0
PROPOSAL DISERTASI KONSEP HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK DI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ISLAM (Studi Dilema Pemukulan Anak-Anak Dalam Penerapan Disiplin)
Oleh Nur Shofa Ulfiyati
BAB
1
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Secara filosofis, 1 memang setiap orang tua dan guru berhak, memberikan
hukuman terhadap anak-anak mereka dengan tujuan mendidik, tapi hal ini merupakan suatu yang dilematis. Akhir-akhir ini terjadi banyak kasus yang bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional., lebih-lebih lagi hukum Islam, misalnya kasus hukuman fisik terhadap anak-anak , yang paling mengejutkan di Riau, yaitu kasus oknum guru yang memaksa muridnya, minum air liur, sebagai hukuman , karena tidak bisa membaca. Air liur yang sengaja dikumpulkan gurunya di dalam gelas bekas air mineral itu, berasal dari air liur teman sekelasnya dan air liur ibu guru. Akibat pemberian hukuman
itu, oknum guru dipindahkan ke sekolah lain yang lebih
jauh letaknya. Kemudian ada pula kasus pemukulan murid. Jika murid nakal, tidak dipukul, tingkahnya semakin nakal. Jika dipukul, gurunya
bisa masuk
penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU No.23 th 2002).Inilah kasus yang sangat dilematis. Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat 1
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.) dan (sophia = "kebijaksanaan")
1
pendidikan dan hak azasi anak. Saat ini , para pembela hak asasi , dengan
teori psikologi hukum
Barat dan
berkoar
membuat konsep baru tentang
larangan memukul anak. Hasilnya, mungkin munculnya tawuran dan perkelahian pelajar. Menarik untuk diteliti, apakah masih ada dendam bagi anak, jika teringat saat jarinya diketuk dengan penggaris, karena kuku panjang. Apakah sakit hati saat dipelintir telinganya,karena gondrong dan apakah hanya karena itu berkurang hormat kepada ayah dan ibu, serta guru-gurunya. Di Francis ada juga kasus kekerasan di sekolah, guru dikenakan denda 500 Eurou sekitar tujuh juta rupiah, karena memukul muridnya. Hal itu dianggap melanggar
hak asasi manusia.
Terjadi prokontra penggunaan kekerasan berupa hukuman fisik 2. Penulis ingin melacak alasan hukuman fisik, dibolehkan atau dilarang. Informasi sementara, yang penulis terima: Pertama, secara tidak sadar memberi pukulan mengajar anak untuk memukul kembali. Kedua, bila orang tua kehabisan akal, lalu dengan emosi dan kekerasan, ia memukul. Jadi disimpulkan bahwa hukuman tidak mendatangkan hasil. Keempat, memukul dapat melukai harga diri seorang
anak,
mengurangi
kepercayaannya
terhadap
pendidik,
bahkan
menghindari dan membencinya. Apakah memang demikian? Ada beberapa jenis hukuman fisik yang ingin penulis ketahui, antara lain Kalau hukuman fisik tidak dapat dihindari, lakukan dengan kepala dingin dan jangan dalam keadaan marah. Kepada anak usia 15-18 tahun, masih boleh dikenakan hukuman fisik yang ringan. Pilahlah alat yang digunakan dengan cermat, yang penting bukan dalam suasana marah sehingga memukul dengan keras, menjewer, atau menonjoknya. James C.Dobson menentang memukul anak dengan tangan, karena tangan adalah perantara kasih. Ia juga berpendapat bahwa hukuman fisik hanya sampai batas anak merasa sakit dan berteriak, baru ada hasilnya dan bukan memukulnya dengan kejam. Jangan menunggu bila ingin
2
Batas-batas kekerasan menurut Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, di mana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2),Sinar Grafika Jakarta, 2008, 23
2
menggunakan
hukuman fisik, apakah perlu atau tidak dan bukan dengan
mengatakan, “Nanti, tunggu ayahmu pulang, baru kamu dipukul”. Orang dewasa ada pula yang menggunakan pengasingan sebagai hukuman untuk anak. Anak diasingkan dari anak lain, tidak diizinkan bermain supaya dengan tenang, anak dapat mengintrospeksi dirinya sendiri tetapi dalam jangka waktu tertentu, datang dan tanyakanlah kepada anak, apakah ia memerlukan bantuan dan menguraikan dengan jelas harapan orang tua atas perilaku mereka. Dalam menerapkan hukuman, perlu diperhatikan jangka waktunya karena bila waktunya terlalu panjang atau terlalu pendek, akan kehilangan fungsi hukumannya, karena setiap anak itu berbeda berbeda sifat, maka penerapan hukuman ini sebaiknya dilakukan dengan fleksibel. Waktunya jangan lebih dari 10-15 menit, tempat harus aman, dan jangan ada barang yang membuat anak senang melewati waktu itu. Ada anak yang sangat peka, yang tidak perlu menggunakan hukuman fisik atau bentuk lainnya, hanya dengan perkataan saja, ia sudah berubah. Hukuman dengan cara mendamprat itu termasuk kritikan, ajaran, teguran yang keras, agar anak merasa bersalah dan malu. Bagi anak yang nakal, hukuman itu tidak berguna. Menggunakan hukuman ini juga harus hati-hati karena omelan yang berlebihan akan melukai harga diri anak itu, membuat jurang antara anak dan orang tua. Akhirnya seperti kata pepatah, bagaikan memakan buah semalakama. Beberapa buku literatur yang dapat penulis lacak bahwa, cara apapun yang digunakan harus masuk akal, baru mendapat hasil yang baik. Berikut ini beberapa usulan dari orang tua, yaitu, penggunaan nasehat yang bijak, sebelum menggunakan
hukuman
fisik,
perlu
penggunaan
nasehat
terlebih
dahulu,memperingatkan dengan tegas. Bagi yang pertama kali anak melakukan kesalahan, tidak langsung diberi hukuman, lebih baik mencari waktu yang baik untuk menjelaskan peraturan yang ada terlebih dahulu. Tidak menghukum anak dalam keadaan tidak tahu, tetapi setelah diingatkan dan diperingatkan masih berbuat salah, barulah dihukum. Tentu saja dengan kasih sayang sebagai motivasi. Diharapkan hukuman tidak mengandung aniaya, hukuman harus dilakukan atas dasar kasih dan perhatian, hukuman harus digunakan dalam
3
keadaan yang sadar dan bukan dalam keadaan emosional dan marah. Pertahankan hubungan yang baik. Hukuman hanya bisa dilaksanakan saat adanya hubungan yang baik antara anak dan yang menghu kum; jika tidak, hasilnya tidak mungkin baik. Bisa pula berupa mengulur waktu. Dalam budaya pendidikan, hukuman fisik masih dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika siswa melakukan kesalahan. Pandangan yang dikemukakan Freud tentang kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam dalam alam bawah sadarnya yang sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya. Membaca berita tentang tindakan guru olahraga di Sragen tersebut, membuat sebagian orang tua siswa merasa ngeri dan khawatir, karena tindakan seorang guru yang menampar siswanya jelas memberikan dampak psikologis yang tidak baik, yang dapat berujung pada traumatik siswa. Dampak yang lebih luas dari kekerasan guru akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu, terjadi proses ketakutan dalam diri siswa untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan infentif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran siswa-siswa sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. 1.2 Kajian fenomena3 1.2.1 Hukuman fisik di berbagai negara Dalam menuntut ilmu di sekolah, wajar jika murid membuat kesalahan. Namun guru yang bertugas mengingatkan kesalahan dan meluruskannya, kadang menggunakan cara yang keras. Tak jarang dipakai hukuman fisik. Di Eropa kasus ini sempat heboh karena jarang terjadi di dunia pendidikan . Dalam suatu kasus pembelaan guru Jose mengatakan bahwa dirinya merasa seperti layaknya seorang ayah “Saya bertindak seperti ayah. Saya melihat dia sebagai anak yang menghina bapaknya.” Katanya guru senior yang sudah 29 tahun aktif di dunia pendidikan. Ini baru pertama kalinya ia menggunakan tangan, karena “baru pertama ini saya dihina oleh murid". 3
Fenomena, atau masalah, atau gejala adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat, atau alami, atau rasakan. Suatu kejadian adalah suatu fenomena. Suatu benda merupakan suatu fenomena, karena merupakan sesuatu yang dapat kita lihat.
4
1.2.2 Di Amerika Di Amerika, memukul anak masalah biasa .Berbeda dengan di Eropa, kalau di Amerika sudah bukan hal aneh lagi guru memukul murid. Pada tahun ajaran 2006-2007, saja sudah lebih 200.000 siswa sekolah Amerika kena straf atau hukuman fisik. Itu laporan organisasi HAM, Human Rights Watch dan American Civil (Liberties Union yang terbit Rabu 20 Agustus 2008).4 Di Amerika sedang hangat-hangatnya diskusi soal manfaat dari straf fisik dalam dunia pendidikan. Di 21 negara bagian, masih memperbolehkan hukuman fisik di sekolah. Biasanya memukul bokong dengan sebilah kayu. Menariknya temuan di US itu, murid kulit hitam lebih sering dipukul dari pada siswa bule. Tidak disebutkan alasannya mengapa murid kulit hitam lebih sering dihukum.
1.4.1 Batasan masalah Setelah mengidentifikasi berbagai fenomena, pada latar belakang masalah yang berkaitan dengan hukuman fisik terhadap anak-anak ,maka penulis batasi masalahnya, dalam ruang lingkup konsep dan paradigma pelarangan hukuman fisik menurut hukum Islam dan
Undang-Undang Perlindungan anak yang
berlaku di Indonesia. Hal yang harus ditemukan ialah hal yang melanggar hak asasi, bagaimana masalah hukuman fisik menjadi sesuatu yang dilematis.
1.4.2 Rumusan masalah Akhirnya masalah ini penulis buat perumusan sebagai berikut : 1.4.2.1 Apa sebab terjadi dilema hukuman fisik bagi anak-anak di Indonesia? 1.4.2.2 Bagaimana konsep hukum Islam dan hukum perlindungan anak Indonesia, tentang sanksi hukuman fisik terhadap anak-anak ..? 1.4.2.3 Apa saja nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam ketentuan hukuman fisik terhadap anak-anak menurut hukum Islam dan perlindungan anak (UU RI No. 23 Tahun 2002).
4
Lihat kata pengantar UU RI No.23 Th.2002, h v
Undang-Undang
5
Di samping pelacakan terhadap masalah pokok ini, penulis juga ingin melacak nilai-nilai sosiologis dan psikologis yang berada di balik setiap masalah yang diungkapkan, supaya hal-hal yang tersebunyi di balik fakta hukum, dapat diketahui
maqashid al-syari'ah
yang terkandung di dalamnya seoptimal
mungkin, dengan memakai kaedah-kaedah ilmiah dan teori-teori serta analisis yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
1.5
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.5.1
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1.5.1.1 dan
Untuk melacak informasi tentang hukuman fisik oleh orang tua guru, terhadap anak-anak..
1.5.1.2
Untuk mengetahui dalil-dalil sebagai konsep dasar hukum Islam
yang berkaitan dengan sanksi hukuman fisik yang dilacak di dalam berbagai kitab tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab fiqih yang relevan. 1.5.1.3 Untuk memahami filosofis ketentuan hukuman fisik yang berkaitan erat dengan Hukum Islam, Hak Asasi Manusia dan hukum pelindungan anak pada UU. No. 23 Tahun 2002. 1.6
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini, secara teoretis dan praktis dapat dijadikan dasar pijakan dalam menetukan kebijakan di rumah tangga, di sekolah dan di pemerintahan, dalam menetukan kebijakan yang berkaitan dengan hukum, moral, dan ketertiban yang bersumber dari undang-undang perlindungan anak dan hukum Islam .Lebih konkrit lagi ialah: 1.6.1
Bagi pribadi penulis, akan dimanfaatkan untuk menambah ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum, sekaligus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar doktor dalam dalam bidang hukum Islam. 1.6.2 Bagi lembaga pendidikan, sebagai sumbangan pemikiran tentang bagaimana
hukuman fisik itu seharusnya dilaksanakan.
6
1.6.3 Bagi orang tua dan guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menghadapi dilemma hukuman fisik, agar tidak dituduh melakukan perbuatan kriminal dan berurusan dengan pihak kepolisian. 1.6.4. Bagi para hakim di pengadilan, sebagai bahan informasi tentang hukuman fisik dapat dikategorikan sebagai alat pendidikan bias pula perbuatan kriminal, sehingga dapat memberikan pertimbangan untuk keputusan yang adil. Di samping kegunaan dan manfaat yang telah disebutkan, masih ada kegunaan yang lain yang tidak langsung dan tidak formal , misalnya untuk mengisi kebutuhan jurnal dan surat kabar, atau penerbit buku-buku hukum yang memerlukan naskah-naskah baru yang mencerahkan diperlukan oleh masyarakat pembaca di seluruh tanah air.
BAB II TINJAUAN TEORETIS TENTANG HUKUMAN FISIK
2.1 Tinjauan pustaka Hukuman fisik yang diakui secara universal, disebut bullying, hazing dan mobbning. Ada pengertian yang baku
saat ini. Bullying berasal dari bahasa
Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti ”banteng” setelah dipukul baru berjalan, senang menyeruduk kesana kemari menurut Sejiwa, 2008: 2. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif. Berbeda dengan negara lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang menyebutkan bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan. Sedangkan Schwartz dalam Sejiwa,2005:1, menyebut bullying dengan istilah victimization. Buhs 2006:2, menambahkan istilah peer exclusion dan victimization untuk menggambarkan perilaku bullying. Tattum dalam Smith, Pepler and Rigby, 2007: 5 memandang bahwa bullying adalah keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yaitu
7
orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan Djuwita ,2006: 2 bahwa bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan peristiwanya mungkin terjadi berulang. Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Sejiwa (2008: 1) yang menyatakan bahwa bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, untuk menunjukkan kekuasaannya. Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental. Bukhim ,2008: 1, mengatakan berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan anak ditengarai disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif. Sikap saling menghargai, menolong, berempati, jujur, lemah lembut dan sebagainya tidak jarang hilang dari pribadi anak. Sebaliknya, mereka justru akrab dengan hal-hal yang negatif seperti kekerasan, kebohongan, licik, egois dan sebagainya. Bukan berarti anak tidak tahu bahwa apa yang dilakukan salah tetapi pemahaman baik buruk anak masih mengacu pada suatu tingkah laku benar bila tidak dihukum dan salah bila dihukum dalam Monks, 2004: 200. Pemahaman anak yang berdasar perilaku baik bila tidak dihukum dan buruk dihukum termasuk dalam pemahaman moral yang pra-konvensional.
8
Hukuman fisik yang berkaitan dengan pendidikan menurut hukum Islam disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadits yaitu kata-kata , teguran keras. Biasanya bila menegur dengan keras tergadap anak yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini diterapkan pula oleh Rasulullah SAW saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!” Orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!” Setelah dua atau tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya,“Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” 5 Menghentikan perbuatan anak, jika anak ribut berbicara dalam pelajaran, bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah SAWpernah mengatakan pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau: “Hentikan sendawamu di hadapan kami!”
6
HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
Memalingkan wajah . ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya. Mendiamkan , boleh pula tidak berbicara dengan anak yang melakukan kesalahan seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah bersabda:
“Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.”7 Cercaan, jika anak melakukan dosa besar, boleh mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh., atau hukuman berupa duduk Qurfusha,
5
Hadits Riwayat Bukhari no. 6160 dan Muslim no.1322 Hadits Riwayat al-Tirmizi no.2478 7 Hadits Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007) hlm 790 6
9
yaitu duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki menempel di tanah dan paha menempel ke perut. Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha’ sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh lebih baik dari pada memukulnya dengan tangan atau tongkat. Pukulan ringan, bila metode lain tidak membuahkan hasil, boleh memukul dengan pukulan ringan, terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur sepuluh tahun. Rasulullah SAW bersabda:
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” 8 2.2 Perspektif teori Dalam perspektif teori ini, penulis membahas tentang hukuman fisik bagi anak-anak, di dalam UU Perlindungan Anak Indonesia(UU RI No. 23 tahun 2002) yang menyorot teori hukuman kekerasan dan teori hukuman fisik berdasarkan HAM internasional, ditinjau dari aspek Hukum Islam yang berdasarkan Al-Quran dan hadits. Kemudian digunakan analisis dan pendekatan psikologi hukum dan sosilogi hukum, yang terkait dengan kaedah ushul fiqih , tarikh al-tasyri’ dan maqashid al-syar’iyah. 2.2.1 Definisi hukuman kekerasan dan fisik. Definisi hukuman fisik atau hukuman yang mengandung kekerasan, menurut Blask (1951) kekerasan, violence, adalah pemakaian kekuatan, force, yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina. Kekuatan itu, biasanya kekuatan fisik, disalahgunakan terhadap hak-hak umum, terhadap aturan hukum dan kebebasan umum, sehingga bertentangan dengan 8
Hadits Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744, dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
10
hukum. Menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004, pasal 1 ayat (1), bahwa kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. Menurut KUHP, pasal 89, melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa sakit yang sangat. Melakukan kekerasan dapat disamakan dengan “membuat orang jadi pingsan dan tidak berdaya”. Kekerasan adalah aksi, agresi dan penyalahgunaan hak, abuse, yang merugikan, injurious, orang lain, materil dan imateril, sehingga merupakan tindakan kriminal. Kekerasan sering disebut sebagai penangkal rasa malu atau rasa terhina. Kekeliruan ungkapan ini yaitu bahwa kekerasan menjadi sumber kebanggaan dan usaha membela kehormatan. Kekerasan memang, tapi tidak selalu, merupakan perilaku menyimpang. Ada juga paham bahwa kekerasan itu sudah melekat pada kemanusiaan, dan dipegang sebagai pengekang diri, self restraint. Dalam studinya tentang penyebab kekerasan secara antropologis, James W.Prescott menemukan kaitan antara kurangnya kasih sayang ibu-anak dan represi seksual. Journal of Adolescent Health, 2003,mencatat kekerasan dalam pendidikan sebagai The Promotion of the Wrong Message, yang membahayakan, karena dipromosikan bahwa kekerasan boleh diterima dalam masyarakat. Promosi pesan yang keliru itu (a) mendorong pendidik memakai kekerasan mengikuti teladan para tokoh otoritas atau pengganti orangtua mereka yang memakai kekerasan itu; (b) mendukung orangtua dan pendidik menerapkan kekerasan sebagaimana dulu mereka
alami.
Bagi
mereka
Greydanus,Donald E., et al.,2003.
kekerasan
itu
sah-sah
saja,
menurut
11
Menurut Hyman,1976, hukuman fisik adalah bentuk resmi dari disiplin yang diterapkan di lingkungan keluarga dan sekolah. Masih dipertanyakan orang tentang efektivitas kekerasan untuk menghasilkan perubahan. Secara yuridis, tindakan kekerasan diselesaikan secara hukum, litigasi atau non-litigasi. Menurut pasal 1365 KUHPdt, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pasal 1366 menetapkan bahwa “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya.” Pasal 1367 menetapkan bahwa guru sekolah bertanggung-jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid selama waktu murid itu berada di bawah pengawasan mereka. Dave menceritakan bagaimana kisah-kisah kekerasan yang dialaminya semasa kecil telah membentuknya sebagai pribadi yang “pincang”. Kekeresan selalu “melahirkan kekerasan”. Disadari atau tidak apa yang dilakukan dalam pendidikan tradisional telah membentuk psikologi sosial masyarakat Indonesia yang saat ini masih banyak dengan tindakan kekerasan dalam komunitas sekolah seperti perilaku guru terhadap murid ataupun kakak kelas terhadap adik kelas (senior
dan
junior).
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain. Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan perintahperintah dan larangan. Yang terpenting adalah membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Masa depan suatu negeri ada ditangan anak-anak. Dan oleh karena itu peran orang tua dan
12
guru
sangat
besar
dalam
menciptakan
kepribadian
seorang
anak.
2.2.5 Hukuman fisik dalam konteks Indonesia Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjujunjung tinggi disiplin, hukuman fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau para pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah, ujar Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (3/5
2011). Pemegang otoritas pendidikan menetapkan suatu norma guna menata aksi
warga komunitas pendidikan agar kegiatan belajar-mengajar berlangsung tertib dan tenteram. Sebagai pendukung norma itu, ditetapkan juga sanksi. Kalau aksi mereka melanggar norma, maka sanksi diwujudkan menjadi hukuman kepada pelaku aksi melanggar norma. Jika hukuman itu lebih besar, lebih berat daripada sanksinya, atau tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, maka terjadilah kekerasan.Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat pendidikan dan hak azasi anak. "…pendidikan harus menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa menjadi beo atau bebek; anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri." 9 Seorang
9
"Karya Lengkap" Driyarkara, 2006 : 422
13
teman menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Dia anak seorang guru teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya semakin terwajarkan secara jender. Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun." Begitu ceritanya. Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya. Sekali lagi, yang terungkap dari ceritanya ialah mengenai kekerasan terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang yang telah dewasa. Di tengah budaya masyarakat tradisional Indonesia, hukuman fisik dianggap mujarab dalam mengarahkan tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan etika kebiasaan masyarakatnya. Dalam pengamatan penulis, sejarah pendidikan kolonial ikut pula terlibat dalam membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik, dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak. Melalui itu dipercaya bahwa perilaku positif anak saja yang akan terbentuk. Di Indonesia bagian timur, tipologi pendidikan warisan Belanda semacam ini bahkan masih aktif digunakan secara terbuka di tengah masyarakat. Di Papua bagian timur, ada aksi massal guru menghukum siswanya—berjumlah lebih kurang 20—dengan kayu rotan, yang dipukulkan secara bergilir di bagian punggung siswa. Sebuah pemandangan biasa di sekolah "orang timur". BAB
III
KONSEP DAN METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka konsep 10 10
Konsep adalah generaliasasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena dengan ciri atau kekhasan yang sama. Jadi konsep harus merupakan atribut dari berbagai kesamaan fenomena yang diamati. Jika orang berbeda
14
Jenis penelitian ini ialah penelitian dokumenter atau penelitian kepustakaan., penulis akan menggali berbagai informasi dari kitab suci dan berbagai buku yang terkait dengan masalah-masalah hukuman fisik. Penelitian hukum pada hakikatnya juga suatu upaya untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang benar mengenai hukum, yaitu pengetahuan yang dapat dipakai untuk menjawab atau memecahkan secara benar suatu masalah tentang hukum. Mencari dan menemukan itu, tentu saja ada caranya. Cara itu disebut metode, sedangkan perbincangan keilmuan tentang metode disebut metodologi. Metode adalah jalan yang menyatukan secara logis segala upaya untuk sampai kepada penemuan, pengetahuan dan pemahamannya tentang sesuatu yang dituju atau diarahkan secara tepat. Dalam pengertian metode yang demikian setiap metode selalu mengandung di dalamnya berbagai macam upaya, yang dalam istilah umum dikenal dengan sebutan cara atau teknik. Jadi di dalam metode tersimpan secara menyeluruh dalam suatu kesatuan logis segala macam cara yang dipergunakan. Cara ini merupakan langkah-langkah praktis untuk dilaksanakan di dalam kerangka metode yang bersangkutan, guna sampai kepada yang diinginkan untuk dicapai. Dengan demikian, research atau penelitian dalam bidang keilmuan hokum menyangkut dua hal, yaitu kegiatan itu sendiri yang harus teratur dan dalam prosedur tertentu dan hasil atau produk yang diharapkan dari kegitan itu, yaitu sebuah kebenaran keilmuan hukum. Hubungan antara prosedur dan out put ini sangat penting sekali dalam sebuah kegiatan penelitian hukum. 3.2
Sifat-Sifat Penelitian
pendapat mengenai rubrik- rubrik yang dibaca di koran, ada yang suka berita politik, olaharaga atau rubrik hiburan, pada dasarnya semua perbedaan kebiasaan membaca tersebut dapat dikonsepkan sebagai “kegemaran membaca koran”. Karena terdapat perbedaan- perbedaan dalam skala abtraksinya maka konsep memiliki tingkat generalisasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh konsep kepuasan pegawai akan lebih mudah diukur dibanding dengan konsep kesejahteraan pegawai. Konsep tingkat intensitas menonton televisi akan lebih mudah diukur dibanding dengan konsep kepuasaan menonton televisi. Konsep yang bersifat sangat abstrak disebut denganconstruct, sementara konsep yang empiris (yang dapat diamati, diukur) disebut dengan konsep.
15
Penelitian ini bersifat studi komparatif, yaitu perbandingan antara al-Qur’an, hadits dan UU.RI No. 23 Tahun 2002 ,tentang hukum pelarangan kekerasan. Apakah larangan ini berupa larangan berat, sangat keras, atau larangan ringan, haram mutlak atau makruh. 3.3 Analisis hasil penelitian Analisis hasil penelitian ini akan menguji konsep dan teori-teori yang relevan, berupa analisis 3.3.1 Psikologi hukum. 3.3.2
Historis, dalam kaitannya dengan tarikh tasyri’
3.3.3 Teks ayat, dalam kajian tafsir al-Quran. 3.3.4 Hermeneuitik.11 3.3.5 Sosiologis, berkaitan dengan sosiologi hukum. 3.2.6 Theologis, dalam artian adagium hukum dan ilmu ushul fiqih. Penelitian ini berupa penelitian di perpustakaan atau penelitian normatif atau dokumentasi (Library Research). Data-data yang dikumpulkan dianalisis dan dibahas, serta dikelompokkan sesuai dengan kriterianya masing-masing. Dalam penelitian ini akan digali berbagai informasi sesuai dengan karakteristiknya. Di antara kajian analisis itu yang paling banyak dilakukan adalah analisis teks ayat Al-Qur’an dan hadits. Penekanannya pada bahasa yang digunakan oleh ayat tersebut, apakah dapat dijadikan sebagai dasar pelarangan kekerasan, serta apa pula sebab-sebab ayat tersebut diturunkan dan bagaimana keadaan, masyarakat saat itu, apakah masih berlaku sampai saat ini? Dari perspektif-normatif hanya mempelajari law in the code books saja. Juga harus mengakui bahwa ada hukum rakyat tidak tertulis yang dinamakan hukum adat. Itulah awal mula mereka mulai mencoba mengonsepsikan hukum sebagai sesuatu yang eksis pula di luar buku, baik sebagai gedragsregels in de maatchappij (sebagaimana dikonsepsikan oleh Van Vollenhoven), maupun 11
H e r m e n e u t i k a d a p a t d i d e fi n i s i k a n s e c a r a l on g g a r s e b a g a i s u a t u t e or i a t a u f i l s a f a t interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan yangdiubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalan -persoalan hermeneutika.
16
sebagai
rechsbeslinssingen
door
de
rechtsfungsionarissen
(Sebagaimana
dikonsepsikan oleh Ter Haar). Hal yang disebut terakhir ini sebenarnya dekat sekali dengan apa yang telah dikonsepsikan di negara-negara bersistem common law sebagai the judge made laws. Bermula dari konsep yang tidak terlalu preskriptif-yuridis itulah, mulai berkembang kajian-kajian dan metode untuk mengkaji hukum yang bermula dari adat kebiasaan (dengan sifatnya yang normologik) atau hukum yang bermula dari putusan tokoh-tokoh pengadilan dalam masyarakat (dengan sifatnya yang normologik) atau hukum yang bermula dari putusan tokoh-tokoh pengadilan dalam masyarakat (dengan sifatnya yang sedikit banyak masih normologik), di Amerika Serikat yang bertradisi common law.
1.
Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah informasi yang tertulis yang memberikan
isyarat kepada pelarangan “memukul”, sebaliknya yang melegalkan hukuman fisik, hukuman sebagai objek kajian dalam kegiatan penelitian mempunyai banyak konsep atau definisi. Sesungguhnya tidak ada konsep tunggal tentang hukum.
Hukum
merupakan
realita
sosial-budaya,
yang
konstruksi
konsepsionalnya akan tersusun berbeda-beda dari perspektif yang satu ke perspektif yang lain. Seseorang yang meninjau hukum dari perspektif filsafat atau moral, misalnya tentu akan melihat hukum dalam manifestasinya yang lain daripada kalau melihatnya dari perspektif politik atau sosial. Adanya pluralitas konsep tentang hukum ini dapatlah dimengerti, mengingat kenyataannya bahwa hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu konsep yang sangat abstrak, sementara itu dalam realitanya, apa yang disebut hukum itu amat beragam. Menurut Wignjosoebroto,salah memilih cara penelitian atau pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu tidak laku lagi (tidak sahih) untuk menjawab masalah yang diajukan.
Peringatan tentang hal ini perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam
penelitian sosial dan lebih khusus lagi dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ini orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berujud materi yang empiris dan
17
kasad mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional. 3.4
Sumber Data
3.3.1 Bahan hukum primer 12 Bahan hukum primer, pada penelitian ini adalah dua kitab suci yaitu AlQur’an dan
hadits khususnya tentang masalah “Hukuman Fisik” Masalah
larangan, menurut UU No. 23 Tahun 2002 yang mungkin saja mendekatkan manusia kepada kekerasan khususnya memukul. Adapun bahan hukum primer ini yang sudah penulis miliki ialah Al-Qur’an cetakan Arab saudi dan Beirut, lengkap dengan terjemahannya tafsir dan asbabunnuzul-nya, kemudian kitab-kitab hadits. Ditambah dengan kriminologi sosiologi hukum dan kitab Udang-Undang Hukum Pidana serta UU No. 23 Tahun 2002. Data lainnya yang terkait dengan hukum primer ini adalah buku-buku perbandingan agama yang sudah popular antara lain, buku dari timur tengah terutama fiqih dan usul fiqih merupakan sumber utama untuk mengolah tulisan ini. Misalnya Al-Mustafa, oleh Al-Gazali. Al-Muwaqad, oleh Al- Syathiby. AlIkhkam fi Al-Ushul Al-Ahkam oleh Al –Amidy, ditambah dengan buku-buku tafsir Al-Qur’an dan tafsir hadits. Kebanyakan buku-buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi penulis dengan bermodalkan pengetahuan bahasa Arab yang pernah didapati di pesantren dan IAIN sebelumnya. 4 Bahan Hukum Sekunder 13 Bahan hukum sekunder penelitian ini ialah jurnal-jurnal hasil penelitian lainnya yang searah dan relevan dengan kajian yang sedang penulis tekuni. Pelacakan data awal, sudah penulis lakukan, misalnya buku-buku tentang analisis kekerasan terhadap
anak-anak.
Tentang
catatan
Komnas
Perlindungan
Anak
Indonesia(KPAI) mencatat, terdapat 1.998 pengaduan sepanjang tahun 2009. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2008, yaitu 1.736 pengaduan. 62,7%
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat PT.GrafindoPersada,(Jakarta,2006) hlm 29, ditambahkan bahwa, bahan / sumber primer juga, laporan penelitian,majalah, disertasi atau tesis, paten dan buku-buku. 13 Ibid, berisikan informsi tentang bahan primer, menakup : Abstrak, Index, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah dan bahan acuan lainnya.Lihat Amiruddin dan Zainal Hakim, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja Grafindo,2004) 97
18
di antaranya adalah kasus kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis. Buku-buku penunjang lainnya yang penulis pandang dapat memperjelas tentang nilai-nilai filosofis pelarangan pornografi pada anak-anak ialah buku patologi sosial, oleh Kartini Kartono yang memberikan informasi tentang agama dan adat istiadat yang sebenarnya mempunyai nilai pengontrol dan nilai sansional terhadap tingkah laku masyarakatnya. Prosedur untuk menemukan kebenaran hukum haruslah objektif, yaitu sebuah kegiatan yang terbuka dan dapat diulangi juga menemukan kebenaran hukum tersebut. Dalam penemuan kebenaran mungkin saja sebuah prosedur dirahasiakan, agar yang lain tidak dapat mendapatkan kebenaran tertentu, namun jika prosedur yang dirahasiakan itu dapat diterima oleh dunia ilmu (hukum) pada umumnya dan dapat diulangi serta menghasilkan kebenaran yang sama, sifat objektivitas prosedur keilmuan tetap terpenuhi. 14 Di sisi lain, dapat terjadi bahwa sebuah kebenaran telah ditemukan, namun seseorang tidak dapat menjelaskan prosedur penemuannya atau ternyata tidak dapat diulang kembali cara penemuannya. Maka, kegiatan yang demikian tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan penelitian dan mungkin hanya kegiatan coba-coba saja atau kebetulan tanpa adanya rencana atau maksud guna menemukan kebenaran tertentu. 5 Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier pada penelitian ini adalah kamus hukum, kamus agama dan ensiklopedi yang menerangkan tentang pengertian hukuman fisik, serta hukumhukum yang terkait, atau istilah-istilah lain yang selama ini kurang dikenal. Kemudian artikel-artikel yang terpilih dari surat kabar dan majalah Tempo, Forum Keadilan, Gatra dan Sabili. Di samping media cetak itu, penulis juga menggunakan media elektronik yaitu radio dan televisi, terutama internet. 6 Fokus penelitian Sesuai dengan disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum di dalam Al-Qur’an untuk mendapatkan ayat-ayat yang tepat yang memberikan
14
Ibid, h. 71
19
informasi tentang hukuman fisik penulis terlebih dahulu merancang beberapa hal, antara lain : 1.Tujuan Ayatnya yang jelas 2.Adanya keterkaitannya dengan pembahasan 3.Adanya metode pengambilan ayat yang tepat
Karena penelitian ini berupa studi teks atau normatif. Tentulah tidak memakai populasi dan sampel. Yang diandalkan ialah ketersediaannya bukubuku teks berupa tafsir ayat-ayat
Al-Qur’an yang benar-benar dapat dikaitkan
dengan hukuman fisik bagi anak-anak. 3.5 Analisis data15 Pengumpulan, pengolahan dan analisis data dalam mpenelitian ini, dilakukan secara terpadu, semenjak dari ……. Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Dengan demikian, teknik analisis data dapat diartikan sebagai cara melaksanakan analisis terhadap data, dengan tujuan mengolah data tersebut menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat datanya dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi data maupun untuk membuat induksi, atau menarik kesimpulan tentang karakteristik populasi (parameter) berdasarkan data yang diperoleh dari sampel (statistik)
15
Pada Penelitian Kuantitatif: Strategi Pendekatannya Deduktif-Verifikatif. Peneliti bertolak dari konsep-konsep tertentu dan landasan-landasan teori tertentu. Konsep-konsep tersebut diberi batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel, juga dirumuskan hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan logis-deduktif) dan batasan konsep/ variabel yang telah dirumuskan, kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkan ukuran dalam kenyataan empiris sekiranya hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.
20
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah,Dar Alam al-Kutub, 1412 H. Abdurrahman bin Sa’ad asy-Syatri, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa atTahrim, Dar al-Fadhilah, 1426 H. Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1416 H. Adz-Dzahabi, Siar A’lam an-Nubala, Muassasah ar-Risalah, 1412 H. Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu. An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Fikr. Bakar Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, Muassasah ar-Risalah, 1412 H. Manna’
al-Qaththan, at-Tasyri’
wa
al-Fiqh
fi
al-Islam
Tarikhan
wa
Manhajan, Maktabah Wahbah, 1422 H Rahman, Fazlur, “Islam: Challenges and Opportunities”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979. _____________, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993) Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika, 2003.
21
Soerjono Soekanto dkk) Penelitian Hukum Normatif ,Suatu Tinjauan Sinngkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.2006 Syamsudin
M.
Operasionalisasi
Penelitian
Hukum,
PT.
RajaGrafindo,
Jakarta.2007 sy-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafagat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz, Mesir: tnp., t.t.. Pearce, John.. Mengatasi Perilaku Buruk & Menanamkan Disiplin pada Anak. Jakarta: Arcan, 2000 Purwakania Hasan, Aliah B. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.2006 Purwandari, E. Kristi. . Mengungkap selubung kekerasan. Bandung Kepustakaan Eja Insani.,2004 Sarwono, Sarlito Wirawan..Psikologi Sosial (Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial).Jakarta: Balai Pustaka,2005 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Rahman, Jamal Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam Shomad, M. Idris A. 2002. Pendidikan Anak Dalam Rumah Tangga Islam. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,2002 Wilson. 2000. Pengujian Hipotesis dalam Gaya Pengasuhan Orang Tua (Tesis). Univeritas Padjajaran Bandung.