PENINGKATAN KAPASITAS BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAN (Studi Kasus pada BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung)
NIA SURTIKANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa kajian pemberdayaan masyarakat Peningkatan Kapasitas Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dalam Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Kasus pada BMT Nurul Ummah Kelurahan di Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir kajian ini.
Bogor, 6 Maret 2008
Nia Surtikanti NRP. I.354060175
PENINGKATAN KAPASITAS BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAN (Studi Kasus pada BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung)
NIA SURTIKANTI
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT NIA SURTIKANTI. Increasing Baitul Maal wat Tamwil capacity to overcome poverty in the city (A case at BMT Nurul Ummah at Sekeloa Village Coblong District Bandung City). Under direction of Dra. WINATI WIGNA, MDS and DR. MARJUKI MSc. Baitul Maal wat Tamwil (BMT) is the institution of public economy which has an Islamic characteristic. In its activities BMT has two main activities: economic activities and social activities. In economic activities, BMT gives loans to its customers, gives guidance to improve its customers, and gives efforts in business to customers. Meanwhile in social activities, BMT gives service to collect and distribute ZIS to and from public and its customers. The two activities are potential in overcoming poverty. In Bandung City, where the poor and informal sector business are high, BMT has not capable yet to run its activities (based on research). In Baituttamwil activities, BMT has not capable yet to increase capital, to increase customers business, to build network with other stakeholders and to get full efforts from its customers.. In Baitul Maal activities, BMT has not capable yet to become an institution that collect and distribute ZIS from and to its customers and its public. In its out put, BMT has not capable yet to reach its goal optimally; to make sure of resources and fund resources from public efficiently, and compared to the former year BMT has not showed yet as an independent institution to improve the welfare of its customers and the poors. The efforts to improve BMT capacity has been done together by the participation of customers, BMT’staffs and other stakeholders from the local community, using the focus group discussion (FGD) technique. It is initiated by identification of the problems and potential that BMT has. The result of FGD techniques are: an agreement in solving and activities plan to improving BMT capacity, which cover: training for BMT ‘staffs to improve their skill, performance and attitude. To improve the capability of BMT’customers in increasing their business the BMT’staffs come directly to their customers itself. To effort the operational activities of BMT, there is an agreement to create volunteers to help BMT runs it activities, both in Baituttamwil and Baitul Maal as well.
RINGKASAN NIA SURTIKANTI, Peningkatan Kapasitas Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dalam penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Kasus pada BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung) Dibimbing oleh Dra.WINATI WIGNA, MDS dan DR.MARJUKI MSc. Kemiskinan di perkotaan adalah suatu fenomena sosial yang disebabkan karena ketidak berdayaan masyarakat di dalam mengakses sumberdaya lokal yang semakin lama semakin terbatas, keterbatasan sumberdaya lokal di perkotaan banyak disebabkan karena faktor urbanisasi. Dengan adanya ketidak berdayaan itulah perlu adanya suatu upaya peningkatan keberdayaan pada masyarakat agar masyarakat mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien sehingga mereka mampu mangatasi masalah kemiskinannya secara lebih mandiri. Pemberdayaan (empowerment) masyarakat merupakan strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan rakyat (people centered development) yang arahnya menuju kemandirian masyarakat, upaya peningkatan keberdayaan masyarakat yang efektif adalah melalui kelembagaan masyarakat itu sendiri. Salah satu faktor penyebab munculnya masalah kemiskinan adalah karena masalah ekonomi, dengan demikian, kelembagaan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi adalah kelembagaan ekonomi masyarakat. Salah satu kelembagaan ekonomi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT), BMT merupakan kelembagaan masyarakat yang memiliki dua lembaga yaitu lembaga ekonomi (Baituttamwil) dan lembaga sosial (Baitul Maal). Dalam lembaga ekonomi (Baituttamwil), BMT memberikan pelayanan simpanan dan bantuan pinjaman modal usaha kepada nasabah dengan sistem bagi hasil, memberikan pembinaan pengembangan usaha dan menyediakan sarana usaha produktif bagi nasabah. Sementara dalam kegiatan lembaga sosial (Baitul Maal), BMT melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran ZIS baik dari nasabah maupun dari masyarakat lainnya. Dana ZIS ini selain dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat miskin seperti kebutuhan pangan, biaya kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya, juga dapat dimanfaatkan untuk modal usaha produktif masyarakat miskin tersebut dengan tanpa jaminan atau persyaratan apapun serta tanpa bagi hasil. Di Kota Bandung terdapat 23 BMT, salah satunya adalah BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung. BMT Nurul Ummah saat ini masih cukup eksis walaupun memiliki berbagai permasalahan seperti: cukup tingginya tingkat kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah yang disebabkan karena usaha nasabah tersebut tidak berkembang serta terhenti dan adanya kondisi modal yang semakin berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pinjaman nasabah secara optimal.. Dengan kondisi demikian BMT Nurul Ummah saat ini sangat tergantung pada bantuan modal, baik pinjaman maupun hibah dari pihak luar. Faktor yang menyebabkan BMT Nurul Ummah mengalami hal ketergantungan pada modal usaha dari luar adalah karena BMT belum mampu memanfaatkan sumberdaya masyarakat secara optimal, sementara kalau dilihat
dari peta sosial masyarakatnya (social mapping), Kelurahan Sekeloa dimana lokasi kerja BMT berada memiliki banyak potensi yang dapat menunjang seperti: adanya fasilitas pendidikan yang menjadi sarana ekonomi bagi pelaku usaha sektor informal, lokasi Kelurahan Sekeloa yang strategis memberi kemudahan masyarakat untuk menjangkau sumber-sumber ekonomi lainnya, adanya kepatuhan masyarakat dalam menyalurkan ZIS nya, cukup tingginya kepedulian sosial para tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal terhadap masalah kemiskinan dan cukup tingginya kepatuhan masyarakat terhadap tokohtokoh masyarakat tersebut dapat menjadi modal sosial BMT dalam menjangkau sumberdaya dan sumberdana masyarakat. Kurangnya kemampuan BMT dalam memanfaatkan sumberdaya dan sumberdana masyarakat tersebut disebabkan karena kurangnya dukungan dan partisipasi aktif baik dari stakeholders terkait maupun dari nasabah. Penyebab tidak adanya partisipasi tersebut adalah kurangnya kemampuan pengurus dalam melakukan sosialisasi maupun pendekatan terhadap nasabah maupun stakeholders terkait. Selain belum mampunya BMT menyediakan modal usaha bagi nasabah secara optimal, belum mampunya BMT menjalin kerjasama dengan stakeholders dan nasabah, BMT juga belum mampu memfungsikan Baitul Maal sehingga sampai saat ini BMT belum dapat melakukan penghimpunan dan penyaluran ZIS nasabah maupun dari masyarakat lainnya melalui lembaga sosial tersebut. Dengan adanya masalah-masalah tersebut BMT belum mampu mencapai tujuannya dalam menanggulangi kemiskinan di Kelurahan Sekeloa. Adanya potensi yang dimiliki produk-produk BMT untuk menanggulangi kemiskinan di perkotaan, dan adanya fakta belum mampunya BMT menjadi sarana peningkatan keberdayaan nasabah dan masyarakat di lingkungan sosialnya, dengan demikian perlu adanya suatu upaya yang mengarah pada peningkatan kapasitas. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas BMT dilakukan secara partisipatif dengan nasabah, pengurus BMT dan stakeholders terkait dalam suatu forum diskusi kelompok terfokus (FGD) di mana dalam kegiatan diskusi terfokus tersebut berdasarkan masalah dan potensi yang dimiliki BMT, semua yang hadir diminta pendapat dan pandangannya tentang bagaimana upaya meningkatkan kapasitas BMT. Setelah diperoleh kesepakatan mengenai masalah BMT, alternatif pemecahan masalah yang disepakati bersama adalah meningkatkan kemampuan pengurus BMT, melakukan pemupukan modal dengan memanfaatkan sumberdaya masyarakat yang ada secara lebih optimal, meningkatkan kemampuan usaha nasabah, menjalin kerjasama dengan stakeholders terkait dan penggalian sumberdana masyarakat/nasabah untuk penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari dana ZIS. Setelah mendapat kesepakatan dari alternatif pemecahan masalah, secara partisipatif menyusun rencana program peningkatan kapasitas BMT dengan startegi yang disepakati yaitu penguatan kemampuan kelembagaan BMT yang meliputi kemampuan melakukan sosialisasi, kemampuan berinteraksi dengan masyarakat, kemampuan mengembangkan usaha nasabah dan kemampuan menghimpun dan menyalurkan ZIS. Sementara penguatan kemampuan pada usaha nasabah meliputi pelatihan peningkatan kemampuan pengembangan usaha nasabah dengan sistem jemput bola. Untuk meningkatkan kemandirian dan
keswadayaan lembaga dan pengembangan serta penguatan dana ZIS meliputi peningkatan pemupukan modal, peningkatan kerjasama dengan stakeholders terkait dan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya masyarakat. Untuk membantu kegiatan BMT, disepakati untuk membentuk kader yang fungsinya dan tugasnya adalah membantu kegiatan BMT dan memfasilitasi hubungan BMT baik dengan nasabah maupun dengan stakeholders terkait dalam kegiatan Baituttamwil dan Baitul Maal. Untuk membentuk kader tersebut dilakukan bersama-sama dengan RT/RW setempat sifatnya tidak terikat, kompensasi bagi kader berdasarkan prosentasi pemasukan kader tersebut pada BMT dari nasabah baik peminjam maupun penabung. Manfaat dari kerjasama dengan kader tersebut bagi kelangsungan BMT adalah: terwujudnya kepedulian sosial dan partisipasi dari masyarakat/nasabah, terjalinnya koordinasi dengan unsur-unsur masyarakat dan stakeholders terkait baik formal maupun informal, meningkatnya pemupukan modal usaha BMT dan dapat termanfaatkannya sumberdana dan sumberdaya masyarakat secara lebih optimal. Implikasi kebijakan dari hasil kesepakatan rencana program tersebut adalah: melaksanakan pelatihan bagi pengurus yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan penguasaan (performance), keahlian (skill) dan sikap (attitude) yang diselenggarakan ABSINDO (Asosiasi BMT Seluruh Indonesia) yang bekerja sama dengan Dinas Koperasi meliputi: pelatihan teknik hubungan masyarakat (Human Relation Training), pelatihan teknik pemasaran (Marketing Training), pelatihan komunikasi masyarakat (Human Communication Training), pelatihan teknik dan administrasi pengelolaan ZIS dan pelatihan manajemen sumberdaya anusia (Human Resource Management). Membentuk kader BMT dan melakukan pelatihan pada kader tesebut, menjalin kerjasama dengan stakeholders komunitas lokal sebagai bentuk integrasi dari kelembagaan BMT. Untuk lebih mengarahkan kapasitas BMT kearah yang lebih makro, implikasi kebijakan ditujukan kepada stakeholders antar komunitas dengan tujuan agar dapat menjalin jejaring kolaboratif dalam suatu pertalian (linkage) seperti dengan Bank Syariah, Perguruan Tinggi, Pengusaha dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, kerjasama dengan stakeholders tersebut sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sementara Pemerintah Kota Bandung memfasilitasi kerjasama tersebut dengan memberikan kebijakan-kebijakan pengintegrasian sehingga stakeholders yang melaksanakan kerjasama dengan BMT memperoleh legitimasi, hal ini memberi peluang bagi stakeholders untuk dapat menyalurkan aspirasinya dan bahkan dapat memberikan kontribusinya dalam kegiatan jejaring kolaboratif tersebut. Selain memberikan fasilitas, pemerintah Kota Bandung juga dapat mensinergikan kegiatan BMT dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang sudah direncanakan. Selain itu fasilitasi juga dapat diberikan pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pengelolaan dan pengembangan kelembagaan BMT yang bersumber dari bantuan-bantuan dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Tesis
Nama NRP
: Peningkatan Kapasitas Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dalam Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (Studi Kasus pada BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung) : Nia Surtikanti : I.354060175
Disetujui Komisi Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDS Ketua
Dr..Marjuki, MSc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr.Ir.Djuara P.Lubis, MS
Tanggal Lulus :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.H.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 6 Maret 2008
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian dengan judul PENINGKATAN KAPASITAS BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN. (Studi Kasus pada BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Winati Wigna MDS dan Bapak DR. Marjuki MSc. selaku pembimbing atas bimbingan dan perhatiannya yang tulus kepada penulis. Begitu juga penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.Fredian Tonny Nasdian MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan bagi penyempurnaan kajian. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Nono Durachman beserta seluruh staf Kelurahan Sekeloa, Ibu Rita beserta staf BMT Nurul Ummah, Ibu Endah selaku pengurus ABSINDO Kota Bandung dan Bapak Kurnadi, SH. M.Si Ka sie Penataran dan Penyuluhan Dinas Koperasi Kota Bandung yang telah banyak memberikan masukan dan informasi selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tuaku, adik-adikku, suamiku dan anak-anakku tercinta atas do’a, dukungan dan kasih sayangnya. Kata terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di STKS Bandung dan rekan-rekan MPM 2006 serta semua fihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas dukungan dan kebersamaannya. Semoga kajian ini bermanfaat
Bogor, Maret 2008
Nia Surtikanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Agustus 1965 dari pasangan Bapak Hidayat Wangsadiredja dan Ibu Hj. Yenny Sofiah. Penulis merupakan putri pertama dari enam bersaudara. Masa pendidikan SD, SMP dan SMA dijalani di Bandung Jawa Barat. Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu AdministrasiLembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) Bandung jurusan Manajemen Sumberdaya Manusia. Tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB). Sejak tahun 1985 penulis menjadi seorang pegawai negeri sipil pada instansi Badan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang mana sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 penulis menjabat sebagai Penyuluh Keluarga Berencana (PKB). Tahun 2005 sampai sekarang penulis bertugas pada Pemerintah Kota Bandung di Kecamatan Coblong.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………………… xi DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………..xii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….xiii PENDAHULUAN Latar Belakang …………………………………………………………. Perumusan Masalah Kajian …………………………………………….. Tujuan Kajian …………………………………………………………... Kegunaan Kajian ………………………………………………………..
1 7 7 8
PENDEKATAN TEORITIS Teori dan Konsep ………………………………………………………. 9 Kemiskinan dan Penanggulangannya ………………………….. 9 Karakteristik Penduduk Perkotaan …………………………….. 11 Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Ekonomi Masyarakat ….. 16 Peningkatan Kinerja Kelembagaan …………………………….. 21 Pengembangan Jejaring Sosial dalam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan …………………………………………………… 23 BMT sebagai Contoh Kelembagaan Ekonomi Masyarakat ……. 24 Kerangka Pemikiran …………………………………………..... 30 METODOLOGI Strategi Kajian ………………………………………………………… Lokasi dan Waktu Kajian ……………………………………………... Penentuan Kasus Kajian ……………………………………………….. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis data …………………………. Pengolahan Data dan Analisis Data …………………………………… Penyusunan Program …………………………………………………..
37 37 38 41 43 43
KEBERADAAN BMT NURUL UMMAH DALAM PETA SOSIAL MASYARAKAT KELURAHAN SEKELOA Kondisi Geografis dan Administratif …………………………………. Kondisi Kependudukan dan Ekonomi ………………………………… Karakteristik Masyarakat Perkotaan pada Penduduk….……………… Pelapisan Sosial dan Kepemimpinan Dalam Masyarakat.……………. Kelembagaan dan Organisasi …………………………………………. Kondisi Keagamaan …………………………………………………… Masalah Sosial …………………………………………………………
45 47 50 52 53 54 55
EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN SEKELOA KECAMATAN COBLONG KOTA BANDUNG Deskripsi kegiatan …………………………………………………….. 59 Kegiatan Modal Bergulir PDM-DKE ………………………… 59 Kegiatan P2KP ………………………………………………… 62
Kegiatan BMT Nurul Ummah ………………………………..... 64 Kelembagaan Ekonomi Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Masyarakat ………………………… 67 ANALISIS KAPASITAS DAN PENCAPAIAN KINERJA BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) NURUL UMMAH Kapasitas Keragaan BMT …... ………………………………………… Kemampuan Nasabah ………………………………………… Kemampuan Kelembagaan …………………………………… Kinerja BMT dalam Pengembangan Masyarakat ………………………. Pencapaian Tujuan Pokok ……………………………………. Efisisensi Pemanfaatan Sumberdaya …………………………. Perkembangan Pencapaian Tujuan …………………………… Karakteristik Masyarakat Perkotaan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Kelembagaan BMT ……………………………………………………... Karakteristik Masyarakat Perkotaan yang Diadopsi Nasabah BMT ………………………………………………... Karakteristik Masyarakat Perkotaan yang Diadopsi Pengurus BMT ……………………………………………….. Analisis Kekuatan dan Kelemahan BMT ……………………………….
72 72 76 86 87 88 90 91 91 93 95
PERENCANAAN PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN Identifikasi Potensi dan Permasalahan BMT …………………………… 99 Penggalian Alternatif Pemecahan Masalah …………………………….. 103 Meningkatkan Kemampuan Pengurus BMT …………………. 103 Pemupukan Modal ……………………………………………. 103 Meningkatkan Kemampuan Usaha Nasabah …………………. 104 Menjalin Kerjasama dengan Stakeholders …………………… 105 Penggalian Sumberdana Masyarakat /Nasabah Untuk Penanggulangan Kemiskinan ………………………….. 106 Rancangan Program Peningkatan Kapasitas BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung …………….. 112 Proses Rancangan Program …………………………………….112 Strategi …………………………………………………………112 Penguatan Kemampuan Sumberdaya Manusia Pengurus BMT Nurul Ummah ……………………………………………113 Penguatan Kemampuan Usaha Nasabah ……………………….113 Peningkatan Kemandirian dan Kesawadayaan Lembaga ………115 Program Aksi …………………………………………………. 116 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan ………………………………………………………………123 Implikasi Kebijakan …………………………………………………….. 125 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………130 LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 132
DAFTAR TABEL Halaman 1 Langkah-Langkah kegiatan Kajian Peningkatan Kapasitas Baitul Maal Wat Tamwil dalam Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan Studi Kasus di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota bandung Tahun 2007 …………………………………. 44 2 Jumlah Penduduk Kelurahan Sekeloa Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006 …………………………………………… 47 3 Mata Pencaharian Pokok Kepala Keluarga pada Penduduk di Kelurahan Sekeloa Tahun 2006 …………………………………… 49 4 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kelurahan Sekeloa Tahun 2006…………….……………………………...………………. 50 5 Pencapaian Tujuan Pokok …………………………………………… 87 6 Perbandingan Hasil yang Dicapai BMT Tahun 2006-2007 …………. 91 7 Analisis Kekuatan dan Kelemahan BMT Nurul Ummah …………… 98 8 Alternatif Upaya Pemecahan Masalah Hasil Diskusi kegiatan FGD .. 108 9 Rencana Program Peningkatan Kapasitas BMT Nurul Ummah ……. 118
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema Kerangka Pemikiran Kajian ……………………………….. 36 2 Piramida Penduduk Kelurahan Sekeloa Tahun 2006 ……………… 48
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta Kelurahan Sekeloa ………………………………………133
2
Panduan Pertanyaan …………………………………………. 134
3
Dokumentasi Kegiatan ………………………………………. 140
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya, dengan demikian pembangunan yang mencakup aspek multidimensional tidak hanya aspek ekonomi namun juga politik, sosial dan budaya. Setiap sektor dan pelaku pembangunan harus merefleksikan esensi dari pembangunan itu sendiri. Artinya di dalam suatu pembangunan individu, kelompok maupun sektor, ruang manifestasi sosial harus tetap tersedia di samping ruang ekonomi, inilah penjabaran dari makna multidimensional. Perlu disadari juga bahwa fungsi sosial dan ekonomi adalah dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait satu dengan yang lain. Penanggulangan kemiskinan yang tidak memisahkan antara fungsi ekonomi dan sosial adalah pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan keuangan mikro. Pemberdayaan
(empowerment)
masyarakat
merupakan
strategi
pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan rakyat (people centered development), yang arahnya menuju pada kemandirian masyarakat. Hal ini relevan dengan kebijakan desentralisasi dalam penanganan masalah sosial. (Sumardjo dan Saharudin, 2006). Program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat (Community Development Approach) saat ini menjadi harapan besar mengingat kunci pengentasan kemiskinan pada hakekatnya terletak pada kekuatan masyarakat sendiri. Untuk itu diperlukan upaya memberi daya kepada masyarakat atau dengan kata lain memberdayakan masyarakat. Upaya memberi daya tersebut tidak hanya selalu diartikan sebagai bantuan finansial, tetapi pemberdayaan dalam tataran praktis memerlukan
tindakan
kongkrit
yang
dapat
meningkatkan
keswadayaan
masyarakat baik dari segi kemampuan (capacity) ataupun keterampilan (skill) yang disebut dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Hal ini menjadi faktor penting dalam suatu program penanggulangan kemiskinan baik di perkotaan ataupun di pedesaan. Pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) berupaya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menggugat kembali sub ordinasi mereka melalui organisasi-organisasi lokal secara bottom up.
Dalam kaitan ini organisasi yang dianggap paling efektif adalah organisasi yang berawal dari pemenuhan kebutuhan praktis masyarakat yang kongkret. Salah satu organisasi dalam pengembangan keuangan mikro adalah lembaga ekonomi masyarakat. Lembaga ekonomi masyarakat itu sendiri mengandung makna “ikatan sosial” yang dibangun berdasarkan jejaring sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari modal sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat. Pembangunan dalam pemberdayaan masyarakat secara sosiologis menekankan pada pembangunan berbasis lokal yang di dalamnya terdapat ikatan sosial yang digunakan untuk berinteraksi antar kelompok, organisasi, instansi, komunitas dan lokalitas dengan melintasi beragam ras (Nasdian, 2004) Dengan demikian strategi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga ekonomi masyarakat untuk mengembangkan keuangan mikro merupakan upaya efektif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi konteks masyarakat itu sendiri dalam strategi pemberdayaan masyarakat memiliki karakteristik tersendiri yang di dasarkan pada lokalitas (locality). Hal ini dimaksudkan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat pada satu lokalitas akan berbeda dengan pemberdayaan masyarakat pada lokalitas lainnya, seperti misalnya strategi pemberdayaan pada masyarakat pedesaan yang homogen akan berbeda dengan strategi pemberdayaan masyarakat pada masyarakat perkotaan yang heterogen. Heterogenitas pada masyarakat perkotaan berakibat pada munculnya gejala depersonalisasi yaitu lunturnya kepribadian, ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju kepada impersonalitas dari masyarakat modern. Gejala impersonalitas seperti yang dilukiskan oleh George Simmel dalam Daldjoeni (1985) bahwa orang kota sebagai yang cenderung mencari privacy, berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan khusus saja dan menilai segalanya dengan standar uang. Heterogenitas masyarakat perkotaan diakibatkan oleh faktor urbanisasi, urbanisasi menciptakan karakteristik khas di perkotaan yang disebut dengan karakteristik masyarakat kota.
Karakteristik
masyarakat perkotaan inilah yang diduga sering menjadi penyebab rendahnya kapasitas lembaga ekonomi masyarakat di perkotaan.
Seperti halnya yang terjadi pada lembaga ekonomi masyarakat yang berada di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 25.841 jiwa dan jumlah penduduk miskin sebanyak 743 KK, sekitar kurang lebih 60 % penduduknya adalah pendatang. Berdasarkan hasil observasi singkat terhadap Pengembangan Masyarakat (PL.2 MPM, tahun 2007) diketahui bahwa di Kelurahan Sekeloa terdapat beberapa lembaga ekonomi masyarakat meliputi BMT (Baitul Maal wat Tamwil) yang dibentuk berdasarkan aspirasi warga masyarakat, kondisinya saat ini kurang berkembang dan lembaga ekonomi masyarakat yang dibentuk pemerintah dalam upaya menanggulangi masalah kemiskinan di perkotaan seperti PDM-DKE dan P2KP, bantuan modal bergulir dengan jumlah yang besar pada program PDM-DKE dan P2KP tetapi hasilnya tetap sama pada saat ini juga kurang berkembang malah cenderung sudah tidak aktif lagi. Masalah yang terjadi dalam lembaga-lembaga ekonomi masyarakat tersebut pada umumnya adalah sama yaitu tingginya kemacetan pengembalian pinjaman dari anggota, kurangnya partisipasi anggota terhadap kelangsungan lembaga dan kurangnya dukungan stakeholders. Faktor penyebabnya adalah kurangnya kapasitas (kemampuan) kelembagaan ekonomi masyarakat tersebut dalam meningkatkan keberdayaan anggota, dalam melibatkan peran aktif anggota dan dalam menjalin kerjasama dengan stakeholders sehingga tujuan dibentuknya lembaga ekonomi masyarakat tersebut dalam menanggulangi masalah kemiskinan tidak tercapai. Hal ini dibuktikan dengan masih cukup tingginya jumlah masyarakat miskin di Kelurahan Sekeloa. Dengan adanya permasalahan tersebut, hal menarik yang ingin dikaji adalah bagaimana meningkatkan kapasitas (kemampuan) lembaga ekonomi masyarakat dalam upaya menanggulangi masalah kemiskinan di perkotaan. Untuk itu penulis melakukan sebuah kajian pada salah satu lembaga ekonomi masyarakat yang berada di Kelurahan Sekeloa yaitu pada lembaga keuangan masyarakat BMT Nurul Ummah. Hal yang menarik dari BMT ini adalah: (1) Muncul dari aspirasi anggota masyarakat karena dibentuk atas usulan anggota masyarakat (2) Kegiatannya berdasarkan syariah Islam dan ini sesuai dengan kondisi masyarakat yang
sebagian besar beragama Islam, (3) Dalam hal keorganisasian, pengurus BMT sudah terdidik untuk pengelolaan manajemennya, (4) Selain memiliki kegiatan menghimpun dana simpanan/tabungan anggota dan pembiayaan kredit modal usaha bagi pengembangan usaha mikro masyarakat, BMT juga memiliki produk menghimpun dan menyalurkan dana zakat, infaq dan shadaqah (ZIS), (5) Dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan LSM (PINBUK dan ICMI) dalam pembentukan BMT, ini menunjukkan sudah adanya jejaring (networking) di tingkat pemerintah. Dalam kegiatannya sebagai lembaga ekonomi masyarakat, BMT memiliki dua kegiatan utama yang bertujuan untuk mensejahterakan nasabah pelaku usaha sektor informal melalui pembiayaan kredit modal usaha (Baituttamwil) dan dari penghimpunan zakat, infaq, shadaqah (Baitul Maal) bagi nasabah yang mengalami masalah ekonomi . Modal usaha BMT bersumber dari pinjaman dan simpanan
nasabah
untuk
kegiatan
komersil
(Baituttamwil)
dan
dari
penghimpunan ZIS untuk kegiatan sosial (Baitul Maal). Dana ZIS yang dapat dihimpun Baitul Maal merupakan sumber dana yang potensial untuk menanggulangi masalah kemiskinan mengingat sebagian besar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap Agama Islam di mana membayar ZIS merupakan bagian dari kewajiban dalam Agama Islam seperti yang disabdakan Rasululloh saw dalam Al Qur’an (HR.Imam Bazzar) dalam Ilmi (2002) bahwa “Sesungguhnya kesempurnaan Islam kalian adalah bila kalian menunaikan zakat bagi harta kalian”. Hal ini di dasari oleh ayat yang tercantum dalam surat adzDzaariyaat ayat: 19 “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta)”. Masyarakat
di Kelurahan Sekeloa sebagian besar adalah pelaku usaha
sektor informal. Hal ini didukung oleh kondisi wilayah yang termasuk padat, dekat dengan pusat keramaian dan aktivitas masyarakat kota lainnya seperti adanya aktivitas pusat pendidikan, adanya aktivitas perkantoran dan lain sebagainya. Namun keterbatasan modal sering menjadi kendala dalam mengembangkan usaha, sementara untuk meminjam modal usaha pada perbankan konvensional prosedur dan jaminan yang disyaratkan sering menjadi sesuatu yang sulit untuk dipenuhi.
Dengan adanya kesulitan mereka dalam mengakses perbankan konvensional tidak sedikit pelaku usaha sektor informal di Kelurahan Sekeloa yang meminjam uang untuk modal kepada para rentenir, akibatnya tidak sedikit pelaku usaha sektor informal tersebut dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini menjadi sangat rawan untuk jatuh miskin karena mereka semakin terjerat oleh bunga rentenir. Pelaku usaha sektor informal pada umumnya di perkotaan, dengan keterbatasan modal usaha, tingginya tingkat persaingan dan tingginya biaya hidup menyebabkan mereka sangat menghargai waktu. Buat mereka waktu adalah uang itulah sebabnya para rentenir sangat mudah masuk dalam kehidupan mereka, karena selain tidak membutuhkan prosedur dan jaminan para rentenir akan bersedia mengunjungi mereka setiap hari untuk mengambil pengembalian pinjaman mereka. Dengan demikian para pelaku usaha sektor informal tersebut tidak perlu meninggalkan usahanya untuk mengembalikan pinjaman. BMT Nurul Ummah yang berlokasi di Kelurahan Sekeloa, tujuan awal didirikannya adalah untuk melepaskan para pelaku usaha sektor informal dari para rentenir. Untuk memberikan kemudahan bagi nasabah, BMT mempraktekkan apa yang selama ini dilakukan oleh para rentenir dalam memberikan pinjaman kepada pelaku usaha sektor informal tetapi dalam koridor sebagai lembaga keuangan masyarakat. Kemudahan tersebut adalah dalam hal prosedur, calon nasabah hanya diminta KTP setempat dan Kartu Keluarga sementara jaminannya hanya usaha yang sedang berjalan. Untuk kemudahan pengembalian pinjaman, BMT memberikan pelayanan jemput bola. Pelayanan jemput bola dilakukan setiap hari oleh petugas lapangan BMT langsung ke tempat usaha nasabah, pelayanan ini juga dilakukan pada nasabah yang menabung. Selain memberikan pelayanan jemput bola, kegiatan transaksi pinjaman dengan nasabah juga dapat dilakukan di lokasi usaha nasabah sehingga nasabah tidak perlu menyediakan waktu khusus untuk kegiatan pinjaman maupun untuk kegiatan pengembalian pinjaman. Adanya kondisi ketidak stabilan perekonomian negara seperti saat ini, menimbulkan kerentanan bagi pelaku usaha sektor informal yang memiliki modal kecil. Hal ini berdampak pada ancaman semakin bertambahnya jumlah penduduk
miskin. Sementara pada kegiatan Baitul Maal, BMT selain memberikan bantuan yang bersifat konsumsi seperti pemberian sembako, bantuan kesehatan dan pendidikan, juga memberikan bantuan kredit modal usaha produktif dengan tanpa jaminan dan bagi hasil serta persyaratan apapun pada nasabah atau masyarakat miskin. Keberadaan BMT dapat dijadikan sarana untuk menekan semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin tersebut dengan fungsinya sebagai lembaga ekonomi dan sosial masyarakat, tetapi dengan kondisinya saat ini BMT Nurul Ummah belum mampu secara maksimal dalam membantu modal usaha nasabah pelaku usaha sektor informal tersebut. Hal ini disebabkan
adanya
keterbatasan modal yang diakibatkan oleh banyaknya nasabah yang tidak lancar atau sama sekali tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Faktor penyebab ketidak lancaran tersebut adalah adanya kemunduran atau kebangkrutan usaha pada nasabah tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan dalam kegiatan evaluasi pengembangan masyarakat (PL-2), diketahui bahwa sampai saat ini BMT Nurul Ummah belum melaksanakan kegiatan pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas usaha nasabah. Selain itu BMT Nurul Ummah juga belum memfungsikan Baitul Maal di mana dana ZIS masyarakat atau nasabah yang dapat dihimpun Baitul Maal sangat berpotensi untuk menanggulangi kemiskinan pada nasabah/masyarakat miskin lainnya. Dalam sebuah kelembagaan masyarakat, stakeholders memiliki peranan yang penting untuk menunjang keberhasilan terutama dalam perannya sebagai penggerak masyarakat. BMT Nurul Ummah dalam hal ini belum melibatkan para stakeholders tersebut, baik dalam kegiatan sosialisasi ataupun dalam kegiatan teknis. Dampak dari belum dilibatkannya para stakeholders tersebut adalah kurangnya dukungan dari para stakeholders baik teknis maupun operasional. Dari semua permasalahan tersebut berpengaruh pada rendahnya kapasitas BMT Nurul Ummah dalam menanggulangi kemiskinan di Kelurahan Sekeloa Dengan adanya permasalahan yang berkaitan dengan kelemahan-kelemahan BMT tersebut di atas, hal yang ingin diketahui dalam kajian ini adalah “bagaimana
meningkatkan
kapasitas
BMT
penanggulangan kemiskinan di perkotaan?”
yang
bertujuan
untuk
Perumusan Masalah Kajian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas untuk mengkaji bagaimana upaya untuk meningkatkan kapasitas BMT Nurul Ummah dan faktorfaktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat dari rendahnya kapasitas BMT Nurul Ummah tersebut perlu dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keragaan (performance) kelembagaan BMT Nurul Ummah? 2. Sejauhmana kinerja lembaga BMT Nurul Ummah yang telah dicapai selama ini dalam mencapai tujuannya untuk menanggulangi masalah kemiskinan di Kelurahan Sekeloa ? 3. Karakteristik masyarakat perkotaan yang bagaimana yang diduga berpengaruh kepada kurang berkembangnya BMT Nurul Ummah? 4. Bagaimanakah strategi program pengembangan masyarakat yang perlu dibuat agar kapasitas BMT Nurul Ummah meningkat dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Sekeloa? Secara keseluruhan kajian ini mencari strategi untuk mengembangkan kapasitas BMT sebagai lembaga keuangan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan.
Tujuan Kajian
Dari rumusan masalah tersebut di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam rencana kajian ini adalah : 1. Mengetahui kapasitas keragaan (performance) kelembagaan BMT Nurul Ummah 2. Mengetahui kinerja lembaga BMT Nurul Ummah yang telah dicapai dalam menanggulangi kemiskinan di Kelurahan Sekeloa ? 3. Mengetahui karakteristik masyarakat perkotaan yang berpengaruh kepada kurang berkembangnya BMT Nurul Ummah 4. Terumuskannya strategi program untuk meningkatkan kapasitas BMT Nurul Ummah dalam penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Sekeloa
Kegunaan Kajian
Secara internal kajian ini menambah wawasan dan pengetahuan pengkaji mengenai pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat. Selain itu dengan ikut terlibatnya pengkaji dalam kegiatan pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakan di daerah kajian, menambah pengalaman bagaimana melaksanakan kegiatan identifikasi masalah, menggali kebutuhan masyarakat dan melaksanakan kegiatan pemecahan masalah secara partisipatif dengan masyarakat dalam suatu kegiatan pengembangan masyarakat. Secara eksternal diharapkan kajian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi upaya peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat yang berbasis komunitas khususnya bagi BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung. Di samping
dapat
menjadi informasi bagi masyarakat secara luas yang terlibat dalam program pengembangan masyarakat.
PENDEKATAN TEORITIS Teori dan Konsep
Kemiskinan dan Penanggulangannya Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan di perkotaan ditandai oleh
pengangguran
ketimpangan
yang
dan
keterbelakangan,
memunculkan
kemudian
ketidaksamaan
meningkat
menjadi
kesempatan
dalam
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial Pada akhirnya ketidaksamaan ini menciptakan kesenjangan ekonomi di masyarakat. Friedman dalam Suharto (2006) mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, meliputi : 1. Modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); 2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit); 3. Organisasi sosial dan politik yang dapat di gunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial); 4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa ; 5. Pengetahuan dan keterampilan; dan 6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi, sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi (Kartasasmita, 1996). Kemiskinan bukan hanya suatu ketidak mampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi suatu kehidupan yang layak, tetapi juga berkaitan erat dengan keadaan sistem kelembagaan yang tidak mampu memberikan kesempatan yang adil bagi anggota masyarakat untuk memanfaatkan, memperoleh manfaat dari sumber yang tersedia (Jamasy, 2004). Kemiskinan juga merupakan persoalan multidimensi yang mencakup politik sosial, ekonomi maupun aset. Dimensi politik mewujud pada titik dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan kaum miskin. Dimensi sosial dalam bentuk tidak terintegrasinya masyarakat miskin dalam institusi sosial yang ada. Sementara dimensi ekonomi tampil dalam bentuk rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup
sampai batas yang layak dan dimensi aset yang ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin keberbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka,
termasuk
aset, kualitas
sumberdaya manusia, dan sebagainya
(Kusuma,2002). Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997
telah
menyebabkan semakin terus meningkatnya jumlah penduduk miskin. Hal ini disebabkan terus melambungnya harga kebutuhan pokok ditunjang dengan adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat seperti kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan harga BBM. Dampak dari kebijakan pemerintah ini semakin menekan kehidupan rakyat, harga kebutuhan pokok semakin sulit terjangkau pengangguran terus meningkat yang disebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan semakin sulitnya mendapatkan peluang kerja. Di Jawa Barat jumlah pengangguran terus meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 jumlah pengangguran meningkat 66,94 % (2.260.900 jiwa) dari jumlah pengangguran pada tahun 2003 yang berjumlah 1.513.511 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa imbas dari krisis ekonomi dan kebijakan pemerintah tersebut sangat besar pengaruhnya pada kehidupan rakyat terutama pada masyarakat di perkotaan. Di perkotaan krisis ekonomi ini memberi pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama seperti konstruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa dampak negatif
terhadap
pengangguran. Studi yang dilakukan oleh Jellinek dan Rustanto (1999) tentang kondisi masyarakat miskin perkotaan selama krisis ekonomi menemukan bahwa peningkatan ketidak pastian dalam masyarakat miskin yang disebabkan oleh kehilangan pekerjaan, penurunan upah, peningkatan kriminalitas, konflik sosial, penurunan aksesibilitas terhadap infrastruktur sosial dan ekonomi serta ketidak pastian pelaksanaan tanggungjawab, dan partisipasi sosial dari warga masyarakat. Untuk mengurangi dan menekan semakin bertambahnya jumlah masyarakat miskin dalam Instruksi Presiden No.5 Tahun 1993 tentang Penanggulangan Kemiskinan, Pemerintah telah menurunkan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan yang berkaitan dengan: 1. Peningkatan akses fakir miskin terhadap sumberdaya sosial ekonomi,
2. Peningkatan prakarsa dan peran aktif warga masyarakat dalam pemberdayaan fakir miskin, 3. Perlindungan hak-hak dasar fakir miskin, dan 4. Peningkatan kualitas manajemen pemberdayaan fakir miskin.
Karakteristik Penduduk Perkotaan Kota merupakan wilayah yang berisi orang-orang dengan aneka latar belakang dan mata pencaharian, (Daldjoeni, 1998). Selanjutnya Wirth dalam Daldjoeni (1998) merumuskan kota sebagai pemukiman yang relatif besar padat dan permanen dengan penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya. Bintaro (1983) mendefinisikan bahwa kota itu suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistis. Kepadatan penduduk di perkotaan dipengaruhi selain karena pertumbuhan alami (natural increase) juga dipengaruhi oleh mobilitas (gerak) penduduk. Dalam UU No. 10 Tahun 1992 dinyatakan bahwa mobilitas penduduk adalah gerak keruangan penduduk dengan melewati batas administrasi. Ada dua faktor penentu dalam menggolongkan gerak penduduk, faktor pertama adalah jarak minimal tertentu biasanya dipakai unit wilayah, faktor kedua adalah waktu. Berkenaan dengan faktor waktu secara umum dapat dibedakan dalam gerak penduduk permanen (permanent movement) dan gerak penduduk non permanen (temporary movement). Dimensi permanen dari gerak penduduk disebut dengan migrasi. Migrasi merupakan salah satu variabel yang dapat mempengaruhi perkembangan penduduk suatu wilayah (daerah), sebab terjadinya migrasi adalah karena adanya faktor-faktor pendorong di daerah asal dan faktor-faktor penarik di daerah tujuan. Seperti yang diungkapkan P.Todaro dan Stilkind yang disunting Manning dan Noer Effendi (1983) bahwa migrasi yang pesat berlangsung terus karena tingkat pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan tetap tinggi, kemiskinan di desa semakin meningkat, dan upah serta pendapatan di kota tetap lebih tinggi dibanding dengan keadaan di pasar bebas. Pendapat ini didukung oleh Suharso (1978) yang mengungkapkan bahwa sebagian besar migran yang meninggalkan desa umumnya tidak memiliki tanah dan pekerjaan yang tetap,
mereka terpaksa pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Umumnya para migran dari desa beranggapan bahwa di kota mudah mendapatkan pekerjaan. Pada era krisis ekonomi banyak penduduk desa pindah ke kota untuk mencari pekerjaan yang dapat memperbaiki kehidupan mereka, seperti yang di kutip
Hugo (1992) dalam Rusli dkk. (2006) bahwa arus gerak penduduk dari
desa ke kota, meningkat dengan pesat pada dua dekade terakhir. Kondisi ini menyebabkan semakin tingginya jumlah penduduk perkotaan yang disebabkan arus urbanisasi. Urbanisasi berdampak pada bertambahnya permasalahanpermasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan di perkotaan. Dengan semakin banyaknya penduduk perkotaan,
fasilitas umum yang melayani masyarakat
menjadi sangat terbatas dan dapat mengakibatkan turunnya fasilitas pelayanan masyarakat dari pemerintah, selain itu tingginya jumlah penduduk juga berimplikasi pada meningkatnya jumlah penyandang masalah kesejateraan sosial (PMKS), misalnya jumlah keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungan tidak layak huni, jumlah fakir miskin/ keluarga miskin, wanita rawan sosial ekonomi, tunasusila, anak terlantar, gelandangan dan pengemis. Kelebihan penduduk di manapun akan berarti tidak cukup bagi sebagian terbesar penduduk untuk hidup secara layak. (Singarimbun & Penny, 1976) Batasan dari urbanisasi menurut Suharso (1978) yaitu bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan antara lain oleh proses perpindahan penduduk dari desa ke kota dan atau dari perluasan daerah kota”. Urbanisasi menciptakan karakteristik khas di perkotaan yang disebut dengan karakteristik masyarakat kota. Menurut Louis Wirth dalam Daldjoeni (1985) kota ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya dan sifat heterogenitas masyarakatnya. Gaya hidup khas kekotaan disebut urbanism, dan ini ditentukan oleh ciri-ciri spatial, sekularisasi, asosiasi sukarela, peranan sosial yang terpisah dan norma-norma yang serba kabur. L. Wirth (1938) dalam Rahardjo (1999) , mengemukakan teori tentang adanya suatu cara hidup kota (urban way of life) dengan ciri-ciri tertentu di pengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: 1. Jumlah, yakni jumlah penduduk yang besar, faktor ini berkaitan dengan orang atau penduduk.
2. Kepadatan penduduk yang tinggi. 3. Heterogenitas atau kemajemukan penduduknya, yakni berkaitan dengan adanya berbagai suku, bahasa atau dialek, agama atau bahkan juga bangsa Soekanto (1990) mengemukakan ciri-ciri menonjol yang hampir sama dari masyarakat (komunitas) kota, yaitu kehidupan keagamaan kurang, orang kota umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain, pembagian kerja diantara warga kota lebih tegas dan memiliki batas-batas nyata, peluang kerja lebih banyak, jalan fikiran lebih rasional, faktor waktu dinilai penting oleh komunitas kota dan perubahan sosial tampak nyata. Selain itu karakteristik masyarakat kota yang menonjol yaitu dalam sikap kehidupan yang cenderung pada individualisme/egoisme, dalam tingkah laku bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis, dalam perwatakan cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoisme dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi yang mana menimbulkan efek-efek negatif yang berbentuk tindakan a moral, indisipliner dan kurang memperhatikan tanggung jawab sosial, mengabaikan faktor-faktor sosial dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal tersebut disebabkan masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup yang lebih tinggi yang menuntut biaya hidup lebih banyak sebagai alat pemuas kebutuhan yang tidak terbatas oleh karenanya orang berlomba-lomba mencari usaha/kesibukan, mencari nafkah demi kelangsungan hidup pribadi/keluarganya. (Mansyur,1977). Ciri (negatif) yang mewarnai cara hidup kota adalah : 1. Kehilangan hubungan primer (hubungan interaksi di antara orang-orang yang saling mengenal). Hubungan antar orang di kota lebih bersifat rasional, berdasarkan kepentingan pribadi. Individu tidak memiliki komitmen sosial. 2. Kurangnya kontrol sosial, hal ini terjadi disebabkan orang tidak perduli terhadap orang lain. Kontrol masyarakat terhadap individu dalam kehidupan kota sangat lemah. 3. Dalam masyarakat kota, individu memandang yang lain secara instrumental. Individu berhubungan dengan orang lain karena ingin memanfaatkan hubungan
tersebut. Mereka tidak mau diperalat, tetapi bersedia menjadi alat orang lain dengan imbalan manfaat tertentu. 4. Adanya pembagian kerja yang luas dikalangan masyarakat, mereka membuat pembagian kerja dalam suatu proses produksi dan sosial. Prinsip pembagian kerja ini di dasarkan pada solidaritas organik, di mana orang menyadari kedudukan dan fungsinya sendiri untuk mencapai tujuan bersama. Koperasi merupakan solidaritas mekanik yaitu solidaritas yang di dasarkan pada kepercayaan bersama dan konsensus yang bersumber pada kesadaran kolektif. Di perkotaan koperasi sulit berkembang karena masih di dasarkan atau berasumsi pada solidaritas mekanik. Selain ciri-ciri negatif, masyarakat kota memiliki ciri positif yang dapat menunjang pembangunan di perkotaan, ciri positif orang perkotaan meliputi : 1. Memiliki kekuatan kompetisi atau persaingan untuk mengakses sumber daya yang terbatas 2. Sangat menghargai waktu, tenaga manusia sangat dibutuhkan karena kota sebagai pusat industri perdagangan yang berperan dalam kegiatan sekunder dan tersier (Rahardjo, 1999) Karakteristik masyarakat perkotaan tersebut diduga berpengaruh pada lemahnya modal sosial (social capital) masyarakat di perkotaan. Modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masarakat modern. Modal sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. (Fukuyama, 1999 dalam Hasbullah 2006). Lemahnya modal sosial ini juga yang diduga menyebabkan kapasitas lembaga ekonomi masyarakat di perkotaan sulit untuk meningkat/ berkembang. Modal Sosial (Social Capital) diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas, ide, kesalingpercayaan dan
kesalingmenguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Unsur-unsur yang menguatkan modal sosial meliputi : 1. Partisipasi : Pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada tipologi ini akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas. 2. Resiprocity : Pada masyarakat dan pada kelompok yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Ini akan terefleksikan dengan tingkat kepedulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. 3. Trust : Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubunganhubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya. 4. Norma Sosial : Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu
entitas sosial tertentu. Norma-norma ini
biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan masyarakat. Jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, kelompok atau group, norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat akan memperkuat masyarakat itu sendiri (Hasbullah, 2006). Norma yang terbentuk dari berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu masyarakat. Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma
kelompok akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Hasbullah (2006), bahwa untuk mengukur sejauh mana kekuatan modal sosial di dalam masyarakat, yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia mengacu pada beberapa variabel relevan. Variabel tersebut meliputi sejauhmana : Partisipasi masyarakat di dalam komunitas, tingkat resiprositas dan proaktif di dalam kegiatan sosial, perasaan saling mempercayai dan rasa aman, jaringan dan koneksi dalam komunitas, jaringan dan koneksi antar teman dan keluarga, toleransi dan kebhinekaan, nilai hidup dan kehidupan, koneksi jaringan kerja di luar komunitas, partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas. Dalam pengembangan modal sosial menurut Rahman (1989) dalam Osira (2004) terdapat beberapa pendekatan diantaranya meliputi : 1. Pendekatan kepemimpinan komunitas (cummunity leader), Tokoh masyarakat atau pemimpin dalam setiap komunitas masyarakat merupakan modal besar bagi pelaksanaan suatu program pembangunan. Tokoh masyarakat dengan kemampuan yang melekat pada dirinya merupakan orang yang dapat dengan mudah menggerakkan masyarakat atau memobilisasi partisipasi masyarakat di bawahnya dibandingkan penggerak partisipasi dari luar komunitas. Sinergi antara kepemimpinan lokal komunitas dengan kepemimpinan formal (aparat pemerintah)
merupakan
suatu
kekuatan
bagi
pelaksanaan
program
pengembangan masyarakat; 2. Dana komunitas (community fund). Dana komunitas merupakan segala bentuk dana yang dapat dihimpun oleh dan dari masyarakat. Konsep dana pada masyarakat itu tidak saja mencakup uang, tetapi juga hubungan yang terjalin, kekerabatan dan kebersamaan. Bentuk dana komunitas mempunyai sifat khas sosiobudaya. Dana komunitas seringkali dikelola untuk memecahkan masalahmasalah sosial atau mengembangkan kegiatan sektor sosial.
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Menurut Nasdian & Dharmawan (2006) kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social-institution, yang menunjuk pada adanya
unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Proses perkembangan kelembagaan sosial dinamakan pelembagaan sosial atau “institutionalization”. Proses ini meliputi lahirnya peraturan dan norma-norma baru yang mengatur antar hubungan dan antar aksi, yakni suatu proses strukturalisasi antar hubungan melalui enkulturasi konsep-konsep kebudayaan baru. Proses-proses seperti ini akan terjadi dimana-mana dan terus menerus dalam suatu komunitas, sepanjang mengenai kebutuhan pokok manusia dan melahirkan sistem yang stabil dan unversal. Djatiman (1997) menggolongkan institusi/kelembagaan menjadi tiga yaitu : 1. Burreaucratic institution; adalah institusi yang datangnya dari pemerintah (atas/birokrasi)
dan
tetap
akan
menjadi
milik
birokrasi,
contohnya
pemerintahan desa; 2. Community Based Institution; adalah institusi yang dibentuk pemerintah berdasarkan atas sumberdaya masyarakat yang diharapkan menjadi milik masyarakat, seperti koperasi; 3. Grassroot institution; adalah institusi yang murni tumbuh dari masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya arisan. Kelembagaan sosial didefinisikan sebagai aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi masyarakat. Aturan tersebut merupakan tata cara kerjasama anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu menentukan hak dan kewajiban masing-masing. (Iskandar,2001). Soekanto (1985) dalam Nasdian & Dharmawan (2006) mendefinisikan kelembagaan sosial
sebagai
himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Suatu norma tertentu dapat dikatakan telah melembaga (institutionalized) apabila norma tersebut : diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati dan dihargai oleh masyarakat dimana norma-norma tersebut dilembagakan. Kelembagaan sosial dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan pokok. Kelembagaan sosial bisa didefinisikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks
kebutuhan
khusus
dalam
kehidupan
masyarakat.
(Koentjaraningrat, 1964). Kelembagaan untuk memenuhi pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusikan harta benda, contohnya pertanian,
peternakan, industri, koperasi, perdagangan, sambatan dan lain sebagainya di sebut dengan kelembagaan ekonomi. Kelembagaan ekonomi yang merujuk pada lokalitas disebut dengan kelembagaan ekonomi lokal, dimensi lokal menunjuk tidak hanya pada kesatuan wilayah geografis, namun juga kesatuan entitas basis sosial untuk tindakan kolektif. Entitas basis sosial menurut Uphoff, (1986) meliputi lokalitas, komunitas dan kelompok. Kelembagaan ekonomi lokal yang erat kaitannya terhadap tingkat partisipasi serta keuntungan bisnis yang diterima oleh partisipan adalah dalam lembaga keswadayaan masyarakat (Haeruman & Eriyanto , 2001). Suatu kelembagaan sosial mampu mencapai tujuan pengembangan masyarakat apabila kelembagaan tersebut berbasis komunitas, yaitu manakala kelembagaan : 1. Mampu mengembangkan modal sosial dan membangun jejaring sosial berbasis komunitas; 2. Mampu
mengembangkan
forum
inisiasi
publik
dan
mampu
mengimplementasikan prinsip partisipasi dalam kegiatannya dan 3. Mampu membangun jejaring usaha produktif serta memelihara jejaring kolaboratif dalam menangani masyarakat miskin. (Hasbullah, 2006) Peningkatan kapasitas dalam suatu kelembagaan masyarakat adalah suatu proses upaya yang sistematis menjadikan lembaga suatu masyarakat menjadi lebih baik, dinamis, berdaya, dan kuat dalam menghadapi berbagai pemenuhan kebutuhan dan tantangan atau hambatan yang dapat mempengaruhi eksistensinya. Peningkatan kapasitas merupakan suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif dan efisien. Merujuk pendapat Sumpeno (2002), peningkatan kapasitas berarti terjadi perubahan perilaku untuk : 1. Meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap; 2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manjemen, keuangan dan budaya; 3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan dan mengantisipasi perubahan.
Hasil yang diharapkan dengan adanya peningkatan kapasitas menurut Sumpeno (2002) adalah : 1. Penguatan individu, organisasi dan masyarakat; 2. Terbentuknya model pengembangan kapasitas dan program; 3. Terbangunnya sinergisitas pelaku dan kelembagaan. Lebih lanjut Rubin & Rubin (1992) mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas masyarakat miskin dapat dilakukan dengan melalui pengembangan kelembagaan masyarakat di mana kelembagaan tersebut menciptakan dan membangun perasaan anggota untuk membangkitkan kapasitas lembaga dalam pemecahan masalah. Untuk penelaahan lebih lanjut ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu aspek kelembagaan dalam bentuk perilaku dan aspek keorganisasian dalam bentuk struktur. Keduanya merupakan komponen pokok pada setiap kelompok sosial. Perilaku dan struktur sebagai bagian utama aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian saling membutuhkan satu sama lain, ibarat dua sisi mata uang (Syahyuti,2003). Organisasi pada dasarnya adalah unit sosial (pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan/atau mungkin dibentuk kembali dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pencapaian suatu tujuan tertentu. Berelson dan Steiner (1964) dalam Parek (1984) memandang organisasi adalah gejala sosial resmi (formalitas struktur sosial) yang berkaitan dengan seperangkat peraturan tertulis. Organisasi adalah struktur tentang peran yang diterima dan dikenali. Struktur yang diakibatkan oleh interaksi peran dapat sederhana atau kompleks. Semakin kompleks suatu organisasi, semakin bervariasi kemampuannya. Organisasi dapat berbentuk formal ataupun informal. Dua hipotesis yang mendasari kerangka berfikir konseptual tentang organisasi berkelanjutan Goldsmith and Brinkerhofff, (1992) dalam Kolopaking dkk (2003) yaitu Pertama, asumsi bahwa organisasi yang bertahan dalam kurun waktu yang lama dipengaruhi oleh kapabilitas internal dan lingkungan eksternal, sehingga penting untuk melihat ke dalam (in- ward) dan ke luar (out-ward); Kedua, harus dibangun strategi yang fit/ sesuai dengan kapabilitas internal dan lingkungan eksternal.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kapabilitas internal organisasi adalah kinerja sumberdaya manusia pelaksana dari organisasi tersebut, kinerja sumberdaya manusia berkaitan dengan produktivitas. Menurut formulasi National Productivity Board (NPB) Singapore dalam Sedarmayanti (1995), dikatakan bahwa produktivitas adalah sikap mental (attitude of mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Selanjutnya menurut Sedarmayanti (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dalam aspek sikap mental diantaranya adalah motivasi kerja, disiplin kerja dan etika kerja. Sementara pengaruh lingkungan eksternal diantaranya adalah karakteristik lingkungan sosial yang termasuk di dalamnya adalah karakteristik masyarakat. Ada empat ciri organisasi yaitu: 1. Formalitas, mempunyai perumusan tertulis berkenaan dengan tujuan, prosedur, penerimaan anggota dan pengurus dan peraturan-peraturan; 2. Hirarki, pola wewenang berbentuk piramida; 3. Ukuran, jumlah anggota organisasi umumnya besar sehingga relasi sosial diantaranya cenderung tidak langsung tetap ; dan 4. Durasi/kelangsungan, umur organisasi selalu lebih lama dari usia keterlibatan anggotanya. Bierstedt (1982) dalam Kolopaking dkk (2003) menyebutkan ada tujuh kriteria formalisasi pengelompokkan manusia yang dapat dikategorikan ke dalam organisasi yang di dasarkan atas teori kontinuum dari grup ke organisasi ini meliputi: 1. Mempunyai fungsi dan tujuan yang khas; 2. Mempunyai kebijakan umum (associational norms) dalam mencapai tujuannya; 3. Mempunyai dan mengembangkan susunan hirarki status (associational statuses); 4. Mempunyai wewenang; 5. Mengenakan test (persyaratan) untuk keanggotaan; 6. Mempunyai property, mencakup aspek material dan non material; 7. Mempunyai nama atau lambang-lambang.
Organisasi merupakan suatu wadah atau sarana kegiatan pencapaian tujuan. Proses dari kegiatan dalam organisasi disebut dengan manajemen, seperti menurut Mc. Farland dalam Handayaningrat (1981) manajemen adalah suatu proses dan badan yang secara langsung memberikan petunjuk, bimbingan kegiatan dari suatu organisasi dalam merealisasikan (melaksanakan) tujuan yang telah di tetapkan. Tujuan dari manajemen adalah untuk mencapai hasil secara efektif dan efisien dalam kata lain ialah pencapaian tujuan yang berhasil guna (efective) dan berdaya guna (efficiency). Selanjutnya menurut Degenaars (1979) dalam Handayaningrat (1981) manajemen didefinisikan sebagai suatu proses yang berhubungan dengan bimbingan kegiatan kelompok dan berdasarkan atas tujuan yang jelas yang harus dicapai dengan menggunakan sumber-sumber tenaga manusia dan bukan tenaga manusia.
Peningkatan Kinerja Kelembagaan Efektifitas dan efisiensi pencapaian target suatu lembaga dipengaruhi oleh sumberdaya anggota organisasi tersebut, untuk itu perlu adanya pengukuran terhadap kinerja dari sumberdaya manusia yang mengelola organisasi tersebut. Hal yang dapat diukur untuk menilai kinerja sumberdaya manusia pengelola organisasi meliputi kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Efektif atau tidak efektif kinerja sumberdaya manusia pengelola organisasi dipengaruhi oleh faktor individu, organisasi dan lingkungan eksternal. Pengaruh individu berkaitan dengan
kelemahan
intelektual,
kelemahan
psikologis,
kelemahan
fisik,
demotivasi, faktor personalitas, keuangan, preparasi jabatan dan orientasi nilai. (Sedarmayanti, 1995) Kinerja mengacu pada tingkat kemampuan pelaksanaan tugas dengan standar perbandingan ideal antara pelaksanaan tugas dan yang diharapkan (perencanaan) dengan pelaksanaan tugas yang telah dilaksanakan (evaluasi). Pengertian kinerja merujuk kamus bahasa Indonesia yang menjelaskan kinerja sebagai keterampilan dan kemampuan yang dimiliki seseorang dimunculkan melalui perbuatan. (Puwadarminta, 1992) Kinerja diartikan sebagai perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respon terhadap pekerjaan yang diberikan kepadanya, sehingga
kinerja dapat dilihat dari hasil kerja, derajat kecepatan kerja dan kualitas kerja. Kinerja sebagai unsur kegiatan penanggulangan kemiskinan bertumpu pada pemantauan indikator kinerja sesuai tujuan yang ingin dicapai baik yang bersifat objektif maupun subjektif. Dalam Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan (Departemen Sosial RI 2005) dijabarkan indikator kinerja sebagai berikut: 1. Meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga miskin 2. Mewujudkan kemandirian usaha sosial- ekonomi keluarga miskin 3. Meningkatkan aksesibilitas keluarga miskin terhadap pelayanan sosial dasar dan sistem jaminan kesejahteraan sosial 4. Peningkatan jumlah aset individu miskin anggota kelembagaan sosial 5. Meningkatkan kepedulian dan tanggungjawab sosial masyarakat dan dunia usaha dalam program pemberdayaan keluarga miskin 6. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat keluarga miskin 7. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial terhadap keluarga miskin. Pengertian kinerja dari uraian di atas bisa disebut sebagai kualitas penatalaksanaan organisasi meliputi sistem pengorganisasian terdiri atas input, proses dan out put pelaksanaan manajemen lembaga. Bila pengertian tersebut diterapkan pada kelembagaan ekonomi masyarakat, maka pengertian input meliputi sarana, bahan, pengurus dan organisasi; proses meliputi sosialisasi program usaha simpan pinjam, pemberian kredit serta kegiatan pelaporan dan tindak lanjutnya; dan pengertian out put yang dimaksud adalah kegiatan pelaporan perguliran dana serta laporan kegiatan pengorganisasian lembaga simpan pinjam. Kinerja sebagai alat ukur digunakan untuk melihat maju dan mundurnya lembaga dilihat dari pencapaian target, efisiensi dan efektivitas, menurut Mulyono (1993) pengukuran kinerja lembaga dapat dilihat dari : 1. Derajat pencapaian tujuan pokok; 2. Seberapa efisien sumberdaya (dapat berupa masukan, antara lain tenaga kerja, material, jasa pelayanan yang dibeli dan modal) digunakan untuk menghasilkan keluaran yang bermanfaat, dalam arti hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan sebelumnya;
3. Perbandingan mengenai performa organisasi dari waktu terdahulu dengan waktu sekarang, menunjukkan penurunan, statis atau berkembang.
Pengembangan Jejaring Sosial dalam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kebijakan dan program yang melibatkan berbagai pihak yang berbeda-beda kepentingannya dan mungkin juga berbeda-beda dalam tingkatan pengambilan keputusannya memerlukan mekanisme yang tepat. Salah satu mekanisme yang memiliki fleksibilitas dan sekaligus menjamin efisiensi adalah melalui pembentukan jejaring (networking). Menurut Tonny (2002) jejaring ini perlu dibangun berlandaskan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, kejujuran, integrasi dan dedikasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu memajukan usahausaha kecil yang merupakan segmen masyarakat yang terbesar dan juga tertinggal. Jejaring yang terbentuk dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Jejaring dapat dibentuk dalam bentuk kerjasama antara lembaga pada tingkatan yang sama ataupun yang berbeda yang berada di tingkat pusat dengan yang ada di tingkat propinsi, kabupaten maupun lokal. Proses interaksi sosial merupakan basis untuk menciptakan hubungan sosial yang terpola yang disebut jaring-jaring hubungan sosial (webs of social relationship) atau pengorganisasian sosial dan struktur sosial. Menurut Calhoun et.al (1994) dalam Kolopaking dkk. (2003) jaringan sosial adalah jejaring hubungan diantara sekumpulan orang yang saling terkait bersama, langsung atau tidak langsung melalui beragam komunikasi dan transaksi diantara mereka. Selanjutnya
menurut
Suparlan
(1982),
jaringan
sosial
merupakan
“pengelompokan orang yang terdiri atas sejumlah orang (minimal 3 orang) yang masing-masing memiliki identitas tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada, dan melalui hubungan sosial tersebut dapat dikelompokkan sebagai satu kesatuan sosial yang berbeda dengan yang lain”. Jaringan
sosial
bukanlah
sesuatu
yang
alamiah
melainkan
harus
dikonstruksikan melalui penentuan strategi yang berorientasi pada hubunganhubungan kelembagaan dalam kelompok. Hubungan kelembagaan ini dapat digunakan sebagai sumber daya yang dapat dipercaya menghasilkan sumberdaya lain. Melalui kesertaan dalam suatu jaringan, orang dapat menjamin perolehan
manfaat dari interaksinya. (Portes, 1998). Salah satu faktor penting dalam upaya mengembangkan jejaring sosial berbasis komunitas adalah proses penyadaran masyarakat dan proses partisipasi masyarakat dalam program pengembangan masyarakat. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan sebagai usaha dan kegiatan partisipasi masyarakat yang tumbuh dari bawah dalam bentuk inisiatif dan kreasi yang lahir secara spontan dari rasa kesadaran dan tanggungjawabnya harus dapat terpelihara dan terbina (R.Bintoro,1986). Selanjutnya menurut Mubyarto (1984) partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Tujuan dari aktivitas peningkatan kapasitas kelembagaan lokal melalui pengembangan jejaring adalah untuk : membangun kelembagaan berdasarkan trust di tingkat komunitas dan antar komunitas; meningkatkan kemampuan warga komunitas mengimplementasikan aksi-aksi kolektif dalam kegiatan konservasi dan pemberdayaan ekonomi lokal; membangun kerjasama kemitraan antar berbagai stakeholders baik di dalam komunitas maupun antar komunitas (Tonny, 2004). Hal ini difahami bahwa dalam peningkatan kapasitas kelembagaan lokal peran stakeholders akan berpengaruh terhadap terwujudnya kelembagaan lokal yang berkelanjutan selain komunitasnya itu sendiri.
BMT sebagai Contoh Kelembagaan Ekonomi Masyarakat BMT adalah lembaga keuangan mikro atau lembaga keuangan syariah masyarakat atau bisa juga dikatakan sebagai lembaga ekonomi masyarakat berbadan hukum koperasi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Syariah menurut Imam Fakhrurrazy dalam Ilmi (2002) didefinisikan sebagai ketetapanketetapan yang telah diwajibkan Allah atas orang-orang mukallaf (yaitu orang yang menurut syara’ sudah dikenai beban serta tanggungjawab untuk mematuhi segala ketentuan hukum (syariah) yang datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya). Bunga uang dikategorikan sebagai riba dalam hukum Islam, oleh karena itu sebagai lembaga syariah Islam BMT di dalam transaksi ekonominya menerapkan sistem bagi hasil (profit sharing) berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak
pada saat perjanjian ditanda tangani.(Antonio dkk, 2006). Lembaga keuangan syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana, dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Prinsip bagi hasil dalam sistem ekonomi syariah tercantum dalam UU Perbankan No.10 tahun 1992, pasal 1 ayat 12 menyatakan ”Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”. Selain itu Bank yang dioperasikan berdasarkan prinsip bagi hasil dalam UU No. 7 Tahun 1992 yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 pada Pasal 1 Ayat (1) “Yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip Muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan usaha bank”. BMT
di
dalam
unsur-unsur
kegiatannya
selain
menerima
tabungan/simpanan nasabah, memberikan kredit pengembangan modal usaha bagi nasabah pelaku usaha kecil sektor informal, menampung aspirasi, partisipasi dan kepedulian sosial nasabah serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan nasabah pelaku usaha kecil sektor informal dalam mengembangkan usahanya BMT merupakan perpaduan antara 2 unit usaha bidang pengelolaan ZIS dan perbankan syariah, 2 unit tersebut meliputi Baitul Maal (unit pengelolaan ZIS) dan Baituttamwil (unit perbankan syariah). Baitul Maal adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Karena berorientasi sosial keagamaan, Baitul Maal tidak dapat dimanipulasi untuk kepentingan bisnis atau mencari laba (profit), namun dalam kerangka manajemen BMT, secara fungsional lembaga ini berperan dalam beberapa hal antara lain :
1. Membantu Baituttamwil dalam menyediakan kas untuk alokasi pembiayaan non komersial Qardh al-Hasan (yaitu pembiayaan yang diberikan BMT kepada nasabah tanpa pungutan bagi hasil atau keuntungan dalam bentuk apapun atas nasabah) 2. Menyediakan cadangan penyisihan penghapusan pembiayaan macet akibat kebangkrutan usaha nasabah Baituttamwil yang berstatus al-gharim (yaitu orang yang kesempitan karena beban hutang yang terlalu berat dengan pemilikan aset yang tidak memadai, sehinga menyebabkan yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak, dalam ukuran paling sederhana sekalipun; 3. Dengan kiprahnya yang nyata dalam usaha-usaha peningkatan bidang kesejahteraan sosial seperti pemberian bea siswa, santunan kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum dan peribadatan dan lain sebagainya. Hal ini dapat membantu Baituttamwil dalam mensukseskan kegiatan promosi produk-produk penghimpunan dana (funding) dan penyalurannya kepada masyarakat (lending). Baitul Maal mempunyai sistem kerja sendiri yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat kepada beberapa sektor yang telah dibatasi sesuai dengan tingkat kebutuhan. Salah satu bentuk pengelolaan dan penyaluran dana zakat tersebut adalah memberikan bantuan usaha produktif bagi masyarakat miskin yang disebut dengan AL Qardul Hasan (pinjaman kebajikan), dalam memberikan pinjaman kebajikan ini bank syari’ah sama sekali tidak mengambil pendapatan dari pinjaman tersebut (Noor, 2006). Al Qardul Hasan adalah sebuah produk yang memiliki biaya sangat kecil jika dilihat dari sudut pandang nasabah, nasabah hanya mengeluarkan biaya administrasi tanpa ada kewajiban untuk menyetorkan hasil (profit) kepada bank syari’ah. Pengusaha kecil dalam hal ini hanya memiliki kewajiban untuk mengembalikan jumlah pinjaman (Djamal,2002). Baituttamwil
adalah
lembaga
keuangan
yang
kegiatan
utamanya
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.
Baitul Maal dan Baituttamwil keduanya merupakan suatu
sistem dalam wadah BMT yang bekerja sinergi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, jika salah satu tidak ada maka bukanlah lagi di sebut BMT tetapi di sebut dengan Baitul Maal saja atau Baituttamwil saja. (Ilmi, 2002). Dalam kegiatan Baitutttamwil (komersil) produk-produk pelayanan BMT terhadap nasabah meliputi: 1. Produk penghimpunan dana Wadi’ah (titipan) barang atau harta (uang) 2. Produk penghimpunan dan penyaluran dana Mudharabah yaitu kerjasama kemitraan berdasarkan prinsip bagi untung dan bagi rugi, dilakukan sekurangkurangnya oleh dua belah pihak di mana yang pertama memiliki dan menyediakan modal sedangkan yang ke dua memiliki keahlian (skill) dan bertanggungjawab atas pengelolaan dana/ manajemen usaha (proyek) halal tertentu 3. Produk penyaluran Murabahah, di mana BMT bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah 4. Produk penyaluran dana Musharakah yaitu suatu produk yang hampir sama dengan Mudharabah yaitu kerjasama kemitraan, yang membedakannya adalah kalau Mudharabah kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola modal sedangkan pada Musharakah kedua belah pihak sama-sama menyertakan modal dan masing-masing dapat terjun langsung secara bersama-sama dalam proses manajemen. Dari semua produk-produk tersebut pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan prinsip bagi hasil, jika untung bagi hasil dalam keuntungan dan jika rugi bagi hasil dalam kerugian. (Ilmi, 2002). Sebagai sebuah lembaga keuangan masyarakat BMT memiliki kegiatan usaha dan kegiatan manajerial BMT. Dalam kegiatan usaha, kegiatan yang dilakukan meliputi : 1. Mendidik
anggota
untuk
menyimpan/menabung
dengan
menyediakan
pelayanan tabungan/simpanan anggota. 2. Memberi pelayanan pembiayaan untuk pengembangan usaha; 3. Membimbing anggota dalam perencanaan dan pengembangan usaha; 4. Membimbing anggota dalam pemanfaatan pembiayaan; 5. Menyediakan sarana produktif ;
6. Memberikan latihan manajemen usaha dan latihan teknik pengembangan usaha; 7. Memberikan pembinaan rohani dan pengkajian keIslaman bagi seluruh anggota. Sedangkan dalam kegiatan manajerial BMT memiliki sub-sub kegiatan seperti dalam hal permodalan BMT : 1. Memiliki ketentuan tertulis mengenai penetapan besarnya simpanan pokok, simpanan wajib, pemupukan modal dari cadangan laba serta tatacara pelaksanaannya; 2. Memiliki ketentuan mengenai perlakuan terhadap inventaris, investasi dan harta lembaga lainnya berkenaan dengan alokasi modal; 3. Memiliki ketentuan mengenai tingkat kelancaran pembiayaan (aturan kolektibilitas); 4. Memiliki aturan tertulis mengenai Cadangan Penghapusan Piutang (CPP); 5. Memiliki kebijakan menyisihkan sebagian labanya untuk memperkuat permodalan; 6. Memiliki aturan yang mengatur mengenai penghapus bukuan pinjaman yang macet; 7. Senantiasa memantau kondisi finansial yang berkaitan langsung dengan kecukupan modal BMT; 8. Memiliki aturan tertulis mengenai aturan modal hibah, modal penyertaan serta alokasinya.
Dalam Asset, BMT : 1. Memiliki kebijakan/aturan tertulis mengenai pinjaman kepada pihak internal (pengelola, pengurus, pemeriksa dan dewan syariah); 2. Memiliki prosedur pembiayaan tertulis mulai dari proses permohonan, pencairan pinjaman, pengadministrasian dan pengawasannya ; 3. Memiliki sistem dan prosedur tertulis mengenai penetapan penilaian dan pengikatan agunan; 4. Memiliki strategi tertentu yang tertulis dalam menangani pembiayaan bermasalah; 5. Senantiasa pembiayaan;
memantau
konsistensi
dan
mematuhi
penggunaan/prosedur
6. Tidak melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) ; 7. Tidak memperkenankan penetapan persyaratan yang lebih ringan untuk fasilitas pembiayaan kepada pihak internal; 8. Mengadministrasikan agunan dengan baik dan aman.
Dalam pengelolaan, BMT: 1. Pelaksanaan BMT konsisten dengan sistem syariah 2. Memiliki kebijaksanaan umum tertulis yang mencakup kegiatan utamanya (simpan pinjam) 3. Memiliki
rencana
penghimpunan
anggaran
(proyeksi
finansial)
yang
mencakup:
dana masyarakat, target lending (pemberian pinjaman),
pendanaan, pendapatan 4. Memiliki perencanaan mengenai pengembangan/peningkatan kualitas SDM; 5. Mengadakan perencanaan mingguan dan bulanan 6. Melakukan evaluasi terhadap capaian target dari perencanaan 7. Secara reguler mengadakan rapat manajemen, operasional dan marketing 8. Memiliki brankas untuk menyimpan uang dan jaminan 9. Memiliki kantor yang terpisah dengan pihak lain. 10. Memiliki struktur organisasi dan job description tertulis 11. Memiliki peraturan kekaryawanan 12. Memiliki peraturan yang menjamin keamanan operasional BMT 13. Melaksanakan rapat pengurus 14. Memiliki sisdur simpan dan pinjam yang tertulis dan disahkan 15. Memiliki kebijakan mengenai pengeluaran uang yang tertulis dan disahkan 16. Memiliki sistem dan kebijakan akuntansi yang tertulis dan disahkan 17. Memberikan kompensasi gaji kepada pegawai sesuai dengan struktur kepegawaiannya (Zaenal , 2001) Ada tiga kinerja yang harus dapat dipertanggungjawabkan dari lembaga keuangan masyarakat ini yaitu, pertama, tingkat keuntungan lembaga keuangan tersebut, kedua, manfaat lembaga keuangan bagi masyarakat, khususnya dalam pengembangan usaha atau peningkatan kesejahteraan, ketiga, ketergantungan (akses) masyarakat terhadap sumberdana, yang menyangkut ketersediaan dana
dalam jumlah yang mencukupi, biaya modal yang harus dibayar dan kemudahan dalam pelayanan (Antonio dkk. 2006). Usaha pendirian BMT biasanya di motori oleh para tokoh masyarakat baik yang berada di lingkungan mesjid, organisasi kemasyarakat Islam, ataupun pesantren. Kemunculan BMT merupakan usaha-usaha pemberdayaan umat yang selama ini berada dalam kondisi di bawah garis kesejahteraan. Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah mesjid lokasi BMT berada pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Kerangka Pemikiran
Kemiskinan merupakan suatu perwujudan dari sebuah ketidakberdayaan masyarakat terhadap aspek-aspek yang menyangkut kebutuhan hidup, salah satu aspek kebutuhan hidup masyarakat yang penting adalah ekonomi selain aspekaspek lainnya seperti aspek pendidikan dan kesehatan serta lingkungan hidup. Aspek ekonomi sangat erat kaitannya dengan penghasilan atau pendapatan yang
dapat
menunjang
kebutuhan
hidup
sehari-hari,
itulah
sebabnya
meningkatnya jumlah pengangguran pada masyarakat sebagai dampak dari krisis multidimensional menyebabkan semakin meningkat jumlah masyarakat yang jatuh dalam kemiskinan. Kunci keberhasilan dalam penanggulangan kemiskinan terletak pada masyarakat itu sendiri yaitu sejauh mana mereka mau meningkatkan keberdayaannya agar dapat lepas dari masalah kemiskinannya. Keberdayaan menunjukkan arah pada peningkatan kualitas, upaya untuk meningkatkan kualitas adalah melalui suatu kegiatan yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan. Dengan bertambahnya pengetahuan dan keterampilan dapat memunculkan suatu bentuk kemampuan (Capacity). Kemampuan dalam menanggulangi masalah kemiskinan adalah kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Suatu lembaga yang dapat mendorong keberdayaan masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai
kemampuannya dalam meningkatkan kesejateraan ekonominya adalah lembaga ekonomi masyarakat. Untuk mengkaji sejauh mana kapasitas lembaga ekonomi masyarakat di daerah kajian dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat, diperlukan suatu analisis terhadap keragaan (performance) kelembagaan ekonomi masyarakat tersebut. Dalam kegiatan kajian ini analisis terhadap keragaan (performace) kelembagaan ekonomi masyarakat dilakukan pada kelembagaan BMT Nurul Ummah, BMT Nurul Ummah merupakan keterpaduan dua kelembagaan sosial masyarakat yaitu Baituttamwil dan Baitul Maal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat dalam upaya menanggulangi masalah kemiskinan di perkotaan. Keragaan (performance) Baitul Maal wat Tamwil (BMT) sebagai lembaga ekonomi masyarakat ditunjukkan oleh kemampuan (kapasitas) kelembagaannya, kemampuan (kapasitas) nasabahnya dalam kegiatan Baituttamwil dan Baitul Maal.
Dalam pelaksanaannya kelembagaan BMT sebagai lembaga komersil
(Baituttamwil), BMT memiliki dua kegiatan yaitu kegiatan usaha dan kegiatan manajerial, dalam kegiatan usaha BMT tidak hanya menyediakan pelayanan tabungan atau pinjaman nasabah tetapi juga memberikan pelayanan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan sebagai penunjang keberhasilan usaha nasabah, menyediakan sarana produktif untuk nasabah. Pada pelaksanaan kelembagaan
sebagai
lembaga
sosial
(Baitul
Maal)
BMT
melakukan
penghimpunan dan penyaluran ZIS baik nasabah maupun anggota dan melakukan kegiatan rohani dan pengkajian ke Islaman bagi nasabah. Untuk mengkaji sejauh mana kemampuan kelembagaan BMT Nurul Ummah dalam kegiatan usaha (Baituttamwil), analisis dilakukan pada kemampuan
Kelembagaan
BMT
dalam
memberikan
pelayanan
simpanan/pinjaman nasabah, meningkatkan keterampilan usaha nasabah meliputi (1) proses perencanaan pengembangan usaha, (2) pemanfaatan biaya, (3) mengelola usaha dan (4) teknik pengembangan usaha. Selanjutnya analisis juga dilakukan pada kemampuan lembaga di dalam melakukan pemupukan modal meliputi kemampuan dalam memanfaatkan sumberdaya dan sumberdana masyarakat dan di dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan kemacetan
pengembalian pinjaman dari nasabah. Analisis juga dilakukan pada kemampuan kelembagaan di dalam menjalin kerjasama kolaboratif dengan stakeholders terkait meliputi keterlibatan peran-peran stakeholders di dalam kegiatan BMT dan pemanfaatan yang telah dilakukan BMT terhadap peran-peran stakeholders tersebut. Untuk menganalisis kemampuan kelembagaan di dalam melibatkan partisipasi nasabahnya dilihat dari kemampuan nasabah di dalam memfasilitasi kegiatan BMT, kemampuan di dalam mendukung kegiatan sosial BMT baik dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi maupun dalam pemecahan masalah. Di dalam meningkatkan kemampuan sumberdaya masyarakat dalam organisasinya analisis dilakukan pada motivasi kerja, disiplin kerja dan etika kerja pegawai BMT. Untuk mengkaji kemampuan kelembagaan dalam melaksanakan kegiatan Baitul
Maal,
selanjutnya
analisis
pun
akan
dilakukan
pada
kegiatan
penghimpunan dan penyaluran ZIS. Suatu kelembagaan tidak dapat berjalan tanpa adanya anggota, kemampuan anggota juga menunjukkan performance kelembagaan. Untuk mengkaji sejauh mana kemampuan (kapasitas) nasabah dalam kelembagaan BMT, analisis akan dilakukan pada pengetahuan dan pemahaman
nasabah mengenai ketentuan
simpan pinjam, kemampuan nasabah dalam mengembangkan usahanya yang dilihat dari kemampuan (1) proses perencanaan pengembangan
usaha, (2)
pemanfaatan biaya, (3) mengelola usaha dan (4) teknik pengembangan usaha. Selain itu analisis juga dilakukan pada sikap nasabah dalam kegiatan menabung dan meminjam. Untuk mengakaji sejauhmana kemampuan nasabah tersebut dilihat dari kemandirian dan keswadayaan usahanya dan dalam kemampuan nasabah dalam mengantisipasi perubahan. Sementara untuk mengkaji kemampuan nasabah dalam kegiatan Baitul Maal analisis dilakukan pada pengetahuan nasabah mengenai ketentuan zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) dan sikap nasabah dalam menyerahkan ZIS nya. Dari kemampuan yang dimiliki kelembagaan akan mengaktualisasikan hasil yang dicapai, hasil yang dicapai tersebut merupakan kinerja kelembagaan di dalam melaksanakan kegiatannya. Untuk mengetahui kinerja dari keragaan (performance) kelembagaan BMT kajian dilakukan pada (1) pencapain tujuan
pokok dalam kegiatan Baitul Maal maupun dalam kegiatan Baituttamwil, (2) efisiensi pemanfaatan sumberdaya (3) dukungan stakeholders dan (4) pada pencapaian tujuan saat kegiatan analisis yang dibandingkan dengan pencapaian pada tahun sebelumnya (perbandingan). Kinerja BMT dalam pencapaian tujuan pokok kegiatan Baituttamwil, analisis dilakukan pada pencapaian nasabah yang menabung dan nasabah yang meminjam. Selanjutnya kinerja BMT dalam pencapaian kegiatan Baitul Maal analisis dilakukan pada pencapaian penghimpunan ZIS dan penyalurannya. Kajian pada kinerja BMT dalam efisiensi pemanfaatan sumberdaya , analisis dilakukan pada efisiensi BMT di dalam pemanfaatan sumberdaya masyarakat, efisiensi dalam pemanfaatan sumberdana masyarakat, efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya manusia di dalam organisasinya. Untuk mengkaji kinerja BMT sejauh mana dukungan stakeholders terhadap BMT, analisis dilakukan pada kegiatan jejaring usaha yang telah dilaksanakan dalam hal ketersediaan kebutuhan usaha dan konsumsi nasabah, pada jejaring sosial dalam hal terhimpun dan tersalurkannya dana ZIS. Sementara untuk mengkaji kinerja BMT dalam perkembangan pencapaian tujuan, analisis dilakukan dengan membandingkan hasil kerja tahun lalu dengan tahun sekarang. Dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat diketahui bagaimana kapasitas kelembagaan BMT tersebut, hal ini sangat berpengaruh pada strategi yang akan dirumuskan secara partisipatif bersama-sama dengan nasabah, pengurus BMT dan stakeholders terkait. Selain analisis terhadap keragaan (performance) kelembagaan BMT, untuk melengkapi informasi sebagai bahan perumusan strategi, analisis juga dilakukan pada faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh pada keberhasilan BMT. Kegiatan BMT Nurul Ummah dilaksanakan di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung, dengan demikian komunitas lingkungan sosial BMT Nurul Ummah merupakan lingkungan komunitas perkotaan. Komunitas perkotaan memiliki karakteristik yang khas yang disebut dengan karakteristik masyarakat perkotaan. Karakteristik masyarakat merupakan modal sosial kelembagaan karena di dalam karakteristik masyarakat terdapat sikap-sikap yang ditunjukkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Karakteristik masyarakat perkotaan
diduga berpengaruh pada keragaan suatu kelembagaan ekonomi masyarakat, oleh karena itu untuk mengkaji sejauhmana karakteristik masyarakat perkotaan tersebut berpengaruh pada kelembagaan BMT perlu dilakukan analisis terhadap karakteristik masyarakat perkotaan baik yang diadopsi oleh nasabah maupun oleh pengurus BMT. Tujuannya adalah untuk mengetahui karakteristik perkotaan yang bagaimana yang diduga berpengaruh pada keragaan (performance) BMT Nurul Ummah. Untuk mengkaji karakteristik masyarakat perkotaan yang diadopsi nasabah, analisis dilakukan pada partisipasinya pada BMT, kepedulian sosial terhadap kegiatan BMT, kepercayaan pada BMT dan kepatuhan pada norma-norma yang ditetapkan BMT. Sementara karakteristik perkotaan yang diadopsi pengurus, analisis dilakukan pada kepedulian pengurus pada lingkungan sosial BMT, solidaritas pengurus terhadap nasabah, interaksi pengurus dengan nasabah. Dilihat dari permasalah yang terjadi pada BMT Nurul Ummah, strategi yang akan dirumuskan secara partisipatif diarahkan pada upaya peningkatan kapasitas kelembagaan. Hasil dari perumusan strategi tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kapasitas
kelembagaan
BMT
yang
ditunjukkan
dengan
meningkatnya kapasitas pengurus dalam pengelolaan Baituttamwil dan Baitul Maal, meningkatnya kapasitas usaha nasabah, terjalinnya jejaring sosial dan jejaring usaha kolaboratif dengan stakeholders dan termanfaatkannya sumberdaya dan sumber dana masyarakat secara optimal. Meningkatnya kapasitas kelembagaan BMT, diharapkan BMT akan mampu melakukan pemupukan modal secara optimal dan mampu menghimpun dana ZIS baik dari nasabah maupun dari masyarakat lainnya. Kemampuan BMT dalam menghimpun dana ZIS didukung oleh adanya modal sosial masyarakat muslim di Kelurahan Sekeloa yang kapasitasnya mencapai 96 % dan memiliki kepatuhan yang cukup tinggi dalam menunaikan ZIS nya. Adanya kemampuan tersebut diharapkan BMT dapat mewujudkan kemandirian dan keswadayaannya dalam menanggulangi kemiskinan yang ditunjukkan dengan meningkatnya kesejateraan nasabah dan tersedianya modal usaha produktif bagi masyarakat miskin dilingkungan sosialnya.
Untuk lebih jelasnya skema kerangka pemikiran dapat ditampilkan dalam Gambar 1 berikut:
METODOLOGI Strategi Kajian
Metode kajian yang dilakukan adalah kualitatif dalam bentuk studi kasus agar dapat menangkap realitas secara holistik dan mendalam seperti bagaimana kondisi masayarakat miskin yang menjadi nasabah BMT, jenis usahanya, kondisi usahanya serta proses sosial yang terkait dengan perubahan pendapatan melalui bantuan kredit modal usaha. Dalam melakukan kajian ini, ditelaah BMT sebagai salah satu contoh lembaga ekonomi masyarakat yang memiliki program dalam penanggulangan kemiskinan yang berbasis pengembangan masyarakat.
Lokasi dan Waktu Kajian
Kajian dilakukan pada nasabah BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung. Pemilihan lokasi ini di dasarkan karena pengkaji pernah bertugas sebagai Penyuluh KB di Kelurahan tersebut selama kurang lebih empat tahun dari tahun 1994-1998. Sebagai penyuluh KB, kegiatan yang dilakukan pengkaji pada saat itu adalah melakukan interaksi dengan masyarakat baik secara kelompok maupun individu. Selain melakukan interaksi, kegiatan lain yang dilakukan pengkaji adalah melakukan koordinasi dengan sektor formal maupun sektor informal masyarakat dalam rangka meningkatkan kesertaan dan kualitas ber KB pada masyarakat. Dengan demikian pengkaji cukup mengenal kondisi wilayah dan karakteristik masyarakat setempat, hal ini menjadi modal awal untuk melakukan kegiatan pengkajian selanjutnya. Sasaran kajian adalah pengurus dan nasabah BMT Nurul Ummah, stakeholders yang terkait dengan peningkatan kapasitas BMT Nurul Ummah seperti Lurah wilayah setempat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Ketua Forum RW. Waktu kajian dilakukan mulai tanggal 28 Desember – 13 Januari 2007 dengan kegiatan Pemetaan Sosial yang dilanjutkan dengan kegiatan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat pada tanggal 13 April – 18 Mei 2007. Kegiatan terakhir kajian dimulai pada tanggal 28 Oktober 2007 adalah menyusun
rancangan program kegiatan baru secara partisipatif serta menyusun laporan kajian yang selesai pada bulan Pebruari 2008 .
Penentuan Kasus Kajian
Untuk menggambarkan kemampuan nasabah BMT dilihat dari: (1) keterampilan dalam mengembangkan usaha; (2) pengetahuan mengenai BMT; (3) pengetahuan mengenai penghimpunan dan penyaluran ZIS oleh BMT. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik masyarakat perkotaan nasabah terhadap pengetahuannya mengenai simpan pinjam, kemampuan usaha, sistem bagi hasil dan penyaluran ZIS nya dilakukan perbandingan antara penduduk pendatang dan penduduk asli Dalam kajian ini untuk pendalaman kasus dilakukan pada 7 (tujuh) orang nasabah yaitu dua orang nasabah penduduk asli yang berhasil dalam usahanya, dua orang nasabah pendatang yang berhasil dalam usahanya, dua orang nasabah penduduk asli yang tidak berhasil dalam usahanya dan satu orang nasabah pendatang yang tidak berhasil dalam usahanya. Profil dari ke tujuh nasabah tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Nasabah penduduk asli yang berhasil dalam usahanya, 1) Bapak A (48 tahun) pedagang buah-buahan, sejak menjadi nasabah BMT pada tahun 1998 aktif meminjam untuk mengembangkan usahanya. Awal pinjamannya pada tahun 1998 sebesar Rp.500 ribu dan saat ini sudah mendapat pinjaman sebesar Rp.5 juta. Keuntungannya setiap hari antara 100-200 ribu rupiah. Kunci keberhasilan usahanya adalah disiplin dalam penggunaan modal dan mengutamakan barang yang laku. Pengetahuan usahanya didapat berdasarkan pengalaman. 2) Bapak Ob (51 tahun) pemilik warung nasi, sejak menjadi nasabah BMT pada tahun 2005 merupakan peminjam dan penabung aktif. Usahanya sempat terhenti karena modal usahanya habis untuk biaya sekolah anaknya tetapi masih aktif menabung. Pada awal tahun 2006 kembali merintis usaha warung nasinya dengan modal yang dipinjam dari BMT sebesar Rp.1 juta ditambah dengan tabungannya. Saat ini usahanya mulai berkembang lagi
dan terakhir pada akhir tahun 2006 untuk mengembangkan usahanya bapak Ob mendapat pinjaman kembali dari BMT sebesar Rp.2,5 juta. Keuntungannya setiap hari rata-rata 150-200 ribu rupiah. Kunci keberhasilan usahanya adalah menabung sebagian dari keuntungan setiap hari untuk tambahan modal. Pengetahuan usaha diperoleh dari pengalaman pribadi. 2. Nasabah penduduk asli yang tidak berhasil dalam usahanya 1) Ibu Yt (38 tahun) pedagang goreng ayam, menjadi nasabah BMT sejak tahun 1998 dan merupakan penabung dan peminjam aktif (4 kali meminjam). Sejak terjadi isu flu burung usahanya terus menurun dan akhirnya terhenti ketika roda jualan ayam gorengnya tertabrak truk di lokasi tempat jualannya pada tahun 2005. Ketika usahanya terhenti ibu Yt masih memiliki tunggakan cicilan sebesar Rp.500 ribu kepada BMT dan sampai saat ini tunggakan tersebut belum mampu terbayar. 2) Ibu Wn (32 tahun) pedagang gorengan, menjadi nasabah BMT sejak tahun 2004. Awalnya pinjam ke BMT adalah untuk menambah modal usaha, sejak pertama pinjam sampai terakhir (3 kali pinjam) jumlahnya tidak pernah di tambah tetap Rp.500 ribu karena tidak mampu membayar cicilannya. Ketika harga bahan baku untuk gorengannya terus naik, modal yang dimiliki sudah tidak mencukupi lagi dan akhirnya modal tersebut habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sampai saat ini sejak pinjaman terakhirnya pada tahun 2006 tunggakannya terhadap BMT sebesar Rp.200 ribu belum dapat dilunasi. Dua bulan terakhir ini ibu WN sudah mulai merintis usaha gorengan lagi tetapi dengan modal yang sangat kecil, keuntungan dari jualannya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan belum dapat disisihkan untuk membayar tunggakan cicilan kepada BMT. 3. Nasabah penduduk pendatang yang berhasil dalam usahanya 1) Mas R (27 tahun) pedagang Mie ayam merupakan penduduk pendatang yang berasal dari Jogja. Sejak membuka usaha mie ayamnya pada tahun 2000 mulai menjadi nasabah penabung BMT sampai dengan tahun 2004 Mas R hanya aktif sebagai nasabah penabung. Sebagai seorang yang masih bujangan dan belum memiliki beban tanggungan, dua bulan atau tiga bulan
sekali dari keuntungannya Mas R mengirim uang kepada orang tuanya di Jogja. Sejak adanya kenaikan harga bahan baku, Mas R sudah merasa perlu meminjam untuk menambah modal usahanya. Sampai saat ini sudah empat kali Mas R pinjam ke BMT, dua kali untuk modal usaha dan dua kali untuk bayar kontrakan rumahnya. Pada awal pinjaman hanya mendapat Rp.500 ribu dan selanjutnya hanya Rp.1 juta setiap pinjam. Keuntungannya setiap hari sebesar Rp.50 ribu-Rp.100 ribu. Kunci keberhasilan usahanya adalah menyisihkan sebagian keuntungan untuk tambahan modal dan menjaga kualitas rasa mie ayamnya. Pengalaman usahanya didapat dari temantemannya yang bergabung dalam paguyuban penjual bakso orang Jogja di Bandung. 2) Ibu Jm (45 tahun) berasal dari Cilacap Jawa Tengah, menjadi nasabah BMT kurang lebih sudah 8 tahun dan sudah 3 kali meminjam ke BMT untuk modal usaha bengkel suaminya. Saat ini usaha bengkelnya cukup maju dengan keuntungan bersih setiap hari rata-rata Rp.150 ribu- Rp.200 ribu. Kunci keberhasilan usahanya adalah menetapkan harga perbaikan atau harga barang di bawah harga pasar, selain itu kualitas pelayanan juga sangat diperhatikan. Pengetahuan usaha didapat dari orang tuanya dan dari pengalaman. Saat ini belum meminjam lagi tetapi masih aktif menabung. 4. Nasabah penduduk pendatang yang tidak berhasil dalam usahanya Ibu Rs (38 tahun) berasal dari Padang, pedagang coklat eceran. Sejak suaminya di PHK pada awal tahun 2005 ibu Rs diajak temannya untuk bekerja sama membuka warung nasi Padang tetapi tidak berlanjut hanya 1 tahun karena temannya bekerja sama pulang kampung. Selanjutnya ibu Rs berjualan coklat eceran, pada awal tahun 2007 karena harga beli dasar coklat dari agen naik ibu Rs meminjam modal Rp.500 ribu kepada BMT, tetapi penjualan coklat ecerannya hanya laku keras pada saat-saat tertentu sehingga keuntungan dan modalnya sering terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Saat ini karena modalnya sudah habis ibu Rs hanya menjadi perantara bagi pembeli coklat yang sewaktu-waktu datang dan keuntungan dari jadi perantara ini sangat sedikit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hanya untungnya cicilan kepada BMT sudah lunas dan hanya sempat meminjam satu
kali. Faktor kegagalannya adalah karena kurangnya pengetahuan dalam strategi penjualan karena temannya yang mengajaknya berjualan coklat saat ini usahanya berkembang pesat. Keseluruhan kasus kajian dikaji secara mendalam karena kekhasan kasusnya masing-masing.
Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan melalui tiga segmen kegiatan yaitu dalam kegiatan pemetaan sosial (social mapping), evaluasi kegiatan pengembangan masyarakat (community development evaluation) dan dalam kegiatan kajian pengembangan masyarakat (community development) dengan menggunakan sumber data primer yaitu data yang di peroleh dari subjek dan informan yang bersifat kualitatif serta data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data statistik, laporan, literatur dan lain sebagainya dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, observasi lapangan dan wawancara. Dalam kegiatan pemetaan sosial (social mapping) pengkaji ingin memperoleh informasi mengenai fenomena sosial secara lengkap , rinci dan mendalam serta memahami ciri-ciri dari sumber masalah sehingga akan diperoleh pemahaman yang mendalam tentang situasi sosial masyarakat. Dalam kegiatan ini untuk memperoleh data primer pengkaji melakukan wawancara langsung dengan aparat kelurahan, tokoh masyarakat dan beberapa sumber yang terkait. Sementara untuk memperoleh data sekunder pengkaji melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari arsip-arsip atau dokumen-dokumen
yang terkait dengan
situasi dan kondisi masyarakat, terutama mengenai perkembangan penduduk dan mobilitas penduduknya. Selanjutnya pengkaji melakukan observasi lapangan yang tujuannya adalah untuk melihat, merasakan dan memaknai peristiwa dan fenomena sosial yang ada di masyarakat. Kegiatan wawancara dilakukan pengkaji yang tujuannya adalah untuk mendalami pandangan masyarakat tentang situasi sosial, budaya, politik dan ekonomi. Data/ informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan pemetaan sosial ini adalah data kependudukan, sistem ekonomi, struktur komunitas, budaya, sumber daya lokal dan masalah sosial.
Pada segmen berikutnya pengkaji melakukan evaluasi pada kegiatan pengembangan masyarakat (community development evaluation) yang sudah dilakukan bagaimana aktivitasnya, pengaruhnya dan implementasinya di masyarakat. Dalam kegiatan evaluasi ini pengkaji melakukan studi dokumentasi yaitu mengevaluasi kegiatan dengan mengkaji rencana kegiatan pengembangan masyarakat dan membandingkannya dengan laporan hasil pelaksanaan kegiatan. Observasi lapangan dilakukan pengkaji untuk melihat secara langsung proses dan hasil pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dan implementasi kegiatan pengembangan masyarakat tersebut di masyarakat pengkaji melakukan wawancara terhadap responden yang terdiri dari pelaksana kegiatan dan sasaran kegiatan dan pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik purposif. Pada segmen terakhir pengkaji melakukan kajian pengembangan masyarakat (community development) terhadap BMT Nurul Ummah, sejauhmana aktivitas BMT Nurul Ummah ini dalam meningkatkan kapasitas kemampuan nasabahnya, meningkatkan
kapasitas
kelembagaannya
dan
tingkat
keswadayaan
dan
kemandiriannya dalam menanggulangi kemiskinan di perkotaan. Untuk memperoleh data tersebut pengkaji melakukan studi dokumentasi terhadap kegiatan manajemen BMT
yang meliputi data permodalannya, assetnya dan
pengelolaanya serta data hasil kegiatan usahanya. Dan untuk memperoleh gambaran jelas mengenai pengaruh dan implementasi kegiatan BMT pengkaji melakukan kegiatan observasi lapangan, selanjutnya untuk memperoleh informasi langsung mengenai bagaimana kapasitas BMT selama ini pengkaji melakukan wawancara mendalam terhadap nasabah, pengurus BMT, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sumber-sumber terkait.
Pengolahan Data dan Analisis Data
Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hasil analisis data kualitatif kemudian ditampilkan melalui matrik, skema dan bahasan kasus.
Penyusunan Program
Langkah terakhir dalam kajian ini adalah melakukan penyusunan program untuk meningkatkan kapasitas BMT bersama nasabah dan stakeholders terkait. Proses yang dilakukan dalam kegiatan ini meliputi identifikasi masalah, identifikasi potensi dan sumber, serta rencana pemecahan masalah dengan menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD). Untuk memperoleh gambaran jelas mengenai langkah-langkah pelaksanaan kajian ini dapat di lihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Langkah-langkah Kegiatan KajianPeningkatan Kapasitas Baitul Maal wat Tamwil dalam penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan Studi Kasus di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2007 No
Kegiatan
Metode/Teknik
Sasaran
Tujuan ¾ Memperoleh data sekunder tentang kependudukan, profil kelurahan, potensi kelurahan, laporanlaporan dan literatur lainnya. ¾ Mendapatkan data primer tentang masalah sosial, Sistem Ekonomi, Struktur Komunitas, Budaya, Sumber daya lokal Mengkaji pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat pada BMT Nurul Ummah dalam: ¾ Meningkatkan kapasitas kemampuan nasabah ¾ Meningkatkan kapasitas kelembagaan ¾ Meningkatkan kemandirian dan keswadayaan
1.
Pemetaan Sosial
¾ Studi Dokumentasi ¾ Obsevasi Lapangan. ¾ Wawancara langsung
¾ Lurah, Sekretaris Lurah dan Ka Sie Kemasyaraka tan Kelurahan, Ka Sie ¾ Ketua Forum RW ¾ Tokoh Masyarakat dan Nasabah BMT
2.
Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat
¾ Studi Dokumentasi ¾ Observasi Lapangan ¾ Wawancara langsung
¾ Lurah, Sekeretaris Lurah dan Ka Sie Ekonomi & Pembangunan Kelurahan ¾ Tokoh Agama ¾ Tokoh Masyarakat ¾ Ketua Forum RW ¾ Pengurus dan Nasabah BMT
3.
Kajian Pengembangan Masyarakat terhadap BMT Nurul Ummah
¾ Studi Dokumentasi ¾ Observasi Lapangan ¾ Wawancara langsung
4.
Peningkatan Kapasitas BMT
Focus Group Discussion (FGD
¾ Lurah, Sekeretaris Lurah dan Ka Sie Ekonomi & Pembangunan Kelurahan ¾ Tokoh Agama ¾ Tokoh Masyarakat ¾ Ketua Forum RW ¾ Pengurus ABSINDO ¾ Dinas Koperasi Kota ¾ Pengurus dan nasabah BMT ¾ Tokoh agama ¾ Tokoh Masyarakat ¾ Lurah Sekeloa ¾ Ketua Forum RW
Mengkaji kapasitas dan kinerja yang telah dilaksanakan mengenai: ¾ Sumber modalnya ¾ Proses pembentukannya ¾ Permasalahannya ¾ Kelembagaannya ¾ Keberhasilan Programnya ¾ Keberlanjutannya
¾ Menemukenali masalah ¾ Menemukenali potensi ¾ Menganalisis masalah dan potensi ¾ Menemukan pilihan solusi masalah ¾ Menyusun rencana program
KEBERADAAN BMT NURUL UMMAH DALAM PETA SOSIAL MASYARAKAT KELURAHAN SEKELOA Kondisi sosial masyarakat sangat berpengaruh pada eksistensi dan pengembangan suatu lembaga ekonomi masyarakat, oleh sebab itu pemetaan sosial
(social
mapping)
merupakan
suatu
keharusan
dalam
kegiatan
pengembangan masyarakat. Melalui peta sosial masyarakat, dapat diketahui potensi pendukung dan penghambat yang berpengaruh pada perkembangan lembaga ekonomi masyarakat tersebut. Dalam upaya meningkatkan kapasitas BMT Nurul Ummah, analisis kajian terhadap peta sosial masyarakat di Kelurahan Sekeloa bertujuan untuk memahami kondisi dan karakteristik masyarakatnya dilihat dari aspek-aspek kependudukan, sistem ekonomi, struktur komunitas, organisasi kelembagaan dan sumber daya lokal berdasarkan letak geografis-administratif, kondisi demografis, kondisi ekonomi, kondisi pendidikan, kondisi sosial budaya, kondisi keagamaannya serta masalah sosialnya. Hasil pemetaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Kondisi Geografis dan Administratif Kegiatan BMT terdapat di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung yang memiliki luas 117 Ha. Letak wilayah Kelurahan Sekeloa berada di Bandung Utara memiliki komunitas yang mobiltasnya tinggi, mobilitas komunitas ini banyak dimudahkan oleh kemudahan transportasi baik kendaraan umum maupun ojeg. Selain kemudahan transportasi, kehidupan komunitas juga dimudahkan dengan letak wilayah Kelurahan Sekeloa yang strategis. Di utara berbatasan dengan Kelurahan Dago, di timur dan selatan berbatasan dengan Kelurahan Sadang Serang dan di barat berbatasan dengan Kelurahan Lebak Gede. Di Kelurahan Sekeloa terdapat beberapa kompleks pemukiman yaitu kompleks Tubagus Ismail, kompleks Alamanda, kompleks Sadang Luhur dan kompleks Sadang Hegar. Kompleks Tubagus Ismail dan kompleks Alamanda merupakan kompleks pemukiman elit. Keberadaan kompleks elit harus menjadi perhatian BMT, kompleks ini dapat menjadi sumber pendukung selain tingkat ekonomi penduduknya relatif di atas
masyarakat lain, masyarakatnya banyak yang menjadi pengusaha dan pejabatpejabat teras pemerintah dan hal ini menjadi potensi besar bagi pengembangan kegiatan BMT pada akses yang lebih makro. Tetapi mereka juga bisa menjadi konflik manakala komunikasi dengan warga lain terhambat sehingga mereka terkesan tidak mau berinteraksi dengan warga lain. Jarak Komunitas ke kantor Kecamatan Coblong 3 Km, ke kantor Pemerintah Kota Bandung 10 Km dan jarak ke kantor Pusat Jakarta sejauh 115 Km. Dengan adanya kemudahan transportasi,
hal ini menjadikan nasabah BMT dan
kelembagaannya dapat dengan mudah melakukan interaksi sosial atau koordinasi dengan pemerintah daerah dan pihak lain yang terkait dengan kegiatan. Kehidupan komunitas banyak dimudahkan dengan tersedianya berbagai fasilitas seperti fasilitas pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi, hal ini memberi kemungkinan bagi komunitas untuk memperoleh pendidikan yang dekat dengan tempat tinggalnya. Selain fasilitas pendidikan, kehidupan komunitas juga dimudahkan dengan dekatnya wilayah Kelurahan Sekeloa dengan berbagai fasilitas ekonomi seperti pasar tradisional, terminal angkutan umum, pusat kegiatan olah raga massal dan bank. Fasilitas-fasilitas tersebut banyak yang dijadikan sarana kegiatan ekonomi bagi sebagian besar komunitas baik terutama komunitas pedagang. Selain itu terdapatnya fasilitas pendidikan perguruan tinggi juga menjadi sarana kegiatan ekonomi bagi komunitas, terutama karena cukup banyaknya mahasiswa yang tinggal di wilayah Kelurahan Sekeloa. Fasilitas-fasilitas ekonomi tersebut juga menjadi sarana kegiatan ekonomi nasabah BMT. Selain fasilitas pendididkan dan ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan ibadah bagi umat muslim di Kelurahan Sekeloa terdapat 23 buah mesjid yang tersebar di seluruh RW, 20 mushola, majelis ta’lim 16, lembaga pendidikan Islam 2 buah dan pesantren 1 buah. Banyak nasabah BMT yang memanfaatkan fasilitas ibadah tersebut baik untuk kegiatan jum’atan, pengajian atau kegiatan ibadah lainnya. Kegiatan BMT berada di wilayah RW 13, tetapi wilayah kerjanya mencapai jarak 10 Km dari lokasi meluas ke wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Kelurahan Sekeloa.
Kondisi Kependudukan dan Ekonomi Berdasarkan data monografi Bulan Desember 2006 jumlah penduduk Kelurahan Sekeloa sebanyak 25.841 jiwa yang meliputi jumlah laki-laki 13.646 jiwa dan jumlah perempuan 12.195 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 5.354 KK. Untuk lebih jelasnya Komposisi penduduk Kelurahan Sekeloa berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat dari Tabel 2 berikut: Tabel 2 : Jumlah Penduduk Kelurahan Sekeloa Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2006 Umur
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
0 - 4 5 - 9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 <
1751 1438 1503 1566 1846 1275 1176 796 460 459 302 206 868
1607 1164 1228 1292 1741 1086 911 870 649 455 284 213 695
3358 2602 2731 2858 3587 2361 2087 1666 1109 914 586 419 1563
Jumlah
13646
12195
25841
Sumber : Data Monografi Kelurahan Sekeloa Tahun 2006 Apabila digambarkan dalam bentuk piramida penduduk, maka penduduk Kelurahan Sekeloa berdasarkan umur dan jenis kelamin adalah seperti tampak pada diagram piramida Gambar 2 berikut:
Gambar 2 : Piramida Penduduk Kelurahan Sekeloa Tahun 2006
60<< 60 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5 - 9 0 - 4 15
10
Laki-laki Laki-laki
5
5
10
15
Perempuan Perempuan
Keterangan : 1 : 100 Dari Tabel 2 komposisi penduduk di atas menunjukkan bahwa komunitas di Kelurahan Sekeloa termasuk padat, dengan luas wilayah sebesar 117 Ha dan hanya 99 Ha yang menjadi pemukiman penduduk ini berarti setiap 1 hektar dihuni oleh 261 jiwa. Kelurahan Sekeloa seperti halnya daerah perkotaan, minat penduduk dari luar wilayah untuk tinggal di Kelurahan Sekeloa sangat tinggi, hal ini di pengaruhi oleh banyaknya sarana kegiatan ekonomi terutama wilayah-wilayah yang banyak ditempati oleh mahasiswa dan sebagian besar wilayah Kelurahan Sekeloa banyak yang dihuni oleh mahasiswa. Inilah yang menyebabkan Kelurahan Sekeloa memiliki jumlah penduduk yang padat dengan jumlah penduduk pendatang yang cukup tinggi. Cukup tingginya jumlah pendatang berpengaruh pada keheterogenan etnis komunitasnya seperti Jawa, Batak, Padang dan masih banyak etnis lainnya. Heterogenitas etnis dari komunitas Kelurahan Sekeloa juga nampak pada nasabah BMT yang terdiri dari etnis Jawa, Padang selain Sunda seperti Mas R (Jogja), Bapak A (Sunda), Ibu Jm (Cilacap), Ibu Rs (Padang). Selain etnis dan pekerjaan keheterogenan juga terdapat pada agama,
Sebagian besar atau 96 % agama yang dianut komunitas adalah Islam, 4 % komunitas lainnya beragama Kristen, Hindu dan Budha. Selain etnis, keheterogenan juga nampak pada pekerjaan nasabah BMT seperti penjual mie ayam, penjual goreng ayam, pedagang warung nasi, pedagang warung kelontong, dan banyak lagi jenis lainnya. Mata pencaharian sebagai pelaku usaha sektor informal banyak dilakukan oleh komunitas. Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 3 di bawah ini Tabel 3 : Mata Pencaharian Pokok Kepala Keluarga pada Penduduk di Kelurahan Sekeloa Tahun 2006 No.
Jumlah
%
473 658 1.747 134 1.535 37 461 174 43 8 56 76 21
8,7 12,1 32,2 2,5 28,3 0,7 8,5 3,2 0,8 0,1 1,0 1,4 0,1
Jumlah 5.423 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sekeloa Tahun 2006
100
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Mata Pencaharian Buruh Pegawai Swasta Pegawai Negeri Pengrajin Pedagang Penjahit Tukang Batu Tukang Kayu Montir Dokter Sopir TNI/Polri Pengusaha
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat jumlah komunitas yang melakukan kegiatan ekonomi dalam sektor informal (pengrajin, pedagang dan penjahit) adalah sebanyak 1.706 kepala keluarga (31,5 %) tetapi yang sudah menjadi nasabah BMT hanya 28 orang. Selain
fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan juga menjadi kebutuhan
masyarakat termasuk nasabah BMT. Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Sekeloa dapat dilihat dari Tabel 4 berikut:
Tabel 4: Tingkat Pendidikan Penduduk Di Kelurahan Sekeloa Tahun 2006 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D-2 Tamat S-1 Tamat S-2
Jumlah 3956 4042 4373 341 1250 8
Sumber : Profil Kelurahan Tahun 2006
Tabel 4 di atas menunjukkan 1.599 orang penduduk (6,2 %) memiliki pendidikan D-2, S-1 dan S-2, jumlah ini menunjukkan bahwa adanya perguruan tinggi di Kelurahan Sekeloa belum menunjang pendidikan komunitas lebih optimal. Sedangkan jumlah penduduk yang memiliki pendidikan di bawah SLTA cukup tinggi yaitu sebanyak 3.956 orang (15,3 %) tamat SD dan 4.042 orang (15,6 %) tamat SLTP. Demikian pula dengan penduduk yang tidak dapat menamatkan sekolah dasar cukup tinggi yaitu sebanyak 2,274 orang (8,7 %), sementara penduduk yang belum sekolah dan masih sekolah di SD mencapai jumlah 9.590 orang (37,1 %). Di perkotaan, seleksi untuk mendapatkan peluang kerja di sektor formal rata-rata dari pendidikan SLTA ke atas. Oleh karena itu untuk penduduk yang tidak sampai kejenjang pendidikan SLTA sulit untuk memperoleh peluang kerja di sektor formal tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha sektor informal di Kelurahan Sekeloa rata-rata memiliki pendidikan di bawah tingkat SLTA.
Karakteristik Masyarakat Perkotaan pada Penduduk Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan heterogen, membentuk karakteristik khas pada masyarakat di Kelurahan Sekeloa dalam pola kehidupannya sehari-hari. Karakteristik tersebut juga terbentuk dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan sosial yang memiliki mobilitas ekonomi tinggi untuk menyelaraskan kebutuhan dengan kemampuan. Sebagaimana umumnya di perkotaan, kebutuhan biaya hidup sangat tinggi baik untuk kebutuhan pokok hidup sehari-hari, kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, sehingga menurut salah seorang nasabah BMT mereka tidak memiliki waktu untuk mengikuti kegiatan sosial, seluruh tenaga dan fikiran terkuras untuk mendapatkan penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tingginya mobilitas ekonomi, interaksi dengan lingkungan sosial menjadi sangat kurang. Sikap kurang peduli menjadi sangat dominan dalam hubungan sosial mereka dengan lingkungannya baik dengan tetangga, teman atau saudara terutama dalam lingkungan kompleks perumahan sering mereka tidak mengenal tetangga sebelah rumahnya. Selain sikap kurang peduli, masyarakat selalu mengukur materi dalam setiap kegiatannya secara finansial baik langsung maupun tidak langsung, begitu juga untuk kegiatan sosial. Setiap institusi pemerintah yang berkaitan langsung dengan masyarakat menyediakan anggaran cukup besar untuk aktivitas kader masyarakat, baik untuk transport maupun untuk insentif insidentil. Partisipasi masyarakat Kelurahan Sekeloa cukup tinggi terhadap pembangunan terbukti dari seringnya Kelurahan Sekeloa mendapat predikat kelurahan terbaik, tetapi itu tidak melepaskan mereka pada keuntungan secara materi, dibalik partisipasinya sebagian besar mengharapkan keuntungan finansial secara langsung. Keuntungan materi juga diharapkan oleh kader pelayanan masyarakat seperti kader Pos Yandu, kader PKK, Pos KB maupun Sub Pos KB Dari beberapa kader masyarakat yang ditemui, ada seorang kader Pos Yandu dengan antusias mengatakan: “Kalau sekarang mah kader Pos Yandu teh dapat insentif dari Puskesmas…..lumayan lah buat nambahin biaya dapur” Dari apa yang diungkapkan kader tersebut, menunjukkan ada respon yang tinggi kalau kegiatan sosial tersebut dapat menghasilkan keuntungan secara finansial, hanya segelintir kader masyarakat yang memang benar-benar peduli dan ingin berpartisipasi. Karakteristik khas lainnya adalah sikap curiga kepada siapa saja terutama pada orang yang baru dikenal, kecuali pada orang-orang terdekat. Masyarakat
sering berfikir negatif terhadap masyarakat lain terutama yang mengelola anggaran pemerintah, hal inilah yang menjadikan seringnya terjadi konflik walaupun tidak selalu muncul kepermukaan pada lembaga-lembaga yang mengelola bantuan-bantuan pemerintah termasuk pada PDM-DKE dan P2KP. Selain sikap curiga, norma-norma sosial tidak selalu dipandang sebagai aturan-aturan yang harus ditaati oleh sebagian, tidak sedikit masyarakat yang melanggar norma-norma sosial tersebut seperti melakukan pencurian, penipuan, penyalah gunaan jabatan, penyalah gunaan hak dan lain sebagainya. Salah satu contohnya adalah tidak mengembalikan pinjaman modal bergulir dengan alasan bahwa itu adalah hibah. Karakteristik masyarakat perkotaan tidak selalu dikonotasikan negatif, ada juga aspek positifnya. Tingginya biaya hidup yang harus ditanggung dan semakin sempitnya lahan untuk mendapatkan peluang keuntungan, mendorong masyarakat untuk lebih kreatif dan berusaha untuk mampu bersaing. Tingginya persaingan menjadikan setiap waktu sangat berarti buat masyarakat, bagi para pekerja informal banyaknya waktu yang terbuang merupakan kerugian materi bagi mereka, bagi pekerja formal banyaknya waktu terbuang merupakan kerugian untuk mendapatkan peluang jabatan yang lebih baik. Dengan adanya hal tersebut, masyarakat Kelurahan Sekeloa cenderung sebagai pekerja keras (workaholic). Bagi sebuah lembaga ekonomi masyarakat termasuk BMT, sikap positif masyarakat dapat menjadi modal sosial (social capital) karena dengan aktivitas ekonominya yang tinggi mereka akan menjaga intensitas hubungannya dengan lembaga keuangan yang dapat menunjang aktivitas ekonominya, tetapi dalam pertisipasi masyarakat hal itu akan sangat sulit diperoleh.
Pelapisan Sosial dan Kepemimpinan Dalam Masyarakat
Menurut pandangan nasabah sebagai anggota masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama merupakan pemimpin bagi masyarakat yang disegani, dihormati dan dipercaya. Tokoh masyarakat dianggap oleh mereka sebagai orang yang suka mengurus masyarakat dan dapat memberikan bimbingan pada masyarakat. Begitu juga pandangan mereka terhadap tokoh agama, masyarakat memandang tokoh
agama sebagai pembimbing spiritual yang dapat membimbing mereka untuk memahami kebenaran hidup. Dalam kesehariannya, tokoh masyarakat dan tokoh agama seperti pada umumnya masyarakat memiliki aktivitas untuk mendapatkan nafkah, ada yang bekerja sebagai aparat pemerintah, wiraswasta, pensiunan baik PNS maupun Masyarakat menganggap orang-orang tersebut sebagai pemimpin baik tokoh masyarakat maupun tokoh agama melihat dari kecakapan atau kemampuannya, kekayaannya dan faktor keagamaannya. Dengan kapasitasnya sebagai pengayom masyarakat dan dipercaya oleh mereka, selama ini tokoh masyarakat dan tokoh agama tersebutlah yang sering mengajak mereka untuk ikut bergotong royong dalam berbagai kegiatan sosial seperti membersihkan lingkungan, menjaga keamanan wilayah dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam pelapisan sosial dipandang dari kekayaan, tingkat pendidikan dan pekerjaan seperti misalnya masyarakat penghuni daerah elit yang umumnya adalah pengusaha dan pejabat teras pemerintah dipandang sebagai lapisan sosial kelas atas, masyarakat penghuni
kompleks perumahan Sadang
Hegar dan Sadang Luhur yang umumnya adalah pegawai negeri dan wirausaha dipandang sebagai lapisan sosial kelas menengah dan masyarakat penghuni daerah kumuh yang umumnya adalah buruh dan pedagang kecil dipandang sebagai lapisan sosial kelas bawah.
Kelembagaan dan Organisasi
Di Kelurahan Sekeloa juga terdapat kelembagaan dan organisasi yang dikelompokkan berdasarkan sejarah pembentukannya ke dalam dua bagian yaitu lembaga-lembaga intervensi pemerintah yang antara lain terdiri dari Pemerintah Kelurahan Sekeloa, RW, RT, Forum RW, LPM, Pos Yandu, PKK, Puskesmas, Sekolah, Pos KB dan Sub Pos KB serta Dasa Wisma. Dan lembaga-lembaga swakarsa atau hasil pembentukan masyarakat seperti Remaja Mesjid, Taruna Karya, Kelompok Arisan, Kelompok Kematian, DKM, TPA dan Kelompok Pengajian serta P2KP, UP2K, MUBR dan UED-SP walaupun aktivitasnya sudah
sangat kurang. Pada dasarnya kelembagaan dan organisasi merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan tujuan. Dari beberapa kelembagaan dan organisasi tersebut yang masih rutin melaksanakan kegiatan dan melakukan pertemuan adalah Pos Yandu, PKK tingkat kelurahan dan Puskesmas untuk organisasi dan kelembagaan intervensi pemerintah. Sedangkan untuk kelembagaan dan organisasi hasil pembentukan masyarakat adalah kelompok arisan dan kelompok-kelompok pengajian tingkat RW dan RT, dan kelompok pengajian komunitas tertentu seperti ”KERWATI”. Kelompok pengajian ”KERWATI” adalah kelompok pengajian dari komunitas daerah elit, Masyarakat Kelurahan Sekeloa memanfaatkan lembaga-lembaga intervensi pemerintah untuk kepentingan legalitas kependudukan, mendapatkan pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana serta fasilitas pendidikan. Sementara kegiatan arisan dan pengajian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi dengan masyarakat lainnya. Intensitas pertemuan dari kelompok swakarsa ini cukup tinggi terutama dalam kelompok pengajian, selain itu dalam kelompok pengajian ada kegiatan pengajian keliling dari satu RT ke RT lain atau dari satu RW ke RW lain. Kelompok-kelompok pengajian ini juga sering mengisi acara-acara syukuran anggota masyarakat lainnya baik yang ada di wilayahnya ataupun di luar wilayahnya, beberapa orang nasabah BMT ada yang aktif dalam kegiatan kelompok pengajian ini. Kelompok pengajian ini dapat dimanfaatkan BMT untuk kegiatan sosialisasi, melakukan jejaring kerja (networking) atau untuk menghimpun nasabah.
Kondisi Keagamaan
Penduduk Sekeloa berdasarkan data profil Kelurahan 96 % (24.800 orang) adalah pemeluk agama Islam dan ini merupakan mayoritas dari agama-agama lain yang ada di Kelurahan Sekeloa di mana agama Kristen hanya 499 orang (1,9 %), Katholik 473 orang (1,8%), Hindu 31 orang (0,1%) dan Budha 38 orang (0,1%). Untuk memenuhi kebutuhan ibadahnya masyarakat muslim secara gotong royong membangun mesjid-mesjid dan mushola, ada juga pembangunan mesjid
yang dibantu dananya oleh pemerintah tetapi masyarakat memiliki andil yang lebih besar, karena membangun mesjid menurut mereka menjadi bagian dari ibadahnya. Keberadaan mesjid menurut masyarakat bukan hanya untuk kegiatan sholat, tetapi juga untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah lainnya seperti kegiatan pengajian dan kegiatan ceramah-ceramah keagamaan. Selain itu juga keberadaan mesjid dimanfaatkan masyarakat untuk menyalurkan zakat, infaq dan shadaqah (ZIS). Menurut salah satu tokoh masyarakat yang menjadi ketua DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid) di RW 01, ZIS yang terkumpul dari masyarakat setiap bulan bisa mencapai Rp.1 – Rp .2 juta. Dana yang terkumpul dari dana ZIS tersebut dimanfaatkan untuk menyantuni masyarakat miskin, anak yatim dan jompo yang berada di lingkungan mesjid tersebut sebagian dana ZIS dimanfaatkan untuk pemeliharaan mesjid. Sebagian besar masyarakat muslim menyadari ZIS merupakan bagian dari kegiatan ibadahnya, begitu juga pada mayarakat daerah elit. Salah satu warga masyarakat elit di kompleks Tubagus Ismail anggota dari kelompok pengajian ”KERWATI” menyediakan waktunya untuk menghimpun ZIS dari seluruh warga masyarakat kompleks Tubagus Ismail. Dana ZIS dihimpunnya setiap bulan dan pada akhir bulan Ramadhan, bekerja sama dengan aparat kelurahan dana ZIS tersebut disalurkan kepada masyarakat miskin yang tinggal di daerah kumuh dalam bentuk uang atau sembako. Cukup tingginya kesadaran masyarakat dalam menyalurkan ZIS nya merupakan modal sosial bagi BMT untuk kegiatan penghimpunan ZIS nya, tetapi hal ini belum mendapat perhatian dari kelembagaan BMT.
Masalah Sosial
Sebagai mana wilayah perkotaan pada umumnya banyak masalah sosial yang terjadi di Kelurahan Sekeloa seperti kriminalitas dan kenakalan remaja, tetapi masalah sosial yang banyak mendapat perhatian adalah masalah kemiskinan. Sebagaimana wilayah perkotaan lainnya, di Kelurahan Sekeloa ada juga yang masuk dalam kategori miskin/tidak mampu. Informasi dari Ka Sie
Kemasyarakatan, data terakhir jumlah keluarga miskin di Kelurahan Sekeloa sebanyak 741 KK (Kepala Keluarga) atau 13,7 % dari jumlah KK seluruhnya yaitu 5423 KK. Rumah tangga yang dianggap miskin di Kelurahan Sekeloa ditetapkan berdasarkan
kriteria kemiskinan rumah tangga dari BPS Kota
Bandung yaitu salah satunya rumah tangga memiliki penghasilan di bawah Rp.600.000,- per bulan. Dalam kenyataannya jumlah masyarakat miskin ini bisa lebih banyak, sebab bagi masyarakat pada saat pendataan belum tinggal lebih dari 6 bulan di Kelurahan Sekeloa belum didata dan itu semuanya adalah pendatang, beberapa dari masyarakat pendatang tersebut juga ada yang miskin. Selain itu adanya kekurang cermatan dalam pendataan sering menyebabkan banyak masyarakat miskin yang tidak terdata. Berdasarkan pengamatan, konsentrasi masyarakat miskin ada di daerah kumuh yang memiliki luas hampir 80 % dari luas wilayah yang dihuni penduduk, luas wilayah yang dihuni penduduk
yaitu 99 Ha dari 117 Ha luas wilayah
Kelurahan Sekeloa. Dalam kehidupan masyarakat miskin,
untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal mereka hanya mampu menyewa rumah kecil dan tidak layak huni karena harganya lebih murah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka banyak yang melakukan pekerjaan sebagai buruh bangunan, tukang sampah, hansip, pembantu rumah tangga dan pembantu cuci pakaian untuk mahasiswa. Upah yang diterima mereka perbulan antara Rp.250 – Rp.300 ribu. Selain sebagai pekerja ada beberapa masyarakat miskin yang memiliki usaha kecil seperti pedagang gorengan, pedagang jajanan anak-anak, kios rokok dan lain sebagainya, diantara pedagang gorengan tersebut ada yang menjadi nasabah BMT. Ada juga beberapa orang masyarakat miskin yang kadang mendapat pekerjaan kadang tidak seperti misalnya sopir angkot cadangan, tukang ojeg cadangan. Beberapa masyarakat miskin tersebut tidak memiliki KTP dan ini bukan hanya masyarakat miskin pendatang, penduduk asli yang miskin juga banyak yang tidak memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk). Hal ini disebabkan biaya proses pembuatan KTP mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan sampai Kecamatan cukup mahal bisa mencapai Rp.20.000,- per KTP. Inilah yang menyebabkan banyak keluarga miskin di Kelurahan Sekeloa tidak bisa mengakses ke bantuan
PDM-DKE dan P2KP, karena persyaratan untuk mendapat bantuan tersebut adalah penduduk yang memiliki KTP. Tetapi tidak sedikit penduduk yang mampu, karena memiliki KTP mereka memperoleh bantuan. Dengan ketidak mampuan mereka untuk memiliki KTP, mereka menjadi termarjinalkan.
Inilah
yang
harus
menjadi
pertimbangan
BMT
untuk
memfungsikan penghimpunan ZIS nya (Baitul Maal) agar mereka memiliki akses pada modal usaha produktif. Masalah kemiskinan yang terjadi pada nasabah BMT disebabkan habisnya modal usaha yang sudah berjalan selama ini. Banyak faktor yang menyebabkan habisnya modal usaha dari informasi beberapa nasabah mengatakan bahwa habisnya modal mereka disebabkan karena adanya kenaikan harga yang menyebabkan modal yang harus dikeluarkan semakin besar sedangkan keuntungan terus berkurang, nasabah lain mengatakan habisnya modal disebabkan karena adanya rumor negatif (flu burung) yang menyebabkan jualannya tidak laku, sementara menurut petugas lapangan BMT selama ini banyak nasabah yang memiliki hutang ganda, baik terhadap BMT maupun pada lembaga keuangan lain atau pada rentenir, sehingga hutangnya melebihi keuntungan yang dihasilkan dari usahanya. Adanya masalah modal usaha habis, pada akhirnya menyebabkan nasabah BMT tersebut tidak memiliki penghasilan. Dampak dari semua ini adalah menambah angka pengangguran dan kemiskinan di Kelurahan Sekeloa
EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN SEKELOA KECAMATAN COBLONG KOTA BANDUNG Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang di rancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat (Brokensha dan Hodge dalam Adi, 2003). Salah satu kegiatan program pengembangan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup keluarga miskin adalah peningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi, hal tersebut dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha dan pengembangan kelembagaan dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan dan partisipasi. Dalam hal ini program pengembangan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat agar mampu mengatasi permasalahannya dengan kekuatannya sendiri. Salah satu ciri mendasar dari suatu kegiatan program pengembangan masyarakat dalam kerangka pemberdayaan adalah adanya keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan tersebut (sustainability). Dengan demikian untuk mengkaji sejauhmana keberhasilan program pengembangan
masyarakat
yang
sudah
dilaksanakan
dalam
kerangka
pemberdayaan masyarakat, dan bagaimana keberlanjutan program tersebut di daerah kajian, perlu dilakukan suatu evaluasi terhadap program-program pengembangan masyarakat tersebut. Tujuan evaluasi antara lain : (1) Ingin mengetahui
bagaimana keberdayaan masyarakat di daerah kajian dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonominya setelah dilaksanakan program-program pengembangan masyarakat yang berkaitan dengan kemiskinan, (2) Sejauhmana program tersebut telah melakukan jejaring sosial dan jejaring usaha dengan stakeholders terkait, (3) Sejauhmana kemampuan kelembagaan di dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki masyarakat sebagai modal sosial bagi keberlanjutan program tersebut. Evaluasi juga dilakukan terhadap faktor-faktor yang akan menjadi penghambat dan yang akan mendukung keberhasilan program. Hasil dari evaluasi ini akan menjadi masukan bagi pelaksanaan program pada tahap-tahap selanjutnya.
Evaluasi
dilaksanakan
terhadap
program-program
penanggulangan
kemiskinan PDM-DKE, P2KP yang sudah tidak eksis dan BMT yang masih eksis di daerah kajian. Hal ini disebabkan berdasarkan hasil observasi lapangan keberhasilan dari kedua program tersebut sangat variatif. Hasil evaluasi terhadap program pengembangan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan di daerah kajian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Deskripsi Kegiatan
Kegiatan Modal Bergulir PDM-DKE PDM-DKE (Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi) merupakan salah satu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan pemerintah, program ini bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dengan tujuan untuk mengatasi berbagai dampak krisis ekonomi yang di mulai pada tahun 1997. Secara umum program-program JPS bertujuan untuk: 1. Memulihkan kecukupan pangan yang terjangkau oleh masyarakat miskin 2. Menciptakan kesempatan kerja yang dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat miskin 3. Memulihkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat miskin 4. Memulihkan kegiatan ekonomi rakyat Sebagai bagian dari program JPS, PDM-DKE bertujuan untuk: 1. Meningkatkan daya beli masyarakat miskin melalui peningkatan pendapatan, 2. Menggerakkan kembali ekonomi rakyat melalui pemberian modal usaha dan membangun atau merehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi serta sosial yang mendukung sistem produksi dan distribusi barang dan jasa, 3. Meningkatkan fungsi sarana dan prasarana sosial ekonomi rakyat dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup. Sesuai dengan tujuannya, penerima sasaran bantuan adalah penduduk miskin yang kehilangan pekerjaan dan yang penghasilannya tidak cukup bagi
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (kebutuhan hidup: sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) Secara garis besar kegiatan dalam program PDM-DKE ini dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu 1. Kegiatan modal bergulir,
berupa pemberian dana bantuan modal bagi
penduduk miskin yang harus dikembangkan dengan menggulirkan pada sebanyak mungkin penduduk miskin, 2. Kegiatan pemeliharaan/pembangunan sarana prasarana, berupa pemberian upah
kerja
bagi
penduduk
miskin
pemeliharaan/pembangunan sarana
yang
bekerja
pada
kegiatan
prasarana sosial ekonomi rakyat yang
dikerjakan dengan sistem padat karya. Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam pelaksanaan program PDM-DKE adalah: 1. Kegiatan yang dilaksanakan terbuka untuk diketahui seluruh masyarakat (Transparency) 2. Setiap kegiatan melibatkan peran aktif masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelestariannya. (Participation) 3. Penyaluran dana harus sesegera mungkin dapat dinikmati masyarakat miskin yang menjadi sasaran (Quick imbursement) 4. Kegiatan yang dilaksanakan harus dapat di pertanggungjawabkan baik secara teknis ataupun administrasi (Accountability) 5. Kegiatan yang telah dihasilkan dapat dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah organisasi masyarakat setempat sehingga kegiatan tersebut dapat berkelanjutan (sustainability) PDM-DKE di daerah kajian dibentuk pada tahun 1998 dengan mekanisme pelaksanaan sebagai berikut: 1. Sosialisasi program di tingkat kecamatan menghadirkan Camat, Lurah, Ketua LKMD, perwakilan Tokoh Masyarakat, Pengawas PLKB dan Ketua Tim Penggerak PKK tingkat Kelurahan. 2. Sosialisasi dan pembentukan pengurus di tingkat kelurahan menghadirkan Lurah, anggota LKMD, Tokoh Masyarakat, PLKB, Pos KB, Ketua RW dan Ketua Pokja I-IV PKK kelurahan.
3. Musyawarah Kelurahan untuk merencanakan kegiatan ekonomi yang akan dilaksanakan, pembentukan kelompok dan menyusun prioritas sasaran 4. Melengkapi dokumen pencairan dana yang diajukan kepada pengelola di tingkat Kota. 5. Setelah dana cair dilakukan musyawarah pengurus untuk menentukan teknis pemberian dana terhadap sasaran 6. Penyerahan dana bergulir kepada ketua kelompok sasaran untuk diserahkan kepada anggotanya 7. Untuk mengawasi jalannya perguliran dana dan pemanfaatannya disusun jadwal pertemuan rutin antara ketua kelompok dengan kelompoknya dan ketua kelompok dengan pengurus tingkat Kelurahan Dana
yang
diterima
dari
program
PDM-DKE
tersebut
sebesar
Rp.218.761.000,- pemanfaatan dana ini adalah untuk kegiatan modal bergulir sebesar Rp.128.900.00,- dana ini harus dikembangkan dengan menggulirkan pada sebanyak mungkin masyarakat miskin yang memiliki usaha-usaha kecil. Modal usaha yang diberikan kepada setiap orang pelaku usaha kecil tersebut adalah sebesar 1 juta – 7,5 juta yang dibagi dalam dua tahap, tahap I digulirkan kepada 28 orang sasaran sedangkan pada tahap ke II digulirkan kepada 15 orang sasaran. Untuk mendapatkan bantuan modal usaha ini, pelaku usaha kecil yang menjadi sasaran terlebih dahulu harus mengajukan proposal. Pembuatan proposal dipandu oleh pengurus secara massal, teknis pembuatan proposal yaitu seluruh calon penerima modal diundang ke kantor Kelurahan Sekeloa di mana seluruh pengurus juga ikut hadir. Dalam pertemuan ini, salah seorang pengurus yang telah dilatih pengisian proposal menjelaskan kepada semua yang hadir bagaimana cara mengisi proposal tersebut. Bagi yang tidak bisa menulis, pengisian proposal dilakukan dengan teknis wawancara. Proposal yang sudah selesai diberikan kepada ketua kelompok masing-masing untuk ditindak lanjuti dalam kegiatan survey lapangan, hasil survey dimusyawarahkan oleh pengurus untuk menentukan berapa dana yang akan diberikan kepada sasaran tersebut. Selain untuk modal bergulir, dana yang diterima juga dimanfaatkan untuk kegiatan pemeliharaan/pembangunan sarana prasarana seperti perbaikan jalan, gorong-gorong, kirmir dan MCK umum. Pelaksana dari kegiatan fisik ini adalah
masyarakat miskin dengan sistem padat karya, anggaran untuk kegiatan fisik ini adalah sebesar Rp.89.861.000,- .Koordinator dari kegiatan fisik ini adalah ketua kelompok masing-masing dibantu oleh bendahara yang telah disepakati oleh ketua kelompok dan anggota sebagai pemegang keuangan. Pelaksanaan kegiatan fisik selesai pada waktunya sesuai dengan rencana, tetapi pada kegiatan modal bergulir sejak perguliran tahap I sudah muncul masalah. Dana yang digulirkan tidak kembali sepenuhnya, pada tahap I dari dana yang digulirkan sebesar Rp.128.900.000,- yang kembali pada tahap I hanya Rp.28.000.000,- dan pada tahap II terus menurun sampai hanya tinggal Rp.4.000.000,-. Berdasarkan informasi dari mantan ketua PDM-DKE, faktor penyebab masalahnya adalah tersebarnya isu bahwa dana tersebut adalah hibah dari pemerintah dan tidak perlu dikembalikan. Dengan terus menyusutnya modal bergulir, akhirnya pada tahun 1999 kepengurusan PDM-DKE dianggap tidak berhasil dan dibubarkan. Sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan BAPPEDA Kota Bandung bahwa jika PDM-DKE tidak dapat berlanjut,
sisa dana yang ada harus dihibahkan kepada lembaga
ekonomi masyarakat lain yang ada di daerah yang sama. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, harus dibentuk lembaga ekonomi masyarakat yang baru dan dana dihibahkan kepada lembaga ekonomi masyarakat yang baru dibentuk tersebut. Dengan adanya peraturan tersebut maka dibentuklah sebuah koperasi yang diberi nama Koperasi Gerakan Ekonomi Masyarakat Sekeloa (GEMA) pada tahun 2000, tetapi kondisinya tidak lebih baik, koperasi GEMA hanya bertahan 1 tahun dan selanjutnya tidak jelas pertanggungjawabannya dari pengurus koperasi yang baru tersebut.
Kegiatan P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) telah berjalan di daerah kajian sejak tahun 2003, Proyek ini merupakan program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan. Tujuan proyek ini adalah untuk merespon dampak krisis ekonomi yang menimpa masyarakat miskin di perkotaan. P2KP merupakan jenis bantuan yang bermotif pemberdayaan,
arah
pemberdayaan dalam program ini adalah memacu masyarakat untuk berusaha
mandiri dan ada tanggungjawab untuk menggulirkannya kepada orang lain. Fokus utama P2KP adalah pengembangan institusi lokal, pengembangan kapasitas dan pengembangan kewirausahaan baik secara individu maupun komunitas organisasi. P2KP di Kelurahan Sekeloa pada periode pertama dibentuk tahun 1999 dengan nama BKM ”Mandiri”. Mekanisme dan langkah-langkah pembentukan P2KP BKM ”Mandiri” adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi program di tingkat kecamatan yang dihadiri oleh Camat, Lurah, Ketua LKMD, perwakilan Tokoh Masyarakat, Pengawas PLKB dan Ketua Tim Penggerak PKK tingkat Kelurahan. 2. Sosialisasi di tingkat kelurahan yang dihadiri oleh Lurah, anggota LKMD, Tokoh Masyarakat, PLKB, Pos KB, Ketua Pokja I-IV PKK kelurahan dan perwakilan RW untuk menjelaskan tentang akan dibentuknya P2KP sebagai program penanggulangan kemiskinan di daerah kajian dan meminta dukungan untuk keberhasilan program tersebut. 3. Pembentukan BKM ”Mandiri”, untuk membentuk pengurus di tingkat Kelurahan. Anggota dari kepengurusan BKM terdiri dari seluruh komponen masyarakat, Tokoh Masyarakat, perwakilan RT dan RW. 4. Sosialisasi Program, yang dihadiri oleh seluruh Ketua RW untuk memberi penjelasan mengenai program P2KP dan meminta dukungan untuk keberhasilan program tersebut. 5. Pembentukan KSM, dengan Ketua RW secara musyawarah menseleksi masyarakat yang berdomisili di wilayahnya yang sesuai dengan kriteria yang disyaratkan. Masyarakat yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota KSM yaitu memiliki Kartu Keluarga, KTP setempat serta memiliki usaha yang diperkirakan akan mampu mengembalikan pinjaman P2KP. Jumlah KSM yang dibentuk sebanyak 50 KSM. 6. Penyusunan usulan kegiatan KSM, fasilitator membimbing KSM tentang cara membuat proposal yang benar sehingga layak untuk mendapat bantuan pendanaan dari program P2KP. 7. Penetapan Prioritas usulan kegiatan KSM, kegiatan ini merupakan hasil keputusan final tentang jumlah dana bantuan yang akan disalurkan kepada masing-masing KSM. Dana disalurkan kepada KSM setelah dilakukan survey
terhadap kelayakan KSM, hasil presentasi proposal, nilai ajuan KSM yang dibandingkan dengan dana pada setiap tahap BLM, penelusuran terhadap pengaduan informasi dengan kasus KSM yang bersangkutan. 8. Penyaluran Dana Langsung Masyarakat (BLM) dari KPKN ke rekening BKM yang berada di Bank pemerintah yang dipilih BKM, dana tersebut selanjutnya diserahkan kepada KSM. Jumlah dana yang digulirkan kepada KSM sebesar Rp.463.195.579,-. Sejak awal perguliran dana sudah menimbulkan banyak kotroversi baik dari KSM maupun dari masyarakat, mereka menilai P2KP sebagai ladang korupsi pengurus. Akibat dari adanya kontroversi tersebut KSM enggan untuk mengembalikan pinjaman, sehingga sampai tahun 2002 jumlah dana yang tidak kembali mencapai Rp.339.237.598,-. Hal tersebut menunjukkan bahwa munculnya kontroversi karena adanya praduga negatif terhadap pengurus dan kurangnya kepercayaan KSM terhadap kejujuran para pengurus. Adanya praduga negatif tersebut, diperkuat dengan adanya fakta yang disampaikan oleh pengurus P2KP (BKM) tahap II bahwa Kelurahan Sekeloa pada periode ke II tidak mendapat lagi dana bantuan untuk kegiatan ekonomi penyebabnya adalah pertanggungjawaban keuangan dari pengurus P2KP (BKM) tahap I belum diserahkan kepada pengurus tingkat kota. Selanjutnya menurut pengurus P2KP (BKM) tahap II, belum diserahkannya berkas pertanggungjawaban keuangan oleh pengurus P2KP (BKM) tahap I karena adanya ketidak beresan dalam pengadministrasian. Hal ini menyebabkan pengurus P2KP (BKM) tahap I mendapat kesulitan di dalam menelusuri perguliran dana yang tidak kembali tersebut. Adanya kemacetan pengembalian pinjaman yang cukup tinggi dan adanya ketidak beresan kepengurusan, akhirnya pada tahun 2002 kepengurusan P2KP tahap I dibubarkan.
Kegiatan BMT Nurul Ummah BMT Nurul Ummah merupakan salah satu BMT di Kota Bandung dibentuk di Kelurahan Sekeloa pada tanggal 20 Januari 1997, dibentuknya BMT Nurul Ummah bermula dari inisiatif salah satu warga masyarakat (Ibu R) yang prihatin atas kondisi ekonomi masyarakat terutama para pedagang kecil. Hal yang
membuatnya prihatin adalah banyaknya pedagang kecil yang terlibat dengan para rentenir untuk menambah modal usahanya. Inisiatif untuk membentuk BMT Nurul Ummah muncul
ketika Ibu R
mengikuti pelatihan BMT yang diselenggarakan oleh Depnaker pada tahun 1996, bersama lima orang temannya yang sama-sama mengikuti pelatihan BMT Ibu R membentuk BMT Nurul Ummah. Modal awal untuk merintis BMT bersumber dari uang pribadi Ibu R sendiri dengan 5 orang temannya sebesar Rp.10 juta, dana tersebut dimanfaatkan untuk biaya perlengkapan (sarana operasional) Rp.4 juta dan untuk dipinjamkan kepada nasabah Rp.6 juta. Ibu R baru mampu melakukan kegiatan simpan pinjam, pernah juga membuat usaha sembako tetapi tidak berhasil karena kurang pengetahuan dalam bidang tersebut. Sejak mulai dibentuk nasabah BMT sudah mencapai 1589 yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Coblong, wilayah kerja BMT adalah 10 Km dari lokasi kantor. Sasaran BMT adalah pelaku usaha sektor informal diutamakan yang memiliki modal kecil, memiliki identitas kependudukan sesuai dengan tempat tinggalnya. Seluruh nasabah BMT beragama Islam tetapi tidak menutup kemungkinan bagi pelaku usaha sektor informal yang bukan muslim untuk menjadi nasabah karena agama tidak menjadi persyaratan untuk seorang calon nasabah BMT. Nasabah merasakan sekali kemudahan meminjam modal kepada BMT karena persyaratan dan prosedur yang diminta tidak sulit, untuk menjadi nasabah BMT calon peminjam harus terlebih dahulu menjadi nasabah dan menabung minimal satu bulan aktif, menyerahkan Kartu Keluarga dan KTP serta ijin suami bagi istri dan ijin istri jika seorang suami, dan ijin dari orang tua bagi yang belum menikah. Persyaratan lainnya mempunyai usaha minimal 6 bulan berjalan dan minimal keuntungan 10 % dari modal yang dinilai dengan sistem prediksi. Proses pemberian pinjaman, dilakukan dengan wawancara dan tidak memakai fasilitas formulir karena menurut Ibu R jika memakai fasilitas formulir tidak pernah diisi oleh calon peminjam. Penentuan besarnya pinjaman, ditentukan pada saat wawancara berapa modal yang dibutuhkan dan untuk apa
penggunaannya, selanjutnya langsung ditetapkan berapa pinjaman yang akan diberikan. Jaminan untuk mendapat pinjaman hanya kondisi usaha calon peminjam saat akan meminjam, kecuali jika pinjaman agak besar jaminan yang diminta adalah BPKB kendaraan bermotor. Pinjaman tanpa jaminan biasanya untuk pinjaman antara 500 ribu rupiah sampai 3 juta rupiah, diatas itu ada yang diminta jaminan ada yang tidak tergantung keyakinan dari pihak BMT (90 % nasabah calon peminjam tidak diminta jaminan) Untuk profisi administrasi diminta 1 % dari pinjaman yang diterima, biaya ini juga digunakan untuk biaya dokumen dan materai. Selain profisi admisnistrasi, nasabah juga diminta untuk membayar infaq tetapi sifatnya sukarela dan tidak dipaksakan. Dalam jangka waktu, lebih diprioritaskan pada pembiayaan jangka pendek (kurang dari 6 bulan) namun demikian tidak tertutup kemungkinan lebih dari itu. Bagi hasil (nisbah) berdasarkan kesepakatan nasabah dan BMT, misalnya: 50 % 50 %, 40 % - 60 %, 30 % - 70 % dan proporsi lainnya yang disepakati kedua belah pihak. Selain prosedur dan jaminannya yang mudah, nasabah juga merasa tidak direpotkan dengan pengembalian pinjaman karena untuk pengembalian pinjaman dan simpanan/tabungan, petugas BMT akan mengambil langsung kepada nasabah. Di dalam kegiatannya BMT Nurul Ummah memiliki tujuan, yaitu : 1. Membantu meningkatkan dan mengembangkan potensi dan peranan umat dalam program pengentasan kemiskinan, 2. Mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat banyak melalui pemberdayaan dan peningkatan ekonomi, 3. Mendorong/ mengembangkan usaha-usaha produktif di tingkat bawah, 4. Menciptakan sumber pembiayaan dan penyediaan modal bagi usaha kecilbawah, 5. Mengembangkan sikap hidup hemat melalui kegiatan menabung. Masalah yang sedang dihadapi BMT saat ini adalah masih cukup tingginya nasabah yang menunggak pengembalian pinjaman, faktor penyebabnya menurut pengakuan
nasabah
yang
menunggak
adalah
karena
usahanya
tidak
berkembang/terhenti sehingga mereka tidak mampu mengembalikan pinjaman. Selain itu kesadaran nasabah dalam menabung masih rendah, menurut nasabah sistem bagi hasil dalam menabung belum difahami. Adanya masalah cukup tingginya kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah
dan
kurangnya
aktivitas
nasabah
dalam
menabung/simpanan
berpengaruh pada kurang berkembangnya modal usaha BMT. berkembangnya modal,
Dengan tidak
BMT Nurul Ummah belum mampu memenuhi
permintaan nasabah yang akan meminjam sehingga setiap ada peminjam baru harus menunggu pengembalian dari peminjam sebelumnya. Nasabah mempercayai BMT terutama yang berkaitan dengan simpanan dan pengembalian pinjaman, walaupun petugas BMT yang mengambil uang nasabah tidak selalu sama tetapi nasabah tidak pernah ragu untuk menyerahkan uangnya terhadap petugas BMT yang datang. Sebagai kelembagaan ekonomi masyarakat, masyarakat banyak yang tidak mengetahui, mereka hanya tahu bahwa BMT tersebut adalah BPR. Tokoh masyarakat yang tahu aktivitas BMT dan fungsinya hanya Ketua RW 13, beliau adalah ketua RW dimana BMT berlokasi. Selain sebagai lembaga simpan pinjam, BMT juga merupakan lembaga penghimpun ZIS, tetapi pengurus BMT belum mampu memfungsikannya.
Kelembagaan Ekonomi Masyarakat dalam Kegiatan Pengembangan Masyarakat Program PDM-DKE dan P2KP tergolong baru di masyarakat, sebelum program ini di dilaksanakan mayarakat tidak memiliki persiapan baik teknis, data maupun kemampuan pengelolaan. Banyak kelemahan yang terjadi dari pelaksanaan program tersebut. Proses sosialisasi oleh pemerintah terlalu singkat, begitu juga dengan data yang dimiliki pemerintah daerah keakuratannya masih perlu dibenahi. Data yang dimiliki pemerintah daerah merupakan hasil pendataan dari setiap dinas instansi yang memiliki kepentingannya masing-masing seperti BPS, Dinas Kesehatan dan BKKBN. Kriteria kemiskinan yang ditetapkan kurang spesifik dan terlalu disamaratakan yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi kemiskinan di perkotaan. Pendata sering harus mengartikannya lebih mendalam,
sehingga terkadang kriteria kemiskinan lebih banyak menurut persepsi pendata itu sendiri. Kelemahan data, ketika program dilaksanakan tidak dilakukan updating data sehingga ketika dana bantuan digulirkan sering terjadi salah sasaran. Kelemahannya lain adalah adanya ketentuan penerima manfaat harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sementara tidak semua penduduk miskin mampu membuat KTP tersebut. Ketika sasaran penerima manfaat tidak memiliki KTP sasaran dialihkan kepada yang lain, karena dana harus diserap secepatnya oleh pengurus terkadang sasaran penerima manfaat tidak selalu masyarakat miskin. Inilah yang sering menjadi konflik dimasyarakat, penyebabnya adalah munculnya kecemburuan sosial pada masyarakat miskin yang merasa berhak tetapi tidak menerima sementara yang tidak berhak justru menerima. Menurut pendapat beberapa tokoh masyarakat, program PDM-DKE dan P2KP adalah program penanggulangan kemiskinan yang tidak menyentuh masyarakat miskin. Adanya ketentuan dalam pelaksanaan yang telah ditetapkan dalam juklak dan juknis, pelaksanaan kegiatan menjadi kaku dan kurang memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kegiatan. Hal ini menyebabkan manfaat dan kelanjutan program tidak optimal untuk mengembangkan kelembagaan sosial yang telah ada pada masyarakat. Kelemahan lain dalam program ini adalah kurang mampu memanfaatkan potensi dan kemampuan modal sosial sasaran. Dalam situasi ”rescue” program lebih diarahkan pada upaya mempertahankan kehidupan warga masyarakat tanpa memberikan muatan-muatan pemberdayaan. Dengan adanya hal tersebut keikutsertaan masyarakat dalam program ini juga terbatas pada pelaksanaan program, sementara perencanaan dan evaluasi kegiatan tidak terjangkau mereka. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan disebabkan kondisi krisis yang menimpa masyarakat telah membuat masyarakat tidak memikirkan proses belajar, tetapi lebih mementingkan kebutuhan hidup yang mendesak. Rancangan program tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan kegiatan. Secara konseptual program ini cukup baik, tetapi dengan adanya kondisi tersebut diatas menyebabkan pelaksanaan program kurang optimal. Hal itu
terbukti dengan banyaknya terjadi kemacetan dalam pengembalian modal, munculnya kontroversi dan konflik di masyarakat. Sampai program ini berakhir, masyarakat tidak mengetahui bagaimana perkembangan dana tersebut karena dana yang dipegang pengelola tidak terdokumentasi dengan baik, di samping kurang ada keterbukaan dari pengelola pertanggungjawaban kepada masyarakat pun tidak ada. Kurangnya kemampuan pada pengelola program juga menjadi salah satu kelemahan ketidak berlanjutan program di Kelurahan Sekeloa. BMT Nurul Ummah, walaupun kondisinya berbeda dengan PDM-DKE dan P2KP tetapi permasalahan yang dihadapi tidak jauh berbeda, Konsep pemberdayaan pada nasabah belum optimal. Nasabah BMT banyak yang mengatakan tidak mengetahui program kegiatan BMT secara keseluruhan, pemahaman nasabah mengenai sistem bagi hasil pun yang merupakan trade mark nya BMT masih sangat kurang. Pemberian pinjaman modal hanya untuk memenuhi kebutuhan modal nasabah tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pembinaan keberlanjutan usaha nasabah, sehingga menurut pandangan nasabah BMT hanya penyedia sarana pinjaman modal sedangkan BMT sebagai kelembagaan yang dapat dijadikan sarana peningkatan kemampuan usahanya tidak diketahui nasabah. Secara konseptual,
BMT merupakan lembaga keuangan masyarakat
mengerti kebutuhan masyarakat miskin. Adanya kegiatan Baituttamwil (komersil) yang memberi kemudahan dalam proses pemberian pinjaman dengan tidak meminta jaminan kepada nasabah dalam kegiatan komersilnya, memberi peluang pada masyarakat miskin untuk dapat mengaksesnya. Adanya kegiatan penghimpunan dana ZIS (Baitul Maal), dapat memberi peluang bagi pelaku usaha sektor informal miskin yang tidak mampu memiliki KTP untuk dapat mengakses modal produktif. Pelaksanaannya, pada kegiatan Baituttamwil BMT hanya memberikan bantuan pinjaman modal tanpa memperhatikan keberlanjutannya (sustainability) dengan
meningkatkan
kemampuan
dan
keterampilan
nasabah
dalam
mengembangkan modal usahanya dari modal tersebut, selama ini menurut nasabah pengetahuan usaha yang mereka miliki bersifat otodidak. Pada kegiatan
Baitul Maal, BMT belum mampu memfungsikannya karena kurangnya pemahaman pengurus terhadap proses pelaksanaan penghimpunan ZIS. Kelemahan dari program penanggulangan kemiskinan melalui kelembagaan BMT adalah kurang tanggapnya pemerintah daerah terhadap fungsi BMT, selain itu ABSINDO sebagai koordinator BMT kurang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (community need) pada BMT sehingga upaya untuk meningkatkan kemampuan (capacity) pengelola BMT masih kurang. Kesimpulan dari hasil evaluasi pada kelembagaan masyarakat dalam program penanggulangan kemiskinan, bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan baik pada PDM-DKE maupun P2KP merupakan proses belajar bagi masyarakat, tetapi perlu disadari oleh pemerintah atau LSM-LSM yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan bahwa membentuk masyarakat sipil yang berdaya (civil society) merupakan proses yang berkesinambungan yang harus memperhatikan karakteristik lokal masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilaksanakan insidental ketika kehidupan masyarakat terhimpit kemiskinan, tetapi program pemberdayaan haruslah merupakan kebijakan yang selalu dikaji ulang, dievaluasi untuk kemudian dilanjutkan kembali dalam bentuk program yang lebih sempurna. Memperhatikan karakteristik lokal berarti suatu program pemberdayaan haruslah mampu memanfaatkan potensi lokal di samping mengenalkan masyarakat pada sistem sumber di luar yang mampu menunjang potensi dan kemampuan tersebut. Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan PDM-DKE dan P2KP serta BMT didapatkan bahwa suatu program pemberdayaan ternyata tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien manakala hanya mengusung satu kegiatan saja. Dari ketiga macam kegiatan program pemberdayaan tersebut diatas, BMT dapat dikatakan cukup berhasil dibanding dua program lainnya. Kelebihan yang BMT dari kedua program lainnya adalah BMT dibentuk oleh warga masyarakat, pemerintah hanya memberi fasilitas. Dana awal berasal dari pribadi perintis, hal ini menumbuhkan tanggungjawab dari pengurus pada keberlanjutan modal tersebut. Pengurus dibekali kemampuan yang cukup dalam pengelolaan manajemen kelembagaan, sehingga sedikitnya pengurus memahami apa yang harus dilakukan.
Sementara pada program PDM-DKE dan P2KP, fasilitas dan sarana disediakan oleh pemerintah baik modal maupun
mekanisme kerjanya dan
masyarakat hanya tinggal menjalankan, secara psikologis hal ini menumbuhkan sikap bahwa mereka menjalankan tugas pemerintah segala aturan dan ketentuan harus sesuai dengan yang telah ditentukan pemerintah, dengan adanya hal tersebut pelaksanaan kegiatan menjadi sangat kaku dan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal. Pengurus kurang memahami konsep pemberdayaan di dalam pengembangan masyarakat yang menjadi tujuan pemerintah, sehingga di dalam pelaksanaannya proses pemberdayaan tidak tersentuh oleh pengurus. Selain itu pengurus juga tidak dibekali kemampuan manajemen yang baik dengan adanya hal tersebut pengurus tidak mampu mengelola program baik teknis maupun administrasi, dampaknya adalah ketidak jelasan data dari penerima dana pinjaman. Dampak yang dirasakan masyarakat, mereka dapat menikmati dananya tetapi tidak mampu mengembangkannya.
ANALISIS KAPASITAS DAN PENCAPAIAN KINERJA BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) NURUL UMMAH Kapasitas Keragaan BMT
Kemampuan Nasabah Nasabah BMT Nurul Ummah sebagian besar adalah pelaku usaha sektor informal. Usaha yang dilakukan nasabah BMT sangat bervariasi ada pedagang mie ayam, pedagang goreng ayam, warung nasi, jajanan anak-anak, pedagang gorengan dan lain sebagainya. Sebagaimana umumnya di perkotaan yang heterogen nasabah BMT bukan hanya dari penduduk asli tetapi juga dari penduduk pendatang. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti dari Jogja, Tegal, Garut, Tasik, Ciamis, Brebes dan Padang yang tinggal di wilayah Kelurahan Sekeloa dan sudah memperoleh identitas kependudukan sebagai warga di Kelurahan Sekeloa. Nasabah memperoleh informasi mengenai BMT dari teman atau saudara yang sudah terlebih dahulu menjadi nasabah atau langsung mendapat informasi dari pengurus karena rumahnya berdekatan dengan kantor BMT. Ketertarikan nasabah terhadap BMT karena kemudahan-kemudahan yang diberikan BMT dalam pembiayaan pinjaman, selain itu sistem jemput bola dari pelayanan BMT memberi banyak keringanan bagi nasabah, karena dengan sistem jemput bola nasabah tidak perlu repot untuk menabung atau membayar cicilan pinjaman. Dari kemudahan proses pinjaman BMT tidak sediki nasabah yang berhasil dalam usahanya seperti yang dirasakan Bapak A penduduk asli Kota Bandung penjual buah-buahan di pinggir jalan Tubagus Ismail (masih di lingkungan wilayah Kelurahan Sekeloa), sejak mendapat pinjamam dari BMT usahanya terus berkembang mulai dari pinjaman Rp.500 ribu sampai sekarang sudah mendapat pinjaman Rp.5 juta dari BMT. Begitu juga dengan Bapak Ob penduduk asli Kota Bandung pemilik warung nasi, sejak meminjam uang untuk modal usaha dari BMT pada tahun 2005 sebesar Rp.500 ribu sampai sekarang usahanya terus berkembang walaupun sempat terhenti karena modal usahanya terpakai untuk biaya sekolah anaknya. Sekarang pinjamannya dari BMT sudah mencapai Rp.2,5
juta. Dengan keuntungan yang dicapainya rata-rata sebesar Rp.100 ribu-Rp.150 ribu setiap hari Bapak Ob dapat menyekolahkan anak-anaknya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari di samping masih rajin menabung ke BMT. Keberhasilan usaha juga dirasakan oleh Mas R yang berasal dari Yogya penjual mie ayam yang sudah menjadi nasabah BMT sejak tahun 2000 dan ibu Jm pemilik bengkel yang sudah menjadi nasabah sejak delapan tahun yang lalu, pada awalnya Mas R meminjam untuk kontrak rumah yang ditempatinya sekarang dan mendapat informasi mengenai BMT dari Ibu Wd tetangga ditempat jualannya. Pada saat harga bahan baku mie ayam terus naik dia pernah pinjam dua kali buat nambah modal, sekarang usaha mie ayamnya cukup berkembang dengan omset bersih dari hasil mie ayamnya sebesar Rp.50 ribu-Rp.100 ribu per hari. Selanjutnya Ibu Jm, pada awalnya tidak jauh berbeda dengan Mas R niatnya hanya untuk menabung, tetapi karena kebutuhan modal terus bertambah akhirnya meminjam juga untuk modal. Sejak meminjam dari BMT sekarang omset bersihnya setiap hari rata-rata sebesar Rp.150 ribu-Rp.200 ribu,- yang digunakan untuk nabung dan kebutuhan sehari-hari. Kemudahan yang diberikan BMT tidak selalu menjamin usaha nasabah berhasil, ada juga nasabah yang kurang atau tidak berhasil setelah meminjam pada BMT. Ketidak berhasilan usaha yang dirasakan nasabah adalah karena kenaikan harga, selain isu-isu negatif seperti flu burung dan bakso tikus. seperti yang dikatakan Ibu Yt penduduk asli Kota Bandung seorang pedagang goreng ayam yang sudah menjadi nasabah BMT sejak tahun 1998, Ibu Yt mengatakan kenaikan harga menjadi salah satu penyebab usahanya terhenti selain adanya isu flu burung. Begitu juga Ibu Rs yang berasal dari Padang nasabah pedagang coklat, usahanya terhenti karena harga dasar coklat terus naik jadi susah untuk menjualnya lagi. Tidak jauh berbeda dengan Ibu Yt dan Ibu Rs, Ibu Wn penduduk asli Kota Bandung pedagang gorengan yang memiliki modal kecil merasakan kenaikan harga menjadi salah satu sebab usahanya terhenti, walaupun sekarang sedang mulai dirintis lagi setelah mendapat pinjaman lagi dari BMT. Dari ke 7 nasabah responden di atas sebagian besar membuka usaha karena terdesak kebutuhan hidup dan tidak memiliki pekerjaaan, ketika ada modal sedikit
mereka langsung membuka usaha karena menurut mereka hanya itu yang bisa mereka lakukan. Kemampuan dasar untuk membuka usaha rata-rata tidak mereka miliki, mereka hanya untung-untungan (speculative) kalau untung usaha berkembang kalau rugi mereka akan mencari usaha lain yang sekiranya dapat memberikan keuntungan, itupun kalau modalnya masih ada. Seperti hal nya Bapak A, sekarang usahanya cukup berhasil tetapi awalnya harus jatuh bangun, usaha satu tidak berhasil dicari usaha lain pada akhirnya Bapak A berinisiatif membuka usaha buah-buahan. Dari pengalaman usaha yang sudah-sudah Bapak A memiliki teknik usaha agar usahanya dapat bertahan dan berkembang. Usaha dengan dasar untung-untungan (speculative) bagi nasabah yang memiliki modal kecil sangat rentan untuk terhenti karena adanya keterbatasan modal, selain itu dengan dasar untung-untungan (speculative) nasabah juga menjadi sangat tergantung pada keberadaan modal usaha atau pinjaman modal usaha, untuk membuka usaha lain karena usaha lama tidak berhasil dibutuhkan modal awal kembali. Disamping masih adanya ketergantungan modal pada nasabah juga masih terdapat ketidakstabilan usaha nasabah karena adanya perubahan, seperti contohnya kenaikan harga dan adanya rumor yang merugikan usaha nasabah. Hal tersebut menunjukkan bahwa nasabah BMT belum memiliki kemandirian, keswadayaan dan kemampuan untuk mengantisipasi perubahan. Kemandirian, keswadayaan dan kemampuan mengantisipasi perubahan dapat terwujud apabila nasabah memiliki keterampilan usaha mulai dari proses perencanaan
usaha,
pemanfaatan
biaya,
mengelola
usaha
dan
teknik
pengembangan usaha. Dari semua nasabah yang menjadi responden hampir semuanya sudah lama menjadi nasabah BMT, pandangan mereka mengenai BMT hampir sama mereka memahami BMT sebagai lembaga simpan pinjam yang memberi pinjaman tanpa jaminan dengan sistem bagi hasil. Mengenai sistem bagi hasil ini rata-rata mereka kurang memahami dengan jelas walaupun ketika mereka meminjam dijelaskan oleh petugas BMT, akhirnya mengenai bagi hasil ini mereka menyerahkan semuanya pada BMT seperti yang dikatakan Mas R “Saya enggak tahu jelas bagaimana pembagian hasil dari pinjaman atau tabungan….. tapi biarin aja lah biar BMT yang urusin saya enggak ngerti”
Dengan menyerahkan pembagian bagi hasil pada BMT sepenuhnya, tidak menambah pemahaman nasabah pada aktivitas BMT. Kurangnya pemahaman nasabah mengenai bagi hasil akan mengurangi kontrol sosial masyarakat untuk kelangsungan perkembangan BMT. Semua nasabah BMT memiliki tabungan di BMT terutama yang sering meminjam karena memiliki tabungan adalah persyaratan mutlak, ketika meminjam sistem bagi hasil tidak terlalu nasabah permasalahkan karena nasabah lebih terfokus pada pinjamannya, tetapi dalam hal simpanan beberapa nasabah yang cukup rajin menabung sering merasa kecewa karena di buku tabungan tidak tercantum jelas berapa bagi hasil dari tabungan mereka tetapi merekapun enggan untuk menanyakan kepada pengurus BMT. Adanya perasaan tidak puas tersebut menyebabkan nasabah malas untuk menabung di BMT, seperti apa yang dikatakan salah seorang nasabah yang hanya menabung di BMT nasabah tersebut mengatakan awalnya dia rajin menabung untuk simpanan modal usaha tetapi bagi hasilnya mengecewakan, jika dibandingkan dengan di bank menurutnya mendingan di bank bunga simpanannya cukup tinggi. Sekarang nasabah tersebut masih tetap menabung untuk berjaga-jaga kalau-kalau suatu waktu butuh pinjam ke BMT, tetapi setiap akhir bulan tabungannya dipindahkan ke Bank. Nasabah tersebut hanya memanfaatkan sistem jemput bola BMT untuk kemudahan tabungannya. Sikap nasabah tersebut jelas tidak menguntungkan bagi BMT karena simpanannya tidak dapat dijadikan modal usaha BMT walaupun nasabah tersebut rajin menabung. Setiap nasabah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk menyalurkan ZIS nya, sebagian besar mereka mengatakan sebagai suatu kewajiban orang muslim tetapi juga ada nasabah yang mengatakan sebagai penolak bala biar usahanya maju tetapi intinya nasabah menyadari bahwa menyalurkan ZIS adalah kewajibannya sebagai umat muslim. Jumlah ZIS yang mereka salurkan tidak tetap tergantung kondisi keuangan, dalam menyalurkannya nasabah biasanya menyerahkan kepada
mesjid-mesjid terdekat, kepada pengemis, kepada
tetangganya yang menurutnya miskin atau ada juga yang menyerahkan ke yayasan penghimpun ZIS yayasan
“Zakaria”. Yayasan “Zakaria” letaknya ada di
Kecamatan lain tetapi berbatasan dengan Kelurahan Sekeloa, banyak masyarakat
Kelurahan Sekeloa lainnya yang tinggal di perbatasan kecamatan tersebut yang menyalurkan ZIS nya ke yayasan “Zakaria”. Selama ini nasabah tidak mengetahui kalau BMT juga menghimpun ZIS karena tidak pernah mendapat informasi dari petugas BMT, tetapi jika BMT menghimpun ZIS ada minat nasabah untuk menyalurkannya ke BMT menurutnya biar sekalian nabung atau bayar cicilan sekalian ibadah.
Kemampuan Kelembagaan Keberadaan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) di perkotaan dalam kapasitasnya sebagai lembaga keuangan masyarakat tidak lepas dari adanya kebutuhan masyarakat pelaku usaha kecil informal akan pinjaman modal usaha yang lebih terjangkau, baik dalam agunan maupun dalam prosedurnya. Selain itu pelayanan BMT yang cenderung fleksibel dalam memberikan kredit modal usaha, memiliki daya tarik tersendiri bagi pelaku usaha kecil informal perkotaan yang sibuk dengan usahanya. Terkadang pelaku usaha yang memiliki modal kecil tidak memiliki jaminan materiil untuk diagunkan, sehingga fleksibilitas BMT dalam memberikan pinjaman modal bagi mereka dianggap sebagai suatu kemudahan (facility). Manfaat kemudahan tersebut dirasakan oleh sebagian besar nasabah, salah satunya adalah Bapak A (pedagang buah-buahan) , kemudahan tersebut dirasakan sebagai berikut: “Pinjam di BMT itu cicilannya kecil ….enggak perlu ngurusin surat-surat yang harus diurusin seharian, enggak minta jaminan…. yang terutama karena untuk mencicilnya saya tidak perlu repot antri seperti ke Bank karena setiap hari petugas BMT mengambil cicilannya ke warung saya” Dengan adanya kemudahan-kemudahan tersebut tidak sedikit pelaku usaha informal yang tertarik menjadi nasabah BMT, hal ini dapat dilihat dari data jumlah nasabah BMT sejak mulai dibentuk pada tanggal 20 Januari 1997 sampai dengan saat ini jumlah nasabah BMT sudah mencapai 1589 orang yang tersebar sampai melewati batas Kelurahan Sekeloa, batas wilayah kerja BMT sejauh 10 Km dari lokasi kantor BMT. Di samping kemudahan yang dinikmati dari pelayanan BMT ada hal yang dikeluhkan oleh semua nasabah berkaitan dengan pencairan pinjaman yang terlalu
lama bisa sampai seminggu atau dua minggu, selain itu pinjaman sering tidak sesuai dengan pengajuan misalnya pinjam Rp.1 juta yang cair hanya Rp.500 ribu. seperti yang di keluhkan oleh Bapak Ob sebagai berikut: “pinjam ke BMT itu enggak bisa diburu-buru….. paling cepat satu minggu pinjaman cair tetapi juga kadang dua minggu….. ….. kalau butuh 1 juta saya suka ngajukan 2 juta….. soalnya sering dikasih setengahnya dari pengajuan….. “ Masalah lama dalam pencairan dana pinjaman menurut pengurus BMT disebabkan kurangnya modal yang dapat dipinjamkan kepada nasabah , banyaknya nasabah peminjam yang menunda pembayarannya atau sama sekali tidak mengembalikan pinjamannya menjadi salah satu penyebabnya. Menurut nasabah, ketidak mampuan mereka untuk mengembalikan pinjaman karena usahanya sedang mundur dan ada juga yang mengatakan bahwa usahanya terhenti. Dengan adanya hal tersebut untuk pencairan pinjaman, nasabah harus menunggu peminjam lain yang membayar cicilannya. Manajer BMT (Ibu R) telah berupaya untuk mengatasi masalah kurangnya modal, upaya yang dilakukan salah satunya yaitu dengan mengunjungi nasabah yang kurang lancar dalam pengembaliannya atau yang sama sekali tidak mengembalikan. Kunjungan tersebut bersifat persuasif, nasabah dikunjungi secara kekeluargaan dan tidak memaksa. Cara lain dilakukan dengan menyarankan nasabah untuk menabung setiap hari semampu mereka, dan bila kapan saja tabungan tersebut sudah mencukupi pinjaman/tunggakan, tabungan tersebut harus diserahkan nasabah kepada BMT. Cara ini masih juga kurang berhasil, sebagian besar dari mereka sudah betul-betul tidak mampu lagi mengembalikan pinjaman sekalipun dengan cara menabung. Hal lain yang menjadi masalah BMT adalah masih rendahnya aktivitas nasabah dalam menabung, selama ini yang masih rutin menabung adalah nasabah peminjam karena mereka diwajibkan untuk menabung, sedangkan nasabah penabung murni frekuensinya terus menurun. Tidak terpenuhinya kebutuhan pinjaman nasabah sesuai yang diajukan sering membuat nasabah merasa kecewa, hal ini menunjukkan bahwa
kelembagaan BMT belum mampu memenuhi kebutuhan nasabah dan memberikan pelayanan secara optimal kepada nasabah dalam kegiatan simpan pinjamnya. Kurangnya modal BMT menyebabkan BMT tidak mampu memberikan pinjaman sesuai dengan permintaan nasabah atau masih ada nasabah yang belum terpenuhi pinjamannya, hal ini menunjukkan BMT belum memiliki kecukupan modal. Sedangkan ditinjau dari sumberdaya masyarakat yang dimiliki Kelurahan Sekeloa dimana BMT melaksanakan kegiatannya, Kelurahan Sekeloa memiliki banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan. Adanya beberapa perguruan tinggi selain menjadi fasilitas
pendidikan masyarakat, fasilitas pendidikan ini juga
menjadi sumberdaya ekonomi (economic resource) bagi pelaku usaha sektor informal dengan keberadaan mahasiswa yang banyak tinggal di wilayah Kelurahan Sekeloa. Dengan adanya hal tersebut, Kelurahan Sekeloa memiliki cukup banyak jumlah masyarakat pelaku usaha sektor informal. Selain adanya fasilitas pendidikan yang menjadi sumberdaya ekonomi masyarakat, letak wilayah Kelurahan Sekeloa sangat strategis dekat dengan beberapa pasar tradisional, terminal angkutan umum, pusat kegiatan olah raga massal, beberapa perkantoran baik swasta maupun pemerintah. Beberapa masyarakat pelaku usaha sektor informal warga Kelurahan Sekeloa banyak yang memanfaatkan sumberdaya ekonomi tersebut untuk usahanya. Cukup banyaknya sumberdaya ekonomi (economic resource) dan banyaknya masyarakat pelaku usaha sektor informal (informal sector) Kelurahan Sekeloa yang memanfaatkan sumberdaya ekonomi tersebut, merupakan sumberdaya bagi kegiatan komersil BMT. Selain jumlah pelaku usaha sektor informal dan sarana ekonominya, pemupukan modal juga secara tidak langsung dapat dilakukan dengan memanfaatkan kelompok-kelompok sosial yang aktif dimasyarakat. Di Kelurahan Sekeloa terdapat beberapa kelompok pengajian baik pengajian RT/RW juga pengajian kelompok daerah elit yaitu kelompok pengajian “KERWATI”, kelompok-kelompok pengajian ini dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi kegiatan BMT dengan tujuan untuk menarik minat anggota kelompok pengajian tersebut atau orang-orang dekat anggota kelompok pengajian itu yang mungkin memiliki usaha sektor informal untuk menjadi nasabah BMT, kegiatan sosialisasi ini dapat memanfaatkan nasabah yang ikut dalam kegiatan pengajian tersebut. Selain kelompok-kelompok pengajian,
kelompok kegiatan masyarakat lainnya seperti Pos Yandu juga dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi dan menarik minat masyarakat. Kemampuan pemupukan modal selain dengan memanfaatkan sumberdaya masyarakat juga dapat memanfaatkan sumberdana masyarakat terutama untuk menanggulangi masalah kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah. Dana ZIS merupakan sumberdana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi masalah kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah, baik yang usahanya tidak berkembang atau yang sudah terhenti. Jika dilihat dari cukupnya kesadaran masyarakat dalam menyerahkan ZIS nya, dana ZIS tersebut dapat menjadi salah satu solusi menanggulangi masalah kemacetan pengembalian pinjaman tersebut, salah satu fungsi dana ZIS adalah untuk membantu masyarakat atau nasabah yang berstatus al-gharim yaitu orang yang kesempitan karena beban hutang yang terlalu berat, hal ini dimungkinkan jika Baitul Maal sebagai penghimpun ZIS tersebut sudah berfungsi dengan baik. Dengan adanya masalah dalam ketersediaan modal usaha BMT dan ditinjau dari sumberdaya yang dimiliki lingkungan sosial BMT, hal ini menunjukkan bahwa BMT dalam hal pemupukan modal kurang mampu menggali sumberdaya dan sumberdana masyarakat secara optimal. Kurang mampunya BMT dalam memanfaatkan sumberdaya masyarakat secara optimal terbukti berdasarkan data BMT dari 1589 nasabah BMT, yang menjadi nasabah dari warga masyarakat Kelurahan Sekeloa hanya 28 orang. Dalam pemupukan modal, selain mampu memanfaatkan sumberdaya masyarakat juga mampu mengatasi permasalahan terutama permasalahan yang berkaitan dengan kemacetan pengembalian pinjaman. Dengan masih cukup tingginya kemacetan pada BMT hal ini menunjukkan bahwa BMT belum mampu mengatasi masalah kemacetan tersebut. Kemacetan pada nasabah BMT adalah karena tidak berkembangnya modal usaha dan terhentinya usaha nasabah, dari apa yang disampaikan nasabah bahwa awal mereka melakukan usaha tidak di dasari dengan kemampuan usaha. Dalam upaya mengatasi masalah kemacetan pada nasabah perlu adanya pembimbingan pelatihan keterampilan usaha terutama bagi nasabah yang memiliki modal kecil yang meliputi keterampilan dalam proses perencanaan, pemanfaatan biaya,
pengembangan usaha dan teknik pengembangan usaha. Dengan dimilikinya keterampilan usaha diharapkan usaha nasabah akan berkembang dan mampu bertahan dalam segala situasi. Selama
ini
berdasarkan
informasi
dari
pengurus,
belum
pernah
melaksanakan kegiatan pembimbingan pelatihan keterampilan usaha terhadap nasabah karena menurut pandangan pengurus BMT (Ibu R): “….. mereka itu enggak punya waktu buat kegiatan-kegiatan seperti itu apalagi banyak diantara mereka yang sudah berjualan lama, jadi mereka sudah memahami betul tentang seluk-beluk melakukan usaha ….. malah saya sendiri yang sebenarnya enggak tahu tentang seluk-beluk usaha…..” Selain diperkirakan nasabah tidak akan bersedia mengikuti pelatihan pengembangan usaha, Ibu R juga mengatakan bahwa pengurus BMT belum memiliki kemampuan untuk memberikan pelatihan usaha kepada nasabah. Menurut informasi dari pengurus ABSINDO (Ibu E) bahwa selama ini memang kegiatan BMT baru difokuskan pada kegiatan simpan pinjam dan belum pernah dilaksanakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam meningkatkan kemampuan usaha nasabah. Disamping belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan usaha nasabah, BMT juga belum memiliki kemampuan dalam menyediakan sarana usaha produktif. Selama ini menurut nasabah harga-harga barang kebutuhan penunjang usaha seperti kompor gas, tabung gas, gerobak jualan atau lain-lainnya sangat mahal, barang-barang ini terkadang banyak mengurangi ketersediaan modal. Nasabah merasa jika pembelian sarana untuk usaha ini dibeli dengan sistem mencicil tidak akan mengganggu ketersediaan modalnya karena pembayarannya dapat disisihkan dari keuntungan. Hal ini belum menjadi perhatian BMT sebagai upaya untuk mengurangi beban nasabah dalam hal kebutuhan sarana usaha produktif. Kegiatan BMT sebagai Baitul Maal wat Tamwil bukan hanya lembaga keuangan simpan pinjam (Baituttamwil) saja, tetapi juga sebagai lembaga penghimpun dan penyalur ZIS (Baitul Maal). Selama ini BMT belum memfungsikan Baitul Maal tersebut sedangkan jika ditinjau dari sumberdaya masyarakat berdasarkan peta sosial (social mapping) Kelurahan Sekeloa, jumlah
masyarakat muslim mencapai 96 % dari jumlah penduduk seluruhnya begitu juga dalam hal ketaatan masyarakat dalam menyalurkan ZIS nya. Untuk keperluan sosialisasi mengenai ZIS, di Kelurahan Sekeloa terdapat 23 mesjid yang tersebar di seluruh RW, 20 mushola, 16 kegiatan majelis ta’lim dan 1 buah pesantren serta 2 buah lembaga pendidikan agama Islam dan beberapa kelompok pengajian. Hal tersebut
menunjukkan
BMT
belum
mampu
memanfaatkan
sumberdaya
masyarakat tersebut untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya, baik kemiskinan pada nasabah maupun pada masyarakat lainnya. Sementara jika dilihat dari masalah yang dihadapi masyarakat miskin di Kelurahan Sekeloa yang termarjinalkan karena tidak memiliki KTP, keberadaan Baitul Maal sebagai lembaga penghimpun ZIS dapat membantu masyarakat miskin tersebut baik yang memiliki KTP ataupun yang tidak memiliki KTP. Dana ZIS dapat bermanfaat selain untuk kebutuhan konsumsi (consumtion need) masyarakat miskin juga dapat dimanfaatkan untuk modal produktif (productive capital) masyarakat miskin tersebut dengan tanpa bagi hasil. Selain itu dengan belum difungsikannya Baitul Maal oleh BMT, nasabah belum memahami ketentuan ZIS yang dapat dihimpun BMT dan mengaktualisasikan sikap dalam menyerahkan ZIS nya pada BMT. Belum difungsikannya Baitul Maal menurut pengurus karena mereka belum memahami teknik pengelolaan dan pengadministrasian ZIS sehingga mereka belum berani melaksanakannya. Menurut pengurus ABSINDO, pelatihan kemampuan pengelolaan ZIS baru akan dilaksanakan pada tahun 2008 jadi selama ini pengurus BMT belum pernah menerima pelatihan mengenai penghimpunan dan penyaluran ZIS tersebut. Belum dilaksanakannya pelatihan kemampuan usaha dan penghimpunan ZIS oleh ABSINDO juga menjadi salah satu penyebab BMT di Kota Bandung belum mampu melaksanakan fungsinya secara optimal dalam mensejahterakan nasabah di wilayahnya, belum dilaksanakan pelatihan menurut pengurus ABSINDO karena untuk memfungsikan
Baitul Maal perlu cukup banyak personil.
Baituttamwil dan Baitul Maal harus memiliki manajemen yang berbeda karena penglolaannya pun berbeda. Selama ini BMT di Kota Bandung belum mampu memiliki personil yang cukup untuk pengelolaan Baitul Maal. Dari 25 BMT di
Kota Bandung hanya satu BMT yang mampu melaksanakan kegiatan Baitul Maal dan Baituttamwil dalam satu lembaga yaitu “Baituttamwil Barrah”. Belum adanya kemampuan BMT Nurul Ummah dalam memanfaatkan sumberdaya dan sumberdana masyarakat salah satu penyebabnya adalah belum terjalinnya jejaring kerja (networking) dengan stakeholders sosial lokal terkait. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan tokoh agama dan juga sebagai ketua DKM RW 01 Bapak Ay dan tokoh masyarakat Bapak DS yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tahu kalau BMT Nurul Ummah adalah lembaga ekonomi masyarakat, mereka hanya tahu bahwa BMT adalah BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang memberikan pelayanan simpan pinjam bagi masyarakat. Bukan hanya tokoh masyarakat dan tokoh agama saja yang tidak mengetahui keberadaan BMT, Lurah Kelurahan Sekeloa pun menyatakan tidak mengetahui bahwa BMT Nurul Ummah adalah lembaga ekonomi masyarakat. Kurangnya kemampuan pengurus BMT untuk melakukan kerjasama dengan stakeholders dikritik oleh Ketua RW 13 (Bapak Sl) di mana lokasi kerja BMT berada, menurut beliau “BMT itu kurang proaktif ….. kalau saya enggak tanya-tanya mana saya tahu apa itu BMT dan apa kegiatannya, padahal lokasinya ada di wilayah saya” Dengan belum terjalinnya jejaring kerja (networking) tersebut BMT belum mendapat dukungan dari stakeholders sosial lokal terkait, salah satu contoh belum mendukungnya stakeholders sosial lokal terkait pada kegiatan BMT ketika BMT mengajukan usulan kepada pengurus P2KP untuk ikut mengelola dana program tersebut, tetapi tidak disetujui. Menurut mantan ketua P2KP, tidak disetujuinya usulan BMT untuk ikut mengelola karena pengurus P2KP tidak memahami fungsi dan kegiatan BMT di Kelurahan Sekeloa. Kurangnya dukungan pada kelembagaan BMT dari stakeholders sosial lokal terkait jika dilihat dari ketidak tahuan mereka mengenai fungsi BMT di Kelurahan Sekeloa, menunjukkan bahwa BMT belum melakukan sosialisasi kegiatannya kepada stakeholders tersebut. Hal ini diakui oleh pengurus BMT bahwa pengurus belum memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan dan sosialisasi terhadap stakeholders sosial lokal terkait.
Salah satu kelemahan lembaga ekonomi masyarakat di Kelurahan Sekeloa adalah peran stakeholders tingkat lokal (locality) dan antar komunitas seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan unsur-unsur masyarakat lainnya (komunitas lokal) serta Camat Coblong dan Walikota Bandung dan instansi-instansi terkait lainnya
(antar
komunitas)
kurang
dimanfaatkan
secara
optimal
untuk
memfasilitasi aktivitas BMT, sementara kalau ditinjau dari cukup tingginya rasa segan, hormat dan patuhnya masyarakat terhadap tokoh-tokoh tersebut atau pada pemimpin masyarakat lainnya keberadaan stakeholders lokal dapat menunjang keberhasilan kelembagaan ekonomi masyarakat tersebut terutama dalam penggerakkan masyarakat. Selain stakeholdres tingkat lokal, stakeholders lintas komunitas masyarakat Kelurahan Sekeloa pun belum mendapat ruang gerak pada kelembagaan ekonomi masyarakat di Kelurahan Sekeloa. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kelembagaan ekonomi masyarakat di Kelurahan Sekeloa kurang dapat berkembang, begitu juga pada BMT Nurul Ummah. Selain belum terjalin jejaring kerja (networking) dengan stakeholders. BMT pun belum mendapat partisipasi dari nasabah secara optimal. Partisipasi nasabah pada BMT baru sebatas mengajak teman atau saudaranya untuk ikut bergabung dengan BMT, itupun karena nasabah merasakan manfaat kemudahan BMT. Untuk partisipasi lainnya seperti membantu kegiatan sosial BMT, memfasilitasi kegiatan BMT dan ikut terlibat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemecahan masalah sama sekali belum ada. Menurut pengurus BMT, selama ini kegiatan yang dilaksanakan hanya simpan pinjam dan hubungan antara pengurus dan nasabah hanya seputar simpan pinjam tersebut. Sedangkan kegiatan-kegiatan lainnya yang menyertakan nasabah atau stakeholders belum pernah dilaksanakan. Dukungan stakeholders sosial lokal tidak hanya dalam aspek penggerakan masyarakat tetapi juga mencakup fasilitas dengan terjalinnya kerjasama dalam suatu jejaring kerja (networking), BMT akan mendapatkan berbagai fasilitas sosial yang dapat mendukung keberhasilan BMT. Selain jejaring sosial, jejaring usaha dapat mendukung BMT dalam mengembangkan usaha, salah satu contohnya adalah penyediaan sarana usaha produksi bagi nasabah. Dengan belum adanya penyediaan sarana usaha produksi bagi nasabah, kegiatan jejaring usaha pun
belum dilaksanakan oleh BMT. Salah satu penyebab belum dilaksanakannya kegiatan jejaring dengan stakeholders dilihat dari kurangnya kemampuan pengurus dalam melakukan sosialisasi, hal ini berkaitan dengan masih lemahnya kemampuan komunikasi pengurus dengan masyarakat Peran pengurus dalam mengelola kegiatan BMT sangat signifikan, produktivitas pengurus dapat menunjang kelangsungan BMT, munculnya produktivitas diantaranya dipengaruhi oleh motivasi kerja, disiplin kerja dan etika kerja. Dalam keorganisasian, BMT dipimpin oleh seorang manajer yaitu Ibu R, sedangkan pelaksana kegiatan BMT terdiri dari petugas administrasi 2 orang dan petugas lapangan 4 orang. Pegawai administrasi memiliki tugas untuk melayani nasabah, baik dalam melayani simpanan atau pembiayaan pinjaman nasabah dan melakukan kegiatan administrasi lainnya. Sementara petugas lapangan memiliki tugas mengunjungi nasabah setiap hari untuk mengambil
cicilan pengembalian pinjaman dan
simpanan nasabah. Petugas BMT direkrut berdasarkan bidang yang dibutuhkan dalam kegiatan BMT, bidang tersebut meliputi administrasi, akuntansi dan petugas lapangan. Untuk petugas administrasi BMT merekrut pegawai yang memiliki sedikitnya pengetahuan mengenai bidang keadminitrasian begitu juga pegawai keuangan, saat ini pendidikan petugas administrasi dan keuangan yang direkrut BMT adalah lulusan D3 administrasi dan D3 akuntansi. Sementara petugas lapangan BMT rata-rata memiliki pendidikan SLTA . Dalam hal hubungan kerja, suasana kondusif dengan sistem kekeluargaan yang diciptakan oleh manajer BMT (Ibu R) membuat hubungan diantara semua pegawai sangat dekat dan saling mendukung. Menurut manajer BMT dalam sistem kerjanya BMT menanamkan sikap kepercayaan dan keterbukaan, dengan demikian semua pegawai memahami kondisi BMT dalam segala hal. Adanya kepercayaan dan keterbukaan inilah menurut petugas BMT yang mendorong motivasi kerja mereka, dengan memahami kondisi BMT mereka mengetahui bagaimana kondisi keuangan BMT kalau keuangan BMT menurun otomatis gaji petugas pun akan menurun, begitu juga sebaliknya dan jika modal BMT tidak berkembang akan mengancam mata pencaharian mereka.
Dalam hal gaji pegawai, pada dasarnya manajer BMT menetapkan gaji pegawai berdasarkan Upah Kerja Regional (UMR), tetapi seringnya upah diberikan berdasarkan pemasukan BMT, begitu juga kalau ada keuntungan lebih petugas akan mendapat bonus sebagai penghargaan atas kerja keras mereka. Menurunnya modal usaha BMT karena ketidak lancaran peminjam dan kurangnya kesadaran nasabah untuk menabung aktif menimbulkan keprihatinan Ibu R karena gaji petugas juga ikut menurun, dengan adanya hal tersebut Ibu R memberi kesempatan kepada petugas terutama petugas lapangan untuk mencari penghasilan tambahan asal tidak mengganggu tugas pokoknya sebagai petugas BMT. Adanya motivasi kerja karena kebutuhan pada kelanjutan organisasi sebagai mata pencaharian, petugas BMT melaksanakan tugas dengan sangat disiplin. Janji bertemu dengan nasabah diupayakan untuk selalu ditepati dan tepat waktu, karena kalau tidak tepat waktu ditakutkan nasabahnya sulit lagi untuk dihubungi atau saat dikunjungi uang untuk pembayaran cicilan pinjaman sudah terpakai, ini menimbulkan resiko kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah dan kemacetan nasabah berpengaruh pada gaji yang akan diterima pegawai. Untuk menjaga hubungan baik dengan nasabah karena hubungan baik akan meningkatkan keberlanjutan nasabah dalam meminjam atau menabung selain itu juga adanya hubungan baik dengan nasabah akan menambah jumlah nasabah, pegawai BMT berusaha untuk selalu menjaga etika kejujuran dan kesopan serta menjalankan tugas sesuai ketentuan BMT. Dengan adanya sikap demikian sampai saat dilakukan kajian, belum pernah ada komplain dari nasabah yang berkaitan dengan berbagai bentuk penyelewengan oleh petugas. Kejujuran dan kesopanan pegawai BMT terutama pegawai lapangan, diakui oleh nasabah menurut nasabah adanya kejujuran dan kesopanan petugas BMT membuat nasabah tidak pernah ragu untuk menyerahkan simpanannya atau cicilan pinjamannya pada petugas walapun terkadang petugas yang datang tidak selalu sama. Tetapi disamping kejujuran dan kesopanan yang menumbuhkan kepercayaan nasabah, ada hal yang dinilai kurang oleh nasabah pada petugas BMT yaitu dalam hal berkomunikasi, menurut Ibu Yt: “Petugas BMT itu baik-baik dan jujur…. tapi jarang ngobrol… kalau diajak ngobrol juga cuma senyum-senyum aja…”
Kurangnya komunikasi dari apa yang dirasakan nasabah terhadap petugas BMT, menyebabkan nasabah kurang mendapat kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak dari petugas begitu juga informasi mengenai bagi hasil. Untuk meningkatkan kemampuan pegawai, manajemen BMT selalu menugaskan petugasnya untuk hadir dalam kegiatan pelatihan terutama yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi atau ABSINDO, kalaupun petugas tidak bisa hadir Ibu R sendiri yang akan menghadirinya. Manajemen BMT sangat memperhatikan kegiatan pelatihan karena menurutnya ini berkaitan dengan kemampuan petugas dalam melaksanakan kegiatannya. Masih belum adanya kemampuan pada lembaga untuk melakukan pemupukan modal dengan memanfaatkan sumberdaya masyarakat yang ada dan belum mampunya BMT memanfaatkan sumberdana masyarakat yang bersumber dari dana ZIS nasabah dan masyarakat lainnya, melakukan jejaring (networking) sosial dan usaha dengan stakeholders terkait dan dalam meningkatkan kemampuan usaha nasabah. Hal ini menunjukkan bahwa BMT Nurul Ummah belum memiliki kemandirian dan keswadayaan di dalam meningkatkan kesejahteraan nasabah dan masyarakat miskin lainnya.
Kinerja BMT dalam Pengembangan Masyarakat
Kinerja merupakan bentuk hasil dari apa yang telah dicapai suatu organisasi di dalam melaksanakan kegiatannya. Analisis terhadap suatu kinerja organisasi (lembaga) memiliki tujuan untuk dapat mengkaji sejauhmana keberhasilan lembaga tersebut di dalam upaya untuk mencapai tujuannya. Untuk menganalisis kinerja yang telah dicapai BMT diukur dari keberhasilannya dalam pencapaian tujuan pokok dalam efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan dalam perkembangan hasil yang telah dicapai berdasarkan perbandingan tahun lalu dengan tahun ini. Hasil kinerja BMT tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Pencapaian Tujuan Pokok Sebagai lembaga ekonomi masyarakat pencapaian tujuan pokok BMT Nurul Ummah meliputi aspek pencapaian dalam kegiatan simpan pinjam (komersil) dan dalam pencapaian penghimpunan dan penyaluran ZIS. Pencapaian tujuan pokok tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 berikut : Tabel 5 : Pencapaian Tujuan Pokok No A.
B.
Uraian Kegiatan Kegiatan simpan Pinjam (Baituttamwil) 1. Jumlah nasabah seluruhnya 2. Jumlah nasabah yang mendapat pinjaman modal usaha 3. Jumlah nasabah yang rutin mengembalikan pinjaman 4. Jumlah nasabah yang tidak lancar dalam pengembalian pinjamannya 5. Jumlah nasabah yang sama sekali tidak dapat mengembalikan pinjamannya. 6. Jumlah nasabah yang masuk dalam daftar tunggu untuk mendapat pinjaman 7. Jumlah nasabah aktif menabung
Dana ZIS (Baitul Maal) 1. Jumlah dana yang telah dihimpun 2. Jumlah nasabah/masyarakat yang telah menyerahkan ZIS nya 3. Jumlah nasabah/masyarakat miskin yang terdata oleh BMT 4. Jumlah nasabah/masyarakat yang telah menerima bantuan dari dana ZIS 5. Jumlah kegiatan sosial yang telah dilaksanakan bersumber dari dana ZIS
Pencapaian
1589 Orang 227 Orang 154 Orang 45 Orang 28 Orang 38 Orang 636 Orang
-
Sumber : Data Administrasi BMT Nurul Ummah
Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa dari jumlah nasabah BMT yang berjumlah 1589, nasabah yang aktif menabung hanya 636 (40 %) dan itupun 265 nasabah (42 %) adalah peminjam dan calon peminjam yang terikat ketentuan untuk harus menabung. Pencapaian tujuan dalam meningkatkan kemampuan nasabah untuk menabung masih kurang. Dalam pencapaian tujuan pembiayaan pinjaman modal usaha kepada nasabah, dapat dilihat dari 227 nasabah yang mendapat pinjaman hanya 154 nasabah yang mampu mengembalikan pinjaman secara rutin sedangkan 45 orang (20 %) dari nasabah peminjam pengembaliannya tidak lancar dan 28 orang nasabah (12%) sama sekali tidak dapat mengembalikan
pinjamannya dan 38 orang nasabah belum bisa terpenuhi pengajuan pinjamannya. Dari 1589 nasabah BMT, jumlah nasabah yang berasal dari Kelurahan Sekeloa hanya 28 orang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal pencapaian tujuan pokok, BMT belum optimal. Belum optimalnya pencapain tujuan pokok BMT banyak dipengaruhi oleh cukup tingginya kemacetan pengembalian pinjaman di mana faktor penyebabnya adalah usaha nasabah tidak berkembang dan terhenti. Selain kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah, adanya ketidak puasan nasabah dalam bagi hasil simpanannya berpengaruh pada tingkat aktivitas nasabah dalam kegiatan simpanan/tabungan. Sedangkan pencapaian tujuan dalam penghimpunan ZIS sama sekali belum ada karena lembaga penghimpun ZIS (Baitul Maal) belum di fungsikan. Belum tercapainya tujuan pokok BMT disebabkan kekurang mampuan kelembagaan BMT dalam menggali sumberdaya dan sumberdana masyarakat, kekurang mampuan BMT dalam meningkatkan kemampuan usaha nasabah, kekurang mampuan petugas lapangan di dalam mengkomunikasikan kegiatan BMT, kekurang mampuan BMT di dalam menjalin jejaring (networking) kerjasama dengan stakeholders terkait dalam jejaring usaha dan jejaring sosial serta kekurang mampuan BMT di dalam melibatkan partisipasi nasabah. Dengan demikian kemandirian dan keswadayaan pada nasabah belum terwujud.
Efisiensi Pemanfaatan Sumberdaya Efisiensi adalah upaya untuk membandingkan masukan dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Analisis terhadap efisiensi kelembagaan BMT dilihat dari pemanfaatan sumberdaya masyarakat, pemanfaatan sumberdana masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya manusia di dalam organisasi BMT. Didalam pemanfaatan sumberdaya masyarakat, sumber modal BMT adalah dari nasabah pelaku usaha sektor informal, berdasarkan peta sosial masyarakat (social mapping) dengan cukup banyaknya sumberdaya ekonomi masyarakat (community economic capital) yang menyerap pelaku usaha sektor informal menyebabkan Kelurahan Sekeloa memiliki pelaku usaha sektor informal yang cukup tinggi yaitu sebanyak 1.706 (31,5 %), tetapi yang sudah menjadi nasabah
BMT hanya 28 orang pelaku usaha sektor informal. Selain pelaku usaha sektor informal, sumberdaya masyarakat lainnya adalah modal sosial masyarakat (community social capital)
dalam bentuk kepatuhan masyarakat terhadap
pemimpin masyarakat belum termanfaatkan untuk meraih partisipasi baik dari masyarakat ataupun dari nasabah dalam kegiatan jejaring sosial. Begitu juga dalam hal kemudahan transportasi yang dapat memberi peluang pada BMT untuk melakukan jejaring usaha, belum termanfaatkan secara optimal sebagai upaya pengembangan usaha dengan menyediakan sarana usaha produktif nasabah atau melakukan jejaring sosial yang lebih luas antar komunitas. Dengan belum termanfaatkannya modal sosial tersebut menyebabkan BMT kurang mendapat dukungan dari pemimpin komunitas lokal dan pemimpin antar komunitas seperti Camat dan walikota Bandung untuk memfasilitasi perkembangan BMT. seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan unsur-unsur masyarakat lainnya, selain dukungan dari pemimpin masyarakat, belum terjalinnya jejaring usaha BMT belum mampu mengembangkan usahanya dalam penyediaan sarana usaha produktif nasabah. Kurang efisiennya BMT dalam memanfaatkan sumberdaya masyarakat berpengaruh pada pemupukan modal, hal ini ditunjukkan dengan masih adanya nasabah yang tertunda pengajuan pinjamannya karena belum tersedia dananya. Di dalam pemanfaatan sumberdana masyarakat, sumberdana masyarakat adalah dana yang terhimpun dari masyarakat untuk mengatasi masalah sosial masyarakat., dana masyarakat dalam kegiatan BMT adalah dana ZIS. Keberadaan sumberdana masyarakat dalam bentuk dana ZIS, didukung oleh keberadaan modal sosial masyarakat yang menganut kepercayaan pada agama Islam dan cukup taat dalam menyalurkan ZIS nya. Selain itu adanya kelompok-kelompok komunitas yang melakukan kegiatan pengajian, adanya mesjid dan sarana-sarana ibadah muslim lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana penghimpunan ZIS belum termanfaatkan. Hal tersebut dibuktikan dengan belum dibentuknya Baitul Maal sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana ZIS. Belum efisiennya BMT dalam memanfaatkan sumberdana masyarakat dalam bentuk penghimpunan dana ZIS, berpengaruh pada belum terbantunya komunitas miskin yang termarjinalkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya dan kebutuhan
modal usaha produktifnya. Selain belum terbantunya masyarakat miskin, nasabah BMT yang masuk dalam al-gharim juga belum mendapat bantuan usaha modal produktif sehingga mereka mampu membentuk atau mengembangkan kembali usahanya. Di dalam pemanfaatan sumberdaya manusia organisasi BMT, cukup tingginya motivasi kerja, disiplin kerja dan sikap kerja pegawai BMT belum diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang baik, dengan kurangnya komunikasi keingintahuan nasabah mengenai bagi hasil tidak teraktualisasikan, kurangnya pemahaman nasabah mengenai bagi hasil tersebut menyebabkan kurangnya kontrol sosial nasabah terhadap kelangsungan BMT. Selain itu kurangnya pemahaman nasabah mengenai bagi hasil, mengurangi keinginan nasabah untuk menabung. Dengan demikian petugas BMT belum efisien di dalam memanfaatkan waktu berkunjungnya kepada nasabah, terpenuhinya keingintahuan nasabah dapat meningkatkan pemahaman nasabah mengenai aktivitas BMT, hal ini dapat menjadi pendorong bagi nasabah untuk mampu memberikan partisipasinya terhadap kegiatan BMT.
Perkembangan Pencapaian Tujuan Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan yang dicapai, perlu adanya suatu kajian perbandingan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data
dan
informasi yang diperoleh dari pengurus BMT, perkembangan BMT baik dalam hal jumlah nasabah aktif, peminjam aktif, penabung aktif maupun modal yang digulirkan tidak banyak berubah masih sama dengan tahun sekarang hanya jumlah penabung aktif berkurang pada tahun 2006 jumlahnya dari 764 menjadi 636. Sementara jumlah modal yang digulirkan pada tahun 2006 kepada 348 orang nasabah sebesar Rp.175.000.000,- pada tahun 2007 menyusut menjadi sebesar Rp.113.500.000,- dan hanya mampu di gulirkan kepada 227 orang nasabah. Untuk lebih jelasnya perbandingan perkembangan pencapaian dapat dilihat dalam Tabel 6 berikut:
Tabel 6 : Perbandingan Hasil yang Di Capai BMT Tahun 2006 – 2007 Uraian Kegiatan 1. Jumlah Nasabah 2. Jumlah nasabah aktif Menabung dan meminjam 3. Jumlah modal yang di gulirkan 4. Jumlah nasabah yang menerima pinjaman 5. Jumlah nasabah yang tidak lancar pengembaliannya 6. Jumlah nasabah yang tidak mengembalikan pinjaman
Pencapaian pada Tahun 2006
Pencapaian pada Tahun 2007
1589
1589
764
636
Rp.175.000.000
Rp.113.500.000,-
348 orang
227
22 orang
45 orang
17 orang
28 orang
Sumber : Data Administrasi BMT Nurul Ummah
Dari Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa tingginya nasabah yang tidak lancar dan tidak mengembalikan pinjaman serta nasabah yang menghentikan aktivitasnya dalam meminjam dan menabung sangat berpengaruh pada modal BMT yang akan digulirkan. Dengan demikian kondisi perkembangan BMT mengalami penurunan baik dari modal maupun dari jumlah nasabah pada tahun 2006 sampai tahun 2007.
Karakteristik Masyarakat Perkotaan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Kelembagaan BMT
Karakteristik Masyarakat Perkotaan yang Diadopsi Nasabah BMT BMT Nurul Ummah merupakan lembaga ekonomi masyarakat yang berada di perkotaan, dengan demikian nasabah BMT merupakan bagian dari masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi oleh Heterogenitas atau kemajemukan penduduknya, berkaitan dengan adanya berbagai suku, bahasa atau dialek, agama atau bahkan juga bangsa (L. Wirth 1938 dalam Rahardjo, 1999). Karakteristik masyarakat kota yang menonjol yaitu dalam sikap kehidupan yang cenderung pada individualisme/egoisme, dalam tingkah
laku bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis, dalam perwatakan cenderung pada sifat materialistis. (Mansyur 1977). Karakteristik perkotaan pada masyarakat berpengaruh pada modal sosial (social capital) yang di munculkan dengan sikap kekurang pedulian terhadap lingkungan sosialnya, kurangnya keinginan untuk berpartisipasi terhadap pembangunan, tingginya sikap curiga terhadap masyarakat lainnya atau lembaga sosialnya dan kurangnya kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat. Nasabah BMT sebagai pelaku usaha sektor informal dalam keseharian hidupnya sangat fokus terhadap usahanya, hal ini disebabkan nasabah BMT merasa harus dapat mencukupi kebutuhan keluarganya baik untuk memenuhi kebutuhan pangannya, kebutuhan kesehatannya dan kebutuhan pendidikan untuk anak-anaknya yang mana di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut memerlukan biaya yang mahal. Selain itu banyaknya pelaku usaha sektor informal lainnya yang terkadang memiliki usaha yang sama menimbulkan persaingan ketat, dengan adanya persaingan ketat tersebut nasabah merasa akan terancam pendapatannya jika tidak ikut dalam persaingan tersebut. Adanya perasaan terancam tersebut nasabah merasa setiap waktunya sangat berharga, mereka tidak ingin meluangkan waktu seharipun untuk meninggalkan usahanya, mereka memanfaatkan seluruh waktu siangnya atau waktu malamnya untuk berusaha.
Dengan tersitanya seluruh waktu
untuk
mendapatkan
keuntungan/penghasilan, interaksi sosialnya sebagian besar hanya ditempatnya berusaha, sementara interaksi dengan lingkungan sosial terdekatnya seperti tetangganya sangat kurang. Berharganya waktu bagi nasabah, membuat segalanya ingin lebih singkat, mudah dan fleksibel, begitu juga untuk memenuhi kebutuhan modal usahanya. Sebagai pelaku usaha sektor informal nasabah membutuhkan akses pada lembaga keuangan, tetapi sering lembaga keuangan yang akan diakses nasabah meminta persyaratan yang rumit dan dalam prosesnya membutuhkan waktu berhari-hari, ini kerugian buat nasabah karena ketika usahanya ditinggalkan untuk memenuhi persyaratan pinjaman nasabah tidak mendapatkan penghasilan. Hal inilah yang menjadi sebab ketertarikan nasabah pada BMT Nurul Ummah yang menurutnya prosesnya singkat, mudah dan fleksibel di dalam pengembaliannya.
Terlalu fokusnya nasabah pada usahanya, sehingga nasabah tidak peduli dengan apapun yang dilakukan BMT asal tidak membuatnya rugi secara finansial nasabah tidak pernah ingin komplain, atau ingin memahami lebih jauh tentang BMT karena menurutnya kebutuhannya terhadap BMT hanya pinjaman modal usaha.
Dengan tidak difahaminya aktivitas BMT, tidak
memunculkan
keinginannya untuk berpartisipasi atau peduli dengan perkembangan BMT. Nasabah juga seperti umumnya masyarakat di Kelurahan Sekeloa, memiliki sikap curiga yang tinggi terhadap siapapun kecuali terhadap orang-orang dekat yang dikenalnya dan dipercaya, begitu juga untuk menjadi nasabah harus mendapatkan informasi yang cukup dari orang-orang dekat tersebut. Itulah sebabnya sebagian besar nasabah BMT menjadi nasabah melalui informasi mulut kemulut seperti dari teman atau saudaranya. Kepercayaan nasabah muncul setelah proses interaksi dengan petugas lapangan berlangsung, kejujuran dan kesopanan pegawai lapangan BMT memunculkan kepercayaan nasabah terhadap BMT,
dengan
munculnya
kepercayaan
untuk
menitipkan
tersebut
nasabah
tidak
ragu
lagi
simpanan/tabungannya atau pengembalian pinjamannya pada petugas lapangan BMT. Adanya kepercayaan terhadap BMT, ditunjang dengan berbagai fasilitas kemudahan dalam pelayanan BMT menimbulkan keterikatan nasabah terhadap BMT. Dengan adanya keterikatan tersebut nasabah merasa perlu untuk menjalin hubungan baik dengan BMT dan berusaha taat terhadap norma-norma dan aturan BMT, ketaatan nasabah pada norma-norma BMT dibuktikan dengan banyaknya nasabah yang sudah bertahun-tahun menjadi nasabah BMT.
Karakteristik Masyarakat Perkotaan yang Diadopsi Pengurus BMT Pengurus BMT sebagai bagian dari warga masyarakat perkotaan tidak lepas dari budaya sosial lingkungan masyarakat perkotaan. Kehidupan perkotaan yang menuntut kebutuhan akan penghasilan untuk menunjang kehidupan yang serba mahal, ditunjang dengan tingginya tingkat persaingan di dalam mendapatkan pekerjaan tersebut menjadi pendorong motivasi kerja petugas BMT untuk dapat bertahan dan mampu meningkatkan produktivitas kerjanya di BMT.
Tujuan petugas BMT adalah untuk mendapatkan penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, penghasilan yang diperolehnya dari BMT sumbernya adalah nasabah. Dengan adanya hal tersebut petugas BMT berusaha memunculkan berbagai kreativitas agar dapat memberikan pelayanan yang prima bagi nasabah sehingga nasabah tidak menghentikan aktivitas simpan pinjamnya, salah satu kreativitas petugas BMT selain teknik jemput bola adalah dengan menunjukkan solidaritas yang tinggi pada nasabah calon peminjam. Bagi nasabah calon peminjam
yang tidak dapat datang ke BMT karena kesibukannya,
dikunjungi oleh BMT dan transaksi dilakukan di tempat usaha nasabah tersebut. Dengan demikian nasabah dapat terpenuhi kebutuhan pinjaman modal usahanya dan BMT mendapat keuntungan dari pinjaman nasabah tersebut. Untuk menjalankan kreativitasnya dalam menunjukkan rasa solidaritas atas kebutuhan pinjaman nasabah diperlukan intensitas interaksi, untuk itulah salah satu tujuan kunjungan pengurus pada nasabah selain untuk mengambil simpanan/tabungan nasabah dan pengembalian pinjaman nasabah, dengan kunjungan tersebut kebutuhan nasabah pada pinjaman modal dapat cepat tertangkap. Untuk menunjang tujuannya tersebut, pengurus berusaha menumbuhkan kepercayaan nasabah dengan berusaha jujur dan sopan, sehingga dengan kejujuran dan kesopanannya diharapkan dapat menarik minat dan kepercayaan nasabah karena menurut pengurus BMT kepercayaan nasabah adalah omset bagi BMT dan itu juga berarti omset bagi pengurus BMT. Orientasi pengurus pada keuntungan finansial, mengurangi kepeduliannya terhadap lingkungan sosial di mana lokasi BNT berada. Salah satu tujuan dibentuknya BMT di Kelurahan Sekeloa karena cukup tingginya jumlah kemiskinan pada masyarakatnya, menurut petugas belum dibentuknya Baitul Maal karena msih kurangnya kemampuan pengurus pada pengelolaan Baitul Maal tersebut. Jika ditinjau dari kemudahan transportasi masyarakat di Kelurahan Sekeloa, kemudahan transportasi tersebut dapat menjadi sarana bagi pengurus BMT untuk mengakses pengetahuan mengenai penghimpunan dan penyaluran ZIS dari berbagai sarana teknologi seperti internet salah satu contohnya, atau
media lainnya, tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Ini menunjukkan dalam aspek sosial, pengurus BMT kurang peduli pada kondisi lingkungn sosialnya.
Analisis Kekuatan dan Kelemahan BMT
Untuk mengetahui sejauh mana kapasitas BMT dalam menanggulangi kemiskinan dapat dianalisis dari potensi kekuatan yang dimiliki BMT, potensi peluang keberhasilan BMT, potensi kelemahan dan ancaman yang
menjadi
kendala keberhasilan BMT. Potensi kekuatan yang dimiliki BMT adalah kekhasan BMT sebagai lembaga keuangan yang berprinsip pada syariah Islam sangat strategis dengan kondisi kepercayaan masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, dengan demikian peluang untuk mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat cukup besar.
Selain itu adanya kemampuan manajemen dari pengurus serta
tingginya motivasi kerja, disiplin kerja dan etika kerja pengurus dapat menunjang eksistensi BMT untuk dapat lebih berkembang. Begitu juga dengan cukup tingginya kesadaran masyarakat dalam menunaikan ZIS nya akan menjadi modal sosial BMT dalam upaya menanggulangi masalah kemiskinan di wilayahnya. Selain kekuatan internal, kekuatan eksternal yang berpengaruh pada keberhasilan tujuan BMT adalah adanya lokasi geografis yang sangat strategis dekat dengan jalan raya yang biasa dilalui masyarakat dan nasabah, dekat dengan berbagai aktifitas pusat perekonomian seperti pasar tradisional, dekat dengan pusat aktifitas pendidikan. Hal ini menjadi penunjang untuk meningkatkan usaha nasabah dan melakukan kerjasama dengan sektor-sektor terkait baik di dalam komunitas maupun antar komunitas. Kekuatan eksternal lain yang dapat menjadi peluang keberhasilan BMT adalah banyaknya sumberdaya ekonomi masyarakat yang dapat dimanfaatkan nasabah dalam kegiatan usahanya, selain itu juga kepedulian sosial para stakeholders terutama tokoh masyarakat, tokoh agama dan RW setempat (Ketua RW 13) terhadap masalah kemiskinan di wilayahnya akan menjadi faktor pendukung BMT dalam melakukan sosialisasi dan melakukan kerjasama dengan sektor-sektor lain yang terkait.
Begitu juga dengan karakteristik masyarakat perkotaan yang diadopsi nasabah dan pengurus BMT. Hal ini bisa menjadi kelemahan tetapi sekaligus dapat menjadi kekuatan bagi BMT. Karakteristik perkotaan yang menjadi kelemahan pada nasabah memunculkan sikap kurangnya keinginan nasabah untuk berpartisispasi
kurangnya kepedulian sosial nasabah terhadap kegiatan dan
perkembangan BMT. Sedangkan pada pengurus, karakteristik masyarakat perkotaan negatif yang muncul adalah kurangnya kepedulian pada aspek sosial dan terlalu berorientasi pada aspek kegiatan ekonomi yang dianggap lebih terasa keuntungannya secara finansial. Tetapi dibalik kelemahan tersebut ada kekuatan yang akan bermanfaat bagi BMT yaitu kekuatan kompetisi atau persaingan yang dimiliki nasabah maupun pengurus dalam mengakses sumberdaya yang terbatas memunculkan kreativitas dan keinginan untuk lebih produktif. BMT sebagai lembaga ekonomi masyarakat yang memiliki dua produk aktivitas yaitu aktivitas komersil (Baituttamwil) dan aktivitas ibadah (Baitul Maal).
Faktor keberhasilannya dalam aktivitas komersil yaitu meningkatnya
kemampuan usaha nasabah dan berkembangnya modal usaha. Demikian juga faktor keberhasilan dalam aktivitas ibadah adalah terhimpunnya ZIS dari nasabah/masyarakat serta tersalurkannya ZIS kepada nasabah/masyarakat miskin baik untuk usaha produktif ataupun untuk bantuan-bantuan sosial lainnya. Selain itu dukungan dari stakeholders terkait menjadi faktor penunjang keberhasilan BMT. Keberhasilan BMT dari pelaksanaan aktivitas-aktivitasnya tersebut adalah terwujudnya kemandirian dan keswadayaan yang didukung dengan adanya ketersediaan dana yang dihasilkan dari sumberdaya dan sumberdana masyarakat yang dapat dimanfaatkannya secara optimal baik yang bersumber dari kegiatan komersil (Baituttamwil) ataupun dari kegiatan ibadah (Baitul Maal). Selama ini dilihat dari aktivitas komersil BMT, kemampuan usaha nasabah dalam mengembangkan usahanya masih kurang. Hal ini dilihat dari masih rawannya usaha-usaha nasabah dalam menghadapi kondisi yang ada terutama usaha nasabah yang memiliki modal kecil. Selain itu dukungan dari stakeholders terkait belum maksimal, terbukti dengan belum terjalinnya kerjasama baik dalam jejaring sosial ataupun dari jejaring usaha. Begitu juga dalam aktivitas ibadah
(Baitul Maal) sampai saat ini belum ada nasabah/masyarakat yang menyalurkan ZIS nya kepada BMT. Sehingga sampai saat ini BMT belum mampu untuk membantu nasabah yang bermasalah atau membantu masyarakat miskin lainnya baik bantuan usaha produktif ataupun bantuan sosial lainnya. Kondisi ini muncul karena adanya kelemahan dari pengurus BMT dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan kemampuan (ability) akan fungsinya sebagai lembaga ekonomi masyarakat. Kelemahan tersebut ditunjukkan dengan belum mampunya BMT dalam: 1) Meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengembangan usaha nasabah. 2) Melakukan sosialisasi baik terhadap stakeholders sektor formal maupun sektor informal di dalam komunitas maupun antar komunitas. 3) Berkomunikasi dengan nasabah/masyarakat atau dengan stakeholders terkait. 4) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya dan sumberdana masyarakat yang ada yang dapat menunjang kegiatannya baik dalam kegiatan komersil (Baituttamwil) maupun dalam kegiatan ibadah (Baitul Maal) 5) Memanfaatkan peran stakeholders dalam kegiatannya dan memunculkan partisipasi nasabah. Selain kemampuan pengurus, stakeholders yang terkait dengan peningkatan kapasitas BMT seperti ABSINDO belum cukup tanggap dengan kebutuhan nasabah terhadap BMT di wilayahnya, sehingga kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan bagi pengurus BMT belum dilaksanakan secara lebih optimal. Dampak dari kondisi ini adalah rendahnya kemandirian dan keswadayaan pada usaha nasabah BMT dalam meningkatkan kesejahteraan ekonominya dan rendahnya kemandirian dan keswadayaan pada kelembagaan BMT dalam upaya menanggulangi kemiskinan di wilayah kajian. Rendahnya kemandirian dan keswadayaan kelembagaan BMT di tunjukan dengan masih tergantungnya BMT pada bantuan modal dari luar baik berupa bantuan hibah ataupun bantuan pinjaman dan belum terhimpunnya ZIS dari nasabah/masyarakat. Rendahnya kemandirian dan keswadayaan nasabah ditunjukkan dengan belum mampunya nasabah mengembangkan usahanya dan mengantisipasi perubahan yang berpengaruh pada usahanya.
Untuk lebih jelasnya, analisis kekuatan dan kelemahan BMT dapat dilihat dalam Tabel 7 berikut: Tabel 7 : Analisis Kekuatan dan Kelemahan BMT Nurul Ummah KEKUATAN ¾ Banyaknya nasabah/masyarakat yang beragama Islam ¾ Cukup tingginya kesadaran nasabah/masyarakat dalam menyalurkan ZIS nya ¾ Adanya lokasi geografis yang strategis ¾ Banyaknya masyarakat pelaku usaha sektor informal dan sumberdaya ekonominya. ¾ Adanya kekuatan kompetisi dan menghargai waktu dari nasabah dan munculnya kreativitas produktif pada pengurus. ¾ Adanya kepedulian sosial dari tokoh masyarakat dan tokoh agama yang cukup tinggi terhadap masalah kemiskinan ¾ Adanya kemampuan manajemen pada pengurus
KELEMAHAN ¾ Masih rendahnya kemampuan pengurus dalam meningkatkan kapasitas kegiatan komersil (Baituttamwil) dan kegiatan ibadah (Baitul Maal) ¾ Kurangnya kemampuan kelembagaan dalam memanfaatkan peran stakeholders komunitas lokal dan antar komunitas yang mengakibatkan kurangnya dukungan dan keterlibatan stakeholders terkait dalam kerjasama jejaring sosial dan jejaring usaha. ¾ Masih rendahnya tingkat kemandirian dan keswadayaan BMT yang menyebabkan BMT masih tergantung pada bantuan hibah atau pinjaman modal dari luar ¾ Belum termanfaatkannya sumberdaya dan sumberdaya masyarakat secara optimal ¾ Belum terhimpunnya ZIS baik dari nasabah maupun dari masyarakat ¾ Kurangnya partisipasi aktif dan kepedulian sosial dari nasabah pada perkembangan BMT
Dari Tabel 7 di atas dapat dianalisis bahwa pada dasarnya potensi kekuatan untuk dapat mencapai keberhasilan BMT dalam menanggulangi kemiskinan sangat menunjang baik dari aspek nasabah/masyarakatnya, sumberdaya dan sumberdana masyarakatnya, lokasi geografisnya, kepedulian sosial stakeholders komunitas lokal terhadap masyarakat miskin, maupun kemampuan manajerial lembaganya. Tetapi aspek-aspek kekuatan tersebut belum dapat di manfaatkan secara optimal oleh BMT, dampak dari belum optimalnya pemanfaatan dari aspek-aspek kekuatan itu adalah munculnya aspek-aspek kelemahan yang menjadikan BMT belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan belum mampu menekan semakin berkembangnya jumlah masyarakat miskin di wilayah kerjanya.
PERENCANAAN PROGRAM PENINGKATAN KAPASITAS BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN Identifikasi potensi dan Permasalahan BMT Untuk membuat suatu program peningkatan kapasitas BMT Nurul Ummah yang berbasis pada komunitas di Kelurahan Sekeloa hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah mengidentifikasi potensi dan permasalahan serta kebutuhan nasabah sehingga dapat diketahui program apa yang tepat untuk meningkatkan kapasitas BMT Nurul Ummah tersebut. Untuk keperluan itu pada tanggal 11 Desember 2007 dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD)
yang diikuti oleh pengurus BMT Nurul Ummah,
nasabah dan tokoh masyarakat, tokoh agama serta aparat kelurahan. Dalam proses pelaksanaan FGD pada session pertama dipaparkan mengenai keberadaan BMT Nurul Ummah beserta potensi-potensi yang dimilikinya saat ini yang meliputi potensi kelembagaan BMT, potensi nasabah dan potensi penunjang lainnya. Dilanjutkan dengan pemaparan permasalahan yang dihadapi BMT dan nasabahnya berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pengkaji dengan pengurus BMT dan nasabahnya serta stakeholders terkait seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan Lurah setempat. Secara umum potensi kelembagaan BMT Nurul Ummah saat ini adalah sebagai berikut: 1. Aktivitas kegiatannya berasaskan syariah Islam. Hal ini sesuai dengan kepercayaan sebagian besar masyarakat. 2. Adanya prinsip bagi hasil di dalam aktivitas simpan pinjamnya yang mana dalam prinsip bagi hasil ini menekankan keadilan baik bagi nasabah maupun bagi pengelola. 3. Prosedur dan persyaratan pembiayaan kredit modal usahanya banyak memberi kemudahan kepada nasabah terutama nasabah yang tidak memiliki agunan yang dapat dijaminkan.
4. Adanya sistem jemput bola yang dapat memberi kemudahan bagi nasabah dalam kegiatan simpan pinjamnya, 5. Menekankan pada prinsip kekeluargaan di dalam pelaksanaan kegiatannya. 6. Adanya kemampuan pengurus dalam mengelola simpan pinjam nasabah dan dalam mengelola manjemennya.
Potensi Nasabah BMT saat ini: 1. Sebagian besar nasabah adalah pelaku usaha sektor informal 2. Memiliki usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti pedagang kelontong, pedagang masakan, pedagang goreng ayam, pedagang gorengan, pedagang sayuran yang berlokasi di pasar Sadang Serang dan lain sebagainya. 3. Memiliki kesadaran cukup tinggi dalam menunaikan ZIS nya 4. Memiliki kepercayaan yang cukup tinggi terhadap BMT. 5. Memiliki sumberdaya ekonomi yang dapat menjadi peluang usahanya
Potensi pendukung lainnya: 1. Tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi 2. Letak kantor BMT sangat strategis dekat dengan jalan raya dengan kemudahan alat transportasinya seperti angkutan umum dan ojeg, yang dapat dijadikan peluang untuk menunjang kegiatan BMT dalam
melakukan
melakukan jejaring sosial dan jejaring usaha di dalam komunitas maupun antar komunitas. Dekat dengan pemukiman padat penduduk, dekat dengan pasar-pasar tradisional, dekat dengan pusat pendidikan dan perkantoran baik swasta maupun pemerintah, dekat dengan aktivitas olah raga massal dan lain sebaginya. Banyaknya penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai pelaku usaha sektor informal yang tinggal dan berjualan di wilayah Kelurahan Sekeloa 3. Sebagian besar penduduknya beragama Islam yang memiliki kesadaran cukup tinggi dalam menyalurkan ZIS nya 4. Terdapat banyak aktivitas kegiatan keagamaan seperti pengajian, Majelis Ta’lim dan lain sebagainya
5. Cukup tingginya kepedulian sosial masyarakat daerah elit kepada masyarakat daerah kumuh yang banyak dihuni masyarakat miskin. 6. Cukup tingginya kepedulian sosial para tokoh masyarakat dan tokoh agama terhadap masyarakat miskin Potensi-potensi tersebut dapat menjadi faktor penunjang keberhasilan BMT dalam aktivitas kegiatan simpan pinjamnya (Baituttamwil) dan aktivitas kegiatan penghimpunan ZIS (Baitul Maal). Tetapi potensi-potensi tersebut belum dapat tergali oleh pengurus BMT secara optimal. Menurut pengurus BMT hal ini disebabkan karena adanya kelemahan dalam hal kemampuan sumberdaya manusia selain jumlahnya yang terlalu sedikit yaitu hanya memiliki personil sebanyak 6 orang (2 orang untuk kegiatan administrasi dan 4 orang untuk kegiatan lapangan) kemampuan dalam komunikasi, sosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat dan unsur-unsur masyarakat kurang dimiliki, juga dalam hal pengetahuan pengembangkan usaha nasabah serta dalam pengetahuan dan ketentuan mengenai penghimpunan dan penyaluran ZIS juga kurang dimiliki. Sehingga sampai saat ini BMT hanya mampu melaksanakan kegiatan simpan pinjam saja kepada nasabah. Dampak dari kelemahan tersebut adalah: 1. Kurangnya dukungan dari stakeholders 2. Kurangnya partisipasi aktif dan kepedulian nasabah terhadap kegiatan dan perkembangan BMT. 3. Masih rentannya usaha nasabah pelaku usaha sektor informal yang kurang mampu untuk mengembangkan usahanya, mempertahankan usahanya dan mengantisipasi berbagai perubahan. 4. Masih cukup tingginya tingkat kemacetan pengembalian pinjaman dari nasabah 5. Kurang difahaminya sistem bagi hasil baik oleh peminjam maupun penabung. 6. Belum difungsikannya Baitul Maal yang sangat berpotensi untuk membantu modal usaha nasabah yang tidak mampu dan nasabah yang termasuk algharim. Dengan adanya kelemahan tersebut berpengaruh pada keadaan modal usaha BMT yang kurang berkembang untuk pembiayaan kredit nasabah modal usaha
nasabah, sehingga menimbulkan ketergantungan BMT terhadap bantuan dana dari luar. Dampak dari adanya kelemahan tersebut menimbulkan masalah yang dirasakan oleh nasabah meliputi: 1. Lamanya pencairan dana pinjaman, nasabah harus menunggu 1-2 minggu untuk dapat memperoleh pinjamannya dan itupun sering tidak sesuai dengan pengajuan, misalnya pengajuan pinjaman Rp.1 juta yang dapat cair hanya Rp. 500 ribu. Hal ini dapat berpengaruh pada kelangsungan usaha pelaku usaha sektor informal yang memiliki modal kecil. 2. Munculnya perasaan tidak puas terutama dari nasabah penabung karena tidak melihat keuntungan dari simpanannya di BMT dan menganggap BMT kurang terbuka dalam hal bagi hasil ini 3. Terhentinya atau tidak berkembangnya usaha nasabah yang kurang mampu karena tidak adanya modal. Pada session ke dua dalam proses kegiatan FGD para peserta diminta untuk menyampaikan pendapatnya mengenai apa yang telah diuraikan pada sesion pertama. Dari proses tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Selama ini pengurus BMT kurang proaktif dan kurang tanggap terhadap kondisi lingkungan sekitarnya dan kurang melibatkan diri dalam aktivitas sosial masyarakat; 2. Para petugas lapangan BMT kurang komunikatif dan cenderung pendiam sehingga tidak memberikan banyak informasi kepada nasabah yang dikunjunginya; 3. Pengurus BMT kurang terbuka dalam melaksanakan prinsip bagi hasilnya; 4. Solusi yang di berikan BMT untuk pengembalian pinjaman yang macet tidak di dukung dengan upaya untuk membangkitkan kembali usaha nasabah yang sedang bermasalah tersebut. Pada session berikutnya dalam proses FGD ini adalah mendiskusikan hasil pembahasan permasalahan untuk mendapatkan upaya pemecahan masalah. Diskusi difokuskan pada inti permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan pengurus BMT, pemupukan modal, meningkatkan kemampuan usaha nasabah,
menjalin kerjasama dengan stakeholders serta upaya menggali sumberdana untuk membantu nasabah yang tidak mampu.
Penggalian Alternatif Pemecahan Masalah
Meningkatkan Kemampuan Pengurus BMT Sumberdaya manusia merupakan motor penggerak bagi kelangsungan suatu lembaga, lemahnya sumberdaya manusia dalam suatu lembaga berdampak pada lemahnya struktur dan mekanisme dari lembaga tersebut. Dari hasil diskusi
dengan nasabah dan stakeholders yang hadir dalam
kegiatan FGD diperoleh satu alternatif pemecahan masalah yakni untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam hal komunikasi dan interaksi dengan masyarakat, kemampuan dalam meningkatkan kemampuan usaha nasabah dan dalam memfungsikan BMT perlu adanya pelatihan yang intensif yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan pengurus tersebut seperti pelatihan kemampuan komunikasi, kemampuan sosialisasi, kemampuan dalam mengembangkan usaha nasabah dan kemampuan dalam memahami ketentuan penghimpunan dan penyaluran ZIS.
Pemupukan Modal Salah
satu
keberhasilan
lembaga
ekonomi
masyarakat
di
dalam
mengembangkan usaha anggotanya adalah adanya ketersediaan modal usaha, untuk itu perlu adanya sumberdana yang dapat menunjang ketersediaan modal tersebut. Hasil diskusi mengenai masalah pemupukan modal tersebut alternatif pemecahan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. BMT lebih selektif di dalam memberikan pembiayaan pinjaman bagi nasabah dalam arti bahwa untuk nasabah yang mampu perlu diminta agunan sebagai jaminan jika mereka melalaikan pengembalian pinjaman; 2. Tingkatkan pemahaman nasabah mengenai prinsip dan fungsi BMT, sehingga dengan pemahaman tersebut nasabah BMT dapat ikut berperanserta dalam mempromosikan BMT baik secara langsung ataupun tidak langsung.
3. Perlu adanya dua sumberdana, bagi nasabah yang mampu dan memiliki agunan untuk dijaminkan, sumber dana berasal dari dana Baituttamwil (komersil) dan untuk nasabah yang kurang/tidak mampu sumber dana berasal dari penghimpunan ZIS nasabah yang mampu (Baitul Maal) 4. Tingkatkan kegiatan promosi dan sosialisasi oleh pengurus dengan cara menghadiri setiap kegiatan sosial dan keagamaan masyarakat untuk menarik minat pelaku sektor informal lainnya serta menarik minat masyarakat lain yang mampu untuk menyalurkan ZIS nya pada BMT. Sumber dana BMT baik yang bersumber dari kegiatan komersil (Baituttamwil) ataupun yang bersumber dari dana ZIS (Baitul Maal) merupakan sumber dana independen. Korten (1988:65) dalam Pridjono & Pranarka (1996) menyatakan bahwa sebaiknya usaha untuk memperoleh sumberdana independen itu menjadi bagian dari kegiatan utamanya dan sesuai dengan alasan keberadaan organisasi sehingga dapat menunjang tujuan organisasinya.
Meningkatkan Kemampuan Usaha Nasabah Salah satu bukti keberhasilan BMT adalah meningkatnya usaha nasabah yang mana dengan meningkatnya usaha nasabah akan berpengaruh pada pemupukan modal usahan BMT. Untuk meningkatkan usaha nasabah berdasarkan hasil diskusi selain adanya ketersediaan modal juga adanya kemampuan nasabah di dalam mengembangkan usahanya. Untuk meningkatkan kemampuan nasabah perlu adanya kegiatan pembinaan dan pelatihan peningkatan
pengetahuan
nasabah
mengenai
yang berkaitan dengan
ketentuan-ketentuan
BMT,
peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan sikap di dalam mengembangkan usahanya. Menurut pengurus BMT kendala untuk meningkatkan kemampuan usaha nasabah selama ini adalah karena mereka tidak memiliki waktu untuk mengikuti suatu kegiatan pertemuan baik pertemuan pelatihan atau pertemuan apapun dan itu dibenarkan oleh para nasabah yang hadir. Solusi upaya pemecahan masalah
dari ketidak sanggupan nasabah untuk mengikuti suatu kegiatan
pertemuan adalah dengan melakukan pertemuan di tempat mereka berusaha (sistem jemput bola). Prosesnya bisa dilakukan baik secara langsung ataupun tidak langsung dan sifatnya non formal dalam arti tidak terlihat secara khusus
memberikan pelatihan tapi diarahkan pada proses peningkatan keterampilan usaha. Kendala melaksanakan pelatihan peningkatan kemampuan dengan sistem jemput bola menurut pengurus BMT adalah keterbatasan personil. Untuk itu perlu adanya penambahan personil petugas BMT, sementara dana untuk operasional sudah sangat terbatas. Alternatif pemecahan masalah dari hasil diskusi adalah bahwa penambahan personil tidak selalu harus formal artinya personil tersebut tidak harus menjadi pegawai tetap. Kesimpulannya adalah perlu adanya perekrutan personil yang bersifat non formal dalam arti tidak digaji secara tetap tetapi diberi kompensasi berdasarkan prosentase perolehan nasabah atau lebih tepatnya disebut dengan istilah pembentukan kader dan kader yang efektif adalah kader yang berasal dari komunitas nasabah itu sendiri.
Menjalin Kerjasama dengan Stakeholders Program pengembangan masyarakat merupakan suatu kegiatan kolaborasi di mana di dalam kegiatan kolaborasi tersebut setiap unsur memiliki perannya masing-masing., jika terdapat kekosongan peran di dalam suatu kegiatan kolaborasi maka akan menimbulkan ketimpangan. Stakeholders merupakan salah satu unsur peran dari suatu kegiatan kolaborasi. Ketidak terlibatan stakeholders dalam suatu program pengembangan masyarakat akan mengakibatkan sulit di capainya keberhasilan program tersebut. Stakeholders terkait dalam program pengembangan masyarakat BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa adalah tokoh masyarakat, tokoh agama dan Lurah setempat serta unsur RW dan RT. Untuk menjalin kerjasama dengan para stakeholders tersebut perlu adanya suatu pendekatan. Selama ini kurangnya dukungan para stakeholders terhadap aktivitas BMT, disebabkan karena mereka merasa tidak memahami apa keberfungsian BMT Nurul Ummah di wilayah Kelurahan Sekeloa dan mereka merasa belum pernah dilibatkan dalam setiap aktivitasnya. Kesimpulan dari hasil diskusi upaya pemecahan masalah dalam hal ini adalah
memberikan
pemahaman
kepada
para
stakeholders
mengenai
keberfungsian BMT. Untuk itu perlu adanya suatu kegiatan pertemuan rutin atau berkala di mana dalam pertemuan tersebut pengurus BMT menghadirkan para stakeholders untuk membahas dan mengevaluasi perkembangan BMT serta
mendiskusikan permasalahan-permasalahannya. Kegiatan pertemuan tersebut tidak selalu harus di selenggarakan oleh BMT tetapi dapat juga di fasilitasi oleh Lurah setempat.
Penggalian Sumberdana Masyarakat/Nasabah Untuk Penanggulangan Kemiskinan Dana yang efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah dana yang bersumber dari masyarakat dari lingkungan masyarakat miskin tersebut sehingga di dalam penyalurannya akan mendapat dukungan, partisipasi dan kontrol sosial dari masyarakat itu sendiri. Selama ini masyarakat/nasabah BMT memiliki cukup ketaatan di dalam menyalurkan ZIS nya, tetapi tidak termanfaatkan oleh BMT sebagai sumberdana masyarakat yang dapat membantu nasabahnya yang tidak mampu atau masyarakat miskin lainnya. Untuk dapat memanfaatkan dana ZIS tersebut Baitul Maal perlu difungsikan terlebih dahulu dan untuk menghimpun dana ZIS tersebut berdasarkan hasil diskusi banyak cara yang dapat dilakukan BMT diantaranya dengan : 1. Memanfaatkan kegiatan Jum’atan, melalui kerjasama dengan tokoh agama BMT dapat menghimbau sidang Jum’at untuk menyalurkan ZIS nya; 2. Memanfaatkan mini-mini market melaui kerjasama dengan pemiliknya BMT menitipkan kotak amal ZIS bagi pengunjungnya; 3. Memanfaatkan pertemuan-pertemuan di tingkat Kelurahan atau Kecamatan melalui kerjasama dengan Lurah atau Camat setempat menghimbau peserta yang hadir untuk menyalurkan ZIS nya; 4. Memanfaatkan kegiatan pengajian rutin ibu-ibu atau kegiatan-kegiatan arisan melalui kerjasama dengan nasabah yang ikut dalam kegiatan tersebut; 5. Memanfaatkan kegiatan pengambilan tabungan dan pengembalian pinjaman oleh petugas BMT untuk mengambil penyaluran ZIS dari nasabah; 6. Memanfaatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, Ketua RW atau Ketua RT untuk melakukan pendekatan kepada para pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid) dan kelompok-kelompok sosial elit agar penyaluran ZIS nya dapat dihimpun di BMT. Cara ini akan lebih mudah jika sebelumnya BMT melakukan sosialisasi mengenai penghimpunan ZIS tersebut kepada masyarakat, nasabah, tokoh-tokoh
sektor formal dan tokoh-tokoh sektor informal sehingga mereka dapat memfasilitasi kegiatan BMT didalam penghimpunan ZIS. Hal utama untuk mendapatkan dukungan dari seluruh unsur masyarakat serta nasabah dalam penghimpunan ZIS ini adalah keterbukaan pengurus BMT. Keterbukaan pengurus dapat diwujudkan dalam bentuk melibatkan perwakilan dari unsur-unsur masyarakat baik di dalam penyalurannya ataupun dalam penghimpunan data sasarannya. Untuk lebih jelasnya alternatif upaya pemecahan masalah hasil diskusi dalam kegiatan FGD dapat di lihat dari Tabel 8 berikut:
Rancangan Program Peningkatan Kapasitas BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung.
Proses Rancangan Program Setelah tersusunnya alternatif pemecahan masalah secara partisipatif dalam kegiatan FGD, kegiatan selanjutnya adalah menyusun rancangan program peningkatan kapasitas BMT. Sebelum menyusun rancangan program, terlebih dahulu para peserta yang hadir membuat suatu kesepakatan mengenai faktorfaktor yang mengakibatkan munculnya permasalahan atau kelemahan pada BMT Nurul Ummah sehingga menyebabkan kurangnya kapasitas BMT Nurul Ummah dalam menanggulangi
kemiskinan. Faktor
penyebab permasalahan
atau
kelemahan BMT disepakati peserta sebagai akibat dari kurangnya kemampuan lembaga dalam meningkatkan
kemampuan pengurus, dalam meningkatkan
kemampuan usaha nasabah, dalam menjalin kerjasama dengan stakeholders (jejaring sosial) dan dalam memanfaatkan sumberdaya masyarakat.
Strategi Rendahnya
kapasitas
kelembagaan
BMT
Nurul
Ummah
dalam
penanggulangan kemiskinan di daerah kajian berdasarkan hasil analisis dari permasalahannya atau kelemahannya faktor utamanya adalah kurangnya kemampuan sumberdaya manusia baik pengelola BMT maupun nasabah BMT. Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan BMT Nurul Ummah dengan adanya permasalahan tersebut diperlukan suatu strategi. Strategi yang telah di sepakati untuk meningkatkan kapasitas BMT tersebut yaitu: 1. Penguatan kemampuan kelembagaan BMT 2. Penguatan kemampuan usaha nasabah 3. Peningkatan kemandirian dan keswadayaan lembaga 4. Pengembangan dan penguatan dana ZIS Dengan diwujudkannya ke empat strategi tersebut diharapkan BMT Nurul Ummah dapat menjadi sebuah lembaga ekonomi masyarakat yang memiliki kemandirian dan keswadayaan baik di dalam pemupukan modal usaha dalam kegiatan komersilnya (Baituttamwil) ataupun di dalam penghimpunan dan
penyaluran ZIS nya (Baitul Maal) sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi nasabahnya dan mendapat dukungan dari semua unsur masyarakat di Kelurahan Sekeloa. Untuk lebih lengkapnya strategi tersebut diuraikan sebagai berikut:
Penguatan Kemampuan Sumberdaya Manusia Pengurus BMT Nurul Ummah Di dalam permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas BMT Nurul Ummah hal krusial yang menjadi faktor penyebabnya adalah kurangnya kemampuan pengurus BMT Nurul Ummah di dalam mengimplementasikan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan BMT sebagai lembaga keuangan masyarakat. Untuk meningkatkan kemampuan pengurus BMT rencana program yang akan dilakukan berdasarkan alternatif pemecahan masalah dalam aspek kemampuan lembaga BMT adalah melaksanakan pendidikan dan pelatihan kemampuan bagi pengurus BMT yang meliputi : 1. Kemampuan komunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat 2. Kemampuan dalam melakukan sosialisasi 3. Kemampuan dalam mengembangkan usaha nasabah 4. Kemampuan dalam menghimpun dan menyalurkan ZIS Peningkatan kemampuan untuk pengurus BMT harus mencakup penguasaan (knowledge), keahlian (skill) serta sikap (attitude) karena kelemahan dari pengurus BMT mencakup tiga aspek tersebut yaitu kurangnya penguasaan terhadap ketentuan penghimpunan dan penyaluran ZIS, kurangnya keahlian di dalam mengembangkan usaha nasabah serta kurangnya kemampuan sikap percaya diri di dalam melakukan hubungan dengan masyarakat (public relation)
Penguatan Kemampuan Usaha Nasabah Kelemahan kemampuan nasabah BMT meliputi ketentuan simpan pinjam terutama
pemahaman
mengenai
sistem
bagi
hasil,
penguasaan
dalam
mengembangkan usaha serta sikap di dalam mendukung kelangsungan BMT. Untuk meningkatkan kemampuan usaha nasabah rencana program yang akan dilakukan berdasarkan alternatif pemecahan masalah dalam aspek kemampuan usaha nasabah adalah:
1. Pelatihan peningkatan kemampuan pengembangan usaha nasabah dengan sistem jemput bola. 2. Untuk meningkatkan kemampuan nasabah dalam mengembangkan usahanya baik dalam meningkatkan kemampuan perencanaan dalam pengembangan usaha, kemampuan pemanfaatan biaya, kemampuan mengelola usaha atau kemampuan teknik pengembangan usaha tidak selalu harus dilakukan dalam kegiatan kelompok formal, dengan interaksi non formal kegiatan peningkatan kemampuan juga dapat dilakukan yaitu dengan cara pendekatan dari individu ke individu, hal inilah yang disebut dengan pelatihan dengan sistem jemput bola. 3. Pembentukan kader masyarakat 4. Adanya suatu kondisi bahwa nasabah BMT tidak memiliki waktu menghadiri suatu kegiatan pertemuan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan usahanya perlu adanya alternatif lain yang tujuannya sama yaitu memberikan pelatihan kemampuan usaha, alternatif tersebut adalah dengan sistem jemput bola, tetapi jumlah personil yang dimiliki BMT Nurul Ummah tidak akan memadai karena hanya empat orang. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya penambahan personil yang sifatnya non formal karena dana yang di miliki BMT tidak akan mencukupi lagi untuk menggaji pegawai baru. Pembentukan kader mayarakat merupakan upaya pemecahan masalah yang di sepakati dalam kegiatan diskusi. Tugas dari kader masyarakat tersebut adalah: a. Memfasilitasi kebutuhan BMT dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat/nasabah atau terhadap unsur-unsur masyarakat lainnya; b. Memfasilitasi kebutuhan nasabah yang membutuhkan pinjaman atau yang ingin menginvestasikan modalnya atau juga yang ingin menyalurkan ZIS nya. Dalam hal ini kader masyarakat berfungsi sebagai penghubung; c. Memfasilitasi kebutuhan informasi nasabah; d. Memfasilitasi BMT dalam hal kebutuhan data mengenai masyarakat miskin yang akan dibantu di daerahnya; e. Memfasilitasi BMT dalam menggali potensi sumberdaya dan di dalam menarik minat pelaku sektor informal yang belum menjadi nasabah BMT
dan kegiatan-kegiatan lain yang akan menghubungkan BMT dengan masyarakat, dan dengan para stakeholders terkait baik formal maupun informal. Sementara hal-hal yang berkaitan dengan pencairan pinjaman, pengambilan tabungan serta penghimpunan ZIS ataupun dalam hal penyampaian informasi yang sifatnya untuk meningkatkan pemahaman nasabah dalam mengembangkan usaha tetap merupakan tugas petugas lapangan BMT yang formal. Kerjasama dengan kader masyarakat merupakan pengefektifan kerja bagi pengurus BMT baik waktu, dana ataupun operasional karena sebagian besar tugas BMT banyak terbantu oleh keberadaan mereka, dalam hal dana BMT tidak perlu menggaji tetap atau melaksanakan aturan-aturan yang berkaitan dengan kepegawaian. Kompensasi untuk para kader tersebut dapat diambil dari keuntungan dengan sistem prosentase dari nasabah yang meminjam dana melalui kader tersebut. Pemberian kompensasi dapat dikomulatifkan perbulan, per dua bulan atau sesuai kesepakatan sehingga jumlahnya akan terlihat cukup besar. Kader masyarakat sebaiknya dari komunitas masyarakat itu sendiri karena secara operasional mereka akan lebih fleksibel, mereka cukup dekat satu sama lain dan tidak memerlukan biaya operasional. Manfaat dari kerjasama dengan kader masyarakat ini bagi kelangsungan BMT adalah: a. Terwujudnya kepedulian sosial dan partisipasi dari masyarakat/ nasabah; Terjalinnya koordinasi dengan unsur-unsur masyarakat dan stakeholders terkait baik formal maupun informal; b. Meningkatkan pemupukan modal usaha BMT; c. Termanfaatkannya sumberdaya dan sumberdana masyarakat.
Peningkatan Kemandirian dan Keswadayaan Lembaga Kemandirian dan keswadayaan merupakan unsur melepaskan diri dari ketergantungan.
Salah
satu
perwujudan
dari
adanya
kemandirian
dan
keswadayaan bagi BMT adalah tidak tergantung pada bantuan modal dari luar. Rencana program dalam aspek kemandirian dan keswadayaan adalah dengan meningkatkan pemupukan modal, meningkatkan kerjasama dengan stakeholders
terkait dan dengan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya masyarakat. Hal yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan kemandirian dan keswadayaan dalam pemupukan modal selain meningkatkan kapasitas pengurus dan meningkatkan kapasitas usaha nasabah juga dapat dengan melakukan jejaring usaha produktif dalam bentuk penyediaan barang-barang dan keperluan yang akan dibutuhkan nasabah melalui kerjasama dengan para pengusaha barang-barang dan keperluan nasabah tersebut seperti misalnya penyediaan kompor gas, etalase, meja, kursi dan lain sebagainya. Dengan demikian pengembangan modal BMT tidak hanya tergantung pada nasabah, dan hasil dari usaha ini dapat dimanfaatkan juga untuk memberi kompensasi bagi para kader masyarakat yang aktif.
Program Aksi
Dari hasil penyusunan rencana program yang telah disepakati bersama dalam FGD perlu diwujudkan dalam bentuk suatu program yang konkrit di mana program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas BMT dalam mananggulangi kemiskinan di perkotaan. Kesepakatan dari program yang akan dilaksanakan meliputi: 1. Untuk meningkatkan kapasitas pengurus program yang akan dilaksanakan adalah melaksanakan pelatihan peningkatan kapasitas pengurus untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan interaksi dengan masyarakat, meningkatkan kemampuan melakukan sosialisasi, meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan usaha nasabah serta meningkatkan kemampuan dalam menghimpun dan menyalurkan ZIS. 2. Untuk meningkatkan kapasitas usaha nasabah dengan sistem jemput bola hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menyusun jadwal dan rencana kerja dengan menetapkan skala prioritas dalam arti nasabah mana yang lebih diprioritaskan
untuk
didekati
secara
individu
dilihat
dari
aspek
permasalahannya. 3. Selanjutnya untuk memudahkan kerja operasional dilakukan pembentukan kader masyarakat yang di lanjutkan dengan pelatihan terhadap kader masyarakat tersebut. Untuk mengetahui masyarakat mana yang akan mampu
dijadikan kader oleh BMT, kerjasama perlu dilakukan dengan RT/RW setempat karena mereka cenderung lebih memahami kapasitas warga masyarakatnya. 4. Untuk kelancatan kerja kader masyarakat tersebut perlu dibuat jadwal pertemuan rutin yang mana dalam pertemuan rutin tersebut hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pemahaman kader mengenai aktivitas BMT, menyusun rencana kegiatan dan sasaran yang akan dikunjungi dan mengevaluasi implementasi dari hasil kegiatan. Dalam kegiatan pertemuan dengan kader perlu dibuat notulen dan daftar hadir sebagai bahan evaluasi sejauh mana hasil yang telah dicapai dan penilaian aktivitas dari kader masyarakat tersebut 5. Untuk melakukan jejaring usaha dengan para pengusaha terlebih dahulu di buat identifikasi kebutuhan untuk usaha nasabah yang dapat dilihat dari usahausaha nasabah hal ini harus melibatkan kader masyarakat karena merekalah yang nantinya akan berfungsi sebagai marketing, selanjutnya menentukan pengusaha yang akan diajak bekerjasama dan kunjungan kerjasama pada pengusaha-pengusaha tersebut. Untuk lebih jelasnya rencana program peningkatan kapasitas BMT Nurul Ummah dapat di lihat dari Tabel 9 berikut ini.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan
Dari hasil kajian yang telah dilaksanakan dalam rangka peningkatan kapasitas BMT dalam penanggulangan kemiskinan pada BMT Nurul Ummah di Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong Kota Bandung dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam upaya penanggulangan kemiskinan di perkotaan melalui program kegiatan BMT belum berhasil secara optimal. Hal ini disebabkan karena banyaknya hambatan yang berpengaruh pada keberhasilannya seperti: 1. Belum maksimalnya kemampuan pengurus BMT dalam hal meningkatkan kemampuan usaha nasabah, dalam hal pemupukan modal dan dalam hal melakukan jejaring sosial maupun jejaring usaha dengan stakeholders terkait baik di dalam komunitas maupun antar komunitas. 2. Belum dimilikinya kemampuan dalam hal menghimpun dana ZIS dari nasabah/masyarakat. Dengan adanya hal tersebut menunjukkan bahwa BMT Nurul Ummah belum memiliki kemampuan dalam performance kelembagaannya, hal ini di buktikan dengan: 1. Masih terdapat kerawanan pada usaha nasabah yang disebabkan kekurang mampuan nasabah dalam mengembangkan dan mempertahankan usahanya serta dalam mengantisipasi berbagai perubahan, 2. Masih cukup tingginya nasabah yang kurang lancar atau sama sekali tidak dapat mengembalikan pinjamannya; 3. Semakin berkurangnya modal usaha BMT; 4. Kurangnya dukungan dari stakeholders terkait baik dari sektor formal maupun informal di dalam komunitas maupun antar komunitas. 5. Sebagai lembaga sosial BMT belum mampu membantu nasabahnya yang sedang mengalami krisis dalam ekonominya dan masyarakat miskin yang termarjinalkan: 6. Belum diperolehnya dukungan dan partisipasi dari nasabah untuk menunjang keberhasilan BMT.
Untuk mengatatasi masalah tersebut dan untuk menjaga kelangsungan BMT, maka disusunlah program peningkatan kapasitas BMT dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas pengurus baik dalam meningkatkan keterampilan usaha nasabah, dalam memanfaatkan sumberdaya masyarakat untuk pemupukan modal, memanfaatkan sumberdana masyarakat untuk penghimpunan ZIS, melakukan jejaring usaha dan jejaring sosial dengan stakeholders terkait. 2. Peningkatan kapasitas usaha nasabah baik dalam proses perencanaan usaha, pengembangan usaha, pemanfaatan biaya, mengelola usaha dan teknik pengembangan usaha. 3. Pembentukan Kader BMT untuk memfasilitasi kegiatan BMT baik terhadap nasabah maupun terhadap stakeholders terkait sektor formal maupun informal 4. Membentuk jejaring usaha dengan pengusaha untuk penyediaan saran usaha produktif nasabah 5. Membentuk jejaring sosial untuk mendapat dukungan dalam melaksanakan kegiatan BMT 6. Memfungsikan Baitul Maal untuk membantu nasabah al-gharim dan masyarakat yang termarjinalkan Kegiatan yang dilaksanakan dalam program ini adalah: 1. Melaksanakan pelatihan peningkatan kapasitas pengurus untuk meningkatkan kapasitas pengurus 2. Melaksanakan pelatihan kemampuan usaha nasabah dengan sistem jemput bola untuk meningkatkan kemampuan usaha nasabah 3. Perekrutan Kader dan Pelatihan Kader BMT untuk membentuk kader BMT 4. Untuk melakukan jejaring usaha dilakukan: a Identifikasi barang kebutuhan untuk usaha nasabah b Menentukan pengusaha yang akan di ajak bekerja sama c Kunjungan kerjasama pada pengusaha-pengusaha terkait 5. Untuk memfungsikan Baitul Maal : d Melakukan sosialisasi dalam kegiatan forum formal maupun informal e Sosialisasi mengenai penghimpunan dan penyaluran dana ZIS kepada masyarakat, nasabah,tokoh-tokoh sektor formal dan informal
f Melakukan kerjasama dengan tokoh agama, melakukan kerjasama dengan para pemilik Mini Market, melakukan kerjasama dengan Lurah dan Camat, melakukan kejasama dengan nasabah yang ikut dalam kegiatan pengajian, mengefektifkan petugas lapangan BMT dalam melaksanakan kegiatan kunjungannya kepada nasabah, melakukan kerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, Ketua RW dan Ketua RT .
Implikasi Kebijakan
Untuk keberhasilan dari program peningkatan kapasitas BMT Nurul Ummah yang telah di susun berdasarkan hasil kesepakatan dalam diskusi terfokus (FGD) maka di rekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan kapasitas pengurus BMT, ABSINDO bekerjasama dengan Dinas Koperasi untuk segera melaksanakan pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan penguasaan
(performance), peningkatan keahlian (Skill) dan
peningkatan sikap (attitude) pengurus untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam meningkatkan kemampuan usaha nasabah, untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam penghimpunan ZIS agar dapat membentuk Baitul Maal, untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam meningkatkan kemampuan menjalin kerjasama dalam jejaring usaha agar BMT dapat mengembangkan usahanya dengan menyediakan sarana usaha produktif bagi nasabah dan meningkatkan kemampuan menjalin kerjasama dalam jejaring sosial dengan stakeholders terkait di dalam komunitas dan antar komunitas untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang dapat mendukung kegiatan BMT. Pelatihan yang harus dilakukan adalah : a. Pelatihan Teknik Hubungan Masyarakat (Human Relation Training) untuk meningkatkan kemampuan interaksi dengan nasabah dan masyarakat serta stakeholders terkait. b. Pelatihan Teknik Pemasaran (Marketing Training) untuk meningkatkan kemampuan usaha yang dapat menunjang peningkatan pemupukan modal BMT
yaitu dengan menyediakan sarana usaha produktif dan konsumsi nasabah c. Pelatihan Komunikasi Masyarakat (Human Communication Training) untuk meningkatkan
kemampuan
sosialisasi
dan
kemampuan
untuk
mengkomunikasikan program-program BMT terhadap nasabah, masyarakat dan stakeholders terkait. d. Pelatihan Teknik dan Administrasi Pengelolaan ZIS (Technical and Management Administration ZIS Training) untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam memfungsikan Baitul Maal e. Pelatihan Manajemen Sumberdaya manusia (Human Resource Management Training) untuk meningkatkan kemampuan pengurus dalam mengelola sumberdaya manusia di dalam organisasinya seperti pegawai tetap BMT dan kader masyarakat yang akan direkrut BMT. Dengan
adanya
kemampuan
mengembangkan usahanya
tersebut,
diharapkan
BMT
mampu
dan mampu menjalin jejaring kerjasama
(networking) tidak hanya dalam komunitas lokal (mikro) tetapi juga antar komunitas yang lebih luas (makro) 2. Untuk meningkatkan kapasitas pengembangan usaha nasabah setelah mendapat pelatihan peningkatan kapasitas pengurus, pengurus BMT segera membentuk kader masyarakat dan segera melatihnya serta segera susun rencana kerja dan jadwal kegiatan sehingga kader masyarakat akan segera melaksanakan pelatihan secara
informal
pada
nasabah
dan
memfasilitasi
BMT
dalam
mensosialisasikan penghimpunan ZIS kepada nasabah dan masyarakat lainnya serta stakeholders terkait. Dengan demikian BMT dapat segera memulihkan kondisi
permodalannya
penghimpunan ZIS.
dan
dapat
segera
melaksanakan
kegiatan
3. Bagi tokoh masyarakat, tokoh agama dan unsur-unsur RT/RW serta aparat kelurahan untuk
senantiasa
mendukung
pelaksanaan
kegiatan
pengembangan
masyarakat yang di laksanakan oleh BMT dan memfasilitasi BMT dalam kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat serta memfasilitasi BMT dalam melakukan jejaring sosial atau jejaring usaha dengan instansi-instansi pemerintah terkait lainnya, instansi swasta terkait maupun para pengusaha yang berada di wilayah Kelurahan Sekeloa maupun yang berada di luar wilayah Kelurahan Sekeloa, sehingga BMT dapat membentuk jejaring kolaborasi dalam kegiatannya secara lebih makro dan dapat mensinergikan program program kegiatan BMT dengan program-program pengembangan masyarakat yang direncanakan pemerintah. 4.
Selama ini nasabah/masyarakat menyalurkan ZIS nya selain melalui
perorangan juga melalui mesjid-mesjid terdekat dan yayasan penghimpun ZIS “Zakaria” , bagi masyarakat
elit penyaluran ZIS dilakukan terhadap kelompok sosial
“KERWATI”. Untuk memfungsikan Baitul Maal Nurul Ummah
di Kelurahan Sekeloa
setelah pengurus mendapatkan pelatihan segera: a. Lakukan sosialisasi terhadap unsur-unsur masyarakat terkait untuk mendapatkan dukungan. b. Lakukan kerjasama dengan para stakeholders yang akan memfasilitasi penghimpunan ZIS oleh BMT c. Efektifkan tugas kerja petugas lapangan BMT untuk menghimpun ZIS dari nasabah/masyarakat d. Untuk kegiatan penghimpunan ZIS segera lakukan proses jejaring dengan pengurus DKM dan pengurus kelompok sosial “KERWATI” dan yayasan “Zakaria” yang
difasilitasi oleh Ketua RW dan RT, tokoh agama dan tokoh masyarakat (dalam komunitas lokal). Peran lembaga-lembaga ZIS lokal akan menjadi sub pos penghimpunan ZIS dari masyarakat dan BMT akan berperan sebagai sentral dari penghimpunan dan penyaluran ZIS di Kelurahan Sekeloa. Dengan demikian penghimpunan dana ZIS akan terfokus pada satu titik yaitu BMT. Dari satu titik fokus ini penyaluran BMT akan termanfaatkan oleh seluruh masyarakat miskin baik yang menjadi nasabah BMT sendiri ataupun masyarakat miskin yang bukan dari nasabah BMT secara lebih merata. e. Untuk kegiatan penyaluran ZIS segera lakukan pengumpulan data mengenai nasabah dan masyarakat miskin dan lakukan survey untuk keakuratan dan kelayakan datanya. Untuk mengefektifkan kegiatan pengumpulan data nasabah dan masyarakat miskin ini, lakukan kerjasama dengan Kepala Seksi Kemasyarakat Kelurahan Sekeloa, Ketua RW dan Ketua RT. 5.
Untuk stakeholders, Implikasi program penanggulangan kemiskinan di
perkotaan mensyaratkan adanya usaha berbagi peran, dengan demikian untuk mendukung berkembang dan menguatnya kelembagaan BMT perlu adanya suatu gerakan berbagi peran. Peran-peran yang dapat dilakukan stakeholders lokal di Kelurahan Sekeloa adalah dalam hal menggerakkan masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran dalam menyalurkan ZIS nya dan meningkatkan kualitas simpan pinjam bagi nasabah BMT. Untuk itu kegiatan yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi seluasluasnya yang berkaitan dengan kegiatan BMT. Untuk stakeholders antar komunitas seperti perbankan syariah, perguruan tinggi (academic), para pengusaha (private sector), Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) dan organisasi-
organisasi masyarakat lainnya, lakukan pertalian (linkage) dengan BMT sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dalam bentuk jejaring kolaboratif. Untuk pemerintah Kota Bandung, agar ruang partisipasi stakeholders tersebut lebih leluasa, buat suatu kebijakan pengintregasian (intregration) untuk memfasilitasi dibangunnya kerjasama kolaboratif tersebut. Manfaat yang diharapkan dari kebijakan pemerintah untuk kegiatan jejaring kolaboratif ini diantaranya adalah: ‐ Stakeholders memperoleh legitimasi yang sah secara hukum untuk menghindari penolakan masyarakat ; ‐ Ada peluang dan mekanisme yang jelas bagi stakeholders untuk menyalurkan aspirasinya dan bahkan memberikan kontribusi dalam kegiatan jejaring kolaboratif ini; Selain mengintegrasikan, pemerintah Kota Bandung juga harus mensinerjikan rencana program-program penanggulangan kemiskinan Kota Bandung dengan kegiatan BMT yang telah didukung oleh stakeholders kolaboratif tersebut, baik program yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bandung sendiri, yang dilaksanakan oleh sektor swasta atau kelembagaan donor yang bekerjasama dengan pemerintah Kota Bandung. Selain itu juga untuk mengefektifkan, mengefisienkan dan untuk menjaga keberlanjutan kelembagaan BMT anggarkan dana untuk pengembangan kelembagaan BMT dalam rencana pembangunan melalui APBN dan APBD. Sementara untuk pemerintah pusat, fasilitasi pembiayaan pengelolaan dan pengembangan kelembagaan BMT yang bersumber dari bantuan-bantuan dunia ataupun bantuan-bantuan dari fihak lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. (2003). Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis.Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia A. Zaenal. STP. 2001. Menilai Tingkat Kesehatan BMT dari Aspek Manajemen Jakarta: Gema Insani Antonio, Syafi’I. 2001. Bank Syariah. Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Antonio, Syafi’i , dkk. 2006. Bank Syariah. Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. Yogyakarta : Ekonisia BPS, 2005. Survey Penduduk Antar Sensus, 2005. Bandung, Badan Pusat Statistik Daldjoeni, N. 1998. Geografi Kota dan Desa. Bandung: Alumni. Daldjoeni,N. 1985. Seluk-beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung; Alumni. Djamal, Dia.2002, Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, Praja-Printing, Jakarta Handayaningrat, Soewarno. 1981. Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Gunung Agung; Jakarta Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR United Press Haeruman dan Eriyanto, 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta. Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC Indonesia.. Indonesia 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992. Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Ilmi SM, Makhalul. 2002. teori dan Praktek lembaga Mikro Keuangan Syariah. Yogyakarta : UII Press. Jamasy, Owin, 2004. Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan. Blantika Jakarta. Koentjaraningrat, 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kolopaking, Lala M. dkk. (2003), Sosiologi Umum, Tim Editor sosiologi Umum Institut Pertanian Bogor. Kerjasama Jurusan Sosial ekonomi fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda Bogor. Kolopaking,Lala M,Tonny Fredian. 2006. Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Pembangunan Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. Bogor-IPB Kusuma, Sonny H, 2002. Jurnal Analisis Sosial: Membangun Institusi Warga Untuk Menanggulangi Kemiskinan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal. Akatiga Bandung. Kartasasmita, Ginanjar (1996). “Penanggulangan Kemiskinan Kurang Terpadu” Kompas, 7 Mei Mulyono, Mauzid. 1993. “Penerapan Produktivitas dalam Organisasi”. Bumi Aksara Jakarta Mubyarto, 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Aditya Media. Yogyakarta
Manning, Chris dan Noer Effendi, Tadjuddin. 1985. Urbanisasi Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM Noor, Zainul Bahar. 2006. Bank Muamalat. Sebuah Mimpi, Harapan dan. Kenyataan, Fenomena Kebangkitan konomi Islam.Jakarta: Bening Publishing. Purwadarminta, WJS. 1992. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Jakarta Rusli, Said. Sri Wahyuni, Ekawati. A.Sunito Melani. (2006) Kependudukan, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. Bogor-IPB. Rahardjo, M.Dawam .1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. LP3S Indonesia, Anggota IKAPI R. Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia R. Bintarto, 1986. Urbanisasi dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia Jakarta Soekanto , Soerjono. 1990 Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Manajemen PT Raja Grafindo Persada Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Aditama. Sumpeno. 2002. Capacity Building, Persiapan dan Perencanaan. Jakarta, Catholic Relief Services. Sumardjo & Saharudin, 2006. Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. IPB Bogor. Suharso (1978), “Pola Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Jawa; Faktor yang mempengaruhi dan Proses Kejadian Sedarmayanti, 1995. Sumberdaya Manusia dan Produktivitas Kerja. Ilham Jaya Bandung. Tim Sosialisasi KMW SWK IV, Buku Saku P2KP, Konsultan manajemen Wilayah (KMW) Satuan Wilayah Kerja (SWK) IV P2KP, Bandung. Tim Koordinasi Pengelolaan Program PDM-DKE, 1999/2000, Panduan Fasilitator Tonny , Fredian N.dan Bambang S. Utomo. 2002. Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan jejaring Kelompok Usaha Produktif di Wilayah Bogor Barat. (Makalah) Tonny, Fredian N. dan Bambang S. Utomo, 2004 Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial. IPB Bogor. Tonny, Fredian N. dan Dharmawan, Arya Hadi. 2006. Sosiologi untuk Pengembangan Masyarakat. IPB Bogor. Uphoff, Norman. 1986. Local Institution Development. An Analitical Source Book With Cases. United State of America Kumarian Press. Pareek, Udai. 1984. Perilaku Organisasi. Pedoman ke Arah Pemahaman Proses Komunikasi Antara Pribadi dan Motivasi Kerja. PT. Pustaka Binaman Pressindo.. Panduan Operasional Program Pemberdayaan Fakir Miskin di Wilayah Sub Urban dan Perkotaan Tahun 2005, Departemen Sosial RI.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Peta Kelurahan Sekeloa
PETA KELURAHAN SEKELOA
Lampiran 2 : Panduan Pertanyaan
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK NASABAH
1. Sudah berapa lama usaha ini bapak/ibu/sdr jalani? 2. Sudah berapa lama bapak/ibu/sdr menjadi nasabah BMT? 3. Sudah berapa kali bapak/ibu/sdr meminjam modal usaha dari BMT? 4. Bagaimana perkembangan usaha bapak/ibu/sdr saat ini? 5. Apakah bapak/ibu/sdr tahu mengenai ketentuan simpan pinjam di BMT? 6. Apakah Bapak/ibu/sdr mengetahui bagaimana merencanakan sebuah usaha, bagaimana mengembangkan usaha dan bagaimana mengelola usaha? Dari mana bapak/ibu/sdr mengetahuinya? 7. Bagaimanakah perencanaan usaha yang bapak/ibu/sdr lakukan? 8. Bagaimanakah cara pengembangan usaha yang bapak/ibu/sdr lakukan? 9. Bagaimana manajemen usaha yang selama ini bapak/ibu/sdr lakukan? 10. Bagaimana teknik yang bapak/ibu/sdr lakukan untuk mengembangkan usaha? 11. Apakah selama ini bapak/ibu/sdr menyalurkan zakat, infaq dan shadaqah? 12. Kepada siapa zakat, infaq dan shadaqah tersebut di salurkan? 13. Apakah bapak/ibu/sdr menyalurkan atau pernah menyalurkan zakat, infaq, shadaqah kepada BMT Nurul Ummah? 14. Sudah berapa lama bapak/ibu/sdr tinggal di Kelurahan Sekeloa? 15. Asal daerah bapak/ibu/sdr dari mana?
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK ABSINDO 1. Dalam kegiatan usaha :
Apakah bapak/ibu/sdr pernah memberikan pendidikan dan pelatihan kegiatan usaha kepada pengurus BMT tentang : a) Bagaimana mendidik anggota dalam kegiatan menabung? b) Bagaimana cara pengelola BMT dalam memberikan pelayanan dan pembiayaan untuk pengembangan usaha nasabah? c) Bagaimana membimbing nasabah dalam pemanfaatan biaya? d) Bagaimana
pengelola BMT dalam menyediakan sarana produktif bagi
nasabah? e) Bagaimana memberikan latihan manajemen usaha dan latihan teknik pengembangan usaha? f) Bagaimana membimbing nasabah dalam perencanaan dan pengembangan usaha? g) Bagaimana cara pengelola BMT memberikan pembinaan rohani dan pengkajian ke Islaman bagi seluruh nasabah? h) Bagaimana cara melakukan sosialisasi produk BMT kepada masyarakat? 2. Apakah ada kegiatan pertemuan yang khusus untuk mengevaluasi hasil kegiatan yang telah di lakukan oleh BMT? 3. Upaya apa yang di lakukan ABSINDO agar BMT berkembang? 4. Bagaimana upaya ABSINDO dalam meningkatkan kapasitas kemampuan pengelola BMT baik dalam meningkatkan pengetahuan pengembangan usaha ataupun meningkatkan pengetahuan penghimpunan ZIS? 5. Menurut bapak/ibu/sdr apakah faktor penyebab yang menjadi kendala BMT sulit untuk berkembang di Kota Bandung ini? 6. Apa upaya yang di lakukan ABSINDO untuk meningkatkan kapasitas BMT agar berkembang?
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK TOKOH MASYARAKAT
DAFTAR PERTANYAAN
1. Apa yang bapak/ibu/sdr ketahui mengenai BMT Nurul Ummah? 2. Apakah bapak/ibu/sdr mengetahui manfaat BMT bagi masyarakat di wilayah bapak/ibu/sdr? 3. Selaku Tokoh Masyarakat dukungan apa yang dapat di berikan agar BMT tersebut berkembang? Baik untuk usahanya ataupun untuk penghimpunan ZIS nya? 4. Menurut bapak/ibu/sdr faktor apa yang menyebabkan BMT Nurul Ummah kurang berkembang? 5. Apa saran yang dapat bapak/ibu/sdr berikan agar BMT Nurul Ummah tersebut dapat berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terutama pengusaha kecil informal?
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK TOKOH AGAMA
DAFTAR PERTANYAAN
1. Apakah bapak/ibu/sdr mengetahui keberadaan BMT Nurul Ummah ? 2. Apakah selama ini pengurus BMT Nurul Ummah pernah melakukan sosialisasi atau koordinasi dengan bapak/ibu/sdr dalam hal penghimpunan dan penyaluran ZIS? 3. Bagaimana tanggapan bapak/ibu/sdr mengenai BMT Nurul Ummah? 4. Apakah selama ini BMT Nurul Ummah melakukan koordinasi dengan bapak/ibu/sdr sebagai Tokoh Agama? 5. Bagaimana pendapat bapak/ibu/sdr tentang penghimpunan dan penyaluran ZIS yang di lakukan oleh BMT Nurul Ummah? 6. Dukungan apa yang dapat di lakukan bapak/ibu/sdr kepada BMT Nurul Ummah dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran ZIS?
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK LURAH
DAFTAR PERTANYAAN 1. Apakah bapak/ibu/sdr mengetahui tentang keberadaan BMT Nurul Ummah? 2. Bagaimana pendapat bapak/ibu/sdr mengenai BMT Nurul Ummah tersebut? 3. Apakah selama ini BMT Nurul Ummah melakukan koordinasi atau sosialisasi dengan bapak/ibu/sdr? 4. Apakah bapak/ibu/sdr mengetahui manfaat BMT bagi usaha masyarakat di wilayah kerja bapak/ibu/sdr? 5. Fasilitas dan dukungan apa yang dapat bapak/ibu/sdr berikan untuk mengembangkan BMT Nurul Ummah?
DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PENGURUS KOPERASI KOTA BANDUNG
Daftar Pertanyaan
1. Menurut bapak/ibu/ sdr bagaimana kondisi BMT di Kota Bandung saat ini? 2. Sebagai lembaga ekonomi masyarakat yang di beri legalitas oleh Koperasi, fasilitas apa yang di berikan koperasi terhadap BMT selain legalitas Badan Hukum tersebut? 3. Apakah menurut bapak/ibu/sdr BMT tersebut bermanfaat bagi pengembangan usaha kecil informal masyarakat? 4. Apakah ada upaya peningkatan kapasitas bagi BMT baik dalam bidang usaha ataupun dalam meningkatkan kemampuan pengelola BMT oleh Koperasi? 5. Apakah ada kendala dalam upaya mengembangkan kapasitas BMT tersebut? 6. Dukungan apa yang dapat di berikan Koperasi untuk mengembangkan BMT tersebut?
Lampiran 3 : Dokumentasi Kegiatan Wawancara
Wawancara dengan Manajer BMT Nurul Ummah
Wawancara dengan Petugas lapangan BMT
Wawancara dengan nasabah BMT
Dokumentasi suasana kegiatan diskusi terfokus (FGD) untuk menyusun program secara partisipatif