PERAN STRATEGIS BAITUL MAAL WA-TAMWIL (BMT) DALAM PENINGKATAN EKONOMI RAKYAT Sri Dewi Yusuf ABSTRAK Kehadiran Baitul Maal wa-Tamwil (BMT) dalam suatu wilayah pada dasarnya merupakan jawaban atas belum “terjamah” dan terjangkaunya masyarakat lapis bawah (wong cilik atau masyarakat miskin) oleh berbagai lembaga keuangan perbankan. Keberadaan BMT merupakan tantangan tersendiri bagi umat Islam terutama bagi para pemimpin umat dan praktisi perbankan Islam, untuk mampu menunjukan kualitas dan profesionalisme BMT dalam memenuhi aspirasi dan tuntutan umat yang berhubungan dengan aktivitas perekonomian, sehingga keberhasilan BMT dalam merealisasikan tuntutan umat, pada gilirannya akan memposisikan BMT sebagai sebuah lembaga keuangan Islam yang capable dan credible.Untuk itu, upaya dan peran BMT dalam meningkatkan posisi ekonomi rakyat harus menunjukan performancenya dalam kapasitasnya sebagai sebuah lembaga keuangan yang memiliki kemampuan untuk berperan dan sebagai alternatif bagi masyarakat dalam kerjasama usaha dan bermitra bisnis. Kata Kunci: Baitul Maal Wa Tamwil, Ekonomi Rakyat I. Pendahuluan Fenomena kemiskinan sangat menarik untuk dikaji, karena kemiskinan adalah suatu strata yang berada pada lapisan paling bawah dan cenderung untuk terpinggirkan dari setiap aktivitas bermasyarakat. Keadaan ini (kemiskinan) dapat memicu munculnya kesenjangan dalam bermasyarakat, sehingga persoalan ini harus diperhatikan.Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan dengan sabdanya yang berkaitan dengan kemiskinan dan dampak yang ditimbulkannya, bahwa: “Nyaris kefakiran (kemiskinan) menjerumuskan pada kekufuran”.1Pernyataan di atas mengilustrasikan gambaran pada kondisi sosialekonomi yang “minus”, dan terkadang dapat menggiring dan merusak kualitas agama seseorang.2
1
Hadis ini diriwayatkan oleh Anas, Lihat Jalaluddin as-Sayuti, Jami al-Ahadis, jus VI.(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 391. 2 Djohan Effendi, “Pendidikan Lembaga Ekonomi Islam dan Budaya Masyarakat,” makalah ini disampaikan pada seminar Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Lembaga Ekonomi Agama, DEPAG, Semarang 16 Februari 1999, hlm. 1.
69
Peran Strategis Baitul Maal Wa‐Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat
Terkait dengan permasalahan diatas, telah timbul legitimasi atas statemen yang menyatakan bahwa ketika membicarakan perekonomian umat, maka akan tergambar sosok bangunan pada masyarakat yang terpinggirkan/termarjinalisasi (mustad’ afin) 3 dari bangunan perekonomian secara umum. Menurut pakar ekonomi Mubyarto bahwa “ekonomi kerakyatan akan menjadikan seluruh komponen bangsa Indonesia akan menerima secara adil apa yang diproduksinya”.4 Semangat yang menyala terhadap persoalan ekonomi umat jika dikaitkan dengan konsep Mubyarto diatas, yang diistilahkan dengan ekonomi kerakyatan sangat tepat untuk menyongsong era globalisasi. Umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia mau tidak mau harus berkiprah dalam kancah pemberdayaan dan peningkatan ekonomi kerakyatan, terutama kalangan ekonomi lemah.Oleh karena itu kehadiran BMT ditengah-tengah masyarakat ekonomi lemah, pada dasarnya merupakan jawaban atas belum terjamahnya dan terjangkaunya lapisan ekonomi lemah oleh lembaga-lembaga keuangan perbankan umum. Pertanyaan itu didasarkan pada daerah operasi BMT yang memfokuskan target pasarnya pada bisnis skala kecil yang kurang terjangkau oleh perbankan pada umumnya.5 Berbagai fenomena yang terjadi dari dampak krisis ekonomi, atau lemahnya taraf hidup “wong cilik” yang jauh dari pemenuhan kebutuhan yang layak,mendorong munculnya sebuah lembaga keuangan syariah alternatif.Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi juga sosial. Lembaga ini tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagaian kecil pemilik modal (pendiri) dengan penghisapan pada mayoritas orang, akantetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Lembaga ini terlahir dari kesadaran umat yang ditakdirkan untuk menolong kaum mayoritas, yakni pengusaha kecil/mikro.Selain itu, lembaga ini juga tidak terjebak pada permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama.Tidak terjebak pada pikiran pragmatis tetapi memiliki konsep idealis yang istiqomah. Lembaga tersebut adalah Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).6
3
Dochak Latif, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Lembaga-Lembaga Ekonomi Agama”, makalah disampaikan pada Seminar tentang Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Lembaga Ekonomi Agama, DEPAG, Semarang 16 Februari 1999, hlm. 1. 4 Mubyarto, Ekonomi Rakyat:Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 37. 5 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Jakarta: Alvabet, 1999), hlm. 133. 6 Ibid., hlm. 73.
70
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sri Dewi Yusuf
II. Pembahasan A. Definisi BMT atau baitul maal watamwil merupakan padanan kata dari Balai Usaha Mandiri Terpadu. Baitul mall berfungsi menampung dan menyalurkan dana berupa zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) dan mentasrufkan sesuai amanah. Sedangkan baitul tamwil adalah pengembangan usaha-usaha produktif investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil serta mendorong kegiatan menabung dalam menunjang ekonomi7 Sedangkan Lubis mendefinisikan baitul maal secara harfiah yang berarti rumah harta benda atau kekayaan.Namun demikian, kata baitul maal bisa diartikan sebagai perbendaharaan (umum atau negara).Baitul maal dilihat dari istilah fikih adalah suatu lembaga atau badan yang bertugas untuk mengurusi kekayaan negara terutama keuangan, yang berkenaan dengan soal pemasukan dan pengelolaan, maupun yang berhubungan dengan masalah pengeluaran lain. Sedang baitul tamwil berupa rumah penyimpanan harta milik pribadi yang dikelola oleh suatu lembaga.8 Dari pengertian di atas, secara kontekstual BMT berusaha memadukan dua macam kegiatan sekaligus yang berbeda-beda sifatnya yaitu laba dan nirlaba dalam suatu lembaga.Kegiatan sosial sebagai kegiatan penunjang (Baitul Maal) dan kegiatan bisnis sebagai kegiatan utama (Baitul Tamwil). Sebagai lembaga sosial (Baitul Maal), BMT berfungsi menghimpun dana-dana sosial yang bersumber dari zakat, infak dan shadaqah atau sumber lain yang halal kemudian didistribusikan kepada mustahiq (yang berhak) dan bersifat nirlaba. Sementara sebagai lembaga bisnis (Baitul Tamwil) dalam keuangan Islam BMT berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana (intermediasi) yang bersifat profit motif. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga (anggota BMT) melalui simpanan berbentuk tabungan wadiah dan mudharabahdan penyalurannya dalam bentuk pembiayaan atau investasi, dengan prinsip jual beli (murabahah, salam dan istishna), prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), prinsip sewa-menyewa (ijarah dan ijarah muntahia bitamlik (IMBT) dan pembiayaan qardh yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam konteks ini BMT berfungsi sebagai lembaga pengelola dan pemberdayaan dana masyarakat, dengan jalan menjalin mitra kerjasama antara pihak pengelola BMT dengan masyarakat. yakni dengan menghimpun dana masyarakat kemudian didistribusikan kembali kepada masyarakat
7
Hertanto Widodo dkk, PAS (Panduan Akuntansi Syariah) Panduan Praktis Operasional Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 1999).hlm. 84. 8 Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar Jilid 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hlm. 114.
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
71
Peran Strategis Baitul Maal Wa‐Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat
(nasabah) yang bergerak dalam sektor usaha produktif dan membutuhkan bantuan dana dengan sifat perolehan laba.9 Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).PINBUK mendapatkan pengakuan dari Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat.PINBUK sebagai lembaga primer karena pengembangan misi yang sangat luas.Dalam prakteknya BMT dapat didirikan dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Koperasi.Sebelum menjalankan usahanya, Kelompok Swadaya Masyarakat harus mendapatkan sertifikat operasi dari PINBUK.Tugas BMT membantu usaha-usaha kecil sehingga keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.10 Peran umum baitul maal wa tamwil adalah melakukan pembinaan dan pendanaan berdasarkan sistem syari’ah yang menegaskan arti penting prinsipprinsp syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil maka BMT mempuyai tugas penting dalam mengembangkan misi keIslam-an dalam segala aspek kehidupan masyarakat.11 Sejarah berdirinya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Indonesia pada tahun 1990 mulai ada prakasa mengenai bank syariah, yang diawali dengan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan pada tanggal 1820 Agustus 1990 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasil lokakarya tersebut dilanjutkan dan dibahas dalam Musyarawah Nasional IV (MUNAS IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid Jaya Jakarta.Hasil MUNAS membentuk Tim Perbankan MUI yang bertugas mensosialisasikan rencana pendirian bank syariah di Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1991, tim berhasil mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai beroperasi sejak September 1992. Pada awalnya kehadiran BMI belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan. Namun dalam perkembangannya, ketika BMI dapat tetap aksis ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, telah mengilhami pemerintah untuk memberikan perhatian dan mengatur secara luas dalam Undang-undang, serta memacu segera berdirinya bank-bank syariah lain baik bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maupun Widows Syariah untuk bank umum.12 Kehadiran BMI ini pada awalnya diharapkan mampu untuk membangun kembali sistem keuangan yang dapat menyentuh kalangan bawah 9
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press, 2004),hlm. 149-184. 10 M.Dawan Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 431. 11 Ibid 12 Ibid., hlm. 71-72.
72
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sri Dewi Yusuf
(grass rooth).Akan tetapi pada prakteknya terhambat, karena BMI sebagai bank umum terikat dengan prosedur perbankan yang telah dibakukan oleh UndangUndang.Sehingga akhirnya dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat bawah.Namun realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada pemusatan kekayaan hanya pada segelitir orang, yakni para pemilik modal.Sehingga komitmen untuk membantu derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat kendala baik dari sisi hukum maupun teknis. Dari segi hukum, prosedur peminjaman bank umum dan bank BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis.13 Dari persoalan diatas, mendorong munculnya lembaga keuangan syariah alternatif.Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi juga sosial.Lembaga ini tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagaian kecil pemilik modal (pendiri) dengan penghisapan pada mayoritas orang, tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil.Lembaga ini terlahir dari kesadaran umat dan ditakdirkan untuk menolong kaum mayoritas, yakni pengusaha kecil/mikro.Lembaga ini tidak terjebak pada permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi membangun kebersamaan untuk mencapai kemakmuran bersama.Disamping itu, lembaga ini tidak terjebak pada pikiran pragmatis tetapi memiliki konsep idealis yang istiqomah. Lembaga tersebut adalah Baitul Mal Wa Tamwil (BMT).14 BMT merupakan sebuah organisasi Kelompok Swadaya Masyarakat (pra koperasi) atau berbadan hukum koperasi, dalam bentuk kelompok simpan pinjam atau serba usaha.15Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 Tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi.16Hal ini dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 Tahun 2004 tentang Koperasi Jasa Keuangan Syariah.Undang-Undang tersebut sebagai payung hukum berdirinya BMT (Lembaga Keuangan Mikro Syariah).Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukan bagi anggota koperasi saja, sedangkan didalam BMT, pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai.17
13
Ibid.,hlm. 72. Ibid., hlm. 73. 15 Jazuli dan Yadi Janwari, Lembaga lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2002), hlm.183-184. 16 PINBUK, Modul Pelatihan Pengelola Baitul Maal Wa Tamwil, hlm. 3. 17 Baihaki Abd Majid Dan Syaifuddin A.Rasid, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari’ah, hlm. 85-91. 14
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
73
Peran Strategis Baitul Maal Wa‐Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat
Sebagai bentuk lembaga Keuangan syariah non bank, BMT mempuyai ciri-ciri utama yang membedakannya dengan lembaga Keuangan bank, yaitu; a. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi, terutama untuk anggota, dan lingkungannya. b. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak serta dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk memberdayakan anggotanya dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi. c. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat sekitarnya. d. Milik bersama masyarakat kecil, bawah dan menengah, yang berada dilingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang lain dari luar masyarakat itu. Sedangkan Prinsip operasional baitul mall wa tamwil adalah sebagai berikut: a. penumbuhan, b. profesionalitas dan c. prinsip Islamiyah Dari uraian di atas dapat memberikan gambaran bahwa BMT mempuyai dua peran sekaligus.Pertama sebagai lembaga yang terbentuk atas inisiatif dari bawah, BMT melakukan fungsinya sebagai mobilisator potensi ekonomi masyarakat untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota.Dalam hal ini BMT berkedudukan sebagai organisasi bisnis.Kedua adalah fungsi BMT sebagai organisasi yang juga berperan sosial, yaitu menjadi perantara antara agniya sebagai shahibul maal (orang yang mempuyai harta yang berlebihan) dengan dua’fa (orang yang kekurangan harta) sebagai mudharib (pengguna dana) terutama untuk pengembangan usaha produktif. B. Konsep Dan Gerakan Ekonomi Kerakyatan Gambaran masyarakat madani yang diidentikan dengan masyarakat serba cukup, maju dan mampu dalam menghadapi setiap problematika perkembangan zaman, disejajarkan dengan masyarakat moderen senantiasa dicita-citakan oleh masyarakat yang tidak ingin dikatakan sebagai masyarakat yang tertinggal dan terbelakang. Perwujudan masyarakat yang diharapkan adalah adanya realisasi keadilan dan kemamkmuran, sehingga jika mengacu kepada Negara Indonesia yang mencita-citakan pada realisasi masyarakat yang adil dan makmur adalah adanya pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang dimaksud adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat secara bertahap dan berkesinambungan, dengan cara meningkatkan komsumsinya. Peningkatan komsumsi sangat tergantung kepada peningkatan pendapatan, dan peningkatan pendapatan sangat tergantung pada peningkatan
74
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sri Dewi Yusuf
produksi, maka sebagai pelaku ekonomi setiap anggota masyarakat selayaknya turut serta dalam proses pembangunan.18 Membangun perekonomian rakyat berarti meningkatkan kemampuan rakyat dengan cara mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain memberdayakan ekonomi mereka.Ekonomi rakyat yang dimaksud adalah ekonomi rakyat kecil, yang pengembangannya bermakna pengembangan ekonomi “dari rakyat, oleh rakyatdan untuk rakyat”.19 Perekonomian rakyat ini dibangun untuk membentuk rakyat agar mampu mandiri dan dapat menopang kelangsungan hidupnya dalam tahap awal.Pengorganisasian ekonomi di dalam masyarakat dituntut untuk membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM). Dengan wadah tersebut mereka merasa memiliki alternatif KSM sebagai ajang kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. KSM ini dapat berupa Baitul Maal wat – Tamwil (BMT) yang mampu merambah masyarakat lapis bawah (wong cilik) yang rentan terhadap ketergantungan rentenir.20 Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang berbasis kepada kekuatan rakyat.Terkait dengan hal tersebut terdapat problem yang sangat mendasar yang dihadapi masyarakat bawah adalah masalah kemiskinan.Kemiskinan jika dikaitkan dengan pembangunan sering disebut dengan ketertinggalan, artinya tertinggal dalam memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan.Kemiskinan berdampak masalah multidimensi yang menyangkut aspek sosial, ekonomi dan aplikasinya. Jika dilihat dari tingkat pendapatan kemiskinan dapat dibedakan dalam dua kategori yakni; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.21Kemiskinan absolut adalah keadaan kemiskinan dimana tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan (standar hidup), sehingga pendapatannya tidak cukup memenuhi kebutuhan minimum.Adapun kemiskinan relatif yang sering disebut dengan kesenjangan artinya kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara satu pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya di dalam masyarakat.22Kemudian berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga yaitu kemisikan natural,struktural dan kultural.23Kemisinan natural (alamiah) yakni kemiskinan yang terjadi karena faktor alam, yaitu asalnya memang miskin.Kelompokmiskin karena faktor alamiah seperti tidak mempuyai sumber daya yang memadai baik SDA maupun SDM18
Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 3. 19 Mubyarto, Ekonomi Rakyat dan Progam IDT, hlm. 4-7. 20 Ibid., hlm. 28. 21 Revrisond Baswir, “Kemiskinan, Krisis Ekonomi dan Politik Pembangunan Kerakyatan”, Jurnal Media Inovas,i No. 1 Tahun IX/1999, hlm. 30. 22 Ibid., hlm. 31. 23 Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat, hlm. 26-27. Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
75
Peran Strategis Baitul Maal Wa‐Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat
nya.Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan hasil pembangunan belum seimbang seperti distribusi yang belum merata, kebijakan ekonomi yang diskriminatif dan pendapatan yang tidak seimbang. Adapun kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan faktor budaya, gaya hidup dan kebiasaan hidupnya, mereka sudah merasa cukup dan tidak berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya.24 Realitas di masyarakat menunjukan masih banyaknya masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.Penyebab utamanya mereka tidak mempuyai modal usaha.Selain itu kredit atau pembiayaan yang diharapkan lapis bawah, sulit untuk didapatkan karena mereka dipandang tidak bankable (tidak memenuhi kualifikasi perbankan).25Oleh karena itu peran terpenting yang dimiliki oleh BMT sebagai sarana dalam meningkatkan produktivitas adalah menciptakan keadilan dibidang ekonomi, dengan jalan memeratakan pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan yang semakin besar antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan dana (orang miskin) sehingga tidak terjadi pemusatan kekayaan pada sekelompok orang.26Oleh karena itu, untuk mempersempit kesenjangan yang semakin meluas, maka dibutuhkan penyediaan jasa keuangan yang sesuai dengan biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat miskin (marginal) dalam memperoleh akses keuangan seperti BMT.27 Pendirian BMTsebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang berbadan hukum koperasi merupakan salah satu upaya untuk menggerakan ekonomi rakyat yang berada pada mayoritas umat Islam.28 Gerakan lembaga keuangan pada tingkat bawah ini relatif mampu mengurangi ketergantungan masyarakat lapisan bawah dari cengkeraman rentenir, karena lembaga ini (BMT) terdiri dari dua devisi yaitu; pertama, divisi baitul maal yang mengelola zakat, infaq dan sadaqah (ZIS) berusaha mengangkat kaum lemah untuk lebih produktif dalam hidupnya dengan memanfaatkan dana dari ZIS yang tidak dibebani biaya pinjaman (pinjaman lunak yang bersifat sosial). Kedua, divisi baitul tamwil yaitu menggerakan simpanan dan penyaluran dana (pembiayaan modal) dengan sistem bagi hasil. Diharapkan dengan sistem ekonomi Islam,
24
Sunyoto Usman, Pembangunan dan Perbedayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 14. 25 Ibid.,hlm. 97. 26 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2005), hlm. 96. 27 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 17. 28 Tim PINBUK, Pedoman Cara Mendirikan BMT (Surabaya: PINBUK JAWA TIMUR, 1999), hlm. 1.
76
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sri Dewi Yusuf
masyarakat termasuk umat Islam mampu menerapkannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.29 Oleh karena itu BMT sebagai lembaga keuangan non bank yang beroperasi pada level paling bawah berperan aktif dan maksimal untuk ikut menggerakan dan memberdayakan ekonomi rakyat. Ada tiga peran yang dimainkan BMT dalam membantu memberdayakan ekonomi rakyat dan sosialisasi sistem syariah secara bersama yaitu; 1. Sektor finansial, yaitu dengan cara memberikan fasilitas pembiayaan kepada para pengusaha kecil dengan konsep syariah, serta mengaktifkan nasabah yang surplus dana untuk menabung. 2. Sektor riil, dengan pola binaan terhadap para pengusaha kecil manajemen, teknis pemasaran dan lainnya untuk meningkatkan profesionalisme dan produktivitas, sehingga para pelaku ekonomi tersebut mampu memberikan konstribusi laba yang proporsional untuk ukuran bisnis. 3. Sektor religious, dengan bentuk ajakan dan himbauan terhadap umat Islam untuk aktif membayar zakat dan mengamalkan infaq dan sadaqah, kemudian BMT menyalurkan ZIS pada yang berhak serta memberi fasilitas pembiayaan Qardul Hasan (pinjaman lunak tampa beban biaya).30 Dengan demikian, pemberian pembiayaan oleh BMTdiartikan sebagai suntikan dana sementara yangsifatnya tidak permanen, masyarakat diberdayakan untuk mampu mengelola dana dalam rangka meningkatkan ekonominya.Dengan pembiayaan yang ada, masyarakat mikro dapat menciptakan akumulasi modal, meningkatkan surplus dan kesejahteraan bagi anggotanya dan masyarakat pada umumnya.Kemudian kepada nasabah yang dianggap kurang mampu (kategori sangat miskin) tetapi mempuyai kemampuan usaha oleh BMT diberikan pembiayaan yang bersifat qardul hasan (artinya orang tersebut hanya mengembalikan dana pinjaman saja). Dengan konsep pemberdayaan ekonomi rakyat, maka BMT telah membantu masyarakat mikro untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak tergantung dengan subsidi pemerintah, mampu menciptakan surplus modal, sehingga mampu meningkatkan produktivitasnya.31 Dengan demikian simpan pinjam yang digunakan BMT yang dilandasi unsur kebersamaan dan tanggung jawab moral merupakan landasan peningkatan
29
Tim Manajemen Program Pengorganisasian BMT, “Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Melalui Program BMT”.Kerjasama UII Yogyakarta dan PKPEK Yogyakarta, 14 Mei 2005. 30 Wahyu Dwi Agung, ”BMT Dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”, hlm. 6. 31
Wahyu Dwi Agung, ”BMT Dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”, (makalah) disampaikan pada seminar Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Lembaga Ekonomi Agama, Semarang 16 Februari 1999, hlm. 3. Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
77
Peran Strategis Baitul Maal Wa‐Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat
kesejahteraan masyarakat dalam usaha mandiri.32Gerakan ekonomi kerakyatan yang mempunyai arah dan tujuan yang serius dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam mengatasi ketimpangan ekonomi minimal dapat mengurangi kesenjangan sosial. Senada dengan hal tersebut Muslimin Nasution, mantan menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia, mengatakan bahwa ekonomi rakyat adalah: “Suatu sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses yang fair dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat di dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi nasional, tampa harus mengorbankan fungsi sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan sebagai sistem pendukung kehidupan masyarakat secara berkelanjutan”.33 Pendapat Muslimin Nasution tentang ekonomi rakyat diatas, mencerminkan adanya kegiatan ekonomi masyarakat yang menuntut terciptanya keadilan tampa mengorbankan sumber kehidupan masyarakat.Jika ekonomi rakyat dihubungkan dengan ekonomi Islam dapat memunculkan dan menggerakan segenap potensi yang dimiliki oleh masyarakat dalam rangka mencapai keadaan yang sehat dan yang diinginkan tercapainya realitas keadilan sosial.34 Berbicara tentang ekonomi rakyat, tidak terlepas dari deskripsi ekonomi yang lemah, lapisan bawah yang termarginalisasi seperti petani kecil termasuk didalamya buruh tani, bakul pasar termasuk pedagang kaki lima, peternak kecil, kerajinan dan home industri yang modalnya terbatas, serta usaha lain yang bersifat minimum ekonomi (usaha yang terbatas modalnya). Oleh karena itu, melalui BMT perhatian dan penanganan yang serius terus diwujudkan untuk menggerakan kehidupan dan berbagai aktivitas usaha para pelaku ekonomi mikro dalam rangka pencapaian tingkat ekonomi yang layak, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan ekonomi mikro. III.
Kesimpulan Kemiskinan merupakan salah satu realitas kehidupan masyarakat yang sering diletakan pada lapisan masyarakat yang termarginalisasi, artinya terpinggirkan kehidupan bermasyarakat.Keprihatinan terhadap nasib para pelaku ekonomi lemah, harus ditanggapi dan diperhatikan dengan mencari solusi yang terbaik.Perhatian yang serius terhadap fenomena harus terkonsep dengan sistimatis, sehingga dimunculkan-nyabaitul maal wa tamwil (BMT) 32
Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat, hlm. 49. Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, hlm. 94. 34 Ibid., hlm. 95. 33
78
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sri Dewi Yusuf
sebagai lembaga keuangan Islam yang merupakan salah satu solusi dan jawaban atas belum diperhatikan dan dijangkaunya masyarakat kecil oleh lembagalembaga keuangan perbankan. Berbagai upaya pun dilakuakn BMT dalam rangka meningkatkan taraf hidup perekonomian kaum lemah, dengan membantu mereka memberikan pembiayaan untuk modal atau menambah modal usaha, yang yang didukung oleh BMT dengan pola kerjasama dan bermitra usaha.Upaya diatas telah membuahkan hasil yang cukup signifikan, dimana BMT mampu berperan aktif dalam membantu memberdayakan perekonomian para pelaku ekonomi lemah. Peran strategis yang ditunjukan BMT sebagai alternatif wadah simpan pinjam dan bermitra kerja, telah mampu menumbuhkan respon positif baik secara moril maupun material. Kepercayaan yang telah ada, dinyatakan dengan realitas dana yang telah dipercayakan BMT kepada para pengusaha kecil untuk dikelola dalam rangka membantu dan meningkatkan produktivitas para usaha mikro tersebut.Berpijak dari berbagai peran dan keberhasilan BMT dalam pemberdayaan perekonomian umat bahwa secara ekonomi dan keuangan, BMT layak diperhitungkan dan signifikan dalam meningkatkan ekonomi rakyat.Alternatif (pilihan) menjadikan BMT sebagai sebuah lembaga keuangan terpercaya, dalam arus perekonomian modern, makin terbuka bagi umat Islam. Daftar Pustaka Abd Majid Baihaki., A.Rasid Syaifuddin, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari’ah, Jakarta: PINBUK, 2000 Arifin Zainul, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan dan ProspekJakarta: Alvabet, 1999 As-Sayuti Jalaluddin, Jami al-Ahadis, jus VI. Beirut: Dar al-Fikr, 1994 Baswir Revrisond, “Kemiskinan, Krisis Ekonomi dan Politik Pembangunan Kerakyatan”, Jurnal Media Inovasi No. 1 Tahun IX/1999 Dwi Agung Wahyu,”BMT Dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”, (makalah) disampaikan pada seminar Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Lembaga Ekonomi Agama, Semarang 16 Februari 1999 EffendiDjohan, “Pendidikan Lembaga Ekonomi Islam dan Budaya Masyarakat,” makalah ini disampaikan pada seminar Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Lembaga Ekonomi Agama, DEPAG, Semarang 16 Februari 1999 Jazuli dan Yadi Janwari, Lembaga lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2002
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
79
Peran Strategis Baitul Maal Wa‐Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat
LatifDochak, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Lembaga-Lembaga Ekonomi Agama”, makalah disampaikan pada Seminar tentang Pemberdayaan Ekonomi Umat melalui Lembaga Ekonomi Agama, DEPAG, Semarang 16 Februari 1999 Lubis Ibrahim, Ekonomi Islam Suatu Pengantar Jilid 2, Jakarta: Kalam Mulia, 1995 Mubyarto, Ekonomi Rakyat: Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi IndonesiaYogyakarta: Aditya Media, 1997 Raharjo M.Dawan, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Ridwan Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT),Yogyakarta: UII Press, 2004 Sudarsono Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Yogyakarta: Ekonisia, 2005 Sumitro Warkum, Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Sumodiningrat Gunawan, Membangun Perekonomian Rakyat,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Tim Manajemen Program Pengorganisasian BMT, “Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Melalui Program BMT”.Kerjasama UII Yogyakarta dan PKPEK Yogyakarta, 14 Mei 2005. Tim PINBUK, Pedoman Cara Mendirikan BMTSurabaya: PINBUK JAWA TIMUR, 1999 Usman Sunyoto, Pembangunan dan Perbedayaan Masyarakat Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Widodo Hertanto dkk, PAS (Panduan Akuntansi Syariah) Panduan Praktis Operasional Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Bandung: Mizan, 1999
80
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am