorot Utama 9
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
Q&A:
Surat keterangan untuk dokumen bukti wajib dimiliki. Surat keterangan atau surat tugas dapat diperoleh dari dekan, atau ketua departeman. Jika menilik dari sudut pandang ISO, maka semua kegiatan memang harus tertulis dan tercatat. Untuk kegiatan yang telah dilakukan namun belum memiliki surat maka dokter dapat meminta dokumen bukti bahwa dokter telah melakukan kegiatan tersebut.
P2KB IPD erbagai pertanyaan tentang P2KB bermunculan di kalangan internis. Berikut beberapa pertanyaan yang sebagian diambil dari acara sosialisasi P2KB PAPDI Jaya dan dijawab oleh DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-GER, MEpid, akhir Juni lalu.
B
Bagaimana jika sampai waktu yang ditetapkan, SKP yang terkumpul tidak mencapai 250? Jika SKP tidak mencapai 250, maka dokter yang bersangkutan belum bisa mendapatkan sertifikat kompetensi. Dengan demikian belum bisa mengurus STR dan perbaharuan SIP pun akan ditunda hingga SKP tercapai 250. Oleh sebab itu, anggota diwajibkan melaporkan kegiatan P2KB tiap setahun sekali, agar komisi cabang dapat mengingatkan di point mana si anggota telah cukup dan di point mana anggota telah memenuhi syarat. Sehingga diharapkan pada batas akhir tidak ada anggota yang tidak memenuhi nilai SKP tersebut. Bagaimana kriteria P2KB untuk seorang SpPD konsultan? Total jumlah SKP yang harus didapatkan seorang konsultan adalah 250 SKP per 5 tahun. Sebanyak 50 persen dari jumlah SKP tersebut wajib bermuatan subspesialisnya. Kategori wajib yang harus diikuti oleh seorang konsultan adalah : kategori I, kategori II, kategori IV, dan atau kategori V. Apakah dari 5 kategori tersebut harus dilakukan keseluruhanannya? Bagaimana jika hanya dari 1 kegiatan, misalnya dengan pelayanan pasien, sudah terkumpul SKP sebanyak 250? Satu hal yang harus dipegang, kegiatan untuk mendapatkan SKP diperoleh dari 5 kategori aktivitas. (Lihat table hal. 7). Namun dokter tidak harus melakukan seluruh 5 kategori tersebut. Tapi, tidak juga hanya dari 1 kegiatan, misalnya hanya dari kinerja profesional. Di tabel tersebut tercantum, kinerja profesional memiliki nilai SKP maksimal 150. Jadi walaupun dari kategori kinerja profesional dapat diperoleh SKP yang jauh melebihi angka yang dibutuhkan, maka syarat untuk mendapatkan sertifikat kompetensi belum dapat terpenuhi. Karena
dari aktivitas tersebut hanya mendapatkan 150 SKP. Perhatikan lagi, selalu ada nilai maksimal dan minimal SKP yang didapatkan. Untuk mendapatkan SKP minimal harus dari 2 kegiatan. Jadi, bila dari kinerja professional SKP yang didapatkan adalah hanya 150, maka perlu SKP yang diperoleh dari kategori lain. Apakah boleh jumlah SKP tidak merata, ekstrem 250 SKP 1 tahun, sedang tahun lainnya istirahat? Harus diingat lagi esensi dari P2KB, yaitu pembelajaran berkelanjutan. Kalau ekstrem seperti itu maka tujuan P2KB menjadi tidak tercapai. Apakah boleh kegiatan P2KB yang lebih digunakan untuk resertifikasi berikutnya? Tidak boleh. Kegiatan yang sudah dilaporkan akan dicap oleh Komisi Cabang sehingga tidak dapat lagi dipergunakan pada pelaporan tahun berikutnya. Termasuk SK kepengurusan. Kegiatan P2KB harus dilaporkan sejak tahun 2007, padahal sosialisasi dilakukan baru akhir-akhir ini saja. Apakah kegiatan tahun 2007 dan 2008 tetap harus dilaporkan? Kegiatan tahun 2007 dan 2008 tetap harus dilaporkan. Bagaimana nilai SKP yang didapatkan dengan membaca jurnal di internet? Jurnal yang dibaca harus dibuat resume dan disebutkan sumber jurnal tersebut. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa dokter memang telah benar-benar membaca jurnal tersebut. Bagaimana untuk kegiatan-kegiatan membimbing mahasiswa, penguji PPDS, atau kegiatan lain yang tidak ada surat keterangannya? Karena kerap terjadi tugas itu diberikan via telepon.
Untuk kegiatan menjadi dokter jaga selama 24 jam dimasukkan dalam kategori apa? Kegiatan menjadi dokter jaga dapat dimasukkan sebagai kegiatan mengurus pasien rawat inap. Tidak usah khawatir, dokter tinggal melaporkan berbagai kegiatan, nanti ada komisi P2KB yang akan menilai kegiatan tertentu dimasukkan dalam kategori apa. Yang penting ada bukti dokumen bahwa dokter telah melakukan tugas dokter jaga. Bagaimana untuk kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial, yang kadang-kadang tidak bisa dibuktikan secara tertulis? Seharusnya memang ada surat tugas. Jadi dokter bisa minta pada kelompok atau organisasi yang meminta bantuan jasa dokter, misalnya ke RT/RW atau lurah yang bersangkutan dimana program bakti sosial diadakan. Intinya, harus ada buktinya, agar kami tahu, bahwa dokter telah melakukan kerja sosial. Saya memiliki STR yang keluar bulan Agustus 2006, dan SIP yang terbit bulan April 2007. Jadi kegiatan kapan yang harus dilaporkan? April 2007. Patokannya adalah STR. Untuk mereka yang telah memiliki STR sebelum April 2007, kegiatan P2KBnya dihitung mulai April 2007 sampai dengan masa berakhirnya STR tersebut dengan jumlah SKP yang harus dikumpulkan sejumlah 200 SKP. Sedangkan bagi anggota yang telah mempunyai STR setelah April 2007, jumlah SKP yang harus dikumpulkan tetap sejumlah 250 SKP. Mana yang lebih berat, mengumpulkan SKP atau diadakan ujian kompetensi? Kami belum pernah menghitung benefit analysis. Tapi saya kira itu menjadi masalah lain, karena kita harus membuat ujian yang mempertimbangkan ranah skill, knowledge, dan attitude dengan berbagai ujian tulis dan praktek. Bagaimana untuk mengetahui berbagai kegiatan ilmiah yang ada dalam kegiatan P2KB ini? Kami telah merencanakan untuk rutin secara berkala misalnya sebulan sekali menginformasikan berbagai keR giatan ilmiah PAPDI lewat sms.
Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG, (K)
P2KB IDI Online, Klik! emanfaatan teknologi informasi telah menjadi bagian dari aktifitas manusia. Kehadiran teknologi berbasis web ini tidak hanya dimiliki oleh perusahaan atau organisasi, tapi juga secara individu. Teknologi informasi ini menjanjikan solusi terhadap kendala-kendala yang menyangkut jarak, geografis, waktu, dan biaya. Untuk itu, program P2KB IDI yang sejak tahun 2007 diberlakukan dalam bentuk offline kini telah menyediakan fasilitas online bagi dokter-dokter yang ingin melakukan resertifikasi kompetensi. Resertifikasi kompetensi wajib bagi dokter yang berpraktik di Indonesia. Dokter yang ingin memperbaharui Surat Tanda
P
Registrasi (STR) setelah lima tahun mesti melampirkan sertifikat kompetensi yang baru. Untuk resertifikasi kompetensi, seorang dokter harus mengikuti program P2KB. Program ini menuntut setiap dokter senantiasa selalu menjaga dan meng-update pengetahuan guna memberikan pelayanan medis terbaik bagi masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran portal
Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG (K).
P2KB IDI Online sesuatu yang baru, pasti ada penolakan. Hendaknya teknologi informasi bukanlah beban, tapi IT itu adalah terobosan. Dokter-dokter di pelosok malah senang secara online dibanding offline. Untuk daerah Timur sedang diupayakan penguatan sinyal. P2KB menjadi suatu keharusan. Untuk itu, PB IDI telah mengalokasikan dana yang bersumber dari iuran anggota guna membiayai pembangunan perangkat berupa hardware dan software serta sumber daya manusia yang berkompeten. ”Investasi pembangunan portal P2KB cukup besar,” kata Ketua BP2KB, Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG(K) di ruang P2KB PB IDI.
10 Sorot Utama
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
Sistem Online P2KB SUMBER: DOKUMENTASI PROF. DR. I. OETAMA MARSIS, SPOG, (K)
Cukup dengan meng klik www.p2kb.idionline.org, akan muncul berbagai menu aplikasi. Menurut Prof. Marsis, begitu biasa disapa, portal ini dimaksudkan untuk informasi dan pelayanan. Para dokter dapat mengakses berbagai kegiatan seminar, lokakarya, kursus dan lain-lain yang diselenggarakan IDI, perhimpunan, dan continuing medical education. (CME). Bagi dokter yang ingin meng update pengetahuan dapat meng klik referensi yang telah dikembangkan menjadi virtual journal. Dokter dapat pula mengetahui sejawat lain yang bertugas di rumah sakit
di daerah serta mengadakan komunikasi, baik lewat surat elektronik maupun chatting. Dibanding offline, dokter lebih memilih online untuk input kegiatan P2KB. Menurut Prof. Marsis, dari roadshow sosialisasi ke daerah-daerah para dokter lebih suka online daripada offline. Di Natuna dan Nusa Tenggara Timur misalnya. Namun untuk Indonesia bagian Timur masih terbentur kendala sinyal yang lemah. ”PB IDI berupaya mencari solusinya, yaitu bekerjasama dengan Telkom,” ujarnya. Prof. Marsis mengatakan portal ini
pembangunannya telah dirintis sejak Juli 2007. Awalnya, menyiapakan software dan hardware yang pengerjaannya rampung pada Mei 2008. Di bulan yang sama, dilanjutkan dengan Program I, mengenai dasar-dasar hukum P2KB, seperti keputusan dari KKI, UUPK, IDI dan Permenkes. Pada Juli 2008, dilakukan Program II, tentang pengisian buku log secara online. Sebelum dipublikasikan, sistem yang telah dibuat diuji coba di Jakarta dan Makasar. Dari uji coba itu diinventaris kendalakendala yang ditemukan baik dari sistem maupun user nya, lalu disempurnakan. Pada Nopember 2008 Program II, dinyatakan operasional untuk seluruh Indonesia. ”Dari Nopember 2008 hingga saat ini telah terdaftar 4500 dokter atau 9 persen,” kata Prof. Marsis. Pada Mei 2009, diluncurkan Program III, mengenai edukasi. Program ini menyediakan jurnal kedokteran secara online yang dapat digunakan para dokter untuk update ilmunya. Sampai saat ini jurnal yang online terus ditambah, dalam waktu dekat ini British Medical Journal (BMJ) dapat diakses. ”Hal ini sangat membantu dokter yang berada di daerah terpencil,” ujar ahli obgyn ini. Di samping menelusuri referensi, dokter dapat melakukan uji diri. Soal yang tersedia dijawab, bila mendapat nilai minimal
60 persen, maka dokter tersebut dinyatakan lulus dan menerima dokumen kelulusan untuk mendapatkan SKP. Pelayanan P2KB dapat dengan mudah diakses. Sebelumya, dokter mesti login user id dan password. Tapi bila belum memiliki account, maka dokter diharuskan untuk mendaftar terlebih dahulu. Berbagai kegiatan P2KB yang telah diikuti dapat dimasukan ke dalam menu ”Input Kegiatan” lalu simpan. Pada menu ”Dashboard CPD” dokter dapat melihat jumlah perolehan SKP dan grafik kegiatan P2KB. Minimnya peserta P2KB yang terdaftar, diakui Prof. Marsis, kendalanya ada pada user. Sekitar 80 persen dokter yang kurang memahami teknologi informasi. Oleh karena itu, dibeberapa cabang IDI telah dibentuk konsultan P2KB. Di Jawa Timur dibentuk Klinik P2KB Online, untuk menjelaskan penggunaan portal ini. Sementara untuk tujuan yang sama, di Jawa Tengah, dibentuk Supervisi P2KB. ”Dengan begitu, seluruh dokter dapat memanfaatkan portal ini,” tambahnya. Nantinya, portal P2KB akan membentuk link dengan KKI, PDGI dan Depkes. Sehingga pada tahun 2014 diharapkan pengurusan Surat Izin Praktik (SIP) dapat dengan online. Dokter tidak harus ke Jakarta untu mengurus STR. Dengan ini akan ada pemangkasan biaya. (HI)
Prestasi
DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K-HOM
Peneliti Indonesia Pertama yang Menelisik Leukemia Mieloid amis, 18 Juni, DR.dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K-HOM tampak sumringah. Pasalnya, pada hari itu dr. Lugyanti, begitu biasa disapa, berhak menyematkan gelar Doktor dalam bidang Ilmu kedokteran pada namanya. Hasil sidang disertasinya yang bertema ”Aktivasi Koagulasi pada Leukemia Jenis Meloid: Peran Integrin CD11b, Leukositosis, Sel Blas, dan Promielosit serta Agregat NeutrofilTrombosit/Monosit-Trombosit” diganjar dengan predikat summa cumlaode oleh para penguji. Penelitian wanita kelahiran Jakarta, 42 tahun silam ini cukup inovatif. Ia merupakan peneliti Indonesia pertama yang meneliti tentang leukemia mieloid. Selama ini, terapi ataupun pengobatan yang dilakukan pada penderita leukemia mieloid masih mengacu pada temuantemuan dari luar negeri. Pada penelitiannya, Internis dari FKUI ini berupaya mencari berbagai faktor yang meningkatkan risiko terjadinya aktivasi koagulasi pada penderita leukemia. Faktor-faktor tersebut adalah adanya jumlah leukosit yang sangat tinggi, peran sel leukemia (blas dan promielosit) tersebut, intergrin CD11b yang berperan dalam proses perlekatan leukosit pada dinding pembuluh darah, serta agregat neutrofil-
trombosit atau monosit-trombosit yang terbentuk akibat gangguan pada sel dan pembuluh darah. Selama ini pengobatan leukemia dilakukan dengan memberikan obat anti kanker (sitotoksik) atau kemoterapi, dan tranplantasi. Namun masih ada masalah yang dihadapi, yakni kekambuhan pasca remisi. Belum lagi respon yang kurang terhadap pengobatan pada kelompok usia lanjut (berkisar 40%) serta sebagai penyulit/komplikasi yang seringkali dihadapi oleh penderita tersebut. Masalah lainnya, sel leukemia mieloid dapat menghasilkan berbagai zat yang dapat menyebabkan gangguan pada sel darah dan dinding pembuluh darah. Zat ini membentuk kelompok (agregat) antara leukosit dengan trombosit melalui ikatan molekul intregin CD11b. Semua faktor tersebut dapat mengakibatkan me-
ningkatnya sistem pembekuan darah yang selanjutnya menjadi trombosit. “Keadaan-keadaan tersebut mengakibatkan timbulnya aktivasi koagulasi pada penderita leukemia jenis mieloid,” kata dr. Lugyanti. Aktivasi koagulasi tersebut, lanjut istri dari Dr. Didi Danukusumo SpOG (K) ini, bisa menghambat tujuan pengobatan bagi pasien penderita kanker leukemia jenis Mieloid. Dalam prosesnya, pasien bisa meninggal diakibatkan faktor-faktor lain di luar penyakit utamanya. Lugyanti kemudian melakukan penelitian pada 80 subyek yang terdiri dari 25
ISTIMEWA
K
Ia adalah peneliti Indonesia pertama yang meneliti tentang leukemia mieloid. Selama ini, pustaka leukemia mieloid masih mengacu pada temuan-temuan dari luar negeri.
DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K-HOM (tengah) bersama suami, orang tua, promotor, ko-promotor, dan tim penguji.
orang penderita LMA. 14 orang penderita LGK dan 41 kontrol. Rentang usia subyek yang ia teliti adalah 17-71 tahun. Penelitian dilakukan di Divisi Hematologi dan Onkologi Depar temen Penyakit Dalam R.S Cipto Mangunkusumo dan RS. Dharmais, selama Januari 2008 hingga Februari 2009. Hasilnya, ia menemukan bahwa pasien leukemia jenis mieloid mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis jika disertai leukositosis dengan jumlah leukosit lebih dari/sama dengan 50.000/uL. Fakta ini otomatis mengubah konsesus internasional yang mengatakan bahwa leukositosis adalah jumlah leukosit lebih dari/sama dengan 100.000/uL. Risiko trombosis lainnya juga muncul pada penderita dengan Sel blas+promielosit lebih dari/sama dengan 5% dan/atau Ekspresi integrin CD11b-nya lebih dari/sama dengan 91.5%. Penemuan ini pada akhirnya berdampak pada terapi leukemia itu sendiri. Pengobatan leukemia tidak hanya bisa dilakukan dengan membunuh sel kanker melalui kemoterapi, namun juga dengan mengenali risiko komplikasi sedini mungkin sehingga mampu mencegah kematian atau komplikasi lain yang akan menyebabkan kegagalan kemoterapi itu sendiri. (HI)
Profil PAPDI 11
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
DR. Dr. Pranawa, SpPD, K-GH
iang di Grand Indonesia, Halo Internis menemui DR. Dr. Pranawa, SpPD-KGH. Internis asal Surabaya ini tengah mengadakan pertemuan dengan teman-teman lamanya semasa SMA di sebuah restoran di kawasan Bundaran HI. “Reuni kecilkecilan,” ujarnya. Ia tak punya waktu panjang di ibukota hari itu. Malam harinya, Dr. Pranawa mendapat tugas menjadi moderator pada sebuah acara seminar kedokteran di daerah Mangga Dua. Untunglah, dokter ini tak keberatan menyisihkan waktu hang out-nya untuk wawancara, setelah jadwal wawancara yang beberapa kali kami buat, kandas. Pria kelahiran Madiun, 24 Februari 1950 ini memang memiliki jadwal kegiatan yang padat. Sehari-hari, ia sibuk sebagai staf pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menjalankan praktek, atau berkecimpung di organisasi. Dr. Pranawa aktif baik di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya maupun pusat, Perhimpunan Nefrologi Indonesia, PB PAPDI, dan PAPDI Jawa Timur tentunya. Di forum internasional, Dr. Pranawa juga berkecimpung di European Renal Association EDTA dan International Society Nephrology. Kesibukannya termasuk menjadi pembicara atau moderator seminar seperti tersebut di awal tulisan. Halo Internis mendapatkan informasi dari orang di rumahnya, bahwa pagi-pagi sekali Dr. Pranawa sudah berangkat bekerja dan pulang ketika lewat tengah malam. Sebagai dokter, Dr. Pranawa total terjun menjalankan profesinya. Padahal, tidak pernah terlintas sedikitpun di benaknya saat kecil, untuk memilih profesi ini. Ia justru bercita-cita menjadi seorang arsitek. Jika pada akhirnya kini ia mengabdi dengan profesi ini, “Semuanya serba kebetulan,” ujarnya. Ketika lulus SMA tahun 1976, ia mendaftar di berbagai universitas, FK Unair, FKUI, termasuk juga institut di Bandung. Namun, nasib memba-
S
“Perhimpunan profesi, seharusnya menyapu halamannya masing-masing sebelum halamannya disapu orang lain.” bat yang tinggal di Surabaya. “Jadi saya bisa numpang,” ujarnya tertawa. Dr. Pranawa menceritakan, ia sangat menikmati perannya sebagai mahasiswa. Tak hanya menjalani rutinitas kuliah, mantan ketua IDI Surabaya ini juga aktif di berbagai kegiatan senat mahasiswa dan menjabat sebagai ketua hampir di setiap seksi kegiatan. “Meski demikian, saya tidak pernah berikatan dengan satu organisasi, termasuk organisasi politik,” ujar Dr. Pranawa. Saat Dr. Pranawa menjadi mahasiswa, Indonesia memang tengah berada dalam gejolak politik yang banyak melibatkan kalangan kampus. Sedangkan mengenai studinya, ia mengatakan tidak punya target tertentu. “Saya sekolah tidak ada beban,” katanya. Ia tidak pernah berfikir untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya. Alih-alih, ia hanya berfikir bagaimana menguasai bidang ilmu yang tengah dipelajari sebelum mempelajari bidang berikutnya. Bahkan, ujarnya, ia tidak mau dinyatakan lulus dari satu mata kuliah tertentu sebelum ia merasa memiliki keahlian di bidang tersebut. “Kalau saya merasa belum mampu, saya datang lagi, ikut belajar lagi. Her atau mengulang mata kuliah itu biasa. Lumrah!” ujarnya menandaskan.
Dr. Pranawa (kiri) bersama istri dan anak-anaknya di Sidney, Australia.
wanya menetap di Unair. “Kebetulan, Surabaya tempat yang pengumumannya paling awal,” kata Dr. Pranawa. Pertimbangan ekonomi membuat ia tidak memilih sekolah yang jauh dari tempat dimana ia dibesarkan. Alasan kedua ia mantap memilih Surabaya sebagai tempat melanjutkan studi, adalah karena ia memiliki banyak kera-
FOTO-FOTO: DOKUMENTASI DR. PRANAWA
Kritis dan Lantang untuk Kebaikan Profesi
Bukan ‘Lulus’ Tapi ‘Bisa’ Proses pembelajaran saat ia kuliah dulu, menorehkan sebuah pemikiran yang kerap mengganggunya kini. Dr. Pranawa kerap heran jika saat ini mahasiswa menargetkan kata lulus dalam studinya. “Targetnya seharusnya bukan lulus, tetapi ‘bisa’. Jika harus lulus, menyebabkan
orang sekolah saat ini hanya untuk kejar tayang. Bukan menghayati karena ingin memiliki skill,” ujar Ketua SubDepartemen Ginjal Hipertensi FK Unair ini. “Ketika lulus, seharusnya berfikirnya apakah mampu melakukan keterampilan yang dibutuhkan untuk bidang yang dipelajari atau tidak,” kata Ketua Bidang Organisasi dan Pengembangan PB Pernefri ini. Dr. Pranawa mengatakan telah terjadi beberapa perubahan dalam soal kemandirian pada mahasiswa saat ini dibanding dengan mahasiswa pada zamannya. Ia mencontohkan, kerap terjadi mahasiswa mendaftar kuliah diantar oleh bapak atau ibunya, bahkan orang tuanya sampai menitipkan anaknya ke pihak tertentu di universitas. “Jadi rupanya kita telah mengalami banyak perubahan,” katanya. Kepala Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. Soetomo ini melanjutkan, tidak tahu apakah perubahan tersebut dianggap sebuah penurunan atau kemajuan. “Memang jika dilihat, anak-anak sekarang menjadi lebih terprogram (dalam mencapai tujuan hidupnya),” katanya. Mahasiswa kedokteran, misalnya, ada yang telah ditentukan oleh orang tuanya untuk kuliah di universitas tertentu, selanjutnya mengambil spesialis tertentu, bahkan telah disiapkan klinik untuk praktek, hingga pada usia relatif muda sudah mencapai jenjang tertentu. “Mungkin diambil sisi positifnya saja,” katanya menyimpulkan. Dr. Pranawa sendiri, tidak pernah menargetkan jenjang pendidikan yang harus dicapai dalam hidupnya. Ketika ia mengambil spesialis penyakit dalam, semua lebih didorong karena faktor aliran hidup yang membawanya hingga ia memiliki keahlian sebagai seorang internis. Ketika ia lulus sebagai dokter tahun 1976, saat itu sebenarnya program Inpres masih berjalan untuk menempatkan dokter di pelosok-pelosok nusantara. Tapi, akhir tahun 1976 ternyata ‘katup’ departemen pendidikan dibuka untuk tenaga dokter. Beberapa temannya mendaftar ke spesialis anak, bedah, atau spesialis lain di luar penyakit dalam. Dr. Pranawa melihat, spesialis penyakit dalam hanya diminati oleh segelintir orang. “Saya berfikir, jika saya masuk spesialis ini, maka ‘ kans ’ saya di-
12 Profil PAPDI
Dr. Pranawa (kiri belakang) bersama keluarga.
terima akan besar,” ujarnya mengenang. Dugaan Pranawa tepat. Entah karena ia memiliki peluang yang besar atau memang karena ia cukup cakap, Dr. Pranawa lolos ke departemen penyakit dalam dengan menyisihkan beberapa temannya yang juga berminat dalam bidang ini.
Batal Wamil Pada saat yang hampir bersamaan, sebenarnya Dr. Pranawa juga dipanggil untuk mengikuti program Wajib Militer (Wamil). Ia lolos seleksi wamil, hingga mendapat pemberitahuan bahwa ia diterima di Departemen Penyakit Dalam FK Unair. Pihak TNI pun akhirnya menyatakan bahwa wamil untuk Pranawa ditunda. Mendapat gelar spesialis penyakit dalam tahun 1986 dari Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga, Dr. Pranawa melanjutkan ke jenjang spesialis 2 di universitas yang sama. Sebelumnya, Dr. Pranawa mengambil keahlian konsultan yang diselesaikannya tahun 1990. Tak puas hanya di dalam negeri, Dr. Pranawa juga menimba ilmu Management of End Stage Renal Disease di LeidenNetherland dan Kidney Transplantation di New York, Amerika Serikat.
Idealisme Yang Mengusik Pikiran Bertutur mengenai sistem pendidikan kedokteran saat ini, Pranawa mengatakan masih banyak yang perlu dibenahi. “Pendidikan dokter sekarang kurang ideal,” katanya. Saat ini, menurutnya, yang dinilai dari seorang dokter lebih ke soal akademik ketimbang profesi. “Kemampuan profesi yang tidak bisa dilakukan kerap diganti dengan membuat paper, misalnya, daripada melakukan suatu tindakan,” ujar Ketua Audit Medik Nasional PB IDI ini. Di bidang kedokteran, ujarnya lagi, jenjang Strata 1, Strata 2, atau Strata 3 memang penting, namun pendidikan profesi jauh lebih penting, karena pendidikan profesilah yang akan diaplikasikan di masyarakat. Ia memiliki pemikiran, bahwa sebaiknya pendidikan kedokteran memiliki sistem tersendiri yang tidak sama dengan disiplin ilmu lain. Pendidikan dokter seharusnya memiliki pengaturan yang tidak sama dengan fakultas-fakultas lain, karena hasil akhirnya jauh berbeda. Standar pendidikan yang dapat dikatakan seragam, menurutnya, memudahkan hanya dari segi birokrasi. “Harus ada sistem yang mengatur pendidikan kedokteran, hingga terminal end-nya tersendiri. Sistem S1, S2, atau S3 dibuat built-in sedemikian rupa dalam pendidikan spesialisnya. Entah disebut double degree atau diberi nama lain,” kata mantan Ketua PAPDI Jawa Timur ini. Pembenahan tersebut, perlu dipikirkan, agar dokter Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain. Jika dokter di Indonesia waktunya habis untuk mengejar pendidikan
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009 akademik, maka ke depannya akan sulit jika berhadapan dengan dokterdokter asing. Dengan berapi-api, Pranawa memaparkan bagaimana dokter asing dapat menjadi sebuah ancaman untuk bangsa ini. “Nggak ono dokter luar negeri datang ke sini dengan tujuan untuk menyehatkan bangsa kita. Dokter luar negeri datang ke sini, hampir dapat dipastikan mau mencari duit untuk kantongnya sendiri,” ujarnya dengan logat Surabaya yang kental. “Yang terjadi, dokter puskesmas bekerja dengan susah payah, tapi dokter asing menikmati kejunya.” Pranawa bersuara kritis tentang hal-hal yang menyangkut profesinya. Berbagai pemikiran, kerap ia diskusikan dengan sejawatnya di kalangan IDI Jawa Timur, termasuk soal konsep dokter asing yang ia cetuskan di atas. Apa yang ia lontarkan, katanya, telah didahului dengan sharing pemikiran yang cukup matang bersama koleganya.
“Tidak ada dokter luar negeri datang ke sini dengan tujuan untuk menyehatkan bangsa kita.” Berkecimpung sebagai pengurus IDI, menurutnya kini semakin hari semakin banyak hal yang harus ditangani. Salah satunya, “Saat ini tidak ada hari tanpa pengaduan (tentang layanan dokter),” katanya. Pihaknya, menurut Dr. Pranawa, tidak menutup mata, bahwa terkadang anggotanya ada yang bertindak tidak sebagaimana mestinya. Pembelajaran ternyata tidak hanya harus dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga pada dokternya. Dokter yang agak ‘melenceng’ itu seharusnya lebih dahulu diperingatkan oleh perhimpunan profesi. “Perhimpunan profesi, seharusnya menyapu halamannya masing-masing sebelum halamannya disapu orang lain,” tandasnya.
Dr. Pranawa juga menyoal Undang-undang Praktek Kedokteran (UUPK) yang menurutnya masih memiliki celah yang dapat merugikan profesi kedokteran dan juga masyarakat. Meski demikian, ia mengatakan UUPK tersebut banyak manfaatnya, karena dengan undangundang tersebut semua dibuat lebih teratur. “Tapi (UU) itu perlu disempurnakan,” katanya.
Mengalir Bagai Air Dengan berbagai aktivitas dan pemikirannya, Dr. Pranawa beruntung memiliki dukungan keluarga sepenuhnya –meski waktu untuk anak maupun istrinya yang seorang dokter gigi, sering tersita untuk semua kesibukannya. Namun, tak ayal, anak-anaknya menganggap profesi dokter bukanlah profesi ‘menarik’ untuk ditekuni. Alasannya, menjadi dokter tidak bisa menyenangkan keluarga dengan menyediakan waktu yang cukup. Untung saja, anaknya yang kedua, akhirnya mengikuti jejaknya sebagai ahli medis. Tapi, alasannya adalah karena sayang jika buku-buku ayahnya tidak ada yang memanfaatkan. “Jika tidak ada yang jadi dokter, buku sebegitu banyak siapa yang pakai?” ujar dia menirukan kata-kata anak bungsunya. Anaknya yang pertama mengenyam pendidikan informatika di Institut Sepuluh November Surabaya (ITS) lalu melanjutkan sekolah di Australia. Hingga kini, si sulung bekerja dan menetap di Australia. Selain sibuk beraktifitas seputar profesi yang dilakoninya, Dr. Pranawa masih menyisakan ruang dalam dirinya untuk melakukan hobi yaitu melukis. Ia gemar mengoleksi berbagai lukisan di rumahnya, yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 100 buah. Lukisan-lukisan tersebut ia dapatkan dengan cara berkunjung ke pameran atau galeri. Untuk memilih lukisan yang menjadi koleksinya, Dr. Pranawa tidak terpaku pada satu karya pelukis. “Meski pelukisnya tergolong muda dan baru, kalau lukisannya bagus, akan saya beli,” kata dokter yang juga hobi bernyanyi. Di kemudian hari, pelukis tersebut menjadi terkenal hingga hasil karyanya pun berharga mahal. Namun Dr. Pranawa menekankan, bahwa sebuah karya seni tidak bisa diukur dari nominal rupiahnya. Dua buah lukisan menjadi favoritnya. Lukisan yang ia dapatkan di Lombok yang menggambarkan kehidupan pasar tradisional, dan lukisan abstrak yang ia peroleh di Bali. Berada di titik hidupnya saat ini, Dr. Pranawa mengatakan hanya mengikuti aliran air kehidupan. Ia hanya bersyukur akan semua yang miliki. Ia juga tidak nekoneko menetapkan tujuan hidupnya atau memiliki ambisi besar akan sesuatu. “Mungkin itu sebabnya saya nothing to lose,” katanya menutup pembicaraan. (HI)
Info Medis 13
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009
Jalur Inflamasi pada Karsinogenesis Kolorektal Sporadik di Indonesia:
Peran NF-κB dan COX-2 serta Hubungannya dengan Karakteristik Klinikopatologis
Latar Belakang
K
anker kolorektal (KKR) merupakan kanker keempat terbanyak di dunia dan menempati kedua terbanyak di Amerika Serikat. Rerata usia penderita KKR di Amerika Serikat adalah 67 tahun. Namun demikian insidensi KKR tampaknya meningkat cepat di negara Asia dalam beberapa dekade terakhir. Menurut kepustakaan Barat, prevalensi KKR pada usia di bawah 50 tahun adalah 2-8%. Penderita KKR di Indonesia menunjukkan proporsi yang lebih besar. Di Jakarta misalnya, usia di bawah 45 tahun terdapat pada 47,85% kasus. Mutasi pada kanker sporadik terjadi pada sel-sel somatik setelah adanya pajanan terhadap agen-agen karsinogenik dari lingkungan. Salah satu keadaan yang dapat menjadi pemicu terjadinya kanker adalah inflamasi kronik. Molekul sentral yang berperan pada peralihan proses dari inflamasi menjadi kanker adalah nuclear factor-kappa B (NF-κB). Molekul NF-κB merupakan mediator penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tumor yang dipicu inflamasi. Dari berbagai alur pensinyalan yang dicetuskan oleh inflamasi dan infeksi, NF-κB merupakan komponen terpenting yang berperan pada proses promosi tumor. Penelitian sebelumnya memperlihatkan peran penting COX-2 pada tumorigenesis kolorektal juga kaitan kuat antara pensinyalan COX-2/PGE2 dan ekspresi gen APC pada neoplasia intestinal. Delesi gen COX-2 pada apc knock-out mice menyebabkan penurunan jumlah dan ukuran polip intestinal. Penelitian ke arah peran COX-2 memberi kesan bahwa aktivasi kronik COX-2 menyebabkan patologi pada kolon dan ditunjang dengan buktibukti bahwa penghambatan COX-2 dapat membatasi laju perkembangan kanker kolorektal. Beberapa studi populasi mendeteksi adanya penurunan risiko relatif terjadinya kanker kolorektal sebesar 4050% pada mereka yang secara rutin menggunakan aspirin atau OAINS lain. Uji klinik OAINS pada pasien FAP jelas memperlihatkan bahwa OAINS menyebabkan regresi adenoma. Penurunan beban tumor dilaporkan dapat mencapai 80-90%.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik molekuler inflamasi dengan KKR serta peran karakteristik klinikopatologis sebagai prediktor NF-κB dan COX-2, pada penderita KKR sporadik Indonesia asli.
Metodologi Penelitian Desain penelitian untuk pertanyaan penelitian nomor 1 adalah kasus kontrol berpadanan (matched case-control) dengan kasus mukosa kanker dan kontrol mukosa bebas kanker. Jaringan kanker
dan jaringan bebas kanker diambil dari individu yang sama. Desain penelitian untuk per tanyaan nomor 2 adalah potong lintang. Desain penelitian untuk pertanyaan nomor 3 adalah potong lintang analitik antara kelompok penderita berusia 40 tahun atau kurang dan penderita berusia 60 tahun atau lebih. Desain penelitian per tanyaan nomor 4 adalah potong lintang analitik.
Populasi dan Sampel Populasi target penelitian adalah seluruh penderita KKR penduduk Indonesia asli. Populasi terjangkau adalah pasien penderita KKR yang menjalani operasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSU Hasan Sadikin, Bandung sejak bulan Januari 1998 sampai April 2008. Subjek penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil Penelitian Sebanyak 108 kasus KKR yang masih memiliki blok parafin berhasil dikumpulkan antara tahun 1999-2007. Spesimen diperoleh dari Departemen Patologi Anatomik FKUI – RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan Bagian Patologi Anatomik FK Universitas Padjadjaran – RS Hasan Sadikin, Bandung. Dari ke-108 kasus, 10 spesimen tidak dapat digunakan karena tidak terdapat gambaran mukosa kanker. Dari ke-98 spesimen dengan gambaran mukosa kanker yang dapat dinilai, sebanyak 31 spesimen tidak disertai dengan gambaran mukosa bebas kanker, sehingga jumlah akhir spesimen dengan gambaran mukosa kanker dan mukosa bebas kanker yang lengkap adalah 67 buah. Sebagian besar subjek penelitian adalah perempuan dengan perbandingan sekitar 1,4:1 terhadap laki-laki. Jumlah pasien berusia > 60 tahun ada sebanyak 60 orang, sedangkan jumlah pasien pada kelompok usia < 40 tahun ada sebanyak 38 orang. Penderita termuda berusia 14 tahun, sedangkan tertua berusia 89 tahun. Sebagian besar tumor berada di distal dan datang pada stadium lanjut. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, lokasi tumor, dan stadium klinis antara pasien berusia 40 tahun atau kurang dan pasien berusia 60 tahun atau lebih. Tipe histopatologis terbanyak adalah adenokarsinoma. Signet ring cell dan mucinous carcinoma (adenokarsinoma tipe lain) secara bermakna lebih banyak pada pasien berusia < 40 tahun. Derajat diferensiasi histopatologi juga menunjukkan perbedaan bermakna antara pasien berusia < 40 tahun dibandingkan pasien berusia > 60 tahun. Pada kelompok > 60 tahun, lebih banyak didapatkan tumor dengan diferensiasi baik. Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik histopatologis lainnya, yaitu kedalaman invasi, penyebaran ke kelenjar getah bening, dan tumor dengan degenerasi musinosum.
Perbedaan Karakteristik Inflamasi Molekuler antara Mukosa Kanker dan Mukosa Bebas Kanker Ekspresi NF-κB Ekspresi NF-κB yang positif di mukosa epitel kanker terdapat pada 72 dari 98 spesimen (73,5%), sedangkan ekspresi NF-κB di mukosa bebas kanker terdapat pada 21 dari 67 spesimen (21,4%). Nilai kappa untuk interobserver aggreement pada pulasan NF-kB adalah 0,831. Terdapat perbedaan ekspresi NF-κB yang bermakna antara epitel normal dan epitel kanker. Sel-sel kanker kolorektal secara bermakna lebih banyak mengekspresikan NF-κB dibandingkan epitel normal (Tabel 3) dengan p<0,0001 dan RO sebesar 7,7 (IK95% 1,29-12,40). Dengan RO sebesar 7,7, maka risiko terjadinya KKR pada jaringan dengan ekspresi NF-κB positif adalah 7,7/(7,7+1) = 88,5%.
Mukosa Kanker
NF-κκB (+) NF-κκB (-) Total (%)
Mukosa bebas kanker NF-κκB (+) NF-κκB (-) 24 23 3 17 27 40
To t a l 47 20 67
Tabel Sebaran ekspresi NF-κB
Ekspresi COX-2 Ekspresi COX-2 yang positif di mukosa epitel kanker terdapat pada 48 (49,0%) kasus, sedangkan ekspresi COX-2 di mukosa bebas kanker terdapat pada 16 (23,9%) kasus. Nilai kappa untuk interobserver aggreement pada pulasan COX-2 adalah 0,898. Terdapat perbedaan ekspresi COX-2 yang bermakna antara epitel normal dan epitel kanker. Sel-sel epitel kanker kolorektal memperlihatkan ekspresi COX-2 yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan mukosa bebas kanker di sekitarnya dengan p = 0,0002 (uji McNemar) dan RO = 6 (IK95% 2,06 - 23,79). Dengan RO sebesar 6, maka risiko terjadinya KKR pada jaringan dengan ekspresi COX-2 positif adalah 6/(6+1) = 86%.
Mukosa Kanker
COX-2 (+) COX-2 (-) Total (%)
Mukosa bebas kanker COX-2 (+) COX (-) 15 24 4 24 19 48
To t a l 39 28 67
Tabel Sebaran ekspresi COX-2
Hubungan antara Ekspresi COX-2 dan NF-κB Untuk melihat hubungan antara ekspresi COX-2 dan NF-κB pada jaringan kanker kolorektal diperlukan jumlah sampel
DR. Dr. Murdani Abdullah, SpPD, K-GEH Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
minimal 44, dan telah dilakukan analisis korelasi antara skor intensitas dan densitas ekspresi COX-2 dengan skor intensitas dan densitas ekspresi NF-κB. Terdapat korelasi sangat kuat antara skor intensitas dan densitas ekspresi COX-2 dengan skor intensitas dan densitas ekspresi NF-κB pada mukosa bebas kanker.
Perbedaan Ekspresi NFκB dan COX-2 pada KKR Usia Muda dan Usia Tua Ekspresi NF-κB terdapat pada 73,5% kasus, sedangkan ekspresi COX-2 terdapat pada 49% kasus. Tidak terdapat perbedaan ekspresi NK-κB antara pasien berusia 40 tahun atau kurang dan pasien berusia 60 tahun atau lebih. Ekspresi COX-2 cenderung lebih banyak pada kelompok pasien berusia 40 tahun atau kurang (55.3%), tetapi perbedaan tersebut tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien berusia 60 tahun atau lebih (45%). Kelompok usia Variabel Ekspresi COX-2 - Positif - Negatif Total Ekspresi NF-_B - Positif - Negatif Total
< 40 tahun > 60 tahun N (%) n 9%)
Nilai p (uji Chi square)
21 (55,3) 17 (44,7) 38 (100)
27 (45,0) 33 (55,0) 60 (100)
0,322
28 (37,7) 10 (26,3) 38 (100)
44 (73,3) 16 (26,7) 60 (100)
0,969
Tabel Sebaran karakteristik inflamasi molekuler subjek penelitian
Hubungan antara ekspresi NF-κB dan faktor-faktor klinikopatologis KKR Analisis bivariat mendapatkan hubungan bermakna antara ekspresi NF-κB dengan beberapa faktor klinikopatologis, yaitu jenis histopatologi tumor, volume tumor, dan stadium klinis. Analisis regresi logistik dilakukan setelah analisis bivariat untuk melihat hubungan antara varia-
14 Info Medis Variabel
Ekspresi NF-κκB Positif Negatif (%) (%)
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009 Nilai p
Rasio odds
IK 95%
diduga jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan pada studiJenis kelamin a - Laki-laki 33 8 0,182 1,904 0,734 – 4,938 - studi awal tentang ekspresi COX-2, yaitu Perempuan 39 18 Kelompok usia di atas 80% pada ade- < 40 tahun 28 10 0,969a 1,018 0,405-2,558 nokarsinoma dan sedi- > 60 tahun 44 16 kit atau hampir tidak Lokasi tumor terdeteksi pada muko- Distal 53 19 0,958a 1,028 0,373-2,829 - Proksimal 19 7 sa bebas kanker. Stadium Klinis Penelitian lain menda- Dini 12 12 0,003a 0,233 0,087-0,627 patkan ekspresi COX-2 - Lanjut 60 14 sitoplasmik dengan Volume tumor - < 50 mL 31 19 0,022a 0,306 0,108-0,868 imunohistokimia sebe- > 50 mL 32 6 sar 18,3% pada mukoHistopatologi b sa bebas kanker, - Adenokarsinoma 69 20 0,010 0,145 1,582-30,087 58,8% pada lesi polip - Karsinoma tipe lain 3 6 Diferensiasi hiperplastik kolon, - Low-grade 59 19 0,336a 1,672 0,583-4,799 89,4% pada adenoma - High-grade 13 7 kolorektal sporadik, Kedalaman invasi tumor a dan 83% pada adeno- T1 dan T2 15 7 0,524 0,714 0,253-2,014 - T3 dan Tx 57 19 karsinoma kolorektal Keterlibatan KGB sporadik. Studi terbaru a - N0 33 13 0,715 0,846 0,345-2,076 pada berbagai tipe tu- N1 39 13 mor koloretal juga menDegenerasi musinosum - Positif 12 7 0,607a 1,329 0,449-3,930 dapatkan ekspresi yang - Negatif 41 18 tinggi, yaitu 85% untuk semua jenis adenokara uji Chi-square; b uji Fisher exact sinoma dan 55-76% Tabel Hubungan antara ekspresi NF-κB dan faktor-faktor klinikopa- untuk semua jenis adenotologis pada KKR sporadik ma. Ekspresi COX-2 yang lebih rendah, yaitu 17% didapatkan pada bel independen dengan ekspresi COX-2 berbagai jenis polip (polip hiperplastik, pada jaringan kanker (jenis kelamin, sessile serrated polyp/ adenoma (SSA), dan polip campuran dengan SSA dan nonumur, stadium klinis, lokasi tumor, voluserrated adenoma). me tumor, histopatologi tumor, diferenEkspresi COX-2 pada mukosa bebas siasi tumor, kedalaman invasi tumor, kekanker di sekitar kanker pada penelitian terlibatan KGB, dan adanya degenerasi ini cukup tinggi, yaitu 23,9%. Ada kemusinosum). Variabel dimasukkan ke damungkinan bahwa mukosa ini dapat berlam model jika pada analisis bivariat didkembang menjadi adenoma atau karsinoapatkan nilai p < 0,25. ma. Hal tersebut ditunjang dengan hasil Hubungan antara ekspresi studi yang mendapatkan frekuensi mutaCOX-2 dan faktor-faktor si onkogen ras pada mukosa bebas kanker dan hiperplastik di sekitar kanker koklinikopatologis KKR lorektal. Analisis bivariat tidak mendapatkan Hasil perhitungan skor imunohistokifaktor klinikopatologis yang berhubungan mia memperlihatkan korelasi antara COXbermakna dengan ekspresi COX-2 pada 2 dan NF-κB. Hal ini sesuai dengan sebujaringan kanker kolorektal. Ada kecendeah studi yang mendapatkan korelasi anrungan bahwa tumor-tumor dengan ekstara ekspresi COX-2 dan komponen RelA presi COX-2 positif lebih sedikit memproNF-κB (p65) dengan r=0,83 dan p<0,05. duksi musin. Korelasi antara ekspresi COX-2 dan NFκB memperkuat dugaan bahwa ekspresi Pembahasan COX-2 pada penelitian ini dipicu oleh proses inflamasi di mukosa usus. Seluruh spesimen yang positif dengan Dalam penelitian ini, tidak ditemukan pulasan terhadap RelA menunjukkan adaperbedaan ekspresi COX-2 yang bermaknya NF-κB di sitoplasma. Hanya beberapa na antara penderita berusia 40 tahun spesimen yang juga memperlihatkan puatau kurang (55%) dibandingkan dengan lasan positif di inti sel. Hal ini menunjukpenderita berusia 60 tahun atau lebih kan bahwa sebagian besar kasus memili(45%). Hasil tersebut kurang lebih serupa ki NF-κB yang tidak teraktivasi. Dalam kedengan penelitian di Korea yang tidak adaan non-aktif, NF-κB berada di sitoplasmendapatkan hubungan bermakna antama karena terikat dengan sistem protein ra ekspresi COX-2 positif (skor 3-7 denginhibitornya, yaitu IkB kinase kompleks, an pulasan imunohistokimia) pada pasiyang mencegah NF-κB memasuki inti sel. en KKR sporadik berusia kurang dari 60 Kaskade pensinyalan NF-κB dapat diaktiftahun (46,2%) dan pada pasien berusia kan sebagai respons terhadap cedera, 60 tahun atau lebih (39,4%). Penelitian di infeksi, inflamasi dan kondisi stres lainJepang mendapatkan ekspresi COX-2 nya yang dengan cepat mengakibatkan positif (skor 3-7 dengan pulasan imunoperubahan ekspresi gen-gen dalam sel. histokimia) pada 76% dari 100 penderita Salah satu stimulus aktivasi NF-κB adaKKR sporadik dengan perincian 70% palah lipopolisakarida (LPS) yang berasal da penderita berusia 65 tahun atau dari bakteri Gram negatif. Stimulus LPS kurang dan 82% pada penderita berusia terhadap NF-κB ini telah terbukti meninglebih dari 65 tahun. Perbedaan tersebut katkan ekspresi enzim COX-2 dan produktidak bermakna secara statistik. si prostaglandin E2 (PGE2). Dalam keaSeperti halnya ekspresi COX-2, eksdaan normal, epitel kolon baik yang norpresi NF-κB juga tidak berbeda bermakna mal maupun kanker selalu terpajan pada antara penderita KKR usia 40 tahun atau LPS bakterial. Hal ini yang menyebabkan kurang dan penderita berusia 60 tahun NF-κB terus-menerus terekspresi di sitoatau lebih. Pada kedua kelompok, eksplasma dan inti sel. presi NF-κB didapatkan lebih dari 73%. Ekspresi COX-2 pada mukosa kanker Penelitian pada 30 spesimen penderita dalam penelitian ini (49%) secara tidak KKR dari Wuhan, Cina, tidak mendapat-
kan perbedaan ekspresi komponen RelA NF-κB antara penderita berusia 55 tahun atau kurang dan lebih dari 55 tahun. Kedua kelompok memperlihatkan ekspresi RelA lebih dari 85%. Dari hasil analisis multivariat, faktor klinikopatologis yang dapat memprediksi ekspresi NF-κB adalah jenis kelamin, tipe histopatologi, volume tumor, dan stadium klinis. Tipe histopatologi adenokarsinoma, stadium lanjut dan volume tumor lebih dari 50 mL merupakan faktor risiko terhadap ekspresi NF-κB, sedangkan jenis kelamin laki-laki merupakan faktor protektif terhadap ekspresi NF-kB. Ketiga variabel yang mempengaruhi ekspresi NF-κB sesuai dengan teori tentang pengaruh inflamasi pada pertumbuhan tumor. Pertumbuhan dan stadium klinis tumor antara lain dipengaruhi oleh sitokin-sitokin proinflamasi yang dilepaskan baik oleh sel tumor maupun sel-sel lain dalam lingkungan mikro tumor, yang terutama merupakan bagian dari sistem imun. Sekresi sitokin proinflamasi berkaitan erat dengan faktor transkripsi NFκB yang secara langsung mempengaruhi ekspresi gen-gen yang terlibat dalam proses inflamasi. Faktor transkripsi NF-κB diketahui terdapat di berbagai sel dan mengatur ekspresi sejumlah gen yang mengendalikan inflamasi, proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis. Namun, pada kanker, termasuk kanker kolorektal, NFκB diaktivasi secara berlebihan dan aktivitas NF-κB berjalan terus-menerus selama proses karsinogenesis. Analisis regresi logistik memperlihatkan tiga variabel dalam penelitian ini yang mempengaruhi ekspresi COX-2, yaitu ekspresi NF-κB, adanya musim dan penyebaran ke KGB. Dari ketiga variabel tersebut, hanya NF-κB yang memperlihatkan pengaruh sebagai faktor risiko kuat dengan rasio odds yang tinggi. Ini mendukung teori bahwa aktivitas transkripsi gen COX-2 dipengaruhi atau diatur oleh faktor transkripsi NF-κB dan memberi kesan bahwa ekspresi COX-2 pada penderita KKR dalam penelitian ini dicetuskan oleh proses inflamasi yang mengaktivasi NFκB. Di lain pihak, adanya musin dan penyebaran kanker ke KGB merupakan faktor protektif terhadap ekspresi COX-2. Temuan terpenting dari penelitian ini adalah bahwa KKR sporadik pada penderita usia muda dan tua tidak dipengaruhi oleh ekspresi COX-2 dan NF-κB. Namun, ekspresi COX-2 yang didapat tidak setinggi laporan-laporan serupa di negara-negara maju untuk KKR sporadik. Penelitian ini juga mendapatkan tumor-tumor yang mengekspresikan NF-κB dalam proporsi tinggi dan ekspresi NF-κB merupakan variabel independen yang mempengaruhi ekspresi COX-2. Implikasinya adalah bahwa KKR sporadik di Indonesia memiliki alur karsinogenesis yang berbeda. Tidak seperti di negara maju, ekspresi COX-2 pada subjek penelitian lebih merupakan pengaruh faktor transkripsi NF-κB. Pada KKR sporadik di negara-negara maju, ekspresi COX2 sangat dominan dan dicetuskan oleh alur pensinyalan Wnt/ beta-catenin. Terdapat perbedaan mendasar antara karsinogenesis kolorektal melalui alur Wnt/beta-catenin dan alur inflamasi melalui NF-κB. Ekspresi NF-κB dan COX-2 pada KKR dapat menandakan peran inflamasi pada proses karsinogenesis. Di negara-negara Barat, kanker yang dipicu oleh inflamasi umumnya ditemukan pada penderita inflammatory bowel disease (IBD) yaitu ko-
litis ulseratif dan penyakit Crohn. Kanker kolorektal yang muncul pada penderita IBD memiliki karakteristik molekular yang agak berbeda dibandingkan kanker kolorektal sporadik atau herediter. Berbagai penelitian tentang ekspresi COX-2 telah membuktikan peran penting COX-2 pada karsinogenesis kolorektal, dalam hal ini tipe sporadik, yang dimulai dari pembentukan polip adenomatosa kolorektal. Belakangan ini, terdapat perkembangan teori baru dalam konteks kanker kolorektal sporadik yang tidak mengikuti urutan adenoma-karsinoma konvensional. Diduga ada alur berbeda yang muncul dari adenoma serata dan kemudian bertransformasi menjadi kanker kolon. Tidak seperti adenoma konvensional, adenoma serata sering mengalami mutasi gen BRAF dan memperlihatkan metilasi DNA yang luas tetapi tidak disertai mutasi gen APC. Adenoma serata sering ditemukan di area displasia berat dan kini banyak bukti mendukung bahwa adenoma serata dapat menjadi kanker kolon. Dari penelitian-penelitian baru tersebut, sangat mungkin jika karsinogenesis kolorektal sporadik di Indonesia terjadi melalui alur serata atau alur metilator. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan peran mutasi BRAF dan metilasi DNA pada promotor gen-gen mismatch repair pada kasus-kasus KKR sporadik di Indonesia. Selain itu, pada tingkat adenoma, diperlukan studi prospektif endoskopik untuk membuktikan transformasi sel-sel polip hiperplastik yang saat ini tidak dianggap berpotensi ganas.
Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Ekspresi NF-κB dan COX-2 secara bermakna lebih banyak pada jaringan kanker dibandingkan jaringan bebas kanker. Seluruh ekspresi NF-κB berada di sitoplasma, baik di jaringan kanker maupun di mukosa bebas kanker. Ekspresi COX-2 di sel-sel kanker lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan di negara maju. Ekspresi COX-2 di mukosa bebas kanker lebih tinggi dibandingkan data di negaranegara maju, memberi kesan tingginya kolitis kronik non-spesifik pada subjek penelitian. 2. Terdapat korelasi sedang antara skor ekspresi NF-κB dan COX-2 di mukosa kanker dan korelasi kuat antara skor ekspresi NF-κB dan COX-2 di mukosa bebas kanker. 3. Ekspresi COX-2 cenderung lebih tinggi pada kelompok usia muda dibanding dengan usia tua, namun demikian perbedaan ekspresi molekuler inflamasi tersebut tidak bermakna secara statistik. 4. Ekspresi NF-κB dapat diprediksi dari variabel-variabel klinis yaitu jenis kelamin laki-laki (skor 13), tipe histopatologi adenokarsinoma signet ring cell dan musinosum (skor 22), stadium klinis lanjut (skor 24), dan volume tumor lebih dari 50 mL (skor 10) dengan nilai cut off sebesar 45. Bila skor > 45 berar ti positif. Ekspresi COX-2 dapat diprediksi sebagai positif jika prediksi ekspresi NF-κB positif, kecuali jika terdapat penyebaran ke kelenjar getah bening dan adanya adenokarisnoma dengan degenerasi musinosum. R
Kabar PAPDI 15
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009 HARI BAKTI DOKTER INDONESIA
Stand PAPDI pada kegiatan INDOMEDICA EXPO 7 – 10 Mei 2009 di Hall B JCC Jakarta yang diselenggarakan oleh PB. IDI. Tampak Ketua PB. IDI, DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes berfoto bersama dengan Ketua Bidang Humas PB. PAPDI, Dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, K-HOM di stand PAPDI.
PB. PAPDI - PAPDI Medical Relief bekerja sama dengan ACT (Aksi Cepat Tanggap) pada 5 Mei mengadakan bakti sosial dalam rangka Hari Bakti Dokter Indonesia di desa Pangkalan, Teluk Naga, Tangerang. Tampak Dr. Ika Prasetiya Wijaya, SpPD memeriksa pasien dengan EKG.
PB. PAPDI - PAPDI Medical Relief bekerja sama dengan ACT (Aksi Cepat Tanggap) pada 5 Mei mengadakan bakti sosial dalam rangka Hari Bakti Dokter Indonesia di desa Pangkalan, Teluk Naga, Tangerang. Salah satu kegiatannya adalah pengobatan gratis yang diikuti oleh 150 anak-anak dan 300 orang dewasa. Tampak Dr. Wisjnu Wardhana, SpPD sedang memeriksa pasien.
PB. PAPDI - PAPDI Medical Relief bekerja sama dengan ACT (Aksi Cepat Tanggap) pada 5 Mei mengadakan bakti sosial dalam rangka Hari Bakti Dokter Indonesia di desa Pangkalan, Teluk Naga, Tangerang. Tampak Dr. Tri Juli Edi Tarigan, SpPD sedang memberikan penyuluhan mengenai penyakit diabetes, jantung dan hipertensi.
PAPDI Cabang Banjarmasin
ROADSHOW ANTIBIOTIK
Roadshow Antibiotik PAPDI yang dilaksanakan di Kota Banjarmasin pada 6 Juni 2009. Tampak Ketua Umum PB. PAPDI, DR.Dr. Aru W Sudoyo, SpPD,K-HOM,FACP dan Pengurus PAPDI Cabang Banjarmasin. Acara roadshow ini yang dihadiri sekitar 30 peserta terdiri dari dokter umum dan dokter spesialis penyakit Dalam.
PAPDI Cabang Palembang
Roadshow Antibiotik PB.PAPDI ke-2 yang dilaksanakan oleh PAPDI Cabang Jawa Barat pada 30 Mei 2009, di Hotel Novotel Bandung dihadiri sekitar 60 peserta. Dalam roadshow ini salah satu materi yang disampaikan adalah penyegaran EKG oleh Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD dan dihadiri oleh Ketua PAPDI Cabang Jawa Barat yakni Dr. Arto Yuwono Soeroto, SpPD, K-P.
ROADSHOW ONKOLOGI
Roadshow Onkologi PB. PAPDI yang dilaksanakan di PAPDI Cab. Palembang pada Sabtu, 2 Mei 2009, di Hotel Horison Palembang. Salah satu pembicara roadshow, Dr. Sally A. Nasution, SpPD, sedang memberikan Penyegaran EKG kepada sekitar 50 orang peserta Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS.
PAPDI Cabang Jawa Barat
PAPDI Cabang Semarang
Pelaksanaan Roadshow Onkologi PB. PAPDI yang diselenggarakan di PAPDI Cabang Semarang pada tanggal 25 April 2009, di Hotel Gumaya Semarang. Tampak Wakil Ketua PAPDI Cabang Semarang Dr. Mika Lumban Tobing, SpPD, K-HOM mendampingi pembicara Dr. C Suharti, PhD, SpPD,K-HOM, dan Dr. Abidin Widjanarko, SpPD, K-HOM.
16 Kabar PAPDI1 2 ROADSHOW NUTRISI Cabang Maluku
Halo INTERNIS O Edisi 14 O Juli 2009 PAPDI Cabang Cirebon
Pelaksanaan Roadshow Nutrisi Klinik III kerjasama PB. PAPDI dengan PAPDI Cab. Maluku pada 23-24 Mei 2009 di Aula Kantor Gubernur Provinsi Maluku Lantai 7 ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang terdiri dari spesialis penyakit dalam, dokter umum, perawat, ahli gizi dan mahasiswa kedokteran.
PAPDI Cab. Cirebon mengadakan simposium diabetes melitus dengan tema “Better Management for Better Quality of Life”, di Hotel Santika Cirebon, pada 31 Januari 2009. Acara yang dihadiri oleh dokter umum dan spesialis ini menghadirkan pembicara dari Bandung dan Jakarta diantaranya, Dr. Made Astawa, SpPD, Dr. Wizhar Syamsuri, SpPD, Dr. Boyke SpPD, Dr. Agus Kusnandang, SpPD, Dr. Gatut Semiarji, SpPD, K-EMD, Dr. Hikmat Permana, SpPD,K-EMD, Dr. Ria Bandiara, SpPD,K-GH.
PAPDI Cab. Cirebon mengadakan seminar diabetes melitus untuk umum di Hotel Zamrud Cirebon, pada 1 Februari 2009. Acara itu dibuka oleh Walikota Cirebon yang diwakili oleh Kadinkes Kota Cirebon Dr. Hj Kaptiningsih dan diikuti sekitar 200 peserta. Hadir sebagai pembicara Dr. Idham Chalid, SpPD, Dr. Slamet Suyono, SpPD, Dr. Hami Zulkifli Abbas, SpPD, dan Dr. Irwan, SpPD.
PAPDI Cab. Cirebon bersama Persadia (Persatuan Diabetes Indonesia) mengadakan Senam Diabetes Massal di halaman RSUD Gunung Jati, Cirebon, pada 1 Februari 2009, acara ini diikuti sekitar 300 peserta dan dihadiri oleh Ketua PAPDI Cab. Cirebon Dr. Dedi Nuralamsyah, SpPD dan Ketua Persadia Cab. Cirebon Dr. Made Astawa, SpPD.
PAPDI Cabang Bekasi
Pelantikan PAPDI Cabang Bekasi yang dilaksanakan pada Sabtu, 20 Juni 2009, di Hotel Horison Bekasi. Tampak foto bersama Ketua Umum PB. PAPDI, DR.Dr. Aru W Sudoyo, SpPD,K-HOM,FACP dan Ketua PAPDI Cab. Bekasi Dr. Ahmar Abyadh Umar, SpPD, M.Kes. Proses Pelantikan PAPDI Cab. Bekasi ini disaksikan oleh Ketua IDI Kota Bekasi, Dr. Anthony D. Tulak, SpP, FCCP dan Sekretaris IDI Kab. Bekasi, Dr. Yanto Tatang.
PAPDI Cabang Maluku Utara
Pelantikan dan Pembacaan Janji Pengurus PAPDI kepada Pengurus PAPDI Cabang Maluku Utara oleh Ketua Umum PB. PAPDI, DR.Dr. Aru W Sudoyo, SpPD,K-HOM,FACP pada Sabtu, 13 Juni 2009 di Hotel Bela International, Maluku Utara. Ketua PAPDI Cabang Maluku Utara yang baru yaitu Dr. Eko Sudarmo DP, SpPD. Acara pelantikan PAPDI Cabang Malut ini disaksikan oleh perwakilan dari IDI Wilayah Maluku Utara Dr. Andi Nurafiah, SpPK.
PAPDI Cabang Makassar
Pembacaan Naskah Pelantikan dan Janji Pengurus baru PAPDI Cabang Makassar yang oleh Wakil Ketua Umum PB. PAPDI, DR.Dr. Czeresna H. Soejono, SpPD,K-Ger,MEpid, FACP dan disaksikan Ketua IDI Wilayah Cabang Makassar yaitu Dr. Muhammad Akbar, PhD, SpS(K) dimana Ketua PAPDI Cabang Makassar baru yakni Prof. DR. Dr. Syamsu, SpPD, K-AI. Pelantikan PAPDI Cabang Makassar ini dilaksanakan pada Sabtu, 20 Juni 2009 di Hotel Clarion Makassar.
PAPDI - JAYA Sosialisasi P2KB
Dalam rangka sosialisasi P2KB, PAPDI JAYA menyelenggarakan seminar dan workshop mengenai tata cara pengisian P2KB-IPD pada Sabtu, 27 Juni 2009, di Hotel Le Grandeur, Jakarta. Pada acara itu hadir sekitar 70 Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan langsung latihan mengisi Buku Log P2KB.