STRATEGI PENCEGAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: ALTERNATIF SOLUSI DALAM DIMENSI ELIT AGAMA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH Oleh: Nur Shofa Ulfiati Alamat: STAI Al-Yasini Jl. Pontren Terpadu Miftahul Ulum Al - Yasini Wonorejo, Pasuruan. Email:
[email protected] Abstrak Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) berlaku untuk menghapus segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun keberadaan UU PKDRT diharapkan dapat diminimalisir kekerasan dalam rumah tangga, namun kasus kekerasan dalam rumah tangga di tengah masyarakat terus meningkat. Sementara itu, keberadaan elite agama-agama yang menjadi agen perubahan moral diharapkan mampu memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang keharmonisan rumah tangga yang di dalamnya penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis, berupa kajian fenomenologis, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum elite agama-agama memandang kekerasan dalam rumah tangga merupakan sikap dan perilaku seseorang yang berada di luar batas kewajaran terhadap anggota rumah tangga. Elite agamaagama di Kota Malang terhadap UU PKDRT sangat mendukung dan menilai undang-undang tersebut sebagai sebuah terobosan hukum yang dipandang positif. Namun, keberadaan undang-undang tersebut tidak bisa diterapkan secara ekstrim, undang-undang tersebut tidak membuat masyarakat melek hukum, dan masih perlu disosialisasikan. Oleh karena itu, strategi mencegah dan mengatasi kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan cara memahamkan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya secara benar dan mendalam, nilai-nilai ajaran agama, seperti kasih sayang, persamaan, saling menghormati, saling menghargai, saling memahami, toleransi, serta sosialisasi dan komunikasi terhadap lingkungan dengan baik harus diterapkan dan dihayati bagi setiap orang dalam kehidupan rumah tangga. Abstract The Principle of law number 23/2004 on Domestic Violence wanted to reduce all forms of domestic violence. Although the existing of law number 23/2004 could minimize domestic violence, the cases of domestic violence in our society were still increasing. Meanwhile, the existing of the elites of religious scholars became agent of moral change. They could give comprehension to the society in maintenance of domestic harmonization. This study was categorized as sociological research with the phenomenological study and quantitative approaches. The result of the study showed that the elites of religious scholar generally had opinion the domestic violence was personal
attitude and behavior which contained violence the unacceptable limit. The elites of religious scholars in Malang City supported and appreciated the existing of Law Number 23/2004 positively. However, The Law Number 23/2004 could not be implemented extremely because it needed socialization for community awareness. Therefore, the strategic of preventing the domestic violence was to make people practice and understand of religion doctrine truly and deeply such as implementing affection, equality, respect, appreciation, mutual understanding, tolerance, socialization, effective communicationin their environment and domestic living. Kata kunci: elite agama, UU PKDRT, Kota Malang Pendahuluan Latar belakang diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya ditulis UU PKDRT) ini agar segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga dihapuskan. Dalam Pasal 1 (1) UU PKDRT menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.1 Ada pandangan di tengah masyarakat, jika mengungkapkan hal yang terjadi dalam rumah tangga merupakan suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, sehingga kasus kekerasan dalam rumah tangga cenderung ditutup-tutupi. Hal ini membuat korban senantiasa berada dalam kesedihan dan kesengsaraannya dengan memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis. Mereka membutuhkan bukan saja perlindungan sosial, tetapi juga perlindungan hukum. Lahirnya UU PKDRT diharapkan dapat meminimalisir tindak kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kenyataannya terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Fenomena yang tampak di permukaan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data dari Komnas Perempuan mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2005 meningkat dari tahun 2001 sebanyak 3.169, tahun 2002 sebanyak 5.163, tahun 2003 sebanyak 7.787, dan tahun 2004 sebanyak 13.968. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KNAP) membagi kekerasan terhadap perempuan berdasarkan tempat kejadian sepanjang tahun 2004, yaitu rumah tangga sebanyak 6.634 (47,3%), komunitas sebanyak 2.160 (17,6 %), oleh negara sebanyak 302 (2,1%), perdagangan manusia sebanyak 562 (4%).2 Pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditangani unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Malang, Jawa Timur masih minim. Kepala unit PPA Polresta Malang, Aiptu Ketut Mariati, Rabu (6/5), menyatakan bahwa minimnya berkas kasus KDRT yang masuk ke Polresta itu karena pada umumnya 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, Cemerlang. 2 Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 226
korban enggan melapor ke polisi. Selain itu, pihak kepolisian juga terkendala bukti dan saksi dalam kasus KDRT, serta hasil uji psikiater seringkali tidak membuktikan adanya tekanan terhadap korban. Ia mengakui, berkas kasus KDRT yang masuk ke Polresta Malang yang terdata di Pemerintah Kota Malang terpaut cukup jauh. Kasus KDRT yang ditangani PPA sejak tahun 2004 hingga 2009 hanya 272 kasus, sedangkan di Pemkot sudah mencapai 534 kasus mulai tahun 2006 hingga 2009. Budaya ketimuran masyarakat masih dipegang erat, sehingga ketika ada kasus KDRT korban memilih diam dan pasrah ketimbang melaporkannya ke polisi. Ia menegaskan bahwa kasus KDRT di Kota Malang didominasi oleh kasus yang dilakukan suami terhadap istri, yakni mencapai 256 kasus, istri terhadap suami ada 4 kasus, orang tua terhadap anak 7 kasus, anak terhadap orang tua 3 kasus dan kakak terhadap adik 3 kasus. Munculnya KDRT, sebagian besar dipicu oleh perbedaan prinsip pola pengaturan perekonomian dan pola asuh anak serta perselingkuhan yang dilakukan suami atau istri.3 UU PKDRT tersebut merupakan regulasi yang diberikan oleh negara agar dapat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. UU PKDRT juga tidak bertujuan untuk mendorong terjadinya perceraian. UU PKDRT justru bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku KDRT. Dalam kenyataannya kendatipun UU PKDRT telah diberlakukan kekerasan dalam rumah tangga masih terus terjadi.4 Atas dasar hal ini perlu dicarikan alternatif solusi agar kekerasan dalam rumah tangga dapat dicegah dan dapat mendukung keberadaan UU PKDRT. Tulisan ini berupaya menyajikan aternatif solusi yang dimaksud dalam dimensi elite agama di Kota Malang. Dalam hal ini, elite agama-agama adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus merangkap seorang akademisi. Sedangkan kekerasan dalam rumah tangga difokuskan terhadap kekerasan pada perempuan khususnya kekerasan terhadap istri. Larangan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Dimensi Agama Sebenarnya, agama merupakan basis utama dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, sehingga pemahaman terhadap keagamaan yang benar merupakan salah satu cara dalam mencegah terjadinya kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi dan kekuasaan pelaku terhadap korban yang terbentuk dari pola pikir dan pandangan hidup berdasar kebudayaan dan sistem nilai yang dijalankan. Meskipun agama bukan merupakan sebuah sistem nilai, namun ajaran-ajaran yang dikandungnya merasuk dalam hati dan pikiran pemeluknya untuk membangun sistem nilai tersendiri yang dipedomani dalam menjalankan kehidupannya. Karena itu, perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi dan disandarkan sepenuhnya kepada nilai-nilai budaya lokal maupun global, melainkan juga dipengaruhi oleh kepercayaan atau agama yang mereka anut.5 Oleh karena itu, cara ampuh mengatasi kekerasan dalam rumah tangga adalah menjadikan ajaran agama sebagai sumber nilai yang utama melalui langkah-langkah pendalaman dan pelaksanaan ajaran-ajarannya, khususnya ajaran tentang tata cara ideal hidup 3
Lihat http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=34181, diakses tanggal 10-Maret-2011, 4 Ruby Hadiarti Johny, “Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011, hlm. 228. Lihat juga Siti Ummu Adillah, “Analisis Penanganan Istri Sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Akibat Perlakuan Suami” Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. III No. 1 Maret 2008, hlm. 120. 5 Lihat www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php, diakses tgl 25 Maret, hlm. 20.
berkeluarga. Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, satu dari banyak kritik wacana keagamaan yang diperbincangkan belakangan ini adalah mengenai posisi kaum perempuan. Sebab, dalam kurun waktu yang sangat panjang posisi perempuan masih tetap tidak berubah. Mayoritas masyarakat masih memandang kaum perempuan sebagai makhluk Tuhan kelas dua di hadapan laki-laki. Kebudayaan patriarkhi (serba laki-laki) masih berlangsung secara massif. Akibatnya, mereka bukan saja tersubordinasi, tetapi juga terpinggirkan dalam proses kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tindak kekerasan terhadap perempuan juga berlangsung bukan hanya dalam ruang-ruang paling privasi atau rumah tangga, melainkan juga ruangruang publik. Disadari pula, ada realitas lain yang juga tidak mungkin dinafikan oleh siapapun, kaum perempuan semakin banyak yang tampil ke permukaan dan mengambil posisi kaum laki-laki. Kaum perempuan memegang posisi lebih tinggi dari laki-laki. Hanya saja, realitas ini dianggap tidak etis atas nama agama. Sebab, superioritas perempuan dianggap bertentangan dengan ajaran agama. 6 Semua agama bersikap kritis terhadap penggunaan kekerasan. Taoisme dan semua Konfusianisme mengenal kaidah kencana (golden rule), “apa yang tidak ingin dilakukan padamu, jangan lakukan pada orang lain”. Hal ini bukanlah seruan pada non-kekerasan tanpa syarat, tetapi seruan untuk mengatasi kekerasan.7 Demikian pula, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Rasulullah Saw. adalah teladan yang baik. Rasulullah Saw menjadi teladan dalam kehidupan berkeluarga, sehingga diharapkan tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Rasulullah Saw. mengasihi dan mengayomi jagat semesta. Rasulullah Saw. menyayangi anak-anak dan binatang. Rasulullah Saw berpihak kepada yang lemah. Rasulullah Saw. juga mengasihi dan menghormati kaum perempuan. Rasulullah Saw. membuktikan tindakannya di dalam keluarga maupun masyarakat. Di dalam rumah tangga, Rasulullah Saw. tidak mendudukkan dirinya bagaikan penguasa dan anggota keluarganya sebagai hamba. Rasulullah Saw. menjadikan semua bagian yang sama penting dari satu tubuh. Rasulullah Saw mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti menjahit baju yang sobek, jenis pekerjaan yang sampai saat ini masih dianggap tabu jika dilakukan lelaki. Rasulullah Saw. juga mengasuh anak, bahkan cucu-cucunya.8 Masyarakat diharapkan dapat mencontoh perilaku dan sikap Rasulullah Saw. dalam membina rumah tangga. Sebab, pada saat ini budaya patriarkhi masih cenderung mengakar kuat. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki sebagai akibat konstruksi sosial9 ini menempatkan suami sebagai seorang yang mempunyai kuasa yang lebih tinggi dari perempuan. Kenyataan ini akhirnya melahirkan diskriminasi jender atau ketidakadilan jender.10 Dalam melegitimasi sistem patriarkhi ini, kebanyakan kaum lelaki Muslim, terutama di kalangan para ulama, mereka mendasarkan beberapa ayat yang terdapat 6
hlm. 80.
7
Husein, Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2004),
Wim Beuken, Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.170. 8 Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga belajar dari kehidupan Rasulullah SAW, Cetakan Pertama, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm. 6. 9 Murfitriati, Isu Global Gender, (Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan BKkbn, 2009), hlm. 37. 10 Fathul Djannah dkk, Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 1718.
dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Ayat al-Quran yang menjadikan dasar dalam pemisahan tugas lelaki dan perempuan sebagai berikut, “… dan kaum laki-laki mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari mereka (kaum perempuan). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Baqarah (2): 228). Dalam hal ini, pada umumnya perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang lemah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Implikasinya, perempuan ditempatkan pada posisi yang rendah. Berabad-abad lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau agama-agama lainnya. Islam menganut teologi pembebasan dan anti diskriminasi, yakni pembebasan dari segala bentuk penindasan dan kekerasan serta diskriminasi, antara laki-laki dan perempuan. Spirit Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw ialah pembebasan perempuan dari berbagai ketidakadilan dan penindasan. Dalam pandangan Islam, lakilaki dan perempuan setara. Perempuan ialah mitra sejajar laki-laki, bukan subordinasi dari laki-laki. Jelasnya, ide normatif Islam membawa nilai-nilai keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, namun realitas menunjukkan sebaliknya. Patut disayangkan, saat ini persepsi dan perlakuan sebagian masyarakat Islam terhadap perempuan diwarnai oleh kultur lokal ketimbang Islam, sehingga risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan serta membebaskan mereka dari penindasan menjadi terhenti. Dalam kaitan ini, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa memposisikan keberadaan perempuan tidak sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi Muhammad Saw. Meskipun Nabi Muhammad Saw telah berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan gender equality, namun kultur masyarakat belum kondusif untuk mewujudkan hal itu.11 Salah satu cara dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga selain meneladani sikap dan perilaku Nabi Muhammad Saw., orang tua juga diharapkan menjadi suri teladan yang baik. Dalam keluarga, orang tua sebagai pendidik dan suri teladan memiliki peran yang strategis dalam meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga secara dini.12 Perilaku, pemahaman dan penalaran berfikir seseorang tidak bisa lepas dari latar belakang pendidikan dan ajaran agama. Melalui kemasan agama inilah tradisi tidak boleh diganggu gugat. Karena umumnya masyarakat berasumsi bahwa apapun yang dilegitimasi agama pasti benarnya dan tidak akan mungkin salah. Dalam gereja Katolik Roma, analisis melalui pendekatan kitab suci saja tidak cukup, pendekatan tradisi juga sangat penting karena Gereja Katolik sangat kuat dalam melanggengkan tradisi. Ketika teolog feminis, Elizabeth S. Fiorenza, menggunakan pendekatan historis untuk menganalisis wacana perempuan yang tersembunyi dalam kitab suci, dapat dilihat betapa luasnya wacana perempuan di dalamnya dan dapat menggugah setiap insan untuk memahaminya lebih detail.13 Bagian Alkitab yang sering dikutip oleh teolog feminis dan diklaim sebagai dasar teologi mereka, yang dikenal sebagai magna carta of humanity ialah Galatia 3:28 yang menyebutkan, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28 dipandang sebagai ayat yang 11
Nasaruddin Umar dalam La Jamaa dan Hadidjah, Hukum Islam & Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Surabaya: Bina Ilmu, 2008), hlm. 167-168. 12 Ibid., hlm. 176. 13 Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2006).
membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara tentang kesederajatan adalah: Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5; Ulangan 24:1-4; 1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita/dan pria memiliki status sosial yang sama; Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14; Nehemia 6:14, adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam kehidupan religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimanan. Sedangkan dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa wanita dan pria adalah makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.14 Kekerasaan dalam rumah tangga dalam konteks agama Kristen juga disebabkan oleh kurangnya memahami Alkitab sebagai ajaran yang cinta kasih, sehingga perlu reinterpretasi kembali tentang ajaran Kristen. Apabila agama Kristen dinyatakan sebagai agama yang menyampaikan pesan utama untuk saling mengasihi dan menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai hukum utama maka patut dipertanyakan mengapa kekerasan yang sangat bertentangan dengan cinta kasih tetap saja terjadi. Perlu disadari, pada mulanya Yesus memperkenalkan cinta kasih kepada manusia. Hal itu dilakukannya di tengah masyarakat Yahudi. Masyarakat Yahudi dikenal sangat patriarkal, yang salah satu doanya adalah ucapan syukur kepada Allah karena mereka (laki-laki) tidak diciptakan sebagai perempuan. Penuangan teks-teks Alkitab dari bentuk lisan ke dalam bentuk naskah-naskah asli yang secara berskala dilakukan kemudian, dikerjakan dan disusun para penulis (lakilaki) yang memiliki kerangka berpikir patriarkal. Teks-teks Alkitab diperkenalkan pada masyarakat, juga oleh badan misi yang alirannya sangat didominasi laki-laki.15 Dalam agama Budha kekerasan terhadap perempuan timbul karena adanya pandangan tentang perempuan dari sisi fisik. Perempuan mempunyai fisik yang lemah dibanding laki-laki. Akan tetapi, pandangan agama Buddha Mahayana melihat pada keagungan jiwa, bukan pada kekuatan fisik. Apabila konsep keagungan jiwa disadari oleh semua orang, maka kasus-kasus kekerasan, seperti pelecehan seksual, penganiayaan, penyiksaan, dan bentuk-bentuk lain, baik di dalam rumah tangga maupun di tempat kerja atau lingkungan masyarakat tidak akan terjadi.16 Untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga menurut ajaran Buddha, manusia harus meneladani sifat Dewi Welas Asih yang merupakan perwujudan sempurna kesetaraan kaum perempuan dengan lelaki. Karenanya amat pantas, Dewi Guan Yin ini menjadi teladan bagi segenap kaum perempuan dalam mewujudkan welas asihnya dan menolong sesama manusia yang diliputi kabut penderitaan. Begitu pula bagi kaum lelaki yang mau bebas dari kemelekatannya terhadap streotipe egoisme kelelakiannya, dapat belajar banyak dari sifat-sifat welas asih, kelembutan, dan tanpa kekerasan.17 Agama Hindu mengajarkan bahwa semua manusia diperlakukan sama di hadapan Hyang Widi atau Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Dharma baktinya. Bagi agama Hindu, di dalam rumah tangga pemeluknya harus memperlakukan sama pada setiap anggota keluarga. Segala bentuk kekerasan baik langsung maupun tidak 14
Lihat http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2003/Sebuah%20Tinjauan%20Terhadap%20 Teologis%20 Feminis%20Krsiten%20(Ing%20Sian).pdf, diakses pada tgl 29-03-11. 15 Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002), hlm. 179. 16 Zaitunah Subhan, Kekerasan ….. Op. Cit., hlm. 34-35. 17 Jo Priastana, Teladan Kesempurnaan Kesetaraan Perempuan dan Lelaki, dalam buku Buddhadharma dan Kesetaraan Gender, (Jakarta: Yasodhara Puteri, 2005), hlm. 171.
langsung, fisik maupun nonfisik, bertentangan dengan agama Hindu yang memiliki ajaran, “Tat Twamasi dan Ahimsa Karma Tat Twamasi”, Dia adalah aku, aku adalah dia”. Artinya, manusia hidup harus saling menyayangi dan menolong, tidak berbuat kekerasan kepada sesama dan seluruh isi alam.18 Tujuan hidup umat manusia menurut ajaran Hindu ada empat, yaitu Dharma, Arta, Kama dan Moksa, atas dasar itu seharusnya dalam kehidupan rumah tangga setiap anggota keluarga harus benar-benar dapat menghayatinya. Dharma adalah kebenaran, arta adalah kekayaan materi, kama adalah hawa nafsu, dan moksa adalah kebahagiaan sejati. Aspek-aspek orientasi tersebut akan dapat memberikan inspirasi kehidupan kepala keluarga dan meletakkan nilai-nilai duniawi dalam sebuah kerangka keagamaan yang sama dengan paham materialisme agama Weda yang dispritualisasikan. Pada zaman klasik, perempuan diharapkan dapat memberikan konstribusi melalui tingkah laku ideal mereka terhadap dharma, tata aturan keluarga, masyarakat dan alam; melalui peranan esensial mereka dalam memproduksi anakanak, mereka berjasa terhadap arta, atau kekayaan material dalam keluarga patriarkal; dan melalui estetika mereka terhadap kama, keinginan dan kenikmatan.19 Oleh karena itu, manusia hidup di dunia ini menurut agama Hindu ialah melaksanakan dharma, mengejar harta, menikmati kama, dan mencapai moksa. Strategi dalam Mencegah dan Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Elite Agama-Agama Kekerasan dalam lingkup rumah tangga dapat terjadi kepada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, maka perlu adanya pencegahan terhadap masalah tersebut. Pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga bersifat relatif dalam artian suami sebagai pelaku dan istri sebagai korbannya atau sebaliknya, bahkan anak pun dalam hal ini juga bisa sebagai pelaku kekerasan atau sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.20 Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah solusi yang dianggap strategis dalam mencegah dan mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat meminimalisasi potensi terjadinya kekerasan tersebut, yakni menerapkan nilai-nilai agama dan pendidikan agama, dan menciptakan kehangatan dalam rumah tangga. Pertama, menerapkan nilai-nilai agama dan pendidikan agama. Tokoh agama Islam Nur Khozin Askandar mengatakan bahwa untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, masing-masing anggota keluarga khususnya suami-istri harus menaati aturan-aturan agama. Dengan memahami nilai ajaran agama Islam yang terkandung dalam al-Quran dan Hadis, seseorang dapat menjadi pribadi yang berprilaku santun, saling melengkapi kekurangan pasangannya, saling melindungi dan menghagai pasangannya, serta hidup hamonis. Nur Khozin Askandar menyatakan bahwa strateginya harus melaksanakan ajaran Islam secara totalitas (kaffah). Selain itu, harus ada kematangan mental antara kedua pasangan. Sebab, prinsip Islam itu harus ada kesiapan sebelum menikah, sebagaimana dalam sebuah Hadis yang menyatakan bahwa seseorang yang mampu secara lahir dan batin dianjurkan untuk segera menikah, tetapi apabila belum mampu dianjurkan untuk 18
Zaitunah Subhan, Kekerasan ….. Loc. Cit. Katherine K. Young, Hinduisme, dalam buku Perempuan dalam Agama-Agama Dunia, (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project, 2002), hlm. 76. 20 Ruby Hadiarti Johny, “Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan” Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No. 2 Mei 2011, hlm. 228. 19
berpuasa. Banyak pasangan yang secara lahir mampu, namun secara batin atau mental masih belum mampu, akhirnya ketika ada permasalahan atau perselisihan dalam rumah tangga mereka tidak sanggup menghadapinya, ditambah lagi mereka juga tidak memahami ajaran Islam secara kaffah, sehingga timbullah kekerasan dan pemaksaan.21 Dengan bertambahnya usia seseorang kematangan emosi pun akan bertambah. Bila tidak seseorang tersebut sedang mengalami masalah kepribadian. Nur Khozin Askandar mengemukakan bahwa bertambahnya usia seseorang tidak menjadi patokan kematangan mental atau emosi seseorang, tetapi kebanyakan orang jika telah mencapai usia yang matang bagi pasangan yang ingin menikah dapat dipastikan mentalnya pun juga sudah benar-benar matang. Ketidakmatangan mental seseorang akan menjadi sumber utama kekerasan dalam rumah tangga karena seringkali membuat seseorang gagal dalam mengelola konflik. Tokoh agama Islam, Chamzawi menyatakan bahwa strategi dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga harus melalui pendidikan, terutama pendidikan agama Islam. Pasangan suami istri yang akan menikah ataupun baru menikah harus diberi penyuluhan tentang bagaimana membentuk keluarga yang harmonis menurut ajaran Islam. Melalui pendidikan, karakter seseorang akan terbentuk secara sempurna sehingga sifat dan perilakunya mencerminkan kehidupan pribadi Nabi Muhammad Saw. yang sangat sopan santun, rendah hati, saling ridho dan saling menyayangi. Ia menjelaskan bahwa pendidikan itu sangat penting, karena seseorang akan menjadi tahu tentang suatu hal melalui pendidikan. Memang ada dalam rumah tangga suatu permasalahan, tetapi itu semua harus disikapi dengan saling ridho dan memaafkan.22 Chamzawi menegaskan bahwa pertengkaran atau konflik yang terjadi dalam rumah tangga harus diselesaikan dengan cara santun, damai dan bukan dengan cara kekerasan, pendidikan bertujuan untuk menciptakan seseorang yang bermoral tinggi dan dapat memanusiakan manusia. Apabila ada orang yang berpendidikan tinggi setingkat sarjana S3 sekalipun, tetapi jika dalam rumah tangganya sering mengalami percekcokan hingga sampai terjadi kekerasan maka tujuan dari pendidikan bisa dikatakan gagal, sebab budaya kekerasan ialah seperti budaya orang-orang yang tidak berpendidikan. Kedua, menciptakan kehangatan dalam rumah tangga. Menciptakan kehangatan dalam rumah tangga terhadap semua anggota keluarga adalah kunci mencegah dan mengatasi agar tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, kehangatan tersebut dalam bentuk kasih sayang terhadap istri dan anak-anak serta seluruh anggota rumah tangga. Piet Go O. Carm mengemukakan bahwa hidup dengan damai tanpa kekerasan merupakan tujuan setiap manusia. Apabila manusia ingin hidup dengan damai maka tinggalkanlah sikap atau perilaku kekerasan karena hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk memecahkan konflik secara permanen. Jika tujuan hidup seseorang adalah kedamaian maka caranya menghindari kekerasan karena ada hubungan yang sama antara cara dan tujuan seperti halnya benih dan pohon. Ia menjelaskan bahwa jika ingin rumah tangganya hidup dengan damai maka harus membiasakan diri memecahkan persoalan dengan damai, jadi menghindari kekerasan kepada siapapun, di mana pun karena alasan apapun. Hiduplah dengan penuh kasih sayang, saling menghormati, memahami dan mengapresiasi setiap orang di lingkungan kita maka orang yang terdekat dengan kita tidak mungkin akan melakukan kekerasan kepada kita. Apabila dalam rumah tangga masalah ekonomi 21 22
Wawancara dengan Bapak Nur Khozin Askandar di Tlogo Mas, tanggal 12 April 2011. Wawancara dengan Bapak Chamzawi di Dinoyo, tanggal 27 April 2011.
yang menjadi penyebab dari kekerasan tersebut maka secara ekonomi berusahalah untuk mandiri sehingga tidak tergantung pada siapapun, sebab dengan meniadakan penyebab berarti juga mencegah terjadinya KDRT.23 Dalam rangka mempraktekkan hidup tanpa kekerasan agar efektif dalam rumah tangga ketika memecahkan konflik, Piet Go O. Carm berpendapat bahwa pertama-tama harus dapat mengubah kebiasaan cara berpikir yang menghasilkan reaksi untuk melakukan kekerasan, misalnya ketika sedang marah rasanya ingin memukul maka harus diubah caranya bisa bersikap saling memahami dan menghormati seseorang. Hal inilah yang harus ditekankan melalui pendidikan kepada anak-anak dan menghidupi hidup dengan tanpa kekerasan sebagai teladan bagi anakanak kita. Jika keluarga-keluarga dibentuk dari fondasi keinklusivan, saling menghormati dan memahami, prinsip itu akan akan menjadikan hidup penuh dengan kedamaian. Hariono menjelaskan bahwa cinta kasih yang universal merupakan ketenangan jiwa dan pikiran sehingga dapat hidup dengan damai tanpa kekerasan. Sesungguhnya hidup tanpa kekerasan tidak hanya sekedar menahan diri dari kekerasan fisik aktif seperti memukul, menampar, dan sebagainya, namun juga menghindari dari kekerasan pasif seperti psikis dan mental. Konsep hidup tanpa kekerasan inilah yang di dalamnya penuh dengan cinta, sehingga dapat dijadikan suatu filosofi personal dan way of life yang harus diterapkan pada setiap bidang kehidupan dan pada setiap level (individu, keluarga, komunitas, tempat kerja dan politik).24 Penutup Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga menurut pandangan elite agama-agama berbeda-beda. Namun, semua elite agama-agama sangat mendukung dan menilai undang-undang tersebut sebagai sebuah terobosan hukum yang dipandang positif. Akan tetapi, menurut elite agamaagama, keberadaan undang-undang itu tidak bisa diterapkan secara ekstrim, undangundang tidak membuat masyarakat melek hukum, dan masih perlu sosialisasi. Sedangkan strategi mencegah dan mengatasi kekerasan dalam rumah tangga menurut elite agama adalah memahamkan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya secara benar dan mendalam, nilai-nilai ajaran agama dan menciptakan kehangatan dalam rumah tangga, seperti kasih sayang, persamaan, saling menghormati, saling menghargai, saling memahami, toleransi, sosialisasi dan komunikasi terhadap lingkungan dengan baik, harus diterapkan dan dihayati bagi setiap orang dalam kehidupan rumah tangga. Agar dapat memahami nilai-nilai agama diatas tersebut diperlukan pembinaan, pelatihan dan pendampingan terhadap setiap rumah tangga yang dilaksanakan oleh elite agama. Daftar Pustaka Aflah, “ Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Kesetaraan Jender” Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu Vol. 5 No. 1 Juni 2012. 23
Wawancara dengan Bapak Piet Go O. Carm di Bukit Dieng, tanggal 19 April 2011. Siti Ummu Adillah, “Analisis Penanganan Istri Sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Akibat Perlakuan Suami” Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol III No 1 Maret 2008, hlm. 123. 24
Faqihuddin Abdul Qadir dan Ummu Azizah Mukarnawati. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: Komnas Perempuan. Farha Ciciek. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga belajar dari kehidupan Rasulullah SAW. Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender. Fathul Djannah dkk. 2007. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: LKiS. Jo Priastana. 2005. Buddhadharma dan Kesetaraan Gender. Jakarta: Yasodhara Puteri. Katherine K. Young. 2002. Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia. Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project. Komnas Perempuan. 2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan. La Jamaa dan Hadidjah. 2008. Hukum Islam & Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Surabaya: Bina Ilmu. Murfitriati. 2009. Isu Global Gender. Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan BKkbn. Ruby Hadiarti Johny, “Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan” Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No. 2 Mei 2011. Romany Sihite. 2007. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Siti Ummu Adillah, “Analisis Penanganan Istri Sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Akibat Perlakuan Suami” Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol III No 1 Maret 2008. Wim Beuken. 2003. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zaitunah Subhan. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: LKiS.