PERGUMULAN NALAR DAN RASA : REKOLEKSI INGATAN DAN REFLEKSI PENGALAMAN ATAS PERISTIWA G. 30. S / PKI
Oleh : Nani Nurrachman – Sutojo
Pengantar : Bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk membuat makalah seperti yang dimintakan oleh panitia dengan fokus pada ketiga butir pertanyaan seperti diajukan. Berlalunya waktu, proses perkembangan diri yang selama ini dijalani, berbagai perubahan dan konflik sosial politik kemasyarakatan, pergantian generasi dengan pola kehidupan keluarga yang berubah serta pengalaman professional saya sebagai psikolog, kesemuanya mempengaruhi rekoleksi ingatan dan refleksi pengalaman atas peristiwa G30S / PKI. Tidaklah pula mudah untuk memilah-milah mana perasaan pribadi yang paling terenyuh dan mana pemaknaan tragedi yang paling terpateri dalam diri. Sebagai manusia yang terdiri dari dimensi nalar dan rasa yang terpadu dalam dirinya, saya sadar bahwa kehormatan diri pribadi (self dignity), baik sebagai korban maupun sebagai anak keturunan, jangan sampai terkorbankan. Harkat dan martabat kita sebagai manusia terletak pada keseimbangan kedua dimensi tersebut secara terpadu.. Kedua dimensi ini tidaklah mudah untuk saya jembatani karena keterlibatan saya dalam proses kejiwaan saya sendiri sebagai akibat peristiwa tersebut dan sekaligus upaya untuk keluar dari pergumulan nalar dan rasa untuk mencapai suatu makna dalam menjalani kehidupan ini . Kesadaran dan kejujuran terhadap perbedaan posisi ini membawa kepada kemungkinan kaburnya batas rasionalitas dengan emosionalitas dengan upaya untuk berbicara secara lugas.Dalam hal ini saya haruslah sadar keluar dari ambivalensi yang sering dikenakan pada sejarah : sejarah – sebagaimana – ia – terjadi dan sejarah – sebagaimana – ia – diceritakan. Hingga kini ambivalensi sejarah G30S / PKI masih dalam perdebatan terbuka guna ‘ diluruskan ‘ . Biarlah pelurusan ini terus diupayakan. Bagi saya yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bagaimana pergumulan seseorang dengan nasibnya , dengan dunianya. Suatu tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dapat dimenangkan.Tragedi tidak akan pernah berlalu karena peristiwanya selalu diingat tetapi dapat berkembang menjadi hikmah yang dapat ditemukan dari perspektif waktu yang tepat. Rasa sakit (pain) dan penderitaan seorang tidak dapat dibandingkan apalagi dipertukarkan dengan penderitaan orang lain, tetapi hanya dapat ditemukan maknanya jika yang mengalami dapat memberi arti demikian bagi hidupnya. Semua yang terlibat, baik sebagai pelaku, korban, bahkan pelengkap penyerta dan sebagai ‘ penonton’ sekalipun telah berbuat sesuatu pada saat itu dan waktu kemudiannya. Siapakah yang salah dan siapakah yang benar ; siapakah yang menang dan siapakah yang kalah ? Ini adalah penilaian historis. Tetapi adalah sah juga untuk bertanya : siapakah yang menjadi korban dan siapakah yang menderita ? Semua, karena semua dan setiap orang yang termasuk dalam kategori yang terlibat tadi harus bergumul dengan pikiran
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
1
dan perasaannnya ; harus bergumul dengan nasib dan lingkungannya ; tetapi harus pula bergumul dengan penilaian sejarah. Ini adalah penilaian moral. Manusia selalu bersifat historis. Perubahan sosial politik yang terjadi pada saat itu dan sesudahnya hingga saat ini akan mempengaruhi moral penilaian terhadap sejarah ini. Disinilah letak tragisnya kehidupan kami-kami ini yang dapat dipakai sebagai cerminan sejarah bangsa kita, karena kehidupan kamikami ini merupakan mata rantai dari rangkaian perjalanan sejarah bangsa. Pencarian nilai moral dari suatu tragedi merupakan kecenderungan universal dari mana renungan terhadap trauma tragedi itulah harkat kemanusiaan yang sesungguhnya lebih mungkin untuk diangkat dan dirumuskan. Saya selalu ingat pada apa yang sering diucapkan oleh salah seorang gurubesar saya yakni Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso yang mengatakan ….’society to endure as a society is a moral issue of the first rank’. Rekoleksi dan refleksi : Apa yang saya uraikan pada bagian ini hanya akan terdiri dari beberapa cuplikan pengalaman yang saya lalui sejak terjadinya peristiwa tersebut , yang meninggalkan kesan yang amat mendalam dan sukar untuk dihapuskan begitu saja dari pikiran sekalipun dengan telah berlalunya waktu sepanjang kurang lebih 35 tahun.Beberapa cuplikan ini saya pilih karena kemungkinan kesinambungannya dan relevansinya dengan perjalanan sejarah kita sebagai bangsa pada saat ini, dengan suatu harapan pula bahwa kita memang dapat belajar dari sejarah kita sendiri. Reaksi akut pertama yang timbul ketika diberitahu tentang terbunuh dan terbongkarnya jenazah para pahlawan revolusi adalah reaksi ‘loss of trust’ terhadap orang,sekalipun sudah lama dikenal. Perasaan dikhianati oleh orangorang yang selama itu dikenal dan suka bergaul menyebabkan pula timbulnya rasa ‘ alone and lonely’ dan sikap defensif dan kadangkala curiga akan maksud orang mendekati . Selanjutnya kondisi ini menimbulkan tembok pembatas antara saya dan dunia luar yang saya anggap banyak mengandung ancaman selama bertahun-tahun kemudian. Kehidupan afek terasa tumpul karena berusaha menghindar dari persentuhan dengan lingkungan yang masih saya jauhi dan curigai. Sebaliknya kehidupan mental tidak pernah berhenti dengan mempertanyakan dan membayangkan berbagai hal tentang manusia, kekejaman, politik, kekuasaan di satu pihak dengan kehidupan dunia keluarga dan anak-anak di pihak lain. Saya mempertanyakan bagaimana manusia bisa bertindak sekejam itu : memporak – porandakan kehidupan suatu keluarga menjelang subuh ketika manusianya masih lelap tertidur tetapi kemudian dibangunkan untuk diculik dengan cara-cara yang tidak ksatria. Pada saat yang sama saya mencoba membayangkan bagaimana ayah saya menghadapi para penculiknya sepanjang perjalanan ke Lubang Buaya hingga saat gugurnya. Almarhum suka menyitir sejarahwan Inggris Sir Thomas Carlyle ‘….. the question is not how to die honorably but how to live manfully ‘. Sitiran ini kemudian menjadi bayangan kenangan saya tentang ayah dalam menghadapi kematiannya : gugur disiksa untuk kemudian jenazahnya dicampakkan ke dalam sumur bersama jenazah - jenazah lainnya. Bersama dengan jenazah para pahlawan lainnya ia dimakamkan dengan penuh penghormatan tetapi he did not die in an honorable way. But did he lived manfully – secara kstaria ? Saya asumsikan demikian, karena ditengah-tengah suasana sosial ekonomi politik tahun 60-an almarhum terlibat dalam pelaksanaan ‘ Operasi Budhi’ yang bertujuan menyelidiki penyimpangan ataupun manipulasi keuangan perusahaanperusahaan pemerintah, berani berbicara di depan organisasi Serikat Buruh
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
2
Kereta Api yang berafiliasi kepada PKI, memberikan ekspose tentang komunisme di depan SESKOAD satu dua hari sebelum kejadian itu. Cuplikan inilah yang pada akhirnya membawa saya kepada pengertian dan pemahaman tentang karakter manusia secara riel. Pengertian dan pemahaman ini boleh jadi mendapat konfirmasi dan penguatan dari suasana pasca kematian John Kennedy serta perjuangan (dan kemudian kematian pula) dari Martin Luther King dan Robert Kennedy di Amerika Serikat. Sampai beberapa waktu penghormatan masyarakat masih berjalan namun menyurut dengan berlalunya waktu. Hidup mulai berjalan kembali bahkan memberikan tanda-tanda kehidupan yang meningkat secara material. Perubahan fisik material yang cepat ternyata tetap tidak dapat menghilangkan luka-luka trauma. Apa yang disebut sebagai upaya pendampingan yang kita kenal dan jumpai pada akhir-akhir ini tidak ada ketika itu. Kondisi kesenjangan nalar dan rasa yang dirasakan dalam diri ini kemudian membuahkan pertanyaan : lalu apa artinya kematian ini semua bagi saya sebagai anak – anak ? Apa artinya kehidupan ? Memang betul apa yang dikatakan dalam buku-buku psikologi bahwa ‘….. the process of grieving and mourning of a child begins when the grieving and mourning of the adults end as life begins to start again as usual ‘.Apa yang saya ingat adalah setiap kali saya bertanya tentang hal-hal yang saya sebutkan dalam uraian di atas cenderung dijawab oleh orang-orang dewasa / tua yang saya jumpai dengan kata-kata ‘ ….. sudahlah jangan berpikir yang tidak-tidak, kamu masih muda, tidak baik berpikir begitu’. Sejak kapan pikiran tentang kejadian traumatis, dari anak sekalipun dapat dibatasi dan diatur kapan sebaiknya diutarakan ? Lalu kepada siapa saya bisa bertanya ? Kepada orang lain, psikolog sekalipun, saya belum bisa percaya : bukan profesinya tetapi lebih-lebih pribadinya. Dari sikap-sikap yang demikianlah saya kemudian membuat pandangan bahwa jangankan lembaga, keluarga dalam masyarakat-pun belum siap dan tidak mempunyai sumber untuk mengembangkan kesadaran dan memberikan bantuan untuk pemulihan pasca trauma seperti yang terjadi di Amerika dengan pasca perang Vietnamnya. Mungkin belum (tidak ?) disadari bahwa kehidupan pasca trauma dalam keluarga dapat mengakibatkan dysfunctional family life. Apa yang bisa memberikan kompensasi dalam menjalani kehidupan pada masa-masa itu adalah dengan membaca buku The Diary of Anne Frank.Cuplikan ini memberikan pengalaman bahwa efek dari suatu pengalaman traumatic dalam jangka panjang akan dapat memberikan imbasnya kepada masyarakat. Oleh karena itu suatu psikologi pasca trauma diperlukan dalam menghadapi peristiwa apa saja yang bersifat traumatik dalam masyarakat tersebut.. Awal hingga pertengahan tahun 80-an ketika berada di Amerika Serikat merupakan periode pengembangan wawasan yang relatif intens. Tetangga sebelah yang adalah juga pemilik rumah yang kami sewa adalah korban holocaust PD II. Berbicara dengan dia seolah bercermin pada penderitaan diri sendiri yang sadar tidak perlu di kasihani dan meminta belas kasihan orang, apalagi memakai nama orangtua yang pahlawan sebagai akses. Dia bisa keluar dari kamp konsentrasi dan kemudian kehilangan suami dan anak laki satu-satunya sambil menjalani dan menikmati sisa-sisa hidupnya dengan realita yang ada. Tato nomer yang ada di lengannya menimbulkan kejutan bahwa suatu saat bisa saja kita sebagai manusia hanyalah nomer tanpa nama. Apalah artinya apa yang saya alami dengan apa yang dia telah lalui ? Di sini saya bisa menimba adanya makna dibalik penderitaan. Ada suatu kekuatan diluar ketahanan fisik dan mental psikologis seseorang yang bisa membawanya keluar dari perangkap-perangkap penderitaan. Selain itu endurance dan survival sangatlah tergantung pada diri kita sendiri. Sejalan dengan ini, suasana
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
3
peringatan berakhirnya PD II cukup banyak diisi dengan publikasi dan penayangan dokumentasi terhadap korban-korban yang saya perhatikan dengan sungguh-sungguh. Penampilan Elie Wiesel sebagai korban tetapi sekaligus guru telah memberikan kenyataan pada saya bahwa seseorang dapatlah berkembang menjadi diri pribadi yang utuh dari reruntuhan kemanusiaan tanpa perlu menampilkan sikap amarah dan dendam terhadap mereka yang membuatnya menderita, sekalipun amat sulit untuk melupakan semuanya. Cuplikan ini memberikan pengalaman bahwa adalah suatu hal yang mungkin untuk membangun diri kembali baik sebagai individu maupun sebagai kelompok bangsa sekalipun pada suatu saat yang lampau terjadi kekejaman dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Cuplikan terakhir yang bisa saya sampaikan di sini adalah pengalaman dengan anak saya sendiri, beberapa bulan sekembalinya di tanah air dari Amerika Serikat pada tahun 1986. Dalam usia kurang lebih 8 tahun ia menyaksikan film G30S / PKI yang selalu ditayangkan setiap tanggal 30 September.Ia melihatnya sampai selesai .Begitu selesai ia kemudian bertanya : ‘….. Ma, what is a communist ? Was it them who killed Eyang Toyo ? ‘ Untuk beberapa saat saya terhenyak karena tidak mengira pertanyaan semacam itu akan keluar dari dirinya. Saat itu pula hati nurani saya terusik, merasa digugah dan digugat. Bagi anak dengan usia ini tentu diperlukan jawaban yang sesuai dengan kemampuan penalaran dan daya tangkapnya. Bukan itu saja, tetapi pandangan tentang dunia manusia belum mencapai taraf gambaran yang mempunyai banyak nuansa abu-abu daripada sekedar hitam putih saja ; lebih kompleks daipada pembagian manusia kedalam ‘… the good and the bad guys’. Lagipula mengingat kemampuannya pada usia itu masih menjadi pertanyaan bagi diri saya sendiri apa yang dimaksudkan olehnya : orang komunis atau ideology komunis .Bagi diri saya sendiri apa hak dan tanggung jawab saya untuk mengatakan bahwa yang salah atau yang jahat adalah si Anu dan si Ini ataupun si Itu secara konkrit kepada anak saya ? Tiba-tiba naluri keibuan saya merasa bahwa apapun yang saya katakan dan bagaimana sikap saya terhadap peristiwa ini akan memberikan pengaruh tertentu atas perjalanan hidupnya kelak dan berimbas kepada masyarakat sekelilingnya . Tergiang perkataan gurubesar yang saya sitir di atas dan seketika saya sadar bahwa saya mempunyai tanggung jawab moral dalam melangsungkan kehidupan masyarakat tanpa menurunkan rasa benci dan dendam. Dengan bersikap benci, marah dan dendam maka kita menempatkan diri kita setara dengan apa yang telah diperbuat oleh mereka yang menyiksa dan membunuh ayah saya. Jawaban yang saya berikan tidaklah langsung menjawab pertanyaan. Saya katakan adalah terlalu sukar bagi saya untuk menjawabnya ketika itu karena memerlukan penjelasan yang panjang dan mungkin masih sukar untuk dipahami ; saya ibaratkan pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan matematik bagi murid kelas 5 atau 6 sedangkan dia masih di kelas 2 SD. Saya berjanji saya akan menjawabnya suatu waktu. (Saya sempat tertawa kecil dengan membayangkan apa kira-kira yang dapat diberikan sebagai jawaban oleh penatar P4 - lalu bagaimana kira-kira reaksi anak saya) . Waktu yang saya janjikan akhirnya tiba pada tahun 1991 ketika tembok Berlin runtuh dan terjadinya coup d’etat atas Gorbachev. Ketika itu kami sekeluarga berada di Belgia,sehingga dapat menontonnya lewat layar TV . Sekitar waktu itu pula, sempat ditayangkan kembali film JFK yang disutradarai oleh Oliver Stone lewat TV pula. Dari semua inilah saya memberikan gambaran tentang kehidupan politik, karakter manusia, dalam konteks sejarah. Selanjutnya saya mengatakan bahwa sejarah itu multidimensional , bisa dilihat dari berbagai macam perspektif. Untuk ini kita harus bersikap berani terhadap
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
4
ketakutan kita sendiri atas berbagai persepektif yang bisa saja dilontarkan oleh berbagai pihak, sekalipun kita berpegang dan percaya pada satu versi saja. Ada juga kemungkinan bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan gambaran yang utuh dan lengkap mengapa, apa sebab dan bagaimana suatu kejadian dapat terjadi. Selalu akan ada sisi gelap yang tidak dapat terungkit dan tetap meninggalkan pertanyaan untuk diperdebatkan sebagaimana kasus pembunuhan John Kennedy. Yang lebih penting untuk diketahui adalah karakter macam apa yang ditampilkan oleh para pelakunya ; bagaimana mereka bisa dilihat sebagai pahlawan atau pengkhianat tetapi bagaimana juga mereka tetap bisa dilihat sebagai manusia biasa ; pelajaran apa yang bisa dipetik bagi kehidupan kita sebagai pribadi. Kesadaran kesejarahan inilah yang saya lihat tidak dimiliki dan dikembangkan oleh kita sebagai bangsa. Untuk pertama kalinya pada tahun 1987 saya berani melangkahkan kaki ke Lubang Buaya menghadiri upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan setelah itu menengok sumur namun masih dalam jarak tertentu. Selama itu saya merasa takut untuk datang, tetapi setelah kejadian pertanyaan anak saya, saya sadar bahwa saya harus menyelesaikan pasca trauma beserta efeknya bilamana saya ingin memberikan persiapan kehidupan yang wajar kepada anak-anak dan memperbaiki pandangan tentang dunia manusia dengan segala realita kebaikan dan keburukannya. Monumen yang berdiri tegak dalam suatu area yang telah dibersihkan dari kegelapan perkebunan yang tadinya ada seolah menghapuskan bayangan kekejaman yang telah dilakukan - sekalipun ada diorama yang menggambarkan penyiksaan terhadap para korban (namun patung diorama tersebut dibuat terlalu kaku). Bagi mereka yang hidup pada masa tahun ’65 tersebut saya percaya masih dapat menangkap nuansa yang terjadi. Tetapi bagaimana dengan generasi berikutnya ? Saya hanya dapat berpikir mengapa area ini tidak dibiarkan saja seperti adanya ? Pelestarian dapat menggugah afek orang yang melihatnya – sebagai bukti nyata serta sekaligus symbol bahwa manusia dapat berlaku kejam terhadap sesamanya. Sebagai manusia kita harus berani menatap muka kita sendiri akan potensi kekejaman yang ada pada diri kita agar kita sadar dan berupaya untuk menghindar dari berbuat kejam. Rasa sedih, prihatin dan was-was pun masih suka menyelinap di hati terutama bila dalam upacara peringatan tersebut tiba pada acara pembacaan ikrar atau pernyataan di mana didalamnya kurang lebih ada ungkapan ‘…. maka di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kami yang melakukan upacara ini menyatakan … ‘ dan seterusnya berisi pernyataan untuk tidak terulangnya kembali peristiwa tersebut. Doapun saya ucapkan dalam hati ‘…. Ya Allah ampunilah kami dan sadarkanlah atas apa yang kami nyatakan pada saat ini ‘. Ironis rasanya mendengar pernyataan tersebut dan membandingkan dengan realitas sosial ekonomi politik yang dirasakan dengan ingatan tentang terjadinya peristiwa ’65 di mana fitnah yang ditujukan kepada para korban adalah ‘ ….. para jenderal ini telah berfoya-foya di atas kemelaratan rakyat dan mempermainkan kaum perempuan ‘. Bagi saya upacara adalah suatu bentuk ritual. Yang lebih penting adalah menghayati esensi makna yang muncul dari peristiwa tersebut. Hingga saat ini keluarga para pahlawan yang ditinggalkan masih setia untuk datang menghadiri peringatan tersebut.Yang berganti adalah undangan lainnya, tokohtokoh pemerintahan yang belum tentu mengalami kejadian itu secara langsung ataupun dari dekat dan mempunyai penghayatan yang berbeda dengan keluarga korban .Selanjutnya adalah sejarah itu sendiri yang akan menuliskannya.
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
5
Penutup Sebagai penutup saya ingin mengutip suatu analisis sekunder yang dilakukan oleh Tong terhadap novel ‘The Sunflower’ karangan Simon Wiesenthal yang dianalisis oleh Noddings (Tong, tahun ?). Dalam novel tersebut diceritakan tentang seorang Yahudi yang tidak lain adalah Simon sendiri yang datang ke pembaringan seorang Nazi yang sedang menghadapi kematiannya. Merasa amat bersalah orang Nazi ini meminta dengan sangat agar Simon dapat memaafkan dirinya. Untuk beberapa saat Simon bergumul dengan perasaan benci dan iba dalam dirinya tetapi kemudian meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan kata sepatahpun. Di sini Simon mengajak para pembaca untuk melihat ke dalam ‘soul’ masing-masing dan menjawab pertanyaan : apa yang anda akan lakukan bilamana berada di tempat saya ? Noddings kemudian mengatakan :‘….. Haunted by the memory of his choice, Simon asks us to struggle with the limits and requirements of forgiveness. Selanjutnya Tong menulis : As Noddings saw it, because Simon viewed himself symbolically as a representative of the Jewish people, he could not see the situation that confronted him relationally, a state affairs involving one identifiable human being seeking forgiveness from another identifiable human being.Seeing each other and ourselves as symbols is part of what sustains our capacity to inflict suffering.Simon’s rejection of the Nazi’s pleas for forgiveness only compounded suffering and evil. Indeed, according to Noddings, Simon could combat the evil in the world only through genuine forgiveness of the Nazi. If we forgive someone not because we empathize with his suffering but because some sort of God-imposed duty,for example , requires us to do so, our action is improperly motivated. We seek to maintain our relationship with God rather than with the human being Before us,viewing him as a morally inferior version of ourselves.Had Simon forgiven the Nazi simply because it was his duty to do so,he would not have overcome the fundamental separation within himself that leads to evils such as the Holocaust . The Nazi sought absolution from Simon in particular and not from the Jews in general precisely because he wanted to establish a one-to-one relation with Simon : He needed a genuine human response .In Noddings’s estimation, even if Simon could only have yelled, wept or screamed at the Nazi, a relation of sorts might have been established. Noddings explained : ‘ Then gradually each might have seen the full horror of their situation .They both might have seen that the possibility of perpretating unspeakable crimes lay in Simon as well as in Karl and that the possibility and thus the responsibility to resist lay also in both’. Ajukanlah kutipan ini kepada diri anda dengan konteks episode traumatic dalam kehidupan sejarah kita sebagai bangsa di mana anda terlibat secara langsung : jawaban apakah yang anda berikan kepada diri anda sendiri ? Jawaban yang akan saya berikan adalah sebagai berikut : Engkau telah memberikan aku takdir, ya Allah jalan demi jalan telah kutelusuri pribadi demi pribadi telah kutemui tersentak oleh tragedy tersenyum karena komedi
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
6
Engkau telah membukakan untukku tabir, ya Allah dunia manusia rangkaian perang dan damai selang-seling pribadi manusia jalinan doa dan dosa masing-masing Dengan membaca AsmaMu Aku memahami ilmuku Referensi : Herman, JL (1992) : Trauma and Recovery from Domestic Abuse to Political Terror. Pandora.An imprint of Harper Collins Publisher Rosemarie Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, (Boulder, CO: Westview Press, 1998).
FORUM SARASEHAN ¨MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965¨ - Leuven
7