IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DI DESA RASI SATU KECAMATAN RATAHAN KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Oleh : Frisky Maringka
Abstrak Kebijakan otonomi desa memberikan keleluasaan kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan secara mandiri, terlebih dengan diberikannya bantuan dana desa oleh pemerintah kepada seluruh desa di Indonesia, memungkinkan bagi desa untuk memprioritaskan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, demi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Penelitian ini dilakukan di desa rasi satu kecamatan ratahan, kabupaten minahasa tenggara, dengan tujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan anggaran dalam anggaran dan pendapatan belanja desa di bidang pembangunan desa, dengan menggunakan metode kualitatif, informan yang dipilih adalah kepala desa, sekretaris desa, kepala urusan pembangunan, unsur badan permusyawaratan desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan dinilai dari faktor organisasi secara umum dikategorikan baik, karena seluruh jabatan perangkat desa sudah lengkap, walaupun dari segi kualitas sumber daya manusia perangkat yang ada belum menguasai secara panuh akan tugas pokok dan fungsinya, faktor yang kedua pelaksanaan pembangunan masih belum jelas baik oleh pemerintah desa dan masyarakat desa karena masih ditemukan adanya inskonsistensi rencana dengan pelaksanaan program kegiatan pembangunan desa, dan faktor yang ketiga Aplikasi program pembangunan desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja desa sudah dapat dilaksanakan, walaupun masih ada beberapa kendala seperti kegiatan administratif yang belum lengkap dan memadai di tingkat pelaksana kegiatan pembangunan yaitu pemerintah desa, yang menyangkut persyaratan administratif, laporan keuangan, dan laporan hasil kegiatan. Kata Kunci: Implementasi, Kebijakan, Pembangunan
Pendahuluan Desa merupakan identitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya.Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggara pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal.Undang– Undang Dasar 1945 pasal 18 menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia terdiri atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang–undang. Evoria Reformasi, dan evaluasi pelaksanaan pemerintahan desa dalam jangka satu dasawarsa terakhir ini, telah melahirkan produk baru regulasi tentang desa yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sehubungan dengan hal pemberdayaan masyarakat desa, telah dikeluarkanlah pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa, dimana dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan bahwa Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dankehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Selanjutnya senada dengan hal tersebut melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pada pasal 1 ayat (8) disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disebut APBDesa,adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini berusaha mengembalikan konsep, dan bentuk Desa seperti asal-usulnya yang tidak diakui dalam undang-undang sebelumnya, khususnya pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Menurut undang-undang ini, Desa atau disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memilik kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD. Secara sosiologis desa merupakan sebuah gambaran dari satu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana masyarakat saling mengenal dengan baik corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam, atau dengan pengertian umum desa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat 1 UU No.6 Tahun 2014). Secara substantif Undang-Undang Desa ini menyiratkan adanya upaya pemberdayaan aparatur Pemerintah Desa dan juga masyarakat desa. Pemerintahan Desa atau dalam bentuk nama lain seperti halnya Pemerintahan Marga, keberadaannya adalah berhadapan langsung dengan masyarakat, sebagai ujung tombak pemerintahan yang terdepan. Pelaksanaan otonomisasi desa yang bercirikan pelayanan yang baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat yang memerlukan karena cepat, mudah, tepat dan dengan biaya yang terjangkau, oleh karena itu pelaksanaan di lapangan harus didukung oleh faktor-faktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan tentang Desa tersebut. Dalam masyarakat desa, perencanaan partisipatif merupakan sebuah instrumen yang sangat penting. Sebab perencanaan partisipatif yang merupakan salah satu dari serangkaian perjalanan pembangunan tersebut di atas adalah tahap awal yang sangat menentukan bagi keberhasilan proses pembangunan khususnya di desa. Siapapun tak akan pungkiri, desa sebenarnya memiliki posisi yang strategis dalam gemuruh pembangunan dan politik pemerintahan di seluruh penjuru tanah air. Dari sisi penduduk, desa merupakan basis mayoritas penduduk, atau dalam kalimat lain, sebagian besar penduduk Indonesia menetap di desa. Hal ini memungkinkan desa menjadi penyedia tenaga kerja terbesar dan di sisi lain menjadi basis masyarakat yang kerap dimobilisasi demi kepentingan politik. Dari sisi sumberdaya alam, desa merupakan pensuplai utama
sumber bahan makanan penduduk kota-kota besar. Oleh karena itu, pada fase ini sudah selayaknya perencanaan pembangunan di Desa Rasi Satu merupakan sebuah hasil proses musyawarah yang senantiasa memperhatikan aspirasi masyarakat secara utuh. Dengan demikian pelaksanaan pembanguman di desa benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat serta berjalan secara efektif dan efisien. Menurut Jones (1991:296) ada tiga aktivitasuntuk mengoperasikan sebuah program. Tigaaktivitas dalam implementasi tersebut, dapatdijelaskan antara lain sebagai berikut: a) Organisasi, Pembentukan atau penataankembali sumberdaya, unit-unit serta metodeuntuk menjadikan program berjalan. b) Interpretasi, Menafsirkan agar program menjadirencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. c) Aplikasi,Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaranatau lainnya yang disesuaikan dengan tujuanatau perlengkapan program.Penulis memilih pendekatan yang dikemukakanoleh Jones, yang dianggap relevan denganmateri pembahasan dari objek yang diteliti.Halini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti agar lebih fokus terhadap permasalahan yang dikaji melalui penelitian ini, sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini. Model implementasi program menurut Jones yang melihat implementasi terdiri dari tiga aktivitas, yaitu pertama Organisasi, setiap organisasi harus memiliki struktur organisasi, adanya sumber daya manusia yang berkualitas sebagai tenaga pelaksana dan didukung oleh sumberdaya lainnya (uang atau anggaran, perlengkapan,peralatan dan metode). Fenomena yang terjadi berdasarkan observasi awal peneliti di lokasi penelitian, ditemukan bahwa implementasi kebijakan APB Desa dalam pelaksanaan pembangunan masih ditemui adanya hambatan-hambatan yaitu: 1. Dilihat dari pengorganisasian yang ada di desa Rasi Satu memang sudah mempunyai struktur organisasi yang jelas, baik pemerintah desa beserta dengan perangkat-perangkatnya, maupun struktur organisasi Badan Permusyawaratan desa, namun dalam struktur tersebut masih ada beberapa bagian perangkat desa yang masih lowong atau belum ada pejabat yang menduduki jabatan tersebut, seperti jabatan kepala urusan ekonomi dan kesejahteraan yang sudah meninggal dunia, dan jabatan kepala jaga II yang sudah pindah. Dilihat pula dari segi sumber daya manusia perangkat desa dan BPD belum dapat menunjang keberhasilan organisasi, karena kebanyakan personil masih belum memiliki pengalaman di bidang pemerintahan desa. 2. Interpretasi terhadap anggaran pembangunan yang tertata dalam APB Desa masih mengalami kendala, dimana masih belum konsistennya penggunaan anggaran pembangunan tersebut, seperti contoh dalam pengadaan penerangan jalan yang sebenarnya dianggarkan pada APB Desa Tahun 2015 di ganti dengan pembangunan rehabilitasi kantor desa, hal ini menunjukkan bahwa ketelitian, dan konsistensi implementasi anggaran yang masih berubah-ubah. 3. Aplikasi pelaksanaan pembangunan desa yang berasal dari dana APB Desa belum memiliki kegiatan administratif, prosedur kerja, dan jadwal kegiatan yang jelas, hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan pembangunan yang tidak memiliki satuan anggaran belanja (SAB) dan syarat-syarat administratif yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga berimbas pada hasil pekerjaan dan waktu pelaksanaan yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa yang dituangkan dalam Peraturan Desa Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Rasi Satu, penganggaran untuk pembangunan desa tidaklah signifikan, dalam APBDes tersebut dicantumkan anggaran sebesar dua puluh lima juta
rupiah untuk pembangunan jalan setapak, hal ini sangat dirasa kurang, karena masih banyaknya kebutuhan akan pembangunan yang ada di desa Rasi Satu, seperti pembangunan sarana air bersih, penerangan jalan, balai pertemuan, dan lain sebagainya. Kebutuhan pembangunan tersebut belum dapat diakomodir dalam anggaran pendapatan dan belanja desa.Selanjutnya Peraturan Desa tersebut belum sesuai dengan pedoman Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, dan Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana implementasi anggaran pendapatan dan belanja desa dalam pelaksanaan pembangunan di Desa Rassi Satu Kecamatan Ratahan? adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: untuk mengetahui implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dalam pelaksanaan pembangunan di Desa Rasi Satu Kecamatan Ratahan, melalui: tiga aktivitas, yaitu Organisasi, Interpretasi, dan Aplikasi(Charles O, Jones, 1991:296). Tinjauan Pustaka Konsep Implementasi Kebijakan Konsep implementasi sering dikaitkandengan istilah kebijakan.Artinya setiap kali orang berbicara tentang implementasi, maka yang dimaksudkan adalah implementasi kebijakan.Masalah implementasi kebijakanpublik sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat karena implementasi inilah yang menentukan keberhasilan dari suatu kebijakan dan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.Proses kebijakan tidak berakhir sampai tahapperumusan, karena baik tidaknya atau tepattidaknya suatu kebijakan yang telah ditetapkanakan terbukti dari hasil-hasil yang diperoleh dalam implementasi kebijakan. Sementara FrankThompson (Simon, 2007: 141) menyatakanbahwa: Policy implementation can be viewed along two major dimensions. First, policy implementation is a function of the law associated with a particular policy goal. Law, or statutes, can be either (1) specificor precise, or (2) vagu or limited precision. A second dimension of policy implementation involves legislative oversight. Congressional committees have the power to subpoena public administrators to testify. Wahab (2008:43) mengemukakan beberapadefinisi dari beberapa sumber mengenai implementasi kebijakan: (1) Kamus Webster,menyatakan bahwa implementasi kebijakandapat dipandang sebagai suatu prosesmelaksanakan keputusan kebijaksanaan, yangbiasanya dalam bentuk UU, PeraturanPemerintah, Keputusan Peradilan, Kepmen, danlain-lain. (2) Van Meter dan Van Horn,merumuskan proses implementasi sebagaitindakan-tindakan yang dilakukan baik olehinvidu-individu (pejabat) atau kelompokpemerintah atau swasta yang diarahkan padatercapainya tujuantujuan yang telah digariskandalam keputusan kebijakan. (3) Mazmanian danSabatier, menjelaskan makna implementasi yaitubahwa memahami apa yang senyatanya terjadi,sesudah suatu program dinyatakan berlaku ataudirumuskan merupakan fokus perhatianimplementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadiandan kegiatan yang timbul sesudahdisahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaanNegara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata padamasyarakat atau suatu peristiwa. Teori Charles O. Jones Menurut Jones (1991:296) ada tiga aktivitasuntuk mengoperasikan sebuah program. Tigaaktivitas dalam implementasi tersebut, dapatdijelaskan antara lain sebagai berikut: a)Organisasi, Pembentukan atau penataankembali sumberdaya, unit-unit serta
metodeuntuk menjadikan program berjalan.b)Interpretasi, Menafsirkan agar program menjadirencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. c) Aplikasi,Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaranatau lainnya yang disesuaikan dengan tujuanatau perlengkapan program. Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas,guna pembatasan dalam penelitian ini makapenulis memilih pendekatan yang dikemukakanoleh O, Jones, yang dianggap relevan denganmateri pembahasan dari objek yang diteliti.Halini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasiteori-teori lain tidak lagi relevan denganperkembangan teori implementasi kebijakanpublik, melainkan lebih mengarahkan kepadapeneliti agar lebih fokus terhadap permasalahan yang dikaji melalui penelitian ini, sehinggamembantu dalam menjawab tujuan daripenelitian ini. Model implementasi program menurut Jones yang melihat implementasiterdiri dari tiga aktivitas, yaitu pertamaorganisasi, setiap organisasi harus memilikistruktur organisasi, adanya sumber dayamanusia yang berkualitas sebagai tenagapelaksana dan didukung oleh sumberdayalainnya (uang atau anggaran, perlengkapan,peralatan dan metode). Kedua interpretasi,mereka yang bertanggung jawab dapatmelaksanakan tugasnya sesuai denganperaturan atau ketentuan yang berlaku, harusdilihat apakah pelaksanaannya telah sesuaidengan pedoman pelaksana dan petunjuk teknisyang ada. Ketiga adalah aplikasi atau penerapan,bagaimana peraturan/kebijakan berupapedoman pelaksana dan petunjuk teknis dari anggaran yang telah ditetapkan dalam APB Desa telah berjalan sesuai dengan ketetentuan, untuk dapat melihat ini harus pula dilengkapi dengan adanyaprosedur kerja yang jelas, program kerja sertajadwal kegiatan disiplin. Implementasi kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan yang dilakukan melalui tiga aktifitas, sesuai dengan teori Charles O. Jones, yaitu: Intepretasi, Organisasi, Aplikasi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 73 dijelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa, rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkanbersama Badan Permusyawaratan Desa, sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud, Kepala Desa menetapkanAnggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa. Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sesuai dengan pasal 74, Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalamMusyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah DaerahProvinsi, dan Pemerintah.Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas padakebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor114 Tahun 2014 Tentang Penyusunan APBDesa/APBDES, dimulai dari Musrenbangdes dengan mempedomani padaRPJMDesa. Struktur APBDesa terdiri dari: 1. Pendapatan, meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. 2. Belanja, meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannyakembali oleh desa. 3. Pembiayaan, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahuntahun anggaran berikutnya. Menurut Undang-Undang Nomor6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Sutardjo Kartodikusuma sebagaimana dikutip oleh Ahmadi (2003:241) menjelaskan definisi desa sebagai suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.Bila ditinjau secara sosial budaya desa dapat juga dikatakan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relative homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam. Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sector agraris, mempunyai ikatan social, adapt dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang dapat dikatakan rendah. Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan.Melalui perspektif Mil, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dalam pasal 1 ayat 3, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desasebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa, dimana perangkat desa adalah sekretaris desa dan perangkat desa lainnya (pasal 202). Badan permusyawaratan desa atau legislatif desa berfungsi menetapakan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyahukan aspirasi msayarakat (pasal 209). Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 adalah desa, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwewenang untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dibentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di kabupaten atau kota, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pada Pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memprhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pada ayat (2) tertulis bahwa pembentukan desa hares memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. jumlah penduduk; b. luas wilayah; c. bagian wilayah kerja; d. perangkat; dan e. sarana dan prasarana pemerintahan. Desa memegang peranan yang sangat penting dalam proses implementasi kebijakan pembangunan, sebab desa merupakan stniktur pemerintah terendah dari sistem pemerintahan Indonesia. Segala jenis kebijakan pembangunan nasioanl pasti bermuara pada pembangunan desa.Dengan semangat desentralisasi masyarakat harus diberikan ruang untuk ambil bagian dalam skema perencanaan desa.Sebab disadari atau tidak bahwa pembangunan desa telah banyak dilakukan sejak dari dahulu hingga sekarang, tetapi hasilnya belum memuaskan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.Agar pembangunan di desa dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat maka harus diterapkan prinsip-prinsip pembangunan, sasaran pembangunan dan ruang lingkup pengembaugannya. Berikut penjelasan mengenai ketiga unsur tersebut menurut Adisasmita (2006:18-20): 1) Pembangunan pedesaan seharusnya menerapkan prinsip transparansi (keterbukaan), partisipatif dapat dinikmati
masyarakat, dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas), dan berkelanjutan (sustainable). 2) Sasaran Pembangunan Pedesaan, yaitu untuk terciptanya peningkatan produksi dan produktivitas, percepatan pertumbuhan desa, peningkatan ketrampilan dalam berproduksi dan pengembangan lapangan kerja dan lapangan usaha produktif, peningkatan prakarsa dan partisipasi masyarakat dan perkuatan kelembagaan. 3) Pengembangan pedesaan yang mempunyai ruang lingkup pembangunan sarana dan prasarana pedesaan (meliputi pengairan, jaringan jalan, lingkungan pemukiman dan lainnya), pemberdayaan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), penciptaan lapangan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan (khususnya terhadap kawasan-kawasan miskin) dan Penataan keterkaitan antar kawasan pedesaan dengan kawasan perkotaan (inter rural-urban relationship). Pemerintah kabupaten bertanggung jawab penuh dalam rangka pembangunan desa.Pemerintah kabupaten wajib melakukan pembangunan yang dibutuhkan masyarakat desa dan memberikan fasilitas kepada masyarakat. Menurut Ndraha (1982:71), pembangunan desa adalah setiap pembangunan yang ada yang di dalam prosesnya masyarakat desa berpartisipasi aktif. Sedangkan menurut T R Batten, pembangunan desa adalah suatu proses dimana organisasi atau masyarakat mulai mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka kemudian merencanakan dan mengerjakan bersamasama untuk memenuhi kebutuhan hidup (Ndraha, 1982:72). Tetapi dalam melakukan pembangunan desa, banyak sekali hambatan yangdapat ditemui, hambatan-hambatan itu, menurut Butterfield dalam Ndraha (1982:91) adalah: a. perbedaan persepsi. Perencanaan pembangunan sering tidak tepat dalam menanggapi antara apa yang pemerintah progranikan dengan apa yang benar-benar di butuhkan masyarakat pedesaan. Sehingga terjadi permasalahan dalam pembangunan desa, karena masyarakat desa memiliki persepsi yang buruk terhadap pembangunan yang dilakukan didesanya. b. Kesukaran nremilih model pembangunan yang tepat. Mungkin sekali kesulitan ini muncul karena masyarakat pedesaan itu pada umumnya tertutup dan masih bingung dalam menerima hal-hal baize, sehingga pemerintah pun menjadi bingung pula dalam menentukan model pembangunan apa yang sebaiknya diterapkan bagi masyarakat pedesaan. c. Batasan waktu, dimana program pembangunan pedesaan lambat sekali kelihatan hasilnya, sehingga pemerintah sering merasa kurang sabar dalam menangani usaha pembangunan desa. d. Persoalan praktis. Hambatan ini muncul bila hal-hal dalam tahap pelaksanaannya membuat pembangunan desa terhambat, misalnya Baja kurangnya teknologi, kurangnya pengelola yang terlatih, dan sebagainya. Memperhatikan kekurangan dan kegagalan perencanaan pembangunan di desa pada masa lalu, maka perhi dil.akukan penyempurnaan terhadap pendekatan pembangunan desa atau pedesaan yang sesuai dengan kompleksitas pembangunan serta aspirasi masyarakat. Sehubungan dengan tersebut, kita akan melihat nantinya apakah ada atau tidak hambatan/kekurangan/kegagalan pembangunan desa pada hasil implementasi program perencanaan partisipatif di desa Rassi Satu. Sehingga nantinya kitaakan dapat melihat apakah pemerintah daerah telah mengimplementasikan program pembangunan tersebut yang selaras dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana aspirasi, pendapat, danpandangan masyarakat sangat diuatamakan dalam pembangunan daerah terutama di desa. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metodepenelitian deskriptif. Narbuko dan Achmadi (2004:44) memberikan pengertian
penelitian deskriptif sebagai penelitiam yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang beradasarkan data-data, jadi is juga menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi; is juga bisa bersifat komperatif dan korelatif. Danim (2002:41) memberikan beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif yaitu: 1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual. Adakalanya penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau narasi semata-mata dari suatu fenomena, tidak untuk mencari hubungan antaivariabel, menguji hipotesis, atau membuat ramalan; 2. Dilakukan secara suivei. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut juga sebagai penelitian survei. Dalam anti bias, penelitian deskriptif dapat mencakup seluruh metode penelitian, kecuali yang bersifat histories dan eksperimental; 3. Bersifat mencari informasi faktual dandilakukan secara mendetail; 4. Mengidentifikasi masalah-inasalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung; dan 5. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang tertentudalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian dapat ditegaskan kembali bahwa penelitian ini juga ditempuh berdasarkan tujuan untuk memahami bagaimana Implementasi Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Desa terutama dalam meningkatkan partisipasi warga pada pelaksanaan pembangunan di desa. Penelitian ini difokuskan kepada implementasi kebijakan APB Desa dalam pelaksanaan pembangunan, berdasarkan teori implementasi kebijakan yang di sebutkan oleh Charles O, Jones(1991:296) ada tiga aktivitasuntuk implementasi kebijakan. Tigaaktivitas dalam implementasi tersebut, adalah: 1. Organisasi untuk menganalisis implementasi kebijakan dari aspek implementasi, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan: Struktur Organisasi; Sumberdaya. 2. Interpretasi menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan, dititikberatkan pada: Kejelasan, Ketelitian; Konsistensi 3. Aplikasi dapat dinilai melalui: kegiatan administratif Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Ketua dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Masyarakat Desa yang dianggap mengetahui dan paham akan permasalahan penelitian Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan yang diperoleh melalui: 1. Wawancara mendalam (Depth-Interview), yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan kunci atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian. 2. Kuesioner (angket), adalah suatu daftar yang berisikan rangkaianpertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti, yang bertujuan memperoleh informasi yang relevan, serta informasi yang dibutuhkam. Dalam penelitian ini angket digunakan sebagai alat pendamping dalam mengumpulkan data.Daftar pertanyaan dibuat semi terbuka yang memberi pilihan jawaban pada responden dan memberikan penjelasan-penjelasan yang diperlukan oleh penulis. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun telahdiolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Dalam penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel, makalah, perarutan-peraturan, struktur organisasi, jadwal,
waktu, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis dan lain-lain yang memiliki relevansi dengan makalah yang diteliti. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data deskriptif kualitatif yaitu berusaha menyimpulkan data yang berhubiungan dengan objek penelitan serta berusaha menjelaskan dan menggambarkan fokus penelitian secara mendalam dan mendetail, kemudian selanjutnya diberi interpretasi yang sesuai dengan tujuan yang telah dinimuskan. Data darn penyebaran kuesioner (angket) akan dianalisa melalui tabel distribusi frekuensi, sedangkan data dan hasil wawancara akan diuaraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing tokoh yang dijadikan key informan. Pembahasan Peran pokok Pemerintah Desa jelas tertuang dalam kewenangan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 disebutkan pada Pasal 206 dijelaskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa yang mencakup: a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota yangdiserahkan pengaturannya kepada Desa; c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota; d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundangundangandiserahkan Kepada Desa. Secara khusus kedudukan Pemerintah Desa menjadi sangat penting karena memiliki kewenangan yang sangat luas setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.Kewenangan-kewenangan itu perlu penanganan khusus seperti halnya pengelolaan keuangan desa yang merupakan implementasi dari kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa yang telah diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014.Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa sesuai tugas pokok dan fungsi kepala desa berwenang menyusun RPJMDes dan RKPDes, sebagai pedoman penyusunan APBDes yang dilaksanakan dengan melakukan musrenbangdes dan kemudian disyahkan bersama dengan BPD. Peran nyata Pemdes dan BPD terlihat jelas penyusunan rancangan APBDes diperlukan beberapa tahap antara lain membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa), Penetapan Rancangan APBDes dan ketiga evaluasi Rancangan APBDes. Berdasarkan hasil penilitian data primer dari desa dalam merancang APBDes dapat dijelaskan bahwa untuk keuangan, pada dasarnya direncanakan di akhir tahun sebelumnya oleh perangkat desa dengan membuat rancangan anggaran, kemudian dilakukan rapat konsultasi rencana anggaran pendapatan sekaligus belanja tersebut kepada kepala desa dan sekdes, kemudian setelah disetujui oleh kepala desa dan sekdes, rancangan tersebut dirapatkan bersama BPD, lembaga lainnya dan seluruh tokoh masyarakat dan juga disertakan dalam musrenbagdes. Ketika semua perencanaan tersebut disetujui pemerintah desa tinggal melaksanakan, dari apa yang sudah menjadi Rencana APBDes. Secara teknis dalam proses penyusunan APBDes, Pemerintah Desa dan Badan Pembangunan Desa (BPD) menyusun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang ditetapkan dengan peraturan kepala desa. Kemudian Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APBDes disusun berdasarkan RKPDes oleh Sekretaris Desa.Kemudian Kepala Desa menyampaikan Raperdes tentang APBDes kepada BPD untuk dibahas bersama dan memperoleh persetujuan bersama.Raperdes tentang APBDes yang telah disetujui Kepala Desa – BPD kemudian diserahkan kepada Bupati sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa paling lambat 3 (tiga) hari sebelum ditetapkan.
Bupati akan mengeluarkan hasil evaluasi Raperdes tentang APBDes akan disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja kepada Kepala Desa. Apabila hasil evaluasi tidak dikeluarkan lewat dari 20 hari kerja oleh Bupati, maka Kepala Desa dapat menetapkan Raperdes tentang APBDes menjadi Perdes tentang APBDes). Namun apabila hasil evaluasi dikeluarkan dan diserahkan kepada Kepala Desa, maka wajib dilakukan penyempurnaan atas Raperdes dilaksanakan paling lama 7 hari kerja setelah diterima, jika tidak dilakukan penyempurnaan, dan tetap dilakukan penetapan perdes oleh Kepala Desa, maka perdes tersebut dapat dibatalkan oleh bupati. Perdes yang dibatalkan bupati tersebut harus dicabut oleh Kepala Desa–BPD. Hal ini memang dimaksudkan untuk memadukan perencanaan yang bersifat topdown dan bottom-up. Namun jelas sekali ketimpangan terjadi karena terlihat lebih besar kekuatan top-down daripada bottom-up. Dengan power yang dimiliki Bupati maka APBDes dapat berubah sebagaimana keinginan Bupati. Adanya pendapatan dan pengeluaran yang tidak dapat dijelaskan dalam perdes, artinya ada Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) terdiri dari pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan desa tidak berfungsi sebagaimana mestinya, terutama pembentukan dana cadangan, penyertaan modal desa dan pembayaran lainnya. Selain itu juga dilihat dari dokumen perubahan APBDes dari Desa, tampak sekali bahwa Perdes tersebut seperti formalitas yang dimintakan oleh Pemerintah Daerah untuk melengkapi berkas saja.Ini dapat dilihat dari samanya nomor Perdes yang dikeluarkan dan besaran data keuangan yang tidak jauh berbeda. Faktor-faktor yang menentukan implementasi kebijakan APBDes berdasarkan uraian dari hasil penelitian bahwa di Desa Rasi Satu adalah: 1. Perencana dan pelaksana kebijakan APBDes Dalam hal ini, aktor utama dalam perencana dan pelaksana APBDes, yakni pemerintah desa. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah dari segi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebenarnya masih kurang, namun karena adanya kerjasama maka pengelolaan masih lancar.Hal ini dikarenakan tidak adanya masyarakat yang dapat ditunjuk untuk dapat mengelola keuangan (untuk bendahara desa) karena tidak memiliki kemampuan khusus dikarenakan pendidikan pengelola desa kebanyakan paling tinggi berpendidikan SMA. 2. Keberadaan aspek pemasukan desa Keberadaan pemasukan yang tidak jelas pada APBDes yakni adalah Pendapatan asli desa dan alokasi dana desa. Pemasukan pada tiga desa yang menjadi objek penelitian tidak menunjukkan keberadaan dari PAD dan ADD dalam APBDes mereka. Pemasukan kebanyakan berasal dari bantuan kabupaten/provinsi. 3. Tingkat urgensi program Dalam hal ini dapat dikatakan prioritas dalam program pembangunan yang kadang dituangkan dalam APBDes juga mempengaruhi pelaksanaan kebijakan APBDes. Prioritas maksudnya disini adalah penting dan memang bersifat mendesak sehingga kadang tidak bisa menunggu penetapan Perda APBDes. Dari hasil pengujian dan pembahasan penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pelaksanaan kebijakan APBDes di Desa Rassi Satu sudah sesuai dengan Peraturan Minahasa Tenggara Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Akan tetapi dari analisis yang dilakukan penulis, sangat jelas bahwa prakteknya tidaklah memadukan antara top-down dan bottom-up, karena adanya ketimpangan dan lebih dominan top-down. Dilihat dari dokumen perubahan APBDes, tampak sekali bahwa Perdes tersebut seperti formalitas yang dimintakan oleh Pemerintah Daerah untuk melengkapi berkas saja. Faktor-faktor yang menentukan implementasi kebijakan APBDes di Desa Rassi Satu adalah:
Perencana dan pelaksana kebijakan APBDes; Keberadaan aspek pemasukan desa; dan Tingkat urgensi program. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang telah diuraikan, maka penelitian ini dapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Organisasi Pemerintahan Desa dan BPD khususnya di desa Rasi Satu secara umum dapat dikategorikan baik walaupun masih ada kelemahan, secara lebih rinci dapat dijelaskan seperti di bawah ini: a. Pemerintah desa dan BPD sudah memiliki struktur organisasi yang jelas, namun belum memiliki pembagian tugas masing-masing anggota atau Standar Prosedur yang jelas dan terarah sesuai dengan job deskripsi. b. Sumberdaya manusia yang ada di pemerintah desa sebagai Pelaksana kegiatan pembangunan dari segi kualitas masih kurang mencukupi, hal ini disebabkan masih kurangnya pengalaman berorganisasi, kurangnya pemahaman, serta keterampilan. Selain itu juga, sumberdaya manusia BPD yang masih rendah, sehingga badan ini kurang optimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. 2. Interpretasi pelaksanaan pembangunan yang berasal dari dana APBDes Rasi Satu, masih belum jelas baik oleh pemerintah desa dan masyarakat desa Rasi Satu secara rinci dijelaskan sebagai berikut: a. Masih juga ditemukan adanya inskonsistensi rencana dengan pelaksanaan program kegiatan pembangunan desa. b. Penyusunan prioritas program pembangunan yang belum memberikan manfaat kepada masyarakat 3. Aplikasi program pembangunan desa yang bersumber dari dana APBDes sudah dapat dilaksanakan, walaupun masih ada beberapa kendala seperti: kegiatan administratif yang belum lengkap dan memadai di tingkat pelaksana kegiatan pembangunan yaitu pemerintah desa, yang menyangkut persyaratan administrative, laporan keuangan, dan laporan hasil kegiatan. Saran Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, saran-saran yang dapat diajukan adalah: 1. Diperlukan standart prosedur kerja yang jelas, dan dokumen pembagian kerja kepada setiap perangkat, untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam tahap implementasi sehingga pelaksanaan pembangunan desa sesuai dengan standart yang telah ditetapkan. 2. Diperlukan adanya peningkatan peran BPD dalam mengawasi jelannya pembangunan yang berdasarkan anggaran desa, oleh karena itu diperlukan penguatan peran BPD dengan meningkatkan kualitas SDMnya melalui pelatihan yang semestinya dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan, maupun pemerintah kabupaten. 3. Perlunya pembinaan, pelatihan-pelatihan dari pelaksana tingkat kecamatan maupun kabupaten, bagi aparatur ditingkat desa, agar nantinya dapat lebih maksimal lagi dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam perundang-undangan, khususnya dapat mengerti dan tertib administrasi, berkaitan dengan kelengkapan administrasi, sehingga akuntabilitas pelaksana program lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA Abe, Alexander. 2005, Perencanaan Daerah Partisipatif, Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri. Adisasmita, Rahardjo.2006, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Ahmadi, Abu. 2003, Ilnne Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta. Arif, Syaiful. 2006, Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan, Malang: Averroes Press. Arikunto, Suharsimi. 1993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan. 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia. Hadari, Nawawi. 1990, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada Press. Hasan, Iqbal M.2002, Metodologi penelitian dan aplikasinya, Jakarta: GhaliaIndonesia. Jones, Charles O. 1991, Pengantar Kebijakan Publik, (terj.), Jakarta: Rajawali Press. Khairuddin.1992, Pembangunan Masyarakat.Tinjauan Aspek; Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan. Yogyakarta: Liberty. Muslim, Mahmudm. 2006, Menanti APBD berbasis Partisipasi Masyarakat, Makalah Disampaikan pada Training APBD, Bukittinggi, Departemen Keuangan RI. Ndraha, T. 1990, Membangun Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta: Rineka Cipta. Nurcholis, Hand. 2005, Teori darn Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grasindo. Osborne, David, Gaebier. 1995, Mewirausahakan Birokrasi, mentranformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Putra, Fadillah. 2003, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebakan Publik, Yogyakarta. Sinaga, NS. 2005, Implementasi sistem botton-up planning dalann perencanaan pembangunan daerah di kota Medan, Medan. Singarimbun, Masri, Sofyan Efendi. 1982, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2006, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta. Wahab, Solichin, A. 1990, Analisa Kebijaksanaan Dan Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Malang: Bumi Aksara. Wibawa, Samudera, dkk. 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: Raja Grafindo. Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant. 2006, Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar dan Panduan, Jakarta: Elex Media Komputindo. Sumber Lainnya Undang-Undang Nomor 2005 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Peraturan Pemerintah Nomor43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa