ORASI ILMIAH Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D Guru Besar Fakultas Hukum UI
Disampaikan pada Acara Dies Natalis dan Wisuda Program Profesi, Spesialis, Magister dan Doktor Universitas Indonesia Depok, 6 Februari 2016
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional* Hikmahanto Juwana** I.
Pengantar
Mulai tanggal 1 Januari 2016, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, telah memasuki era baru dengan mulai berlakunya ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).1 MEA merupakan visi para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan negara-negara ASEAN yang dicanangkan pada tahun 1997. Visi ini tertuang dalam dokumen yang diberi nama ASEAN Vision 2020. 2Salah satu visi di dalam ASEAN Vision 2020 adalah pembentukan MEA. Lebih lanjut pembentukan MEA3 merupakan salah satu tujuan dari ASEAN. Dalam kata-kata dalam Piagam ASEAN4, tujuan ini dirumuskan sebagai, “To create a single market and production base which is stable, prosperous, highly competitive and economically integrated with effective facilitation for trade and investment in which there is free flow of goods, services and investment; facilitated movement of business persons, professionals, talents and labour; and free flow of capital.”5
*
Orasi Ilmiah disampaikan dalam rangka Dies Natalis Universitas Indonesia. Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI. Meraih SH dari UI (1987), LL.M dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris (1997). Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dua asisten penulis Dita Liliansa, SH (UI) dan Anbar Jayadi, SH (UI) atas pengayaan Orasi Ilmiah ini. 1 Pada tanggal 22 Nopember 2015 di Kuala Lumpur, para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negara-negara ASEAN menandatangani Deklarasi Pembentukan Masyarakat ASEAN (Declaration on the Establishment of ASEAN Community). 2 ASEAN Vision 2020 ditandatangani oleh Para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negaranegara ASEAN di Kuala Lumpur pada tanggal 15 Desember 1997. Dokumen dapat diakses di http://www.asean.org/?static_post=asean-vision-2020. 3 MEA merupakan salah satu pilar dari Masyarakat ASEAN (ASEAN Community). Dua pilar lainnya adalah ASEAN Political-Security Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. 4 Piagam ASEAN diadopsi pada tanggal 20 Nopember 2007 di Singapura. Indonesia telah meratifikasi Piagam ASEAN dengan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008. 5 Pasal 1 ayat (5) Piagam ASEAN. **
1
Hikmahanto Juwana
Pembentukan MEA dalam perspektif hukum memunculkan beberapa pertanyaan yang akan didiskusikan disini. Pertama, apa yang dimaksud dengan integrasi ekonomi? Kedua, apa alasan negara-negara ASEAN menginginkan adanya integrasi ekonomi? Ketiga, apa konsekuensi hukum dari MEA? Apakah MEA pada saat pembentukannya telah menjadikan ekonomi negara-negara ASEAN terintegrasi secara penuh? Terakhir, apa yang menjadi tantangan bagi Indonesia dengan berlakunya MEA dari perspektif hukum perdagangan internasional?
II.
Integrasi Ekonomi
Objek perebutan antar negara dalam tiga dasawarsa terakhir tidak lagi terfokus pada perebutan wilayah (territory)6 ataupun perebutan pengaruh (influence) ideologi yang memunculkan perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. 7Objek yang mendominasi ekspansi antar negara adalah pasar (market) dan tempat berproduksi (production base). Dalam perebutan pasar dan tempat berproduksi, negara bergantung pada pelaku usaha. Pelaku usaha yang dapat menghasilkan produk, jasa dan kekayaan intelektual. Negara berperan sebagai regulator. Jikalau negara hendak melakukan usaha, maka usaha tersebut dilakukan oleh perusahaan atau badan usaha yang dimiliki oleh negara. Intinya, transaksi yang dilakukan antar negara atau antar kerajaan dalam dua abad terakhir sudah semakin tidak ada.8 Mengapa pasar di suatu negara menjadi objek untuk diperebutkan? Lebih lanjut, mengapa pula negara berebut untuk menjadi tempat berproduksi bagi para pelaku usaha? Pasar menjadi objek perebutan karena sebuah negara agar ekonominya terus tumbuh dan lapangan pekerjaan terbuka, bahkan dapat mempertahankan diri sebagai negara besar (super atau economic
6
Wilayah tidak lagi menjadi objek perebutan antar negara dengan berakhirnya Perang Dunia II. Pengaruh dan ideologi tidak lagi menjadi objek perebutan ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. 8 Meski demikian negara bisa saja melakukan pengadaan barang dan jasa yang dipasok oleh pelaku usaha negara lain, namun bukan oleh negara. Sebagai contoh pengadaan pesawat tempur suatu negara dimana pengadaannya dilakukan oleh Kementerian Pertahanaan atas nama negara, namun pemasok pesawat tempur adalah pelaku usaha dari negara lain. 7
2
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
power), maka pasar luar negeri atas barang, jasa dan kekayaan intelektual dari pelaku usahanya sangat penting. Ekonomi suatu negara tidak mungkin tumbuh bila negara hanya bergantung pada pasar dalam negeri. Terlebih, ekonomi suatu negara tidak akan berkelanjutan (sustain) bila hanya bergantung pada penjualan sumber daya alam. Hal ini mengingat sumber daya alam dapat habis. Bagi negara yang memiliki kekuatan ekonomi, mereka akan mendorong pelaku usahanya untuk memperluas dan melakukan ekspansi pasarnya ke luar negeri. Melakukan ekspansi keluar negeri berarti menciptakan permintaan (demand). Ini pada akhirnya yang akan membuka lapangan kerja. Lapangan kerja penting karena setiap pemerintahan mempunyai tanggung jawab memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Membuka lapangan kerja adalah bagian dari tugas penting dari pemerintahan di seluruh dunia. Di samping membuka lapangan kerja, tentu ekspansi pelaku usaha keluar negeri akan memberi kontribusi devisa kepada negara dan sebagai penggerak roda perekonomian negara. Oleh karenanya, adalah alamiah bila setiap negara akan memfasilitasi agar pelaku usahanya dapat merambah pasar luar negeri. Jepang, misalnya, sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk besar namun memiliki sumber daya alam yang terbatas. Pemerintahnya sangat bergantung pada ekspansi pelaku usahanya. Tidak heran bila pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah, difasilitasi agar mereka mau melakukan ekspansi keluar negeri. Upayanya adalah membuat perwakilan semi pemerintah di pelbagai negara yang dinamakan Japan External Trade Organization (JETRO).9 JETRO yang membantu pelaku usaha Jepang dalam banyak hal, termasuk memberikan data terkait kondisi negara yang dituju, mencarikan mitra lokal, menyediakan penerjemah dan menyediakan tempat untuk bertatap muka dengan mitra lokal hingga menyediakan bahan referensi 9
Saat ini JETRO tidak hanya untuk membantu para pelaku usaha Jepang melakukan ekspansi usahanya di luar negeri, tetapi juga mempromosikan Jepang sebagai tempat berinvestasi. Lihat: https://www.jetro.go.jp/en/jetro/.
3
Hikmahanto Juwana
yang berisi tentang hukum dan penyelesaian sengketa di negara setempat. Kerjasama yang erat antara Pemerintah Jepang dan pelaku usaha dalam melakukan penetrasi pasar luar negeri ini dikenal dengan istilah Japan Incorporated. Namun, dalam hal-hal tertentu terkadang Pemerintah suatu negara melakukan tindakan yang berlebihan dan melakukan perdagangan curang yang bertentangan dengan hukum perdagangan internasional. Misalnya: memberikan subsidi kepada pelaku usahanya sehingga mereka mampu menjual barang relatif lebih murah di suatu negara ketimbang pelaku usaha lokal yang menjadi pesaingnya. Dalam situasi dunia saat ini, ada empat kategori negara bila dikaitkan antara pelaku usaha dengan pasar dalam negerinya. Kategori pertama adalah negara-negara yang memiliki banyak pelaku usaha yang kuat dan memiliki pasar dalam negeri yang besar. Kategori kedua adalah negara-negara yang banyak memiliki pelaku usaha yang kuat, namun pasar dalam negeri kecil. Yang ketiga adalah negara yang tidak memiliki banyak pelaku usaha yang kuat namun memiliki pasar dalam negeri yang besar. Terakhir yakni negara yang tidak memiliki pelaku usaha yang kuat dan tidak memiliki pasar dalam negeri yang besar. Ada empat ciri utama negara yang memiliki pasar dalam negeri yang besar. Pertama, memiliki jumlah penduduk yang besar dimana kelas menengahnya terus berkembang. Kedua, penduduk sebagai konsumen memiliki kesukaan (preference) yang mudah diubah. Mengubah kesukaan penduduk dilakukan melalui iklan. Ketiga, negara tersebut memiliki konsumen yang mempunyai daya beli (purchasing power) yang kuat. Tanpa daya beli masyarakat yang kuat maka tidak akan menjadi daya tarik mengingat akan marak barang yang dibajak. Kalaupun pelaku usaha hendak melakukan penetrasi di negara yang daya beli masyarakatnya tidak terlalu kuat maka negara tersebut dituntut untuk memiliki hukum kekayaan intelektual yang kuat. Terakhir, pemerintah dari negara yang menjadi pasar tidak cerdas memainkan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdagangan 4
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
internasional untuk melindungi pelaku usaha lokalnya. Pemerintah yang pasrah dengan masuknya barang dan jasa dari negara lain menjadi sasaran empuk. Sementara negara berebut untuk menjadi tempat berproduksi bagi para pelaku usaha baik dari dalam maupun luar negeri karena terkait dengan pembukaan lapangan kerja. Selain itu, bila sebuah negara menjadi tempat berproduksi bagi perusahaan multinasional, harapannya akan ada alih teknologi ke pelaku usaha lokal. Tidak heran bila pemerintahan suatu negara, khususnya dari negara berkembang, akan berlomba-lomba menawarkan iklim investasi yang kondusif, insentif pajak hingga mempromosikan biaya tenaga kerja yang kompetitif untuk menarik investor mancanegara. Iklim investasi yang kondusif berarti negara tersebut memiliki hal-hal sebagai berikut: a) sumber daya manusia yang memiliki pendidikan dan keterampilan; b) adanya kepastian berusaha dan kepastian hukum; c) adanya tawaran yang menarik dari pemerintah berupa insentif pajak; d) infrastruktur yang memadai, khususnya listrik; e) birokrat yang bersih dari suap dan berbagai pungutan liar dan semi liar; dan f) memiliki aturan dan penegakan hukum yang kuat, utamanya di bidang hak kekayaan intelektual. Faktor-faktor ini yang menjadikan sebuah negara memiliki daya saing yang tinggi sebagai tempat berproduksi dibanding negara lain. Para pelaku usaha yang dibidik untuk berinvestasi adalah pelaku usaha yang hendak memindahkan tempat berproduksinya di negaranya ataupun negara ketiga. Hal ini berkaitan dengan biaya produksi yang terlalu mahal bila tempat berproduksi tidak dipindahkan yang dikenal dengan usaha-usaha redup (sunset industries). Di samping itu yang dibidik adalah pelaku usaha manca negara yang hendak mendekatkan diri dengan konsumen dari negara penerima investasi sehingga dapat menekan harga. Namun, untuk menembus pasar di luar negeri bahkan menjadikan sebuah negara sebagai tempat berproduksi, pelaku usaha kerap menemui kendala. Kendala tersebut berupa pelbagai hambatan (barriers) perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, yang diberlakukan
5
Hikmahanto Juwana
oleh negara tujuan. Bahkan sebagai tempat berproduksi, pelaku usaha asing kerap didiskriminasi dan usahanya dinasionalisasi. Dalam konteks inilah untuk memperkecil, bahkan menghilangkan pelbagai hambatan serta memberi jaminan dan perlindungan bagi pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, maka negara-negara dari pelaku usaha dan negara-negara yang menjadi pasar tujuan serta tempat berproduksi membuat perjanjian antarnegara. Perjanjian ini yang kerap disebut sebagai Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement). Perjanjian perdagangan bebas ada yang bersifat bilateral, regional dan multilateral. Tujuan dari perjanjian ini adalah agar menjadikan perdagangan antarnegara sama seperti perdagangan antarprovinsi yang tidak mengenal hambatan. Dalam perkembangannya, Perjanjian Perdagangan Bebas dapat ditingkatkan menjadi Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Area Agreement). Kawasan Perdagangan Bebas selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi integrasi ekonomi berupa masyarakat ekonomi. Dalam integrasi ekonomi, kegiatan sejumlah negara yang berkaitan dengan pasar dan tempat berproduksi menjadi tunggal. Pasar dan tempat berproduksi sejumlah negara menjadi tunggal karena adanya lembaga supranasional yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan dari waktu ke waktu agar setiap negara yang turut dalam integrasi ekonomi memberlakukakan sebagai kebijakan nasionalnya. Integrasi, dari perspektif politik dan operasional, merupakan kehadiran institusi supranasional yang mana ada aktivitas bersama yang diatur oleh institusi supranasional tersebut sebagai otoritas lebih tinggi.10 Integrasi ekonomi secara sederhana dapat diartikan sebagai integrasi dalam bidang ekonomi dengan tujuan utama untuk melakukan liberalisasi perdagangan antarnegara di dalam skema integrasi ekonomi tersebut.11 Lebih lanjut, integrasi ekonomi dapat dilihat sebagai 10
Salif Kone, “Is Economic Integration Between Developing Countries a Singular Process”, Journal of Economic Intergration, Vol. 27, No. 3 (September 2012), dapat diakses di
, hlm. 389. 11 Ibid, hlm. 390.
6
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
representasi dari keadaan dimana ekonomi nasional tidak lagi menjadi batas penghalang, melainkan bersatu dalam entitas yang lebih besar dan satu-kesatuan.12 Integrasi ekonomi tidak dapat dilakukan jika tidak ada penyerahan kedaulatan secara parsial atau penuh dari negara-negara yang terlibat.13 Integrasi ekonomi dalam beberapa dekade ini dianggap sebagai langkah yang strategis untuk memperkuat daya saing melawan berbagai negara dalam merebut pangsa pasar dan tempat berproduksi. Berdasarkan kebutuhan memperkuat daya saing ini, maka tidak heran bila negara-negara di Eropa membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). MEE dibentuk pada tahun 1957 berdasarkan perjanjian yang disebut sebagai Treaty Establishing the European Economic Community atau Treaty of Rome.14 MEE telah bertransformasi pada tahun 1993 menjadi Uni Eropa (UE) atau European Union.15 Hal mendasar yang membedakan MEE dan UE adalah diperkenalkannya mata uang tunggal Euro. Bukannya tidak mungkin di masa mendatang UE bertransformasi menjadi The United States of Europe (USE). Apabila demikian maka integrasi tidak saja secara ekonomi melainkan juga secara politik. USE akan menghilangkan kedaulatan negara-negara Eropa yang tergabung dalam USE meski masing-masing memiliki sistem hukum sendiri.
III.
Konsekuensi Hukum MEA
Dalam konteks ASEAN, salah satu tujuan pendirian ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi 1967 adalah, “to accelerate the economic 12
R. H. S. Samaratunga dan E. A. Weerasinghe, “Economic Integration: A Review of the Concept”, Journal of Management Science 1 (1&2) 2002, hlm. 173. 13 Salif Kone, Op.cit. 14 Penandatangan sekaligus anggota awal dari MEE adalah Belgia, Perancis, Italia, Luxemburg, Belanda dan Jerman Barat. 15 Negara yang tergabung dalam UE hingga tahun 2015 ini berjumlah 28 terdiri dari Austria (1995), Belgia (1958), Bulgaria (2007), Cyprus (2004), Kroasia (2013). Republik Ceko (2004), Denmark (1973), Estonia (2004) Finlandia (1995), Perancis (1958), Jerman (1958), Yunani (1981), Hongaria (2004), Irlandia (1973), Italia (1958), Latvia (2004), Lithuania (2004), Luxemburg (1958), Malta (2004), Belanda (1958), Polandia (2004), Portugal (1986), Romania (2007), Slovakia (2004), Slovenia (2004), Spanyol (1986), Swedia (1995), Kerajaan Inggris (1973).
7
Hikmahanto Juwana
growth, social progress and cultural development in the region through joint endeavors in the spirit of equality and partnership in order to strengthen the foundation for a prosperous and peaceful community of Southeast Asian nations.”16 Namun, sejak pendiriannya hingga akhir tahun 1980, ASEAN lebih fokus pada masalah-masalah politik internasional. Barulah pada tahun 1997, para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan negara-negara ASEAN merumuskan visi ASEAN yakni ASEAN pada tahun 2020 sebagai, “….a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies.” Pada tahun 2003, para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan negaranegara ASEAN sepakat untuk membentuk ASEAN Community. Kesepakatan ini dikenal dengan nama Bali Concord II. Dalam kesepakatan ini disebutkan bahwa, “An ASEAN Community shall be established comprising three pillars, namely political and security cooperation, economic cooperation, and socio-cultural cooperation...” Selanjutnya pada tahun 2007, para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan negara-negara ASEAN menyepakati agar MEA terbentuk pada tahun 2015, lima tahun lebih cepat dari rencana awal. Perlu dipahami bahwa MEA berbeda dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA merupakan blok perdagangan (bukan integrasi ekonomi) dari negara-negara ASEAN. Keberadaan AFTA akan menurunkan dan meniadakan pajak impor dan ekspor di negara-negara ASEAN sepanjang barang yang diimpor dan diekspor merupakan buatan dari negaranegara ASEAN. Dalam AFTA, meski setiap negara ASEAN dapat memberlakukan tarif yang berbeda terhadap barang impor, namun barang impor yang berasal dari negara ASEAN harus diberlakukan tarif yang sama. Tujuannya agar terjadi perdagangan antarpelaku asal negara ASEAN (intra-ASEANtrade). Keberadaan AFTA didasarkan pada Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Pengenaan tarif yang sama ini berada pada kisaran 0-5%.
16
8
Angka 2 (1) Deklarasi ASEAN 1967.
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
Ini berbeda dengan MEA. MEA tidak ditujukan untuk pelaku usaha di negara-negara ASEAN, tetapi ditujukan bagi investor dari berbagai tempat di dunia yang hendak berinvestasi di negara ASEAN. Investor akan diperlakukan sama ketika hendak melakukan investasi di salah satu negara. Setiap negara ASEAN wajib memberi insentif yang sama bagi para investor. Oleh karenanya, karena alasan ini negara-negara ASEAN tidak diperbolehkan untuk saling bersaing untuk menarik investor.
Intinya, meski kedaulatan ada di masing-masing negara ASEAN, namun secara pasar dan tempat berproduksi maka negara-negara ASEAN adalah ‘provinsi’ yang harus mengikuti arahan dari ‘pemerintah pusat’. Adapun pemerintah pusat yang dimaksud adalah forum pengambilan keputusan di tataran para pejabat ASEAN, termasuk Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Lembaga ini akan menjadi lembaga supranasional. Dalam Piagam ASEAN, yang menjadi lembaga supranasional adalah ASEAN Summit,17ASEAN Coordinating Council18 dan ASEAN Community Council,19ASEAN Sectoral Ministerial Bodies.20
17
Pasal 7 Piagam ASEAN. Pasal 8 Piagam ASEAN. Pasal 9 Piagam ASEAN. 20 Pasal 10 Piagam ASEAN. Dalam Annex I dibawah MEA lembaga yang ada yaitu ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) yang terdapat High Level Task Force on ASEAN Economic Integration (HLTF-EI) dan Senior Economic Officials Meeting (SEOM); ASEAN Free Trade Area (AFTA) Council ; ASEAN Investment Area (AIA) Council; ASEAN Finance Ministers Meeting (AFMM) yang terdapat ASEAN Finance and Central Bank Deputies Meeting (AFDM) dan ASEAN Directors-General of Customs Meeting (Customs DG); ASEAN Ministers Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF) yang terdapat dari Senior Officials Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (SOMAMAF) dan ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF); ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang terdapat Senior Officials Meeting on Energy (SOME); ASEAN Ministerial Meeting on Minerals (AMMin) yang dibawahnya ada ASEAN Senior Officials Meeting on Minerals (ASOMM): ASEAN Ministerial Meeting on Science and Technology (AMMST) yang dibawahnya ada Committee on Science and Technology (COST); ASEAN Telecommunications and Information Technology Ministers Meeting (TELMIN) yang dibawahnya ada Telecommunications and Information Technology Senior Officials Meeting (TELSOM) dan ASEAN Telecommunication Regulators’ Council (ATRC); ASEAN Transport Ministers Meeting (ATM) yang dibawahnya ada Senior Transport Officials Meeting (STOM); Meeting of the ASEAN Tourism Ministers (M-ATM) yang dibawahnya ada Meeting of the ASEAN National Tourism Organisations (ASEAN NTOs); ASEAN Mekong Basin Development Corporation (AMBDC) yang dibawahnya ada ASEAN Mekong Basin Development Corporation Steering Committee (AMBDC SC) dan High Level Finance Committee (HLFC); ASEAN Centre for Energy; ASEAN-Japan Centre in Tokyo. 18 19
9
Hikmahanto Juwana
Adapun anggota dari ASEAN Summit adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dari seluruh negara anggota ASEAN. Sementara, anggota dari ASEAN Coordinating Council adalah Menteri Luar Negeri dari setiap negara anggota ASEAN. Lebih lanjut, ASEAN Community Councils bergantung pada masingmasing communityyaitu ASEAN Political-Security Community Council, ASEAN Economic Community Council dan ASEAN Socio-Cultural Community Council. Adapun keanggotaan dari masing-masing Council adalah wakil yang ditunjuk dari masing-masing negara.21 Setiap keputusan lembaga supranasional yang berkaitan dengan pasar dan tempat berproduksi harus dijalankan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang secara umum diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Piagam ASEAN, yaitu:22 “In order to realise the objectives of each of the three pillars of the ASEAN Community, each ASEAN Community Council shall: (a) ensure the implementation of the relevant decisions of the ASEAN Summit; (b) coordinate the work of the different sectors under its purview, and on issues which cut across the other Community Councils; and (c) submit reports and recommendations to the ASEAN Summit on matters under its purview.”
Salah satu hal yang harus diimplementasikan oleh negara-negara ASEAN sebelum pemberlakuan MEA adalah Cetak Biru MEA. Cetak Biru ini ditetapkan oleh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan ASEAN di dalam Deklarasi 2007 di Singapura (Cetak Biru MEA 2007).23 Pada tanggal 22 November tahun 2015 pada pertemuannya ke-27 di Kuala Lumpur telah diberlakukan Cetak Biru MEA 2025. Oleh karenanya, saat ini ada dua Cetak Biru MEA. Pertama adalah Cetak Biru 2007 yang menjadi pedoman bagi pembentukan MEA hingga 31 21
Pasal 9 ayat (3) Piagam ASEAN. Pasal 9 ayat 4 Piagam ASEAN. 23 Declaration of the ASEAN Economic Community Blueprint tertanggal 20 Nopember 2007. 22
10
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
Desember 2015. Cetak Biru ini sudah tidak berlaku lagi. Kedua adalah Cetak Biru 2025 yang bertujuan untuk menguatkan MEA. Cetak Biru MEA mirip dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dikenal di Indonesia di masa lalu. Cetak Biru MEA 2007 dibuat berdasarkan empat pilar yang saling berhubungan dan menguatkan, yaitu: (a) pasar tunggal dan tempat berproduksi; (b) kawasan yang bersaing tinggi secara ekonomi; (c) kawasan yang pembangunan ekonominya berkeadilan; dan (d) kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan ekonomi global. Setiap pilar ini memiliki aksi yang harus dilakukan oleh masing-masing negara anggota ASEAN. Berikut adalah tabel singkat mengenai agenda terkait aksi dari tiap-tiap pilar tersebut:
Tabel 1 Agenda dari Empat Pilar di Cetak Biru MEA 2007 No. 1.
Pilar Pasar tunggal dan tempat berproduksi
Agenda
Jumlah Aksi
Keterangan
Free flow of goods, free flow of services, free flow of investment, freer flow of capital, free flow of skilled labour, priority integration sectors, food agriculture and forestry.
98 aksi.
Adanya arus barang, jasa, investasi, kapital, dan tenaga kerja ini memiliki satu tujuan yakni ASEAN dapat menjadi pasar tunggal yang kompetitif dan produktif. Salah satu aksi penting untuk mewujudkan agenda ini misalnya perlunya transparansi dan akuntabilitas dari negaranegara ASEAN. Kemudian, untuk priority integration sectors dimaksudkan agar sektor-sektor prioritas di ASEAN dapat menjadi penggerak integrasi ekonomi bagi ASEAN. 11
Hikmahanto Juwana
No.
Pilar
Agenda
Jumlah Aksi
Keterangan
2.
Kawasan yang bersaing tinggi secara ekonomi
Competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), infrastructure development, taxation, ecommerce.
44 aksi.
Untuk menjadi kawasan yang bersaing tinggi secara ekonomi, melalui agenda tersebut, ASEAN tidak melupakan pentingnya membudayakan kompetisi yang fair di antara negara-negara ASEAN dan dengan people-centered approach.
3.
Kawasan yang pembangunan ekonominya berkeadilan
Small and Medium Enterprises (SMEs) development, initiative for ASEAN Integration.
8 aksi.
Mengingat diversitas negara-negara ASEAN, agenda ini dimaksudkan agar SMEs di negaranegara ASEAN dapat berkembang di tempo yang sama, dan adanya pembagian ASEAN yang terdiri dari CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam) dan ASEAN-6 bukan berarti membuat pembedaan melainkan agar untuk tiap-tiap negara dapat diberikan bantuan sehingga negara-negara di ASEAN dapat berkembang dan berkompetisi dengan fair.
4.
Kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan ekonomi global
Coherent approach towards external economic relations,
4 aksi.
Aksi terkait agenda ini antara lain adalah mengembangkan hubungan di bidang ekonomi ASEAN, baik
12
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
No.
Pilar
Agenda enhanced participation in global supply networks.
Jumlah Aksi
Keterangan regional maupun multilateral dan mengadopsi praktik dan standar terbaik di dunia internasional misalnya dalam hal produksi dan distribusi.
Untuk melihat secara konkret dapat diambil contoh dalam konteks arus bebas pekerja terampil. Agar orang-orang (natural persons) yang berhubungan dengan perdagangan barang, jasa dan investasi secara bebas bergerak di negara penerima maka negara-negara ASEAN harus memfasilitasi mereka melalui penerbitan visa dan pas pekerja. Visa dan pas kerja ini ditujukan bagi profesional ASEAN dan pekerja terampil yang berkaitan dengan perdagangan lintas batas dan investasi. Demikian pula dalam rangka arus bebas jasa maka ASEAN melakukan harmonisasi dan standardisasi. Hal ini dilakukan dengan beberapa aksi antara lain yaitu: (i) meningkatkan kerjasama jaringan anggota Universitas ASEAN (ASEAN University Network/AUN) untuk meningkatkan mobilitas para mahasiswa dan pengajar di kawasan ASEAN; (ii) mengembangkan kompetensi inti dan kualifikasi untuk pekerjaan dan keterampilan para instruktur yang dibutuhkan pada sektor prioritas; dan (iii) penguatan kemampuan penelitian dari negara anggota ASEAN dalam rangka memajukan ketrampilan, pekerjaan dan mengembangkan jaring informasi pasar kerja antarnegara ASEAN. Berbagai aksi ini dimulai pada tahun 2007 dan kesemuanya telah selesai pada tanggal 31 Desember 2015. Meski demikian, sejumlah negara menyatakan belum 100 persen melaksanakan seluruh aksi tersebut per tanggal 31 Desember 2015. Sebagai contoh, Indonesia hanya mampu mengimplementasikan 92,7 persen atau 469 dari 506 total measures dalam kesepakatan Cetak Biru MEA.24 24
“Mendag Lembong: Implementasi Cetak Biru MEA Sulit” dapat diakses di http://www.rol.republika.co.id/berita/internasional/global/15/08/23/ntj2ku254-mendag-lembongimplementasi-cetak-biru-mea-sulit
13
Hikmahanto Juwana
Pencapaian yang tidak 100 persen pun diakui dalam Cetak Biru MEA 2025 namun secara substantif telah banyak hal yang dicapai. Dalam Cetak Biru 2025 dinyatakan sebagai berikut: “The implementation of the ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint 2015 has been substantively achieved in, among others, eliminating tariffs and facilitating trade; advancing the services trade liberalisation agenda; liberalising and facilitating investment; streamlining and harmonising capital market regulatory frameworks and platforms; facilitating skilled labour mobility; promoting the development of regional frameworks in competition policy, consumer protection and intellectual property rights; promoting connectivity; narrowing the development gap; and strengthening ASEAN’s relationship with its external parties (huruf tebaldari penulis).”25 Pada intinya, MEA telah terbentuk. Hal ini mengingat berbagai aksi telah dilakukan oleh pemerintah negara-negara ASEAN secara bertahap. Pada tanggal 1 Januari 2016 ekonomi negara-negara ASEAN telah terintegrasi. Saat ini ekonomi ASEAN yang tunggal telah menjadi perekonomian ketujuh terbesar di dunia dengan Gross Domestic Product sebesar USD 2.4 trilyun di tahun 2013.26 Sementara itu dalam konteks pasar, MEA mempunyai pasar yang sangat besar dengan jumlah penduduk yang apabila digabungkan mencapai lebih dari 600 juta orang. Jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk Uni Eropa dan Amerika Serikat. 27Hal ini menjadikan pasar MEA sebagai nomor tiga terbesar di dunia setelah Tiongkok dan India yang mana masing-masing mencapai lebih dari 1,000 juta penduduk. 25
Bagian Introduction dari Cetak Biru MEA 2025 hlm 1 dapat diakses di http://www.asean.org/storage/images/2015/November/aec-page/AEC-Blueprint-2025-FINAL.pdf. 26 Asian Development Bank, “ASEAN Economic Community: 12 Things To Know,” dapat diakses di . Wakil Presiden Asian Development Bank, Stephen P. Groff, pun menyatakan bahwa apabila tren pertumbuhan ekonomi ASEAN terus berlanjut, ekonomi ASEAN dapat menjadi perekonomian terbesar keempat di dunia pada tahun 2050 (Asian Development Bank, “Keynote Speech: ASEAN Integration and the Private Sector – Stephen P. Groff,” dapat diakses di ). 27 Berdasarkan data dari ASEAN Sekretariat, pada tahun 2014, jumlah penduduk Uni Eropa mencapai sekitar 504 juta orang sedangkan jumlah penduduk Amerika Serikat mencapai 319 juta orang (ASEAN, “ASEAN Economic Community At A Glance,” dapat diakses di ).
14
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
Gambar 1. Infografis MEA
Sumber: Sekretariat ASEAN
28
Gambar 2. Infografis MEA
Sumber: Sekretariat ASEAN 28
29
ASEAN, “ASEAN Economic Community At A Glance,” http://www.asean.org/storage/2015/12/AEC-at-a-Glance-2015.pdf. 29 Ibid
dapat
diakses
di
15
Hikmahanto Juwana
Saat ini ASEAN sedang menjalankan Cetak Biru MEA 2025. Lebih banyak lagi langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh setiap negara anggota ASEAN. Dalam Cetak Biru 2025 akan ada delapan profesi yang akan dibuka bagi warga di ASEAN yaitu dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, surveyor, arsitek, insinyur dan profesi di industri pariwisata.30
IV.
MEA: Apakah Ekonomi telah Terintegrasi?
Cetak Biru MEA 2007 telah menentukan apa aksi yang harus dicapai sebelum terbentuknya MEA. Harapannya adalah bila semua negara ASEAN telah menindak-lanjuti aksi yang ditentukan dalam Cetak Biru 2007, pada 1 Januari 2016 ekonomi negara-negara ASEAN akan terintegrasi secara penuh. Sayangnya ini tidak terjadi dalam kenyataannya. Pembentukan MEA belum membuat ekonomi negara-negara ASEAN terintegrasi secara penuh. Ada empat alasan mengapa demikian. Pertama, meski sejumlah negara ASEAN menyatakan bahwa mereka telah memenuhi berbagai aksi yang dituangkan dalam Cetak Biru 2007 hingga diatas 90%, namun kenyataannya antara dipenuhi dan tidak terpenuhi tidak terasa.31 Meski belum dilakukan survei akademis namun banyak pihak yang menganggap proses pembentukan MEA baru akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2016, bukan MEA terbentuk pada tanggal 31 Desember
30
Delapan profesi ini hanya mencakup 1.5 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja ASEAN (ASEAN Up, “Overview of the ASEAN Skilled Labor Market,” dapat diakses pada ). 31 Pemerintah dan Sekretariat ASEAN merasa lebih dari 80% objektif mereka telah tercapai, namun sektor swasta merasa sebaliknya dan tidak melihat bukti adanya peningkatan yang signifikan terkait kemudahan menjalankan usaha lintas batas (Bangkok Post, “ASEAN Economic Community 2015: Ready or Not, Here It Comes,” dapat diakses di ). Kajian dari Deloitte pun menunjukkan bahwa banyak pelaku usaha yang menjalankan usaha di Asia Tenggara tidak memahami betul MEA maupun dampak yang ditimbulkan terhadap usaha mereka (Deloitte, “The ABC of AEC To 2015 and Beyond,” dapat diakses di ).
16
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
2015. Ini tergambar dari berbagai pernyataan pejabat pemerintah, para pelaku usaha dan rakyat pada umumnya. Kedua, di era MEA sejumlah negara ASEAN masih bersaing untuk mendatangkan investor dari luar ASEAN.32 Padahal dengan keberadaan MEA sudah tidak seharusnya lagi antarnegara ASEAN saling bersaing satu sama lain untuk menjadi tempat berproduksi. Ketiga, dari kacamata pelaku usaha di luar ASEAN meski ASEAN telah menjadikan dirinya tunggal namun berbagai kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi masih tetap seperti sediakala. Semisal tidak ada perubahan yang signifikan di Indonesia. Dalam survei Bank Dunia terkait kemudahan untuk melakukan usaha (ease of doing business), posisi Indonesia hanya berubah dari peringkat 120 menjadi 109.33 Untuk ini Presiden Joko Widodo telah meminta para menterinya untuk memangkas lamanya pengurusan perizinan. Terakhir, di kebanyakan negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, seringkali terdapat jurang antara peraturan dengan kenyataan. Demikian pula yang ada dalam Cetak Biru 2007 yang diterjemahkan dalam check list yang semuanya dijawab telah dilakukan namun dalam kenyataannya tidak demikian. Pada akhirnya ada atau tidak ada MEA semua pemerintahan negara ASEAN menjalankan pemerintahan secara ‘business as usual’. Dalam pemahaman seperti ini maka keberadaan MEA sama sekali bukan ancaman.
V.
Tantangan Indonesia di Era MEA
Sebelum menguraikan apa yang menjadi tantangan bagi Indonesia, akan diuraikan beberapa keuntungan bagi Indonesia dengan adanya MEA, paling tidak untuk dua hal.
32
“Franky Sibarani: Kita Tak Bisa Tenang karena ada Vietnam,” dapat diakses di http://finance.detik.com/read/2015/10/30/102729/3057570/459/franky-sibarani-kita-tak-bisatenang-karena-ada-vietnam. 33 World Bank Group, Doing Business 2016; untuk data Indonesia dapat diakses di http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia/.
17
Hikmahanto Juwana
Pertama, Indonesia dapat memanfaatkan MEA untuk memperbesar pasar bagi produk-produk dan jasa dari pelaku usaha Indonesia. Kedua, keikutsertaan Indonesia dalam MEA diharapkan dapat memperluas pasar kerja yang lebih luas bagi angkatan kerja Indonesia. Oleh karenanya, tidak heran bila pemerintahan Soeharto hingga pemerintahan Joko Widodo berkomitmen agar Indonesia turut dalam MEA. Hanya saja ketika ASEAN 2020 divisikan pada tahun 1997, kawasan Asia khususnya Asia Tenggara sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Indonesia pada saat itu memiliki keyakinan bahwa agar kemajuan tercapai di kawasan Asia Tenggara, maka ekonominya harus terintegrasi. Bahkan Indonesia pun memiliki percaya diri (confidence) untuk memimpin dan mampu memberi warna pada ASEAN. Namun, sejak tahun 1997 Indonesia mengalami sejumlah krisis, termasuk pelambatan ekonomi yang beberapa kali terjadi. Krisis ekonomi telah memorak-porandakan kemajuan ekonomi yang selama ini telah dicapai. Pelbagai krisis itu pula yang memudarkan kepercayaan diri Indonesia untuk dapat memimpin dan memberi warna pada ASEAN. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia telah berakibat pada perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan. Di bidang politik, Indonesia mengalami perubahan yang mendasar dalam berdemokrasi. Sebelum tahun 1998, demokrasi hanyalah slogan. Tidak demikian halnya pasca 1998 dimana demokrasi dijalankan sebagaimana seharusnya. Pemerintah pun tidak menjadi satu-satunya otoritas pengambil keputusan. Di alam demokrasi saat ini, pengambilan keputusan oleh pemerintah harus mempertimbangkan aspirasi rakyat. Demikian pula perubahan mendasar dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Otonomi daerah telah membuat pemerintah daerah lebih kuat daripada pemerintah pusat. Apa yang digariskan oleh pemerintah pusat belum tentu dipatuhi di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kotamadya. 18
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
Sementara di bidang hukum, perubahan mendasar juga terjadi. Lembaga peradilan menjadi lebih independen dan tidak selalu memenangkan pemerintah dalam perkara yang melibatkan pemerintah. Aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian tidak lagi bisa ‘diaturatur’ oleh kekuasaan yang lebih tinggi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di bidang sosial, masyarakat sangat aktif untuk terlibat dalam masalahmasalah kenegaraan. Wujud peran serta masyarakat kerap dilakukan melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat dan media sosial. Ini semua dan masih banyak lagi perubahan-perubahan yang mendasar menunjukkan bahwa Indonesia saat ini tidaklah sama dengan Indonesia sebelum tahun 1998. Oleh karenanya, keuntungan yang diharapkan oleh Indonesia bisa saja tidak terwujud. Dalam konteks hukum perdagangan internasional, banyak tantangan yang membayangi keberlakuan MEA bagi Indonesia meski telah dilakukan diseminasi secara masif oleh para pejabatnya bahwa Indonesia siap dan akan menuai keuntungan. Tantangan pertama yaitu mengenai apakah Indonesia dapat memberi warna dalam pembuatan kebijakan dalam lembaga supranasional di ASEAN terkait keberadaan MEA. Perlu dipahami dalam konteks MEA, Indonesia akan menjadi ‘bagian’ dari entitas besar ASEAN bila berkaitan dengan pasar dan tempat berproduksi. Ini artinya. dalam konteks ekonomi Indonesia, Indonesia hanyalah provinsi dari ASEAN dan wajib mematuhi lembaga supranasional sebagai pemerintah pusat. Oleh karena itu, bila Indonesia tidak dapat memberi warna dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan pasar dan tempat berproduksi, maka kepentingan nasional Indonesia dapat terkorbankan. Disinilah dibutuhkan para pejabat Indonesia dalam forum supranasional ditingkat ASEAN untuk bersuara dan tegas bertindak ketika kepentingan nasional Indonesia menjadi taruhan.
19
Hikmahanto Juwana
Sayangnya, kebanyakan birokrat Indonesia belumlah seperti yang diharapkan. Kerap menjadi kritikan ketika para birokrat bertemu dengan mitranya dari mancanegara karena para birokrat tidak menunjukkan ketegasannya (assertiveness), enggan masuk dalam perdebatan, tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai, tidak memiliki data yang valid tentang Indonesia, bahkan kurang memahami apa yang menjadi kepentingan nasional Indonesia. Akibatnya, Indonesia tidak dapat memberi warna pada lembaga supranasional di tingkat ASEAN. Dalam MEA, Indonesia tidak akan mendominasi dalam pengambilan keputusan. Justru negara dengan pasar kecil namun memiliki kekuatan ekonomi yang mendominasi pengambilan keputusan untuk MEA. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah Indonesia bersedia bila pasarnya dan tempat untuk berproduksinya di-‘atur’ oleh negara yang lebih kecil? Padahal dalam konteks ASEAN, Indonesia adalah negara yang memiliki pasar yang besar meski tidak memiliki banyak pelaku usaha yang kuat dan efisien. Indonesia juga memiliki angkatan kerja terbesar diantara negara-negara ASEAN dan bagi mereka harus dibuka lapangan kerja. Tantangan kedua yakni dalam hukum perdagangan internasional, integrasi ekonomi memberikan dampak yang signifikan kepada barang atau jasa masuk ke suatu negara maka barang dan jasa tersebut wajib diterima oleh negara lain yang menjadi anggota dari integrasi ekonomi. Atas dasar ini, pelaku usaha mancanegara akan memasukkan barang atau jasanya ke negara tertentu meski tujuannya adalah negara lain yang menjadi anggota dari integrasi ekonomi. Bila hal ini diterapkan dalam MEA, bisa jadi pelaku usaha mancanegara memasukkan barang atau jasa, bahkan membuat pabriknya di Singapura, Malaysia ataupun Thailand namun tujuannya adalah membidik pasar Indonesia. Hal ini dilakukan karena aturan dan iklim investasi di Singapura, Malaysia ataupun Thailand dianggap lebih kondusif daripada Indonesia. Ini yang telah berlangsung dan mungkin terus berlangsung saat pelaku usaha mancanegara CEPT. 20
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
Bagi pelaku usaha mancanegara, memanfaatkan CEPT untuk membidik pasar Indonesia lebih menguntungkan daripada membangun pabriknya di Indonesia. Dengan kata lain pengenaan tarif, berdasarkan CEPT paling tinggi 5% jauh lebih menguntungkan daripada harus menghadapi pungutan liar, kelambanan birokrasi, seringnya demonstrasi buruh, dan ketidakpastian hukum yang kerap diasosiakan dengan Indonesia. Tantangan ketiga, berbagai keadaan yang memicu keengganan para pelaku usaha mancanegara untuk memilih Indonesia sebagai tempat berproduksi, misalnya iklim investasi yang kurang kondusif, akan berdampak pada ketersediaan lapangan kerja di Indonesia. Artinya, tidak ada korelasi antara pasar yang besar dengan pembukaan lapangan kerja. Saat ini banyak perusahaan besar Jepang yang merealokasi pabriknya ke negara-negara ASEAN di luar Indonesia meski barang yang dihasilkan ditujukan ke Indonesia. Demikian pula dengan perusahaan Kanada Blackberry, perusahaan perangkat telekomunikasi nirkabel yang memiliki pasar yang besar di Indonesia namun memilih membuka pabriknya di Malaysia. Hal ini pun sempat memantik kekecewaan dari Pemerintah Indonesia, termasuk Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang pernah menyampaikan kegeramannya ke media.34 Tantangan keempat, integrasi ekonomi dalam hukum perdagangan internasional mensyaratkan adanya kesetaraan. Kesetaraan ini yang membuat antar negara anggota dalam integrasi ekonomi tidak saling bersaing. Salah satu parameter kesetaraan tersebut adalah kualitas barang, jasa dan para pencari kerja. Kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di satu negara dan negara lain yang tergabung dalam integrasi ekonomi harus memiliki kualitas yang sama. Kualitas yang sama diatur dalam standarisasi barang. Demikian pula dengan para pencari kerja pada negara-negara yang telah terintegrasi ekonominya mendapatkan kebebasan untuk keluar masuk ke negara-negara anggota yang tergabung dalam integrasi ekonomi. Mereka bisa berpindah dari satu negara ke negara lain karena mendapatkan sertifikasi. 34
Kepala BKPM Gita Wirjawan mengatakan, “Pasar BlackBerry Malaysia jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Tapi kenapa membangun pabrik di Malaysia?" Lihat: “BlackBerry Bikin Pabrik di Malaysia, RI Geram” dapat diakses di http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/245251blackberry-bikin-pabrik-di-malaysia--ri-geram.
21
Hikmahanto Juwana
Ini pun yang terjadi di MEA. Negara-negara ASEAN dalam Cetak Biru 2007 diminta untuk memiliki standar tertentu atas barang dan jasa. Para pekerja untuk sektor tertentu pun harus memiliki sertifikasi. Para pencari kerja yang bersertifikasi akan mendapatkan pembebasan visa. Bahkan negara-negara ASEAN diminta untuk menerbitkan pas tertentu bagi pekerja ini. Bagi Indonesia, lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia bisa saja akan didominasi oleh para pencari kerja dari negara-negara ASEAN. Para pencari kerja yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN yang lain, dalam konteks hukum perdagangan internasional, harus diperlakukan sama dengan pencari kerja asal Indonesia. Konsekuensinya adalah para pencari kerja asal Indonesia harus bersaing dengan para pencari kerja dari seluruh negara-negara ASEAN di negerinya sendiri. Tentu ini bukan merupakan ancaman bagi Indonesia bila kualitas para pencari kerja Indonesia sama dengan kualitas para pencari kerja dari negara-negara ASEAN lainnya. Sayangnya, angkatan kerja Indonesia yang berjumlah 114 juta orang belum dipersiapkan untuk menghadapi persaingan, baik di Indonesia maupun mancanegara. Menurut Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, 67% dari angkatan kerja Indonesia masih berpendidikan SD atau SMP.35Tidak heran bila sebagian besar angkatan kerja Indonesia belum siap dan mampu bersaing dalam era MEA di Indonesia. Bila pemerintah tidak segera membenahi angkatan kerja di Indonesia terutama kualitas dari angkatan kerja tersebut, maka dapat dipastikan banyak warga negara Indonesia kalah bersaing dalam mendapatkan pekerjaan. Saat ini kondisi seperti ini sudah dirasakan. Para lulusan baru (fresh graduate) harus menunggu lebih lama untuk mendapat pekerjaan bila dibandingkan dengan lulusan baru 15-20 tahun yang lalu. Tantangan kelima, dalam integrasi ekonomi, pemerintah dari negaranegara anggota tidak boleh memiliki keberpihakan kepada pelaku usahanya sendiri. Pemerintah suatu negara yang tergabung dalam integrasi ekonomi harus memperlakukan pelaku usaha dari negara lain 35
“67% Angkatan Kerja Lulusan SD dan SMP, Menaker: Bagaimana Mau Bersaing?” dapat diakses di http://finance.detik.com/read/2015/12/23/202547/3103661/4/67-angkatan-kerja-lulusan-sd-dansmp-menaker-bagaimana-mau-bersaing.
22
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
yang juga merupakan anggota dari integrasi ekonomi secara sama. Hal ini terjadi karena prinsip integrasi ekonomi adalah pemerintah dari negara yang tergabung dalam integrasi ekonomi hanya ‘melaksanakan’ apa yang menjadi keputusan dari lembaga supranasional yang menjadi pemerintah pusat. Di Indonesia, kebanyakan pelaku usaha masih harus mendapat keberpihakan dari pemerintah. Bila pemerintah tidak lagi memberikan penguatan dan perlindungan, maka akan sulit bagi para pelaku usaha tersebut untuk berkompetisi dengan pelaku usaha dari mancanegara di negerinya sendiri. Banyak kelemahan yang dimiliki oleh pelaku usaha asal Indonesia, termasuk kecukupan modal untuk ekspansi dan biaya promosi yang sangat minim. Padahal dalam persaingan perdagangan internasional dewasa ini modal dan promosi merupakan komponen yang sangat penting.36 Tantangan keenam, dalam hukum perdagangan internasional, integrasi ekonomi berarti pada saat keputusan telah diambil oleh lembaga supranasionalnya maka negara-negara yang menjadi anggota integrasi ekonomi harus menindak-lanjuti keputusan tersebut ke dalam kebijakan dan legislasi nasionalnya. Di Indonesia untuk memenuhi hal ini merupakan tantangan tersendiri. Di satu sisi, integrasi ekonomi ASEAN menginginkan pemerintah Indonesia untuk menerapkan keputusan lembaga supranasional untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun, di sisi lain, penerapan ini dapat terbentur oleh keberadaan otonomi daerah di Indonesia. Kebijakan yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait pengejawantahan keputusan lembaga supranasional maupun ketentuan terkait integrasi ekonomi ASEAN sangat mungkin terjadi. Perbedaan ini bisa menjadi kontraproduktif bagi Indonesia. Terkait dengan hal di atas, maka tidak heran bila Cetak Biru MEA 2007 sebenarnya belum benar-benar dilaksanakan di Indonesia. Meskipun 36
Semisal sepatu merek League yang diproduksi oleh perusahaan yang sebelumnya selama 12 tahun memproduksi merek terkenal asal Amerika Serikat,Nike. Meski dari segi kualitas League sama dengan Nike namun karena minimnya biaya promosi maka League belum mampu berpenetrasi ke mancanegara.
23
Hikmahanto Juwana
Menteri Perdagangan menyatakan Indonesia telah melaksanakan 92,7% dari aksi Cetak Biru MEA 2007. Terakhir, dalam hukum perdagangan internasional, integrasi ekonomi memberikan kewenangan kepada lembaga supranasional untuk membuat keputusan. Keputusan ini tidak dapat diajukan keberatan oleh komponen masyarakat di negara anggota integrasi ekonomi dengan tujuan untuk menyatakan tidak sah keputusan yang diambil di tingkat lembaga supranasional. Dalam hukum internasional, putusan pengadilan nasional yang menyatakan ketidak-sahan suatu perjanjian internasional pada prinsipnya tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari kewajiban yang termaktub dalam perjanjian internasional yang telah diikuti.37
Dalam konteks Indonesia, perlu dicatat bahwa meski ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sejumlah komponen masyarakat pernah mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 yang meratifikasi Piagam ASEAN. Mereka memandang bahwa Piagam ASEAN berpihak pada perdagangan bebas dan dapat merugikan kepentingan industri dan perdagangan nasional dan karenanya tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.38
VI.
Penutup
Dari pembahasan diatas bisa diambil beberapa kesimpulan. Pertama, dalam tiga dasawarsa terakhir pasar dan tempat berproduksi telah menjadi sumber konflik antar negara. Agar sebuah negara mampu bersaing dengan negara lain yang lebih besar maka negara tersebut 37
Pasal 46 ayat (1) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties) menyebutkan bahwa, “A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance.”; Meski Indonesia bukan negara perserta dari Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional namun ketentuan dari Konvensi ini bisa dianggap sebagai kodifikasi hukum kebiasaaan internasional. Sebagai hukum kebiasaan internasional maka Indonesia terikat pada ketentuan Pasal 46Konvensi Wina tersebut. 38 Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011.
24
Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangannya bagi Indonesia: Dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
melakukan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi merupakan keniscayaan bagi negara-negara yang harus berhadapan negara besar. Kedua, agar di kawasan Asia Tenggara terjadi pertumbuhan ekonomi dan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya maka pembentukan MEA menjadi suatu keharusan. Ketiga, ada sejumlah konsekuensi dari pembentukan MEA. Salah satunya adalah pembentukan lembaga supranasional dilingkungan ASEAN. Lembaga supranasional memiliki kewenangan untuk menerbitkan kebijakan yang harus diikuti oleh negara-negar anggota MEA. Keempat, meski suatu keharusan namun di awal pembentukannya, MEA belum menjadikan ekonomi negara-negara ASEAN terintegrasi secara penuh. Banyak kelemahan yang ada pada MEA. Terakhir, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam MEA cukup banyak. Tantangan telah diidentifikasi dalam tulisan ini. Kini saatnya pemerintah harus mengatasinya agar MEA benar-benar membawa keuntungan bagi Indonesia dan bukan sebaliknya. Jawaban pemerintah tentu tidak bisa semata pada aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional. Jawaban utama dari berbagai tantangan di era MEA bagi Indonesia adalah pendidikan bagi sumber daya manusia di Indonesia. Pemerintah harus mengalokasikan dana yang memadai bagi penempaan sumber daya manusia, tidak terbatas di kota-kota besar tetapi juga di daerah-daerah terpencil. Hal ini dikarenakan bahwa bila berbicara dalam konteks Indonesia, negeri ini akan bergantung pada sumber daya manusianya. Masyarakat, pelaku usaha dan pejabat tentu harus mengubah cara berpikir (mindset) di era MEA. Tanpa mengubah cara berpikir maka sudah dapat dipastikan Indonesia bukannya mendapat keuntungan dari MEA, justru akan mendapat kerugian.
25
Hikmahanto Juwana
Riwayat Hidup Hikmahanto Juwana
Hikmahanto Juwana adalah Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dimana ia menjadi pegawai tetap sejak tahun 1988. Di samping mengajar di almamaternya, Hikmahanto juga mengajar di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri. Hikmahanto memiliki spesialisasi dibidang Hukum Internasional, Hukum Perdagangan Internasional, Hukum Bisnis, Hukum Perusahaan Hukum Persaingan Usaha, Hukum Kontrak dan Hukum Pertambangan. Hikmahanto mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1987), LL.M dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris (1997). Hikmahanto juga mengikuti berbagai pendidikan singkat non-degree di dalam maupun luar negeri di berbagai bidang, termasuk perdagangan internasional, persaingan usaha, perancangan perundang-undangan. Di samping sebagai seorang akademisi, Hikmahanto pernah menjadi seorang praktisi hukum. Ia pernah bekerja sebagai asisten pengacara pada OC Kaligis & Associates (1986-1987), dan sebagai lawyer pada Firma Hukum Lubis Ganie Surowidjojo (1994-1997). Di samping itu ia pernah menjadi birokrat di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dengan jabatan terakhir sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Hukum dan Kelembagaan (Eselon I/b) (1999-2001). Hikmahanto juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (20042008). Hikmahanto menulis berbagai buku dan artikel yang telah diterbitkan di jurnal di dalam maupun luar negeri dan juga artikel di berbagai media massa. Di samping juga memberikan presentasi dalam seminar, lokakarya, konperensi baik di dalam maupun luar negeri.
26
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law*
Hikmahanto Juwana**
I.
Introduction
Starting from 1 January 2016, member states of ASEAN namely Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, Thailand, Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam have entered a new era with the establishment of ASEAN Economic Community (AEC).1 AEC is a vision of Head of States and Head of Governments of ASEAN that was proclaimed in 1997. This vision is stipulated in a document referred to as the ASEAN Vision 2020.2 One of the important Vision is the establishment of AEC. In addition, the establishment of AEC3 is one of the purposes of ASEAN. In the words of ASEAN Charter,4it is provided as follows, “To create a single market and production base which is stable, prosperous, highly competitive and economically integrated with effective facilitation for trade and investment in which there is free flow of goods, services and investment; facilitated movement of business persons, professionals, talents and labour; and free flow of capital.”5 * This academic speech is given in conjunction of the Dies Natalis of Universitas Indonesia. ** Professor in International Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia (UI). Received his Bachelor degree from UI (1987), LL.M. from Keio University, Japan (1992), and Ph.D from the University of Nottingham, United Kingdom (1997). The author would like to express his gratitude to his two assistants namely Dita Liliansa, SH (UI) and Anbar Jayadi, SH (UI) in their assistance to enrich this speech. 1 On 22 November 2015 in Kuala Lumpur, Head of States and Head of Governments of ASEAN member states signed the Declaration on the Establishment of ASEAN Community. 2 ASEAN Vision 2020 was signed by the Head of States and Head of Governments of ASEAN member states in Kuala Lumpur on 15 December 1997. Document can be accessed here http://www.asean.org/?static_post=asean-vision-2020. 3 AEC is one of the pillars of ASEAN Community. The other two pillars are ASEAN Political-Security Community and ASEAN Socio-Cultural Community. 4 ASEAN Charter was adopted in 20 November 2007 in Singapore. Indonesia has ratified ASEAN Charter with Law No. 38 of 2008. 5 Article 1 Paragraph (5) of ASEAN Charter.
27
Hikmahanto Juwana
From a legal perspective, the establishment of AEC has raised several questions which will be discussed here. First, what is meant by economic integration. Second, why is ASEAN would want to integrate its economy? Third, what is the legal consequences of establishing AEC? Fourth, has the establishment of AEC made ASEAN member states economy’s fully integrated? Lastly what are the challenges for Indonesia in AEC from the perspective of international trade law?
II.
Economic Integration
The object of dispute among countries in the last three decades has no longer been focusedon territory,6 or struggle to expand ideological influences that created Cold War between Western and Eastern Bloc.7The object of dispute has been the expansion of market and production base. In expanding the market and production base, state relies on its business firms. The firms are the one who produce goods, services and intellectual property. A state has a role as regulator. In some countries, if state wants to run a certain business, then such will be done through a state owned enterprise. In short, transactions among states or kingdoms in the last two centuries have diminished.8 Why then a market of a country become an object of dispute? Moreover, why states also compete to become a production base for business firms?
Market become an object of dispute because market can enhance state’s economy and to open up jobs. Foreign market of goods, services and intellectual property is the basis for state having economic power to maintain its status.
6
Territory is no longer become the object of dispute since the end of the World War II. Influence and ideology does not become the object of dispute anymore proved by the fall of Berlin Wall that was separated West and East Germany. 8 Even though states can procure products and services that are supplied by other business firms from other countries, not the states themselves. For instance: jet fighter procurement when the procurement is conducted by Defense Ministry in the name of the state, but the one who provide the jet fighter is other business firms from other countries. 7
28
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
The economy of a state will not grow if such state only depends on its national market. Furthermore, the economy of a state may not sustain if it only depends on its natural resources since the natural resources are scarce and will be exhausted over time. Countries having economic power will encourage their business firms to expand its market abroad. Expanding market means to create demand which in the end will open up jobs opportunities for the people. Job creation is important as government has the responsibility to give welfare to its people. Opening jobs is an important task of the government all over the world. Apart from job creation, the expansion by business firms abroad will also contribute to state’s revenue and become the engine of growth. Therefore, it is natural for state to facilitate its business firms in order for them to expand their foreign market. Japan, for example, is a country with a large population, but with limited natural resources. Its government has been relying on its business firms to expand expansion. It is of no surprise that business firms, in particular small and medium enterprises, are facilitated by the government so that they can expand their market abroad. The effort is done through the establishment of semi-government representative in various countries referred to as Japan External Trade Organization (JETRO).9 JETRO has been assisting Japanese business firms in many ways, from giving information about the destination countries, finding local partners, providing translators and providing a place for the firms to meet face to face with the local partners, and providing references related to law and regulations, and dispute mechanism in the destination countries. The close cooperation between Japanese government and business firms in penetrating foreign market is widely known as Japan Incorporated. Nonetheless, in certain aspects, government of certain states gave excessive supports which categorized as unfair trade under the 9
As of now, JETRO is not only promoting Japanese business firms to expand their market abroad, but also to promote Japan as investment place. See: .
29
Hikmahanto Juwana
international trade law. To take example rendering subsidies to its business firms so to afford them to sell their goods or services comparatively cheaper in the destination countries than local business firms. In the current world situation there are four categories of states in the interplay between business firms and its domestic markets. The first category is countries that have many solid business firms and have huge domestic market. Second category is countries that have many solid business firms, but have a small size of domestic market. Third category is countries that do not have many solid business firms, but have huge domestic market. Lastly is countries that do not have both many solid business firms and huge domestic market. A country deemed to have a huge domestic market if it has four characteristics. First, it has large population in which the middle income continues to raise. Secondly, the consumers can easily change their preferences. Preferences can easily change through advertisement. Third, the consumers have high purchasing power. Without a high purchasing power then there will be no interest from foreign firms to sell their goods as the goods will be counterfeited and dominate the market. If the foreign firms see the market is nurturing then they will penetrate their goods with demand to the government of destined countries to have strict intellectual property laws. Lastly, the government with huge market is not tacit in exhausting provisions of international trade law so to protect its local firms. The government which foregoes the goods and services from other countries is a susceptible target of foreign firms. Meanwhile countries compete to become the production base for domestic and foreign firms because it can create jobs. Apart from that, if a country becomes a production base for multinational companies, it is expected that there will be transfer of technology to the local business firms. Hence, governments especially form developing countries will compete by offering a conducive investment climate, tax incentives, and promote competitive labor costs in attracting foreign investors. 30
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
A conducive investment climate means a country will have the following: a) human resources that have education and skills; b) business and legal certainty; c) provides tax incentives; d) sufficient infrastructures, in particular electricity; e) clean and reliable bureaucrats; and f) have strong law and regulations as well as its enforcement, primarily in the area of intellectual property rights. These factors will make a particular country have high competitiveness and to be the production base compared to other countries. Business firms that are targeted to invest are firms wish to move its production base in their countries or in other third countries. This is due to the high cost for production or the business become a sunset industry. Other than that, foreign firms may want to be close to their consumers so that they can sell their goods more cheaper than if the goods are made in origin countries. However, to be able to penetrate in foreign markets as well as to make foreign country as their production base, business firms often face challenges from local governments. The challenges for goods and services are in the form of trade barriers in the form of tariff and nontariff. Meanwhile if the foreign firms are moving their production base, they will face discrimination and the threat to be nationalized by local governments. In this context, to minimize and even remove the many barriers to trade as well as to afford guarantee and protection for the business firms to run their business, countries of origin of those firms and countries that has market as well as countries that become a production base enter into an agreement. This type of agreement is referred to as Free Trade Agreement. The Free Trade Agreement can be in the form of bilateral, regional and multilateral. The purpose of the agreement is to make trade between countries similar to trade between provinces within a country where there are no trade barriers. In its development, Free Trade Agreement is enhanced to be a Free Trade Area Agreement. The Free Trade Area later on can be escalated to become an economic integration in a form of economic community.
31
Hikmahanto Juwana
In an economic integration, economic activities of member countries which relates to market and production base become one or integrated. In the economic integration the market and production base of member countries become one due to the existence of supranational bodies that issue policies from time to time so that every country within the economic integration has transform them into national policies. Integration, from the political and operational perspective, is the presence of supranational institution in which there are joint activities regulated by such institution as higher authority.10 Economic integration in a simple way can be construed as integration in economic field with its main purpose is to conduct liberalization of trade among countries within that economic integration.11 Furthermore, economic integration can be seen as a circumstance where national economy does not anymore become barriers, but become one entity instead.12 Economic integration cannot be done if there is no action of surrendering of one’s sovereignty either partially or completely from participating countries.13 Economic integration in the last couples of decades has been deemed as a strategic step to strengthen competitiveness to go against countries which take over market and production base. Based on the need to strengthen this competitiveness, it comes to no surprise that countries in Europe formed European Economic Community (EEC). The EED was established in 1957 based on the Treaty Establishing the European Economic Community or Treaty of Rome.14
10
Salif Kone, “Is Economic Integration Between Developing Countries a Singular Process”, Journal of Economic Intergration, Vol. 27, No. 3 (September 2012), can be accessed at , p. 389. 11 Ibid, p. 390. 12 R. H. S. Samaratunga dan E. A. Weerasinghe, “Economic Integration: A Review of the Concept”, Journal of Management Science 1 (1&2) 2002, p. 173. 13 Salif Kone, Op.cit. 14 Signatories and initial member of EEC are Belgium, France, Italy, Luxemburg, Netherlands, and West Germany.
32
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
In 1993 EEC has transformed itself to become European Union (EU).15A fundamental factor that distinguish EEC and EU is the introduction of single currency of Euro. It would not be impossible if EU in the future will be transformed again into The United States of Europe (USE). If so, then integration happen will not only in economic sense, but also politically.The USE will abolish sovereignty of EU member states even though each of them will maintain their own legal system.
III.
AEC: Economic Integration in Southeast Asia
In the ASEAN context, one of the aims and purposes of the establishment of ASEAN as stipulated in the Declaration of 1967 is,“to accelerate the economic growth, social progress and cultural development in the region through joint endeavors in the spirit of equality and partnership in order to strengthen the foundation for a prosperous and peaceful community of Southeast Asian nations.”16 However, after its establishment until the end of 1980, ASEAN was more focus on international politics affairs. Only in 1997, the Head of States and the Head of Governments of ASEAN formulated ASEAN vision in 2020 that ASEAN will become “….a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies”. In the 2003, the Head of States and the Head of Governments of ASEAN declared to form ASEAN Community. This Declaration is dubbed as Bali Concord II. In the Declaration it is stated that “An ASEAN Community shall be established comprising three pillars, namely political and security cooperation, economic cooperation, and socio-cultural cooperation”. 15
There are 28 countries as of 2015 that are EU member states namely: Austria (1995), Belgium (1958), Bulgaria (2007), Cyprus (2004), Croatia (2013). Czech Republic (2004), Denmark (1973), Estonia (2004) Finland (1995), France (1958), Germany (1958), Greek (1981), Hungary (2004), Ireland (1973), Italy (1958), Latvia (2004), Lithuania (2004), Luxemburg (1958), Malta (2004), The Netherlands (1958), Poland (2004), Portugal (1986), Romania (2007), Slovakia (2004), Slovenia (2004), Spain (1986), Sweden (1995), United Kingdom (1973). 16 Number 2 (1) of the 1967 ASEAN Declaration.
33
Hikmahanto Juwana
Furthermore, in 2007 the Head of States and the Head of Governments of ASEAN agreed to establish AEC in 2015, five years earlier from the initial plan. It is important to note that AEC is different from ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA is a trade bloc (not economic integration) of ASEAN member states. The existence of AFTA will reduce and remove import and exports duties from ASEAN member states as long as import and export goods are made in ASEAN member states. Under AFTA, even though each ASEAN member state can impose different tariffs of imported goods from various countries, but imported goods that are coming from ASEAN must impose the same tariff. The purpose is to encourage intra-ASEAN trade. The existence of AFTA was based on the Common Effective Preferential Tariff (CEPT). The tariff is in the range of 0-5%. This is different from AEC. The AEC is not intended for firms of ASEAN member states, but it is intended for investors from various part of the world that want to invest in ASEAN countries. The investors will be treated the same when they want to invest in any country of ASEAN. Each ASEAN member states must give the same incentives to investors. Thus, for this reason ASEAN member states may not compete with each other in attracting foreign investors. In short, even though sovereignty is still in each ASEAN member states, but in terms of market and production base, the ASEAN member states is considered to be a “province” that must follow policies from the “central government”. The “central government” here is the decision making forum among ASEAN officials, including Head of States and Head of Governments. This forum becomes the supranational body.
34
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
In the ASEAN Charter, the supranational bodies consists of ASEAN Summit17, ASEAN Coordinating Council,18ASEAN Community Councils,19 and ASEAN Sectoral Ministerial Bodies.20 The ASEAN summit is a forum for the Head of States and the Head of Governments of ASEAN members. The ASEAN Coordinating Council is a forum for the Minister of Foreign Affairs of each ASEAN member states. Furthermore, ASEAN Community Council will depend on each community namely the ASEAN Political-Security Community Council, the ASEAN Economic Community Council and the ASEAN Socio-Cultural Community Council. As for the member for each council, they are appointed representative from each ASEAN member states.21 Every decision taken by the supranational body that relate to market and production base must be implemented by ASEAN member states. This is in inline with the provision stipulated under Article 9 Paragraph (4) of ASEAN Charter which states as follows:22
17
Article 7 of ASEAN Charter. Article 8 of ASEAN Charter. 19 Article 9 of ASEAN Charter. 20 Article 10 of ASEAN Charter. In Annex I,institutions that are under AEC are ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM), which contain the High Level Task Force on ASEAN Economic Integration (HLTF-EI) and the Senior Economic Officials Meeting (SEOM); ASEAN Free Trade Area (AFTA) Council; ASEAN Investment Area (AIA) Council; ASEAN Finance Ministers Meeting (AFMM) contained ASEAN Finance and Central Bank Deputies Meeting (AFDM) and the ASEAN DirectorsGeneral of Customs Meeting (Customs DG); ASEAN Ministers Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF) which contain the Senior Officials Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (SOM-AMAF) and the ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF); ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) containing Senior Officials Meeting on Energy (SOME); ASEAN Ministerial Meeting on Minerals (AMMin) under which there is the ASEAN Senior Officials Meeting on Minerals (ASOMM): ASEAN Ministerial Meeting on Science and Technology (AIMST) under which there is the Committee on Science and Technology (COST); ASEAN Telecommunications and Information Technology Ministers Meeting (TELMIN) under which there are Telecommunications and Information Technology Senior Officials Meeting (TELSOM) and the ASEAN Telecommunication Regulators' Council (ATRC); ASEAN Transport Ministers Meeting (ATM) which exist underneath Senior Transport Officials Meeting (STOM); Meeting of the ASEAN Tourism Ministers (M-ATM) under which there are Meeting of the ASEAN National Tourism Organisations (NTOs ASEAN); ASEAN Mekong Basin Development Corporation (AMBDC) under which there are the ASEAN Mekong Basin Development Corporation Steering Committee (SC AMBDC) and the High Level Finance Committee (HLFC); ASEAN Centre for Energy; ASEAN-Japan Centre in Tokyo. 21 Article 9 Paragraph (3) of ASEAN Charter. 22 Article 9 Paragraph (4) of ASEAN Charter. 18
35
Hikmahanto Juwana
“In order to realise the objectives of each of the three pillars of the ASEAN Community, each ASEAN Community Council shall: (a) ensure the implementation of the relevant decisions of the ASEAN Summit; (b) coordinate the work of the different sectors under its purview, and on issues which cut across the other Community Councils; and (c) submit reports and recommendations to the ASEAN Summit on matters under its purview.”
One of an important decision that has to be implemented by the ASEAN member states prior to the establishment of AEC is AEC Blueprint 2007. The Blueprint was decided by the Head of States and the Head of Governments of ASEAN member states in the 2007 Declaration in Singapore (the 2007 AEC Blueprint).23 On November 22, 2015 in its 27th meeting in Kuala Lumpur the ASEAN Summit has adopted further Blueprint referred to as AEC Blueprint 2025. Thus, to date there are two blueprints of AEC. First is the 2007 AEC Blueprint which has expired with the establishment of AEC on January 1, 2016. This Blueprint has expired. The second Blueprint is the 2025 Blueprint in which aim to further strengthen AEC. The two Blueprints of AEC is similar in the past to Indonesia’s State Guidelines (Garis-garis Besar Haluan Negara/GBHN). The 2007 AEC Blueprint was made based on four pillars that are connected with each other namely: (a) single market and production base; (b) economically high competitive region; (c) region with fair and a just development; (d) region that fully integrated to global economy. Each pillar has a number of actions that must be fulfilled by each ASEAN member states. Below is the table related to agenda of actions of each pillar:
23
Declaration of the ASEAN Economic Community Blueprint dated on 20 November 2007.
36
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
Table 1 Agenda from Four Pillars in the 2007 AEC Blueprint No.
Pillar
Agenda
1.
Single market and production base
Free flow of goods, free flow of services, free flow of investment, freer flow of capital, free flow of skilled labour, priority integration sectors, food agriculture and forestry.
2.
Economically high competitive region
3.
Region with fair and a just development
Competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), infrastructure development, taxation, ecommerce. Small and Medium Enterprises (SMEs) development, initiative for ASEAN Integration.
Number of Actions 98 actions.
44 actions.
8 actions.
Note The existence of goods, services, capitals, and labors is meant to achieve one goal namely ASEAN can be one competitive and productive single market. One of the pivotal action to perform this, for instance, the need to have transparency and accountability from ASEAN member states. And, for priority integration sectors is meant to have priority sectors that can boost and become the stimuli for ASEAN economic integration. In order to become economically high competitive region, through this agenda, ASEAN does not forget the important to have a fair competitive culture and people-centered approach in ASEAN.
Bearing in mind of ASEAN diversity, this agenda was meant for SMEs in ASEAN can develop themselves in the same pace with each other, and the division of CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, and Vietnam) and ASEAN-6 does not aim to make separation among 37
Hikmahanto Juwana
No.
4.
Pillar
Region that fully integrated to global economy
Agenda
Coherent approach towards external economic relations, enhanced participation in global supply networks.
Number of Actions
4 actions.
Note ASEAN member states, but to give help to each other so that ASEAN member states can compete in fair manner. Action related to this agenda inter alia is to develop ASEAN international relations in economic fields both regional and multilateral and ASEAN must adopt best practices and standards from international level, for instance in terms of production and distribution.
To take a concrete example, in allowing for managed mobility or facilitated entry for the movement of natural persons engaged in trade in goods, services, and investments, according to the prevailing regulations of the receiving country, one of the actions taken by ASEAN member is to “(F)acilitate the issuance of visas and employment passes for ASEAN professionals and skilled labour who are engaged in crossborder trade and investment related activitiesof free flow of skilled labor, in order for natural persons establish relationships to the trade scheme of products, services, and investments that are freely move in recipient state, then ASEAN must facilitate them in issuing visa and worker permit. Visa and worker permit is aim to professional workers in ASEAN that relates to the trade and investments. Another example is in facilitating the free flow of services (by 2015), ASEAN member has worked towards harmonization and standardization, with a view to facilitate their movement within the region. The actions taken are to: (i) Enhance cooperation among ASEAN University Network (AUN) members to increasemobility for both students and staff within the region; (ii) Develop core competencies and qualifications for job/occupational and trainers skills required in the priority services sectors (by 2009); and in other services sectors (from 2010 to 2015); and 38
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
(iii) Strengthen the research capabilities of each ASEAN Member Country in terms of promoting skills, job placements, and developing labour market information networks among ASEAN Member Countries. These actions started in 2007 and all of them had been completed on December 31, 2015. However, a number of countries has reported that they have not carried out all these actions entirely by December 31, 2015. For instance, Indonesia was only able to implement 92.7 per cent or 469 of the total of 506 measures in the AEC Blueprint 2007.24 The incompleteness was recognized as well in the AEC Blueprint 2025, it is stated as follows: “The implementation of the ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint 2015 has been substantively achieved in, among others, eliminating tariffs and facilitating trade; advancing the services trade liberalisation agenda; liberalising and facilitating investment; streamlining and harmonising capital market regulatory frameworks and platforms; facilitating skilled labour mobility; promoting the development of regional frameworks in competition policy, consumer protection and intellectual property rights; promoting connectivity; narrowing the development gap; and strengthening ASEAN’s relationship with its external parties.”25 In essence, AEC has been established. This is because actions have been carried out gradually by the governments of ASEAN member states. On January 1, 2016 ASEAN economies have been integrated. Currently ASEAN’s economy has become the seventh largest economy in the world with a Gross Domestic Product of $ 2.4 trillion in 2013.26 24
“Mendag Lembong: Implementasi Cetak Biru MEA Sulit” accessed from. 25 Introduction of AEC Blueprint 2025, page 1, accessed from. 26 Asian Development Bank, “ASEAN Economic Community: 12 Things To Know,” accessed at . The Vice President of Asian Development Bank, Stephen P. Groff, stated that if the ASEAN growth trend continues, ASEAN economy will be the fourth largest in the world in 2050 (Asian Development Bank, “Keynote Speech: ASEAN Integration and the Private Sector – Stephen P. Groff,” accessed from).
39
Hikmahanto Juwana
Meanwhile, the single marketof AEC has become a large market with a combined population of more than 600 million people. This number is greater than the population of the European Union and the United States.27 This makes AEC market as the third largest in the world after China and India where each of them reach more than 1,000 million people. Picture 1. Info Graphic on ASEAN Economic Community
Source: ASEAN Secretariat
27
28
According to a data from ASEAN Secretariat, in 2014, European Union population reaches about 504 million people while the United States population reaches 319 million (ASEAN, “ASEAN Economic Community At A Glance,” dapat diakses di ). 28 ASEAN, “ASEAN Economic Community at a Glance,” accessed from.
40
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
Picture 2. Info Graphic ASEAN Economic Community
Source: ASEAN Secretariat
29
ASEAN is currently performing the AEC Blueprint 2025. Thus, more actions are required to perform by each of ASEAN member states. In the AEC Blueprint 2025, it is decided that there will be eight professions that will be opened for ASEAN nationals, namely doctors, dentists, nurses, accountants, surveyors, architects, engineers and professionals in the tourism industry.30
IV.
AEC: Has the Economy Integrated?
The AEC Blueprint 2007 has set out what are the actions to be achieved prior to the establishment of AEC. It is conceiving if all members of 29
Ibid. These eight professions merely covers 1.5 percent of the total ASEAN work forces (ASEAN Up, “Overview of the ASEAN Skilled Labor Market,” accessed at ).
30
41
Hikmahanto Juwana
ASEAN have taken the actions as provided under the Blueprint 2007, by January 1, 2016 ASEAN members’ economy will be fully integrated. Unfortunately, this is not the case. The establishment of AEC has not made ASEAN member states’ economy fully integrated. There are at least four reasons why this is the case. First, even though ASEAN member states asserted that they have fulfilled all actions as set out in the AEC Blueprint 2007 above 90%, yet in reality it cannot be felt whether it has been satisfied or not.31 Although there has yet been any academic survey on the issue, many have regarded that the process toward the establishment begun on January 1, 2016. It was not conceived that AEC’s establishment has been completed by December 31, 2015. This can be seen from various statements from government officials, businessmen and people in general. Secondly, in the era of AEC, a number of ASEAN states still compete among themselves to attract investors from outside ASEAN.32This is not in line with the presence of AEC. There should no longer be a competition among ASEAN member states to be a production base for foreign investors. Thirdly, from the perspective of business firms outside of ASEAN, although ASEAN has become a single market but various economic policies still remain the same as before. For instance, there is no significant change in Indonesia. According to a survey by the World Bank regarding ease of doing business. Indonesia’s rank only changes slightly,
31
The Government and ASEAN Secretariat feel that more than 80% of their objectives have been met. On the contrary, private sector feels otherwise and does not see the evidence of progress when it comes to the ease of doing cross-borders business (Bangkok Post, “ASEAN Economic Community 2015: Ready or Not, Here It Comes,” accessed from ). Research by Deloitte shows that many businessmen who conduct business in Southeast Asia does not have a clear understanding on AEC nor the impact it has on their businesses (Deloitte, “The ABC of AEC To 2015 and Beyond,” accessed from ). 32 “Franky Sibarani: Kita Tak Bisa Tenang karena ada Vietnam,” accessed from .
42
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
from 120 to 109.33 For this, President Joko Widodo has asked its ministers to cut the length of licensing process. Lastly, in most of ASEAN member states, including Indonesia, there is often a gap between what the laws say and the reality. Similarly, the AEC Blueprint 2007 has only been translated into a checklist in which it is filled out as “have been performed” although in fact they have not. In the end, whether or not AEC exists, governments of ASEAN states continue their running of the government on the basis of 'business as usual.' Under this kind of understanding, it is not surprising that the existence of AEC is not a threat.
V.
Indonesia’s Challenges in AEC
Prior to identifying what are the challenges that Indonesia has to face, at least two upsides will be elaborated first. First, Indonesia can benefit from the AEC to enlarge the market for Indonesian goods and services. Second, Indonesia's participation in the AEC is expected to enable Indonesia to expand its labor market more broadly for Indonesian work force. Therefore, it is not surprising that Indonesian government, from the Soeharto administration to Joko Widodo administration insist its commitment to participate in theAEC. However, when ASEAN 2020 was envisaged in 1997, Asia especially Southeast Asia was going through a fantastic economic growth. At that time, Indonesia believed that in order to gain prosperity in the Southeast Asian region, the economy must be integrated. Indonesia even has the confidence to lead and to lend color to ASEAN. However, since 1997 Indonesia has gone through a number of crises, including several times of economic slowdown. Economic crisis has ravaged the economic progress that has been achieved. Those crises have tarnished Indonesia’s confidence to lead and to lend color to ASEAN. Moreover, 33
World Bank Group, Doing Business 2016; For more data on Indonesia can be accessed at .
43
Hikmahanto Juwana
financial crisesin Indonesia have resulted in fundamental changes in all aspects of life. In politics, Indonesia undergoes fundamental changes with democracy. Prior to 1998, democracy is merely a slogan. But, after 1998, it is run as it should be. The Government was not the only authority who has the decision-making power. In today's democratic realm, decision made by the government must consider people’s aspirations. Similarly, Indonesia encounters fundamental changes in the relationship between the central government and the local governments. Regional autonomy has turned the local governments to be more powerful than the central government. What is ordained by the central government may not be complied with by the local governments, whether provincial and/or regency. Fundamental changes also occurred in legal sphere. The judiciary bodies become more independent and do not always sided with the governments in cases involving them. Law enforcers such as prosecutors and police can no longer be controlled by a higher authority in carrying out their duties and functions. In the social sector, people are very active to get involved in state affairs. The form of public participation is often played out through various nongovernmental organizations and social media. These fundamental changes indicate that the current Indonesia is not the same as Indonesia prior to 1998. Therefore, the benefits of AEC as expected by Indonesia may not be realized. In the context of international trade law, many challenges overshadow the enforceability of AEC for Indonesia despite massive dissemination by officials that Indonesia is ready for AEC and will reap the benefits. The first challenge is over whether Indonesia can provide color at the policy-making supranational body within ASEAN related to the presence of the AEC. It must be understood in the context of the AEC that Indonesia will become a 'part' of a large entity of ASEAN when it comes to market and production base. It means that in the context of Indonesian economy, 44
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
Indonesia is merely a province of ASEAN and shall comply with the supranational body as the central government. If Indonesia cannot lend color to the decision-making related to market and production base, Indonesia’s national interests may be sacrificed. Therefore Indonesian officials are required to speak out and act assertively at the supranational forum in ASEAN level when Indonesia's national interests are at stake. Unfortunately, most Indonesian bureaucrats are not as expected. They are often criticized when they meet their foreign counterparts because they can not exhibit their assertiveness, reluctant inengaging in debates, do not have adequate English skill, do not have valid data on Indonesia, and they lack understanding of Indonesia’s national interest. As a result, Indonesia is unable to lend color to supranational body in the level of ASEAN. In AEC, Indonesia will not dominate in decision making. But member state that has a small market but strong economic power will dominate the decision-making for the AEC. The question is whether Indonesia is willing that its market and production base is controlled by smaller countries. The fact is in the context of ASEAN, Indonesia is a country that has a considerable market even though it does not have a many solid and efficient business firms. Indonesia also has the largest labor force among ASEAN countries thus jobs should be made available for them. The second challenge is that in international trade law, economic integration provides a significant impact to the goods or services that are going into a country. Those goods and services which enter one country shall be accepted as well by other countries that are members of economic integration. On this basis, foreign business firms will put in goods or services to a particular country even though its target market is other countries that are members of economic integration. When it is applied to AEC, foreign businesses firms might export goods or services, even build a factory in Singapore, Malaysia or Thailand, but the goal is to target Indonesian market. It happens because the rules and investment climate in Singapore, Malaysia or Thailand are considered to be more favorable than Indonesia. This is what has 45
Hikmahanto Juwana
occurred and may continue so when foreign business firms taking advantage of CEPT. For foreign firms, capitalizing on CEPT to target Indonesian market is more profitable than building a factory in Indonesia. In other words, the imposition of tariffs based on the highest CEPT, which is 5%, is far more profitable than having to face illegal levying, slow bureaucracy, frequent labor demonstrations, and legal uncertainty that are often associated to Indonesia. The third challenge is that various circumstances had trigger foreign firm’s reluctance to choose Indonesia as a production base, such as poor investment climate. This will have impact on the jobs creation in Indonesia. It means, there is no correlation between a large market and opening jobs. Today many large Japanese companies relocate their factories to ASEAN countries outside Indonesia despite the goods manufactured are targeted for Indonesia. This is also occurred when Canadian based company Blackberry, a wireless telecommunication company that has a substantial market in Indonesia but decided to open its factory in Malaysia. This had sparked disappointment of Indonesian government, including the Head of the Indonesia’s Investment Coordinating Board who expressed his fury to the media.34 The fourth challenge is economic integration in international trade law requires equality. This equality creates a non competition among member states of economic integration. One of the parameters of that equality is the quality of goods and services as well as job seekers. The quality of goods and services manufactured in one country shall have the same quality as with other countries belonging in certain economic integration by providing certain standard. This applies also to for job seekers, they have the freedom to go in and out of the member states within that economic integration. They can move from one country to another as they have been certified. 34
Head of the Indonesia’s Investment Coordinating Board, Gita Wirjawan, stated that, “Pasar BlackBerry Malaysia jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Tapi kenapa membangun pabrik di Malaysia? (Blackberry’s market in Malaysia is far less than Indonesia, but why do they build a factory in Malaysia?)" See: “BlackBerry Bikin Pabrik di Malaysia, RI Geram” accessed from .
46
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
It also happens in the AEC. Under the AEC Blueprint 2007 member states have been asked to exempt visa and to have certain standards for goods and services. Job seekers for certain sectors are also required to have certain certification. Certified job seekers will receive visa exemption. In fact, some ASEAN countries were asked to issue a specific pass for these labors. For Indonesia, the jobs that are available may be dominated by job seekers from ASEAN countries outside Indonesia. The job seekers from other ASEAN member states, in the context of international trade law, shall be treated equally with the job seekers from Indonesia. The consequence is that Indonesian job seekers must compete with job seekers from all ASEAN countries in their own country. Of course this is not a threat to Indonesia if the quality of Indonesian job seekers is comparable to the quality of those from other ASEAN countries. Unfortunately, Indonesia’s workforce totaling of 114 million people are not yet prepared to face the competition, both in Indonesia and abroad. According to the Indonesian Minister of Manpower, 67% of Indonesia’s workforces only reached elementary or junior high school.35It is not surprising that the majority of them are not ready and unable to compete in AEC. If the government does not immediately improve their capacity, it is certain that many Indonesian citizens will be unable to compete in obtaining an employment. These conditions are currently happening. Current fresh graduates have to wait longer to get a job compared to fresh graduates in 15-20 years ago. The fifth challenge is that in economic integration, the government of the member countries are not allowed to take sides on their own business firms. The government of a country that is a member in economic integration shall treat other business firms of the same economic integration equally. The reason is that the principle of economic integration stipulates that the government of a country which
35
“67% Angkatan Kerja Lulusan SD dan SMP, Menaker: Bagaimana Mau Bersaing?” accessed from .
47
Hikmahanto Juwana
belongs to economic integration only 'carries out' the decision of the supranational body. In Indonesia, most business firms are still dependent ongovernment’s support. If the government does not provide reinforcement and protection for them, it will be difficult for them to compete with foreign business firms in their own country. There are many weaknesses plaguing Indonesian business firms, including inadequacy of expansion capital and minimal promotion costs. In today's international trade competition, capital and promotion are a very important component.36 The sixth challenge, in international trade law, economic integration means that when a decision has been made by a supranational body, the member states of economic integration shall incorporate it into its national policies and legislations. In Indonesia, to meet this condition is a challenge. On the one hand, ASEAN economic integration wants the Indonesian government to implement the decisions of the supranational body for the entire Indonesia. On the other hand, this implementation may bump into the regional autonomy. Different reactions and policies between the central government and the local government regarding the implementation of supranational body’s decision or relevant provisions of ASEAN economic integration is likely to occur. This difference could be counterproductive for Indonesia. It is not surprising that the AEC Blueprint 2007 has not really been implemented in Indonesia although the Minister of Commerce said that Indonesia has performed 92.7% of the actions embodied in the AEC Blueprint 2007. Lastly, in international trade law, economic integration gives a power to supranational body to make decisions. This decision cannot be objected by the citizen of economic integration’s member States for the purpose of declaring it invalid. Under international law, national court rulings 36
For example, shoes brand called League produced by a company which previously produced famous brands from the United States, Nike, for 12 years. Although in terms of quality, League is the same as Nike, but due to lack of promotion costs, League has not been able to penetrate into foreign markets.
48
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
that decide upon a non-validity of an international treaty cannot be used by a State as a reasonfor non compliance.37 In Indonesian context, it should be noted that although it was rejected by the Constitutional Court, a coalition of NGOs filed a judicial review of Law No. 38 of 2008 on the Ratification of the ASEAN Charter. They believe that the ASEAN Charter is in favor of free trade and could harm the interests of industry and national trade therefore it contradicts with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.38
VI.
Conclusion
From what has been discussed above there are several conclusions that can be drawn. First, in the last three decades market and production base has become a source of conflict between states. In order for a country to be able to compete against much stronger states then such state has to integrate its economy with other states. Economic integration is inevitable for a lesser state when they have to face with a much stronger state. Second, to make Southeast Asian region to have economic growth and to be able to give prosperity for their people, the establishment of AEC is a must. Third, there are legal consequences from the establishment of AEC. One of those is the establishment of a supranational body within ASEAN. The supranational body will have the power to issue policies which has to be followed up by states within AEC. Fourth, although it is a must nonetheless after the establishment of AEC, ASEAN member states’ economy has yet fully integrated. There are a number of weakness of AEC.
37
Article 46 (1) of the Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) stipulates that, “A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance.” Even though Indonesia is not party to the VCLT, the provisions embodied in the VCLT can be regarded as a codification of customary international law. As a customary international law, therefore, Indonesia is bound to the Article 46 (1) of the VCLT. 38 Case Number 33/PUU-IX/2011.
49
Hikmahanto Juwana
Lastly, there are challenges faced by Indonesia in AEC. These challenges have been identified in this paper. Now it is time for the government to overcome these challenges in order to capitalize on AEC for Indonesian benefits and not vice versa. The government's response cannot solely be on the rules or international trade law. The main response from those challenges faced by Indonesia in the AEC era is education for all of the human resources in Indonesia. The government should allocate sufficient funds in shaping human resources, not only limited in big cities but also in remote areas. Shaping the human resources is important because as an entity Indonesia will depend on its human resources. The people, businessmen and government officials for sure will have to alter their mindset in AEC era. Without changing their mindset, it can be ascertained that Indonesia will incur losses from AEC rather than benefit from it.
50
ASEAN Economic Community and Its Challenges for Indonesia: From the Perspective of International Trade Law
CV Hikmahanto Juwana Hikmahanto Juwana is a Professor of Law at the Faculty of Law Universitas Indonesia, where he has lectured since 1988. Since then he has been regularly invited to teach at various universities, both in Indonesia and abroad. He specialized in International Law, Indonesian Business Law, Arbitration Law, Competition Law, Contract Law and Mining Law. Hikmahanto earned his LL.B from the Faculty of Law Universitas Indonesia (1987), LL.M from Keio University, Japan (1992) and Ph.D from University of Nottingham, UK (1997). He is experienced in various legal works. He has practiced as a lawyer at OC Kaligis & Associates, a top litigation firm based in Jakarta, and Lubis Ganie Surowidjojo, a top non-litigation firm based in Jakarta. He has also served the Government, where he was Senior Legal Advisor at the office of the Coordinating Minister for Economic Affairs. He has also experienced being as administrator at the University when he was appointed as Dean at the Faculty of Law Universitas Indonesia (20042008). In assiting the Government, Hikmahanto serves as non-permanent advisors to various ministers, inclunding Attorney General Office, Minister of Defense, Minister of Energy and Mineral Resources, Minister of Trade, Minister of Foreign Affairs. He is also a regular resource person for the House of People’s Representative (DPR) and the House of Regional Representative (DPD). Hikmahanto writes extensively on wide variety of legal issues in his area of specialization, and his works are published in many academic journal as well as mass media. He is frequently invited as speaker at various national and international seminars and workshops.
51