ASURANSI DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN RESIKO (TINJAUAN EKONOMI ISLAM)
Oleh: Sri Dewi Yusuf 1 ABSTRAK
Konsep asuransi syariah bukanlah hal yang baru, karena hal ini sudah ada sejak zaman Rasulullah yang dikenal dengan Aqilah.2 Dalam perkembangannya asuransi ini digunakan sebagai alat untuk memenej resiko. Pada prakteknya muncul permasalahan yang timbul antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dimana letak perbedaanya terletak pada prinsip transaksi asuransi konvesional mengandung gharar (ketidakpastian), maisir (perjudian), riba (bunga) sedangkan hal itu dalam konteks Islam dilarang/tidak diperbolehkan karena mengandung kertidakadilan dalam transaksi seperti investasi maupun jual beli. Oleh karena itu Islam memberikan konsep dan pemahaman yang benar didalam kontrak asuransi syariah yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan didalam Al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengandung prinsip tolong menolong dan saling membantu diantara sesama ketika seseorang mengalami musibah/kerugian maka pihak lain wajib membantu meringankan musibah tersebut dengan sukarela. A. PENDAHULUAN Asuransi merupakan salah satu teknik metode transfer resiko yang paling umum digunakan khususnya untuk resiko murni (pure risk) dengan mendasarkan operasi mereka pada prinsip the law of large numbers. Menurut hukum tersebut dalam konteks asuransi, mengatakan semakin banyak eksposur atau resiko yang serupa, semakin kecil penyimpangan kerugian yang terjadi dari kerugian yang diperkirakan. Asuransi dibeli untuk mengcover kerugian tertentu dan jika terjadi kerugian karena lainya maka pihak asuransi tidak akan mengganti kerugian tersebut. Dalam pandangan konvensional asuransi adalah sebuah mekanisme perpindahan resiko yang oleh suatu organisasi dapat diubah dari tidak pasti menjadi pasti. Ketidakpastian ini mencakup faktor-faktor antara lain: apakah kerugian akan muncul, dan kapan terjadinya, dan seberapa besar dampaknya dan
1
Dosen Tetap IAIN Sultan Amai Gorontalo Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam. Kata Aqilah yang berarti Asabah yang menunjukan hubungan ayah dengan pembunuh. Ide pokoknya adalah suku Arab zaman dulu harus siap untuk melalukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Kesiapan membayar kontribusi keuangan sama dengan premi praktek asuransi. 2
147
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
berapa kali kemungkinannya terjadi dalam setahun. Dalam kontrak perjanjian antara yang diasuransikan (insured) dan perusahaan asuransi (insurer), dimana insurer bersedia memberikan konpensasi atas kerugian yang dialami oleh pihak yang diasuransikan, dan pihak pengasuransi (insurer) mempeoleh balasannya melalui premi asuransi.3Sedangkan asuransi syariah adalah suatu pengelolaan resiko yang memenuhi ketentuan syariah berdasarkan prinsip tolong-menolong yang memenuhi ketentuanketentuan di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.4 Dalam pertukaran kerugian tidak pasti menjadi kerugian pasti dalam asuransi konvensional ini masuk dalam ruang lingkup pengertian gharar yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dalam konsep asuransi syariah tidak ada perpindahan resiko dari para peserta kepada operator asuransi syariah. Resiko dibagi diantara para peserta dalam skema jaminan mutual atau skema asuransi syariah. Operator asuransi hanya sebagai agen untuk membuat skema tersebut bekerja. Dalam pengelolaanya dan penanggungan resiko asuransi syariah tidak diperbolehkan adanya sistem gharar (ketidakpastian atau spekulasi) dan maisir, dan investasi dananya mengandung riba. Untuk menghindari gharar pada setiap kontrak asuransi harus dibuat kontrak sejelas mungkin dan sepenuhnya terbuka. Unsur keterbukaan inilah yang diterapkan dikedua sisi, baik pada pokok permasalahan maupun pada ketentuan kontrak yang menjamin keadilan dan kejujuran diantara para peserta. Dan hal inilah yang mengundang permasalahan dan perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah dalam penerapanya didalam manajemen resiko B. PEMBAHASAN 1. DEFINISI Asuransi menurut Adam Smith merupakan suatu cara untuk membagi-bagikan kerugian yang dialami oleh individu kepada orang banyak yang dapat memberi keringanan dan kesenangan kepada seluruh anggota masyarakat.5 Kontrak asuransi didefinisikan sebagai suatu kontrak dimana seseorang disebut “penjamin” asuransi yang menjalankan. Sebagai balas jasa imbalan yang telah disetujui disebut “premi” untuk membayar orang lain yang diasuransikan disebut “tertanggung” sejumlah uang atau nilai atas
3 Dr Mamduh M. Hanafi, Manajemen Resiko (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2006). Hlm. 260. 4 Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktek Upaya menghilangkan Gharar, Maisir, Riba ( Jakarta: GEMA INSANI, 2006). hlm. 2. 5 Adam Smith, Wealth of Nations, Jilid 2. hlm. 248.
148
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
suatu kejadian tertentu6. Sedang menurut Ali Yafie7 asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan tersebut timbul istilah assurandeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung. Sedangkan menurut Mark R.Greene8 mendefinisikan asuransi sebagai an economic insitution that reduces risk by combining under one
management and group of objects so situated that the aggregate accidental losses to which the group is subject become predictable within narrow limits (institusi ekonomi yang mengurangi resiko dengan menggabungkan dibawah satu manajemen dan kelompok objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar akan terjadi diderita oleh sekelompok yang tadi diprediksi dalam lingkup yang kecil). Berdasarkan definisi diatas maka asuransi merupakan konsep pengumpulan resiko dan peran kelompok untuk menanggung kerugian, dimana orang-orang akan terlindung dari suatu kerugian tertentu yang ditentukan berdasarkan persetujuan untuk keikutsertaanya menanggung kerugian tersebut berdasarkan pokok-pokok keseimbangan. Asuransi dalam pengertian syariah diambil dari bahasa Arab disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.9 Men-ta’min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya. Dalam buku ‘Aqdu at-Ta’min wa Mauqifu asy-Syariah alIslamiyyah Minhu10 az-Zarqa juga mengatakan bahwa sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum (syariah) adalah sebuah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian-kerugian atau musibah-musibah dengan membagikan tugas kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan pengganti kepada orang yang tertimpa musibah. Dengan demikian, asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tampa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan
6
Hadry Ivamy dalam Afzalur Rahman, Doktrin Ekonmi Islam Jilid 4 (Yogyakarta: PT DANA BHAKTI WAKAF, 2003) hlm. 27. 7 KH Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggagas Fiqih Sosial (Bandung: Mizan, 1994) hlm. 205-206. 8 Lihat Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: GEMA INSANI, 2004).hlm. 26-27. 9 Ibid,. 25 10 Dikutif dari Husain Hamid Hasan, dalam Syakir Sula, Asuransi Syariah, 2004, hlm. 29.
Sri Dewi Yusuf
149
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
sistem dan mempraktekan teorinya, sangat relevan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang diserukan oleh dalil-dalil juz’i-nya. Dikatakan demikian karena asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapih diantara manusia. Istilah lain yang digunakan dalam asuransi syariah adalah Takaful (tolong-menolong) berasal dari kata takafala-yatakafalu, secara etimologis berarti menjamin atau saling menanggung. Sebenarnya kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an. Namun, ada sejumlah kata yang seakar kata dengan takaful, seperti dalam surah Thahaa ayat 40 dan surah an –Nisaa ayat 85. Takaful dalam pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama orang sehingga antara satu dengan yang lainya menjadi penanggung atas resiko yang lainya atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara mengeluarkan dana tabarru dana ibadah. Sumbangan derma yang ditunjukan untuk menanggung resiko. Takaful dalam pengertian ini sesuai dengan Al-Qur’an:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebajikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (al-Maa’idah:2)
Takaful dalam pengertian muamalah diatas ditegakan diatas tiga prinsip dasar yaitu: (a) saling bertanggung jawab. Hadist Nabi saw, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang mengajarkan bahwa hubungan orang-orang yang beriman dalam jalinan rasa kasih sayang satu sama lain, ibarat satu badan. Bila satu bagian tubuh sakit, maka seluruh anggota tubuh akan turut merasakan penderitaan. “Setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang dibawah tanggung jawab kamu. (HR. Bukhari dan Muslim)
“Tidak sempurna keimanan seorang mukmin sehingga ia menyukai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia menyukai sesuatu untuk dirinya sendirinya.” (HR.Bukhari dan Muslim) (b) saling bekerja sama dan saling membantu Allah swt, memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat dengan prinsip tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana dalam firman-Nya.
“Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takqwa, janganlah tolongmenolong dalam dosa dan permusuhan...” (al-Ma’aidah: 2) 150
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
Selain itu dalam hadist Nabi saw, juga mengajarkan bahwa orang yang selalu meringankan kebutuhan hidup saudaranya akan diringankan oleh Allah. Dan Allah akan menolong hambanya selagi dia menolong saudaranya. (c) Saling melindungi
“orang muslim akan selalu memberikan keselamatan antar sesama muslim dari gangguan perkataan dan perbuatan.” Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa belum sempurna keimanan seseorang yang dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang, sementara tetangganya menderita kelaparan. Kemudian istilah lain yang digunakan dalam asuransi syariah adalah tabarru. Tabarru berasal dari kata tabarra,a-yatabarra’u – tabarru,an artinya sumbangan, hibah, dana kewajiban atau derma. Jumhur ulama mendefinisikan tabarru’ dengan akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tampa ganti rugi, yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela.11Dalam konteks akad asuransi syariah, tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan dengan niat iklas dengan tujuan saling membantu diantara sesama peserta takaful apabila diantara mereka mengalami musibah. Dengan mendermakan sebagian harta dengan tujuan untuk membantu orang lain dalam kesulitan sangat dianjurkan dalam agama Islam. Allah swt, akan memudahkan dan melapangkan jalan bagi orangorang yang senantiasa membelanjakan hartanya dijalan Allah. Dari penjelasan ini kita dapat memahami bahwa Islam sangat menekankan bahwa diantara sesama untuk saling tolong-menolong dan membantu secara sukarela jika salah satu diantara kita mengalami musibah maka yang lainya wajib membantu untuk meringankan beban/kerugian yang dialami. 2. Pandangan Islam tentang Manajemen Resiko Konsep dasar manajemen resiko sudah dituliskan Al-Qur’an sekitar 14 abad yang lalu. Hal ini dapat kita lihat dalam Al-Qur’an12 mengenai Yusuf a.s dalam surat Yusuf.
“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kasih yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” (Yusuf:3)
11
Dikutip dari Asy-Syarbani al-Khathib, dalam Syakir Sula, Asuransi Syariah,
12
Al-Qur’an Dan Terjemahannya Departemen Agama RI (Semarang: CV.ASY-
hlm. 35. SYIFA)
Sri Dewi Yusuf
151
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya), ‘Sesungguhnya akau bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemukgemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainya yang kering. Hai orangorang yang terkemuka, “terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu, jika kamu dapat mena’birkan mimpi”. (Yusuf:43) Mereka menjawab “(itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekalikali tidak tahu mena’birkan mimpi.” (Yusuf:44) Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya “Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena’birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).” (Yusuf:45) Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dan yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau (tujuh) lainya kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (Yusuf: 46)
Kemudian Yusuf berkata, “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya, kecuali untuk sedikit kamu makan.’ (Yusuf: 47) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit) kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. (Yusuf: 48) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49) Konsep manajemen resiko juga ditunjukan Allah pada saat mencatat perintah ayah Yusuf kepada anaknya sebelum mereka berangkat ke Mesir.
Dan Yaqub berkata, ‘Hai anak-anaku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari pintu satu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lainan; namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakal dan hendaklah hanya kepada-nya saja orang-orang bertawakal berserah diri.” (Yusuf: 67) Berdasarkan ayat-ayat diatas kita bisa memahami dengan jelas bahwa Islam sangat mendukung manajemen resiko sebagai upaya untuk mengeliminasi atau memperkecil, resiko dan mempercayai bahwa hanya keputusan Allah-lah yang akan menentukan hasilnya. Kita juga dapat melihat manajemen resiko yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, ketika hijrah ke Medinah. Pertama Nabi Muhammad meminta saw. kepada
152
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
Ali r.a untuk tidur ditempat tidurnya dan menutup tubuhnya dengan pakaian warna hijau milik Nabi. Hal ini digunakan untuk mengelabui musuh (orang-orang yang tidak beriman) yang telah mengepung rumah Nabi yang mencoba untuk menangkap dan membunuh Nabi. Dengan Ali tidur ditempat tidur Nabi, para musyrikin tersebut mengarahkan perhatianya pada tempat tidur dirumah Nabi dan Nabi dapat meninggalkan rumahnya tampa ada yang mengetahui. Kedua, praktek manajemen resiko juga dilakukan pada saat hijrah ke Medinah. Beliau menempuh jalan singkat menuju Medinah yang terletak di arah utara dari Mekah, seperti diperkirakan oleh orang musyrikin, Nabi menempuh jalan yang tidak disangka oleh mereka yaitu kearah selatan Mekah dan mengarah ke Yaman, dan Nabi lolos dari usaha pembunuhan tersebut. Konsep dasar Asuransi syariah, juga diperkenalkan oleh Nabi dalam Piagam Medinah yang disebut sebagai diyah atau uang darah dan fidyah atau uang tebusan. Diyah atau uang tebusan yang dibayarkan oleh ‘aqilah (yaitu keluarga dekat) dari seorang pembunuh kepada ahli waris yang dibunuh (korban) untuk menghindari pembunuhnya dari jerat hukum. Sedangkan fidyah adalah tembusan yang dibayarkan oleh ‘aqilah tahanan perang atau musuh agar dibebaskan dari tahanan dan dicatat dan dimuat dalam diwan dan berjanji antara satu dengan lainya untuk bersama-sama membayar uang tebusan apabila diantara mereka membutuhkanya.13 Selanjutnya Sayidina Umar memerintahkan supaya senarai (diwan) kerabat seperjuangan muslim diambil dari berbagai daerah.14 Berdasarkan cerita Nabi Yusuf a.s dan Nabi Muhammad diatas Islam tidak menentang prinsip-prinsip manajemen resiko, sepanjang praktek tersebut tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir (perjudian), riba (bunga), dan zulm (ketidakadilan). Prinsip dasar inilah yang dijadikan sebagai dasar asuransi syariah yang dikenal dengan asuransi mutual.15 Dalam beberapa hal pengelolaan resiko antara asuransi konvensional dan asuransi syariah mempuyai kesamaan seperti dalam mengindentifikasi resiko. Pada asuransi konvensional Menurut Hanafi,16
13
Dikutip dari Mohd. Ma’shum Billah, dalam Muhaimin Iqbal Asuransi Umum
Syariah, hlm. 18-19. 14 Dr Mohammad Muslehuddin. Asuransi dalam Islam (Jakarta: BUMI ASKARA 1997), hlm. 24. 15 Landasan asuransi bentuk asal mulanya dari keinginan dan semangat untuk membantu diri sendiri dan saling memberikan perlindungan terhadap bahaya umum. Masyarakat diorganisir dalam lembaga atau dikelompokan untuk kepentingan perlindungan anggotanya dari berbagai macam bahaya dan kerugian. 16 Mamduh Hanafi. Manajemen Resiko, hlm. 55-57.
Sri Dewi Yusuf
153
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
manajemen resiko suatu perusahaan dapat dilakukan melalui beberapa proses yaitu: a. Indentifikasi resiko
Sumber: Mamduh Hanafi 2004 Menurutnya langkah awal yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan dalam mengelola resiko yaitu mengidentifikasi resiko tersebut. Kemudian karakteristik resiko tersebut kita pelajari untuk di evaluasi. Pemahaman yang baik terhadap karakteristik resiko sangat bermanfaat untuk merumuskan metode yang tepat dalam mengelola resiko. Langkah selanjutnya adalah kita membuat prioritisasi resiko, dengan cara melakukan kuantifikasi resiko kita dapat mengukur tinggi rendahnya resiko dan bagaimana dampak resiko tersebut bagi kinerja perusahaan. Selanjutnya kita dapat memfokuskan pada resiko yang relevan yang mempuyai dampak dan probabilitas besar terhadap perusahaan. Penjelasan diatas disebut siklus maping resiko (Proses mapping resiko) b. Mengidentifikasi sumber-sumber resiko Kemudian ada tehnik untuk mengidentifikasi resiko misalnya dengan cara menelusuri sumber resiko sampai terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan:
154
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
Analisis Sekuen Resiko RISK FAKTORS SUMBER RESIKO
API
EKSPOSU R TERHADA
KONDISI YANG MENAIKAN MINYAK TANAH YANG DITARUH DEKAT KOMPOR
KERUGIAN
TERJADI
GUDANG YANG BISA TERBAKAR
PERIL : KEJADIAN YANG MENGAKIBATKAN Sumber : Mamduh Hanafi 2004 Bagan diatas menunjukan, bahwa pertama ada sumber resiko yaitu api. Api bisa menimbulkan kebakaran dan kerugian bagi organisasi. Kemudian ada faktor resiko yang mempercepat atau memperbesar kemungkinan munculnya kejadian yang tak diinginkan. Dalam contoh diatas faktor resiko adalah minyak tanah yang ditaruh dekat kompor dan situasi ini yang memicu dan meningkatkan terjadinya kebakaran. Dengan kata lain gedung tersebut menghadapi eksposur kebakaran, dan kebakaran tersebut dapat mengakibatkan kerugian. Dengan mengidentifikasi sumber-sumber resiko kita bisa mencoba melihat resiko-resiko apa saja yang muncul dari sumber-sumber resiko kemudian mengelola resiko tersebut. Selanjutnya ada juga teknik pengukuran resiko yang paling sederhana dengan mengelompokan resiko berdasarkan dua dimensi yaitu frekuensi dan signifikansi yaitu tinggi dan rendah. Proses tersebut didasarkan kepada dua hal : 1) mengembangkan standar resiko, 2) menerapkan standar resiko untuk resiko yang telah didentifikasi. Contoh mengevaluasi resiko kesalahan manusia (human error) dalam pemrosesan transaksi. Berdasarkan pengalaman masa lalu biasanya manusia akan cenderung melakukan kesalahan jika mereka kelelahan dan
Sri Dewi Yusuf
155
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
tidak konsentrasi. Tetapi kerugian yang ditimbulkan biasanya tidak terlalu besar. Berdasarkan informasi tersebut resiko kesalahan manusia dalam pemrosesan transaksi bisa dikategorikan sebagai frekuensi tinggi dengan signifikansi rendah. Dalam asuransi syariah juga menggunakan hal yang demikian hanya bedanya terletak pada kontrak (akad) dan bagaimana resiko itu akan dikelola serta bagaimana hubungan operator seperti yang dijelaskan didepan. 3. Cara menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba dalam kontrak asuransi syariah Keadilan, kesetaraan, kejujuran, etika dan moral merupakan nilainilai yang melekat dalam ajaran Islam dalam melakukan bisnis diantara sesama muslim dan non muslim. Praktek bisnis yang tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut diatas tidak dapat diterima dalam hukum Islam atau syariah, Transaksi bisnis yang mengandung gharar (ketidakpastian), maisir (perjudian), dan riba adalah praktek yang tidak dapat diterima karena tidak sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Untuk menghindari dan menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan diatas maka kontrak asuransi syariah merupakan kontrak yang dapat menggunakan skim kontrak sebagai berikut: 1). Kontrak mudharabah yaitu suatu kontrak berbagi keuntungan dan kerugian, yang merupakan kontrak antara pemilik modal dengan pengelola dimana keuntungan dibagi menurut ketentuan yang disepakati oleh kedua belah pihak dan jika terjadi kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal. Dalam prakteknya peserta menyediakan modal untuk operator asuransi syariah. 2) Kontrak musarakah, disini kedua belah pihak menyediakan modal /manajemen. Kemudian berbagi keuntungan berdasarkan modal atau ketentuan yang disepakati dan jika terjadi kerugian akan ditanggung sesuai dengan jumlah porsi modal yang dimiliki masingmasing, 3) Kontrak kafalah (kontrak jaminan) bahwa pihak penjamin menjadi jaminan bila peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap kreditor. Pengembangan produk asuransi syariah untuk jenis produk-produk bond, 4) Kontrak wakalah (kontrak perwakilan/agen) suatu pihak akan mengangkat dan memberi kewenangan kepada pihal lain (wakil) untuk bertindak atas namanya. Unsur terpenting dalam kontrak asuransi syariah adalah harus adanya objek yang menjadi kesepahaman dalam kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak yang dinilai dengan adanya proposal atau ijab dan ekseptasi/qabul.17
17
Muhaimin Iqbal. Asuransi Umum, hlm. 25-28.
156
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
E. Skema pembagian resiko dalam asuransi syariah Skema pembagian resiko merupakan tulang punggung dalam setiap asuransi syariah, karena melalui skema ini para peserta dengan sifat dasar dan tingkah laku resiko yang homegen dikelompokan. Kemudian biaya keseluruhan resiko dari kelompok tersebut diestimasikan dan didistribusikan kepada setiap peserta dalam bentuk kontribusi. Tetapi idealnya mereka harus memiliki ukuran dan kekuatan yang memadai untuk mencapai kestabilan dalam perlindungan terhadap keseluruhan resiko yang dihadapi peserta. Dalam situasi yang ideal tidak selalu terjadi karena bisa saja operator-operator mempuyai ukuran kecil, atau memiliki jumlah peserta yang cukup bahkan memiliki ukuran dengan jumlah yang besar. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut ada dua jalan yang dapat ditempuh oleh operator asuransi syariah untuk membawa jumlah kecil kedalam kelompok jumlah yang besar: (1) Jalur reasuransi syariah, membagi resiko yang dilakukan oleh operator asuransi syariah adalah dengan mendayagunakan mekanisme reasuransi syariah. Dalam model ini, fluktuasi resiko yang muncul dari satu operator dibagi bersama dengan para operator lainya agar tercipta sebuah kelompok peserta yang lebih besar. Dengan cara ini resiko yang timbul dapat distabilkan sehingga biaya keseluruhan dalam pengelolaan resiko dapat diprediksi. Mekanisme seperti ini merupakan penyebaran resiko yang dilakukan oleh penanggung pertama. Dalam tataran idealnya sebuah perusahaan asuransi mereasuransikan resikonya ke perusahaan reasuransi syariah, dan hal ini ditegaskan dalam fatwa MUI, jadi wajib bagi setiap asuransi untuk ke perusahaan reasuransi syariah,18 (2), membagi resiko dengan lintas skema, melalui mekanisme seperti ini resiko yang sama yang berasal dari skema berbeda dikelompokan agar terbentuk peserta yang lebih besar berdasarkan resiko-resiko tertentu. Sehingga resiko yang timbul dari kelompok-kelompok peserta yang lebih besar dapat diprediksi secara akurat, dan kemudian didistribusikan lagi kepada setiap peserta dalam bentuk kontribusi disetiap skema:
18
Syakir Sula. Asuransi Syariah, hlm. 279.
Sri Dewi Yusuf
157
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
1. Skema Reasuransi syariah dari beberapa operator asuransi syariah. Retakaful operator Peserta:(X+Y+Z)
Takaful operator 1 Peserta : X
Takaful operator Takaful operator 2 Peserta : Y
Peserta : Z
Sumber : Muhaimin Iqbal 2006
2. Pembagian resiko dalam semua lintas Takaful
Takaful
9
Shceme C
Shceme B Takaful Shceme A
Kebakaran Banjir Gempa Bumi
Sumber : Muhaimin Iqbal 2006
158
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
Kecelaka an
Kebakar an
Ledak an
Banjir
Tanggung
9 9
Gempa Bumi 9 9
Scheme A Scheme B
9 9
9
Scheme C
9
9
9
9
Gagal
Dalam banyak kasus, para operator asuransi syariah akan mengkombinasikan kedua mekanisme diatas untuk memastikan skemaskema yang digunakan dalam memberikan hasil yang maksimal. Kata kunci dalam berbagi resiko dalam asuransi syariah bukan pada perpindahan resiko seperti dalam asuransi konvensional. Pada mekanisme ini perorangan ataupun organisasi dapat mengubah sesuatu yang tidak pasti (resiko) menjadi pasti (premi) dan perubahan atau pertukaran seperti ini tidak diperbolehkan dalam Islam karena dianggap sebagai transaksi yang mengadung gharar. Sedangkan dalam konsep asuransi syariah, menggunakan mekanisme berbagi resiko di antara individu maupun organisasi didasarkan pada sikap saling membantu dan tolong menolong satu sama lain, dalam menghadapi musibah atau suatu kejadian tertentu yang tidak diinginkan dan menimpa salah satu atau beberapa peserta diantara mereka jadi resiko dibagi diantara para peserta dan bukan dipindahkan/ditransfer ke perusahaan asuransi. Dalam hal ini peran operator asuransi syariah sangat menentukan untuk memastikan agar skema pembagian resiko dapat bekerja dengan baik dan memberikan benefit bagi para partisipan Operator asuransi syariah akan menerima keuntungan dalam bentuk fee (model wakalah) atau memperoleh porsi dari surplus dari skim kontrak dijelaskan diatas misalnya (model mudharabah). Atas dasar pembagian keuntungan seperti ini akan membuat operator asuransi syariah dari waktu kewaktu dapat memberikan nilai tambah kepada para pesertanya agar fee atau bagian keuntungan layak diterima. Dalam hal itu operator asuransi syariah harus transparan dan bertanggung jawab pada para pesertanya karena mereka adalah sebagai agen/wakil. Dengan adanya kewajiban untuk memberikan nilai tambah akan membawa asuransi syariah terlibat praktis pada aspek manajemen resiko baik pada area pengidentifikasian resiko maupun kontrol resiko.
Sri Dewi Yusuf
159
Al-Mizan Vol. 9 No. 1 Juni 2013
C. PENUTUP 1. Asuransi merupakan konsep pengumpulan resiko dan peran kelompok untuk menanggung kerugian, dimana orang-orang akan terlindung dari suatu kerugian tertentu berdasarkan prinsip saling membantu, tolong menolong dan sukarela jika salah satu dari peserta menderita kerugian/musibah. 2. Islam sangat mendukung manajemen resiko sebagai upaya untuk mengeliminasi atau memperkecil resiko, dan mempercayai bahwa hanya keputusan Allah-lah yang akan menentukan hasilnya. Islam tidak menentang prinsip-prinsip manajemen resiko, sepanjang praktek tersebut tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir (perjudian), riba (bunga), dan zulm (ketidakadilan). 3. Untuk menghindari dan menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan dalam kontrak asuransi syariah yaitu gharar, maisir, dan riba maka alternatif kontrak yang di gunakan adalah: 1) kontrak mudharabah, musyarakah, kafalah dan wakalah. 4. Skema pembagian resiko dalam asuransi syariah: (1) Jalur reasuransi syariah, membagi resiko yang dilakukan oleh operator asuransi syariah dengan mendayagunakan mekanisme reasuransi syariah. Dalam model ini, fluktuasi resiko yang muncul dari satu operator dibagi bersama dengan para operator lainya agar tercipta sebuah kelompok peserta yang lebih besar. Dengan cara ini resiko yang timbul dapat distabilkan sehingga biaya keseluruhan dalam pengelolaan resiko dapat diprediksi. Mekanisme seperti ini merupakan penyebaran resiko yang dilakukan oleh penanggung pertama. (2), membagi resiko dengan lintas skema, melalui mekanisme seperti ini resiko yang sama yang berasal dari skema berbeda dikelompokan agar terbentuk peserta yang lebih besar berdasarkan resiko-resiko tertentu. Sehingga resiko yang timbul dari kelompok-kelompok peserta yang lebih besar dapat diprediksi secara akurat, dan kemudian didistribusikan lagi kepada setiap peserta dalam bentuk kontribusi disetiap skema. Operator asuransi syariah akan menerima keuntungan dalam bentuk fee (model wakalah) atau memperoleh porsi dari surplus (model mudharabah).
160
Asuransi dalam Perspektif Manajemen Resiko
ISSN: 1907-0985
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Dan Terjemahannya Departemen Agama RI
Semarang:
CV.ASY-SYIFA Iqbal
Asuransi Umum Syariah dalam Praktek Upaya menghilangkan Gharar, Maisir, Riba Jakarta: GEMA INSANI,
Muhaimin, 2006
Ivamy Hadry dalam Afzalur Rahman, Doktrin Ekonmi Islam Jilid 4 Yogyakarta: PT DANA BHAKTI WAKAF, 2003 M. Hanafi Mamduh, Manajemen Resiko Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2006. KH Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggagas Fiqih Sosial Bandung: Mizan, 1994 Syakir Sula Muhammad, Asuransi Syariah (life and general) Konsep dan Sistem Operasional Jakarta: GEMA INSANI, 2004 Muslehuddin Mohammad, Asuransi dalam Islam Jakarta: BUMI ASKARA 1997
Sri Dewi Yusuf
161