ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG
Oleh MARCIA BUNGA PABENDON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Correlation Analysis of Heterotic Pattern of Inbreds Microsatellite Marker-Based to the Phenotypic Performance of Test Cross and Diallel Cross of Maize Hybrid Abstract The objectives of this study are: (a) to estimate the level of genetic diversity, genetic distance (GD), heterotic groups, and the SSRs marker package that are effective to differentiate among 34 inbreds and relatively stable in their heterotic groups, (b) to correlate between the GD and seed weight per plant of single cross through testcrossed method, (c) to correlate between the GD and seed weight per plant of single cross hybrid through diallel method, and (d) to determine the hybrids that potential to develop as new hybrid varieties. Genetic diversity study characterizing 34 inbred lines by using 36 SSRs loci are distributed throughout the maize genome. SSRs marker package develops the data through simulation (data iteration) and Principal Component Analysis (PCA). Testcross method uses two testers (Mr4 and Mr14), crossed with 32 genotyped inbreds to get F1 single cross plus three cultivars for each set i.e. Bima1, Bisi2, and Semar10. Evaluation of the phenotypic performance of the two sets of F1 single cross is conducted at the Bajeng Experimental Station. The layout of the trials is alpha lattice 7 x 6 with two replications. Diallel method uses seven selected inbreds (from low to high average GD value), developing a set of 21 single cross hybrids. Evaluation of the phenotypic performance consists of 21 hybrids and four check cultivars (Bima1, Bima2, Bima3, and Semar10) conducted at the Bajeng Experimental Station, South Sulawesi and Muneng Experimental Station, East Java. The experiment uses Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications. The results shows that the observed GD between 34 inbreds ranging from 0.22 to 0.86, indicates the broad ranges of genetic variability of the inbreds. Construction of the dendrogram can differentiate among the inbreds, and also cluster the inbreds in five groups based on the genetic similarities (GS), and generally be consistent with the pedigree data. The limitation of using pedigree data showed up in this study where there are four inbreds having the same initial pedigree (SP007) scattered in the three groups or have unclear pedigree data. A set of twenty five SSRs markers package provides a high value of cophenetic correlation was 0.79; however, the correlation value is good enough to differentiate the inbreds. Heterotic groups that developed based on the 36, 30, and 25 SSRs markers do not assertively cluster the inbreds into five groups. There is a medium to high correlation between the genetic distance value and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers i.e 0.81 and 0.76 respectively. The average correlation values of hybrids between GD and average seed weight per plant, GD and specific combining ability (SCA), GD and high parent heterosis (HPH), as well as GD and MPH are in the medium level i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. There are six hybrids showing potential to be developed as new hybrid varieties with seed weight ranging from 176.05 to 181.24 g/plant. These hybrids are Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0-172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM26-22×SP008-120, Bisma-140-2×Mr14, and BM(S1)C0-172×Mr14. The intergroup inbreds placed by genotyping, generally produced hybrids with greater yield potential than the intragroup inbreds. This experiment indicates that the development of hybrids based on SSRs marker can reduce the number of crossing, and one or two cultivating seasons. The evaluation of phenotypic performance is sufficient by using one of the two methods of the process of hybrid development i.e. testcross or diallel methods. However, there is a need to add more primers in order to get the stable dendrogram. In the field experiment, there is also a need to find more locations and to add new hybrids specialty with medium to high GD value to have more oppotunities to obtain the best heterosis. Key words: genetic distance, testcross, diallel, heterotic groups.
RINGKASAN MARCIA BUNGA PABENDON. Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Uji dan Silang Dialel Hibrida Jagung. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, dan I MADE JANA MEJAYA. Studi disertasi ini menduga hubungan antara marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida serta parameter genetik inbrida jagung dalam upaya untuk menjadikan marka molekuler bermanfaat dalam memprediksi penampilan hibrida. Percobaan pertama, mengamati keragaman genetik 34 inbrida jagung yang dibentuk dari beberapa sumber populasi yang berbeda. Hasil penelitian menggambarkan keragaman genetik yang tinggi dari materi yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai polimorfisme yang cukup tinggi (0,61). Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Berdasarkan kemiripan genetik, inbrida dapat dikelompokan menjadi lima grup dan secara umum konsisten dengan data pedigree. Namun demikian keterbatasan data pedigree ditemukan dalam penelitian ini antara lain pada empat inbrida dengan inisial SP007 menyebar pada tiga kelompok yang berbeda sehingga klasternya kurang tegas. Informasi ini akan efektif untuk digunakan dalam menyeleksi tetua dan dijadikan sebagai salah satu strategi dalam program pemuliaan jagung hibrida. Percobaan kedua dilakukan untuk memperoleh paket marka yang efektif dalam memprediksi tetua hibrida potensial melalui simulasi data biner dari 34 inbrida yang dikarakterisasi. Hasil menunjukkan bahwa paket dengan 25 primer dengan total 128 alil menghasilkan koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,79, mengindikasikan bahwa 128 alil mampu untuk membedakan 34 inbrida dengan jelas. Walaupun demikian, 128 alil belum mampu untuk menghasilkan konstruksi dendrogram yang stabil. Kelompok heterotik yang dibentuk berdasarkan 36, 30, dan 25 primer belum tegas membagi inbrida ke dalam lima kelompok heterotik, yang ditunjukkan oleh masih adanya beberapa inbrida yang berpindah kelompok jika paket marka diubah. Merupakan hal yang penting untuk tidak hanya membedakan inbrida satu dengan yang lain tetapi juga menghasilkan dendrogram yang stabil yang menggambarkan hubungan genetik yang benar di antara inbrida sehingga inbrida yang terseleksi tetap stabil. Percobaan ketiga dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji dari dua set hibrida hasil silang uji (inbrida penguji Mr4 dan Mr14). Terdapat korelasi dari sedang sampai tinggi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal dengan Mr4 dan Mr14 yaitu masing-masing 0,81 dan 0,76. Terdapat dua genotipe F1 silang tunggal yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1 yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma-3-1xMr14 dengan bobot biji 179,10 dan 178,52 g/tanaman, dan nilai jarak genetik masing-masing adalah 0,82 dan 0,84. Jarak genetik kultivar Bima1 adalah 0,65. Salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri lebih banyak galur inbrida yang lebih potensial dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang dapat digunakan sebagai pola heterotik potensial di Indonesia dengan menggunakan alat bantu marka molekuler. Percobaan keempat dilaksanakan untuk mengetahui korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji hibrida hasil silang dialel. Korelasi pada level medium
teridentifikasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal, nilai daya gabung khusus (DGU), serta heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi yaitu 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Persilangan antargrup berbasis marka mikrosatelit menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan persilangan intragrup. Penggunaan materi silang uji dan silang dialil memberikan informasi korelasi yang sama antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Oleh sebab itu dalam program pemuliaan jagung hibrida dapat dianjurkan menggunakan hanya salah satu dari materi genetik tersebut. Penggunaan marka mikrosatelit juga efisien dalam mengklasifikasi inbrida ke dalam kelompok heterosis pada awal seleksi. Namun demikian masih diperlukan penambahan sejumlah primer untuk meningkatkan nilai korelasi baik korelasi kofenetik maupun korelasi antara nilai jarak genetik dengan penampilan fenotipik hibrida F1.
SUMMARY MARCIA BUNGA PABENDON. Correlation Analysis of Heterotic Pattern of Inbreds Microsatellite Marker-Based to the Phenotypic Performance of Single Cross Maize Hybrid. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, and I MADE JANA MEJAYA. This research disertation observes the relationship of microsatellite markers with hybrid phenotypic performance as well as the genetic parameters in maize inbreds in an attempt to make use of molecular markers in predicting hybrid performance. The first study observe the genetic diversity of 34 inbred lines originating from various source populations. The result reveals high levels of genetic diversity between inbred lines, indicated by the average level of polymorphism (0.61). The genotipic data also show that the dendrogram construction based on UPGMA (unweighted pair group method of arithmetic means) could be differentiated among inbreds each other, and clustered the inbreds in five groups based on the genetic similarities and consistent with the pedigree data. However, the limitation of using pedigree data showed up in this study where four inbreds which have the same initisal (SP007) scattered in the three groups or have no clear pedigree data. Using microsatellite marker is effective to select hybrid parents and becomes one of the rational strategies in hybrid breeding program. The second study identifies the set of markers to predict potential hybrid parents through simulation of binary data of 34 genotyping inbreds . The result shows that the set of 25 primers with the total of 128 alleles have the highest coefficent correlation i.e. 0.79 indicated that 128 alleles are sufficient to differentiate all 34 inbred lines. However, 128 alleles are insufficient to construct a stable dendrogram to objectively reflect genetic relationships. It is important to not only discriminate the inbreds but also to obtain a stable dendrogram that reflects the true genetic relationships among maize inbreds so that core collections can be established. The result shows that 25 SSR markers package provide the highest value of cofenetic correlation (0.79); however, this value is good enough to differentiate the inbreds. Heterotic groups developed based on 36, 30, and 25 SSRs are yet to be assertive to divide into five groups. It is necessary to continue iterating the binary data or add primers whether higher correlation than the value of 0,79 could be found.
The third studies on correlation between the value of the genetic distance (GD) and seed weight per plant of the two sets of F1 maize test crosses (Mr4 and Mr14 testers). The result indicates that there is a medium to high correlation between GD and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers (0.81 and 0.76 respectively). Two F1 single crosses are significantly different from the Bima1 as a check i.e P5/GM26-9xMr4 and Bisma-3-1xMr14 with 179.10 and 178.52 g/plant of seed weight respectively. The value of GD of the two hybrids were 0.82 dan 0.84 respectively, while the value of genetic distance of Bima1 was 0.65. It is worth considering to search more inbreds which are more potential than Mr4 and Mr14 testers that can serve as the best heterotic pattern in Indonesia by using molecular markers as tools.
On the fourth study, a medium level of correlation is observed between the value of GD and seed weight per plant of F1 single cross, specific combining ability (SCA), as well as mid parent heterosis (MPH) and high parent heterosis (HPH) i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. The intergroup crossing placed by genotypic grouping, in general, produces hybrids with greater yield potential than intragroup crossing. It was concluded that the use of microsatellite markers were efficient in placing the inbreds in different heterotic groups. However, there is a need to add more primers to obtain the best correlation between the value of GD and seed weight per plant. Detailed characterization of the maize germplasm and in-depth understanding of the genetic basis of heterosis are required for molecular markers to have practical utility in predicting hybrid performance.
RINGKASAN MARCIA BUNGA PABENDON. Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Tunggal Hibrida Jagung. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, dan I MADE JANA MEJAYA. Studi disertasi ini mengamati hubungan antara marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida serta parameter genetik inbrida jagung dalam upaya untuk menjadikan marka molekuler bermanfaat dalam memprediksi penampilan hibrida. Percobaan pertama, mengamati keragaman genetik 34 inbrida jagung yang dibentuk dari beberapa sumber populasi yang berbeda. Hasil penelitian menggambarkan keragaman genetik yang tinggi dari materi yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai polimorfisme yang cukup tinggi (0,61). Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Berdasarkan kemiripan genetik, inbrida dapat dikelompokan menjadi lima grup dan secara umum konsisten dengan data pedigree. Namun demikian keterbatasan data pedigree ditemukandalam penelitian ini antara lain pada empat inbrida dengan inisial SP007 menyebar pada tiga kelompok yang berbeda sehingga klasternya kurang tegas. Informasi ini akan efektif untuk digunakan dalam menyeleksi tetua dan dijadikan sebagai salah satu strategi dalam program pemuliaan jagung hibrida. Percobaan kedua dilakukan untuk mengetahui paket marka yang efektif dalam memprediksi tetua hibrida potensial melalui simulasi data biner dari 34 inbrida yang dikarakterisasi. Hasil menunjukkan bahwa paket dengan 25 primer dengan total 128 alil menghasilkan koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,79, mengindikasikan bahwa 128 alil mampu untuk membedakan 34 inbrida dengan jelas. Walaupun demikian, 128 alil belum mampu untuk menghasilkan konstruksi dendrogram yang stabil. Kelompok heterotik yang dibentuk berdasarkan 36, 30, dan 25 primer belum tegas membagi inbrida ke dalam lima kelompok heterotik, yang ditunjukkan oleh masih adanya beberapa inbrida yang berpindah kelompok atau memjadi pencilan jika paket marka diubah. Merupakan hal yang penting untuk tidak hanya membedakan inbrida satu dengan yang lain tetapi juga menghasilkan dendrogram yang stabil yang menggambarkan hubungan genetik yang benar di antara inbrida sehingga inbrida yang terseleksi tetap stabil. Percobaan ketiga dilaksanakan untuk mengetahui korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji dari dua set F1 hasil silang uji (test cross). Terdapat korelasi dari sedang sampai tinggi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal dengan Mr4 dan Mr14 yaitu masing-masing 0,81 dan 0,76. Terdapat dua genotipe F1 silang tunggal yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1 yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma3-1xMr14 dengan bobot biji 179,10 dan 178,52 g/tanaman, dan nilai jarak genetik masing-masing adalah 0,82 dan 0,84. Jarak genetik kultivar Bima1 adalah 0,65. Salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri lebih banyak galur inbrida yang lebih potensial dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang
dapat digunakan sebagai pola heterotik potensial di Indonesia dengan menggunakan alat bantu marka molekuler. Korelasi pada level medium teridentifikasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal, nilai daya gabung khusus (DGU), serta heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi yaitu 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Persilangan antargrup berbasis marka mikrosatelit menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan persilangan intragrup. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan marka mikrosatelit efisien dalam mengklasifikasi inbrida ke dalam kelompok heterosis, tetapi dalam penelitian ini masih diperlukan untuk menambah sejumlah primer untuk meningkatkan nilai korelasi baik korelasi kofenetik maupun korelasi antara nilai jarak genetik dengan penampilan fenotipik hibrida F1. Karakterisasi plasma nutfah jagung secara detail dan memahami lebih jauh dasar genetik dari heterosis dibutuhkan dalam program pemuliaan hibrida berbasis-marka molekular sehingga bisa dilaksanakan oleh para pemulia dalam memprediksi penampilan inbrida.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Tunggal Hibrida Jagung” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya
Bogor, Juni 2008
Marcia Bunga Pabendon NRP A361040111/AGR
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya iimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu maasalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG
Oleh: MARCIA BUNGA PABENDON A361040111
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Disertasi
: Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Uji dan Silang Dialel Hibrida Jagung.
Nama Mahasiswa No. Pokok Program Studi
: MARCIA BUNGA PABENDON : A361040111 : Agronomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Anggota
Dr. Ir. I Made Jana Mejaya, M.Sc. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.
Tanggal Ujian : 26 Juni 2008
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi Penguji Ujian Tertutup: Dr. Ir. Muhammad Yusuf (Staf Pengajar pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB)
Penguji Ujian Terbuka: 1. Dr. Edi Santosa, SP, M.Si. (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Andi Hasanuddin, M.Sc., APU (Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah atas segala rahmat, cinta, dan perkenanNya yang tidak terhingga yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi yang berjudul “ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG” disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Marka Molekuler Tanaman, Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros, Rumah Kaca Balitsereal, Kebun Percobaan (KP) Bajeng, Sulawesi Selatan, dan di KP. Muneng, Jawa Timur. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, atas bimbingan, inspirasi, kritik dan saran, serta dukungan moril mulai dari pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai penyelesaian disertasi ini. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara, yang mengajarkan ketelitian sampai hal-hal yang kecil, memberikan petuah, juga inspirasi serta dukungan moril selama penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Bapak Dr. Ir. I Made Jana Mejaya atas bimbingan di lapangan, dalam penulisan, serta ketulusan hati untuk berusaha hadir dalam setiap tahapan pengujian walaupun ditugaskan jauh dari IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Pertanian Tanaman Pangan, dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3, serta bantuan sebagian kecil biaya penelitian melalui proyek ARM (Agricultural Research Management). Kepada staf peneliti dan pegawai Balitsereal, khususnya kepada rekan-rekan peneliti, teknisi dan administrasi di kelompok peneliti pemuliaan tanaman seperti Dr. Muh. Azrai, Sri Sunarti, SP, Haryati, SP., Rismayanti, SP., Sampara, Wen Langgo, SP., Stephanus Misi, Fransiskus Misi, Adrian, Kasmiati yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marsum Dahlan (alm), Dr. Maria Luz George (ex koordinator proyek Asian Maize Biotechnology Network = AMBIONET), Dr. Muh. Azrai (Balitsereal), Dr. I Made Jana Mejaya (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Maluku Utara), Dr. Firdaus Kasim (Balai Penelitian Tanaman Sayuran), Dr. Sutrisno (Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian), yang banyak membantu dan memberi dukungan untuk membuka laboratorium satelit marka molekuler di Balitsereal Maros mulai dari pengadaan peralatan dan bahan kimia, sampai laboratorium tersebut bisa digunakan dan dapat memproduksi data molekuler yang digunakan oleh penulis dalam disertasi. Dengan segenap rasa hormat dan bangga serta terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Bapak Antonius D. Pabendon (alm) dan Ibunda tercinta Christina Sima Palalangan semua kakak dan adik masing-masing dengan keluarga tercinta, dimanapun berada yang telah memberikan dukungan moril dan materil, kasih
sayang, bimbingan dan doa kepada penulis. Secara khusus dengan penuh rasa haru saya ucapkan terima kasih kepada adik saya Agus Friska Pabendon dan keluarga tercinta yang bersedia dengan tulus hati membiayai sebagian besar pendidikan S3 saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa dan rekan-rekan peneliti yang selama ini banyak membantu baik selama kuliah, penelitian dan penulisan yaitu: Ir. Suskandari, MP., Refli Noor, SP, MSi, Nur Kholilatul Izah, SP. MP., Haryati, SP., Yusniwati, SP. MP., A. Takdir Makkulawu, SP. MP, Neny Iriani, SSi. MP., Ir. Minangsari, MP., Roberdi, SP. MSi, Wening Enggarini SSi. M.Si., Roy Efendy, SP., Musdalifa, SP., Amin Noor, SP., dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk kepentingan penelitian, kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kehidupan.
Bogor, Penulis,
Juni 2008
Marcia Bunga Pabendon NRP A361040111
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tana Toraja pada tanggal 20 Oktober 1962, dari pasangan Bapak Antonius D. Pabendon (alm) dan Ibu Christina S. Palalangan sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara. Pendidikan dasar pada tahun 1973 di SD. Katolik Yayasan Yosef, Tana Toraja. Pendidikan Menengah Pertama tahun 1976 di SMP Katolik Yayasan Paulus, Tana Toraja. Pendidikan Menengah Atas tahun 1980 di SMA Katolik Yayasan Paulus, Tana Toraja. Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Ilmu Tanah diraih tahun 1985 pada Fakultas Pertanian di Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada tahun 2002 memperoleh gelar Magister Pertanian (MP) dari Program Studi Ilmu Tanaman, pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, melalui Program Bea Siswa proyek ARM, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2004 melanjutkan studi ke program Doktor (S3) dimana sebagian kecil biaya penelitian dibantu dari proyek ARM melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sedangkan biaya lainnya ditanggung oleh keluarga (orang tua dan saudara) dan penulis.
Glossary alel adalah salah satu bentuk alternatif dari gen yang dapat muncul sebagai lokus tunggal. data biner adalah data pola pita yang distandarisasi menjadi suatu nilai yaitu satu (1) jika ada pita atau nol (0) jika tidak ada pita sehingga bisa dianalis secara statistik. kelompok heterotik adalah kumpulan aksesi atau genotipe berdasarkan tingkat kemiripan genetik. koefisien korelasi kofenetik adalah tingkat keakuratan dendrogram yang dihasilkan berdasarkan analisis pautan rata-rata. marker adalah lokasi fisik pada kromosom yang teridentifikasi dan pewarisannya dapat dimonitor (mis. marka mikrosatelit atau SSR). mikrosatelit atau marka SSR (Simple Sequence Repeats) adalah tipe DNA berulang dengan pengulangan basa secara tandem yang sangat pendek seperti dua nukleotida, tiga nukleotida, atau empat nukleotida. MAS (Marker Assisted Selection) adalah seleksi dengan alat bantu marka. PCA (Principal Component Analysis) atau Analisis Komponen Utama adalah analisis untuk mengetahui posisi relatif inbrida yang dikarakterisasi. PCoA (Principal Coordinate Analysis) atau Analisis Koordinat Utama sama dengan PCA tetapi PCoA digunakan jika dalam hasil skoring ditemukan missing data. phylogeni adalah suatu diagram yang menggambarkan sejarah evolusi populasi dari organisme yang berkerabat. pleiotropik adalah satu gen yang mengendalikan beberapa karakter. polimorfisme adalah penampakan bentuk yang berbeda yang berasosiasi dengan variasi alel dari satu gen atau homolog dari satu kromosom. silang puncak (top cross) adalah persilangan antara sejumlah galur yang berbeda sebagai tetua betina dengan populasi sebagai tetua jantan. silang uji (test cross) adalah persilangan antara sejumlah galur yang berbeda sebagai tetua betina dengan galur homosigot yang sama sebagai tetua jantan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... I.
PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ........................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................... Hipotesis ........................................................................... Strategi Penelitian ...........................................................................
1 1 4 4 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
8 8 9 10 12 13 13 15 18
Dasar Pembentukan Jagung Hibrida ...................................................... Peranan Pola Heterosis dalam Pemuliaan Jagung Hibrida ................ Aplikasi Marka Molekuler ................................................................ Marka Molekuler untuk analisis keragaman genetik ................ Keragaman molekuler pada jagung ........................................... Marka SSR berbasis PCR .................................................... Analisis statistik untuk data molekuler ..................................... Korelasi marka DNA dengan informasi fenotipik ................................
III.
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MOLEKULER ................................................ Abstrak.................................................................................................... Pendahuluan ........................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil .................................................................................................... Pembahasan ....................... ............................................................... Kesimpulan ........................................................................................
20 20 22 24 30 34 36
IV.
SIMULASI ANALISIS MARKA MIKROSATELIT UNTUK PENDUGA HETEROSIS PADA POPULASI INBRIDA ..................................... 37 Abstrak..................................................................................................... 37 Pendahuluan ............................................................................................ 39 Bahan dan Metode ............................................................................. 41 Hasil ..................................................................................................... 42 Pembahasan ....................... ................................................................ 51 Kesimpulan ......................................................................................... 54
V.
ANALISIS KORELASI POLA HETEROTI INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MIKROSATELIT TERHADAP PENAMPILAN FENOTIPIK F1 HASIL SILANG UJI .............................................. 55 Abstrak.................................................................................................... 55 Pendahuluan ........................................................................................... 57
Halaman Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil .................................................................................................... Pembahasan ...................... ................................................................. Kesimpulan ........................................................................................
58 62 65 68
VI.
ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MIKROSATELIT TERHADAP PENAMPILAN FENOTIPIK HIBRIDA HASIL SILANG DIALEL ............ 69 Abstrak.................................................................................................. 69 Pendahuluan ......................................................................................... 71 Bahan dan Metode .......................................................................... 72 Hasil .................................................................................................. 77 Pembahasan ...................... ............................................................... 85 Kesimpulan ...................................................................................... 89
VII.
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………….
90
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………..... Kesimpulan ………………………………………………………….. Saran …………………………………………………………………
95 95 96
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
97
LAMPIRAN …………………………………………………………………
108
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam penelitian ini .............................................................................
25
Profil hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR ...........................................................................
31
Komposisi genotipee dalam gerombol berdasarkan tingkat kemiripan genetik.......................................................................
33
Jumlah marka, koefisien korelasi kofenetik (r), jumlah alil, dan tingkat polimorfisme (PIC) .................................................
47
Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing pita/alil yang berperanan dalam membedakan 34 genotipe jagung yang dikarakterisasi ......................................................
49
Primer SSR yang tidak berperan dalam pembentukan dendrogram berdasarkan analisis komponen utama (PCA) .......
50
Jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil silang uji 32 inbrida dengan penguji inbrida Mr4 dan Mr14, KP. Bajeng, Sulawesi Selatan, 2006 ...............................
63
Nilai rata-rata jarak genetik dan bobot biji dua set genotipe hasil silang uji ............................................................................
64
Materi genetik yang digunakan dalam persilangan dialil .......................................................................
72
Tabel 10.
Analisis Ragam silang dialil metode II ......................................
74
Tabel 11.
Analisis varians daya gabung metode II (Griffings’, 1956) .....
75
Tabel 12.
Nilai jarak genetik 21 pasangan hibrida F1 hasil silang tunggal
78
Tabel 13.
Nilai jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil silang tunggal di KP. Bajeng dan KP. Muneng, MP 2007
79
Penampilan rata-rata beberapa karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang tunggal .................................................................
81
Estimasi daya gabung khusus (DGK) pasangan inbrida pada dua lokasi, MP 2007 ...........................................................................
82
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 14.
Tabel 15.
xiii
Halaman Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Estimasi heterosis tetua tertinggi, dan heterosis rata-rata tetua hibrida F1 silang tunggal pada dua lokasi, MP 2007 .......
83
Nilai duga DGU tujuh inbrida yang digunakan sebagai tetua dalam pembentukan hibrida .............................................
84
Korelasi (r) antara nilai jarak genetik dengan bobot biji, DGK, dan heterosis pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP. Muneng) ....................................................................................
85
Tahapan pemuliaan hibrida jagung berbasis marka fenotipik ..
93
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Bagan alir kegiatan penelitian ..................................................
7
Gambar 2.
Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSR phi374118 menggunakan elektroforesis vertikal 4,5% PAGE (Polyacrilamide Gel Electrophoresis) …….......
30
Dendrogram 34 inbrida berdasarkan UPGMA dengan menggunakan 36 marka SSR polimorfis………………
32
Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR (r = 0,76)................................................................
43
Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR (r = 0,78)................................................................
43
Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR (r = 0,78)..............................................................
44
Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR (r = 0,79)...............................................................
44
Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR (r = 0,79)................................................................
45
Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR (r = 0,76)................................................................
45
Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR (r = 0,76)................................................................
46
Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR (r = 0,76).................................................................
46
Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR (r = 0,76).................................................................
47
Gambar 13.
Diagram jumlah primer dan koefisien korelasi kofenetik
48
Gambar 14.
Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 29 marka SSR (r = 0,72) .................................................................
50
Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR (r = 0,72) ..................................................................
51
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 15.
Halaman
xv
Gambar 16.
Bentuk penutupan kelobot dan nilai skoring ............................
60
Gambar 17.
Hasil regresi jarak genetik berdasarkan marka SSR terhadap bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan inbrida Mr4 dan Mr14. Nilai r adalah hasil analisis korelasi antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan inbrida Mr4 dan Mr14 ........................................................................
65
Keragaan biji hibrida silang tunggal (atas) dan kultivar pembanding (bawah). Rendemen biji masing-masing sebesar 0,8 (T1xT6), 0,75 (T6xT7), 0,79 (T1xT3), 0,73 (Bima1), 0,74 (Bima2), 0,76 (Bima3) ........................................
87
Ilustrasi pasangan tetua hibrida potensial berdasarkan bobot biji yang berbeda nyata terhadap kultivar cek Bima1, Bima3 dan Semar10 pada dua lokasi (KP.Bajeng dan KP. Muneng) ......................................................................................
88
Gambar 18.
Gambar 19.
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam penelitian ini .......................................................................
106
Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr4 dan Mr14 .........................................
107
Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang dialel di lokasi Bajeng, Muneng dan Gabungan ……
107
Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Bajeng dan empat kultivar pembanding. Gambar a, b, dan c adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar pembanding ...........................................................................
108
Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Muneng dan empat kultivar pembanding. Gambar d, e, dan f adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar pembanding ....
109
xvii
BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang
Jagung merupakan komoditas penting kedua dalam ekonomi tanaman pangan di Indonesia setelah padi/beras. Akan tetapi dengan berkembang pesatnya industri peternakan, dimana jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan, diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan benih. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan (Kasryno et al., 2007). Dengan semakin meningkatnya krisis energi, manfaat jagung semakin luas yaitu sebagai salah satu komoditas pertanian sumber bioetanol yang menyebabkan lahan-lahan pertanian komoditas tertentu seperti kedelai di Amerika beralih fungsi menjadi lahan pertanaman jagung. Oleh karena itu jagung sebagai komoditas multifungsi mempunyai prospek yang sangat baik, sekarang dan di masa datang. Salah satu kendala dalam teknologi peningkatan produksi selama ini adalah penggunaan kultivar dengan potensi hasil yang masih rendah. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mengurangi impor adalah penggunaan kultivar hibrida yang berpotensi hasil tinggi. Dalam proses pembentukan kultivar hibrida yang memiliki heterosis tinggi, pemilihan tetua sangat menentukan dan secara konvensional memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit (Subandi, 1998). Di dalam program pemuliaan hibrida tanaman ada tiga tahapan penting yang secara rutin dilakukan oleh pemulia yaitu: membentuk populasi tanaman sesuai karakter yang diinginkan, mengevaluasi dan menyeleksi individu superior, dan melakukan rekombinasi dari individu superior untuk menghasilkan populasi baru untuk siklus selanjutnya serta peningkatan hasil (Allard, 1960; Poehlman, 1987; Simmonds, 1979). Metode klasik tersebut telah menghasilkan kemajuan genetik yang penting pada jagung.
Kontribusi pemuliaan konvensional atau pemuliaan dengan penanda atau marka fenotipik murni dalam meningkatkan potensi hasil telah didokumentasikan dengan memisahkan kemajuan genetik murni dari lingkungan serta mengamati dan menganalisis dampak perubahannya dalam jangka panjang terhadap potensi hasil dan toleransinya terhadap tekanan dari jagung hibrida komersial. Duvick (1984) mengemukakan bahwa sejak tahun 1930 sampai tahun 1980, potensi genetik hibrida di AS meningkat 92 kg/ha/tahun. Metode pemuliaan berbasis marka fenotipik telah memberikan hasil yang impresif. Dahlan et al. (1996) telah membentuk pola heterotik antara dua pasangan populasi, yaitu pasangan Malang Sintetik (MS) J1 dengan J2 versi umur dalam, dan pasangan MS K1 dengan K2 versi umur genjah.
Prosedur seleksi yang digunakan ialah “Modifikasi Seleksi Berulang
Berbalasan” dimana satu daur seleksi terdiri dari 4 musim tanam yakni : pembentukan galur S1, pembentukan silang puncak galur S1 menggunakan penguji populasi pasangannya, evaluasi silang puncak, dan rekomendasi galur-galur terpilih. Pengaruh langsung akibat satu daur seleksi berulang berbalasan pada pasangan populasi J1 dan J2 serta pasangan K1 dan K2 yaitu berupa peningkatan hasil silang populasi J1 x J2 dan K1 x K2; serta kenaikan heterosis. Pengaruh tidak langsung yaitu berupa peningkatan hasil pada keempat populasi K1, K2, J1 dan J2. Hibrida silang tiga-jalur yang diperoleh dari seleksi berulang berbalasan J1 dan J2, memberikan hasil biji 32% di atas hasil silang tunggal populasi asal J1CO x J2CO. Pasangan populasi MS.J1 dengan J2 dan K1 dengan K2 memiliki peluang untuk memperoleh hibirida jagung berdaya hasil tinggi di Indonesia. Namun dengan berubahnya fungsi utama jagung sebagai konsumsi pangan dan benih ke arah industri seperti pakan, bahan makanan atau sebagai salah satu sumber bahan baku bioetanol, hal tersebut belum menjamin bahwa kemajuan genetik secara historis tersebut dapat dipertahankan hanya dengan menggunakan marka fenotipik. Fakta telah mulai muncul bahwa peningkatan hasil pada tanaman sereal utama, seperti jagung, mulai menurun pada beberapa negara (Pingali, 2001). Oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa peningkatan produktivitas akan bisa mengimbangi permintaan yang meningkat untuk bahan konsumsi dan bahan baku industri, berbagai alat bantu dibutuhkan. Dalam proses seleksi tetua hibrida, tidak mungkin untuk menilai semua 2
koleksi inbrida. Salah satu alternatif adalah melakukan persilangan berdasarkan perbedaan genetik tetua dengan menggunakan marka molekuler (Arcade et al., 1996; Melchinger, 1999). Pabendon et al. (2002) melakukan karakterisasi marka molekuler berdasarkan kemiripan genetik pada sejumlah koleksi galur inbrida di Balitsereal. Hasil analisis gerombol menunjukkan MSJ1 dan J2 berada pada gerombol yang berbeda. Nilai jarak genetik J1 vs J2 cukup tinggi antara lain J2-R-144 vs J1-46 sebesar 0,80, J2-R-144 vs J1-19-1 sebesar 0,72. Dengan demikian, informasi daya gabung khusus konsisten dengan informasi nilai jarak genetik secara molekuler. Oleh sebab itu, penggerombolan galur-galur jagung ke dalam kelompok heterotik sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi pemulia untuk mengurangi biaya dan waktu pengujian karena uji daya gabung umum (DGU) tidak perlu dilakukan lagi. Selain itu dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterotik. Pemahaman aplikasi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman memerlukan pemahaman yang detail mengenai metodologi pemuliaan tanaman (siklus waktu), genetika kuantitatif, dan statistik. Pengetahuan genetika kuantitatif dan statistik dibutuhkan untuk mengerti bagaimana kultivar terbaru dan hibrida dikembangkan sebagai dasar teori dari metodologi pemuliaan tanaman; desain, implementasi, dan interpretasi dalam eksperimen pemuliaan tanaman; dan kemampuan statistik dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan di antara kultivar dan hibrida. Supaya program menjadi sukses, ekonomi pengembangan kultivar harus dipertimbangkan secara berkelanjutan bersama dengan desain program pemuliaan. Dari sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) telah dikenal secara luas banyak memberikan harapan dalam studi keragaman genetik dan prediksi hibrida karena sesuai dengan pewarisan Mendel dan penampilannya yang kodominan, sehingga dapat mengidentifikasi genotipee homozigot dan heterozigot di dalam populasi. Selain itu, telah tersedia sejumlah besar set mikrosatelit yang dapat digunakan pada jagung, sebagian besar telah diidentifikasi berasosiasi dengan QTL (Quantitative Trait Loci) karakter hasil biji (Sibov et al., 2003). Marka DNA merupakan alat bantu yang lebih tegas dalam membedakan variasi di antara plasma nutfah tanaman, identifikasi genotipe dan studi hubungan kekerabatan 3
(Caetano Anolles, 1996). Reif et al. (2003) mempelajari hubungan antara heterosis dan jarak genetik berdasarkan 85 marka SSR dengan menyilangkan tujuh populasi jagung tropis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang potensial untuk mengelompokkan plasma nutfah berdasarkan tingkat kemiripan genetik. Selain itu marka SSR sebagai komplemen yang sangat penting untuk percobaan lapangan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok yang mempunyai respon heterosis yang baik.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah marka molekuler (mikrosatelit) dapat dimanfaatkan sebagai alat prediksi awal dalam seleksi tetua potensial melalui informasi: •
Keragaman genetik, jarak genetik, kelompok heterotik, dan hasil analisis paket marka yang berbeda dengan menggunakan marka mikrosatelit.
•
Korelasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji (test cross).
•
Korelasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan hibrida F1 hasil silang dialel.
•
Potensi hasil (bobot biji) hibrida hasil persilangan antar tetua yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik dengan menggunakan marka mikrosatelit.
Hipotesis •
Jarak genetik berbasis marka molekuler berkorelasi positif dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji dan hasil silang dialel.
•
Penggunaan materi genetik hasil silang uji dan materi genetik hasil silang dialel memberikan informasi korelasi yang sama.
•
Hibrida potensial diperoleh dari pasangan tetua kelompok heterotik yang berbeda.
4
Strategi Penelitian Penelitian melingkupi dua aspek: (1) mekanisme prebreeding dengan alat bantu marka SSR, (2) mekanisme breeding (pemuliaan) menggunakan metode silang uji dan metode dialel. Adapun strategi pemuliaan untuk mempercepat proses pembentukan hibrida heterosis tinggi dengan memanfaatkan marka mikrosatelit adalah dengan melihat nilai korelasi antara marka molekuler dalam hal ini marka mikrosatelit dan marka morfologi yaitu melalui penampilan fenotipik F1. Selama ini pembentukan varietas hibrida masih membutuhkan waktu selama lima sampai 10 tahun. Dari sejumlah besar koleksi inbrida yang telah tesedia dimana pembentukannya juga memakan waktu yang lama perlu diupayakan sehingga materimateri genetik tersebut lebih bermanfaat. Jika hanya mengandalkan marka morfologi maka eksploitasi heterosis secara maksimum tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini tahapan-tahapan penelitian dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan nilai korelasi sebagai penanda apakah marka molekuler efisien sebagai alat prediksi untuk menyeleksi tetua lebih awal tanpa harus menguji sejumlah besar
pasangan
persilangan untuk penentuan kandidat-kandidat tetua hibrida potensial. Sejumlah 34 koleksi inbrida nasional yang berasal dari beberapa sumber populasi yang berbeda dan telah berada pada generasi S4 sampai S8. Dari antara populasi ini akan diseleksi tetua hibrida berdasarkan nilai jarak genetik. Langkah awal adalah melihat keragaman genetik semua materi yang diuji melalui karakterisasi genotipik menggunakan 36 marka mikrosatelit, mengelompokkan materi tersebut berdasarkan kemiripan genetik. Visualisasi kelompok dalam konstruksi dendrogram akan memudahkan dalam menetapkan beberapa kelompok yang terbentuk. Dalam penelitian ini, kegiatan karakterisasi molekuler selain sebagai alat penyaring pertama sejumlah besar materi genetik, juga sekaligus sebagai sidikjari dari materi genetik yang diuji. Selain itu data biner yang diperoleh dilakukan iterasi data untuk mengetahui apakah ada peluang untuk melakukan pengurangan jumlah primer yang digunakan tanpa mempengaruhi akurasi data untuk melakukan seleksi tetua hibrida. Dari hasil karakterisasi, akan diperoleh nilai jarak genetik dalam bentuk matriks genetik untuk semua peluang persilangan. Nilai jarak genetik akan digunakan untuk memprediksi
5
inbrida yang akan dijadikan sebagai tetua dalam set persilangan melalui metode silang uji dan metode silang dialel. Metode silang uji menggunakan inbrida Mr4 dan Mr14 sebagai materi penguji. Sedangkan untuk persilangan dialel, tetua hibrida diseleksi berdasarkan nilai rata-rata jarak genetik dari semua peluang persilangan dalam matriks jarak genetik. Dari kedua metode persilangan tersebut, masing-masing set persilangan diperoleh F1 yang kemudian diuji di lapang untuk mendapatkan data penampilan fenotipik. Hasil tersebut kemudian dikorelasikan dengan nilai jarak genetik masingmasing pasangan tetua. Adapun tahapan kegiatan adalah sebagai berikut: 1. Analisis keragaman genetik inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit untuk mengetahui keragaman genetik antar inbrida, menetapkan kelompok heterotik berdasarkan konstruksi dendrogram dan
dibandingkan dengan data silsilah
(pedigree). 2. Simulasi analisis marka mikrosatelit untuk penduga heterosis pada populasi inbrida untuk melakukan simulasi paket marka dalam bentuk data biner melalui iterasi data biner, dan juga melalui analisis komponen utama (Principal Componen Analysis=PCA). 3. Analisis korelasi antara jarak genetik inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji melalui uji daya hasil genotipe F1 hasil silang uji dengan inbrida penguji Mr4 dan Mr14. Nilai jarak genetik akan dikorelasikan dengan penampilan fenotipik khususnya bobot biji untuk memperoleh nilai korelasi (r). Selain itu dapat diketahui apakah materi silang uji yang digunakan selama ini masih layak untuk digunakan sebagai materi penguji dalam pembentukan hibrida berdasarkan metode silang uji. 4. Analisis korelasi antara jarak inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida hasil silang dialel melalui uji daya hasil hibrida F1 hasil silang dialel yang dilakukan pada dua lokasi. Nilai jarak genetik juga akan dikorelasikan dengan penampilan fenotipik F1 khususnya bobot biji untuk memperoleh nilai korelasi (r). Selain itu diharapkan ada hibrida yang potensial sebagai kandidat hibrida potensial.
6
MATERI GENETIK INBRIDA
DATA PEDIGREE
KARAKTERISASI MOLEKULER • DATA KERAGAMAN GENETIK • DATA JARAK GENETIK
SILANG UJI (TEST CROSS) BERBASIS MARKA SSR
SILANG DIALEL BERBASIS MARKA SSR
ITERASI SET MARKA SSR
ANALISIS KORELASI JARAK GENETIK VS • BOBOT BIJI • DGK • HETEROSIS
ANALISIS KORELASI JARAK GENETIK VS BOBOT BIJI
HIBRIDA POTENSIAL
Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian
7
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
Dasar Pembentukan Jagung Hibrida
Kultivar hibrida mengandung makna bahwa biji (benih) yang dipergunakan untuk pertanaman produksi komersial adalah biji generasi F1, dan merupakan hasil persilangan genotipe-genotipe yang terpilih melalui seleksi. Kultivar hibrida dibentuk dengan memanfaatkan gejala heterosis atau vigor hibrida pada F1, yang akan digunakan sebagai tanaman produksi. Pada generasi lebih lanjut akan terjadi segregasi sehingga manfaat heterosis hilang. Dalam pemuliaan tanaman, tingkat keberhasilan seleksi sangat ditentukan oleh tersedianya variabilitas genetik bahan atau materi pemuliaan yang akan diseleksi. Hal tersebut erat kaitannya dengan cara menghasilkan materi pemuliaan. Tersedianya informasi tentang tingkat diversitas genetik dari materi plasma nutfah sangat diperlukan untuk identifikasi kandidat tetua persilangan yang potensial. Melalui persilangan tetua yang potensial dapat diharapkan adanya kisaran variabilitas genetik pada F2 yang luas, serta tingkat heterosis yang tinggi pada generasi F1 (Daradjat et al., 1991). Dalam pembuatan inbrida (galur murni), ada lima kelompok sumber tetua yaitu kultivar komersial, galur-galur elit pemuliaan, galur-galur pemuliaan dengan satu atau beberapa karakter superior, spesies introduksi tanaman, dan kerabat-kerabat liar (Fehr, 1987). Dahlan dan Sugiyatni (1992) mengemukakan bahwa keberhasilan program hibrida tergantung dari bahan dasar galur-galur murni. Heterosis akan menjadi lebih efektif jika menggunakan sumber genetik yang berasal dari varietas bersari bebas. Tomes, (1998) mengemukakan bahwa cara yang produktif dalam observasi heterosis pada jagung hibrida adalah dengan memanfaatkan sumber genetik yang tersedia seperti kultivar bersari bebas atau jenis lokal.
8
Peranan Pola Heterosis dalam Pemuliaan Jagung Hibrida
Kelompok dan pola heterotik merupakan dasar yang sangat penting dalam pemuliaan hibrida. Prinsip dasar dan sistematika yang mendukung identifikasi kelompok dan pola heterotik serta perluasan dasar genetik harus diberi perhatian khusus dengan menggunakan marka molekuler untuk pengelompokan plasma nutfah (Melchinger and Gumber, 1998). Melalui identifikasi kelompok dan pola heterotik maka penampilan hibrida rata-rata pada sejumlah besar persilangan dapat ditentukan dengan akurat melalui evaluasi di lapang dengan menggunakan ulangan, estimasi variasi genetik tetua atau populasi hibrida melalui percobaan lapang dari sejumlah besar generasi S1, half-sib, atau turunan (progeny) full-sib per populasi. Namun demikian, kegiatan tersebut sangat banyak memerlukan tenaga dan waktu. Sebagai alternatif, marka molekuler seperti RFLP, SSR, AFLP dapat dimanfaatkan, yang terbukti efektif di dalam mengukur diversitas genetik (genetic diversity) pada level DNA (Melchinger, 1993). Messmer et al. (1993) menyatakan bahwa di dalam pemuliaan jagung hibrida, informasi pedigree telah umum digunakan untuk mengelompokkan galur-galur harapan baru ke dalam kelompok heterotik yang sama sebagai turunan tetua jantan (progenitor) dan memilih tester yang tepat untuk pengujian kemampuan daya gabung umum (DGU). Oleh sebab itu berdasarkan asal-usul (coancestri) dengan dukungan marka molekuler akan mampu untuk mengukur rata-rata tingkat kekerabatan dan untuk identifikasi galurgalur yang sangat berkerabat. Romero-Severson et al. (2001) menambahkan bahwa polimorfisme yang memunculkan perbedaan di antara genotipe harus dihubungkan dengan identitas dari galur murni bersangkutan jika identitas merupakan faktor penentu. Fenomena munculnya heterosis yaitu bila dua individu homozigot yang berbeda disilangkan, maka keturunannya akan memperlihatkan gejala heterosis atau vigor hibrida (Poehlman dan Sleeper, 1995). Manifestasi heterosis biasanya tergantung pada perbedaan genetik dari dua tetua persilangan. Perbedaan genetik dari tetua dapat diduga dari pola heterosis yang secara nyata diketahui dari seri persilangan (Hallauer dan Miranda, 1988). Heterosis, secara mendasar tergantung pada pengaruh genetik dominan (Fehr, 1987; Falconer dan McCay, 1989). Oleh sebab itu memaksimalkan diversitas genetik di antara genotipe-genotipe galur murni, merupakan langkah utama dalam 9
program pemuliaan hibrida sehubungan dengan peningkatan heterosigositas yang maksimal untuk lokus over-dominan dan komplit-dominan
pada turunan F1
(Melchinger dan Gumber, 1998). Telah diketahui bahwa refleksi morfologi bukan hanya merupakan konstitusi genetik dari kultivar tetapi juga hasil interaksi genotipe dan lingkungan. Melchinger et al. (1991)
menambahkan bahwa klasifikasi materi persilangan jagung ke dalam
kelompok heterosis yang didasarkan misalnya hanya pada tipe endosperm (flint vs dent) diakui tidak memuaskan karena variasi tipe endosperm hanya dikendalikan oleh satu gen saja. Konsep DGU dan daya gabung khusus (DGK) diperkenalkan oleh Sprague dan Tatum (1942) dan model matematikanya di set oleh Griffing (1956) dalam tulisan yang klasik yang berhubungan dengan persilangan dialel. Istilah kemampuan DGU untuk melihat penampilan rata-rata galur-galur dalam kombinasi hibrida, sedangkan istilah DGK untuk mengklarifikasi sejumlah kombinasi tertentu yang relatif lebih baik atau lebih jelek dari yang diperkirakan pada penampilan rata-rata dari galur-galur yang terlibat. Nilai dari setiap populasi tergantung pada potensi per se dan kemampuan daya gabung dalam persilangan (Vacaro et al., 2002). Pemanfaatan konsep ini untuk karakterisasi suatu inbrida dalam persilangan telah populer di antara pemulia jagung sejak beberapa dekade terakhir.
Aplikasi marka molekuler
Inbrida jagung mempunyai sejarah yang kompleks karena dibentuk dari varietas bersari bebas dan disilangkan pada sejumlah inbridanya sendiri. Kondisi ini yang menyebabkan sulitnya menempatkan inbrida ke dalam kelompok yang tepat berdasarkan pedigree dan hubungan kekerabatan genetiknya. Walaupun informasi pedigree dapat digunakan sebagai penuntun, namun seleksi dan penghanyutan genetik (genetic drift) selama proses silang dalam (inbreeding) dapat menyebabkan ketidak sesuaian di antara silsilah (pedigree) dan konstitusi genetiknya. Selain itu seringkali didapati informasi silsilah yang tidak komplit, kurang akurat dan saling bertentangan (Liu et al., 2003).
10
Data morfologi telah lama digunakan dalam perlindungan varietas tanaman, registrasi tanaman untuk deskripsi identifikasi, dan dalam membedakan kultivar-kultivar dan galur-galur yang mengacu pada Union Pour la Protection des Obtention Vegetales (UPOV). Namun karakter-karakter morfologi sering tidak menggambarkan hubungan genetik akibat interaksi lingkungan dan sejumlah kontrol genetik yang tidak diketahui (Smith dan Smith, 1989). Data biokimia yang diperoleh melalui pemisahan protein dengan menggunakan elektroforesis atau gas kromatografi merupakan pembeda genotipe yang superior karena secara nyata tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan dasar genetiknya secara umum dapat diketahui (Smith dan Smith, 1987). Informasi silsilah dan marka DNA telah banyak dimanfaatkan untuk memperkirakan hubungan genetik dari sejumlah kultivar pada beberapa tanaman (Cox et al., 1985; Murphy et al., 1986; van Beuningen dan Bush, 1997). Melchinger et al. (1991) mengestimasi jarak genetik pada sejumlah galur dengan menggunakan penanda molekuler RFLP dengan persamaan Roger Distance (RD) memperoleh diversitas genetik yang luas pada sejumlah galur-galur dari Iowa Shift Stalk Synthetic (BSSS), Reid Yellow Dent (RYD) dan Lancaster Sure Crop (LSC). Senior et al. (1998) mengemukakan hasil analisis gerombol yang mengelompokkan galur-galur murni yang diuji menjadi sembilan gerombol dan sesuai dengan kelompok heterotik utama atau jagung kelas komersial di Amerika Utara. Paterson et al. (1991) melaporkan bahwa marka genetik dapat meningkatkan kemampuan dalam mempelajari pengaruh gen secara individual. Dengan demikian lebih memungkinkan untuk menentukan fenomena yang manakah yang lebih berperan di dalam pemunculan heterosis, apakah dominan, over dominan atau gabungan dari keduanya. Menurut Karp dan Edward (1998), marka yang informatif merupakan elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam membandingkan metode yang berbeda, namun faktor-faktor lain seperti biaya, tingkat keterampilan yang dibutuhkan, tingkat ketelitian dan perbanyakan marka molekuler yang akan digunakan juga perlu dipertimbangkan. Jika marka berkorelasi secara positif dengan kemampuan daya gabung, maka marka ini dapat digunakan sebagai penyaring pertama yang dapat mengidentifikasi 11
maksimal 50% dari hasil pengujian lapangan dari progeni tersebut, sehingga hanya tanaman atau progeni tertentu yang disilangkan dengan tester. Namun, prosedur ini tidak akan mengurangi waktu yang digunakan untuk pengujian dan pengembangan hibrida potensial, walaupun dapat menurunkan jumlah materi yang diuji.
Marka molekuler untuk analisis keragaman Ada tiga tipe utama marka genetik: (i) marka morfologi adalah ciri atau karakter fenotipik; (ii) marka biokimia, yang menyangkut varian alelik dari ensim yang disebut isozim; dan (iii) marka DNA (molekuler), yang menggambarkan letak variasi DNA (Tanksley and McCouch, 1997). Marka morfologi secara visual dikarakterisasi secara fenotipik seperti warna bunga, bentuk biji, tipe tumbuh atau pigmentasi. Marka isozim adalah marka yang dapat membedakan enzim yang dideteksi melalui elektroforesis dan merupakan penanda spesifik. Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan morfologi terbatas dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fase perkembangan dari tanaman (Tanksley dan McCouch, 1997). Marka DNA adalah tipe yang paling luas mendominasi dalam kaitannya dengan jumlah. Marka tersebut berkembang dari perbedaan klas dalam mutasi DNA seperti mutasi titik (substitution), insersi atau delesi (rearrangement) atau kesalahan dalam replikasi dari DNA berulang secara tandem (Matsuoka et al., 2002). Tidak seperti marka morfologi dan biokimia, marka DNA pada kenyataannya selain tidak terbatas di dalam jumlah, juga tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan/atau fase perkembangan dari tanaman (Tanksley and McCouch, 1997). Terlepas dari penggunaan marka DNA di dalam konstruksi pemetaan terpaut, aplikasinya banyak terkait dengan pemuliaan tanaman seperti pendugaan tingkat keragaman genetik di dalam plasma nutfah (Warburton et al., 2002) dan identifikasi kultivar (Gethi et al., 2002). Sekarang ini, jumlah pengujian molekuler yang tersedia untuk studi keragaman tanaman meningkat secara dramatis, dimana masing-masing metode berbeda dalam prinsip, aplikasi, tipe dan jumlah polimorfisme yang terdeteksi, dan juga biaya dan waktu yang dibutuhkan (Tanksley and McCouch, 1997). Marka DNA secara luas dapat dibagi dalam tiga klas berdasarkan metode deteksi: (i) berbasis hibridisasi seperti RFLPs
12
(Restriction Fragment Length Polymorphisms) ; (ii) berbasis PCR (polymerase chain reaction) seperti AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), SSR (Simple Sequence Repeats), dan (iii) berbasis sekuen DNA seperti SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms) (Tanksley and McCouch, 1997).
Keragaman genetik pada jagung
Dengan munculnya metode molekuler untuk menduga variasi genetik, berbagai studi mengenai keragaman genetik dan hubungannya dengan galur-galur inbrida jagung, hibrida dan bersari bebas. Keragaman molekuler pada jagung telah diteliti untuk berbagai kepentingan. Mum dan Dudley (1994) telah berhasil mengidentifikasi kelompok heterotik utama dan subgrup dalam set yang terdiri atas 148 galur inbrida Amerika Serikat (A.S.), menggunakan 46 marka RFLP. Sebaliknya, Warburton et al. (2005) tidak menemukan gerombol yang jelas dalam set 218 galur inbrida yang bervariasi secara fenotipik yang dibentuk di CIMMYT. Mereka menyimpulkan bahwa alat bantu marka molekuler bermanfaat di dalam menyaring kelompok heterotik dan menyeleksi tester representatif yang akan digunakan di dalam program pemuliaan hibrida. Di Cina, Xia et al. (2004a) menunjukkan bahwa SSR dapat digunakan untuk menduga hubungan antara galur inbrida jagung, tetapi sukar untuk memprediksi heterosis dan penampilan hibrida. Berdasarkan analisis molekuler dengan menggunakan 83 marka SSR, Lu dan Bernardo (2001) menyimpulkan bahwa keragaman genetik sejumlah galur inbrida A.S. terbaru telah menurun pada level genetik tetapi tidak pada level populasi jika dibandingkan dengan galur-galur penting yang telah lama digunakan. George et al. (2004a) menduga keragaman genetik untuk penyakit bulai terhadap 102 galur inbrida Asia menggunakan 76 marka SSR dan menyimpulkan bahwa aktivitas pemuliaan jagung di Asia tidak menyebabkan penurunan keragaman genetik dalam skala besar pada daerah tertentu dimana aktivitas dilakukan.
13
Marka SSR berbasis PCR
Single Sequence Repeats atau biasa disebut mikrosatelit merupakan unit pengulangan 1 - 6 pasang basa DNA dengan variasi yang tinggi (Gupta et al., 1996; Senior et al., 1998). Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region) lokus SSR (Akkaya et al., 1992), yang bisa menghasilkan amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) pada lokus SSR tersebut. Hasil produk PCR dapat dielektroforesis yang dibedakan menurut jumlah unit pengulangan DNA dalam alel-alel SSR yang muncul dan menghasilkan polimorfisme yang tinggi antar spesies (Senior dan Heun, 1993; Taramino dan Tingey, 1996; Senior et al., 1998), dan yang lebih penting adalah antar individu-individu di dalam spesies dan populasi (Gupta et al., 1996; Chen et al., 1997). Marka SSR juga bersifat multialelik dan mudah diulangi, yang menjadikan marka SSR ini penggunaannya lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotipe-genotipe yang berbeda (Senior et al., 1998). Ditambahkan bahwa teknik SSR sering menggunakan gel polyakrilamid karena lokus SSR mengandung dinucleotida yang berulang yang mengamplifikasi produk PCR pada kisaran 100 sampai 300 bp, dimana jika susunannya berbeda setiap 2 bp maka pada kisaran tersebut gel agarose tidak mampu digunakan. Gel polyacrylamide mempunyai resolusi yang lebih tinggi dari pada gel agarose menyebabkan gel tersebut mampu mendeteksi sejumlah besar alel per lokus (Macaulay et al., 2001). Kemudahan SSR dalam amplifikasi dan deteksi serta tingginya polimorfisme yang dihasilkan menyebabkan ideal untuk dipakai dalam studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu dalam teknik PCR metode SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil dari genom. SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain seperti biji atau pollen (Senior et al., 1996). Pada tanaman kedelai, marka SSR menghasilkan perkiraan heterosigositas yang paling tinggi, sedangkan marka AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) menghasilkan rasio multipleks efektif paling tinggi (Powel et al., 1996b). Pejic et al. (1998) melaporkan bahwa apabila yang menjadi target utama adalah jumlah alel per 14
lokus, secara rata-rata marka SSR dapat menghasilkan informasi dua kali lebih tinggi dari AFLP dan RAPD, dan 40% lebih tinggi dari pada RFLP. Penggunaan marka molekuler pada tahap awal, khususnya SSR diketahui cukup mahal namun dengan bantuan marka tersebut maka seleksi genotipe berdasarkan hubungan kekerabatan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih cepat dan pemanfaatan sifat heterosis dapat dieksploitasi secara maksimal. Secara khusus DNA berdasarkan tingkat polimorfisme merupakan alat yang paling kuat dalam memperoleh similaritas genetik antara breeding stock (Lee, 1995). Senior et al. (1998) meneliti penggunaan marka SSR untuk menentukan hubungan kekerabatan genetik pada jagung dengan menggunakan sistem gel agarose. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan pola perbedaan genetik yang digambarkan oleh polimorfisme hasil SSR, konsisten dengan informasi pedigree. Macaulay et al. (2001) mengemukakan bahwa akan lebih baik jika data genetik yang dihasilkan menggunakan metode yang fleksibel, dengan breeding record yang sesuai dengan gabungan dari set data pada waktu yang berbeda serta laboratorium yang berbeda di seluruh dunia. Marka mikrosatelit merupakan tipe pengujian yang potensial dalam menghasilkan format set data seperti itu (Powel et al., 1996a). Warburton et al., (2002) menjadikan marka SSR sebagai marka pilihan untuk sidikjari (fingerprinting) dan keragaman genetik tanaman karena merupakan marka yang ideal dalam kaitannya dengan pewarisan ko-dominan, lokus spesifik, dan karakter multi alelik. Marka molekuler berbasis PCR seperti SSR dapat menganalisis dataset dalam jumlah besar dalam periode waktu yang relatif singkat (Rebourg et al., 2001). Dalam studi 33 galur murni jagung, SSR menghasilkan informasi dua kali lebih banyak dari pada AFLP dan RAPD, lebih besar 40% dibandingkan RFLP dalam kaitannya dengan jumlah alel per lokus (Pejic et al., 1998).
Analisis Statistik untuk Data Molekuler
Metode statistik dan multivariat secara luas digunakan untuk analisis pola genotipe DNA dalam studi keragaman tanaman. Khusus untuk analisis genotipe DNA dilakukan untuk kemiripan genetik atau matriks jarak genetik dalam jumlah yang lebih 15
besar dibandingkan pada matriks raw data multivariat. Pilihan yang tepat untuk mengukur jarak genetik merupakan komponen penting dalam analisis keragaman genetik sejumlah set genotipe. Untuk data marka molekuler dimana produk amplifikasi dapat diasumsikan dengan alel, sebagai seperti SSR dan RFLP, sehingga frekuensi alel dapat dihitung dan data tersebut akan digunakan dalam bentuk matriks data biner untuk analisis statistik. Untuk marka ko-dominan, dapat menggunakan koefisien simple matching (SM) (Sokal and Michener, 1958), koefisien Jaccard (1908), koefisien Nei dan Li (1979), dan jarak Rogers’ termodifikasi (Roger, 1972) umumnya digunakan untuk mengukur kemiripan genetik dimana data dalam bentuk binari (ada atau tidak ada). Koefisien simple matching adalah ratio jumlah yang matches (sesuai/sepadan) terhadap jumlah matches dan mismathes sedangkan koefisien Jaccard adalah rasio matches positif terhadap jumlah matches positip dan mismatches. Prasanna (2002, komunikasi pribadi) menyarankan untuk menggunakan koefisien Jaccard pada data yang mempunyai missing data. George et al. (2004a) menghitung kemiripan genetik sejumlah pair-wise comparisons galur inbrida jagung dalam kaitannya dengan resistensi penyakit bulai menggunakan koefisien SM dan Jaccard. Dalam studi galur murni jagung Brazilia, Oliveira et al. (2004) menemukan koefisien kemiripan Jaccard berkisar dari 0,345 sampai 0,891 dan menentukan hubungan genetik sejumlah pasangan inbrida menggunakan koefisien tersebut. Modifikasi jarak Roger telah digunakan dalam menentukan jarak genetik antara sejumlah galur inbrida jagung dataran rendah tropis (Xia et al., 2004b), dan galur inbrida serta populasi CIMMYT (Warburton et al., 2002). Estimasi jarak genetik Nei dan Li (1979) telah dikembangkan untuk analisis restriction site polimorphisms, dan pengestimasinya dihasilkan oleh Dice (1945) pada era pramolekuler. Barcaccia et al. (2003) menggunakan pengukuran jarak genetik Neis’s unbiased untuk menghitung jarak antara populasi dari landrace jagung Itali yang disebut Nostrano I. Analisis gerombol, analisis komponen utama (PCA=Pricipal Component Analysis), Analisis koordinat utama (PCoA=Principal Coordinate Analysis) dan Multidimensional Scaling (MDS) adalah sejumlah metode multivariat yang umum digunakan
untuk studi keragaman genetik. Alat statistik yang menonjol dan
pertimbangan di dalam analisis kemiripan genetik pada tanaman dibahas oleh 16
Mohammadi dan Prasanna (2003). PCA dan PCoA juga digunakan untuk menunjukkan penyebaran posisi relatif dari materi yang diuji dalam dua atau tiga dimensi sehingga jarak geometrikal sejumlah materi yang diuji merefleksikan jarak genetik di antara materi tersebut dengan sedikit distorsi. Pengelompokan materi dalam plot sebaran akan menunjukkan set berdasarkan kemiripan genetik secara individu. George et al. (2004b) menggunakan PCoA untuk mendapatkan perbedaan visualisasi yang lebih baik pada resistensi penyakit bulai pada sejumlah set galur inbrida di Asia, sedangkan Warburton et al. (2005) menggunakan PCA pada set data yang dihasilkan dari analisis SSR dan RFLP. Xia et al. (2005) menggunakan PCoA terhadap set galur inbrida jagung di daerah subtropika, mid-altitude dan dataran tinggi berdasarkan data SSR. Analisis gerombol yang mengarah pada materi dalam grup yaitu genotipe yang berdasarkan pada karakteristik yang dimilikinya, dimana individu dengan diskripsi yang serupa/sama secara matematik dikumpulkan ke dalam gerombol yang sama. Metode geromboling biasanya digambarkan dalam bentuk diagram pohon atau dendrogram dimana gerombol dapat diidentifikasi secara visual (Mohammadi dan Prasanna, 2003). Analisis gerombol juga telah digunakan dalam studi variasi SSR pada galur-galur penting U.S (Gethi et al., 2002). Oliveira et al. (2004) menggunakan analisis gerombol dalam mengevaluasi hubungan antara galur inbrida tropika dari Brazil, tetapi tidak berhasil untuk membedakan dengan jelas galur-galur tersebut dalam kelompok. Tidak ada aturan statistik formal untuk menetapkan berapa marka genetik yang dibutuhkan untuk mengklasifikasi aksesi secara akurat, menjelaskan pola genetik atau mengestimasi jarak genetik atau fenogram secara akurat. Smith et al. (1991) menggunakan 200 marka RFLP yang menyebar pada seluruh genom jagung untuk sidikjari 11 galur inbrida. Mereka mengestimasi matriks jarak genetik dengan sampling lima sampai 200 marka RFLP dengan melakukan lima penambahan pada setiap tahap (mis. 5, 10, 15, ......200). Mereka menyimpulkan bahwa akurasi sudah cukup dengan 100 atau lebih marka. Bernardo (1993) menyimpulkan bahwa 250 atau lebih lokus marka dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi yang tepat untuk koefisien coancestry pada jagung. Jumlah marka genetik yang digunakan di dalam analisis kemungkinan bisa ditentukan oleh faktor-faktor nonstatistik. Hasil analisis mungkin merupakan satu kriteria yang digunakan untuk menyeleksi marka genetik untuk analisis ke depan. 17
Kemiripan genetik antara dua populasi dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik dari sampel marka genetik. Idealnya, marka genetik untuk tujuan perlindungan varietas dan untuk mengklasifikasi materi genetik yang belum diketahui, harus dengan marka polimorfisme tinggi dan menyebar secara merata pada genom.
Korelasi Marka DNA dengan Informasi Fenotipik
Penelitian mengenai hubungan antara marka-marka dan karakter-karakter yang bernilai ekonomi, penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu dalam pemuliaan. Perhatian utama dalam pogram pemuliaan jagung hibrida adalah mengidentifikasi galur-galur murni dimana dari hasil persilangannya akan diperoleh tingkat heterosis yang optimal (Lee et al., 1989). Estimasi kedekatan genetik antara tanaman bermanfaat di dalam studi evolusi populasi atau spesies dan dalam perencanaan persilangan untuk hibrida atau dalam pengembangan kultivar homozigous (Cox et al., 1985). Hubungan genetik dapat bermanfaat sebagai alat peramal dalam penampilan kombinasi genotipe untuk program pemuliaan sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengujian hibrida. Eksploitasi secara komersial dari fenomena heterosis adalah salah satu kontribusi yang sangat penting dari pemanfaatan hubungan genetik dalam pemuliaan tanaman di abad ini (Barbosa-Neto et al., 1996). Estimasi jarak genetik sejumlah galur murni jagung yang dilakukan oleh Lee et al. (1989) berdasarkan MRD (Modified Rogers’ Distance) menunjukkan bahwa hasil (ton/ha) dan kemampuan daya gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nyata dengan MRD pada enam dari 10 peta kromosom jagung. Oleh sebab itu, gerombolisasi galur-galur jagung ke dalam kelompok heterosis sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi peneliti pemulia untuk mengurangi biaya karena dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterosis. Pinto et al. (2003) mengamati pengaruh seleksi berulang berbalasan (recurrent resiprokal) pada struktur genetik populasi jagung tropik pada lokus mikrosatelit, menemukan adanya reduksi jumlah alel setelah seleksi yang sejalan dengan terjadinya perubahan di dalam frekuensi alel. 18
Riday et al. (2003) membandingkan antara nilai jarak genetik dengan morfologi dan heterosis pada Medicago sativa sub sp. sativa dan subsp. Falcata, menemukan bahwa jarak genetik berdasarkan AFLP tidak berkorelasi dengan hasil daya gabung khusus (DGK) namun sebaliknya matriks jarak berdasarkan morfologi terhadap 17 karakter agronomik dan karakter kualitatif mempunyai korelasi yang nyata dengan heterosis. Salah satu aplikasi yang penting dari marka DNA adalah memprediksi heterosis pada hibrida. Evaluasi hibrida untuk heterosis dan nilai daya gabung di lapang mahal dan boros waktu (Sant et al., 1999). Parameter-parameter lain seperti informasi pedigree, karakter kualitatif dan kuantitatif (Smith et al., 1990; Wang et al., 1992) dan data biokimia (Leonardi et al., 1991) telah digunakan untuk studi heterosis. Marka DNA juga telah digunakan secara ekstensif untuk korelasi keragaman genetik dan heterosis pada jagung (Smith et al., 1990; Ajmone Marshan et al., 1998; Parentoni et al., 2001), pada padi (Xiao et al., 1996; Zhang et al., 1994; Zhao et al., 1999), oat (Mosser dan Lee, 1994; O’Donoughue et al., 1994), barley (Melchinger et al., 1990) dan cheakpea (Sant et al., 1999). Pemuliaan tanaman secara sederhana terdiri atas (a) meningkatkan variasi genetik melalui rekombinasi dan (b) seleksi untuk mengidentifikasi rekombinan superior untuk kemajuan di dalam program pemuliaan. Semua metode pemuliaan mengandung kedua tahap tersebut. Protokol yang digunakan pada masing-masing tahapan kompleks dengan dengan metode pemuliaan yang berbeda sesuai tujuan pemuliaan, dan materi genetik yang digunakan (Hallauer, 1990; Fehr, 1987). Sampai sekarang pada umumnya metodologi pemuliaan tanaman masih membutuhkan proses panjang lima sampai 10 tahun untuk mendapatkan kultivar baru atau hibrida sampai di pasaran. Perbaikan masih diperlukan, dan tawaran marka molekuler adalah salah satu terobosan yang dapat dimanfaatkan.
19
BAB. III Analisis Keragaman Genetik Inbrida Jagung Berbasis Marka Mikrosatelit ABSTRAK Keragaman genetik merupakan salah satu kriteria untuk seleksi tetua dalam program pemuliaan hibrida. Tujuan penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui hubungan genetik dan tingkat keragaman genetik 34 inbrida elit berdasarkan marka mikrosatelit atau Single Sequence Repeats (SSR) dan data pedigree, dan (b) mendapatkan informasi kelompok heterotik dan nilai jarak genetik yang akan digunakan untuk seleksi tetua hibrida. Data yang dianalisis adalah tingkat polimorfisme, keragaman genetik, dan jarak genetik menggunakan koefisien Jaccard. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat polimorfisme cukup tinggi, berkisar dari 0,22 sampai 0,86 dengan nilai rata-rata 0,61 dengan keragaman alelik 4,5 alel per lokus. Jarak genetik berkisar dari 0,21 sampai 0,88 mengindikasikan variabilitas genetik inbrida yang dikarakterisasi cukup luas. Konstruksi dendrogram dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain,
dikelompokkan ke
dalam lima grup berdasarkan kemiripan genetik, dan pada umumnya sesuai dengan data pedigree. Keterbatasan penggunaan data pedigree nampak dalam penelitian ini dimana terdapat empat inbrida dengan inisial pedigree yang sama menyebar pada tiga kelompok yang berbeda atau kelompoknya belum tegas. Informasi marka molekuler efektif digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi galur inbrida sebagai dasar untuk menyeleksi tetua hibrida sebagai salah satu strategi yang rasional dalam program pemuliaan hibrida.
Kata kunci: jarak genetik, polimorfisme, marka molekuler, kelompok heterotik
20
Microsatellite-Based Genetic Diversity Analysis among Maize Inbreds ABSTRACT Genetic diversity is considered as one criteria for selection of parents in hybrid breeding program. The present study is undertaken to evaluate genetic divergence among inbreds and to assess the relationship between heterosis and parental genetic distance. The objective of this study are (a) to estimate the level of genetic diversity among 34 inbred lines from different population sources based on microsatellite or single sequence repeats (SSR) markers and pedigree data, and (b) to obtain information of heterotic groups and genetic distance of the inbreds as used in parental hybrid selection. The data are analyzed by polymorphic information content (PIC), genetic diversity, and genetic distance (Jaccard’s coefficient). Banding patterns range in percentage of polymorphism from 0.22 to 0.82 with an overall mean of 0.61 with an allelic diversity of 4.5 alleles/primer. Genetic distance value ranging from 0.21 to 0.88 indicates the broad ranges of genetic variability of the inbreds. Construction of the dendrogram can differentiate inbreds, and
cluster the inbreds in to five groups based on genetic
similarities and is generally consistent with the pedigree data. The limitation of using pedigree data is shown in this study where four inbreds having the same initial pedigree (SP007) scattered in the three groups or having no obvious pedigree data. This information of molecular markers is effective to select hybrid parents and one of the rational strategies in hybrid breeding program. Key words: genetic distance, polymorphism, molecular marker, heterotic group
21
PENDAHULUAN Klasifikasi galur-galur elit dan penetapan galur-galur murni ke dalam kelompok heterotik merupakan faktor utama dalam pengambilan keputusan di dalam program pembentukan jagung hibrida (Kantety et al., 1995). Lee (1998) menyatakan bahwa kelompok dan pola heterotik mempunyai implikasi yang besar dan berpengaruh jangka panjang dalam program pemuliaan. Penetapan kelompok dan pola heterotik akan menjadi sumber informasi yang sangat penting dalam melakukan identifikasi dan penetapan tetua hibrida. Selain itu dapat memberikan arah dalam seleksi, persilangan, dan pengujian kombinasi tetua sebagai kandidat hibrida. Jika menyeleksi calon tetua hibrida tanpa mengetahui kelompok heterotik maka akan sukar untuk memprediksi besarnya heterosis yang akan dicapai, dan kemungkinan besar hasil yang akan diperoleh tidak optimal. Metode klasik dalam mengestimasi sejumlah kelompok tanaman pada umumnya berdasarkan karakter morfologi dimana ANOVA memegang peranan penting dalam penentuan spesies tanaman dan kerabatnya. Salah satu strategi alternatif yang perlu diperhatikan dan dipikirkan adalah teknis analisis yang didasarkan pada asumsi bahwa daya gabung khusus yang terekspresi pada suatu hibrida berhubungan erat dengan jarak genetik antar galur-galur tetua (Lee et al., 1989). Untuk memanfaatkan sifat heterosis secara optimum di dalam pemuliaan hibrida, maka tetua betina dan tetua jantan secara genetik masing-masing harus berasal dari pool yang berkerabat jauh yang disebut dengan kelompok heterotik (Melchinger dan Gumber, 1998). Sebelum reorganisasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian, sebagian besar inbrida jagung yang dibentuk di Balai Penelitian Tanaman Pangan pada umumnya memperoleh materi genetik jagung yang diintroduksi dari CIMMYT Mexico (sub tropis) dan CIMMYT Asia, (Thailand) (tropis). Berdasarkan informasi pengembangan populasi dan inbrida di Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros, sumber-sumber materi genetik baik dalam bentuk populasi maupun inbrida, selain dari CIMMYT, juga sebagian besar dari Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, yang sekarang telah menjadi Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) serta Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, sekarang telah 22
menjadi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB_Biogen). Pada Tabel 1, sejumlah 39 galur inbrida yang dikarakterisasi, sebagian besar dibentuk di Indonesia dan ada yang diintroduksi dari CIMMYT, Thailand dan lima galur diperoleh dari IPB (personal). Sebagai contoh genotipe dengan inisial “Arc1" berasal dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB_Biogen) adalah genotipe yang berasal dari varietas bersari bebas yaitu kultivar Arjuna yang sebelumnya diseleksi dari populasi Suwan2 (SW2) dari Thailand (Subandi, 2002). MKB adalah galur-galur yang dibentuk dari populasi MSK yaitu populasi Malang Sintetik versi umur genjah (Dahlan et al., 1996). Dengan demikian kemungkinan besar bahwa banyak materi-materi genetik dengan pedigree yang berbeda ternyata berkerabat dekat. Tetapi ada juga kemungkinan bahwa ada materi dengan pedigree yang sama tetapi ternyata jarak genetiknya sudah cukup jauh. Secara kasat mata benih atau biji dari meteri genetik yang berbeda sangat sukar dibedakan. Selain itu, dalam penampilan di lapangan, oleh karena kuatnya pengaruh lingkungan terhadap karakter morfologi, kadang-kadang banyak karakter yang tidak terekspresi sehingga menyulitkan dalam membedakan sejumlah besar koleksi materi genetik baik populasi maupun galur inbrida. Pengetahuan tentang keragaman genetik plasma nutfah dan hubungannya dengan sejumlah galur elit pemuliaan telah nyata mempunyai dampak positif terhadap perbaikan tanaman (Hallauer dan Miranda, 1988). Pada tanaman jagung informasi ini bermanfaat di dalam perencanaan persilangan untuk hibrida dari galur-galur harapan, dengan membagi-bagi galur ke dalam kelompok-kelompok heterotik, atau untuk keperluan perlindungan tanaman. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan data pedigree dan/atau data heterosis, dari karakter-karakter morfologi atau menggunakan marka molekuler yang dapat mendeteksi variasi pada tingkat DNA (Smith dan Smith, 1992). Namun demikian dalam interpretasi data maka data molekuler secara sendiri tidak dapat diinterpretasi untuk aplikasi di lapangan karena data genotipeik itu sendiri tidak dapat diekspresikan. Marka molekuker hanya akan terekspresi melalui data fenotipik. Oleh sebab itu dibutuhkan informasi fenotipik untuk mengetahui apakah data molekuler yang diperoleh dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan lebih
23
efektif sebagai alat bantu program pengembangan jagung hibrida (Smith dan Smith, 1992). Hasil evaluasi penggunaan primer SSR sebagai marka molekuler pada jagung dibandingkan dengan data RFLP dan pedigree (Smith et al., 1997) memperlihatkan bahwa profil SSR dapat langsung diinterpretasi sesuai dengan alel-alel yang terdapat pada peta lokus yang dapat menjelaskan kisaran jarak dari genotipe-genotipe jagung. Oleh sebab itu marka SSR akan lebih berperan dalam pendekatan identifikasi dan validasi pedigree genotipe-genotipe jagung dibandingkan dengan metode-metode lainnya yang tersedia. Jumlah alel yang terdeteksi pada jagung dengan metode SSR lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode lain (Pejic et al., 1998). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui hubungan genetik dan tingkat keragaman genetik 39 inbrida elit berdasarkan marka mikrosatelit atau SSR dan data pedigree, (2) mendapatkan informasi kelompok heterotik dan nilai jarak genetik yang akan digunakan untuk seleksi tetua hibrida.
BAHAN DAN METODE Materi Genetik Tanaman Materi tanaman yang digunakan sebanyak 39 koleksi galur elit yang terdiri atas empat inbrida dari IPB (personal), 35 galur elit yang dibentuk di Balitsereal dimana dua di antaranya yaitu Mr4 dan Mr14 digunakan sebagai penguji (tester). Populasi asal dari inbrida yang digunakan dalam penelitian cukup bervariasi sehingga diharapkan akan terbentuk kelompok heterotik yang jelas antara satu dengan yang lain. Semua inbrida dibentuk di daerah tropis, berwarna kuning dan hampir semuanya mempunyai tipe flint kecuali inbrida P5/GM26-22-2-2-1-2-BB dan P5/GM26-87-1-1-2-1-BB yang tipe semi flint (Tabel 1).
Analisis Molekuler Prosedur isolasi, amplifikasi, dan visualisasi pola pita DNA mengikuti prosedur George et al. (2004a) yang dimodifikasi sesuai kondisi laboratorium. Biji ditanam 24
sebanyak 15 individu untuk masing-masing inbrida pada baki yang menggunakan media tanah. Materi tanaman yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah tanaman yang berumur 10 sampai 15 hari setelah tanam. Bagian tanaman yang diambil adalah daun muda yang telah membuka sempurna sebanyak 5-8 individu tanaman dipotong-potong kecil, dicampur kemudian ditimbang 0,4 g per sampel, dimasukkan ke dalam tube 2 ml yang telah berisi buffer CTAB 1,8 ml. Tabel 1 Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam penelitian ini No. Pedigree Populasi Asal Tipe* 1 Balitsereal: P5/GM25-42-2-1-1-1-BB P5/Pop31 T, K, F 2 Balitsereal: P5/GM25-97-2-2-1-2-BB P5/Pop31 T, K, F 3 Balitsereal: P5/GM25-203-1-1-1-1-BB P5/Pop31 T, K, F 4 Balitsereal: P5/GM25-233-1-2-1-3-BB P5/Pop31 T, K, F 5 Balitsereal: P5/GM25-241-2-1-2-2-BB P5/Pop31 T, K, F 6 Balitsereal: P5/GM25-251-1-1-1-4-BB P5/Pop31 T, K, F 7 Balitsereal: P5/GM26-9-2-3-1-1-BB P5/Arjuna (Arc1) T, K, F 8 Balitsereal: P5/GM26-22-2-2-1-2-BB P5/Arjuna (Arc1) T, K, F 9 Balitsereal: P5/GM26-87-1-1-2-1-BB P5/Arjuna (Arc1) T, K, F 10 Balitsereal: P5/GM30-9-1-1-1-2-BB P5/Acer T, K, F 11 Balitsereal: P5/GM30-66-2-2-4-2-BB P5/Acer T, K, SF 12 Balitsereal: P5/GM30-54-1-1-2-1-BB P5/Acer T, K, SF 13 Balitsereal: Bisma-3-1-B-1-1-1-B Bisma T, K, F 14 Balitsereal: Bisma-137-2-B-1-2-1-B Bisma T, K, F 15 Balitsereal: Bisma-140-2-1-1-1-1-B Bisma T, K, F 16 Balitsereal: Bisma-181-1-1-1-1-1-B Bisma T, K, F 17 Balitsereal: BM(S1)C0-10-1-1-1-1-B Arjuna T, K, F 18 Balitsereal: BM(S1)C0-60-1-1-1-1-B Arjuna T, K, F 19 Balitsereal: BM(S1)C0-172-2-B-1-1-B Arjuna T, K, F 20 Balitsereal: MKB-24-2-B-1-2-B MSK T, K, F 21 Balitsereal: MKB-52-1-B-1-1-B MSK T, K, F 22 Balitsereal: SP006BBBB-27 J2-34 T, K, F 23 Balitsereal: SP006BBBB-65 J2-34 T, K, F 24 Balitsereal: SP007-23-BBBB Sintetik 1 T, K, F 25 Balitsereal: SP007-42-BBBB Sintetik 1 T, K, F 26 Balitsereal: SP007-68-BBBB Sintetik 1 T, K, F 27 Balitsereal: SP007-85-BBBB Sintetik 1 T, K, F 28 Balitsereal: SP007-118-BBBB Sintetik 1 T, K, F 29 Balitsereal: SP008-70-BBB Sintetik 2 T, K, F 30 Balitsereal: SP008-120-BBB Sintetik 2 T, K, F 31 Balitsereal: SP008-128-BBB Sintetik 2 T, K, F 32 Balitsereal: SP008-135-BBB Sintetik 2 T, K, F 33 Balitsereal: SP009-51-BBB Sintetik 3 T, K, F 34 IPB: SM5-9x T, K, F 35 IPB: SW7-6 T, K, F 36 IPB: SW9 T, K, F 37 IPB: SM7-11x Bisi2, Bisi5 T, K, F 38 Balitsereal: MS.J1-46(RRS)C1 J2-46 T, K, F 39 Balitsereal: Suwan3-3-1-1-2-4-f(FS)-2 SW3 T, K, F Keterangan: *)T = Tropis, K= Kuning (warna biji), F = Flint (tipe biji), SF = Semi Flint (tipe biji). Sintetik1, Sintetik2, dan Sintetik3 adalah inbrida hasil penggaluran beberapa kultivar komersial.
25
Isolasi DNA genom. Proses isolasi DNA mengalami modifikasi yaitu pada proses penggerusan mengikuti prosedur Khan et al. (2004) dimana nitrogen cair diganti dengan buffer CTAB, 1,8 ml untuk sampel daun jagung segar dengan bobot 0,4 g. Larutan yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah CTAB (2x) (CTAB 2%; mercaptoethanol 1%; NaCl 1,4M; ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA); Tris-HCl 100mM), Chloroform isoamyl alcohol (24:1), RNase A (Sigma), Isopropanol, Ethanol (absolut dan 70%), buffer Tris-EDTA 0,1x. Sel dirusak dengan cara diinkubasi pada CTAB panas (65o C) sebagai buffer isolation. Protein diekstraksi dengan menggunakan chloroform-isoamil
alkohol
dan
kompleks
CTAB-DNA
diendapkan
dengan
menggunakan isopropanol atau etanol absolut. Pelet DNA dihasilkan melalui sentrifuge, kemudian dicuci, dikeringkan dan dilarutkan kembali. Pemurnian dilakukan untuk memisahkan DNA dari RNA, polisakarida, polifenol, dan kotoran-kotoran lain yang ikut di dalamnya. Prosedur pemurnian dengan perlakuan RNAse dan pengendapan ammonium asetat sehingga akan mengeluarkan RNA dan beberapa polisakarida. Kuantitas dan kualitas DNA hasil ekstraksi diukur berdasarkan standar λ-DNA melalui proses elektroforesis horizontal, dengan menggunakan gel agarose 0,9%. Proses amplifikasi. Amplifikasi bertujuan untuk menggandakan DNA yang akan digunakan untuk masing-masing primer yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan 36 primer yang menyebar secara merata pada seluruh genom jagung (http://www.agron.missouri.edu/ssr.html atau http://www.maizegenomedb.org/SSR.php.). Komposisi reaksi PCR, konsentrasi akhir, dan volume
seperti yang tertera pada
Lampiran 1. Reaksi PCR (coctail) dibuat pada mikroplate mikrotiter 96-sumur dengan menggunakan mesin PCR dari Biorad. Reaksi PCR diambil 8,5 μl dengan pipet mikro (multichannel) dan dimasukkan ke dalam sumur yang telah berisi DNA dari genotipegenotipe yang diuji masing-masing 1,5 μl. Larutan tersebut masing-masing ditutup dengan satu tetes mineral oil, kemudian microplate ditutup dengan plester aluminium. Proses amplifikasi terdiri atas beberapa tahap (Lampiran 2) yaitu tahap denaturasi 1 menit pada 94oC yang diikuti oleh touch down profil. Profil ini dimulai dengan 2 siklus selama 1 menit pada 94oC, 1 menit pada 65oC, dan 2 menit pada 72oC. Temperatur annealing kemudian diturunkan dari 1oC setiap dua siklus hingga berakhir pada saat 26
temperatur annealing tercapai. Siklus terakhir diulang 29 kali dan berakhir dengan siklus pemanjangan pada 4oC. Setelah amplifikasi selesai maka dikeluarkan dari mesin PCR. Reaksi dihentikan dengan memasukkan 4 μl loading dye atau stop solution (70% glicerol, 20 mM EDTA, 0,2% SDS, 0,6 mg/ml bromphenol blue) pada masing-masing sumur. Primer mikrosatelit yang digunakan sebanyak 41 pasang basa (forward dan reverse), dari Research Genetik, Inc, dan dari Invitrogen (Proligo). Primer-primer tersebut diseleksi berdasarkan tingkat polimorfisme dan sebaran yang merata pada kesepuluh kromosom jagung, sesuai referensi dari CIMMYT (Warburton et al., 2002), dan hasil karakterisasi pendahuluan untuk galur inbrida jagung di Indonesia (Pabendon et al., 2002). Proses sekuensing melalui PAGE 4,5% (Polyacrylamide Gel Electrophoresis) menggunakan sistem sequigen 38x40 cm dan protokol Bio-Rad Laboratories Inc. Hercules, CA, USA. Visualisasi pola pita DNA melalui proses silver staining menggunakan protokol Promega Silver Sequence. Pita-pita yang muncul diberi label berdasarkan posisi relatif dari pita-pita terhadap fragmen φX174/Hin f I.
Analisis Data Analisis data molekuler dilakukan berdasarkan hasil skoring pita DNA yang muncul pada plate. Pita DNA diskoring berdasarkan penampilan pita DNA ditransformasi ke dalam kode data biner dengan cara: jika ada pita diberi skoring satu (1) dan jika tidak ada pita diberi skoring nol (0). Pita yang tidak sempurna dan kabur diskoring 9 (missing data). Jika ada galur yang menghasilkan banyak pita maka pita yang paling jelas diskoring ‘1’ sedangkan yang lainnya diskoring ‘9’. Data pada kolom menunjukkan inbrida sedangkan baris menunjukkan lokus SSR. Analisis Tingkat Polimorfisme (Polimorphic Information Content =PIC). PIC dalam terminologinya sama dengan gene diversity (heterozygosity) (Weir, 1996). Nilai PIC memberikan perkiraan kekuatan pembeda dari marker dengan menghitung bukan saja jumlah alel dalam satu lokus tetapi juga frekuensi relatif dari sejumlah alel dari suatu populasi yang diidentifikasi. Lokus marka dengan jumlah alel yang banyak akan terdapat pada frekuensi yang seimbang dengan nilai PIC yang paling tinggi. Nilai PIC 27
dihitung untuk masing-masing marka SSR (Smith et al., 1997). Nilai PIC digunakan dalam mengukur diversitas alel pada satu lokus dengan formula: n
PIC = 1 − ∑ f i 2
i = 1, 2, 3, ………n
1
dimana f i2 adalah frekuensi alel ke-i. Koefisien korelasi kofenetik (r) juga dihitung dengan menggunakan program NTSYS. Analisis Tingkat Heterosigositas. Salah satu kelebihan dari metode SSR adalah
deteksinya kodominan sehingga lokus yang heterozigot akan dapat dibedakan dari lokus homozigot. Lokus yang homozigot akan mucul hanya satu pita/alel per primer per genotipe. Jika lebih dari satu alel berarti lokus tersebut heterozigot. Analisis ini penting untuk menghindari terseleksinya genotipe-genotipe dengan tingkat heterosigositas yang tinggi dimana pada pengamatan secara fenotipik tidak terdeteksi karena pengaruh faktor lingkungan. Tingkat heterosigositas untuk setiap genotipe dapat diketahui dengan formula:
Persetase heterozigositas =
Jumlah lokus heterozigot x 100% Total lokus SSRs yang digunakan
Untuk memperoleh hasil analisis data yang lebih akurat, maka dalam penelitian ini hanya genotipe yang mempunyai tingkat heterozigositas <20% yang dianalisis lebih lanjut. Analisis Matriks Jarak Genetik. Analisis matriks jarak genetik merupakan
analisis yang membandingkan antara ketidaksamaan karakter terhadap jumlah seluruh karakter. Matriks jarak genetik dapat diperoleh dari hasil analisis kemiripan genetik (Lee, 1998), dengan formula: S = 1 – GS dimana S = jarak genetik; GS = Kemiripan genetik (Genetic Similarity).
28
Analisis Tingkat Kemiripan Genetik (Genetic Similarity). Tingkat kemiripan
genetik adalah tingkat kemiripan karakter, dalam hal ini fragmen pita yang dimiliki secara bersama dari genotipe-genotipe yang diidentifikasi. Tingkat kemiripan genetik (GS) diestimasi dari data ukuran alel dengan menggunakan koefisien Jaccard (Rohlf, 2000) dengan formula : S=
m (n + u )
dimana m = jumlah pita (alel) DNA yang sama posisinya n = total pita DNA, dan u = jumlah pita (alel) DNA yang tidak sama posisinya. Dendrogram dikonstruksi berdasarkan Unweighted Pair Group Method Using Arithmatic Average (UPGMA) dengan menggunakan koefisien Jaccard. Jarak matriks dan dendrogram dibentuk dengan menggunakan program NTSYS-pc (Numerical Taxonomic System) versi 2.1 (Rohlf, 2000). Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis = PCA). Analisis
komponen utama digunakan untuk menggambarkan posisi relatif dari genotipe yang diidentifikasi melalui program NTSYS. Namun jika ada missing data maka yang digunakan adalah analisis koordinat utama (Principal Coordinate Analysis = PCOORDA) (Prasanna, 2002), yang merupakan bagian dari analisis komponen utama. Selain itu analisis komponen utama digunakan untuk mengetahui primer-primer yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Komponen utama dari peubah data asal diperoleh dari matriks varians-kovarians peubah asalnya. Skor komponen utama untuk setiap pengamatan dihitung melalui persamaan :
(
)
(
)
Yh1 = a1 x h − x ,.........Yhk = a k x h − x dimana Yh1 = skor komponen ke-1 dari obyek pengamatan ke-h, a1 = vektor pembobot komponen utama ke-1 dan Xh = vector data pengamatan dari obyek ke-h dan
X = vektor nilai rata-rata dari variabel asal
(Dillon dan Goldstein, 1984).
29
HASIL Karakteristik
marka
SSR
dan
variabilitas
genetik
inbrida
yang
dikarakterisasi. Gambar 2 adalah salah satu lokus SSR yang memperlihatkan variasi
genetik dari inbrida yang dikarakterisasi. Ekstraksi DNA tanpa menggunakan nitrogen cair dapat menghasilkan visualisasi dengan kualitas yang sangat baik. Dari 39 inbrida yang dikarakterisasi, terdapat lima inbrida yang mempunyai tingkat heterosigositas >20% yaitu P5/GM25-251-1-1-1-4-BB, BM(S1)C0-60-1-1-1-1-B, SP007-42-BBBB, SP009-51-BBB,
dan SW9. Untuk analisis selanjutnya, kelima galur tersebut akan
dimasukkan. Semua inbrida yang dikarakterisasi dapat dibedakan berdasarkan lokuslokus SSR yang digunakan dalam penelitian ini. Dari total 41 primer yang digunakan, lima primer dieliminasi karena menghasilkan missing data >10%, sehingga yang digunakan hanya 36 primer.
phi374118
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
13 14
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 32 33 34 35 36
37 38 39
Gambar 2 Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSR phi374118 melalui elektroforesis vertikal 4,5% PAGE (Polyacrylamide Gel Electrophoresis). No. 1, 2, 3....39 adalah galur yang dikarakterisasi.
Koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,76, tergolong cukup baik (good fit) terhadap matriks kemiripan genetik. Tingkat polimorfisme berkisar dari 0,22 sampai 0,82 dengan rata-rata 0,61. Total alel yang teridentifikasi sebanyak 162 berkisar dari dua sampai sepuluh alel, rata-rata 4,5 alel per lokus. Kisaran basa berkisar dari 62 sampai 305 bp. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
30
Tabel 2 Profil hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Primer phi109275 phi064 phi96100 phi109642 phi083 nc133 phi127 phi101049 phi374118 phi029 phi053 phi046 umc1136 phi072 phi213984 phi079 phi093 umc1109 phi102228 phi109188 phi087 umc1153 umc1143 phi423796 umc1545 phi034 phi328175 phi114 phi233376 umc1161 umc1279 phi065 phi448880 phi96342 umc1061 umc1196 Total Rata-rata
Sekuen basa berulang AGCT ATCC ACCT ACGG ACC GTGTC AGAC AGAT ACC AG/AGCG ATAC ACGC ATAC AAAC ACC AGATG AGCT ACG AACG AAAG ACC (TCA)4 AAAAT AGCC (AAGA)4 GCCT AGG GCCT CCG (GCTGGG)5 (CCT)6 CACTT AAG ACTT (TCG)6 CACACG
Kromosom 1,00 1,11 2,00 2,00 2,04 2,05 2,08 2,09 3,03 3,04 3,05 3,08 3,10 4,00 4,01 4,05 4,08 4,10 5,00 5,00 5,06 5,09 6,00 6,02 7,00 7,02 7,04 7,05 8,03 8,06 9,00 9,03 9,05 10,02 10,06 10,07
Tingkat polimorfisme 0,73 0,82 0,62 0,63 0,77 0,32 0,57 0,71 0,75 0,72 0,74 0,53 0,80 0,59 0,22 0,68 0,66 0,65 0,46 0,79 0,60 0,68 0,60 0,24 0,78 0,56 0,67 0,72 0,65 0,71 0,24 0,52 0,36 0,33 0,75 0,64 21,83 0,61
Jumlah alel/lokus 6 10 5 3 5 2 3 8 6 5 5 2 6 6 2 5 3 4 2 7 4 4 4 4 5 5 5 4 5 5 3 3 3 5 4 4 162 4,50
Kisaran basa (bp) 123-140 77-105 269-297 136-144 127-136 114-115 112-126 226-266 217-238 148-162 171-195 62-66 132-159 142-157 287-305 180-195 274-294 104-117 123-127 156-174 150-174 105-119 80-87 131-141 73-86 122-146 100-130 137-169 139-156 134-158 92-101 131-151 173-188 234-250 101-107 140-161 62-297
Tingkat kemiripan genetik. Hasil analisis NTSYS berdasarkan UPGMA,
terbentuk dendrogram seperti pada Gambar 3. Terdapat lima gerombol dimana pada gerombol yang dicirikan oleh inbrida dengan kode pedigree yang hampir sama, menunjukkan bahwa inbrida-inbrida tersebut dibentuk dari populasi yang sama sehingga tingkat kekerabatannya lebih dekat. Pada masing-masing gerombol utamanya yang pada
31
gerombol besar, didominasi oleh inbrida-inbrida dengan inisial yang serupa. Hal tersebut menandakan adanya kesesuaian dengan data pedigree walaupun tidak 100% sama.
P5/GM25-42 SP006BBBB-27
Mr4
KI
T4
P5/GM25-97 P5/GM25-203 P5/GM25-233 P5/GM25-241 P5/GM26-22 T1 P5/GM26-9 SM5-9x P5/GM26-87
KII
P5/GM30-9 P5/GM30-66 Bisma-137 Bisma-140-2
T2
P5/GM30-54 Bisma-181-1 BM(S1)C0-10 BM(S1)C0-172
T3
SP006BBBB-65
SP007-118 SP008-70 SP008-128 SP008-120
T6
KIII
SP008-135 SW7-6 SM7-11x Bisma-3-1 SP007-23
KIV
SP007-85 Mr14
T7
MKB-24 MKB-52 SP007-68
KV T5
Koefisien kemiripan genetik
Gambar 3. Dendrogram 34 inbrida berdasarkan UPGMA dengan menggunakan 36 marka SSR polimorfis. T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7 adalah inbrida yang terseleksi sebagai tetua untuk persilangan dialel.
Komposisi inbrida pada masing-masing gerombol dan jarak genetik rata-rata masing-masing inbrida terhadap semua peluang pasangan persilangan yang digunakan sebagai dasar dalam seleksi tetua hibrida untuk persilangan dialel disajikan pada Tabel 3. Cetak tebal adalah inbrida yang terseleksi.
32
Tabel 3 Komposisi genotipe dalam gerombol berdasarkan tingkat kemiripan genetik Gerombol
Genotipe per gerombol
Populasi asal
I
P5/GM25-42-2-1-1-1-BB SP006BBBB-27 Mr4: MS.J1-46(RRS)C1 P5/GM25-97-2-2-1-2-BB P5/GM25-203-1-1-1-1-BB P5/GM25-233-1-2-1-3-BB P5/GM25-241-2-1-2-2-BB P5/GM26-22-2-2-1-2-BB P5/GM26-9-2-3-1-1-BB IPB: SM5-9x P5/GM26-87-1-1-2-1-BB P5/GM30-9-1-1-1-2-BB P5/GM30-66-2-2-4-2-BB Bisma-137-2-B-1-2-1-B Bisma-140-2-1-1-1-1-B P5/GM30-54-1-1-2-1-BB Bisma-181-1-1-1-1-1-B BM(S1)C0-10-1-1-1-1-B BM(S1)C0-172-2-B-1-1-B SP006BBBB-65 SP007-118-BBBB SP008-70-BBB SP008-128-BBB SP008-120-BBB SP008-135-BBB IPB: SW7-6 IPB: SM7-11x Bisma-3-1-B-1-1-1-B SP007-23-BBBB SP007-85-BBBB Mr14: Suwan3-3-1-1-2-4-f(FS)-2 MKB-24-2-B-1-2-B MKB-52-1-B-1-1-B SP007-68-BBBB
P5/Pop31 J2-34 J2-46 P5/Pop31 P5/Pop31 P5/Pop31 P5/Pop31 P5/Arjuna (Arc1) P5/Arjuna (Arc1) P5/Arjuna (Arc1) P5/Acer P5/Acer Bisma Bisma P5/Acer Bisma Arjuna Arjuna J2-34 Sintetik 1 Sintetik 2 Sintetik 2 Sintetik 2 Sintetik 2 Bisma Sintetik 1 Sintetik 1 SW3 MSK MSK Sintetik 1
II
III
IV
V
Jarak genetik ratarata * 0,72 0,76 0,73 0,73 0,71 0,67 0,66 0,62 0,71 0,72 0,70 0,71 0,76 0,69 0,67 0,69 0,74 0,73 0,74 0,74 0,75 0,70 0,73 0,68 0,72 0,78 0,74 0,74 0,75 0,76 0,77 0,76 0,75 0,76
Keterangan: *Jarak genetik rata-rata masing-masing inbrida terhadap semua peluang persilangan (data jarak genetik dapat dilihat pada data matriks jarak genetik Lampiran 8).
33
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan untuk mengetahui keragaman genetik yang akan bermanfaat memprediksi kandidat tetua inbrida heterosis tinggi. Inbrida-inbrida yang digunakan sudah berada pada generasi lanjut sehingga tingkat homosigositas seharusnya >80%. Oleh karena itu inbrida dengan tingkat heterosigositas berdasarkan marka SSR >20%, diperkirakan terjadi kontaminasi sehingga tidak akan dilanjutkan untuk dikarakterisasi. Menurut Fuzatto et al. (2002) heterosis atau kemampuan daya gabung khusus dari dua populasi persilangan tergantung pada eksistensi dominan yang mengontrol karakter, dan keragaman di antara populasi, sehingga pada saat tetua diseleksi pada sejumlah populasi, preferensi harus diberikan pada tetua-tetua yang berbeda dan sudah beradaptasi. Dengan bantuan marka SSR yang sifatnya kodominan, inbrida yang menghasilkan missing data >15% dan tingkat heterosigositas >20% langsung dieliminasi lebih awal. Dari total 39 inbrida yang diuji, termasuk Mr4 dan Mr14, ada lima inbrida yang masuk dalam kategori tersebut di atas, yaitu P5/GM25-251-1-1-1-4-BB, BM(S1)C0-60-1-1-1-1-B, SP007-42, SP009-51, dan SW9. Hal yang sama juga dilakukan terhadap primer yang digunakan namun lebih ketat yaitu yang menghasilkan missing data >10%. Dalam studi pendahuluan ini, dari total 41 marka yang telah dikarakterisasi, ada lima marka yang menghasilkan missing data >10% yaitu umc1122, phi420701, phi063 phi041, dan phi227562. Banyak faktor penyebab tingginya missing data antara lain kualitas primer yang sudah menurun karena sudah lama disimpan, suhu annealing yang tidak tepat pada saat amplifikasi PCR, dan faktor teknis yang terkait dengan personal yang secara langsung menangani kegiatan karakterisasi. Tingkat polimorfisme yang tinggi mengindikasikan bahwa variasi di antara inbrida yang dianalisis cukup besar.
Jika keragaman genetik yang diperoleh dari
sejumlah koleksi inbrida semakin tinggi, maka kita akan lebih leluasa melakukan eksploitasi heterosis. Pada koleksi inbrida yang dikarakterisasi ini menunjukkan variasi genetik yang cukup beragam yang dapat dilihat dari data populasi asal. Hal ini menegaskan bahwa materi genetik yang dikarakterisasi mempunyai varibilitas yang luas. 34
Semua variasi fenotipik di dalam suatu spesies dikontrol oleh polimorfisme sejumlah gen. Polimorfisme ini merupakan dasar fungsional dari QTL (Quantitative Trait Loci) (Buckler et al., 2006). Namun demikian Struss dan Plieske (1998) mengemukakan bahwa tingginya tingkat polimorfisme juga dipengaruhi oleh tingkat polimorfisme marka SSR yang digunakan. Oleh karena itu pemilihan marka polimorfisme yang tinggi mempunyai kontribusi terhadap nilai PIC. George et al. (2004b) memperoleh 383 total alel dari 67 inbrida Asian meliputi inbrida temperate China, sub tropik dan tropik dari India, Indonesia, Philippines, Thailand dan Vietnam, dengan rata-rata 5,0 alel/lokus SSR. El-Maghraby et al. (2005) berhasil mengidentifikasi sebanyak 112 alel dari 40 marka mikrosatelit pada 8 genotipe gandum. Jumlah alel rata-rata per lokus adalah 2,8, dengan kisaran antara 2 sampai 5 alel per lokus SSR. Keakuratan pengelompokan cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi
kofenetik
(r)
sebesar
0,76.
Nilai
koefisien
korelasi
kofenetik
(r)
menggambarkan akurasi pengelompokan secara genotipeik, yang dapat dihasilkan berdasarkan estimasi kemiripan genetik di antara inbrida yang dikarakterisasi dengan jumlah primer yang digunakan. Menurut Vaz Patto et al. (2004) indeks yang ideal untuk korelasi kofenetik yang menggambarkan keakuratan kelompok heterotik adalah >0,56. Rohlf (2000) mengemukakan bahwa semakin banyak primer polimorfis yang digunakan maka nilai r akan semakin besar. Nilai r >90% menunjukkan akurasi pengelompokan yang sangat baik. Dalam studi ini marka mikrosatelit yang digunakan mampu mengelompokkan genotipe yang hampir sesuai dengan kelompok pedigree yang sama. Liu et al. (2003) mengamati srtuktur dan keragaman genetik pada sejumlah galur inbrida menggunakan mikrosatelit, menunjukkan diagram filogenetik yang sesuai dengan informasi pedigree. Walaupun demikian, ada beberapa inbrida yang mempunyai inisial pedigree yang hampir sama tetapi menyebar pada gerombol yang berbeda seperti SP007-118 (KII), SP007-68 dan SP007-23 (KIV) dan SP007-85 (KV) karena dibentuk dari beberapa populasi (Tabel 1). Inbrida SP007 dibentuk dari populasi Sintetik1 yaitu populasi yang dibentuk dari kultivar-kultivar elit dengan latar belakang genetik yang bervariasi sehingga memungkinkan terjadinya proses pindah silang atau rekombinasi dalam jumlah yang besar. Hal tersebut akan menyebabkan munculnya alil spesifik yang kemungkinan 35
membawa karakter yang baik sehingga perlu untuk ditelusuri lebih lanjut. Galur-galur tersebut berpeluang menyebar pada kelompok heterotik yang berbeda. Pada gerombol 2, yang merupakan gerombol terbesar, terdapat galur-galur dengan inisial yang berbeda seperti GM26 dan BM karena kedua inisial yang berbeda tersebut berasal dari populasi yang sama yaitu Arjuna, namun sebelumnya dibentuk pada institusi yang berbeda. Dengan demikian, pedigree dengan inisial yang sama belum menjamin bahwa materi genetik tersebut berkerabat dekat, atau sebaliknya pedigree dengan inisial yang berbeda belum tentu berkerabat jauh. Hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dari data pedigree. Inbrida Mr4 (berasal dari populasi MSJ1) dan Mr14 (berasal dari populasi
Suwan3 = MSJ2) adalah tetua hibrida Bima1. Kedua inbrida tersebut selama ini digunakan sebagai penguji (tester) daya gabung galur-galur yang berasal dari luar kelompok heterotik MSJ1 dan MSJ2 (Mejaya et al., 2005). Dengan terbentuknya kelompok heterotik dan informasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit, akan memudahkan dalam memilih tetua, yang dapat dilakukan pada fase pertumbuhan awal tanaman. Selain itu, materi genetik yang diuji dapat dikarakterisasi dalam jumlah yang banyak dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga dapat mengirit waktu dan tenaga.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: •
Karakterisasi berbasis marka mikrosatelit dapat membedakan inbrida yang dikarakterisasi antara satu inbrida dengan inbrida yang lainnya.
•
Tingkat polimorfisme 0,22 sampai 0,86 menunjukkan keragaman genetik inbrida yang diuji cukup tinggi.
•
Nilai jarak genetik berkisar dari 0,21 sampai 0,88 mengindikasikan bahwa variabilitas inbrida yang dikarakterisasi tergolong yang cukup luas sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyeleksi tetua hibrida.
36
BAB. IV Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR (Single Sequence Repeats) yang efektif dalam membedakan inbrida satu dengan yang lain dan dapat membentuk kelompok heterotik potensial yang stabil. Penelitian ini dalam bentuk simulasi data biner hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka mikrosatelit. Simulasi data dalam dua cara yaitu (a) melalui iterasi data, dan (b) melalui analisis PCA (Principal Component Analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paket marka dengan 25 marka SSR menghasilkan nilai koefisien korelasi tertinggi sebesar 0,79. Walaupun nilai tersebut sudah cukup baik tapi hanya dalam hal kemampuan membedakan inbrida satu dengan yang lain. Kelompok heterotik yang terbentuk berdasarkan paket marka SSR sebanyak 36, 30, dan 25 lokus belum tegas karena nilai korelasi masih < 90%. Perlu melanjutkan iterasi data atau menambahkan primer untuk mendapatkan set marka yang aplikatif untuk digunakan oleh pemulia.
Kata kunci: data biner, korelasi kofenetik, iterasi data, PCA
37
Simulation Analysis of Microsatellite Markers as Estimation of Heterosis in Hybrid Population ABSTRACT The objective of the study is to observe the SSR marker package that iseffective to differentiate among inbreds and could develop potential heterotic groups. This study is a simulation of binary data from 34 inbred lines characterized by 36 microsatellite markers. The data of simulation analysis are developed in two ways i.e. (a) iteration method, and (b) PCA (Principal Component Analysis) method. The result suggestes that 25 SSR marker package SSR-based provide a high value of cofenetic correlation coefficient i.e. 0.79; however, the value is quite sufficient to differentiate the inbreds. Heterotic groups developed based on 36, 30, and 25 are yet to be assertive to divide into five groups. It is necessary to continue the data iteration or add primers to obtain the set of primers applicable to the breeder
Key words: binary data, cophenetic correlation, data iteration, PCA
38
PENDAHULUAN
Teknik marka telah berhasil dalam membantu para pemulia tanaman khususnya dalam menangani populasi dalam jumlah besar untuk mengidentifikasi target rekombinan pada sejumlah lokus yang diseleksi (Howes et al., 1998). Selain itu memungkinkan seleksi lebih akurat pada generasi awal dari pada skrining, karena skrining pada generasi lanjut di dalam jumlah besar tidak akan praktis dan akan memberikan sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan dibandingkan seleksi secara fenotipik. Teknologi marka DNA juga telah diaplikasikan di dalam sidikjari genotipe, dalam menentukan kemurnian benih, di dalam sistematik sampling plasma nutfah, dan dalam analisis filogenetik. Informasi pedigree secara individu penting dalam program pemuliaan karena digunakan dalam menghitung koefisien kekerabatan atau koefisien coancestry dan memberikan dasar kepada pemulia untuk menyeleksi tetua dan mengambil keputusan dalam merancang persilangan. Sejumlah program perangkat lunak yang dapat digunakan untuk menganalisis data marka molekuler sehingga data tersebut dapat diaplikasikan. Salah satu program yang telah banyak digunakan adalah program NTSYS-pc 2.1 (Rohlf, 2000), khususnya sebagai alat bantu untuk melakukan analisis kekerabatan sejumlah plasma nutfah. Dalam program pemuliaan berbasis marka molekuler, modifikasi jumlah marka yang tepat seperti marka mikrosatelit atau SSR dalam pembentukan kelompok heterotik berdasarkan tingkat kekerabatan secara akurat sangat diperlukan. Hal tersebut berkaitan dengan efisiensi penggunaan primer, enzim dan bahan kimia lain seperti buffer dan juga tenaga dan waktu yang dibutuhkan dalam proses karakterisasi. Beberapa hasil penelitian yang mengelompokkan galur-galur berdasarkan tingkat kekerabatan menggunakan marka SSR rata-rata sekitar 50 primer atau lebih dan merata pada seluruh kromosom seperti Senior et al. (1998) pada jagung (63 primer), Warburton et al., 2001 pada jagung (85 primer), Fregene et al. (2003) pada singkong (67 primer), Vaz Patto et al., 2004 (50 primer). Namun demikian ada penelitian lain yang menggunakan marka SSR di bawah 50 seperti yang dilakukan pada gandum (El-Maghraby, et al., 2005). Selain itu, ada juga sejumlah studi keragaman genetik berbasis SSR dengan jumlah primer di bawah 50
39
seperti yang telah dilakukan pada kedelai (Glycine Max L. Merr), yang menggunakan tujuh primer mikrosatelit (Rongwen et al., 1995), 15 primer pada barley (Hordeum vulgare L.)(Struss dan Plieske, 1998) dan 23 primer pada gandum (Plaschke et al., 1998). Di negara sedang berkembang, laboratorium marka molekuler pada umumnya masih bisa dihitung dengan jari, dan sebagian besar dengan fasilitas laboratorium yang sederhana dan sangat terbatas, serta pendanaan yang juga relatif terbatas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya diperlukan modifikasi baik dalam penggunaan alat, bahan, maupun protokol yang digunakan. Konstruksi dendrogram yang stabil diperlukan untuk studi keragaman genetik dan penentuan koleksi inti, untuk seleksi tetua potensial dalam pengembangan hibrida. Jumlah minimum lokus mikrosatelit atau alel-alel harus ditentukan terlebih dahulu untuk konstruksi dendrogram yang stabil. Hal tersebut akan menghemat waktu dan tenaga, khususnya untuk tanaman yang mempunyai sejumlah besar varietas atau koleksi. Kemampuan statistik dapat dimanfaatkan untuk mengamati pengujian berbasis marka, tergantung dari posisi marka, berat jenis, atau tingkat polimorfisme dari marka. Oleh karena itu disarankan untuk menentukan jumlah marka yang dibutuhkan untuk menentukan batas kemampuan (Heckenberger et al., 2005). Marka DNA bebas dari pengaruh pleiotropik, sehingga memungkinkan sejumlah marka dapat dimonitor dalam populasi tunggal. Perangkat lunak seperti program NTSYS-pc 2.1 (Rohlf, 2000), bermanfaat di dalam mendapatkan informasi berbasis marka molekuler untuk analisis sidikjari, keragaman genetik, dan MAS. Simulasi marka SSR menggunakan berbagai program seperti program NTSYS-pc 2.1, dapat membantu para pemulia tanaman dalam program pengembangan hibrida, khususnya
dalam
membantu mengelompokkan galur-galur ke dalam kelompok heterotik berdasarkan jumlah dan jenis marka yang digunakan sehingga lebih mudah dalam menyeleksi kandidat tetua hibrida potensial. Penelitian ini diharapkan akan dapat mengurangi jumlah primer yang digunakan tetapi efisien dan akurat dalam penetapan kelompok pola heterotik. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR yang efektif dalam membentuk kelompok heterotik potensial yang stabil sehingga kombinasi tetua yang menghasilkan heterosis tinggi dapat diprediksi lebih awal. 40
BAHAN DAN METODE
Materi yang digunakan dalam simulasi ini adalah data biner 34 galur elit hasil genotyping dari 36 marka SSR. Simulasi dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer program NTSYS-pc 2.1. Simulasi dilakukan melalui dua cara yaitu (1) iterasi marka molekuler, (2) analisis PCA. Iterasi data marka molekuler
Iterasi data dilakukan untuk mengetahui apakah dendrogram yang terbentuk dengan menggunakan 36 marka molekuler masih sama jika marka dikurangi untuk efisiensi. Pengurangan marka dimulai dari marka dengan nilai polimorfisme terkecil yaitu dengan pengurangan lima marka setiap analisis, kecuali pada pengurangan pertama sebanyak 6 marka. Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA (Unweighted PairGroup Method with Arithmathic Averages) dilakukan untuk setiap set baru untuk melihat pengelompokan. Untuk melihat posisi relatif dari masing-masing inbrida dilakukan analisis Principal Coordinate Analysis (PCoA). Analisis dihentikan pada saat hasil analisis menghasilkan lebih dari satu dendrogram. Nilai koefisien korelasi kofenetik (r) dari masing-masing dendrogram dihitung dengan menggunakan program NTSYS-pc 2.1, yang membantu dalam menetapkan paket marka efektif untuk pembentukan kelompok heterotik inbrida elit jagung. Analisis Komponen Utama (PCA)
Analisis komponen utama untuk mengetahui primer-primer yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Komponen utama dari peubah data asal diperoleh dari matriks varians-kovarians peubah asalnya. Skor komponen utama untuk setiap pengamatan dihitung melalui persamaan:
(
)
(
)
Yh1 = a1 x h − x ,.........Yhk = a k x h − x , dimana Yh1 = skor komponen ke-1 dari obyek pengamatan ke-h, a1 = vektor pembobot komponen utama ke-1 dan
41
Xh = vector
data pengamatan dari obyek ke-h dan
X = vektor nilai rata-rata dari variabel asal
(Dillon dan Goldstein, 1984). Metode kedua ini menyeleksi alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Jadi berkurangnya primer berdasarkan pengurangan alel secara otomatis berdasarkan analisis komponen utama.
HASIL Korelasi kofenetik berdasarkan jumlah primer
Hasil konstruksi dendrogram melalui iterasi data yaitu 36, 30, 25, 20, dan 15 primer SSR terbentuk hanya satu dendrogram pada masing-masing set yang dianalis. Selain itu, inbrida dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Jika iterasi dilanjutkan menggunakan 10 primer, dihasilkan dua konstruksi dendrogram (data tidak ditampilkan). Pada Gambar 3 (Bab III) sampai Gambar 12 ditampilkan konstruksi dendrogram (a) dan posisi relatif dari masing-masing genotipe dalam ruang dua dimensi (b) untuk masing-masing paket marka hasil iterasi marka mikrosatelit. Posisi relatif dari masing-masing galur pada setiap paket marka menunjukkan ketujuh tetua terseleksi stabil pada masing-masing kelompok pada set 36, 30, dan 25 primer. Jika jumlah primer dikurangi lagi maka ada tetua yang berpindah pada kelompok lain. Pada Tabel 4 menunjukkan hasil iterasi terhadap lima paket marka SSR, diperoleh nilai koefisien korelasi kofenetik yang tertinggi pada penggunaan 25 primer yaitu sebesar (0,79), disusul oleh paket marka 30 primer (0,78) sedangkan yang terendah pada penggunaan 15 primer dengan nilai 0,75. Pada Gambar 3 sampai Gambar 12, adalah penampilan 34 inbrida jagung berdasarkan hasil konstruksi dendrogram dan posisi relatif dari masing-masing inbrida dalam dua dimensi berdasarkan analisis PCoA. Dari tujuh inbrida yang terseleksi untuk set persilangan dialel, paket yang menggunakan 30 dan 25 marka mikrosatelit berada pada posisi relatif yang sama.
42
Gambar 4 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76.
Gambar 5 Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR. (r = 0,78)
43
Gambar 6 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR dengan nilaikoefisien kofenetik (r) sebesar 0,78.
Gambar 7. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR (r = 0,79).
44
Gambar 8. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,79.
Gambar 9. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR (r = 0,76).
45
Gambar 10. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76.
Gambar 11. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR (r = 0,75)
46
Gambar 12. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76.
Pada Gambar 13 adalah diagram batang menunjukkan paket marka berdasarkan jumlah primer dibandingkan dengan koefisien korelasi kofenetik, tingkat polimorfisme, dan total alel untuk masing-masing paket marka. Berdasarkan nilai koefisien korelasi kofenetik (r), paket yang menggunakan 25 primer menghasilkan nilai r yang paling tinggi.
Tabel 4 Jumlah marka, koefisien korelasi kofenetik (r), jumlah alel, dan tingkatpolimorfisme (PIC) No. 1 2 3 4 5 6
Jumlah Marka SSR 15 20 25 30 36 29*
Nilai r
Jumlah alel
PIC rata-rata
0,75 0,76 0,79 0,78 0,76 0,72
85 106 128 143 162 52
0,74 0,72 0,70 0,67 0,61 -
Keterangan: * data berdasarkan hasil analisis PCA.
47
Koef. korelasi kofenetik
0.79 0.78 0.77 0.76 0.75 0.74 0.73 15
20
25
30
36
Jumlah primer
Gambar 13 Diagram jumlah primer dan koefisien korelasi kofenetik.
Berdasarkan hasil PCA, diperoleh empat komponen utama pertama yang memiliki akar ciri >1. Komponen utama (PC-1, PC-2, PC-3, PC-4) dapat menerangkan keragaman pita SSR masing-masing sebesar 9,54%, 8,04%, 7,86%, dan 6,66%. Total keempat komponen utama tersebut sebesar 32,09%. Dari total nilai komponen utama tersebut diperoleh 52 alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram, yang berada pada 29 lokus SSR. Dari total 36 lokus SSR yang digunakan terdapat tujuh lokus yang tidak berperan dalam konstruksi dendrogram yaitu phi064, nc133, phi127, phi213984, phi423796, phi448880, phi96342 (Tabel 5). Dari total tujuh primer yang tereliminasi, lima primer dengan tingkat polimorfisme terendah juga dengan jumlah alel terendah. Namun terdapat dua primer yaitu phi064 dan phi127 mempunyai jumlah alel cukup tinggi dengan tingkat polimorfisme masing-masing 0,82 dan 0,57 (Tabel 6).
48
Tabel 5 Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing pita/alel yang berperanan dalam membedakan 34 genotipe jagung yang dikarakterisasi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
Lokus SSR phi109275
No. Bin 1.00
phi96100 phi109642 phi083
2.00 2.00 2.04
phi101049
2.09
phi374118
3.03
phi029
3.04
phi053
3.05
phi046
3.08
umc1136
3.10
phi072
4.00
phi079 phi093
4.05 4.08
umc1109
4.10
phi102228 phi109188 phi087 umc1153
5.00 5.00 5.06 5.09
umc1143
6.00
umc1545
7.00
phi034 phi328175 phi114
7.02 7.04 7.05
phi233376 umc1161
8.03 8.06
umc1279 phi065
9.00 9.03
umc1061
10.06
umc1196
10.07
Akar ciri Keragaman (%) Kumulatif
Ukuran (bp) i3(132) i6(123) e2(289) h1(144) i3(134) i6(127) f2(234) f3(230) f1(238) f2(232) f4(223) g3(152) h1(150) g2(191) g3(187) g4(175) m1(66) m2(62) g2(156) h1(148) i3(132) h1(149) h2(148) g3(193) e1(294) e2(290) j1(117) j3(110) i2(127) g5(164) g1(174) j2(109) j4(105) k1(87) k4(83) k3(86) k5(84) i3(122) i1(130) g1(169) i1(137) g3(151) g2(152) h2(146) k3(092) g1(151) i1(131) j1(107) j2(105) j3(103) g1(161) h1(149)
PC1 -0.01747 0.02314 0.02851 0.20189 -0.21239 0.24541 -0.02942 0.10995 0.06623 0.02628 -0.13152 -0.22020 0.23705 0.31990 -0.08011 -0.14077 0.24503 -0.24557 -0.14451 -0.06049 0.15122 -0.17959 0.23336 -0.10962 0.21294 -0.12260 0.25585 -0.25425 -0.16623 -0.07037 -0.27058 -0.03384 -0.02308 -0.09729 0.01546 0.10629 -0.12799 -0.03316 0.09436 -0.02385 -0.14386 0.37124 -0.24004 0.23685 0.07981 0.00495 0.08083 -0.17618 0.20902 -0.13751 0.08764 0.11653 2.13 9.54 9.54
PC2 -0.16246 0.10405 -0.20299 0.21386 0.08771 -0.06746 0.07094 -0.11433 0.01944 -0.11965 0.17613 0.05233 -0.06295 0.17193 -0.14931 -0.06632 -0.04061 0.03512 0.10312 -0.05662 -0.05252 -0.09072 -0.15993 0.00987 0.08040 -0.02370 -0.10817 0.08802 0.14418 -0.11895 -0.13718 0.03126 -0.16173 -0.19105 0.16963 0.08830 -0.12487 0.09849 -0.34402 0.33514 -0.38207 -0.09487 -0.08832 -0.04360 -0.17850 0.23971 -0.30464 -0.17144 0.27443 0.05246 -0.23440 0.14319 1.80 8.04 17.58
PC3 0.09608 0.04222 0.18377 -0.00341 0.02140 -0.04990 0.05574 0.19184 0.26704 -0.22770 -0.00576 0.02670 -0.03766 0.16791 0.08061 -0.27673 0.09075 -0.09282 0.02481 0.20663 -0.24170 0.24690 -0.08745 0.05291 -0.06498 0.19931 -0.04299 -0.11498 -0.18504 -0.26914 -0.17984 -0.23198 0.23682 -0.12755 0.22766 -0.05204 -0.08931 0.21599 0.13225 -0.14318 -0.00901 0.00897 0.16603 -0.08353 -0.10512 0.18270 -0.09926 0.16851 -0.08741 -0.01310 -0.23790 0.08977 1.75 7.86 25.43
PC4 -0.16089 0.15690 -0.07580 -0.11409 0.08357 -0.00096 0.31965 -0.16207 -0.09177 0.04286 0.06458 -0.10506 0.28665 -0.06024 -0.15978 0.09951 0.03405 -0.04004 0.17399 -0.14669 -0.07999 -0.00446 -0.08213 0.16514 0.11358 -0.05419 0.18409 -0.20494 -0.15736 -0.01796 -0.03797 -0.02021 -0.06762 0.18058 -0.00497 0.24490 -0.30719 0.10977 0.01465 -0.05680 0.03360 -0.02975 -0.03081 -0.13351 0.05066 -0.02178 0.01910 -0.09210 -0.27626 0.29095 0.13315 -0.16042 1.49 6.66 32.09
Σ Alel 2 1 1 2 2 3
2 3
2 3
2 1 2 2 1 1 1 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 3
2 52
Keterangan: Angka tebal pada komponen utama tertentu adalah nilai komponen utama dari alel tertentu pada lokus yang berperanan dalam pembentukan dendrogram.
49
Tabel 6 Primer SSR yang tidak berperan dalam pembentukan dendrogram berdasarkan analisis komponen utama (PCA) No. 1 2 3 4 5 6 7
Lokus SSR phi064 nc133 phi127 phi213984 phi423796 phi448880 phi96342
No. Bin 1,11 2,05 2,09 4,01 6,02 9,05 10,02
Tingkat polimorfisme (PIC) 0,82 0,32 0,57 0,22 0,24 0,36 0,33
Pada Gambar 14 dan 15 adalah konstruksi dendrogram dan posisi relatif dari masing-masing genotipe dalam ruang dua dimensi berdasarkan jumlah alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram dari hasil analisis PCA.
Gambar 14. Dendrogram 34 inbrida menggunakan 29 marka SSR (r = 0,72).
50
Gambar 15. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 29 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,72.
PEMBAHASAN Bedasarkan hasil konstruksi dendrogram dan analisis PCoA dua dimensi, tujuh tetua yang terseleksi berdasarkan nilai jarak genetik stabil pada posisi relatif yang sama pada paket 30 dan 25 primer. Hal ini ada kaitannya dengan nilai korelasi kofenetik dimana korelasi kofenetik yang tinggi adalah paket marka 25 primer (0,79) dan 30 primer (0,78). Paket marka 25 primer menghasilkan nilai korelasi kofenetik yang paling tinggi menghasilkan 128 alel (Tabel 4). Paket marka 36 primer (0,76) mempunyai nilai korelasi lebih rendah dari paket marka 25 dan 30 primer. Hal tersebut mungkin disebabkan terdapat sejumlah alel yang tidak berperanan dalam pembentukan dendrogram. Nilai
korelasi
kofenetik
menggambarkan
keakuratan
pengelompokan
berdasarkan kemiripan genetik. Walaupun nilai korelasi kofenetik sudah tergolong cukup bagus, namun yang mampu untuk membedakan kelompok heterotik secara tegas adalah nilai r > 90% (Rohlf, 2000). Selain itu yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ketujuh tetua yang terseleksi stabil pada kelompok heterotik yang sama dan mampu menghasilkan heterosis tinggi. Jika materi genetik diganti apakah primer
51
tersebut masih efektif dalam membentuk kelompok heterotik potensial dan menghasilkan heterosis tinggi. Bertin et al. (2001) melakukan karakterisasi molekuler terhadap sejumlah genotipe menunjukkan bahwa 113 alel cukup untuk membentuk klaster dari kultivar gandum pada kelompok European. Masih ada sejumlah penelitian lain yang melakukan karakterisasi marka molekuler dengan jumlah primer yang rendah sekitar 7-30 primer, seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan. Tidak ada aturan statistik formal untuk menetapkan berapa marka genetik yang dibutuhkan untuk mengklasifikasi aksesi secara akurat, menjelaskan pola genetik, atau mengestimasi jarak genetik atau fenogram secara akurat. Idealnya, marka genetik untuk perlindungan varietas dan mengklasifikasi materi genetik yang belum diketahui harus dengan marka polimorfisme tinggi dan menyebar secara merata pada genom (Bernardo, 1992).
Untuk laboratorium yang sederhana, cenderung untuk memilih teknik yang
murah dan sederhana tanpa mengurangi kualitas data. Jumlah alel, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap nilai korelasi kofenetik dimana jumlah alel yang terendah masih mampu menghasilkan nilai korelasi kofenetik 0,72. Hasil penelitian Zhang et al. (2002) pada koleksi gandum di Cina melaporkan bahwa penggunaan hanya 167 alel memungkinkan untuk membedakan semua genotipe gandum. Koefisien korelasi matriks jarak genetik antar 501 alel dan 167 alel masing-masing 0,74 mengindikasikan bahwa 167 alel cukup untuk membedakan semua varietas, bahkan galur-galur inbrida terseleksi. Namun demikian, 167 alel tidak cukup untuk mengkonstruksi dendrogram yang stabil untuk menggambarkan secara obyektif hubungan genetik. Hal tersebut penting untuk tidak hanya membedakan varietas tetapi juga untuk mendapatkan dendrogram yang stabil yang merefleksikan hubungan genetik secara benar pada sejumlah varietas gandum. Penemuan titik jenuh pada tanaman seperti gandum, yang mempunyai sejumlah besar aksesi, akan mengurangi waktu dan biaya di dalam menetapkan koleksi inti. Dari hasil penelitian ini nampaknya bahwa lima paket marka yaitu, 36, 30, 25, 20, dan 15 marka SSR dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena paket dengan jumlah marka yang rendah adalah yang mempunyai nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu >0,56. Dengan demikian paket marka yang 52
digunakan mengkarakterisasi jarak genetik, belum merupakan paket marka yang terbaik. Usaha untuk mendapatkan paket marka yang betul-betul sesuai antara jarak genetik dan tingkat heterosisnya masih perlu terus dilakukan melalui iterasi paket marka yang telah ada atau penambahan marka lainnya untuk memperoleh nilai korelasi >90%. Berbeda dengan metode iterasi data yang didasarkan pada tingkat polimorfisme, pada PCA, jumlah primer yang terseleksi berdasarkan jumlah alel yang berperanan terhadap konstruksi dendrogram. Total empat komponen utama tersebut sebesar 32,09%, artinya keragaman dari karakter pita SSR pada 34 inbrida jagung dapat diterangkan oleh nilai komponen utama sebesar 32,09%. Dari ketujuh primer tersebut lima primer yang mempunyai tingkat polimorfisme terendah. Primer tersebut adalah primer yang sama yang tereliminasi pertama pada proses iterasi data marka molekuler. Namun demikian ada dua primer yang mempunyai tingkat polimorfisme tinggi yaitu phi064 dan phi127 yang tereliminasi. Ada kemungkinan bahwa kedua primer tersebut menghasilkan kualitas pita yang rendah sehingga validasi hasil skoring rendah. Visualisasi pola pita yang baik dipengaruhi oleh kualitas DNA, kualitas reaksi PCR, kualitas hasil sekuensing, dan tingkat kemahiran dan ketelitian personal yang melakukan skoring. Semua itu akan berpengaruh terhadap akurasi data biner yang akan digunakan dalam analisis genotipeik. Dengan demikian tingginya tingkat polimorfisme suatu primer belum sepenuhnya dijamin bahwa primer tersebut berperan dalam pembentukan dendrogram. Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa 32,09% dari nilai komponen utama untuk menerangkan keragaman dari 34 inbrida. Dengan demikian, 29 primer dengan dengan total alel 52 mampu membedakan inbrida secara individu, tetapi tidak menyinggung mengenai kestabilan dendrogram. Hal yang menyulitkan jika menggunakan metode PCA adalah seleksi alel secara random sehingga sehingga agak sukar untuk memilih primer yang tepat dalam jumlah terbatas. Plasma nutfah jagung tropis sukar diklasifikasikan secara tepat ke dalam kelompok heterotik. Warburton et al. (2002) melakukan studi galur murni dan populasi jagung tropis menggambarkan luasnya keragaman genetik yang menjadi penyebab sulitnya memilah struktur galur-galur murni. Situasi yang sama juga ditemukan pada studi keragaman galur-galur murni yang mewakili beberapa negara secara regional di Asia 53
(George et al., 2004b). Namun demikian, pada penelitian lain yang melibatkan populasi jagung tropis (Reif et al., 2003) dapat menghasilkan beberapa kelompok heterotik yang jelas melalui marka SSR. Menurut Vaz Patto et al. (2004) seperti telah disebutkan pada kegiatan penelitian pertama bahwa indeks yang ideal untuk korelasi kofenetik >0,56, berarti nilai r yang tertera pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok heterotik yang terbentuk masih memadai untuk digunakan. Yang menarik pada penggunaan 29 primer berdasarkan hasil analisis PCA, hanya 52 alel yang terseleksi, namun nilai koefisien kofenetik masih >0,56. Hal tersebut kemungkinan karena tidak semua alel dalam lokus terseleksi terpilih, melainkan hanya alel berkualitas. Selain itu, walaupun alel sedikit tetapi alel-alel tersebut berada pada lokus yang menyebar di dalam genom. Zhang et al. (2002) menyatakan bahwa dalam estimasi kemiripan genetik harus berdasarkan pada alel-alel yang representatif dari seluruh genom.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan bahwa: •
Dari hasil iterasi data, paket marka dengan 25 primer SSR mampu membedakan inbrida satu dengan yang lain dan membedakan inbrida ke dalam lima kelompok heterotik sama dengan paket marka 36 dan 30 primer SSR namun belum tegas.
•
Dari hasil analisis PCA, 29 primer terseleksi berdasarkan alel yang berperanan terhadap pembentukan dendrogram, sama dengan penggunaan 25 primer berdasarkan tingkat polimorfisme tertinggi.
54
BAB. V Analisis Korelasi antara Jarak Genetik Inbrida Jagung Berbasis Marka Mikrosatelit dengan Penampilan Fenotipik F1 Hasil Silang Uji ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (a) untuk mengetahui
kegunaan marka molekuler melalui
korelasi antara nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan bobot biji genotipe hasil silang uji, dan (b) untuk mengetahui posisi inbrida Mr4 dan Mr14 sebagai inbrida penguji terhadap penampilan fenotipik (bobot biji) berbasis marka mikrosatelit. Penelitian dilakukan di lapangan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan F1 silang tunggal dalam dua set yaitu masing-masing dengan inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang disilangkan dengan 32 galur, sehingga masing-masing set menghasilkan 32 genotipe F1 silang tunggal. Tiga puluh dua galur tersebut di atas sebelumnya telah dikarakterisasi berdasarkan marka mikrosatelit. Tahap kedua adalah uji daya hasil silang tunggal masing-masing set (Mr4 dan Mr14). Hasil penelitian menunjukkan terdapat satu genotipe silang tunggal F1 persilangan dengan Mr4 dan satu genotipe F1 persilangan dengan Mr14 yang memiliki bobot biji/tanaman nyata lebih tinggi dibandingkan kultivar pembanding Bima1. Kedua genotipe silang tunggal F1 tersebut adalah P5/GM26-9 x Mr4 dan Bisma-3-1 x Mr14, dengan bobot biji masing-masing 179,10 dan 178,52 g/tanaman. Nilai jarak genetik kedua genotipe silang tunggal F1 tersebut masing-masing 0,82 dan 0,84, sedangkan jarak genetik hibrida Bima1 0,65. Kedua inbrida tersebut mempunyai peluang sebagai inbrida penguji (tester) yang baru, masing-masing menggantikan
inbrida penguji Mr14 dan Mr4. Nilai korelasi rata-rata antara jarak
genetik dengan bobot biji genotipe F1 hasil silang uji yaitu 0,81 dan 0,76 masing masing pada persilangan 32 inbrida dengan penguji Mr4 dan Mr14. Nilai ini tergolong tinggi, sehingga marka mikrosatelit dapat digunakan untuk menguji
materi-materi inbrida
untuk mendapatkan inbrida yang lebih potensial daripada inbrida penguji Mr4 dan Mr14.
Kata kunci: jarak genetik, inbrida penguji, potensi hasil.
55
Correlation Analysis between Maize Inbreds Microsatellite MarkerBased and Phenotypic Performance of F1 Testcrossed ABSTRACT This study is conducted (a) to find out the usefulness of molecular marker through the correlation between the value of genetic distance and the seed weight of F1 test cross, and (b) to observe the position of
the Mr4 and Mr14 inbreds as a tester to the
phenotypic performance (seed weight) based on microsatellite markers. These activities are conducted in two steps. The 1st step is the development of two sets of F1 single cross i.e. Mr4 and Mr14 testers crossed with 32 genotyped inbreds based on microsatellite markers. The second step is to evaluate the phenotypic performance of both two sets of F1 single cross (Mr4 and Mr14). The result shows that two highest seed weights from both sets of F1 single cross are significantly different from Semar10 and Bima1 as check, but none of the two sets of F1 test cross significantly different from the Bisi2, the highest potential of the check in this experiment. The two F1 single crosses
are
P5/GM26-9xMr4 and Bisma-3-1xMr14 with 179.10 and 178.52 g/plant of seed weight respectively. The values of genetic distance are 0.82 dan 0.84 respectively, whereas the value of genetic distance of Bima1 as a check is 0.65. There is a medium to high correlation between the genetic distance value and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers are 0.81 and 0.76 respectively. It is worth considering searching more inbreds that are more potential than Mr4 and Mr14 testers that could be used as the best heterotic pattern in Indonesia by using molecular markers as tool/appliance.
Key words: genetic distance, tester, yield potential.
56
PENDAHULUAN Pengembangan jagung hibrida dalam program pemuliaan termasuk aktivitas memperoleh galur-galur dan mengevaluasi kemampuan daya gabungnya. Identifikasi kombinasi tetua yang menghasilkan hibrida superior merupakan tahapan yang sangat penting dalam pengembangan hibrida. Kegiatan ini merupakan tahapan yang paling mahal dan membutuhkan banyak waktu, seperti pentingnya untuk menyilangkan inbrida satu dengan yang lainnya yang telah tersedia dan mengevaluasi hibrida secara ekstensif di lapangan. Penampilan galur inbrida jagung per se tidak menggambarkan hasil biji hibrida jagung (Hallauer dan Miranda, 1988). Olek karena itu, kemampuan memprediksi nilai hibrida silang tunggal atau heterosis antara tetua galur inbrida akan menyebabkan meningkatnya efisiensi program pemuliaan hibrida, utamanya jika hal tersebut bisa dilakukan sebelum melakukan persilangan. Dalam beberapa studi, efek DGU untuk tetua-tetua dan efek DGK untuk persilangan telah diestimasi pada jagung (Dehghanpour et al., 1996; San-Vicente et al., 1998; Konak et al., 1999; Chaudhary et al., 2000; Araujo et al., 2001; Kalla, et al., 2001). Selain itu, derajat heritabilitas bervariasi dari rendah sampai sedang untuk hasil biji (Deghanpour et al., 1996; Singh et al., 1998). Efek heterosis yang besar ditentukan oleh penampilan kedua tetua dan hibrida. Sudah jelas bahwa penampilan tetua akan berbeda di antara lingkungan, dan besarnya heterosis kemungkinan akan memperlihatkan variasi yang sama (El-Haddad, 1975; Uddin et al., 1992). Briggle (1963) menyarikan hasil studi pendahuluan yang mengindikasikan terjadinya heterosis nyata pada heterosis rata-rata tetua dan heterosis tetua tertinggi untuk hasil dan berbagai karakter agronomi. Tujuan penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui posisi inbrida Mr4 dan Mr14 sebagai inbrida penguji terhadap hasil (bobot biji) berdasarkan marka mikrosatelit, dan (b) untuk mengetahui kegunaan marka molekuler melalui korelasi antara nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan bobot biji genotipe hasil silang uji.
57
BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian Untuk pembuatan materi silang uji digunakan tiga puluh dua inbrida dan dua tester (Mr4 dan Mr14). Uji daya hasil silang uji terdiri atas dua set genotipe hasil silang uji yaitu 32 genotipe silang tunggal dengan inbrida penguji Mr4 dan 32 genotipe silang tunggal dengan inbrida penguji Mr14. Masing-masing set menggunakan tiga kultivar pembanding yaitu Bima1, Bisi2, dan Semar10.
Pelaksanaan Penelitian Dalam penelitian ini, yang dianalisis adalah korelasi antara jarak genetik 32 genotipe silang uji dengan bobot biji genotipe hasil silang uji masing-masing set. Dari hasil persilangan tersebut kemudian dilakukan uji daya hasil untuk masing-masing genotipe hasil silang tunggal. Pembentukan materi silang uji dengan inbrida M4 dan Mr14. Pembentukan dua set materi silang uji 32 galur yaitu dengan inbrida penguji Mr4 dan Mr14. Sebagai jantan untuk masing-masing set adalah inbrida Mr4 dan Mr14 dan betina adalah ke-32 galur yang digunakan pada kegiatan awal yaitu karakterisasi genotipik. Pada saat panen, masing-masing set persilangan, dipanen secara terpisah, dikeringkan, kemudian disimpan dalam kantong kertas untuk digunakan pada musim berikutnya untuk melihat penampilan fenotipik masing-masing genotipe yang akan dikorelasikan dengan nilai jarak genetik dari masing-masing pasangan. Uji penampilan fenotipik genotipe hasil silang uji. Pengujian dilakukan di Kebun Percobaan Bajeng (Sulawesi Selatan). Jumlah perlakuan sebanyak 35 genotipe yang terdiri atas 32 hibrida silang tunggal dan tiga kultivar pembanding yaitu Semar10, Bisi2, dan Bima1. Tata letak di lapangan menggunakan rancangan alpha latis 7x6
58
diulang dua kali. Jarak tanam 75 cm x 20 cm, panjang baris 5 m, masing-masing genotipe terdiri atas dua baris. Pupuk yang digunakan pada semua kegiatan di lapangan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk jagung yaitu 300 kg Urea/ha, 200 kg SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha. Pemberian urea dilakukan dua kali yaitu pertama, pada umur satu minggu setelah tanam (200 kg urea/ha), bersamaan dengan semua pupuk SP36 dan KCl. Pemupukan urea yang kedua (100 kg/ha) pada umur 30 hari setelah tanam. Data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, hama penyakit yang menyerang, skor penampilan tanaman dan tongkol, kadar air biji saat panen, jumlah tongkol panen per plot, bobot tongkol per plot, rendemen biji, dan komponen hasil yaitu panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, jumlah biji per baris, dan bobot 1000 biji. Analisis data menggunakan program IRRI-stat. Koefisien korelasi (r) antara jarak genetik berdasarkan marka mikrosatelit dan bobot biji menggunakan analisis korelasi sederhana. Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter agronomis sebagai berikut (CIMMYT, 1994): 1. Umur berbunga (hari) • 50% umur berbunga jantan diamati sejak anthesis atau ketika telah diproduksinya serbuk sari (pollen) hingga mencapai 50% dari jumlah tanaman per nomor genotipe. • 50% umur berbunga betina diamati sejak rambut mulai keluar dengan panjang >2 cm hingga mencapai 50% dari jumlah tanaman per nomor genotipe. 2. Tinggi Tanaman (cm) Diamati setelah fase berbunga dan dipilih lima tanaman secara
acak di setiap
petakan. Pengukuran dimulai dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan. 3. Tinggi tertancapnya tongkol (cm) Dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman terhadap lima sampel di atas. Pengukuran dimulai dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai dasar
59
kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas atau tongkol yang lebih normal perkembangannya. 4. Menutupnya kelobot (husk cover) Penutupan kelobot diberi skor 1 (baik) sampai 5 (jelek), sesuai dengan gambar penutupan kelobot sebagai berikut:
Gambar 16 Bentuk penutupan kelobot dan nilai skoring Keterangan: Skor 1 : Kelobot menutup rapat dengan baik, sehingga beberapa kelopak dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol Skor 2 : Kelobot menutup ketat hanya sampai ujung tongkol saja Skor 3 : Kelobot menutup agak longgar di ujung tongkol Skor 4 : Kelobot menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat Skor 5 : Kelobot menutup tongkol sangat jelek, sebahagian biji nampak tidak dilindungi kelobot. 8. Bobot tongkol kupasan Tongkol-tongkol yang dipanen, dikupas kemudian ditimbang beratnya per petak. Data ini digunakan untuk menghitung hasil per petak, selanjutnya dikonversi ke satuan berat per satuan luas . 9. Kadar air panen. Setelah ditimbang bobot kupasan tongkol di lapangan, diambil 5 tongkol sampel per petak kemudian dipipil bijinya ± 3-4 baris per tongkol. Hasil pipilan dicampur kemudian diukur kadar air dengan alat ukur (Seed Moisture Tester). Pengukuran
60
data kadar air biji waktu panen mesti dilakukan pada hari yang sama dengan pengukuran berat tongkol kupasan. 10. Komponen hasil Data ukuran komponen hasil diambil dari sejumlah tongkol sampel untuk parameter sebagai berikut : •
Bobot 1000 biji dalam kadar air 14 % yaitu menimbang biji yang sudah diambil kadar airnya kemudian dikonversi dengan berat pada kadar air 14 %
•
Panjang tongkol diukur dari pangkal sampai keujung tongkol yang berbiji.
•
Diameter tongkol diukur di pertengahan tongkol
•
Jumlah baris per tongkol .
•
Jumlah biji per baris.
11.Skor penampilan tanaman . Dalam prakteknya cukup dilakukan satu kali, yaitu pada waktu rambut tongkol telah mengering tapi tanaman masih hijau. Perhatian diarahkan pada keseragaman pertumbuhan tanaman, serangan hama dan penyakit secara umum, dan vigor, kemudian diskor 1 (terbaik) sampai 5 (terjelek). 12. Skor keragaan tongkol. Dicatat waktu panen sebelum mengambil sampel untuk menentukan kadar air. Tongkol disusun secara teratur kemudian diskor 1 (terbaik) sampai 5 (terjelek) dengan mempertimbangkan kerusakan karena hama dan penyakit, ukuran, mengisinya biji pada tongkol dan keseragaman. 14. Bobot biji pada kadar air 14%. Pada penelitian ini tidak dilakukan konversi hasil ke ton per hektar untuk menghindari bias yang besar karena masing-masing perlakuan hanya terdiri atas dua baris tanaman.
Analisis Data Pengujian disusun mengikuti rancangan alpha latis 7 x 6 yang diulang empat kali, dengan ukuran plot 1,5 m x 5,0 m, dengan model matematik: Yi = μ + αi + βj + εij 61
dimana : Yi : hasil pengamatan setiap peubah, μ : nilai tengah umum, αi : pengaruh entri/calon varietas, βj : pengaruh blok dan εij = pengaruh galat. Analisis korelasi sederhana dilakukan untuk melihat hubungan antara nilai jarak genetik berbasis marka SSR dengan data fenotipik hibrida F1 hasil biji, rendemen biji, dan bobot 1000 biji dengan formula: Korelasi ( x, y ) =
∑ (x − x )(y − y ) ∑ ( x − x) ( y − y ) 2
2
dimana, x = data genotipeik yaitu jarak genetik y = data fenotipik yang dianalisis Jika nilai r positif berarti data molekuler didukung oleh data fenotipik, namur apabila nilai r negatif maka data molekuler tidak didukung oleh data fenotipik.
HASIL Nilai jarak genetik antara masing-masing galur dengan tester dalam dua set persilangan disajikan pada Tabel 7. Pada set genotipe F1 hasil silang uji dengan Mr4, nilai jarak genetik berkisar dari 0,62-0,89. Nilai jarak genetik terendah adalah persilangan P5/GM26-22xMr4 menghasilkan bobot biji 106,75 g/tanaman, sedangkan nilai jarak genetik tertinggi adalah persilangan MKB24xMr4 menghasilkan bobot biji 169,20 g/tanaman. Bobot biji terendah adalah 95,99 g/tanaman dengan jarak genetik 0,70, dan bobot biji tertinggi adalah sampai 179,10 g/tanaman dengan jarak genetik 0,82. Terdapat 11 (52,38%) genotipe F1 yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding Semar10 dan Bima1. Pada set genotipe F1 hasil silang uji dengan Mr14, nilai jarak genetik berkisar dari 0,52 - 0,87. Nilai jarak genetik tersebut adalah persilangan Bisma137xMr14 menghasilkan bobot biji 75,99 g/tanaman, sedangkan nilai jarak genetik tertinggi yaitu persilangan P5/GM25-42xMr14 menghasilkan bobot biji 112,92 g/tanaman. Bobot biji terendah adalah 75,99 g/tanaman dengan jarak genetik 0,52, dan bobot biji tertinggi
62
adalah 178,52 g/tanaman dengan jarak genetik 0,84. Terdapat sembilan (42,86%) genotipe F1 yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding Semar10 dan Bima1. Tabel 7 Jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil silang uji 32 inbrida dengan penguji inbrida Mr4 dan Mr14, KP. Bajeng, Sulawesi Selatan, 2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
1 2 3
Genotipe Inbrida: P5/GM25-42 P5/GM25-97 P5/GM25-203 P5/GM25-233 P5/GM25-241 P5/GM26-9 P5/GM26-22 P5/GM26-87 P5/GM30-9 P5/GM30-54 P5/GM30-66 Bisma-3-1 Bisma-137 Bisma-140-2 Bisma-181-1 BM(S1)C0-10 BM(S1)C0-172 MKB-24 MKB-52 SP006BBBB-27 SP006BBBB-65 SP007-23 SP007-68 SP007-85 SP007-118 SP008-70 SP008-120 SP008-128 SP008-135 SM5-9x SW7-6 SM7-11x Rata-rata Korelasi (r) Hibrida Pembanding: Bima1 = (Mr 4 x Mr 14) Semar 10 Hibrida Multi Nasional 5% LSD KK (%)
Jarak Genetik x Mr4 x Mr14
Bobot biji per tanaman (g) x Mr4 x Mr14
0,69 0,63 0,71 0,75 0,75 0,82 0,62 0,72 0,81 0,79 0,76 0,71 0,69 0,76 0,75 0,78 0,78 0,89 0,85 0,77 0,74 0,70 0,81 0,76 0,74 0,78 0,76 0,74 0,75 0,69 0,75 0,73 0,75 0,81
112,92 101,70 120,25 118,04 147,24 179,10 * 106,75 119,31 155,17 132,33 108,34 126,19 109,27 153,28 130,93 148,86 153,36 169,20 171,24 161,63 131,33 95,99 160,80 129,72 110,31 132,84 115,03 118,13 126,68 112,73 144,86 123,01 146,94
146,03 132,51 130,01 163,34 139,86 136,41 135,74 122,60 116,16 133,65 149,45 178,52 * 75,99 115,15 118,76 98,44 118,91 129,85 101,15 156,98 131,37 153,64 96,17 109,26 81,43 117,49 167,88 150,87 170,52 108,63 113,96 126,81 143,69
159,97 121,91 193,83 13,06 5,00
153,63 121,40 195,39 22,64 8,80
0,87 0,74 0,73 0,72 0,77 0,69 0,76 0,72 0,76 0,71 0,78 0,84 0,52 0,69 0,73 0,69 0,83 0,83 0,73 0,80 0,78 0,81 0,67 0,68 0,58 0,71 0,83 0,81 0,86 0,73 0,78 0,67 0,74 0,76
Keterangan: Angka bobot biji per tanaman yang diikuti notasi * berarti berbeda nyata lebih tinggi terhadap hibrida pembanding Bima1, sedangkan yang tidak mempunyai notasi berarti lebih kecil atau tidak berbeda nyata terhadap pembanding Bima1; r adalah korelasi antara jarak genetik dan bobot biji F1 hasil silang uji dengan Mr4 dan Mr14.
Pada kedua set persilangan, pasangan persilangan dengan bobot biji tertinggi yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma-3-1xMr14, berbeda nyata terhadap kultivar pembanding
63
Bima1. Tidak terdapat genotipe F1 yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding Bisi2 baik pada hibrida hasil silang uji dengan inbrida penguji Mr4 maupun pada hibrida hasil silang uji dengan inbrida penguji Mr14. Nilai jarak genetik rata-rata genotipe hasil silang uji dengan Mr4 yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding adalah 0,80 dengan bobot biji rata-rata 158,61 g/tanaman, sedangkan nilai jarak genetik rata-rata genotipe hasil silang tunggal yang tidak berbeda nyata terhadap kultivar pembanding nilainya lebih kecil yaitu 0,76 dengan bobot biji rata-rata 120,36 g/tanaman. Nilai jarak genetik rata-rata genotipe hasil silang uji dengan Mr14 yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding adalah 0,81 dengan bobot biji rata-rata 159,69 g/tanaman, sedangkan nilai jarak genetik rata-rata genotipe hasil silang uji yang tidak berbeda nyata terhadap kultivar pembanding nilainya juga lebih kecil yaitu 0,72 dengan bobot biji rata-rata 111,26 g/tanaman (Tabel 8). Tabel 8 Nilai rata-rata jarak genetik dan bobot biji dua set genotipe hasil silang uji Genotipe hasil silang uji Inbrida penguji Mr4 Berbeda nyata Tidak berbeda nyata Inbrida penguji Mr14 Berbeda nyata Tidak berbeda nyata
Jarak genetik
Bobot biji
0,80 0,76
158,61 120,36
0,81 0,72
159,69 111,26
Keterangan: tidak berbeda nyata atau berbeda nyata terhadap kultivar pembanding Bima1 dan Semar10.
Nilai korelasi (r) antara jarak genetik vs bobot biji F1 hasil silang uji dengan Mr4 dan Mr14 masing-masing sebesar sebesar 0,81 dan 0,76, tergolong sedang sampai tinggi (Gambar 17).
64
190 180
Hibrida F1 hasil silang uji dengan galur Mr4 Hibrida F1 hasil silang uji dengan galur Mr14
Bobot biji per tanaman (g)
170 160 150 140 130
y = 247,54x - 55,281
120
R = 0,5793 r = 0,76
2
110 100 90
y = 323,55x - 110,38 2 R = 0,6608 r = 0,81
80 70 60 50
0.40
0.45
0.50
0.55
0.60
0.65
0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
0.95
Jarak genetik
Gambar 17. Hasil regresi jarak genetik berdasarkan marka SSR terhadap bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan inbrida Mr4 dan Mr14. Nilai r adalah hasil analisis korelasi antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan inbrida Mr4 dan Mr14.
PEMBAHASAN Upaya memenuhi permintaan jagung yang terus meningkat maka potensi hasil tinggi dari calon varietas tetap akan menjadi salah satu prioritas utama. Oleh sebab itu jika seleksi tetua menggunakan metode silang uji maka materi penguji harus mempunyai kemampuan daya gabung yang tinggi terhadap berbagai karakter. Dalam penelitian ini ketiga kultivar pembanding yang digunakan adalah Semar10, Bisi2, dan Bima1 dengan potensi hasil berturut-turut 9, 12, dan 9 ton/ha. Semar10 adalah kultivar hibrida silang tiga jalur sedangkan Bisi2 dan Bima1 adalah hibrida silang tunggal. Genotipe yang berbeda nyata terhadap Bisi2 tidak ditemukan, baik pada hibrida hasil silang tunggal dengan inbrida Mr4 maupun dengan inbrida Mr14. Hal tersebut wajar karena inbrida penguji Mr4 dan Mr14 diperoleh hanya melalui seleksi fenotipik. Genotipe F1 yang berbeda nyata terhadap Bima1 juga sangat rendah, hanya satu pada masing-masing set persilangan. Berdasarkan hasil pengujian secara fenotipik sekitar
65
lima tahun, inbrida Mr4 dan Mr14 mempunyai kemampuan daya gabung yang tinggi, sehingga dipilih sebagai tetua penguji (Mejaya et al., 2005). Namun demikian, kegiatan tersebut dilakukan sekitar sepuluh tahun yang lalu dan sampai sekarang belum ada inbrida penguji lain yang digunakan. Di lain pihak, dengan tingginya permintaan, banyak varietas-varietas baru yang dilepas dari berbagai perusahaan perbenihan utamanya dari swasta dengan potensi hasil yang sangat tinggi yaitu sekitar 12 sampai 13 ton/ha. Inbrida penguji Mr4 dan Mr14 juga merupakan tetua Bima1. Hasil karakterisasi marka SSR, diperoleh nilai jarak genetik antara Mr4 dan Mr14 sebesar 0,65 yang tergolong sedang. Dengan demikian, peluang untuk memperoleh hibrida yang lebih baik dari kultivar hibrida pembanding relatif kecil jika pengujinya inbrida Mr4 dan Mr14. Oleh sebab itu jika potensi hasil merupakan tujuan utama maka perlu dipertimbangkan untuk mencari inbrida baru dengan potensi daya gabung yang lebih tinggi dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 sebagai inbrida penguji. Berdasarkan informasi tersebut, maka seleksi inbrida untuk persilangan dialel lebih dititik beratkan pada data molekuler yaitu data jarak genetik antar inbrida yang dikarakterisasi. Bobot biji tertinggi yang diperoleh pada kedua set silang uji yaitu P5/GM269xMr4 (179,10 g/tanaman) dan Bisma-3-1xMr14 (178,52 g/tanaman), berbeda nyata terhadap kultivar pembanding Bima1. Jika kedua hibrida tersebut hasil yang diperoleh diekstrapolasi ke dalam ton/ha dengan populasi 66.000 tanaman per ha maka diperoleh hasil masing-masing 10,75 dan 10,71 ton per ha. Dengan demikian kedua inbrida tersebut mempunyai peluang untuk diuji lebih lanjut sebagai inbrida penguji yang baru, sebagai altertnatif untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas inbrida penguji, namun perlu diuji lagi pada beberapa lokasi dan musim untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Selain itu perlu dilakukan eksplorasi yang lebih jauh untuk mencari genotipe yang lebih potensial yang mampu bersaing dengan varietas-varietas terbaru dengan potensi hasil tinggi. Salah satu harapan dari penelitian ini adalah mendapatkan konfirmasi yang tegas bahwa nilai jarak genetik dekat akan diperoleh hasil yang rendah dan nilai jarak genetik yang jauh akan diperoleh hasil yang tinggi. Dari data yang diperoleh ada beberapa data yang tidak konsisten. Misalnya pada kedua set silang uji, bobot tertinggi tidak diperoleh 66
dari pasangan persilangan dengan nilai jarak genetik tertinggi. Namun demikian secara umum menunjukkan kecenderungan bahwa nilai jarak genetik rendah menghasilkan bobot biji yang rendah dan nilai jarak genetik tinggi menghasilkan bobot biji tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8, dimana bobot biji rata-rata genotipe F1 yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding mempunyai nilai jarak genetik yang lebih tinggi dibandingkan bobot biji rata-rata genotipe F1 yang tidak berbeda nyata terhadap kultivar pembanding.
Barbosa et al. (2003), menganalisis gerombol
untuk membentuk
kelompok heterotik inbrida jagung, dan memperoleh korelasi yang positif dan signifikan antara jarak genetik dan hasil. Lanza et al. (1997) tidak menemukan adanya korelasi antara jarak genetik dan hasil secara umum. Namun korelasi menjadi nyata ketika mereka melakukan analisis antar gerombol. Nilai korelasi rata-rata dari kedua set genotipe silang tunggal tergolong sedang sampai tinggi, artinya bahwa kadang-kadang ditemukan nilai jarak genetik tinggi tetapi bobot biji yang diperoleh lebih rendah dan sebaliknya nilai jarak genetik sedang tapi bobot biji tinggi, namun secara umum menunjukkan nilai jarak genetik sedang sampai tinggi diperoleh bobot biji sedang sampai tinggi. Sedangkan nilai jarak genetik yang rendah (< 0,70) menghasilkan bobot biji yang rendah yang tidak bisa bersaing dengan kultivar hibrida lain. Perlu diketahui bahwa faktor lingkungan seperti lokasi atau musim turut berpengaruh sehingga nilai korelasi antara jarak genetik dan penampilan fenotipik seperti bobot biji tidak akan maksimum. Parentoni et al. (2001), menggunakan marka RAPD pada jagung dimana filogeny yang diperoleh sesuai dengan data pedigree. Walaupun korelasi antara jarak genetik dan daya gabung khusus positif nyata tetapi sangat lemah. Barbosa et al. (2003), menganalisis gerombol
untuk membentuk
kelompok heterotik inbrida jagung, dan mereka memperoleh korelasi yang signifikan antara jarak genetik dan hasil. Lanza et al. (1997) tidak menemukan adanya korelasi antara jarak genetik dan hasil secara umum, namun korelasi menjadi nyata ketika mereka melakukan analisis antar gerombol. Menurut Dias et al. (2004), perbedaan genetik yang kontras dan heterosis tidak selalu berhubungan secara linier. Sant et al. (1999) menggambarkan bahwa hubungan non-linier yang terjadi antara jarak genetik
67
dan hasil yang tidak menentu dari sejumlah hasil penelitian disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Dari hasil penelitian ini secara umum dapat dikemukakan bahwa nilai jarak genetik berdasarkan marka molekuler bermanfaat dalam melakukan penyaringan sejumlah besar inbrida berdasarkan nilai jarak genetik antara inbrida yang diuji dengan inbrida pengujinya sehingga dapat mengurangi materi pengujian. Jadi peluang untuk mendapatkan hibrida bisa hanya melalui metode silang uji, tanpa harus dilanjutkan ke persilangan dialel. Namun demikian inbrida penguji harus mempunyai potensi penggabung yang besar.
KESIMPULAN Dari hasil yang telah dibahas diperoleh kesimpulan sebagai berikut: •
Jarak genetik antar tetua hibrida yang rendah (<0,70) menghasilkan hibrida dengan bobot biji yang rendah, sedangkan jarak genetik antar tetua hibrida sedang sampai tinggi (>0,70) menghasilkan hibrida dengan bobot biji tinggi.
•
Nilai Jarak genetik dapat digunakan sebagai alat prediksi awal untuk menyeleksi atau menyaring sejumlah besar inbrida sehingga peluang untuk memperoleh kandidat hibrida potensial melalui metode silang uji akan lebih besar.
•
Marka mikrosatelit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mendapatkan inbrida yang lebih potensial daripada inbrida penguji Mr4 dan Mr14.
•
Dua inbrida yaitu P5/GM26-9 dan Bisma-3-1 mempunyai peluang sebagai inbrida penguji (tester) yang baru masing-masing menggantikan inbrida penguji Mr4 dan Mr14.
68
BAB VI Analisis Korelasi antara Jarak Inbrida Jagung Berbasis Marka Mikrosatelit dengan Penampilan Fenotipik Hibrida Hasil Silang Dialil ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (a) untuk mengestimasi korelasi antara jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dan penampilan hibrida, daya gabung khusus (DGK) serta heterosis; dan (b) untuk mengetahui potensi hibrida yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit. Tujuh tetua diseleksi berdasarkan nilai ratarata jarak genetik yang rendah, sedang, dan tinggi menggunakan marka mikrosatelit, serta berasal dari sumber populasi yang berbeda berdasarkan data pedigree. Satu set pengujian hibrida yang terdiri atas 21 hibrida hasil silang tunggal, tujuh tetua dan empat hibrida pembanding (Bima1, Bima2, Bima3, dan Semar10). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan empat ulangan, dilakukan di dua lokasi yaitu di KP. Bajeng, Sulawesi Selatan dan di KP. Muneng, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi rata-rata antara jarak genetik dan bobot biji, antara jarak genetik dan DGK serta antara jarak genetik dan heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi tergolong sedang yaitu masing-masing 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Nilai korelasi yang tergolong sedang ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah marka yang digunakan belum memadai dan/atau faktor lingkungan. Rata-rata bobot biji yang tinggi dan berbeda nyata terhadap minimal salah satu dari kultivar pembanding adalah hibrida dari hasil persilangan antar kelompok heterotik yang berbeda. Dari kedua lokasi tersebut, terdapat enam hibrida yang potensial untuk diuji lebih lanjut yaitu Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0-172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM26-22×SP008-120, Bisma-1402×Mr14, dan BM(S1)C0-172×Mr14. Oleh karena nilai korelasi belum maksimal maka perlu untuk mengamati lebih jauh penggunaan marka. Selain itu pengujian di lapangan dan jumlah materi genetik per genotipe perlu ditambah untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Kata kunci: heterosis, daya gabung, hibrida jangung, marka molekuler 69
Correlation Analysis between Inbreds Microsatellite Marker-Based and Phenotypic Performance of Diallel Single Cross Hybrid ABSTRACT The objectives of this study are (a) to estimate the correlation between the GD and F1 performance, specific combining ability (SCA), and heterosis of both high parent (HP) and mid paret (MP), (b) to observe the promising hybrid derived from genetic distance parental selection microsatellite marker-based. Seven selected inbreds based on average GD from low to high average GD are crossed through diallel method to develop a single cross hybrids. Evaluation of the phenotypic performance consists of 21 single cross hybrid and four cultivars as check (Bima1, Bima2, Bima3, and Semar10). The experiment uses Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications, conducted at the Bajeng Experimental Station, South Sulawesi and
Muneng
Experimental Station, East Java. The result of evaluation indicates that the average correlation values between GD and average seed weight per plant, GD and SCA, GD and high parent heterosis (HPH), as well as GD and MPH are in the medium level, i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. From this experiment, six single cross hybrids suggest potential to be developed as new hybrid varieties with seed weight ranging from 176.05 to 181.24 g/plant. These hybrids are Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM26-22×SP008-120, Bisma-140-2×Mr14, and BM(S1)C0-172×Mr14. The intergroup inbreds placed by genotypic grouping in general produce hybrids with greater yield potential than the intragroup inbreds. It is concluded that the markers are efficient in placing the inbreds in different heterotic groups, but there is necessity to add more primers to obtain the best correlation between the value of GD and seed weight per plant.
Key words: heterosis, combining ability, maize hybrid, molecular markers
70
PENDAHULUAN Dalam genetika kuantitatif telah dijelaskan mengenai korelasi antara pasangan tetua jarak jauh dengan estimasi heterosis (Falconer dan Mackay, 1997). Namun demikian data yang diperoleh dari marka molekuler belum sepenuhnya diyakini dalam hubungannya dengan korelasi antara jarak genetik dengan hasil biji (Falconer, 1981). Dalam proses seleksi tetua hibrida, dengan jumlah koleksi yang semakin banyak dan beragam, tidak mungkin untuk menilai semua koleksi tersebut. Salah satu alternatif yang dapat dipilih adalah melakukan persilangan berdasarkan perbedaan genetik tetua, yang diestimasi melalui marka molekuler (Arcade et al., 1996; Melchinger, 1999). Dari sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) telah dikenal secara luas banyak memberikan harapan dalam studi keragaman genetik dan prediksi hibrida karena sesuai dengan pewarisan Mendel dan penampilannya yang kodominan dan spesifik, sehingga dapat mengidentifikasi genotipe homozigot dan heterozigot di dalam populasi. Selain itu, telah tersedia sejumlah besar set mikrosatelit yang dapat digunakan pada jagung, sebagian besar telah diidentifikasi berasosiasi dengan QTL (Quantitative Trait Loci) karakter hasil biji (Sibov et al., 2003). Beberapa prosedur pemuliaan telah mampu meningkatkan hasil biji baik populasi maupun hibrida jagung. Untuk memilih kombinasi hibrida yang paling baik, sejumlah besar galur-galur inbrida penting disilangkan. Hal tersebut akan merupakan pertimbangan yang akan menguntungkan untuk bisa mengestimasi kemampuan daya gabung tetua, efek gen dan efek heterosis dari persilangan sebelum melakukan persilangan antar galur-galur inbrida. Program persilangan dialil telah diaplikasikan untuk mencapai tujuan ini dengan pendekatan yang sistematik untuk mendeteksi tetua yang sesuai untuk karakter-karakter yang akan diamati. Selain itu, analisis dialil memberikan peluang bagi pemulia tanaman untuk memilih metode seleksi yang efisien melalui estimasi beberapa parameter genetik (Verhalen dan Murrai, 1967). Kendala yang sering dihadapi adalah pemilihan tetua yang tepat di antara sejumlah besar koleksi galur. Selain itu jika diprediksi hanya berdasarkan penampilan fenotipik, intervensi lingkungan banyak berpengaruh selama proses seleksi utamanya terhadap karakter kuantitatif. 71
Akhir-akhir ini sejumlah penelitian fokus untuk mengidentifikasi galur-galur parental superior yang memiliki karakter khusus seperti toleran terhadap kondisi biotik atau abiotik. Selain itu, untuk mengidentifikasi hibrida potensi hasil tinggi, estimasi jarak genetik membatu dalam mengelompokkan galur-galur murni ke dalam kelompok heterotik. Jarak genetik telah digunakan untuk memprediksi penampilan hibrida dan efisiensi prediksi lebih besar dengan menyilangkan anatara galur inbrida dari kelompok heterotik yang berbeda (Melchinger, 1999). Tujuan penelitian ini adalah: (a) untuk mengestimasi korelasi antara jarak genetik berbasis marka mikrosatelit sejumlah inbrida dan penampilan hibrida, heterosis dan DGK; dan (b) mengetahui potensi hibrida yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik.
BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Pembuatan hibrida F1 menggunakan tujuh tetua yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik pada kegiatan penelitian awal yaitu P5/GM26-22, Bisma-140-2, BM(S1)C0-172, SP007-68, SP008-120, Mr4, dan Mr14 (Tabel 9). Tabel 9 Materi genetik yang digunakan dalam persilangan dialil No.
Materi Inbrida
Populasi Asal
Klaster
1 P5/GM26-22-2-2-1-2-BB P5/Arjuna (Arc1) II 2 Bisma-140-2-1-1-1-1-B Bisma II 3 BM(S1)C0-172-2-B-1-1-B Arjuna II 4 SP007-68-BBBB Sintetik1 V 5 SP008-120-BBB Sintetik2 III 6 Mr4: MS.J1-46(RRS)C1 J2-46 I 7 Mr14:Suwan3-3-1-1-2-4-f(FS)-2 SW3 IV Keterangan: *)jarak genetik rata-rata pada semua peluang pasangan persilangan.
Tetua
Jarak genetik*
T1 T2 T3 T5 T6 T4 T7
0,62 0,67 0,74 0,76 0,68 0,73 0,77
Uji daya hasil terdiri atas 21 materi hibrida F1, 7 inbrida tetua hasil silang diri (selfing) dan empat kultivar pembanding yaitu Bima1, Bima2, Bima3, dan Semar10.
72
Pelaksanaan Penelitian Dalam penelitian ini, yang dianalisis adalah korelasi antara jarak genetik 21 pasangan hibrida hasil persilangan dialil dengan bobot biji hibrida F1 tersebut. Untuk pembuatan materi hibrida persilangan setengah dialil metode-II Griffing (Singh dan Chaudhary 1979), dilakukan seleksi tetua berdasarkan jarak genetik rata-rata yang rendah, sedang, dan tinggi untuk semua peluang persilangan yang memungkinkan dari ke-34 inbrida yang dikarakterisasi. Dari hasil persilangan tersebut kemudian dilakukan uji daya hasil (bobot pipilan) untuk masing-masing genotipe. Setelah itu dilakukan analisis korelasi antara jarak genetik berdasarkan marka mikrosatelit dengan penampilan keragaan hasil hibrida. Pembentukan hibrida silang tunggal. Kegiatan awal berupa pembentukan materi silang setengah dialil tujuh galur tetua hasil seleksi berdasarkan nilai jarak genetik. Jumlah persilangan yang dianalisis sebanyak
n(n + 1) = 21 F1 + 7 tetua. Pada 2
saat panen, masing-masing hibrida benihnya dipanen secara terpisah, dikeringkan, kemudian disimpan dalam kantong kertas yang akan digunakan untuk menguji penampilan fenotipik masing-masing hibrida pada musim berikutnya. Uji penampilan fenotipik hibrida silang tunggal. Kegiatan dilakukan di KP.
Bajeng (Sulawesi Selatan) dan di KP. Muneng, Jawa Timur. Jumlah perlakuan sebanyak 32 genotipe yang terdiri atas 21 hibrida silang tunggal, tujuh tetua, dan empat kultivar pembanding yaitu Bima1, Bima2, Bima3, dan Semar10. Tata letak di lapangan menggunakan rancangan acak kelompok, dua ulangan, jarak tanam 75 cm x 20 cm, panjang baris 5 m, satu baris untuk masing-masing. Pupuk yang digunakan pada semua kegiatan di lapangan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk jagung yaitu 300 kg Urea/ha, 200 kg SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha. Pemberian urea dilakukan dua kali yaitu pertama, pada umur satu minggu setelah tanam (200 kg urea/ha), bersamaan dengan semua pupuk SP36 dan KCl. Pemupukan urea yang kedua (100 kg/ha) pada umur 30 hari setelah tanam.
73
Data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan adalah tinggi tanaman, tinggi
letak tongkol, hama penyakit yang menyerang, skor penampilan tanaman dan tongkol, kadar air biji saat panen, jumlah tongkol panen per plot, bobot tongkol per plot, rendemen biji, dan komponen hasil yaitu panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, jumlah biji per baris, dan bobot 1000 biji. Cara pengamatan sama dengan kegiatan sebelumnya yaitu penampilan fenotipik genotipe hasil silang uji.
Analisis data
Analisis varians menggunakan prosedur IRRI-Stat. Model statistiknya sebagai berikut : Yijk = m + Tij + Rk + {(RT)ijk + eijk} dimana : i : genotipe j : lingkungan Yijk : genotipe i x j dalam ulangan ke k m : rata-rata umum Tij : efek genotipe i x j Rk : efek ulangan ke k RTijk : interaks ulangan dengan perlakuan eijk : galat Tabel 10 Analisis Ragam silang dialil metode II Sumber variasi Ulangan (R) Perlakuan (T)
Derajat bebas
Galat
(r-1) (t-1)
Total
rt-1
Jumlah kuadrat
R–1
∑
t–1
∑
x t x r
−
(∑
−
(∑
2 .j
2 i.
x
ij
)
ij
)
2
rt x
2
rt
Jk Total- JK Perlakuan JK Replikasi
∑
x2 − ij
(∑
x ij
)2
Kuadrat tengah JKR r −1 JKT t −1 JKGalat (r − 1)(r − 1)
rt
Keterangn : r = jumlah ulangan ; t = jumlah perlakuan (genotipe)
74
F0,05 % KT Replikasi KT Galat KT Perlakuan KT Galat
Analisis korelasi sederhana dilakukan untuk melihat hubungan antara nilai jarak genetik berbasis marka SSR dengan data fenotipik hibrida F1 dengan formula:
Korelasi ( x, y ) =
∑ (x − x )(y − y ) ∑ ( x − x) ( y − y ) 2
2
dimana, x = data genotipeik yaitu nilai jarak genetik; y = data fenotipik yaitu bobot biji. Jika nilai r positif berarti kedua karakter saling menunjang, namun apabila nilai r negatif maka data fenotipik tidak didukung oleh data genotipik. Estimasi nilai daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK) dan heterosis berdasarkan analisis setengah dialil metode II Griffing (Singh and Chaudhary, 1979). Analisis daya gabung dilakukan jika hasil anova berbeda nyata. Model statistika untuk analisis daya gabung menurut Griffing (1956) adalah : Yij = m + gi + gj + sij +
1 b
∑∑ eijk
Dimana : Yij : rata-rata genotipe ke i x j m gi gj sij
: nilai rata-rata umum : efek daya gabung umum tetua ke- i : efek daya gabung umum tetua ke-j : efek DGK untuk persilangan antara tetua ke-i dan tetua ke-j, sedemikian sehingga sij = sji
1 : pengaruh galat percobaan pada pengamatan ke ijk e b ∑∑ ijk i = j = 1,2,2,……….,n (galur) k = 1,2,2,……….….,r (ulangan) Tabel 11 Analisis varians daya gabung metode II (Griffings’, 1956) Sumber variasi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
DGU
p–1
Sg
DGK
p(p-1)/2
Ss
Ss p(p − 1) / 2
Galat
(t-1) (r-1)
Se
Se r
Kuadrat Tengah S
g
p −1
F hitung KTDGU KTGalat KTDGK KTGalat
Keterangan: p = jumlah tetua, t = jumlah perlakuan; r = jumlah ulangan.
75
Sg =
1 2p
∑ (Y + Y )
2
i.
.j
i
−
2 p2
Y..2
Ss =
1 1 (Y.i + Yi. )2 + 12 Y ..2 Yij (Yij + Y ji ) − ∑∑ ∑ 2 i j 2p i p
Sr =
1 (Yij − Y ji )2 ∑∑ 2 i< j
Bila dalam analisis daya gabung ternyata ketiga kuadrat tengah berbeda nyata terhadap galat maka dapat dihitung secara tersendiri ketiga pengaruh sumber variasi tersebut. Perhitungannya mengacu pada Singh dan Chaudhary (1979) sebagai berikut :
(
)
(
)
1. efek daya gabung umum :
1 Yi. + Y. j 2n
2. efek daya gabung khusus :
1 1 1 Yij + Y ji − Yi. + Y.i + Y j. + Y. j + Y.. 2 2n n2
−
1 Y .. n2
(
)
Perbedaan efek daya gabung umum diuji dengan uji-t dan nilainya dibandingkan dengan besarnya nilai beda kritis (BK).
Nilai BK ini digunakan untuk melihat
perbedaan efek DGU dari dua galur yang dibandingkan. Nilai BK dihitung dengan formula dari Singh dan Chaudhary (1979) sebagai berikut: BK = S.E. x t (tabulated) dimana : S.E. =
a , a = varians beda efek DGU.
Jika uji daya gabung khusus berbeda nyata pada uji F pada taraf 5% berarti ada efek heterosis. Estimasi nilai heterosis biasanya dinyatakan dengan persen (%) dan besarnya dapat dihitung sebagai berikut (Hallauer and Miranda,1981) : 1.
Heterosis tetua tertinggi (High-parent heterosis) ⎡ F - HP ⎤ h=⎢ 1 ⎥ x 100 ⎢⎣ HP ⎥⎦
2.
Heterosis rata-rata tetua (Mid-Parent Heterosis)
(
)
⎡ F − P1 + P2 / 2 ⎤ h=⎢ 1 ⎥ x 100 ⎢⎣ P1 + P2 /2 ⎥⎦
(
)
76
keterangan :
F1 = rata-rata penampilan hybrid P1 = rata-rata penampilan tetua pertama P2 = rata-rata penampilan tetua kedua
HP = rata-rata penampilan tetua tertinggi Pengaruh efek heterosis yang nyata diestimasi dengan menggunakan uji tStudent (α = 0,05): Uji beda nyata rata-rata F1 dengan rata-rata tetua dan tetua terbaik dilakukan dengan uji t, dengan rumus sebagai berikut : Sd = t=
S12 S 22 + n1 n2
x1 − x 2 Sd
db t-tabel = (n1 + n2) - 2 Keterangan: S d = ragam gabungan S 12 = ragam F1
S 22 = ragam kedua tetua atau tetua terbaik n1 = jumlah data kedua tetua atau tetua terbaik n2 = jumlah data pada x.. x1 = rata-rata F1
x 2 = rata-rata kedua tetua atau tetua terbaik t = t-hitung dengan ketentuan bahwa jika: t-hitung > t-tabel, maka nilai heterosisnya nyata t-hitung < t-tabel, maka nilai heterosisnya tidak nyata.
77
HASIL Jarak genetik tetua hibrida F1 silang tunggal berbasis marka mikrosatelit.
Inbrida yang dipilih sebagai materi persilangan dialil adalah yang mempunyai nilai jarak genetik rata-rata yang rendah, sedang, dan tinggi pada semua peluang persilangan, dengan asumsi bahwa inbrida yang mempunyai nilai jarak genetik rata-rata yang tinggi untuk semua peluang persilangan akan mempunyai daya gabung yang baik sekaligus sebagai konfirmasi. Hasil karakterisasi berdasarkan marka mikrosatelit, nilai jarak genetik dari semua kombinasi persilangan berkisar dari 0,54 yaitu persilangan T2×T3 (Bisma-140-2×BM(S1)C0-172) sampai 0,86 yaitu persilangan T4×T5 (Mr4×SP007-68). Terdapat tiga hibrida yang berada pada kelompok yang sama yaitu T1xT2, T1xT3, dan T2xT3 tetapi dengan nilai jarak genetik yang berbeda yaitu masing-masing 0,75, 0,67, dan 0,54. Nilai jarak genetik rata-rata intra grup 0,65, lebih kecil dibandingkan nilai jarak genetik rata-rata antar grup yaitu 0,73 (Tabel 12). Tabel 12 Nilai jarak genetik 21 pasangan hibrida F1 hasil silang tunggal
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Persilangan T1×T2 T1×T3 T1×T4 T1×T5 T1×T6 T1×T7 T2×T3 T2×T4 T2×T5 T2×T6 T2×T7 T3×T4 T3×T5 T3×T6 T3×T7 T4×T5 T4×T6 T4×T7 T5×T6 T5×T7 T6×T7 Jarak genetik rata-rata
Hibrida P5/GM26-22 × Bisma-140-2 P5/GM26-22 × BM(S1)C0-172 P5/GM26-22 × Mr4 P5/GM26-22 × SP007-68 P5/GM26-22 × SP008-120 P5/GM26-22 × Mr14 Bisma-140-2 × BM(S1)C0-172 Bisma-140-2 × Mr4 Bisma-140-2 × SP007-68 Bisma-140-2 × SP008-120 Bisma-140-2 × Mr14 BM(S1)C0-172 × Mr4 BM(S1)C0-172 × SP007-68 BM(S1)C0-172 × SP008-120 BM(S1)C0-172 × Mr14 Mr4 × SP007-68 Mr4 × SP008-120 Mr4 × Mr14 SP007-68 × SP008-120 SP007-68 × Mr14 SP008-120 × Mr14 Intra grup Antar grup
78
Jarak genetik 0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73 0,65 0,73
Penampilan fenotipik hibrida silang tunggal. Data penampilan fenotipik
disajikan pada Tabel 13. Hasil analisis varians menunjukkan adanya interaksi antar lokasi. Berdasarkan hasil analisis gabungan, dengan mengeluarkan pengaruh faktor lingkungan, bobot biji tertinggi pada persilangan T2×T7 (Bisma-140-2×Mr14) sebesar 170,66 g/tanaman dan terendah pada persilangan T2×T3 (P5/GM26-22×BM(S1)C0-172) sebesar 85,09 g/tanaman. Terdapat 12 (57,14%) hibrida silang tunggal menghasilkan bobot biji rata-rata yang berbeda nyata terhadap minimal salah satu dari kultivar pembanding Bima 1 Bima 3, dan Semar 10. Tabel 13 Nilai jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil silang tunggal di KP. Bajeng dan KP. Muneng, MP 2007 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4
Pedigree P5/GM26-22 X Bisma-140-2 P5/GM26-22 X BM(S1)C0-172 P5/GM26-22 X Mr4 P5/GM26-22 X SP007-68 P5/GM26-22 X SP008-120 P5/GM26-22 X Mr14 Bisma-140-2 X BM(S1)C0-172 Bisma-140-2 X Mr4 Bisma-140-2 X SP007-68 Bisma-140-2 X SP008-120 Bisma-140-2 X Mr14 BM(S1)C0-172 X Mr4 BM(S1)C0-172 X SP007-68 BM(S1)C0-172 X SP008-120 BM(S1)C0-172 X Mr14 Mr4 X SP007-68 Mr4 X SP008-120 Mr4 X Mr14 SP007-68 X SP008-120 SP007-68 X Mr14 SP008-120 X Mr14 Inbrida (Tetua): P5/GM26-22 (T1) Bisma-140-2 (T2) BM(S1)C0-172 (T3) Mr4 (T4) SP007-68 (T5) SP008-120 (T6) Mr14 (T7) Kultivar Pembanding Bima1 (a) Bima2 (b) Bima3 (c) Semar10 (d) 5% LSD CV (%)
Persilangan Hibrida T1×T2 T1×T3 T1×T4 T1×T5 T1×T6 T1×T7 T2×T3 T2×T4 T2×T5 T2×T6 T2×T7 T3×T4 T3×T5 T3×T6 T3×T7 T4×T5 T4×T6 T4×T7 T5×T6 T5×T7 T6×T7
Jarak genetik 0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73
Gabungan
Bobot biji per tanaman (g) KP. Bajeng KP. Muneng
131,66 125,98 120,46 125,08 168,48 acd 109,82 85,09 154,50 d 150,14 d 154,73 d 170,66 acd 155,23 d 138,42 148,46 d 160,10 ad 152,33 d 136,11 147,68 d 144,43 d 147,09 d 122,97
136,96 129,26 125,36 139,29 164,38 ad 111,18 86,08 148,58 173,36 acd 150,46 d 160,09 ad 168,82 acd 144,22 151,59 d 149,10 d 151,96 d 135,48 149,64 d 167,05 acd 153,34 d 123,28
126,36 122,69 115,55 110,88 172,57 acd 108,47 84,11 160,41 ad 126,92 160,14 ad 181,24 acd 141,63 d 132,61 145,33 d 171,10 acd 152,71 d 136,75 145,72 d 121,82 140,85 122,66
53,91 49,93 41,02 44,55 41,83 35,16 30,85
54,59 51,30 42,50 44,45 42,97 36,31 31,33
53,24 48,55 39,55 44,65 40,69 34,01 30,37
154,03 155,84 152,21 179,89 179,71 180,07 161,83 161,71 161,96 138,38 140,69 136,08 3,45 3,91 5,36 2,90 2,50 3,20 Keterangan: Notasi a, c, dan d artinya berbeda nyata terhadap kultivar pembanding masing-masing berturut-turut Bima 1, Bima 3, dan Semar 10.
79
Terdapat tiga hibrida yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima 1 yaitu pasangan T1×T6
(P5/GM26-22×SP008-120),
T2×T7
(Bisma-140-2×Mr14),
dan
T3×T7
(BM(S1)C0-172×Mr14) dengan bobot biji masing-masing 168,48 g/tanaman, 170,66 g/tanaman, dan 160,10 g/tanaman. Terdapat dua kultivar yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima 3 yang merupakan bobot biji tertinggi dari ketiga kultivar pembanding yaitu pasangan T1×T6 (P5/GM26-22×SP008-120) dan T2×T7 masing-masing 168,48 dan 170,66 g/tanaman dengan jarak genetik 0,74 dan 0,70. Bobot biji rata-rata dari genotipe antar grup (144,65 g/tanaman) lebih tinggi dibandingkan bobot biji rata-rata hibrida intra grup (122,60 g/tanaman). Tidak terdapat hibrida yang berasal dari kelompok heterotik yang sama atau intra grup yang menghasilkan bobot biji yang berbeda nyata terhadap salah satu kultivar pembanding. Kultivar pembanding Bima 1 merupakan hibrida silang tunggal yang telah dilepas tahun 2001 dengan potensi hasil sebesar 9 ton/ha, kultivar Bima 2 dan Bima 3 adalah hibrida silang tunggal yang dilepas tahun 2007 dengan potensi hasil masing-masing sebesar 11 ton/ha dan 10 ton/ha, dan kultivar Semar 10 adalah hibrida silang tiga jalur yang dilepas tahun 2001 dengan potensi hasil sebesar 9 ton/ha. Hasil analisis per lokasi, di lokasi KP. Bajeng, bobot biji tertinggi diperoleh pada persilangan T2×T5 (Bisma-140-2×SP007-68) sebesar 173,36 g/tanaman, sedangkan terendah pada persilangan T2×T3 sebesar 86,08 g/tanaman. Terdapat empat hibrida yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima 1 dan tiga hibrida yang berbeda nyata terhadap Bima 3. Di KP. Muneng, bobot biji tertinggi diperoleh pada persilangan T2×T7 sebesar 181,24 g/tanaman, sedangkan terendah pada persilangan T2×T3 sebesar 84,11 g/tanaman. Terdapat lima kultivar yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1, dan tiga hibrida yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima 3. Pada Tabel 14, hibrida T1×T6 dengan bobot biji yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima 3 didukung oleh karakter fenotipik lain yang berbeda nyata terhadap minimal salah satu kultivar pembanding yaitu rendemen biji (0,80), jumlah baris per tongkol (14,64) dan jumlah biji per baris (35,58). Hibrida T2×T7 selain menghasilkan bobot biji tertinggi, juga menunjukkan jumlah baris per tongkol (14,26), jumlah biji per baris (33,81) dan bobot 1000 biji (354,87 g) yang cukup tinggi dan berbeda nyata terhadap salah satu kultivar pembanding. Panjang tongkol pada umumnya lebih rendah 80
dari pada kultivar pembanding. Demikian pula dengan diameter tongkol, tidak ada yang berbeda nyata dengan kultivar pembanding. Tidak terdapat hibrida yang berbeda nyata terhadap Bima 2. Tabel 14 Penampilan rata-rata beberapa karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang tunggal No.
Genotipe
Bb (g/tan)
RB (%)
Ptk (cm)
Dtk (cm)
Jbr/tkl
Jbj/brs
131,66 125,98 120,46 125,08 168,48 acd 109,82 85,09 154,50 d 150,14 d 154,73 d 170,66 acd 155,23 d 138,42 148,46 d 160,10 ad 152,33 d 136,11 147,68 d 144,43 d 147,09 d 122,97
0,76 a 0,79 abcd 0,78 abd 0,78 abd 0,80 abcd 0.,72 0,77 ab 0,76 a 0,77 ab 0,75 0,75 0,76 a 0,76 a 0,78 abd 0,75 0,78 abd 0,77 ab 0,71 0,77 ab 0,75 0,78 abd
18,47 15,82 16,90 17,03 18,09 18,36 17,58 18,85 19,16 19,47 c 19,22 18,22 18,51 18,64 19,87 c 17,21 18,60 19,09 16,95 18,16 16,87
4,79 4,52 4,52 4,63 4,63 4,61 4,71 4,87 4,94 4,77 4,96 4,98 4,88 4,83 5,10 4,80 4,40 4,71 4,26 4,84 4,24
14,34 ad 14,16 ad 13,87 13,42 14,64 acd 14,00 d 13,32 15,18 abcd 14,69 acd 15,19 abcd 14,26 ad 14,56 acd 14,40 acd 14,81 acd 13,88 15,09 acd 14,04 d 13,24 13,85 13,66 14,10 ad
31,51 d 32,70 ad 30,70 31,85 d 35,58 abcd 26,72 27,47 33,07 ad 33,95 ad 35,36 acd 33,81 ad 35,41 abcd 34,47 acd 36,33 abcd 33,81 ad 35,11 acd 33,82 ad 31,03 d 35,67 abcd 32,83 ad 31,85 d
B_1000bj (g)
Hibrida
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
T1×T2 T1×T3 T1×T4 T1×T5 T1×T6 T1×T7 T2×T3 T2×T4 T2×T5 T2×T6 T2×T7 T3×T4 T3×T5 T3×T6 T3×T7 T4×T5 T4×T6 T4×T7 T5×T6 T5×T7 T6×T7
292,17 272,16 283,03 292,20 323,65 295,04 232,49 308,47 298,94 288,80 354,87 abcd 300,65 278,92 276,23 340,98 d 287,90 287,66 362,15 abcd 293,19 328,02 274,39
Tetua T1 (P5/GM26-22) 53,91 0,79 15,54 4,43 13,08 22,61 182,24 T2 (Bisma-140-2) 49,93 0,61 13,08 3,56 12,74 21,38 183,58 T3 (BM(S1)C0-172) 41,02 0,71 8,01 2,65 12,33 18,20 183,94 T4 (Mr4) 44,55 0,68 10,47 2,47 12,21 20,11 182,26 T5 (SP007-68) 41,83 0,73 9,46 3,19 12,26 18,90 180,79 T6 (SP008-120) 35,16 0,78 16,81 4,16 12,28 20,38 141,40 T7 (Mr14) 30,85 0,43 12,83 3,40 11,40 15,02 180,36 Kultivar pembanding 1 Bima1 (a) 154,03 0,73 18,91 4,84 13,74 32,05 350,56 2 Bima2 (b) 179,89 0,74 20,95 5,21 14,84 34,93 347,60 3 Bima3 (c) 161,83 0,76 17,62 4,89 14,01 33,97 340,25 4 Semar10 (d) 138,38 0,75 18,61 4,75 13,60 30,44 334,60 3,45 0,03 1,75 0,37 0,34 0,44 2,37 5%LSD 2,90 3,50 10,50 8,50 2,50 1,50 0,90 CV (%) Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi a, b, c, d pada data fenotipik hibrida berbeda nyata terhadap kultivar pembanding berturut turut Bima1, Bima2, Bima3, dan Semar10. Bb=bobot biji, Tt=tinggi tanaman, Ttk=tinggi letak tongkol, RB=rendemen biji, Ptk=panjang tongkol, Dtk=diameter tongkol, Jbr=jumlah baris, Jbj=jumlah biji, B_1000=bobot 1000 biji.
1 2 3 4 5 6 7
Estimasi nilai duga parameter genetik. Hasil analisis daya gabung khusus
(DGK) terhadap bobot biji berbeda nyata berdasarkan uji t5%. Hasil analisis gabungan, nilai DGK tertinggi pada hibrida T1xT6 sebesar 72,64 pada nilai jarak genetik 0,74, dan terendah pada hibrida T2xT3 sebesar -27,37 pada nilai jarak genetik 0,54. Hasil analisis
81
per lokasi, di KP. Bajeng nilai DGK tertinggi pada hibrida T3xT4 sebesar 51,89 pada nilai jarak genetik 0,73 dan terendah pada persilangan T2×T3 sebesar -29,54. Di KP. Muneng, nilai DGK tertinggi pada persilangan T1xT6 sebesar 61,25 dan terendah pada persilangan T2xT3 sebesar -29,22. Nilai rata-rata antar grup (44,32) lebih besar dibandingkan nilai rata-rata intra grup (3,46) (Tabel 15).
Tabel 15 Estimasi daya gabung khusus (DGK) pasangan inbrida pada dua lokasi, MP 2007 No.
Hibrida
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
T1×T2 T1×T3 T1×T4 T1×T5 T1×T6 T1×T7 T2×T3 T2×T4 T2×T5 T2×T6 T2×T7 T3×T4 T3×T5 T3×T6 T3×T7 T4×T5 T4×T6 T4×T7 T5×T6 T5×T7 T6×T7 Intra grup Antar grup BK5% ttabel
Jarak Genetik 0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73 0,65 0,73
DGK Gabungan 19,61 18,14 10,63 19,84 72,64 15,16 -27,36 40,05 40,28 54,27 71,38 44,99 32,77 52,22 65,03 44,69 37,88 50,62 50,78 54,62 39,90 3,46 44,32 3,79*
KP. Bajeng 21,16 18,24 8,26 17,03 47,84 0,68 -29,54 26,89 46,51 28,17 45,00 51,89 22,13 35,22 38,77 23,79 13,03 33,24 39,45 31,78 7,44 3,29 28,73 4,55* 1,99
KP. Muneng 14,54 17,50 3,09 6,74 61,75 -2,74 -29,22 39,80 14,64 41,18 61,89 27,66 26,96 33,00 58,38 39,78 17,14 25,73 10,53 29,17 4,31 0,94 27,72 5,19*
Keterangan: * = Nilai DGK antar pasangan inbrida baik pada hasil analisis gabungan maupun hasil analisis per lokasi berbeda nyata berdasarkan nilai beda kritis (BK).
Estimasi heterosis rata-rata tetua (MPH) dan tetua tertinggi (HPH) berdasarkan analisis gabungan, tertinggi pada hibrida T3×T7 masing-masing 345,50 dan 290,24, sedangkan terendah pada hibrida T2×T3 masing-masing 87,12 dan 70,44. Hasil analisis per lokasi, di KP. Bajeng, heterosis rata-rata tetua (MPH) dan tetua tertinggi (HPH) berdasarkan analisis gabungan, tertinggi pada hibrida T5×T6 masing-masing 321,42 dan 288,73, sedangkan terendah pada hibrida T2×T3 masing-masing 83,54 dan 67,80. di KP. Bajeng, heterosis rata-rata tetua (MPH) dan tetua tertinggi (HPH) berdasarkan 82
analisis gabungan, tertinggi pada hibrida T3×T7 masing-masing 389,40 dan 332,61, sedangkan terendah pada hibrida T2×T3 masing-masing 90,93 dan 73,23. Persentase heterosis rata-rata antar grup baik heterosis rata-rata tetua maupun tetua tertinggi lebih besar dibandingkan heterosis rata-rata intra grup dan berbeda nyata pada uji t5% (Tabel 16). Tabel 16 Estimasi heterosis tetua tertinggi, dan heterosis rata-rata tetua hibrida F1 silang tunggal pada dua lokasi, MP 2007 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Genotipe
Jarak Genetik
Hibrida T1×T2 T1×T3 T1×T4 T1×T5 T1×T6 T1×T7 T2×T3 T2×T4 T2×T5 T2×T6 T2×T7 T3×T4 T3×T5 T3×T6 T3×T7 T4×T5 T4×T6 T4×T7 T5×T6 T5×T7 T6×T7 Intra grup Antar grup
0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73 0,65 0,73
Gabungan Ratarata Tetua tetua tertinggi 153,58 144,21 165,39 133,66 144,67 123,43 161,29 132,01 278,30 212,49 159,14 103,70 87,12 70,44 227,05 209,45 227,26 200,73 263,71 209,91 322,57 241,84 262,77 248,41 234,11 230,89 289,75 261,87 345,50 290,24 252,68 241,91 241,52 205,51 291,73 231,48 275,21 245,27 304,77 251,63 272,61 249,78 135,36 116,10 253,04 216,14
thitung 5% Ttabel
Heterosis (%) KP. Bajeng RataTetua rata terting tetua gi 158,68 150,88 166,27 136,78 153,14 129,63 185,54 155,15 261,68 201,11 158,80 103,66 83,54 67,80 210,36 189,64 267,79 237,95 240,87 191,06 287,51 212,08 288,32 279,80 237,46 235,60 284,71 256,68 303,92 250,82 247,63 241,86 235,52 204,78 294,96 236,65 321,42 288,73 312,77 256,83 264,57 239,57 136,17 118,49 253,17 217,31 13,75* 1,99
KP. Muneng RataTetua rata terting tetua gi 148,28 137,36 164,46 130,47 136,09 117,06 136,09 108,27 295,61 224,17 159,48 103,75 90,93 73,23 244,20 230,38 184,45 161,41 287,93 229,83 359,28 273,28 236,39 258,09 230,54 225,91 295,14 311,04 389,40 332,61 257,86 241,97 247,69 206,24 288,46 226,33 226,16 199,38 296,41 246,15 281,06 260,68 134,56 113,69 252,90 219,81
Keterangan: * = Nilai heterosis hibrida pada hasil analisis gabungan dan hasil analisis per lokasi berbeda nyata berdasarkan nilai t_Student (5%)
Terhadap nilai duga daya gabung umum (DGU), hasil analisis gabungan menunjukkan tetua dengan nilai duga DGU tertinggi adalah inbrida Bisma-140-2 (T2) sebesar 0,36. Hanya T2 yang mempunyai nilai DGU yang positif. Hasil analisis per lokasi, yang tertinggi di KP. Bajeng adalah inbrida SP007-68 (T5) sebesar 7,34, sedangkan di KP. Muneng adalah inbrida Mr4 (T4) sebesar 3,99 (Tabel 17). 83
Tabel 17 Nilai duga DGU tujuh inbrida yang digunakan sebagai tetua dalam pembentukan hibrida No.
Inbrida (Tetua)
1 2 3 4 5 6 7
P5/GM26-22 (T1) Bisma-140-2 (T2) BM(S1)C0-172 (T3) Mr4 (T4) SP007-68 (T5) SP008-120 (T6) Mr14 (T7)
Daya Gabung Umum (DGU) Bajeng Muneng Gabungan -3,72 -4,80 -4,26 0,88 3,35 0,36 -3,89 -3,29 -3,86 2,19 -1,86 3,99 -4,33 -6,45 7,34 1,62 2,35 -15,86 -4,42 2,73 -17,03
Pada kedua lokasi penelitian, masing-masing terdapat tiga hibrida dengan bobot biji yang berbeda nyata terhadap kultivar pembanding Bima 3 menunjukkan bahwa keenam hibrida tersebut merupakan pasangan tetua dari kelompok heterotik yang berbeda dengan bobot rata-rata berkisar dari 176,05 sampai 181,24 g/tanaman. Keenam hibrida tersebut adalah hibrida Bisma-140-2×SP007-68 (T2×T5), BM(S1)C0-172×Mr4 (T3×T4), dan SP007-68×SP008-120 (T5×T6) di KP. Bajeng dan hibrida P5/GM2622×SP008-120 (T1×T6), Bisma-140-2×Mr14 (T2×T7), dan BM(S1)C0-172×Mr14 (T3×T7) di KP. Muneng. Keragaan tongkol enam hibrida potensial dapat dilihat pada Lampiran 2, Gambar 18. Namun berdasarkan analisis gabungan dimana pengaruh lingkungan dikeluarkan, ada dua hibrida yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima 3, memberikan harapan untuk diuji lebih lanjut yaitu P5/GM26-22×SP008-120, dan Bisma-140-2×Mr14 dengan bobot biji 164,48 dan 170,66 g/tanaman. Korelasi Antara Jarak Genetik dan Penampilan Hibrida F1. Korelasi antara
jarak genetik dan bobot biji (gabungan, KP. Muneng, dan KP. Bajeng), jarak genetik dan DGK, jarak genetik dan heterosis tetua tertinggi, jarak genetik dan heterosis rata-rata tetua, disajikan pada Tabel 18. Nilai korelasi gabungan berkisar dari 0,55-0,67, tergolong sedang. Korelasi tertinggi adalah antara nilai jarak genetik dan bobot biji per tanaman sedangkan yang terendah adalah antara nilai jarak genetik dan heterosis ratarata tetua. Nilai korelasi antara jarak genetik dengan parameter genetik yang dianalisis
84
cenderung lebih tinggi di lokasi Bajeng daripada lokasi Muneng. Sedangkan nilai korelasi di antara nilai duga parameter genetik hampir sama pada kedua lokasi. Tabel 18 Korelasi (r) antara nilai jarak genetik dengan bobot biji, DGK, dan heterosis pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP. Muneng) Parameter genetik Jarak Genetik dengan bobot biji (g/tanaman) Jarak Genetik dengan DGK Jarak Genetik dengan Heterosis rata-rata tetua Jarak Genetik dengan Heterosis tetua tertinggi
Bajeng 0,72 0,62 0,57 0,68
Korelasi (r) Muneng 0,52 0,52 0,41 0,51
Gabungan 0,67 0,59 0,51 0,64
PEMBAHASAN
Materi genetik yang digunakan dalam studi ini mempunyai variabilitas genetik yang luas yang ditunjukkan oleh kisaran jarak genetik 0,54-0,86 berdasarkan marka mikrosatelit. Satu set persilangan dialil berbasis marka molekuler dengan total 21 persilangan dapat mengungkapkan beberapa hal penting yang berkaitan dengan heterosis dari materi genetik yang dikarakterisasi. Kelompok heterotik yang terbentuk berdasarkan marka mikrosatelit membantu dalam melakukan seleksi awal tetua hibrida yang digunakan dalam persilangan dialil. Seleksi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, akurat, serta dapat menghindari persilangan dan pengujian dalam jumlah yang besar di lapangan. Berdasarkan nilai jarak genetik, pasangan tetua hibrida yang berada pada grup yang sama mempunyai nilai jarak genetik rata-rata yang lebih kecil (0,65) dibandingkan nilai jarak genetik rata-rata pasangan tetua dari kelompok heterotik yang berbeda (0,73). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa nilai korelasi tergolong sedang, dan korelasi tertinggi adalah antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Secara umum terlihat bahwa jarak genetik yang sempit cenderung menghasilkan bobot biji yang rendah utamanya pada hibrida T2xT3, sedangkan nilai jarak genetik sedang sampai tinggi cenderung menghasilkan bobot biji yang tinggi. Berdasarkan lokasi, nilai korelasi
85
antara jarak genetik dan bobot biji yang diamati lebih tinggi di lokasi Bajeng dibandingkan dengan lokasi di Muneng (Tabel 18). Hal tersebut disebabkan karena kondisi iklim di Bajeng normal sedangkan di Bajeng lebih kering, sehingga karakterkarakter akan lebih terekspresi di Bajeng dibandingkan di Muneng. Oleh sebab itu untuk penelitian dasar seperti ini pengujian lapangan cukup dilakukan pada kondisi normal. Pada penelitian sebelumnya, nilai jarak genetik dan bobot biji beberapa nilai yang belum konsisten, seperti bobot biji tertinggi terdapat pada pasangan hibrida dengan nilai jarak genetik sedang dan sebaliknya nilai jarak genetik tertinggi tidak diikuti oleh bobot biji yang tertinggi walaupun masih berbeda nyata terhadap salah satu kultivar pembanding. Hal yang sama juga terjadi pada nilai duga DGK dan heterosis. Dengan demikian bobot biji tertinggi tidak selalu dihasilkan oleh pasangan persilangan yang mempunyai nilai jarak genetik tertinggi. Menurut Dias et al. (2004), jumlah marka molekuler yang digunakan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam seleksi tetua, sehingga pasangan tetua dengan perbedaan genetik relatif yang tinggi tidak selalu menjadi pasangan persilangan heterotik yang terbaik, tetapi juga dapat diperoleh dari hasil persilangan tetua-tetua dengan perbedaan genetik yang sedang. Moll et al. (1965) mengemukakan bahwa tetua jarak jauh tidak selalu memberikan hasil yang tertinggi karena kombinasi gen yang tidak sesuai (incompatible) pada dua tetua karena perbedaan genetik yang sangat tinggi. Jadi kemungkinan lain yang menyebabkan korelasi belum maksimal adalah paket marka yang digunakan mengkarakterisasi jarak genetik, baik dalam percobaan ini maupun yang digunakan oleh Dias et al., 2004 mungkin belum merupakan paket marka yang terbaik. Jika paket ini ditemukan dan dapat meningkatkan nilai korelasi dalam kaitannya dengan meningkatnya heterosis maka akan sangat berguna dan efisien untuk diaplikasikan oleh pemulia. Tsegaye et al., 1996 mengemukakan bahwa jumlah primer yang digunakan harus banyak untuk memperoleh hasil analisis yang akurat. Sedikitnya jumlah marker yang digunakan, juga merupakan alasan utama kurangnya pemanfaatan isoenzim, karena selain tidak meliputi seluruh genom, juga menghasilkan korelasi yang sangat lemah terhadap marka yang lain dan terhadap kondisi lingkungan yang memungkinkan.
86
Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor lingkungan khususnya untuk karakter kuantitatif seperti bobot biji. Sant et al. (1999) mengemukakan bahwa hubungan nonlinier yang terjadi antara jarak genetik dan hasil yang eratik (tidak menentu) dari sejumlah hasil penelitian disebabkan oleh pengaruh lingkungan sehingga untuk mendapatkan korelasi yang akurat maka data lapangan harus lebih dari satu lokasi atau musim. Beberapa karakter fenotipik lain yang nampaknya berpengaruh khususnya terhadap dua hibrida F1 yang menghasilkan bobot biji yang tinggi yaitu hibrida T1xT6 dan T2xT7. Hibrida T1xT6 menghasilkan rendemen biji tertinggi (0,8). Rendemen biji merupakan salah satu karakter yang diminati para petani. Selain itu menghasilkan jumlah baris per tongkol dan jumlah biji per baris yang tinggi. Hibrida T2xT7 menghasilkan jumlah baris per tongkol, jumlah biji per baris dan bobot 1000 biji yang cukup tinggi. Pada Gambar 18 dapat dilihat tampilan biji hibrida dengan rendemen biji yang tinggi dibandingkan biji hibrida dengan rendemen biji yang rendah.
T1T6 T6T7
Bima1
Bima2
T1T3
Bima3
Gambar 18 Keragaan biji hibrida silang tunggal (atas) dan kultivar pembanding (bawah). Rendemen biji masing-masing sebesar 0,8 (T1xT6), 0,75 (T6xT7), 0,79 (T1xT3), 0,73 (Bima 1), 0,74 (Bima 2), 0,76 (Bima 3). Panjang tongkol dan diameter tongkol adalah bagian dari komponen hasil. Diperkirakan bahwa salah satu kelemahan dari set persilangan hibrida ini adalah tidak mampu menghasilkan panjang tongkol dan diameter tongkol yang bisa bersaing dengan kultivar pembanding khususnya terhadap kultivar Bima 2 dengan potensi hasil 11 ton/ha.
87
Nilai duga DGK rata-rata antar grup lebih besar dibandingkan nilai duga DGK
intra grup. Heterosis rata-rata antar grup baik berdasarkan rata-rata tetua maupun heterosis tetua tertinggi juga lebih tinggi dibandingkan intra group. Hasil tersebut konsisten dengan bobot biji, yang menunjukkan bahwa hibrida dari tetua dengan kelompok heterotik yang berbeda akan menghasilkan heterosis yang lebih tinggi dan berbeda nyata berdasarkan uji t5% (Gambar 19). Menurut El-Maghraby et al. (2005), metode yang digunakan dalam program pemuliaan hibrida akan lebih sederhana, efisien, dan relatif murah jika dapat memprediksi heterosis lebih dini sebelum percobaan di lapangan, guna mengurangi sejumlah persilangan, pengurangan jumlah evaluasi di lapangan, serta mempercepat program pembentukan hibrida.
K2
T1 T2 K4
T7
Intra grup 122,60 g/tan Antar grup 144,65 g/tan
T3 T6
K3
T4 K1
T5 K5
Ket:
--------- = pasangan tetua hibrida potensial di KP. Bajeng …………… = pasangan tetua hibrida potensial di KP. Muneng K
= Klaster
Gambar 19 Ilustrasi pasangan tetua hibrida potensial berdasarkan bobot biji yang berbeda nyata terhadap kultivar cek Bima 1, Bima 3 dan Semar 10 pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP.Muneng).
Berdasarkan kemampuan bergabung, hasil persilangan antar grup dengan tetua T2 (Bisma-140-2) secara umum menghasilkan bobot biji yang tinggi dan berbeda nyata terhadap minimal salah satu kultivar pembanding. Nilai estimasi DGU secara gabungan menunjukkan hanya T2 yang menghasilkan nilai positif, artinya bahwa inbrida tersebut merupakan penggabung umum yang baik di antara tetua yang lain. Persilangan antara
88
dua galur inbrida penggabung umum yang baik tidak selalu menunjukkan daya gabung khusus yang baik, tetapi penggabung umum yang sedang atau kurang juga dapat menunjukkan daya gabung khusus yang baik (Maurya dan Singh 1977; Silitonga et al. 1993). Dalam penelitian ini tidak terdapat hibrida yang mampu menyaingi kultivar Bima 2 walaupun jarak genetik memperlihatkan variasi genetik yang cukup luas. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh penggunaan tetua hibrida jarak jauh yang terbatas karena penggunaan tetua jarak genetik dekat dan sedang juga diikutkan untuk mendapatkan nilai korelasi yang merupakan tujuan utama penelitian ini.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: •
Jarak genetik antar tetua hibrida yang rendah (<0,70) menghasilkan hibrida dengan bobot biji yang rendah, sedangkan jarak genetik antar tetua hibrida sedang sampai tinggi (>0,70) menghasilkan hibrida dengan bobot biji tinggi.
•
Nilai korelasi yang tergolong sedang mengindikasikan bahwa antara nilai jarak genetik sedang sampai tinggi belum secara tegas memprediksi bobot bobot biji, nilai DGK dan heterosis sedang sampai tinggi.
•
Pembentukan kelompok heterotik berbasis marka molekuler efektif dalam memprediksi tetua hibrida lebih awal.
•
Terdapat enam hibrida harapan yang dapat diuji lebih lanjut sesuai dengan lingkungan yang mendukung untuk masing-masing hibrida yaitu Bisma-1402×SP007-68 (T2×T5), BM(S1)C0-172×Mr4 (T3×T4), SP007-68×SP008-120 (T5×T6), P5/GM26-22×SP008-120 (T1×T6), Bisma-140-2×Mr14 (T2×T7), dan BM(S1)C0-172×Mr14 (T3×T7)
89
BAB. VII PEMBAHASAN UMUM
Permintaan jagung ke depan akan terus mengalami peningkatan, karena sifatnya yang multifungsi. Oleh sebab itu teknologi yang tepat sasaran dan aman harus dimiliki untuk bisa memenuhi permintaan tersebut. Dalam program pemuliaan hibrida jagung, pemilihan kandidat tetua hibrida dari sejumlah besar koleksi inbrida merupakan suatu tantangan bagi para pemulia yang akan menentukan keberhasilan. Pemahaman aplikasi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman memerlukan pemahaman yang detail mengenai metodologi pemuliaan tanaman (siklus waktu), genetika kuantitatif, dan statistik. Pengetahuan genetika kuantitatif dan statistik dibutuhkan untuk memahami bagaimana membentuk kultivar terbaru dan pengembangan hibrida sebagai dasar teori dalam metodologi pemuliaan tanaman. Desain, implementasi, dan interpretasi dalam pemuliaan tanaman, dan kemampuan statistik dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan di antara kultivar dan hibrida. Supaya program menjadi sukses, ekonomi pengembangan kultivar harus dipertimbangkan secara berkelanjutan bersama dengan desain program pemuliaan.
Dalam penelitian ini, analisis keragaman genetik dan pengelompokan berdasarkan kemiripan genetik nampaknya akan sangat membantu dalam penyaringan awal sejumlah besar koleksi. Marka mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini mampu mengelompokkan genotipe berdasarkan kemiripannya, dan pengelompokan tersebut hampir sesuai dengan data pedigree yang sama. Walaupun demikian, ada beberapa inbrida yang mempunyai inisial pedigree yang hampir sama tetapi menyebar pada gerombol yang berbeda seperti SP007-118 (KII), SP007-68 dan SP007-23 (KIV) dan SP007-85 (KV) karena dibentuk dari beberapa populasi (Tabel 1). Dengan demikian, pedigree dengan inisial yang sama belum menjamin 100% bahwa materi genetik tersebut berkerabat dekat, dan hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dari data silsilah keturunan. Oleh karena itu seleksi tetua dengan pendekatan berdasarkan marka genotipik dan fenotipik akan sangat membantu menghindari
90
kesalahan karena membaca pedigree. Keakuratan pengelompokan cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,76. Untuk membedakan inbrida satu dengan yang lain nilai tersebut sudah memadai, tetapi untuk medapatkan kelompok heterotik yang stabil maka nilai korelasi harus >0,90. Kemampuan menyeleksi tetua pada awal penelitian dengan bantuan kelompok heterotik merupakan suatu kemajuan besar karena sejumlah besar persilangan yang biasa dilakukan untuk melihat kemampuan daya gabung dari masing-masing inbrida tidak perlu dilakukan dengan adanya informasi jarak genetik. Jumlah marka yang efektif untuk mengelompokkan inbrida secara stabil dan mendukung heterosis sangat diperlukan para pemulia sehingga akan lebih memudahkan dalam aplikasi teknik molekuler. Dalam penelitian ini, paket marka yang menggunakan 25 primer menghasilkan nilai korelasi kofenetik sebesar 0,79. Nilai korelasi tersebut mengindikasikan bahwa paket tersebut belum merupakan paket marka yang terbaik, walaupun sudah mampu membedakan materi genetik dan sudah dapat membantu dalam selekti awal tetua, karena kestabilan pengelompokan belum maksimal. Usaha untuk mendapatkan paket marka yang betul-betul sesuai antara jarak genetik dan tingkat heterosisnya masih perlu terus dilakukan melalui iterasi paket marka yang telah ada atau penambahan marka lainnya untuk memperoleh nilai korelasi >0,90. Paket marka berbasis 36 marka mikrosatelit nilai korelasinya lebih kecil daripada paket marka berbasis 25 marka mikrosatelit. Kemungkinan bahwa primer-primer yang terseleksi pada paket 25 marka SSR, selain menyebar secara merata dalam genom jagung, juga lebih mewakili karakter-karakter yang dapat mengelompokkan materi genetik yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kemiripan genetik. Metode silang uji adalah salah satu cara dalam pemuliaan untuk membentuk hibrida. Dalam hal ini inbrida penguji memegang peranan penting yaitu memiliki kemampuan bergabung dengan berbagai meteri genetik dari berbagai sumber. Hasil analisis menunjukkan korelasi antar nilai jarak genetik tertinggi pada dua set silang uji masing-masing dengan Mr4 dan Mr14 berkisar dari sedang sampai tinggi yaitu 0,81 dan 0,76. Artinya bahwa nilai jarak genetik sejalan dengan bobot biji yang dihasilkan. Pada kedua set silang uji, nilai jarak genetik lebih kecil < 0,70, hasil yang diperoleh jika diekstrapolasi ke ton per hektar dengan populasi 60.000 tanaman/ha sekitar 8 ton atau 91
lebih kecil. Sedangkan nilai jarak genetik < 0,70, hasil yang dapat diperoleh < 8 ton berdasarkan nilai ekstrapolasi. Nilai jarak genetik >0,70 di atas 8 ton/ha berdasarkan hasil ekstrapolasi dan pada penelitian ini hasil tertinggi pada kedua set persilangan (M4 dan Mr14) sebesar 10,75 dan 10,71, pada nilai jarak genetik masing-masing 0,82 dan 0,84. Hasil tertinggi ini tidak diperoleh dari nilai jarak genetik tertinggi, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai r masih tergolong sedang sampai tinggi.
Berdasarkan hasil
penelitian ini, materi penguji Mr4 dan Mr14 yang selama ini digunakan perlu dipertimbangkan karena kurang mampu menghasilkan hibrida yang bisa bersaing atau lebih baik dengan kultivar yang telah ada. Inbrida Mr4 dan Mr14 juga sekaligus sebagai tetua hibrida Bima 1, dengan potensi hasil 9 ton/ha, diperoleh nilai jarak genetik sebesar 0,65. Selama ini Bima1 masih sering digunakan sebagai kultivar pembanding untuk pengujian hibrida-hibrida harapan. Jika tetap menggunakan kultivar tersebut sebagai tester maka hibrida yang diperoleh akan sukar bersaing dengan kultivar-kultivar lain dengan potensi hasil yang jauh lebih tinggi yaitu sekitar 11 sampai 12 ton per ha. Dalam penelitian ini ada dua inbrida yang nampaknya mempunyai potensi untuk diuji lebih lanjut sebagai materi penguji yaitu inbrida P5/GM26-9 dan Bisma-3-1. Metode silang dialil menunjukkan bahwa nilai korelasi tergolong sedang, baik terhadap bobot biji, nilai DGK maupun terhadap heterosis tetua rata-rata dan heterosis tetua tertinggi. Korelasi tertinggi adalah antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Salah satu kemungkinan nilai r sedang karena jumlah primer yang digunakan belum memadai. Hasil karakterisasi inbrida pada kegiatan awal juga menunjukkan nilai koefisien korelasi kofenetik yang belum maksimal untuk menghasilkan kelompok heterotik yang stabil. Kedua metode yang digunakan yaitu penggunaan materi genetik hasil silang uji dan materi genetik hasil silang dialil, memberikan informasi yang sama terhadap nilai korelasi sedang yang mengindikasikan bahwa nilai jarak genetik sedang sampai tinggi dapat diperoleh penampilan fenotipik yang superior, sedangkan nilai jarak genetik rendah akan diperoleh penampilan fenotipik yang inferior. Dengan demikian bagi para pemulia, dalam aplikasi di lapangan tidak perlu untuk melakukan kedua metode tersebut untuk satu set atau siklus kegiatan pembentukan hibrida jika nilai jarak genetik berbasis molekuler diikut sertakan. 92
Hasil yang menonjol yang bisa diadopsi dari penelitian ini adalah hibrida yang berasal dari tetua persilangan antar grup heterotik menghasilkan bobot biji tinggi, DGK yang tinggi serta heterosis tinggi, sedangkan hibrida yang berasal dari persilangan intragrup menghasilkan bobot biji rendah, DGK rendah serta heterosis yang rendah juga. Enam hibrida potensial yang diperoleh semuanya merupakan hibrida hasil persilangan antar grup atau antar kelompok heterotik yang berbeda. Secara keseluruhan terdapat beberapa peluang yang menguntungkan jika memanfaatkan alat bantu mikrosatelit yang merupakan salah satu terobosan dalam merespon permintaan jagung ke depan (Tabel 19).
Tabel 19 Tahapan pemuliaan hibrida jagung berbasis marka fenotipik dan genotipik Data fenotipik + data molekuler
Data fenotipik Tahapan kegiatan
Pembuatan galur (pre-breeding)
Jumlah materi genetik 100 – 500 genotipe
Perkiraan waktu
Marka fenotipik
Perkiraan waktu
6–9 generasi
100 – 500 genotipe
6–9 generasi (2 – 4 thn)
>100 genotipe 30 – 50 genotipe 30 – 50 genotipe
1 – 2 bulan
Karakterisasi molekuler
-
-
Pembuatan silang uji (test cross) Pengujian hibrida silang uji
100 – 500 genotipe 50 - 100 genotipe
1 – 2 m.t (6 bln–1 thn) 1 – 2 m.t (6 bln–1 thn)
10 inbrida
1 – 2 m.t (6 bln–1thn)
10 inbrida
1 – 2 m.t (6 bln–1thn)
45 – 100 hibrida
1 m.t (6 bln)
45 – 100 hibrida
1 m.t (6 bln)
1 m.t (6 bln) 1 m.t (6 bln) atau
Pembentukan materi dialel Uji daya hasil pendahuluan hibrida F1 Uji daya hasil lanjutan Uji multilokasi Total
30 – 50 hibrida 10 - 20 hibrida 5 – 10 varietas
1 – 2 m.t (6 bln – 1 thn) 1 – 2 m.t 5 - 10 thn
30 – 50 hibrida 20- 30 hibrida 15 – 20 varietas
1 – 2 m.t (6 bln–1 thn) 1 – 2 m.t 4 – 7 tahun
Keterangan: m.t = musim tanam; bln = bulan; thn = tahun
Jika menggunakan alat bantu molekuler maka dapat mengurangi jumlah materi persilangan, dan salah satu tahapan pembentukan hibrida apakah tahapan pembentukan 93
dan pengujian hibrida silang uji atau tahapan pembentukan dan pengujian hibrida silang dialel, tergantung dari program yang telah direncanakan sebelumnya. Pengurangan jumlah materi persilangan dan tahapan kegiatan persilangan tersebut pada akhirnya diikuti oleh pengurangan waktu, tenaga, dan dana di lapangan. Dengan demikian investasi yang cukup tinggi pada awal pemanfaatan marka molekuler dapat diimbangi oleh pengurangan waktu, tenaga, dan dana di lapangan. Selain itu dapat meningkatkan jumlah varietas yang dapat dilepas dalam satu rangkaian kegiatan pembuatan hibrida.
94
BAB. VIII KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil karakterisasi berbasis marka mikrosatelit memperlihatkan keragaman genetik yang luas dari materi yang diuji. Selain itu dapat membedakan inbrida satu dengan yang lainnya. Hasil konstruksi dendrogram menunjukkan pengelompokan inbrida berdasarkan kemiripan genetik dan hampir sesuai dengan data pedigree. Hasil ini juga sekaligus memperlihatkan keterbatasan metode pedigree dimana terdapat beberapa inbrida dengan inisial yang sama ternyata berada pada kelompok heterotik yang berbeda. Paket marka yang menghasilkan nilai korelasi kofenetik tertinggi adalah yang menggunakan 25 primer, namun paket belum merupakan paket yang terbaik karena nilai korelasi kofenetik masih <0,90. Nilai korelasi antara jarak genetik dan bobot biji baik pada set silang uji maupun pada set silang dialil tergolong sedang, mengindikasikan bahwa nilai jarak genetik sudah dapat dijadikan sebagai indikator dalam seleksi inbrida potensial dari sejumlah besar materi genetik baik melalui metode silang uji maupun melalui metode silang dialil. Kelompok heterotik yang terbentuk berdasarkan marka mikrosatelit dapat digunakan sebagai saringan pertama dalam melakukan seleksi tetua pada awal penelitian sehingga dapat mengurangi jumlah materi persilangan, menghemat waktu sekitar satu sampai dua musim,
serta dapat mempersingkat satu tahapan dalam satu siklus
pembentukan hibrida di lapangan. Penggunaan materi genetik silang uji dan silang dialel menghasilkan informasi korelasi antara jarak genetik dan bobot biji yang relatif sama, sehingga memungkinkan untuk menggunakan hanya salah satu dari kedua materi genetik tersebut. Terdapat enam hibrida yang memberikan harapan untuk diuji lebih lanjut sebagai kandidat hibrida harapan yaitu Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0-172×Mr4, SP00768×SP008-120,
P5/GM26-22×SP008-120,
Bisma-140-2×Mr14,
172×Mr14 dengan bobot biji berkisar dari 176,05 sampai 181,24.
95
dan
BM(S1)C0-
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, nilai jarak genetik dan kelompok heterotik yang terbentuk dapat digunakan dalam seleksi tetua dan menunjukkan hasil yang cukup baik dengan diperolehnya nilai korelasi yang sedang. Namun demikian hasil ini belum maksimal karena kelompok heterotik yang terbentuk belum stabil yang ditunjukkan oleh nilai korelasi kofenetik yang belum maksimal. Selain itu korelasi antara jarak genetik dan bobot biji juga masih tergolong sedang. Oleh sebab itu disarankan untuk melakukan iterasi lebih lanjut, selain itu menambah jumlah primer yang representatif dalam genom dan yang mempunyai polimorfisme tinggi. Penelitian dasar seperti ini cukup dilakukan pada satu lokasi saja yaitu pada kondisi optimum dimana diharapkan sebanyak mungkin karakter bisa terekspresi. Selain itu, dalam pembentukan hibrida tidak perlu untuk melakukan kedua metode persilangan yaitu silang uji dan silang dialel, cukup salah satunya saja sesuai dengan kondisi atau kemampuan yang dimiliki atau sesuai tujuan yang ingin dicapai. Untuk mengeksploitasi heterosis lebih jauh disarankan membentuk hibrida F1 dengan melakukan silang dialel antar tetua yang mempunyai jarak genetik sedang sampai tinggi saja dan dilanjutkan ke uji daya hasil.
96
DAFTAR PUSTAKA Ajmone-Marshan, P., C. Livini, M.M. Messmer, A.E. Melchinger, M. Moto. 1998. Cluster analysis of RFLP data from related maize inbred lines of the BSSS and LSC heterotic groups and comparison with pedigree data. Euphytica 60:139-148. Akkaya, M.S., A.A. Bhagwat, P.B. Cregan. 1992. Length polymorphisms of simple sequence repeat DNA in soybean. Genetics 132: 1131 - 1134 Allard, R.W. 1960. Principle of plant breeding. New York: John Wiley. Araujo, P.M. and J.B. Miranda. 2001. Analysis of diallel cross for evaluation of maize populations across environments. Crop Breed. Appl. Biotech. 1: 255-262. Ărcade A., P. Faivre-Rampant, B. Le Guerroué, LE Pagues. 1996. Heterozigosity and hybrid performance in larch. Theor. Appl. Genet. 93: 1274-1281. Barbosa-Neto, J.F., M.E. Sorrels, and G. Cisar. 1996. Prediction of heterosis in wheat using coefficient of percentage and RFLP-based estimates of genetic relationship. Genome 39:1142 - 1149. Barbosa, A.M.M., I.O. Gerald, L.L. Benchimol, A.A.F. Garcia, Jr. Souza, and A.P. Souza. 2003. Relatioship of intra- and interpopulation tropical maize single cross hybrid performance and genetic distances computed from AFLP and SSR markers. Euphytica, 130: 87-99. Barcaccia, G., M. Lucchin, P. Parrini. 2003. Characterization of a flint maize (Zea mays var. Indurata) Italian landrace: II. Genetic diversity and relatedness assessed by PCR-based markers. Gen. Res. Crop Evol. 50: 253-271. Bernardo, R. 1992. Relationship between single cross performance and molecular marker heterozygosity. Theor. Appl. Genet. 83: 628-634. Bernardo, R. 1993. Estimation of coefficient of coancestry using molecular markers in maize. Theor. Appl. Genet. 85: 1055-1062. Bertin, P. and A. Gallais. 2001. Genetic variation for nitrogen use efficiency in a set of recombinant maize inbred lines. I. Agrophysiological results. Maydica 45: 53-65. Briggle, L.W. 1963. Heterosis in wheat. Crop Sci. 3: 407-412. Buckler, E.S., B.S. Gaut, and M.D. McMullen. 2006. Moleculer and functional diversity of maize. Current Opinion Plant Biol., 9: 1-5. Caetano-Anolles, G. 1998. DNA analysis of turfgrass genetic diversity. Crop Sci. 38: 1415 - 1424. 97
Carvalho, V.P., C.F. Ruas, J.M. Ferreira, R. M. P. Moreira, P.M. Ruas. 2004. Genetic diversity among maize (Zea mays L.) landraces assessed by RAPD markers. Genet. Mol. Biol. 27: 228-236. Chaudhary, A.K., L.B. Chaudhary and K.C. Sharma. 2000. Combining ability estimates of early generation inbred lines derived from two maize populations. Ind. J. Genet. And Plant Breeding, 60: 55-61. Chen, X., S. Temnykh, Y. Xu, Y.G. Cho, and S.R. McCouch. 1997. Development of a microsatellite framework map providing genome-wide coverage in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 95: 553 - 657. Cox, T.S., G.L. Lookhart, D.E. Walker, L.G. Harrell, L.D. Albert, and D.M. Rodgers. 1985. Genetic relationship among hard red winter wheat cultivars as evaluated by pedigree analysis and gliadian polyacrilamide gel electrophoretic patterns. Crop Sci. 25:1058 - 1063. CIMMYT. 1994. Managing trials and reporting data for CIMMYT’s international maize testing program. Mexico, DF. CIMMYT. 2001. World maize facts and trends 1999-2000. Meeting world maize needs: technological opportunities and priorities for the public sector. Pingali, P.L. (ed.). CIMMYT, Mexico, D.F. Dahlan, M., dan S. Sugiyatni. 1992. Pemuliaan Tanaman Jagung. Prosiding Simposium Pemuliaan I. Perhimpunan Pemulia Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur. Malang. Dahlan, M.M., S. Slamet, M.J. Mejaya, Mudjiono, J.A. Bety, dan F. Kasim. 1996. Peningkatan Heterosis Populasi Jagung untuk Pembentukan Varietas Hibrida. Balitjas. Maros. P. 50. Daradjat, A.A., M. Noch, dan M.T. Danakusuma. 1991. Diversitas genetik pada beberapa sifat kuantitatif tanaman terigu (Triticum aestivum L.). Zuriat 2 (1): 21 25. Deghanpour, Z., B. Ehdaie and M. Moghaddam. 1996. Diallel analysis of agronomic characters in white endosperm maize. J. Genet. And Breeding. 50: 357-365. Dias, L.A.S., E.A.T. Picolt, R.B. Roca, and A.C. Alfenas. 2004. A priori choise of hybrid parents in plants. Genet. Mol. Res., 3(3): 356-368. Dice, L.R. 1945. Measures of the amount of ecologic assocoation between species. Ecology 26: 297-302.
98
Dillon, W.R. and M. Goldstein. 1984. Multivariate Analysis Methods and Applications. John Willey and Sons. Pp 581. Dudley, J.W., M.A. Saghai Maroof, and G.K. Rufener. 1992. Molecular marker information and selection of parents in corn breeding programs. Crop Sci. 32: 301304 Duvick, D.N. 1984. Genetic Contribution to Yield Gains of U.S. Hybrid Maize, 19301980. In W.R. Fehr (ed.), Genetic Contribution to Yield Gains of Five Major Crop Plants. Proceedings of a symposium sponsored by Division C-1 of the Crop Science Society of America, December 2, 1981, Crop Science Society of America, Atlanta, Georgia. (CSSA Special Publication Number 7). Madison, WI: American Society of Agronomy. Pp. 15-48. El-Maghraby, M.A., M.E. Moussa, N.S. Hana, and H.A. Agrama. 2005. Combining ability under drought stress relative to SSR diversity in common wheat. Euphytica, 14: 301-308. El-Haddad, M.M., 1975. Genetical analysis of diallel crosses in spring wheat. Egypt J Genet. Cytol. 4: 174-188. Falconer, D.S. and T.F. Mackay. 1997. Introduction to quantitative genetics. Longman, London. Falconer, D.S., and T.F.C. MacKay. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman Group Ltd. Fehr, W.R. 1987. Principles of Cultivar Development. Theory and Technique. Vol. 1. Collier Mc.Millan Publishers. London. Fregene, M.A., M. Suarez, J. Mkumbira, H. Kulembeka, E. Ndedya, A. Kulaya, S. Mitchel, U. Gullberg, H. Rosling, A.G.O. Dixon, R. Dean, and S. Kresovich. 2003. Simple sequence repeat marker diversity in cassava landraces: genetic diversity and differentiation in an asexually propagated crop. Theor. Appl. Genet. 107, 1083-1093. George, M.L.C., E. Regalado, M. Warburton, S. Vasal, D. Hoisington. 2004a. Genetic diversity of maize inbred lines in relation to downy mildew. Euphytica 135: 145155. George, M.L.C., E. Regalado, W. Li, M.Cao, M. Dahlan, M. Pabendon, M.L. Warburton, X. Xianchun, D. Hoisington. 2004b. Molecular characterization of Asian maize inbred lines by multiple laboratories. Theor. Appl. Genet. 109:80-91. Gethi, J.G.,J.A. Labate, K.R. Lamkey, M.E. Smith and S. Kresovich. 2002. SSR variation in important U.S. maize inbred lines. Crop Sci. 42: 951-957. 99
Griffing, B. 1956. Concept of general and specifict combining ability in relation to diallel crossing systems. Aust. J. Biol. Sci. 9: 463-493. Gupta, P.K., H.S Balyan, P.C. Sharma, and B. Ramesh. 1996. Microsatellites in plants: A new class of molecular markers. Current Sci. 7 (1): 45 - 54. Hallauer, A.R. 1990. Methods used in developing maize inbreds. Maydica 35: 1-16. Hallauer, A.R., and J.B. Miranda. 1988. Quantitative Genetics in Maize Breeding. Second Edition. Iowa State University Press/Ames. Iowa. p. 337 - 368. Heckenberger, M., M.Bohn, M. Frisch, H.P. Maurer, A.E. Melchinger. 2005. Idendtification of essentially derived varieties with molecular markers: an approach based on statistical test theory and computer simulations. Theor. Appl. Genet. 111: 598-608. Howes, N.K., S.M Woods, and T.F. Townley-Smith. 1998. Simulation and practical problems of applying multiple marker assisted selection and doubled haploids to wheat breeding programs. Euphytica, 100: 225-230. Jaccard, P. 1908. Nouvelles researchers sur la distribution florale. Bull. Soc. Vaud. Sci. Nat. 44: 223-270. Kalla, V., R. Kumar and A.K. Basandrai. 2001. Combining ability analysis and gene action estimates of yield and yield contributing characters in maize. Crop Res. Hisar. 22: 102-106. Kantety, R.V., X. Zeng, J.L. Bennetzen, and B.E. Zehr. 1995. Assesment of genetic diversity in dent and popcorn (Zea mays L.) inbred lines using inter-simple sequence repeats (ISSR) amplification. Molecular Breeding 1: 365 - 373. Karp, A., and K. Edwards. 1998. DNA markers: a global overview. In Caetano-Anolles and P.M. Gresshoff (Eds.), DNA Markers: Protocols, Applications and overviews, p. 1 - 14. Wiley-VCH, New York. Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto, dan Made O. Adnyana. 2007. Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Hal. 474-497. Khan, I.A., F.S. Awan, A. Ahmad, and A.A. Khan. 2004. A modified mini-prep method for economical and rapid extraction of genomic DNA in plants. Plant Molecular Biology Reporter 22: 89a-89e.
100
Konak, C., A. Ünay, E. Serter and H. Baal. 1999. Estimation of combining ability effects, heterosis and heterobeltiosis by line x tester method in maize. Turk J. of Field Crops 4: 1-9. Lanza, L.L.B., C.L. de Souza, L.M.M. Ottoboni, M.L.C. Vieira, and A.P. de Souza. 1997. Genetik distance of inbred lines and prediction of maize single-cross performance using RAPD markers. Theor. Appl. Genet. 94: 1023-1030. Lee, M. 1995. DNA markers and plant breeding program. Adv. Agron. 55: 265-344. Lee, M. 1998. DNA markers for detecting genetic relationship among germplasm revealed for establishing heterotic groups. Presented at the Maize Training Course, CIMMYT, Texcoco, Mexico, August 25, 1998. Lee, M., E.B. Godshalk, K.R. Lamkey, and W.L. Wooman. 1989. Association of restriction length polymorphysm among maize inbridas with agronomic performance of their crosses. Crop Sci. 29: 1067 - 1071. Leonardi, A., C. Darneval, Y. Hebert, A. Gallais, & de Vienne. 1991. Association of protein amount polymorphic (PAP) among maize lines with performance of their hybrids. Theor. Appl. Genet. 82: 552-560. Liu, K., M. Goodman, S. Muse, J. S. Smith, Ed Buckler and J. Doebley. 2003. Genetic structure and diversity among maize inbrida lines as inferred from DNA microsatellites. Genetics 165: 2117-2128. Macaulay, M., L. Ramsay, W. Powell, and R. Waugh. 2001. A representative, highly informative, ‘genotyping set’ of barley SSR. Theor. Appl. Genet. 102: 801 - 809. Matsuoka, Y., S.E.Mitchell, S. Kresovich, M. Goodman and J. Doebley. 2002. Microsatellites in Zea-variability, patterns of mutations, and use for evolutionary studies. Theor. Appl. Genet. 104: 436-450. Maurya, D.M and D.P. Singh. 1977. Combining ability in rice for yield and fitness. Indian J. Agric. Sci. 47(2): 65-70. Mejaya, M.J., M.B. Pabendon, dan M. Dahlan. 2005. Pola heterosis dalam pembentukan varietas unggul jagung bersari bebas dan hibrida. Makalah disampaikan pada Seminar Puslitbangtan, Bogor, 12 Mei 2004. Belum diterbitkan. Melchinger, A.E., M. Lee, K.R. Lamkey and W.L. Woodman. 1990. Genetic diversity for restriction fragment length polymorphisms: Relation to estimated genetic effects in maize inbreds. Crop Sci. 30: 1033-1040.
101
Melchinger, A.E., M.M. Messmer, M. Lee, W.L. Woodman and K.R. Lamkey. 1991. Diversity and relationships among U.S. maize inbreds revealed by restriction fragment length polymorphisms. Crop Sci. 31: 669-678. Melchinger, A.E., 1999. Genetic diversity and heterosis. Pp. 99-118. In: J.G. Coors and S. Pandey (eds). The Genetics and Exploitation of Heterosis in Crops. American Siciety of Agronomy/Crop Science Society of America Inc., Madison, W.I. Melchinger, A.E., and R.K Gumber. 1998. Overview of heterosis and heterotic groups in agronomic crops. Conceps and Breeding of Heterosis in Crop Plants. CSSA Special Publications no. 25: 29 - 44. Messmer, M.M., A.E. Melchinger, R. Herrmann, and J. Boppenmeier. 1993. Relationship among early European maize inbridad. II. Comparison of pedigree and RFLP data. Crop Sci. 33: 944 - 950. Mohammadi, S.A. and B.M. Prasanna. 2003. Analysis of genetic diversity in crop plants-salient statistical tools and considerations. Crop Sci. 43: 1235-1248. Moll, R.H., J.H. Lonnquist, J.V. Fortuna, and E.C. Johnson. 1965. The relationship of heterosis and genetic divergence in maize. Genetics, 52: 139-144. Mosser, H. and M. Lee. 1994. RFLP variation and genealogical distance multivariate distance, heterosis, and genetic variance in oats. Theor. Appl. Genet. 87: 947-956. Mumm, R.H. and J. W. Dudley. 1994. A classificatiom of 148 U.S. maize inbreds. I. Cluster analysis based on RFLPs. Crop Sci. 34: 842-851. Murphy, J.P., T.S. Cox, and D.M. Rodgers. 1986. Cluster analysis of red winter wheat cultivars based upon coefficients of parentage. Crop Sci. 26: 672 - 676. Nei, M. and W.H. Li. 1979. Mathematical model for studying geneti variation in terms of restriction endonucleases. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 76: 5269-5273. O’Donoghue, L.S., E. Souza, S.D. Tanksley, and M.E. Sorrells. 1994. Relationships among North American oat cultivars based on restriction fragment length polymorphisms. Crop Sci. 34: 1251-1258 Oliveira, K. M., P.R. Laborda, A.A.F. Garcia, M.E.A. Zagatto-Paterniani, and A.P. Souza. 2004. Evaluating genetic relationships between tropical maize inbred lines by means of AFLP profiling. Hereditas 140: 24-23. Pabendon, M.B., M. Dahlan, Sutrisno, E. Regalado, and M.L. George. 2002. Preliminary study of genetic diversity of Indonesian maize inbreds collection. Proceedings of the 8th Asian Regional Workshop, Bangkok, Thailand: August 5-8, 2002.
102
Parentoni, S.N., J.V. Magalhaes, C.A.P. Pacheco, M.X. Santos, T. Abadie, E.E.G. Gama, P.E.O. Guimaraes, W.F. Meirelles, M.A. Lopes, M.J.V. Vasconcelos, E. Paiva. 2001. Heterotic groups based on yield specific combining ability data and phylogenetic relationship determined by RAPD markers for 28 tropicalmaize open pollinated varieties. Euphytica 121: 197-208. Paterson, A.H., S.D. Tanksley, and M.E. Sorrels. 1991. DNA markers in plant improvement. Adv. Agron. 46: 39 - 90. Pejic, I., P. Ajmon-Marsan, M. Morgante, V. Kozumplick, P. Castiglioni, G. Taramino, and M. Motto. 1998. Comparative analysis of genetic similarity among maize inbrida lines detected by RFLPs, RAPDs, SSR, and AFLPs. Theor. Appl. Genet. 97: 1248 - 1255. Pinto, L.R., M.L.C. Vieira, C.L. Jr. de Souza, A.P. de Souza. 2003. Genetic-diversity assessed by microsatellites in tropical maize populations submitted to a highintensity reciprocal recurrent selection. Euphytica 134:277-286. Plaschke, J., M.W. Ganal and M.S. Röder. 1998. Ditection of genetic diversity in closely related bread wheat using microsatellite markers. Theor. Appl. Genet. 91: 10011007. Poehlman, J.M., and D.A. Sleeper. 1995. Breeding Field Crops. Fourth Edition. Iowa State University Press/Ames. Poehlman, J.M. 1987. Breeding Field Crops (Third edition). Westport, Connecticut:AVI. Powell, W., G.C. Machray, and J. Provan. 1996a. Polymorphysm revealed by simple sequence repeats. Elsevier Science Ltd. 1(7): 215 - 222. Powell, W., M. Morgante, C. Andre, M. Hanafey, J. Vogel, S. Tingey, and A. Rafalski. 1996b. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP, and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Molecular Breeding 2:225-238. Prasanna, B. M. 2002. Personal Communication. Indian Agricultural Research Institute (IARI), Division of Genetics, New Delhi. Rebourg, C., B. Gouesnard and A. Charcosset. 2001. Large scale molecular analysis of traditional European maize populations. Relationships with morphological variation. Heredity 86: 574-587. Reif, J.C., A.E. Melchinger, X.C. Xia, M.L. Warburton, D.A. Hoisington, S.K. Vassal, G. Srinivasan, M. Bohn, and M. Frich. 2003. Genetic distance based on simple sequence repeats and heterosis in tropical maize populations. Crop Sci. 43: 12751282.
103
Riday, H., E.C. Brummer, T.A. Campbell, D. Luth and P.M. Cazcarro. 2003. Comparison of genetic and morphological distance with heterosis between Medicago sativa subsp. sativa and subsp. falcata. Euphytica 131: 37-45. Rohlf, F.J. 2000. NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.1. Applied Biostatistics Inc. Rogers, J.S. 1972. Measures of genetic similarity and genetic distance. P. 145-153. In J. S. Rogers (ed). Studies in genetics VII. Publ. 7213. Univ. of Texas, Austin, TX. Romero-Severson, J., J.S.C. Smith, J. Ziegle, J. Hauseu, L. Joe, and G. Hookstra. 2001. Pedigree analysis and halotype sharing within diverse groups of Zea mays L. inbridas. Theor. Appl. Genet. 103: 567 - 574. Rongwen, J., M.S. Akkaya, A.A. Baghwat, U. Lavy, and P.B. Cregan. 1995. The use of microsatellite DNA markers for soybean genotype identification. Theor. Appl. Genet. 90: 43-48. San-Vicente, F.M., A. Bejarano, C. Marin, and J. Crossa. 1998. Analysis of diallel crosses among improved tropical white endosperm maize populations. Maydica. 43: 147-153. Sant, V.J., A.G. Patankar, N.D. Sarode, L.B. Mhase, M.N. Sainani, R.B. Deshmukh, P.K. Rajenkar, & V.S. Gupta. 1999. Potential of DNA markers in detecting divergence and in analyzing heterosis in Indian elite chickpea cultivars. Theor. Appl. Genet. 98: 1217-1225. Senior, M.L., and M. Heun. 1993. Mapping maize microsatellites and polymerase chain reaction confirmation of the targeted repeats using a CT primer. Genome 36: 884 889. Senior, M.L., E.C.L. Chin, M. Lee, J.S.C. Smith, and C.W. Stuber. 1996. Simple sequence repeat markers developed from maize sequences found in the Genebank database: Map construction. Crop Sci. 36: 1676 - 1683. Senior, M.L., J.P. Murphy, M.M. Goodman, and C.W. Stuber. 1998. Utility of SSR for determining genetic similarities and relationships in maize using an agarose gel system. Crop Sci. 38: 1088 - 1098. Sibov, S.T., C.L. de Souza Jr., A.A. Garcia, A.R. Silva. 2003. Molecular mapping in tropical maize (Zea maize L.) using microsatellite markers. 2. Quantitative trait loci (QTL) for grain yield, plant height, ear height and grain moisture. Hereditas 139: 107-115.
104
Silitonga,T.S., Minantyorini, Lilis Cholisoh, Warsono, dan Indarjo. 1993. Evaluasi daya gabung padi bulu dan cere. Peneltian Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. 1: 6-11. Singh, R.K. and B.D. Chaudary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Publishers, Ludhiana, New Delhi. Singh, A.K., J.P. Shai, J.K. Singh. 1998. Heritability and genetic advance for maturity and yield attributes in maize. J. Appl. Biol., 8: 42-45. Simmonds, N.W. 1979. Principles of Crop Improvement. London and New York: Longman. Smith, J.S.C. and O.S. Smith. 1987. Associations among inbrida lines of maize using electrophoretic, chromatographic, and pedigree data. 1. Multivariate and cluster analysis of data from “Lancaster Sure Crop” derived lines. Theor. Appl. Genet. 73: 654 – 664. Smith, J.S.C. and O.S. Smith. 1989. The description and assessment of distances between inbred lines of maize: II. The utility of morphological, biochemical, and genetic descriptors and a scheme for the testing of ditinctiveness between inbred lines. Maydica 34:151-161. Smith, J.S.C. and O.S. Smith. 1992. Fingerprinting crop varieties. Adv. Agron. 47: 85 129. Smith, O.S, J.S. Smith, S.L. Bowen, R.A. Tenborg & S.J. Wall. 1990. Similarities among a group of elite maize inbreds as measured by pedigree, F1 grain yield, heterosis, and RFLPs. Theor. Appl. Genet. 80: 833-840. Smith, J.S.C., E.E.L. Chin, H. Shu, O.S. Smith, S.J. Wall, M.L. Senior, S.E. Mitchell, S. Kresovich, J. Ziegle. 1997. An Evaluation of the utility of SSR loci as molecular markers in maize (Zea mays L.): comparisons with data from RFLPS and pedigree. Theor. Appl. Genet. 95:163-173. Sokal, R. R. and C.D. Michener. 1958. A Statistical method for evaluating systematic relationships. Univ. Kansaa Sci. Bull. 38: 1409-1438. Spraque, G.F. and L.A. Tatun. 1942. General vs. specific combining ability in single crosses of corn. J. Am. Agron. 34: 923-932. Struss, D. And J. Plieske. 1998. The use of microsatellite markers for detection of genetic diversity in barley populations. Theor. Appl. Genet. 97:308-315. Subandi. 1998. Corn varietal improvement in Indonesia: progress and future strategies. Indonesian Agric. Res. Dev. J., 20 (1): 1 - 13. 105
Subandi. 2002. Komunikasi Pribadi. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor, Badan Litbang Pertanian. Tanksley, S.D. and S.R. McCouch. 1997. Seed banks and molecular maps: Unlocking genetic potential from the wild. Science, 277: 1063-1066. Taramino, G., and S. Tingey. 1996. Simple Sequence repeats for germplasm analysis and mapping in maize. Genome 39: 277 - 288. Tomes, T.T. 1998. Heterosis: performance stability, adaptability, to changing technology, and the foundation of agriculture as a business. Concept and Breeding of Heterosis in Crop Plants. CSSA Special Publication No. 25: 14 - 27. Tsegaye, S., T. Tesemma, and Gelay. 1996. Relationships among tetraploid wheat (Triticum turgidum L.) lanrace populations revealed by isozyme markers and agronomic traits. Theor. Appl. Genet. 93: 600-605. Uddin, M.N., F.W. Ellison, L. O’Brian & B.D.H. Latter. 1992. Heterosis in F1 hybrids derived from crosses of adapted Australian Wheats. Aust. J. Agric. Res. 43: 907919. Vacaro, E., J. Fernandes, B. Neto, D.G. Pegoraro, C.N. Nuss and L.H. Conceicao. 2002. Combining ability of twelve maize populations. Pesq. Agropec. Bras., Brasilia, 37: 67-72. van Beuningen, L.T. and, R.H. Bush. 1997. Genetic diversity among North American spring wheat cultivars: I. Analysis of the coefficient of parentage matrix. Crop Sci. 37: 570 - 579. Vaz Patto M.C., Z. Satovic, S. Pego and P. Fevereiro. 2004. Assessing the genetic diversity of Portuguess maize germplasm using microsatellite markers. Euphytica 137: 63-72. Verhalen, L.M. and J.C. Murray. 1967. A diallel analysis of several fiber property traits in upland cotton. Crop Sci. 7: 501-505. Wang, Z.Y., G. Second, & S.D. Tanksley. 1992. Polymorphism and phylogenetic relationships among species in the genus Oryza as determined by analysis on nuclear RFLPs. Theor. Appl. Genet. 83:565-581. Warburton, M.L., X.Xianchun, J. Crossa, J. Franco, A.E. Melchinger, M. Frisch, M. Bohn, D. Hoisington. 2002. Genetic characteristization of CIMMYT inbred maize lines and open-pollinated population using large-scale fingerprinting methods. Crop Sci. 42: 1822-1840.
106
Warburton, M.L., X. Xianchun, S. Ambriz, L. Diaz, E. Villordo, and D. Hoisington. 2001. Use of molecular markers in maize diversity studies at CIMMYT. Seven Eastern and Southern Africa Regional Maize Conference, 11th-15th Feb. 2001. pp 130-133. Warburton, M., J.M. Ribaut, J. Franco, J. Crossa, P. Dubreuil and F.J. Betran. 2005. Genetic characterization of 218 elite CIMMYT maize inbred lines using RFLP markers. Euphytica 142: 97-106. Weir. B.S. 1996. Genetic data analysis II. 2nd ed. Sinauer Associates. Inc., Sunderland. Xia, X. C., J.C. Reif, A.E. Melchinger, M. Frisch, D.A. Hoisington, D. Beck, K. Pixley, and M.L. Warburton. 2005. Genetic diversity among CIMMYT maize inbred lines investigated with SSR markers: II. Subtropical, tropical, midaltitude, and highland maize inbred lines and their relationships with elite U.S. and European Maize. Crop Sci. 45: 2573-2582. Xia, X., J. Liu, and L. Gong-She. 2004a. The use ofSSRs for predictin the hybrid yield and yield heterosis in 15 key inbred lines of Chinese maize. Hereditas 141: 207215. Xia, X., J. C. Reif, D.A. Hoisington, A.E. Melchinger, M. Frich, and M.L. Warburton, 2004b. Genetic diversity among CIMMYT maize inbred lines investigated with SSR markers: I. Lowlanf tropical maize. Crop Sci. 44: 2230-2237. Xiao, J., J. Li, L. Yuan, S.R. McCouch and S.D. Tanksley. 1996. Genetic diversity and its relationship to hybrid performance and heterosis in rice as revealed by PCRbased maekers. Theor. Appl. Genet. 92: 637-643. Zhang, Q., Y.J. Gao, S.H. Yang, R. Ragab, M.A. Saghai Maroof and Z.B. Li. 1994. A diallel analysis of heterosis in elite hybrid rice based on RFLPs and microsatellites. Theor. Appl. Genet. 89: 185-192. Zhang, X.Y., C.W. Li, L.F. Wang, H.M. Wang, G.X. You, and Y.S. Dong. 2002. An estimation of the minimum number of SSR alleles needed to reveal genetic relationships in wheat varieties. I. Information from large-scale planted varieties and cornerstone breeding parents in Chinese wheat improvement and production. Theor. Appl. Genet. 106: 112-117. Zhao, M.F., X.H. Li, J.B. Yang, G.G. Xu, R.Y. Hu, D.J. Liu, and Q. Zhang. 1999. Relationship between molecular marker heterozygosity and hybrid performance an intra- inter-subspecific crosses of rice. Plant Breed. 118: 139-144.
107
Lampiran 1 Larutan stok, konsentrasi akhir dan volume cocktail PCR Larutan stok dd H2O 10 x Taq buffer 50 mM MgCl2 1 mM dNTP Masing-masing Primer Mix (F dan R) 5 μM 1) 5 U/μl Taq DNA Polimerase (Promega) DNA (10 ng/μl) Total volume reaksi
Konsentrasi akhir 1,0 x 1,50 mM Masing-masing 0,25μM Masing-masing 0,25μM 0,38 U 10,00 ng
Keterangan: 1)R = reverse, F = forward.
Volume3 (μl) 5,624 1,000 0,300 1,000 0,500 0,076 1,500 10,00
Lampiran 2 Tahapan proses amplifikasi dengan metode SSR Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7
94o C, 2 menit 94o C, 30 detik 56o C, 1 menit 72o C, 1 menit Tahap 2-4, 29 x 72o C, 5 menit 4o C, tak terhingga
Denaturasi awal Denaturasi-1 Annealing Extention PCR PCR extention Soak
Keterangan : Suhu annealing tergantung dari primer yang digunakan.
Lampiran 3 Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr4 dan Mr14
Sumber variasi Bobot biji per tanaman Jumlah biji per baris Jumlah baris per tongkol Bobot 1000 biji Tinggi tanaman Tinggi tongkol Rendemen biji Panjang tongkol Diameter tongkol
Hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr4 Kuadrat LSD0,05 Tengah 1991,80** 13,0561 25,3938** 2,09652 2,11357** 1,08694 2881,90** 21,0203 294,673tn 42,0446 175,745tn 33,9063 0,00108* 0,06385 3,14632tn 3,47301 0,55773 0,08174tn
Keterangan: tn = tidak nyata
108
Hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr14 Kuadrat LSD0,05 Tengah 2037,50** 22,6371 8,06691tn 6,08250 2,88739** 1,10150 5358,08** 17,0808 243,835tn 42,1413 152,288tn 25,4688 0,00105tn 0,07814 tn 4,67518 5,00454 0,133348* 0,68099
Lampiran 4 Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang dialel di lokasi Bajeng, Muneng dan Gabungan
Sumber variasi Bobot biji per tan. Jumlah biji per baris Jumlah baris per tkl Bobot 1000 biji Tinggi tanaman Tinggi tongkol Rendemen biji Panjang tongkol Diameter tongkol
Hibrida F1 hasil silang dialel (Bajeng) Kuadrat LSD0,05 Tengah 14,4931* 4,37953 0,45054* 0,52853 0,40957 0,04627tn 1,20510* 1,42974 5080,07** 23,3337 3573,65** 16,5867 0,00087* 0,02866 6,11585* 1,84694 0,10581* 0,31516
Hibrida F1 hasil silang dialel (Muneng) Kuadrat LSD0,05 Tengah 49,5878* 5,35660 0,27409* 0,72852 0,22484* 0,53348 15,6624* 4,55570 425,216** 14,2669 183,260* 10,2554 0,04352 0,00033tn 28,3464** 2,81039 0,68023 0,11119tn
Hibrida F1 hasil silang dialel (Gabungan) Kuadrat LSD0,05 Tengah 17133,8** 3,44602 301,829** 0,44486 7,33874** 0,33604 30379,2** 2,36787 2508,85** 14,3654 1052,75** 10,5239 0,03582** 0,02576 73,9599** 1,75019 3,67555** 0,37155
Keterangan: tn = tidak nyata
Tabel 5 Korelasi (r) antara DGK dan heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi, bobot biji dan rata-rata tetua dan tetua tertinggi, DGK dan bobot biji pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP. Muneng) Parameter genetik DGK dengan Heterosis rata-rata tetua DGK dengan Heterosis tetua tertinggi Bobot biji dengan Heterosis rata-rata tetua Bobot biji dengan Heterosis tetua tertinggi DGK dengan bobot biji
109
Bajeng 0,82 0,76 0,81 0,80 0,97
Korelasi (r) Muneng 0,83 0,76 0,87 0,79 0,98
Gabungan 0,82 0,76 0,83 0,79 0,94
Lampiran 6. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Bajeng dan empat kultivar pembanding. Gambar a, b, dan c adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar pembanding. Tanda panah adalah marker-pen (panjang 14,5 cm) yang dapat menggambarkan ukuran panjang dari tongkol.
g. Bima1 a. Bisma-140-2×SP007-68 (T2xT5)
h. Bima2
b. BM(S1)C0-172×Mr4 (T3xT4)
i. Bima3
c. SP007-68 X SP008-120 (T5xT6)
j. Semar10
110
Lampiran 7. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Muneng dan empat kultivar pembanding. Gambar d, e, dan f adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar pembanding. Tanda panah adalah marker-pen (panjang 14,5 cm) yang dapat menggambarkan ukuran panjang dari tongkol.
g. Bima1 d. P5/GM26-22×SP008-120 (T1xT6)
h. Bima2
e. Bisma-140-2×Mr14 (T2xT7)
i. Bima3
j. Semar10
f. BM(S1)C0-172×Mr14 (T3xT7)
111
P5/GM25-42
0.0
P5/GM25-97
0.7
0.0
P5/GM25-203
0.7
0.6
P5/GM25-233
0.6
0.6
0.7
0.0
P5/GM25-241
0.7
0.6
0.7
0.5
P5/GM26-9
0.7
0.6
0.5
0.6
0.5
0.0
P5/GM26-22
0.6
0.6
0.6
0.5
0.5
0.5
0.0
P5/GM26-87
0.7
0.6
0.7
0.7
0.6
0.7
0.7
0.0
P5/GM30-9
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.6
0.7
0.6
0.0
P5/GM30-54
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.6
0.6
0.7
0.6
0.0
P5/GM30-66
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.0
Bisma-3-1
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.0
Bisma-137
0.7
0.7
0.7
0.6
0.6
0.7
0.6
0.7
0.7
0.7
0.6
0.7
0.0
Bisma-140-2
0.7
0.8
0.7
0.5
0.5
0.7
0.6
0.6
0.7
0.6
0.6
0.7
0.2
0.0
Bisma-181-1
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.6
0.8
0.8
0.7
0.7
0.0
BM(S1)C0-10
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.6
0.7
0.9
0.7
0.7
0.7
0.0
BM(S1)C0-172
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.6
0.4
0.0
MKB-24
0.8
0.8
0.7
0.8
0.8
0.8
0.9
0.8
0.7
0.7
0.9
0.7
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.0
MKB-52
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.3
0.0
SP006BBBB-27
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.0
SP006BBBB-65
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.6
0.8
0.8
0.7
0.8
0.8
0.5
0.6
0.8
0.8
0.7
0.0
SP007-23
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.0
SP007-68
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.0
SP007-85
0.8
0.7
0.8
0.7
0.6
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.0
SP007-118
0.7
0.9
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.9
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.0
SP008-70
0.7
0.8
0.6
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.6
0.0
SP008-120
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.7
0.6
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.6
0.6
0.0
SP008-128
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.5
0.5
0.0
SP008-135
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.6
0.6
0.7
0.8
0.8
0.9
0.9
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.6
0.3
0.6
0.0
SM5-9x
0.7
0.7
0.8
0.6
0.6
0.7
0.7
0.7
0.8
0.6
0.9
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.0
SW7-6
0.8
0.7
0.8
0.8
0.8
0.9
0.8
0.8
0.9
0.8
0.9
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.9
0.8
0.8
0.9
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.7
0.0
SM7-11x
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.8
0.7
0.8
0.7
0.7
0.7
0.7
0.6
0.6
0.0
Mr4 (Cek)
0.7
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.9
0.8
0.7
0.7
0.8
0.7
0.8
0.8
0.8
0.8
0.0
Mr14 (Cek)
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.8
0.7
0.8
0.8
0.9
0.7
0.7
0.8
0.8
0.8
0.9
0.9
0.8
0.8
0.8
0.8
0.8
0.6
0.7
0.8
0.8
0.8
0.7
0.8
0.9
0.7
0.7
Mr14
Mr4
SM7-11x
SW7-6
SM5-9x
SP008-135
SP008-128
SP008-120
SP008-70
SP007-118
SP007-85
SP007-68
SP007-23
SP006BBBB-65
SP006BBBB-27
MKB-52
MKB-24
BM(S1)C0-172
BM(S1)C0-10
Bisma-181-1
Bisma-140-2
Bisma-137
Bisma-3-1
P5/GM30-66
P5/GM30-54
P5/GM30-9
P5/GM26-87
P5/GM26-22
P5/GM26-9
P5/GM25-241
P5/GM25-233
P5/GM25-203
P5/GM25-97
P5/GM25-42
Lampiran 8 Matriks jarak genetik hasil karakterisasi 34 inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit
0.0
0.0
112
0.0