Olimpiade: Perayaan Kemanusiaan (Celebrating Humanity) Olimpiade, pesta olahraga antarbangsa–yang meneruskan tradisi pesta olahraga bangsa Yunani dari abad 7 SM–sejak awalnya memang telah jadi ajang pertarungan kekuatan dan kecergasan tubuh. Tubuh yang telah ditempa dan dilatih dengan disiplin diri berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Olimpiade juga jadi ajang pertaruhan kebanggaan diri, bangsa dan negara, dalam meraih medali kemenangan dan kehormatan. Karenanya, ajang pertarungan semacam Olimpiade ini seperti tidak menyisakan tempat bagi yang kalah. Setidaknya, itulah yang sepintas tersirat dalam slogan Olimpiade ini: Citius, Altius, Fortius–lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Inilah pentas bagi para juara. Meskipun, kita tahu bahwa menang disini bisa terasa absurd, karena hanya menyangkut persoalan sepersekian detik lebih cepat, sekian sentimeter lebih tinggi atau lebih jauh, atau sekian gram lebih berat. Demikianlah, Olimpiade pertama-tama adalah perayaan atas tubuh. Bukan sembarang tubuh, tentu saja. Ada ideal kesempurnaan didalamnya. Tubuh yang liat, kuat, muda, terlatih dan cergas. Tapi ada sisi lain. Olimpiade juga adalah ajang ujicoba atas keteguhan semangat dan daya juang. Dan hampir-hampir tidak ada alasan untuk menyerah bahkan di batas akhir yang paling berat dari perjuangan itu. Seperti Pheidippides, prajurit yang berlari tanpa henti dari batas kota Marathon ke ibukota Athena–jarak sejauh 40 kilometer yang kini diabadikan dalam lari Marathon itu–hanya untuk membawa satu kabar penting penuh pengharapan dan kegembiraan bagi seluruh warga polis itu: “Niki!”. “Kita menang!”, serunya. Kemudian ia lunglai, menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dengan pertaruhan semacam itu, Olimpiade juga menjadi tempat di mana integritas dan kejujuran diri seorang atlet sedang dipertaruhkan. Karena, di setiap arena, setiap atlet sebenarnya sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Maka, adalah sepadan jika kemudian kemenangan yang diakui, yang paling berarti dan membanggakan di arena ini, hanyalah kemenangan yang diperoleh dengan mengikuti aturan main secara jujur. Segala taktik dan strategi yang cerdik boleh diterapkan, sebagai tambahan atas kegesitan, keuletan dan kekuatan tubuh yang telah dilatih selama ini. Tapi, sekali aturan main yang jujur dan adil itu dilanggar, tak ada kemenangan yang bisa diraih, apalagi diakui. Segala semangat, ambisi, atau bahkan obsesi untuk selalu menang, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan aturan permainan dan pertandingan yang fair. Sejak Olimpiade ke-7 di Antwerpen, Belgia, 1920, diadakan tradisi pengucapan sumpah oleh setiap peserta di upacara pembukaan pesta olahraga itu. Sumpah ini dengan jelas merangkum semangat dan kebajikan untuk memenuhi segala aturan main itu: "In the name of all the competitors, I promise that we shall take part in these Olympic Games, respecting and abiding by the rules which govern them, in the true spirit of sportsmanship, for the glory of sport and the honour of our teams." (“Atas nama semua atlet, saya berjanji bahwa kami akan mengambil bagian dalam Pertandingan Olimpiade, dengan menghormati dan mematuhi segala aturan yang berlaku, dengan kesungguhan semangat olahragawan, untuk kejayaan olahraga dan kehormatan regu kami.”) *** Tak heran jika kondisi fisik , dan juga mental, yang serba sempurna–dan sekaligus mewakili citra negara dan bangsa–ini menjadi sangat memikat bagi
orang ramai untuk meyaksikannya. Termasuk, tentu saja, para seniman yang tergerak merekam, mengabadikan, dan mencitrakannya sosok dan tubuh yang pejal, liat, berkeringat dan serba gesit itu. Sosok ideal olahragawan yang kuat dan terampil itu sudah terwujud sempurna dalam patung Sang Pelontar Cakram, Discobolos, yang berpose contraposito, karya Myron dari Athena abad 5 SM. Di akhir abad 19, teknologi modern ikut membuka jalan bagi keinginan orang merekam sosok-sosok ideal ini. Munculnya kamera Kodak (1888) telah memungkinkan para fotografer paling amatir sekalipun untuk memotret berbagai aktivitas luar ruang, termasuk aksi olahraga dan tubuh liat para atlet. Secara khusus, dalam dunia fotografi moderen abad 20, tercatat nama Leni Riefenstahl yang memberi bobot artistik baru bagi fotografi atlet dan aksi olahraga. Joseph Goebbels, propagandis Nazi, meminta perempuan fotografer ini untuk membuat dokumentasi penyelenggaraan pesta Olimpiade ke-11, Berlin, Jerman, 1936. Proyek ini melahirkan filem dokumenter ‘Olympia’ dan sejumlah foto yang hingga saat ini termasuk mahakarya dari genre dan jamannya. Karya-karyanya, lepas dari segala niat politik dibaliknya, adalah contoh pencitraan yang memukau akan kelenturan dan kecergasan gerak tubuh seorang atlet. Tak bisa dipungkiri, memang ada hubungan yang erat dan menarik antara Olimpiade dan seni rupa moderen dunia. Olimpiade, sejak awalnya memang dipenuhi oleh berbagai simbol visual yang inspiratif, bahkan untuk jaman kita kini. Logo pada bendera Olimpiade, misalnya, berupa lingkaran cincin 5 warna–biru, kuning, hitam, hijau, merah, yang saling terkait dengan dasar putih bersih–telah jadi ikon klasik pembawa semangat persahabatan internasional dan perdamaian.
Hal lain lagi, adalah poster-poster resmi yang dipublikasikan oleh panitia penyelenggara Olimpiade. Sudah sejak Olimpiade pertama, Athena, 1896, seni poster ikut mempromosikan acara ini. Dengan cara ini, Olimpiade sebenarnya ikut menyaksikan dan bahkan memberi tempat bagi semangat seni rupa di setiap jaman dan tempat penyelanggaraannya.Tradisi ini terus berlangsung hingga saat ini, dan hampir selalu melibatkan perancang grafis atau seniman terkemuka dari kota/negara tuan rumah. Sekedar contoh, perancang grafis Jepang, Yusaku Kamekura, tak hanya mendapatkan reputasi internasionalnya melalui posternya untuk Olimpiade XVIII, Tokyo; tapi juga menjadi titik awal munculnya seni poster baru di Jepang khususnya, dan dunia pada umumnya. Kini kita tahu bahwa promosi Olimpiade hampir tak pernah sepi dari karya seni rupa dan desain: logo, emblem, maskot, dan tentu saja, poster. Karya-karya seni rupa ini ikut merayakan keunggulan dan keuletan manusia, untuk menjadi ‘citius, altius, fortius.’ *** Dalam salah satu ‘Catatan Pinggir’nya, yang ditulis lebih dari duapuluh tahun lalu, Goenawan Mohamad bercerita tentang buku harian milik seorang gadis remaja yang diketemukan di Senayan, Jakarta, di hari-hari berlangsungnya SEA Games, 1979. Di salah satu bagian buku itu tertulis: “Jika kesebelasan Indonesia kalah sore nanti dari Malaysia, aku tidak akan mengejeknya. Bukan karena aku fanatik, tapi dari ribuan penonton itu biarlah ada seorang yang bisa kasih medali diam-diam.”
Ya. Kenapa tak ‘kasih medali diam-diam’? Bukankah setiap upaya yang telah memerah keringat, semangat dan daya juang—sampai ke batas yang barangkali paling muskil dari daya tahan dan daya juang seorang manusia—sebenarnya pantas dapat medali. Tak ada pecundang di akhir setiap kerja keras yang sungguh-sungguh. Sikap serupa tersurat jelas dalam kredo Olimpiade yang dirumuskan sejak Olimpiade pertama di Athena, 1896: "The most important thing in the Olympic Games is not to win but to take part, just as the most important thing in life is not the triumph but the struggle. The essential thing is not to have conquered but to have fought well." (“Yang terpenting dalam Olimpiade bukanlah menang tapi berperanserta, seperti juga hal terpenting dalam kehidupan bukanlah kemenangan tapi perjuangan meraihnya. Yang terpenting bukanlah menaklukkan tapi bertanding sebaik-baiknya.”) *** Tahun ini, 2004, kota Athena, Yunani, tempat Olimpiade modern pertamakali diselenggarakan, akan kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraanya yang ke28. Peristiwa ini, boleh jadi, adalah pembawa pesan perdamaian paling lantang setelah konstelasi dunia yang berubah sejak peristiwa tragis 11 September 2001 di New York. Dunia berubah, tak sama lagi dengan masa sebelumnya. Setidaknya, dunia setelah 11 September itu adalah dunia yang mulai menyisihkan perdamaian dan mendahulukan ‘keamanan’. Meskipun seringkali kita tak tahu ‘keamanan’ itu sebenarnya untuk siapa. Yang pasti, kini dengan alasan keamanan itu, sebuah perang bisa bermula. Ironis: karena dengan akal sehat saja kita bisa tahu bahwa
yang pantas bersanding adalah perdamaian-keamanan, bukannya perangkeamanan. Olimpiade sendiri juga pernah jadi korban perseteruan dan konflik politik. Olimpiade ke-6 (direncanakan di Berlin), gagal terselenggara karena Perang Dunia I. Berturut-turut Olimpiade ke-12 dan ke-13 (seharusnya berlangsung di Jepang dan kemudian Inggris) juga batal karena Perang Dunia II. Terorisme terjadi bahkan di tengah berlangsungnya Olimpiade ke-20 di Munich, Jerman, 1972. Ketika itu, 5 orang pemuda Palestina menyandera 9 atlet Israel. Drama penyanderaan ini berakhir setelah polisi Jerman (Barat) menembak dan menewaskan para penyandera. Selanjutnya, di tengah suasana ‘Perang Dingin’ dekade 80-an, Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat dan Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) memboikot Olimpiade ke-22 yang berlangsung di Moskow, Uni Soviet–negara Blok Timur pertama yang jadi tuan rumah Olimpiade (1980). Tapi, sampai saat ini, semangat perdamaaian dunia masih terus menyelamatkan pesta olahraga paling akbar dan megah di dunia ini. Sepanjang sejarah penyelengaraannya yang lebih dari seabad, Olimpiade seperti terus menjadi penanda niat segala bangsa untuk terus saling mengenal, berkompetisi di ajang olahraga, yang meriah dengan keringat dan persaingan, sekaligus kaya semangat damai. *** Itulah sepintas berbagai sisi peristiwa Olimpiade yang diajukan kepada sejumlah perupa yang kemudian mengolahnya dalam berbagai bentuk, warna, citra, perlambang dan metafor. Secara umum, karya-karya yang hadir dalam pameran kali ini berhasil mengambil jarak yang cukup jauh untuk mampu menghadirkan soal-soal yang
tidak melulu berkisar pada olahraga dan tubuh. Secara teoritis, bisa dikatakan bahwa karya seni yang baik adalah karya seni yang mampu keluar dari cangkang obyek atau pesan referensialnya yang asali. Dengan cara itu, karya seni (rupa) itu tidak saja menunjukkan kemampuan si seniman dalam mengolah daya pikir dan daya ciptanya—melalui abstraksi yang berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat—tetapi juga suatu proses transformasi obyek dan peristiwa menjadi makna yang kaya, melalui ambiguitas simbol dan metafor. Dengan berjarak dan menjauh dari tema ‘stereotype’ seputar olahraga, dengan berbagai cara dan pendekatan, para perupa ini berhasil merentang perspektif dan wilayah tafsir yang luas, menjangkau berbagai dimensi makna yang melampaui peristiwa olahraga itu sendiri. Ada yang membawa pengalaman pribadinya, ada juga menempatkan perkara Olimpiade ini ke dalam ruang pengalaman sosial manusia Indonesia. Dan, sejumlah karya juga berhasil menjangkau sudut-sudut yang menyimpan sejumlah nilai-nilai universal sebagai saripati dari pengalaman perjuangan manusia untuk jadi ‘sang Juara’, kadang dengan meminjam kekayaan makna dari khasanah mitologi Yunani Kuno. Dari sisi pengalaman pribadi, salah satu karya Ugo Untoro, dengan cara penuh humor yang terasa sarkastik, jelas-jelas menolak olahraga. Ia menghadirkan sosok yang sedang merokok (!) dengan santai, sambil berkata (dalam bahasa Jawa): Saya sungguh tidak suka olahraga! Dari wilayah pesan yang begitu personal, ia meloncat pada pesan yang universal, tentang siklus hidup dan sejarah manusia— seperti kembalinya Olimpiade ke Athena ini—yang tampaknya terus saja masih penuh darah dan kesakitan. Kita adalah Perseus, yang telah melanglang buana, tapi akhirnya kembali pada kutukan yang sama. Juga meminjam tokoh dari khasanah mitologi Yunani, Yuli Prayitno membayangkan dirinya sebagai Hermes, utusan para dewa, yang bisa melesat dengan sayap dikakinya. Dengan kejelasan dan kesederhanaan bentuknya, karya
ini justru terasa puitis menyampaikan pesan tentang mimpi dan harapan seorang manusia untuk jadi serba lebih hebat. Pada karyanya yang lain, ia mempersoalkan komersialisasi yang melanda dunia olahraga, khususnya sepakbola. Atlet adalah sosok yang hanya bergerak sesuai arah telunjuk yang pihak-pihak sponsor yang memerintahnya. Maka, meskipun bersalut warna titanium yang mewah dan berkilau, sepatu bola ini hanya beralas belasan telunjuk. Soal komersialisasi ini juga jadi sorotan Dipo Andy. Ia melihat bahwa perkara lomba olahraga yang ideal sudah tak ada lagi. Yang paling penting di masa ini adalah akumulasi modal dan keuntungan. Bursa saham adalah jantung peradaban dunia masa kini. Discobolos itu tampak payah dan lunglai diserbu berbagai informasi bursa saham. Di manakah integritas ‘sang Juara’ dalam situasi komersialisasi olahraga masa kini? Pertanyaan seputar integritas ‘sang Juara’ juga hadir dalam karya Yani Halim. Seperti biasa, karya-karyanya cenderung minimalis, dengan citra manusia yang diraut hanya dengan garis sederhana. Ini semua bisa mengingatkan kita pada coretan grafiti sederhana di dinding-dinding kota. Kali ini, gambar-gambar sederhana itu diberi sentuhan mewah, semuanya dilapisi warna emas yang menguasai bidang gambarnya. Tapi, lihatlah, ada juga yang busuk di sana. “Sang Juara” mengangkat tangannya, bersorak gembira; tapi dua pemenang lain menutup hidung, seperti mencium bau busuk yang meruap dari ketiak “sang Juara”itu. Ah, bukankah kita sering mendengar cerita serupa di negeri ini: “Sang Pemenang” yang naik ke podium tertinggi sebenarnya tak lain dari si culas dan si curang?
Apa mau dikata? Kita terlanjur hanya memberi tempat hanya pada “Sang Pemenang”. Bunga Jeruk menunjukkan —sekaligus mempertanyakan— kehadapan kita: mengapa hanya “Sang Pemenang” yang berhak memperoleh segalanya, segala hadiah yang berlimpahruah? Bukankah yang kalah itu mungkin ‘hanya’ sepersekian detik lebih lambat, sepersekian sentimeter kurang tinggi? Kenyataan hidup dan sejarah rupanya masih hanya berpihak pada “sang Pemenang”. Lihatlah kecongkakan si Jago dalam karya Agapetus. Ia berkokok lantang, dengan dada busung dan sosok menjulang, di atas puing dan runtuhan disekitarnya. Ada juga tersisip pesan tentang kecongkakan gender dalam karya ini. Tapi, tentu tak ada yang menandingi ketajaman perspektif feminis yang dihadirkan Astari dalam dua karya lukisnya. Dalam “Ratu Adil” ia menumpuk berbagai pesan tentang ego jantan yang sebanding dengan ego supremasi negeri adidaya Amerika Serikat dalam suatu pertarungan tinju tanpa pemenang. Lihatlah kedua petinju itu sama-sama loyo dan tak bersemangat. Keduanya kehabisan tenaga, terkuras ego sendiri. Baca juga pesan yang hadir dalam plesetan merek yang tertulis di celana kedua petinju itu. Sementara itu, si Ratu Adil, tampaknya tidak mampu bersikap adil. Kerling matanya seperti mengirim tanda bahwa ada keisengan atau kecurangan yang bisa diam-diam diperjualbelikan. Dalam karyanya yang lain, “Sporting Girls”, Astari langsung memperhadapkan seorang wanita yang berlatih keras untuk jadi seorang atlet dengan seorang perempuan yang beusaha keras dalam perkara bersolek dan berdandan. Bukankah keduanya sedang bersiap menghadapi kompetisi? Ia seperti mempertanyakan keranjingan dan pemujaan berlebihan pada masalah kesempurnaan penampilan yang serba ragawi. Pendeknya, dalam perkara dandanpun orang ingin jadi pemenang. Pemujaan yang terpusat hanya pada pemenang dan kemenangan ini pada akhirnya memang menafikan apa yang sering kita sebut sebagai proses, tahapan
kerja dan usaha panjang yang dilalui oleh setiap orang sebelum ia sampai pada batas akhir untuk disebut sebagai pemenang atau pecundang. Proses, atau katakanlah perjuangan, terlihat menjadi pokok narasi dalam karya esai foto karya Tjandra M.Amin. Penghargaan terhadap perjuangan itu bahkan menjadi kisah pergulatan dengan kehidupan dalam karya Budi Kustarto. Karyanya menghadirkan ketangguhan dan keberanian untuk menghadapi hidup yang meraksasa. Dan dalam pergulatan itu ia tidak mempertanyakan siapa yang akan menang atau siapa yang akan jadi pecundang. Karya ini seperti menegaskan kredo Olimpiade itu: hal terpenting dalam kehidupan bukanlah melulu kemenangan tapi perjuangan meraihnya. Semangat merayakan proses, memberi nilai pada usaha dan bukan hanya pada hasil ini, juga hadir dalam karya trimatra perupa senior G. Sidharta Soegijo dan juga karya Yani Mariani. Pada ‘Sang Juara’ hasil gubahan G.Sidharta, hadir sosok sedang mengusung simbol kemenangannya yang tampak berjenjang menjulang ke atas, jauh melampaui tinggi tubuh dan jangkauannya. Pada karya Yani Mariani, ‘Buah Kemenangan’, sang pemenang terlihat menggendong beban (dunia?) yang tak ringan, dan ia terhuyung. Tapi, siapakah “Sang Pemenang” itu sebenarnya? Galam Zulkifli mempertanyakan soal ini dalam karyanya. Mengingat Olimpiade, Galam justru teringat pada perang yang terus mengiringi peradaban manusia. Dan, lihatlah bagaimana setiap sosok itu ternyata saling tusuk satu sama lain. Seperti menegaskan pandangan getirnya, dalam karyanya yang lain, ia menghadirkan adegan pembunuhan terhadap sang dewi pembawa obor. Obor itu, seperti juga obor Olimpiade, adalah perlambang nyala semangat perdamaian dan pergaulan dunia, yang tak pernah dan tak boleh padam. Adalah Didik Nurhadi yang mencoba tetap merekam semangat optimistik dalam Olimpiade itu. Ia hadirkan sosok dewa yang mengikat semua pedang dan
membawanya pergi terbang. Pertumpahan darah diganti dengan cucuran keringat dalam pentas Olimpiade. *** Selain bersinggungan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dari peristiwa Olimpiade itu, sejumlah perupa juga membawa pandangan kritisnya tentang peranserta Indonesia di pentas olahraga antarbangsa ini. Bagi sejumlah perupa, perkara miskinnya prestasi kita di bidang olahraga ini justru membawa perenungan ke soal lain. Misalnya, soal kegemaran kita menutupi kekurangan diri dengan angan-angan berbungkus slogan. Simak saja karya Samuel Indratma itu: sosok heroik yang beraura slogan ‘Kita Harus Menang’. Dan, coba juga renungkan karya Entang Wiharso ‘Mencari Jempol yang Hilang’. Perhatikan bagaimana sosok yang mengapung itu terpenjara dalam kandangnya sendiri, dalam kepongahan dan angan-angannya sendiri, seorang ‘jago kandang’. Dengan cara yang hampir-hampir sinis, Pintor Sirait menyodorkan campuraduk pesan antara pencapaian negara-negara lain yang sibuk dengan teknologi untuk mengambil peran penguasa dunia—melalui teknologi ruang angkasa, misalnya— dengan kegandrungan kita akan hal-hal pornografis dalam berbagai gambar tempel yang banyak ia jumpai diperjualbelikan di jalan-jalan kota Jakarta. Meskipun, dengan halus ia seperti mengajukan pertanyaan: bukankah ‘kuasa’ di sini, dalam masyarakat yang gandrung kemenangan teknologi —juga yang keranjingan pada segala hal yang berbau kelamin dan seks— adalah khas pandangan dunia yang serba ‘macho’? Dan, kini semua pertarungan menjadi yang paling berkuasa ini terasa hadir serba norak dan destruktif? Pandangan kritis semacam itu masih berlanjut lagi dalam beberapa karya yang lain. Karya Didik Nurhadi ‘Cerita Tentang Kaum Penonton’ dengan cara menggelikan menghadirkan sejumlah orang yang sibuk, atau bahkan berlomba,
menonton pertandingan dan perjuangan orang lain. Dengan prestasi yang minim dan pas-pasan, kita tetaplah masyarakat yang sangat bergairah kalau jadi penonton. Jenis ‘perlombaan’ yang paling diminati rupanya adalah berlomba jadi pemimpin negeri, meskipun tidak didasarkan pada prestasi dan kemampuan diri. Karya Adi Kaniko, ‘The Winner’, seperti merujuk kepada pengalaman perlombaan sejumlah tokoh untuk jadi pemimpin negeri ini. Ternyata sosok mereka tak lebihtak kurang seperti badut-badut yang tak lucu saja. Perhatikan juga sisipan pesan dalam karya Heri Dono, yang dalam karya-karyanya selalu terselip humor getir itu: sang Semar ngotot ingin jadi juara balap, padahal musuhnya cuma keong. Apa yang tersisa pada kita? Bukankah Susi Susanti pernah meraih emas di Olimpiade, Barcelona, 1992? Tidak bisakah kita mengulanginya? Agus Suwage, mencoba memberi jawabannya. Dengan jenaka ia menyatakan bahwa prestasi tinggi yang pernah dicapai Susi Susanti nyaris mustahil terulang lagi. Kemenangan yang membanggakan itu seolah sepenggal ‘kebetulan sejarah’. Secara getir, Melodia menunjukkan bagaimana anak bangsa cuma bisa bermimpi jadi mahabintang olahraga, sambil menanti-nanti, kapan gerangan Olimpiade singgah ke Jakarta? S.Teddy seperti menambahkan dengan pesan bijak: mengangkat wajah, mengusung harga diri, memang bukan perkara ringan. *** Ijinkan saya untuk tidak berpanjang-panjang mengulas setiap karya yang hadir di pameran ini. Saya percaya bahwa ruang apresiasi akan terbentang luas justru ketika kekayaan makna itu ditemukan dan dirajut sendiri oleh siapa saja yang bersedia membiarkan dirinya terbawa sejenak berkeliling ke dalam ‘taman seni’.* Di taman itu, tak sekedar ada jalan setapak rapi dan bunga bermekaran yang indah semerbak, ada juga semak-belukar yang liar dan jalan penuh bebatuan. Sesekali, biarkan diri kita tersesat di taman seni ini, menjumpai keragaman dan kekayaan makna yang ada didalamnya.
Dengan cara serupa, karya-karya yang hadir dalam pameran kali ini akan membawa kita sampai pada pemahaman bahwa Olimpiade tidak sekedar pristiwa olahraga, bukan melulu kekuatan tubuh dan parade pemenang. Olimpiade adalah perayaan kemanusiaan dan kehidupan. Inilah mungkin jiwa Olimpiade itu: nyala api optimisme, harapan yang tak habis-habis, bahwa setiap manusia bisa terus belajar untuk menjadi lebih baik; bukan dengan mengalahkan orang lain, tapi dengan terus berusaha melampaui keterbatasan dirinya sendiri. Dengan begitu, pada dasarnya setiap manusia bisa dan layak jadi ‘sang Juara’.
Enin Supriyanto (Kurator)
*
Istilah ini saya pinjam dari judul buku prosa karya Galam Zulkifli, Taman Seni, Dari Dunia Imajiner Lalu Lompatan Kata Rupa, Melibas, Jakarta, Mei 2004.