Oleh : Titus Sarijanto Direktorat Jenderal Pengusahaan Huian Departemen Kehuianan
(
Dewasa ini masalah lingkun&an hidup telah berkembang menjadi isu global d m penting. Berbagai negara di dunia semakin meningkatkan kepeduianya terhadap masalah-masalah lingkungan hidup, sebagai p e m j u d a n kep rihainan terhadap semahn merosotnya kondisi lingkungan global yang menjadi t a n s u n g a w a b semua negara untuk memperbaikinya. 81eh karma itu pada Konferensi Anggota ITTO (International Tropical T i d e r Orpization) di Bali pada Bulan Mei 1990, ditetapkan tahun 2000 sebagai target pencapaian pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Managenzent) di hutan tropika yang terdapat di negara anggotanya. Masa wakru setelah itu dikenal sebagai era penerapan ekolabel (fiolabelling). B a g Indonesia, tuntutan kelestarian di dalam .. pengelolaan hutan produksi bukan merupakan hal yang baru. Hal ini tampak jelas pada setiap p eraturan pemdang-undangan di dalam pengelolaan hutan yang selalu dijiwai oleh upaya pencapaian kelestarian, sehngga tuntutan penerapan ekolabel di hutan produksi sejalan dan mempakan pendorong upaya pencapaian tujuan a b r pembangunan Kehutanan Indonesia, yaitu kelestarian hutan. -
..
Pengertian EcolaBelling
.i EmEdelling adalah sertifikasi terhadap produk yang m e m e n h persyaratan proses produksi yang peduli lingkungan. B a g konsumen yang peduli pada lingkungan hdup, ekolabel merupakan sebuah garansi yang mmmjukkan bahwa produk yang mendapatkan label sudah mernenh knteria peduli lingkungan ( , i Pada lingkup kegtatan kehutanan, Ecoldelling adalah suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan dalam bentuk sertifikat atau ekolabel yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal atau dillasilkan dari suatu hutan, misalnya areal Mak Pengusahaail Hutan (JHPW) yang dikelola secara lestari.
Dari pengertian tersebut, dalam kaitan dengan pengelolaan hutan, Ecolabelling sama pengertiannya dengan pengelolaan hutan secara lestari atau Sustainable Forest 1Managemnt
Perhatian masyarakat internasional untuk menata secara formal aspekaspek lingkungan hdup global telah dilaksanakan semenjak dasawarsa 1970-an, yaitu ketika atas prakarsa PBB dilangsungkan Konferensi Lhgkungan E d q Seduniia yang pertama di S t o c k h o h , Swe&a pada tahun 1972 yang dikenal sebagai United Nations Conference on HIurwuln Environmnt. Indonesia termasuk salah satu negara yang tun& berperan aktif dalam konferensi tersebut. Sebagai tindak lanjut dan sekaligus untuk mengetahui seberapa jauh implikasi kesepakatan konferensi S t o c k h o h 1972 terhadap li lnaka 20 tahun kemudian, yaitu pada bulan J d 1992, di bawah prakarsa-PBB diadakan konferensi &TNCED (United Ndions Conference on ~ n v i m n m A t and Development) yang lebih dikenal dengan sebutan K T T X o . Antara Kolrnferensi S t o c k h o h 1972 dengan K T T E o 1992 terdapat perbedaan pendekatan. Konferensi S t o c k h o h menyoroti aspek lingkungan hidup manusia sedangkan K T T K o muncul dengan konotasi yang berbeda, yaitu lingkungan hidup dan pembangunan. Oleh karma itu prinsip yang dikembangkan dalam DelrSarasi R o adalah pembangunm berkelanjutan \ I V (Scrstainable Development) yaitu melakukan kwatan pembangman tanpa merusak lingkungan. Salah satu dokumen hasil MTT R o adalah P k s i p - i p h s i p Pelogaturm Hutan. Dokun~enini bersifat tidak mengikat dan berlaku untuk sernua tipe hutan (Tropical Rain Forest, Boreal d m Tenrperate). Hal-ha1 yang diatur dalam dokumen tersebut mencakup prinsip-prinsip yang berkaitan dengan fungsi hutan, peningkatan perlindungan hutan, pemanfaatan dan konservasi hutan. Di bidang perdagangan diatur p rinsip-p rinsip perdagangan kayu, pmghapusan tarif irnpor dan perbaikan akses ke pasar. Secara khusus, peningkatan produk kayu dari hutan tropis yang membanjiri pasar kayu sedunia sampai tahun 1990 dan meningkatnya kekhawatiran akan rusahlya lingkungan sedunia menyebabkan masyarakat konsumen mengkhawatirkan rusakny~hutan tropika dunia. Pemeril~tah, LSM (NGO) maupun perusahaan pedagang tropis di beberapa negara bagtan Amerika, negara-negara di Eropa dan Jepang menuntut janlinan kelestarian hutan tropis. Tuntutan tersebut semakin nyata pada works/zop yang diadakan oleh Rainforest Alliance (NGO) pada t a n a a l 14 dan 15 April 1 989 di New York. Beberapa NGO t d a 6 memperJuangkan boikot terhadap kayu tropis tetapi tidak disepakati oleh f o n ~ myang terdiri dari wakil pergunlan tin@ di Amerika, negara-negara importir, negara-negara eksportir
dll. Diakui bahwa tuntutan-tuntutan tersebut tidak lepas dari adanya latar belakang persaingan produk-produk kayu temperade dan boreal terhadap kayu tropis. Namun disetujui adanya keputusan untuk menerapkan sistim labelling dan sertifikasi terhadap kayu tropis sebagai tanda kayu tersebut berasal dari hutan yang dikelola secara lestari . Untuk menanmpi tuntutan tersebut maka pada saat konferensi anggota ITTO di Bali pada bulan Mei 1990 diputuskan tahun 2000 sebagai target tercapainya pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest 1Ma~ag-t) di hutan tropika bagi anggotanya, yang lebih dikenal dengan era penerapan ekolabel @coldelling). ..
an Kelhutaraaa Larldonesia . -
Indonesia sejak awal telah jelas komitmmya untuk mengelola h secara lestari. ~
Dalam awal perkembangannya, pembangunan kehutanan bidang pengusahaan hutan di hdonesia memakai sistem konsesi sebagaimana diatur dalarn PP No. 21 Tahun 1970. HPH yang telah memperoleh ijin antara lain mempunyal kewaji ban untuk mengel ola areal pengusahaan hutan berdasarkan Reracana Karya Pengusruhaan Hdan H) serta mentaati segala ketentuan h. Oleh sebab itu pemegang HPH di bidang yang telah ditetapkan oleh p wajib mtuk membuat H, Rmcana Karya Lima Tahun (RKL), dan Rencana Karya Tahunan (WT) sebagai acuatl dalam pelaksanaan kegatan di lapangan
Pada tahapan ini, sistem pengelolaan oleh para pemegang HPII masih terkonsentrasi pada produksi.ri Pada masa itu sistem tersebut dianggap relevan dengan kondisi nasional, bahkan internasional . Perjalanan yang cukup panjang dalam k w a t a n IlPH telah memberikan sumbangan yang besar, akan tetapi masih terdapat banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Pada dekade tahun 1990-an muncul beberapa pernyataan dari negaranegara di Eropa dan Arnerika yang digambarkan sebagai kampanye anti kayu tropis. \ Hal ini dikaitkan dengan peranan hutan tropis dalam kaitannya dengan merungkatnya suhu global bumi dan terbukanya lapisan ozon. Kampanye yang terjadi secara serempak dan terorganisir dan berjalan secara periodik tersebut telah lebih menyadarkan h t a akan kehrangan-kekurangan selama ini dalam sistem pengelolaan hutan oleh EPH. R Pembenahan secara radikal telah dimulai dengan -tindakan law enforcement berupa penerapan sanksi atas pelangaran-pelanggaran yang dilakukan. Peraturan-peraturan juga d i s e m p u r n a h sesuai dengan arah kelestarian yang lebih konknt seperti : penyempumaan TP'P?, pengembangan ElPH Bina Desa, peningkatan upaya konservasi, dll. Kesemuanya itu sebenarnya bertujuan untuk menyadarkan kembali para pemegang HPH agar- selalu mentaati peraturan yang ada sekaligus sebagai pelajaran yang berharga b a g mereka tentang kewajiban-kewajiban yang hams dilaksanakan. Secara simultan, aspek pengawasan juga ditingkatkan dengan tujuan pendisiplinan EBH melalui k q a t a n pemeriksaan komprehensif yang dilanjutkan dengan pernberian nilai raport atas kinerja Olerfornzance)masing-masing EIPH. Terhadap pelaksanaan k q a t a n Industri Pengolahan Kayu Hulu (PKF-T), pengawasan dilakukan melalui proses audit untuk mengetahui kebenaran kewajiban membayar IHH dan DR yang selama ini memakai pola self assessment, yaitu memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada para perneggng PKIl untuk menghtung dan membayar P K H dan DR atas kayu bulat yang diterimanya. Peningkatan k q a t a n pengawasan tersebut belum memberikan hasil seperti sebagaimana yang diharapkan. Oleh sebab itu masih perlu penyempurnaan, terutama dalani konsep yang menyangkut institusi maupun pola pelaksanaannya.
Arnh Perkembagan Sistem Pengelolam Autan ~d'~erkernbanganyang terjadi dalam lingkup internasional balk dalam bldang perdagangarl dan komltmen negara-negara yang tergabung dalam TTTO serta komitmen dalam KTT B m i di K o de Janeiro telah banyak membenkan wanla dalam sistem pengelolaan hutan sekarang ~tll dan dl masa yang akan datans
-
suatu alat bukti bahwa kriteria dan indikator pagelolaan hutan secara lestari' telah diterapkan secara benar di lapangan oleh para pemegang WPH. Serifikasi dilakukan oleh pihak ketiga yang independent dan credible rnelalui kegiatan assessmnt atau penilaian di lapangan. Penilaian dilaksanakan dengan menggunakan knteria yang telah mendapatkan pengahan nasional dan intemasional. Karena itu kriteria hams dibuat sederniban ntpa sesuai dengan kondisi di Indonesia, dan sekaligus bersifat simpel dan mudah diterapkan. Pedoman ITTO mefiladi acuan penyusunm ktlteria penyusunan knteria pengelolam hutan lestari, sehingga aspek-aspek kepastian dan keamanan sumberdaya hutan, kelangsungan produksi, konsewasi, sosial ekonomi dan institusi a h menjadi isi pokok dari kriteria chn indikator.
Persiapan Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi ya Pedornaa XTTO untuk d , telah ditetapkan Kepuhsm jo. No. 576Kpts-W93 tentang an Marn Secara Lestari dan No. S-Iv93 tentang Kdteria dan h a a t o r fi-uzgelolaan Hutan M m Secara Lestari pada Thgkat Manajemen U ~ t . Penetapan Kepuhsan Mellteri K e h u h a n tersebut merupakan langkah antisipasi dan konsekuensi Indonesia sebagai salah satu negara a n a o t a TTTO untuk melaksanakan kesepakatan yang telah ditetapkan. Disadari, meskipun telah banyak ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan di bidang pengusahaan hutan untuk dapat malcapai pmgelolaan hutan secara lestari, tetapi masih diternukan kelemahan-kelernahan yang masih perlu adanya perbaikan baik sistem mauptln pelaksanaannya. Sehubungan dengan ha1 tersebut, pernerintah telah melakukan upayaupaya untuk meningkatkan produktivitas pengelolaan pengusahaan hutan serta kelestarian sumberdaya hutan melalui pendisiplinan IKPH, antara lain d e j a l a n dengan telah Pengelolam Hutan Alan T r M e n t e ~Kelhutmm No.
a
dikeluar
Tindakan preven6f agar pemegang K P W melaksanakan pengelolaan areal WM-nya secara profeslonal rnelalui blmbingadpembinaan IIPH dan pengadaadpen~n&atan tenaga teknis melalui DrXL AT
b. T h d A a n persuasit yaitu memberikan kesempatan kepada pemegang IIPH melaksanakan kqatannya sambil memperbaik dirinya sesuai peraturan penundang-undangan melalui surat tegoran/peringatan dan penilaian terhadap hnerjanya. c.
Tindnkm represif, yaitu berupa pengenaan sanksi denda atau pencabutan ijin KPH.
,ti.
Teri~adapijin HPH yang telah habis masa berlakunya, diperlakukan 1. Diperpanjang secara m u d , atau 2. Diperpanjang dalam bentuk I3lPW Patungan d 3 . Dicabut dan diserahkan pengeiolaannya kepa
Penertiban yang dilaksanakan oleh pernerintah tidak hanya dilakrnkan terhadap hutamya tetapi juga terhadap hasil hutan dan peredarannya, dimulai dari tempat penebangan sampai ke IPKIil dan peredaran kayu olahannya yang secara keseludannya terangkurn &lam sistern Tata U s h a M a y (TUK). Di samping itu telah dipesiapkan pembentukan Lembaga Ekolabel indonesia (LEI) dengan menunjuk Prof. E d S h oleh M e l l t e ~KehilPtaam pa& awal tahun 1994 sebagai ketuanya. Sebagai tindak lanjut dari penGukan tersebut, Prof. Elnil S& membentuk Keilompok Kej a Ekolabel yang ditugasi untuk menyusun konsep, prinsip dan kriteria yang sesuai untuk pmgelolaan hutan yang berkelanj mebnisme kelembagaan; dan syarat kelernbagaan perushaan assessor. Di lain pihak, sedang disusun pula beberapa rancangan peraturan keputusan Menteri Kehutanan sebagaimana yang telah 'digariskan di dalam S i s h S-dardsasi Nasiond, yaitu : a. Keputusan Menteri Meh an tentang Standar&sasi, S e d a a s i dan Akre&tasi lingkup Depatternen Kehutanan. b. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Konrite Akreditasi Kehutanan. Seperti telah disampaikan bahwa ekolabel (ecolaBelIr'ng) adalah $erupakan sistem sertifikasi, sehingga dalarn palerapannya memerlukan adanya kesiapan t -p yang meliputi : 1. =n>ar dan Pedolnan Pelaksanaan (manual); 2. Institusi (kelembagaan) dan mekanisme kerja; dail 3 . Penilai (assessor) Perangkat tersebut s m r a rillci dapat diuraika~sebagai berikut : '
C
Standar Pmgelolaan Hutan Lestari adalah rnempakan b a h mutu yang hams dapat dipen& oleh pengeloia hutan untuk meqeroleh sertifikat ekolabel (Ecolabelle'ng). Agar sertifikasi olabel yang ~nentpakam jaminan rnutu dapat diterima ol& konsumen di luar negeri, maka standar yang digunakan sebagai baku mutu pengelolaan hutan lestari. di dalam penyllsunamya di samping berpedoman kepada peraturan pemdmg-undangan nasional dan kritetiakriteria yang telah dikembangkm oIeh lembaga-lembaga di dalam negeri juga hams memperhatikan kriteria yang telah dikernbangkan oleh lernbaga, FSC, TSO, dsb.) Iembaga internasional (seperti . ITTO,
ed"
Saat ini sedang disusun kriteria dan indikator serta sistem penilaian oleh LEI. Sementara itu APHI telah selesai pula menyusun dan ma~erapkan dalam latihan penilaian untuk memperispakan pelaksanaan ekolabel. Peraturan pemdang-undangan di bidang pengusahaan dan ke dua rancangan tersebut dari s w substansinya telah menuju ke arah yang sama dan saling melengkapi, sehngga melalui h a m o ~ s a s iterhadap peraturan p~mdang-un&n@n akan dihasilkan satu SFM standar yang akan djadikan sebagai Stmdar Nasionai Pengeiof(amHutan Secara L e s a ~yang , untuk selanjutnya akan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan penilaian oleh para asesor di dalam proses sertifikasi. -. ..
2. ~ e l e m b a ~ a a n - dMekaeisrne m Ke j a
--
Kelembagaan dan mekanisrne kerjanya dituntut dapat memberikan jaminan pada masyarakat nasional dan intemasional bahwa produk hasil hutan tropis yang dipasarkan benar-benar berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, sehngga hams tercermin dari : a . hdenpendensi dari lembaga; b. Kredibilitas dari lembaga; dan c. Mekanisme kerja yang transparan. Untuk Indonesia, kelernbagaan sertifikasi dan labelisasi beserta asesor yang dibentuk perlu memperhatikan lembaga yang telah ada, yaitu D e w m Standarasasi Masiond @SN). Pada level nasional telah dibktuk Kolnite Akreatasi Nasiond ), dan pada Departemen Teknis dibentuk K o ~ t eABue&tasi Instansi T e h i s T ) yang beranggotakan wlsurunsur dari Departemen T e h i s yang bersangkutan, instansi terkait, pakar, LSM dan bekerja sama dengan lembaga intemasional. 3. Asesor
Dl dalam proses sertlfikasi, perusahaan asesor bertanggung jawan atas pel~gumpulaildan pengolahan data pemlalan yang hasilnya berupa inform as^ tentang lunerja (performnce) obyek sertifikasl (HP dasar penerbitan sertlfikasl ekolabel Karena besarnya tanggung jawab asesor tersebut, rnaka d~perlukan peisyaratan khusus yang hams drpenuhl oleh calon asesor, yang antara lam profeslonal dt btdangnya dan rnenguasal kntena pengelolaan hutan lestan " Dalam perslapan pelaksanaan ecolabelling, khususnya untuk mencapai keslapan b a g pengelola kawasan hutan sesual dengan target kelestanan tahun 2000, akan dladakan uj1 coba petlllaian dengan pentahapan sesuai dengan tata waktu sebagal benkut -
Penilaian kinerja IIPH dilaksanakan dengan m e n e w a k a n knteria atau ketentuan yang telah ada di dalam F o m s t ~Agreemnt yang tentunya telah dipahami oleh para pemegang W H . Dari hasil penilaian tersebut pemerintah cq. Departemen Kehutanan telah memberikan insentif k k a d a 6 HPH y a n g dinilai baik berupa pembebasan dari proses pengesahan K T .
Secara bertahap, diterapkan knteria atau ketentuan baru pengeldlaan hutan lestari yang telah disesuaikan dengan tmtutan masyarakat internasional Masa uji coba tersebut dimaksudkan juga sebagai masa pelatihan b a g HPH untuk men&adapi asesmen dalarn rangka sertifikasi (ekolabel). Hasil uji coba juga diharapkan akan rnenjadi kriteria (rancangan standar) yang telah disusun tersebut -
-
c.
TaQu200
-
vcPelaksanaan ecolaibelling sesuai dengan Target Kelestarian Tahuan 20CW) yang telah menjadi kesepakatan negara-negara anggota ITTO.
Indones~a sebagal pemasok kayu tropls yang besar dl pasaran ~nternasronal telah tnenyatakan tekadnya untuk rnengelola hutannya secara lestan dm mendukung Target K e l e s t a ~ mT A W 2 0 (ITTO Target on 2000 Year) Untuk itu telah dllakukan langkah-langkah ke arah pengelolaan hutan secara lestan dalam bentuk peraturan perundang-wdangan dan tindakan nyata dl lapangan Ecolabebling bukadah sesuatu yang baru dalam tata cara pengelolaan hutan secara lestan Sejak awal pemenntah cq Departemen Kehutanan telah komit dengan kelestanan hutan Berbagal upaya telah d~ternpuh dalarn menctptakan tujuan a h r pembangunan kehutanan tersebut, melalul pemb~naan dan pmd~ps~linan W H dan IPW yang sekallgus rnentngkatkan profeslonallsmenya Peraturan penmdang-undangan dl b~dang pengusahaan hutan serta kedua rancangan SFM standar (kntena dan ~nd~kator)yang sedang dtkernbangkan oleh AP I dan Pokja Ekolabel telah menuju ke arah yang sama dan sal~ngmelengkap~,s e h ~ n g adengan rnelalul harmonisasl d ~ h a ~ a p k a n
dapat dihasilkan satu rancangan Standar Nasiond Pengdolaan Hutan Secara Lestari. Sisa waktu lima tahun sebelum sampai pa& Target Kelesta~anTAW 2 0 perlu dimanfaatkan seefektif mun&n untuk mempersiapkan perangkat sertifikasi yang diperlukan di dalam penerapan ekolabel (ecolabelling), serta mendorong kesiapan para pemegang ijin WII di dalam rnenghadapi era penerapan tersebut.