OPINION LEADER SEBAGAIAKTOR PEMBENTUKAN NILAI-NILAIILAHIYAH DIKALANGAN REMAJA Mokh. Nazili Fakultas Dakivah IAIN Sunan Kalijaga
Abstract A proselytizers an opinionleader is one who is capable to influence someone else well, informally and contantly, principally in religious aspect. A proselytizer have substantive and methodologic competenly and also tobe at one with the youth community. The proselytizer and the youth interaction continuously in the honor councils to exchange knowledges and experiences making easier for the youth to internalized the value of rabbaniyah and ribbiniyah. It will be processed by four steps; the fist; is to make ripen the value in this step, the youth need information will be got from the interaction between the honor councils members. The second step; is this result of the observation in the situation process of the honor councils will stabilize and strengthen the decission that have been dicided. The third step; is the application of the decision, the youth will be seen active in praying. The four step; is the youth have hod potterned and directed behaviour. Now, the youth have became the perfect Moslem (insane kamil). I.
Pendahuluan
Dewasa ini dunia kependidikan mulai kehilangan nilai-nilai spiritualnya. Pengaruh globalises! informasi dan materialisme menjadikan terkikisnya nilai-nilai relijiusitas. Pandangan hidup remaja mulai bergeser. Dalam menuntut ilmu, misalnya, tidak lagi sebagai realisasi ibadah melainkan didominasi oleh keinginan mendapatkan nilai bagus semata meskipun ditempuh dengan berbagai cara. Fragmentalisme materialis telah mempengaruhi dan merubah sikap mereka. Demi memperoleh keseimbangan hidup 218
Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:218-231
material dan spiritual, remaja perlu didorong memakmurkan masjid dengan datang di Majelis Taklim yang diselenggarakan takmir masjid. Kehadiran remaja di Majelis Taklim akan memberikan nuansa keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrawi ; gejolak batin sebagai akibat modernitas akan mendapatkan keseimbangan siraman ruhani yang menyejukkan. Deskripsi tersebut menandaskan kepada kita bahwa pentingnya memperhatikan bentuk, pola dan perilaku relijius di kalangan remaja. Ini penting, mengingat masa remaja adalah masa kritis tatkala kendala keluarga mulai melonggar. Selain itu proses pembentukan karakter dan sikap tidak semata pada faktor hereditas (keturunan) tetapi lebih pada faktor lingkungan sosial yang berperan besar dalam pembentukannya. Di samping itu kehidupan remaja juga identik dengan kehidupan transisional, di mana proses hidupnya di tengah budaya modernitas dengan seperangkat nilai yang menyertainya. Nilai modernitas dengan hegemoni budaya barat telah mempengaruhi nilai sosio kulhiral bahkan agama yang telah diresapi sebagai suatu keyakinan. Dalam konteks tersebut maka remaja dihadapkan pada beberapa persoalan di antaranya adalah karena masih dalam fase transisi kecenderungan untuk mengalami perubahan terhadap sesuatu yang telah ia pahami dan persepsi sebelumnya sangat tinggi. Oleh karenanya remaja sangat rentan terhadap nilai-nilai dari luar. Apabila dalam menyerap nilai-nilai baru tidak selektif maka akan berekses terhadap perkembangan pribadinya.1 Zakiah Daradjat, dalam menangani bimbingan dan konsultasi kejiwaan, mencatat pada tahun 1983 saja terdapat 321 penderita gangguan mental yang datang berkonsultasi dan 45% diantaranya adalah remaja berusia 14 sampai dengan 25 tahun. Masalah yang mereka keluhkan antara lain kesulitan belajar, kesukaran hubungan dengan orang tua, hubungan dengan guru, pergaulan muda-mudi sampai kepada hubungan sex, minuman keras, narkotika dan Iain-lain.2 Zakiah Daradjat pernah pula meneliti problem yang dialami remaja di Indonesia pada tahun 1958 dan menemukan bahwa problem yang dialami oleh remaja antara lain problem kesehatan, memilih pekerjaan dan kesempatan belajar, persiapan untuk berkeluarga, keuangan dan Iain-lain.3
'Tauf ik Hidayat, Ruh Islam Dalam Budaya Bttngsa, Agama dan Probkma Masa Kini, (Jakarta, Yayasan Fesdfal Istiqlal 1996), p. 126. 2 Zakiah Daradjat, "Kesehatan Mental; Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran", (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Jiwa pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 27Agustusl984,p. 10. 'Zakiah Daradjat, Probkniatika Remaja di Indonesia, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), p.. 84.
Opinion Leader Sebagai Aktor Pembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
219
Terlepas dari berbagai persoalan yang melatar belakangi masalah tersebut, ada tiga hal yang dapat dilihat: pertama; dari segi psikologis, remaja mengalami gejolak psikologis akibat pertumbuhan dan perkembangan fisik. Kedua, dari segi sosiologis, ada kalanya kurang perhatian orang tua atau orang dewasa yang diharapkan sewajarnya memberikan perhatian kepada mereka atau karena lingkungan sekitar remaja. Ketiga, dari segi keagamaan, karena longgarnya pegangan keagamaan atau kurangnya pengetahuan dan penghayatan keagamaan di mana agama berfungsi sebagai pengendali moral. Di masa depan, remaja menempati posisi strategis sebagai pengganti generasi tua yang secara alamiah harus merelakan tongkat estafeta masa depan bangsa, negara dan agama pada pundak remaja. Sepuluh tahun ke depan remaja telah menjadi dewasa dan menjadi pemilik masa depan itu. Remaja menjadi jenderal di garis depan bangsa dan menjadi ulama panutan umat. Melihat eksistensi dan potensi remaja bagi masa depan dan keterbatasan remaja dalam mengadopsi nilai, maka da'i dalam menampilkan diri, pemilihan materi dan juga metode dakwahnya harus mampu memenangkan perlombaan dalam penanaman nilai-nilai, di tengah persaingan ketat nilai-nilai dari institusi pers baik elektronik maupun cetak dan isme-isme yang menyesatkan. Aktivitas para da'i, di satu sisi, harus mampu memalingkan jamaahnya dari segala informasi yang menjauhkan remaja dari kebenaran agama dan di sisi lain, mampu menghunjamkan dalam nilai-nilai ilahiyah dalam dada remaja dan menjadikan aturan Allah sebagai pegangan hidup dalam pergaulan masyarakat, berbangsa dan beragama. Paparan tersebut membawa kesadaran kritis untuk mempertanyakan bagaimana corak struktur masyarakat (inklusif keluarga) sekarang ini, bagaimana proses pembentukan nilai pada remaja dan peran da'inya, bagaimana peran institusi-institusi sosial sehingga delequensi remaja tidak semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya, dan bagaimana seharusnya struktur sosial agama dan lembaga lainnya berperan dan berfungsi. Tulisan ini mencoba membahas pada pertanyaan kedua, yaitu bagaimana peran da'i dalam memilih materi dakwah sebagai proses pembentukan nilai. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas terlebih dahulu posisi da'i (opinion leader), materi dakwah dan proses pembentukan nilai (khusus untuk remaja).
220
Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:218-231
II. Opinion Leader (Da'i) : Siapa dan Kompetensi Apa yang Harus Dimiliki Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap muslim yang mukattaf (dewasa) dapat berperan sebagai muballigh atau da'i. la berkewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing. Secara khusus, adalah da'i orang yang mempunyai profesi atau sengaja mengkonsentrasikan diri untuk berdakwah karena ahli di dalam bidang agama Islam. Semangat berdakwah bagi da'i digambarkan Arnold sebagai 'semangat memperjuangkan kebenaran. Semangat itulah yang tak kunjung padam dari jiwa penganutnya sehingga kebenaran terwujud dalam pikiran, kata-kata dan perbuatan. Semangat yang membuat mereka tidak puas sampai berhasil menanamkan nilai kebenaran kedalam jiwa setiap orang, sehingga, apa yang diyakini sebagai kebenaran dapat diterima oleh seluruh masyarakat.4 Dalam proses komunikasi yang terjadi di Majelis Taklim misalnya, meminjam istilah Everett M. Rogers5, da'i dapat dikategorikan sebagai opinion leader. Opinion leader adalah orang yang cakap mempengaruhi orang lain secara baik, informal dan ajeg terutama pada aspek keagamaan dan umumnya pada aspek persoalan kemasyarakatan. Menurut Jalaluddin Rakhmad6, ada tiga faktor yang harus diperhatikan da'i supaya bisa diterima audiennya, yakni kredibilitas, daya tarik dan kekuasaan. Saefudin Azwar7 mencatat bahwa batas penerimaan dan penolakan dalam proses komunikasi dipengaruhi oleh tiga hal yaitu keterlibatan (involvement) individu, kredibilitas (credibility) komunikator dan pembedaan posisi sikap (discrepancy) individu. Semakin tinggi kredibilitas komunikator akan semakin besar penerimaan individu, sehingga pesan akan mudah diterima dan sikap tidak akan sulit dirubah. Dalam terminologi Masdar F. Masudi,8 Kyai dapat dibedakan dalam tiga tipologi (1) Kyal Mursyid (2) Kyai Jura Dakwah (3) Kyai Mutafaqqih Fil Al-ddin. Kyai Mursyid hanya memerlukan seperangkat pengetahuan-penge-
'Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, (India : Adam Publisher, 1995), p. 1. 5 Roger, Everett M., 1985, Diffusion of Innovation, (New York : The Free Press, 1985). "Jalaluddin Rakhmad, Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), p. 62. 7 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia; Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), p. 51. 8 Masdar F. Mas'udi, 1989, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta : P3M, 1989), p. 199.
Opinion LeaeterSebagai Aktor Pembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
221
tahuan tentang f iqih ubudi dan soal-soal riil yang ada di masyarakat dengan dibekali teori dan latihan yang praktis dalam bidang pengembangan masyarakat. Kyai Muballigh memerlukan kualifikasi keilmuan yang tidak perlu detail tetapi lebih beragam. la perlu mengenal istilah-istilah teknis dari ilmu tafsir, hadis, f iqih, tauhid serta dengan seperangkat psikologi sosial, ilmu komunikasi dan retorika. Demikian ini karena media komunikasinya dalam bentuk khutbah, pengajian-pengajian umum. Kyai Mutaffaqih dituntut menguasai keilmuan yang mengatasi kedua kategori kyai tadi. Kecuali penggunaan kunci persoalan ilmu-ilmu naqliyah, ia dituntut pula memiliki kemampuan penalaran yang tinggi untuk menghadapkannya dengan realitas sosial kontemporer secara dialektis. Untuk menciptakan ulama' yang demikian diperlukan penyajian ilmu-ilmu logika dan metodologi. Dari tipologi di atas, da'i dapat dimasukan dalam tipologi kedua, yaitu Kyai Muballigh. Dan sebagai subjek dakwah, agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, da'i haras mempunyai kompetensi yang cukup. Kompetensi ialah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan dan perilaku serta ketrampilan tertentu yang harus ada pada diri seseorang sehingga dapat melakukan fungsinya dengan memadai. Idealnya da'i memiliki dua kompetensi, yakni kompetensi substantif dan metodologis. Kompetensi substantif ada tujuh komponen yaitu, pemahaman agama Islam secara cukup, tepat dan benar, pemahaman hakekat gerakan dakwah, memiliki akhlakul karimah, mengetahui perkembangan pengetahuan yang relatif luas, mencintai audien dengan tulus, mengenal kondisi lingkungan dengan baik, dan mempunyai rasa ikhlas liwajhillah Kompetensi metodologis berkaitan dengan kemampuan da'i membuat perencanaan (persiapan kegiatan dakwah) dan melaksanakan perencanaan tersebut. Kemampuan perencanaan meliputi, pertama, kemampuan mengidentifikasi permasalahan dakwah yaitu mampu mendiagnosis dan menemukan kondisi keberagamaan objek dakwah yang dihadapi, kedua, kemampuan mencari dan mendapatkan informasi mengenai ciri-ciri objektif dan subjektif objek dakwah serta kondisi lingkungannya, ketiga, Kemampuan menyusun langkah perencanaan kegiatan dakwah yang komprehensif, dan keempat, kemampuan merealisasikan perencanaan dalam pelaksanaan kegiatan dakwah.' 9 Abdul Munir Mulkhan, Ideologistisi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M.Natsirdan Azliar Basyir, (Yogyakarta : Sippres, 19%), p. 237.
222
Aplikasia.JumalAplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol.! V, No. 2 Desember 2003:218-231
Di samping itu hal lain yang harus dimiliki seorang da'i adalah hubungan keterikatan secara emosional antara da'i dan objek dakwahnya, sehingga da'i "luluh" dalam lingkungan masyarakatnya10. Meleburnya da'i dalam masyarakat akan memberikan kontribusi dalam menjelaskan secara riil ajaran Islam. Menjadi penting mengetahui sistem pengetahuan atau nilai-nilai dalam masyarakat dalam pembangunan spiritual." Da'i masih harus terus menerus momong, ngomong dan ngemong pada jamaahnya setelah selesai memberikan ceramah. Perilaku da'i ini sesuai dengan teori pengembangan masyarakat sebagai siklus yang dilakukan secara terus menerus dalam berbagai kesernpatan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.12 Dalam aktivitas dakwah, hal tersebut diaktualisasikan melalui tampilnya perilaku da'i yang taat pada ajaran agama, terutama pada saat bertemu dengan remaja, menata komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal, dan melakukan kontrol terhadap perilaku remaja. Interaksi da'i dengan jamaahnya akan berpengaruh pada faktor-faktor psikologis yang terdapat dalam individu yaitu faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Bila hal demikian yang terjadi fungsi rahmatan lilalamin dari da'i akan dirasakan oleh jamaahnya. Ujungnya jamaah akan memahami apa yang diajarkan, merasakan kebenaran ajaran dan mengaktualisasikan ajaran pada semua segi kehidupannya. III. Materi Pengajaran Islam : Dimensi dan Nilai-nilai Nurcholish Madjid13 berpendapat bahwa pengajaran Islam dalam Majelis Taklim harus menanamkan dua dimensi, pertama, dimensi hidup ke Tuhanan yang merupakan jiwa rabbaniyah atau ribbiyah, dan kedua, dimensi kemanusiaan yang perwujudannya ada pada akhlakul karimah. A. Dimensi rabbaniyyah adalah : 1. Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. la tidak terbatas hanya percaya akan adanya Tuhan, tetapi meningkat menjadi sikap mempercayai kepada adanya Tuhan dan IO Bandingkan dengan Noeng Muhadjir, Kspemimpinan Adopsi Inovasi Untuk Pembangunan Masyarakat. (Yogyakarta : Rake Press, 1983). 1! Lihat http://www.deliveri.org/guideelines/ implementation/ig-2-summary-htm, 2002. "Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat. (Jakarta : Paramadina, 2000), p. 98.
Opinion LeaderSebagai Aktor Pembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
223
mempercayai-Nya. 2. Islam, sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepadaNya, dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, karena manusia sebagai makhluk yang dlaif tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya. 3. Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita di manapun kita berada. Bertalian dengan ini, menginsafi bahwa Allah selalu mengawasi akan berimplikasi terhadap munculnya aktivitas yang penuh dengan rasa tanggungjawab, tidak setengah-tengah dan tidak sekadarnya saja. 4. Taqwa, yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridlai Allah, dengan menjauhi atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai Allah. 5. Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah dan perbuatan, sematamata demi memperoleh ridla atau perkenan Allah dan bebas dari pamrih lahir dan batin tertutup maupun terbuka. Dengan sikap yang ikhlas orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan karya lahirnya baik pribadi maupun sosial. 6. Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan berkeyakinan bahwa Dia akan memberikan pertolongan dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik. Karena orang mempercayai atau menaruh kepercayaan kepada Allah. 7. Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya yang dianugrahkan Allah. Sikap bersyukur sebenarnya adalah optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah. Oleh sebab itu, sikap bersyukur kepada Allah pada hakekatnya adalah bersyukur kepada diri sendiri karena manfaat besar kejiwaannya yang akan kembali kepada yang bersangkutan. 8. Sabar, yaitu tabah menghadapi segala kepahitan hidup besar dan kecil, fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup yaitu Allah s.w.t.
224
Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:218-231
B.
Dimensi Kemanusiaan: Melalui dimensi diatas, da'i dapat menanamkan nilai-nilai akhlak mulya. Akhlaq-akhlaq dimaksud adalah : 1. Silaturrahim, yaitu pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya sesama saudara, kerabat, handai taulan, tetangga, dan seterusnya. Sifat Tuhan adalah kasih sebagai sifat Ilahi yang diwajibkan sendiri atas Diri-Nya. Maka manusia pun harus cinta kepada sesamanya agar Allah cinta kepada-Nya. 2. Persaudaraan, yaitu semangat persaudaraan lebih-lebih antara sesama kaum beriman yang disebut ukhuwah islamiyah. 3. Persamaan, yaitu pandangan bahwa semua manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya dan Iain-lain adalah sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah derajat seseorang hanya ada pandangan Tuhan yaitu siapa yang paling bertaqwa. 4. Adil, yaitu wawasan yang seimbang memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang. Jadi tidak secara apriori menunjukkan sikap positif atau negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan hanya setelah mempertimbangkan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut secara jujur dan seimbang, dengan penuh iktikad baik dan bebas dari prasangka. 5. Baik sangka, yaitu sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa manusia itu pada asal dan hakekat aslinya adalah baik, karena diciptakan Allah dan dilahirkan atas fitrah atau atas kejadian yang baik. Sehingga manusia itu pada hakekat aslinya adalah makhluk yang berkecenderungan kepada kebenaran dan kebajikan. 6. Rendah hati, yaitu sikap yang tumbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dan perbuatan yang baik, yang inipun hanya Allah yang akan menilainya. Apalagi kepada sesama orang yang beriman, sikap rendah hati itu adalah kemestian. Hanya kepada mercka yang jelas-jelas menentang kebenaran kita dibolehkan untuk bersikap tinggi hati. 7. Tepat janji, yaitu salah satu sifat orang yang benar-benar beriman ialah selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam masyarakat dengan hubungan yang lebih kompleks dan luas sikap tepat janji merupakan unsur budi pekerti yang amat diperlukan dan
Opinion LeaderSebagai Aktor Pembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
225
terpuji. 8. Lapang dada, yaitu sikap penuh kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya seperti dituturkan dalam al-Quran mengenai sikap Nabi sendiri disertai pujian kepada beliau. Sikap terbuka dan toleran serta kesediaan bermusyawarah secara demokratis terkait erat sekali dengan budi luhur lapang dada. 9. Dapat dipercaya, yaitu salah satu konsekwensi iman ialah amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya. Amanah sebagai budi luhur adalah lawan dan khianat yang amat tercela. Keteguhan masyarakat memerlukan orang-orang yang terdiri dari pribadipribadi yang penuh amanah dan memiliki tanggung jawab yang besar. lO.Perwira, yaitu sikap penuh harga diri namun tidak sombong dan tidak menunjukkan sikap memelas atau iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan pertolongan. ll.Hemat, yaitu sikap tidak boros dan tidak pula kikir dalam menggunakan harta melainkan sedang-sedang saja dalam membelanjakan harta bendanya. Al-Quran sendiri menggambarkan orang boros adalah temannya setan. 12.Dermawan, yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia, terutama mereka yang kurang beruntung dengan mendermakan sebagian dari harta benda yang dikaruniakan dan diamanatkan Tuhan kepada manusia.14 Dua nilai rabbaniyah dan ribbiniyah tersebut selanjutnya akan diupayakan da'i supaya tertanam dalam jiwa remaja melalui beberapa tahap. IV. Tahap-tahap Pembentukan Nilai Proses pembentukan nilai terjadi melalui tahapan sebagai berikut: A. Tahap Pematangan Pilihan Sebelum seseorang memutuskan sesuatu terlebih dahulu ia akan melakukan sebuah proses pematangan pilihan. Ini, sesungguhnya adalah "Ibid., pp. 98 -100.
226
Aplikasia, Jutnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:218-231
proses awal ke arah terbentuknya nilai tertentu dalam diri manusia. Pada saat menentukan sikap, seseorang akan merasa lebih mantap memutuskan sesuatu bila mempunyai cukup bahan-bahan pertimbangan. Dengan bahan pertimbangan yang cukup orang tidak terombang-ambing dalam kebimbangan. Seseorang sudah tahu kemungkinan yang akan terjadi sebagai sebuah konsekuensi. Dari rangkaian keputusan yang diambil apabila pilihan itu taat azas akan berujung pada kecenderungan-kecenderungan perilaku yang merupakan 'benang merah' yang mewarnai keputusannya, kecuali dalam mengambil keputusan dalam keadaan terancam, terdesak atau tidak sadar. Dalam situasi normal di mana seseorang merasa memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan, benang merah itu akan selalu muncul. Bila dalam proses pemantapan pilihan orang merasa bahwa pilihannya itu adalah yang terbaik dari segala alternatif yang ada — setelah ia mendalami berbagai arti dan konsekuensi diri setiap alternative, maka benang merah selanjutnya akan menjadi sangat kuat dan mulai menjadi warna yang dominan dalam hidup orang tersebut. Dalam situasi berjamaah di Majelis Taklim akan terjadi interaksi antar jamaah yang satu sama lain akan saling mempengaruhi. Pada situasi kelompok, secara keseluruhan, orang akan melihat bagaimana kelompok berperilaku. Bagi remaja situasi kelompok di Majelis Taklim dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perilaku yang diambil selanjutnya. Implikasi yang perlu diperhatikan dalam mengawali proses pembentukan nilai khususnya dalam pemantapan pilihan adalah, pertama, dari semula seseorang tidak pernah merasa terpaksa harus memilih tanpa lebih dahulu berkesempatan mengenal dan mendalami berbagai aspek nilai-nilai yang dihadapinya. Dalam kaitan ini kesadaran dan kepekaan perlu dirangsang dengan jalan, antara lain, menggalakkan kebiasaan mempertanyakan relevansi nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari. Keistimewaan al-Qur'an sebagai sebuah kitab Allah bagi manusia, misalnya, menantang manusia untuk membuat serupa dengannya. Tantangan ini memberi keleluasaan bagi manusia untuk mempertanyakan relevansi al-Qur'an dengan kebutuhannya, baik akademis maupun kebutuhan sehari-hari sebagai norma hidup. Keterbukaan al-Qur'an ini memberi ruang bagi remaja untuk mengkaji lebih dalam esensi al-Qur'an sebagai kitab nilai bagi jalan hidupnya. Kedua, sebelum menyatukan pilihan, seseorang merasa berkesempatan mempelajari dan mengendapkan konsekuensi-konsekuensi dari setiap
Opinion Leader Sebagai Aktor Pembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
227
alternatif nilai melalui kajian-kajian dan perbandingan termasuk konsekuensi pada diri sendiri sejauh mengenai hak dan tanggung jawabnya. B. Tahap Pembentukan Nilai Tahap ini teijadi sesudah keputusan (menerima atau menolak) terjadi. Ini merupakan tahap pengukuhan keputusan. Perbedaannya, adalah bahwa tahap yang pertama berfungsi mengkristalisasi pilihan yang segera akan menjadi keputusan sedangkan tahap yang kedua ini berfungsi memantapkan, memperkuat bahkan mengamankan keputusan yang sudah diambil. Di sird seseorang mulai menghadapi rangkaian konsekuensi dari keputusannya. la sudah tidak dapat menghindar dari keharusan mempertanggungjawabkan keputusannya itu. la menjadi semakin terlibat pada keputusan tersebut secara intelektual, emosional bahkan secara fisik dan tentu saja secara moral. Kalau seseorang bangga atas keputusannya ia akan siap membela keputusannya itu. C. Tahap Fenerapan atau Pengamalan Keputusan Kepada dunia luar, ia sendiri terbuka, tanpa rasa malu, tanpa rasa ragu-ragu dan tanpa rasa takut menyatakan keputusannya. Ia maju ke depan sebagai manusia yang yakin dan bersemangat. Oleh karena secara mental seseorang sudah siap menikmati konsekuensi yang menguntungkan atau menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang tidak menguntungkan. Sebagai kelanjutan dari keputusan yang telah diambilnya, ia kini melibatkan diri dari dua sisi. Di satu sisi, ia berusaha mengembangkan, menguatkan dan meningkatkan keberhasilan keputusannya itu. Waktu, tenaga, pemikiran bahkan harta dapat diberikan dengan rela demi keputusannya itu. Pada saat seperti ini remaja akan menjadi remaja yang shalih, aktif hadir di pengajian dan berdakwah. Kristalisasi nilai pada diri remaja yang telah terbentuk, remaja siap membela nilai itu bila perlu pengorbanan yang lebih berat pun dilaksanakan. Tetapi petunjuk kemantapan tahap ketiga ini tidak berakhir sampai di situ. Bila arah perkembangan tahap ini berjalan baik maka tindakan-tindakan yang lahir sebagai kelanjutan dari keputusannya tidak merupakan peristimewaan impulsif atau yang terjadi sekali dua kali saja. Dengan perkataan lain, kini tingkah lakunya mulai terpola. Tindakannya akan memperlihatkan kesetiaan agama atau konsistensi dan tindakantindakan itu timbul secara berkelanjutan sehingga nampak dengan jelas
228
Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:218-231
bahwa segala perilakunya, secara keseluruhan telah terpola menurut nilai pilihan tersebut. Keterpolaan dan keterarahan perilaku merupakan hasil pertumbuhan yang wajar karena sifat nilai yang hidup memang selalu mendorong perkembangan yang demikian. Dengan tercapainya tingkat perkembangan sejauh itu, dapatlah disimpulkan bahwa nilai-nilai tertentu telah tumbuh dalam diri orang tersebut. D. Dari Nilai ke Perilaku Terpola dan Terarah Seseorang yang telah memperlihatkan perilaku yang konsisten dengan nilai yang sudah diterima adalah orang yang telah dapat dipandang berperilaku terpola. Artinya, perilaku itu muncul dalam satu pola berdasarkan sistem nilai yang diterimanya dan pola itu sudah terlihat dalam perilakunya sehari-hari. Kondisi ini dapat dipergunakan sebagai petunjuk bahwa ia sekarang bukanlah orang yang ikut-ikutan, bukan orang yang berpurapura, bahkan juga tidak termasuk orang yang bersemangat "hangat-hangat tahi ayam". Orang itu kini dapat diperhitungkan. Bukan saja karena ia sudah mendalami berbagai alternatif sebelum ia memilih — dan karena itu pilihannya dapat dinilai rasional - tetapi ia juga secara terbuka sudah menyatakan pilihan serta keputusannya. Lebih dari itu ia juga secara konsisten melibatkan diri untuk menerapkan keputusannya itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa setidak-tidaknya seseorang dapat memberi penjelasan, mengapa ia memilih nilai tertentu dan menolak yang lain. Seseorang tidak akan menelan informasi begitu saja tanpa mendudukkannya dalam kerangka pengertian pokoknya. Dengan pengertian yang dimiliki itu seseorang akan sanggup mengembangkan pandangannya lebih jauh secara mandiri. la menjadi peka terhadap gejala-gejala yang mungkin memperkuat atau melemahkan keputusannya itu. Dalam segala tindakannya, ia bergerak lebih terarah. la sekarang menjadi lebih sadar mengenai apa yang sepatutnya dan apa yang tidak sepatutnya dilaksanakan. Dengan nilai yang sudah jelas, ia bergerak ke depan dengan arah yang jelas, karena itu perilakunya disebut perilaku terarah. la pun mulai mengambil prakarsa untuk lebih memantapkan nilai yang dipilihnya, antara lain dengan cara menyebarluaskan penawaran nilai itu.15 Dalam kehidupan sehari-hari, remaja semacam itu dapat dikenal dari berbagai segi. la akan antusias berbicara mengenai pilihannya. la mungkin 15
Winamo Surakhmad, Berkomunikasi dalam Nilai Hidup, (Bandung: Tarsito, 1987), p. 27-
37.
Opinion Leader Sebagai AktorPembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
229
sekali akan tampil berbicara di depan umum dan mempertahankan pendapatnya. lapun sangat mungkin akan bergerak secara konkrit dalam usaha-usaha untuk memperkuat keputusannya. la akan lebih cenderung bergaul dengan orang-orang yang senilai dan membaca buku-buku ataupun tulisan Iain tentang pilihannya itu. la mengikuti langsung maupun tidak, segala perkembangan yang berkaitan dengan nilai pilihannya, yang positif dan negatif ia mendalami sejauh dan sedalam mungkin segala aspek yang berkaitan dengan nilai yang dipilihnya. Pada akhirnya, ia akan tampil bukan saja sebagai tokoh pembela nilainilai tersebut atau sebagai da'i, tetapi juga sebagai tokoh pemimpin, sebagai pemikir, sebagai sumber informasi, serta sebagai kekuatan inspirasi, dan kreatifitas bagi masyarakat sekitarnya. Pada tingkat ini ia telah berhasil membentuk citra diri sebagai perwujudan nilai-nilai hidup. Inilah perkembangan pada tingkatan yang tinggi yang dimulai dari pengenalan nilai sampai pada lahirnya perilaku terpola dan terarah. IV. Simpulan Dalam Pengajaran Islam, dengan berbagai bentuknya, opinion leader (da'i) menjadi pusat informasi pengetahuan agama Islam baik pada tataran rabbaniyah maupun ribbiniyah. la juga sekaligus menjadi f igur bagi aktualisasi nilai-nilai Islam secara nyata. Dengan posisi strategis ini, da'i akan memudahkan remaja yang memiliki sifat mudah berafiliasi, simpati, sugesti dan identifikasi dalam memahami nilai, mendiskusikan pada ranah kognisi, mensikapinya dalam dataran afektif dan mengaktualisasikannya dalam wilayah psikomotorik. Pada gilirannya, nilai-nilai Islam menjadi nilai yang hidup dalam diri remaja baik sebagai pedoman maupun menjadi ruh dalam berperilaku terpola dan terarah. Itulah sebabnya da'i harus terus menerus momong, ngomong dan ngemong pada jama'ahnya setelah selesai dari pengajian.
Daftar Pustaka Abdul Munir Mulkhan, 1996, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episode Kehidupan M. Naysir dan Azhar Basyir, Yogyakarta : Sippres Arnold, Thomas W., 1995, The Preaching of Islam. India, Adam Publisher. Jalaluddin Rakhmad, 1999, Penelitian Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya
230
Aplikasia, Jumal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. IV, No. 2 Desember 2003:218-231
Noeng Muhadjir, 1983, Kepemimpinnn Adopsi Inovnsi Untuk Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Rake Press. Nurcholis Madjid, 2000, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-Nilai Islam Dnlam Kehidupan Masyarakat. Jakarta : Paramadina. Kusnaka Adiniharja, t.t., "Sistem pengetahuan Lokal dan pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia", dalam http:/www/.geocities/ aai.htm#a. Masdar F. Mas'udi, 1989, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta : P3M Roger, Everett M., 1985, Diffusion of Innovation. New York : The Free Press. Saifuddin Azwar, 1998, Sikap Manusia; Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Taufik Hidayat, 1996, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa : Agama dan Problema Masa Kini, Jakarta : Yayasan Festival Istiqlal. Winarno Surakhmad. 1987. Berkomunikasi dalam Nilai Hidup, Bandung : Tarsito Zakiah Darodjat. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang. , 1984. Kesehatan Mental, Peranannya Dalam Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta : Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Jiwa pada IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 17 Agustus 1984. , 1978, Problematika Remaja di Indonesia, Jakartan : Bulan Bintang.
Opinion LeaderSebagai AktorPembentukan Nilai-nilai llahiyah Di... (Mokh. Nazili)
231