POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA.
Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
I. PENDAHULUAN Usaha agroindustri sutera alam sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena sumberdaya sangat mendukung pengembangan usaha tersebut. Sumberdaya alam berupa lahan yang sesuai didukung oleh agroklimat yang cocok untuk usahatani persuteraan alam mampu menghasilkan produktivitas dan kualitas hasil produksi yang optimum, cukup tersedia sangat luas di Indonesia, memiliki bagian-bagian daerah tertentu yang cocok untuk dikembangkannya usahatani persuteraan alam. Saat ini jumlah kebutuhan raw silk dunia cukup besar yaitu mencapai 1118.000 ton sedangkan produksi raw silk dunia hanya mencapai 92.742 ton. Kebutuhan ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk serta membaiknya perekonomian dunia. (Depperin, 2006) Salah satu kendala dalam usaha persuteraan alam di Indonesia adalah masih rendahnya produksi per satuan luas sehingga penghasilan yang didapatkan belum optimal. Disamping itu, banyak petani yang belum dapat menghasilkan kualitas kokon sebagaimana diinginkan oleh pengrajin sehingga impor benang masih berlangsung di beberapa daerah. Sehubungan dengan itu, usaha untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kokon perlu terus dilakukan, diantaranya melalui perbaikan jenis bibit ulat sutera (Kaomini dan Andadari, 2009). Kualitas bibit merupakan aspek penting dalam industri persuteraan karena sering menjadi penyebab kehilangan produksi atau kegagalan. Kualitas bibit yang baik adalah 1
bibit yang bebas penyakit, mempunyai persentase penetasan yang tinggi, memberikan penetasan yang seragam, dan menghasilkan kokon yang stabil (Saheb and Gowda, 1987; Kaomini, 2002). Dalam perdagangan kokon, penentuan harga didasarkan kepada kualitas kokon yang meliputi bobot kokon, rasio kulit kokon dan rasio kokon cacat. Bobot kokon dan rasio kokon cacat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan ulat, sedangkan rasio kulit kokon oleh jenis bibit ulat. Rasio kulit kokon merupakan faktor yang penting karena berhubungan erat dengan hasil benang sutera, sehingga perlu didapatkan bibit ulat sutera yang mempunyai rasio kulit kokon tinggi agar dapat meningkatkan harga jual dari kokon tersebut (Kaomini, 2003; Datta, 2000). Kesesuaian lahan dan agroklimat pada calon lokasi budidaya merupakan faktor penentu yang menjadi acuan dan pertimbangan utama untuk dilaksanakan budidaya usahatani persuteraan alam di suatu lokasi pengembangan. Lokasi kebun murbei untuk mencapai hasil yang maksimal sampai dengan pemeliharaan ulat sutera sebaiknya dipilih pada tempat-tempat sebagai berikut :tinggi tempat antara 300 s/d 800 meter dpl, curah hujan antara 2.500 s/d 3.000 mm/tahun terbagi merata yaitu 8 bulan basah 4 bulan kering, tanah subur, pH 6,5 – 7, sinar matahari penuh dari pagi sampai sore, dapat diairi, tapi tidak ada genangan air, temperature 25oC – 30oC.
II. Tanaman murbei Tanaman murbei merupakan satu-satunya makanan bagi ulat sutera jenis Bombyx mori L. dan kualitas pakan ini berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ulat dan kualitas kokon yang dihasilkan. Ulat yang diberi daun murbei dengan nutrisi yang baik akan lebih tahan terhadap serangan penyakit dan menghasilkan kokon 20% lebih banyak (Kaomini, 2002). Sehingga untuk mencapai hasil yang maksimal baik kualitas maupun kuantitas usaha persuteraan alam pada tingkat produksi kokon sebagai produksi pertama, daun murbei merupakan faktor penentu.Sebagai contoh: pada satuan luas yang sama, dengan teknik kesuburan tanah yang sama dan dipelihara dengan teknik yang sama, jika yang ditanam 2
merupakan jenis unggul, maka jumlah produksi daunnya maupun mutunya akan menghasilkan kokon yang lebih banyak dan lebih baik mutunya. Sudah diketahui dan sudah dibudidayakan di beberapa daerah pengembangan sutera beberapa jenis murbei yang mempunyai produksi daun yang tinggi seperti Morus cathayana, M. alba, M. multicaulis, dan M. alba var. Kanva-2 (Samsijah, 1986 dan Samsijah, 1992). Disamping itu ada jenis murbei yang menghasilkan produksi daun yang tinggi dan tidak berbeda banyak antara musim hujan dan musim kemarau yaitu M. multicaulis var. Kokuso. Selain itu sudah didapatkan juga beberapa jenis murbei unggul antara lain dari 46 klon yang dicoba di Sulawesi, didapatkan 3 klon yang tahan kekeringan pada tingkat laboratorium yaitu KI-34, KI-41 dan KI-14. (Budisantoso, 2008) Sedangkan dari 40 klon hasil persilangan di Yogyakarta dan ditanam di Gn. Kidul dipilih 5 klon terbaik dari dari karakter produksi daun yaitu, jumlah cabang, jumlah daun, berat daun dan persen tumbuh secara keseluruhan yaitu jenis M. cathayana x Amakusaguwa IV.10, M.multicaulis, ASI, Shiwaguwa x Tsukasuguwa X.1 dan M.cathayana x Amakusagawa IV.6. Namun jenis-jenis tersebut belum diaplikasikan sebagai pakan ulat sutera.
III. Hibrid harapan ulat sutera. Pembuatan hibrid baru mencakup beberapa tahap kegiatan yaitu seleksi galur murni sebagai bahan galur induknya, uji kualitas hibrid pada tingkat laboratorium dan uji kualitas pada tingkat petani pemelihara ulat sebagai calon konsumen dari hibrid tersebut. Melalui percobaan persilangan dari galur-galur yang dimiliki telah didapatkan hibrid BS-08 dan BS-09 yang mempunyai kualitas kokon dan serat yang lebih baik dari pada bibit komersil. Hibrid BS-08 mempunyai rasio kulit kokon tertinggi dan dapat mencapai 25% serta persentase serat tertinggi mencapai lebih dari 20%. BS-08 dan BS-09 tersebut sudah dilepas oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 dan BS-09 sudah diproduksi menjadi bibit komersil oleh Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candiroto di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Kelemahan dari 2 jenis hibrid baru (BS-08 dan BS3
09) adalah tidak tahan terhadap serangan penyakit pada kondisi lingkungan yang kurang optimum (Kaomini dan Andadari, 2009). Untuk melengkapi ketersediaan bibit ulat sutera, telah dilakukan uji adaptasi bibit import Cina yang dibandingkan dengan bibit komersil (bibit yang berasal dari Perum Perhutani) yang hasilnya masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut : Bibit Cina, mempunyai kelebihan dalam parameter siklus hidup lebih pendek 1 hari, rendemen pemeliharaan
dan daya gulung tinggi, sedangkan bibit perhutani
mempunyai bobotk kokon lebih tinggi dan panjang serat lebih panjang. Namun akhir-akhir ini konsumen mengeluhkan tentang kualitas bibit import cina antara lain, rendahnya persentase penetasan sekitar 20%, sebagian petani sutera Sulawesi Selatan kembali menggunakan bibit ulat sutera dari Perum Perhutani Unit II (Soppeng) Peningkatan kualitas bibit terus dilakukan yang bertujuan untuk memudahkan pemeliharaan bagi petani dan telah diupayakan bibit ulat harapan yang sasarannya ulatnya kuat pada kondisi di bawah optimum dan menghasilkan kokon yang kualitas baik dan stabil. Saat ini telah didapatkan empat hibrid harapan yang sedang diuji di multi lokasi, berdasarkan uji lapangan pada kondisi agroklimat yang berbeda didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 1. Kualitas kokon dan benang empat hibrid harapan di pati, regaloh. . Perlakuan
Rasio kulit
Produksi
Bobot
kokon (%)
kokon/boks
kokon (g)
(kg)
Benang :
Rendemen pintal
kokon (g)
(%)
932X102 (A)
20,55 a
36,20
1,73 b
01:08.0
12,47
804X927 (B)
21,94 a
38,22
1,99 a
01:07.5
13,35
804X921 (C)
21,20 a
33,51
1,77 b
01:06.5
15,31
804X102 (D)
19,96 ab
31,41
1,65 bc
01:07.6
13,21
BS 09 (E)
19,74 ab
27,31
1,80 b
01:27.0
3,71
C301 (F)
17,42 b
25,75
1,52 c
01:10.2
9,77 4
Keterangan
: Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan.
Ketinggian tempat Pati yaitu 80 m dpl dengan temperature harian berkisar 21 30oC dan kelembaban berkisar 80 – 92%, Dilihat dari faktor ketinggian tempat, lokasi ini kurang sesuai untuk pemeliharaan ulat, akan tetapi kegiatan ini memberikan lapangan kerja bagi penduduk sekitar 7 desa di sekeliling lokasi. Dengan demikian dapat memberikan penghasilan tambahan bagi petani tumpangsari, pemelihara ulat dan pemintal benang. Juga menyediakan kayu bakar sisa makanan ulat dan kayu pangkasan, menyediakan rumput ntuk pakan ternak serta menyediakan pupuk kompos dari kotoran ulat dan sisa daun pakan ulat. Penelitian uji adaptasi juga dilaksankan pada lokasi yang optimum dalam arti memiliki kesesuaian lahan dan agroklimat yang sesuai dengan kondisi murbei dan pertumbuhan ulat. Uji adaptasi dilaksanakn di Kabandungan, Sukabumi dengan hasil sebagai berikut : Tabel 2. Kualitas kokon dan benang empat hibrid harapan di Kabandungan, Sukabumi. Perlakuan
Rasio kulit
Produksi
Bobot
kokon (%)
kokon/boks
kokon (g)
(kg)
benang :
rendemen pintal
kokon (g)
(%)
932X102 (A)
19,22 b
31,66
1,73 b
1:7,17
13,94
804X927 (B)
20,54 a
34,20
1,82 a
1:7,47
13,38
804X921 (C)
20,35 a
40,63
1,84 a
1:7,52
13,29
804X102 (D)
19,00 b
31,48
1,65 c
1:7,47
13,38
BS 09
18,47 c
30,55
1,52 d
1:8,62
11,60
C 301
17,90 d
32,60
1,48 d
1:11,31
8,84
Keterangan
: Nilai dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Jarak Berganda Duncan. 5
Ulat dipelihara di Kebun Wanatani Cibidin, Desa Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Kondisi ruang pemeliharaan ulat mempunyai dinding dari bambu atau tidak berdinding dengan temperatur harian 23 – 25oC dan kelembaban 80 – 85%. Pada ke dua lokasi uji coba hybrid harapan ( Tabel 1 dan 2) terlihat bahwa bobot kokon tinggi dihasilkan pada perlakuan B dan C dan hal ini sejalan dengan hasil persentase kulit kokonnya kedua perlakuan tersebut mencapai rata-rata lebih dari 20%. Bobot kokon dan persentase kulit kokon terendah dihasilkan oleh bibit komersil yaitu C301 dengan bobot kokon 1,48 g dan persentase kulit kokon 17,90%. Dalam perdagangan kokon, penentuan harga didasarkan kepada kualitas kokon yang meliputi bobot kokon dan persentase kulit kokon. Bobot kokon dipengaruhi oleh cara pemeliharaan ulat sementara persentase kulit kokon dipengaruhi jenis ulat. Rasio kulit kokon merupakan faktor yang penting karena berhubungan erat dengan hasil benang sutera. Varietas ulat yang baik mempunyai persentase kulit kokon 22 – 25% (Kim, 1989), sedangkan Kaomini (2002) menyatakan bahwa persentase kulit kokon yang diperoleh dari sebuah kokon tergantung pada jenis atau ras ulat sutera, besarnya kokon dan kondisi pemeliharaan. Persentase kulit kokon hibrid di daerah tropis menurut Mah (1998) berkisar antara 18 – 22% sama halnya yang dikemukakan oleh Atmosoedarjo et al. (2000). Rataan persentase kulit kokon selama penelitian yaitu sekitar 18 – 20%. Hal ini berarti rataan persentase kulit kokon yang diperoleh selama penelitian berada pada kisaran persentase kulit kokon menurut Mah (1998). Persentase kulit kokon perlu diketahui karena berhubungan erat dengan persentase benang sutera (raw silk) dalam pemintalan. Besarnya tergantung jenis bibit (Kasip, 2001). Kualitas kokon dan benang hasil penelitian untuk empat hibrid harapan lebih tinggi dibandingkan dengan hibrid komersil sehingga keempat hibrid tersebut dapat dijadikan hibrid alternatif. Apabila dalam kondisi yang sama (kondisi agroklimat dan teknik pemeliharaan sama) apabila yang ditanam jenis murbei dan jenis ulat unggul akan memberikan respon positif secara keseluruhan, baik produksi dan kualitas daun murbei serta kokon yang 6
dihasilkan pertahun yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai uang (pendapatan) yang diperoleh petani sutera.
KESIMPULAN 1. Pengembangan usahatani persuteraan alam nasional dengan di perkuat penelitian dan pengembangan di bidang persuteraan alam dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan Petani/masyarakat desa, menunjang pengembangan industri persuteraan alam modern di masa depan dan meningkatkan eksport komoditi non migas. 2. Tiga hibrid; 804 X 927; 804 X 921 dan 804 X 102 menghasilkan persentase penetasan dan rendemen pemeliharaan yang tinggi (> 90%). 3. Kualitas kokon ke tiga hibrid menunjukkan hasil yang lebih tinggi dengan rasio kulit kokon rata-rata 20%. 4. Tiga hibrid harapan mempunyai potensi untuk menjadi hibrid alternatif melengkapi hibrid komersil yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
[Depperin] Departemen Perindustrian. 2006b. Master Plan Pengembangan Sutera. Departemen Perindustrian. Datta, R.K. 2000. Recent breakthroughs in sericultural technology in India to match the requirement of silk industry in tropics. Int. J. Indust. Entomol. 1(2): 79-86. Kim, 1989 Kim, B.H. 1989. Raw Silk Reeling. Associated Business Centre Limited. Colombo, Srilangka. Kaomini, M., dan L. Andadari. 2009. Sintesis Hasil Penelitian Teknologi Peningkatan Produktivitas dan kualitas Produk Ulat sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Tidak diterbitlkan. 7
Kasib, L, M. 2001. Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltine dan Polyvoltine. Disertas. Program Pascasarjana. Intitut Pertanian Bogor. Kaomini, M. 2002. Pedoman Teknis Pemeliharaan Ulat Sutera. Samba Project, Bandung. Samsijah. 1992. Pemilihan tanaman murbei yang sesuai untuk daerah Sindangresmi, Sukabumi, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan 547. Santoso, B., Budisantoso, H. 1998. Adaptasi varietas murbei hasil silangan. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Ujung Pandang.
8