NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU KARYA WS. RENDRA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Yusuf NIM 1811013000005
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
MOTTO Biasakan yang benar jangan membenarkan yang biasa, karena belum tentunya yang biasa itu benar PRINSIF Setiap orang memiliki kelemahan dan kelebihan, untuk itu jadikan kelemahan sebagai cambuk untuk mencapai kesuksekan dan jadikan kelebihan sebagai pinjakan awal mencapai kesuksesan, karena tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan dan tidak ada pengorbanan tanpa jerih payah serta gapailah kesuksesan atas dasar kemauan dan kemampuan Tangerang, 19 Januari 2015
ABSTRAK Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra Kata kunci: sastra, puisi, pendidikan, politik, nilai, dsb. Permasalahan yang diangkat pada penyusunan skripsi ini adalah bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, sedangkan analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskrifitf. Metode kualitatif deskriftif artinya yang dianalisis dan hasil analisis berbentuk deskiftif, tidak berupa angka-angka atau koefisiensi tentang hubungan antara variabel dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, ditemukan beberapa nilai-nilai pendidikan diantaranya: nilai kebersamaan, kebebasan, keserakahan, perlawanan, kritikan terhadap para elit politik, ketidak percayaan terhadap pemerintah, dan kritikan terhadap para penguasa, saling menghargai antar umat beragama, kesadaran hidup, serta memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat mengingat dalam puisi-puisi diberikan gambaran bagaimana seharusnya perpolitikan itu.
YUSUF (PBSI DMS)
i
ABSTRACT Value education in Poems "Doa untuk Anak Cucu" work WS. Rendra Keywords: literature, poetry, education, politics, values, etc. Issues raised in the preparation of this paper is how the educational values contained in a collection of Poetry "Doa untuk Anak Cucu" work WS. Rendra. The objectives of this study were: to describe the educational values contained in a collection of poetry "Doa untuk Anak Cucu" work WS. Rendra This study is a literature , while the analysis used in this study using the method of analysis used in this study using qualitative methods deskrifitf . Descriptive qualitative method means that analyzed and the results of the analysis deskiftif shape , no form of numbers or coefficient of correlation between the variables in the collection of poems "Doa untuk Anak Cucu" work WS. Rendra Based on the results of research conducted by the authors in the collection of poems "Doa untuk Anak Cucu" work WS. Rendra, found some educational values such as: the value of unity , freedom , greed , opposition , criticism of the political elite , distrust of the government , and criticism of the authorities, mutual respect among religions , life awareness , and provide education good for people to remember the poems are given an idea of how it should politics . YUSUF (PBSI DMS)
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah atas berkat rahmat dan inayah Allah Swt, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik, walaupun pada akhirnya masih banyak kekurangan. Shalawat teriring salam semoga tercurah atas baginda Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan sahabatnya, serta umat Islam hingga akhir zaman. Adapun penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat menempuh ujian akhir Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dengan penuh kesadaran dan perasaan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Dona Aji Karunia, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing. 5. Ahmad Bahtiar, M. Hum dan Rosida Erowati, M. Hum, selaku Dosen Penguji. 6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Drs. Ismail, selaku Pimpinan Pondok Pesantren Daar El-Huda 8. Dra. Hj. Siti Muhibah, selaku Kepala MTs. Daar El-Huda 9. Kedua Orang Tua yang telah memberikan dukungan serta dorongannya. 10. Istri tercinta yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan moral. 11. Ananda Sayyidah Qisya Azzahra, putriku tercinta yang memberikan semangat tersendiri. 12. Kepada rekan-rekan mahasisawa PBSI yang telah membantu dalam menyelesaian penyusunan skripsi ini.
iii
Harap besar penulis, semoga skripsi ini bermanfaat meskipun penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, khususnya bagi mahasiswa yang akan melakukan penyususnan skripsi sebagai bahan referensi.
Tangerang,
Januari 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR MOTTO ABSTRAK.............................................................................................................. i KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii DAFTAR ISI.......................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah.................................................................................... 4 C. Pembatasan Masalah................................................................................... 5 D. Rumusan Masalah........................................................................................5 E. Tujuan Penelitian........................................................................................ 5 F. Manfaat Penelitian...................................................................................... 5 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Nilai Pendidikan.......................................................................................... 7 1. Pengertian Nilai............................................................................... 7 2. Pengertian Pendidikan..................................................................... 8 3. Nilai Pendidikan............................................................................ 13 4. Puisi............................................................................................... 13 a. Pengertian Puisi........................................................................ 15 b. Unsur Puisi................................................................................ 18 c. Mencari Makna Puisi................................................................ 28 B. Penelitian yang Relevan............................................................................ 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian.......................................................... 30 1. Jenis Penelitian ............................................................................. 30 2. Pendekatan Penelitian................................................................... 30 B. Obyek Penelitian..................................................................................31
v
C. Data dan Sumber Data........................................................................ 32 1. Data................................................................................................ 32 2. Sumber Data.................................................................................. 32 D. Teknik Pengambilan Data................................................................... 32 E. Teknik Analisis Data........................................................................... 33
BAB IV NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU KARYA WS. RENDRA A. Biografi WS. Rendra........................................................................... 35 B. Deskripsi Buku Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra................................................................................................. 38 C. Struktur Puisi Dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra......................................................................................... 39 1. Struktur Batin................................................................................ 39 2. Struktur Fisik................................................................................. 43 D. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra......................................................................................... 66 1. Nilai Pendidikan Politik.................................................................67 2. Nilai Pendidikan Moral..................................................................71 3. Nilai Pendidikan Religius..............................................................72 4. Nilai Pendidikan Sosial..................................................................74 5. Nilai Pendidikan Budaya................................................................76 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan............................................................................................. 78 B. Saran-saran.......................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 80 LAMPIRAN
vi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena karya sastra merupakan cerminan konkret dari masalah sosial dalam kehidupan masyarakat seluruhnya. Baik itu masalah yang berhubungan dengan ruang lingkup masyarakat itu sendiri maupun kehidupan masyarakat secara umum bahkan mendunia. Sehingga dengan karya sastra bisa menggugah perasaan seseorang untuk merenungi hidupnya dan berpikir secara bijak tentang kehidupan. Fenomena seperti ini menjadi lahan empuk bagi para sastrawan untuk melahirkan ide-ide kreatif yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya sastra yang memiliki estetika dan mengandung nilai kehidupan yang tinggi. Sebuah karya sastra memiliki daya tarik tersendiri karena memiliki daya imaji yang begitu besar terhadap batin dan jiwa seseorang, sehingga bagi pembaca memiliki kesan tersendiri ketika membacanya. Karya sastra menjadi jembatan untuk mengutarakan sudut-sudut kehidupan melalui untaian kata yang kadang oleh sebagian orang ditutupi karena kelamnya, tetapi bukan hanya kehidupan seperti itu yang diungkap dalam sebuah karya sastra. Karya sastra mengandung nilai
kebenaran
sebuah
kehidupan
yang
dengan
kerumitannya
justru
menpresentasikan nilai-nilai yang benar dalam kehidupan nyata. Sastra yang baik tidak hanya merekam yang ada di masyarakat seperti sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Aspek terpenting yang perlu dilukiskan oleh pengarang yang dituangkan kedalam karya sastra adalah masalah kemajuan manusia Diantara genre besar sastra Indonesia yaitu novel, puisi, dan drama, yang memuat pokok-pokok apresiasi sastra Indonesia. Namun diantara genre besar sastra Indonesia yang begitu kompleks adalah puisi, sebab puisi merupakan cerminan kehidupan nyata yang dilukiskan dalam untaian kata-kata yang mengandung makna. Perkembangan puisi dalam sejarah sastra Indonesia
2
mengalami perkembangan yang naik turun karena banyak dipengaruhi oleh kekusaan dan kondisi perpolitikan yang berkembang sesuai masanya. Puisi merupakan salah satu media ekspresi masyarakat tertentu mengenai sebuah kehidupan yang kompleks dengan berbagai masalah sosial didalamnya yang dibalut dengan kata-kata yang mengandung makna implisit . Bahasa puisi bersifat konotatif, konotasi yang dihasilkan bahasa puisi lebih banyak kemungkinannya daripada konotasi yang dihasilkan bahasa prosa dan drama. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa puisi lebih sulit ditafsirkan maknanya secara tepat dibandingkan prosa dan drama tanpa memahami konteks yang terdapat pada puisi tersebut. Bahasa puisi yang dilukiskan oleh penyair terbentuk dari suasana perasaan, pemikiran, ego, intuisi, dan citra yang khas, sehingga menimbulkan nilai estetika yang bermakna tinggi. Pada hakikatnya puisi adalah bentuk dari pengalaman batin penyairnya, yang terbentuk dari pengalaman yang sedang atau sudah dialaminya yang kemudian dilukiskan dalam untaian kata-kata yang mengandung makna dan memberikan kesan kepada pembacanya. Puisi juga merupakan ekspresi penyairnya tentang suatu masalah yang dialami, dilihat, dan dirasakan dalam kehidupannya yang kemudian disampaikan kepada orang yang bersangkutan secara khusus, dan pada umumnya kepada seluruh manusia melalui sebuah teks. Dewasa ini banyak penyair yang bermunculan mengingat situasi politik di Indonesia sudah mulai kondusif. Namun, tetap tidak melupakan jati dirinya sebagai penyair yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun sekalipun oleh penguasa. Banyak penyair yang masih eksis di dunia puisi, misalnya WS. Rendra dengan karyanya yang mewakili perasaan rakyat kecil, Taufik Ismail dengan karyanya yang tidak beda jauh dengan WS. Rendra, serta masih banyak penyair yang lain. Khusunya WS. Rendra, banyak karyanya dalam bentuk puisi yang bertemakan kemanusiaan. Semasa hidupnya, Rendra telah banyak menulis sajak. Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Balada Orang-orang Tercinta (1957), kemudian Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajaksajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi, Disebabkan oleh Angin (1993),dan ini yang terakhir Doa untuk Anak Cucu.
3
Ciri khas dari puisi-puisi Rendra tidak terlepas dari citraan. Rendra kerap menggunakan citraan dalam setiap puisinya, sehingga pembaca akan berimajinasi setelah membacanya, pembaca tanpa disadari terbawa ke dalam dunia yang terdapat dalam puisi tersebut, hingga menimbulkan gejolak emosi yang meluapluap dan muncul melalui ekspresinya. Inilah hebatnya seorang Rendra, hanya dengan diksi yang tepat membuat pembaca „gila‟ setelah membacanya. Kalau boleh mengutip pernyataan Sapardi Djoko Damono,”Dalam keadaan apapun, Rendra senantiasa menyihir kita lewat kata-kata”. Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini terdiri dari 22 puisi yang didalamnya bertemakan sosial, yang menarik dari kumpulan puisi ini selain bertemakan sosial, Rendra mengkritik keadaan politik masyarakat, sehingga mampu menimbulkan efek domino kepada pembaca. Pembaca dibuat hanyut dalam puisi tersebut melalui untaian kata-kata yang begitu indah, sehingga pembaca begitu peka terhadap keadaan sosial politik, hal ini tergambar jelas dalam puisi yang berjudul “Kesaksian Akhir Abad”. Kemudian lebih dipertegas lagi dengan puisi “Hak Oposisi”. Kedua puisi tersebut sebagai contoh dari puisi Rendra yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra yang mengritik keadaan politik di Indonesia. Tergambar jelas bagaimana Rendra dalam puisinya begitu “marah” dengan keadaan politik saat ini. Khususnya dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra ini, puisinya sama dengan kumpulan puisi sebelumnya yang bertemakan sosial. Dalam kumpulan ini, Renda mengritik para pemangku kebijakan secara luas. Di atas sudah disinggung bahasa kumpulan puisi karya WS. Rendra ini karyanya yang terbaru, sebagai pelepas dahaga bagi para penikmat sastra khususnya karya sang maestro. Bukan hanya masalah sosial yang dibahas dalam kumpulan puisi ini, tetapi juga masalah politik. Tema politik tersebut sesuai dengan kondisi politik di Indonesia saat ini, di mana para elit politik saling mengumbar janji-janji manis kepada rakyat, baik itu menjelang pemilu legislatif ataupun menjelang pilpres. Pembelajaran
puisi
di
dunia
pendidikan
akhir-akhir
ini
sangat
diperhatikan, ini terlihat dari banyaknya terbit buku Bahasa Indonesia yang di
4
dalamnya bukan hanya kebahasaan yang dibahas tetapi seimbang dengan materi pembelajaran sastranya terutama puisi. Hal ini terjadi dalam pembelajaran puisi di sekolah, banyak kendala yang dihadapi, mulai dari siswanya yang kurang menyukai puisi, tidak memiliki kemampuan dasar puisi, serta dari pendidik itu sendiri yang kurang menguasai materi puisi dikarenakan mungkin guru tersebut pendidikan dasarnya bukan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra ini, banyak mengandung nilai-nilai yang baik bagi pembaca khususnya dalam hal ini siswa. Adapun nilai-nilai tersebut diantaranya nilai sosial, budaya, agama, dan politik. Namun, untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada siswa tentunya tidak mudah, harus ada kemauan keras dari pendidik. Seorang guru, khususnya guru Bahasa Indonesia harus mampu mengatasi masalah tersebut agar siswa lebih menyenangi pelajaran puisi, selain itu tentunya masih banyak masalah yang lain. Terlepas dari semua permasalah tersebut, yang paling penting dalam pembelajaran puisi adalah bagaimana para siswa mendapatkan hikmah dari nilainilai yang baik yang terkandung dalam puisi yang telah dipelajarinya, dan pada akhirnya nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga menjadikan mereka bukan hanya kaya dengan ilmu pengetahuan tetapi lebih dari itu kaya dengan nilai-nilai moral yang baik. Inilah harapan besar pemerintah yang menjadikan sekolah bukan hanya sebuah lembaga pendidikan yang didalamnya mengajarkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya, tetapi juga sebagai pinjakan awal dalam rangka menerapkan nilai-nilai tersebut. Berlatar belakang dari permasalahan tersebut di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul “Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Pelajaran puisi di sekolah masih menghadapi berbagai masalah
5
2. Siswa belum mampu menerapkan nilai-nilai yang terdapat dalam puisi ke kehidupan sehari-hari. 3. Mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada permasalahan mengenai nilai-nilai pendidikan dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra.
D. Perumusan Masalah Mengacu pada pembatasan masalah di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan mengenai bagaimana nilai pendidikan yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra?
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang sesuai dengan permasalahan di atas adalah untuk mendeskripsikan nilai pendidikan yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra.
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang positif terhadap perkembangan kesusasteraan Indonesia pada umumnya, khususnya puisi. Harapan besar penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan puisi, khususnya dalam pembelajaran puisi di sekolah. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Bagi bidang keilmuan diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu bahasa dan sastra, sehingga dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian selanjutnya, khususnya kajian puisi.
6
2. Manfaat Praktis Harapan besar penulis, semoga penelitian ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas. Lebih khusus lagi penelitian ini semoga bermanfaat bagi: a. Peserta Didik Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai sarana oleh peserta didik untuk lebih memahami pembelajaran sastra di sekolah dan sebagai jembatan mengembangkan kreativitas khusunya dalam pembelajaran puisi, serta dapat lebih memahami nilai pendidikan yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini. b. Pendidik Bagi guru penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dalam pembelajaran puisi kepada siswa, serta dapat mengambil contoh baik dari puisi karya WS. Rendra ini. c. Masyarakat Semoga dengan penelitan ini, masyarakat secara luas lebih memahami tentang sastra sebagai lukisan dari kehidupan nyata, serta agar lebih memahami nilai-nilai yang terdapat dalam puisi.
7
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai Nilai merupakan kadar relasi positif antara suatu hal terhadap seseorang. Nilai adalah sesuatu atau hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan. Nilai berkaitan erat dengan kebaikan yang ada pada sesuatu hal. Namun, kebaikan itu berbeda dengan sesuatu yang baik belum tentu bernilai baik. Menurut Koentjaraningrat ada persamaan dalam ilmu dan pengetahuan tentang nilai, yaitu nilai merupakan sesuatu yang dipandang berharga oleh manusia atau kelompok manusia. Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai merupakan gejala ideal dan abstrak sehingga menjadi semacam kepercayaan.1 Menurut Horrock dalam Ali dan Asrori nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai sesuatu yang ingin dicapai. Menurut Mardiatmaja, nilai berkaitan dengan kebaikan yang ada dalam sesuatu hal. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi dikehendaki dari yang lain. Lebih lanjut, Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain serta tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak.2 Makna nilai dalam sastra menurut Waluyo adalah kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai sastra, yaitu sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu yang positif yang berguna bagi kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki oleh tiap manusia.
1 2
Andri Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi, (Jakarta: Garudhawaca, 2014), hlm.254 Ibid, hlm.257
8
2. Pengertian Pendidikan Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.3 Untuk itu sebelum memberikan definisi mengenai pendidikan, terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya. a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Seperti bayi lahir sudah berada di dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Di dalam lingkungan masyarakat di mana seorang bayi dilahirkan telah terdapat kebiasaan-kebiasaan tertentu, larangan-larangan dan anjuran, dan ajakan tertentu seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mengenai banyak hal seperti bahasa, cara menerima tamu, makanan, istirahat, bekerja, perkawinan, bercocok tanam, dan seterusnya. Di sini tampak bahwa pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas menyiapkan peserta didik untuk hari esok. b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.4 Sistematis oleh karena pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap yang berkesinambungan (prosedural) dan sistemik oleh karena berlangsung dalam semua situasi kondisi, di semua lingkungan yang saling mengisi (rumah, sekolah, dan masyarakat). Proses 3
Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm.33. 4 Ibid, hlm.34.
9
pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri, kedua pendidikan diri sendiri (self vorming). Kedua-duanya bersifat alamiah dan menjadi keharusan. Bayi yang baru lahir kepribadiannya belum terbentuk, belum mempunyai warna dan corak kepribadian yang tertentu. Ia baru merupakan individu, belum suatu pribadi. Untuk menjadi suatu pribadi perlu mendapat bimbingan, latihanlatihan, dan pengalaman melalui bergaul dengan lingkungannya, khususnya lingkungan pendidikan. c. Pendidikan sebagai proses menyiapkan warga negara Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Bagi setiap warga negara yang baik diartikan selaku pribadi yang tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara, hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tak ada kecualinya. d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki modal dasar untuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja. Ini menjadi misi penting bagi pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Melalui bekerja seseorang kepuasan bukan saja menerima imbalan, melainkan juga karena dapat memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal ini senada dengan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
10
e. Definisi pendidikan berdasarkan GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988 memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan Bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Definisi tersebut menjelaskan mengenai pentingnya pendidikan suatu bangsa dalam rangka melakukan pembangunan nasional, menciptakan pribadi yang berkualitas dan mandiri, menciptakan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, serta mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat pendidikan suatu bangsa, maka dibentuklah UU sebagai landasan atau payung hukum untuk merealisasikan tujuan tersebut. Sedangkan menurut Driyarkara, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf mendidik. Dalam Dictionary Education dinyatakan bahwa pendidikan adalah: a). proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat mereka hidup, b). proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan individual yang optimal. Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu
untuk
menghasilkan
perubahan-perubahan
yang
sifatnya
permanen (tetap) dalam tingkah laku, pikiran, dan sikapnya.5
5
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 4.
11
Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.6 Berdasarkan konsep pengertian di atas, jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ini menunjukan bahwa pendidikan harus ada dalam sebuah lembaga baik formal maupun nonformal yang didalamnya memberikan pengetahuan mengenai beberbagai disiplin ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama. Terkait dengan pengertian pendidikan yang telah dikemukakan di atas, pendidikan memiliki tujuan yang memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan, karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap lembaga pendidikan.7 Di dalam praktik pendidikan khususnya pada sistem persekolahan, di dalam rentang antara tujuan
6
UU RI. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional & UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta:Transmedia Pustaka, 2008), hlm. 2 7 Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm.37.
12
umum dan khusus. Umumnya ada 4 jenjang tujuan didalamnya terdapat tujuan antara lain sebagai berikut:.8 1) Tujuan umum pendidikan nasional Indonesia adalah manusia Pancasila. 2) Tujuan institusional yaitu tujuan yang menjadi tugas dari lembaga pendidikan
tertentu
untuk
mencapainya,
misalnya
tujuan
pendidikan sekolah dasar berbeda dengan tujuan pendidikan tingkat menengah dan seterusnya. Tujuan pendidikan pertanian tidak sama dengan tujuan pendidikan teknik. Jika semua lembaga (institusi) dapat mencapai tujuannya berarti tujuan nasional sudah tercapai, yaitu terwujudnya manusia Pancasila yang memiliki bekal khusus sesuai dengan misi lembaga pendidikan tersebut. 3) Tujuan kurikuler yaitu tujuan bidang studi atau tujuan mata pelajaran. 4) Tujuan intruksional, materi kurikulum yang berupa beberapa bidang studi terdiri dari pokok-pokok bahasan dan subpokok bahasan. Tujuan pokok bahasan dan subpokok bahasan disebut tujuan intruksional, yang penguasaan materi pokok bahasan atau subpokok bahasan. Demikianlah pengertian pendidikan menrurut UUD 1945, UU RI No. 20 Tahun 2003, dan menurut GBHN, serta para ahli yang memberikan batasan mengenai definisi pendidikan. Adapun inti dari pengertian pendidikan yang telah disebutkan di atas adalah menciptakan manusia menjadi manusia yang seutuhnya yang meiliki kecerdasan, berkualitas, mandiri, sadar akan perubahan yang terjadi, memiliki kemampuan untuk melakukan pembangunan, serta mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
8
Ibid, hlm.39.
13
3. Nilai Pendidikan Berbicara mengenai nilai tentunya tidak terlepas dari pendidikan, karena nilai itu sendiri mengandung pendidikan bagi masyarakat atau kelompok masyarakat. Jika dikaitkan dengan karya sastra baik itu prosa, puisi, dan novel, nilai-nilai seperti ini selalu ada didalamnya. Dalam sebuah novel misalnya banyak nilai yang baik, seperti nilai agama, sosial, budaya, politik dll. Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai pendidikan tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastranya. Sastra juga memiliki nilai pendidikan kesusilaan, mengandung nilai estetika, dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar.9 Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan adalah segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tingkah laku menjadi lebih baik dalam upaya mendewasakan diri, baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sementara itu, nilai pendidikan dalam karya sastra adalah semua hal yang dapat dicontoh dan diambil maanfaatnya dari karya sastra untuk kebaikan pembca untuk diterapkan dalam kehidupannya. Pembaca diharapkan mampu mengambil manfaat dengan menyimpulkan pesan yang ingin dismpaikan pengarang. Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra di atas ditarik sebuah simpulan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah fiksi. Nilai pendidikan itu diantaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan sebagainya.10 4. Puisi Sastra adalah karya seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni yang lain. Tujuannya pun sama untuk membantu manusia menyingkap rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka jalan kebenaran, yang membedakannya dengan seni lain, adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.11 9
Andri Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi, (Jakarta: Garudhawaca, 2014), hlm. 262 Ibid, hlm. 263 11 Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung; Angkasa, 2013), hlm.38 10
14
Menurut Nyoman Kutha Ratna, karya sastra tidak terlepas dari fungsi bahasa. Fungsi bahasa sebagai bahasa sastra jelas membawa ciri-ciri tersendiri, artinya, bahasa sastra adalah bahasa sehari-hari itu sendiri, kata-kata dengan sendirinya
terkandung
dalam
kamus,
perkembangannya
pun
mengikuti
perkembangan masyarakat pada umumnya. Tidak ada bahasa sastra secara khusus, yang ada adalah bahasa yang disusun secara khusus sehingga menampilkan makna-makna tertentu. Pada dasarnya tradisilah, seperti genre, periode, kulit buku, pengarang, penerbit yang menjadikan karya sebagai karya sastra. Dengan tanpa memperhatikan aspek-aspek ekstrinsik tersebut, puisi-puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, demikian juga cerpen dan novel, dapat dibaca sebagai karangan ilmu sosial. Hanya sebagian kecil dari keseluruhan ciri-ciri kesastraan yang memang benar-benar khas sastra, seperti pemanfaatan kata-kata arkhais dalam puisi, gaya bahasa, dan penggunaan kata-kata secara khas yang pada umumnya dikategorikan sebagai licentia poetica.12 Selain fungsi bahasa di atas, menurut Horace, karya sastra berfungsi dulce et utile. Dulce berarti “indah” dan utile berarti “berguna”, artinya karya sastra dapat memberikan keindahan dan sekaligus kegunaan untuk para penikmatnya. Dalam pengertian lain karya sastra itu menghibur dan bermanfaat. Sedangkan menurut Aristoteles, karya sastra berfungsi sebagai katarsis (catharsis), maksudnya sastra dapat berfungsi untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Sedangkan menurut Wellek dan Warren, karya sastra mempunyai banyak kemungkinan fungsi, fungsi utamanya adalah kesetiaan pada sifat-sifatnya sendiri.13 Dalam kehidupan bermasyarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a) Fungsi
kreatif,
yaitu
sastra
dapat
memberikan
hiburan
yang
menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
12
Nyoman Kutha Ratna, S.U, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) cet. X. Hlm. 334-335 13 Alfian Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra, (Jakarta: Graha Ilmu, 2014 ), hlm. 8
15
b) Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan didalamnya. c) Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat atau pembacanya karena sifat keindahannya. d) Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca atau peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi. e) Fungsi
religius,
yaitu
sastrapun
menghasilkan
karya-karya
yang
mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat atau pembaca sastra. a. Pengertian Puisi Puisi adalah karya sastra, semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasannya lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya penkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi.14 Ini menunjukan bahwa puisi memilki makna yang terkandung baik implisit maupun eksplisit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.15 Senada dengan pengertian tersebut, dalam kamus itilah sastra disebutkan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima, ritma dan tata puitika yang lain.16 Berdasarkan pengertian tersebut, jelas bahwa pengertian tersebut mengarah kepada pengertian puisi secara umum, misalnya: syair, pantun, soneta, gurindam, dan sebagainya.
14
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995) hlm. 22 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). 16 Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 15
159.
16
Jika berpedoman penuh pada pengertian di atas, maka pengertian tersebut sudah tidak cocok lagi dengan wujud puisi modern pada saat ini, mengingat puisi saat ini sudah banyak yang tidak terikat dengan aturan dalam pengertian tersebut. Secara etimologis istilah puisi berasal dari bahasa Yunani “poesis” yang berarti penciptaan, dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan”, karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniyah.17 Mengenai pengertian sebuah puisi, Slamet Mulyana menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan
suara
sebagai
ciri
khasnya.
Pengulangan
kata
itu
menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Batasan ini berkaitan dengan struktur fisik puisi. Senada dengan Slamet Mulyana, James Reeves juga memberikan batasan yang berhubungan dengan struktur fisik dengan menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya. Bahasa puisi menurut Coleridge adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair, karena bahasanya harus bahasa pilihan, maka gagasan yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang bagus pula.18 Menurut Teeuw (dalam Rahmat Djoko Pradopo) bahwa karya sastra (puisi) itu tidak lahir dalam kekosongan budaya.19 Demikian juga karya sastra itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi. Dalam pendekatan ilmu bahasa yang baru (speech act theory) ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pembaca karya sastra dianggap 17
Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 13. 18 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995) hlm. 23 19 Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik Sastra, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 36
17
mempunyai communicative competence (kompetensi komunikatif) yang meliputi jauh lebih banyak daripada sistem bahasa. Demikian pula, sastra merupakan konteks ujaran, berhasilnya ditentukan
oleh penemuan
konvensi, harapan, aturan yang dalam masyarakat tertentu ada untuk yang disebut sastra. Misalnya konvensi jenis sastra (genre) yang perlu kita ketahui untuk memahami karya sastra.20 Dalam puisi (dan sastra pada umunya, tetapi Jakobson khusunya membicarakan puisi sebagai bentuk sastra yang khas dan tipikal) fungsi puitiklah yang dominan. Dalam fungsi puitik bukanlah referensi, acuan di luar ungkapan bahasa itu yang paling penting, tetapi kata, pemakaian bahasa itu sendiri yang menjadikan pusat perhatian walaupun fungsifungsi yang lain bukan tak ada dalam puisi.21 Puisi termasuk salah satu genre sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair yang mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dengan pilihan kata yang cermat dan tepat. Puisi juga dapat difenisikan sebagai suatu bentuk seni tertulis. Di dalam puisi, bahasa yang digunakan ditata dengan sedemikian rupa untuk meningkatkan kualitas estetiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa, penggunaan penggulangan yang disengaja, serta pemakaian rima-rima tertentu adalah beberapa hal yang membedakan puisi dari karya sastra yang lain, misalnya naskah drama dan prosa.22 Untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup sulit. Namun Waluyo memberikan beberapa pengertian yang tidak dapat dirangkum dalam satu kalimat. Beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas jika didata dapat disebutkan sebagai berikut:23 1) Dalam puisi terjadi pengonsentrasian atau pemadatan segala unsur kekuatan bahasa 20
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984), cet. I, hlm. 84. 21 Ibid, hlm. 74. 22 Erizal Gani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 15 23 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995) hlm. 25
18
2) Dalam
penyusunannya,
unsur-unsur
bahasa
itu
dirapikan,
diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi. 3) Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif. 4) Bahasa yang digunakan bersifat konotatif, hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif. 5) Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh menyaturaga tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya. Dari berbagai pengertian puisi di atas, dapat ditarik sebuah simpulan bahwa puisi adalah rangkaian kata-kata sebagai ungkapan perasaan penyair yang tersusun bedasarkan larik dan bait, dilukiskan dengan bahasa yang indah, serta mengandung makna yang dalam baik yang tersirat maupun tersurat. b. Unsur Puisi Secara sederhana, batang tubuh sebuah puisi terbentuk dari beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut meliputi kata, larik, bait, bunyi dan makna. Kelima unsur tersebut saling memengaruhi keutuhan sebuah puisi.24 Gambaran umum dan uraian rinci terhadap hal-hal tersebut dapat dilukiskan melalui bagan berikut:
24
Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori danTerapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm.16-18.
19
Kata Makna
Larik
Unsur Puisi
Bunyi
Bait
Gambar 1, Unsur Puisi
Kata adalah unsur utama dalam pembentukan sebuah puisi. Walaupun ada puisi yang tidak taat asas dalam penggunaan kata-kata, kata tetap menjadi unsur utama sebuah puisi. Larik adalah baris-baris yang membangun sebuah puisi. Larik pada puisi mempunyai pengertian yang berbeda dengan larik sebuah pantun atau kalimat dalam sebuah prosa. Larik puisi berupa suku kata, kata, frase, klausa, dan bisa pula berupa kalimat. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun secara harmonis. Biasanya bait memiliki kesatuan pemikiran tersendiri. Pada kumpulan bait inilah biasanya terdapat kesatuan makna puisi yang bersangkutan. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima atau persajakan adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata di dalam larik dan bait. Sedangkan irama atau ritme adalah pergantian tinggi rendahnya, panjang pendeknya, dan keras lembutnya ucapan bunyi. Sedangkan makna adalah isi atau kandungan nilai yang sekaligus menjadi pesan yang hendak disampaikan oleh sebuah puisi. Bila tidak ada makna ata tidak bermakna, maka keberadaan sebuah puisi dipertanyakan. Unsur yang membangun sebuah puisi, kata dan tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait, serta penetapan rima dan irama adalah untuk mengomunikasikan makna puisi kepada pembaca. Adapun secara lebih terperinci unsur-unsur puisi dibedakan menjadi dua struktur, yaitu (1) struktur batin dan (2) struktur fisik. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dijelaskan kedua struktur tersebut.
20
1). Struktur Batin Puisi Keberadaan sebuah puisi dapat dilihat dari dua hal, yaitu (1) struktur batin dan (2) struktur fisik. Struktur batin puisi atau sering disebut sebagai hakikat puisi, ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair. Gambaran umum dan uraian rinci terhadap hal-hal tersebut dapat dilukiskan melalui bagan berikut:25 Rasa
Tema
Struktur Batin Puisi
Amanat
Nada Gambar 2, Struktur Batin Puisi
a) Tema Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotres ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta, atau tema kedukaan hati karena cinta. Tema atau ide atau gagasan adalah pokok persoalan yang dikemukakan suatu puisi. Tema ini menduduki tempat utama di 25
Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm.18.
21
dalam puisi. Hanya ada satu tema utama di dalam satu puisi, walaupun puisi tersebut panjang. Biasanya tema utama didukung oleh tema-tema pendampingnya.26 Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” dibalik cerita yang mendukungnya.27 Latar pengetahuan memengaruhi penafsir-penafsir puisi untuk memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).28 b) Perasaan (feeling) Rasa adalah apresiasi, sikap, atau emosional penyair terhadap pokok permasalahan yang disampaikan di dalam puisi yang ditulisnya, misalnya perasaan takjub, sedih, senang, marah, heran, gembira, tidak percaya, nasehat, dan lain-lain. Sikap penyair terhadap pokok permasalahan tersebut erat kaitannya dengan berbagai hal pada diri penyair yang bersangkutan, misalnya: latar belakang sosial dan psikologi, pengalaman, pemikiran, wawasan, dan cara menyikapi suatu persoalan.29 Perasaan
penyair
dalam
menciptakan
puisi
ikut
diekspresikan dan ikut dihayati pembaca. Tema yang sama akan
26
Ibid., hlm.19. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), cet. V, hlm. 68. 28 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 106 29 Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm.19-20. 27
22
dituturkan perasaan penyair secara berbeda, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak menampilkan kehidupan pengemis atau orang gelandangan.30 Kedalaman pengungkapan tema atau ketetapan dalam menyikapi
suatu
masalah
tidak
hanya
tergantung kepada
kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung kepada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya. c) Nada dan Suasana Pengertian nada dalam struktur batin puisi mengacu kepada sikap penyair terhadap persoalan yang dibicarakan di dalam karyanya, misalnya menggurui, mencaci, merayu, merengek, mengajak, menyindir, dan sebagainya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerjasama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain.31 Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap luas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu 30
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 121 Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 20. 31
23
atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita berbicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada, jika kita berbicara tentan suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana khusyuk.32 d) Amanat (Itention) Amanat atau tujuan atau maksud adalah pesan yang ingin disampaikan oleh penyair, misalnya mengharapkan pembaca marah, benci, menyayangi sesuatu, dan berontak pada sesuatu. Pesan yang hendak disampaikan inilah yang mendorong proses kreatif penyair dalam menciptakan puisi.33 Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan.34 Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra (meaning dan significance). Arti karya sastra bersifat lugas, obyektif, dan khusus, sedangkan makna karya sastra bersifat
32
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 125
33
Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 20. 34
Op. Cit, hlm. 130
24
kias, subyektif, dan umum. Makna berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi dimana penyair mengimajinasikan karyanya (hal ini erat dengan perasaan dan nada yang diungkapkan penyair). Rumusan tema harus obyektif dan sama untuk semua pembaca puisi, namun amanat sebuah puisi dapat bersifat interpretatif, artinya setiap orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda dengan yang lain.35 2). Struktur Fisik Puisi Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Unsur-unsur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsurunsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah puisi (tipografi).36 Gambaran umum dan uraian rinci terhadap hal tersebut dapat dilukiskan melalui bagan berikut ini. Diksi
Tifografi
Pengimajian
Struktur Fisik Puisi Kata Konkret
Versifikasi
Bahasa Figuratif Gambar 3, Struktur Fisik Puisi
35
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 131
36
Ibid., hlm. 71
25
a). Diksi (Pemilihan Kata) Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata, sebab katakata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi tersebut. Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga harus dipertimbangkan secara cermat pemilihannya. Karena pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya berbeda. Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam puisi bersifat konotatif, artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-katanya juga dipilih yang puitis, artinya mempunyai efek keindahan dan berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.37 Demikianlah pembahasan tentang pemilihan kata dalam puisi. Kata-kata yang sudah dipilih diberi makna oleh penyair untuk menimbulkan efek estetis serta kepuitisan dalam sebuah karya sastra yang bernama puisi. b). Pengimajian Imaji atau daya bayang adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi sesorang seperti bayangan terhadap suatu penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasaan.38 Senada dengan pengertian tersebut, Waluyo memberi batasan mengenai pengertian pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris 37
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 72-73. Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori danTerapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 21. 38
26
atau bait puisi seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil).39 Pengimajian
disebut
pula
pencitraan.
S.
Effendi
menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembaca, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.40 c). Kata Konkret Kata konkret
adalah kata-kata yang digunakan seorang
penyair secara eksplisit dalam mengemukakan persoalan yang disampaikannya. Kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dapat ditangkap oleh indra bagi memungkinkan munculnya imaji. Kemuculan imaji diakibatkan karena kata konkret berhubungan dengan kiasan, simbol, atau lambang, misalnya; kata “salju” sebagai pelambang kebekuan cinta, kehampaan hidup, dan lainlain. Kata “selokan” dapat melambangkan tempat kotor, kata “tanah” sebagai asosiasi tempat hidup, bumi, kehidupan, dan lainlain.41 d). Bahasa Figuratif (Majas) Bahasa figuratif adalah bahasa yang penuh dengan kiasan. Bahasa yang demikian dapat menghidupkan, meningkatkan efek, dan menimbulkan konotasi tertentu. Penelitian sebuah puisi memang tidak selalu dilakukan dengan menggunakan bahasa, 39
Waluyo, Op. Cit., hlm. 78.
40
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 80-81. Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 21-22. 41
27
sebagaimana adanya bahasa tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa figuratif akan menyebabkan puisi menjadi prismatik. Dengan bahasa yang demikian puisi tersebut akan memancarkan makna yang banyak dan bervariasi.42 Di dalam penelitian puisi, bahasa figuratif muncul dalam bentuk majas. Sangat banyak jenis majas yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan tema puisi. Diantaranya adalah metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufimisme, repetisi, anapora, pleonasme, antitesis, dan sebagainya. e). Versifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum) Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritme. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Digunakan kata rima untuk mengantikan kata persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangannya tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait. Dalam ritme pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa yang berulangulang, merupakan unsur yang memperindah puisi.43 Ritme adalah alunan bunyi di dalam pembacaan sebuah puisi. Alunan bunyi tersebut dalam bentuk alunan suara yang tinggi, rendah, panjang, pendek, keras, dan lemah. Metrum mengacu kepada penghentian, kesenyapan, dan penekananpenekanan tertentu. Di dalam pembacaan sebuah puisi, soal rima, ritme, dan metrum sangat perlu diperhatikan secara utuh. Dikatakan utuh karena ketiga hal tersebut saling berkaitan.44 f). Tata Wajah (Tipografi) Perwajahan atau tipografi adalah penampakan sebuah puisi sebagai salah satu dari hasil seni kreatis. Tampiln puisi tersebut
42
Ibid., hlm. 22. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 90. 44 Erizal Ghani, Kiat Pembacaan Puisi: Teori dan Terapan, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm. 23. 43
28
dapat dicermati dalam bentuk, misalnya; penataan bahasa, penggunaan
tanda
atau
lambang,
pengaturan
jarak
baris,
pengaturan letak huruf, kata, baris, atau bait, baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan tidak diakhiri dengan tanda titik, dan lain-lain. Semua hal tersebut sangat menentukan perwajahan sebuah puisi.45 Tipografi merupakan pembeda yang sangat penting antara puisi, prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodistet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri dan kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal ini tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukan eksistensi sebuah puisi.46
c. Mencari Makna Puisi Kata-kata, frasa, dan kalimat dalam puisi biasanya mengandung makna tambahan atau makna konotatif. Bahasa figuratif yang digunakan menyebabkan makna dalam baris-baris puisi itu tersembunyi dan harus di tafsirkan. Proses mencari makna dalam puisi merupakan proses pergulatan penyair dan pendengar terus menerus. Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Sebuah kata memiliki kemungkinan makna ganda. Kata yang nampaknya tidak bermakna diberi makna oleh penyair. Makna kata mungkin diberi makna baru. Nilai rasa diberi nilai rasa baru, tidak semua kata, frasa, dan kalimat bermakna tambahan. Kalau keadaannya demikian, puisi akan menjadi sangat gelap. Sebaliknya, puisi tidak mungkin tanpa makna tambahan (transparan), sehingga kehilangan kodrat bahasa puisi. Kata-kata dalam puisi tidak tunduk pada aturan logis sebuah kalimat, namun tunduk pada rima larik puisi. Hal ini disebabkan oleh kesatuan kata-kata itu bukanlah kalimat akan tetapi larik-larik puisi. 45 46
Ibid., hlm. 21. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 97.
29
Kata-kata tidak terikat oleh struktur kalimat dan lebih terikat pada lariklarik puisi.47
B. Penelitian yang Relevan Adapun penelitian yang sesuai dengan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Di’mah Fitriyyah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Sembahyang Karang Karya Arini Hidajati dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam. Tujuan dari penelitian tersebut 1). Mengkaji dan memahami lebih dalam isi puisi-puisi karya Arini Hidajati, 2). Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi Sembahyang Karang karya Arini Hidajati.48 Penelitian lain yang serupa adalah penelitain yang dilakukan oleh Yuli Wahyuningrum Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyyah Surakarta yang berjudul Kritik Sosial Sajak-sajak Dua Belas Perak dalam Empat Kumpulan Sajak Karya WS. Rendra: Tinjauan Semiotik. Penelitian tersebut bertujuan 1). Untuk mendeskripsikan struktur puisi Sajak-sajak Dua Belas Perak karya WS. Rendra, 2). Untuk mendeskripsikan makna kritik sosial puisi Sajak-sajak Dua Belas Perak karya WS. Rendra.49
47
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm. 103 Di’amah Fitriyyah, Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Sembahyang Karang Karya Arini Hidajati dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta, 2010, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Yogyakarta: tidak dipublikasikan 49 Yuli Wahyuningrum, Kritik Sosial Sajak-sajak Dua Belas Perak dalam Empat Kumpulan Sajak Karya WS. Rendra: Tinjauan Semiotik, Surakarta, 2010, Skripsi pada Universitas Muhamadiyyah Surakarta: tidak dipublikasikan 48
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka. Membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian.1 Karya ini dimaksudkan untuk mempelajari teks-teks yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian. 2. Pendekatan Penelitian Menganalisis sastra atau mengritik karya sastra (puisi) adalah usaha menangkap makna dan menberi makna kepada teks karya sastra (puisi). Karya sastra merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Oleh karena itu, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural. 1 Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan pendekatan yang dikemukakan Abrams dengan empat pendekatan yaitu ekspresif, mimesis, pragmatis, dan obyektif.2 a. Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subyek pencipta. Pendekatan ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Dalam tradisi sastra barat, pendekatan ini pernah kurang mendapat perhatian, yaitu pada masa abad pertengahan. Karya sastra
1
Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indoneisa, 2004),
hlm. 3 2
Nyoman Kunta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 68-73
31
dianggap semata-mata sebagai peniruan terhadap kebesaran Tuhan dengan konsekuensi manusia sebagai pencipta harus selalu di bawah sang pencipta. b. Pendekatan Mimesis Menurut Abrams, pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Di Indonesia pendekatan mimetik perlu dikembangkan dalam rangka
menopang
keragamanan
khazanah
kebudayaan.
Pemahaman terhadap ciri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat meningkatkan kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan kecemburuan sosial. c. Pendekatan Pragmatis Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya, dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dengan pembaca, maka masalah-masalah dapat dipecahkan dengan pendekatan pragmatis. Teori-teori prostrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca,
sebab
semata-mata
pembacalah
yang
berhasil
mengevokasi kekayaan khazanah budaya bangsa. d. Pendekatan Obyektif Pendekatan obyektif merupakan pendekatan yang terpenting, sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik.
B. Obyek Penelitian Secara umum setiap penenlitian jenis apapun pasti memiliki obyek yang diteliti. Adapun obyek dalam penelitian ini adalah mengenai struktur puisi serta
32
nilai-nilai yang terkandung dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra.
C. Data dan Sumber Data 1. Data Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data-data yang berwujud kutipan kata, suku kata, diksi, kata konkret, bahasa figuratif (Majas), versifikasi, dan tipografi yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra sebagai sumber data yang sangat penting dalam penelitian ini. 2. Sumber Data Sumber data dalam penilitian ini oleh penulis dikelompokan menjadi data primer dan data sekunder. a. Data primer adalah data yang menjadi rujukan pokok dalam penelitian ini. Data yang termasuk dalam kategori data primer adalah kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra. b. Data sekunder adalah data pendukung data primer, yang termasuk dalam kategori ini adalah buku-buku, majalah, jurnal, artikel, dan dokumendokumen lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
D. Teknik Pengambilan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. 3 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pustaka dan catat. Teknik pustaka adalah teknik menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik catat berarti penulis sebagai instrumen kunci melakukan pengamatan secara cermat, tearah, dan teliti terhadap sumber data primer.4 Kegiatan pertama dalam pengumpulan data adalah penyimakan dilakukan dengan membaca pemahaman secara berulang-ulang, karena didasarkan pada dokumen yang berupa data-data tertulis. Dalam pengkajian kumpulan puisi karya 3
Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 224 4 Subroto, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Gafindo Persada, 1992), hlm. 42
33
WS. Rendra kegiatan pencatatan dilakukan dan digunakan untuk menyimpan data yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun data-data tersebut berupa kutipan kata, suku kata, diksi, kata konkret, bahasa figuratif (Majas), versifikasi, dan tipografi yang terdapat dalam puisi tersebut. Data tersebut digunakan sebagai data primer yang diperlukan untuk penelitian.
E. Teknik Analisis Data Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antara data yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan. Hasil dari analisis data inilah yang akan menjadi pengetahuan ilmiah, pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang menjadi sumber data.5 Berdasarkan pendekatan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi (content analysis). Analisis terhadap buku kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra dilakukan dengan memperoleh deskripsi tentang isi serta kandungan nilai-nilai pendidikan didalamnya. Tujuan, arah serta penekanan dalam penelitian ini adalah nilai pendidikan dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra. Mengingat puisi-puisi dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini banyak yaitu berjumlah 22 puisi, namun penulis hanya manganalisis 7 puisi yang dirasa mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan penelitian ini. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: pertama, penulis mengklasifikasikan puisi-puisi yang mengandung nilai-nilai pendidikan, langkah selanjutnya, penulis menganalisis puisi-puisi yang mengandung nilai pendidikan seperti religius, sosial, budaya, moral, dan politik yang kemudian digunakan dalam penelitian ini.
5
Faruk, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 25.
34
Arah dan penenkanan penenlitian ini adalah puisi yang mengandung nilainilai pendidikan dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra.
35
BAB IV NILAI PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU KARYA WS. RENDRA A. Biografi WS. Rendra Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo, lahir di Kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Kamis Kliwon, 07 November 1935 pukul 17.05. Ayahnya bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah.1 WS. Rendra memang dilahirkan di keluarga yang kental akan seni, tak heran jika darah seni sangat mudah merasuk dalam diri Rendra. Ayahnya adalah seorang dramawan yang merangkap sebagai guru Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia di sebuah sekolah Katolik di Solo, sedangkan ibunya adalah seorang anak wedana kraton yang mengurus minuman dan kalender, ayah ibunya bernama Raden Wedono Sostrowinoto II, sangat ahli dengan berbagai muniman barat dan timur. WS. Rendra menghabiskan masa kecil hingga Sekolah Menengah Atasnya di Solo dengan bersekolah Taman Kanak-kanak hingga SMA di Sekolah Katolik St. Yosef. Namun sejak lulus SMA, WS. Rendra berhijrah ke Jakarta demi meneruskan sekolah di Akademi Luar Negeri, akan tetapi malang nasibnya, setelah sampai di Jakarta ternyata sekolahan tersebut telah tutup. Bakat yang paling menonjol adalah dalam membacakan puisi. Puisi-puisi WS. Rendra pun kemudian dipublikasikan di majalah setempat, waktu itu adalah majalah siasat. Awal kali ia menerbitkan puisisnya di majalah adalah saat tahun 1952, setelah itu hampir rutin tiap terbit majalah, puisinya selalu ikut menyemarakkan halaman majalah – majalah lokal tahun 60-an dan 70-an. Majalah yang tekenal diantaranya Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.
1
WS. Rendra, Doa untuk Anak Cucu, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2013), hlm. 62-94
36
Rendra berasal dari keluarga Katolik Jawa. Namun, pada 1970 beliau membuat kejutan dengan masuk Islam bertepatan dengan hari pernikahannya dengan Sitoresmi. Namanya kemudian diganti menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra dijuluki Burung Merak dari Parangtritis. Di Yogyakarta dulu dia pernah rukun dengan tiga istri dalam satu rumah. Sunarti yang dinikahinya pada 1959, Sitoresmi pada tahun 1970, dan Ken Zuraida (Ida) pada tahun 1976. Dari ketiga istrinya Rendra memiliki sebelas anak, lima dari Sunarti: Teddy, Andre, Daniel, Samuel, dan Klara Sinta. Dari pernikahannya dengan Sitoresmi, Rendra dikaruniai empat anak yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Sedangkan dari Ken Zuraida: Isaias Sadewa (Essis) dan Maryam Supraba, akan tetapi pernikahan ketiganya ini harus dibayar mahal dengan mengorbankan dua istri terdahulunya yaitu Sitoresmi dan Sunarti. WS. Rendra harus rela menceraikan dua istrinya ini pada tahun 1979 karena tak menyetujui Rendra memiliki istri ketiga. Setelah bercerai hubungan Rendra dengan kedua mantan istrinya tetap baik. Mereka masih suka bertemu, bahkan untuk pementasan Panembahan Reso pada tahun 1986, Sunarti san Sitoresmi masih bersedia membantu. Buku-bukunya diantaranya Potret Pembangunan Dalam
Puisi, Blues
untuk Bonnie, Balada Orang-orang Tercinta, Nanyian Dari Jalanan, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, Malam Stansa, Empat Kumpulan Sajak, Kakawin Kawin, Masmur Mawar, dan Doa untuk Anak Cucu. Sementara sajak-sajaknya antara lain: “Khotbah”, “Nyanyian Angsa”, “Atmo Karpo”, “Lelaki Tanah”, “Kapur”, “Geriliya”, “Lelaki Yang Luka”, “Diantara Pilar-Pilar”, “Rick Dari Corona”, “Sajak Rajawali”, “Sajak Senggok Jagung”, “Sajak Orang Kepanasan”, dan masih banyak lagi sajak-sajak yang lainnya. Sementara untuk puisi diantaranya “Jangan Takut Ibu”, “Kisah”, “Seni, Basis”, “Konfrontasi”, “Siasat Baru”, “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!”, “Pesan Pencopet Kepada Pacarnya”, “Mencari Bapak”, “Rumpun Alang-Alang”, “Sebatang Lisong”, “Surat Cinta”, dan sebagainya.
37
Selain itu, di masa kebebasannya naik pentas dipersulit, Rendra pernah main film. Ia sempat main dalam film Al-Kautsar, Terminal Cinta Terakhir, dan Yang Muda Yang Bercinta. Pada tahun 1968 Bengkel Teater untuk pertama kalinya di Jakarta mereka diminta untuk menghibur tamu-tamu kebudayaan dari Singapura di Balai Budaya, Rendra dan Kawan-kawannya muncul dengan model pertunjukan teater yang tidak biasa. Pada tahun 1970-an sampai dengan tahun 1978, Bengkel Teater binaanya cukup produktif, satu tahun paling tidak ada dua pementasan. Mulai dari “Oidipus Sang Raja”, “Tiga Sandiwara Brecht”, “Menunggu Godot”, “Kasidah Barzanji”, “Macbeth”, “Hamlet”, “Dunia Azwar”, “Modom-modom”, “Pangeran Hombrug”, “Mastodon dan Burung Kondor”, “Antigone”, “Oidipus Berpulang”, “Lysistrata”, “Kisah Perjuangan Suku Naga”, “Egmont‟, “Lingkaran Kapur Putih”, “Perampok”, dan “Sekda”. Namun drama-drama seperti itu justru kesulitan: dilarang untuk dipentaskan. Bersama dengan mulai aktifnya kembali Rendra, setelah larangan dari rezim Orde Baru longgar, Bengkel Teater pun ikut bangkit. Kebangkitan teater ini ditandai dengan acara selamatan yang diadakan Rendra akhir Januari 1986, sekaligus
untuk
menyongsong
pementasan
“Panembahan
Reso”.
Kalau
sebelumnya bengkel ini sering disebut Bengkel Teater Yogya, setelah kepindahannya ke Depok namanya berupa menjadi Bengkel Teater Rendra, dengan alasan bengkel yang sekarang jelas berbeda dengan sebelumnya. Sejak tahun 1987, Bengkel Teater Rendra berpindah ke Desa Cipayung Jaya, Kota Depok, dengan tempat seluas 3 hektar lebih yang kemudian dikenal sebagai Kampus Bengkel Teater Rendra. Dari kampus ini lahir kaya drama “Selamatan Anak Cucu Sulaiman” (The Ritual of Solomon’s Children) dipentaskan di New York, Jepang dan Korea Selatan. Selain drama-drama tadi, masih banyak drama-drama yang lahir dari bengkel ini. Pada pertengahan tahun 2009, WS. Rendra menderita sakit jantung koroner dan harus menjalani perawatan intensif di RS. Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah satu bulan , penyakitnya semakin menggerogoti
38
tubuhnya
dan
akhirnya
sang
penyair
besar
Indonesia
WS.
Rendra
menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit itu pada tanggal 06 Agustus 2009, Kamis malam Jumat. Jenazah WS. Rendra kemudian dikebumikan di kompleks Bengkel Teater, Cipayung-Citayam, Depok pada tanggal 07 Agustus 2009 seusai Shalat Jumat. Makamnya tak jauh dari makam Mbah Surip yaitu penyanyi reggae Indonesia yang terkenal dengann lagu fenomenalnya “Tak Gendong” yang telah berpulang seminggu sebelumnya. Itulah biografi WS. Rendra, sang sastrawan Indonesia yang dijuluki Si Burung Merak. Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya seorang WS. Rendra adalah tetap manusia biasa. Sebagaimana peribahasa “tak ada gading yang tak retak”. Semoga kita bisa meneladani hal-hal positif dan tidak meniru hal-hal negatifnya.
B. Deskripsi Buku Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Buku ini berisi kumpulan puisi hasil karya dari seorang sastrawan tersohor di negeri ini, yaitu WS. Rendra. Buku kumpulan puisi ini terdiri dari 22 puisi yang mengandung nilai-nilai yang baik, mulai dari nilai sosial, budaya, moral, religi, dan politik. buku ini sebagai pelepas dahaga badi para pembaca yang rindu akan hasil karya sang maestro. Buku Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini berisi puisi-puisi yang kerap dibacakan Rendra di berbagai kesempatan, namun puisi-puisi tersebut tak pernah diterbitkan. Buku ini memberi kesempatan bagi siapa saja yang ingin menikmati kepekaan dan kegeniusan Rendra dalam mengolah rasa menjadi kata, sekaligus menjadi warisan otentik tak ternilai bagi generasi-generasi yang akan lahir di masa-masa berikutnya. Puisi-puisi dalam buku ini ada yang diciptakan pada masa Orde Baru, sebagai bentuk kritikan terhadap para penguasa pada masa itu. Puisi-puisi yang diciptakan pada masa itu diantaranya: “Hak Oposisi”, “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon”, “Gumamku Ya Allah”, dan “Rakyat Adalah Sumber Ilmu”. Namun sebenarnya puisi dalam kumpulan Doa untuk Anak Cucu ini banyak
39
diciptakan setelah kejadian Mei 1998, sebagai bentuk kepedihan yang mendalam mengenai keadaan rakyat pada masa itu. Seperti puisi yang berjudul “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, puisi ini jelas menggambar keadaan bangsa Indonesia pada Bulan Mei 1998, dengan terjadinya kerusuhan hampir di seluruh Indonesia. Dan puisi yang lainnya seperti “Syair Mata Bayi”, “Tentang Mata”,”Ibu Di Atas Debu”, “Pertanyaan Penting”, “Politisi itu Adalah”, dan “He, Remco”. Pada tahun berikutnya dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, banyak sekali puisi-puisi yang diciptakan oleh sang maestro yang terdapat dalam buku ini, diantaranya: “Kesaksian Akhir Abad”, “Inilah Saatnya”, “Doa”, “Sagu Ambon”, “Jangan Takut Ibu!”, “Pertemuan Malam”, “Perempuan yang Tergusur”, “Di mana De‟Na?”, “Perempuan Yang Cemburu”, dan “Tuhan Aku Cinta Padamu”. Munculnya buku kumpulan puisi ini setidaknya bisa menghapus dahaga dan kerinduan banyak pihak akan puisi-puisi Rendra yang selalu dinamis, menghentak, dan membuat penguasa tersindir dan malu.
C. Struktur Puisi dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra 1. Struktur Batin Di awal sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur batin puisi. Pada bab ini akan dibahas secara terperinci mengenai struktur batin puisi yang bertemakan politik dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra. Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, di awal sudah disebutkan terdiri dari 22 puisi dengan berbagai tema, namun pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada puisi-puisi yang bertemakan politik. Adapun puisi-puisi yang bertemakan politik dalam kumpulan puisi ini terdiri dari 7 puisi, inilah pembahasannya sebagai berikut. a. Tema Tema merupakan ruhnya sebuah puisi, artinya yang mencakup keseluruhan isi puisi. Tema dari ketujuh puisi yang dibahas dalam penelitian ini adalah politik.
40
b. Perasaan (feeling) Dalam kumpulan puisi ini, khususnya yang bertemakan politik ada beberapa puisi yang mengandung perasaan (feeling) marah, diantaranya: “Inilah Saatnya”, “Hak Oposisi”, “Kesaksian Tentang Mastodon”, dan “Kesaksian Akhir Abad”. Dalam puisi yang berjudul “Inilah Saatnya” perasaan marah sangat jelas tergambar, bagaimana perasaan marah penyair dalam hal ini Rendra. Ini terlihat dalam kutipan “Amarah dan duka, Menjadi jeladri dendam, Bola-bola api tak terkendali”. Penyair memilih kata bola-bola api ini jelas untuk menunjukan kemarahan yang begitu sangat. Dipertegas lagi dengan kata amarah dan jeladri dendam. Pada puisi “Hak Oposisi” perasaan marah penyair terlihat sebagaimana pada kutipan “Aku bilang tidak/ aku bilang ya menurut nuraniku, kamu tidak bisa mengganti nuraniku dengan peraturan, adalah tugasmu untuk membuktikan bahwa kebijaksanaanmu pantas mendapat dukungan”. Dari kutipan tersebut bagaiman penyair marah dengan mengatakan bahwa “kamu tidak bisa mengganti nuraniku dengan peraturan”. Sedangkan dalam “Kesaksian Tentang Mastodon” perasaan marah penyair terlihat hampir keseluruhan isi puisi, dari awal sampai akhir puisi. Sementara dalam “Kesaksian Akhir Abad” kemarahan penyair begitu jelas terlihat dari pilihan kata yang digunakannya, sebagaimana kutipan”O, lihatlah wajah-wajah berdarah dan rahim yang diperkosa muncul dari dari puing-puing tatanan hidup yang porak poranda, kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan, kekuasaan kekerasan berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan, pendangkalan kehidupan bangsa telah terjadi, tata nilai rancu, dusta, pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal, dengan puisi ini aku bersaksi bahwa hati nurani itu meski dibakar tidak bisa menjadi abu” . Dari kutipan tersebut, tergambar jelas perasaan marah penyair dengan memakai kata-kata sindiran yang kasar, seperti: berdarah, rahim diperkosa, berak, dan berdahak. Tercium aroma kemarahan yang sangat hebat.
41
Selain perasaan marah, ada juga perasaan sedih, sebagaimana pada puisi yang berjudul “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” dan “Maskumambang”. Perasaan sedih penyair yang terkandung pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” di lambangkan dengan bangkaibangkai, amarah merajalela, kabut duka cita, dan air mata. Ini terkandung makna yang sangat dalam, bagaimana penyair sedih melihat kenyataan yang terjadi pada waktu itu, banyak korban yang tidak berdosa berguguran akibat dari kebiadaban oknum aparat, dari kalangan mahasiswa dan rakyat jelata, sebagai mana kutipan “Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan, amarah merajalela tanpa alamat, ketakutan muncul dari sampah kehidupan/ o, zaman edan!/ o, malam kelam pikiran insan!, cadar kabut duka cita menutupi wajah Ibu Pertiwi/ air mata mengalir dari sajakku ini”. Sedangkan dalam puisi “Maskumambang” kesedihan penyair dilambangkan dengan Bunga Bintaro berguguran dan lelehan air mata, sebagaimana
kutipan
“Bunga
bintaro
berguguran
di
halaman
perpustakaan, di tepi kolam di dekat rumpu keladi, aku duduk di atas batu, melelehkan air mata, bangsa kita kini seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utang, yang di kocok-kocok oleh negara adikuasa, tanpa berdaya kita melawannya”. Sementara, dalam puisi yang berjudul “Politisi itu Adalah”, perasaan penyair terlihat hambar, artinya hanya sekedar bicara tapi itulah kenyataan yang terjadi, namun bernada sindiran. Hal tersebut tergambar hampir keseluruhan isi puisi, dari awal sampai akhir puisi. c. Nada & Suasana Nada dan suasana tidak bisa terlepaskan dalam sebuah puisi. Hal ini karena berhubungan dengan penyair sebagai kreator puisi tersebut dan pembaca sebagai penikmatnya. Dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu ini, nada dan suasananya variatif. Dalam puisi “Inilah Saatnya”, nada atau sikap penyair terhadap pembaca terlihat menasehati, sedangkan suasana jiwa yang ditimbulkannya begitu khusyu menusuk jiwa pembaca.
42
Berbeda dengan puisi “Hak Oposisi”, nada yang dimunculkan oleh penyair jelas-jelas mengandung kritikan atau sindiran, sehingga menimbulkan suasana pemberontakan hati kepada pembaca. Tidak berbeda jauh dengan “Hak Oposisi”, puisi yang berjudul “Kesaksian tentang Mastodonmastodon” yang bernadakan kritikan, sehingga memunculkan suasan pemberontakan hati. Berbeda dengan puisi sebelumnya, puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” nada yang ditimbulkan nada duka, sehingga menimbulkan suasana iba hati. Nada kritikan kembali muncul dalam puisi “Politisi itu Adalah”, sehingga setelah pembaca dipaksa untuk melakukan pemberontakan hati setelah membacanya. Hal ini juga sama dengan puisi “Kesaksian
Akhir
Abad”,
terlihat
jelas
nada
kritikannya
yang
menimbulkan suasana pemberontakan hati. Sementara dalam puisi “Maskumambang” kembali muncul nada duka, sehingga menimbulkan suasanan iba hati yang mendalam. Nada dan suasana yang terkandung dalam puisi-puisi tersebut tergambar dari awal sampai akhir puisi. d. Amanat Setiap puisi mengandung amanat yang ingin disampaikan kepada para pembacanya, baik yang disadari atau tidak disadari oleh penyair. Namun amanat inilah yang mewakili perasaan penyairnya. Adapun amanat-amanat yang terkandung dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu yang bertemakan politik adalah sebagai berikut. Pada puisi “Inilah Saatnya” tersirat amanat berikut: besikaplah bijaksana, jangan salah dalam bertindak, dan jagalah persatuan dan kesatuan. Puisi “Hak Oposisi” tersirat amanat berikut: berbuatlah untuk rakyat, bijaksanalah dalam bertindak, dan jangan memaksakan kehendak. Dalam puisi “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon” mengan pesan berikut: berlaku adilah pada rakyat,
lindungilah rakyat kecil, dan
janganlah mengorbankan rakyat hanya demi kesenangan sesaat. Puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” tersirat amanat berikut: junjung tinggilah hukum, jegakkanlah keadilan, dan janganlah berbuat yang menyakiti orang lain. Sementara puisi “Politisi itu Adalah” mengandung
43
amanat berikut: Jadilah politisi yang baik, yang peduli terhadap rakyat, janganlah terlena dengan jabatan, janganlah melupakan kehidupan kita sebelumnya, dan tepatilah janji dan berusahalah untuk amanah. Puisi “Kesaksian Akhir Abad” tersirat amanat berikut: tegakanlah hukum di atas segalanya, junjunglah tinggi kebenaran, dan janganlah korbankan rakyat demi
kepentingan
“Maskumambang”
pribadi
ataupun
mengandung
golongan.
amanat:
Sedangkan
Berjuanglah
terus
puisi demi
kesejahteraan bang kita yang tercinta ini, tumbuhkan generasi muda yan memiliki rasa nasionalisme yang besar sejak dini, dan jadillah peminmpin yang amanah dan peduli terhadap rakyat. 2. Struktur Fisik Struktur fisik puisi atau terkadang disebut juga dengan metode puisi, adalah sarana yang digunakan penyair untuk meyampaikan pesan yang hendak disampaikannya melalui puisi. Adapun pembahasan mengenai struktur fisik puisi dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra sebagai berikut. a. Diksi Pemilihan kata yang dipertimbangkan oleh penyair untuk membentuk sebuah puisi yang baik, harus dipertimbangkan secara cermat dan juga tentunya harus mempetimbangkan berbagai aspek salah satunya aspek estetisnya. Perlu diingat bahwa kata-kata dalam puisi bersifat konotatif yang kemungkinan memiliki banyak makna, selain itu pula harus dipilih kata-kata yang puitis untuk menimbulkan efek keindahan. Dalam puisi-puisi Rendra khusunya dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra banyak diungkap kata-kata kritikan, pembelaan secara keras, dan kecaman kepada penguasa. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini. Puisi “Inilah Saatnya” kata-kata yang dipilih sebagai berikut: “Inilah Saatnya” , sepatu, ransel, rasa gerah, rasa gelisah, amarah dan duka,
jeladri
dendam,
bola-bola
api,
perlawanan,
perbaikan,
penghancuran, kelewang, senapan, pencernaan, teh poci, jendela ang
44
terbuka, nyawa, rekaman perbuatan, buku kalbu, alam akhirat, kekerasan, martabat, berunding, berseragam, agenda bersama, pakaian, lencana golongan, duduk bersama, kebenaran, keindahan kupu-kupu, bungabunga, padang belantara, lembutnya daging susu ibu, para cucu masa depan, buku sejarah, mencari ilham, saudara-saudaraku, tiga gunung, memeluk rembulan. Kata-kata tersebut dipilih untuk menambah keindahan puisi tersebut. Sementara
puisi
“Hak
Oposisi”:
menggunakan
kata-kata
peraturan, tugasmu, dukungan, nurani kami, memasang telinga,oposisi, jendela, sumpek, gambaran palsu, sepi dan onani, untuk mempertegas kritikan. Tak berbeda jauh dengan puisi “Kesaksian tentang Mastodonmastodon”, namun dalam puisi ini, pilihan kata dengan nada kritikannya lebih keras, seperti kata-kata kelabu hambar dari ufuk ke ufuk, rembulan muncul pucat, birokrat, sungai, penghianatan, samudera, diperkosa, sumpah serapah, keluh kesah, buruh dan kuli, bising dan repot, kuburan, kemacetan, darah, pejabat dan pegawai, priyai, tambal sulam, gombalgombal khayalan, pangerang, cukong, monopoli, tirani, gajah, pejabat, kekukuhan, ketenangan, tegang dan terkekang, muram, filsafat mati, kepatuhan,
kesangsian, durhaka, pembangkang, munafik, angker,
mastodon, semen, kayu lapis, tiang-tiang listrik, film-film impor, matahari, bumi, beras dan jagung, gedung, jembatan, toko, pasar, sekolah, masjid, gereja, lapar, waswas, kiamat, pengemis, bencana, bertempur. Sedangkan pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” katakata yang dipilihnya bernada duka, seperti kata bulan gelap, bangkaibangkai, aspal jalanan, amarah, ketakutan, sampah, kehidupan, pikiran, simpul-simpul, zaman edan, kelam, koyak moyak, kepercayaan, undangundang, selokan, kepastian, comberan, fatamorgana, kekuasaan, sihir, mahkota raja, hukum, politisi, raja-raja, tentara, kebingungan, kabut, putus asa, sangkur, ratu adil tipu daya, prahara, darah, saksi, menjarah, daulat, cukong, keamanan, rakyat, penguasa, fana, tahta, akal sehat, kalap, gelap, kabut, duka cita, ibu pertiwi, kata-kata ini dipilih untuk
45
menyatakan kesedihan namun sedikit terdapat kritikan. Berbeda dengan puisi “Politisi itu Adalah” kata-kata yang dipilihnya menunjukan nada kritikan namun tidak terlalu keras, terlihat hanya sekedar bicara saja, mungkin sudah bosan melihat gaya politisi yang sebagian besar seperti itu. Kata-katanya seperti politisi, kamera televisi, unsur gelap, lawan, bangsa, persatuan, kemajuan, gajah rakyat jelata, topi, peci, dasi, berbedak, bergincu, rakyat, demonstran, pengorbanan,perjuangan, karangan bunga, duka cita, nasi, roti, singgasana, negara, mahasiswa, diplomasi, politik, martabak, lumpia. Namun, pada puisi “Kesaksian Akhir Abad”, kembali digunakan kata-kata yang mengandung nada kritikan yang „pedas‟, hal ini jelas menunjukan perasaan marah penyairnya. Seperti kata-kata ratap tangis, kalbu, darah, tikar tafakur, tohor, kotor, kesepian, nalar, pikiran, lampu kota, malam, kebudayaan, tanah dan air, kedamaian, hukum adat, bising, bijaksana, rahim, tatanan hidup, porak poranda, kasat mata, pengadilan, kekuasaan, kekerasan, berak dan berdahak, merdeka, rakyat, mandiri, aparat, otonom, berdaulat, dipasung, politik, abdi partai, hamba partai, ayam, serigala, macan, gajah, cita suku, negara, begulat, posisi, birokrasi, picik, peta, lusuh, rancu, halal, hati nurani, abu, fitrah. Berbeda dengan puisi “Maskumambang” kembali nadanya turun bahkan terkesan sedih, kata-kata yang dipilih mengarah ke hal tersebut. Seperti kata-kata kabut fajar,
bunga
bintaro,
perpustakaan,
melehkan
air
mata,
“Maskumambang”, angkatan pongkah, tata buku, spekulasi, zaman edan, terhempas waktu, tercampak di selokan zaman, bangsa kita kini seperti dadu,
kaleng
utang,
adikuasa,
comberan
peradaban,
compang-
camping/bangsa rapuh, lencana politik, udara yang ramah menyapu tubuhku, kumbang. b. Pengimajian/Pencitraan Dalam sebuah karya sastra berjenis puisi ada tiga unsur yang keberadaannya tidak dapat terpisahkan, artinya ketiganya harus selalu berdampingan. Ketiganya adalah diksi, pengimajian, dan kata konkret.
46
Diksi yang dipilih harus menimbulkan pengimajian/pencitraan karena dengan itu kata-kata yang digunakan akan lebih konkret dan lebih mudah untuk dipahami melalui penglihatan, pendengaran, dan citra rasa, sehingga larik yang membentuk bait seolah-olah mengandung gema suara (imaji auditif), benda dapat dibayangkan seolah nyata (imaji visual), dan sesuatu tersebut seolah-olah dapat kita sentuh, raba, dan kita rasakan (imaji taktil). Pada kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya Rendra ini, ketiga pencitraan tersebut terlihat jelas keberadaanya. Misal, pada puisi “Inilah Saatnya” penglihatan (imaji visual) seperti pada kutipan berikut: Melepas sepatu yang penuh kisah/ Meletakan ransel yang penuh masalah/ Bola-bola api tak terkendali/ Meletakan kelewang dan senapan/ Makan sayur urap/ Minum teh poci/ Menatap pohonpohon/ Dari jendela yang terbuka/ Masing-masing pihak menanggalkan pakaian dan lencana golongan/ Menyadari keindahan kupu-kupu berterbangan/ Bunga-bunga di padang belantara/ Membaca buku sejarah/ Di antara tiga gunung. (hlm. 89) Dari kutipan di atas, kata-kata yang digunakan memunculkan imaji visual, solah-olah kita dapat melihat orang yang sedang melepas sepatu, meletakan ransel, makan sayur, bahkan melihat keindahan kupu-kupu beterbangan. Sementara pada puisi “Hak Oposisi” citraan penglihatan (imaji visual) tergambar pada kutipan: Adalah tugasmu untuk membuktikan bahwa kebijaksanaanmu pantas mendapat dukungan/ Adalah tugasmu untuk menyusun peraturan/ Oposisi adalah jendela bagi kamu/ Oposisi adalah jendela bagi kami. (hlm. 11) Sedangkan pada puisi “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon” imaji visual lebih terasa pada pilihan kata-kata bernada kritikan, sebagaimana pada kutipan: Pembangunan telah dilangsungkan/ bahwa di Jakarta langit kelabu hambar dari ufuk ke ufuk/ rembulan muncul pucat seperti istri birokrat yang luntur tata riasnya/ sungai mengandung penghianatan/ dan samudera diperkosa/ para pangeran baru kdan
47
menghentak-hentakan kaki ke bumi/ matahari menyala dan bagaikan berdendam/ bumi kering/ lalu mastodon-mastodon akan menyerbu kota/ mereka akan menghabiskan semua berasa dan jagung, mereka akan anak-anak kecil/ mereka akan makan gedung dan jembatan/ toko-toko, pasar-pasar/ sekolah-sekolah/ masjidmasjid/ gereja-gereja/ bangkitnya kaum pengemis atau munculnya bencana alam.(hlm. 12-15) Dari kutipan diatas, kita bisa merasakan dari apa yang seolah-olah kita lihat ketika Mastodon-mastodon melahap semua yang ada dihadapannya. Pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” mengingatkan kembali ingatan kita pada peristiwa yang terjadi pada masa itu, bagaimana bangsa ini jadi bringas, kasar, dan seolah tidak memiliki hati nurani. Penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan seolah lumrah terjadi. Penglihatan kita tertuju pada bayangan kelam pada masa itu, ini terlihat jelas pada kutipan: Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja/ bangkai-bangkai tergelak lengket di aspal jalanan/ o, malam kelam pikira insan/ kitab undang-undang tergeletak di selokan/ apabila pemerintah sudah menjarah daulat rakyat/ apabila cukong-cukong menjarah ekonomi bangsa/ apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan/ maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa/ lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya/ air mata mengalir dari sajaku ini. (hlm. 20-21) Bayangan kesedihan dan perasaan mencekam, kita bayangkan dari kata-kata pada kutipan di atas, bagaimana bangkai-bangkai tidak terurus begelimpangan di mana-mana, perasaan sedih tergambar pada kata-kata aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya. Sementara pada puisi “Politisi itu Adalah” imaji visual terlihat pada kutipan: Para politisi itu berpakaian rapi/ mereka turun dari mobil langsung tersenyum atau melambaikan tangan/ di muka kamera televisi mereka mengatakan bahwa pada umunya keadaan baik/ ada orag memakai topi/ kadang-kadang mereka menggerakan
48
demonstrasi/ lalu ia mengirim karangan bunga/ para politisi suka hari cerah, suka khalayak ramai, dan bendera-bendera/ ada orang suka nasi/ ada orang suka roti/ tetapi politisi makan apa saja asal sambil makan ia duduk di singgasana/ yah, kalau melihat Indonesia dewasa ini, para mahasiswa dibunuh mati dan lalu. (hlm. 27-28) Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” kata-kata bernada kritikan dimunculkan, sehingga menimbulkan suasana pemberontakan hati kepada pembaca. larik-larik pada puisi tersebut membentuk pengimajian hingga memunculkan imaji visual, sebagaimana kutipan: O, lihatlah wajah-wajah berdarah dan rahim yang diperkosa/ muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak poranda/ rakyat yang tanpa hukum bukanlah rakyat merdeka/ ayam, serigala, macan, ataupun gajah/ tetapi lihatlah selubung kabut saat inipara elit politik yang berkedudukan ataupun yang masih di jalan/ maka sekarang negara tingagl menjadi peta/ itupun peta yang lusuh dan hampir sobek pula/ dusta, pencurian, penjarahan, kekerasan halal/ manusia sekedar semak belukar yang gampang dikacau dan dibakar. 34-38) Larik-larik pada kutipan di atas, memaksa kita untuk melihat kejadian yang mengerikan seperti wajah-wajah berdarah dan rahim yang diperkosa, dengan picik mereka akan mendaur ulang malapetaka bangsa dan negara. Berbeda dengan puisi “Maskumambang”, larik-larik tersebut menimbulkan pencitraan perasaan sedih, sehingga memunculkan imaji visual, sebagaimana kutipan: Kabut fajar menyusut secara perlahan/bunga bintaro berguguran di halaman perpustakaan/ di tepi kolam di dekat rumpun keladi, aku duduk di atas batu, melelehkan air mata/ lesu dipangku batu/biarpun tercampak di selokan zaman/bangsa kita kini seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utang/ pasar dibakar/ kampung dibakar/gubug-gubug gelandangan dibongkar/restoran dibakar/toko dibakar/gereja dibakar/kaerna politik tidak punya kepala/tidak punya telinga/matahari yang merayap naik dari ufuk timur/ ia melhat pipiku yang basah oleh air mata. (hlm. 58-60)
49
Sementara imaji auditif, indra yang digunakan lebih kepada pendengaran. Pada puisi-puisi dalam Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu ini tidak terlalu banyak terasa. Pada puisi “Inilah Saatnya” misalnya, tergambar pada kuripan “duduk bersama dan bicara, lalu berunding”. Suara orang yang berbicara, terdengar jelas pada kata yang digunakan pada kutipan tersebut. Puisi “Hak Oposisi” tergambar pada kutipan “kamu wajib memasang telinga/ untuk mendengar nurani kami”, larik ini jelas mengambarkan pencitraan pendengaran, kita dipaksa memasang telinga untuk mendengar sesuatu. Lalu pada puisi “Kesaksian tentang Mastodonmastodon”, pencitraan pendengaran tergambar pada kutipan: “sumpah serapah keluar dari mulut sopir taksi/ bila rakyat bicara memang bising dan repot/ diberi tambal sulam dengan gombal-gombal khayalan baru/ aku bertanya: apakah ini gambaran kesejahteraan dari gambaran yang mulia”. Pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, tergambar pada kutipan: “Amarah merajalela tanpa alamat/ Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara”. Sementara, pada puisi “Politisi itu Adalah” imaji auditif lebih terasa, sebagaimana pada kutipan: Dan mereka juga mengatakan bahwa mereka akan memimpin bangsa ke arah persatuan dan kemajuan/ “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” itu kata rakyat jelata/ “kuman di seberang lautan harus tampak, gajah di pelupuk mata tembak saja, sebab ia menggangu pemandangan”/ dan mereka berkata: bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat/ / lalu mereka akan berkata: “kaum oposisi harus bersatu menggalang kekuatan demi perjuangan, dan sayalah yang akan memimpin kalian”/ lalu ada politisi berkata pada saya:” Mas Willy, sajakmu seperti prosa/tidak mengandung harapan, tidak mengandung misteri”. (hlm. 27-29) Larik-larik pada kutipan tersebut, memunculkan pengimajian pendengaran, sehingga seolah-olah kita mendengarkan apa yang
50
dibicarakan oleh para politisi tersebut. Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” pencitraan yang muncul tergambar pada kutipan: Ratap tangis menerpa kalbuku/ di atas atap nalar pikiran/ yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam/ aku menyerukan namamu: wahai para leluhur nusantara/ mereka hanya rusuh dan gaduh memperjuangkan kedaulatan golongan dan rakyatnya sendiri/ paket-paket pikiran murah dijajakna/ penalaran amarah yang salah mendorong rakyat terpecah belah. (hlm. 35-38) Bayangan kesediahan, kita rasakan pada kata-kata ratapan tangis, rakyat terpecah belah, memaksa perasaan kita untuk ikut bersedih dengan keadaan tersebut. Tidak berbeda jauh dengan puisi “Maskumambang”, pencitraan pendengaran tergambar jelas pada kutipan “Cucu-cucuku/ zaman macam apa, peradaban macam apa/negara gaduh/berdengung sepasang kumbang di udara/”Mas Willy” istriku datang menyapa/”Sssh, diam!” bisik istriku/”jangan menangis, tulis sajak jangan bicara”. Rendra pada puisi-puisinya dalam Kumpulan puisi Doa Untuk Anak Cucu ini, banyak memunculkan imaji taktil untuk menghidupkan puisinya, yaitu imaji yang berhubungan dengan cita rasa. Pada puisi ““Inilah Saatnya” ” pencitraan tersebut muncul pada kutipan: Dan mandi mengusir rasa gerah/ Menenangkan jiwa yang gelisah/ Yang membentur diri sendiri/ Makan sayur urap/ Minum teh poci/ Sadar akan rekaman perbuatan/ Memahami dan menghayati/ Menyadari keindahan kupu-kupu berterbangan/ Lembutnya daging susu ibu/ Memeluk rembulan. (hlm. 8-9) Pada puisi “Hak Oposisi” imaji taktil atau pencitraan citra rasa, dimunculkan lewat kata-kata bernada kritikan, sebagaimana kutipan: Aku bilang tidak/ aku bilang ya/ menurut nuraniku/ kamu tidak bisa mengganti nuraniku dengan peraturan/ tapi dukungan-tidak bisa kamu paksakan. (hlm. 11) Sementara, pada puisi “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon” begitu terasa sekali imaji taktilnya, seperti pada kutipan:
51
Keluh kesah menjadi handuk bagi buruh dan kuli/ tirani dan pemusatan/ adalah naluri dan kebudayaan pejabat dan pegawai/ kekukuhan dibina/ tetapi mobilitas rakyat dikorbankan/ hidup menjadi lesu dan macet/ ketenagan di jaga/ hidup menjadi muram tanpa pilihan/ filsafat mati/ karena nalar dicurigai dan diawasi/ tanpa bisa dituntut/ tanpa bisa dadili secara terbuka/ semua akan hancur/ selalu waswas/ tidak bisa tidur.(hlm. 12-14) Ditampilkannya kata-kata rakyat “dikorbankan, hidup lesu, macet, muram, filsafat mati, selalu was-was” memunculkan perasaan ngeri, sedih, dan mencekam. Sedangkan pada puisi Sajak Bulan Mei 1988 di Indonesia perasaan sedih begitu terasa, sebagamana tergambar pada kutipan: Ketakutan muncul dari sampah kehidupan/ pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah/ kepastian hidup terhuyunghuyung dalam comberan/ o, sihir berkilauan dari mahkota rajaraja!/ dari sejak zaman Ibrahim dan Musa/ o, kebingunan yang muncul dari kabut ketakutan!/ o, putus rasa putus asa yang terbentur sangkur/bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata:/ cadar kabut duka cita menutup wajah ibu pertiwi. (hlm. 20-21) Sementara, pada puisi “Politisi itu Adalah”, imaji taktil muncul pada kutipan: Memang tanpa mereka tak akan ada negara/ jadi terpaksa ada hitler, Netanyahu, Amangkurat II, Stalin, Marcos, dan sebagainya/ politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi, sedang masa tanpa daulat pribadi. (hlm. 28-29) Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” pencitraan ini lebih terasa, kata-kata bernada kritikan menimbulkan perasaan marah, sebagaimana kutipan: Bau anyir darah menganggu tidur malamku/ hak hukum yang tidak dilindungi oleh lembaga pengadilan yang mandiri adalah hukum yang ditulis di atas air/ dan partai-partai politik menganggap rakyat hanya abdi partai yang dinamakan massa plotik partai! mereka tidak peduli dengan posisi rakyat/ tidak peduli pada posisi hukum,posisi polisi, ataupun posisi biroksasi/ negara tak mungkin
52
diutuhkan tanpa rakyatnya dimanusiakan/ dan manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya/ hati nurani adalah hukum adil untuk diri kita sendiri/hati nurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan pribadi. (hlm. 3439) Sementara, pada puisi “Maskumambang” aroma kesedihan justru lebih terasa, seperti tergambar pada kutipan: Jiwaku menyayi tembang “Maskumambang”/ kami adalah angkatan pongkah/tetapi aku keras bertahan mendekap akal sehat dan suara jiwa/ meyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan/ o, martabat bangsa yang kini compang-camping/ kekuasaan kekerasan merajalela/atas nama semangat agama yang berkobar/ meskipun hidup berbagsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal/udara yang ramah menyapa tubuhku/menyebar bau bawang yang digoreng di dapur.(hlm. 58-60) Pilihan-pilihan
kata
yang
mewakili
perasaan
penyair
direpresentasikan ke dalam gambaran konkret, agar pembacara seolah-olah mendengar sesuatu, melihat sesuatu, dan seolah-olah merasakan sentuhan perasaan. Dengan kepandaian penyair memilih kata-kata, sehingga puisi yang dihasilkan memilki makna yang dalam, memilki daya tarik terhadap pembaca, dan memilki nilai estetika yang tinggi. c. Kata Konkret Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret juga erat hubungannya dengan kiasan, simbol, dan lambang. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan imaji pembaca. Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian, maka kata konkret merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian tersebut. Pada puisi “Inilah Saatnya” , untuk memperkonkret kelelahan, Rendra menggunakan kata-kata “melepaskan, meletakan, meletakan menanggalkan”, dari kata-kata tersebut jelas tergambar bagaimana perasaan penyair dalam hal ini Rendra mewakili perasaannya yang lelah dengan apa yang menimpa nasib bangsa ini, banyak orang atau kelompok
53
tertentu yang hanya memikirkan dirinya dan golongannya tanpa memikirkan nasib banga, sedangkan untuk memperkonkret perasaan gerah digunakan kata-kata “mandi “, ini mengambarkan penyair tidak nyaman dengan keadaan yang terjadi, sementara untuk perasaan kelelahan digunakan kata seperti menenangkan, minum”, ini menggambarkan perasaan penyair yang lelah melihat nasib bangsa ini yang terus-terus mengalami apa yang disebut dengan “Up and down”, mengenai nasib bangsa yang dipimpin oleh orang yang kurang bertanggung jawab. Di Puisi “Hak Oposisi”, Rendra untuk memperkonkret kemarahan dengan menggunakan kata-kata “tidak, pantas, memasang, mendengar”. Kata-kata ini digunakan untuk mewakili perasaan marah penyair. Sementara, pada puisi “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon” penyair dalam hal ini Rendra, menggunakan kata-kata “pucat, diperkosa/ mati, pembodohan” untuk memperkonkret kesedihan, sedangkan untuk memperkonkret kegelisahan dipilih kata-kata “kesah, lesu, macet, tegang, terkekang, muram”, lalu untuk memperkonkret kritikan dipilih kata-kata “penghianatan, bersekutu, cukong, kedudukan, tirani, pejabat, menguasai, kekukuhan, dikorbanka, penghayatan, dikekang, durhaka, pembangkang, pembodohan, dicurigai, munafik, kemarau”. Kata-kata bernada kritikan terhadap para penguasa yang rakus akan kekuasaan tanpa memikirkan bangsa dan negara. Pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, untuk memperkonkret duka, Rendra menggunakan kata-kata “Bangkai-bangkai, jalanan, kusut, koyak moyak, tergeletak, selokan, comberan, putus asa, gelap, air mata”, kata-kata tersebut mengambarkan kesedihan rakyat pada masa itu, sedangkan untuk memperkonkret amarah, digunakan kata-kata “Amarah, edan, tipu, daya”, lalu untuk memperkonkret rasa religiusitas, dipilih kata-kata “Allah”, sementara untuk memperkonkret kritikan digunakan kata-kata “fatamorgana, kekuasaan, mahkota, pemerintah, menjarah,
aparat,
terkekang,
penjarah”.
Kata-kata
tersebut
mengambarkan kritikan penyair terhadap para penguasa yang dzalim,
54
aparat keamanan yang bukan membuat keamanan malah membuat ketidaknyamanan. Dalam puisi “Politisi itu Adalah” Rendra menggunakan kata-kata “politisi, rapi, mobil, libur, singasana, kekuasaan, martabak atau lumpia” untuk memperkonkret kritikan, sedangkan untuk memperkonkret ketidak percayaan digunakan kata-kata “direkayasa, persatuan dan kemajuan”. Ini jelas bagaimana nada sinis seorang rendra terhadap para penguasa. Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” untuk memperkonkret amarah, Rendra menggunakan kata-kata “berdarah, diperkosa, porak poranda, kejahatan, pengadilan. Kekerasan, berak, berdahak, pendangkalan, rancu, dusta, pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal, dibakar”, lalu untuk memperkonkret bertengkar”,
kesedihan
kata
“ratap”
digunakan untuk
kata-kata
mengambarkan
“ratap,
tangis,
kesedihan
yang
mendalam, sedangkan untuk memperkonkret kritikan digunkan kata-kata “bersaksi, rakyat , merdeka, melecehkan, menekan, jajahan, penjajahan, partai-partai, merajalela, elit politik, rusuh dan gaduh, mendaur ulang, malapetaka, pikiran murah, dijajakan, terpecah belah”, kata tersebut dengan jelas mengambarkan krtitikan terhadap para elit politik yang tidak mementingkan kemerdekaan rakyat, malah sibuk dengan kepentingan pribadi dan golongannya saja. Sedangkan pada puisi “Maskumambang” Rendra menggunakan kata-kata “Bunga bintaro, berguguran, melehkan, air mata, zaman edan, kekuasaan, kekerasan, merajalela, dibakar, dibongkar/restoran dibakar, menangis”,
untuk
memperkonkret
kesedihan,
sedangkan
untuk
memperkonkret kritikan digunakan kata-kata “dadu, terperangkap, kaleng utang, tanpa kedaulatan, comberan, compang-camping, peradaban dangkal”, dari kata-kata tersebut dengan jelas penyair mengekpresikan kritikannya dengan keras. d. Bahasa Figuratif Bahasa figuratif adalah bahasa yang penuh dengan kiasan. Bahasa yang
demikian
dapat
menghidupkan,
meningkatkan
efek,
dan
55
menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif akan menyebabkan puisi menjadi prismatik. Dengan bahasa yang demikian puisi tersebut akan memancarkan makna yang terpancarkan tersebut sangat ditentukan oleh daya imaji penulis atau pembaca puisi yang bersangkutan. Di dalam penelitian puisi, bahasa figuratif muncul dalam bentuk majas. Di dalam Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, banyak sekali majas-majas yang digunakan oleh Rendra. Rendra dalam penggunaaan majas tersebut selalu memperhatikan tema, artinya majas-majas yang terdapat dalam karyanya disesuaikan dengan tema puisi yang bersangkutan. Pada puisi “Inilah Saatnya” ” dari hasil analisis, ditemukan beberapa majas, diantaranya: personifikasi, sinekdoce part pro toto, hiperbola, dan retoris. Majas personifikasi terdapat pada larik-larik berikut: Menjadi jeladri dendam, luka yang timbul panjang buntutnya, di antara tiga gunung, memeluk rembulan. Pada larik-larik tersebut tergambar jelas seolah-olah benda mati memiliki sifat seperti manusia, itulah yang dinamakan dengan personifikasi, yaitu memanusiakan benda mati. Sedangkan majas sinekdoce part pro toto yaitu majas yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan terdapat pada larik-larik berikut: Masing-masing pihak menanggalkan pakaian/menanggalkan lencana golongan/lalu duduk bersama/masing-masing pihak hanya memihak pada kebenaran. Kata “masing-masing pihak” menunjukan kepada sebagian pihak yang melakukan hal tersebut, tetapi untuk mewakili semua pihak. Majas hiperbola digunakan untuk melebih-lebihkan sesuatu dengan tujuan agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca. Untuk melebih-lebihkan sifat jelek yang dikritik, Rendra membuat hiperbola seperti pada larik berikut: Bola-bola api tak terkendali/yang membentur diri sendiri/dan memperlemah perlawanan. Sementara retoris digunakan untuk sebuah pertanyaan yang tidak perlu jawabannya, seperti pada kutipan “Bagaimana akan membetulkannya”.
56
Sementara pada puisi “Hak Oposisi”, Rendra lebih banyak menggunakan majas hiperbola, tujuannya untuk melebih-lebihkan kejelekan sifat pihak yang dikritiknya, sebagaimana pada larik-larik berikut: Tanpa oposisi: kamu akan terasing dari kami/ tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu tentang dirimu/ tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani. Sedangkan paralelisme terdapat pada larik: Oposisi adalah jendela bagi kamu, oposisi adalah jendela bagi kami. Pada puisi “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon” banyak digunakan ironi, sebagaimana terlihat pada larik-larik berikut: Kekukuhan dibina, tetapi mobilitas masyarakat dikorbankan/ ketenangan dijaga, tetapi rakyat tegang dan terkekang/ hidup muram, tanpa pilihan/ bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai filsafat mati/ dan penghayatan dikekang/ diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi/ kepatuhan diutamakan/ kesangsian dianggap durhaka/ dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkang/ pembodohan bangsa akan terjadi karena nalar dicurigai dan diawasi/ gajah-gajah telah menulis hukum dengan tintat yang munafik/ mereka mengangkang dengan angker dan perkasa/ tampa bisa diperiksa/ tanpa bisa dituntut/ tanpa bisa diadili secara terbuka/ seandainya kiamat akan terjadi di negeri ini, maka itu akan terjadi tidak dengan pertanda bangkitnya kaum pengemis, tetapi akan terjadi dengan perrtanda saling bertempurnya mastodon-mastodon. Majas-majas tersebut digunakan untuk mewakili kritikan penyair terhadap para penguasa. Sementara majas yang lain, seperti personifikasi tergambar pada larik-larik: Rembulan muncul pucat seperti istri birokrat yang luntur tata riasnya/ sungai mengandung penghianatan/ dan samudera diperkosa/ gajah-gajah telah menulis hukum dengan tinta yang munafik/ matahari menyala bagai berdendam/ bumi kering/ alam protes dengan kemarau yang panjang. Majas simile terlihat pada larik-larik: Bagaikan para pangerang di zaman prailmiah/ bagaikan gajah para pejabat menguasai semua rerumputan. Sinekdoce pars pro toto, untuk menggambarkan sebagian untuk keseluruhan, ini terlihat pada larik-larik: Para pangeran
57
baru bersekutu dengan para cukong asing, para pedagang pribumi hanya bisa menjual jasa atau menjadi tukang kelontong/ dan mereka akan saling mencurigai. Sementara untuk melukiskan ketegangan sebagian rakyat, Rendra menggunakan totem pro parte pada larik “Bila rakyat bicara memang bising dan repot/ ketenangan dijaga tetapi rakyat tegang dan terkekang/ semuanya akan hancur”. Untuk melebih-lebihkan kejelekan Mastodon, Rendra menggunkan hiperbola, seperti pada larik: Mereka mengangkang dengan angker dan perkasa/ mastodon-mastodon yang masuk yang masuk ke laut dan menghabiskan semua ikan/ mereka akan mengabiskan semua beras dan jagung, Mastodon-mastodon akan menyerbu kota. Sedangkan retoris terlihat pada larik ” Apakah ini gambaran kesejahteraan dari bangsa yang mulia?”. Pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, Rendra menggunakan beberapa majas, diantaranya personifikasi, seperti terlihat pada larik “Amarah merajalela tanpa alamat”. Amarah disifati seperti manusia, melontarkan kemarahannya kemana-mana, siapa saja bisa terkena amarahnya”. Sementara untuk melukiskan ketamakan cukongcukong rendra menggunakan sinekdoce pars pro toto, seperti pada larik: Apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa/ apabila aparat kemanan sudah menjarah keamanan/ wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!. Lalu untuk melukiskan sebagian pejabat yang dzalim, digunakan totem pro parte pada larik-larik: Apabila pemerintah sudah menjarah daulat rakyat/ maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa, lalu menjarah di pasar dan jalan raya. Untuk melebih-lebihkan kengerian digunakan hiperbola, seperti pada larik “Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan/ koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan/ air mata mengalir dari sajakku ini”. Sementara, retoris terlihat pada larik “Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?/ apakah masih akan menipu diri sendiri”. Untuk melukiskan kritikan kepada penguasa, digunakan ironis, sebagaimana larik “Kitab undang-undang
58
tergeletak di selokan/ kepastian hidup terhuyung dalam comberan/cadar kabut duka”. Sementara untuk melukiskan kiasan langsung, Rendra menggunakan metafora, terlihat pada larik “Berhentilah mencari ratu adil/ ratu adil itu tidak ada/ ratu adil itu tipu daya”. Pada
puisi
“Politisi
itu
Adalah”,
Rendra
lebih
banyak
menggunakan majas ironi, hal ini dilakukan untuk lebih menekankan kritikan kepada para politisi. Adapun majas tersebut dapat diliha pada larik-larik:
Mereka
turun
dari
mobil
langsung
tersenyum
dan
melambaikan tangan/ di muka kamera televisi mereka mengatakan bahwa pada umumnya keadaan baik/ dan mereka juga mengatakan bahwa mereka akan memimpin bangsa ke arah persatuan dan kemajuan/ kadangkadang mereka anti demonstrasi/ kadang-kadang mereka menggerakan demonstrasi. Sedangkan majas yang lain seperti hiperbola, terlukis pada larik “Memang tanpa mereka tak ada negara/ bahwa mereka akan memimpin bangsa ke arah persatuan dan kemajuan. Selain itu ada juga majas sinekdoce, pars pro toto terlihat pada larik “Para politisi berpakaian rapi/ para politisi suka memakai semuanya/ para politisi suka hari cerah, suka khalayak ramai/ politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi. Hal ini untuk melukiskan, semua politisi itu lebih senang berpakaian rapi, yang hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi. Totem pro parte tergambar pada larik “Semua politisi mencintai rakyat”. Sementara majas pleonasme tergambar pada larik “Para mahasiswa dibunuh mati”. Hal ini digunakan untuk lebih memberikan penekanan bahwa mahasiswa itu di aniaya hingga mati. Sementara pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” digunakan majas personifikasi, ini digunakan untuk memberi efek keindahan dengan menyifati benda mati seperti manusia, seperti tergambar pada larik-larik: Bau anyir darah menganggu tidur malamku/ lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam/ kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan/ kekuasaan kekerasan berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan/ dan penjajahan oleh partai-partai politikmasih meraja lela di
59
dalam negara!. Hiperbola pada puisi ini digunakan untuk melebihlebihkan sifat jelek para penguasa, seperti tergambar pada larik “Dengan picik mereka akan mendaur ulang malapetaka bangsa dan negara yang telah terjadi!/ o, Indonesia! Ah, Indonesia negara yang kehilangan makna”. Majas sinekdoce pars pro toto banyak dimunculkan pada puisi ini, ini digunakan untuk melukiskan para elit politik yang tidak pernah memperjuangkan aspirasi rakyat, mereka lenih mementingkan kepentingan golongan dan partainya sendiri, sebagaimana tergambar pada larik-larik: Para elit politik yang berkedudukan ataupun yang masih di jalan/ tidak pernah memperjuangkan sarana-sarana kemerdekaan rakyat/ mereka hanya rusuh dan gaduh memperjuangkan kedaulatan golongan dan partainya sendiri/ mereka tidak peduli dengan posisi rakyat/ tidak peduli pada posisi hukum,posisi polisi, ataupun posisi biroksasi/ dengan picik mereka akan mendaur ulang malapetaka bangsa dan negara yang telah terjadi!. Sedangkan totem pro parte tergambar pada larik “Dengan puisi ini aku bersaksi bahwa rakyat indonesia belum merdeka rakyat yang tanpa hak hukum bukanlah rakyat merdeka/ rakyat sudah dirusak asas tatanan hidupnya/ manusia sekadar semak belukar yang gampang dikacau dan dibakar”. Selain itu dimunculkan pula majas ironi, untuk lebih menekankan kritikan, seperti tergambar pada larik-larik: Bagaimana rakyat bisa merdeka/ bila birokrasi negara/ bila hak pilihan mereka di pasung/ bila pemerintah melecehkan perdagangan antar daerah/ sehingga rela menekan kesejahteraan buruh, petani, nelayan, guru, dan serdadu berpangkat rendah/ bila provinsi sekadar tanah jajahan pemerintah pusat/ pendangkalan kehidupan bangsa telah terjadi/ tata nilai rancu/ dusta, pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal/ paket-paket pikiran murah dijajakan/
negara
tak
mungkin
diutuhkan
tanpa
rakyatnya
dimanusiakan/dan manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya. Sedangkan majas metafora digunakan untuk
60
membandingkan secara langsung, seperti tergambar pada larik “Hati nurani adalah hakim adil untuk diri kita sendiri/ hati nurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan peribadi”. Pada puisi “Maskumambang” Rendra memunculkan majas retoris, untuk melemparkan sebuah pertanyaan kepada pembaca, seperti tergambar pada larik” Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian?”. Sementara hiperbola juga dmunculkan, seperti tergambar pada larik “Kami adalah bangsa pongkah/o, comberan peradaban!”. Personifikasi juga digunakan untuk menghidupkan suasana, sebagaimana tergambar pada larik “Cita-cita kebajikan terhempas waktu/ matahari yang merayap naik dari ufuk timur/ udara yang ramah neyapa tubuhku”. Sinekdoce pars pro toto juga digunakan oleh Rendra, seperti pada larik” Kami adalah angkatan pongkah/kami tidak mampu membuat rencana/menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan”. Totem pro parte tergambar pada larik” Bangsa kita kini seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utang yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa”, untuk melukiskan sebagian bangsa kita yang seperti dadu dalam kaleng yang diobok-obok oleh bangsa adikuasa, seperti bangsa yang tidak punya harga diri. Sementara ironi digunakan untuk mengambarkan secara sinis ketidak adilan, sepeti pada larik-larik: Pasar dibakar/ kampung dibakar/gubug-gubug gelandangan dibongkar/ tanpa adanya ganti tanpa diganti/ semua atas nama takhayul pembangunan/restoran dibakar/toko dibakar/gereja dibakar/atas nama semangat agama yang berkobar. e. Versifikasi Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah persamaan bunyi pada sebuah puisi, baik persamaan bunyi di awal, tengah, atau di bagian akhir baris puisi. Persoalan rima mencakup onomatope atau tiruan terhadap bunyi, bentuk inten pola bunyi, misalnya: aliterasi, asonasi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak
61
penuh, repetisi bunyi atau kata dsb. Sementara, rima adalah alunan bunyi di dalam pembacaan suatu puisi. 1) Onomatope Onomatope pada sebuah puisi untuk memberikan efek makna tertentu. Pada puisi “Inilah Saatnya” , onomatope tergambar pada larik: Melepaskan sepatu yang penuh kisah meletakan ransel yang penuh masalah dan mandi mengusir rasa gelisah menenangkan jiwa yang gelisah. Pada larik pertama dan kedua bunyi /a/ cukup dominan, bunyi yang dominan pada larik berikutnya, bunyi /h/, bunyi yang ditimbulkan oleh hurup konsonan mampu menciptakan suasana kelelahan. Sementara pada puisi “Hak Oposisi”, onomatope tergambar pada larik: Tanpa oposisi: kamu akan terasing dari kami Tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu tentang dirimu Tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani Keluh kesah menjadi handuk bagi buruh dan kuli kebudayaan priyayi tempo dulu diberi tambal sulam dengan gombal-gombal khayalan baru Bunyi pada larik-larik tersebut lebih dominan bunyi /u/, bunyi /s/ dan /m/ muncul untuk mempertegas keluh kesah. Pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, onomatope terlihat pada larik-larik: O, zaman edan Kitab undang-undang tergelak di selokan Kepastian hidup terhuyung dalam comberan Hukum adil adalah bintang pedoman di dalam prahara Bau anyir dara yang kini memenuhi udara
Bunyi /a/ dominan pada larik tersebut, sementara untuk konsonan lebih dominan bunyi /g/ dan /n/ , hal ini untuk mempertegas kritikan bernada sinis. Pada puisi “Politisi itu Adalah” onomatope muncul untuk mempertegas kritikan, seperti pada larik-larik: Ada orang memakai topi Ada orang memakai peci Ada orang memakai dasi
62
Kadang-kadang mereka anti demonstrasi Kadang-kadang mereka menggerakkan demonstrasi Lalu ia mengirim karangan bunga Dan mengucapkan duka cita Ada orang suka nasi Ada orang suka roti Sampai di sini Puisi ini saya sudahi Larik-larik tersebut di dominasi oleh bunyi /i/, sehingga sajaknya terlihat beriramam. Pada larik keempat dan kelima bunyi /ng/ mempertegas kritikan terhadap para politisi yang bertindak jika menguntungkan golongannya. Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad”, onomatope terdapat pad larik-larik berikut: Ratap tangis menerpa pintu kalbuku, bau anyir darah mengganggu tidur malamku O, tikar tafakur, o, bau sungai tohor yang kotor leluhur dari kebudayaan air!, kedua wangsamu telah mempersekutukan budaya tanah dan air Bila hak pilih mereka dipasung, tidak boleh memilih secara langsung Setiap orang juga ingin berdaulat di dalam rumah tangganya Setiap penduduk ingin berdaulat di dalam kampungnya rakyat sudah dirusak asas tatanan hidupnya, Berarti sudah dirusak dasar peradabannya Dan akibatnya dirusak pula kemanusiannya Bunyi /u/ mempertegas kegelisahan, bunyi /o/ menimbulkan efek desisan yang kuat jika dibacakan, sementara bunyi /t/ pada larik berikutnya mempertegas kritikan ditambah lagi dengan bunyi /k/. Pada puisi “Maskumambang” larik-larik berikut menunjukan tiruan bunyi atau onomatope yang menimbulkan efek tertente pada puisi tersebut. Bunga bintaro berguguran Di halaman perpustakaan Negara gaduh bangsa rapuh Restoran dibakar Toko dibakar Gereja dibakar Atas nama semangat agama yang berkobar
63
Bunyi /u/ pada larik pertama menunjuksn kesedihsn, sedangkan bunyi /h/ dan /r/ pada larik berikutnya juga mempertegas kesedihan yang mendalam. Penyair menunjukan keesedihannya melihat kerusuhan terjadi dimana-mana, yang sangat menyedihkan lagi masalah tersebut akibat dari masalah yang seharusnya dijadikan sebagai kekayaan budaya bangsa, namun masalh itu selalu dimunculkan dari dahulu hingga sekarang, yaitu masalah sara, kependekan dari suku, agama, ras, dan antargolongan. 2) Bentuk intern pola bunyi Pada puisi “Inilah Saatnya” , dalam hal bentuk internal pola bunyi ini diyinjau dari unsur pengulangan atau persamaan bunyi (konsonal dan vokal), sebagaimana larik-larik berikut: Dan memperlemah perlawanan Sebab seharusnya perlawanan Membuahkan perbaikan/bukan sekedar penghancuran Tetapi kalau senjata salah bicara Luka yang timbul panjang buntutnya Dan bila akibatnya hilang nyawa Bagaimana akan membentulkannya Pada larik kedua ada persamaan suku kata (konsonan) awal /se/ pada sebab dan seharusnya, pada larik ketiga akhiran /an/ sangat dominan pada kata Membuahkan, perbaikan, bukan, dan penghancuran. Pada larik kelima persamaan konsonan /ng/ pada kata yang dan panjang. Sementara pada puisi “Keaksian tentang Mastodonmastodon” persamaan suku (konsonan) terdapat pada larik-larik berikut: Sumpah serapah keluar dari mulut sopir taksi memonopoli alat berproduksi dan kekuatan distribusi/ Tetapi rakyat tegang dan terkekang Pembodohan bangsa akan terjadi Karena nalar dicurigai dan diawasi Pada larik pertama persamaan konsonan /s/ terdapat pada kata sumpah, serapah, dan sopir, sedangkan persamaan suku kata /pah/ pada akhir kata sumpah dan serapah. Persamaan vokal /i/ pada
64
larik kedua terdapat pada akhir kata monopoli, produksi, dan distribusi. Sementara persamaan suku kata /ng/ pada larik ketiga terdapat pada akhir kata tegang dan terkekang, sedangkan suku kata /di/ pada larik kelima terdapat pada kata dicurigai dan diawasi. Pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” bentuk ini terdapat pada larik-larik berikut: O, malam kelam pikiran insan Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan O, tatawarna fatamorgana kekuasaan O, rasa putus asa yang terbentur sangkur Larik larik petama ada persamaan suku kata /lam/ pada akhir kata malam dan kelam, dan suku kata /an/ pada kata pikiran dan insan. Pada larik kedua persamaan suku kata /yak/ pada akhir kata koyak dan moyak, sedangkan pada larik ketiga persamaa suku kata /na/ terdapat pada akhir kata tatawarna dan fatamorgana, sedangkan vokal /o/ terjadi pada awal larik pertama, ketiga dan keempat. Pada larik keempat ada persamaan suku kata /sa/ pada akhir kata rasa dan asa, sementara persamaan suku kata /ur/ terdapat pada akhir kata terbentur dan sangkur. Sedangkan pada puisi “Politisi itu Adalah” bentuk intern pola bunyi terdapat pada larik” Itu kata rakyat jelata/ tapi politisi akan makan apa saja”, pada larik pertama persamaan suku kata /ta/ terdapat pada kata jelata dan kata, pada larik kedua persamaan vokal /i/ terdapat pada akhir kata tapi dan politisi. Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” persamaan ini terdapat pada larik-larik berikut: O, bau sungai tohor yang kotor telah kamu ajarkan aturan permainan O, lihatlah wajah-wajah berdarah Muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak poranda Pada larik pertama persamaan suku kata /or/ tedapat pada akhir kata tohor dan kotor, dan suku kata /an/ terdapat pada akhir kata ajarkan, aturan, dan permainan. Sementara pada larik kedua
65
persamaan suku kata /ah/ terdapat pada akhir kata lihatlah, wajah, dan berdarah. Pada larik ketiga persamaan suku kata /pu/ terdapat pada awal kata yang sama yaitu kata puing, dan suku kata /po/ terdapat pada awal kata porak dan poranda. Pada puisi “Maskumambang” persamaan suku kata atau konsonan terdapat pada larik-larik berikut: Zaman macam apa, peradaban macam apa Lesu dipangku batu Kawan dan lawan Berdengung sepasang kumbang Larik pertama persamaan suku kata /an/ terdapat pada akhir kata zaman dan peradaban, suku kata /ma/ terdapat pada awal kata yang sama yaitu kata macam, dan persaman vokal /a/ pada kata yang sama yaitu kata apa. Pada larik kedua persamaan vokal /u/ terdapat pada akhir kata lesu, dipangku dan batu, sedangkan pada larik ketiga terdapat persamaan konsonan /w/ ditengan kata kawan dan lawan, sedangkan pada larik keempat persamaan suku kata /ng/ terdapat pada akhir kata Berdengung sepasang, dan kumbang. 3) Pengulangan kata Pengulangan kata tidak hanya terbatas pada bunyi namun juga
pada
kata-kata
atau
ungkapan.
Pada
puisi
“Inilah
Saatnya”pengulangan kata terdapat pada ungkapan “Inilah Saatnya”, yang diulang-ulang pada awal bait pertama, ketiga, dan bait terakhir, yang menunjukan efek penegasan. Sementara pada puisi “Hak Oposisi” ungkapan tanpa oposisi diulang-ulang pada bait terakhir, hal ini digunakan untuk memberi efek penebasan terhadap kritikan. Pada
puisi
“Kesaksian
tentang
Mastodon-
mastodon”ungkapan “Aku memberi kesaksian”, diulang-ulang pada awal bait kedua, keempat, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan bait terkahir, ini juga digunakan untuk memberi efek penegasan kesaksian, ada juga ungkapan yang diulang-ulang pada
66
puisi ini yaitu ungkapan tanpa bisa. Sedangkan pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” ungkapan ratu adil sering diulangulang dan kata wahai, lagi-lagi ini untuk mempertegas penegasan kritikan. Pada puisi “Politisi itu Adalah” ungkapan atau kata-kata yang sering diulang-ulang yaitu ada orang, dan kadang-kadang, ini digunakan untuk memberikan efek keritikan terhadap para politisi. Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” ungkapan yang diulang-ulang adalah hati nurani, ini untuk memberikan efek penekanan. Sedangkan pada puisi “Maskumambang” ungkapan cucu-cucuku! Diulang-ulang untuk memberikan efek kegelisahan. f. Tipografi Tipografi menyangkut perwajah sebuah puisi. Kalau ditulis dalam bentuk baris-baris (larik-larik) dan bait-bait, berlaku enjambemen (enjambment) atau pemenggalan. Pemenggalan baris kadang disesuaikan dengan satuan makna kata atau frase (kumpulan kata), kalimat atau anak kalimat; satu baris berakhir bisa sama artinya dengan memberi titik atau koma pada akhir baris itu, atau baris itu secara tata bahasa bisa diwakili oleh kata ganti. Tapi bisa juga dibuat patah-patah yang artinya tarikan napas terputus-putus jika membaca baris-baris itu. Perwajahan atau tipografi pada kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu ini semuanya berbentuk larik dan bait, tidak ada bentuk yang lain semuanya ditulis dalam bentuk larik-larik yang disusun membentuk bait.
D. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya WS. Rendra. Sebuah karya sastra tidak akan pernah terlepas dari nilai-nilai baik, karena itulah yang ingin disampaikan penyair kepada pembacanya. melalui nilai-nilai tersebutlah para pembaca dapat mengambil hikmah dari apa yang telah dibacanya dari sebuah karya sastra baik itu prosa maupun puisi. Nilai-nilai yang biasa ada dalam karya sastra itu diantaranya: nilai sosial, budaya, moral, religi, pendidikan, bahkan nilai poitik.
67
Nilai-nilai yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah nilai-nilai dalam sebuah puisi. Khususnya dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini.
Berbicara nilai dalam sebuah karya sastra, khususnya dalam puisi tentunya tidak akan terlepas dari nilai-nilai baik. Nilai-nilai baik tersebut tentunya dapat memberikan pendidikan kepada pembacanya, apakah itu pendidikan moral, sosial, budaya, agama maupun politik. semua nilai tersebut banyak terdapat dalam puisi yang diteliti pada penelitaian ini. Nilai-nilai tersebut dikatakan memberikan pendidikan kepada pembacanya, jika pembaca mau dan mampu memperhatikan setiap diksi yang ditawarkan penyair, ini tentunya tidak mudah untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut, maka dari itu kata-kata terebut harus diperhatikan dengan saksama, agar nilai-nilai yang terkadung dalam puisi tersebut dapat diambil hikmahnya. Nilai yang terdapatdalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca. pembaca perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibacan menyentuh perasaannya. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini adalah sebagai berikut: 1. Nilai Pendidikan Politik Nilai-nilai politik yng terdapat pada puisi “Inilah Saatnya” seperti kebersamaan dan saling menghargai, hal ini tergambar dalam larik-larik berikut: ”Inilah Saatnya”duduk bersama dan bicara, saling menghargai nyawa manusia, menerima hidup bersama dengan golongan-golongan yang berbeda, lalu duduk berunding tidak untuk berseragam tetapi untuk membuat agenda bersama (hlm. 8) Larik-larik di atas memberikan nilai pendidikan politik kepada pembaca, bagaimana seharusnya berpolitik itu.
68
Dalam puisi “Hak Oposisi” nilai-nilai politiknya hampir terdapat dalam keseluruhan isi puisi tersebut, adapun nilai-nilai politik yang tergambar pada puisi ini seperti nilai kebebasan, hal ini tergambar pada larik-larik berikut: Adalah tugasmu untuk membuktikan bahwa kebijaksanaanmu pantas mendapat dukungan, tapi dukungan- tidak bisa kamu paksakan, adalah tugasmu untuk menyusun peraturan yang sesuai dengan nurani kami, kamu wajib memasang telinga, - selalu, untuk mendengar nurani kami, oposisi adalah jendela bagi kami, tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani. (hm. 11) Sedangkan dalam puisi “Keaksian tentang Mastodon-mastodon” nilai-nilai politiknya adalah keserakahan, seperti terdapat pada untaian lari-larik berikut: Bila rakyat bicara memang bising dan repot, aku memberi kesaksian bahwa negara ini adalah negara pejabat dan pegawai, hidup menjadi lesu dan macet, ketenangan dijaga tetapi rakyat tegang dan terkekang, hidup menjadi muram tanpa pilihan, Aku memberi kesaksian bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai filsadat mati dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi. (hlm. 12-13) Larik tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan yang tidak baik yaitu keserakahan, sehingga menyebabkan kesengsaraan rakyat yang tiada henti terjadi, pernyataan dikekang, kehidupan menjadi macet dan lesu. Lalu dipertegas oleh larik-larik berikut: Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka, an pertanyaanpertanyan dianggap pembangkangan, aku memberi kesaksian gajah-gajah telah meulis hukum dengan tinta yang minafik, melahap tiang-tiang listrik dan film-film impor, melahap minyak kasar, cengkih, kopi, dan bawang putih. (hlm. 13-14) Adapun nilai-nilai politik yang terdapat pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” seperti perlawanan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, seperti tergambar pada larik-larik berikut: Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan, koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan, kitab undang-undang tergeletak di selokan, kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat terkekang akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan di jalan raya. (hlm. 20-21)
69
Sementara pada puisi “Politisi itu Adalah” nilai politiknya adalah kritikan terhadap para politisi, seperti tergambar pada larik-larik sebagai berikut: Kecuali adanya unsur-unsur gelap yang direkayasa oleh lawan mereka, mereka berkata bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat, dan kalau ada demonstran yang mati ditembaki, mereka berkata: itulah pengorbanan yang lumrah terjadi di setiap perjuangan.(hlm. 27-28) Para politisi pada larik tersebut digambarkan sebagai pribadi yang hanya suka bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, mereka selalu mengatakan bahwa kondisi rakyat baik-baik saja. Lalu dipertegas dengan larik berikut: Yah, kalau melihat Indonesia dewasa ini, para mahasiswa dibunuh mati dan lalu politisi hanya tahu kekuasaan tanpa diplomasi sedang massa tanpa daulat pribadi, maka politik menjadi martabak atau lumpia”(hlm. 28) Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” nilai-nilai politik yang sangat menonjol pada puisi ini adalah krtitikan terhadap para penguasa terhadap nasib bangsa, seperti tergambar pada larik-larik berikut: O, lihatlah wajah-wajah berdarah dan rahim yang diperkosa muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda, kejahatan kasatmata tertawa tanpa pengadilan, kekuasaan kekerasan berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan, hak hukum yang tidak dilindungi oleh lembaga pengadilan yang mandiri adalah hukum yang ditulis di atas air, bagaimana rakyat bisa merdeka bila hak pilih mereka dipasung tidak boleh memilih secara langsung camat mereka, bupati, walikota, gubernur, dan jaksa tinggi mereka?(hlm. 35-36) Pada larik di atas, tergambar dengan jelas kritikan terhadap para penguasa yang tidak memikirkan nasib rakyat, hak pilih rakyat dipasung, sehingga mereka ridak bisa memilih pemimpin mereka secara langsung, hal ini terkait dengan kondisi pada masa Orde Baru yang berakhir pada pertengahan tahun 1998. Dan partai-partai politik menganggap rakyat hanya abdi partai yang dinamakan massa politik partai!, kawula partai atau hamba partai, penjajahan tatanan uang, penjajahan modal, penjajahan kekerasan senjata, dan penjajahan oleh partai-partai politik, masih merajalela di dalam negara! (hlm. 36) Larik di atas dengan jelas menggambarkan para politisi yang tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya, yang menjadikan rakyat sebagai kawula atau hamba partai, yang hanya bisa memilih tanpa punya pilihan.
70
Negara yang kehilangan makna!, rakyat sudah dirusak asas tatanan hidupnya/Berarti sudah diruak dasar peradabannya, dan manusia tak mungkin jadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya, hati nurani adalah hukum adil untuk diri kita sendiri/Hati nurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan pribadi. (hlm. 38-39) Larik tersebut menggambarkan kondisi Indonesia yang kehilangan makna, karena tatanan hidup rakyatnya sudah dirusak, rakyatnya tidak dimanusiakan, sehingga hati nuraninya mati. Sedangkan pada puisi “Maskumambang” nilai politiknya adalah kritikan terhadap para elit politik, seperti tergambar pada larik-larik berikut: Negara terlanda gelombang zaman edan, cita-cita kebajikan terhempas waktu, lesu dipangku batu, bangsa kita kini seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utang yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa, tanpa kita bedaya melawannya, menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan, yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik (hlm. 58-59) Larik di atas menggambarkan kondisi bangsa Indonesia seperti dadu yang terperangkap dalam kaleng hutang, yang diobok-obok oleh negara adikuasa, yang tidak mampu menentukan nasibnya sendiri karena terbelit dengan hutang. Lalu pada larik-larik selanjutnya, digambarkan martabak bangsa yang compang camping diakibatkan oleh para elit politik yang merajalela, yang haus akan kekuasaan sehingga peradaban menjadi dangkal. Kekuasaan kekerasan merajalela, politik hanya mengenal kalah dan menang, kawan dan lawan, peradaban yang dangkal, meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal di dalam daulat manusia!, namun daulat manusia dalam kewajaran hidup bersama di dunia harus menjaga daulat hukum alam daulat hukum masyarakt, dan daulat hukum akal sehat. (hlm. 59-60) Larik-larik tersebut di atas mengandung nilai-nilai politik yang perlu kita pelajari. Nilai-nilai tersebut seperti kebersamaan, perlawanan, ketidak percayaan dan lain-lain. Kalau ditelaah lebih dalam, nilai-nilai politik tersebut sedikit banyak memiliki kemiripan dengan keadaan politik saat ini, sehingga berangkat dari situlah penenlitian ini disajikan.
71
Berdasarkan pemaparan di atas ditemukan beberapa nilai politik dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, diantaranya keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan sebagainya. 2. Nilai Pendidikan Moral Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta dari kehidupannya nyata, namun juga lahir pola pikir dan kreasi imajinatif pengarang. Terdapatnya nilai dalam karya sastra, dalam hal ini nilai pendidikan moral pengarang dapat mengekspresikan pandangan dan pengalaman hidupnya melalui nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut terbungkus oleh kata-kata dalam larik dan bait yang mengandung makna baik itu tersirat maupun tersurat. Mengenai nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, penyair menyelipkan nilai moral melalui larik dan bait. Nilai moral yang terdapat pada puisi “Hak Oposisi” seperti pada kutipan “kamu tidak bisa mengganti nuraniku dengan peraturan, menyusun aturan yang sesuai dengan hati nurani”. Pada kutipan tersebut terlihat bagaimana nilai pendidikan moral yang dapat diambil seperti sebagai manusia, hati nurani manusai tidak bisa diganti dengan peraturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, karena hati nurani pemberian dari Allah Swt. Peraturan harus mengikuti hati nurani bukan sebaliknya hati nurani mengkuti peraturan. Sementara pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” nilai pendidikan moral terdapat pada kutipan berikut. Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah Maka rakyat terkekang akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan di jalan raya Kutipan di atas mengambarkan bagaimana rakyat berbuat mengikuti tingkah laku penguasa yang berbuat sesuka hatinya karena pikirannya kusut yang selalu berbenturan dengan ajaran moral yang ada, yang pada akhirnya kejahatan merajalela, penjarahan terjadi dimana-mana, dan ketidakadilan tumbuh subur.
72
Pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” nilai-nilai moral terlihat pada kutipan: Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera Paket-paket pikiran murah dijajakan Hati nurani adalah hukum adil Pada kutipan tersebut memberikan pendidikan moral yang baik bahwa hati nurani itu hukum yang adil yang harus dijunjung tinggi, karena itu akan menghilangkan pikiran-pikiran murah yang tidal layak dituangkan dalam aturan. Sementara, pada puisi “Maskumambang” mengambarkan nilai moral yang tidak baik baik seperti pada kutipan “peradaban dangkal”, hal ini mengambarkan bagaimanna kemajuan bangsa beku, lesu, dan dangkal. Tidak mampu berbuat banyak demi kemajuan bangsa Indonesia, justru kemunduran yang terjadi di semua sendi kehidupan. Nilai pendidikan moral yang terkandung dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra, baik itu nilai yang positif maupun yang negatif, namun semua itu tergantung bagaimana pembaca menafsirkannya, karena nilainilai tersebut tentunya memiliki nilai yang tidak sedikit. 3. Nilai Pendidikan Religius Berbicara mengenai nilai religius dalam sebuah karya satra, khususnya dalam puisi ini tentunya sangat menarik, mengingat nilai religius bukan hanya dimiliki oleh salah satu agama, namun dimiliki oleh semua agama, yang membedakan hanya dari ajarannya itu sendiri, sebagian besar agama mengajarkan kebaikan untuk umatnya. Kembali kepada nilai religius yang terdapat pada puisi, khususnya pada puisi dalam penelitian ini, yaitu kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra. Pada kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, nilai religius hanya sedikit terdapat pada puisi-puisi dalam kumpulan puisi ini, ini terlihat tidak semua puispuisi tersebut mengandung nilai religius. Pada puisi “Inilah Saatnya” kalau dilihat secara saksama, hanya terdapat pada kutipan berikut”sadar akan rekaman perbuatan”, jika diperhatikan dengan penuh penghayatan larik tersebut mengandung nilai religius yang mengajarkan
73
manusia untuk menyadari atau megintrospeksi diri tentang hal-hal yang telah diperbuatnya, apakah itu perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Sementara pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” terdapat pada kutipan berikut” Allah Swt selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari keinginan para politisi”, hal ini jelas mengambarkan bagaimana hukum agama harus dijunjung tinggi daripada aturan atau hukum yang dibuat oleh penguasa dan politisi, karena hukum agama bersumber langsung dari Allah Swt, sedangkan hukum negara bersumber dari manusia yang memungkinkan memiliki kesalahan dan kealpaan. Pada puisi “Maskumambang” nilai-nilai religius tergambar pada kutipan berikut. Gerja dibakar atas nama semangat agama yang berkobar Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi Politik tidak boleh menjamah ruang iman dan akal Kutipan-kutipan di atas mengambarkan bagaimana agama mengajarkan agar setiap umatnya berbuat sesuai dengan ajaran yang sesuai dengan agamanya, selalu mengajarkan kepada umaynya agar yang menjalin hubungan baik dengan agama manapun. Agama tidak boleh dijadikan tameng politik, tidak boleh dijadikan ganjalan untuk meraik kekuasaan, serta tidak boleh dijamah oleh elit politik manapun, walaupun politik boleh berdampingan dengan agama, tetapi politik tidak boleh memaksakan keinginannya pada agama manapun. Sebagaimana hakikatnya, agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, dimana agama berperan penting dalam merperbaiki prilaku manusia kearah yang lebih baik sesuai dengan ajaran agamanya. Berbicara nilai religius dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra, ada beberapa nilai agama yang bisa dipetik diantaranya kesadaran hidup, saling menghargai antar umat beragama dan lain-lain. Dengan terkandungnya nilai religius dalam puisi pada penelitian ini, diharapkan pembaca sebagai subyeknya dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
74
4. Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial dalam sebuah karya sastra selalu menjadi topik yang menarik, karena salah satu elmen dari karya sastra yaitu pembaca merupakan mahluk yang berperan penting dalam penerapan nilai sosial dalah kehidupan manusia. Amanat yang mengandung nilai pendidikan sosial yang disampaikan penyair melalui karyanya tujuan utamanya adalah pembaca itu sendiri. Hampir sebagian besar nilai pendidikan sosial terdapat pada puisi dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra, misalnya pada puisi “Inilah saatnya” seperti pada kutipan berikut. Saling menghargai nyawa manusia Tanpa kekerasan menjaga martabat bersama Menerima hidup bersama Pada kutipan-kutipan tersebut, mengajarkan manusia agar saling menghargai sesama manusia, selalu menjunjung tinggi martabat manusia, mengajarkan agar hidup berdampingan dengan golongan manapun tanpa terkecuali, serta selalu menerima hidup apa adanya serta selalu berbuat dan berdoa demi kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Sementara itu, pada puisi “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon” nilai pendidikan sosial tergambar pada kutipan-kutipan berikut. Kekukuhan dibina tetapi mobilitas masyarakat dikorbankan Hidup menjadi muram tanpa pilihan Kesaksian dianggap durhaka Kutipan di atas mengambarkan bagaimana masyarakat selaluberkorban demi kemajuan bangsa, namun masyarakat terkadang dihianati oleh para penguasa, sehingga kehidupan menjadi muram, filsafat mati, pikiran dangkal, karena terkekang dengan aturan dan kebijakan yang dibuat tidak banyak untuk kepentingan rakyat, rakyat selalu dijadikan tameng, kalau berbuat demi rakyat dan untuk rakyat, namun pada dasarnya hanya untuk dirinya dan golongannya saja, sehingga kebebasan berpendapat rakyat terpenjara oleh aturan dan kebijakan para penguasa.
75
Sementara itu, pada puisi “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, nilai yang mengandung kppendidikan sosial tergambar pada kutipan “ketakutan muncul dari sampah kehidupan, pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah”, hal ini menggambarkan bagaimana ketakutan dan kegelisahan selalu muncul dari wajah rakyat, karena peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh para penguasa tidak berpihak kepada rakyat, ini menimbulkan kegelisahan dan ketakutan pada rakyat kecil. Pada puisi “Politisi itu Adalah” nilai-nilai sosial terdapat pada kutipan “semua politisi mencintai rakyat, para politisi makan apa saja”, hal inimenggambarkan seolah-olah para elit politik berbuat untuk rakyat, namun kenyataannya mereka berbuat untuk kepentingan diri dab golongannya saja, kalau demi rakyat itu hanya sedikit saja. Sementara pada puisi “Kesaksian Akhir Abad” nilai-nilai tersebut tergambar pada kutipan berikut. Rakyat yang tanpa hukum bukanlah rakyat yang merdeka Pendangkalan kehidupan bangsa Tata nilai rancu, dusta pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal Kutipan di atas mengambarkan bagaimana rakyat tidak memiliki perlindungan hukum, dikarenakan hukum yang dibuat para penguasa tidak memihak pada rakyat, kebijakan yang dibuat tidak menyentuh rakyat, serta aturan yang dibuat berbenturan denngan kepentingan rakyat. Pada puisi “Maskumambang” nilai pendidikan sosial tergambar pada kutipan “bangsa kita kini seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang”. Pada kutipan tersebut bangsa Indonesia digambarkan seperti dadu dalam kaleng yang terbentur dari satu sisi kesisi yang lain, ini diakibatkan oleh ulah para penguasa yang meminjam pinjaman dari pihak asing, namun tidak mampu mengembalikan, pada akhirnya kesejahteraan rakyat dikorbankan. Berdasarkan analisa di atas dapat ditarik simpulan bahwa nilai-nilai sosial sering muncul dalam sebuah puisi terutama dalam puisi karya WS. Rendra,
76
khususnya dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini banyak nilai sosial yang terkandung didalamnya, diantaranya nilai kebersamaan, keserakahan, ketidakadilan, saling menghargai dan sebagainya. 5. Nilai Pendidikan Budaya Budaya berhubungan erat dengan masyarakat dalam suatu daerah, dimana budaya selalu berdampingan dengan kehidupan sosial masyarakat. Karya sastra merupakan ekspresi dari seorang penyair mengenai kehidupan suatu masyarakat yang dituangkan dalam tulisan yang mengandung makna, dalam hal ini karya sastra yang berupa puisi. Nilai budaya selalu muncul dalam sebuah karya sastra, salah satunya dalam puisi. Puisi yang diciptakan oleh penyair sering diselipkan nilai-nilai budaya yang memiliki pesan untuk memberikan pendidikan kepada pembaca mengenai nilai budaya yang ada dalam suatu masyarakat baik itu yang baik maupun yang kurang sesuia dengan ajaran agama tertentu. Budaya kaitannya dengan adat istiadat suatu masyarakat, tentunya menjadi perhatian penyair dalam membuat sebuah karya sastra dalam hal ini puisi, dimana budaya sering menjadi bahan imajinasi dalam penciptaan sebuah karya sastra terutama dalam puisi, da beberapa penyair yang menerapkan unsur budaya dalam karyanya, salah satunya adalah Rendra. Pada kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini, tentunya terdapat beberapa nilai budaya yang memberikan pendidikan terhadap masyarakat dalam hal ini pembaca. Mengenai nilai pendidikan budaya yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra terdapat pada beberapa judul puisi, salah satunya pada puisi “Kesaksian tentang Mastodonmastodon” seperti pada kutipan “tirani dan pemusatan adalah naluri dan kebudayaan pejabat dan pegawai”, hal ini mengambarkan kebudayaan yang tidak baik, dimana para penguasa harusnya berbuat secara bijkasanna, berbuat demi rakyat, ini justru membuat aturan dan kebijakaan yang sewenang-wenang tidak memihak kepada rakyat, hanya menguntungkan kepentingan diri dan golongannya saja. Dari kutipan di atas jelas ini bukan nilai pendidikan budaya yang layak
77
dicontoh, justru harus dihindari karena budaya tersebut budaya yang tidak baik tepatnya nilai budaya keserakahan. Sementara pada puisi ”Kesaksian Akhir Abad” nilai budaya yang dapat dipetik adalah bahwa setiap manusia harus memiliki kedaulatan pribadi yang tidak boleh diintimidasi dan diintervensi oleh pihak manapun, seperti tergambar pada kutipan “setiap orang juga ingin berdaulat di dalam rumah tangganya”, ini mengambarkan jelas bagaimana budaya yang seharusnya diterapkan pada setip diri manusia dalam sebuah masyarakat, lalu dipertegas dengan kutipan “harkat berbangsa adalah naluri rakyat”, kutipan ini mempertegas kutipan sebelumnya mengenai kedaulatan seseorang yang tidak bisa intervensi oleh siapapun.
78
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra ini banyak berisikan kritikan terhadap kebijakan-kebijakan para penguasa yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Khususnya puisi-puisi yang dibahas dalam penelitian ini, selain berisi kritikan juga mengandung nilai-nilai pendidikan politik bagi bangsa Indonesia mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tahu tentang politik atau kondisi politik yang sedang berkembang saat ini. Puisi-puisi tersebut antara lain: “Inilah Saatnya”, “Hak Oposisi”, “Kesaksian tentang Mastodon-mastodon”, “Politisi itu Adalah”, “Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, “Kesaksian Akhir Abad”, dan “Maskumambang”. Selain pendidikan yang terkandung dalam kumpulan puisi tersebut, nilai-nilai pendidikan yang lain juga terkandung didalamnya, seperti budaya, sosial, moral, dan religius. Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, dapat ditarik simpulan bahwa nilai-nilai pendidikan yang tersirat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu ini banyak,
di antaranya: nilai kebersamaan, kebebasan, keserakahan,
perlawanan, kritikan terhadap para elit politik, ketidak percayaan terhadap pemerintah, dan kritikan terhadap para penguasa.
B. Saran-saran Penelitian ini berisi pembahasan mengenai struktur puisi dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya WS. Rendra, nila-nilai pendidikan yang terkandung dalam puisi tersebut, serta pendidikan politik yang dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat secara umum. Harapan penulis, khususnya semoga penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa sebagai referensi untuk penyusunan skripsi mengenai nilai-nilai pendidikan dalam puisi, umumnya bagi masyarakat sebagai pembaca semoga mendapat gambaran mengenai nilai pendidikan yang terdapat di dalam puisi.
79
Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, dengan itu penulis mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak, tentunya saran dan kritikan yang bermanfaat bagi penulis dalam mencapai kesempurnaan pada penelitianpenelitian selanjutnya.
80
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008 Faruk. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012. Fattah, Nanang. Landsan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2009. Fitriyyah, Di’imah, Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Sembahyang Karang Karya Arini Hidajati dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta, 2010, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Yogyakarta: tidak dipublikasikan Gani, Erizal. Kiat Pembacaan Puisi; Teori dan Terapan. Bandung: Pustaka Reka Cipta. 2014. Mestika, Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indoneisa. 2004. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005. Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik Sastra, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Rendra, WS. Doa untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2013. Ratna, Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012. Rokhmansyah, Alfian. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Jakarta: Graha Ilmu. 2014. Semi, Atar. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. 2013. Subroto. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Gafindo Persada. 1992. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2011. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1984. Tirtarahardja, Umar, dan S. L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005.
81
UU RI. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional & UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta:Transmedia Pustaka. 2008. Wahyuningrum, Yuli. Kritik Sosial Sajak-sajak Dua Belas Perak dalam Empat Kumpulan Sajak Karya WS. Rendra: Tinjauan Semiotik, Surakarta, 2010, Skripsi pada Universitas Muhamadiyyah Surakarta: tidak dipublikasikan Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1995. Wicaksono, Andri. Pengkajian Prosa Fiksi. Jakarta: Garudhawaca. 2014. Zaidan, Abdul Rozak dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
q,
LAMPTRAN,LAMPIRATT
*.&
Lampiran 1
Puisi-puisi karya WS. Rendra dalam Doa Untuk Anak Cucu
qdlah Saatnya' Inila saatnya melepas sepatuyang penuh kisah
meletakan ransel yang penuh masalah
danmandi mengusir rasa gerah menerwngkan
j iw a yang
gelis ah
Amwah dan duka
menjadijela*i dendam bola-bola api tak terkendali yang membsntur diri sendiri dan memp erl e m ah p erl aw anan Sebab seharusnya perlow anan
membuahkanperbaikaw bukan
s e kc
y
dar penghancuran
'"Inilah Saatrq/a" " meletalcan kclewang dan senopan, makan soyur
ulap
mengolah pencerncun,
minum tehlnci, menatap polwn-pohon dari jendelayang terbuka
Segalamacam soloh ucap bisa dibetullran dan diteranglwn Tetapi kalau senjata salah bicara
lukayang timbul panjang buntutnya
EJ
Dan bila akibatnya hilang nyawa bagaimana alwn membeulkannya? *
"Inilah Saattqlo"
"
&dukbersama dan bicara Soling menghar gai nyow a manusia
Sadff akan rekaman perbuatan di dalam bufu kalbu dan ingatan alam akhirat Ahimsa, tanpa kckerasan menjaga martabat bersomo Anekanta, metnolwmi dan menghayati keanekoan dalam kchidupan
bagai keanekaan di dolam alam
Menerimahidup bersama dengon golongan-golongon yang berbeda
Lalu dudukberanding tidak untuk berseragam t etapi
untuk membuat agenda ber sama
Aparigraha, mas ing-masW
pilnk menangallcan pakaian
mmetunggalkon lencara golongan
lalu dudttkbersama Masing-masing pilrok hanya memihak
kepadakcbenaran
ri,,
*"Inilah Soottqla"
'
merryadsri kcindahan hqu-htpu beterbangan Bunga-bunga di padong belantua Lembutuya daging susu ibu Dan
poa
cuc-u mosa
fupan
membacabuht sejwah mencari illram
, a
*Inilah Soa@q""
,
*Inilah Safrtqla"
,
saudoa-saudsiht *'Inilah Sodtqla" ' bagi Hta
Ya,
Di antara tiga gmung memelukrembalan
(HakOposisi' Ahr bilang tidak
ahtbilangya menurut rnraniht Kamu tidak bisa nengganti rutr aniht dengan per aturan
Adolahtugasma
untukmembuhifun
balwakebijaksanunmu pant as mendapat &rhtngan Topi duhngan-
tidak bisa kamu paksakan Adalalrtugasmu
untuk menyusun per atur an
yang sesuoi dengan nuroni knmi Kamu w aj ib memas ong telingo
- selalu, untuk mendengar nurani kami S eb ab itu,
kamu membut uhkan op o s i s i
Oposisi adalah jendela bagi kamu Oposisi adalah j endela bagi kami Tanpa oposisi: swnpek Tanpa oposisi: kamu akan terasing dari kami Tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu tentang dirimu Tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani
oKesaksian Tentang Mastodon-mastodon' P e mb angunan t e lah
dil angs ungkan
Di tanoh, di air, dan udwa sedang berlangstmg perlcembangan
Aht memberi kesaksisn bahwa di Jakarta
langit, kclabu hambu dari ufuk kc ufilk Rembulan rnuruul pucat
seperti istri birobot yang luntur tata riasnya Sungai mengandung penghianata
Dan s arnuder a siperkosa Sumpah serapah keluor dari mulut sopir taksi
Keluh kesah menjodi hanAtk bagi buruh dan kuli
Bila rakyat bicma memong bising dan repot Tetapi bila rakyu bisu itu kubwan
a.*
Lalu apa gunalrya membina kctenangan lwburan, bila lretenangan honya berarti kemacetan perdaran darah? Aku memberi kesaksian balrwa negdra ini adalah negara pejabat dan pegawai Kedudukan para priyayi tempo dulu
diberi tambol sulam dengan gomb al - gombal khayal an boru
bagaikan para pangeran di zaman prailmiah Para pengerang baru bersekutu dengan cukong asing memonopoli alat berproduksi dan kehtatan distribusi Para pedagang pribumi harrya biso meniual iasa atau menjadi tukang l@lontong boleh
jadi menjadi kaya tetapi hamya menggambang kedudulwnnya
Tirani dan pemusatan adalah naluri dan kebudayaan peiabat dan pegawai
Bagailun gajahparapejabat meng;uasai sernuarwnput dan Kelaiathan dibina, tetapi rnobilitas masyar akat dikor b anknn Hidup menjodi lesu dan mqcet Ketenangan dijaga tetapi rakyat tegang dan terkckang
Hidup menjadi murom tanpapililtan Aku memberi kcsaksian
balwo di dalam peradaban peiabat
dan pegawai
filsadat mati dan
penglayaton kenyat aan dikckang
daun-dounan
i
>*
.X diganti dengan bimbingan don pedoman resmi Kepatulwn diutamakan, lce s angs
ian dianggap durhakn
D an p er t any aan-p ert any an
dianggap pembanglmngan Pembodohan bangsa akan terjadi lrnrena nolar dicurigai dan di awasi
Aht memberi kesaksian gajah-gajah telah meulis huhm dengan tinta yang minafik Mereka mengangkang dengan angker don perkasa tonpa bisa diperilua tanpa bisa dituntut tanpa bisa diadili secoro terbuka
Aht bertanya: Apakah ini gambaran kcseiohteraan
dari bangsayangmulia? Alatmemberi kesaksian bahwa gaj ah-gajah bisa meni elma meni adi Mastodon'Mastodon
Mereka rnenjadi setinggi tnenora dan sebesm berhala Mastodon-mastodon yang masuk ke laut dan menglwbisknn semua ikan
Mastodonyang melahap semen dan kayu lapis Melahap tiang-tiang listrik danfilm-film impor Melahap minyak kasar, cengkih, kopi, dan bawang putih Mastodon-mastodon ini akan selalu membengkak
selalu lapar selalu merosa terancom s
el alu menunj ukan w aj ah yang angker
dan mengentak-entak lcaki kc bumi
Maka mastodon yang satu akan melotot kepodo mastodon yang lain
Mat ahar i
me ny al a b agaikan b er de ndom
Bumi kering alam protes dengan kemarau yang panjang Mas t o don-mas t o don pun I apar
dan akan saling mencarigai
Lalu mastodon-mastodon akan menyerbu kota Mereka alran menghabiskan semua beras dan jagung Mereka alron makan anak-arukkccil Mereka akan makan gedung dan jembatan Toko+oko, pastr-pasar, selcolah-sekalah, masj i d-masj id, ger ej a- ger ej a
semua akan hancur
Dan mastodon-mastodon masih tetap merasa lapar selaluwas-was tak bisa tidur
yang satu mengawesi yang lain
Ahtmemberi kesaksion seandainya kiamat akan terjadi di negeri ini maka itu akan teriadi tidak dengan pertanda
bangWnya kaumpengemis atau munculnya bencana tetapi akan terjadi dengan pertanda
s al in g b e rt e mpurny a
mas t o do n-m as t o do
gSaiak
n
Bulan Mei 1998 di Indonesia'
Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal j alanan Amarsh merajalela tanpa amanat
Ketahfian muncul dwi sampah kehidupan P ikir an
kusut memb entur s imptl - simptl s ej orah
O, zaman edan! O, zamanpikiran insan!
Koyakmoyak sudah ketedhan tenda kepercayaan
Kitab undong-undang tergeletak di selokan Kepastian hidup t erhuyttng-httytng dal am cornb er an O, t at aw ar no fat arnor ganan O,
kc kua s aan
!
sihir berdlauan dari mahkota raia-raia!
Dari sejakzaman lbrahim dan Musa Al I ah s e I alu
me ngingatkan
bahwa huhtm harus lebih tinggi
dari keinginan pora politisi, raja-raia, dan tentara. O, lrebingunganyang muncul dari kabut ketahttan! O, rasa putus aso yang terbentur
sanghtr!
Berhentilah mencari ratu adil ! Ratu adi itu tidakada Ratu adil itu tipu doya Apa yang harus kito tegakkan bersarna
odalah huhtm adil
t-J,
Huhm adil adalah bintang pedoman di dalam prahara Bau anyir darahyang kini memenuhi udara
menjodi salrsi yang akan berlmta: Apabila pemerintah sudah menjaran daulat rakyat, apabila cukong-cttkong sudah meniarah ekonomi bangsa, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat terkekang okan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar don diialan rrya Wahai, penguosa dunia
angfana!
Wahoi, j iwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masihbuta dantui di dalam hati! Apalrah masih akan menipu diri sendiri! Apakah saran akal selwt kamuremehkan b
erarti pintu untuk pikir an-pikir an kal ap
yang alan muncul dari sudut-su&tt gelap telah lcamu bukaknn!
Cadar kabut duka cita menutup waiah lbu Pertiwi
Air mata mengalir dari saiakku ini gPolitisi itu Adalah" Para politisi berpakaian rapi
Mereko turun dorimobil langsung tersenyurn atau
me lamb
oikan tangan
Di muha kamera televisi mereka mengatakan
bahwapada ronwnya kcadaan baih kecuali odnya unsur-unsur geldp yang direkayasa oleh lmvan mereka Dan merelw juga mengaakan
balwa mereka akan memimpin bangsa ke arah persatuan dan kemajuan
"Kuman di seberang lautan tampak Gaj ah dipelupuk mata tak tampak"
Itu katarakyat jelata Tapi para
politisi berkata:
"Knnan di seberang lautan lurus tampak, sebab kita lwrus selaluwaspado
Gajah di pelupukmata di tembak saia" sebab ia mengganggu pemandan
Ada orangmemakia topi Ada orang memakai peci
Adayang memakai fusi Ada pula yang berbedok dan bergincu
Kalau sedang berkaca menilonati diri sendiri para politisi suka memalai semuonnya. Semuo politisi mencintai rakyat
Di lwri libur
mereka pergt le Amerika
don mereka berkata
balwa mereka adalah penyambung lidah rahyat Kadang-kadang mer eka anti deonstr as i Kadang-lradang merela menggerakan demonstrasi
tJ'
Dab kalau ada demonstranyangmati ditembaki, mereka berkata: itulaj pengorbanan
yanglumrah terjadi di setiap perjuangan Lalu mereka mengirim karangan bungan don menguc aplwn perny at aon duka cita. Para politisi suka hmi cerah suka ldcoyalak ramai an bendera-bendera
Lalu merekn aksn berkata: "kanm oposisi harus bersotu mengaglang kekuatan demi periuangan
Dan srya lah ayang alwn memimpin kalian".
Ada orang suka nasi Ada orang sukaroti Tapi para
politisi akan maknn apa saia
asal sambil makan ia duduk di singgasana
Memang tanpa rnereka tak akan ada negara
Jadi terpaksa ada Hitler, Net anyahu
Amanghrat II,
Stalin, Marcos, dan sebagainya
Yah lcalau melihat Indonesia dewasa ini, para mahasi sw a dibunuh mati
danlalu politisi hanya tahu kehtasaan tanry diplomasi
EJ
sedongilassa tanry daulat pribadi, makn
politikmenjadi martabak atmt lumpia
Lalu ada politisi berkata kepada saya: *Mas Willy, sajalonu seperti prosa. Tidak mengand.ung harapan t i dak me ngandung
mi s t er i
Cobalah mengsr(mg tentang pemandangan alam dan misteri embun di atas kelopokmeloti"
Sampai di sini
puisi ini saya sudahi gKesaksian Ratap tangis menerpa pintu
AkhirAbed'
lalbuht
Bau anyir darah menganggu
ti&r
malomku
O, tikar tafalar? O, bau sungai tohor yanh kotor Bagaimana aht akan bisa membaca kcadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran yang digalaukan oleh lampt-lampu kota yang bertengkw dengan malatn
aht menyerakan namsmu: Wahai
pma leluhw nusantma !
O, Sanjaya!
I*tuhur dori kebuduyaan tanah
>-*
O, Purngutmman!
Leluhur dari kcbudayaan air! Kedua w angsamu telah mampu mempersehttukan budrya tanoh
O,
Resi
Kuturan! O,
Resi
air!
Nirarta!
Entpu-empu tampan yang penuh kc damoian
!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang anelw dan sejahtera yang dijaga oleh dewan huhrm adat O, bagaimana aht bisamengerti bahasabising O, Kajao Loliddo! Bintang cemerlang Tana
dui
Ugi!
Negarawan tang pintar dan bijaksana! Te I ah
kamu aj arlwn aturan permainan
di dalam bentur an-b enturan keinginan yang berbagai ragarn di dolam kehidupan: ade bicua, rqpang, danwmi O, lihatlah w aj ah-w aj ah berdarah dan rahirn yang diperkosa murrcul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda
Kejalwtan kasatmata tertaw a tanpa pengadilan
Kehtasaan kclcerasan berak dan berdaak
di atas bendera kebangsaan
bangsaht hini?
>J
O, anok cucufu di zaman Cyberrctic! Bagaimana akan baca prasasti dari zaman kami? Apalrah kami akan marnpu menj adi ilham kc s impulan
atrukah kamiiustru menjadi srmrber masolah
di dalam kchidupan? Dengan
puisi ini aht bersaksi
balwa ralEat Indonesia belum merdeka Rakyat yang tanpo hakhufum bukanl ah r alcy at mer de ka
Hak huhm yang tidak dilindungi oleh lembaga pengadilan yang mandiri
adalah huhmyang ditulis di atas air Bagaimana rakyat bisa merdeka
bila birolqasi negara meniadi apmat pemerintah dan tidakmeniadi oparat rakYat,
yang otonom mandiri, sebogaimana layabtya
di negarayang berdaulat rakYat? Bagaimana rakyat bisa merdbka
bila hak pilih mereka diPasung tidak boleh memilih secara langsung camat mereka, bupati, walikota, gubermtr, don
j aks a tinggr mereka?
D an p ar t aip art ai p ol i tik
menganggap rakyd lunya abdi partai
yang dinamakan massa politik partai
!
Kawula partai atau hamba partai!
Bagaimana rakyat bisa merdeka bila pemerintah melecehkan perdagangan antmdaerah dan mengembangkan merkantilisme Daendles sehingga relo menekan kesejahteraan buruh,
petani, nelayan, guru, dan serdadu berpangkat rendah?
Bagaimana rakyat bisa merdeka bila provinsi-provinsi sekedm meniadi tanah iai ahan pemerintah pusat? Tidak boleh mengatur ekonomirya sendiri, tatanan hiduyrya sendiri, dan
juga keamanowrya sendiri?
Ayam, serigala, macan, otaupun gaiah semua peka pada wilayahnya
Setiap orang juga ingin berdoulat
di dalam rumah tanggarrya Setiap penduduk ingin berdaulat
di dalarn kamptmgrya D an kehidupan
b
erb angs a
tidok perlu merusak daulat kedaeralan
Hosrat berbangsa adalah naluri ralcyat
untukmenjalin ikatan daya cipta suht, yang penuh keonekaan kehidupan,
>-J
dan memaHumkan wilayah pergaulonyang lebih luas
untukmerdeka bersama Tetapi lihatlah selubung kabut saat
ini!
P enj aj ahan tat anan uang,
penjajahan modal, penj aj ahan kekeras an s enj ata, dan penjajahan oleh
partai-partai politih
masih meraj alela di dalam rugara
!
Denganpuisi ini aht bersalcsi balwa sampai saat puisi ini aht tanda tangani
pwa elit politikyong berkedudukan atauptm yang msih di j alan, ti dak p e r nah me mp erj uan g kan s or ano- s qr ono
kemer de kaan r aky at
Mereka hanya rusuh dan gaduh me mpe rj uangkan ke daul at an
golongan dan partairrya sendiri Merelra lunya bergulat untukposisi sendiri
Mereko tidak peduli dengan pasisi rakyat Tidakpeduli pada posisi hulatm, posisi polis i, ataupun posisi birolvasi Dengan picik mereka akan mendaur ulang
malapetalw bangsa dan negara
ysng telah terjadi!
O, Indoncsio! Ah, Indorusia!
Negara yang kehilangan malma
!
Rakyat sudah dirusak asas tatanan hidupnya
Berorti sudah diruak dasar peradabannya Dan akib atnya dirus ak pul a kemanus iaanrya Malro selrarang negtra tinggal menjadi peta itupun petayang lusuh
danlwmpir sobekpula P endangkal an ke hi dup an b angs a
telah terjadi Tata nilai rancu Dusta, pencurian, penjarahon, don kckerasan
Manusia sekedar semak belukar yong gampang dikacau dan dibakor paket-pakct pikir an mwah dii ai akan
Penalaran amuah yang salah mendorong ralEat terpecah beloh
Ne gar a tak mungkin
diutuhksn
t anp q r aky atnyo dimanus i akan
Dan manusia tak mungkin j odi manusia
tanry dihifupkan hati nwaninya Hati nurani adalahhuhtm adil untukdiri kita sendiri Hati mtrani adalah sendi dari kesadwan
lwlal
eJ,
aknn kemerdekaan prib adi
Denganpuisi ini aht bersaksi Bahwa lruti nurai itu meski dibakar
tidakbisa menjadi abu Hai mtrani serwntiasa bisa bersemi mesH sudah ditebong B e gitul ah
fi tr ah
Wtus di batang
manus i a
ciptaan tuhon Yang Maha Esa
oMaskumambangt Kabut fajar menyusut dengan perlahan Btmga Bintoo bergugwan
di holamanperptstakmn
Di tepi kolam di dekat rumpunkeladi,
afudu&tkdi atos batu, melehkon air mata
Cucu-cucaht!
hman
macann apa, peradabdn mucam
qW
ymg akan kami wariskan kcpada kalian! Jiw aht menyanyikan tembang " Mashnnqrtba ng
Kami adalah angkatan pongah
Besopsakdari tiang Kami tidok rwmpt membuat rencorut menghodapimosa depan
"
>#,
Karena kami tidakrnenguasai ilmu untak membaca tata buku mosa lalu, dan tidak menguasai ilmu
untukmembaca tota buht mosa HnL makarencnnflmasa depan hanyaloh spe htl asi keinginan dan angan-angan
Cucu-cucuht! Negara terlanda gelombang zonan edan C it a-c i ta ke b aj ikan t er lu mp as w afuu,
lesu dipanght batu
Tetapi alat keras bertalwn mendekap akal sehat dan
suaraiiwa
biarpun tercampak di selokan zamttn
Bangsa kitaWni seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utong
yang dikocok-kocok oleh bangsa adihnsa, tanps kita b edoya mel aw antrya Semua terjadi atas namo pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangman di zamanpenjajalwn Tatarwn ketugaraan
Dantatananhukum Juga mencontoh totanan peniajahan
Menyeb ab kan rakyot dan huhtm
hadir tanpakedaulotan Yong sah berdaulat
lwnya pemerintah dan partai
politik
O, comberan peradaban! O, martabat bangsayang hini eompang
canping!
Negua gaduh Bangsaropuh Ke kuas aan kekc r as an tne r aj al el a
Pasar dibakar
Kanpung dibakm Gubug-gbug gelandangan dibongkm Tanpaada gantinya Semua atas nofira tWtayul pembangunan
Restoran dibakar Toka dibakar
Gereja dibakar Atas ruma semangat agamo yang berkabq
Apabila ogama
men$ adi lencana
politih
maka erosi agamapasti teriadi! Karena politik fidak pmya kepal a Tidak
pwya telinga.
Tidak
prrya hati
Politikhanya mengenal kalah
Kawandonlawan Perodabanyang dangkal
d.an menong
Meskipm hidup berbangsa perlu politih tetapi politik fidak boleh menj omah
ru{mgimon dan akal di dalam doulat manusia! Namun daulat mamtsia
dalan kewajwan hi&ry bersama di dunia lrarus menjaga daulat lruhm olam
daulat huhm maryuak Dan daulat lruhm akal sehat Matahari yang mersyap naik dori ufuk tintw telah melampaui pohon jingiing
Udwa yang ramah menyapa tubuhhr Menyebar bau bawang yang di goreng di Berdengung s eponj ang kw$ ang
yang bersenggmna di udara
*Mas
WW!' Istrika datang
menyapaht
Ia melihat pipiht basah oleh air mata
Aht bangkit hendak berkata *Sssh
diam" bisik istrifu,
" Jangan menongis. Tulis
Jangan bicora".
sajak
dapr
Lampiran 2
LEMBAR UJI RETERENSI Nama
Yusuf
NIM
181 1013000005
Jurusan/Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak CucuKarya WS. Rendra
Dosen Pembimbing
Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum
NO
BUKU REFERENSI
1
2 J
4
5
6 7
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008 Faruk. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelaiar.2Al2. Fattah, Nanang. Landsan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaia Rosdakarya . 2009. Fitiyyah, Di'imah, Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Sembalryang Karang Karya Arini Hidajati dan Relevansinya dengon Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta, 2010, Skripsi pada Univeaitas Islam Neseri Yosyakarta: tidak dipublikasikan Gani, Eizal. Kiat Pembacactn Puisi; Teori dan Terapan. Bandune: Pustaka Reka Ciota.20L4. Mestika, Zed. Metode Penelition Kepustakaan Jakarta: Yayasan Obor Indoneisa. 2004. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengknjian Fiksi. Yogyakarta: Gaiah Mada University Press. 2005.
Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, 8
9 10
ll 72
Metode Kritik Sastra, dan Penerapannya. Yogyakarta: Fustaka Pelaiar. 2005. Rendr4 WS. Doa untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2013. Ratna, Nyoman Kutha RatB. Teori, Metode, dan Tebtik Penelitian Sastra. Yosvakarta: Pustaka Pelaiar. 2012. Rok*rmansyah, Alfian. Studi dsn Pengkajian Ssstra: Perlrenalan Awal Terhadap llmu Sastra. Jakarta: Graha Ilmu.2014. Semi, AtaL Kritik Sastra. Bandung: Anskasa- 2013.
PARAT'
PEMBIMBING
,/U .U -7/
4/
.1/
1/
1/ .y
13
T4 15
t6
Subroto. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Gafindo Persada. 1992.
Sugryono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, dan R&D. Banduns: Alfabeta. 20ll. Teeuw, A. Sastra dan llmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka Java. 1984. Tirtarahardja, Umar, dan S. L. La SuLo. Pengantar Pendidilan Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2005. RI. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru Nasional & W dan Dosen. Jakarta:Transmedia Pustaka. 2008. Wahyuningrum, Yuli. Kritik Sosial Sajak-saiak Dua Belas Perak dalam Empat Kumpulan Sajok Karya WS. Rendra: Tinjauan Semiotih SurakartA 2010, Skripsi
W
t7
18
.7/ -7/
N
pada Universitas Muhamadiyyah Surakarta: tidak 19
20
2l
dipublikasikan. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlaneea 1995. Wicaksono, Andri. Pengkajian Prosa Fiksi. Jakarta: Garudhawaca.2014. ZaidauAbdul Rozak dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
4/
a/ q/
Riwayat Penulis Hari Rabu, tepatnya tanggal 20 Februari 1980, telah lahir seorang anak laki-laki dari pasangan Rohman dan Jaswi di sebuah desa yang berada di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, yang kemudian diberi nama Yusuf. Penulis mengawali pendidikannya di SDN Sukamanah III Rajeg, selain pendidikan sekolah dasar, penulis ditempa juga dengan pendidikan agama oleh orang tuanya. Pada tingkat berikutnya penulis melanjutkan pendidikan di MTs. AlIstiqomah Pasar Kemis, mengingat di Rajeg pada waktu itu lembaga madrasah setingkat madrasah tsanawiyah belum begitu banyak seperti saat ini. Pada tingkat berikutnya, melanjutkan di MA. Al-Istiqomah Pasar Kemis, selain mengeyam pendidikan umum, penulis juga mengeyam pendidikan agama di Pondok Pesantren Hudatul Umam yang satu naungan dengan lembaga madrasah aliyah tersebut. Setelah pendidikan SLTA, penulis mengeyam pendidikan Diploma 3 (D3) Jurusan Manajemen Administrasi Akuntasi di ASM LEPISI Tangerang, untuk menambah biaya kuliah, penulis sambil bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi karton di Kawasan Industri Pasar Kemis, penulis pernah cuti kuliah yang kemudian dilanjutkan kembali dan lulusan pada tahun 2005. Pada tahun 2007, penulis menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Daar El-Huda Curug dan atas kompetensi dan kebaikan pemimpin pondok, penulis diperbantukan sebagai pendidik di pesantren tersebut. Pondok Pesantren Daar El-Huda ini yang banyak mengubah kehidupan penulis sehingga menjadi lebih berarti. Pada tahun 2010, tepatnya tanggal 26 September 2010 penulis melangsungkan pernikahan tanpa proses yang panjang atau tanpa pacaran terlebih dahulu dengan Cucun Sundari yang sama-sama tinggal sebagai pendidik di Pondok Pesantren Daar El-Huda. Setelah menunggu hampir 3 tahun, akhirnya penulis dengan istri tercinta diberi amanah oleh Allah Swt untuk mengurus seorang anak dari hasil pernikahannya. Tepatnya, Hari Jumat malam pukul 21.45 lahirlah anak kami yang bernama Sayyidah Qisya Azzahra di RS. Qadr dengan proses cesar. Lagi-lagi atas kebaikan keluarga pesantren anak kami lahir dengan selamat. Berlatar belakang itulah sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan sarjana strata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan alhamdulillah tepatnya tanggal 12 Januari 2015, penulis mendapat gelar Sarjana Pendidkan (S.Pd) Strata (S1) di depan ketua sidang Dra. Hindun M.Pd sebagai ketua jurusan program studi PBSI. Demikianlah sekelumit mengenai riwayat hidup penulis yang begitu kompleks dengan perjalanan hidup yang dihadapinya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya atas semua bantuan dari orang-orang tercinta.