DPRD DALAM OTONOMI DAERAH STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: SRI SAHLAWATI 105033201155
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi berjudul DPRD DALAM OTONOMI DAERAH STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik. Jakarta, 18 Juni 2010 Sidang Munaqasyah Ketua
Sekretaris
Dr. Hendro Prasetyo, MA
M. Zaki Mubarak, M.Si
NIP: 196407191990031001
NIP:197309272005011008
Penguji I
Penguji II
Suryani, M.Si
Drs. Armein Daulay, M.Si
NIP: 1504411224
NIP: 130892961
Pembimbing
Drs. Agus Nugraha,MA NIP: 196808012000031001
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 4 Mei 2010
Sri Sahlawati
DPRD DALAM OTONOMI DAERAH STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: SRI SAHLAWATI 105033201155
Di Bawah Bimbingan
Drs. Agus Nugraha, MA NIP: 196808012000031001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada program studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia dengan akhlak dan budi pekertinya menuju peradaban yang lebih baik, serta para keluarga dan sahabatnya. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DPRD Dalam Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyusunan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Hal ini tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan yang telah membantu selesainya skripsi ini. Sudah seharusnya penulis memberikan ucapan terima kasih kepada yang terkasih dan tercinta. Tiada ungkapan yang pantas untuk memberikan terima kasih kepada orang tua tercinta yaitu Abi (Drs. H. Muchtar Az. SH) setiap penulis melihatnya selalu dipenuhi rasa semangat dan Umi (Hj. Siti Janah) dengan cinta dan kasih sayangnya yang tak akan terhapus oleh zaman, maafkan atas segala air mata yang jatuh karna menghawatirkan penulis, tanpa amarahmu skripsi ini tidak akan selesai. Semoga rahmat Allah selalu menyertaimu berdua. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada kakak-kakaku, Sri Mulyati SH, Sri Ratna sari SPd. Dan adikku Syifa Fauziah,
i
kakak-kakak iparku, Syarif Hidayatullah S.sos, Kamaluddin SPd, serta penghilang letihku yaitu keponakan-keponakan aku, Luthfi Hariri dan Nadia Rahmah. Selanjutnya penulis meminta maaf dan mengucapkan terima kasih, permintaan maaf penulis sampaikan karena skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung skripsi ini, antara lain: 1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si, Dra Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag ketua jurusan Ilmu Politik, Bapak Zaki Mubarok M.Si sekretaris jurusan Ilmu Politik. 2. Bapak Drs. Agus Nugraha, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan sarannya, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis hanturkan rasa hormat dan terima kasih serta doa penulis agar Allah SWT kiranya menganugrahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan keluarga. 3. Ibu Suryani, terima kasih atas penjelasannya dan ilmunya, arahan dan masukan Ibu dalam Skripsi ini sangat bermanfaat untuk penulis. Terima kasih atas waktu yang Ibu luangkan untuk penulis, semoga Ibu selalu sehat dan senyum Ibu selalu ada untuk mencerahkan hari-hari di Fisip. 4. Bapak Dr. Sirojudin Aly, MA yang telah memberikan bimbingannya dan ilmunya dalam bahasa Arab, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd yang telah
ii
meluangkan waktu untuk membinbing bahasa Inggris, serta Bapak dan Ibu Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam, yang namanya tidak bisa disebutkan satupersatu, karena telah memberikan ilmu yang bermanfaat, pelajaran dan pengatahuan yang didapat penulis sangat membuka wawasan penulis. 5. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Perpustakaan DPRD Kota Bekasi, dan Perpustakaan Kota Bekasi, terima kasih atas pinjaman buku-buku yang bermanfaat dan berguna dalam penyelesaian Skripsi ini. 6. Bapak Ir. Muhammad Affandi anggota DPRD kota Bekasi 2004-2009 sebagai ketua pansus perda pelayanan publik yang sudah meluangkan waktunya untuk wawancara, terima kasih penulis sampaikan karena hasil kata-kata yang bapak ucapkan sangat berguna untuk penulis, Bapak Jaya Ekosetiawan SH selaku Lurah Jatiluhur, terima kasih atas waktunya untuk diwawancara dan memberikan informasi mengenai pelaksanaan pelayanan publik di kelurahan. Terima kasih pula penulis sampaikan Bapak Azhari ST Kasubag Risalah dan Persidangan yang telah banyak membantu penulis di DPRD dalam memberikan data, buku serta informasinya, penulis tidak akan melupakan jasa Bapak, Ibu Rosndajani Retno Dewanti, SH.MH yang membantu untuk memberikan datadata Kota Bekasi, Bapak Panji ST dari Dinas Perijinan yang memberikan Datanya, apa yang bapak berikan sangat bermanfaat bagi penulis. 7. Special thanks for Dhika Hafizh Pratama, terima kasih atas waktu yang selalu ada untuk penulis dan selalu menemaniku selama ini, tidak bosan untuk mendengarkan curhatan hatiku, terima kasih atas kritikan tajamnya yang seperti
iii
silet namun sangat membangun untukku,U are someone who is very meaningful in my life, love and the love may remain there for me. 8. Sahabat-sahabatku di Wida Salon Kost Popy, Rina, Icha, Ita, T’nu dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih ats kebersamaannya selama ini bagi penulis, never lost in my memory, teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan nilai-nilai edukasi dan fighting spirit LS-ADI Ed, Bagus, Didi, Bunga, K’wahyu, K’fiqran, K’dhani, K’Yudis dan semuanya kebersamaan kita adalah pelajaran hidup yang sangat berarti. HMI Ciputat Khususnya Kom. Usuluddin dan Filsafat, K’Adi, K’Fajar, K’suber dan temanteman seperjuangan di HMI, pelajaran berorganisasi dikampus Very Amazing. 9. Teman-teman Pemikiran Politik Islam, sekarang berubah jadi Ilmu Politik, Ns-3 Khususnya, Nita, Syifa, Selvi, sahabat berbeda karakter tapi kita memberikan keunikan dalam kebersamaan kita. Teman seperjuangan Rifki Pratama “Tejo”, dan Arif Ruslan, Rico, Komala. Juga teman-teman Lutfillah, Rifa, Anwar (tukang komplen), Ivan, Hendi, Awank, dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga kita takkan berubah, kalian semua adalah teman-teman yang memberi nuansa hidup selama dikelas PPI. 10.Teman-teman di Tafsir Hadist Fitriyani S.Th, Vina S.Th, Ulfa S.Th, Kamel S.Pd.I. teman ngebayolku, Muhammad Taufiqurahman Abdul Rifai “Monyet rabies” orang yang pertama kali memberi petuah-petuah sosialiscm. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang terkait, lembaga maupun perorangan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang secara langsung atu tidak langsung telah memberikan semangat dan membantu penulis dalam
iv
kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas jasa-jasa kalian. Amin. Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi para pembaca. Bekasi, Juni 2010
Penulis
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................i DAFTAR ISI.............................................................................................................vi DAFTAR TABLE....................................................................................................ix BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...........................................................12 C. Tujuan Penelitian..........................................................................................12 D. Kerangka Teori.............................................................................................13 E. Metode Penelitian.........................................................................................13 F. Sistematika Penulisan...................................................................................14 BAB II. DPRD DAN OTONOMI DAERAH .......................................................16 A. Pengertian Otonomi Daerah..........................................................................16 B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.................................22 B.1. Undang-undang No.5 Tahun 1974........................................................25 B.2. Undang-undang No. 22 Tahun 1999.....................................................26 B.3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004.....................................................28
vi
C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah ...........................................29 BAB III. GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI...........................33 A. Sejarah Kota Bekasi......................................................................................33 B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi...........37 C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi.........................................................42 C.1. DPRD Kota Madya Bekasi Tahun 1999-1999......................................44 C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004..................................................45 C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009..................................................46 BAB IV PERATURAN DAERAH N0.13 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK...................................................................................................55 A. Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik...........................................................................................55 B. Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik..............................................................60 C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik............................................................................................................69 D. Peranan DPRD Dalam Pengawasan Peraturan DaerahTentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik..............................................................71
vii
D.1. Pihak-pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik.....................................................................................................74 D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik.....................................................................................................76 BAB V. PENUTUP.................................................................................................81 A. Kesimpulan...................................................................................................81 B. Saran.............................................................................................................82 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................83 LAMPIRAN............................................................................................................88
viii
DAFTAR TABLE 1. Gambar 1 Bagan Alur Pengurusan Perijinan............................................................75 2. Gambar 2 Bagan Alur Pengurusan Pelayanan..........................................................76 3. Tabel 3 Contoh Pelaksanaan.....................................................................................76
ix
1
BAB I PANDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 telah mengubah sistem kehidupan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Perubahan sistem in tercermin pada pergantian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan ini tampak lebih berorientasi pada penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi dari pada efisiensi administrasi. Meski UU tersebut telah disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, semangat partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dengan menekankan perlunya efisiensi dalam penyelenggaraannya. Kini daerah memiliki jumlah dan bobot yang lebih besar dari pada sebelumnya secara politis, dan daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dari pada sebelumnya. 1 Lengsernya Soeharto dengan pemerintahan yang sentralis membawa angin segar bagi perbaikan hubungan daerah dan pusat, karena tuntutan akan adanya otonomi daerah dan perbaikan terhadap sistem pemerintahan daerah di hadirkan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah 1
M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Malang,Jawa Timur: BayuMedia,2006), Cet. 1, h. 95
2
tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. 2 Otonomi daerah diartikan sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri” sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar. 3 Otonomi daerah diberikan melalui desentralisasi politik dan desentralisasi administratif 4 , desentralisasi politik dimuat dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkuat posisi DPRD, yang kemudian di revisi dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satunya di sebutkan mengenai pemilihan kepala daerah dan DPRD secara demokratis melalui pemilu langsung. Sementara itu desentralisasi administratif yaitu pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengurus anggaran daerah dan sumber-sumber daerah. Hal ini semakin mendekatkan pelayanan
2
Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Edisi Revisi, 2003, h. 149 3 Ibid, h. 150 4 Willy R. Tjandra, Praksis Good Governance (Sewon Bantul: Pondok Edukasi, 2006), h. 7
3
pemerintahan kepada rakyat didaerah dalam proses administrasi, otonomi daerah dalam pihak ini harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijkaan ekonomi nasional di daerah. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu: pertama, untuk terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, berfungsi
mengelola
berbagai
dimensi
kehidupan
seperti
pemerintah
bidang
sosial,
kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri dan lain-lain. Oleh karena itu, tidaklah mungkin semua dilakukan dengan cara yang sentralistik, sehingga ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dalam otonomi daerah. Kedua, sebagai sarana pendidikan politik. banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara, pemerintah daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik, dan mereka yang tidak memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, mempunyai peluang untuk ikut dalam politik lokal. Ketiga, pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. karena pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan lahan yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir politik yang lebih tinggi dari dominasi lokal menjadi dominasi nasional. Keempat, stabilitas politik. stabilitas nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Kelima, kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
4
kesetaraan politik diantara berbagai kompenan masyarakat akan terwujud. Karena masyarakat di berbagai lapisan daerah mempunyai kesempatan untuk terlibat salam politik, melalui pemilihan kepala desa, bupati,walikota, dan bahkan gubernur. Dan masyarakat terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan mereka. 5 Sejalan dengan perubahan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada sejumlah perubahan yang menyangkut konsep kelembagaan di pemerintahan daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 6 menurut asas otonomi , dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, sedangkan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 7 Dengan adanya otonomi daerah yang luas diera reformasi ini memberi ruang DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, dahulu lembaga perwakilan rakyat (legislatif) berada dibawah dominasi eksekutif dipusat maupun daerah, hal ini karena Presiden Soeharto membangun hegemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Hal ini
5
Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , h. 153 6 Selanjutnya akan menggunakan kata DPRD 7 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah (Bandung: Humaniora, 2005), h. 115
5
dapat dilihat dalam strategi memperkokoh dominasinya, mengontrol dan mengendalikan secara total daerah-daerah. Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim soeharto terhadap lembaga perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No.5 tahun 1974 mengenai pengangkatan kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari DPRD diserahkan kepada Presiden, melalui Mentri Dalam Negeri. Ini pun berlaku dalam pengangkatan Bupati/Walikota. Hegemoni ini membuat DPRD yang begitu kuat dalam proses pemilihan kepala daerah menyebabkan DPRD mandul dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang dikehendaki rakyat. 8 Pasca lengsernya Soeharto, terjadi perubahan besar menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Semangat tersebut diakomodasi UU NO. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang mulai mengembangkan istilah demokrasi, partisipasi masyarakat, serta pengelolaan kekuasaan transparan. Pasal 18 Ayat 1, UU No.22 Tahun 1999 memberi kewenangan yang sangat penting bagi DPRD antara lain, memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil, dan Walikota/Wakil), serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Bupati/wakil Bupati dan walikota/wakil walikota bertanggung jawab kepada DPRD. Seiring berkembangnya demokratisasi di indonesia UU No.22 tahun 1999 di ubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu
8
Sadu Wasistiono, dan Ondo Riyani, ed., Etika Hubungan Legislatif Eksekutif (Bandung: Fokus Media, 2003), h. 234
6
alasan di rubahnya karena UU sebelumnya DPRD mempunyai otoritas terlalu besar terhadap Kepala Pemerintahan. Dan UU No.32 tahun 2004
dengan tegas
memisahkan antara badan legislatif dan eksekutif daerah. UU ini juga menegaskan bahwa kedudukan setiap unsur pemerintah daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki. Karena baik anggota DPRD maupun Kepala Daerah dipilih langsung oleh Rakyat, lewat pemilihan umum. Namun DPRD dan kepala daerah juga memiliki kewajiban antara lain, menjalin hubungan kerjasama dengan seluruh intansi vertikal di daerah. Serta memberi laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Walaupun ada pemisihan antara Kepala Daerah dan DPRD namun kedua lembaga ini bersifat sejajar dan bersifat kemitraan, keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai legitimasi yang sah. Namun Kepala Daerah dan DPRD mempunyai korelasi kerja satu sama lain, salah satu contohnya dalam UU No.32 Tahun 2004, pasal 24 menyatakan bahwa memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan perda ke DPRD, dan menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD. Dengan ini dilihat bahwa kerja Kepala daerah tidak bisa terlepas dari peranan DPRDnya 9 . Pada akhirnya segala urusan mengenai daerah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, tidak terkecuali bagi daerah manapun, dan DPRD sebagai Lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat harus bisa membuat kebijakan yang 9
116
Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, h.
7
sesuai dengan kepentingan publik. Kota Bekasi yang merupakan salah satu kota di Indonesia juga harus melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang sudah disepakati. Bekasi yang kini menjadi Kota dan terlepas dari kabupaten Bekasi mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukannya. Bekasi juga merupakan daerah yang diduduki oleh penjajahan Belanda dan Jepang, pasca kemerdekaan Bekasi ditata menjadi Kabupaten. Terbentuknya kabupaten Bekasi juga tidak lepas dari aspirasi masyarakat Bekasi untuk dibentuknya Kabupaten Bekasi yang awalnya Kabupaten Jatinegara. Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Dan perkembangan pemerintahan Republik Indonesia pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, berdasarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 1981 kecamatan bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 kecamatan, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara. Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaraan itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan khusus. Pembentukan kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1981 yang dihadiri mentri Dalam Negeri (Mendagri).
Dan perkembangan yang
ditunjukan Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan Otonomi daerah. Dan untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU No. 9 Tahun 1996
8
yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dan yang menjabat sebagai walikotamadya adalah Drs.H.Khailani AR, selama satu tahun (1997-1998). 10 Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie (1998-2003). Setelah pemilihan umum berlangsung terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota Bekasi yaitu: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad (periode 2003-2008), dan pada tahun 2008 terpilih walikota Moechtar Muhammad sebagai Walikota dan Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota (periode 20082013), yang terpilih lewat pemilihan kepala daerah langsung oleh warga Kota Bekasi. Kota
Bekasi
setelah
berbentuk
Kotamadya
mulai
membuktikan
kemandiriannya dalam mengembangkan Kota Bekasi, dengan didukungnya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kota Bekasi menunjukan geliatnya dengan membangun sektor perekonomian yang lebih nyata. Ini bisa dilihat pada awalnya perekonomian Bekasi baru berkembang disepanjang Jl.Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari Alun-alun Kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat pusat pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store dan bioskop. Sejak tahun 1993, perekonomian mulai berkembang disepanjang Jl. Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat perekonomian telah berkembang hingga Jl. KH. H. Noer Ali ( Kalimalang), Kranji, 10
http// www.Kota Bekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
9
dan Harapan Indah. Di daerah ini bisa dilihat dengan adanya hotel, banyaknya mal, pertokoan,bank serta restoran dan perumahan-perumahan mewah yang ada di daerah ini. Dan kini pusat perekonomian telah berkembang sampai di beberapa kecamatan bekasi salah satunya kecamatan Jati Asih, di kecamatan ini sudah dibuka akses jalan tol yang menghubungkan ke Jabodetabek sampai ke bandung, juga ada supermarket, restoran, bank, perumahan-perumahan dan sarana transportasi angkutan umum yang sudah menjangkau kebeberapa kota. Berkembangnya sektor perekonomian di kota Bekasi, diiringi dengan pemerintahan daerah yang stabil dan kuat, pemerintah daerah Kota Bekasi sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah pertama pada tanggal 27 januari 2008 untuk memilih wali kota secara langsung. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang memakai cara walikota dipilih oleh anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat daerah). Pemilihan kepala daerah tersebut diikuti oleh tiga pasang calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Mochtar Mohammad dan Rahmad Effendi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Sedangkan dalam pemilihan anggota DPRD secara demokratis sudah dilakukan terlebih dahulu pada tahun 2004 bersamaan dengan pemilu nasional, dan mengantarkan 54 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS(11), Golkar(9), P.Demokrat(7), PAN(6), PPP(4), PDS(1), PBB(1), periode 2004-2009, yang terpilih sebagai
pimpinan
DPRD
ketua
H.Rahmat
Effendi,S.Sos,M.Si,(F-Golkar),
didampingi oleh H.Dadang Asgar Noor (F-P.Demokrat) dan H. Ahmad Saiykhu (FPKS). 11 11
http// www.Kota Bekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
10
Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat penelitian karena secara geografis Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok dan Cikarang, serta menjadi tempat tinggal masyarakat yang bekerja dijakarta. Oleh karena itu ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota wilayah jabodetabek, Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan DKI. Kota Bekasi akan semakin strategis sebagai Kota Pengimbang (Trickling Down Effect) untuk mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta.
Dengan
kondisi ini di asumsikan penduduk kota bekasi pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai 2.250.000 jiwa, laju pertumbuhan Kota Bekasi dari tahun ketahun terus meningkat, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 1.708.337 jiwa dan bertambah pada tahun 2005 2.001.899 jiwa, dan pada tahun 2007 sampai saat ini mencapai 2.143.804 jiwa. Kota Bekasi diarahkan untuk pengembangan jasa, perdagangan, industri dan pemukiman, sebagai bagian dari pengembangan kawasan terbangun atau perkotaan dengan koridor timur barat (poros Bekasi-Jakarta-Tangerang). Kelengkapan infrastruktur menjadi nilai tersendiri ketika memilih hunian di Bekasi. Maraknya pusat properti komersial di Bekasi, juga bisa menjadi sinyal bahwa kebangkitan pembangunan properti di Bekasi akan semakin jelas. Dari data survei yang dilakukan PT Procon Indah yang dilangsir pada jakarta property market review
11
2007 tingkat hunian di Kota Bekasi mencapai persentase 90,6%, Jakarta 85,9%, Tangerang 73,2%, dan Bogor57,0%. 12 Meningkatnya sektor perekonomian di Kota Bekasi tentu harus diikuti dengan kinerja DPRD sebagai lembaga politik yang membuat kebijakan publik bagi warganya. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, karena dalam Undang-undang ini mulai diterapkannya standar pelayanan minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 11 ayat (4) menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”. Salah satu prestasi dibidang pemerintahan yang dicapai Kota Bekasi pada tahun 2005-2006 adalah juara lomba pelayanan publik tingkat nasional pada tahun 2005 dan lomba evaluasi kinerja kelurahan tingkat Provinsi selama dua tahun berturut-turut, pada tahun 2005 kelurahan Jaka Sampurna dan pada tahun 2006 kelurahan Bintara yang menang dalam pelayanan masyarakat, padahal pada saat itu Kota Bekasi belum mempunyai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pelayanan publik. 13 Ini menjadi pekerjaan rumah bagi DPRD, untuk meningkatkan pelayanan dibidang pemerintahan maka DPRD harus membuat peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan standar pelayanan minimum. Hal ini menarik untuk dikaji karena dengan adanya arahan terhadap 12
http://www.Jatisari, hunian kota bekasi. Html, diakses pada tanggal 27 Januari 2010. Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 13
12
pelayanan publik seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004, apakah DPRD berperan dalam pembuatan peraturan daerah ini dan melihat seperti apa DPRD Kota Bekasi memberi ruang terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi. Selain alasan objektif diatas alasan subjektifnya adalah penulis lahir dan dibesarkan di Kota Bekasi. Dan dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat berguna bagi masyarakat Kota Bekasi, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota Bekasi dalam menjalankan roda pemerintahan. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Perubahan sistem otonomi daerah yang berdampak pada keterbukannya demokrasi politik di Indonesia, membawa babak baru bagi DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Begitu juga dengan DPRD di Kota Bekasi, dengan adanya otonomi daerah DPRD Kota Bekasi mempunyai hak untuk membuat kebijakankebijakan di daerah yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Bekasi. Karena luasnya pembahasan mengenai peran DPRD Kota Bekasi dalam membuat peraturan daerah, agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis membatasi dan memfokuskan kajian pada DPRD Dalam Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyususnan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, oleh karena itu, pembahasan akan dirumuskan pada seputar: 1. Bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik ?
13
C. Tujuan Penelitian Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan dalam penelitian skripsi ini penulis memiliki dua tujuan, umum dan khusus. Tujuan umum disini di antaranya: 1. Untuk mengetahui Peranan DPRD dalam otonomi daerah 2. Untuk mengetahui bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyususnan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik Sedangkan tujuan khusunya adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan, dan untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos ) D. Kerangka Teori Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Otonomi Daerah yang mengacu buku karangan Dr. J. Kaloh dengan judul Mencari Bentuk Otonomi Daerah, sedangkan dalam teori pemerintahan daerah mengacu pada BN Marbun, SH. DPRD Pertumbuhan dan Cara kerjanya, dan untuk teori pembentukan kebijakan publik akan mengacu pada Prof. Dr. Sadu Wasistiono, M.S. dan Drs. Yonatan Wiyoso, M.Si dengan buku Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) E. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan data-data bagi penelitian skripsi ini, penulis menggunakan penelitian perpustakaan (library research), yaitu mengumpulkan
14
data-data dengan cara membaca karya ilmiah, buku, media masa, jurnal-jurnal, dan menggunakan metode wawancara kepada kepada sumber yang mengerti pembahasan ini . dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan, penulis juga akan ke DPRD untuk mendapatkan data yang akurat mengenai pembahasan tema ini. Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu suatu pendekatan dengan mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang berkaitan dengan tema yang dimaksud serta menganalisanya. Sehingga ada data yang pasti mengenai peraturan daerah maupun refrensi lain, agar diperoleh suatu jawaban yang pasti, Skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, karena akan mengolah data, subjektif, melakukan wawancara dan menggunakan sebuah teori. Karena analisis kuantitatif umumnya digunakan untuk membuat angket, objektif, skala dan meninbulkan teori. Secara umum, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku-buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA (Center For Quality devolopment and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2008. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun menggunakan pembahasan bab per bab. Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut:
15
Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua akan dibahas tentang DPRD dan Otonomi Daerah, yang berisi pengertian Otonomi Daerah, DPRD Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah. Pada bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Tentang Kota Bekasi yang membahas, Sejarah Kota Bekasi, Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi dan Penjelasan Umum Kota Bekasi . Pada bab keempat penulis mencoba menganalisis mengenai Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Kota Bekasi Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Pengawasan peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Pada bab kelima akan ditulis Kesimpulan dan Saran.
16
BAB II DPRD DAN OTONOMI DAERAH A. Pengertian Otonomi Daerah Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasika dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asalusul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman
tingkat pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau
desentralisasi yang merupakan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom. 1 Sejak kemerdekaan hubungan kekuasaan Pemerintah pusat dan daerah selalu berubah, hal ini bisa dilihat dalam bentuk kebijakannya. Pada masa Soekarno pemerintah pusat mulai berusaha untuk mengembangkan otonomi daerah pada tahun 1957 dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957, namun hal ini gagal diterapkan dan menimbulkan kekecewaan pada pemerintah daerah yang menilai sistem pemerintahan yang sentralistis dan tidak memberikan ruang yang memadai terhadap 1
J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 1
17
otonomi daerah, sampai akhirnya pada masa pemerintahan Soeharto pengaturan politik lokal dibenahi dengan hegemoni yang kuat dari pusat kedaerah. Soeharto mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional. 2 DPRD pada masa Orde Baru seringkali dianggap hanya sebagai “simbol demokrasi”. 3 Penilaian tersebut datang dari kalangan masyarakat yang melihat bahwa fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan tidak teraktualisasikan di dalam praktik politik. Padahal, kulaitas demokrasi sangat ditentukan oleh aktualisasi fungsi-fungsi lembaga perwakilan untuk menjamin hubungan konsultatif antara masyarakat
dengan
eksekutif
dalam
merumuskan
kebijakan
menyangkut
kepentingan masyarakat umum. 4 Hubungan konsultatif yang dimaksudkan disini adalah hubungan saling berbagi pendapat dengan cara rasional di dalam proses pembuatan keputusan politik yang menyangkut kepentingan umum. 5 Selama hampir seperempat abad kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada UU No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang di buat pada masa Soeharto. Akhirnya setelah Soeharto lengser, bergulir era reformasi ada suatu desakan dari kalangan politik lokal agar ada perbaikan hubungan antara Pusat dan daerah. Dan timbul keinginan daerah agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat kedaerah. Akhirnya tanggal 7 mei 2
Pratikno, “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta:Lipi Press, 2007), h. 31-33 3 Mochammad Nurhasim, ed., Kualitas Keterwakilan Legislatif: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, Jatim dan Sulsel (Jakarta: P2P LIPI, 2001), h. 1 4 Priyatmoko, Akuntalisasi Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Kerangka Analisis dan Beberapa Kasus, dalam Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong, ed., Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1993), h. 143 5 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik FISIP Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h. 18
18
2001 lahirlah UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang
menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi daerah, 6 Jika dimasa lalu kebijakan di tingkat pemerintahan daerah lebih tergantung pada kebijakan pemerintah pusat, atau dominasi pusat (heavy excecutive) yang menekan dominasi daerah (heavy legislatif). Maka dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 kewenangan pemerintah daerah menjadi lebih luas dan otonom, dan tidak bergantung pada kebijakan pusat. 7 Menurut E. Erikson dalam Save M. Dagun otonomi secara etimologi diambil dari kata (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga pengertian yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah dan mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain. Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-rintangan masa mudanya. 8 Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan urusan internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam batas tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur pemerintahannya sendiri. 9
6
Syaukani, dkk., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan ( yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), h. 14 7 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h. 8 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 759 9 BN. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), h. 350
19
Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan yang berlaku. 10 Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan citacita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur, pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah. M. Turner dan D. Hulme dalam Dede Rosyada berpandangan bahwa yang dimaksud
dengan
otonomi
daerah
adalah
transfer
kewenangan
untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial dan fungsional. 11 Pendapat lain di kemukakan oleh Rondinelli yang mendefinisikan otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan. Manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba. 12
10
Save, M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 759 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 151 12 Ibid., h. 151 11
20
Negara
Indonesia,
sebagai
negara
kesatuan
republik,
dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi bahan pembicaraan jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Murtir Jeddawi dalam bukunya mengutip tulisan Mohammad Hatta dalam tulisan ke arah Indonesia merdeka (1933) menyebutkan: “ Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia menegaskan pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat. 13 Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
DPRD juga
memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan
regional
dan
lokal
untuk
mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan budaya, 13
Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan, Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah (Yogyakarta: Kreasi total Media, 2008), h. 133
21
otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal. 14 Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan agama. Urusan pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota), sedangkan urusan kabupaten/kota ( Desentralisasi) berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam suatu kabupaten/kota). 15 Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan manfaat lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota. Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang
kesehatan,
penyelenggaraan
bidang
pendidikan
(khusus
provinsi
ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia potensial), penanggulangan 14
M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah , h.10-11 15 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global , h. 172
22
masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertahanan, kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 16 Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat. Meskipun demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundangundangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat. 17 Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah yang ada didepan mata pemerintah daerah. B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Persoalan otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945 yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945. Beranjak dari pasal tersebut lahir pula 16
M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cet. 1, h.141-142 Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah” dalam Syamsuddin Haris, ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 209 17
23
berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah untuk menjabarkan pasal 18 UUD 1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di kepulauan ini. 18 Dari aspek dasar hukum tata negara, karena UUD RI Tahun 1945 telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan sistem pemerintahan daerah. Maka Undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu perubahan UU No.22 Tahun 1999, didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 19 Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang telah mengalamai perubahan yang cukup mendasar lewat amandemen UUD 1945 (1999,2000,2001,2002), 20 akhirnya dalam amandemen terbaru UUD 1945 merumuskan pasal 18A dan Pasal 18B yang berbunyi: a. 1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, 18
Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h.243 19 J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 22 20 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h.4
24
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. 2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumbee daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. b.
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Adapun hasil rumusan Amandemen pasal 18 UUD 1945 sudah lebih rinci
dan tegas dibanding dengan isi pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemenkan tahun 2000 oleh MPR. Dari isi UUD 1945 tersebut menjadi jelas bahwa pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan pembentukan pemerintahan daerah yang akan diatur dengan undang-undang, bahwa daerah-daerah dimaksud akan bersetatus otonom dan akan memiliki DPRD, serta pemerintah daerah. 21 Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk 21
Ibid, h. 26-27
25
kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini: B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18 Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menunda berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut. Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal lembaga BPH atau DPD. 22 Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas 22
2006), h.76
BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan,
26
bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan terhadap Kepala Daerah. 23 B.2. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas dalam
merumuskan,
mengelola,
dan
mengevaluasi
kebijakan
publik
terakomodasi. 24 DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5 Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. 25 Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar dapat
merealisasikan 23
aspirasinya.
Penguatan
masyarakat
dilihat
dengan
Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252 L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 39 25 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 140 24
27
diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota. UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah merupakan pemerintah daerah (local government). 26 Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakilnya oleh DPRD. 27 B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 26
Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah (Bandung: Humaniora, 2006), h. 117 27 Lihat Penjelasan Pasal-pasal UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
28
Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun 2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam praktiknya
DPRD
mendominasi,
sehingga
memunculkan
ketidakstabilan
pemerintahaan daerah. 28 Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi
28
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 71
29
pemilihan umum daerah (KPUD), KPUD bertanggung jawab kepada DPRD setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD. 29 Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung. UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab untuk membuat kebijakan publik. C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah Peran DPRD dalam otonomi daerah yang dimuat dalam undang-undang pemerintahan daerah selalu berubah arah kebijakannya, ini dikarenakan adaptasi pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerintah pada awal kemerdekaan belum stabil, sehingga dari awal kemerdekaan hingga sekarang kebijakan Peran DPRD dalam otonomi daerah berbeda-beda. UU No.1 tahun 1945
merupakan undang-undang pertama tentang
pemerintahan daerah, DPRD pada ketika itu disebut Komite Nasional Daerah yang 29
Muhammad Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 123
30
pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan rakyat daerah (BPRD) yang menjadi badan legislatif. Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD. Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah sangat bergantung kepada DPRD. Dalam UU No. 1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada DPRD. 30 Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di Undangkannya UU No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala daerah dan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Pergantian kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI, mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan oleh UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, BPH dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Negara, Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden 31 .
30
h.75-81
31
Oentarto Sindung Mawardi, dkk., Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan,
S.H. Sarundajang , Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Kata Hasta, 2005), h. 118-119
31
Adanya reformasi 1998 menjadi arus balik kewenangan pusat kepada daerah, tuntutan untuk diterapkannya otonomi daerah yang tidak sentralistis di tuangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No.5 tahun 1974, undang-undang ini juga menjadi babak baru bagi perjalanan otonomi daerah dan kepemimpinan Presiden Soeharto yang digantikan Oleh Habibie. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peran sentral kepada DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala daerah dan memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD, apa bila tidak bertanggung jawab maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah yang bersangkutan. UU No.5 Tahun 1974 dinilai gagal dalam mewujudkan hak-hak daerah dalam mengembangkan daerahnya sendiri, karena masih terkontrol oleh pusat. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi Kepala Daerah dengan DPRD. UU No. 22 tahun 1999 secara tegas menetapkan bahwa didaerah dibentuk DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat daerah 32 . Seiring perjalanan otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 di revisi pada masa pemerintahan Megawati dengan penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini DPRD tidak mempunyai 32
S.H. Sarundajang, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), Cet.4, h. 7
32
kekuasaan penuh terhadap Kepala Daerah, karena Kepala Daerah dipilih oleh rakyat lewat pemilu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Pola hubungan DPRD dan kepala daerah sebagai mitra dan bekerja sama untuk mengembangkan daerah otonomnya sendiri. Negara Indonesia di bawah pemerintahan orde baru kurang lebih 30 tahun menerapkan pelaksanaan sistem yang sentralistik ini kemudian melakukan gelombang protes dari tahun 1997 sampai 1998. Banyaknya tuntutan agar ada perbaikan pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah dan memberikan peran DPRD sebagimana mestinya, akhirnya dikeluarkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang membuat posisi DPRD kuat sebagai lembaga legislatif. Penerapan otonomi daerah, sesuai dengan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang pemerintahan daerah telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.33 Pelaksanaan otonomi daerah secara demokratis bisa dilihat dalam pelaksanaan pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota DPRD sebagai lembaga legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang sejak juni 2005 di sebagian negara Indonesia. Pemilihan kepala daerah disinyalir untuk memperkokoh demokrasi dan sebagai bagian program desentralisasi yang berkesinambungan, yang menjadikan kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya langsung bukan kepada DPRD, seperti yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 yang berpotensi besar untuk memperkuat tata pemerintahan.
33
Mardiyanto, “Penerapan Otonomi Daerah Di Jawa Tengah: Masalah Desentralisasi, Demokratisasi Dan Akuntabilitas” dalam Syamsuddin Haris ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 317
33
33
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI A. Sejarah Kota Bekasi Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669 M). Luas kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga kewilayah sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan filologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah diwilayah Bekasi sekarang. 1 Dayeuh Sundasembawa merupakan daerah asal maharaja Tarusbawa (669723 M) pendiri Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang seterusnya menurunkan raja-raja sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya, raja Sunda yang terakhir. 2 Kata Bekasi diduga berasal dari suku kata Chandrabhaga, salah satu suku kata dalam Prasasti Tugu. Dalam bahasa sansakerta Chandra berarti Bulan, dan Bhaga berarti Bahagia. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang pakar bahasa, kata Chandra dalam bahasa Jawa Kuno sama dengan kata Sasi. Sehingga
1
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007 (Bekasi: Badan Infokom Kota Bekasi, 2007), h. 8 2
Ibid
34
Chandrabhaga juga identik dengan Sasibhaga, jika dilafalkan terbalik menjadi bhagasasi, yang lambat laun menjadi Bekasi. 3 Wilayah bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan Prasasti kabantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baginda Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis pada lima lempeng tembaga. Sejak abad kelima masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara, abad kedelapan Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni penghubung antar daerah ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta). Ketika Belanda datang merebut Jayakarta pada 31 mei 1619 dan nama jayakarta diubah menjadi Batavia. Bekasi pada zaman Hindia belanda hanya merupakan kewedanaan (district) yang termasuk dalam regenshaf (kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya sektor ekonomi dan pertanian didominasi dan dikuasai oleh para tuan tanah keturunan cina, sehingga dengan kondisi tersebut seolah-olah bekasi mempunyai bentuk pemerintahan ganda yaitu pemerintahan tuan tanah didalam pemerintahan colonial. Kondisi ini berlangsung hingga kependudukan Jepang. 4
3
Denny Bratha Affandi, Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase (Bekasi: Rinjani Kita, 2009), h. 3 4 Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi , (Bekasi: Pemkot Bekasi, 2009), h. 2
35
Pada bulan maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara dai Nippon. Tentara pendudukan Jepang melaksanakan japanisasi disemua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang daerahnya meliputi Gun Bekasi, Gun Cikarang, Gun kemayoran, dan Gun Mataram. 5 Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 struktur pemerintah kembali berubah nama, Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa./Kelurahan. Dalam upaya pertahanan perang gerilya menghadapi agresi Belanda, maka Saat itu Ibu Kota kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu Cikarang, kemudian Bojong (Kedung Gede). Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya Suryanata Miharja. Kemudian saat kependudukan oleh tentara Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis yaitu menjadi kewedanaan. Kewedanaan Bekasi termasuk daerah Batavia En Omelanden sedangkan batas bulak kapal ketimur termasuk wilayah Negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandschindie 1948 Nomor 178 Negara Pasundan. Ketika proklamasi dikumandangkan, rakyat dikota-kota sekitar Jakarta termasuk Bekasi, menyambut dengan suka cita. Pergerakan melawan kekejaman Jepang di Bekasi yang muncul dimana-mana sampai menimbulkan peristiwa yang
5
Ibid, h. 3
36
kemudian dikenal sebagai ‘Tragedi Kali Bekasi’ pada 19 Oktober 1945 dan peristiwa “Bekasi Lautan Api” pada 23 November 1945. 6 Dalam proses selanjutnya, ketika situasi semakin membaik, Bekasi yang merupakan kewedanaan bagian dari kabupaten Jatinegara dikritisi oleh rakyat dan tokoh masyarakat dengan membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Pada 17 Januari 1950 mereka menggelar rapat raksasa yang juga dihadiri 40.000 rakyat Bekasi. 7 Mereka menyampaikan hasrat dan pernyataan sebagai berikut: 1. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi. Setelah tiga kali pembicaraan dari Februari sampai Juni 1950, akhirnya Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) menyetujui pembentukan Kabupaten Bekasi. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1950 Tanggal 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi. Pada saat itu Kabupaten Bekasi terdiri dari empat Kewedanaan, 13 Kecamatan, dan 95 Desa, mulai saat itu pula kecamatan cibarusah masuk kedalam wilayah Kabupaten Bekasi. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto Kabupaten Bekasi adalah “Swatantra Wibawa Mukti” selanjutnya mulai Tahun
6
7
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
Chotim Wibowo, dkk., Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar (Bekasi: Satu Visi, 2004), h. 4
37
1960 kantor Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi (Jl. H Juanda). Dengan Bupati pertama R. Suhandar Umar, SH. 8 Perkembangan Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ketahun, sebagai Kota penyangga Ibu Kota Jakarta dan kabupaten Bekasi mulai diperhitungkan dari segi perekonomian dan politik, perkembangan dari pemerintahan pada saat itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat,
maka
pada
Tahun 1982 saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah, komplek perkantoran pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi yang semula berlokasi di JL. Ir. H. Juanda dipindahkan ke Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bekasi. 9 Tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan memerlukan adanya pelayanan khusus, dan perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Bagaimana Kecamatan Bekasi menjadi Kota Bekasi akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi Kota Bekasi berasal dari pemekaran Kabupaten Bekasi, yang awalnya menjadi kecamatan Kabupaten Bekasi. Kecamatan Bekasi merupakan kecamatan yang lebih berkembang dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bekasi. Berkembangnya kecamatan Bekasi dikarnakan kantor Kabupaten bekasi yang berada di kecamatan Bekasi dan adanya tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan yang memerlukan pelayanan khusus, akhirnya perkantoran pemerintah
8 9
Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h. 6 Ibid h. 6-7
38
daerah Kabupaten Bekasi di pindahkan dari kecamatan Bekasi karena perkembangan kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Bekasi Selatan, keseluruhannya meliputi 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan) Desa. Peresmianya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982. Walikota administratif Bekasi pertama dijabat oleh Soedjono (1982-1988), selanjutnya pada Tahun digantikan oleh Drs. Andi R. Sukardi (1988-1991), dan pada Tahun 1991 Walikota administratif Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR. Sampai Tahun 1997. 10 Dengan adanya kebijakan konsep BOTABEK (Bogor Tangerang Bekasi) yang merupakan pelaksanaan inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Negara maka Kota Administratif Bekasi dan kecamatan-kecamatan sekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami perubahan sangat pesat, sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana sebagai syarat pengelolaan wilayah.
10
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
39
Perkembangan yang ada telah menunjukan bahwa Kota Administratif Bekasi mampu memberikan dukungan kemampuan dan menggali potensi diwilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, maka melalui UU No. 9 Tahun 1996 Kota Administratif Bekasi ditetapkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dengan wilayah kerjanya meliputi: wilayah kerja Kota administratif Bekasi yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi Selatan ditambah dengan wilayah kerja Kecamatan Pondokgede, Jatiasih, Bantargebang, dan Kecamatan pembantu Jatisampurna. Keseluruhannya meliputi 23 Desa dan 27 Kelurahan. Selaku pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR, selama satu tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi Definitif yang pertama dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie. Dalam perkembangan telah terjadi perubahan dalam jumlah dan status Kelurahan/Desa.
Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri No. 140/2848/puod
tanggal 3 September 1998 dan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 50 Tahun 1998 telah terjadi perubahan status 6
Desa menjadi 2
Kelurahan baru, sehingga jumlah Desa/Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi menjadi 52 terdiri dari 35 Kelurahan dan 17 Desa. Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan Pemerintahan
40
Daerah di Indonesia. Seiring dengan
itu Nomenklatur Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Pemerintahan Kota Bekasi, selanjutnya sebagai tindak lanjut pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonom, serta peraturan pemerintah No.84 Tahun 2000 tentang pedoman Organisasi Pejabat Daerah, adalah peraturan pemerintah yang mendasari ditertibkannya peraturan Daerah No. 9, 10,11 dan 12 yang mengatur tentang organisasi perangkat Daerah, selanjutnya guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui peraturan daerah No. 14 tahun 2000 telah dibentuk 2 Kecamatan baru yaitu Kecamatan Rawa Lumbu dan Kecamatan Medan Satria, sehingga Kota Bekasi terdiri 10 Kecamatan. 11 Berdasarkan peraturan daerah Kota Bekasi No.02 tahun 2002 tentang Penetapan Kelurahan, maka semua desa yang ada di Kota Bekasi berubah statusnya menjadi Kelurahan, sehingga pemerintah Kota Bekasi mempunyai 52 pemerintah Keluarahan. Dalam perjalannya guna lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka wilayah administrasi Kota Bekasi mengalami pemekaraan kembali, dan melalui peraturan daerah Kota Bekasi No.4 Tahun 2004 tentang Pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan maka wilayah administrasi Kota Bekasi menjadi 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan, kecamatan Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara, jati Asih, Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Sampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustika Jaya, Pondok Melati.
11
Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h.7-8
41
Perjalanan Kota Bekasi dalam pembentukan wilayah Administratif sampai Kota Madya, mengalami perjalanan yang rumit, hal ini terlihat dari pemekaran kecamatan yang terus bertambah. Dengan mengikuti dinamika politik dan peraturan pemerintah yang ada. Namun kota bekasi bisa berkembang seiring dengan sistem yang ada. Kota Bekasi terletak di wilayah pantai utara Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 210 Km2 dengan batas wilayah: Bagian Barat berbatasan dengan DKI Jakarta, Bagian Timur berbatasan dengan kabupaten Bekasi, Bagian Utara dengan Kabupaten Bekasi, dan Bagian Selatan dengan kabupaten Bogor dan Kota Depok. Pada saat Kota Bekasi diresmikan menjadi Kotamadya tahun 1997 tercatat jumlah penduduk sebanyak 1.471.477 jiwa dan meningkat pada tahun 2000 sebanyak 1.637.610 jiwa. Dan pada tahun 2005 tercatat 2.001.899, dari tahun ketahun laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Sehingga laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 tercatat 2.143.804 meningkat 3,49% dibanding tahun 2005. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi dari tahun ketahun menuntut pemerintah Kota Bekasi untuk bisa memenuhi kebutuhan warganya dan terus memperbaiki sistem birokrasi yang ada. Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Bekasi No. 37-174.2/DPRD/2003 tanggal 22 februari 2003 tentang penetapan Walikota dan Wakil Walikota Bekasi 2003-2008, dan ditindaklanjuti dengan keputusan Mentri Dalam Negeri No. 131.32-113 Tahun 2003 tentang Pengesahan pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Walikota Bekasi Propinsi Jawa Barat, dan Keputusan Mentri dalam Negeri No. 132.32-114 Tahun 2003 Tentang
42
pengesahan Pengangkatan Wakil walikota Bekasi propinsi Jawa barat, dan telah ditetapkan H. Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar Muhammad sebagai Wakil Walikota Bekasi. Yang dipilih oleh anggota DPRD Kota Bekasi dan meraih suara terbanyak. Dengan adanya UU No.32 Tahun 2004, pemilihan WaliKota dan Wakilnya tidak lagi dipilih oleh DPRD tingkat setempat, seperti pada UU No.22 Tahun 1999, maka pada tahun 2008 Kota Bekasi merealisasikan UU No.32 Tahun 2004 dengan diadakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang dipilih oleh warga Kota Bekasi. Dan terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota yang baru, dan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 dan 132.32-77 Tahun 2008 Tanggal 21 Februari 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian dan pengesahan Pengangkatan Mochtar Muhammad sebagai Walikota Bekasi dan H.Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota Bekasi masa Jabatan 2008-2013. Yang memenangi Pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Bekasi. Pemekaran Kecamatan Bekasi dari Kabupaten Bekasi akhirnya mengalami perkembangan yang pesat sampai akhirnya dengan segala dimensi yang ada Kecamatan Bekasi menaiki tahap dari Kota Administratif dan kini menjadi Kota Bekasi. Hal ini juga tidak terlepas dengan adanya dorongan kebutuhan masyarakat kota bekasi dan keinginan Pemerintah Bekasi untuk memberlakukan hak otonom di daerah Kota Bekasi. Dengan penerapan Otonomi Daerah di Kota Bekasi, pemerintah kota Bekasi bisa mengoptimalkan sumberdaya manusia dan sumber alam untuk dikelola oleh pemerintah daerahnya sendiri. Sehingga pemerintah Kota Bekasi bisa mengembangkan kotanya tanpa ada campur tangan pusat, ini menjadi
43
pembuktian Kota Bekasi untuk bisa mandiri menjalankan roda Pemerintahan dan roda perekonomian sendiri dalam rangka penerapan otonomi daerah. C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi Kota Bekasi lahir pada 11 Maret 1996 hasil pemekaran dengan Kabupaten Bekasi yang saat ini masih bersetatus kotamadya Bekasi. Saat lahir, Kota Bekasi memiliki 8 Kecamatan dan 23 Desa dan 27 Kelurahan, yang kemudian berkembang menjadi 12 kecamatan dan 56 Keluarahan. DPRD Kota Bekasi lahir bersamaan dengan lahirnya Kota Bekasi hasil pemilu 1997. DPRD Kota Bekasi dibentuk berdasarkan UU No. 9 Tahun 1996 dan diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997. Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan menitikbertakan otonomi daerah pada Kabupaten/Kota terjadi pergeseran paradigma pemerintahan dari pola sentralis menjadi pola desentralisasi. Pemerintah bekasi dan DPRD bekerja sama untuk merubah perencanaan dan pelaksanaan yang selama ini dikendalikan oleh pusat, yang dahulu dari top down policy kepada bottom up planning dengan pola pendekatan. Partisipatif artinya melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta (dunia usaha) untuk berperan serta dalam pembangunan. Transparansi artinya keterbukaan dari berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengawasan. Akuntabilitas artinya dapat dipertanggung jawabkan baik dalam administrasi maupun fisik. Dialogis artinya adanya komunikasi yang harmonis
44
antara unsur Legislatif yaitu DPRD, dan Eksekutif yaitu Pemerintah Daerah yang dikepalai Walikota dan Wakilnya maupun masyarakat 12 Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dalam implementasi otonomi daerah, maka pemerintah daerah dan DPRD diharuskun untuk mengatasi sendiri segala masalah dan urusan yang terjadi di Kota Bekasi, dan untuk mengatasi permasalah yang terjadi di Kota Bekasi pemerintah Kota Bekasi dan DPRD mempunyai tiga fungsi utama yang harus diselesaikan yaitu: Fungsi pelayanan masyarakat, Fungsi pelayanan pembangunan, Fungsi pelayanan perlindungan kepada masyarakat 13 . Pada dasarnya tugas utama dari pemerintah Kota Bekasi dan DPRD adalah mengupayakan terciptanya tiga fungsi pemerintah tersebut secara optimal, Dalam rangka implementasi otonomi daerah di Kota Bekasi. Maka itu ketiga fungsi tersebut diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pelayanan publik kepada masyarakat. Untuk mengetahui DPRD sebagai lembaga legislatif daerah di Kota Bekasi yang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan publik kepada masyarakat kota bekasi, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai DPRD Kota Bekasi dari tahun 1997 sampai 2009. C.1. DPRD Kotamadya Bekasi Tahun 1997-1999 Dari hasil pemilu 1997 menghasilkan dua keanggotaan DPRD untuk Kabupaten dan Kotamadya Bekasi. Ini terkait dengan pemekaran wilayah yang 12
13
Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005, h. 22 Ibid
45
menjadikan wilayah Kotamadya Bekasi lahir sebagai daerah yang baru. Sebagai konsekuensinya, keanggotaan DPRD pun dipilih dua wilayah. Inilah awal terbentuknya DPRD Kotamadya Bekasi. Terpilih sebagai Ketua DPRD H. Gunarso Ismail dengan Wakil Ketua H. Soejdjono dan Turnuzi Djameli. Masa ini termasuk masa yang sulit karena adanya kerusuhan Mei 1998 yang melahirkan Reformasi dan pergantian Pimpinan Nasional. Yang berimbas kepada percepatan pemilu sehingga keanggotaan DPRD menjadi lebih singkat. Kotamadya Bekasi termasuk DPRD lahir dimasa sulit. 14 Masa ini pula menjadi masa terakhir dominasi tiga partai yang dibentuk oleh Presiden Soeharto sebagai organisasi peserta pemilu. Tuntutan reformasi berimbas adanya keterbukaan yang lebih luas sehingga partai semakin banyak. Selain itu, TNI yang melakukan reposisi menjadikan masa ini sebagai masa terakhir penempatan wakilnya dalam lembaga legislatif. C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004 Pemilu 1998 merupakan pemilu multi partai pertama. Masa ini bisa dikatakan sebagai masa kedua setelah kebangkitan Kota bekasi, yang sebelumnya Kotamadya karena dengan pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah Kotamadya Tingkat II Bekasi berubah menjadi Kota Bekasi. Dalam konteks reformasi, masa ini adalah masa pertama pemilu 42 partai, yang sebelumnya hanya didominasi 3 partai.
14
Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 5
46
Dalam periode ini terpilih dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai ketua DPRD, dan wakil ketuanya H.Abdul manan dari F-Golkar dan Ahmad Turmji dari F-PPP dan Salim Musa dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Pemilu multi partai kali ini menghasilkan komposisi kursi di DPRD Kota Bekasi sebagai berikut: PDI-P (13 Kursi), Golkar (8 Kursi), PAN (7 Kursi), PPP (5 Kursi), PKS (2 Kursi), TNI (5 Kursi), PBB (2 Kursi), PKB (2 Kursi), PKP (1 Kursi). Dengan jumlah kursi anggota DPRD Kota Bekasi 45 kursi. Pada masa ini pula DPRD Kota Bekasi memilih Walikota dan Wakil Walikota untuk menggantikan Walikota sebelumnya yang dijabat Drs. H. Nonon Sonthanie. Dan terpilih dua anggota DPRD Kota Bekasi h.Akhmad Zurfaih dari fraksi Golkar sebagai Wali Kota, dan Mochtar Muhammad dari fraksi PDIP yang menjadi Wakil Walikota.
C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009 Pada bulan April Tahun 2004 pemilihan umum merupakan pesta demokrasi rakyat Indonesia yang digelar secara serentak diseluruh Indonesia tidak terkecuali di Kota Bekasi. Dalam pemilu kali ini sistem pemilu Indonesia mmulai berubah dari sistem proposional menjadi sistem distrik, pada pemilu tahun 1999 para pemilih tidak mengetahui siapa calon anggota DPRD yang akan dipilihnya, tapi perubahan sistem pemilu sekarang ini membuat warga yang ingin memilih anggotanya tau siapa yang dipilih. Karena anggota DPRD tidak lagi dipilih oleh partai tetapi berdasarkan suara terbanyak sesuai daerah pilihannya. Pemili legislatif di DPRD
47
Kota Bekasi kali ini memperebutkan 45 kursi anggota DPRD yang dibagi dalam 6 daerah pemilihan. Berdasarkan hasil pemilu legislatif tahun 2004 menghadirkan 8 Partai yang menjadi anggota DPRD Kota Bekasi diantaranya adalah: PKS (Partai Keadilan Sejahtera) 11 kursi, Golkar (Golongan Karya) 9 kursi, PD (Partai Demokrat) 7 kursi, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 6 kursi, PAN (Partai Amanat Nasional)
6 kursi, PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
4 kursi, PBB
(Partai Bangsa-Bangsa) 1 kursi, PDS (Partai Damai Sejahtera) 1 kursi. Sesuai
dengan
keputusan
Gubernur
Jawa
Barat
No.171/Kep.733
Dekon/2001 Tentang Keanggotaan DPRD Kota Bekasi hasil pemilihan umum tahun 2004 untuk masa jabatan 2004-2009. Fraksi-fraksi yang menjadi anggota DPRD Kota Bekasi adalah: fraksi PKS, Golkar, Partai Demokrat, PDIP, PAN dan PPP. Penetapan pimpinan DPRD Kota Bekasi yang tercantum dalam surat komisi pemilihan umum daerah Kota Bekasi bersifat kolektif terdiri dari seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih oleh anggota DPRD sebagaimana yang dimakssud tidak boleh berasal dari fraksi yang sama. Dari hasil rapat paripurna DPRD terpilihlah: Rahmat Effendi sebagai Ketua DPRd dari fraksi Golkar, Ahmad Syaikhu sebagai Wakil Ketua dari fraksi PKS, Dadang Asgar Noor, sebagai wakil ketua dari fraksi partai demokrat. DPRD Kota Bekasi dalam perjalannya terus mengevalusi diri untuk terus lebih baik, maka menurut keputusan pimpinan DPRD dan surat keputusan DPRD Daerah Kota Bekasi yang menetapkan dan memutuskan tentang peraturan Tata
48
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi mengenai tugas dan fungsi DPRD sesuai dengan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi adalah sebagai berikut: 1. Menjalankan Fungsi Budgeting, yaitu melaksanakan kegiatan perencanaan keuangan menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Mengatur Pembiayaan Kota Bekasi sehingga dapat meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi. 2. Menjalankan Fungsi Controling, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, peraturan daerah, keputusan kepala daerah dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. 3. Menjalankan Fungsi Legislasi, yaitu membuat peraturan-peraturan daerah bersama Pemerintah Daerah guna menertibkan jalannya roda Pemerintahan di Kota Bekasi. Dalam menjalankan tugas-tugas DPRD maka DPRD Kota Bekasi mempunyai kelengkapan DPRD, yang meliputi pimpinan DPRD, Panitia Musyawarah, Komisi, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, Panitia Legislasi. Tugas pimpian DPRD bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan 2 orang Wakil Ketua yang dipilih dari Anggota DPRD dalam rapat Paripurna DPRD. Pimpinan DPRD mempunyai tugas: 1. Memimpin rapat-rapat dan menyimpulkan hasil rapat untuk mengambil keputusan, 2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian rencana kerja antara Ketua dan Wakil Ketua, 3. Menjadi juru bicara DPRD, 4. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD, 5. Mengadakan konsultasi dengan Kepala Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya
49
sesuai dengan keputusan DPRD, 6. Mewakili DPRD dan/atau alat kelengkapan DPRD dipengadilan, 7. Melaksanakan putusan DPRD berkenaan dengan penetapan sangsi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, 8. Mempertanggung jawabakan pelaksanaan tugasnya dalam rapat paripurna DPRD. Panitia musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa keanggotaan DPRD, panitia musyawarah mempunyai tugas: 1. Memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja DPRD baik diminta atau tidak, 2. Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD, 3. Memutuskan pilihan mengenai isi risalah dapat apabila timbul perbedaan pendapat, 4. Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan, 5. Merekomendasikan pembentukan panitia khusus. Komisi-komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD, komisi mempunyai tugas: 1. Mempertahakan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah, 2. Melakukan pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah, dan rancangan keputusan DPRD, 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing-masing, 4. Membantu pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD, 5. Menerima dan menampung serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat, 6. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah, 7. Melakukan kunjungan kerja komisi yang
50
bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD, 8. Dalam hal-hal mendesak, komisi dapat melakukan kunjungan kerja tanpa persetujuan pimpinan DPRD tetapi tetap berkewajiban melaporkan hasil kunjungan kerja secara tertulis kepada pimpinan DPRD, 9. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat, 10. Mengajukan usul kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masingmasing komisi, 11. Memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas komisi. Badan kehormatan merupakan alat kelengkapan DPRD bersifat tetap yang dibentuk oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD, badan kehormatan mempunyai tugas: 1. mengamati dan mengevaluasi disiplin, etika dan moral para pemimpin dan anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kreadibilitas DPRD, 2. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan para pimpinan dan anggota DPRD terhadap peraturan perundang-undangan, kode etik dan peraturan tata tertib DPRD, 3. Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan berupa rekomendasi atas pengaduan yang disampaikan ke DPRD, 4. Menyampaikan hasil pemeriksaan kepada pimpinan DPRD berupa rekomendasi untuk pemberhentian pimpinan dan anggota DPRD antar waktu sesuai peraturan perundang-undangan, 5. Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan pimpinan dan anggota DPRD. Panitia anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada masa keanggotaan DPRD. Panitia anggaran mempunyai tugas: 1. Memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam
51
mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah selambatlambatnya lima bulan sebelum ditetapkannya anggaran pendapatan dan belanja daerah berupa pokok-pokok pikiran DPRD, 2. Meminta kepada Kepala Daerah untuk menyerahkan RAPBD sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini selambatlambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran tersebut dimulai, 3. Meneliti, mengkaji, menilai serta merevisi RAPBD yang diajukan oleh Kepala Daerah sesuai dengan RENSTRA dan arah kebijakan umum serta dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, 4. Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan
penatapan
perubahan
dan
perhitungan
APBD
sebelum
ditetapkannya dalam rapat. 5. Menindaklanjuti saran dan pendapat fraksi-fraksi yang terkait dengan penetapan perubahan dan perhitungan APBD kepada Kepala Daerah, 6. Memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai rancangan APBD, baik penetapan, perubahan dan perhitungan APBD yang telah disampaikan oleh Kepala Daerah, 7. Menyusun anggaran belanja DPRD dan menilai, meneliti serta merevisi rancangan anggaran belanja sekretariat DPRD. Panitia legislasi dibentuk oleh DPRD yang berfungsi mengaji, merumuskan dan menyusun rancangan peraturan daerah serta sebagai alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap. Pimpinan panitia legislasi terdiri dari ketua, wakil ketua, dan sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota panitia legislasi, berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Dan pimpinan panitia legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Panitia legislasi mempunyai tugas: 1. Menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan daerah untuk setiap tahun anggran, 2. Mengkaji dan menyiapkan rancangan
52
peraturan daerah inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, 3. Melakukan telaahan dan penyelarasan rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD, 4. Memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi atau gabungan komisi diluar rancangan peraturan yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan, 5. Melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah yang secara khusus ditugaskan oleh panitia musyawarah, 6. Melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang sedang dan akan dibahas dari sosialisasi peraturan daerah yang telah disahkan, 7. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturanperaturan daerah melalui koordinasi dengan komisi atau pihak lain yang terkait, 8. Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah yang diusulkan pemerintah daerah kota bekasi, 9. Memberikan inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan, untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh panitia legislasi pada masa keanggotaan berikut. Berlakunya otonomi daerah dengan efektifnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah sejak tanggal 1 januari 2001 telah membawa perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, dengan transisi demokrasi penyelenggaraan pemerintahan yang terus bergerak kearah demokrasi di daerah
53
kabupaten dan kota nyaris selalu bermuara di lembaga DPRD, untuk memberikan kewenangan dan penguatan fungsi lembaga ini. Ketika DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 melaksanakan baktinya, otonomi daerah tengah bergulir. Seiring dengan itu kedudukan DPRD berubah. Menurut UU No.22 Tahun 1999 DPRD bukan lagi bagian pemerintah daerah tetapi merupakan lembaga mandiri sebagai Badan Legislatif Daerah yang kedudukannya sejajar dan menjadi mitra Badan Eksekutif Daerah atau pemerintah daerah. Perubahan penyelenggaraan pemerintah tersebut menimbulkan tanda tanya menyangkut kinerja lembaga DPRD Kota Bekasi. 15 Secara kualitatif kinerja DPRD Kota Bekasi dilihat dari intensitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Jika pada awal pembentukan Kota Bekasi, anggota DPRD di tempati oleh wakil dari pemerintah pusat yang terdiri dari TNI, namun hal ini tidak berlangsung lama, karena pada pemilu 1999 keterbukaan partai yang ikut pada pemilihan umum mengharuskan TNI tidak masuk lagi dalam anggota dewan, DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 merupakan masa DPRD yang sulit karena berbenturan dengan proses demokrasi dan pelaksanaan pemilu yang terbuka. Dan DPRD Kota Bekasi lahir pada saat euforia reformasi bergulir sehingga kinerja DPRD masih terhambat penyesuaian dan transisi Undang-undang tentang pemerintahan daerah dari UU No.5 Tahun 1974 ke UU No.22 Tahun 1999. Dalam hubungan ini format DPRD Kota Bekasi mengalami perubahan fungsi. Fungsi yang selama ini tersumbat oleh pemerintah pusat, dan DPRD Kota Bekasi
15
Chotim Wibowo, Dkk, Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar, h. 10
54
menyesuaikan fungsinya dalam otonomi daerah yaitu fungsi legislasi, legitimasi dan pengontrol. Fungsi legitimasi dewan berkaitan erat dengan kedudukan DPRD baik sebagai wahana melaksanakan demokrasi maupun sebagai badan legislasi. Fungsi pengontrol berkaitan dengan pengawasan atas legitimasi yang diberkaitan dengan pengawasan atas legitimasi yang diberikan dewan kepada kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kemasyarakatan, pemerintahandan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan ekonomi berdasarkan demokrasi ekonomi. 16 Dalam perkembangannya kemudian terjadi revisi undang-undang otonomi daerah dengan UU No.32 Tahun 2004. Posisi DPRD yang besar sebagai lembaga legislatif harus berubah, DPRD sebagai lembaga legislatif bersifat mandiri dari lembaga eksekutif dan tidak saling membawahi. Maka DPRD Kota Bekasi pada periode 2004-2009 juga mengalami perubahan mekanisme pemilihan dan bekerja yang lebih terbuka. Dengan fungsi yang diseragamkan seperti fungsi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota, fungsinya juga tidak jauh berbeda dari fungsi DPRD sebelumnya, yaitu: fungsi legislasi, anggaran, pengawasan. Adanya reformasi yang menuntut perbaikan hubungan pusat dan daerah yang tertuang dalam otonomi daerah memberi posisi yang lebih terhadap DPRD, desakan kepada pemerintah pusat saat itu, meminta untuk penguatan kedudukan dan peran DPRD yang selama ini terbungkam oleh sistem yang sentralis. walaupun kedudukan dan wewenang DPRD yang berubah-ubah dalam Undang-undang 16
Ibid, h. 11
55
pemerintahan daerah pasca reformasi. DPRD mempunyai kelembagaan yang jelas sebagai lembaga legislasi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah. Dan bersifat kemitraan dengan lembaga eksekutif. DPRD Kota Bekasi menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan yang ada, selama periode 2004-2009. DPRD Kota Bekasi membentuk lembaga ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang pemerintah daerah dengan menjalankan fungsifungsi DPRD. Dan membuat program legislasi untuk peraturan daerah. Dan hal yang terpenting untuk ini adalah, semoga DPRD bekasi dalam membuta peraturan daerah tidak didasari kepentingan kelompok semata, tetapi untuk kepentingan warga bekasi. Sehingga peraturan daerah tentang pelayanan publik bukan hanya untuk publik tertentu yang merasakan tetapi juga semua publik yang ada di Kota Bekasi.
55
BAB IV PERATURAN DAERAH NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK A. Faktor
Yang
Melatar
Belakangi
Peraturan
Daerah
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pelayanan publik adalah salah satu implementasi otonomi daerah yang harus diberikan oleh pemerintah daerah kepada warganya. Pelayanan publik merupakan salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warganya. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan adanya otonomi yang luas yang diberikan kepada daerah maka daerah khusunya kabupaten/kota mempunyai tugas yang tinggi untuk menyediakan layanan-layanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 1 Riant Nugroho mengatakan bahwa pelayanan publik adalah tugas dalam kebijakan publik yang paling mendasar, karena memberikan pelayanan kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu pun mampu menjangkaunya. 2
1
Oentarto Sindung Mawardi, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 167 Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 75 2
56
Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah,
membuka wacana penyelenggaraan publik yang harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk mensejahterakan warganya. Karena tugas dari pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah adalah memberikan pelayanan, yaitu berupa pelayanan umum atau pelayanan publik. Publik disini adalah masyarakat yang berhak menerima pelayanan yang baik tanpa memandang status warganya. Pelayanan atau service adalah kata kunci dari otonomi daerah. Karena otonomi daerah adalah milik masyarakat daerah yang dijalankan oleh pemerintah daerah, maka akuntabilitas pemerintah daerah kepada rakyatnya dapat dilihat dari jenis dan kualitas dari pelayanan yang disediakan untuk warganya. DPRD sebagai lembaga politik harus membuat peraturan daerah tentang pelayanan publik yang bertujuan untuk mensejahterakan warganya. DPRD Kota Bekasi membuat peraturan daerah tentang penyelenggraan pelayanan publik karena belum ada peraturan ini sebelumnya di Kota Bekasi. Penyelenggaraan pelayanan publik didaerah menjadi suatu kemutlakan oleh karena kewajiban pemerintah baik pusat maupun didaerah sebagai penyelenggara pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dan memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi maka penyelenggaraan pelayanan publik harus memberikan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka meningkatkan
57
kualitas pelayanan publik upaya yang dilakukan antara lain menertibkan berbagai landasan peraturan perundang-undangan dibidang pelayanan publik. 3 Atas dasar tersebut serta adanya tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, khususnya dibidang penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin transparan dan berkualitas, maka harus dibarengi tersedianya pedoman/ landasan bergerak bagi setiap lembaga/organisasi penyelenggara pelayanan, termasuk perorangan guna memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bidang pelayanan yang diinginkan. 4 Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik didaerah masih belum efektif bahkan cenderung kurang berkualitas, termasuk aspek sumber daya manusia dan aparatur pemerintahan yang belum memadai. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima. Dalam usaha perbaikan kualitas pelayanan dimaksud dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah. Dalam UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada suatu hal yang baru yaitu mulai diterapkannya Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah5 , SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kepada 3
Penjelasan Umum, Dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kota Bekasi. h. 25 4 ibid 5 Lihat pasal 11 ayat (4) dalam UU 32 tahun 2004, yang menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”.
58
masyarakat. Adanya SPM akan menjamin pelayanan minimal yang berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah daerah. 6 Pada prinsipnya, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, namun secara generik pelayanan yang diberikan pemerintah dibagi menjadi dua pelayanan publik. Yaitu: pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar (basic services) dan pelayanan pengembangan sektor unggulan (core competence) 7 . Yang menjadi pelayanan dasar seperti, kewargaan, pendidikan kesehatan, transportasi, perumahan, lingkungan, fasilitasi jalan, dll. Pelayanan sektor unggulan seperti, pertanian, pertambangan, pariwisata, perdagangan dll. Pelayanan sektor unggulan adalah pelayanan pendukung yang ada di daerah. Namun setiap daerah otonom wajib memberikan pelayanan dasar sesuai dengan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan adanya SPM pemerintah daerah bisa memenuhi pelayanan dasar dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. 8 Didasari dengan pentingnya suatu pelayanan yang harus diberikan pemerintah daerah kepada warganya, maka DPRD Kota Bekasi membuat program rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Agar pelayanan dasar masyarakat bisa terpenuhi dan bisa dirasakan merata oleh elemen masyarakat, dengan birokrasi yang mempermudah proses peraturan daerah. Dan pembentukan peraturan daerah tentang penyelanggaraan pelayanan
6
S.H. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, h. 154 dengan mengacu pada pendekatan core competence, maka isi otonomi dari satu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan oleh daerah tersebut. 8 Oentarto Sindung Mawardi, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.169-174 7
59
publik juga untuk mengaktualisasikan UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mewajibkan setiap daerah otonom untuk memberikan pelayanan publik terhadap warganya. Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik diharapkan dapat meningkatkan penyelenggaraan fungsi pelayanan dari Dinas, Instansi, dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang ada dikota bekasi. disadari bahwa selama ini ketidakdisiplinan terhadap pelayanan publik yang ada dikota bekasi merugikan pemerintah kota bekasi. Tuntutan masyarakat agar adanya proses perizinan yang baik membuat DPRD menyusun rancangan peraturan daerah ini. Karena harapan DPRD kota bekasi agar peraturan daerah ini mempunyai daya laku peningkatan disiplin pelayanan yang terdapat dalam sector swasta dan pemerintah. 9 Adanya peraturan daerah penyelenggaraan pelayanan publik ini untuk membentuk badan, kantor, dinas dan sayap-sayapnya yang harus dipayungi oleh peraturan daerah, dan ini digabung dalam satuan kerja perangkat daerah (SKPD) 10 yang akan dikoordinasikan oleh badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT) 11 , sehingga dinas yang terkait dengan pelayanan masyarakat tidak memonopoli semua
9
Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 10 Selanjutnya akan disebut SKPD 11 Selanjutnya akan disebut BPPT
60
bentuk perizinan. Masyarakat harus KBPPT dahulu, proses ini yang akan disebut Unit pelayanan satu atap (SPSA). 12 Atas dasar bahwa pemerintah Kota Bekasi mengharapkan pelayanan yang baik terhadap masyarakat kota bekasi
maka peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik harus ada di kota bekasi, untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan perizinan yang prima dan terstruktur dengan baik melalui kegiatan organisasi maupun personal dilingkungan pemerintah daerah khususnya dan di instansi pemerintah pada umumnya. 13 B. Peranan
DPRD
Dalam
Penyusunan
Peraturan
Daerah
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Perencanaan pembentukan daerah dilakukan berdasarkan program legislasi daerah
(prolegda).
Prolegda
merupakan
istrumen
perencanaan
program
pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Salah satu tujuan penyusunan proglegda adalah untuk menjaga agar produk peraturan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. 14 Pembuatan peraturan daerah kota bekasi mengenai pelayanan publik juga berdasarkan kesatuan sistem hukum nasional. Menurut ketua pansus, DPRD harus memastikan bahwa peraturan daerah ini tidak bertentangan dengan Undang-undang,
12
Wawancara pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010 13 Penjelasan umum, dalam peraturan daerah kota bekasi nomor 13 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelayanan publik dikota bekasi. H. 26 14 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ( Bandung: Fokus Media, 2009), h. 76
61
peraturan perundang-undangan, keputusan Presiden, keputusan Menteri dan juga peraturan daerah. Apa bila peraturan daerah tersebut ternyata bertentangan dengan peraturan diatasnya, maka wewenang Mahkamah Agung (MA) untuk menjalankan kewenangan yang disebut sebagai judicial review. Pengertian judicial review adalah hak untuk menguji apakah suatu suatu perundangan yang dibuat bertentangan dengan peraturan yang berada diatasnya, yaitu peraturan dibawah undang-undang. 15 Peraturan daerah tentang pelayanan publik sudah sesuai dengan sistem hukum nasional, dan setiap peraturan daerah yang dibuat juga harus berdasarkan hukum atau undang-undang yang sesuai dengan kesatuan negara republik Indonesia. 16 Peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan hukum pada: 17 1. Keputusan DPRD Kota Bekasi Nomor: 14/ 174.1/ DPRD/ 2007 Tanggal 13 Juli 2007 tentang Panitia Khusus (pansus) 28, dalam rangka pembahasan rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi.
15
Toto Pribadi, dkk., Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, 2006), h. 7.17 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010 17 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 16
62
2. Dalam Proses pembahasan, secara teknis pansus memperhatikan peraturanperundangan sebagai berikut: a. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 No. 10, Tambahan Lembaran Negara RI No. 349) b. UU No.9 Tahun 1996 Tentang Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Bekasi ( Lembaran Negara RI Tahun 1996 No.111, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821) c. UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran Negara RI No.3699) d. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Ri Tahun 1999 No.42, Tambahan Lembaran Negara RI No.3821) e. UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 246, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4045) f. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara RI Tahun 2002 No.137, tambahan Lembaran Negara Ri No. 4250)
63
g. UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (lembaran Negara RI Tahun 2004 No.53, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4389) h. UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti UU No.3 tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang ( Lembaran Negara RI tahun 2005 No. 108, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4548) i. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4724) j. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang (Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.68, Tambahan Lembaran Negara No. 4725) k. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 59, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3838) l. Peraturan Pemerintahan No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
64
(Lembaran Negara RI Tahun 2005 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4593) m. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4737) n. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi perangkat Daerah (Lembaran Negara RI tahun 2007 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4741) o. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 Tentang Pemanfaatan Tanah, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing p. Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
No:
63/KEP/M.PAN/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. q. Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
No.
26/KEP/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan Publik. Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik, bergulir saat DPRD periode 2004-2009, yang merupakan proglam legislasi yang harus disahkan oleh DPRD. Sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004 Pasal 15 ayat 2 yang
65
menyatakan: “perencanaan penyusunan peraturan daerah dilakukan dalam suatu program legislasi daerah”. 18 Rancangan Peraturan Daerah tentang pelayanan publik merupakan hak inisiatif dari DPRD, maka Rancangan Peraturan Daerah (raperda) 19 disiapkan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani program legislasi. Kemudian raperda penyelenggaraan pelayanan publik ini disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Walikota, setelah raperda tersebut masuk kepimpinan DPRD, dan menyampaikannya kepada panitia musyawarah DPRD yang kemudian membahas raperda ini, aktivitas panitia musyawarah ketika memperoleh raperda adalah mengadministrasikan, melakukan rapat dan mengagendakan rapat serta membentuk Pansus. Panitia musyawarah menyerahkan raperda kepada pansus, akan lebih baik apabila sewaktu panitia musyawarah menerima usulan raperda, panitia tidak hanya sekedar melakukan pembahasan secara administrasi, tetapi juga melakukan pengecekan kelapangan untuk mengkonfirmasi kebenaran dan ketepatan raperda tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dengan demikian panitia musyawarah memiliki informasi yang lebih lengkap untuk mengagendakan sebuah pembahasan raperda, dan raperda dibutuhkan untuk memberi pelayanan prima terhadap masyarakat. Pansus (panitia khusus) yang terbentuk kemudian akan membahas raperda. Pansus ini disebut dengan pansus 28, Pansus berjumlah 18 orang, dengan struktur 18
Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Bandung: Fokusmedia, 2009), h.76 19 Selanjutnya akan disebut raperda
66
seorang koordinator yaitu unsur pimpinan, ketua pansus Ir. Muhammad hasim Affandi dari farksi PAN, wakil ketua H. Gusnal, SE, MM dari fraksi PPP, sekretaris Umar Fauzi fraksi PDI-P, dan 14 orang anggota yang terdiri dari beberapa gabungan fraksi yang ada di DPRD. 20 Dalam pembahasan raperda Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi, pansus 28 ini juga melakukan beberapa serangkaian kegiatan. Yaitu: rapat-rapat internal pansus, rapat pembahasan bersama Walikota/Wakil Walikota, dalam merencanakan peraturan daerah tentang pelayanan publik, rapat pembahasan bersama pihak badan usaha milik negara (BUMN) seKota Bekasi yang mempunyai tupoksi pelayanan publik, rapat konsultasi dengan biro organisasi dan dinas pelayana satu atap Propinsi Jawa Barat, kunjungan kerja dalam rangka studi banding ke pemerintah Kota Yogyakarta, konsultasi ke kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, rapat-rapat internal di fraksi masingmasing dalam rangka pembahasan pelayanan publik, dan rapat finalisasi bersama pihak eksekutif. 21 Raperda tentang pelayanan publik dirasakan penting oleh DPRD karena pemerintah Kota Bekasi belum membuat peraturan daerah ini, dan melihat ketidak disiplinan dalam pembuatan perijinan dan pelayanan publik. DPRD sebagai
20
Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 100 21 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
67
lembaga legislatif yang menampung aspirasi masyarakat, sering menerima keluhan mengenai pelayanan publik yang tidak baik. Kunjungan pansus 28 dalam masa kerjanya ke pemerintah Kota Yogyakarta, karena
kota
Yogyakarta
sudah
mempunyai
peraturan
daerah
tentang
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah Kota Yogyakarta menjadi tolak ukur dalam pembuatan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik di Bekasi. Kota Yogyakarta juga merupakan kota yang berkembang dalam pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik diajukan kepada pemerintah Propinsi, peraturan daerah ini merupakan peraturan daerah pertama di Jawa Barat atau di Indonesia untuk tingkat Kabupaten/Kota. 22 Raperda tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan walikota, oleh walikota di buat edaran sebagai bentuk sosialisasi raperda kepada instansi terkait yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, yaitu SKPD yang didalamnya ada unsur dinas, kecamatan, kelurahan, edaran ini diberikan tiga bulan sebelum pengesahan raperda. 23 Menjadi kelemahan pemerintah daerah dalam melakukan sosialisasi raperda kepada masyarakat, kurangnya copy edaran kepada masyarakat, karena edaran hanya sampai kepada pihak instansi yang terkait. Sehingga saat perda di sahkan
22
Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 23 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
68
banyak masyarakat yang tidak menyadari adanya peraturan daerah yang baru dibuat. Pengesahan raperda menjadi peraturan daerah tentang pelayanan publik juga berjalan baik dalam rapat paripurna, pansus 28 merekomendasikan kepada pihak eksekutif agar secepatnya membentuk BPPT sebagai pemberdayagunaan pelayanan kepada masyarakat, pengelola seluruh bentuk pelayanan dan perijinan menjadi kewenangan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Kota Bekasi, dengan mengindahkan asas dan prinsip : asas kepastian hukum, asas transparansi, asas partisipatif, asas kepentingan umum, asas profesionalisme, asas kesamaan hak, asas keseimbangan hak dan kewajiban, prinsip kesederhanaan, prinsip kejelasan, prinsip kepastian waktu, prinsip akurasi, prinsip keamanan, tanggung jawab, prinsip kelengkapan sarana dan prasarana, prinsip kemudahan akses, prinsip kedisiplinan, kesopanan, keamanan dan prinsip kenyamanan. 24 Dalam rapat paripurna Ketua DPRD Kota Bekasi meresmikan paraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Rapat paripurna ini di hadiri oleh ketua DPRD, dan wakilnya, Wali Kota Bekasi, dan Wakilnya, anggota DPRD Kota Bekasi, sekertaris Daerah Kota Bekasi, perangkat pemerintah daerah, seluruh camat dan lurah se Kota Bekasi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada di Kota Bekasi, kapolres Kota Bekasi dan lain-lain. DPRD
kota
Bekasi
melihat
penyelenggaraan pelayanan publik ini,
bahwa
peraturan
daerah
tentang
penting untuk masyarakat. Ini juga
merupakan implementasi dari UU N0.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 24
Ibid
69
yang menuntut adanya SPM, DPRD juga menetapkan SPM pelayanan dan perizinan 14 hari kerja. 25 Pada tanggal 22 Agustus 2007 Walikota Bekasi mengesahkan dan menetapkan peraturan daerah tentang penyelenggaraan publik berlaku di Kota Bekasi dengan nomor 13 dan No. LD 12 seri A
26
. Besar harapan agar adany
peraturan daerah Kota Bekasi tentang pelayanan publik bisa meningkatkan pelayanan publik di Kota Bekasi. Dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelnggara pelayanan publik. 27 Dalam peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik maka diterapkan standar pelayanan umum yang di amanatkan dalam UU 32 Tahun 2004, peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik, jenis pelayanan dasar selain perizinan antara lain: seperti: 1. Pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) 25
Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010 26 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 175 27 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi, h, 6
70
2. Pelayanan pembuatan kartu keluarga (KK) 3. Pelayanan akta perkawinan 4. Pelayanan akta lahir 5. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian rumah ibadah 6. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian sekolah swasta 7. Pelayanan pendaftaran organisasi sosial, LSM dan yayasan 8. Pelayanan pemberian tanda lapor orang asing 9. Pelayanan pemberian surat pengantar keringanan pengobatan ke rumah sakit 10. Pelayanan pemberian rekomendasi adopsi anak 11. Pelayanan pemberian rekomendasi pengumpulan sumbangan untuk korban bencana. Jenis pelayanan pemberian perizinan antara lain seperti: 1. Pelayanan pemberian izin mendirikan bangunan 2. Pelayanan pemberian izin lokasi 3. Pelayanan pemberian izin trayek 4. Pelayanan pemberian izin gangguan 5. Pelayanan pemberian izin usaha perdagangan 6. Pelayanan pemberian izin reklame
71
7. Pelayanan pemberian izin penelitian/ survey/ riset dan PKL 8. Pelayanan pemberian izin undian C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tantang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah diundangkan dalam lembaran daerah. Masyarakat Kota Bekasi dan pihak-pihak yang terkait harus mengetahui tentang peraturan daerah yang berlaku sebagai syarat untuk melaksanakan dan mematuhinya. Menurut Ir. Muhammad Afandi anggota DPRD Kota Bekasi dan juga merupakan
ketua
pansus,
sebenarnya
bukanlah
tugas
DPRD
dalam
mensosialisasikan, karna tugas DPRD itu, legislasi, controling dan budgeting. Dan DPRD
melihat
dalam
perda
pelayanan
publik
ini,
pihak
yang
lebih
bertanggungjawab dalam mensosialisasikan adalah BPPT, dinas-dinas dan instansi terkait seperti kelurahan dan kecamatan yang lebih bersinggungan kepada masyarakat dalam perizinan dan pelayanan. 28 Kelemahan DPRD memang kurang mensosialisasikan Peraturan daerah yang dibuatnya, sebenarnya sebelum peraturan daerah disahkan saat sidang paripurna, sudah ada edaran dari pihak eksekutif yang diberikan kepada instansi yang terkait pelayanan publik. Sehingga tiga bulan saat peraturan daerah ini
28
Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
72
disahkan sudah ada sosialisasi dari pihak terkait kepada masyarakat, dan hal ini yang tidak dilakukan walaupun dilakukan hanya sedikit masyarakat yang tahu. 29 DPRD Kota Bekasi mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan publik dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat khususnya didaerah pemilihannya. Ini disebut dengan Masa Reses, setiap anggota DPRD yang terdiri dari beberapa anggota terpilih lewat daerah pemilihan yang berbeda-beda, jika DPRD mensahkan produk peraturan daerah maka anggota DPRD tersebut mensosialisasikan ke daerah pemilihannya pada masa reses tersebut. Masa reses dilaksanakan pada hari kerja selama enam hari dalam bentuk kunjungan kemasyarakat, 30 Hal ini yang kemudian kurang efektif untuk mensosialisasikan perda karena dilaksanakan pada hari kerja disaat masyarakatnya mempunyai aktivitas sendiri. Pada saat sidang paripurna pengesahan peraturan daerah Kota Bekasi dihadiri oleh pejabat daerah, struktur pemerintahan daerah dan elemen masyarakat. Ini juga merupakan sosialisasi peraturan daerah, dari yang hadir tersebut bisa mensosialisasikan kembali kepada masyarakat Bekasi. DPRD Kota Bekasi juga mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik melalui media yang ada di Kota Bekasi. Media massa seperti koran Radar Bekasi yang slalu mempublikasikan kegiatan pemerintah daerah. Dan juga lewat buletin swara DPRD yang hadir tiap bulannya, dan menjelaskan peraturan daerah yang berhasil disahkan DPRD.
29 30
h.75
Ibid Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi N0.26/174.2/DPRD/2006,
73
D. Peranan
DPRD
Dalam
Pengawasan
Peraturan
Daerah
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Sebagai unsur penyelenggara pemerintah di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD secara khusus tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C yang berbunyi : “ DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundangundangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah” 31 Mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan oleh eksekutif. DPRD menggunakan hak dan kewenangan seperti hak penyelidikan, hak meminta keterangan, hak bertanya, dan hak menyatakan pendapat, dengan keseluruhan mekanisme yang diatur oleh peraturan tata tertib dewan. 32 Pengawasan bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan checks dan balances antara lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
31
Lihat pasal-pasal UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h. 18 32
74
Pengawasan yang dilakukan DPRD untuk mengawasi produk hukum yang sudah disahkan. Bentuk pengawasan yang dilakukan DPRD dilakukan dengan cara melakukan dengan pendapat, kunjungan jerja, pembentukan panitia khusus dan pembentukan panitia kerja yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD. DPRD dalam melaksanakan pengawasan terhadap peraturan daerah berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau waraga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, pemerintah dan pembangunan. Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan untuk memberikan keterangan dapat dipanggil secara paksa, karena merendahkan martabat DPRD. Hal ini diatur dan dijelaskan pada UU No. 22 tahun 2003 Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) bahwa: 33 1. DPRD Provinsi, melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, tingkat provinsi, dan DPRD Kota, pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat untu memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan negara. 2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, badan hukum atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD sebagaimana dimaksud ayat (1).
33
149
Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), h.
75
3. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, badan hukum atau warga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Walaupun DPRD tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memberi sanksi terhadap eksekutif, setidaknya DPRD memiliki kekuasaan yang cukup kuat untuk meminta keterangan dengan pihak-pihak yang sekiranya dapat memberikan masukan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD. Namun kuatnya fungsi pengawasan yang sudah tertera dalam peraturan Negara, tidak bisa di implementasikan dengan baik oleh DPRD Kota Bekasi. DPRD Kota Bekasi kurang memberikan pengawasan terhadap peraturan daerah yang sudah disahkannya. Pengawasan DPRD terhadap peraturan daerah tentang pelayanan publik ini, tidak begitu terkontrol dilakukan. Karena banyaknya perda yang disahkan oleh DPRD tiap tahunnya, membuat DPRD sulit untuk memfokuskan pengawasan pada satu peraturan daerah. Namun cara pengawasan yang dilakukan DPRD dalam peraturan daerah ini dengan melakukan kunjungan kerja ke kelurahan atau ke dinas, Dan selama ini belum terlihat adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya. 34 Pengawasan
terhadap
peraturan
daerah
Kota
Bekasi
tentang
penyelenggaraan pelayanan publik bisa dilihat sangat minim, hanya sebatas 34
Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
76
pembuatan peraturan daerah dan pengesahannya. Jika DPRD melakukan kunjungan kerja terhadap instansi terkait biasanya instansi tersebut memberikan pelayanan yang prima dan tidak menyimpang, kurangnya pengawasan terhadap peraturan daerah ini, membuat peraturan daerah ini belum dievaluasi dengan baik, dan apakah sudah sesuai dengan masyarakat atau belum. D.1 Pihak-Pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Rekomendasi dari pansus peraturan daerah pelayanan publik adalah, dibentuknya BPPT dengan asas kinerja satuan pelayanan satu atap, selama ini dalam perijinan masyarakat seperti bola yang kesana dan kemari, karena tidak adanya koordinasi kerja dari instansi terkait. Dan terlalu banyak pihak instansi yang harus didatangi. Setelah adanya peraturan daerah ini kinerja perijinan dirubah. Dalam peraturan daerah ada pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menfasilitasi agar peraturan daerah bisa terlaksana dan berjalan sesuai aturan yang berlaku, dan dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik.
Pihak
yang
bertanggung
jawab
adalah:
BPPT
yang
mengkoordinasi kerja SKPD didalamnya meliputi dinas-dinas dan kecamatan dan kelurahan. Dan juga DPRD yang bertindak sebagai pengawas dalam pelaksanaan perda pelayanan publik. Gambar 1. Bagan Alur Pengurusan perizinan
PEMOHON Mengajukan permohonan perijinan dengan melampirkan berkas yang disyaratkan
77
DINAS-DINAS
BPPT Meneliti kelengkapan berkas
Tekhnis perijinan
SEKSI PERIJINAN DALAM DINAS Legalitas perijinan
Sumber: Dinas Perijinan Dalam Menerbitkan Bidang IMB surat perijinan
Gambar 2. Bagan Alur Pengurusan Pelayanan
Kelurahan
Kecamatan
Dinas kependudukan
Sumber: Kantor Kelurahan Jati Luhur D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan
Publik Pelaksanaan peraturan daerah tentang pelayanan publik sudah berlaku pada tanggal yang diundangkan, dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi dan tata cara pengolaan pengaduan yang telah ada pada masing-masing penyelenggara menyesuaikan dengan peraturan daerah ini selambatlambatnya satu tahun sejak ditetapkan.
78
No 1
Jenis Pelayanan/perijinan
Peraturan daerah
pelaksanaan
Keterangan
Pembuatan KTP
14 hari
14 hari sesuai dengan SPM, namun bisa saja lebih dari 14 hari. dan ada pelayanan khusus atau progresif, yang bisa langsung jadi pembuatannya dalam satu hari (pasal 21), pelayanan ini untuk WNA atau masyarakat yang butuh untuk keperluan mendesak.
Bisa Sesuai perda, hanya saja persyaratan yang dibawa pada saat kekelurahan sudah komplit. Keterlambatan jadinya KTP, karena kurangnya komputerisasi atau data yang hilang. dalam pembiyayaan sendiri, dalam perda digratiskan, namun tiap kelurahan mempunyai kebijakan berbeda, bisa dikenai biyaya administrasi 10.000. dan untuk progresif dikenakan biaya 100.000 sesuai perda.
2
Surat Domisili
14 hari
Surat domisili ini prosesnya hanya dikelurahan saja, sehingga bisa cepat. Biayanya juga gratis jika mengikuti perda, namun terkadang kelurahan memungut biaya untuk administrasi.
Tidak sesuai perda, karena prosesnya tidak berpindah instansi. Dalam pemungutan biaya juga tergantung dengan kebijakan kelurahannya.
3
Pelayanan izin mendirikan bangunan
14 hari
Kurang lebih Sesuai dengan sesuai dengan perda,Jika tidak waktu yang ada masalah dalam ditentukan tekhnisnya, semua
79
bisa berjalan tepat waktu, namun ada pula oknum yang bermain waktu dengan dikenakan biaya tambahan untuk mempercepat waktunya. Sumber: Table Dibuat Oleh Penulis Dari table diatas bisa diambil kesimpulan bahwa tiap instansi ataupun dinas mempunyai kebijakan tersendiri diluar perda, instansi terkait secara keseluruhan sesuai dengan peraturan daerah hanya saja ada pegawainya yang melakukan pelanggaran. Tiap dinas sendiri dan istansi berbeda kebijakannya. Dalam pelaksanaan pelayanan publik, jika ada keterlambatan jadinya KTP karena kurangnya komputerisasi atau data yang hilang, 35 masyarakat juga tidak diwajibkan kekantor kelurahan untuk pembuatan KTP, bisa langsung kekecamatan ataupun dinas kependudukan, yang penting instansi terkait. Karena dalam perda pun tidak ada peraturan tersebut. Pelaksana peraturan daerah pelayanan publik juga tidak dikenai biaya kepada masyarakat, yang dijelaskan pada pasal 22 yaitu pungutan biaya penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak-hak sipil pada hakikatnya dibebankan kepada daerah dan atau negara dengan tidak menutup kemungkinan ditetapkan pungutan biaya pelayanan kepada penerima pelayanan. Karena biaya penyelenggaraan pelayanan mempertimbangkan, tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat, nilai/harga yang berlaku didaerah atas barang dan/atau jasa, dan rincian biaya yang jelas dan transparan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat 35
Wawancara Pribadi Dengan Lurah Jati Luhu Bpk. Jaya Ekosetiawan SH
80
kantor kelurahan yang memungut biaya administrasi, untuk kas keuangan kantor kelurahan. Mental msyarakatpun harus di rubah, banyak terdapat kasus masyarakat yang enggan untuk kekelurahan dan meminta bantuan pegawai instansi terkait, sehingga ada perasaan senggan dan memberikan uang untuk jasanya. 36 .. Penyelenggara pelayanan publik wajib bertanggung jawab atas pelayanan yang dilaksanakannya yaitu: menyusun dan menetapkan standar pelayanan teknis serta tata cara pengelolaan pengaduan dan keluhan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan prinsip penjelasan yang tepat dan tuntas, menyiapkan sarana dan prasarana dan fasilitas pelayanan publik secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel, serta berkesinambungan, memberikan pengumuman dan/atau memasang tanda-tanda yang jelas ditempat yang mudah diketahui terhadap perubahan dan/atau pengalihan fungsi fasilitas pelayanan publik, dll. 37 Penyelenggara sebagai lembaga yang melanggar kewajiban dan/atau larangan yang diatur dalam peraturan daerah ini dikenakan sanksi administratif berupa: peringatan, pembayaran ganti rugi, pengenaan denda. Sedangkan aparat penyelenggara yang melanggar dikenakan hukuman: pemberian peringatan, pembayaran ganti rugi, pengurangan gaji dalam waktu tertentu, penundaan atau penurunan pangkat atau golongan, pembebasan tugas dari jabatan dalam waktu tertentu, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.
36
Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010 37 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi, Pasal 8, h. 9-10
81
Ganti rugi yang dimaksud diberikan kepada penerima pelayanan yang dirugikan berdasarkan tata cara yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan yang ada. Peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan publik secara struktural sudah terarah, dengan memperjelas bentuk pelayanan dan bentuk perijinan kepada masyarakat, akan tetapi menjadi cacatan yang sangat penting ketika peraturan ini berbentuk praktek dan aplikasi langsung kepada masyarakat. Ada baiknya pemerintah daerah yang didalamnya ada walikota dan wakil wali kota juga anggota DPRD melakukan evaluasi apakah peraturan daerah ini benar-benara terlaksana dengan baik oleh penyelenggara pelayanan publik dan aparat pemerintahan, karena DPRD terkadang mengabaikan tugasnya selain membuat peraturan daerah dan mengesahkannya, DPRD juga wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah kepada masyarakat. Pemerintah daerah kota Bekasi memang mempunyai target tiap tahun dalam mengembangkan potensi daerahnya, adanya peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik juga menjadi bukti bahwa pemerintah ingin memperbaiki fungsi pelayanan yang selama ini jauh dari disiplin, karena belum adanya peraturan standar pelayanan minimum yang sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, DPRD sebagai lembaga politik kemudian berusaha mewujudkan peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggraan pelayanan publik guna memperbaiki ketidakdisiplinan yang ada dalam instansi yang terkait terhadap pelayanan publik. Dengan harapan semoga adanya peraturan daerah ini pelayanan publik di Kota Bekasi bisa lebih berkualitas dan terarah pada masyarakat.
82
Demikian penjelasan mengenai peraturan daerah Kota Bekasi dari faktor terbentuknya sampai proses dan sosialisasinya peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Jelaslah kiranya bahwa ada sebuah usaha dalam pemerintah daerah kota bekasi untuk memperbaiki sebuah pelayanan terhadap warganya agar lebih berkualitas.
1
BAB I PANDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 telah mengubah sistem kehidupan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Perubahan sistem in tercermin pada pergantian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan ini tampak lebih berorientasi pada penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi dari pada efisiensi administrasi. Meski UU tersebut telah disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, semangat partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dengan menekankan perlunya efisiensi dalam penyelenggaraannya. Kini daerah memiliki jumlah dan bobot yang lebih besar dari pada sebelumnya secara politis, dan daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dari pada sebelumnya. 1 Lengsernya Soeharto dengan pemerintahan yang sentralis membawa angin segar bagi perbaikan hubungan daerah dan pusat, karena tuntutan akan adanya otonomi daerah dan perbaikan terhadap sistem pemerintahan daerah di hadirkan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah 1
M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Malang,Jawa Timur: BayuMedia,2006), Cet. 1, h. 95
2
tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. 2 Otonomi daerah diartikan sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri” sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar. 3 Otonomi daerah diberikan melalui desentralisasi politik dan desentralisasi administratif 4 , desentralisasi politik dimuat dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkuat posisi DPRD, yang kemudian di revisi dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satunya di sebutkan mengenai pemilihan kepala daerah dan DPRD secara demokratis melalui pemilu langsung. Sementara itu desentralisasi administratif yaitu pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengurus anggaran daerah dan sumber-sumber daerah. Hal ini semakin mendekatkan pelayanan
2
Dede Rosyada, DKK, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Edisi Revisi, 2003, h. 149 3 Ibid, h. 150 4 Willy R. Tjandra, Praksis Good Governance (Sewon Bantul: Pondok Edukasi, 2006), h. 7
3
pemerintahan kepada rakyat didaerah dalam proses administrasi, otonomi daerah dalam pihak ini harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijkaan ekonomi nasional di daerah. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu: pertama, untuk terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, berfungsi
mengelola
berbagai
dimensi
kehidupan
seperti
pemerintah
bidang
sosial,
kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri dan lain-lain. Oleh karena itu, tidaklah mungkin semua dilakukan dengan cara yang sentralistik, sehingga ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dalam otonomi daerah. Kedua, sebagai sarana pendidikan politik. banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara, pemerintah daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik, dan mereka yang tidak memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, mempunyai peluang untuk ikut dalam politik lokal. Ketiga, pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. karena pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan lahan yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir politik yang lebih tinggi dari dominasi lokal menjadi dominasi nasional. Keempat, stabilitas politik. stabilitas nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Kelima, kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
4
kesetaraan politik diantara berbagai kompenan masyarakat akan terwujud. Karena masyarakat di berbagai lapisan daerah mempunyai kesempatan untuk terlibat salam politik, melalui pemilihan kepala desa, bupati,walikota, dan bahkan gubernur. Dan masyarakat terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan mereka. 5 Sejalan dengan perubahan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada sejumlah perubahan yang menyangkut konsep kelembagaan di pemerintahan daerah.
Menurut
UU
No.32
Tahun
2004,
pemerintah
daerah
adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 6 menurut asas otonomi , dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, sedangkan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 7 Dengan adanya otonomi daerah yang luas diera reformasi ini memberi ruang DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, dahulu lembaga perwakilan rakyat (legislatif) berada dibawah dominasi eksekutif dipusat maupun daerah, hal ini karena Presiden Soeharto membangun hegemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Hal ini
5
Dede Rosyada, DKK, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , h. 153 6 Selanjutnya akan menggunakan kata DPRD 7 Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah (Bandung: Humaniora, 2005), h. 115
5
dapat dilihat dalam strategi memperkokoh dominasinya, mengontrol dan mengendalikan secara total daerah-daerah. Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim soeharto terhadap lembaga perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No.5 tahun 1974 mengenai pengangkatan kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari DPRD diserahkan kepada Presiden, melalui Mentri Dalam Negeri. Ini pun berlaku dalam pengangkatan Bupati/Walikota. Hegemoni ini membuat DPRD yang begitu kuat dalam proses pemilihan kepala daerah menyebabkan DPRD mandul dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang dikehendaki rakyat. 8 Pasca lengsernya soeharto, terjadi perubahan besar menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Semangat tersebut diakomodasi UU NO. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang mulai mengembangkan istilah demokrasi, partisipasi masyarakat, serta pengelolaan kekuasaan transparan. Pasal 18 Ayat 1, UU No.22 Tahun 1999 memberi kewenangan yang sangat penting bagi DPRD antara lain, memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil, dan Walikota/Wakil), serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Gubernur, Bupati dan walikota bertanggung jawab kepada DPRD. Seiring berkembangnya demokratisasi di indonesia UU No.22 tahun 1999 di ubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu
8
Wasistiono, sadu dan ondo riyani (editor), Etika Hubungan Legislatif Eksekutif (Bandung: Fokus Media, 2003), h. 234
6
alasan di rubahnya karena UU sebelumnya DPRD mempunyai otoritas terlalu besar terhadap Kepala Pemerintahan. Dan UU No.32 tahun 2004
dengan tegas
memisahkan antara badan legislatif dan eksekutif daerah. UU ini juga menegaskan bahwa kedudukan setiap unsur pemerintah daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki. Karena baik anggota DPRD maupun Kepala Daerah dipilih langsung oleh Rakyat, lewat pemilihan umum. Namun DPRD dan kepala daerah juga memiliki kewajiban antara lain, menjalin hubungan kerjasama dengan seluruh intansi vertikal di daerah. Serta memberi laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Walaupun ada pemisihan antara Kepala Daerah dan DPRD namun kedua lembaga ini bersifat sejajar dan bersifat kemitraan, keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai legitimasi yang sah. Namun Kepala Daerah dan DPRD mempunyai korelasi kerja satu sama lain, salah satu contohnya dalam UU No.32 Tahun 2004 disebutkan Kepala daerah dalam menetapkan Perda harus mendapat persetujuan dari DPRD, hal ini bisa dilihat bahwa kerja Kepala daerah tidak bisa terlepas dari peranan DPRDnya 9 . Pada akhirnya segala urusan mengenai daerah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, tidak terkecuali bagi daerah manapun, dan DPRD sebagai Lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat harus bisa membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik. Kota bekasi yang merupakan salah satu kota di
9
116
Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, h.
7
Indonesia juga harus melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang sudah disepakati. Bekasi yang kini menjadi Kota dan terlepas dari kabupaten Bekasi mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukannya. Bekasi juga merupakan daerah yang diduduki oleh penjajahan Belanda dan Jepang, pasca kemerdekaan Bekasi ditata menjadi Kabupaten. Terbentuknya kabupaten Bekasi juga tidak lepas dari aspirasi masyarakat Bekasi untuk dibentuknya Kabupaten Bekasi yang awalnya Kabupaten Jatinegara. Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Dan perkembangan pemerintahan Republik Indonesia pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, berdasarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 1981 kecamatan bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 kecamatan, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara. Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaraan itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan khusus. Pembentukan kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1981 yang dihadiri mentri Dalam Negeri (Mendagri).
Dan perkembangan yang
ditunjukan Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan Otonomi daerah. Dan untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU No. 9 Tahun 1996 yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya
8
Daerah Tingkat II Bekasi dan yang menjabat sebagai walikotamadya adalah bapak Drs.H.Khailani AR, selama satu tahun (1997-1998). 10 Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Bapak Drs. H. Nonon Sonthanie (1998-2003). Setelah pemilihan umum berlangsung terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota Bekasi yaitu: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad (periode 2003-2008), dan pada tahun 2008 terpilih walikota Moechtar Muhammad sebagai Walikota dan Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota (periode 2008-2013), yang terpilih lewat pemilihan kepala daerah langsung oleh warga Kota Bekasi. Kota
Bekasi
setelah
berbentuk
Kotamadya
mulai
membuktikan
kemandiriannya dalam mengembangkan Kota Bekasi, dengan didukungnya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kota Bekasi menunjukan geliatnya dengan membangun sektor perekonomian yang lebih nyata. Ini bisa dilihat pada awalnya perekonomian Bekasi baru berkembang disepanjang Jl.Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari Alun-alun Kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat pusat pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store dan bioskop. Sejak tahun 1993, perekonomian mulai berkembang disepanjang Jl. Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat perekonomian telah berkembang hingga Jl. KH. H. Noer Ali ( Kalimalang), Kranji, dan Harapan Indah. Di daerah ini bisa dilihat dengan adanya hotel, banyaknya mal, 10
http// www.kotaBekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
9
pertokoan,bank serta restoran dan perumahan-perumahan mewah yang ada di daerah ini. Dan kini pusat perekonomian telah berkembang sampai di beberapa kecamatan bekasi salah satunya kecamatan Jati Asih, di kecamatan ini sudah dibuka akses jalan tol yang menghubungkan ke Jabodetabek sampai ke bandung, juga ada supermarket, restoran, bank, perumahan-perumahan dan sarana transportasi angkutan umum yang sudah menjangkau kebeberapa kota. Berkembangnya sektor perekonomian di kota Bekasi, diiringi dengan pemerintahan daerah yang stabil dan kuat, pemerintah daerah Kota Bekasi sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah pertama pada tanggal 27 januari 2008 untuk memilih wali kota secara langsung. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang memakai cara walikota dipilih oleh anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat daerah). Pemilihan kepala daerah tersebut diikuti oleh tiga pasang calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Mochtar Mohammad dan Rahmad Effendi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Sedangkan dalam pemilihan anggota DPRD secara demokratis sudah dilakukan terlebih dahulu pada tahun 2004 bersamaan dengan pemilu nasional. Dan mengantarkan 54 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS(11), Golkar(9), P.Demokrat(7), PAN(6), PPP(4), PDS(1), PBB(1), periode 2004-2009, yang terpilih sebagai
pimpinan
DPRD
ketua
H.Rahmat
Effendi,S.Sos,M.Si,(F-Golkar),
didampingi oleh H.Dadang Asgar Noor (F-P.Demokrat) dan H. Ahmad Saiykhu (FPKS). 11
11
http// www.kotaBekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
10
Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat penelitian karena secara geografis Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok dan Cikarang, serta menjadi tempat tinggal masyarakat yang bekerja dijakarta. Oleh karena itu ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota wilayah jabodetabek, Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan DKI. Kota Bekasi akan semakin strategis sebagai Kota Pengimbang (Trickling Down Effect) untuk mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta.
Dengan
kondisi ini di asumsikan penduduk kota bekasi pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai 2.250.000 jiwa, laju pertumbuhan Kota Bekasi dari tahun ketahun terus meningkat, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 1.708.337 jiwa dan bertambah pada tahun 2005 2.001.899 jiwa, dan pada tahun 2007 sampai saat ini mencapai 2.143.804 jiwa. Kota Bekasi diarahkan untuk pengembangan jasa, perdagangan, industri dan pemukiman, sebagai bagian dari pengembangan kawasan terbangun atau perkotaan dengan koridor timur barat (poros Bekasi-Jakarta-Tangerang). Kelengkapan infrastruktur menjadi nilai tersendiri ketika memilih hunian di Bekasi. Maraknya pusat properti komersial di Bekasi, juga bisa menjadi sinyal bahwa kebangkitan pembangunan properti di Bekasi akan semakin jelas. Dari data survei yang dilakukan PT Procon Indah yang dilangsir pada jakarta property market review
11
2007 tingkat hunian di Kota Bekasi mencapai persentase 90,6%, Jakarta 85,9%, Tangerang 73,2%, dan Bogor57,0%. 12 Meningkatnya sektor perekonomian di Kota Bekasi tentu harus diikuti dengan kinerja DPRD sebagai lembaga politik yang membuat kebijakan publik bagi warganya. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, karena dalam Undang-undang ini mulai diterapkannya standar pelayanan minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 11 ayat (4) menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”. Salah satu prestasi dibidang pemerintahan yang dicapai Kota Bekasi pada tahun 2005-2006 adalah juara lomba pelayanan publik tingkat nasional pada tahun 2005 dan lomba evaluasi kinerja kelurahan tingkat Provinsi selama dua tahun berturut-turut, pada tahun 2005 kelurahan Jaka Sampurna dan pada tahun 2006 kelurahan Bintara yang menang dalam pelayanan masyarakat, padahal pada saat itu Kota Bekasi belum mempunyai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pelayanan publik. 13 Ini menjadi pekerjaan rumah bagi DPRD, untuk meningkatkan pelayanan dibidang pemerintahan maka DPRD harus membuat peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan standar pelayanan minimum. Hal ini menarik untuk dikaji karena dengan adanya arahan terhadap 12
http://www.Jatisari, hunian kota bekasi. Html, diakses pada tanggal 27 Januari 2010. Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 13
12
pelayanan publik seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004, apakah DPRD berperan dalam pembuatan peraturan daerah ini dan melihat seperti apa DPRD Kota Bekasi memberi ruang terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi. Selain alasan objektif diatas alasan subjektifnya adalah penulis lahir dan dibesarkan di Kota Bekasi. Dan dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat berguna bagi masyarakat Kota Bekasi, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota Bekasi dalam menjalankan roda pemerintahan. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Perubahan sistem otonomi daerah yang berdampak pada keterbukannya demokrasi politik di Indonesia, membawa babak baru bagi DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Begitu juga dengan DPRD di Kota Bekasi, dengan adanya otonomi daerah DPRD Kota Bekasi mempunyai hak untuk membuat kebijakankebijakan di daerah yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Bekasi. Karena luasnya pembahasan mengenai peran DPRD Kota Bekasi dalam membuat peraturan daerah, agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis membatasi dan memfokuskan kajian pada DPRD Dalam Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyususnan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, oleh karena itu, pembahasan akan dirumuskan pada seputar: 1. Bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik ?
13
C. Tujuan Penelitian Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan dalam penelitian skripsi ini penulis memiliki dua tujuan, umum dan khusus. Tujuan umum disini di antaranya: 1. Untuk mengetahui DPRD dalam otonomi daerah 2. Untuk mengetahui bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyususnan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik Sedangkan tujuan khusunya adalah untuk melengkapi tugas akhir dari perkuliahan, dan untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos ) D. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan data-data bagi penelitian skripsi ini, penulis menggunakan penelitian perpustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data-data dengan cara membaca karya ilmiah, buku, media masa, jurnal-jurnal, dan menggunakan metode wawancara kepada kepada sumber yang mengerti pembahasan ini . dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan, penulis juga akan ke DPRD untuk mendapatkan data yang akurat mengenai pembahasan tema ini. Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu suatu pendekatan dengan mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang berkaitan dengan tema yang dimaksud serta menganalisanya. Sehingga ada data
14
yang pasti mengenai peraturan daerah maupun refrensi lain, agar diperoleh suatu jawaban yang pasti. Secara umum, teknik penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada buku-buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CEQDA (Center For Quality devolopmen and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2008.
E. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun menggunakan pembahasan bab per bab. Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua akan dibahas tentang DPRD dan Otonomi Daerah, yang berisi pengertian Otonomi Daerah, DPRD Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah. Pada bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Tentang Kota Bekasi yang membahas, Sejarah Kota Bekasi, Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi dan Penjelasan Umum Kota Bekasi .
15
Pada bab keempat penulis mencoba menganalisis mengenai Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Kota Bekasi Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Pengawasan peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Pada bab kelima akan ditulis Kesimpulan dan Saran.
BAB II DPRD DAN OTONOMI DAERAH A. Pengertian Otonomi Daerah Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasika dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asalusul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman
tingkat pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau
16
desentralisasi yang merupakan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom. 14 Sejak kemerdekaan Hubungan kekuasaan Pemerintah pusat dan daerah selalu berubah, hal ini bisa dilihat dalam bentuk kebijakannya. Pada masa Soekarno pemerintah pusat mulai berusaha untuk mengembangkan otonomi daerah pada tahun 1957 dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957, namun hal ini gagal diterapkan dan menimbulkan kekecewaan pada pemerintah daerah yang menilai sistem pemerintahan yang sentralistis dan tidak memberikan ruang yang memadai terhadap otonomi daerah, sampai akhirnya pada masa pemerintahan Soeharto pengaturan politik lokal dibenahi dengan hegemoni yang kuat dari pusat kedaerah. Soeharto mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional. 15 Selama hampir seperempat abad kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada UU No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang di buat pada masa Soeharto. Akhirnya setelah Soeharto lengser, bergulir era reformasi ada suatu desakan dari kalangan politik lokal agar ada perbaikan hubungan antara Pusat dan daerah. Dan timbul keinginan daerah agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat kedaerah. Akhirnya tanggal 7 mei 2001 lahirlah UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang
menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi daerah. 16
14
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 1 15 Pratikno, “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta:Lipi Press, 2007), h. 31-33 16 Syaukani, Dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan ( yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), h. 14
17
Otonomi (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga pengertian yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah dan mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain. Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-rintangan masa mudanya (menurut E. Erikson). 17 Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan urusan internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam batas tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur pemerintahannya sendiri. 18 Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan yang berlaku. 19 Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan citacita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur, pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah.
17
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 759 18 BN. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), h. 350 19 Save, M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 759
18
M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial dan fungsional.20 Rondinelli mendefinisikan otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan. Manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba. 21 Negara
Indonesia,
sebagai
negara
kesatuan
republik,
dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi bahan pembicaraan jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Mohammad hatta dalam tulisan ke arah Indonesia merdeka (1933) menyebutkan: “ Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia menegaskan pembentukan
20
Rosyada, DKK, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 151 21 Ibid., h. 151
19
pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat. 22 Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
DPRD juga
memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan
regional
dan
lokal
untuk
mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal. 23 Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan agama. 22
Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan, Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah (Yogyakarta: Kreasi total Media, 2008), h. 133 23 M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah , h.10-11
20
Urusan pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota), sedangkan urusan kabupaten/kota ( Desentralisasi) berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam suatu kabupaten/kota). 24 Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan manfaat lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota. Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang
kesehatan,
penyelenggaraan
bidang
pendidikan
(khusus
provinsi
ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia potensial), penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertahanan, kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 25 Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras
24
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global , h. 172 25 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cet. 1, h.141-142
21
dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat. Meskipun demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundangundangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat. 26 Wajah pemerintahan daerah dengan begitu akan berbeda-beda. Kebijakan yang dibuat dan cara melaksanakannya juga tidak sama. Melalui pemberian otonomi, prinsip pluralitas dalam demokrasi lebih dapat dijamin, efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih dapat diwujudkan, dan pemerintah pusat sendiri tidak keberatan beban dalam menangani urusan domestik. Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah yang ada didepan mata pemerintah daerah. B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Persoalan otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945 yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945. Beranjak dari pasal tersebut lahir pula berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah untuk menjabarkan pasal 18 UUD
26
Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 209
22
1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di kepulauan ini. 27 UUD (Proklamasi) 1945 dalam pasal 18 menegaskan sebagai berikut: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengamati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 28 Dalam penjelasan resmi UUD 1945, ketentuan pasal 18 tersebut diberikan penjelasan sebagai berikut: 29 a. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat (Negara Kesatuan), maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifaat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah
itu
bersifat
otonom
(streek
dan
local
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang. 27
Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h.243 28 Lihat UUD 1945 Pasal 18 29 C.S.T. Kansil, DKK, Hukum Administrasi Daerah (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), h.73
23
Didaerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena didaerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar musyawaratan. b. Dalam
teritoir
Negara
Indonesia
terdapat
kurang
lebih
250
Zelfbesturendelan-dshappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini: B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1945 Undang-Undang No.1 1945 dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada
24
dasarnya dalam UU No.1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. 30 pada pokoknya Undang-Undang ini mengubah Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Daerah. Wewenang BPRD tersebut adalah: Pertama, kemerdekaan untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi). Kedua, Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu (medebewind dan self goverment = sertat antara dan pemerintahan sendiri). Ketiga, membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan terlebih dahulu oleh pemerintahan atasan (wewenang antara otonomi dan selfgovernment). 31 Komite Nasional Daerah bertindak sebagai badan legislatif dan anggotanyaanggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. 32 B.2.DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1948 Undang-undang No.1 Tahun 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia, ternyata dipandang kurang memuaskan, karena isinya sangat sederhana. Dan banyak hal yang tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1945. Untuk 30
Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan (Jakarta: Samitra Media utama, 2004), h. 75 31 CST Kansil, Pokok-pokok pemerintahan Di Daerah (Jakarta: Aksara Baru, 1979), h. 37 32 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 76
25
melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, maka dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Pada tanggal 10 Juli 1948 ditetapkan Undangundang No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. 33 Undang-undang ini menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan kepala daerah diberi kedudukan sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi ketua DPRD. Kekuasaan pemerintah daerah berada ditangan DPRD. DPD bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat dijatuhkan DPRD atas mosi tidak percaya. Kepala daerah dalam UU ini mempunyai posisi lemah karena tergantung pada DPRD. B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1957 Yang menjadi dasar dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 dikarenakan perkembangan
ketatanegaraan
maka
undang-undang
tentang
pokok-pokok
pemerintahan daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan. Dan perlu dilakukan dalam suatu undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia. DPRD dalam Undang-undang ini memiliki hak dan kewajiban yang semakin luas, DPD dan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sehingga kedua badan ini harus bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku ketua DPD,
33
C.S.T. Kansil, DKK, Hukum Administrasi Daerah, h. 75
26
namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. 34 B.4. DPRD Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 1965 Pada tanggal 1 september 1965 diundangkan UU No.18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah RI. Diberlakukannya UU No.18 Tahun 1969 dipicu oleh lemahnya posisi kepala daerah dalam UU No.1 Tahun 1957. 35 UU No.18 Tahun 1965 ini merupakan gabungan atau pencakupan dari segala pokok unsur-unsur pemerintahan daerah. Dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya posisi DPRD dalam Undang-undang ini sangat minim. 36 Bentuk dan susunan pemerintahan daerah terdiri dari: Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah melaksanakan politik pemerintahan dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. kepala daerah juga dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintahan harian. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah. DPRD menetapkan peraturanperaturan daerah untuk kepentingan daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) adalah pembantu kepala daerah dalam urusan dibidang tugas pembantuan dalam
34
Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 247 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, h. 134 36 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2006), h.76 35
27
pemerintahan. Angota BPH memberikan petimbangan kepada kepala daerah, baik diminta maupun tidak. B.5. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18 Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menunda berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut. Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal lembaga BPH atau DPD. 37 Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas
37
BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2006), h.76
28
bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan terhadap Kepala Daerah. 38 B.6. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas dalam
merumuskan,
mengelola,
dan
mengevaluasi
kebijakan
publik
terakomodasi. 39 DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5 Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. 40 Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar dapat
merealisasikan 38
aspirasinya.
Penguatan
masyarakat
dilihat
dengan
Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252 L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 39 40 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 140 39
29
diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota. UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah merupakan pemerintah daerah (local goverment). 41 Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakilnya dimana DPRD. 42
41
Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah (Bandung: Humaniora, 2006), h. 117 42 Lihat Penjelasan Pasal-pasal UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
30
B.7. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun 2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam praktiknya
DPRD
mendominasi,
sehingga
memunculkan
ketidakstabilan
pemerintahaan daerah. 43 Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi
43
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 71
31
pemilihan umum daerah (KPUD), KPUD bertanggung jawab kepada DPRD setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD. 44 Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung. UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab untuk membuat kebijakan publik. C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah Peran DPRD dalam otonomi daerah yang dimuat dalam undang-undang pemerintahan daerah selalu berubah arah kebijakannya, ini dikarenakan adaptasi pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerintah pada awal kemerdekaan belum stabil, sehingga dari awal kemerdekaan hingga sekarang kebijakan Peran DPRD dalam otonomi daerah berbeda-beda. UU No.1 tahun 1945
merupakan undang-undang pertama tentang
pemerintahan daerah, DPRD pada ketika itu disebut Komite Nasional Daerah yang 44
Muhammad Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 123
32
pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan rakyat daerah (BPRD) yang menjadi badan legislatif. Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD. Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah sangat bergantung kepada DPRD. Dalam UU No. 1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada DPRD. 45 Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di Undangkannya UU No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala daerah dan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Pergantian kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI, mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan oleh UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, sistem pemerintahan daerah menggunakan tiga asas pemerintahan yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. BPH dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala
45
Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.75-81
33
Negara, Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden 46 . adanya reformasi 1998 menjadi arus balik kewenangan pusat kepada daerah, tuntutan untuk diterapkannya otonomi daerah yang tidak sentralistis di tuangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No.5 tahun 1974, undang-undang ini juga menjadi babak baru bagi perjalanan otonomi daerah dan kepemimpinan Presiden Soeharto yang digantikan Oleh Habibie. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peran sentral kepada DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala daerah dan memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD, apa bila tidak bertanggung jawab maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah yang bersangkutan. UU No.5 Tahun 1974 dinilai gagal dalam mewujudkan hak-hak daerah dalam mengembangkan daerahnya sendiri, karena masih terkontrol oleh pusat. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi Kepala Daerah dengan DPRD. UU No. 22 tahun 1999 secara tegas menetapkan bahwa didaerah dibentuk DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan
46
118-119
Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Kata Hasta, 2005), h.
34
pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat daerah 47 . Dan seiring perjalanan otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 di revisi pada masa pemerintahan Megawati dengan penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini DPRD tidak mempunyai kekuasaan penuh terhadap Kepala Daerah, karena Kepala Daerah dipilih oleh rakyat lewat pemilu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Pola hubungan DPRD dan kepala daerah sebagai mitra dan bekerja sama untuk mengembangkan daerah otonomnya sendiri. Negara Indonesia di bawah pemerintahan orde baru kurang lebih 30 tahun menerapkan pelaksanaan sistem yang sentralistik ini kemudian melakukan gelombang protes dari tahun 1997 sampai 1998. Banyaknya tuntutan agar ada perbaikan pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah dan memberikan peran DPRD sebagimana mestinya, akhirnya dikeluarkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang membuat posisi DPRD kuat sebagai lembaga legislatif. Penerapan otonomi daerah, sesuai dengan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang pemerintahan daerah telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.48 Pelaksanaan otonomi daerah secara demokratis bisa dilihat dalam pelaksanaan pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota DPRD sebagai lembaga 47
Sarundajang, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), Cet.4, h. 7 48 Mardiyanto, “Penerapan Otonomi Daerah Di jawa Tengah: Masalah Desentralisasi, Demokratisasi Dan Akuntabilitas” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 317
35
legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang sejak juni 2005 di sebagian negara Indonesia. Pemilihan kepala daerah disinyalir untuk memperkokoh demokrasi dan sebagai bagian program desentralisasi yang berkesinambungan, yang menjadikan kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya langsung bukan kepada DPRD, seperti yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 yang berpotensi besar untuk memperkuat tata pemerintahan. BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI A. Sejarah Kota Bekasi Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669 M). Luas kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga kewilayah sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan filologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah diwilayah Bekasi sekarang. 49 Dayeuh Sundasembawa merupakan daerah asal maharaja Tarusbawa (669723 M) pendiri Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang seterusnya menurunkan raja-raja sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya, raja Sunda yang terakhir. 50
49
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007 (Bekasi: Badan Infokom Kota Bekasi, 2007), h. 8 50
Ibid
36
Kata Bekasi diduga berasal dari suku kata Chandrabhaga, salah satu suku kata dalam Prasasti Tugu. Dalam bahasa sansakerta Chandra berarti Bulan, dan Bhaga berarti Bahagia. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang pakar bahasa, kata Chandra dalam bahasa Jawa Kuno sama dengan kata Sasi. Sehingga Chandrabhaga juga identik dengan Sasibhaga, jika dilafalkan terbalik menjadi bhagasasi, yang lambat laun menjadi Bekasi. 51 Wilayah bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan Prasasti kabantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri baguda Maharaja (Prabu siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis pada lima lempeng tembaga. Sejak abad kelima masehi pada masa Kerajaan tarumanagara, abad kedelapan Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni penghubung antar daerah ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta). Ketika Belanda datang merebut Jayakarta pada 31 mei 1619 dan nama jayakarta diubah menjadi Batavia. Bekasi pada zaman Hindia belanda hanya merupakan kewedanaan (district) yang termasuk dalam regenshaf (kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya sektor ekonomi dan pertanian didominasi dan dikuasai oleh para tuan tanah keturunan cina, sehingga dengan kondisi tersebut seolah-olah bekasi mempunyai bentuk
51
2009), h. 3
Denny Bratha Affandi, Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase (Bekasi: Rinjani Kita,
37
pemerintahan ganda yaitu pemerintahan tuan tanah didalam pemerintahan colonial. Kondisi ini berlangsung hingga kependudukan Jepang. 52 Pada bulan maret 1942 pemerintah Hindia belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara dai Nippon. Tentara pendudukan jepang melaksanakan japanisasi disemua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang daerahnya meliputi Gun Bekasi, Gun Cikarang, Gun kemayoran, dan Gun Mataram. 53 Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 struktur pemerintah kembali berubah nama, Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa./Kelurahan. Dalam upaya pertahanan perang gerilya menghadapi agresi Belanda, maka Saat itu Ibu Kota kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu Cikarang, kemudian Bojong (Kedung Gede). Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya Suryanata Miharja. Kemudian saat kependudukan oleh tentara Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis yaitu menjadi kewedanaan. Kewedanaan Bekasi termasuk daerah Batavia En Omelanden sedangkan batas bulak kapal ketimur termasuk wilayah Negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandschindie 1948 Nomor 178 Negara Pasundan.
52
Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi , (Bekasi: Pemkot Bekasi, 2009), h. 2 53 Ibid, h. 3
38
Ketika proklamasi dikumandangkan, rakyat dikota-kota sekitar Jakarta termasuk Bekasi, menyambut dengan suka cita. Pergerakan melawan kekejaman Jepang di Bekasi yang muncul dimana-mana sampai menimbulkan peristiwa yang kemudian dikenal sebagai ‘Tragedi Kali Bekasi’ pada 19 Oktober 1945 dan peristiwa “Bekasi Lautan Api” pada 23 November 1945. 54 Dalam proses selanjutnya, ketika situasi semakin membaik, Bekasi yang merupakan kewedanaan bagian dari kabupaten Jatinegara dikritisi oleh rakyat dan tokoh masyarakat dengan membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Pada 17 Januari 1950 mereka menggelar rapat raksasa yang juga dihadiri 40.000 rakyat Bekasi. 55 Mereka menyampaikan hasrat dan pernyataan sebagai berikut: 1. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi. Setelah tiga kali pembicaraan dari Februari sampai Juni 1950, akhirnya Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) menyetujui pembentukan Kabupaten Bekasi. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1950 Tanggal 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi. Pada saat itu Kabupaten Bekasi terdiri dari empat Kewedanaan, 13 Kecamatan, dan 95 Desa, mulai saat itu pula kecamatan cibarusah masuk kedalam wilayah Kabupaten Bekasi. Angka-angka 54
55
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
Chotim Wibowo, Dkk, Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar (Bekasi: Satu Visi, 2004), h. 4
39
tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto Kabupaten Bekasi adalah “Swatantra Wibawa Mukti” selanjutnya mulai Tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi (Jl. H Juanda). Dengan Bupati pertama R. Suhandar Umar, SH. 56 Perkembangan Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ketahun, sebagai Kota penyangga Ibu Kota Jakarta dan kabupaten Bekasi mulai diperhitungkan dari segi perekonomian dan politik, perkembangan dari pemerintahan pada saat itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat,
maka
pada
Tahun 1982 saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah, komplek perkantoran pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi yang semula berlokasi di JL. Ir. H. Juanda dipindahkan ke Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bekasi. 57 Tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan memerlukan adanya pelayanan khusus, dan perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Bagaimana Kecamatan Bekasi menjadi Kota Bekasi akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi Kota Bekasi berasal dari pemekaran Kabupaten Bekasi, yang awalnya menjadi kecamatan Kabupaten Bekasi. Kecamatan Bekasi merupakan kecamatan yang lebih berkembang dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bekasi. Berkembangnya kecamatan Bekasi dikarnakan kantor Kabupaten bekasi yang berada di kecamatan Bekasi dan adanya tuntutan kehidupan masyarakat 56 57
Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h. 6 Ibid h. 6-7
40
perkotaan yang memerlukan pelayanan khusus, akhirnya perkantoran pemerintah daerah Kabupaten Bekasi di pindahkan dari kecamatan Bekasi karena perkembangan kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Bekasi Selatan, keseluruhannya meliputi 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan) Desa. Peresmianya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982. Walikota administratif Bekasi pertama dijabat oleh Soedjono (1982-1988), selanjutnya pada Tahun digantikan oleh Drs. Andi R. Sukardi (1988-1991), dan pada Tahun 1991 Walikota administratif Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR. Sampai Tahun 1997. 58 Dengan adanya kebijakan konsep BOTABEK (Bogor Tangerang Bekasi) yang merupakan pelaksanaan inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan Ibukota Negara maka Kota Administratif Bekasi dan kecamatan-kecamatan sekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami perubahan sangat pesat, sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana sebagai syarat pengelolaan wilayah.
58
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
41
Perkembangan yang ada telah menunjukan bahwa Kota Administratif Bekasi mampu memberikan dukungan kemampuan dan menggali potensi diwilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, maka melalui UU No. 9 Tahun 1996 Kota Administratif Bekasi ditetapkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dengan wilayah kerjanya meliputi: wilayah kerja Kota administratif Bekasi yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi Selatan ditambah dengan wilayah kerja Kecamatan Pondokgede, Jatiasih, Bantargebang, dan Kecamatan pembantu Jatisampurna. Keseluruhannya meliputi 23 Desa dan 27 Kelurahan. Selaku pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR, selama satu tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi Definitif yang pertama dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie. Dalam perkembangan telah terjadi perubahan dalam jumlah dan status Kelurahan/Desa.
Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri No. 140/2848/puod
tanggal 3 September 1998 dan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 50 Tahun 1998 telah terjadi perubahan status 6
Desa menjadi 2
Kelurahan baru, sehingga jumlah Desa/Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi menjadi 52 terdiri dari 35 Kelurahan dan 17 Desa. Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan Pemerintahan
42
Daerah di Indonesia. Seiring dengan
itu Nomenklatur Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Pemerintahan Kota Bekasi, selanjutnya sebagai tindak lanjut pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah Otonom, serta peraturan pemerintah No.84 Tahun 2000 tentang pedoman Organisasi Pejabat Daerah, adalah peraturan pemerintah yang mendasari ditertibkannya peraturan Daerah No. 9, 10,11 dan 12 yang mengatur tentang organisasi perangkat Daerah, selanjutnya guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui peraturan daerah No. 14 tahun 2000 telah dibentuk 2 Kecamatan baru yaitu Kecamatan Rawa Lumbu dan Kecamatan Medan Satria, sehingga Kota Bekasi terdiri 10 Kecamatan. 59 Berdasarkan peraturan daerah Kota Bekasi No.02 tahun 2002 tentang Penetapan Kelurahan, maka semua desa yang ada di Kota Bekasi berubah statusnya menjadi Kelurahan, sehingga pemerintah Kota Bekasi mempunyai 52 pemerintah Keluarahan. Dalam perjalannya guna lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka wilayah administrasi Kota Bekasi mengalami pemekaraan kembali, dan melalui peraturan daerah Kota Bekasi No.4 Tahun 2004 tentang Pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan maka wilayah administrasi Kota Bekasi menjadi 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan, kecamatan Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara, jati Asih, Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Sampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustika Jaya, Pondok Melati.
59
Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h.7-8
43
Perjalanan Kota Bekasi dalam pembentukan wilayah Administratif sampai Kota Madya, mengalami perjalanan yang rumit, hal ini terlihat dari pemekaran kecamatan yang terus bertambah. Dengan mengikuti dinamika politik dan peraturan pemerintah yang ada. Namun kota bekasi bisa berkembang seiring dengan sistem yang ada. Kota Bekasi terletak di wilayah pantai utara Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 210 Km2 dengan batas wilayah: Bagian Barat berbatasan dengan DKI Jakarta, Bagian Timur berbatasan dengan kabupaten Bekasi, Bagian Utara dengan Kabupaten Bekasi, dan Bagian Selatan dengan kabupaten Bogor dan Kota Depok. Pada saat Kota Bekasi diresmikan menjadi Kotamadya tahun 1997 tercatat jumlah penduduk sebanyak 1.471.477 jiwa dan meningkat pada tahun 2000 sebanyak 1.637.610 jiwa. Dan pada tahun 2005 tercatat 2.001.899, dari tahun ketahun laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Sehingga laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 tercatat 2.143.804 meningkat 3,49% dibanding tahun 2005. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi dari tahun ketahun menuntut pemerintah Kota Bekasi untuk bisa memenuhi kebutuhan warganya dan terus memperbaiki sistem birokrasi yang ada. Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Bekasi No. 37-174.2/DPRD/2003 tanggal 22 februari 2003 tentang penetapan Walikota dan Wakil Walikota Bekasi 2003-2008, dan ditindaklanjuti dengan keputusan Mentri Dalam Negeri No. 131.32-113 Tahun 2003 tentang Pengesahan pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Walikota Bekasi Propinsi Jawa Barat, dan Keputusan Mentri dalam Negeri No. 132.32-114 Tahun 2003 Tentang
44
pengesahan Pengangkatan Wakil walikota Bekasi propinsi Jawa barat, dan telah ditetapkan H. Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar Muhammad sebagai Wakil Walikota Bekasi. Yang dipilih oleh anggota DPRD Kota Bekasi dan meraih suara terbanyak. Dengan adanya UU No.32 Tahun 2004, pemilihan WaliKota dan Wakilnya tidak lagi dipilih oleh DPRD tingkat setempat, seperti pada UU No.22 Tahun 1999, maka pada tahun 2008 Kota Bekasi merealisasikan UU No.32 Tahun 2004 dengan diadakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang dipilih oleh warga Kota Bekasi. Dan terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota yang baru, dan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 dan 132.32-77 Tahun 2008 Tanggal 21 Februari 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian dan pengesahan Pengangkatan Mochtar Muhammad sebagai Walikota Bekasi dan H.Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota Bekasi masa Jabatan 2008-2013. Yang memenangi Pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Bekasi. Pemekaran Kecamatan Bekasi dari Kabupaten Bekasi akhirnya mengalami perkembangan yang pesat sampai akhirnya dengan segala dimensi yang ada Kecamatan Bekasi menaiki tahap dari Kota Administratif dan kini menjadi Kota Bekasi. Hal ini juga tidak terlepas dengan adanya dorongan kebutuhan masyarakat kota bekasi dan keinginan Pemerintah Bekasi untuk memberlakukan hak otonom di daerah Kota Bekasi. Dengan penerapan Otonomi Daerah di Kota Bekasi, pemerintah kota Bekasi bisa mengoptimalkan sumberdaya manusia dan sumber alam untuk dikelola oleh pemerintah daerahnya sendiri. Sehingga pemerintah Kota Bekasi bisa mengembangkan kotanya tanpa ada campur tangan pusat, ini menjadi
45
pembuktian Kota Bekasi untuk bisa mandiri menjalankan roda Pemerintahan dan roda perekonomian sendiri dalam rangka penerapan otonomi daerah. C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi Kota Bekasi lahir pada 11 Maret 1996 hasil pemekaran dengan Kabupaten Bekasi yang saat ini masih bersetatus kotamadya Bekasi. Saat lahir, Kota Bekasi memiliki 8 Kecamatan dan 23 Desa dan 27 Kelurahan, yang kemudian berkembang menjadi 12 kecamatan dan 56 Keluarahan. DPRD Kota Bekasi lahir bersamaan dengan lahirnya Kota Bekasi hasil pemilu 1997. DPRD Kota Bekasi dibentuk berdasarkan UU No. 9 Tahun 1996 dan diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997. Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan menitikbertakan otonomi daerah pada Kabupaten/Kota terjadi pergeseran paradigma pemerintahan dari pola sentralis menjadi pola desentralisasi. Pemerintah bekasi dan DPRD bekerja sama untuk merubah perencanaan dan pelaksanaan yang selama ini dikendalikan oleh pusat, yang dahulu dari top down policy kepada bottom up planning dengan pola pendekatan. Partisipatif artinya melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta (dunia usaha) untuk berperan serta dalam pembangunan. Transparansi artinya keterbukaan dari berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengawasan. Akuntabilitas artinya dapat dipertanggung jawabkan baik dalam administrasi maupun fisik. Dialogis artinya adanya komunikasi yang harmonis
46
antara unsur Legislatif yaitu DPRD, dan Eksekutif yaitu Pemerintah Daerah yang dikepalai Walikota dan Wakilnya maupun masyarakat 60 Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dalam implementasi otonomi daerah, maka pemerintah daerah dan DPRD diharuskun untuk mengatasi sendiri segala masalah dan urusan yang terjadi di Kota Bekasi, dan untuk mengatasi permasalah yang terjadi di Kota Bekasi pemerintah Kota Bekasi dan DPRD mempunyai tiga fungsi utama yang harus diselesaikan yaitu: Fungsi pelayanan masyarakat, Fungsi pelayanan pembangunan, Fungsi pelayanan perlindungan kepada masyarakat 61 . Pada dasarnya tugas utama dari pemerintah Kota Bekasi dan DPRD adalah mengupayakan terciptanya tiga fungsi pemerintah tersebut secara optimal, Dalam rangka implementasi otonomi daerah di Kota Bekasi. Maka itu ketiga fungsi tersebut diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pelayanan publik kepada masyarakat. Untuk mengetahui DPRD sebagai lembaga legislatif daerah di Kota Bekasi yang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan publik kepada masyarakat kota bekasi, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai DPRD Kota Bekasi dari tahun 1997 sampai 2009. C.1. DPRD Kotamadya Bekasi Tahun 1997-1999 Dari hasil pemilu 1997 menghasilkan dua keanggotaan DPRD untuk Kabupaten dan Kotamadya Bekasi. Ini terkait dengan pemekaran wilayah yang 60
61
Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005, h. 22 Ibid
47
menjadikan wilayah Kotamadya Bekasi lahir sebagai daerah yang baru. Sebagai konsekuensinya, keanggotaan DPRD pun dipilih dua wilayah. Inilah awal terbentuknya DPRD Kotamadya Bekasi. Terpilih sebagai Ketua DPRD H. Gunarso Ismail dengan Wakil Ketua H. Soejdjono dan Turnuzi Djameli. Masa ini termasuk masa yang sulit karena adanya kerusuhan Mei 1998 yang melahirkan Reformasi dan pergantian Pimpinan Nasional. Yang berimbas kepada percepatan pemilu sehingga keanggotaan DPRD menjadi lebih singkat. Kotamadya Bekasi termasuk DPRD lahir dimasa sulit. 62 Masa ini pula menjadi masa terakhir dominasi tiga partai yang dibentuk oleh Presiden Soeharto sebagai organisasi peserta pemilu. Tuntutan reformasi berimbas adanya keterbukaan yang lebih luas sehingga partai semakin banyak. Selain itu, TNI yang melakukan reposisi menjadikan masa ini sebagai masa terakhir penempatan wakilnya dalam lembaga legislatif. C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004 Pemilu 1998 merupakan pemilu multi partai pertama. Masa ini bisa dikatakan sebagai masa kedua setelah kebangkitan Kota bekasi, yang sebelumnya Kotamadya karena dengan pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah Kotamadya Tingkat II Bekasi berubah menjadi Kota Bekasi. Dalam konteks reformasi, masa ini adalah masa pertama pemilu 42 partai, yang sebelumnya hanya didominasi 3 partai.
62
Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 5
48
Dalam periode ini terpilih dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai ketua DPRD, dan wakil ketuanya H.Abdul manan dari F-Golkar dan Ahmad Turmji dari F-PPP dan Salim Musa dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Pemilu multi partai kali ini menghasilkan komposisi kursi di DPRD Kota Bekasi sebagai berikut: PDI-P (13 Kursi), Golkar (8 Kursi), PAN (7 Kursi), PPP (5 Kursi), PKS (2 Kursi), TNI (5 Kursi), PBB (2 Kursi), PKB (2 Kursi), PKP (1 Kursi). Dengan jumlah kursi anggota DPRD Kota Bekasi 45 kursi. Pada masa ini pula DPRD Kota Bekasi memilih Walikota dan Wakil Walikota untuk menggantikan Walikota sebelumnya yang dijabat Drs. H. Nonon Sonthanie. Dan terpilih dua anggota DPRD Kota Bekasi h.Akhmad Zurfaih dari fraksi Golkar sebagai Wali Kota, dan Mochtar Muhammad dari fraksi PDIP yang menjadi Wakil Walikota.
C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009 Pada bulan April Tahun 2004 pemilihan umum merupakan pesta demokrasi rakyat Indonesia yang digelar secara serentak diseluruh Indonesia tidak terkecuali di Kota Bekasi. Dalam pemilu kali ini sistem pemilu Indonesia mmulai berubah dari sistem proposional menjadi sistem distrik, pada pemilu tahun 1999 para pemilih tidak mengetahui siapa calon anggota DPRD yang akan dipilihnya, tapi perubahan sistem pemilu sekarang ini membuat warga yang ingin memilih anggotanya tau siapa yang dipilih. Karena anggota DPRD tidak lagi dipilih oleh partai tetapi berdasarkan suara terbanyak sesuai daerah pilihannya. Pemili legislatif di DPRD
49
Kota Bekasi kali ini memperebutkan 45 kursi anggota DPRD yang dibagi dalam 6 daerah pemilihan. Berdasarkan hasil pemilu legislatif tahun 2004 menghadirkan 8 Partai yang menjadi anggota DPRD Kota Bekasi diantaranya adalah: PKS (Partai Keadilan Sejahtera) 11 kursi, Golkar (Golongan Karya) 9 kursi, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 6 kursi, PAN (Partai Amanat Nasional) (Partai Persatuan Pembangunan)
6
kursi,
PPP
4 kursi, PBB (Partai Bangsa-Bangsa) 1 kursi,
PDS (Partai Damai Sejahtera) 1 kursi. Sesuai
dengan
keputusan
Gubernur
Jawa
Barat
No.171/Kep.733
Dekon/2001 Tentang Keanggotaan DPRD Kota Bekasi hasil pemilihan umum tahun 2004 untuk masa jabatan 2004-2009. Fraksi-fraksi yang menjadi anggota DPRD Kota Bekasi adalah: fraksi PKS, Golkar, Partai Demokrat, PDIP, PAN dan PPP. Penetapan pimpinan DPRD Kota Bekasi yang tercantum dalam surat komisi pemilihan umum daerah Kota Bekasi bersifat kolektif terdiri dari seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih oleh anggota DPRD sebagaimana yang dimakssud tidak boleh berasal dari fraksi yang sama. Dari hasil rapat paripurna DPRD terpilihlah: Rahmat Effendi sebagai Ketua DPRd dari fraksi Golkar, Ahmad Syaikhu sebagai Wakil Ketua dari fraksi PKS, Dadang Asgar Noor, sebagai wakil ketua dari fraksi partai demokrat. DPRD Kota Bekasi dalam perjalannya terus mengevalusi diri untuk terus lebih baik, maka menurut keputusan pimpinan DPRD dan surat keputusan DPRD Daerah Kota Bekasi yang menetapkan dan memutuskan tentang peraturan Tata
50
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi mengenai tugas dan fungsi DPRD sesuai dengan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi adalah sebagai berikut: 1. Menjalankan Fungsi Budgeting, yaitu melaksanakan kegiatan perencanaan keuangan menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Mengatur Pembiayaan Kota Bekasi sehingga dapat meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi. 2. Menjalankan Fungsi Controling, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, peraturan daerah, keputusan kepala daerah dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. 3. Menjalankan Fungsi Legislasi, yaitu membuat peraturan-peraturan daerah bersama Pemerintah Daerah guna menertibkan jalannya roda Pemerintahan di Kota Bekasi. Dalam menjalankan tugas-tugas DPRD maka DPRD Kota Bekasi mempunyai kelengkapan DPRD, yang meliputi pimpinan DPRD, Panitia Musyawarah, Komisi, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, Panitia Legislasi. Tugas pimpian DPRD bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan 2 orang Wakil Ketua yang dipilih dari Anggota DPRD dalam rapat Paripurna DPRD. Pimpinan DPRD mempunyai tugas: 1. Memimpin rapat-rapat dan menyimpulkan hasil rapat untuk mengambil keputusan, 2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian rencana kerja antara Ketua dan Wakil Ketua, 3. Menjadi juru bicara DPRD, 4. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD, 5. Mengadakan konsultasi dengan Kepala Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya
51
sesuai dengan keputusan DPRD, 6. Mewakili DPRD dan/atau alat kelengkapan DPRD dipengadilan, 7. Melaksanakan putusan DPRD berkenaan dengan penetapan sangsi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, 8. Mempertanggung jawabakan pelaksanaan tugasnya dalam rapat paripurna DPRD. Panitia musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa keanggotaan DPRD, panitia musyawarah mempunyai tugas: 1. Memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja DPRD baik diminta atau tidak, 2. Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD, 3. Memutuskan pilihan mengenai isi risalah dapat apabila timbul perbedaan pendapat, 4. Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan, 5. Merekomendasikan pembentukan panitia khusus. Komisi-komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD, komisi mempunyai tugas: 1. Mempertahakan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah, 2. Melakukan pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah, dan rancangan keputusan DPRD, 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing-masing, 4. Membantu pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD, 5. Menerima dan menampung serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat, 6. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah, 7. Melakukan kunjungan kerja komisi yang
52
bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD, 8. Dalam hal-hal mendesak, komisi dapat melakukan kunjungan kerja tanpa persetujuan pimpinan DPRD tetapi tetap berkewajiban melaporkan hasil kunjungan kerja secara tertulis kepada pimpinan DPRD, 9. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat, 10. Mengajukan usul kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masingmasing komisi, 11. Memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas komisi. Badan kehormatan merupakan alat kelengkapan DPRD bersifat tetap yang dibentuk oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD, badan kehormatan mempunyai tugas: 1. mengamati dan mengevaluasi disiplin, etika dan moral para pemimpin dan anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kreadibilitas DPRD, 2. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan para pimpinan dan anggota DPRD terhadap peraturan perundang-undangan, kode etik dan peraturan tata tertib DPRD, 3. Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan berupa rekomendasi atas pengaduan yang disampaikan ke DPRD, 4. Menyampaikan hasil pemeriksaan kepada pimpinan DPRD berupa rekomendasi untuk pemberhentian pimpinan dan anggota DPRD antar waktu sesuai peraturan perundang-undangan, 5. Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan pimpinan dan anggota DPRD. Panitia anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada masa keanggotaan DPRD. Panitia anggaran mempunyai tugas: 1. Memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam
53
mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah selambatlambatnya lima bulan sebelum ditetapkannya anggaran pendapatan dan belanja daerah berupa pokok-pokok pikiran DPRD, 2. Meminta kepada Kepala Daerah untuk menyerahkan RAPBD sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini selambatlambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran tersebut dimulai, 3. Meneliti, mengkaji, menilai serta merevisi RAPBD yang diajukan oleh Kepala Daerah sesuai dengan RENSTRA dan arah kebijakan umum serta dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, 4. Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan
penatapan
perubahan
dan
perhitungan
APBD
sebelum
ditetapkannya dalam rapat. 5. Menindaklanjuti saran dan pendapat fraksi-fraksi yang terkait dengan penetapan perubahan dan perhitungan APBD kepada Kepala Daerah, 6. Memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai rancangan APBD, baik penetapan, perubahan dan perhitungan APBD yang telah disampaikan oleh Kepala Daerah, 7. Menyusun anggaran belanja DPRD dan menilai, meneliti serta merevisi rancangan anggaran belanja sekretariat DPRD. Panitia legislasi dibentuk oleh DPRD yang berfungsi mengaji, merumuskan dan menyusun rancangan peraturan daerah serta sebagai alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap. Pimpinan panitia legislasi terdiri dari ketua, wakil ketua, dan sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota panitia legislasi, berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Dan pimpinan panitia legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Panitia legislasi mempunyai tugas: 1. Menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan daerah untuk setiap tahun anggran, 2. Mengkaji dan menyiapkan rancangan
54
peraturan daerah inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan, 3. Melakukan telaahan dan penyelarasan rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD, 4. Memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi atau gabungan komisi diluar rancangan peraturan yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan, 5. Melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah yang secara khusus ditugaskan oleh panitia musyawarah, 6. Melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang sedang dan akan dibahas dari sosialisasi peraturan daerah yang telah disahkan, 7. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturanperaturan daerah melalui koordinasi dengan komisi atau pihak lain yang terkait, 8. Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah yang diusulkan pemerintah daerah kota bekasi, 9. Memberikan inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan, untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh panitia legislasi pada masa keanggotaan berikut. Berlakunya otonomi daerah dengan efektifnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah sejak tanggal 1 januari 2001 telah membawa perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, dengan transisi demokrasi penyelenggaraan pemerintahan yang terus bergerak kearah demokrasi di daerah
55
kabupaten dan kota nyaris selalu bermuara di lembaga DPRD, untuk memberikan kewenangan dan penguatan fungsi lembaga ini. Ketika DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 melaksanakan baktinya, otonomi daerah tengah bergulir. Seiring dengan itu kedudukan DPRD berubah. Menurut UU No.22 Tahun 1999 DPRD bukan lagi bagian pemerintah daerah tetapi merupakan lembaga mandiri sebagai Badan Legislatif Daerah yang kedudukannya sejajar dan menjadi mitra Badan Eksekutif Daerah atau pemerintah daerah. Perubahan penyelenggaraan pemerintah tersebut menimbulkan tanda tanya menyangkut kinerja lembaga DPRD Kota Bekasi. 63 Secara kualitatif kinerja DPRD Kota Bekasi dilihat dari intensitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Jika pada awal pembentukan Kota Bekasi, anggota DPRD di tempati oleh wakil dari pemerintah pusat yang terdiri dari TNI, namun hal ini tidak berlangsung lama, karena pada pemilu 1999 keterbukaan partai yang ikut pada pemilihan umum mengharuskan TNI tidak masuk lagi dalam anggota dewan, DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 merupakan masa DPRD yang sulit karena berbenturan dengan proses demokrasi dan pelaksanaan pemilu yang terbuka. Dan DPRD Kota Bekasi lahir pada saat euforia reformasi bergulir sehingga kinerja DPRD masih terhambat penyesuaian dan transisi Undang-undang tentang pemerintahan daerah dari UU No.5 Tahun 1974 ke UU No.22 Tahun 1999. Dalam hubungan ini format DPRD Kota Bekasi mengalami perubahan fungsi. Fungsi yang selama ini tersumbat oleh pemerintah pusat, dan DPRD Kota Bekasi
63
Chotim Wibowo, Dkk, Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar, h. 10
56
menyesuaikan fungsinya dalam otonomi daerah yaitu fungsi legislasi, legitimasi dan pengontrol. Fungsi legitimasi dewan berkaitan erat dengan keduukan DPRD baik sebagai wahana melaksanakan demokrasi maupun sebagai badan legislasi. Fungsi pengontrol berkaitan dengan pengawasan atas legitimasi yang diberkaitan dengan pengawasan atas legitimasi yang diberikan dewan kepada kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kemasyarakatan, pemerintahandan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan ekonomi berdasarkan demokrasi ekonomi. 64 Dalam perkembangannya kemudian terjadi revisi undang-undang otonomi daerah dengan UU No.32 Tahun 2004. Posisi DPRD yang besar sebagai lembaga legislatif harus berubah, DPRD sebagai lembaga legislatif bersifat mandiri dari lembaga eksekutif dan tidak saling membawahi. Maka DPRD Kota Bekasi pada periode 2004-2009 juga mengalami perubahan mekanisme pemilihan dan bekerja yang lebih terbuka. Dengan fungsi yang diseragamkan seperti fungsi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota, fungsinya juga tidak jauh berbeda dari fungsi DPRD sebelumnya, yaitu: fungsi legislasi, anggaran, pengawasan. Adanya reformasi yang menuntut perbaikan hubungan pusat dan daerah yang tertuang dalam otonomi daerah memberi posisi yang lebih terhadap DPRD, desakan kepada pemerintah pusat saat itu, meminta untuk penguatan kedudukan dan peran DPRD yang selama ini terbungkam oleh sistem yang sentralis. walaupun kedudukan dan wewenang DPRD yang berubah-ubah dalam Undang-undang 64
Ibid, h. 11
57
pemerintahan daerah pasca reformasi. DPRD mempunyai kelembagaan yang jelas sebagai lembaga legislasi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah. Dan bersifat kemitraan dengan lembaga eksekutif. DPRD Kota Bekasi menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan yang ada, selama periode 2004-2009. DPRD Kota Bekasi membentuk lembaga ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang pemerintah daerah dengan menjalankan fungsifungsi DPRD. Dan membuat program legislasi untuk peraturan daerah. Dan hal yang terpenting untuk ini adalah, semoga DPRD bekasi dalam membuta peraturan daerah tidak didasari kepentingan kelompok semata, tetapi untuk kepentingan warga bekasi. Sehingga peraturan daerah tentang pelayanan publik bukan hanya untuk publik tertentu yang merasakan tetapi juga semua publik yang ada di Kota Bekasi.
BAB IV DPRD DALAM OTONOMI DAERAH STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
58
A. Faktor
Yang
Melatar
Belakangi
Peraturan
Daerah
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pelayanan publik adalah salah satu implementasi otonomi daerah yang harus diberikan oleh pemerintah daerah kepada warganya. Pelayanan publik merupakan salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warganya. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan adanya otonomi yang luas yang diberikan kepada daerah maka daerah khusunya kabupaten/kota mempunyai tugas yang tinggi untuk menyediakan layanan-layanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 65 Riant Nugroho dalam bukunya mengatakan bahwa pelayanan publik adalah tugas dalam kebijakan publik yang paling mendasar, karena memberikan pelayanan kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-Cuma atau dengan biaya sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu pun mampu menjangkaunya. 66 Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah,
membuka wacana penyelenggaraan publik yang harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk mensejahterakan warganya. Karena tugas dari pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah adalah memberikan pelayanan, yaitu berupa
65
Oentarto, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 167 Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 75 66
59
pelayanan umum atau pelayanan publik. Publik disini adalah masyarakat yang berhak menerima pelayanan yang baik tanpa memandang status warganya. Pelayanan atau service adalah kata kunci dari otonomi daerah. Karena otonomi daerah adalah milik masyarakat daerah yang dijalankan oleh pemerintah daerah, maka akuntabilitas pemerintah daerah kepada rakyatnya dapat dilihat dari jenis dan kualitas dari pelayanan yang disediakan untuk warganya. DPRD sebagai lembaga politik harus membuat peraturan daerah tentang pelayanan publik yang bertujuan untuk mensejahterakan warganya. DPRD Kota Bekasi membuat peraturan daerah tentang penyelenggraan pelayanan publik karena belum ada peraturan ini sebelumnya di Kota Bekasi. Penyelenggaraan pelayanan publik didaerah menjadi suatu kemutlakan oleh karena kewajiban pemerintah baik pusat maupun didaerah sebagai penyelenggara pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dan memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi maka penyelenggaraan pelayanan publik harus memberikan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik upaya yang dilakukan antara lain menertibkan berbagai landasan peraturan perundang-undangan dibidang pelayanan publik. 67 Atas dasar tersebut serta adanya tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, khususnya dibidang penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin transparan dan berkualitas, maka harus dibarengi tersedianya pedoman/ landasan
67
Penjelasan Umum, Dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kota Bekasi. h. 25
60
bergerak bagi setiap lembaga/organisasi penyelenggara pelayanan, termasuk perorangan guna memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bidang pelayanan yang diinginkan. 68 Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik didaerah masih belum efektif bahkan cenderung kurang berkualitas, termasuk aspek sumber daya manusia dan aparatur pemerintahan yang belum memadai. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima. Dalam usaha perbaikan kualitas pelayanan dimaksud dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah. Dalam UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada suatu hal yang baru yaitu mulai diterapkannya Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah 69 , SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM akan menjamin pelayanan minimal yang berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah daerah. 70 Pada prinsipnya, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, namun secara generik pelayanan yang diberikan pemerintah dibagi menjadi dua pelayanan publik. Yaitu: pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar (basic 68
ibid Lihat pasal 11 ayat (4) dalam UU 32 tahun 2004, yang menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”. 70 Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, h. 154 69
61
services) dan pelayanan pengembangan sektor unggulan (core competence) 71 . Yang menjadi pelayanan dasar seperti, kewargaan, pendidikan kesehatan, transportasi, perumahan, lingkungan, fasilitasi jalan, dll. Pelayanan sektor unggulan seperti, pertanian, pertambangan, pariwisata, perdagangan dll. Pelayanan sektor unggulan adalah pelayanan pendukung yang ada di daerah. Namun setiap daerah otonom wajib memberikan pelayanan dasar sesuai dengan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan adanya SPM pemerintah daerah bisa memenuhi pelayanan dasar dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. 72 Didasari dengan pentingnya suatu pelayanan yang harus diberikan pemerintah daerah kepada warganya, maka DPRD Kota Bekasi membuat program rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Agar pelayanan dasar masyarakat bisa terpenuhi dan bisa dirasakan merata oleh elemen masyarakat. Tanpa proses yang berbelit-belit. Dan pembentukan peraturan daerah tentang penyelanggaraan
pelayanan
publik
juga
untuk
mengaktualisasikan UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mewajibkan setiap daerah otonom untuk memberikan pelayanan publik terhadap warganya. Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik diharapkan dapat meningkatkan penyelenggaraan fungsi pelayanan dari Dinas, Instansi, dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang ada 71
dengan mengacu pada pendekatan core competence, maka isi otonomi dari satu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan oleh daerah tersebut. 72 Oentarto, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.169-174
62
dikota bekasi. Dan disadari bahwa selama ini ketidakdisiplinan terhadap pelayanan publik yang ada dikota bekasi merugikan pemerintah kota bekasi. Tuntutan masyarakat agar adanya proses perizinan yang baik membuat DPRD menyusun rancangan peraturan daerah ini. Karena harapan DPRD kota bekasi agar peraturan daerah ini mempunyai daya laku peningkatan disiplin pelayanan yang terdapat dalam sector swasta dan pemerintah. 73 Adanya peraturan daerah penyelenggaraan pelayanan publik ini untuk membentuk badan, kantor, dinas dan sayap-sayapnya yang harus dipayungi oleh peraturan daerah, dan ini digabung dalam satuan kerja perangkat daerah (SKPD) 74 yang akan dikoordinasikan oleh badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT) 75 , sehingga dinas yang terkait dengan pelayanan masyarakat tidak memonopoli semua bentuk perizinan. Masyarakat harus KBPPT dahulu, proses ini yang akan disebut Unit pelayanan satu atap (SPSA). 76 Atas dasar bahwa pemerintah Kota Bekasi mengharapkan pelayanan yang baik terhadap masyarakat kota bekasi
maka peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik harus ada di kota bekasi, untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan perizinan yang prima dan terstruktur dengan baik melalui
73
Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 74 Selanjutnya akan disebut SKPD 75 Selanjutnya akan disebut BPPT 76 Wawancara pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
63
kegiatan organisasi maupun personal dilingkungan pemerintah daerah khususnya dan di instansi pemerintah pada umumnya. 77 B. Peranan
DPRD
Dalam
Penyusunan
Peraturan
Daerah
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Perencanaan pembentukan daerah dilakukan berdasarkan program legislasi daerah
(prolegda).
Prolegda
merupakan
istrumen
perencanaan
program
pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Salah satu tujuan penyusunan proglegda adalah untuk menjaga agar produk peraturan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. 78 Pembuatan peraturan daerah kota bekasi mengenai pelayanan publik juga berdasarkan kesatuan sistem hukum nasional. Menurut ketua pansus, DPRD harus memastikan bahwa peraturan daerah ini tidak bertentangan dengan Undang-undang, peraturan perundang-undangan, keputusan Presiden, keputusan Menteri dan juga peraturan daerah. Peraturan daerah tentang pelayanaan publik sudah sesuai dengan sistem hukum nasional, dan setiap peraturan daerah yang dibuat juga harus berdasarkan hukum atau undang-undang yang sesuai dengan kesatuan negara republik Indonesia. 79
77
Penjelasan umum, dalam peraturan daerah kota bekasi nomor 13 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelayanan publik dikota bekasi. H. 26 78 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ( Bandung: Fokus Media, 2009), h. 76 79 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
64
Peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan hukum pada: 80 1. Keputusan DPRD Kota Bekasi Nomor: 14/ 174.1/ DPRD/ 2007 Tanggal 13 Juli 2007 tentang Panitia Khusus (pansus) 28, dalam rangka pembahasan rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi. 2. Dalam Proses pembahasan, secara teknis pansus memperhatikan peraturanperundangan sebagai berikut: a. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 No. 10, Tambahan Lembaran Negara RI No. 349) b. UU No.9 Tahun 1996 Tentang Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Bekasi ( Lembaran Negara RI Tahun 1996 No.111, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821) c. UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran Negara RI No.3699)
80
Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
65
d. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Ri Tahun 1999 No.42, Tambahan Lembaran Negara RI No.3821) e. UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 246, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4045) f. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara RI Tahun 2002 No.137, tambahan Lembaran Negara Ri No. 4250) g. UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (lembaran Negara RI Tahun 2004 No.53, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4389) h. UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti UU No.3 tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang ( Lembaran Negara RI tahun 2005 No. 108, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4548) i. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4724)
66
j. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang (Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.68, Tambahan Lembaran Negara No. 4725) k. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 59, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3838) l. Peraturan Pemerintahan No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2005 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4593) m. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4737) n. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi perangkat Daerah (Lembaran Negara RI tahun 2007 No. 89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4741) o. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 Tentang Pemanfaatan Tanah, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
67
p. Keputusan
Mentri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
No:
63/KEP/M.PAN/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. q. Keputusan
Mentri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
No.
26/KEP/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan Publik. Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik, bergulir saat DPRD periode 2004-2009, yang merupakan proglam legislasi yang harus disahkan oleh DPRD. DPRD Kota Bekasi juga membuat pansus (panitia khusus) yang disebut dengan pansus 28, Pansus berjumlah 18 orang, dengan struktur seorang koordinator yaitu unsur pimpinan, ketua pansus Ir. Muhammad hasim Affandi dari farksi PAN, wakil ketua H. Gusnal, SE, MM dari fraksi PPP, sekretaris Umar fauzi fraksi PDI-P, dan 14 orang anggota yang terdiri dari beberapa gabungan fraksi yang ada di DPRD. 81 Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi, pansus 28 ini juga melakukan beberapa serangkaian kegiatan. Yaitu: rapat-rapat internal pansus, rapat pembahasan bersama pihak eksekutif dalam merencanakan peraturan daerah tentang pelayanan publik, rapat pembahasan bersama pihak badan usaha milik negara (BUMN) se- Kota Bekasi yang mempunyai tupoksi pelayanan publik, rapat konsultasi dengan biro organisasi dan dinas pelayana satu atap Propinsi Jawa Barat, 81
Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 100
68
kunjungan kerja dalam rangka study banding ke pemerintah Kota Yogyakarta, konsultasi ke kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, rapat-rapat internal di fraksi masing-masing dalam rangka pembahasan pelayanan publik, dan rapat finalisasi bersama pihak eksekutif. 82 Peraturan daerah tentang pelayanan publik dirasakan penting oleh DPRD karena pemerintah Kota Bekasi belum membuat peraturan daerah ini, dan melihat ketidak disiplinan dalam pembuatan perijinan dan pelayanan publik. DPRD sebagai lembaga legislatif yang menampung aspirasi masyarakat, sering menerima keluhan mengenai pelayanan publik yang tidak baik. Kunjungan pansus 28 dalam masa kerjanya ke pemerintah Kota Yogyakarta, karena
kota
Yogyakarta
sudah
mempunyai
peraturan
daerah
tentang
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah Kota Yogyakarta menjadi tolak ukur dalam pembuatan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik di Bekasi. Kota Yogyakarta juga merupakan kota yang berkembang dalam pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik diajukan kepada pemerintah Propinsi, peraturan daerah ini merupakan peraturan daerah pertama di jawa barat atau di Indonesia untuk tingkat Kabupaten/Kota. 83
82
Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. 83
Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
69
Pengesahan Rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah tentang pelayanan publik juga berjalan baik dalam rapat paripurna, pansus 28 merekomendasikan kepada pihak eksekutif agar secepatnya membentuk BPPT sebagai pemberdayagunaan pelayanan kepada masyarakat dan mengganti unit pelayanan satu atap (UPSA) mengelola seluruh bentuk perijinan yang menjadi kewenangan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Kota Bekasi, dengan mengindahkan asas dan prinsip : asas kepastian hukum, asas transparansi, asas partisipatif, asas kepentingan umum, asas profesionalisme, asas kesamaan hak, asas keseimbangan hak dan kewajiban, prinsip kesederhanaan, prinsip kejelasan, prinsip kepastian waktu, prinsip akurasi, prinsip keamanan, tanggung jawab, prinsip kelengkapan sarana dan prasarana, prinsip kemudahan akses, prinsip kedisiplinan, kesopanan, keamanan dan prinsip kenyamanan. Dalam rapat paripurna Ketua DPRD Kota Bekasi meresmikan paraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Rapat paripurna ini di hadiri oleh ketua DPRD, dan wakilnya, Wali Kota Bekasi, dan Wakilnya, anggota DPRD Kota Bekasi, sekertaris Daerah Kota Bekasi, perangkat pemerintah daerah, seluruh camat dan lurah se Kota Bekasi, LSM yang ada di Kota Bekasi, kapolres Kota Bekasi dan lain-lain. DPRD
kota
Bekasi
melihat
penyelenggaraan pelayanan publik ini,
bahwa
peraturan
daerah
tentang
penting untuk masyarakat. Ini juga
merupakan implementasi dari UU N0.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
70
yang menuntut adanya SPM, DPRD juga menetapkan SPM pelayanan dan perizinan 14 hari kerja. 84 Pada tanggal 22 Agustus 2007 Walikota Bekasi mengesahkan dan menetapkan peraturan daerah tentang penyelenggaraan publik berlaku di Kota Bekasi dengan nomor 13 dan No. LD 12 seri A
85
. Besar harapan agar adany
peraturan daerah Kota Bekasi tentang pelayanan publik bisa meningkatkan pelayanan publik di Kota Bekasi. Dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelnggara pelayanan publik. 86 Dalam peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik maka diterapkan standar pelayanan umum yang di amanatkan dalam UU 32 Tahun 2004, peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik, jenis pelayanan dasar selain perizinan antara lain: seperti: 1. Pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) 84
Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010 85 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 175 86
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi, h, 6
71
2. Pelayanan pembuatan kartu keluarga (KK) 3. Pelayanan akta perkawinan 4. Pelayanan akta lahir 5. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian rumah ibadah 6. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian sekolah swasta 7. Pelayanan pendaftaran organisasi sosial, LSM dan yayasan 8. Pelayanan pemberian tanda lapor orang asing 9. Pelayanan pemberian surat pengantar keringanan pengobatan ke rumah sakit 10. Pelayanan pemberian rekomendasi adopsi anak 11. Pelayanan pemberian rekomendasi pengumpulan sumbangan untuk korban bencana, dll. Jenis pelayanan pemberian perizinan antara lain seperti: 1. Pelayanan pemberian izin mendirikan bangunan 2. Pelayanan pemberian izin lokasi 3. Pelayanan pemberian izin trayek 4. Pelayanan pemberian izin gangguan 5. Pelayanan pemberian izin usaha perdagangan 6. Pelayanan pemberian izin reklame
72
7. Pelayanan pemberian izin penelitian/ survey/ riset dan PKL 8. Pelayanan pemberian izin undian, dll C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tantang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah diundangkan dalam lembaran daerah. Masyarakat Kota Bekasi dan pihak-pihak yang terkait harus mengetahui tentang peraturan daerah yang berlaku sebagai syarat untuk melaksanakan dan mematuhinya. Menurut anggota DPRD Kota Bekasi dan juga merupakan ketua pansus, sebenarnya bukanlah tugas DPRD dalam mensosialisasikan, karna tugas DPRD itu, legislasi, controling dan budgeting. Dan DPRD melihat dalam perda pelayanan publik ini, pihak yang lebih bertanggungjawab dalam mensosialisasikan adalah BPPT, dinas-dinas dan instansi terkait seperti kelurahan dan kecamatan yang lebih bersinggungan kepada masyarakat dalam perizinan dan pelayanan. 87 Kelemahan DPRD memang kurang mensosialisasikan Peraturan daerah yang dibuatnya, sebenarnya sebelum peraturan daerah disahkan saat sidang paripurna, sudah ada edaran dari pihak eksekutif yang diberikan kepada instansi yang terkait pelayanan publik. Sehingga tiga bulan saat peraturan daerah ini disahkan sudah ada sosialisasi dari pihak terkait kepada masyarakat, dan hal ini yang tidak dilakukan walaupun dilakukan hanya sedikit masyarakat yang tahu. 88
87
Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010 88 Ibid
73
DPRD Kota Bekasi mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan publik dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat khususnya didaerah pemilihannya. Ini disebut dengan Masa Reses, setiap anggota DPRD yang terdiri dari beberapa anggota terpilih lewat daerah pemilihan yang berbeda-beda, jika DPRD mensahkan produk peraturan daerah maka anggota DPRD tersebut mensosialisasikan ke daerah pemilihannya pada masa reses tersebut. Masa reses dilaksanakan pada hari kerja, 89 Hal ini yang kemudian kurang efektif untuk mensosialisasikan perda karena tidak dilaksanakan pada hari kerja disaat masyarakatnya mempunyai aktivitas sendiri. Pada saat sidang paripurna pengesahan peraturan daerah Kota Bekasi dihadiri oleh pejabat daerah, struktur pemerintahan daerah dan elemen masyarakat. Ini juga merupakan sosialisasi peraturan daerah, dari yang hadir tersebut bisa mensosialisasikan kembali kepada masyarakat Bekasi. DPRD Kota Bekasi juga mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik melalui media yang ada di Kota Bekasi. Media massa seperti koran Radar Bekasi yang slalu mempublikasikan kegiatan pemerintah daerah. Dan juga lewat buletin swara DPRD yang hadir tiap bulannya, dan menjelaskan peraturan daerah yang berhasil disahkan DPRD. D. Peranan
DPRD
Dalam
Pengawasan
Peraturan
Daerah
Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
89
h.75
Peraturan Tata Tertid Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi N0.26/174.2/DPRD/2006,
74
Sebagai unsur penyelenggara pemerintah di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD secara khusus tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C yang berbunyi : “ DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundangundangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah” 90 Pengawasan bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan checks dan balances antara lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pengawasan yang dilakukan DPRD untuk mengawasi produk hukum yang sudah disahkan. Bentuk pengawasan yang dilakukan DPRD dilakukan dengan cara melakukan dengan pendapat, kunjungan jerja, pembentukan panitia khusus dan pembentukan panitia kerja yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD. DPRD dalam melaksanakan pengawasan terhadap peraturan daerah berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau waraga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, pemerintah dan pembangunan. Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan untuk memberikan keterangan dapat 90
Lihat pasal-pasal UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
75
dipanggil secara paksa, karena merendahkan martabat DPRD. Hal ini diatur dan dijelaskan pada UU No. 22 tahun 2003 Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) bahwa: 91 1. DPRD
Provinsi,
Kabupaten/Kota
dalam
melaksanakan
tugas
dan
wewenangnya berhak meminta pejabat negara, tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pejabat pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat untu memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan negara. 2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, badan hukum atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD sebagaimana dimaksud ayat (1). 3. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, badan hukum atau warga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Walaupun DPRD tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memberi sanksi terhadap eksekutif, setidaknya DPRD memiliki kekuasaan yang cukup kuat untuk meminta keterangan dengan pihak-pihak yang sekiranya dapat memberikan masukan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD. Namun kuatnya fungsi pengawasan yang sudah tertera dalam peraturan Negara, tidak bisa di implementasikan dengan baik oleh DPRD Kota Bekasi. DPRD
91
149
Sadu wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), h.
76
Kota Bekasi kurang memberikan pengawasan terhadap peraturan daerah yang sudah disahkannya. Pengawasan DPRD terhadap peraturan daerah tentang pelayanan publik ini, tidak begitu terkontrol dilakukan. Karena banyaknya perda yang disahkan oleh DPRD tiap tahunnya, membuat DPRD sulit untuk memfokuskan pengawasan pada satu peraturan daerah. Namun cara pengawasan yang dilakukan DPRD dalam peraturan daerah ini dengan melakukan kunjungan kerja ke kelurahan atau ke dinas, Dan selama ini belum terlihat adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya. 92 Pengawasan
terhadap
peraturan
daerah
Kota
Bekasi
tentang
penyelenggaraan pelayanan publik bisa dilihat sangat minim, hanya sebatas pembuatan peraturan daerah dan pengesahannya. Jika DPRD melakukan kunjungan kerja terhadap instansi terkait biasanya instansi tersebut memberikan pelayanan yang prima dan tidak menyimpang, kurangnya pengawasan terhadap peraturan daerah ini, membuat peraturan daerah ini belum dievaluasi dengan baik, dan apakah sudah sesuai dengan masyarakat atau belum. D.1 Pihak-Pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Rekomendasi dari pansus peraturan daerah pelayanan publik adalah, dibentuknya BPPT dengan asas kinerja satuan pelayanan satu atap, selama ini dalam perijinan masyarakat seperti bola yang kesana dan kemari, karena tidak 92 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
77
adanya koordinasi kerja dari instansi terkait. Dan terlalu banyak pihak instansi yang harus didatangi. Setelah adanya peraturan daerah ini kinerja perijinan dirubah. Dalam peraturan daerah ada pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menfasilitasi agar peraturan daerah bisa terlaksana dan berjalan sesuai aturan yang berlaku, dan dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik.
Pihak
yang
bertanggung
jawab
adalah:
BPPT
yang
mengkoordinasi kerja SKPD didalamnya meliputi dinas-dinas dan kecamatan dan kelurahan.
Gambar 1. Bagan Alur Pengurusan perizinan
PEMOHON Mengajukan permohonan perijinan dengan melampirkan berkas yang disyaratkan
DINAS-DINAS
BPPT Meneliti kelengkapan berkas
Tekhnis perijinan
SEKSI PERIJINAN DALAM DINAS Legalitas perijinan
Menerbitkan surat perijinan
78
Sumber: Dinas Perijinan Dalam Bidang IMB
Gambar 2. Bagan Alur Pengurusan Pelayanan
Kecamatan
Kelurahan
Dinas kependudukan
Sumber: Kantor Kelurahan Jati Luhur
D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan
Publik Pelaksanaan peraturan daerah tentang pelayanan publik sudah berlaku pada tanggal yang diundangkan, dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi dan tata cara pengolaan pengaduan yang telah ada pada masing-masing penyelenggara menyesuaikan dengan peraturan daerah ini selambatlambatnya satu tahun sejak ditetapkan. No 1
Jenis Pelayanan/perijinan Pembuatan KTP
Peraturan daerah 14 hari
pelaksanaan
Keterangan
14 hari sesuai dengan SPM, namun bisa saja lebih dari 14 hari.
Bisa Sesuai perda, hanya saja persyaratan yang dibawa pada saat
79
dan ada pelayanan khusus atau progresif, yang bisa langsung jadi pembuatannya dalam satu hari (pasal 21), pelayanan ini untuk WNA atau masyarakat yang butuh untuk keperluan mendesak.
kekelurahan sudah komplit. Keterlambatan jadinya KTP, karena kurangnya komputerisasi atau data yang 93 hilang. dalam pembiyayaan sendiri, dalam perda digratiskan, namun tiap kelurahan mempunyai kebijakan berbeda, bisa dikenai biyaya administrasi 10.000. dan untuk progresif dikenakan biaya 100.000 sesuai perda. Tidak sesuai perda, karena prosesnya tidak berpindah instansi. Dalam pemungutan biaya juga tergantung dengan kebijakan kelurahannya.
2
Surat Domisili
14 hari
Surat domisili ini prosesnya hanya dikelurahan saja, sehingga bisa cepat. Biayanya juga gratis jika mengikuti perda, namun terkadang kelurahan memungut biaya untuk administrasi.
3
Pelayanan izin mendirikan bangunan
14 hari
Kurang lebih Sesuai dengan sesuai dengan perda,Jika tidak waktu yang ada masalah dalam ditentukan tekhnisnya, semua bisa berjalan tepat waktu, namun ada pula oknum yang bermain waktu dengan dikenakan
93
Wawancara Pribadi Dengan Lurah Jati Luhur Bpk. Jaya Ekosetiawan SH
80
biaya tambahan untuk mempercepat waktunya.
Dari sampel diatas bisa diambil kesimpulan bahwa tiap instansi ataupu dinas mempunyai kebijakan tersendiri diluar perda, instansi terkait secara keseluruhan sesuai dengan peraturan daerah hanya saja ada pegawainya yang melakukan pelanggaran. Tiap dinas sendiri dan istansi berbeda kebijakannya.
Dan dalam
pelaksanaan pelayanan publik, masyarakat tidak diwajibkan kekantor kelurahan untuk pembuatan KTP, bisa langsung kekecamatan ataupun dinas kependudukan, yang penting instansi terkait. Karena dalam perda pun tidak ada peraturan tersebut. Pelaksana peraturan daerah pelayanan publik juga tidak dikenai biaya kepada masyarakat, yang dijelaskan pada pasal 22 yaitu pungutan biaya penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak-hak sipil pada hakikatnya dibebankan kepada daerah dan atau negara dengan tidak menutup kemungkinan ditetapkan pungutan biaya pelayanan kepada penerima pelayanan. Karena biaya penyelenggaraan pelayanan mempertimbangkan, tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat, nilai/harga yang berlaku didaerah atas barang dan/atau jasa, dan rincian biaya yang jelas dan transparan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kantor kelurahan yang memungut biaya administrasi, untuk kas keuangan kantor kelurahan. Mental msyarakatpun harus di rubah, banyak terdapat kasus masyarakat
81
yang enggan untuk kekelurahan dan meminta bantuan pegawai instansi terkait, sehingga ada perasaan senggan dan memberikan uang untuk jasanya. 94 .. penyelenggara pelayanan publik wajib bertanggung jawab atas pelayanan yang dilaksanakannya yaitu: menyusun dan menetapkan standar pelayanan teknis serta tata cara pengelolaan pengaduan dan keluhan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan prinsip penjelasan yang tepat dan tuntas, menyiapkan sarana dan prasarana dan fasilitas pelayanan publik secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel, serta berkesinambungan, memberikan pengumuman dan/atau memasang tanda-tanda yang jelas ditempat yang mudah diketahui terhadap perubahan dan/atau pengalihan fungsi fasilitas pelayanan publik, dll. 95 Penyelenggara sebagai lembaga yang melanggar kewajiban dan/atau larangan yang diatur dalam peraturan daerah ini dikenakan sanksi administratif berupa: peringatan, pembayaran ganti rugi, pengenaan denda. Sedangkan aparat penyelenggara yang melanggar dikenakan hukuman: pemberian peringatan, pembayaran ganti rugi, pengurangan gaji dalam waktu tertentu, penundaan atau penurunan pangkat atau golongan, pembebasan tugas dari jabatan dalam waktu tertentu, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat. Ganti rugi yang dimaksud diberikan kepada penerima pelayanan yang dirugikan berdasarkan tata cara yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan yang ada.
94 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
95
Ppasal 8, h. 9-10
82
Peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan publik secara struktural sudah terarah, dengan memperjelas bentuk pelayanan dan bentuk perijinan kepada masyarakat, akan tetapi menjadi cacatan yang sangat penting ketika peraturan ini berbentuk praktek dan aplikasi langsung kepada masyarakat. Ada baiknya pemerintah daerah yang didalamnya ada walikota dan wakil wali kota juga anggota DPRD melakukan evaluasi apakah peraturan daerah ini benar-benara terlaksana dengan baik oleh penyelenggara pelayanan publik dan aparat pemerintahan, karena DPRD terkadang mengabaikan tugasnya selain membuat peraturan daerah dan mengesahkannya, DPRD juga wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah kepada masyarakat. Pemerintah daerah kota Bekasi memang mempunyai target tiap tahun dalam mengembangkan potensi daerahnya, adanya peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik juga menjadi bukti bahwa pemerintah ingin memperbaiki fungsi pelayanan yang selama ini jauh dari disiplin, karena belum adanya peraturan standar pelayanan minimum yang sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, DPRD sebagai lembaga politik kemudian berusaha mewujudkan peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggraan pelayanan publik guna memperbaiki ketidakdisiplinan yang ada dalam instansi yang terkait terhadap pelayanan publik. Dengan harapan semoga adanya peraturan daerah ini pelayanan publik di Kota Bekasi bisa lebih berkualitas dan terarah pada masyarakat. Demikian penjelasan mengenai peraturan daerah Kota Bekasi dari faktor terbentuknya sampai proses dan sosialisasinya peraturan daerah tentang
83
penyelenggaraan pelayanan publik. Jelaslah kiranya bahwa ada sebuah usaha dalam pemerintah daerah kota bekasi untuk memperbaiki sebuah pelayanan terhadap warganya agar lebih berkualitas.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Adanya gelombang reformasi tahun 1998, membawa perubahan terhadap sistem pemerintahan, tuntutan agar dikembalikannya fungsi DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah diakomodasi UU No.22 Tahun 1999. Peran
84
DPRD kemudian sangat besar. DPRD mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakatnya, pelayanan yang prima dan berkualitas. 2.
Tahun 2007, ketika masa bakti anggota DPRD 2004-2009 berjalan, DPRD Kota Bekasi melakukan proglam legislasi untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Peran DPRD besar dalam penyusunannya, dimulai dengan membentuk dasar hukum peraturan daerah, membentuk tim pansus, melakukan kunjungan kerja, rapat dengan eksekutif dan legislatif. Melakukan sosialisasi ke instansi terkait pelayanan publik.
3.
Pengawasan DPRD Kota Bekasi terhadap peraturan daerah pelayanan publik, kurang dimaksimalkan dengan baik, dengan alasan bahwa perda yang dihasilkan DPRD banyak, sehingga sulit untuk mengkontrol pengawasan tiap peraturan daerah. Namun DPRD melakukan pengawasan pelayanan publik dengan melakukan kunjungan kerja ke instansi terkait dari BPPT, Dinas sampai kekelurahan.
B. Saran Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik, diharapkan adanya peningkatan kualitas dan pelayanan terhadap masyarakat, DPRD sebagai lembaga legislatif yang dalam UU No.32 tahun 2004
85
tentang Pemerintahan Daerah bersifat sejajar dan kemitraan dengan lembaga eksekutif, mempunyai fungsi bukan hanya dalam membuat peraturan daerah saja, melainkan juga ada anggaran dan pengawasan. DPRD Kota Bekasi sebagai lembaga legislatif juga harus mengoptimalisasi fungsinya. Setelah pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik, ada baiknya DPRD kota bekasi juga mensosialisasikan kepada masyarakat, sosialisasinya juga bukan hanya pada saat sidang paripurna saat pengesahan peraturan daerah tetapi juga terjun langsung kedaerah pemilihnya, selama ini masa reses terlihat seperti seremonial saja, karena yang didatangi hanya sekelompok kecil dari masyarakat. Dan DPRD Kota Bekasi juga harus berperan sebagai pengawas, jangan sampai habis ditetapkan peraturan daerah dilupakan begitu saja. Harus ada pengawasan dalam jangka panjang, yang nantinya bisa dievaluasi apakah peraturan daerah ini sudah sesuai dengan pelayanan terhadap masyarakat atau perlu diperbaiki lagi.
DAFTAR PUSTAKA Affandi, Bratha, Denny. Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase. Bekasi: Rinjani Kita: 2009
86
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi. Risalah Kota Bekasi. Bekasi: Pemkot Bekasi, 2009 Djohan, Djohermansyah. “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Dwi, Jowijoyo, Nugroho, Riant. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia, 2004 Hidayat, Misbah L. Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan tiga Presiden. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007 Jeddawi, Murtir. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan, Kelembagaan,
Manajemen
Kepegawaian,
dan
Peraturan
Daerah.
Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008 Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: PT. Renika Cipta, 2007 Kansil, C.S.T, Dkk. Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009 Kansil, C. S. T. Pokok-Pokok Administrasi Di Daerah, Jakarta: Aksara Baru, 1979
87
Labolo, Muhammad. Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep, dan Pengembangannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 Marbun, BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007 Marbun, BN. DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006 Muluk, M.R. Khairul. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media, 2006 Oentarto, Dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama, 2004 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kota Bekasi Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi N0.26 Tahun 2006 Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005. Bekasi: Bagian Humas dan Protokol Bekerjasama Dengan Tim Sosialisasi Visi dan Misi kota Bekasi, 2000 Pratikno. “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi
dan
Otonomi
Daerah,
Desentralisasi,
Demokrasi,
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Putra, Fadillah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
88
Rasyid, Ryaas, M. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Risalah Rapat Paripurna Penetapan dan Penandatanganan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006. Bekasi: 22 Agustus 2007 Rosyada, Dede, Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003 Sarundajang. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002 Sarundajang. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Haspa, 2005 Sobandi, Baban, Dkk. Desentralisasi dan Tuntutan Kelembagaan Daerah. Bandung: Humaniora, 2005 Somadireja, Nevi. Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009. Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009 Syaukani, Dkk. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
89
Suyanti, Isbodroini. “ Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” ” dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Tjandra, Willy R. Praksis Good Governance. Sewon Bentol: pondok Edukasi, 2006 Wasistiono, Sadu dan Ondo, Riyani, ed. Etika Hubungan Legislatif Eksekutif. Bandung: Fokus Media, 2003 Wasistiono, Sadu, Wiyoso, Yonatan. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bandung: Fokus Media, 2009 Wibowo, Chotim, Dkk. Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar. Bekasi: Satu Visi, 2004 Zainie, Abdullah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Internet Http:// www. Kota Bekasi.go.id diakses pada tanggal 17 November 2009 Http:// www. Jatisari, Hunian Kota Bekasi. Html. Diakses pada tanggal 27 Januari 2010
90
Wawancara Wawancara Dengan Bapak Ir. Muhammad Hasim Affandi, Selaku Anggota DPRD Periode 2004-2009 dan Juga Ketua Pansus Peraturan Daerah Pelayanan Publik, Tanggal 2 Juni 2010 Juni 2010 Juni 2010 Wawancara Dengan Bapak Jaya Ekosetiawan SH, Selaku Lurah Jati Luhur Kecamatan Jati Asih Kota Bekasi.
Hasil Wawancara Dengan Bapak Ir. Muhammad Hasim Affandi, Anggota DPRD Kota Bekasi 2004-2009 dan Juga Ketua Pansus Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Sahla (S): Assalamualaikum pa? Pak, Affandi (A): Walaikumsalam Wr.Wb... S: saya sahla pa, mahasiswa yang telpon, saya datang untuk mewawancarai bapak, mengenai perda pelayanan publik di Kota Bekasi pa. A: oiya... Public service y, perubahan dengan adanya perda ini sekarang dibuatlah BPPT (Badan Pelayanan Perizinan Terpadu) yang terbentuk tahun 2008 dulu yang berkaitan dengan dinas-dinas tidak terpadu. Jadi adanya BPPT agar semua dinas bersatu dalam unit pelayanan satu atap. Dulu jika mau mengurus IMB urutannya, untuk rumah tinggalnya itu harus kedinas lalu keluar blanko izin tetangga terus ke RT, RW, lalu distempel Lurah dan Camat baru kedinas lagi. Setelah adanya perda ini sekarang tidak, sekarang langsung KBPPT dan meminta surat keterangan dari tetangga terus kelurah dan camat langsung KBPPT lagi. S: jadi pak, sebenarnya faktor apa yang melatar belakangi perda public service ini pa? A: untuk membentuk badan, kantor, dinas dan sayap-sayapnya yang harus dipayungi perda, yang dirumuskan oleh pansus dan disahkan. Karna perda ini berkaitan dengan public. Agar masyarakat mudah dalam pelayanan dan perizinannya. Dan dinas juga tidak boleh memonopoli, harus ke BPPT dulu. Adanya perda ini juga agar pelayanan untuk masyarakat berkualitas dan tidak dipersulit. Intinya sekarang ini adanya unit pelayanan satu atap yang namanya BPPT, dan perda ini untuk menetapkan SPM dalam pelayanan dan perizinan yang merupakan implementasi otonomi daerah. S: bagaimana dengan peran DPRD pa, dalam penyusunan perda ini? A: perannya tentu besar, DPRD harus menelaah apakah ini penting untuk masyarakat, dan peda ini penting untuk masyarakat. Sebenarnya perda itu ada dua macam yang digolkan DPRD, pertama perda yang diajukan eksekutif bisa perda baru, atau perubahan perda yang sudah ada. Kedua, perda dari anggota dewan, yaitu hak inisiatif, disini kita melihat mana perda yang dibutuhkan oleh masyarakat. Lalu DPRD harus melihat bahwa perda ini tidak bertentangan dengan UU, Perpu, Kepres, Kepmen dan Perda, DPRD juga melakukan
kunjungan kerja ke Jogjakarta, Solo dan Bali. Dan DPRD menetapkan SPM 14 hari masa kerja apabila persyaratannya komplit. S: lalu pak, seperti apa DPRD mensosialisasikan Perda ini ke masyarakat? A: itu bukan tugas kita sebenarnya, tugas DPRD itu ada tiga, legislasi, controling dan budgeting. DPRD harus melihat dalam perda ini pihak mana yang lebih bersinggungan dengan masyarakat. Dan perda ini yang lebih bertanggung jawab adalah dinas-dinas, dan pelayananya adalah kelurahan dan kecamatan. Semestinya, dengan adanya integritas dan good goverment minimal harus terpampang lah perda ini, agar masyarakat yang datang ke instansi tersebut bisa melihatnya. Dan seharusnya bukan hanya DPRD yang bertanggung jawab mensosialisasikan, BPPT, dinas dan kelurahan juga bertanggung jawab. S: bukankah sosialisasi perda bisa dilakukan pada masa reses pa, dan sebenarnya ada anggaran atau tidak untuk memperbanyak perda agar masyarakat tahu? A: oh.. iya, sebenarnya sebelum perda ini disahkan sudah ada edaran dari eksekutif yang diberikan kedinas-dinas dan instansi terkait. Dalam dinas juga ada humasnya yang seharusnya mensosialisasikan ini, sehingga tiga bulan saat perda ini disahkan sudah ada sosialisasi, dan ini yang tidak dilakukan, kalaupun dilakukan, jarang masyarakat yang tahu. Untuk anggaran, ada anggarannya dalam APBD ada jika perda ini untuk kepentingan publik diperbanyak. Terkadang kesadaran masyarakat untuk tahu juha masih kurang. Dan masa reses ini kurang efektif karena tidak boleh dilaksanakan pada hari libur. Reses digunakan pada hari kerja saat masyarakatnya mempunyai kesibukan, seperti kantor dll. S:lalu bagaimana Pa, peran DPRD dalam pengawasan perda ini? A: pengawasan di DPRD dibilang lemah juga tidak, biasanya pengawasan dilakukan jika ada pelanggaran, setelah ada laporan dari masyarakat, DPRD juga tidak bisa konsisten mengawasi perda pelayanan publik ini, karna perda yang dibuat oleh DPRD juga banyak, sehingga sulit untuk mengontrol implementasi perda. Dan cara DPRD dalam pengawasan perda ini dengan melakukan kunjungan kerja kekelurahan, atau dinas. Dan DPRD membuat tim independent yang namanya uji petik untuk melihat adanya pelanggaran atau tidak terhadap pelaksanaan perda. S: dalam perda ini pa, pihak-pihak apa saja yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan perda?
A: perda ini merekomendasikan untuk adanya BPPT yang mengeluarkan legalitas, Di BPPT akan mendapatkan persyaratan lalu akan diarahkan ke dinas yang bersangkutan sesuai keperluan. Pihak yang bertanggung jawaby, SKPD yang didalamnya, ada dinas-dinas, kecamatan dan kelurahan. BPPT ini adalah UPSA yang mengkoordinasi dinas dan instansi terkait. S: terimakasih bapak, atas waktunya, apa yang bapak jelaskan akan sangat bermanfaat untuk saya, maaf jika saya merepotkan. A: iya,, tidak apa-apa semoga bermanfaatnya. Demikian hasil wawancara penulis dengan narasumber, dan ini bukan merupakan hasil rekayasa dari penulis.
Bekasi, 2 Juni 2010
Ir. Muhammad Hasim Affandi
Hasil Wawancara Dengan Bapak Jaya Ekosetiawan SH,
lurah Jati Luhur
Kecamatan Jati Asih Bekasi, Untuk Melihat Pelaksanaan Perda Pelayanan Publik Di Kelurahan. Sahla (S): Assalamualikum Pa Lurah.... Pa Lurah (L): Walaikumsalam...... S: maksud kedatangan saya kesini pa, untuk melihat pelaksanaan perda pelayanan publik, memang jika dilihat dalam unsur SKPD kelurahan merupakan instansi terbawah, tapi sebenarnya mempunyai peranan yang penting dalam memberikan pelayanan masyarakat. L: ya betul, karna sebenarya kelurahan ini adalah instansi pengumpul, yang banyak mengurusi tugas pembuatan KTP, KK, Surat Pindah.. dll S: berapa hari pa dalam pembuatan KTP, apakah sesuai dengan perda ketentuan SPMnya adalah 14 hari? L: ya disini sesuai dengan perda, seperti yang tadi saya bilang, kelurahan ini adalah instansi pengumpul, jika ada yang membuat KTP, pendaftarannya disini dengan persayaratan yang sudah kumplit, lalu kita bawa ke kecamatan, dan terakhir ke dinas kependudukan, kecuali untuk pelayanan khusus yaitu progresif, satu hari bisa langsung jadi. S: bagaimana dengan pembiayaannya pa, di perda itu gratis kan? L: disini gEErrraatiisss... kecuali yang progresif, pembiayaannya 100.000. kelurahan lain mungkin juga sama y seperti ini. S: apa menurut bapa tidak ada kendala dalam pelaksanaan perda? L: selama ini tidak ada kendala, semua berjalan sesuai dengan perda, jika ada kendala keterlambatan misalnya, itu karena IT yang kurang. S: bagaimana dengan pelayanan izin domisili pa?
L: sebenarnya yang terpenting, pada saat masyarakat yang mengurus domisili ini, datang kekelurahan, sudah sempurna persayaratannya, dengan ada surat keterangan dari RT dan RW. Semua akan berjalan dengan cepat prosesnya, dan pada saat kekelurahan semua persayaratannya sudah kumplit. Jika belum prosesnya akan lama.
S: terima kasih atas waktu, dan penjelasannya pa L: ya sama-sama ya. Demikian hasil wawancara penulis dengan narasumber, dan ini bukan merupakan hasil rekayasa dari penulis.
Bekasi, 3 Juni 2010
Jaya EkoSetiawan SH.
SURAT KETERANGAN Yang bertanda tangan dibawah ini menerangkan bahwa: Nama
: Sri Sahlawati
NIM
: 105033201155
Jurusan
: Ilmu Politik
Fakultas
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Telah melakukan kegiatan wawancara dengan Lurah Jatiluhur Kecamatan Jatiasih Bekasi untuk melihat pelaksanaan perda dalam kelurahan, dalam rangka penyelesaian tugas akhir karya ilmiah (Skripsi) S1 yang berjudul “DPRD Dalam Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyusunan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik” Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bekasi, 14 Juni 2010.
Jaya Ekosetiawan SH.
DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1945 Undang-Undang No.1 1945 dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya dalam UU No.1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. pada pokoknya Undang-Undang ini mengubah Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Daerah. Wewenang BPRD tersebut adalah: Pertama, kemerdekaan untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi). Kedua, Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan peraturanperaturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu (medebewind dan self goverment = sertat antara dan pemerintahan sendiri). Ketiga, membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan terlebih dahulu oleh pemerintahan atasan (wewenang antara otonomi dan selfgovernment). Komite Nasional Daerah bertindak sebagai badan legislatif dan anggotanyaanggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1948 Undang-undang No.1 Tahun 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia, ternyata dipandang kurang memuaskan, karena isinya sangat sederhana.
Dan banyak hal yang tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1945. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, maka dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Pada tanggal 10 Juli 1948 ditetapkan Undang-undang No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan kepala daerah diberi kedudukan sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi ketua DPRD. Kekuasaan pemerintah daerah berada ditangan DPRD. DPD bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat dijatuhkan DPRD atas mosi tidak percaya. Kepala daerah dalam UU ini mempunyai posisi lemah karena tergantung pada DPRD. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1957 Yang menjadi dasar dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 dikarenakan perkembangan
ketatanegaraan
maka
undang-undang
tentang
pokok-pokok
pemerintahan daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan. Dan perlu dilakukan dalam suatu undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia. DPRD dalam Undang-undang ini memiliki hak dan kewajiban yang semakin luas, DPD dan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sehingga kedua badan ini harus bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.
DPRD Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 1965 Pada tanggal 1 september 1965 diundangkan UU No.18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah RI. Diberlakukannya UU No.18 Tahun 1969 dipicu oleh lemahnya posisi kepala daerah dalam UU No.1 Tahun 1957. UU No.18 Tahun 1965 ini merupakan gabungan atau pencakupan dari segala pokok unsur-unsur pemerintahan daerah. Dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya posisi DPRD dalam Undang-undang ini sangat minim. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah terdiri dari: Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah melaksanakan politik pemerintahan dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. kepala daerah juga dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintahan harian. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah. DPRD menetapkan peraturan-peraturan daerah untuk kepentingan daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) adalah pembantu kepala daerah dalam urusan dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan. Anggota BPH memberikan petimbangan kepada kepala daerah, baik diminta maupun tidak.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Adanya gelombang reformasi tahun 1998, membawa perubahan terhadap sistem pemerintahan, tuntutan agar dikembalikannya fungsi DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah diakomodasi UU No.22 Tahun 1999. Peran DPRD kemudian sangat besar. DPRD mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakatnya, pelayanan yang prima dan berkualitas.
2.
Tahun 2007, ketika masa bakti anggota DPRD 2004-2009 berjalan, DPRD Kota Bekasi melakukan proglam legislasi untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Peran DPRD besar dalam penyusunannya, dimulai dengan membentuk dasar hukum peraturan daerah, membentuk tim pansus, melakukan kunjungan kerja, rapat dengan eksekutif dan legislatif. Melakukan sosialisasi ke instansi terkait pelayanan publik.
3.
Pengawasan DPRD Kota Bekasi terhadap peraturan daerah pelayanan publik, kurang dimaksimalkan dengan baik, dengan alasan bahwa perda yang dihasilkan DPRD banyak, sehingga sulit untuk mengkontrol pengawasan tiap peraturan daerah. Namun DPRD melakukan pengawasan pelayanan publik dengan melakukan kunjungan kerja ke instansi terkait dari BPPT, Dinas sampai kekelurahan.
81
B. Saran Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik, diharapkan adanya peningkatan kualitas dan pelayanan terhadap masyarakat, DPRD sebagai lembaga legislatif yang dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bersifat sejajar dan kemitraan dengan lembaga eksekutif, mempunyai fungsi bukan hanya dalam membuat peraturan daerah saja, melainkan juga ada anggaran dan pengawasan. DPRD Kota Bekasi sebagai lembaga legislatif juga harus mengoptimalisasi fungsinya. Setelah pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik, ada baiknya DPRD kota bekasi juga mensosialisasikan kepada masyarakat, sosialisasinya juga bukan hanya pada saat sidang paripurna saat pengesahan peraturan daerah tetapi juga terjun langsung kedaerah pemilihnya, selama ini masa reses terlihat seperti seremonial saja, karena yang didatangi hanya sekelompok kecil dari masyarakat. Dan DPRD Kota Bekasi juga harus berperan sebagai pengawas, jangan sampai habis ditetapkan peraturan daerah dilupakan begitu saja. Harus ada pengawasan dalam jangka panjang, yang nantinya bisa dievaluasi apakah peraturan daerah ini sudah sesuai dengan pelayanan terhadap masyarakat atau perlu diperbaiki lagi.
82
DAFTAR PUSTAKA Affandi, Bratha, Denny. Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase. Bekasi: Rinjani Kita: 2009 Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi. Risalah Kota Bekasi. Bekasi: Pemkot Bekasi, 2009 Djohan, Djohermansyah. “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah”dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2007 Dwi, Jowijoyo, Nugroho, Riant. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia, 2004 Hidayat, Misbah L. Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan tiga Presiden. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007 Jeddawi, Murtir. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan, Kelembagaan,
Manajemen
Kepegawaian,
Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008
83
dan
Peraturan
Daerah.
Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: PT. Renika Cipta, 2007 Kansil, C.S.T, Dkk. Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009 Kansil, C. S. T. Pokok-Pokok Administrasi Di Daerah, Jakarta: Aksara Baru, 1979 Labolo, Muhammad. Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep, dan Pengembangannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 Marbun, BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007 , DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006 Muluk, M.R. Khairul. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media, 2006 Mawardi Sindung Oentarto, Dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama, 2004 Nurhasim Mochammad, ed., Kualitas Keterwakilan Legislatif: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, Jatim dan Sulsel. Jakarta: P2P LIPI, 2001
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007. Bekasi: Badan Infokom Kota Bekasi, 2007 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kota Bekasi
84
Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi N0.26 Tahun 2006 Priyatmoko, Akuntalisasi Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Kerangka Analisis dan Beberapa Kasus, dalam Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong, ed., Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1993
Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005. Bekasi: Bagian Humas dan Protokol Bekerjasama Dengan Tim Sosialisasi Visi dan Misi kota Bekasi, 2000 Pratikno. “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi
dan
Otonomi
Daerah,
Desentralisasi,
Demokrasi,
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Pribadi, Toto, dkk., Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi. Jakarta: Depok, 2003
Putra, Fadillah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006 Rasyid, Ryaas, M. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Risalah Rapat Paripurna Penetapan dan Penandatanganan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan
85
Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006. Bekasi: 22 Agustus 2007 Rosyada, Dede, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003 Sarundajang S.H. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002 , Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Haspa, 2005 Sobandi, Baban, dkk. Desentralisasi dan Tuntutan Kelembagaan Daerah. Bandung: Humaniora, 2005 Somadireja, Nevi. Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009. Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009 Syaukani, dkk. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Suyanto, Isbodroini. “ Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” ” dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007 Tjandra, Willy R. Praksis Good Governance. Sewon Bentol: pondok Edukasi, 2006
86
Wasistiono, Sadu dan Ondo, Riyani, ed. Etika Hubungan Legislatif Eksekutif. Bandung: Fokus Media, 2003 Wasistiono, Sadu, dan Wiyoso, Yonatan. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bandung: Fokus Media, 2009 Wibowo, Chotim, dkk. Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar. Bekasi: Satu Visi, 2004 Zainie, Abdullah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006 Internet Http:// www. Kota Bekasi.go.id diakses pada tanggal 17 November 2009 Http:// www. Jatisari, Hunian Kota Bekasi. Html. Diakses pada tanggal 27 Januari 2010 Wawancara Wawancara Dengan Ir. Muhammad Hasim Affandi, Selaku Anggota DPRD Periode 2004-2009 dan Juga Ketua Pansus Peraturan Daerah Pelayanan Publik, Tanggal 2 Juni 2010 Juni 2010 Juni 2010 Wawancara Dengan Jaya Ekosetiawan SH, Selaku Lurah Jati Luhur Kecamatan Jati Asih Kota Bekasi.
87