i
HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
Oleh Fevrina Leny Tampubolon I34080098
Dosen Pembimbing: Dr. Arif Satria, SP, M.Si.
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
ABSTRACT
FEVRINA LENY TAMPUBOLON Relationship between Jepara fisher and Karimunjawa fisher in use fisheries resources in Karimunjawa National Park. Supervised by ARIF SATRIA
The objectives of this research are: (1) to find, identify, and analyze fisheries resource management by National Park Karimunjawa and Local Government Jepara; (2) to identify, and analyze social bridging social capital between fishers in Karimunjawa and fishers in Jepara; (3) to find, identify, and analyze the relationship between social capital and perception of conflict between fishers in Karimunjawa and fishers in Jepara. Bridging social capital consists of three aspects, the network outside the community, the participation and membership in groups outside the community, and the level of trust to the outside community. The research shows that there is a relationship between bridging social capital and perception of conflict. The low bridging social capital between fishers in Karimunjawa dan Jepara cause high perception of conflict among the fisher.
Key words:bridging social capital, National Park, conflict, fisheries management.
iii
RINGKASAN
FEVRINA LENY TAMPUBOLON. Hubungan antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa. Di bawah bimbingan ARIF SATRIA
Konflik seringkali terjadi hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar komunitas nelayan dengan wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda sehingga aturan main seringkali dilanggar atau terjadi salah tafsir. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antarkomunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda (bridging social capital). Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan adanya jaringan antar komunitas yang baik sehingga tercipta komunikasi yang baik antar nelayan. Komunikasi yang baik antar nelayan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial antar nelayan apabila disertai dengan kinerja yang baik oleh pemerintah dalam membuat produk hukum yang sinergis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa, modal sosial menyambung (bridging social capital) antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa dan hubungan modal sosial menyambung terhadap persepsi konflik antara Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa. Pendekatan yang digunakan adalah kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah metode survai (deskriptif) dengan instrumen kuesioner. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui bagaimana tingkat modal sosial menyambung antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Metode kualitatif digunakan untuk
iv
mempertajam data dari metode kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Taman Nasional Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Desa Karimunjawa dan di Desa Ujungbatu. Sampel penelitiannya adalah individu Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental stratifikasi. Sementara pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling dan diperoleh informan kunci sebanyak enam orang di Karimunjawa dan tiga orang di Ujungbatu, Jepara. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa berbeda dengan pengelolaan perikanan yang dilakukan di Jepara. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa bersifat kolaboratif karena masyarakat juga memiliki hak mengelola. Masyarakat turut serta dalam menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Nelayan Jepara hanya memiliki hak pemanfaatan yaitu menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya perikanan di Jepara. Peraturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jepara bersifat terpusat. Modal sosial menyambung di Karimunjawa dan Jepara dapat digolongkan rendah. Jaringan kerja, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi Nelayan Jepara dan Nelayan Karimunjawa rendah. Tetapi, tingkat kepercayaan antara Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa berbeda. Nelayan Jepara memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap Nelayan Karimunjawa, sedangkan Nelayan Karimunjawa memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap Nelayan Jepara. Hal ini disebabkan karena Nelayan Jepara tidak merasa terancam atau terganggu dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dalam melakukan operasi penangkapan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja Nelayan Jepara berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan dan daerah. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan adanya perbedaan sehingga menjadi lebih tebuka dan mudah menerima orang lain.
v
Modal sosial menyambung memiliki pengaruh terhadap hubungan yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara. Modal sosial menyambung Nelayan Karimunjawa dan Jepara yang rendah mengakibatkan hubungan antara kedua nelayan cenderung konflik. Berdasarkan hasil penelitian modal sosial menyambung berupa jaringan kerja, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi di luar komunitas memiliki pengaruh yang berbanding terbalik dengan hubungan Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Modal sosial menyambung berupa tingkat kepercayaan tidak selalu berpengaruh pada hubungan antar Nelayan Karimunjawa dengan Jepara. Hubungan antar komunitas nelayan hanya dapat tercipta dengan baik apabila kedua belah pihak memiliki tingkat kepercayaan yang sama.
vi
HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
Oleh Fevrina Leny Tampubolon I34080098
Skripsi Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”HUBUNGAN ANTARA NELAYAN JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI
TAMAN
NASIONAL KARIMUNJAWA” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA
SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU, SERTA TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK RUJUKAN
YANG
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
DINYATAKAN
DALAM
NASKAH.
DEMIKIAN
PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.
Bogor, Oktober 2012
FEVRINA LENY TAMPUBOLON I34080098
viii
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
:
Fevrina Leny Tampubolon
NIM
:
I34080098
Judul Skripsi Skripsi
:
HUBUNGAN ANTARA NELAYAN DARI JEPARA DAN KARIMUNJAWA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana pada Depertemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Mengetahui Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan: _____________________
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Ayah penulis bernama Polen Tampubolon dan Ibu penulis bernama Darmawati Samosir. Penulis lahir di Ermera pada tanggal 5 November 1990. Penulis menamatkan sekolah di TK
Mawar Gleno pada tahun 1995-1996, SD Negeri Ermera pada
tahun 1996-1998 kemudian pada tahun 1998 pindah ke SD N.030283 Sidikalang sampai menamatkan pendidikan SD. Pada tahun 2002 melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP N 1 Sidikalang, dan pada tahun 2005 melanjut ke SMA N 1 Sidikalang. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Angkatan 45 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Kegiatan penulis selama di IPB adalah menjadi reporter di Koran Kampus pada tahun 2008. Kemudian setelah satu tahun, berhenti bekerja sebagai reporter Koran Kampus dan menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan pada tahun 2009-2012. Selain menjadi kakak asistensi juga bekerja sebagai pengajar mata kuliah kalkulus di bimbingan Mafia Club dari tahun 2009-2010. Pada tahun 2009-2011 menjadi asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum. Penulis juga pernah mengikuti PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dalam bidang pengembangan masyarakat dan menjadi salah satu program yang didanai.
x
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena anugrah-Nya skripsi yang
berjudul
“HUBUNGAN
KARIMUNJAWA
DALAM
ANTARA
NELAYAN
MEMANFAATKAN
JEPARA
DAN
SUMBERDAYA
PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA” dapat selesai dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Arif Satria, SP, M.Si., dosen sekaligus bapak pembimbing yang telah memberikan banyak sekali masukan, saran, kritik, motivasi serta kesabarannya selama proses penulisan skripsi ini.
2.
Bapak Polen Tampubolon dan Ibu Darmawati Samosir beserta adik-adik ku Saulina, Yanti, Putri, dan Tesya, keluarga yang selalu mendukung, memotivasi dan memberikan kekuatan baru untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini .
3.
Hellen yang sudah bersedia menemani selama penelitian di Karimunjawa dan Jepara. Terima kasih atas masukan dan kritikannya dalam penulisan skripsi saya.
4.
Keluarga Besar Rahel yang sudah bersedia memberikan tumpangan selama di Semarang, keluarga BTN di Karimunjawa, warga Karimunjawa, Keluarga di Jepara, dan seluruh pihak yang telah membantu selama di tempat penelitian.
5.
Keluarga besar YONM yang selalu memberikan dukungan moral, memberikan penguatan dan membantu dalam doa untuk penulisan skripsi ini.
6.
Keluarga besar pondok delima, Swinda, Lia, Vita, Ayun, Riska yang telah memberikan semangat selama mengerjakan skripsi ini.
7.
Teman seperjuangan Septi, Itaw dan teman-teman KPM ‘45, terimakasih atas semangat serta kebersamaan yang telah dibangun selama penulisan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Oktober 2012 Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................................
x
DAFTAR TABEL............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Masalah Penelitian ......................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................
4
1.4. Kegunaan Penelitian ....................................................................
5
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka .........................................................................
6
2.1.1. Nelayan................................................................................
6
2.1.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ...................................
7
2.1.3. Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait
10
2.1.4. Modal Sosial........................................................................
11
2.1.5. Hubungan Antar Nelayan....................................................
17
2.2. Kerangka Penelitian ......................................................................
23
2.3. Hipotesis Penelitian.......................................................................
25
2.4. Definisi Konseptual.......................................................................
25
2.5. Definisi Operasional......................................................................
26
BAB III
PENDEKATAN LAPANG
3.1. Metode Penelitian..........................................................................
29
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................................
29
3.3. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data...................................
31
3.4. Teknik Pengambilan Sampel.........................................................
31
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..........................................
32
BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1. Desa Karimunjawa ........................................................................
34
4.1.1. Kondisi Geografis ...............................................................
34
xii
4.1.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................
35
4.1.3. Pendidikan...........................................................................
38
4.1. Desa Ujungbatu .............................................................................
39
4.2.1. Kondisi Geografis ...............................................................
39
4.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ..................................
39
4.2.3. Pendidikan...........................................................................
41
BAB V
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KARIMUNJAWA DAN JEPARA
5.1. Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa .......................................
42
5.1.1.Pengelolaan Perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa
42
5.1.2.Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
48
5.1.3.Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Kabupaten Jepara 52 5.1.4.Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Desa .................
54
5.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Jepara ..............................
56
5.2.1.Pengelolaan sumberdaya Perikanan oleh Nelayan Jepara....
56
5.2.2.Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara ...............................................
56
5.3. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam.........................................
58
BAB VI
PEMANFAATAN
SUMBERDAYA
PERIKANAN
OLEH NELAYAN KARIMUNJAWA DAN NELAYAN JEPARA 6.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa...................................................................
60
6.1.1. Penggolongan Nelayan Karimunjawa.................................
60
6.1.2. Alat Tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa.......................................................................
63
6.1.3. Musim Penangkapan Ikan di Karimunjawa ........................
66
6.1.4. Daerah Tangkap Nelayan Karimunjawa .............................
69
6.2. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Dilakukan Oleh Nelayan Jepara ..............................................................................
69
6.2.1. Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha..
69
6.2.2. Alat Tangkap yang Digunakan Oleh Nelayan Jepara .........
72
xiii
BAB VII
6.2.3. Musim Tangkap di Jepara ...................................................
73
6.2.4. Daerah Tangkap Nelayan Jepara.........................................
74
MODAL
SOSIAL
MENYAMBUNG
(BRIDGING
SOCIAL CAPITAL) NELAYAN KARIMUNJAWA DAN NELAYAN JEPARA 7.1. Modal Sosial Menyambung Nelayan Karimunjawa .....................
75
7.1.1 Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa ..
75
7.1.2.Tingkat Partisipasi dan Keanggotan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa ..............................
76
7.1.3.Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa ......................
78
7.2. Modal Sosial Menyambung Nelayan Jepara.................................
80
7.2.1 Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara..............
80
7.2.2.Tingkat Partisipasi dan Keanggotan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara..........................................
81
7.2.3.Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara ..................................
82
7.3. Konflik Antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara ...
83
BAB VIII HUBUNGAN DENGAN
MODAL
SOSIAL
KONFLIK
KARIMUNJAWA DALAM
ANTARA
DENGAN
DI
NELAYAN
NELAYAN
MEMANFAATKAN
PERIKANAN
MENYAMBUNG
TAMAN
JEPARA
SUMBERDAYA NASIONAL
KARIMUNJAWA 8.1. Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di TNKJ........................................................... 86 8.2. Hubungan
Antara
Tingkat
Keanggotaan
Nelayan
Karimunjawa dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di TNKJ............................................................................ 87 8.3. Hubungan
Antara
Tingkat
Kepercayaan
Nelayan
Karimunjawa Dengan Persepsi Konflik di TNKJ ........................ 88
xiv
8.4. Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di Jepara ........................................................................... 89 8.5. Hubungan Antara Tingkat Keanggotaan Nelayan Jepara dengan Persepsi Masyarakat Mengenai Konflik di TNKJ ............ 90 8.6. Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Dengan Persepsi Konflik di TNKJ................................................ 91 BAB IX
PENUTUP
9.1. Kesimpulan.................................................................................... 93 9.2. Saran.............................................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95 LAMPIRAN .................................................................................................. 97
xv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam .................................................. 8 Tabel 2. Langkah-langkah Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait..................................................................................... 11 Tabel 3. Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial ......................................... 13 Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012 ........................................... 30 Tabel 5. Pembagian Kawasan Wilayah Taman Nasional dan Luas Masing-Masing Wilayah Tahun 2012 .................................................... 35 Tabel 6. Jumlah
Penduduk
Berdasarkan
Jenis
Kelamin
di
Kecamatan Karimunjawa Tahun 2011 ................................................... 36 Tabel 7. Jumlah
dan
Persentase
Masyarakat
Karimunjawa
berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun 2008........................................ 37 Tabel 8. Jumlah
dan
Persentase
Masyarakat
Karimunjawa
berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat
di Desa
Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun 2008........................................ 38 Tabel 9. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2010............................................ 40 Tabel 10. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2011 ........................................................................................................ 40 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Masyarakat Ujungbatu berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat
di Desa Ujungbatu,
Kecamatan Jepara Tahun 2010............................................................... 41
xvi
Tabel 12. Pembagian
Zonasi
Taman
Nasional
Karimunjawa
Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam Nomor :SK.28/IV-SET/2012 Tahun 2012 ............................................................................................. 48 Tabel 13. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa .............................................................. 56 Tabel 14. Musim-musim penangkapan ikan di Karimunjawa................................ 69 Tabel 15. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara............................................ 75 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas
Nelayan
Karimunjawa,
Kecamatan
Karimunjawa Tahun 2012 ...................................................................... 76 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 ................................................... 79 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 ........................................................................................................ 80 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2012 ........................................................................................................ 81 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara, Kecamatan Jepara Tahun 2012............................................................... 82 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 ........................................................................................................ 83
xvii
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Berdasarkan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa dan
Nelayan Jepara terhadap
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Tahun 2012 ................. 85 Tabel 23. Modal
Sosial
Menyambung
yang
dimiliki
Nelayan
Karimunjawa dan Nelayan Jepara .......................................................... 86 Tabel24. Persentase
Hubungan
antara
Jaringan
Kerjadi
Luar
Komunitas Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 .......................... 88 Tabel 25. Persentase Hubungan antara Keanggotaan dalam Organisasi Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa
di
TNKJ,
Kecamatan
Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 .......................... 89 Tabel 26. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa
dengan
Persepsi
Konflik
Nelayan
Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012......................................................... 90 Tabel 27.Persentase Hubungan antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 .......................... 91 Tabel 28. Persentase Hubungan antara Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 .......................... 92 Tabel 29. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 ................................................................................ 92
xviii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar 1.
Halaman
Kohesi Sosial sebagai Integrasi antara Modal Sosial Keterikatan Vertikal dengan Modal Sosial Keterikatan Horisontal....................................................................................
Gambar 2.
15
Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah ..................................................................................
16
Gambar 3.
Kerangka Pemikiran ...................................................................
24
Gambar 4.
Peta Karimunjawa.......................................................................
34
Gambar 5.
Peta Kabupaten Jepara ................................................................
39
Gambar 6.
Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2012 ...........
48
Gambar 7.
Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan di Karimunjawa .........................................................
Gambar 8.
Persentase
responden
berdasarkan
status
Nelayan
Karimunjawa............................................................................... Gambar 9.
61
62
Jumlah dan persentase responden berdasarkan teman menangkap ikan di Karimunjawa ...............................................
63
Gambar 10. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara ..................................................
70
Gambar 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan ada tidaknya teman menangkap ikan di Jepara .................................
70
Gambar 12. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan oleh Nelayan Jepara............................................................................
71
Gambar 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status nelayan di Jepara.........................................................................
72
xix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian ..............................................................
97
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 20101 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak. Berdasarkan data indikator fisik Indonesia, luas lautan Indonesia seluas 3,56 juta km2. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km dengan luas wilayah laut mendominasi total luas teritorial Indonesia. Berdasarkan data dari DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) 2007, Indonesia juga dikaruniai sekitar 3.000 jenis ikan di perairan laut dan tawar. Indonesia berada di wilayah pusat segitiga terumbu karang dunia sehingga memiliki berbagai jenis terumbu karang yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumberdaya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati. Luas lautan Indonesia yang mendominasi, menempatkan sumberdaya kelautan menjadi salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam bidang perikanan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan seluruh masyarakat terutama di daerah pesisir. Oleh karena itu, kelestariannya harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini pemanfaatan sumberdaya perikanan kurang memerhatikan kelestariannya. Sumberdaya hayati perikanan dan kelautan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Berdasarkan riset Coremap LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoesia) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) akhir Tahun 20082, hampir sepertiga kondisi terumbu karang di Indonesia berkategori rusak. Kerusakan juga terjadi di sektor perikanan dimana sumberdaya ikan telah terdegradasi yang menyebabkan menurunnya stok ikan. 1
Pusat data statistik dan informasi kementrian kelautan dan perikanan 2011. Data pokok kelautan dan perikanan 2010. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/20/data-pokok-2011. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2012, pukul 13.00 WIB. 2 Riset Coremap LIPI dan LAPAN akhir tahun 2008. http://teknologi.vivanews.com/news/read/267236-agar-terumbu-karangindonesia-tak-terus-rusak. Diunduh pada tanggal 20 Desember 2011, pukul 15.00 WIB.
2
Hal ini disebabkan karena sebagian besar WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) Indonesia telah dieksploitasi secara berlebihan (DKP 2007). Degradasi sumberdaya ikan disebabkan oleh pengelolaan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak kelestarian sumberdaya ikan. Apabila kondisi ini terus terjadi dapat dipastikan potensi sumberdaya perikanan akan semakin menurun. Penurunan sumberdaya perikanan ternyata tidak diikuti dengan penurunan pemanfaatan sumberdaya perikanan seperti yang disebutkan dalam Kep 18/Men/20113. Pada tahun 2006-2007 jumlah nelayan naik terus, yaitu 2,06%, sedangkan ikan makin langka. Penurunan potensi sumberdaya perikanan dan peningkatan jumlah nelayan dapat dipastikan akan meningkatkan persaingan di kalangan nelayan. Tidak menutup kemungkinan persaingan yang semakin ketat akan meningkatkan potensi konflik antar nelayan. Banyak pihak yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam bukan hanya masyarakat tetapi pemerintah bahkan swasta juga memiliki kepentingan. Konservasi menjadi suatu desain pengelolaan yang komprehensif dalam rangka mengatasi dergradasi sumber daya kelautan di Indonesia. Taman Nasional Laut adalah bentuk konservasi4. Taman Nasional Karimunjawa adalah salah satu bentuk konservasi di Indonesia. Konservasi pada dasarnya adalah tindakan melindungi agar tercipta keberlangsungan atau keberlanjutan dari suatu sumberdaya. Penetapan zonasi
dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
merupakan salah satu tindakan konservasi yang dilakukan oleh Taman Nasional. Penetapan zonasi dilakukan sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990. Perubahan
dari
Orde
Baru kemudian menjadi
Orde
Reformasi
menghasilkan dua produk hukum baru, yaitu UU No.22 Tahun 1999 dan Keppres tentang Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan. UU No.22/1999 mengatur beberapa ketetapan dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Pertama, menetapkan batas kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana 12 mil kawasan laut dari garis pantai di bawah kekuasaan pemerintah propinsi dan 4 mil di bawah kekuasaan pemerintah kabupaten/ kota. Kedua, 3 4
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan. Tertulis di Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
menetapkan
3
kebijakan pengelolaan berupa kebijakan investasi, perpajakan, pengawasan berbasis masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Satria dkk 2002). Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditetapkan pembagian wilayah tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil Penetapan sistem zonasi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan menghadapi banyak kendala. Hal ini juga dialami oleh Taman Nasional Karimunjawa dalam mengelola sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Produk hukum dan peraturan yang tidak sinergis merupakan salah satu kendalanya. Pemerintah daerah mengunakan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 sesuai dengan peraturan otonomi daerah. Taman Nasional Karimunjawa menggunakan UU No.5 Tahun 1990 untuk mengelola sumberdaya perikanan sesuai dengan landasan hukum konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa menimbulkan kaburnya batasbatas wilayah pemanfaatan oleh nelayan karena masing-masing pihak menetapkan batas wilayah pemanfaatan perikanan. Kaburnya batas-batas pengelolaan akhirnya menimbulkan perebutan wilayah tangkap dan konflik dalam pemanfaatan kawasan perikanan. Konflik tidak selalu terjadi karena permasalahan tersebut, seringkali konflik terjadi hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar komunitas nelayan dengan wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda sehingga aturan main seringkali dilanggar atau terjadi salah tafsir. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antar komunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda atau yang disebut juga bridging social capital (Grafton 2005; Satria 2009a). Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan adanya modal sosial menyambung (bridging social capital) yang baik sehingga tercipta komunikasi yang baik antar nelayan. Komunikasi yang baik antar nelayan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial antar nelayan apabila disertai dengan kinerja yang baik oleh pemerintah dalam membuat produk hukum yang sinergis. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka kajian mengenai hubungan antar Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Karimunjawa menjadi menarik untuk diteliti.
4
1.2. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan beberapa masalah diteliti, yaitu: 1. Bagaimana pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa? 2. Bagaimana modal sosial menyambung Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa? 3. Bagaimana hubungan antara modal sosial menyambung dengan persepsi konflik antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa. 2. Menganalisis modal sosial menyambung antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa. 3. Menganalisis hubungan antara modal sosial menyambung dengan persepsi konflik antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa. 1.4. Kegunaan Penelitian Mengacu
kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya
penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah dan akademisi. Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:
5
1. Kegunaan Penelitian bagi Pemerintah, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk pemerintah khususnya dalam membentuk kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sinergis sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh nelayan konflik dapat diperkecil. 2. Kegunaan Penelitian bagi Akademisi, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan hazanah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai pengaruh kinerja pemerintah dan modal sosial berupa jaringan kerjasama antar nelayan terhadap kesejahteraan sosial nelayan dan membuka realitas pikiran bagi mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini.
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Nelayan Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut. UU No 45 Tahun 2009 yang merupakan revisi UU No. 31 Tahun 2004 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan (2000) diacu dalam Satria (2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/ tanaman air. Selanjutnya, Ditjen Perikanan (2002) dalam Satria (2002) mengklasifikasikan
nelayan
berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan, yaitu: 1. Nelayan ikan penuh yaitu orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan/pemeliharaan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air 2. Nelayan ikan sambilan yaitu orang yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air dan memiliki pekerjaan lain. 3. Nelayan ikan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya
digunakan
untuk
melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air Berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi, Satria (2002)
menggolongkan nelayan
menjadi empat tingkatan, yaitu: 1. Peasant fisher yang biasanya hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan sendiri. Umumnya, mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional duyung maupun sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
7
2. Post-Peasant fisher
yaitu nelayan yang menggunakan teknologi
penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja. 3. Commercial fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh sampai manajer. 4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah: a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju; b. Secara relatif lebih padat modal; c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. 2.1.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sebagai sumberdaya yang bersifat kolektif, laut ada yang memiliki dan mengelola sekecil apa pun tingkat pengelolaannya. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan nelayan biasanya memiliki seperangkat hak sebagaimana diklasifikasikan Ostrom dan Schlager (1990) dalam Satria (2009b), yaitu: 1. Hak akses yaitu hak untuk memasuki suatu wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat nonekstraktif. 2. Hak pemanfaatan yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya atau berproduksi. 3. Hak pengelolaan yaitu hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya. 4. Hak ekslusi yaitu hak untuk menentukan siapa saja yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.
8
5. Hak pengalihan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas. Hak-hak pengelolaan status kepemilikan sumberdaya terhadap pesisir (Tabel 2) akan mengacu pada wilayah penangkapan, teknik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Tipe Hak Owner Proprietor Claimant
Authorized Authorized user entrant
Akses
X
X
X
X
Pemanfaatan
X
X
X
X
Pengelolaan
X
X
X
Eksklusi
X
X
Pengalihan
X
X
Sumber: Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009b)
Merujuk pada konsep Berkes dan Scott (1989) dalam Satria (2009b) mengidentifikasi tiga dimensi pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat. Pertama, dimensi normatif yang berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses pengelolaan sumberdaya pesisir. Disinilah tujuan pengelolaan dirumuskan. Kedua,adalah dimensi regulatif yang berisi tata pengelolaan sumberdaya pesisir. Ketiga,dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal. Untuk kasus perikanan, Ruddle (1999) dalam Satria (2009b) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan perikanan sebagai berikut: 1.
Batas Wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah yang mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.
2.
Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.
3.
Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostorm dan Schlager.
4.
Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun
9
informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi. 5.
Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik ( pemukulan).
6.
Pemantauan dan Evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Sumberdaya laut dan perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang
berbentuk akses terbuka. Akan tetapi pada aplikasinya jarang ada sumberdaya yang sepenuhnya akses terbuka karena selalu ada pengaruh baik dari pemerintah maupun peraturan lokal yang ditetapkan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia didominasi oleh pemerintah. Pemerintah melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh dengan menetapkan berbagai aturanaturan seperti UU (Undang-Undang), PP (Peraturan Pemerintah), SK.Menteri (Surat Keputusan Menteri) dan Perda (Peraturan Daerah). Salah satu aturan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal pengelolaan laut yaitu UU No.22 Tahun 1999. Undang-undang ini mengatur batas wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan daerah kabupaten/kota yaitu sejauh sepertiga dari wilyah laut daerah Provinsi atau 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau perairan kepulauan. Selanjutnya, Undang-Undang No. 32 Tahun 20045 Pasal 18 ayat 4,5, dan 6 menjelaskan lebih lanjut mengenai pengelolaan sumberdaya laut, yaitu: 1.
Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
5
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. http://www.smecda.com/Files/infosmecda/uu_permen/UU_32_2004.pdf . Diunduh pada tanggal 18 Maret 2012 pukul 15.00 WIB.
10
2.
Apabila wilayah laut diantara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya pesisir di wilayah laut dibagi ke dalam jarak yang sama atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
3.
Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan diatas tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Batasan
wilayah
yang
sudah
ditetapkan,
pihak
kabupaten/kota
mendapatkan kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Eksploitasi atas sumberdaya alam dapat dilakukan dengan melakukan penangkapan ikan oleh nelayan. Dalam melakukan penangkapan ikan nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2010, Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) menurut jenisnya, yaitu: 1.
Surrounding nets (Jaring lingkar);
2.
Seine nets (Pukat tarik);
3.
Trawls (Pukat hela);
4.
Dredges (Penggaruk);
5.
Lift nets (Jaring angkat);
6.
Falling gears (Alat yang dijatuhkan);
7.
Gillnets and entangling nets (Jaring insang);
8.
Traps (Perangkap);
9.
Hooks and lines (Pancing); dan
10. Grappling and wounding (Alat penjepit dan melukai). 2.1.3. Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait Identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga terkait merupakan upaya memotret para pelaku dan perannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di daerah (Satria dkk 2002). Dengan adanya
11
identifikasi ini, kita bisa menemukan titik-titik kepentingan antara pemangku kepentingan sehingga dapat memudahkan dalam mengatasi masalah konflik yang selama ini sering terjadi. Identifikasi dilakukan dengan membuat tabel jenis kegiatan yang ada di wilayah laut daerah, jenis pelaku, masalah dan isu pokok, dan lembaga terkait. Selanjutnya, terhadap lembaga atau organisasi sosial juga perlu dilakukan pemetaan dan fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini perlu dilakukan sebagai bahan penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Tabel 2 menyajikan bagaimana melakukan identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga terkait. Tabel 2. Langkah-langkah Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait Jenis pelaku Jenis Kegiatan di Masalah dan Isu Lembaga Terkait Daerah Pokok Penangkapan ikan Konflik dengan nelayan Dinas Perikanan dan Nelayan dengan mini trawl tradisional Kelautan (DKP) Kerusakan ekologis HNSI/ organisasi nelayan Penangkapan ikan Penataan lokasi bagan DKP Nelayan dengan bagan HSNI/ organisasi nelayan Penataan lokasi DKP Pembudidaya Budidaya laut HSNI/ organisasi ikan nelayan Pelayaran Jalur-jalur pelayaran Dep.hub Pengusaha pelayaran Penyelaman dan Penataan daerah wisata Dinas Pariwisata Pengusaha wisata bahari wisata Penambangan Kerusakan ekologis Dinas Pertambangan Pengusaha pasir Kerugian nelayan pasir Sumber: Satria dkk 2002
2.1.4. Modal sosial Modal
sosial
merupakan
seperangkat
nilai,
norma,
organisasi,
kepemimpinan dan jaringan sosial yang berpusat pada kepercayaan dan digunakan untuk mengelola modal fisik, modal uang, sumberdaya manusia, dan sumberdaya alam (Woolcock 1998; Sulaeman dkk 2010). Coleman (1990) dalam Vipriyanti (2007) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur sosial dimana seseorang ada di dalamnya. Modal sosial melekat dalam struktur sosial dan memiliki karakteristik barang publik namun setara dengan modal finansial, modal
12
fisik dan modal manusia. Sedangkan Putnam (1993) dalam Lawang (2004) mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lawang (2004) merumuskan konsep inti dari modal sosial, yaitu: 1. Kepercayaan yaitu keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita. 2. Norma adalah nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi semua pihak dapat dilihat dari kemudahan menitipkan anak kepada tetangga, memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pemboncengan. 3. Jaringan kerja yaitu ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari jumlah keanggotaan dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya. Pretty dan Ward (2001) dalam Vipriyanti (2007) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek utama yang dapat membangun modal sosial yaitu (1) Hubungan dari rasa percaya; (2) Resiprositas dan pertukaran; (3) Aturan umum, norma, dan sanksi; (4) Koneksi kerjasama dan kelompok. Modal sosial menurut Uphoff (2000) dalam Yulidar (2003) adalah suatu akumulasi dari beragam jenis aset sosial, psikologis, budaya, kognitif, institusional dan sejenisnya yang meningkatkan jumlah (atau kemungkinan) perilaku kerjasama bagi kepentingan bersama. Uphoff memisahkan modal sosial menjadi dua kategori yang saling terkait yaitu kategori struktural dan kategori kognitif (Tabel 3).
13
Tabel 3. Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial Struktural Sumber dan Peran dan aturan manifestasi Network dan hubungan interpersonal lainnya Tata cara dan keteladanan Organisasi sosial Domain Faktor dinamis
Elemen utama
Kognitif Norma Nilai Sikap Kepercayaan Kebudayaan Masyarakat Keterkaitan horisontal Rasa percaya Keterkaitan vertikal Solidaritas Kerjasama Kedermawanan Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama yang menghasilkan manfaat bersama
Sumber: Uphoff (2000) dalam Vipriyanti (2007)
Woolcock (2000) dalam Vipriyanti (2007) membedakan modal sosial atas tiga tipe yaitu : modal sosial yang mengait (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social capital) dan modal sosial mengait (linking social capital). Tipologi modal sosial dilihat dari bagaimana pola-pola interaksi yang terjadi dalam masyarakat. 1. Bonding Social Capital (Modal Sosial Mengikat) Modal sosial terikat cenderung bersifat ekslusif. Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, yaitu baik kelompok maupun anggota kelompok, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, lebih berorientasi kedalam dibandingkan berorientasi ke luar. Ragam masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok ini umumnya memiliki persamaan. Misalnya, seluruh anggota kelompok berasal dari suku yang sama. Apa yang menjadi perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turuntemurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku dan perilaku moral dari suku atau entitas sosial tersebut. Mereka cenderung konservatif dan lebih mengutamakan kebersamaan atau solidaritas daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma masyarakat yang lebih terbuka (Hanafri 2009). Modal sosial yang bersifat mengikat berinteraksi secara intensif, langsung (face to face), dan saling
14
mendukung, contohnya ikatan kekeluargaan, bertetangga atau bersahabat (Vipriyanti, 2007). 2. Bridging Social Capital (Modal Sosial Menyambung) Bentuk modal sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Menurut Woolcock (2000) dalam Vipriyanti (2007), modal sosial menyambung adalah keterhubungan yang terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekwensi yang relatif lebih rendah seperti kelompok agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsipprinsip universal tentang persamaan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan
dan
humanitarian.
Bahwasanya
nilai-nilai
kemanusiaan,
penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, grup, kelompok atau suatu masyarakat tertentu. Dengan sikap yang melihat ke luar memungkinkan untuk menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan dengan asosiasi atau kelompok di luar kelompoknya (Hanafri 2009). Sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyandarkan pada modal sosial menyambung biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki. Modal sosial menyambung akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan jaringan (networking) yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan resiprositas (pertukaran antar individu dan kelompok yang timbal-balik) yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.
15
3. Linking Social Capital (Modal Sosial Mengait) Modal sosial yang berhubungan menunjuk pada sifat dan luas hubungan vertikal diantara kelompok orang yang mempunyai saluran terbuka untuk akses sumberdaya dan kekuasaan dengan siapa saja. Hubungan antara pemerintah dan komunitas termasuk di dalam modal sosial mengait. Sektor umum (seperti negara dan institusinya) adalah pusat untuk kegunaan dan kesejahteraan masyarakat (Hanafri 2009). Colletta dan Cullen (2000) dalam Yulidar (2003) menguraikan hubungan bidang sosial vertikal dan horizontal dengan kohesi sosial yang disajikan dalam Gambar 1.
Negara dan pasar Kohesi sosial tinggi, konflik rendah: Akses dan kesamaan atas peluang Ketercakupan Masyarakat terbuka
Modal sosial vertikal
Modal sosial horizontal
bonding
bridging
Kohesi sosial rendah, konflik tinggi: Ketidakadilan dan ketidaksamaan Keterpisahan Masyarakat tertutup
Komunitas dan individu
Sumber: Colleta dan Cullen , 2000 dalam Yulidar , 2003
Gambar 1. Kohesi Sosial sebagai Integrasi antara Modal Sosial Keterikatan Vertikal dengan Modal Sosial Keterikatan Horisontal Kuat atau lemahnya ikatan suatu kelompok dikenal dengan kohesi sosial yang merupakan variabel kunci yang berada diantara konflik dan modal sosial. Jika kohesi dalam suatu kelompok rendah (ditandai oleh adanya eksklusi, aturan yang otoriter, birokrasi yang tidak efisien, masyarakat yang tertutup dan
16
terjadinya ketidakadilan) maka konflik akan berlangsung secara keras atau ekstrim. Sebaliknya, jika kohesi di dalam suatu kelompok tinggi (ditandai oleh adanya inklusi, aluran yang demokrasi, birokrasi yang tidak efisien, masyarakat yang terbuka dan keadilan mengakses peluang) maka konflik berlangsung dalam tingkat yang lebih rendah. Konsep modal sosial merupakan konsep yang relevan baik di tingkat mikro, meso dan makro. Pada tingkat makro, modal sosial mencakup institusi seperti pemerintah, aturan hukum, hak sipil dan kebebasan politik. Pada tingkat meso dan mikro, modal sosial merujuk pada jaringan kerja dan norma yang membangun interaksi antar individu, rumah tangga, dan masyarakat. Modal sosial pada tingkat makro mencakup institusi seperti pemerintah. Woolcock dan Narayan (2000) dalam Vipriyanti (2007) menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara modal sosial dengan kinerja pemerintah. Gambar 2 menyajikan bagaimana modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan. Well Fuctioning State
Low Level of Bridging Social Capital
Exclution (Latent Conflict)
Social And Economic Wellbeing
Conflict
Coping
High Level of Bridging Social Capital
Dysfunctional State
Sumber: Woolcock dan Narayan, 2000 dalam Vipriyanti, 2007
Gambar 2. Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah Kinerja pemerintah yang baik dan modal sosial yang kuat akan menciptakan kesejahteraan baik ekonomi maupun sosial. Sebaliknya,apabila kinerja pemerintah buruk dan modal sosial lemah maka akan berpeluang untuk terjadinnya konflik laten. Apabila kinerja pemerintah buruk maka konflik akan
17
muncul ke permukaan. Kuatnya modal sosial namun tidak disertai dengan kinerja pemerintahan yang baik akan mendorong terjadinya coping. Kelompok–kelompok yang memiliki modal sosial kuat akan mengambil alih fungsi-fungsi formal pemerintahan. 2.1.5. Hubungan Antar Nelayan Secara sosiologis, kajian konflik merupakan bagian dari kajian proses sosial. Proses sosial sendiri adalah cara-cara berhubungan yang dapat diamati jika perorangan atau kelompok manusia saling bertemu. Menurut Gillin dan Gillin dalam Murdiyatmoko (2007) proses sosial ada dua bentuk yaitu proses sosial yang bersifat asosiatif dan proses sosial yang bersifat disosiatif. Proses sosial yang asosiatif, yaitu: 1. Kerjasama yang merupakan suatu usaha bersama antara orang atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, bargaining yang merupakan pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi. Kedua, co-optation yang merupakan proses
penerimaan
unsur-unsur
baru
dalam
kepemimpinan
pelaksanaan politik dalam suatu organisasi. Ketiga, coalition
atau yang
merupakan kombinasi antara dua organisasi yang berbeda tetapi memiliki tujuan-tujuan yang sama. Untuk sementara waktu akan terjadi stabilitas dalam struktur sosial akan tetapi karena ingin mencapai tujuan bersama maka dapat terjadi kerjasama. 2. Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk merujuk pada suatu keadaan dan pada suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi berarti suatu keadaan seimbang dalam interaksi antar orang dan kelompok sehubungan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk meredakan suatu pertentangan untuk mencapai kestabilan. 3. Asimilasi adalah sutu proses mengembangkan sikap-sikap yang sama. Asimilasi bertujuan untuk mencapai kesatuan atau integrasi dalam
18
organisasi sehingga dua kelompok yang berasimilasi dapat menghilangkan perbedaan diantara mereka. 4. Akulturasi
adalah
suatu
proses
sosial
dimana
suatu
kelompok
mendapatkan suatu unsur kebudayaan yang baru sebagai akibat dari pergaulan yang intensif dan lama dengan kelompok yang lain tanpa harus membentuk kebudayaan baru. Proses sosial yang asosiatif bersifat mendekatkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Berbeda dengan proses sosial dissosiatif yang bersifat menjauhkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Proses sosial disosiatif terdiri dari: 1. Persaingan yaitu suatu proses sosial ketika seseorang mencari keuntungan dari segala aspek kehidupan. Sepanjang proses persaingan masing-masing pihak berusaha untuk menarik perhatian publik untuk menguasai opini publik tanpa melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat ancaman atau pun kekerasan 2. Kontravensi yaitu bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dan konflik. Jika persaingan yang terjadi diikuti dengan gejala-gejala ketidakpastian, keraguan tentang sikap seseorang dan sikap tersembunyi atas gagasan dan budaya yang dimilikinya. Sikap tersembunyi dapat berkembang menjadi rasa benci dan curiga tetapi tidak menunjukkan indikasi pertentangan atau pun pertikaian di kedua belah pihak. 3. Konflik yaitu suatu kondisi dimana terdapat ketegangan dalam hubungan antar seseorang atau kelompok karena dikuasai amarah yang berlebihan. Situasi konflik ditandai dengan tindakan menentang pihak lain yang diikuti dengan ancaman dan tindakan kekerasan ( Soekanto 2002). Lebih ekstrim lagi, tindakan ini dilakukan dengan perasaan ingin melukai dan menghancurkan pihak lawan sehingga tidak jarang terjadi perkelahian atau bentrokan antara kedua belah pihak. Konflik pada dasarnya terjadi bila dalam satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan, konflik tidak harus berarti perseteruan meski situasi ini dapat menjadi bagian dari situasi konflik. Fisher dkk
19
(2001), menjelaskan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan. Konflik terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan. Konflik
timbul karena adanya ketidakseimbangan antara hubungan
hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah diskriminasi. Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan (dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap nilai dalam masyarakat. Bentukbentuk pertentangan (conflict) menurut Soekanto (2002) antara lain: 1. Pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara dua orang dimana masingmasing pihak berusaha untuk memusnahkan pihak lawannya. 2. Pertentangan rasial yaitu pertentangan yang dilatarbelakangi oleh penampakan individu, perbedaan kepentingan dan kebudayaan. 3. Pertentangan antar kelas sosial yaitu pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan individu yang menempati kelas yang berbeda. 4. Pertentangan politik yaitu pertentangan antar golongan kelompok dalam masyarakat. Konflik nelayan adalah masalah yang perlu dicermati oleh karena itu berdasarkan berbagai kajian empiris yang telah dilakukan Satria (2006) dalam Satria (2009a) mengidentifikasikan konflik menjadi 7 tipologi, yaitu: 1. Konflik kelas,
yaitu konflik antar kelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan, kesenjangan teknologi penangkapan ikan.
yang digambarkan dengan
20
2. Konflik kepemilikan, yaitu konflik yang sering terjadi akibat dari isu kepemilikan sumberdaya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak dapat terdefinisi secara jelas milik siapa. 3. Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik yang terjadi akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” serta adanya isu-isu siapa yang berhak mengelola sumberdaya perikanan atau laut. 4. Konflik cara produksi/alat tangkap, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap baik sesama alat tangkap tradisional maupun antara alat tangkap tradisional dan alat tangkap modern yang merugikan salah satu pihak. 5. Konflik lingkungan, yaitu konflik akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain. 6. Konflik usaha, yaitu konflik yang terjadi di darat sebagai akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. 7. Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah). Akan tetapi konflik konflik primordial tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama Kinseng (2007) membagi konflik sumberdaya yang terjadi di kalangan umum nelayan mencakup dua kategori utama. Pertama, konflik yang terjadi diantara sesama nelayan itu sendiri atau konflik internal. Kedua, konflik antara nelayan dengan pihak-pihak non-nelayan atau konflik eksternal. Konflik yang sering terjadi pada masyarakat nelayan sering tidak dapat diselesaikan. Kegagalan dalam menyelesaikan konflik terjadi karena kurang memahami asal-usul masalah sehingga langkah penyelesaian yang dilakukan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, Fishers dkk (2000) dalam Satria (2002) menjabarkan beberapa penyebab konflik, yaitu:
21
1. Teori Hubungan Masyarakat Konflik terjadi disebabkan oleh kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi
masing-masing
kelompok.
Arogansi
kelompok
tersebut
menimbulkan polarisasi yang berkepanjangan. Bahkan tidak jarang diikuti pula dengan ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat. 2. Teori Negosiasi Prinsip Konflik
terjadi
karena
terdapat
perbedaan
kepentingan
dan
ketidakselarasan di antara dua pihak yang tidak dapat memisahkan antara perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu. 3. Teori Kebutuhan Manusia Konflik terjadi ketika kebutuhan mendasar setiap manusia dihambat atau dibatasi seseorang atau suatu kelompok. Hambatan yang dirasakan akan menimbulkan perlawanan dari kelompok yang terdeskriminasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka. 4. Teori Identitas Upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan ataupun karena dendam sejarah akibat penderitaan masa lalu. Tindakan suatu kelompok dalam hal ini menjadi ancaman dan ketakutan bagi kelompok lain. 5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya Konflik terjadi karena kurangnya pengetahuan akan budaya lain. Selain itu, konflik semacam ini juga muncul karena streotipe negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka. 6. Teori Transformasi Konflik Konflik terjadi karena ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
akibat
masalah-masalah
sosial,
budaya
dan
ekonomi.
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan ini seringkali terbangun dalam struktur
22
sosial suatu masyarakat sehingga subordinasi ini dirasakan sebagai tekanan yang terus menerus. Berbagai bentuk kemungkinan intervensi dapat dilakukan apabila sifatsifat konflik yang memiliki potensi dan tantangan sendiri dapat digambarkan. Fisher dkk (2001) dalam Sembiring dkk (2010) mengajukan sifat konflik, yaitu: 1. Tanpa konflik, yaitu kesan umumnya baik. Dalam kehidupan bersifat dinamis, memanfaatkan konflik perilaku tujuan serta mengelola konflik secara kreatif. 2. Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. 3. Konflik terbuka, berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran dimana dapat diatasi dengan komunikasi. Untuk menganalisis berbagai kasus konflik, Fisher dkk (2000) dalam Shaliza (2004) menawarkan penggunaan beberapa alat bantu yang dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Diantaranya sebagai berikut: 1. Urutan kejadian yang dipergunakan untuk menenunjukkan sejarah suatu konflik berdasarkan waktu kejadiannya (tahun, bulan, hari sesuai skalanya) yang ditampilkan secara berurutan. 2. Penahapan konflik yang dipergunakan untuk menganalisis berbagai dinamika yang terjadi pasa masing-masing tahap konflik. Analisis tersebut meliputi lima tahap yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Pemetaan konflik yang merupakan visualisasi terhadap hubungan-hubungan dinamis antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain ditujukan untuk mengidentikasi masalah atau isu-isu yang dihadapu oleh masing-masing pihak, alat ini juga berguna untuk menganalisis tingkat dan jenis hubungan di antara pihak-pihak tersebut.
23
2.2. Kerangka penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan dan hampir dua per tiga luas wilayahnya merupakan perairan yang memiliki potensi besar di bidang perikanan. Luas lautan Indonesia seluas 3,56 juta km2 dengan hak pengelolaan dan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2. Disamping itu, Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km merupakan suatu khasanah tersendiri yang sangat potensial untuk dikembangkan mulai dari usaha pertambakan hingga industri pariwisata. Sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia yang kaya menjadi daya tarik bagi masyarakat Indonesia untuk memanfaatkannya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat akses terbuka dimana setiap pihak dapat memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak ada sumberdaya yang sepenuhnya bersifat akses terbuka karena adanya sistem pemerintahan dan masyarakat yang memiliki aturan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat desentralistik dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki. Pengelolaan sumberdaya perikanan dilandasi oleh Undang-Undang, Keputusan Menteri, dan peraturan-peraturan pemerintah. Sumberdaya perikanan yang potensial di Indonesia menempatkan perikanan sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat di Indonesia. Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah nelayan di Indonesia. Kondisi tersebut dapat meningkatkan persaingan antar nelayan dalam memperebutkan wilayah tangkap. Persaingan yang semakin ketat dapat menghasilkan konflik. Konflik
seringkali hanya
disebabkan oleh karena kurangnya komunikasi. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antar komunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda atau yang disebut juga bridging social capital. Tingkat bridging social capital dapat di lihat dari partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, jaringan kerja di luar komunitas, tingkat kepercayaan.
24
Kerangka Pemikiran UU No 5 Tahun 1990
UU No.32 Tahun 2004
Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Pemerintah Daerah
Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa
Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Jepara
Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Karimunjawa
Tingkat Bridging Social Capital
Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Pengurus organisasi keagamaan Pengurus organisasi partai politik Pengurus organisasi nelayan Kehadiran rapat pengurus/ anggota (kelompok/perkumpulan)
Jaringan Kerja di Luar Komunitas Merasa bagian komunitas nelayan Merasa sebagai tim saat bekerja Memiliki teman atas jaringan kerja Teman di luar daerah yang berhubungan dengan pekerjaan
Hubungan antara nelayan Persepsi Konflik
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Keterangan:
Mempengaruhi
:
Aspek yang diteliti
:
Tingkat Kepercayaan Terbuka dengan nelayan dari luar komunitas Saling memberikan pinjaman Saling memberikan bantuan Merasa aman hidup dengan komunitas lain
25
2.3.
Hipotesis Penelitian Mengacu pada tujuan penelitian, kerangka pendekatan studi penelitian,
serta beberapa literatur maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara modal sosial menyambung (bridging social capital) Nelayan Jepara dan Karimunjawa dengan persepsi konflik antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa.
2.4.
Definisi konseptual
1. Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana pihak-pihak yang berwenang mengelola sumberdaya perikanan dimana didalamnya terdapat unsur-unsur berupa: a.
Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.
b.
Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan Ostorm and Schlager.
c.
Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi.
d.
Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik ( pemukulan).
e.
Pemantauan dan Evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.
26
2. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah cara yang dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan. 3. Hubungan antar nelayan adalah sebuah ikatan yang terbentuk dari komunikasi antar nelayan. Ikatan tersebut dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. Ikatan yang bersifat asosiatif terdiri dari kerjasama, asimilasi, akulturisme dan akomodasi. Sedangkan ikatan yang bersifat disosiatif terdiri dari persaingan, kontravensi dan konflik.
2.5. Definisi Operasional 1. Tingkat modal sosial menyambung adalah tingkat keterhubungan yang terbentuk dari interaksi antar kelompok yang memiliki perbedaan agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu (Woolcock 2000; Vipriyanti 2007). Tingkat modal sosial menyambung dapat di ukur dengan menggunakan indikator: a. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas b. Jaringan kerja di luar komunitas adalah ikatan ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang c. Tingkat kepercayaan 2. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas adalah keikutsertaan kelompok nelayan dalam suatu komunitas di luar kelompoknya dapat diukur dengan menggunakan indikator: a. Menjadi pengurus/anggota organisasi keagamaan (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). b. Menjadi pengurus/anggota organisasi partai politik (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4).
27
c. Menjadi pengurus/anggota organisasi nelayan (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). d. Kehadiran rapat pengurus/ anggota (kelompok/perkumpulan) (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). 3. Jaringan kerja di luar komunitas adalah ikatan ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari jumlah keanggotaan dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya, dapat diukur dengan menggunakan indikator: a. Merasa bagian komunitas nelayan (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). b. Merasa sebagai tim saat bekerja melaut (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). c. Memiliki teman atas jaringan kerja sebagai nelayan (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). d. Teman di luar daerah yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai nelayan (jika “tidak sama sekali” diberikan skor 1, “tidak” diberikan skor 2, “ya” diberikan skor 3, “pasti” diberikan skor 4). 4. Tingkat kepercayaan adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut: a. Sikap terbuka dengan nelayan dari luar komunitas (jika “sangat tidak setuju” diberikan skor 1,” tidak setuju” diberikan skor 2, “setuju” diberikan skor 3, “sangat setuju” diberikan skor 4).
28
b. Saling memberikan pinjaman (jika “sangat tidak setuju” diberikan skor 1, “tidak setuju” diberikan skor 2, “setuju” diberikan skor 3, “sangat setuju” diberikan skor 4). c. Saling memberikan bantuan (jika “sangat tidak setuju” diberikan skor 1, “tidak setuju” diberikan skor 2, “setuju” diberikan skor 3, “sangat setuju” diberikan skor 4). d. Merasa aman hidup dengan komunitas lain (jika “sangat tidak setuju” diberikan skor 1, “tidak setuju” diberikan skor 2,” setuju” diberikan skor 3, “sangat setuju” diberikan skor 4). 5. Persepsi Konflik adalah pandangan mengenai suatu kondisi dimana terdapat ketegangan dalam hubungan antar seseorang atau kelompok karena
dikuasai
amarah
yang berlebihan,
dapat
diukur
dengan
menggunakan indikator: a. Ancaman terhadap nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”). b. Penyitaan atau perusakan alat tangkap nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”). c. Pembakaran atau pengrusakan kapal nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”). d. Pemukulan atau tindakan fisik kepada nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”).
29
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuntitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui bagaimana tingkat modal sosial menyambung dan persepsi konflik antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Hasil survai yang didapat kemudian menjadi dasar untuk menganalisis bagaimana hubungan antara modal sosial menyambung terhadap hubungan antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara
dalam
memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa akibat pengelolaan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Metode kualitatif digunakan untuk mempertajam data dari metode kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Taman Nasional Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory research, yaitu untuk menguji hubungan antarvariabel yang dihipotesiskan. Sementara strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus 1998). 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu Desa Karimunjawa dan Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan kondisi Laut di Taman Nasional Karimunjawa dikelola oleh pemerintah daerah dan Taman Nasional Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa diatur oleh sistem pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa sementara Nelayan Jepara diatur oleh
30
pengelolaan dari Pemerintah daerah. Sementara, pemanfaatan perikanan di Taman Nasional Karimunjawa tidak hanya dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa tetapi juga nelayan dari Jepara. Pertemuan antara dua nelayan dapat menimbulkan konflik apabila tidak terdapat bridging social capital yang baik. Desa Karimunjawa dan Kabupaten Jepara dipilih sebagai tempat penelitian karena diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari permasalahan yang diteliti oleh penulis terhadap masyarakat Desa Karimunjawa. Pengumpulan data sekunder, dan data primer akan dilakukan selama satu bulan, dimulai pada bulan April – bulan Mei 2012 (Tabel 4). Dalam kurun waktu satu bulan tersebut peneliti mengumpulkan semua data dan informasi yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi.
Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012 Kegiatan April Mei Juni Juli No 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 I Studi Lapang Pengumpul an data Analisis data Konsultasi data II
Penulisan laporan Analisis lanjutan Penyusuna n draft revisi
III
Konsultasi laporan Ujian Skripsi Ujian Perbaikan dan pengganda an skripsi
Agustus 4 1 2 3
4
31
3.3. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Data tersebut didapatkan langsung dari responden dan informan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam, serta hasil pengamatan langsung. Data primer berupa data bagaimana tingkat bridging social capital nelayan dan pengelolaan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan Pemerintah Daerah. Pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Karimunjawa, Kantor Kabupaten Jepara, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 3.4.
Teknik Pengambilan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah Nelayan Karimunjawa dan Nelayan
Jepara. Jumlah nelayan di Desa Karimunjawa adalah sebanyak 1750 orang dan nelayan di Desa Ujungbatu sebanyak 387 orang. Unit dari penelitian ini adalah individu yaitu nelayan Desa Karimunjawa dan nelayan Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara yang memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental stratifikasi yang didasarkan pada kemudahan untuk ditemui Sampel yang terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah 2005). Nelayan memiliki waktu kerja yang tidak dapat diperkirakan oleh karena itu apabila menggunakan kerangka sampling akan sulit mendapatkan data dari sampel yang sudah ditentukan. Nelayan Karimunjawa dan Jepara memiliki status dan alat tangkap yang cukup beragam. Sampel diambil dari berbagai status nelayan untuk mewakili kondisi populasi yang diteliti. Banyaknya sampel yang diambil di masing-masing daerah adalah 30 responden berdasarkan ketentuan batas minimal responden penelitian kuantitatif dalam Singarimbun dan Effendi (1989).
32
Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai hubungan antar Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informan ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh. 3.5.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan
dapat dikuantifikasikan. Data kuantitatif ini digunakan untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis bridging social capital antar nelayan akibat pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan Pemerintah Daerah Jepara. Pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan data dari Effendi dkk. (1989). Pertama, memasukkan data ke dalam kartu atau berkas (file) data. Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabel silang. Ketiga, mengoreksi kesalahankesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel silang. Data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 16 for Windows untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis crosstab chi-square untuk data nominal dan ordinal, serta dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan antara tingkat bridging social capital terhadap hubungan antar nelayan nelayan. Sedangkan teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data primer mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data.
33
Pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam
bentuk
matriks
yang
menggambarkan
bagaimana
modal
sosial
menyambung antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Dengan demikian memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini.
34
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1.
Desa Karimunjawa
4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5040’39”-5055’00” LS dan 110005’57”-110031’15” BT. Karimunjawa ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Karimunjawa sesuai SK Menhut No.123/Kpts-II/1986. Tingginya kepentingan berbagai sektor mendorong perubahan fungsi Karimunjawa dari Cagar Alam menjadi TNKJ. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 78/Kpts-II/1999, Cagar Alam Karimunjawa dan sekitarnya yang terletak di Kabupaten Dati II Jepara Provinsi Dati I Jawa Tengah ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama TNKJ. Kawasan TNKJ terdiri dari pulau-pulau kecil dan perairan. Berikut ditampilkan gambar peta wilayah TNKJ.
Gambar 4. Peta TNKJ TNKJ memiliki luas kawasan wilayah sebesar 111.625 ha yang dibagi menjadi tiga kawasan wilayah. Kawasan wilayah TNKJ didominasi oleh perairan. Pembagian kawasan wilayah TNKJ disajikan dalam Tabel 5.
35
Tabel 5. Pembagian Kawasan Wilayah Taman Nasional dan Luas Masing-Masing Wilayah Tahun 2012. Kawasan Luas (hektar) Wilayah daratan di Pulau Karimunjawa yang berupa ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah
1.285,50
Wilayah daratan di Pulau Kemujan berupa ekosistem hutan mangrove
222,20
Wilayah perairan Dalam perkembangannya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam (KPA) berdasarkan Surat Keputusan Menhut No.74/KptsII/2001 tanggal 15 Maret 2001
110.117,30
Total Luas Kawasan
111.625,00
Sumber data: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa, 2011
Hampir sembilan puluh sembilan persen kawasan Karimunjawa adalah perairan. Perairan Karimunjawa memiliki potensi berupa keindahan alam dan sumberdaya perikanan. Luas daratan hanya sekitar satu persen dari total kawasan TNKJ. Daratan Karimunjawa sebagian besar merupakan hutan magrove dan tanah merah yang kurang subur. Pulau Karimunjawa dan Kemujan adalah pulau yang memiliki kawasan daratan paling luas dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Karimunjawa. Pulau Karimunjawa dan Kemujan menjadi pulau yang paling banyak dihuni oleh masyarakat. 4.1.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Masyarakat merupakan objek sekaligus subjek pembangunan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Secara administratif, kawasan Taman Nasional Karimunjawa berada dalam wilayah kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Terdapat empat desa yang berada di sekitar kawasan yaitu Desa Karimunjawa, Kemujan, Parang, dan Nyamuk. Berdasarkan data sensus penduduk di Kecamatan Karimunjawa tahun 2011, di Sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa terdapat 8.733 jiwa penduduk.
36
Tabel 6.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2011 Desa
Sensus 2011 L
P
L+P
Karimunjawa
2222
2200
4422
Kemunjan
1374
1356
2736
Parang
804
777
1581
Total
4400
4333
8733
Sumber: BPS Tahun, 2010 dalam Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, 2012
Masyarakat Karimunjawa menjadikan tiga pulau besar di Karimunjawa sebagai tempat tinggal. Pulau Karimunjawa dan Kemujan menjadi pulau yang paling banyak dihuni oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh karena di Pulau Karimunjawa dan Kamujan memiliki luas daratan yang paling luas dibandingkan dengan pulau Parang yang memungkinkan masyarakat untuk menghuni pulau tersebut. Desa Karimunjawa adalah pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Pulau Karimunjawa. Kondisi ini yang mendukung Desa Karimunjawa menjadi desa yang paling banyak dihuni oleh penduduk Karimunjawa. Mata pencaharian masyarakat Karimunjawa sangat beragam. Mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai Nelayan dan pembudidaya ikan. Pekerjaan yang menduduki posisi kedua sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Karimunjawa adalah sebagai petani. Profesi sebagai pegawai negeri dan buruh tani menduduki posisi ketiga dan keempat sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Karimunjawa. Sumber mata pencaharian yang paling sedikit dilakukan oleh masyarakat Karimunjawa adalah Dokter. Berikut adalah tabel yang menyajikan mata pencaharian masyarakat Karimunjawa.
37
Tabel 7.
Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun 2008. Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase 564 19.32% Petani Buruh tani
97
3.32%
Buruh/Swasta
83
2.84%
Pegawai negeri
332
11.37%
Pengrajin
30
1.03%
Pedagang
30
1.03%
Peternak
27
0.92%
Nelayan
1.750
59.93%
Montir
5
0.17%
Dokter
2
0.07%
Total
2920
100.00%
Sumber: Data potensi desa diolah, 2008
Wilayah Karimunjawa yang terdiri dari perairan dan daratan dimanfaatkan oleh
masyarakat
sebagai
sumber
mata
pencaharian.
Wilayah
perairan
dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Wilayah Daratan Karimunjawa dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Jumlah pegawai negeri yang tinggi di Karimunjawa disebabkan karena Karimunjawa merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Di Desa Karimunjawa terdapat kantor kecamatan sekaligus kantor desa. Penduduk Karimunjawa sangat beragam, terdiri dari berbagai etnis (suku). Karimunjawa tidak memiliki suku asli. Suku-suku di Karimunjawa berasal dari berbagai suku yang datang ke Pulau Karimunjawa untuk menangkap ikan yang kemudian menetap di Karimunjawa. Keberagaman suku ini tercermin dari masih banyaknya rumah-rumah penduduk yang masih tradisional sesuai dengan tempat asal. Di dalamnya terdapat penduduk dari suku Jawa, Bugis, Makassar, dan Madura. Masyarakat Jawa banyak tinggal di Dukuh Karimunjawajawa, Dukuh Legon Lele, Dukuh Nyamplungan dan Dukuh Marican.
38
4.1.3. Pendidikan Tingkat pendidikan di Karimunjawa dapat dikatakan masih rendah. Penduduk Karimunjawa sebagian besar merupakan lulusan SD/ sederajat. Berdasarkan Tabel 8 ditunjukkan tingkat pendidikan masyarakat Karimunjawa. Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun 2008. Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase 40 1.58% Belum sekolah 826 32.67% Pernah sekolah di SD tetapi tidak tamat 1.213 47.98% Tamat SD/ sederajat 206 8.15% SLTP/ sederajat 206 8.15% SLTA/sederajat 1 0.04% D-1 11 0.44% D-2 25 0.99% D-3 2528 100.00% Total
Sumber : Data potensi desa diolah, 2008
Hampir setengah dari masyarakat Desa Karimunjawa merupakan lulusan SD. Hanya sedikit yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel belum ada masyarakat Desa Karimunjawa yang menjadi sarjana. Tingkat pendidikan di Karimunjawa yang rendah disebabkan oleh karena masih minimnya fasilitas pendidikan di Karimunjawa. Di Desa Karimunjawa belum terdapat perguruan tinggi. Lulusan SMA di Karimunjawa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi harus pergi ke Jepara atau Semarang. Mahalnya biaya pendidikan menjadi kendala untuk masyarakat dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai nelayan sehingga tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya. Setiap anak-anak di Karimunjawa sudah terbiasa ikut menangkap ikan dengan orang tuanya sehingga tidak dibutuhkan sekolah lebih tinggi untuk menjadi nelayan.
39
4.2.
Desa Ujungbatu
4.2.1. Kondisi Geografis Desa Ujungbatu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Jepara. Desa Ujungbatu memiliki tipografi berupa persisir atau tepi laut dengan ketinggian wilayah kurang dari lima ratus meter. Desa Ujungbatu memililiki luas sebesar 71.523 Ha dengan batas wilayah sebelah utara yaitu Desa Mulyoharjo, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Jobokuto, sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pengkol.
Gambar 5. Peta Kabupaten Jepara 4.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk di Desa Ujungbatu berdasarkan data Jepara dalam angka adalah 4386 orang. Jumlah antara perempuan dan laki-laki tidak begitu timpang. Pada usia dewasa jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki dan sebaliknya pada usia anak-anak jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan.
40
Tabel 9. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2010 Dewasa
Desa
Ujungbatu
Anak-anak
L
P
L+P
L
P
L+P
1.517
1.545
3.062
700
624
1324
Sumber: Data Kecamatan Jepara dalam Angka diolah, 2011
Desa Ujungbatu dikenal sebagai kampung nelayan. Hal ini disebabkan karena mata pencaharian pokok masyarakat Desa Ujungbatu adalah nelayan. Tabel 10 menyajikan data mata pencaharian pokok masyarakat di Desa Ujungbatu.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2011. Pekerjaan Karyawan Wiraswasta Nelayan Tani Pertukangan Buruh tani Pensiunan Pemulung Jasa
Jumlah (orang) 197 145 387 69 29 6 17
Persentase 23.18% 17.06% 45.53% 8.12% 3.41% 0.71% 2.00%
Total
850
100.00%
Sumber : Data Kelurahan Ujungbatu diolah, 2011
Hampir setengah penduduk
Desa Ujungbatu yang bekerja sebagai
nelayan. Kondisi geografis Desa Ujungbatu yang berbatasan dengan Laut Jawa menjadi salah satu faktor pendukung banyaknya masyarakat Desa Ujungbatu berprofesi sebagai nelayan. Mata pencaharian di Desa Ujungbatu tidak begitu beragam. Selain menjadi nelayan, masyarakat di Desa Ujungbatu bekerja sebagai karyawan, wiraswasta, bertukang, dan pemulung. Wilayah daratan di Desa
41
Ujungbatu tidak memiliki potensi untuk pertanian karena tanahnya berupa debu dan pasir. Selain itu, tidak ada lahan yang dapat digunakan untuk pertanian karena telah digunakan untuk pemukiman. 4.2.3. Pendidikan Pendidikan masyarakat di Desa Ujungbatu lebih maju dibandingkan dengan masyarakat di Desa Karimunjawa. Di Desa Ujungbatu sudah terdapat masyarakat yang memiiki gelar Sarjana. Hal ini dapat dilihat di Tabel 11 Penduduk Desa Ujungbatu rata-rata sudah memperoleh pendidikan di sekolah dasar. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Masyarakat Ujungbatu berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2010. Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase 306 12.10% Belum sekolah 695 27.49% Pernah sekolah di SD tetapi tidak tamat 1.336 52.85% Tamat SD/ sederajat 816 32.28% SLTP/ sederajat 704 27.85% SLTA/sederajat 62 2.45% Perguruan tinggi 34 1.34% Akademi Total
2528
100.00%
Sumber : Kecamatan Jepara dalam angka diolah, 2011
Masyarakat Desa Ujungbatu juga sudah sadar akan pentingnya pendidikan terbukti dengan cukup banyaknya penduduk yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ujungbatu menuntut tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Pekerjaan seperti karyawan memerlukan tingkat pendidikan minimal SMP atau SMA. Fasilitas pendidikan berupa perguruan tinggi swasta atau akademi swasta yang tersedia di Jepara. Jarak antara Jepara dengan Semarang yang dekat sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
42
BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KARIMUNJAWA DAN JEPARA
5.1. Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa Sumber daya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat diakses secara terbuka. Potensi sumberdaya perikanan yang tinggi terutama di Karimunjawa mendorong banyak pihak ingin memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan sumberdaya perikanan di
Karimunjawa
yaitu, Nelayan Karimunjawa, Nelayan luar
Karimunjawa, Pemerintah Kabupaten Jepara, Pemerintah Desa Karimunjawa, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. Dibutuhkan suatu sistem yang mengelola sumberdaya perikanan agar pemanfaatannya dapat dirasakan secara merata. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa pihak yaitu Balai Taman Nasional Karimunjawa, Pemerintah Desa yang bekerjasama dengan Nelayan Karimunjawa, Pemerintah Provinsi, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. 5.1.1. Pengelolaan Perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa Pengelolaan perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dilakukan dengan membuat sistem zonasi. Sistem zonasi mengatur batas-batas wilayah
dalam
memanfaatkan
sumberdaya
perikanan.
Taman
Nasional
Karimunjawa dikelola berdasarkan sistem zonasi yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.79/IV/Set-3/2005 mengenai zonasi atau mintakat di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Di dalam kawasan ini terdapat 7 zona yaitu zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, pemukiman, rehabilitasi, budidaya dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional maka dilakukan revisi terhadap zonasi yang telah ditetapkan dengan mengeluarkan Surat
Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
No.SK.28/IV-
SET/2012. Pembagian zonasi berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Tahun 2012 menetapkan terdiri dari delapan zona yaitu zona inti,
43
perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari, budidaya bahari, religi dan sejarah, rehabilitasi dan perikanan Tradisional. Setiap zonasi memiliki deskripsi, tujuan dan aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. 1.
Zona Inti Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia dan mutlak
dilindungi
yang
berfungsi
untuk
perlindungan
keterwakilan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Fungsi dan peruntukan zona inti adalah sebagai pengawetan perwakilan tipe ekosistem perairan laut yang khas/ alami/unik dan biota laut lainnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan dan merupakan bank plasma nutfah dari biota laut, untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona inti meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan ekosistemnya. c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan atau penunjang budidaya. d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan. Kegiatan-kegiatan
yang
dilarang
adalah
kegiatan
yang
dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti seperti: a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. c. Sengaja atau tidak sengaja menggali, mengganggu atau memindahkan setiap bagian atau komponen ekosistem perairan laut. d. Melakukan kegiatan wisata bahari. e. Melakukan penambangan pasir.
44
2.
Zona perlindungan Zona perlindungan adalah bagian taman nasional yang karena letak,
kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Sedangkan peruntukannya adalah sebagai wilayah untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya seta mendukung zona inti. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona perlindungan meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya. c. Pengembangan
penelitian,
pendidikan,
wisata
alam
terbatas,
pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya. d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar. e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan wisata alam terbatas. Aktivitas atau kegiatan yang dilarang seperti : a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona perlindungan serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut lainya baik hidup, mati atau bagian-bagiannya. c. Melakukan penambangan pasir. 3.
Zona pemanfaatan perikanan tradisional Zona pemanfaatan perikanan tradisional adalah kawasan perairan yang
diperuntukkan sebagai daerah pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejahteraan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. aktivitas yang tidak diperbolehkan adalah semua kegiatan di zona inti dan Introduksi jenis biota serta penangkapan ikan yang menggunakan alat tidak ramah lingkungan (mourami, jaring pocong, jaring cantrang, sianida).
45
4. Zona pemanfatan pariwisata Zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas wisata alam alam bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan pendidikan dan atau kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona pemanfaatan pariwisata meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya c. Penelitian dan pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam. e. Pembinaan habitat dan populasi. f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 5. Zona budidaya Zona yang diperuntukkan mendukung kepentingan budidaya perikanan seperti budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya oleh masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Kegiatan yang diperbolehkan adalah budidaya rumput laut, karamba jaring apung dan sebagainya. 6. Zona rehabilitasi Zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan ≥75%. Kegiatan yang diperbolehkan a. Kegiatan rehabilitasi guna pemulihan ekosistem di zona ini. b. Kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya. c. Pembinaan habitat dan populasi. 7. Zona Pemanfaatan darat Zona ini adalah untuk pengembangan aktivitas wisata alam alam bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan pendidikan dan atau kegiatan
46
penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona pemanfaatan pariwisata meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan. b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. c. Penelitian dan pengembangan pendidikan dan penunjang budidaya. d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam. e. Pembinaan habitat dan populasi. f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 8. Zona Religi, Budaya dan Sejarah Zona yang diperuntukkan untuk melindungi nilai-nilai hasil karya budaya, sejarah, arkeologi, maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. Kegiatan yang diperbolehkan adalah a. Kegiatan perlindungan dan pengamanan. b. Pemanfaatan wisata alam, penelitian, pendidikan dan religi. c. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah serta keberlangsungan upacaraupacara ritual keagamaan/adat yang ada. Pelanggaran terhadap sistem zonasi dan penggunaan alat tangkap perikanan di Karimunjawa akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990. Berdasarkan UU NO.5 Tahun 1990 Pasal 40, setiap orang yang melakukan tindakan kejahatan berupa kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan di kawasan zona inti, akan dikenakan sanksi berupa penjara paling lama sepuluh tahun dan denda berupa uang paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Setiap orang yang melakukan tindakan pelanggaran berupa mengambil, merusak, memusnahkan, menjual tumbuhan atau organisme yang dilindungi oleh Taman Nasional, akan dikenakan sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).
47
Tabel 12. Pembagian Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam Nomor :SK.28/IV-SET/2012 Tahun 2012. No. Pembagian Zona 1.
Zona Inti seluas 444,629 hektar, meliputi sebagian perairan Pulau Kumbang, Taka Menyawakan, Taka Malang, dan Perairan Tanjung Bomang.
2.
Zona Rimba seluas 1.451,767 hektar, meliputi Hutan Hujan Tropis, Dataran Rendah di Pulau Karimunjawa, dan Hutan Mangrove di Pulau Kemujan (Tanpa areal Legon Lele, areal Tracking Mangrove, dan areal makam Sunan Nyemplungan).
3.
Zona Perlindungan Bahari seluas 2.599, 770 hektar, meliputi perairan Pulau Sinto, Gosong Tengah, Pulau Bengkoang bagian utara, Pulau Cemara Besar bagian selatan, Pulau Menjangan Kecil, timur Pulau Nyamuk, Perairan Karang Kapal, Karang Besi bangian selatan, Krakal Besar bagian utara, Gosong Kumbang, Pulau Kembar dan Gosong Selikur.
4.
Zona Pemanfaatan Darat seluas 55,933 hektar, meliputi Pulau Menjangan Kecil, Pulau Cemara Besar, areal Legon Lele, areal Tracking Mangrove, areal Nyamplung Ragas.
5.
Zona Pemanfaatan Wisata Bahari seluas 2.733,735 hektar, meliputi perairan Pulau Menjangan Besar, perairan Pulau Menjangan Kecil, Perairan Pulau Menyawakan, Perairan Pulau Kembar, Perairan Pulau Tengah, Perairan Sebelah Timur Pulau Kumbang, Perairan Pulau Kumbang bagian selatan, Indonor, dan Perairan Pulau Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung Gelam, Perairan Pulau Cemara Kecil bagian utara, Peraian Pulau Katang, Perairan Kerakal Besar bagian selatan, Perairan Kerakal Kecil, Perairan Pulau Cilik.
6.
Zona Budidaya Bahari seluas 1.370,729 hektar, meliputi Perairan Pulau Karimunjawa, Perairan Pulau Kemujan, Perairan Pulau Menjangan Besar, Perairan Pulau Parang dan Perairan Pulau Nyamuk, perairan Karang Besi bagian utara.
7.
Zona Religi Budaya dan Sejarah seluas 0,859 hektar, meliputi areal Makam Sunan Nyemplungan di Pulau Karimunjawa.
8.
Zona Rehabilitasi seluas 68,329 hektar, meliputi Perairan sebelah timur Pulau Parang, Perairan sebelah timur Pulau Nyamuk, perairan sebelah barat Pulau Kemujan dan perairan sebelah barat Pulau Karimunjawa.
9.
Zona Tradisional Perikanan seluas 102.899,249 hektar, meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan TN Karimunjawa.
Sumber: Data Primer, 2012
48
Perubahan sistem zonasi yang dilakukan Balai Taman Nasional mengakibatkan terciptanya batas-batas sistem zonasi yang baru (Gambar 6). Revisi sistem zonasi yang dilakukan oleh TNKJ untuk menyesuaikan kepentingan dari pusat dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Karimunjawa. Revisi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dilakukan dengan melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat mengenai sistem zonasi yang seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Hasil kesepakatan yang terbentuk dari masyarakat dengan Balai Taman Nasional yang kemudian dijadikan sebagai sistem Zonasi terbaru.
Gambar 6. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2012 5.1.2. Pengelolaan Perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah dalam Per.02/MEN/2011 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan berisi tentang pengaturan jalur-jalur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang merupakan undang-undang tentang Perikanan. Per.02/MEN/2011 menetapkan jalur-jalur penangkapan ikan menjadi 3 jalur, yaitu:
49
1. Jalur penangkapan ikan I yang terdiri dari Jalur penangkapan ikan IA meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut. 2. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. 3. Jalur Penangkapan Ikan III meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II ( diatas 12 mil). Jalur penangkapan ikan di wilayah penangkapan perikanan di Indonesia ditetapkan berdasarkan
karakteristik kedalaman perairan.
Karakteristik
kedalaman perairan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Perairan dangkal (≤ 200 meter) yang terdiri dari: a.
WPP-NRI 571, yang meliputi Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman;
b.
WPP-NRI 711, yang meliputi Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan;
c.
WPP-NRI 712, yang meliputi Perairan Laut Jawa;
d.
WPP-NRI 713, yang meliputi Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan
e.
WPP-NRI 718, yang meliputi Perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur.
2. Perairan dalam (> 200 meter) yang terdiri dari: a. WPP-NRI 572, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; b. WPP-NRI 573, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa sampai dengan sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor Bagian Barat;
50
c. WPP-NRI 714, yang meliputi Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; d. WPP-NRI 715, yang meliputi Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; e. WPP-NRI 716, yang meliputi Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera; dan f. WPP-NRI 717, yang meliputi Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Permen yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pasal 22 sampai 31 mengatur alat- alat tangkap yang dapat digunakan di Karimunjawa, yaitu: 1.
Jaring insang tetap (Set gillnets (anchored))
dioperasikan dengan
menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P ≤ 500 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
b.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P ≤ 1.000 m, menggunakan kapal motor berukuran >10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III.
2.
Jaring liong bun dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 8 inch, P tali ris ≤ 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.
3.
Jaring insang hanyut (Driftnets)
dioperasikan dengan menggunakan
ukuran: a.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 500 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
b.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 1.000 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
c.
Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.
51
4.
Jaring insang lingkar (encircling gillnets)
dioperasikan dengan
menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 600 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB dan II. 5.
Jaring insang berpancang (fixed gillnets (on stakes)) bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 300 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA.
6.
Jaring klitik bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1,5 inch, P tali ris ≤ 500 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB.
7.
Bubu (pots) dioperasikan dengan jumlah bubu ≤ 300 buah, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor semua ukuran, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA, IB, dan II.
8.
Bubu
bersayap
(fyke
nets)
bersifat
statis
dioperasikan
dengan
menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1 inch; P tali ris ≤ 50 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA. 9.
Pancing ulur dioperasikan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan, dan disemua jalur penangkapan ikan.
10. Pancing berjoran dioperasikan untuk semua ukuran kapal penangkap ikan, dan disemua jalur penangkapan ikan. a.
Jumlah pancing ≤ 800 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III.
b.
Jumlah pancing ≤ 1.500 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III.
c.
jumlah pancing ≤ 2.000 mata pancing nomor 6, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III.
52
11. Pancing layang-layang dioperasikan dengan menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB 12. Panah dioperasikan dengan menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB Permen Departemen Perikanan dan Kelautan tidak hanya menetapkan alatalat tangkap yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa, tetapi juga mengatur alat-alat tangkap yang dilarang beroperasi, yaitu: 1. Pukat hela dasar dua kapal (pair trawls) 2. Nephrops trawl (nephrops trawls) 3. Pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls). 4. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls). 5. Pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls). 6. Pukat dorong. 7. Perangkap ikan peloncat (aerial traps). 8. Muro ami. 9. Scottish seines. 10. Pair seines. Pelanggaran
terhadap
penggunaan
alat
tangkap
dan
alat
bantu
penangkapan yang idak sesuai dengan tingkat selektifitas dan kapasitas alat penangkapan, jenis dan ukuran alat bantu tangkap, ukuran kapal perikanan, dan jalur penangkapan ikan akan dikenakan sanksi pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 100 dan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan akan dikenakan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 5.1.3. Pengelolaan Perikanan oleh Pemerintahan Desa Pengelolaan perikanan yang diberlakukan oleh permerintah desa yaitu peraturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan Nelayan Karimunjawa dengan
53
pemerintah desa yaitu pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan serta kearifan lokal. Isinya yang mengatur antara lain: 1.
Setiap nelayan kompresor tidak boleh mengganggu nelayan pancing
2.
Setiap nelayan kompresor setuju tidak mengambil ikan Sunuk Hitam selama-lamanya
3.
Setiap nelayan kompresor setuju tidak mengambil ikan Kerapu Batu serta ikan Kerapu Kertang pada bulan Nopember sampai pada bulan maret di setiap tanggal 18-29 Hijriah.
4.
Setiap nelayan kompresor bila melanggar dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
5.
Setiap pedagang ikan tidak boleh membeli ikan Susuk Hitam selamalamanya dari tangkapan nelayan kompresor serta Kerapu Kertang dan Kerapu Batu, dari nelayan kompresor pada bulan nopember sampai dengan bulan Maret disetiap tanggal 18-29 Hijriah, dan apabila melanggar dapat dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp. 2.000.000,00 sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (Lima juta rupiah) dan membuat pernyataan untuk tidak mengulanginya lagi.
6.
Potasium dilarang keras di wilayah Desa Karimunjawa, dan apabila diketahui Nelayan Karimunjawa menggunakan obat/potasium tersebut, dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang yang berlaku.
7.
Semua nelayan tidak boleh melakukan pengambilan ikan di Zona Inti
8.
Hasil denda dapat digunakan untuk kegiatan umum dengan hasil musyawarah Sistem pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa
memiliki perbedaan. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), Kabupaten Jepara, pemerintah Desa Karimunjawa dan Dinas Kelautan dan Perikanan disajikan dalam Tabel 13.
54
Tabel 13. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh berbagai aktor di Karimunjawa Kategori BTNKJ Desa Dinas Kelautan dan peraturan Karimunjawa Perikanan pengelolaan tangkap Kompresor dan Semua alat tangkap Alat Tangkap Alat yang ramah dengan yang dapat tradisional yang pancing. ramah Kompresor tidak lingkungan dan digunakan lingkungan. Alat boleh mengganggu disesuaikan dengan tangkap yang pancing. Potasium jalur-jalur tidak ramah dilarang. penangkapannya. seperti mourami, Pancing dan panah jaring pocong, cantrang dan sianida dilarang Zona Tradisional Di seluruh Jalur-jalur Wilayah perikanan, kawasan kecuali penangkapan. Tangkap kecuali zona inti, zona inti. perlindungan bahari dan rehabilitasi. Penjara atau Denda sebesar dua Denda paling banyak Sanksi pidana kurungan juta rupiah sampai dua ratus lima puluh dan denda dengan lima juta juta rupiah. berupa uang rupiah dan paling banyak membuat surat seratus juta pernyataan. rupah.
Pengelolaan sumberdaya perikanan di TNKJ yang dilakukan oleh berbagai aktor belum berjalan secara efisien. Peraturan yang ditetapkan oleh berbagai aktor belum dapat diaplikasikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Hal ini terbukti dengan masih adanya pelanggaranpelanggaran dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan seperti pelanggaran terhadap batas wilayah pemanfaatan dan penggunaan alat tangkap. Pelaksanaan peraturan yang tidak berjalan secara efien ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu. Pertama, kurangnya sosialisasi peraturan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang menetapkan peraturan sehingga pengetahuan masyarakat terhadap peraturan mini. Kedua, keinginan masyarakat untuk melakukan peraturan yang sudah ditetapkan juga rendah. Ketika diperhadapkan antara memenuhi kebutuhan hidup dan mematuhi peraturan, maka masyarakat
55
akan lebih memilih memenuhi kebutuhan hidup sekali pun harus melanggar peraturan. Ketiga, penegakan hukum yang lemah. Sosialisasi yang rendah dan keinginan masyarakat yang rendah untuk mematuhi peraturan dapat diatasi apabila terdapat sistem pengawasan terhadap peraturan yang kuat. Sistem penegakan hukum yang tegas dan kuat akan memaksa masyarakat untuk mau patuh dan menjalankan peraturan sebagaimana seharusnya.
5.2.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Jepara
Pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepara lebih sederhana dibandingkan dengan TNKJ. Sumberdaya di Jepara hanya diatur oleh Nelayan Jepara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara. 5.2.1. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Jepara Nelayan Jepara memiliki peraturan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh Nelayan Jepara yaitu dengan menetapkan peraturan tidak tertulis antara Nelayan Jepara dengan nelayan lain. Peraturan tidak tertulis tersebut merupakan bentuk kesepakatan antara Nelayan Jepara dengan nelayan yang memiliki alat tangkap yang berbeda. Apabila terjadi sebuah insiden antara Nelayan Jepara dengan nelayan lain yang berbeda alat tangkap maka akan dilakukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan. Tidak ada peraturan terlulis yang menjadi pedoman bagi Nelayan Jepara untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di Jepara. 5.2.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Jepara Pengelolaan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dilakukan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan dari pusat yaitu Peraturan Menteri dan Undang-Undang. Peraturan menteri yang berlaku dalam mengelola sumberdaya perikanan baik di Jepara maupun di Karimunjawa sama yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011. Peraturan tersebut mengatur tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Selain peraturan menteri, landasan hukum
56
yang mengatur pengelolaan perikanan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009. Berdasarkan Permen yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan pasal 22 sampai 31 diatur alat- alat tangkap yang dapat digunakan di Jepara, yaitu: 1.
Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal , dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤ 300 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya ≤ 4.000 watt, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II dan III
b.
Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤ 400 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya ≤ 8.000 watt, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III
c.
Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤ 600 m, menggunakan rumpon dan lampu dengan total daya ≤ 16.000 watt, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III
2.
Pukat cincin grup pelagis kecil, dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 600 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan II dan III
b.
Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 800 m, menggunakan kapal motor berukuran ≥30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III
3.
Jaring lingkar tanpa tali kerut (without purse lines/Lampara) dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 150 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III
57
4.
Pukat tarik pantai (beach seines)
dioperasikan dengan menggunakan
ukuran Mesh size ≥ 1 inch dan tali ris atas ≤ 300 m, menggunakan kapal tanpa motor dan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalurpenangkapan ikan IA 5.
Pukat hela dasar berpalang (beam trawls)
dioperasikan dengan
menggunakan ukuran Mesh size ≥1 inch dan tali ris atas ≤10 m, menggunakan kapal motor berukuran ≤ 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II dan III. 6.
Pukat labuh (long bag set net) bersifat statis dan pasif dioperasikan dengan menggunakan ukuran: a.
Mesh size ≥ 1 mm; tali ris atas ≤ 30 m, menggunakan kapal motor berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB.
b.
Mesh size ≥ 1 mm; tali ris atas ≤ 60 m, menggunakan kapal motor berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB.
c.
Mesh size ≥ 1 mm; tali ris atas ≤ 90 m, menggunakan kapal motor berukuran ≥ 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB.
7.
Bagan tancap (shore-operated stationary lift nets) bersifat statis dioperasikan dengan menggunakan ukuran Mesh size ≥ 1 mm; P ≤ 5 m; dan L ≤ 5 m, menggunakan lampu dengan total daya ≤ 2.000 watt, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IA dan IB. Pelanggaran terhadap penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan
di Jepara akan dikenakan sanksi pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 100 dan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan akan dikenakan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pengelolaan perikanan di Jepara sama seperti yang terjadi di karimunjawa dari segi sosialisasi, kesadaran dan penegakan hukumnya masih lemah. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya Nelayan Jepara yang melakukan penangkapan ikan di TNKJ dengan menggunakan alat tangkap yang tidak tradisional. Selain itu,
58
masih dilakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap jalur-jalur tangkap yang sudah ditetapkan. Nelayan Jepara lebih memilih memenuhi kebutuhan hidupnya daripada mematuhi peraturan. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat untuk patuh terhadap peraturan juga masih rendah.
5.3. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa melibatkan banyak pihak termaksud masyarakat. Peraturan yang ditetapkan oleh Balai Taman Nasional dilakukan dengan kesepakatan bersama masyarakat. Nelayan Karimunjawa cukup memiliki peranan dalam menetapkan peraturan tenntang pemanfaatan perikanan di Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa berhak memasuki sumberdaya perikanan dan memanfaatkan sumberdaya atau melakukan tindakan produksi. Nelayan Karimunjawa juga berhak untuk menentukan aturan operasional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan melalui penetapan peraturan berdasarkan kearifan lokal masyarakat Karimunjawa. Selain itu, Nelayan Karimunjawa juga diikutsertakan dalam menetapkan zonasi di Karimunjawa. Sumberdaya perikanan di Jepara diatur oleh Departemen Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara. Peraturan mengenai wilayah penangkapan, tehnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan semuanya diatur dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011. Peraturan dilakukan secara terpusat, sementara Nelayan Jepara hanya berhak untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Berdasarkan status kepemilikan sumberdaya menurut Ostorm and Scehlager (1990) dalam Satria (2002), Nelayan Karimunjawa memiliki hak pemanfaatan.
59
BAB VI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN OLEH NELAYAN KARIMUNJAWADAN NELAYAN JEPARA 6.1.
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa
6.1.1. Penggolongan Nelayan Karimunjawa Nelayan oleh Ditjen Perikanan (2002) dalam Satria (2002) digolongkan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan. Berdasarkan penggolongan nelayan tersebut, maka Nelayan Karimunjawa tergolong nelayan ikan penuh dan nelayan ikan sambilan. Pada dasarnya di Karimunjawa nelayan terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan letak geografisnya yaitu nelayan Kampung Lego, Nelayan Daerah Tengah dan Nelayan Daerah Timur. Daerah tengah dan daerah timur banyak dibangun penginapan dan homestay berbeda dengan daerah Kampung Lego. Nelayan daerah tengah dan timur pada umumnya merupakan nelayan ikan sambilan. Selain melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Nelayan daerah tengah dan timur juga ikut bekerja di bidang pariwisata sebagai pemandu wisata atau menyewakan kapal. Nelayan di Kampung Lego pada umumnya adalah nelayan ikan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Hal ini disebabkan karena masih kurang meratanya pembagian peranan dalam sektor pariwisata di Desa Karimunjawa.. Satria (2002) menggolongkan nelayan berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Berdarkan
penggolongan
yang dilakukan
oleh
Satria
(2002),
Nelayan
Karimunjawa tergolong Nelayan Tradisional dan Nelayan Post-Tradisional. Berdasarkan
tujuannya
untuk
melakukan
penangkapan
ikan,
Nelayan
Karimunjawa melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan rumah tangga saja. Nelayan Karimunjawa pada umunya melakukan kegiatan penangkapan ikan di pagi atau di malam hari. Apabila selesai menangkap ikan dari laut, hasil tangkapannya langsung dikumpulkan dan dipilihpilih. Hasil tangkapan berupa ikan yang besar dan layak untuk
dijual akan
diserahkan kepada juragan. Hasil tangkapan ikan yang kecil-kecil biasanya
60
dikonsumsi sebagai lauk sendiri atau di jual ke pasar lokal seperti yang diungkapkan oleh EK (30 tahun). “kalau ikan yang kecil-kecil biasanya dimakan sendiri mbak, nah kalau yang besar-besar seperti ini baru di jual ke juragan” Nelayan di Desa Karimunjawa mayoritas menganut agama Islam. Mereka memegang kuat nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu, pada hari jumat mereka tidak melaut dan menggunkan waktu tersebut untuk beribadah ke mesjid. Selain hari jumat, mereka juga tidak melakukan penangkapan ikan pada saat terang bulan dan gelombang besar (baratan). Hanya nelayan-nelayan tertentu saja yang berani untuk tetap menangkap ikan pada saat musim baratan. Nelayan Karimunjawa memiliki sistem penanggalannya sendiri yaitu sistem penanggalan jawa sebagai acuan untuk melakukan kegiatan menangkap ikan.
Kompresor 20%
Pancing 80%
Gambar 7. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan di Karimunjawa. Nelayan di Karimunjawa terbagi menjadi dua jenis yaitu nelayan yang melakukan kegiatan budidaya dan nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara langsung. Mayoritas Nelayan Karimunjawa merupakan nelayan yang melakukan penangkapan ikan secara langsung dengan menggunakan alat tangkap. Berdasarkan data yang disajikan dalam Gambar 7, mayoritas Nelayan Karimunjawa menggunakan alat tangkap pancing. Selain menggunakan pancing, Nelayan Karimunjawa juga menggunakan alat tangkap lain yang tradisional berupa tembak (panah), bubu, bagan dan jaring. Beberapa nelayan yang
61
beroperasi dengan menggunakan alat tangkap berupa pancing memiliki alat tangkap tambahan. Alat tangkap tambahan yang digunakan oleh nelayan pancing berupa jaring. Penangkapan ikan dapat dilakukan dengan orang lain atau sendirian. Ketika penangkapan ikan dilakukan dengan orang lain maka akan ada yang bertindak sebagai pemilik kapal dan anak buah kapal (ABK). Pemilik kapal menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan kapal, alat tangkap dan bahan bakar untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Berdasarkan gambar, kebanyakan Nelayan Karimunjawa berstatus sebagai pemilik kapal (Gambar 8).
Gambar 8. Persentase responden berdasarkan status Nelayan Karimunjawa. Pentingnya kapal sebagai sarana utama dalam melakukan penangkapan ikan sehingga mayoritas nelayan memiliki kapal sendiri. Jenis kapal yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa masih sederhana berupa sampan tidak bermotor dan kapal motor. Jenis mesin kapal masih sangat sederhana terdiri dari hanya terdiri dari satu atau dua buah mesin yang terdiri dari 16-24 pk dan kapasitas kapal berada di bawah 5 GT (Gross Ton). Pengenalan nelayan akan alamnya dan alat tangkap yang didominasi oleh pancing menyebabkan kebanyakan Nelayan Karimunjawa melakukan operasi penangkapan ikan sendirian (Gambar 9). Dimana, dalam pengoperasiannya tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Nelayan pancing yang sudah berusia lima puluh tahun ke atas biasanya ditemani oleh saudara atau keluarganya. Nelayan
62
yang sudah berusia lima puluh tahun ke atas sudah mengalami penurunan daya tahan tubuh. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap panah tidak dapat dilakukan seorang diri. Panah menggunakan alat bantu kompressor yang membutuhkan tenaga kerja lebih dalam pengoperasiannya. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap panah biasanya dilakukan dengan saudara dan teman (tetangga). ABK di Karimunjawa homogen karena memiliki tanggung jawab yang sama dan berasal dari daerah yang sama yaitu Karimunjawa.
Gambar 9. Jumlah dan persentase responden berdasarkan anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan di Karimunjawa. 6.1.2. Alat Tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa Nelayan Karimunjawa menggunakan beberapa alat penangkapan ikan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar TNKJ. Alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa antara lain, yaitu pancing, bubu, jaring, dan branjang. Selain melakukan kegiatan pengkapan ikan, Nelayan Karimunjawa juga melakukan pembudidayaan ikan. 1. Pancing Pancing terdiri dari dua komponen utama, yaitu line (tali) dan hook (mata pancing). Tali pancing bisa terbuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylin, plastik (senar), dan lain-lain. Mata pancing terbuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lainnya yang tahan karat. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing bisa tunggalmaupun ganda (dua-tiga buah) bahkan
63
banyak sekali (ratusan sampai ribuan) tergantung dari jenis pancingnya. Ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap/pancing. Jenis pancing yang digunakan oleh nelayan Kepulauan Karimunjawa adalah pancing tonda yang termasuk ke dalam jenis troll line (pancing tarik). Pancing ini terdiri dari pancing dan mata pancing, nelayan pada umumnya menggunakan imitation balt (umpan tiruan) berupa kain sutera dan bulu ayam dan true balt (umpan benar) yaitu cumi-cumi. Dalam pengoperasian pancing tonda ini dilakukan dengan menarik (baca: menonda) pancing tersebut dengan kapal motor secara horisontal menelusuri lapisan permukaan air, lapisan dalam maupun menelusuri dasar perairan. Musim tangkap para nelayan tonda dimulai pada bulan Juni hingga September setiap tahunnya, dengan hasil tangkapan utamanya adalah ikan tongkol dan tenggiri. Jumlah tenaga kerja dalam satu kapal antara satu hingga dua orang. Pada umumnya, nelayan tonda menangkap ikan setiap hari (malam-pagi) pada saat musim tangkap atau sekitar 26 hari dalam satu bulan musim tangkap. 2. Bubu Bubu merupakan alat tangkap berupa jebakan dan bersifat pasif. Bahan bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu, rotan, dan kawat. Bentuk bubu bermacam-macam, seperti sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan lain-lain. Secara garis besar, bubu terdiri dari tiga bagian yaitu badan, mulut, dan pintu. Badan berupa rongga, tempat ikan terkurung. Mulut bubu berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan tempat pengambilan hasil tangkapan. Dilihat dari cara operasional penangkapannya, bubu dibagi kedalam tiga golongan, yaitu bubu dasar, bubu apung dan bubu hanyut. Jenis bubu yang digunakan di TNKJ adalah bubu dasar yang dipasang di sekitar perairan karang atau di antara karang-karang. Bubu yang nelayan gunakan terbuat dari anyaman bambu dan kawat. Umur teknis dari bubu anyaman bambu adalah sekitar tiga sampai empat bulan, sedangkan umur teknis bubu kawat bisa mencapai satu tahun. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari
64
setelah bubu dipasang. Musim tangkap bubu adalah sepanjang tahun, dengan hasil tangkapan utama berupa ikan Baronang, Kakatua dan Ekor Kuning. 3. Jaring Jenis jaring yang digunakan nelayan tradisional di kepulauan Karimunjawa adalah jaring insang. Jaring insang adalah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan penampung, pemberat ris atas dan ris bawah (terkadang tanpa ris bawah untuk sebagian jaring udang barong). Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran tangkap (udang, ikan). Ikan yang tertangkap akan terjerat dibagian belakang lubang penutup insang (operculum), terbelit dan terpuntai pada mata jaring yang terdiri dari satu lapis, dua lapis maupun tiga lapis (jaring kantong, trammel net). Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting. Dalam operasi penangkapan biasanya terdiri dari beberapa tinting yang digaung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang (300-500 m). Dilihat dari cara pengoperasiannya, alat tangkap ini dibedakan menjadi tiga, yaitu drift gill net (dihanyutkan), set gill net (dilabuhkan) dan encircling gill net (dilingkarkan) (Subani dan Barus, 1989). Nelayan disekitar TNKJ pada umumnya menggunakan jaring insang jenis insang labuh. Jaring insang ini didirikan secara tegak lurus. Mereka melabuhkan jaringnya di dasar, lapisan tengah, maupun di bawah lapisan atas kolom perairan. Musim tangkap nelayan jaring adalah pada bulan September hingga November. Ikan hasil tangkapan pada umumnya terdiri dari jenis badong, baronang, dandeng, cucut, ekor kuning, panti, ikan hijau, pari, selar, smadar, tongkol, tenggiri, udang topeng, toda dan tambak. 4. Branjang Branjang/waring atau jaring bagan merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan teri. Jaring branjang ini umumnya berukuran 9 x 9 m, bahannya berasal dari benang katun atau nilon. Jaring ini diikatkan pada bingkai berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu atau bambu. Jenis bagan yang digunakan oleh nelayan di sekitar TNKJ adalah bagan perahu (boot lift nets) yang beroperasi di perairan dalam. Penangkapan dengan bagan perahu ini hanya dilakukan pada malam hari (light fishing) dengan menggunakan lampu (pertomax)
65
sebagai alat bantu penangkapan. Musim tangkap nelayan branjang di Kepulauan Karimunjawa dimulai dari bulan Juni hingga Agustus. Ikan teri yang ditangkap terdiri dari dua jenis yaitu teri hitam dan putih, hasil tangkapan dijual dalam keadaan kering ke pedagang pengumpul setempat. 5. Panah (Speargun) Nelayan panah di sekitar TN Krimunjawa terdapat di Desa Karimunjawa dan Parang. Alat tangkap ini terdiri dari anak panah (stainless), tangkai senapan (kayu), karet pelenting dan pelatuk. Waktu penangkapan ikan adalah malam hari dengan musim tangkap sepanjang tahun. Nelayan menggunakan bantuan kompressor sebagai sumber oksigen, mereka pun membawa keranjang dan senter sebagai alat bantu dalam operasi penangkapan. Target utama penangkap adalah ikan karang yaitu ekor kuning, selain itu tertangkap pula kerapu dan betet. 6. Kegiatan Perikanan Budidaya Satu armada penangkapan ikan di Karimunjawa beranggotakan 4-6 orang nelayan. Kegiatan budidaya perikanan yang dilakukan di TNKJ terdiri dari dua komoditas yaitu kerapu dan rumput laut. Jumlah keramba yang berada di Karimunjawa berkisar 31 unit. Setiap unit terdiri dari beberapa lokal (kolam pemeliharaan dengan ukuran 3x3 m). Jenis kerapu yang dibudidayakan adalah kerapu macan dan kerapu bebek.
Budidaya rumput laut di Karimunjawa
tergolong ke dalam tiga filum yaitu Clorophyta, Phaeophyta, dan rhodophyta. 6.1.3. Musim Penangkapan Ikan di Karimunjawa Penangkapan ikan di Karimunjawa dilakukan pada saat musim timur. Musim baratan gelombang besar sehingga kebanyakan nelayan takut untuk melaut. Nelayan dari luar wilayah Karimunjawa banyak datang ke Karimunjawa pada musim timuran. Perubahan iklim memberikan dampak kepada musim penangkapan ikan di Karimunjawa.
Musim baratan yang tahun sebelumnya
terjadi pada bulan juni berubah menjadi sulit diprediksi karena sampai akhir juli belum terjadi baratan. Musim ikan di Karimunjawa juga mengalami perubahan, musim tongkol yang awalnya dimulai dari bulan Desember sampai Maret menjadi Agustus sampai September.
66
Tabel 14 . Musim-musim penangkapan ikan di Karimunjawa Keadaan dan Kegiatan
Waktu Pelaksanaan atau Kejadian Januari Februari Maret Apr Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Musim Baratan
X
X
X
Musim Timuran
X X
X
X
X
X
X
X
Musim Ikan Tenggiri Musim Ikan Sulir
X X
X
Musim Ikan Teri
X
Musim Cumi
X
Musim Ikan Tongkol Musim Ikan Mahal Tanam Rumput Laut Tebar Bibit di Keramba
X
X
X
X X X
X
X
X
X
X
X X
67
6.1.4. Daerah Tangkap Nelayan Karimunjawa Penangkapan ikan oleh Nelayan Karimunjawa hanya dilakukan di sepanjang TNKJ. Jarak yang
ditempuh oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan
berkisar 4-7 mil, 10-20 mil dan paling jauh 30-40 mil. Mayoritas Nelayan Karimunjawa melakukan penangkapan ikan di sekitar 4-7 mil saja. Kapal yang sederhana hanya berupa sampan, motor tempel yang menjadi pertimbangan nelayan untuk tidak melakukan penangkapan ikan pada jarak yang lebih jauh lagi.
6.2.
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Dilakukan Oleh Nelayan Jepara
6.2.1. Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha Nelayan Ujung batu tergolong nelayan penuh, berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan. Nelayan Jepara adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan karakteristik usahanya. Nelayan Jepara sudah tergolong Commercial fisher. Nelayan Jepara sudah beorientasi kepada peningkatan keuntungan. Skala usaha Nelayan Jepara sudah besar yaitu pasar domestik bahkan ada yang sudah masuk pasar eksport. Nelayan Jepara menjual hasil tangkapan ikan langsung ke TPI (Tempat Penampungan Ikan). Berbeda dengan Nelayan Karimunjawa yang menjual hasil tangkapannya kepada juragn ikan. Nelayan Jepara memilih untuk menjual hasil tangkapan ikan ke TPI karena di TPI tempat berkumpulnya juragan ikan yang sudah siap membeli ikan lelangan nelayan. Teknologi yang digunakan menengah yaitu kapal yang sudah bermotor dan alat tangkap berupa mini purse seine dan pukat harimau. Alat tangkap mini purse seine adalah alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan.
68
4.4. Gambar 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan alat tangkap yang 4.5. 4.6. Gambar 10. Persentase responden berdasarkan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara. Nelayan Jepara melakukan penangkapan ikan dengan orang lain (Gambar 11). Alat tangkap mini purse seine menggunakan jaring yang cukup besar sehingga membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak untuk mengoperasikannya. Umumnya, mini purse seine hanya dapat dioperasikan oleh minimal 20 orang. Pangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pukat harimau juga dilakukan dengan orang lain.
Gambar 11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan ada tidaknya anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan di Jepara.
69
Kapal yang digunakan oleh Nelayan Jepara dalam melakukan usaha penangkapan ikan sudah tergolong canggih yaitu kapal yang bermotor. Kebanyakan kapal di Ujungbatu memiliki kapasitas sebesar 20 GT. Data persentase muatan kapal nelayan Ujung batu disajikan gambar dibawah ini.
Hanya sedikit nelayan di
Ujungbatu yang memiliki kapal. Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 12 hampir semua nelayan tidak memiliki kapal. Mahalnya harga kapal dan biaya perawatan kapal menyebabkan hanya orang-orang yang memiliki modal yang besar yang dapat memiliki kapal.
Gambar 12. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan oleh Nelayan Jepara. Hubungan produksi Nelayan Jepara lebih kompleks karena status nelayan tidak hanya terdiri dari pemilik kapal dan ABK. Terdapat beberapa peranan dalam penangkapan ikan yang menggunakan mini purse seine yaitu sebagai pemilik kapal, awak kapal, dan nakhoda. ABK yang ikut serta dalam penangkapan ikan sangat heterogen karena berasal dari daerah asal, status, dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pemilik kapal adalah pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan modal berupa bahan bakar, alat tangkap, kapal dan perbaikan alat tangkap maupun kapal. Pemilik kapal juga bertanggungjawab untuk memberikan bantuan berupa pinjaman uang kepada ABK yang kesulitan keuangan. Pemilik kapal dan ABK saling bekerjasama dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. ABK dan
70
pemilik kapal saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hasil tangkapan perikanan tidak selalu ada setiap kali melaut, sehingga ABK membutuhkan pemilik kapal sebagai orang yang dapat memberikan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan ABK sehari-hari. Pemilik kapal membutuhkan ABK untuk membantu penangkapan ikan. Oleh karena itu, pemilik kapal dan ABK jarang terlibat konflik karena masingmasing pihak saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Gambar 13. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status nelayan di Jepara.
6.2.2. Alat Tangkap yang Digunakan Oleh Nelayan Jepara Nelayan Jepara berbeda dengan Nelayan Karimunjawa terutama dalam hal alat tangkapnya. Nelayan Jepara menggunakan alat tangkap yang lebih modern. Alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan mayoritas berupa mini purse seine dan pukat harimau. 1. Mini purse seine Mini purse seine merupakan salah satu bentuk alat tangkap pukat cincin. Mini purse seine adalah jenis alat tangkap yang terbuat dari jaring dengan ukuran besar, membutuhkan tenaga banyak untuk mengoperasiannya. Pukat cincin memiliki bentuk dasar berupa sebuah empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk
71
menangkap ikan. Alat tangkap ini dioperasikan secara aktif, yaitu menemukan, mengejar, dan mengurung kawanan ikan yang bergerombol dan bergerak cepat dalam jumlah besar. Mini purse seine dibentuk dari dinding jaring yang sangat panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau lebih panjang daripada tali ris atas (floatline). Karakteristik jaring mini purse seine terletak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring. Dilihat dari segi konstruksi maka komponen jaring pukat cincin dapat dikelompokkan dalam lima bagian besar yaitu ; (1) badan jaring, (2) tali kerut, (3) cincin (ring), (4) pelampung dan pemberat, dan (5) tali selembar. Nelayan Jepara pada umumnya menggunakan jaring mini purse seine yang berukuran 245-400 m yang dioperasikan dengan menggunakan satu kapal. 2. Pukat Harimau Pukat harimau merupakan sejenis alat tangkap berbentuk trawl. Jaring trawl merupakan jenis –jenis jaring yang berbentuk kantong yang ditarik sebuah kapal bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board). Menurut P3MN6 (Pusat Pengembangan dan Pengkajian Masyarakat Nelayan),
pukat harimau terdiri dari beberapa
komponen, yaitu : tali penarik (warp), papan pembuka mulut jaring (otter board) atau gawang (beam), tali lengan (and rope), sayap jaring (wing), mulut jaring, badan jaring (body), kantong (cod end) . Pukat Harimau di Jepara telah diubah/dimodifikasi dan digunakan oleh nelayan usaha skala kecil yaitu nelayan yang memiliki sebuah kapal tidak bermotor atau bermotor luar atau bermotor tidak lebih dari 5 GT dan atau mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 daya kuda, mesin berkekuatan tidak lebih dari 36 DK dan ukuran panjang bentangan sayap tidak kurang dari 60 meter. Nelayan Jepara yang menggunakan alat tangkap pukat harimau juga menggunakan alat tangkap lain sebagai alat tangkap tambahan yaitu pancing.
6
Leonardo Marbun. 2008. TRAWL : DEFINISI, DAMPAK & KEBIJAKANNYA. http://pppmn.wordpress.com/2008/07/11/pukat-harimau/. Diuduh pada tanggal 30 juli 2012.
72
6.2.3. Musim Tangkap di Jepara Nelayan Jepara menggunakan sistem tanggalan yang sama dengan Nelayan Karimunjawa yaitu menggunakan tanggalan jawa. Nelayan Jepara hampir setiap hari melakukan penangkapan ikan. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada sore hari yaitu jam empat sore. Nelayan Jepara tidak melakukan penangkapan ikan hanya pada saat gelombang besar dan terang bulan. Bulan juni sampai bulan Agustus biasanya merupakan musim ikan sepi. Bulan Agustus merupakan musim tangkap tongkol. Nelayan Jepara pada bulan Agustus atau Oktober biasanya pergi ke Karimunjawa untuk menangkap tongkol. 6.2.4. Daerah Tangkap Nelayan Jepara Penangkapan ikan oleh Nelayan Jepara hanya dilakukan di sekitar Laut Jawa. Jarak yang ditempuh oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan berkisar 12 mil keatas dan sekitar 30-35 mil. Kebanyakan Nelayan Jepara melakukan penangkapan ikan pada jarak 30-35 mil bahkan sampai ke daerah TNKJ. Jarak penangkapan ikan yang cukup jauh karena alat tangkap dan kapal yang digunakan sudah menggunakan mesin bermotor dan memiliki ukuran yang besar. Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara memiliki perbedaan dari segi penggolongan nelayan, alat tangkap yang digunakan, status nelayan, anggota kelompok dalam kegiatan penangkapan ikan, kapal menangkap ikan dan daerah penangkapan ikan. Tabel 15 menunjukkan bagaimana perbedaan antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.
73
Tabel 15.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara Kategori Nelayan Karimunjawa Nelayan Jepara nelayan tradisional dan post- commercial fisher. Penggolongan tradisional. Berdasarkan waku untuk Berdasarkan waku nelayan melakukan operasi penangkapan ikan untuk melakukan merupakan nelayan ikan penuh dan operasi nelayan ikan sambilan. penangkapan ikan merupakan nelayan ikan penuh. Kompresor, pancing, bubu, branjang, Mini purse seine, Alat tangkap jaring, dan budidaya perikanan. pukat harimau dan Mayoritas menggunakan pancing. pancing. Mayoritas menggunakan mini purse seine. Mayoritas pemilik kapal Mayoritas ABK Status nelayan Mayoritas dengan Anggota kelompok Moyoritas sendiri teman dalam kegiatan penangkapan ikan Di bawah 5 GT Di atas 5 GT Kapal menangkap ikan Di TNKJ Di Jepara dan Daerah TNKJ penangkapan ikan
74
BAB VII MODAL SOSIAL MENYAMBUNG (BRIDGING SOCIAL CAPITAL) NELAYAN KARIMUNJAWA DAN NELAYAN JEPARA
7.1.
Modal Sosial Menyambung Nelayan Karimunjawa
7.1.1. Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Jaringan kerja di luar komunitas Nelayan Karimunjawa merupakan ikatan baik formal maupun non formal yang terbentuk antara Nelayan Karimunjawa dengan nelayan luar seperti Nelayan Jepara. Berdasarkan data Tabel 16, tingkat koneksi dan jaringan kerja Nelayan Karimunjawa tergolong rendah. Tabel 16.
Jumlah dan Persentase berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012
Jaringan kerja di luar komunitas
Responden Jumlah
Persentase
Tinggi
10
33%
Rendah
20
67%
Total
30
100%
Tingkat jaringan kerja di luar komunitas yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Nelayan Karimunjawa hanya memiliki saudara dan teman dari Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa adalah nelayan pendatang yang datang dari Jepara, Sulawesi dan berbagai tempat lain kemudian menetap dan menjadi warga Karimunjawa. Setelah bertahun-tahun berada di Karimunjawa akhirnya nelayan tersebut semakin bertambah banyak dan membentuk perkampungan di Karimunjawa. Anak-anak yang dilahirkan dan bertumbuh di Karimunjawa akhirnya memiliki keluarga dan kerabat yang berada di Karimunjawa juga seperti yang diungkapkan YA (28 tahun).
75
“saya tidak memliki keluarga atau saudara di Jepara karena seluruh keluarga ada di Karimunjawa.. ”
2. Kekayaan sumberdaya alam perikanan di Karimunjawa yang melimpah yang menyebabkan Nelayan Karimunjawa selalu berkecukupan walaupun hanya melakukan penangkapan ikan di sekitar Karimunjawa. Hal ini mengakibatkan Nelayan Karimunjawa hanya melaut di sekitar TNKJ. Nelayan Karimunjawa memiliki kenalan nelayan dari Jepara karena pernah bertemu ketika nelayan dari Jepara melaut atau berlabuh di Karimunjawa seperti yang diungkapkan oleh MP (52 tahun).
“dulu, ikannya masih banyak di Karimunjawa, bahkan boleh dikatakan kita yang dikejar-kejar ikan. jadi, mancing di pinggirpinggir sini biasane sudah dapat banyak ikan..” 3. Kapal yang digunakan Nelayan Karimunjawa masih sederhana hanya berupa motor tempel atau sampan. Jenis kapal yang sederhana mengakibatkan jarak wilayah tangkap nelayan hanya beberapa mil dalam TNKJ. Hal ini mengakibatkan mobilisasi Nelayan Karimunjawa tidak begitu luas, hanya berada di sekitar TNKJ. 7.1.2. Tingkat Partisipasi dan Keanggotan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Kegiatan keorganisasian yang dapat menghubungkan Nelayan Karimunjawa dengan Ujungbatu terdiri dari organisasi keagamaan, politik, dan nelayan. Organisasi keagamaan
yang
terdapat
Muhammadiyah, dan Alitma.
di
Karimunjawa
yaitu
NU
(Nadlotul
Ulama),
Organisasi politik yang terdapat di Karimunjawa
terdiri dari organisasi partai politik seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PAN (Partai Amanat Nasional), dan Demokrat. Organisasi
76
nelayan di Karimunjawa yaitu berupa HNSI (Himpunan Nelayan Indonesia). Tingkat keanggotaan nelayan pada organisasi yang menghubungkan dengan Nelayan Jepara dapat dikatakan rendah. Tabel 17 menyajikan data Partisipasi dan keanggotaam kelompok di luar komunitas.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok Responden di luar komunitas Jumlah Persentase Tinggi
2
7%
Rendah
28
93%
Total
30
100%
Sebagian besar masyarakat tidak menjadi anggota organisasi yang menghubungkan mereka dengan Nelayan Jepara. Hal ini ditunjukkan oleh data pada Tabel 17. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, yaitu: 1. Nelayan Karimunjawa pada umumnya hampir setiap hari melaut kecuali pada waktu-waktu tertentu seperti hari jumat, gelombang besar dan terang bulan. Banyak persiapan yang harus dilakukan oleh nelayan sebelum melakukan operasi penangkapan ikan. Apabila nelayan tersebut memancing pada pagi hari maka pada waktu subuh nelayan sudah memeriksa kapal, mengisi bahan bakar dan mempersiapkan alat tangkap yang dibutuhkan. Penangkapan ikan selesai dilakukan pada sore hari. Malam hari nelayan akan beristirahat untuk melakukan kegiatan yang sama lagi dengan hari sebelumnya. Sangat sedikit waktu yang dimiliki untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pertemuan atau keorganisasian. 2. Keanggotaan dalam organisasi di Karimunjawa belum terdistribusi secara merata. Ketua organisasi umunya lebih memprioritaskan anggota keluarga atau teman-teman yang terdekat dengannya untuk ikut serta dalam bergabung
77
dalam organisasi. Informasi untuk keikutsertaan organisasi tidak terbuka secara umum dan dipilih orang-orangnya seperti yang diungkapkan SI (32 tahun).
“saya ndak tau mbak organisasinya, biasane yang diajak yah keluarganya saja mbak sama orang-orang yang dekat dengan ketuane..” 3. Organisasi Perhimpunan Nelayan atau HNSI yang sudah tidak berjalan. Banyak nelayan yang menjadi anggota HNSI tetapi tidak pernah ikut kegiatan kelompok nelayan karena tidak ada kegiatan organisasi yang dilakukan bahkan tidak pernah ada
pertemuan antar nelayan. Sisem pengelolaan
organisasi yang buruk menyebabkan partisipasi dan keanggotaan masyarakat menjadi tidak jelas. 7.1.3. Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa Tingkat kepercayaan adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku atau berniat buruk kepada kita. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 18, tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa kepada Nelayan Jepara tergolong rendah. Tabel 18. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa Tahun 2012 Tingkat kepercayaan
Responden Jumlah
Persentase
Tinggi
2
7%
Rendah
28
93%
Total
30
100%
Rendahnya tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Perbedaan alat tangkap antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara mengakibatkan Nelayan Karimunjawa menganggap bahwa Nelayan Jepara sebagai saingan dalam melakukan penangkapan ikan di TNKJ. Alat tangkap yang
78
digunakan Nelayan Jepara lebih modern dibandingkan dengan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dapat menangkap ikan jauh lebih banyak dari pada Nelayan Karimunjawa seperti yang diungkapkan MA (43 tahun).
“yah kita sih gak masalah itu mbak kalau Nelayan Jepara itu datang, tapi kalau alat tangkapnya itu udah beda, ya jadi masalah buat kita..” Nelayan Karimunjawa tidak keberatan apabila nelayan dari luar memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa asalkan alat tangkap yang digunakan sama. 2. Pengalaman Nelayan Karimunjawa yang kurang baik dengan nelayan luar komunitas lain mengakibatkan Nelayan Karimunjawa lebih berhati-hati terhadap nelayan lain. Alat tangkap seperti cantrang yang pernah digunakan Nelayan Jepara telah merusak karang.
Nelayan
Karimunjawa akhirnya memiliki
pandangan bahwa alat tangkap nelayan luar baik Nelayan Jepara dinilai merusak alam. Nelayan Karimunjawa tidak begitu menyukai nelayan dari luar komunitasnya karena dianggap sebagai ancaman apalagi dengan alat dan kapal yang jauh lebih canggih. Akan tetapi, Nelayan Karimunjawa tetap memiliki keinginan untuk menolong nelayan dari luar komunitas apabila mereka membutuhkan pertolongan. Nelayan Karimunjawa tidak pernah mempermasalahkan apabila ada kapal-kapal dari daerah luar baik dari Jepara maupun di luar Jepara yang datang untuk berlabuh.
7.2.
Modal sosial menyambung Nelayan Jepara
7.2.1. Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Kekuatan jaringan kerja antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa tergolong rendah. Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa 87 % nelayan memiliki
79
koneksi dan jaringan kerja yang rendah. Beberapa responden ada yang tidak memiliki kenalan di Karimunjawa, seperti yang diungkapkan SP (32 tahun). “saya tidak memiliki kenalan di Karimunjawa mbak..”
Tabel 19. Jumlah dan Persentase berdasarkan Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2012 Jaringan kerja di luar komunitas Responden Jumlah
Persentase
Tinggi
4
13%
Rendah
26
87%
Total
30
100%
Nelayan Jepara pada umumnya tidak memiliki saudara atau teman di Karimunjawa. Sehingga hubungan antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara hanya terjadi ketika Nelayan Jepara dan Karimunjawa memanfaatkan sumberdaya perikanan di wilayah tangkap yang sama. Nelayan Jepara mengeal Nelayan Karimunjawa ketika mereka datang ke Karimunjawa untuk melakukan penangkapan ikan tongkol. Jaringan kerja ini semakin melemah ketika diterapkan peraturan zonasi dan jalur penangkapan perikanan. Nelayan Jepara tidak diperbolehkan lagi melakukan penangkapan ikan di Karimunjawa. Nelayan Jepara lebih banyak berhubungan dan bekerjasama dengan nelayan Demak. Nelayan demak banyak yang bekerja di kapal-kapal Nelayan Jepara sebagai ABK. 7.2.2. Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara Tingkat partisipasi dan keanggotaan Nelayan Jepara dalam kelompok di luar komunitas nelayan tergolong rendah. Rendahnya partisipasi dan keanggotaan nelayan dapat di lihat pada Tabel 20.
80
Tabel 20. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas Nelayan Jepara, Kecamatan Jepara Tahun 2012 Responden Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas Jumlah Persentase Tinggi
11
37%
Rendah
19
63%
Total
30
100%
Tingkat partisipasi dan keanggotaan Nelayan Jepara dalam organisasi di luar komunitas nelayan karena mereka lebih berfokus dengan organisasi nelayan yang terdapat di Ujungbatu. Sementara, organisasi nelayan yang berada di Ujungbatu sangat jarang bekerjasama dengan organisasi nelayan yang berada di luar komunitas nelayan. Tidak adanya hubungan kerjasama antara Nelayan Jepara dengan nelayan di luar komunitasnya menyebabkan Nelayan Jepara
jarang melakukan hubungan
komunikasi dengan Nelayan Karimunjawa. Tingginya partisipasi dan keanggotaan pada kelompok didalam komunitas Nelayan Jepara karena sistem pengelolaan organisasi nelayan di Jepara berjalan dengan baik. Setiap nelayan di Jepara mendapatkan akses yang sama untuk menerima informasi dan menjadi anggota dalam organisasi nelayan. Setiap satu bulan sekali organisasi nelayan melakukan pertemuan.
7.2.3. Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara kepada Nelayan Karimunjawa tergolong tinggi. Tingkat kepercayaan nelayan di ukur berdasarkan perasaan aman yang dirasakan terhadap keberadaan pihak lain. Berdasarkan Tabel 21 ditunjukkan bahwa lebih dari setegah Nelayan Karimunjawa memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhaap Nelayan Karimunjawa.
81
Tabel 21. Jumlah dan Persentase berdasarkan Tingkat Kepercayaan Nelayan Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2012 Tingkat kepercayaan Responden Jumlah
Persentase
Tinggi
22
73%
Rendah
8
27%
Total
30
100%
Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu: 1. Nelayan Jepara lebih terbuka dibandingkan dengan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan nelayan komunitas lain. Nelayan Jepara sudah terbiasa berkerja dalam satu kapal dengan nelayan dari Demak. Oleh karena itu, Nelayan Jepara lebih bersikap toleran dan dapat menerima komunitas lain. 2. Perbedaan
alat
tangkap
antara
Nelayan
Karimunjawa
dan
Jepara
menyebabkan Nelayan Jepara tidak merasa terancam dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Alat tangkap Nelayan Karimunjawa yang lebih sederhana dibandingkan dengan Nelayan Jepara yang mengakibatkan Nelayan Jepara tidak mempermasalahkan apabila Nelayan Karimunjawa menangkap ikan di Jepara. Nelayan Jepara mengganggap Nelayan Karimunjawa sebagai rekan kerja sesama nelayan ketika melakukan operasi penangkapan ikan. Nelayan Jepara tidak menjadikan Nelayan Karimunjawa sebagai saingan. 3. Alat tangkap Nelayan Jepara yang sudah lebih canggih daripada Nelayan Karimunjawa mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Hasil tangkapan nelayan Nelayan Jepara lebih banyak dibandingkan Nelayan Karimunjawa seperti yang diungkapkan FD (32 tahun).
82
“kalo kita tidak ada masalah kalau Nelayan Karimunjawa nangkap ikan di sini karena alat tangkapnya juga sederhana kaya pancing seperti itu..”
7.3.
Persepsi Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Konflik yang terjadi di dalam kehidupan nelayan dapat berupa perkelahian
yang melibatkan benturan fisik atau ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu. Konflik yang terjadi antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara tergolong konflik kelas. Konflik yang disebabkan perebutan wilayah penangkapan yaitu di daerah TNKJ dan terdapat kesenjangan dalam teknologi penangkapan ikan. Konflik yang terjadi antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dapat dilihat dari persepsi nelayan terhadap konflik yang tinggi. Berdasarkan data Tabel 22 ditunjukkan bahwa persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik Nelayan Jepara lebih tinggi daripada Nelayan Karimunjawa. Tabel 22. Jumlah dan Persentase berdasarkan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Tahun 2012 Persepsi konflik
Nelayan Karimunjawa
Nelayan Jepara
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Tinggi
27
90%
22
73%
Rendah
3
10%
8
27%
Total
30
100%
30
100%
Persepsi konflik Nelayan Karimunjawa dan Jepara di TNKJ yang tinggi disebabkan oleh banyaknya pengalaman kejadian konflik yang dialami seperti perusakan kapal atau pencekalan. Nelayan Jepara awalnya menggunakan cantrang dalam melakukan penangkapan ikan yang mengakibatkan banyak terumbu karang yang rusak dan penurunan jumlah ikan di laut. Nelayan Karimunjawa merasa
83
dirugikan dengan operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh Nelayan Jepara akhirnya merusak kapal Nelayan Jepara seperti yang diungkapkan oleh US (60 tahun). “pernah, tapi sudah lama itu keajadiannya. Jadi kapalnya itu pernah di bakar mbak sama nelayan sini..” Penggunaan alat tangkap mini purse seine tidak terlepas dari masalah dengan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa tidak setuju apabila Nelayan Jepara melakukan operasi penangkapan ikan dengan mini purse seine karena dinilai merugikan Nelayan Karimunjawa. Alat bantu penangkapan berupa lampu sorot mini purse seine
menyebabkan ikan menjauh sehingga nelayan tradisional hanya
mendapatkan sedikit ikan. Menurut pembagian sistem zonasi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan jalur penangkapan oleh DKP, Nelayan Jepara dapat melakukan penangkapan ikan di daerah TNKJ apabila menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti pancing. Konflik sering kali terjadi karena nelayan dari Jepara tetap melakukan penangkapan ikan di wilayah TNKJ dengan menggunakan alat tangkap seperti mini purse seine sepertu yang diungkapkan oleh UT (34 tahun). “sebenernya kita sudah ada jalur penangkapannya tapi kalau sudah urusan sudah perut yah kita tetap nangkap ke sana (Karimunjawa)..”
Modal sosial menyambung dapat dianalisis melalui jaringan kerja di luar komunitas, partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Terdapat perbedaan antara modal sosial menyambung di Nelayan Karimunjawa dengan nelayan di Jepara. Tabel 23 menyajikan modal sosial menyambung yang dimiliki Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara
84
Tabel 23. Modal Sosial Menyambung yang dimiliki Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara Modal Sosial Menyambung
Nelayan Karimunjawa
Nelayan Jepara
Jaringan kerja di luar komunitas
Rendah
Rendah
Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas
Rendah
Rendah
Tingkat Kepercayaan
Rendah
Tinggi
85
BAB VIII HUBUNGAN MODAL SOSIAL MENYAMBUNG DENGAN PERSEPSI KONFLIK ANTARA NELAYAN KARIMUNJAWA DENGAN NELAYAN JEPARA DALAM MEMANFAATKAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
Tiga variabel modal sosial menyambung responden yang dianalisis hubungannya dengan hubungan antara nelayan, yaitu jaringan kerja di luar komunitas, partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah modal sosial menyambung berhubungan dengan hubungan yang terjalin antar nelayan. Hubungan antar nelayan meliputi persepsi konflik yang terjadi dalam nelayan.
8.1.
Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jaringan di
luar komunitas Nelayan Karimunjawa dengan persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa. Hubungan antara jaringan di luar komunitas dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan rendahnya persepsi konflik yang terjadi dan semakin rendah jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik yang terjadi. Jaringan kerja di luar komunitas Nelayan Karimunjawa tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa juga tergolong tinggi. Tabel 24 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara jaringan kerja di luar komunitas dengan persepsi konflik nelayan di Karimunjawa.
86
Tabel 24.
Persentase Hubungan antara Jaringan Kerjadi Luar Komunitas Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Jaringan Kerja di Luar Persepsi Nelayan Total Komunitas Karimunjawa terhadap Konflik
8.2.
Rendah
Tinggi
Rendah
0 (0%)
20 (67%)
20 (67%)
Tinggi
3 (10%)
7(23%)
10 (33%)
Total
3 (10%)
27 (90%)
30 (100%)
Hubungan Antara Tingkat Keanggotaan Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa dengan persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa. Hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotaan di luar komunitas dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa mengakibatkan rendahnya persepsi konflik dan sebaliknya semakin rendah tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik. Tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa juga tergolong tinggi. Tabel 25 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Karimunjawa dengan persepsi konflik nelayan di Karimunjawa.
87
Tabel 25. Persentase Hubungan antara Keanggotaan dalam Organisasi Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Tingkat Partisipasi dan Persepsi Nelayan Total Keanggotaan Kelompok di Karimunjawa terhadap Luar Komunitas Konflik
8.3.
Rendah
Tinggi
Rendah
1 (3%)
27 (90%)
28 (93%)
Tinggi
2 (7%)
0 (0%)
2 (7%)
Total
3 (10%)
27 (90%)
30 (100%)
Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa Dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa di Karimunjawa tingkat kepercayaan
Nelayan Karimunjawa berpengaruh terhadap persepsi konflik di TNKJ. Hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi tingkat kepercayaan mengakibatkan rendahnya persepsi
konflik
yang
terjadi
dan
semakin
rendah
tingkat
kepercayaan
mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik yang terjadi. Tingkat kepercayaan Nelayan Karimunjawa tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Karimunjawa juga tergolong tinggi. Tabel 26 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik nelayan di Karimunjawa.
88
Tabel 26.
Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Karimunjawa dengan Persepsi Konflik Nelayan Karimunjawa di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
Tingkat Kepercayaan
8.4.
Persepsi Nelayan Karimunjawa terhadap Konflik
Total
Rendah
Tinggi
Rendah
1 (3%)
27 (90%)
28 (93%)
Tinggi
2 (7%)
0 (0%)
2 (7%)
Total
3 (10%)
27 (90%)
30 (100%)
Hubungan Antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara Dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jaringan di
luar komunitas dengan persepsi konflik Nelayan Jepara di TNKJ. Hubungan antara jaringan di luar komunitas dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan rendahnya persepsi konflik yang terjadi dan semakin rendah jaringan kerja di luar komunitas mengakibatkan semakin tinggi persepsi konflik yang terjadi. Jaringan kerja di luar komunitas Nelayan Jepara tergolong rendah oleh karena itu persepsi konflik yang terjadi di Jepara juga tergolong tinggi. Tabel 27 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara jaringan kerja di luar komunitas dengan persepsi terhadap persepsi konflik nelayan di Jepara.
89
Tabel 27.
Persentase Hubungan antara Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
Jaringan Kerja di Luar Komunitas Nelayan Jepara
8.5.
Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik
Total
Rendah
Tinggi
Rendah
4 (13%)
22 (74%)
26 (87%)
Tinggi
4 (13%)
0 (0%)
4 (13%)
Total
8 (26%)
22 (74%)
30 (100%)
Hubungan Antara Partisipasi dan Keanggotaan Nelayan Jepara Dengan Dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas. Tingkat partisipasi dan keanggotaan kelompok nelayan yang rendah berpengaruh terhadap hubungan antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa.Tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Jepara rendah mengakibatkan persepsi nelayan terhadap konflik juga tinggi. Hal ini disebabkan karena organisasi kelompok nelayan di Jepara tidak memiliki hubungan kerjasama atau sangat jarang melakukan hubungan komunikasi dengan Nelayan Karimunjawa. Rendahnya hubungan komunikasi dan kerjasama yang tercipta antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa menyebabkan persepsi konflik Nelayan Jepara terhadap Nelayan Karimunjawa tinggi. Tabel 28 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat partisipasi dan keanggotan kelompok di luar komunitas Nelayan Jepara dengan persepsi konflik nelayan di Jepara.
90
Tabel 28. Persentase Hubungan antara Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas dengan Persepsi Konflik Nelayan Jepara di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Tingkat Partisipasi dan Persepsi Nelayan Total Keanggotaan Kelompok di Luar Jepara terhadap Komunitas Nelayan Jepara Konflik
8.6.
Rendah
Tinggi
Rendah
8 (27%)
11 (37%)
19 (63%)
Tinggi
0 (0%)
11 (36%)
11 (37%)
Total
8 (27%)
22 (73%)
30 (100%)
Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara Dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik dalam memanfaatkan Sumberdaya Perikanan di TNKJ Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat
kepercayaan Nelayan Jepara dengan persepsi konflik Nelayan Jepara di TNKJ. Tingkat kepercayaan yang dimiliki Nelayan Jepara yang tinggi tidak diikuti oleh persepsi konflik yang rendah. Sebaliknya, tingkat kepercayaan nelayan tinggi dan persepsi konflik nelayan juga tinggi. Tabel 29 menyajikan data mengenai persentase hubungan antara tingkat kepercayaan dengan persepsi konflik nelayan di Jepara. Tabel 29. Persentase Hubungan antara Tingkat Kepercayaan Nelayan Jepara dengan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik di di TNKJ, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Total Tingkat Kepercayaan Persepsi Nelayan Jepara terhadap Konflik Rendah
Tinggi
Rendah
0 (0%)
8 (27%)
8 (27%)
Tinggi
8 (26%)
14 (47%)
22 (73%)
Total
8 (26%)
22 (74%)
30 (100%)
91
Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara tinggi dan persepsi Nelayan Jepara terhadap konflik juga tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh data pada Tabel 29. Hubungan antara tingkat kepercayaan
dengan persepsi konflik merupakan hubungan yang
berbanding lurus. Kondisi ini disebabkan karena tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi tidak disertai dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dari Nelayan Karimunjawa. Tingkat kepercayaan yang rendah dari salah satu pihak mempengaruhi komunikasi antar nelayan sehingga persepsi konflik yang tercipta juga tinggi.
92
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1.
Kesimpulan Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa berbeda
dengan pengelolaan perikanan yang dilakukan di Jepara. Pengelolaan perikanan yang dilakukan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa aktor yaitu, Balai Taman Nasional dengan menetapkan sistem zonasi, Dinas Kelautan dan Perikanan dengan menetapkan peraturan jalur tangkap, Pemerintah Kabupaten Jepara sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur dan kearifan lokal yang merupakan hasil kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah desa
dengan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya
perikanan di Karimunjawa bersifat kolaboratif karena masyarakat juga memiliki hak mengelola. Masyarakat turut serta dalam menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Nelayan Jepara hanya memiliki hak pemanfaatan yaitu menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya perikanan di Jepara. Peraturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jepara bersifat terpusat. Dinas kelautan dan perikanan yang menetapkan sistem pengelolaan perikanan melalui jalur-jalur penangkapan. Penetapan pembagian wilayah yang dilakukan oleh berbagai aktor dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan belum berjalan secara efisien. Hal ini disebabkan oleh karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap peraturan tersebut dan penegakan hukum (law enforcement) lemah. Modal sosial menyambung (bridging social capital) dapat diukur dengan menggunakan variabel jaringan kerja di luar komunitas, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Modal sosial menyambung di Karimunjawa dapat digolongkan rendah karena ketiga variabel modal sosial menyambung di Karimunjawa rendah. Modal sosial menyambung di Jepara dapat digolongkan rendah karena dari ketiga variabel modal sosial menyambung dua diantaranya tergolong rendah. Jaringan kerja, tingkat partisipasi
93
dan keanggotaan dalam organisasi Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa rendah. Tetapi, tingkat kepercayaan Nelayan Jepara terhadap Nelayan Karimunjawa tinggi. Hal ini disebabkan karena Nelayan Jepara tidak merasa terancam atau terganggu dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dalam melakukan operasi penangkapan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja Nelayan Jepara berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan dan daerah. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan adanya perbedaan sehingga menjadi lebih tebuka dan mudah menerima orang lain. Hubungan yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara cenderung konflik. Hal ini dapat dibuktikan dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara yang tinggi terhadap persepsi konflik. Rendahnya modal sosial menyambung yang dimiliki oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara mengakibatkan hubungan antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara cenderung konflik. Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi tidak begitu berpengaruh terhadap persepsi konflik. Konflik hanya dapat dihindari apabila terdapat kepercayaan dari dua belah pihak, baik Nelayan Karimunjawa maupun Nelayan Jepara. Berdasarkan hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial menyambung memiliki hubungan dengan konflik.
9.2.
Saran Konflik yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara
tidak hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar nelayan tetapi juga disebabkan oleh adanya sistem yang belum dapat mengatur dengan baik pemanfaatan sumberdaya perikanan di TNKJ. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Pentingnya ada aturan-aturan yang jelas mengenai pemanfaatan sumberdaya perikanan mulai dari batas wilayah tangkap, jenis ikan yang dapat ditangkap, alat tangkap, dan sanksi.
94
2.
Perlu diadakan sosialisasi aturan yang sudah ditetapkan kepada setiap pihak yang terkait sehingga setiap pihak dapat mengetahui status dan peranan serta hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.
3.
Perlu dilakukan penegakan aturan (law enforcement) dengan menempatkan pengawas-pengawas yang berfungsi untuk mengawasi setiap pihak-pihak yang memanfaatkan sumberdaya perikanan agar peraturan yang ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan fungsinya.
95
DAFTAR PUSTAKA Hanafri MI. 2009.Hubungan Modal Sosial Dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan Di Desa Panimbang Jaya, Pandeglang. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 120 hal. Ilham, M. 2006. Analisa Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 102 hal. Kinseng RA. 2007. Konflik-Konflik Sumberdaya Alam di Kalangan Nelayan Indonesia.Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 01(01): 87-104. Lawang RZ. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta [ID]: FSIP UI Press. 237 hal. Prasetyo dan Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada. 272 hal. Satria A. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta [ID]: Lkis. 410 hal. ______ . 2009b. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor [ID]: IPB Press. 144 hal. ______. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo. 130 hal Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, dan Imran Z. 2002. Menuju Desentralisi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo. 210 hal. Sembiring E. 2010. Resolusi Konflik Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Kabupaten Teluk Wondama. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 113 hal. Singarimbun M dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Hal 3-15. Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif. Bogor [ID]: Kelompok Dokumentasi Ilmuilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB. 73 hal. Shaliza F. Dinamika Konflik antar Komunitas dan Transformasi Modal Sosial Studi Kasus Konflik antara Nelayan Parit III dan Melati di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 160 hal.
96
Soekanto S. 2002. Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta [ID]: Rajawali Press. 296 hal. Vipriyanti NU. 2007. Studi Sosial Ekonomi Tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 241 hal. Wahyono. 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta[ID]: Teraju. 212 hal. Yulidar AR. 2003. Potensi dalam Pemberdayaan Nelayan Modal Sosial Komunitas Nelayan Desa Teluk Labuan, Banten. [tesis]. Bogor [ID]:Institut Pertanian Bogor. 123 hal.
97
LAMPIRAN
98
Lampiran 1. Dokumentasi penelitian
1. Diskusi Kelompok Terarah dengan nelayan di Desa Karimunjawa
2. Diskusi Kelompok Terarah dengan Juragan di Desa Karimunjawa
99
3. Wawancara dengan Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara
100
4. Kapal dan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Karimunjawa
101
5. Kapal dan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Jepara
102
6. Tempat pengumpulan ikan di Jepara