PERBANDINGAN GAYA BAHASA PADA PUISI IBU KARYA MUSTOFA BISRI DENGAN LIRIK LAGU KERAMAT KARYA RHOMA IRAMA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Fahrudin Mualim NIM 1110013000035
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
FORM (FR)
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia
No. Dokumen
:
Tgl. Terbit No. Revisi: Hal
: : :
FITK-FR-LABF211 1 Maret 2010 01 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Fahrudin Mualim
NIM
: 1110013000035
Jurusan
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Dosen Penguji : 1. Djamal D. Rahman, M. Hum. 2. Dr.Darsita Suparno, M. Hum. Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat merupakan hasil karya sendiri. Apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya, maka saya siap menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Desember 2014
Fahrudin Mualim
ABSTRAK FAHRUDIN MUALIM. NIM: 1110013000035. Skripsi. Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma ini sama-sama berbicara tentang ibu. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan perbandingan mengenai gaya bahasa dari puisi Ibu dan lirik lagu Keramat, serta implikasi kedua karya tersebut dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu peneliti dilibatkan dalam situasi dan fenomena yang sedang dipelajari. Peneliti menemukan adanya keterkaitan antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat, yaitu lirik lagu Keramat merupakan bentuk penguatan penggambaran objek lirik yang dibicarakan oleh A. Mustofa Bisri dalam puisi Ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan gaya bahasa pada puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. Hal tersebut dapat dilihat dari gaya bahasa pada tiap pilihan katanya, keduanya sama-sama banyak menggunakan istilah alam. Perbedaannya terletak pada fungsi dari istilah alam yang digunakan. Jika Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan keagungan seorang ibu, sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam yang ia gunakan sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku masyarakat yang keliru. Penelitian ini juga menjelaskan struktur yang membangun puisi Ibu dan lirik lagu Keramat serta bagaimana analisis puisi Ibu dan lirik lagu Keramat ini dapat memenuhi kompetensi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yaitu sikap spiritual, sosial, dan tanggung jawab. Melalui kegiatan menganalisis puisi juga dapat menambah pemahaman siswa terhadap makna puisi, meningkatkan keterampilan berbahasa, serta menumbuhkan sikap kritis siswa.
Kata kunci: Gaya Bahasa, puisi, lirik lagu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
i
ABSTRACT Fahrudin Mualim, 1110013000035, Comparation of Language Style on Poetry ―Ibu― by Mustafa Bisri and Song Lyrics ―Keramat‖ by Rhoma Irama, and Their Implication in Indonesian Language and Literature Learning. Department Indonesian Language and Literature of Education, Faculty of Tarbiya and Teachers Training, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum. A Poem by A. Mustafa Bisri and lyrics of this Keramat talking about mother. This study aims to describe the comparison of the poetry‘s language style from Poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖, and the implications of both these arts in learning Indonesian language and literature at school. The method used by the writer in this study is qualitative; it means that the writer involved in the situations and phenomena is being studied by the writer. This study finds a relationship between Poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖; song lyrics ―Keramat‖ is as strengthening lyrics objects description which is discussed by A. Mustafa Bisri in poetry ―Ibu‖. The result of this study shows the similarities and differences in language style on poetry ―Ibu‖ by A. Mustafa Bisri and song lyrics ―Keramat‖ by Rhoma Irama. It can be seen from the style of each words selection which use the term of nature. The difference lies on the function of the term of nature that is used. If Gus Mus uses the term of nature to describe a mother‘s sacrifice or as a description of admiration for a mother‘s greatness, while Bang Haji places the term of nature that he use as a form of rejection or criticism of the wrong behavior of people. The study also describes the structure of the poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖, and how analysis of poetry ―Ibu‖ and song lyrics ―Keramat‖ can fulfill the competency in learning Indonesian language and literature, especially in the attitude of the spiritual, social, and responsibility. Analyzing poetry can also increase students‘ understanding of the meaning of poetry, improve language skills and students‘ critical attitude. Keywords: Language style, poetry, song lyrics, learning Indonesian language and literature
ii
KATA PENGANTAR Seraya mengucap puja dan puji serta syukur ke hadirat Ilahi Robbi yang selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini, yang memang sedikit terlambat alias tidak tepat waktu. Pemilihan tema skripsi ini terinspirasi dari obrolan santai bersama seorang dosen sekitar satu setengah tahun silam di salah satu mata kuliah. Berawal dari obrolan santai, kemudian berakhir dengan penelitian serius. Alhasil,
tersusunlah
karya
tulis
ini
untuk
menjelma
menjadi
pertanggungjawaban akademik sebagai Sarjana Pendidikan FITK-UIN Jakarta. Saya haturkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin FITK dengan jiwa profesionalismenya sehingga kinerja FITK lebih baik dan profesional. Rasa terimakasih juga saya sematkan kepada Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memimpin dengan penuh perhatian dan kesabaran demi kemajuan prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagai mahasiswa yang belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK-UIN Jakarta, saya haturkan rasa terimakasih kepada ‗mas, mbak, pak, ibu‘ dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama sembilan semester masa studi tidak bosan-bosannya mengajar, menasihati, dan mengingatkan saya. Wabil khusus kepada pembimbing saya, Rosida Erowati, M.Hum. Berkat pengarahan, catatan, hingga coretan beliau pada skripsi saya telah membantu meluruskan jalan penyusunan skripsi ini. Di sini saya memahami bahwa beliau itu seperti sungai, mengalir dan bercabang menjadi anak-anak sungai. Semoga saya menjadi anak sungai yang mampu mengalirkan air pengetahuan ini.
iii
iv
Terimakasih kepada Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd. Segala nasihat-nasihatnya membuka mata hati saya bahwa tingginya suatu ilmu justru karena ditopang oleh kerendah-hatian. Kepada Dra. Hindun, M.Pd, yang mengajari betapa pentingnya komitmen dalam menjalankan tugas. Kepada Jamal D. Rahman, penyair ulung yang mengenalkan saya tentang dunia puisi dan hakikatnya yang kental dengan dulce et utile. Kepada Ahmad Bahtiar, M.Hum, dosen yang menginspirasi saya untuk terus membaca, sekalipun dalam kesempatan waktu yang sedikit. Kepada Novi Diah Haryanti, M.Hum, dengan gayanya yang bersahabat, dosen yang sangat menginspirasi sekaligus membuka semangat saya untuk terus menulis. Kepada Makyun Subuki, M.Hum, dosen nyentrik yang juga menginspirasi saya dengan keahliannya di bidang bahasa dan musik. Sungguh tiada yang lebih berharga yang bisa saya berikan kecuali ucapan terimakasih. Terimakasih kepada para punguji saya, Jamal D. Rahman, M.Hum atas segala perbaikannya, yang membuat skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Sungguh tak terpikirkan sebelumya jika skripsi ini akan diuji langsung oleh salah seorang sastrawan. Kemudian kepada penguji kedua, Dr. Darsita Suparno, M.Hum atas segala masukkannya, khususnya mengenai metode penelitian yang saya lakukan, sehingga lebih memahami apa sebenarnya hakikat metode penelitian serta peranannya yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Hal ini juga tidak terpikirkan sebelumnya oleh saya bahwa skripsi ini akan diuji langsung oleh ahli bahasa. Saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada orang-perorang yang telah membantu dan membuka kemudahan pada masa pencarian sumber. Kepada bang Sulaiman Yudha Harahap, peneliti sejarah sekaligus ketua Studio Sejarah. Berkat petunjuk, masukan, dan pemberian sumber dari beliau skripsi ini terbantu. Kepada ‗kak Ria Fidiyanti, penulis lantunkan terimakasih atas ketersediaan waktunya untuk membantu dari awal penulisan skripsi ini
v
Terimakasih kepada orang-orang di keluarga saya, seperti ibu (Latipah) dengan nasihat-nasihatnya dan pertanyaan-pertanyaannya seputar skripsi saya, ―kapan skripsi?‖, ―kapan sidang?‖, ―skripsinya sudah?‖, ―wisudanya ikut bulan apa?‖. Bapak (Didi Suryadi) dengan kesabarannya yang ditandai dengan sedikit bertanya tentang kuliah saya kepada ibu, namun tetap terkesan memperhatikan dengan cara ‗unik‘, yang sulit dijabarkan namun saya mengerti. Begitu juga dengan saudara-saudara saya, kakak (Diana Eka Sari, Indah Purnama Sari, Fahril Husein, Dwiyono, Suhendra) dan adik (Teguh Prasetyo, Ahmad Sholahudin), mereka menjadi pelengkap dari keluarga saya yang telah memberi segala perhatian yang tidak terbayarkan. Kepada teman dan sahabat masa kuliah angkatan 2010, terimakasih atas hari-hari penuh canda dan sedikit dukanya (Ahmad Fahrudin, Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan, Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur, Muhamad Zainal, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana, dan Yanti Nuryana). Ucapan terimakasih tidak kurang saya sematkan pula kepada teman dan sahabat di beragam komunitas dan universitas (Arif Maulana, Eko Mei Sandi, Firmansyah, Gunawan, Pandu Soedibyo, Surtanto Adi Wicaksono, Syaiful Bahri, dan Washil Arham). Semoga kita semakin produktif menciptakan hal-hal yang baru. Perjuangan kita belum usai kawan, belum apa-apa! Tak ada gading yang tak retak. Tidak ada manusia yang sempurna, karena manusia bukanlah malaikat. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Bila ditemukan kekurangan dan kesalahan dalam
vi
karya tulis ini, harap disampaikan kepada saya, ini demi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembelajaran individual. Akhir kalam, atas segala perhatian, dukungan, dan bantuan dari semuanya saya haturkan terimakasih. Semoga karya ini dapat berfaedah bagi ilmu pengetahuan.
Ciputat, November 2014
Fahrudin Mualim
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................................ ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................1 B. Identifikasi Masalah .....................................................................................6 C. Pembatasan Masalah ....................................................................................6 D. Rumusan Masalah ........................................................................................6 E. Tujuan Penelitian..........................................................................................6 F. Manfaat Penelitian ........................................................................................7 G. Metode Penelitian ........................................................................................8
BAB II: KAJIAN TEORETIS
A. Gaya Bahasa ..............................................................................................17 B. Puisi............................................................................................................28 C. Musik dan Lirik Lagu ................................................................................38 D. Hakikat Pembelajaran Sastra .....................................................................43 E. Penelitian Relevan ......................................................................................46
vii
viii
BAB III: BIOGRAFI TOKOH
A. Ahmad Mustofa Bisri.................................................................................50 B. Rhoma Irama ..............................................................................................59 C. Ikhtisar Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat ................................................74
BAB IV: PEMBAHASAN A. Analisis Struktur Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat .................................76 B. Analisis Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama ..........................101 C. Analisis Fungsi Gaya Bahasa Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama ...............................................113 D. Implikasi Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .............................................115
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................119 B. Saran.........................................................................................................120
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................120 LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS
DAFTAR TABEL
Tabel I: Kata konkret dalam puisi Ibu ..............................................................83 Tabel II: Kata Abstrak dalam puisi Ibu ............................................................85 Tabel III: Imaji dalam puisi Ibu .........................................................................86 Tabel IV: Kata konkret dalam lirik lagu Keramat............................................96 Tabel V: Kata Abstrak dalam lirik lagu Keramat .............................................97 Tabel VI: Imaji dalam lirik lagu Keramat .........................................................98
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan sehari-hari, gaya memainkan peran yang penting. Gaya merupakan keseluruhan cara yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik kegiatan jasmaniah maupun rohaniah, atau dalam bentuk lisan maupun tulisan, seperti penggunaan gaya bahasa. Dapat dikatakan, tidak akan ada suatu kegiatan tanpa menggunakan gaya. Hal yang membedakan hanya terletak pada kualitas dari gaya yang digunakan. Baik gaya secara umum maupun gaya bahasa berkaitan dengan aspek keindahan. Perbedaannya terletak pada penggunaan gaya itu sendiri. Jika dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam aktivitas yang tidak berkaitan dengan seni, gaya hanya menduduki posisi sebagai sekunder. Berbeda dengan gaya dalam aktivitas karya sastra dan karya seni yang pada umumnya suatu keindahan, gaya menduduki posisi yang dominan, sebab karya seni merupakan keindahan itu sendiri. Proses penciptaan gaya bahasa jelas disadari oleh penelitinya. Di dalam penelitian, gaya bahasa menjadi sangat penting dalam rangka memperoleh aspek keindahan secara maksimal, misalnya hanya untuk menemukan satu kata atau sekelompok kata yang dianggap tepat, peneliti harus melakukannya secara berulang-ulang. Dalam sebuah karya seni atau karya sastra, gaya bahasa merupakan aspek yang sangat penting, terlebih dalam karya berbentuk puisi yang memang harus menggunakan bahasa yang singkat dari bentuk karya sastra lainnya, namun tetap harus tersampaikan isinya. Setiap penyair memiliki gaya bahasa masing-masing, misalnya gaya bahasa dalam puisi Sapardi Djoko Damono yang liris dengan puisi W. S. Rendra yang lugas. Pemilihan gaya bahasa seperti itu disesuaikan dengan tujuan yang ingin disampaikan melalui puisi yang ditulisnya. Misalnya, W.
1
2
S. Rendra banyak menyampaikan kritik sosial dalam puisinya menggunakan bahasa yang lugas agar kritikannya dapat tersampaikan secara tegas. Contoh lain dapat dilihat pada gaya bahasa yang ada pada puisi-puisi Mustofa Bisri. Umumnya puisi-puisi Mustofa Bisri banyak berbicara tentang masalah religiusitas dan kritik sosial. Mustofa Bisri juga menggunakan gaya bahasa yang lugas dan sederhana dalam puisi-puisinya agar gagasan-gagasannya yang relatif rumit dapat dipahami lebih mudah bagi pembacanya. Penggunaan gaya bahasa menjadi sangat penting pada setiap karya seni atau karya sastra. Penggunaan gaya bahasa berkaitan dengan bagaimana pembaca memahami apa yang disampaikan melalui karya itu. Karya seni pada dasarnya merupakan media untuk menyampaikan gagasan penciptanya. Semua karya seni, entah seni sastra, seni tari, seni musik, maupun jenis seni lainnya merupakan media yang mengantarkan gagasan pengarangnya kepada khalayak umum. Berkaitan dengan karya seni yang juga merupakan sebuah ―bahasa‖, dengan demikian musik dapat disebut juga sebagai ―bahasa‖. Pada hakikatnya musik merupakan bahasa atau media si pencipta untuk menyampaikan gagasannya dengan medium nada-nada. Di dalam musik, terdapat unsur-unsur seperti melodi, irama, birama, harmoni, tangga nada, tempo, dinamika, dan timbre. Akan tetapi, ada juga jenis musik yang dikemas dengan tambahan unsur lirik. Biasanya jenis musik yang populer adalah musik yang disertai unsur lirik lagu. Lirik lagu pada dasarnya dapat membantu seorang pencipta dalam menyampaikan sesuatu, sebab seorang pencipta lagu tidak hanya dapat menyampaikannya melalui nada-nada tetapi juga kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu. Lirik lagu merupakan susunan dari bahasa dengan kandungan gagasan yang dikombinasikan dengan estetika dan irama pelantunnya. Gagasan yang disampaikan dalam lirik lagu memiliki fungsi yang hampir sama dengan puisi. Hal tersebut dikarenakan lirik lagu memiliki beragam
3
fungsi di dalamnya, seperti sebagai ungkapan emosi, ungkapan rasa estetik, serta fungsi hiburan. Seorang pencipta lagu dalam menulis lirik lagu juga mementingkan faktor linguistik untuk mewujudkan hasil karyanya, seperti pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Faktor diksi dalam lirik lagu merupakan faktor penting karena pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan musik merupakan daya tarik dari sebuah lagu. Demikian juga dengan gaya bahasa, merupakan faktor yang membentuk suatu keindahan lagu. Sehubungan dengan pemilihan kata, kesesuaian kata meliputi bentuk dan arti. Bentuk merupakan wujud ujaran yang diucapkan manusia, sedangkan arti mengacu pada pesan yang disampaikan. Arti memiliki tipe-tipe sesuai dengan kedudukan pemakai bahasa dalam suatu kalimat. Pemilihan kata yang tepat, suatu karya akan memberi kesan kepada para pembaca atau pendengar. Seorang pencipta ketika meciptakan lirik lagu harus bisa menimbulkan efek keindahan, sehingga lirik tersebut mampu memberikan kenikmatan tersendiri, terutama bagi pendengarnya. Kenikmatan suatu lirik akan terlihat ketika pendengarnya ikut terbawa suasana yang diciptakan oleh pencipta lagu tersebut. Misalnya jika lagu yang dibuat mengandung unsur keindahan berupa rasa semangat, maka orang yang mendengarkannya pun akan terbawa oleh perasaan semangat. Begitu pula jika dalam lagu menggambarkan suasana kesedihan, kemudian orang yang mendengarkan ikut merasakan kesedihan, bahkan membuat pendengarnya meneteskan air mata. Secara tidak langsung seorang pencipta berhasil menimbulkan efek keindahan lewat lirik lagu yang ia ciptakan. Menimbulkan efek keindahan dalam membuat lirik lagu merupakan sesuatu yang tidak mudah. Keindahan bukan hanya terlihat dari efek yang ditimbulkan lagu kepada pendengarnya saja, namun suatu keindahan juga dituntut dari gaya bahasa pada lirik lagu itu sendiri. Hal tersebut membuat seorang pencipta lagu harus cermat dalam memilih kata yang tepat, memiliki keselarasan nada maupun irama, serta memperhatikan nilai rasa.
4
Berdasarkan hal ini peneliti melihat adanya beberapa persamaan antara lirik lagu dengan puisi. Puisi dan lirik lagu, keduanya memiliki persamaan, yaitu sebuah media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang. Baik dalam puisi maupun lirik lagu, pemilihan kata harus dilakukan secara cermat dalam hal rima, irama, maupun harmonisasinya. Hanya saja dalam penelitian lirik lagu, penciptanya harus patuh terhadap rangkaian nada-nada pada lagu tersebut. Sampai sejauh ini, peneliti melihat perbedaan antara puisi dengan lirik lagu hanya pada hal tersebut. Selebihnya, dalam hal penyesuaian rima, irama, maupun harmonisasi tidak ada perbedaaan. Menjadi hal yang menarik apabila puisi dengan lirik lagu dibandingkan dari segi persamaan maupun perbedaannya. Sudah dijelaskan sebelumnya, semua karya seni termasuk puisi dan lirik lagu merupakan media untuk menyampaikan ungkapan perasaan dan pikiran penciptanya. Peneliti puisi maupun peneliti lirik lagu mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang ingin disampaikan melalui karyanya. Maksud dan tujuan yang disampaikan oleh peneliti lagu maupun penyair rupanya memengaruhi gaya bahasa yang digunakannya. Contohnya dapat dilihat pada Rhoma Irama yang banyak menyampaikan kritik sosial maupun pandangannya tentang agama melalui lagu-lagu yang ditulisnya. Dalam lagu-lagunya, Rhoma Irama memilih gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, walaupun sebenarnya isi yang disampaikannya itu kompleks, misalnya lagu
Hak
Asasi Manusia, Judi, dan Qur’an dan Koran. Lagu-lagu tersebut sebenarnya mengungkapkan sesuatu yang kompleks. Akan tetapi, Rhoma Irama menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana, sehingga permasalahan kompleks yang dibicarakan di dalam lirik lagunya menjadi mudah dimengerti oleh para pendengarnya, sehingga karya-karya Rhoma Irama digemari oleh berbagai kalangan, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
5
Melihat hal tersebut, peneliti tertarik kepada lirik lagu yang terdapat dalam lagu Rhoma Irama. Bersama grup musik dangdut Soneta Grup, Rhoma memang telah menunjukkan kelasnya sendiri. Jika dari sisi syair, lirik-lirik lagu Rhoma Irama memiliki kekuatan yang khas dan sangat bervariasi, mulai dari lirik-lirik yang berkisah tentang cinta, kritik sosial, pesan moral (keagamaan), serta nasionalisme. Lirik-lirik lagu Rhoma Irama juga kaya akan idiom-idiom baru, seperti yang terdapat pada judul lagu Mirasantika. Selain itu, melalui lagu-lagunya, Rhoma Irama juga mempopulerkan istilah-istilah baru, seperti yang terdapat pada judul lagu Begadang, dan Santai. Apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama melalui lirik lagunya, peneliti melihat adanya persamaan dengan apa yang dilakukan Mustofa Bisri melalui puisinya. Sama halnya dengan Rhoma Irama, Mustofa Bisri juga memilih menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami untuk menyampaikan isi yang bersifat kompleks, seperti puisipuisi Mustofa Bisri yang berjudul Sujud, Bagimu, dan Kaum Beragama Negri Ini. Begitupun dengan tema, Mustofa Bisri juga banyak menampilkan tema yang bervariasi mulai dari religiusitas, maupun kritik sosial. Melihat adanya persamaan seperti itu, peneliti tertarik untuk melakukan perbandingan. Perbandingan yang ingin peneliti teliti meliputi penggunaan gaya bahasa serta fungsinya, yang juga meliputi apa saja persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam lirik lagu Rhoma Irama dengan puisi Mustofa Bisri serta faktor yang menyebabkan adanya persamaan dan perbedaan gaya bahasa tersebut. Adapun judul dari penelitian ini adalah PERBANDINGAN GAYA BAHASA PADA PUISI IBU KARYA MUSTOFA BISRI DENGAN LIRIK LAGU KERAMAT KARYA RHOMA IRAMA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA.
6
B. Identifikasi Masalah 1. Masih banyaknya anggapan, khususnya di kalangan siswa bahwa puisi dengan lirik lagu adalah sama. 2. Minat siswa terhadap pembelajaran puisi masih sangat kurang. 3. Puisi-puisi karya Mustofa Bisri serta lagu-lagu Rhoma Irama kurang populer di kalangan siswa. 4. Kurangnya kemampuan siswa dalam pembelajaran gaya bahasa di sekolah. 5. Kurangnya
variasi
pembelajaran
sastra
di
sekolah
dalam
memanfaatkan media yang telah tersedia. C. Pembatasan Masalah 1. Perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. 2. Fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama? 2. Bagaimana fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama? 3. Bagaimana implikasi perbandingan gaya bahasa dan lirik lagu dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah? E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. 2. Mengetahui fungsi gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama.
7
3. Mengetahui implikasi perbandingan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. F. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak, baik secara teoretis maupun secara praktis, di antaranya sebagai berikut: 1. Manfaat teoretis Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan pembelajaran penggunaan gaya bahasa yang lebih kreatif dan memberikan sumbangan pemikiran sebagai perkembangan dunia sastra Indonesia khususnya pada tataran pembelajaran apresiasi sastra. 2. Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada: a. Siswa Memperoleh pembelajaran penggunaan gaya bahasa dalam puisi dan lirik lagu, serta dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap karyakarya sastra, seperti puisi. b. Guru Khususnya guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai informasi pentingnya menerapkan penggunaan gaya bahasa yang bisa diterapkan pada bidang apa saja, seperti puisi maupun lirik lagu, dan upaya peningkatan kreativitas siswa dalam penggunaan gaya bahasa. c. Penyusun Memberikan pengalaman berpikir ilmiah melalui penyusunan dan penelitian
skripsi,
pengalaman,
sehingga
dapat
menambah
pengetahuan,
dan menambah wawasan dalam bidang pendidikan
khususnya bahasa dan sastra Indonesia.
8
d. Peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan gaya bahasa yang terdapat pada puisi dan lirik lagu. G. Metode Penelitian Suatu penelitian tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Maka dari itu, untuk mempermudah tujuan yang diinginkan, dibutuhkan suatu pendekatan yang tepat. Pendekatan yang digunakan oleh seorang peneliti akan menuntunnya dalam menggunakan metode yang harus digunakan. Akan tetapi, seorang peneliti tidak bisa sembarangan dalam memilih metode yang akan digunakan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti dalam memilih metode yang digunakan, seperti jenis data yang akan diteliti, serta kerangka berpikir yang menyertainya, sehingga apa yang menjadi tujuan peneliti dapat tercapai. Sebelum membahas mengenai metode penelitian, peneliti terlebih dahulu menjelaskan tahapan pelaksanaan penelitian. Penelitian yang dilakukan peneliti tergolong ke dalam penelitian bahasa, sehingga tahapan yang dilakukan oleh peneliti merujuk kepada yang dikemukakan oleh Mahsun, di mana ia membagi tahapan penelitian menjadi tiga tahap, yaitu prapenelitian, pelaksanaan penelitian, dan penelitian laporan penelitian.1 Tahapan prapenelitian dimaksudkan sebagai tahapan yang menuntun peneliti untuk berusaha merumuskan secara jelas tentang masalah yang hendak dipecahkan melalui penelitian, termasuk hipotesis dari peneliti. Peneliti terlebih dahulu membuat ancangan atau hipotesis mengenai objek yang akan diteliti. Hal tersebut dilakukan setelah peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti. Langkah peneliti selanjutnya adalah mulai memperkirakan hasil-hasil yang dapat dicapai melalui penelitian ini. 1
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa (Edisi Revisi), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 31.
9
Dengan kata lain, peneliti mulai membuat rumusan jawaban yang sifatnya sementara terhadap permasalahan yang akan diteliti. Setelah tahapan prapenelitian, peneliti melanjutkan ke tahapan pelaksanaan penelitian. Pada tahapan ini, Mahsun menjabarkannya dalam tiga tahapan pokok, yaitu penyedian data, analisis data, dan membuat hasil rumusan analisis yang diwujudkan dalam bentuk kaidah-kaidah.2 Ketiga tahapan tersebut merupakan inti dari kegiatan penelitian (bahasa), di mana ketiga tahapan tersebut masing-masing ditandai oleh kegiatan menyediakan dan tersedianya data, analisis data, dan ditemukannya kaidah-kaidah tertentu serta tersajinya kaidah-kaidah tersebut dalam rumusan-rumusan tertentu.3 Adapun tahapan penelitian laporan penelitian merupakan tahapan di mana peneliti membuat laporan dari penelitian yang dilakukan, yaitu dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, tahap ini ditandai oleh kegiatan membuat dan terwujudnya sebuah laporan penelitian. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tahapan penelitian ini dimulai dari tahap prapenelitian, yaitu pada tahap ini peneliti terlebih dahulu membuat ancangan atau hipotesis mengenai objek yang akan diteliti. Berdasarkan hal tersebut, Mahsun mengungkapkan bahwa ada beberapa cara pengungkapan hubungan antarvariabel, yaitu pengungkapan sebabakibat, pengungkapan hubungan korelasional, dan pengungkapan hubungan pengukuran perbedaan.4 Sehubungan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Mahsun, hipotesis yang dilakukan peneliti dalam penelitian kali ini berkaitan dengan linguistik atau kemampuan berbahasa (pengajaran bahasa). Peneliti memiliki pandangan bahwa penelitian ini dimungkinkan untuk dilakukan jika ditemukan kenyataan bahwa gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat dan hubungan timbal balik, yaitu kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pula gaya bahasa yang dipakainya. Dari 2
Ibid., h. 32. Ibid. 4 Ibid., h. 14. 3
10
kenyataan tersebut, peneliti membuat hipotesis melalui ketiga cara pengungkapan antarvariabel yang dikemukakan oleh Mahsun. Pertama, peneliti beranggapan bahwa pengajaran gaya bahasa pada siswa dapat mengembangkan kosakata siswa. Kedua, peneliti berasumsi bahwa kian kaya kosakata siswa ada korelasinya dengan pengajaran gaya bahasa. Ketiga, peneliti berasumsi bahwa terdapat perbedaan terhadap pemahaman gaya bahasa antara siswa yang mendapat pengajaran gaya bahasa secara tepat dengan siswa yang mendapat pengajaran gaya bahasa secara kurang tepat. Perlu diketahui bahwa hipotesis yang dilakukan peneliti sebagai jawaban sementara terhadap persoalan yang diajukan dalam penelitian ini tidak hanya disusun berdasarkan pengamatan (awal) terhadap objek penelitian, melainkan juga didasarkaan pada hasil kajian terhadap kepustakaan yang relevan. 1. Metode Penelitian Secara umum, ada dua jenis metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti dalam melakukan penelitian, yaitu penelitian kualitatif dan penelitan
kuantitatif.
Selanjutnya,
dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada beberapa pendapat para ahli mengenai metode kualitatif. Moleong berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.5 Sementara itu, Mahsun memiliki pandangan bahwa metode yang bersifat kualitatif adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengelompokkan bahasa, yaitu metode kesamaan ciri-ciri linguistik (shared of linguistic features).6 Lebih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa pada prinsipnya metode kualitatif selain dapat digunakan untuk kajian pengelompokkan bahasa-bahasa 5
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 6. 6 Mahsun, op.cit., h. 219.
11
berkerabat dalam kajian linguistik historis komparatif, juga dapat digunakan untuk pengelompokkan beberapa daerah pakai isolek ke dalam daerah pemakai bahasa atau dialek yang sama atau berbeda, serta penentuan kekerabatan antardialek atau subdialek dalam kajian dialektologi diakronis.7 Telah disebutkan sebelumnya bahwa metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif ini berusaha mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik objek yang diteliti, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstraksi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh.8 Melalui metode ini pula, peneliti dilibatkan dalam situasi dan fenomena yang sedang dipelajari. Analisis kualitatif ini memfokuskan pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada dalam bentuk angka-angka. Dalam menganalisis data, peneliti memperkaya infomasi, mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data aslinya (tidak ditransformasikan dalam bentuk angka). Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam bentuk uraian naratif.9 Dalam mencari definisi yang lebih mendalam tentang penelitian kualitatif, Bondan dan Taylor dalam Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.10 Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara holistik (utuh), sehingga dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi 7
Ibid., h. 218. Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 86. 9 Ibid., h. 87. 10 Lexy J. Moleong, op.cit., h. 4. 8
12
ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.11 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sebuah pendekatan penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif merupakan tempat untuk melakukan suatu penelitian dalam berbagai bidang ilmu. Tak terkecuali dalam penelitian bahasa. Oleh karena itu, penerapan pendekatan metode kualitatif pada penelitian ini menurut peneliti sudah tepat. Akan tetapi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan penelitian ini tidak begitu saja bisa diterapkan, melainkan harus diiringi dengan penggunaan metode-metode penelitian yang sesuai agar tujuan yang diinginkan tercapai. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data langsung yang berkaitan dengan karya yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus (yang memuat puisi Ibu) yang diterbitkan oleh Pustaka Firadus Jakarta, Cetakan I: 1995, dengan tebal 108 halaman. Sementara itu, data primer kedua berupa lagu Keramat terdapat di dalam album Santai (Volume VII) tahun 1977 yang diproduksi oleh Yukawi. Sedangkan data sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan dengan objek penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak kemudian diikuti dengan teknik lanjutan yaitu teknik mencatat. Mahsun menjelaskan alasan metode tersebut diberi nama simak, karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa, istilah menyimak di sini tidak hanya 11
Ibid.
13
berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis.12 Lenih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap.13 Hal tersebut dilakukan karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Artinya, dalam hal ini peneliti berupaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan. Perlu diketahui bahwa menyadap penggunaan bahasa yang dimaksudkan menyangkut penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis. Dalam hal ini peneliti hanya melakukan penyadapan penggunaan bahasa secara tertulis. Hal tersebut karena peneliti dihadapkan dengan penggunaan bahasa bukan dengan orang yang sedang berbicara, tetapi berupa bahasa tulis, yaitu teks puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. Dalam praktik selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan teknik rekam. Adapun peneliti memilih teknik simak bebas libat cakap. Maksudnya, dalam hal ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informannya. Peneliti tidak terlibat dalam peristiwa pertuturan yang bahasanya sedang diteliti. Hal tersebut karena peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa secara tertulis, yaitu puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama, sehingga dalam penyadapan peneliti hanya dapat menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik bebas libat cakap, yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian dan penggunaan bahasa secara tertulis. Teknik simak dan teknik catat digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya yang akan diteliti. Dalam hal ini sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan analisis struktur yang membangun serta perbandingan gaya bahasa yang 12 13
Mahsun, op.cit., h. 92. Ibid.
14
terdapat dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat untuk memperoleh data yang diperlukan. Pada penelitian ini sumber datanya berupa gaya bahasa dalam Puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan dalam lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, maka proses menyimak dilakukan dengan cara membaca cermat puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan mendengarkan lagu Keramat karya Rhoma Irama. Selanjutnya, peneliti memperjelas hasil simakan dengan membaca teks lirik lagu, setelah itu peneliti mencatatnya. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber primer, yaitu teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang penelitian yang akan dicapai. 4. Teknik Analisis Data Setelah data diperoleh dengan metode simak yang diiringi dengan teknik catat seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka, data penelitian pun diklasifikasikan menurut jenisnya untuk kemudian dianalisis. Hal tersebut dilakukan karena dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada keajekan isi komunikasi secara kualitatif, di mana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi.14 Pada penelitian ini jenis data yang menjadi objek penelitian berupa struktur gaya bahasa yang tergolong sebagai data kualitatif atau bukan dengan angka, maka metode analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. 14
H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 156.
15
Langkah awal dalam menganalisis puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama adalah dengan membaca secara heuristik kemudian dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Hal ini dimaksudkan untuk memberi makna puisi dan lirik lagu secara struktural semiotik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.15 Dalam pembacaan heuristik ini, puisi dan lirik lagu dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Selanjutnya, untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim katakatanya ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), atau bila perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Membaca dengan heuristik ini bertujuan untuk mengetahui makna tersurat secara keseluruhan dari puisi Ibu dan lirik lagu Keramat. Setelah itu, peneliti melanjutkan membaca dengan cara hermeneutik. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya.16 Dalam pembacaan hermeneutik ini puisi dan lirik lagu dibaca berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang dimaksud berdasarkan pendapat yang dikemukakan Riffaterre dalam buku Metodologi Penelitian Sastra adalah konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (puisi).17 Sehingga, pembacaan hermeneutik ini bertujuan untuk menafsirkan teks puisi Ibu dan lirik lagu Keramat. Setelah menganalisis puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dengan membaca secara heuristik kemudian
15
Rachmat Djoko Pradopo, Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme-Semiotik dalam Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), h. 96. 16 Ibid. 17 Ibid., h. 97.
16
dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Analisis data dilanjutkan dengan menggunakan metode padan ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Teknik dasar metode ini adalah teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Pemilihan metode ini diperkuat dengan pendapat Mahsun yang mengatakan bahwa metode padan selalu mengaitkan bahasa sebagai sistem holistis, yang terdiri atas bagian-bagian yang membentuk kesatuaan. Adanya bagian tertentu tidak bisa dilepaskan dengan adanya bagian tertentu tidak bisa dilepaskan dengan adanya bagian lain yang membentuk sistem holistis tersebut. Dalam pada itu, identitas bagian tertentu ditentukan keberadaannya oleh identitas yang lain. Oleh karena itu, teknik hubung banding sangat menentukan.18 Berdasarkan hal tersebut, analisis dilakukan untuk mengetahui struktur yang membangun puisi Ibu karya Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama kemudian dilihat perbandingan gaya bahasa yang terdapat di dalamnya. Setelah menganalisis struktur dan perbandingan gaya bahasa dalam puisi Ibu dan lirik lagu Keramat, kemudian dalam kedua karya tersebut diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
18
Mahsun, op. cit., h. 121.
BAB II KAJIAN TEORETIS A. Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa Gaya merupakan keseluruhan cara yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, baik kegiatan jasmaniah maupun rohaniah, atau dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu kegiatan tanpa menggunakan gaya. Begitu pula dalam karya sastra, gaya merupakan cara pengarang dalam memaparkan gagasan yang ingin disampaikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam proses penulisan karya sastra, efek tersebut berkaitan dengan upaya memperkaya makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun efek tertentu bagi pembacanya. Hal yang pertama perlu dipahami bahwa gaya bahasa bukan sematamata menggayakan suatu bahasa. Nini Ibrahim mengatakan, bahwa gaya bahasa disebut juga majas, yaitu penggunaan kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan maksud tertentu. Gaya bahasa berguna untuk menimbulkan keindahan dalam karya sastra atau dalam berbicara. Setiap orang atau pengarang memiliki cara tersendiri dalam memilih dan menggunakan gaya bahasa.19 Lamuddin memiliki istilah lain bahwa gaya bahasa disebut juga dengan langgam bahasa dan sering juga disebut majas, yaitu cara penutur mengungkapkan maksudnya.20 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa gaya bahasa berkaitan dengan cara penutur dalam menyampaikan maksudnya, sehingga petutur dapat menerima dengan mudah maksud yang disampaikan oleh penutur. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nini 19
Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: UHAMKA Press, 2009), h. 74. 20 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa, (Jakarta: Diksi Insan Mulia, cet 16, 2009), h. 135.
17
18
Ibrahim mengenai gaya bahasa untuk menimbulkan efek keindahan. Sementara itu, Gorys Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan batasan mengenai pengertian gaya bahasa, yaitu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).21 Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli, dapat disimpulkan mengenai pengertian gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan yang ingin disampaikan untuk mengungkap pikiran dan perasaan dengan maksud tertentu melalui bahasa secara khas. Pada dasarnya dalam karya sastra, baik gaya maupun gaya bahasa memegang peranan penting. Gaya bahasa berkaitan dengan masalah penulisan, penyajian, komposisi, struktur penceritaan, termasuk penampilan huruf, cover, dan ukuran buku.22 Sehingga, pada saat menganalisis sebuah karya sastra, tidak terhitung jenis gaya bahasa yang timbul, seperti panjang pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi dan rendah, penggunaan katakata serapan, penggunaan kosakata daerah, dan sebagainya. Gaya bahasa juga meliputi cara-cara penyusunan struktur intrinsik secara keseluruhan, seperti plot, tokoh, kejadian, dan sudut pandang.23 Mulai dari pemahaman gaya yang paling sederhana, seperti padanan kata dengan lawan kata hingga puisi konkret yang di dalamnya kata-kata harus diciptakan kembali sebab kata-kata yang sudah ada dianggap tidak mampu untuk mewakili makna gaya bahasa itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang paling berperan di dalam karya sastra adalah gaya bahasanya. Melalui gaya bahasa, cara-cara penggunaan medium bahasa secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal
21
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 113. 22 Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.163. 23 Ibid., h. 165.
19
2. Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa dalam Struktur Karya Sastra Di dalam karya sastra terdapat tiga genre utama, yaitu puisi, prosa, dan drama. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gaya bahasa paling dominan terdapat di dalam puisi. Gaya dengan demikian mendominasi struktur puisi. Artinya, puisi seolah-olah merupakan struktur dari gaya bahasa. Hal tersebut dapat dibuktikan dari susunan puisi itu sendiri, yaitu melalui medium terbatas dengan bahasa yang singkat dan padat mampu menyampaikan perasaan yang ingin diungkapkan oleh penyair. Melalui gaya bahasa pula, baik intensitas pemakaian maupun fungsi dan kedudukannya dalam struktur totalitas karya, membedakan genre sastra yang satu dengan genre sastra yang lain. Sejalan dengan hal tersebut, Ratna memiliki pandangan bahwa dominasi gaya bahasa terkandung dalam puisi dengan pertimbangan keterbatasan medium penampilannya, sehingga unsur yang ditonjolkan adalah bahasa itu sendiri yang sekaligus merupakan alat dan tujuan.24 Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa medium utama karya sastra adalah bahasa. Akan tetapi, sistem sastra tidak seketat sistem bahasa yang terikat dengan tata bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis. Begitu juga dengan sistem ejaan, yaitu penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, penggunaan tanda-tanda baca, dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat penggunaannya, misalnya ada bahasa baku, bahasa ilmiah, bahasa dengan makna yang relatif sama pada setiap orang, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik antara pengirim dengan penerima. Sebaliknya, di dalam karya sastra, penafsiran berbeda justru merupakan ciri-ciri kualitas estetis. Oleh karena itu, penulis dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna sesungguhnya, bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. 24
Ibid., h. 62.
20
Tujuan utama gaya bahasa adalah menghasilkan keindahan.25 Tujuan ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam ruang lingkup linguistik, maupun dalam ruang lingkup kreativitas sastra. Akan tetapi, Wellek dan Warren memiliki pandangan bahwa kualitas estetis menjadi pokok permasalahan dalam tataran ruang lingkup kreativitas sastra, yaitu melalui metode dan teknik diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut indah.26 Lebih lanjut, Wellek dan Warren menjelaskan bahwa ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memahami timbulnya aspekaspek, yaitu pertama melalui analisis sistematis sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan makna total, kedua, dengan cara meneliti ciri-ciri estetis karya sastra secara langsung sekaligus membedakannya dengan pemakaian bahasa biasa.27 Jika menggunakan salah satu cara yang dijelaskan Wellek dan Warren, yaitu melalui analisis sistemis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan makna total. Maka, hasil yang didapat adalah sistem linguistik yang khas karya tertentu, karya sastra seorang pengarang, atau sekelompok karya dalam satu periode. Dari situlah akan terlihat bahwa gaya lahir secara bersistem. Tidak ada gaya yang lahir secara tiba-tiba. Meskipun karya sastra adalah hasil imajinasi, tetapi imajinasi tidak lahir dari kekosongan, melainkan memiliki akar tempatnya berpijak, dan asal usulnya dapat dicari.28 Perubahan gaya bahasa memicu perkembangan genre yang selanjutnya menjadi indikator terhadap penyerapan sistem sosial ke dalam karya seni. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dan genre membantu efektivitas pemahaman terhadap masyarakat yang terungkap di dalam karya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kekhasan dari seorang pengarang atau karya dalam suatu periode. 25
Ibid., h. 67. Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 226. 27 Ibid. 28 Kutha Ratna, op. cit., h. 69. 26
21
3. Jenis-jenis Gaya Bahasa Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandangan. Oleh karena itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Tarigan menyebutkan, bahwa ada sekitar 60 gaya bahasa dan digolongkan menjadi empat
kelompok,
yaitu
gaya
bahasa
perbandingan,
gaya
bahasa
pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.29 Berbeda
dengan
yang
dikemukakan
Widyamartaya,
yaitu
dengan
mengistilahkan pembagian jenis gaya bahasa dengan gaya umum. Maksudnya, gaya umum itu dapat ditambah, diperbesar dengan salah satu cara. Lebih lanjut ia membagi menjadi lima kelompok cara agar gaya umum dapat diperbesar daya tenaganya, yaitu mengadakan perbandingan, pertentangan, pertukaran, perulangan, dan mengadakan perurutan yang bertujuan.30 Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian gaya bahasa yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Sudah disebutkan pula, pembagian jenis-jenis gaya bahasa dari berbagai ahli. Akan tetapi, dalam hal ini penulis lebih merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Gorys Keraf mengenai pembagian jenis-jenis gaya bahasa. Di dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa, Gorys keraf membagi jenis-jenis gaya bahasa menjadi dua, kemudian jenisjenis tersebut dibagi lagi menjadi subjenis lain. Pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri.31 Alasan penulis merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Gorys Keraf, karena pembahasan gaya bahasa terutama dalam pembagian jenis-jenis gaya bahasa, Gorys Keraf terlihat lebih luas dan mendalam.
29
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6. A. Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat: Bagaimana Mengembangkan, Mengefektifkan dan mencitarasakan kalimat, (Yogyakarta: Kasinius, 1990), h. 53. 31 Gorys Keraf, op. cit., h. 115. 30
22
Melalui buku Diksi dan Gaya Bahasa, dapat dilihat alasan Gorys Keraf menulis pembahasan tentang diksi dan gaya bahasa. Gorys berpandangan bahwa untuk dapat menulis sebuah karangan, baik fiksi maupun ilmiah tentulah dibutuhkan persyaratan tertentu. Persyaratan yang dimaksud Gorys antara lain seorang pengarang harus mampu memilih kata-kata yang tepat, harus luas kosa katanya, harus mampu menggunakan kamus yang ada. Di samping itu, ia juga berpandangan bahwa seorang penulis harus pula mampu mengungkapkan maksud dengan gaya bahasa yang cocok dan tepat. Persyaratan tersebut yang menjadi titik berat pembahasan buku Diksi dan Gaya Bahasa ini. Gorys menguraikan secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami, dan disertai dengan contoh-contoh konkret.32 Sudah disebutkan sebelumnya bahwa Gorys Keraf membagi jenisjenis gaya bahasa menjadi dua, kemudian dari kedua jenis gaya bahasa tersebut diuraikan kembali menjadi subjenis yang lain. Berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang dimaksud oleh Gorys Keraf. a. Segi Nonbahasa Dari segi nonbahasa, gaya bahasa dapat dibagi atas tujuh pokok, yaitu sebagai berikut. 1) Berdasarkan pengarang, artinya gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau pengikut-pengikutnya,
32
Buku Diksi dan Gaya Bahasa karya Gorys Keraf ini juga merupakan satu rangkaian dengan buku-bukunya yang lain, seperti Komposisi, Eksposisi, Deskripsi, Argumentasi, dan Narasi. Lebih lanjut, buku Diksi dan Gaya Bahasa ini merupakan lanjutan dari buku Komposisi. Buku Komposisi dimaksudkan terutama untuk meletakkan dasar-dasar karangmengarang bagi mahasiswa atau siapa saja yang ingin menggarap karangan secara baik dan teratur. Sementara itu, buku Diksi dan Gaya Bahasa mencoba memperkenalkan komposisi dilihat dari segi retorika. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat konsentrasi Gorys Keraf dalam membahas permasalahan karang-mengarang.
23
sehingga dapat membentuk sebuah aliran, misalnya gaya Chairil atau gaya Sutardji.33 2) Berdasarkan Masa, artinya gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan sebagainya.34 3) Berdasarkan Medium, maksudnya adalah medium merupakan bahasa dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri.35 4) Berdasarkan Subyek, artinya subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan.36 5) Berdasarkan Tempat, artinya bahwa gaya mendapat nama dari lokasi geografisnya, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan ekspresi bahasanya.37 6) Berdasarkan Hadirin, artinya hampir sama dengan subyek, bahwa hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang.38 7) Berdasarkan Tujuan, artinya gaya ini memperoleh nama dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin mencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimental, gaya sarkatik, gaya diplomatis, gaya agung, ada pula gaya humor.39
33
Gorys Keraf, loc. cit. Ibid., h. 116. 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid. 34
24
b. Segi Bahasa Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, sebagai berikut. 1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata40 Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dapat dikatakan, gaya bahasa mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapat dibedakan menjadi tiga jenis gaya bahasa. Pertama, gaya bahasa resmi, yaitu gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi,
gaya
yang
dipergunakan
oleh
mereka
yang
diharapkan
mempergunakannya dengan baik dan terpelihara.41 Kedua, gaya bahasa tak resmi, biasanya gaya bahasa ini dipergunakan dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, kolumnis, dan sebagainya. Singkatnya, gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum pelajar.42 Ketiga, gaya bahasa percakapan, yaitu gaya bahasa dalam percakapan, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun, di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan. Biasanya segi-segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian pula segisegi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan.43
40
Ibid., h. 117. Ibid. 42 Ibid., h. 118. 43 Ibid., h. 120. 41
25
2) Gaya Bahasa Berdasarkan Nada Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan.44 Nada pertama-tama lahir dari sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata. Sementara itu, rangkaian kata-kata tunduk pada kaidahkaidah sintaksis yang berlaku, maka nada, pilihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya berjalan sejajar, dimana yang satu akan mempengaruhi yang lain. Berdasarkan nada, gaya bahasa terbagi tiga, yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah. Akan tetapi, dalam hal ini hanya dijelaskan mengenai gaya mulia dan bertenaga. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, berdasarkan nadanya penulis menemukan adanya persamaan, yaitu sama-sama menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Sesuai dengan namanya, gaya mulia dan bertenaga ini penuh dengan vitalitas dan energi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemulian. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar.45 3) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Ada kalimat yang periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Jenis ketiga adalah kalimat berimbang, 44 45
Ibid., h. 121. Ibid., h. 122.
26
yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat.46 Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat yang telah disebutkan, maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa, seperti klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi. Di dalam gaya bahasa berdasarkan struktur kalimatnya penulis hanya menjelaskan gaya bahasa repetisi. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, berdasarkan struktur kalimatnya, penulis menemukan adanya persamaan, yaitu sama-sama menggunakan gaya bahasa repetisi. Pengertian gaya bahasa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. 47 4) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Akan tetapi, bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksud di sini.48 Gaya bahasa dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok. Pertama, gaya bahasa retoris, yaitu semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris meliputi, aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau
46
Ibid., h. 124. Ibid., h. 127. 48 Ibid., h. 129. 47
27
pernyataan retoris, silepsis dan zeugma, koreksi atau epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron. Kedua, gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Gaya bahasa kiasan meliputi, persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi
atau
prosopopoeia,
alusi,
eponim,
epitet,
sinekdoke,
metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia. Pembahasan mengenai gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, baik yang meliputi gaya bahasa retoris maupun yang meliputi gaya bahasa kiasan, penulis hanya menjelaskan jenis gaya bahasa simile atau persamaan dan gaya bahasa ironi. Hal ini karena di dalam analisis puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Bang Haji, penulis menemukan adanya perbedaan, yaitu Gus Mus lebih cenderung banyak menggunakan gaya bahasa simile, sementara Bang Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi. Gaya
bahasa
persamaan
atau
Simile
adalah
gaya
bahasa
perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain. Oleh karena itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.49 Sedangkan gaya bahasa ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian katakatanya.50 Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ironi akan berhasil jika pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya. 49 50
Ibid. h. 138. Ibid., h. 143.
28
B. Puisi 1. Pengertian Puisi Puisi merupakan salah satu genre sastra. Banyak ahli yang masih memperdebatkan apa itu puisi. Begitu banyak definisi yang menjelaskan tentang puisi, namun masih ada sebagian orang yang merasa tidak puas dengan definisi yang telah diberikan. Secara mendasar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan baik; gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.51 Kosasih berpandangan, puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna, di mana keindahan sebuah puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama yang terkandung dalam karya sastra itu.52 Lebih lanjut, Kosasih menambahkan bahwa kekayaan makna yang terkandung dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa, di mana bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan yang digunakan seharihari, yaitu menggunakan bahasa yang diringkas, namun maknanya sangat kaya.53 Sementara itu, Waluyo mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.54 Definisidefinisi yang sudah disebutkan tidaklah salah. Akan tetapi, Wahyudi Siswanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra mengingatkan, hakikat 51
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112. 52 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 97. 53 Ibid. 54 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 25.
29
puisi harus ditinjau dari segi pengarang dan pembaca. Artinya, puisi merupakan karya yang dimaksudkan oleh pengarang sebagai puisi dan diterima dengan sama oleh pembaca.55 Sedangkan Goenawan Muhamad (GM), penyair besar Indonesia, memiliki pandangan tersendiri mengenai hakikat puisi. Goenawan berpendapat bahwa puisi bukanlah rangkaian katakata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah persentuhan antara kita dan dunia luar, antara kita dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita—sebuah kotak yang, dalam kata-kata seorang penyair, ―sederhana, seperti nyanyi‖.56 Sejalan dengan yang dikemukakan Goenawan Muhamad, dalam buku The Norton Reader An Anthology of Expository prose dikatakan bahwa the work of the poet comes to meet the spiritual need of the society in which he live, and for this reason his work means more to him than his personal fate, whether he is a aware of this or not,57 artinya, bahwa karya penyair datang untuk memenuhi kebutuhan spiritual dari masyarakat di mana ia hidup, dan untuk alasan ini karyanya berarti lebih baginya daripada nasib pribadinya, apakah ia menyadari hal ini atau tidak. Berdasarkan definisi yang sudah disebutkan dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah ragam sastra berupa luapan jiwa yang tersusun secara baik dengan bahasa yang terikat oleh irama, matra, rima, penyusunan larik dan bait yang memberikan keindahan serta di dalamnya mengungkapkan perasaan penyair dengan tetap berkonsentrasi pada struktur fisik dan struktur batinnya. 2. Struktur Puisi Keberadaan suatu karya sastra merupakan hasil cipta dari beberapa struktur. Struktur tersebut menjadi pembangun yang penting sebagai 55
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 108. Abdul Rozak Zaidan, Goenawan Muhamad, Berpuisi dengan Ironi, (Jakarta: Bukupop, 2009), h. 26. 56
57
Arthur M. Eastman (ed), The Norton
Reader An Anthology of Expository
prose, (London: W. W. Norton & Company, 1984), h. 596.
30
pondasi kuat penyangga karya sastra. Begitu pula dalam puisi, tentunya terdiri dari beberapa struktur yang membangunnya. Waluyo membagi struktur puisi ke dalam dua macam, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Sejalan dengan pernyataan Waluyo, Aswinarko dan Ahmad Bahtiar mengatakan, bahwa struktur fisik secara tradisional disebut elemen bahasa, sedangkan struktur batin secara tradisional disebut makna puisi.58 Bentuk fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentuk nada dan larik puisi, termasuk ke dalamnya perwajahan puisi (tipografi), diksi, pengimajian, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, dan versifikasi. Sementara yang mencakup struktur batin adalah tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat. Berikut ini penjelasan mengenai struktur fisik dan batin puisi yang dikemukakan Waluyo, dan nantinya dijadikan rujukan penulis dalam menganalisis karya yang akan diteliti. a) Perwajahan (tipografi) Perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Siswanto juga menjelaskan bahwa pada puisi konvensional, katakata yang digunakan diatur dalam deret yang disebut larik atau baris, di mana larik atau baris dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri tanda titik.59 Lebih lanjut, Waluyo menjelaskan bahwa tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa maupun drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan. Ciri-ciri demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.60 Berdasarkan hal
58
Aswinarko dan Ahmad Bahtiar, Kajian Puisi Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra Press, 2013), h. 49. 59 Siswanto, op. cit., h. 113. 60 Waluyo, op. cit., h. 97.
31
tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan tipografi dalam puisi sangat berpengaruh terhadap pemaknaan puisi. b) Versifikasi Versifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritma, dan metrum. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Melalui pengulangan bunyi, puisi menjadi merdu jika dibaca. Penyair juga mempertimbangkan lambang-lambang bunyi agar pemilihan bunyi-bunyi tersebut mendukung perasaan dan suasana puisi.61 Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Slamet Muljana dalam Waluyo menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.62 Ritma puisi berbeda dari metrum (matra), di mana metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap, dan sifatnya statis. c) Diksi Siswanto menyatakan bahwa diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang dengan sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan Siswanto, Waluyo juga menyatakan bahwa penyair tidak hanya cermat dalam memilih kata-kata, sebab kata-kata yang tulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.63 Oleh karena itu, di samping memilih kata yang tepat, penyair
61
Waluyo, op. cit., h. 90. Ibid., h. 94. 63 Ibid., h. 72. 62
32
juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata dalam puisi bersifat konotatif dan ada pula kata-kata yang berlambang. Kata berkonotasi adalah kata yang bermakna tidak sebenarnya.
Kata-kata
tersebut
berfungsi
sebagai
kiasan
atau
perbandingan. Sementara itu, kata berlambang adalah suatu gambar, tanda, atau kata yang menyatakan maksud tertentu. Penggunaan kata berlambang berfungsi untuk menambah keestetikaan puisi. Pemilahan kata juga berhubungan erat dengan latar belakang penyair. Semakin luas wawasan penyair, semakin kaya dan berbobot kata-kata yang digunakannya. Kata dalam puisi tidak hanya sekedar kata-kata yang dihafalkan, tetapi sudah mengandung pandangan penyair. Di dalam puisi sering sekali terdapat penyimpangan-penyimpangan. Geoffry dalam Siswanto menyebutkan ada sembilan jenis penyimpangan yang sering dijumpai dalam puisi, yaitu (1) penyimpangan leksikal, (2) penyimpangan
semantis,
(3)
penyimpangan
fonologis,
(4)
penyimpangan morfologis, (5) penyimpangan sintaksis, (6) penggunaan dialek, (7) penggunaan register, (8) penyimpangan historis, dan (9) penyimpangan grafologis.64 d) Kata Konkret dan Kata Abstrak Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra.65 Suatu kata harus diperkonkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca. maksudnya adalah, bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Sama halnya dengan pengimajian, kata yang diperkonkret erat hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair, sehingga pembaca terlibat penuh 64 65
Siswanto, op. cit., h. 116. Ibid., h. 119.
33
secara batin ke dalam puisinya. Sementara itu, kata abstrak adalah berupa gambar, tanda, atau kata yang menyatakan maksud tertentu, sehingga kata abstrak lebih berfungsi untuk menambah keestetikaan puisi. e) Imaji atau Pencitraan Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Waluyo menyatakan, bahwa pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan.66 f) Bahasa figuratif (majas) Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. Pembahasan mengenai bahasa figuratif sudah dijelaskan secara lebih mendalam di bagian awal bab ini. Hal tersebut dikarenakan penelitian utama ini menganalisis tentang gaya bahasa, sehingga analisis bahasa figuratif (majas) tidak ada di bagian struktur fisik dari karya yang dianalisis, melainkan di bagian analisis utama. Setelah dijabarkan mengenai struktur fisik puisi, berikut ini penulis akan menjabarkan mengenai struktur batin yang membangun puisi, di mana menurut Waluyo struktur batin puisi adalah hakikat puisi itu sendiri.
66
Waluyo, op. cit., h.78.
34
a) Tema Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair.67 Sementara itu, dalam buku The Norton Introduction to Literature dikatakan, bahwa some refer to the central idea, the thesis, or even the message of the story, and that is roughly what we mean by theme,68 artinya, bahwa beberapa tema mengacu pada ide sentral, tesis, atau bahkan pesan dari cerita. Dapat dikatakan, bahwa pokok pikiran atau pokok persoalan begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Melalui latar belakang yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema yang bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, serta dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). b) Rasa Rasa dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan dengan latar belakang sosial dan psikologis penyair, seperti latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyaraakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketetapan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi itu saja, tetapi lebih bergantung kepada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan
67
Ibid., h. 106. Peter Simon (ed), The Norton Introduction to Literature, (London: W. W. Norton & Company, 2002), h. 214. 68
35
kepribadiaan yang berbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.69 c) Nada Nada dalam puisi adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Ada penyair ketika menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecah masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, ada juga dengan nada sombong atau menganggap rendah dan bodoh pembaca.70 d) Amanat (pesan) Amanat yang hendak sampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah memahami tema, rasa, dan nada dari puisi itu sendiri. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan.71 3. Jenis-jenis puisi Melengkapi pengertian tentang puisi, perlu kiranya dibahas juga mengenai jenis-jenis puisi. Dalam hal ini penulis merujuk kepada pendapat yang dikemukakan Waluyo mengenai pembagian puisi. a) Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif sederhana, sugestif, dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif misalnya, epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Sementara dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia 69
Siswanto., op.cit, h. 125. Ibid. 71 Waluyo., op.cit, h. 130. 70
36
tidak bercerita. Contoh puisi ini adalah elegi, ode, dan serenada. Sedangkan dalam puisi deskriptif, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan atau peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatiaan penyair, misalnya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. b) Puisi Kamar dan Puisi Auditorium Istilah puisi kamar dan puisi auditorium dapat dijumpai dalam kumpulan puisi Hukla karya Leon Agusta. Puisi-puisi auditorium disebut juga Puisi Hukla (puisi yang mementingkan suara atau serangkaian suara). Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu sampai dua orang pendengar saja di dalam kamar. Sementara itu, puisi auditorium adalah puisi yang cocok untuk dibaca di auditorium atau di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang. c) Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisik Puisi fisikal bersifat realistis, menggambarkan kenyataan apa adanya. Artinya, bahwa yang dilukiskan adalah kenyataan, bukan gagasan. Sementara itu, puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Sedangkan puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan tuhan. d) Puisi Subyektif dan Puisi Obyektif Puisi subyektif disebut juga puisi personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Sedangkan puisi obyektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. e) Puisi Konkret Puisi konkret adalah puisi yang bersifat visual, dan dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut penglihatan (poems for the eye).
37
f) Puisi Diafran, Gelap, dan Prismatis Puisi diafran atau puisi polos adalah puisi yang kurang dalam menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figuratif, sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat mudah dihayati maknanya. Sedangkan, jika puisi terlalu banyak majas, maka puisi itu menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sementara itu, dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa, sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. g) Puisi Parnasian dan Puisi Inspiratif Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan, dan bukan didasari oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Sedangkan puisi inspiratif diciptakan berdasaran mood atau passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu. h) Stansa Stansa artinya puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan okaf, karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam stansa seluruh puisi itu hanya terdiri atas 8 baris. i) Puisi Demonstrasi dan Pamflet Puisi demonstrasi adalah puisi yag melukiskan perasaan kelompok, bukan perasaan individu. Puisi demonstrasi adalah endapan dari pengalaman fisik, mental, dan emosional para penyair. Gaya paradoks dan ironi banyak dijumpai dalam puisi ini. Sedangkan puisi pamflet juga mengungkapkan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan.
38
j) Alegori Puisi alegori adalah puisi yang sering mengungkapkaan cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. C. Musik dan Lirik Lagu 1. Pengertian Musik
Musik adalah aktivitas budaya yang sangat akrab dengan kehidupan manusia.72 Berbicara mengenai musik, maka berbicara tentang seni, sebab musik merupakan bagian dari seni. Indonesia kaya akan beraneka ragam kesenian, hal tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah mengerti akan kesenian. Bahkan mereka memfungsikan suatu kesenian khususnya seni musik untuk kepentingan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu sebagai ritual keagamaan, pendidikan, atau hanya sebagai hiburan semata. Rhoma Irama lewat lagunya yang berjudul Seni mengatakan, bahwa ―seni adalah bahasa, pemersatu alat bangsa, seni indah, mulia, suci, murni, tiada dosa‖. Selanjutnya, Dieter Mack dalam Teguh menyatakan, bahwa hakikat kesenian adalah ekspresi manusia.73 Sementara itu, Nanang dan Sugeng memiliki pandangan: Seni sebagai salah satu unsur dari budaya merupakan salah satu sistem nilai yang dijadikan oleh manusia untuk berproses dalam memanusiakan manusia. Manusia melalui tahapan atau fase perkembangannya mengalami proses penerimaan informasi dari lingkungannya baik itu disengaja maupun tidak informasi dimaksud akan terekam dalam memori (laci-laci), selanjutnya dari pengalaman tersebut akan membentuk suatu konsep atau sewaktu-waktu secara sadar dan terencana dapat dikoordinasikan dan diungkapkan melalui simbol-simbol.74 72
Djohan, Respons Emosi Musikal, (Bandung: CV. Lubuk Agung, 2010), h. 1. Teguh Esha., dkk, Ismail Marzuki: musik, tanah air, dan cinta, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. XX. 74 Nanang Supriatna dan Sugeng Syukur, Pendidikan Seni Musik, (Bandung, UPI Press, 2006), h. 1. 73
39
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa seni tidak terlepas dari manusia. Hal tersebut karena tanpa adanya unsur manusia, maka seni tidak akan tercipta. Begitupun ketika seni diciptakan, maka yang menikmati seni tersebut adalah manusia. Dari sinilah manusia memiliki nilai atau selera masing-masing dalam memandang suatu kesenian. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak dengan berbagai macam suku dan budaya. Nanang dan Sugeng berpendapat, bahwa banyaknya jenis musik yang ada ditentukan oleh jumlah suku bangsa Indonesia yang cukup banyak.75 Dapat dikatakan, bahwa berbagai macam suku dan budaya yang ada di Indonesia turut mempengaruhi pertumbuhan musik di Indonesia. Mulai dari musik yang sederhana, musik tradisional, hingga musik yang tergolong modern. Salah satu yang tergolong musik modern di sini adalah musik dangdut yang merupakan salah satu jenis musik asli Indonesia. Pada awal paragraf sempat disinggung bahwa musik merupakan bagian dari seni. Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan karya seni lain musik memiliki sifat menghibur, meskipun tidak semua musik dapat dikatakan memiliki sifat menghibur, seperti musik-musik yang digunakan dalam upacara adat atau keagamaan. Selalu terkandung nilai lebih yang ada di dalam pemaknaan secara tersirat yang terkandung pada musik. Dapat dipahami bahwa musik bukan hanya sekedar nada dan irama yang enak untuk didengar, tetapi dapat dilihat latar belakang sejarah terciptanya musik, karena dengan melihat latar belakang sejarah terciptanya musik, akan lebih dipahami seluruh substansi yang terkandung di dalam latar musik tersebut. Akan tetapi, meskipun ada hal yang lebih kompleks dari pemahaman seseorang terhadap musik, tetap saja kesan yang paling pertama muncul ketika seseorang mendengarkan musik adalah sebagai media untuk hiburan. Padahal, musik bukan hanya masalah auditif yang didengarkan melalui 75
Ibid., h. 13.
40
kedua belah telinga, tetapi menyangkut banyak aspek yang jauh lebih mendasar dan mendalam.76 Rhoma Irama dalam lagunya yang berjudul Musik mengatakan ―dengan adanya musik dunia ramai jadi berisik, tapi kalau tak ada musik, dunia sepi kurang asik‖. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa musik merupakan bunyi yang dapat diterima oleh individu, meskipun musik membuat kehidupan menjadi hingar-bingar, tetapi akan sangat terasa sepi jika dunia tanpa alunan-alunan musik. Jika dicermati lagi, belum pernah ada kasus orang jatuh sakit, terluka (harfiah) atau meninggal karena mendengarkan musik. Kecuali jika ada kasus bunuh diri karena mendengarkan sebuah lagu, secara psikologis tentu saja banyak alasan yang melatarbelakangi, bukan semata-mata karena musik. Musik bisa dianggap berbahaya ketika ada nilai atau ide dipenetrasikan ke dalam struktur lagu. Individu atau kelompok sosial memasukkan nilai atau ide lewat musikalisasi kata-kata (puisi).77 Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa musik tidak pernah mengancam eksistensi manusia. Justru yang dianggap mengancam adalah kata-kata yang terdapat dalam syair atau lirik sebuah lagu. Artinya, syair atau lirik memainkan peran sentral dalam komposisi lagu. Selain itu, gaya (style) dapat memunculkan strukturalisasi dalam musik. Pernyataan cukup menarik dilontarkan Alexander Pope yang mengatakan: Musik menyerupai sastra; dalam setiap perilakunya banyak bergaya Scotlandia. Artinya, musik tidak hanya diracik secara alamiah oleh semesta raya, tetapi juga dikonstruksi manusia dengan meniru suarasuara alam. Tiruan itu menimbulkan karakter akibat tipologi geografis dan kultur masyarakat. karakter berbeda-beda ini kemudian mampu menghadirkan nuansa nan khas ketika musik 76
Djohan, op. cit., h. 7. Utan Parlindungan S., Musik dan Politik: Genjer – Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2007), h. 153. 77
41
diciptakan. Nuansa itulah yang kemudian memberi warna (colour), gaya (style), atau aliran (genre). Kemudian suara-suara itu diejawantahkan menjadi nada-nada yang harmonis dan dikombinasikan dengan kata-kata (syair) yang mengandung makna. Kata-kata inilah yang dimaksudkan musik menyerupai sastra.78 2. Pengertian Lirik Lagu Berbicara tentang musik, maka di dalamnya akan terdapat istilah lagu yang merupakan bagian dari musik. Meskipun tidak semua musik di dalamnya terdapat lirik lagu, seperti musik intrumen. Akan tetapi, tidak sedikit juga musik yang di dalamnya terdapat lirik lagu. Di dalam lagu terdapat lirik yang merupakan salah satu bagian di dalam sebuah lagu yang fungsinya untuk mengungkapkan perasaan si pencipta. Meskipun hanya dengan suara musik sudah bisa mengungkapkan perasaan si pencipta, peran lirik pada sebuah lagu tetap sangat penting. Lirik dapat juga diartikan sebagai puisi yang dinyanyikan, karena itu ia disusun dalam susunan yang sederhana dan mengungkapkan sesuatu yang sederhana pula. Ragam bahasa lagu atau lirik lagu termasuk dalam kategori ragam bahasa tidak resmi atau disebut juga ragam non formal atau tidak baku. Ragam bahasa ini merupakan ragam santai dan akrab. Di dalam penulisan lagu, seorang pencipta lagu tidak terlalu mempersoalkan tentang kebakuan bahasa yang dipakainya. Pemakaian bahasa yang ditulis bersifat longgar seperti bahasa yang digunakan dalam situasi santai namun tentu tidak terlepas dari proses kreatif, seleksi kata dan bahasa. Utan Parlindungan menyatakan, bahwa makna yang dominan dalam sebuah lirik lagu akan sangat bergantung pada siapa yang menggunakannya dan dengan cara seperti apa ia digunakan. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kunci pokok dalam proses tersebut adalah infusi bahasa ke dalam musik lewat apa yang dikenal sebagai lirik.79 Berdasarkan hal tersebut, seorang pencipta ketika membuat lirik lagu harus bisa menimbulkan efek 78 79
Ibid., h. 35. Ibid., h. xvii.
42
keindahan serta harmonisasi yang tepat dengan aransemen musik, sehingga lirik tersebut mampu memberikan kenikmatan tersendiri, terutama bagi pendengarnya. Kenikmatan suatu lirik akan terlihat ketika pendengarnya ikut terbawa suasana yang diciptakan oleh pencipta lagu. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat hegemoni yang nyata dari sebuah musik, bahwa tanpa disadari atau tidak musik berpengaruh dan dapat membuat seseorang tenang, agresif, gembira, mengingat suatu hal atau kejadian, serta dapat pula membuat sedih bahkan menangis.80 Pengaruh musik sangat bergantung sekali pada fungsi (ragam) bahasa dan panca indera (khususnya fungsi telinga dan fungsi otak kanan manusia). Selain itu, lingkungan tempat dan asal bunyi didengarkan dan diekspresikan dapat membentuk karakter suara musik tertentu. Kecocokan lagu dengan suasana hati dapat meningkatkan emosi, dan pada gilirannya akan memberikan pengaruh-pengaruh tertentu.81 Menimbulkan efek keindahan lirik lagu tidaklah mudah. Sebab, keindahan bukan hanya terlihat dari efek yang ditimbulkan lagu kepada pendengarnya saja. Akan tetapi, suatu keindahan juga dituntut dari bahasa pada lirik lagu sendiri. Hal tersebut membuat seorang pencipta lagu harus cermat dalam memilih kata yang tepat, memiliki keselarasan nada maupun irama, serta memperhatikan nilai rasa. Dari sinilah akan terlihat ciri-ciri khusus pada lirik lagu yang membedakan antara pencipta yang satu dengan pencipta yang lain. Seorang pencipta lagu dalam menulis lirik lagu mementingkan faktor linguistik untuk mewujudkan hasil karyanya, di antaranya pilhan kata dan gaya bahasa. Faktor diksi (pilihan kata) dalam lirik lagu merupakan faktor penting, karena pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan musik merupakan daya tarik dari suatu lagu. Demikian juga dengan gaya bahasa, merupakan faktor yang membentuk suatu keindahan lagu. Sehubungan dengan pemilihan kata, kesesuaian kata meliputi bentuk dan arti. Bentuk 80 81
Ibid., h. 155. Ibid., h. 21.
43
merupakan wujud ujaran yang diucapkan manusia, sedangkan arti mengacu pada pesan yang ingin disampaikan. Arti memiliki tipe-tipe sesuai dengan kedudukan pemakai bahasa dalam suatu kalimat. Pemilihan kata yang tepat, suatu karya akan memberi kesan kepada para pembaca atau pendengar. D. Hakikat Pembelajaran Sastra 1. Kurikulum dan Pembelajaran Sebelum dibahas mengenai hakikat pembelajaran sastra, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu mengenai kurikulum dan pembelajaran, di mana keduanya tercakup di dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi satu-satunya jendela yang mampu mendidik bangsa menuju kemajuan, baik dalam hal intelektualitas, moralitas, maupun ilmiah.82 Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Sementara itu, pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Pembelajaran yang baik dan tepat akan mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang tertuang dalam Bab II, pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.83
82
Mukhlis PaEni (ed), Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 257. 83 A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 141.
44
Di dalam pendidikan, selain ada proses pembelajaran tentunya terdapat kurikulum. Sebagaimana diungkapkan Wina Sanjaya di dalam buku Kurikulum dan Pembelajaran adalah sebagai berikut. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua hal yang tidak terpisahkan walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda. Kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan; serta isi yang harus dipelajari; sedangkan pengajaran adalah proses yang terjadi dalam interaksi belajar dan mengajar antara guru dan siswa. Dengan demikian, tanpa kurikulum sebagai sebuah rencana, maka pembelajaran atau penagajaran tidak akan efektif; demikian juga tanpa pembelajaran atau pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka kurikulum tidak akan memiliki arti apa-apa.84 Berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya, dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan pedoman dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebagai sebuah pedoman, kurikulum ideal memegang peran yang sangat penting dalam merancang pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa. Sebab, melalui pedoman tersebut guru minimal dapat menentukan hal-hal sebagai berikut: 1. Merumuskan tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Dapat dibayangkan tanpa tujuan yang jelas sebagai rambu-rambu, maka guru akan kesulitan menetukan dan merencanakan program pembelajaran; 2. Menentukan isi atau materi pembelajaran yang harus dikuasai untuk mencapai tujuan atau penguasaan kompetensi; 3. Menyusun strategi pembelajaran untuk guru dan siswa sebagai upaya pencapaian tujuan. 4. Menentukan keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi.85 2. Hakikat Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses 84
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-4, 2008), kata pengantar. 85 Ibid., h. 22.
45
kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Melalui pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hapalan nama-nama judul karya sastra atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya.86 Dapat dikatakan, melalui pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan membiasakan diri peserta didik untuk berpikir kritis, terbuka, dan bersikap jujur. Masalah yang muncul saat ini adalah kurangnya minat baca di sekolah membuat karya-karya sastra kurang diminati oleh siswa. Hal tersebut dapat dilihat dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, sedikit sekali pembahasan mengenai sastra dibahas. Akibatnya, banyak siswa yang tidak mengerti tentang sastra. Dari situlah muncul pandangan bahwa karya sastra dianggap tidak bermanfaat. Jika hal tersebut sampai terjadi, maka sastra sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai bahan untuk memahami masalahmasalah yang terjadi di dunia. Akan tetapi, Rahmanto memiliki pandangan, jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.87 Masalah lain yang terjadi dalam pendidikan adalah bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Berdasarkan hal tersebut, Rahmanto memiliki pandangan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara 86 87
Siswanto, op. cit., h. 168. B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kasinius, 2000), h. 15.
46
utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.88 Selain itu, salah satu unsur yang terdapat dalam sebuah karya sastra adalah penggunaan gaya bahasanya. Penggunaan gaya bahasa juga turut memperkaya
kosakata
siswa.
Hal
tersebut
sejalan
dengan
yang
dikemukakan oleh Tarigan dalam buku Pengajaran Gaya Bahasa adalah sebagai berikut. Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan erat, hubungan timbal balik. Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran bahasa, pengajaran gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata para siswa.89 Berdasarkan pendapat di atas, betapa pentingnya pengajaran sastra di sekolah. Selain mencakup empat manfaat yang telah diungkapkan oleh Rahmanto, pembelajaran sastra juga dapat memperkaya kosakata siswa. E. Penelitian Relevan Menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil penelusuran, penulis menemukan adanya skripsi yang membahas tentang lirik lagu Rhoma Irama, yaitu Analisis Nilai-Nilai Pendidikan dalam Syair Lagu-Lagu H. Rhoma Irama oleh Lulu Ria Sari (2815001926), Jurusan Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta (2007). Skripsi tersebut membahas tentang nilai-nilai pendidikan, seperti logika, etika, estetika, dan religi yang terkandung dalam 88 89
Ibid., h. 16. Tarigan, op. cit., h. 5.
47
syair lagu-lagu Rhoma Irama. Skripsi lain yang membahas Rhoma Irama, yaitu The Voice of Moslem: Dangdut Dakwah Rhoma Irama Bersama Soneta 1972-2000 oleh Sulaiman Yudha Harahap (NPM: 070404044Y), program studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (2010). Skripsi tersebut membahas tentang perjalanan dangdut dakwah Rhoma Irama bersama Soneta pada kurun waktu 1972-2000. Selain memaparkan sejarah dan hibridasi musik melayu, penelitian ini juga menunjukkan bagaimana dangdut dakwah Rhoma Irama bersama Soneta dapat bertahan dan sukses di industri musik nasional, bahkan menjadi salah satu ikon musik populer Indonesia. Penelitian tersebut juga mengutarakan bahwa kekuatan dakwah dalam dangdut Rhoma Irama terletak pada liriklirik lagunya yang argumentatif, komunikatif, dan inspiratif. Sementara itu, penelitian mengenai Mustofa Bisri, penulis temukan di skripsi yang berjudul Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi Puisi Karya A. Mustofa Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut hanya dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam antologi puisi Tadarus. Skripsi lain yang membahas A. Mustofa Bisri, yaitu Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat” dan “ Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014), program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut hanya dibatasi pada 2 puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial dalam puisi ―Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat‖ dan ―Saling‖, serta implikasi kedua puisi tersebut dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
48
Berdasarkan hasil penelusuran di atas, penulis menemukan perbedaan mengenai pembahasan yang dilakukan, di mana penulis meneliti Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya A. Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Perbedaan mengenai pembahasan dengan empat skripsi yang telah ditemukan adalah pada skripsi pertama, meskipun objek penelitiannya sama (Rhoma Irama), tetapi fokus pembahasannya berbeda, yaitu nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam syair lagu Rhoma Irama, serta lagu-lagu yang dipilih untuk dianalisis pun berbeda. Selanjutnya perbedaan dengan skripsi yang kedua terletak pada fokus pembahasannya, di mana pada penelitian kedua fokus pembahasannya tentang sejarah dan hibridasi musik melayu serta kekuatan dakwah dalam dangdut Rhoma Irama yang terletak pada lirik-lirik lagunya. Kemudian, perbedaan dengan skripsi yang ketiga terletak pada fokus pembahasannya. Pada penelitian ketiga objek penelitiannya adalah kumpulan puisi karya A. Mustofa Bisri yang termuat di dalam Antologi Puisi Tadarus. Sementara itu, perbedaan dengan skripsi yang keempat juga terletak pada fokus pembahasannya. Pada penelitian keempat objek penelitiannya hanya pada 2 karya A. Mustofa Bisri, yaitu puisi ―Kalau Sibuk Kapan Kau Sempat‖ dan ―Saling‖. Selain itu, fokus penelitiannya berbeda, yaitu mengenai kritik sosial yang terdapat dalam dua puisi tersebut. Berdasarkan perbedaan keempat penelitian yang relevan di atas, peneliti terinspirasi untuk menjadikan A. Mustofa Bisri dan Rhoma Irama sebagai objek penelitian. Meskipun objek penelitian ini serupa dengan keempat penelitian yang sudah dijelaskan, tetapi skripsi ini memiliki perbedaan yang menjadi nilai tersendiri, yakni dengan membandingkan karya dari kedua objek penelitian. Dikatakan berbeda karena dari keempat penelitian yang sudah dijelaskan di atas, penelitian-penelitian tersebut hanya menjadikan satu tokoh sebagai objek penelitiannya, yaitu dengan memilih Rhoma Irama atau A. Mustofa Bisri. Sedangkan penulis memilih untuk
49
menjadikan kedua tokoh tersebut sebagai objek penelitian, di mana nantinya dari karya kedua tokoh tersebut akan dibandingkan pada aspek gaya bahasanya. Selain itu, pada penelitian ini, penulis juga mengaitkan kedua karya dari kedua tokoh tersebut dengan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Tujuan menggabungkan antara perbandingan gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu dengan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi dan implikasinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah untuk melihat hubungan yang baik dan positif dalam pembelajaran. Hal ini akan terlihat dampaknya jika para siswa tidak hanya paham pelajaran atau materi secara teoretis, tetapi juga cakap dalam mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III BIOGRAFI TOKOH
A. Ahmad Mustofa Bisri 1. Biografi A. Mustofa Bisri K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di Rembang Jawa Tengah, 10 Agustus 1994, dari keluarga santri. Kakeknya, Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Begitu pula dengan ayahnya, K.H Bisri Mustofa merupakan seorang ulama kharismatik tersohor yang juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.90 Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama menyangkut prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya pun terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah (setingkat dengan jenjang SMP). Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Setelah dua tahun di Pesantren Lirboyo, ia pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H. Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian ia kembali ke Rembang untuk mengaji langsung di bawah asuhan ayahnya.91 K. H. Ali Maksum dan K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964, Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil
90
Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri diakses dari http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-bisri/biografi/indexs.html diakses pada 20 Maret 2014 91 Ibid
50
51
jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Almarhum).92 Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat. Kiai yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin (menggantikan ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu. Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu, Mochamad Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana.93 Kakek dari empat cucu ini seharihari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya, Almas. Setelah kakaknya, K. H. Cholil Bisri, meninggal dunia, ia sendiri yang memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang itu sudah berdiri sejak tahun 1941. Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya. Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya, 92 93
Ibid Ibid
52
dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal disana. Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, Gus Mus juga seorang budayawan, pelukis, dan penulis. Gus Mus telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang sedang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memarkan lukisannya yang berjudul ―Berdzikir Bersama Inul‖.94 Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan budaya yang berkembang saat itu.95 Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya, Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar. Pada akhir tahun 1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim Supangkat, menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. ―sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindahindahkan‖, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.96 Gus Mus mulai akrab dengan dunia puisi saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat 94
Ibid Ibid 96 Ibid 95
53
majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Gus Mus diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Akan tetapi, ketika Gus Dur tahu, bahwa Gus Mus bisa melukis. Maka, ia diminta membuat lukisan sehingga jadilah coret-coretan, kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong.97 Sejak saat itu, Gus Mus hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku. Namun, Gus Dur pula yang ‗mengembalikan‘ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara ―Malam Palestina‖. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan puisi aslinya. Gus Mus yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair. Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta, kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota, bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Kiai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam kumpulan puisi, seperti Ohoi: Kumpulan Puisi balsem (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1995), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Wek-Wek: Sajak-sajak Bumilangit (1996), Sajak-sajak Cinta Gandrung (2000), Negeri Daging adalah antologi puisi Gus Mus yang terbaru (masuk dalam Seri Pustaka Puisi, Bentang Budaya, 2002).98 Kekuatan dan mumtaz puisi-puisi Gus Mus terletak pada tematiknya, yang merambah wilayah sosio-religi. Meskipun sesekali menyentuh ranah politik, bahkan menyentil kebekuan dunia birokrasi. Kritiknya pedas, juga tidak menusuk ulu hati, tetapi meledakkan 97
Ibid Arief Fauzi Marzuki, Gus Mus Pada Sebuah Negeri Daging, Republika, edisi 9 Februari 2003, h. 8. 98
54
rasa kemanusiaan kita yang terkadang terkesan lucu, kocak, dan penuh banyolan.99 Gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajaksajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam pengucapan, tetapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tetapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Hal tersebut diungkapkan oleh ―Presiden Penyair Indonesia‖, yaitu Sutardji Calzoum Bachri yang menilai tentang kepenyairan Gus Mus. Kesederhanaan Gus Mus telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia pernah didorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural agar mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PBNU pada Muktamar NU ke31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya untuk menandingi dan menghentikan langkah maju K. H. Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap sebagai salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum yang lama. Akan tetapi, Gus Mus justru bersikukuh menolak. Alhasil, Hasyim Muzadi, mantan calon wakil presiden yang ketika itu berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarno Putri dari PDI Perjuangan pada Pemilu Presiden 2004 itu terpilih kembali sebagai Dewan Tahfiidzah ‗berpasangan‘ dengan K. H. Ahmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PBNU. Muktamar tersebut meninggalkan catatan tersendiri bagi Gus Mus, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur. Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Contohnya adalah kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, tahun 1987-1992 99
Ibid
55
mewakili PPP dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PBNU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Selanjutnya, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun ke gelanggang politik, apalagi terlibat aktif di dalamnya. Sosok Gus Mus begitu lentur, produktif, aktif, dan supel. Hal ini mengantarkannya memperoleh banyak apresiasi dari berbagai pihak, terutama dari kalangan cendekiawan, sastrawan, seniman, dan budayawan. Sejumlah sastrawan, seperti Taufik Ismail, Goenawan Muhamad, Emha Ainun Nadjib, Sutarji Calzoum Bahri, Syu‘ba Asa, dan Slamet Effendi Yusuf telah mengurai kepiawaian Gus Mus dalam buku berjudul Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu, yang diterbitkan LkiS bekerjasama dengan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga. 2. Pemikiran Mustofa Bisri tentang sastra Sebelum mengkaji puisi Ibu lebih jauh yang nantinya akan dibandingkan mengenai gaya bahasanya dengan lirik lagu Rhoma Irama yang berjudul Keramat, berikut ini pemaparan singkat mengenai pemikiran Mustofa Bisri tentang sastra. Hal tersebut sangat penting, sebab jika berbicara karya sastra, maka tidak lepas dari pengarangnya. Selain itu karya sastra tidak terlepas dari cerminan hidup pengarangnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wahyudi Siswanto, bahwa karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan pengungkapan pribadi pengarang.100 Terlahir di lingkungan keluarga yang taat beragama, A. Mustofa Bisri selain dikenal sebagai pengarang, juga sebagai seorang kiai dan tokoh di Jajaran Rais PBNU. Kegemarannya menulis, membuat Gus Mus disebut sebagai kiai yang nyeleneh. Sementara, ia sendiri berpendapat, bahwa bersastra sudah menjadi tradisi para ulama sejak dulu, karena sastra itu diajarkan di pesantren. Ia juga menambahkan, bahwa setiap malam Jumat 100
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 68.
56
paling tidak membaca puisi, Burdah, dan Barzanzi. Hal tersebut menurutnya, bahwa puisi, Burdah, dan Barzanzi merupakan karya sastra yang agung, sedangkan Al-Quran sendiri merupakan maha karya sastra yang paling agung.101 Berdasarkan pernyataan tersebut, semakin jelaslah kecintaan A. Mustofa Bisri pada dunia sastra. Melihat pandangan hidup Mustofa Bisri, dapat dilihat dari dua sisi latar belakangnya, yaitu seorang ulama dan juga seorang penyair. Ia memandang dunia dengan mata batin seorang ulama sekaligus mata batin seorang penyair. Hal tersebut diungkapkan oleh Jamal D. Rahman yang mengatakan, bahwa pandangan dunianya adalah pandangan dunia ulama sekaligus seorang penyair. Seorang ulama memandang dunia dari sudut agama; pandangan dunianya mereflesikan kesadaran religiusnya. Sementara, seorang penyair memandang dunia ini intuisi kepenyairannya; pandangan dunianya mereflesikan bangunan intuitifnya. Keduanya bertemu pada satu titik: baik ulama maupun penyair berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi dan personal, yang sepintas tak ada hubungannya dengan apapun selain dirinya sendiri; pada saat yang sama keduanya berbicara tentang masalah sosial. Pada tingkat praktis, seorang ulama teguh melakukan ibadah yang sangat personal dan individual, dan pada saat yang sama melakukan layanan sosial keagamaan; sejurus dengan itu, seorang penyair menulis puisi sunyi, pada saat yang sama menulis juga puisi sosial yang hiruk pikuk.102 Pada awalnya, menjadi penyair atau sastrawan bukanlah cita-cita Gus Mus. Hal inilah yang membuatnya tidak pernah berlindung di balik kata-kata. Gus Mus mengatakan, ―Barangsiapa membaca puisi-puisi saya yang terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul Sajak-sajak Balsem, ia tidak perlu mengerutkan jidatnya lebih dulu buat memahaminya. Seperti halnya Balsem, sajak-sajak saya langsung pada tujuannya, lugas dan tegas. 101
Anonim, Komunitas Mata Air-Mustofa Bisri, Kiai, Penyair dan Pelukis-dalam http://www.gusmus.net/page.php?mod=statis&id=1, 102 Jamal D. Rahman, A. Mustofa Bisri, Seorang Ulama-Penyair, dalam Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds), Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 29.
57
Layaknya orang yang diolesi balsem, kelompok orang yang saya singgung dalam puisi saya juga akan merasa panas, tapi hanya sebentar. Setelah itu, ia bisa saja malah membenarkan apa yang ingin saya coba sampaikan sajaksajak tersebut‖.103 Kemunculan Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia dianggap telah memberikan angin segar, tidak saja bagi puisi Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Jamal D. Rahman yang mengatakan bahwa puisi-puisi Gus Mus adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Di tahun 1980-an, kebanyakan puisi protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata mendelik. Sedangkan, Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras, namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita geram, namun juga tersenyum. Senyum pahit, tentu saja.‖104 Di dalam proses kreatifnya, Gus Mus mengaku hanya menulis, karena menurutnya, dirinya hanya menulis dan tidak bisa menilai, bahkan sekedar mengomentari tulisannya sendiri. Pengakuan tersebut bisa saja sebagai bentuk kerendahatian atau strategi literer bahwa karya sastra yang ia tulis menjadi sah untuk diterima, apapun bentuk dan isi pemikirannya. Meskipun Sapardi Djoko Damono memberikan cap bahwa dari segi stalistik maupun tematik puisi Gus Mus menggunakan taktik yang sama dengan puisi mbeling, namun pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan puisi Gus Mus tidak memiliki ideologi literer maupun ideologisme sebagaimana puisi mbeling yang dimotori oleh Remy Sylado. Selain itu, puisi Gus Mus juga menyimpang dari kebiasaan gaya ungkap
103
Ruly Baharudin, Hidup dalam Sehari Kiai Haji Ahmad ‗Penyair Balsem‘ Mustofa Bisri, Republika, edisi 23 Mei 1993, h. 4. 104 Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds), op.cit., h. 30.
58
puisi yang dipakai oleh penyair mapan, seperti Taufik Ismail, Goenawan Muhamad, dan WS. Rendra.105 Gus Mus juga pernah menuturkan, bahwa ―saya tidak peduli orang mau mengatakan puisi saya itu apa. Tetapi, yang penting saya menulis puisi. Tidak menjadi soal mau digolongkan puisi mbeling, kontemporer atau apa lagi. Urusan saya kan menuangkan apa yang ingin saya tuangkan ke dalam puisi. Penggolongan itu urusan kritikus sastra‖.106 Gus Mus juga menanggapi komentar Sapardi Djoko Damono dengan dengan jujur. Ia menuturkan, bahwa ―kepada merekalah sedikit banyak saya belajar menulis puisi. Justru mereka yang cermat meneliti karya-karya saya, insya Allah saya akan dapat merasakan adanya berbagai pengaruh dari banyak penulis atau penyair lain di dalamnya. Ada puisi saya yang ‗berbau ka‘ab‘, ‗berbau Ma‘arry‘. ‗berbau Khayyam‘, ‗berbau Busheiry‘, ‗berbau Iqbal‘, ‗‘berbau Ibn Shabaq‘, ‗berbau Sauqi‘, ‗berbau Goenawan‘, ‗berbau Emha‘, ‗berbau Danarto‘, ‗berbau Taufiq‘, ‗berbau Sapardi‘, ‗berbau Zawawi‘, ‗berbau Yudistira‘...‖107 Ciri khas dari puisi Gus Mus dapat dilihat pada pengungkapan masalah sosial dan spritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari dan pengucapan yang lugas. Bahasa yang digunakan Gus Mus cukup wajar dan sederhana, namun di balik kesederhanaan tersebut terdapat makna yang lebih. Sajak-sajak Gus Mus juga banyak menggunakan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah sosial, sehingga seolah sajak tersebut bertemakan religi, padahal hakikatnya menyuarakan protes. Menyimak Gus Mus dan karya-karyanya, setidaknya terdapat beberapa bentuk pembebasan yang cukup menarik. Arif Fauzi Marzuki, dalam harian Republika, mengungkapkan ada tiga bentuk pembebasan yang 105
Abdul Wachid B.S., K. H. A. Mustofa Bisri dan Puisi, Pikiran Rakyat, edisi 23 Oktober 2005, h. 26. 106 Tri Agus Kristanto, ―K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi Balsem‖, dalam Harian Kompas, edisi 31 Januari 1994, h. 20. 107 Abdul Wachid B.S., loc. cit.
59
dilakukan oleh Gus Mus, yaitu pembebasan terhadap tradisi keulamaan, pembebasan pemakaian bahasa, pembebasan teori sastra yang baku.108 Pembebasan Gus Mus terhadap tradisi keulamaan dapat dilihat dari posisinya sebagai seorang ulama, namun muncul di tengah masyarakat sambil membacakan puisi secara nakal, sarat banyolan, dan kritik. Sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh seorang ulama. Selanjutnya, pembebasan yang dilakukan Gus Mus terhadap pemakaian bahasa dapat dilihat dari penggunaan
bahasa
pada
setiap
karya-karyanya.
Ia
tidak
hanya
menggunakan diksi-diksi atau metafor-metafor yang puitis dan penuh imaji, melainkan menggunakan bahasa keseharian yang akrab di telinga masyarakat. Hal itulah yang membuat jarak antara penyair dan penikmat sastra menjadi lenyap. Selain itu, dapat dilihat dari ketiadaan konsistensi pengucapan dan bentuk-bentuk dalam puisi-puisi Gus Mus, sehingga dapat dikatakan bahwa Gus Mus telah melakukan pembebasan teori sastra yang baku. Mengenai bentuk pengucapan yang dilakukan oleh Gus Mus dalam setiap puisi-puisinya, Dami N Toda mengungkapkan: Pengucapan puisi K. H. A Mustofa Bisri tuntas mengungkapkan kenyataan demi kenyataan yang merundung sejarah Tanah Air, terikut realistis lokasi tempat kejadian, objek penderita, dan namanama tokoh lakon yang terlibat menindihnya berupa referensi tak putus untuk hikmah inti permenungan kemanusian hakiki universal tanpa rasialis kulit luar membedakan suku, agama, partai/golongan keyakinan, Walaupun penyair masih tetap reservir referensi apologis, namun di dalam harmoni unsur-unsur referen itu, puisipuisinya justru semakin terukur rasa santun, jujur, luhur budi, tetapi rendah hati, universal bergema di dalam kalbu dan mengendap.109
108
Arief Fauzi Marzuki., loc. cit. Dami N. Toda, ―Baca Puisi Gus Mus di Universitas Hamburg‖, dalam Harian Kompas, edisi 16 Januari 2000, h. 5. 109
60
B. Rhoma Irama 1. Biografi Rhoma Irama Rhoma Irama lahir dengan nama Raden Irama, Rabu 11 Desember 1946 di Tasikmalaya sebagai anak keluarga ningrat yang terbiasa dipanggil ―Den‖ (raden). Rhoma merupakan putra kedua dari empat belas bersaudara, delapan laki-laki dan enam perempuan (delapan saudara kandung, empat saudara seibu dan dua saudara bawaan dari ayah tirinya). Nama Raden Irama merupakan pemberian sang ayah, Raden Burdah Anggrawirja, Komandan Batalion Garuda Putih yang bertugas di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Nama ―Irama‖ diambil dari simpati Raden Burdah pada grup ―Irama Baru‖ yang menimbulkan inspirasi pada dirinya untuk memberi nama anaknya dengan nama ―Irama‖, tanpa disertai harapan agar si anak kelak menjadi pemusik atau penyanyi. Justru Raden Burdah ingin anaknya kelak menjadi dokter, tidak lebih dari itu. Ibu Rhoma masih memiliki jalur sedarah dengan Pangeran Jayakarta, sedangkan ayahnya masih tergolong ningrat Sumedang. Semasa kecil ia biasa dipanggil Oma, panggilan sayang ibunya.110 Masa kecil Rhoma adalah masa-masa yang sangat istimewa. Sejak kelas nol, Rhoma sudah menyukai lagu dari berbagai penyanyi dan menyanyikannya. Sewaktu masih bersekolah di Tasikmalaya, satu kelas menjadi kosong karena pindah ke kelas lain untuk menyaksikan Rhoma menyanyi. Bakat musiknya sedikit banyak merupakan warisan dari ayahnya yang mahir bermain suling dan menyaksikan lagu-lagu Cianjuran. Di samping itu, pamannya, Arifin Ganda, juga turut andil dalam memupuk
110
4.
Moh. Shofan, Rhoma Irama Politik Dakwah dalam Nada, (Depok: Imania, 2014), h.
61
bakat alamiah Rhoma dalam bermusik dengan memperkenalkan lagu-lagu Jepang saat Rhoma masih kecil.111 Kecintaan Rhoma kecil pada dunia musik bukan berarti tak mendapat hambatan. Ia merasa bahwa pada masa kecil, lingkungan keluarganya tidak bersikap akrab terhadap bakat musiknya. Ayah dan ibunya adalah pasangan berdarah ningrat. Meski mereka menyukai musik, namun dunia musik bagi mereka bukan sesuatu yang patut dibanggakan, bahkan dianggap kurang terhormat. Kenyataan tersebut membuat bakat musik Rhoma justru semakin berkembang di luar rumah karena di rumah ia kurang mendapat dukungan.112 Kecintaan Rhoma terhadap musik menjadi kendala utama dalam belajar. Kegemarannya dalam bermain musik membuat sekolahnya terbengkalai. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Hal tersebut tak berapa lama, Rhoma pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta. Dunia Rhoma tidak hanya sebatas pada musik. Lingkungan pergaulannya pun ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng, dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan, atau setidaknya saling bersaing untuk menjadi yang terkuat di antara geng-geng yang ada, sehingga perkelahian antar geng sering tak terhindarkan. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan di luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo.113 Awal cerita Rhoma bisa sekolah di Solo sebenarnya karena ia berniat belajar di Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli tiket kereta, Rhoma, Benny (kakaknya), dan tiga 111
Lambertus Hurek, Bertemu Rhoma Irama Sang Superstar-dalam http://hurek.blogspot.com/2008/10/bertemu-rhoma-irama-sang-superstar.html, diakses pada 17 Maret 2014, pukul 08.00 WIB. 112 Moh. Shofan, op. cit., h. 6. 113 Ibid., h. 10-11.
62
orang temannya, yaitu Daeng, Umar, dan Haris akhirnya diturunkan oleh kondektur dari kereta api, di Solo. Ketika di Solo, Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari hasil mengamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta.114 Di Solo, Rhoma tidak lulus sekolah, hal tersebut membuatnya harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, sampai akhirnya lulus tahun 1964. Setelah lulus SMA, Rhoma pun melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Namun, Rhoma hanya bertahan satu tahun saja. Ia lebih memilih keluar dari Universitas gara-gara saat Mapram (Masa Pra Mahasiswa) diminta menggunting rambut gondrongnya. Rhoma menolak bentuk pemaksaan seperti itu. Di sisi lain, ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar membuatnya tak betah kuliah.115 2. Perjalanan Karir Rhoma Irama Awal 1960-an, Rhoma membentuk band Gayhand, Tornado, dan Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut, Rhoma menyanyikan lagu-lagu pop milik Golden Singer, Tom Jones, Pat Boone, dan Elvis Presley. Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina Tumbelang, yang di kemudian hari menjadi istrinya.116 Di tahun yang sama (1960-an), Rhoma juga bergabung dengan berbagai musik Melayu. Kesempatan pertama merekam suaranya baru diperoleh pada 1960 bersama Orkes Melayu (OM) Chandraleka pimpinan Umar Alatas. Namun, rekaman itu tidak berhasil mencuatkan namanya. Ia pun pindah ke Orkes Melayu Purnama pimpinan Awab Haris. Di OM Purnama, Rhoma berduet dengan penyanyi Elvi Sukaesih, yang belakangan 114
Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, (Jakarta: NARASI, 2007),
h. 170. 115 116
Moh. Shofan, op. cit., h. 14 Ibid., h. 31.
63
mendapat julukan ―Ratu Dangdut‖. Belum puas, ia pun pindah ke OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria. Sampai awal dekade 1970-an namanya masih tetap belum dikenal masyarakat.117 Rhoma pun merambah zona musik pop. Di sini, Rhoma yang banyak terpengaruh Paul Anka berduet dengan Inneke Kusumawati.118 Musik pop dan rock adalah langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi. Pada 1970-an, Rhoma tengah menggodok sebuah ―kelahiran baru‖ bagi jenis musik Melayu yang dikenal dengan dangdut. Proyek pembaruan dalam musik dan materi lirik dangdut terus dilakukannya pada situasi dan kondisi dalam negeri yang tengah berubah, dari Orde Lama yang radikal kiri dan kontra Barat menjadi Orde Baru yang pragmatis kanan dan pro Barat.119 Pada masa inilah, sebuah revolusi musik Melayu berlangsung. Rhoma melakukan berbagai terobosan yang menjadi bagian dari eksperimen musiknya.120 Awal pemunculannya, Rhoma menolak istilah ―dangdut‖ yang saat itu mulai banyak digunakan. Ia bersikeras menyebut orkesnya ―Melayu‖. Ia juga tidak pernah memimpikan untuk bisa menjadi ―Raja Dangdut‖ seperti sekarang ini. Pada tahun 1967, perusahaan rekaman Dimita pernah memberi kesempatan pertama kalinya kepada Rhoma untuk rekaman lagu dangdut dengan iringan Orkes Chandraleka, namun Rhoma menolak. Benny selaku kakak Rhoma Irama mencoba mendesak dan membujuk Rhoma agar memanfaatkan kesempatan tersebut. Rhoma pun akhirnya mengalah, dan menerima tawaran yang diajukan Dimita.
117
Ibid., h. 32. Moh. Shofan. loc. cit. 119 Sulaiman Harahap, Rhoma Irama: Sang Penghulu Mempelai Dangdut dan Dakwahdalam http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/12/04/16/m2kji3-rhoma-iramasang-penghulu-mempelai-dangdut-dan-dakwah, diakses pada 17 Maret 2014 jam 08.00 wib. 120 Moh. Shofan., op. cit., h. 34. 118
64
Setelah jatuh bangun akhirnya Rhoma membentuk OM Soneta pada 11 Desember 1970, di Gang Seno, Tebet Barat, Jakarta Selatan, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-23. Semua anggota Soneta yang terdiri dari Oma Irama (gitar/vokal), Herman (bass), Kadir (gendang), Ayub (tamborin), Riswan (organ), Hadi (suling), Nasir (mandolin), dan Wempy (Gitar) berikrar dan bersumpah untuk bersama-sama membangun Soneta demi mencapai kejayaan, sejajar dengan grup musik lain yang sudah tenar saat itu. Rhoma sendiri memilih nama Soneta untuk grup musik dangdut yang dipimpinnya. Soneta adalah salah satu bentuk puisi yang dia sukai. Soneta, terdiri dari sampiran 3-3. Isi 4-4, empat belas baris. Rhoma Irama memilih nama tersebut karena di waktu Sekolah Menengah Atas (SMA) ia sangat suka dengan bentuk syair Soneta, kemudian ia terapkan dalam syair lagulagunya.121 Munculnya Rhoma dengan Orkes Soneta begitu menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Bersama dengan Elvy Sukaesih, Rhoma Irama merekam banyak lagu-lagu yang sangat populer dan abadi. Di bawah payung Remaco selaku produser rekaman terbesar saat itu, semua album tersebut meledak luar biasa, bahkan menganugerahkan Golden Record bagi Rhoma Irama dan Soneta.122 Tak kalah dahsyatnya, pada tahun 1975, bersama Yukawi, Rhoma dan Soneta merilis album Begadang yang melesat cepat. Lagu Begadang begitu familiar sampai sekarang. Begadang juga masuk ke dalam 150 lagu Indonesia terbaik majalah Rolling Stone Indonesia dalam urutan ke-24.
121 122
Moh. Shofan., op. cit., h. 44 – 47. Anonim, Suara Soneta-38 Tahun The Sound of Moeslem Musik Lintas Generasi-
dalam http://www.sonetamania.com/index.php?option=com_content&view=article&id=298:38tahun-the-sound-of-moeslem&catid=58:artikel-rhoma-a-soneta&Itemid=116, diakses Senin, 17 Maret 2014 pukul 08.00 WIB
65
Begadang juga merupakan lagu dangdut pertama yang dianggap terbaik sepanjang masa oleh majalah Franchise asal Amerika Serikat.123 Setelah album Begadang sukses merajai tangga lagu seantero Indonesia, Rhoma pada Desember 1975 sebelum merilis album Soneta volume 3 (Rupiah) mengumumkan rencana kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sepulang dari Tanah Suci, Rhoma juga merevolusi penampilannya.
Ia
membabat
habis
rambut
gondrongnya
dengan
menyisakan sedikit jenggot pada dagunya. Pakaiannya pun tidak kemeja ketat dan celana cutbray, tetapi kemeja longgar dan kerap menyelipkan surban di bahunya. Bicaranya pun tidak lagi meledak-meledak, tetapi lebih lembut dan pelan penuh kesabaran. Saat itu, banyak orang meramalkan bahwa Rhoma Irama dan Soneta akan hancur dengan pilihannya menunaikan ibadah haji, karena predikat haji sangat ditabukan bagi seorang artis panggung.124 Ia juga melengkapi namanya menjadi Rhoma, yang awalnya Oma. RH di depan nama Oma adalah singkatan dari Raden dan haji. Alasan Rhoma menyingkat kata Raden dan Haji karena menurutnya sepulang naik haji, orang-orang memanggil namanya dengan sebutan haji. Rhoma merasa resah dengan panggilan haji ini. Hal yang sama juga ketika dipanggil ―raden‖, karena Rhoma tidak menyukai feodalisme.125 Perlu diketahui, bahwa Rhoma dan Soneta hadir saat demam rock melanda dunia. Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Deep Purple menjadi idola. Wabah rock ini membuat genre musik lain nyaris mati. Rhoma pun bersiasat agar orkes Melayu bisa bertahan. Ia memasukkan nafas hard rock ke dalam komposisi lagu Melayu. Rhoma mengaku bahwa unsur rock yang identik dengan Barat, sangat mewarnai musik dangdut yang dibawakannya. Rhoma sendiri mengelak jika hal itu dianggap sebagai sebuah tiruan. 123
Islahudin, Begadang Lagu Terbaik Rhoma Irama Sepanjang Masa-dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/begadang-lagu-terbaik-rhoma-irama-sepanjangmasa.html 124 Anonim., loc. cit. 125 Moh. Shofan., op. cit., h. 49.
66
Dangdut bagi Rhoma bisa dijadikan alternatif dari dominasi musik Barat yang menjadi kiblat musik dunia. Belakangan Rhoma mencopot orkes Melayu di depan nama Soneta, seraya menambahkan kata Group di belakangnya, mengikuti perusahaan-perusahaan multinasional yang ramai bermunculan saat itu.126 Konsistensi Rhoma di jalur musik dangdut tak pernah berubah. Ia tak peduli dengan segala cacian dan hinaan, bahkan dalam lirik lagu Musik, Rhoma mengajak penggemar musik untuk bisa saling belajar dan menghargai satu sama lain. Sastrawan Sapardi Djoko Damono pun ikut menengarai adanya perubahan besar pada musik dangdut. Lirik dangdut yang dulu sangat sederhana, kini sudah disusun dengan puitis. Selanjutnya ia juga menunjukkan, bahwa dalam dangdut itu sendiri terkandung intelektualitas.127 Pada ASEAN Cultural Meeting di Filipina, Desember 1984, diputuskan bahwa dangdut adalah musik khas negara-negara ASEAN. Di sisi lain, Jepang, misalnya pernah merilis 200-an lagu karya Rhoma Irama, bahkan baru-baru ini, Rhoma diundang oleh sebuah universitas terkemuka di Pittsburgh, Amerika Serikat. Ia didaulat untuk menceritakan tentang liriklirik lagu yang diciptakannya serta hubungan dengan agama dan kehidupan sosial. Profesor Andrew Wientraub dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat, memberi surat kepada Rhoma yang isinya mengundang dalam sebuah acara Konferensi Islam Internasional. Rhoma diminta untuk berbicara di depan umum. Konteksnya adalah tentang lagu-lagunya yang selama ini dibahas di ratusan universitas di 70 negara baik di Eropa maupun Amerika. Rhoma menyiapkan sebuah makalah yang isinya mengenai kondisi umat muslim di Indonesia dan menjelaskan bagaimana dirinya
126 127
Ibid., h. 61-62. Ibid., h.75.
67
membuat lirik lagu yang cocok untuk didengarkan oleh seluruh masyarakat dunia.128 Rhoma menyampaikan makalah berjudul ―Dangdut: Musik, Media, Dakwah” pada acara Interdisciplinary Conference on Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia di University of Pittsburgh. Rhoma juga menjadi narasumber dalam sebuah seminar tentang ―Islam, Terorisme, dan Kebudayaan Pop” dengan menghadirkan para pakar dari Bowling Green University, Ohio University, Arizona State University, New York University, dan masih banyak lagi, termasuk sejumlah pakar televisi dari Indonesia.129 Saat berada di Amerika, selain menjadi narasumber, Rhoma bersama Soneta juga menyanyikan sekitar 20 lagu, di antaranya Darah Muda, Begadang, Judi, Gali Lobang Tutup Lobang. Karya-karya Rhoma telah banyak diteliti oleh para ilmuwan. Beberapa buku dan literatur karya ilmuwan yang di dalamnya mengupas lirik-lirik karya Rhoma, di antaranya, 1) Broughton, Simon, dan Mark Ellingham (2000) Rough Guide to World Music; volume 2: Latin and North America the Carribean, Asia, and the Pasific (London: Rough Guide); 2) Capwell, Charles (2004) The Music of Indonesia; 3) Manuel, Peter (1988) Popular Musics of the Non-Western World (New York: Oxford); 4) Sutten, R. Anderson (2002) Asia/Indonesia in World Music, edited by JT Titon (Belmont, CA: Schirmer, Thomson Learning); 5) Sweeney, Philip (1991) The Virgin Directory of World Music (New York: Henry Holt and Company); dan 6) Taylor, Timothy (1997) Global Pop: World Music, World Markets (New York: Routledge).130 Di mata Andrew, lirik-lirik Soneta perlu didengar oleh seluruh dunia, karena lagu-lagu Rhoma memberi inspirasi, solusi, dan bimbingan 128
Ibid., h. 86. Ibid 130 Tahta Aidila, Lagu-lagunya Rhoma dipelajari Sejumlah Negara-dalam http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/13/11/22/mwniet-lagulagunya-rhomairama-dipelajari-sejumlah-negara, 17 Maret 2014 pukul 08.30 WIB 129
68
kepada umat manusia, bukan hanya kepada umat Islam saja, juga bukan hanya kepada bangsa Indonesia, tetapi dunia juga perlu mendengar liriklirik Soneta. Andrew pun menambahkan, bahwa sejumlah buku dan literatur yang telah meneliti lirik-lirik karya Rhoma, dijadikan buku wajib sekaligus kurikulum musik dunia dan sangat sering dipakai di ratusan universitas di dunia.131 Musik dangdut telah lama sekali dikenal publik Amerika, bahkan musik Soneta yang didirikan Rhoma ini sudah ada di museum di Washington DC. Itu indikasi bahwa dangdut diperhitungkan dan dihargai di dunia, tidak hanya di Indonesia saja. Di Jepang, buku musik dangdut telah terbit dengan judul Road to Dangdut Music, di Washington berjudul Rhoma Irama and The Dangdut Style, dan Prof. Andrew Weintraub dari University of Pittsburgh menulis buku Dangdut Stories. Rhoma juga melakukan kesepakatan dengan seorang pengusaha Jepang yang berminat merekam dan mengedarkan 200 lagu Soneta Grup di luar negeri.132 3. Rhoma Irama: Dakwah, Kritik, dan Pesan Sosial Kebulatan tekad Rhoma menjadikan musik sebagai media dakwah bukan karena faktor kebetulan, tetapi karena panggilan agama, dan juga kegelisahannya melihat kehidupan masyarakat pada saat itu, khususnya para pemuda yang banyak terpengaruh budaya Barat. Rhoma sepertinya sadar bahwa musik (dan film) bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Hal ini juga menandai bahwa dakwah Rhoma bukanlah dakwah kaum salaf melainkan dakwah populer. Menurut Rhoma, bermusik merupakan sebuah tanggung jawab kepada Tuhan, dan tanggung jawab kepada manusia, karena dengan musik manusia bisa dipengaruhi untuk jadi baik, dan menjadi tidak baik.133
131
Moh. Shofan., op. cit., h. 88. Ibid., h. 91-93. 133 Ibid., h. 103. 132
69
Ijtihad Rhoma berdakwah melalui musik berbuah ancaman, kecaman, olok-olokan, dan berbagai macam bentuk penolakan masyarakat muslim. Namun, itu semua tidak mengendurkan kebulatan tekadnya. Rhoma mengakui, betapa sulitnya untuk memasukkan unsur-unsur dakwah ke dalam sebuah lagu. Sejak pertama kali Rhoma dan Soneta melakukan dakwah lewat dangdut, Rhoma mengucapkan salam di panggung. Padahal, mengucapkan salam di panggung pada saat itu dianggap tabu dan bukan pada tempatnya. Atas keberaniannya, dalam suatu pertunjukan musik, Rhoma dilempari batu, lumpur, dan sandal. Peristiwa tersebut terjadi di Ancol sekitar 1979. Masyarakat menilai Rhoma telah melakukan penodaan terhadap agama dengan membawa ayat-ayat Al-quran
dalam sebuah
lagu.134 Bagi Rhoma, berdakwah melalui musik itu non akademik, tidak ada ilmu dan rumusnya. Menurut Rhoma, semuanya bersifat intuitif, ilham dari Allah. Lagu dakwah, menurutnya bukan lirik dakwah kemudian diiringi musik. Lagu dakwah adalah lagu yang harus bisa berdakwah dan bisa memotivasi, mengubah, atau paling tidak menyentuh pendengar. Bukan sebagai lagu semata, juga bukan nasihat dikasih musik.135 Rhoma menyadari bahwa suara merdu, kemampuan bermusik, serta kemahirannya dalam menciptakan lagu-lagu dangdut bertema keislaman adalah karunia besar dari Tuhan, sehingga mesti dioptimalkan dalam kebaikan. Baginya, memilih jenis musik dangdut sebagai sarana dakwah, bukannya tanpa alasan. Alasan yang dimaksud adalah karena setiap insan memiliki sense of art, tidak terkecuali orang Islam, bahkan ulama sekalipun. Perjuangan menjadikan musik dangdut sebagai media dakwah, sempat menuai kritik dari Gus Dur. Menurut Gus Dur, tidak ada pintu dakwah untuk musik, karena musik itu otonom. Rhoma tak mengelak apa yang dikatakan Gus Dur, karena pintu itu memang tidak ada. Namun, 134 135
Ibid., h. 106. Ibid., h. 107
70
sebagai seniman, Rhoma melihat ada celah meski celah itu kecil. Rhoma tidak menyangkal bahwa secara umum musik identik dengan kemaksiatan, drug, minuman keras, meninggalkan shalat, dan pergaulan bebas. Di situlah selalu ada celah untuk berdakwah. Menurut Rhoma, saat itu ada jurang pemisah antara agama dan musik. Akan tetapi, Rhoma tidak berhenti untuk terus berdakwah. Ia semakin mantap melebarkan musiknya ke zona religi.136 Pada Desember 1983, kiai Syukri Gozali dari MUI, menyatakan bahwa menyanyikan Al-quran hukumnya haram. Pernyataan itu tentu saja menampar Rhoma yang baru saja meluncurkan album La Illaha Illalah. Sebuah diskusi lantas digelar. Rhoma diundang ke Masjid Al-Azhar untuk dimintai pertanggungjawaban oleh MUI mengenai lafaz surah Al-Ikhlas pada awal lagu tersebut. Di dalam ruang sidang, Rhoma memperdengarkan lagu La Illaha Illalah di depan para ulama MUI dan para wartawan. Keputusan sidang saat itu, MUI tidak melarang, malah Soneta diminta memperbanyak lagu bernafaskan Islam.137 Meskipun MUI mengizinkan lagu itu, tetapi tantangan tak berhenti sampai di situ. Suatu waktu Soneta tampil di FFI Medan, Rhoma membawakan lagu La Illaha Illalah. Begitu selesai, ada sepuluh anggota DPRD Sumut mendatangi Rhoma di sebuah hotel. Rhoma dan Soneta diintimidasi. Mereka meminta Rhoma agar tidak lagi mendendangkan lagu tersebut dengan alasan bisa memecah belah bangsa. Rhoma pun dengan tegas menjawab bahwa jika dirinya dilarang mendendangkan lagu tersebut, berarti sama saja dengan melarang Al-quran, karena lagu tersebut merupakan terjemahan Al-quran.138 Sandungan terhadap Rhoma tidak sampai di situ. Dalam album soundtrack Cinta Segi Tiga pun sempat bermasalah dikarenakan Rhoma telah mengucapkan hadis terbalik pada intro lagu Lima. Hal ini 136
Ibid., h. 108. Ibid., h. 109. 138 Ibid. 137
71
mengakibatkan Naviri selaku label harus menarik album yang sudah terlanjur beredar dan menggantinya dengan album yang telah direvisi pada kesalahan pengucapan tersebut.139 Rhoma tidak hanya berhadapan dengan ulama. Keberanian Rhoma melakukan sejumlah kritik terhadap negara, melalui beberapa syair-syair lagunya juga membuat pihak pemerintah kebakaran jenggot dan melakukan pencekalan. Tahun 1997, pihak pemerintah mengeluarkan pelarangan terhadap lagu Rupiah, karena rupiah adalah mata uang resmi RI, sehingga tidak boleh dianggap sebagai ungkapan penyebab pertikaian serta perpecahan.140 Rhoma juga memiliki pengalaman tampil di berbagai kampanye Pemilu. Pada Pemilu 1977 dan 1982, Rhoma sudah menjadi pengumpul suara (vote getter) yang sangat efektif bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).141 Kecenderungan politik Rhoma pada pemilu 1977 dan 1982 ke Partai Persatuan Pembangunan yang berasas Islam membuatnya sempat diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama sebelas tahun lamanya (1977-1988). Meskipun dengan ongkos yang sangat mahal, Rhoma pun tak gentar menghadapi tekanan dari pemerintah Orde Baru, hingga akhirnya Rhoma kembali bisa tampil di TVRI setelah PPP mengganti asasnya menjadi Pancasila.142 Ketenaran Rhoma dalam berdakwah pun memasuki dunia film. Ada sekitar 28 judul film dibintanginya. Beberapa film di antaranya, seperti Penasaran (1976), Gitar Tua (1977), Begadang (1978), Raja Dangdut (1978), Berkelana I (1978), Berkelana II (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), Perjuangan dan Doa (1980), Melodi Cinta (1980), Badai di Awal Bahagia (1981), Satria Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984),
139
Ibid., h. 112. Ibid., h. 125. 141 Ibid., h. 129. 142 Ibid., h. 132. 140
72
Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu (1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dakwah (1991), Tabir Biru (1994), Dawai 2 Asmara (2010), dan Sajadah Ka’bah (2011).143 Rhoma telah menciptakan lebih dari 700 lagu, baik yang dinyanyikan sendiri, maupun oleh penyanyi-penyanyi lain. Karya-karyanya begitu fenomenal dan legendaris. Kepiawaiannya dalam bermain musik mendapat beberapa gelar, baik lokal maupun internasional. Atas kegigihan Rhoma dalam mengangkat citra musik dangdut, majalah Asia Week dalam artikel Superstar with a Message (edisi 16 Agustus 1985) menyebut Rhoma sebagai South East Asia Superstar. Tahun 1992, Rhoma mendapat pengakuan dari dunia musik Amerika, saat majalah entertainment edisi Februari mencantumkannya sebagai Indonesian Rocker. Pada 16 November 2007, Rhoma menerima penghargaan sebagai The South East Asia Superstar Legend di Singapura. Selanjutnya pada 23 Desember 2007, Rhoma menerima Lifetime Achievement Award pada penyelenggaraan perdana Anugerah Musik Indonesia (AMI) Dangdut Awards, yang dilangsungkan di Teater Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Bahkan, nama Rhoma sendiri diabadikan sebagai nama piala untuk 6 kategori permainan instrumen musik dangdut di acara tersebut. Sementara di dalam negeri, salah satu penghargaan terhadap Rhoma diberikan Anugerah Dangdut TPI tahun 1997 yang berlangsung di Istora Senayan, dengan kategori ―Penyanyi Dangdut Legenda‖. Konsistensi Rhoma di bidang musik dangdut juga berbuah anugerah sertifikat dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai artis yang paling lama berkiprah di musik dangdut. Baru-baru ini, tahun 2011, Rhoma berhasil meraih penghargaan prestesius dalam ajang SCTV Award.144 Kiprah dan dedikasi Sang Legenda juga diakui dunia, terbukti dengan gelar Profesor Honoris Causa dalam 143 144
Ibid., h. 195. Ibid., h. 175.
73
bidang musik yang diterimanya dari dua universitas yang berbeda, yaitu dari Northern California Global University dan dari American University of Hawai.145 Kepedulian Rhoma terhadap nasib sesama musisi, terutama mereka yang berkecimpung dalam dunia dangdut, mendorongnya untuk mendirikan PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan menjabat sebagai ketua umum. Rhoma juga memimpin pendirian AHDCI (Asosiasi Hak Cipta Musik Dangdut Indonesia) untuk memperjuangkan hak atas pembagian royalti yang lebih baik untuk para pencipta musik dangdut.146 Selain di dunia musik dan film, Rhoma juga dikenal sebagai seorang dai. Ia pun tak jarang bertemu dengan tokoh-tokoh Islam lintas ormas, seperti K. H. Hasyim Muzadi dari NU, Dien Syamsuddin dari Muhammadiyah, K.H. Zainuddin MZ, Tarmidzi Taher (mantan Menteri Agama era Orde Baru), dan K. H. Manarul Hidayah (pengasuh Ponpes AlMahbubiyah). Bersama mereka, Rhoma mendirikan organisasi Fahmi Tamami (Forum Silahturahmi Takmir Masjid dan Mushala) pada 22 September 2007 bertepatan dengan 10 Ramadhan 1428 H. Saat ini, Fahmi Tamami berdiri di 28 Provinsi di Indonesia.147 Rhoma Irama telah membuat kejutan politik dalam negeri dengan keinginannya menjadi presiden 2014. Rhoma mengaku didaulat sebagai presiden di Indonesia oleh ulama dan habaib yang bergabung dalam Wasilah Silahturahmi Asatidz Tokoh dan Ulama (Wasiat Ulama). Tak hanya itu, organisasi yang tergabung dalam Fans of Rhoma and Soneta (FORSA) pun juga mengusung Rhoma menuju RI-1. Alasan lain, ulama memilih Rhoma sebagai Capres lantaran dianggap memiliki jiwa
145
Lambertus Hurek., op. cit. Ibid 147 Moh Shofan ., op. cit., h. 204. 146
74
kepemimpinan yang tangguh. Hal itu tercermin dengan kepemimpinannya di Soneta.148 PKB secara resmi mengusung Rhoma Irama sebagai calon presiden dari PKB. Peresmian pencalonan Rhoma diutarakan oleh Muhaimin di kantor DPP PKB, 16 April 2013. Pengesahan Rhoma sebagai Capres resmi PKB telah disepakati dalam klausal kontrak yang telah ditandatangani oleh Rhoma Irama dan Muhaimin pada 2 April 2013. Meskipun baru wacana, berita ini telah mengundang banyak pro dan kontra. Ada yang mengecam, karena Rhoma dinilai belum pantas untuk memimpin Indonesia. Sebaliknya, tak sedikit pula yang mendukung pencalonannya, karena Rhoma dianggap representatif mewakili umat Islam. C. Ikhtisar Puisi “Ibu” dan Lirik Lagu “Keramat” Ikhtisar merupakan ringkasan suatu puisi. Fungsi dari ikhtisar ini adalah memberikan gambaran umum tentang isi suatu karya, dalam hal ini puisi dan lirik lagu. Berikut ini ikhtisar dari puisi ―Ibu‖ karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu ―Keramat‖ karya Rhoma Irama. 1. Ikhtisar Puisi “Ibu” Puisi yang berjudul ―Ibu‖ ini ditulis oleh penyair sekaligus seorang ulama, yaitu K. H. Achmad Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus pada tahun 1414 H/1995 M. Puisi ini diterbitkan pada tahun 1995 dalam buku kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus. Puisi yang terdiri atas tiga bait dan 29 larik ini menggambarkan keagungan seorang anak kepada ibunya. Melalui puisi ―ibu‖, Gus Mus ingin menyampaikan keagungan sosok ibu dalam pandangan aku-lirik. Sosok ibu ini di sini banyak diibaratkan oleh istilah-istilah alam. Hal tersebut untuk menggambarkan bentuk-bentuk keagungan sosok ibu. Dalam puisi ―Ibu‖ ini juga Gus Mus ingin menyampaikan betapa lemahnya seorang anak di hadapan seorang ibu. Hal 148
Ibid., h. 221.
75
tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini, Kaulah bumi/yang tergelar lembut bagiku/melepas lelah dan nestapa. Berdasarkan kutipan tersebut, Gus Mus ingin menunjukkan kelemahan seorang anak di hadapan ibunya, selain itu Gus Mus juga ingin menunjukkan sosok ibu dengan segala kerendah-hatian selalu menerima anaknya. Selain mengagungkan sosok ibu, melalui puisi ―Ibu‖ ini Gus Mus tak lupa mendoakan ibunya. 2. Ikhtisar Lirik Lagu “Keramat” Lagu Keramat karya Rhoma Irama ini terdapat di dalam album Santai (Volume VII) tahun 1977 yang diproduksi oleh Yukawi. Lirik lagu Keramat yang diciptakan Rhoma Irama ini bercerita tentang ketinggian derajat seorang wanita, yang merupakan ibu dari manusia. Dalam ajaran agama Islam, kedudukan ibu sangatlah tinggi, bahkan dalam sebuah hadis ع َْن اَبًِ هُ َرٌ َرةَ رضً هللا عنه قال َجا َء َر ُج ٌل الى رسو ِل هللا صلى هللا علٍه وسلم فقال ٌَا رسو َل هللا ًّّ َم ْن اَ َح ثم:ثم ا ُّمل قال: ثم من؟ قال: ثُ َّم اُ ُّمل قال: ثُ َّم َم ْن؟ قال: اُ ُّمل قال:ص َحابَتًِ؟ قال َ اس بِ ُح ْس ِن ِ ّق الن )ك (اخرجه البخاري َ ْ ثم اَبُو: من؟ قال Artinya: dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: ― Suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu bertanya: ―Wahai Rasulullah, siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik?‖ Rasulullah menjawab: ―Ibumu!‖, lalu siapa? Rasulullah menjawab: ―Ibumu!‖, lalu siapa? Rasulullah menjawab: ―Ibumu!‖. Sekali lagi orang itu bertanya: kemudian siapa? Rasulullah menjawab: ― Bapakmu!‖ (H.R.Bukhari).149 Dari hadis tersebut, kita telah melihat sendiri bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahwa kita harus berbakti kepada Ibu kita itu 3 kali lebih tinggi daripada ayah. Jika kita lihat, kenapa kita harus berbakti kepada Ibu 3 kali lebih besar, lebih tinggi dari pada ayah. Ternyata itu semua dikarenakan bahwa ibu telah menjaga kita selama kehamilan, terus melahirkan serta menyusui dan merawat kita, yang dimana ketiga hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh seorang ibu saja.
149
Sumber: Sahih Bukhari, juz 5, h. 2227, hadis ke-5626.
76
Rupanya Rhoma Irama terilhami dari hadis tersebut dalam membuat lagu Keramat. Melalui lagu Keramat, Rhoma Irama mengingatkan kepada kita semua untuk harus menghormati ibu, karena ibu adalah orang yang mengandung dengan susah payah selama sembilan bulan. Ibu juga bertaruh nyawa ketika melahirkan, kemudian menyusui, hingga mengasuh dan merawat dengan penuh kasih sayang. terkadang kita lupa, bahwa kita mempunyai suatu ‗keramat‘ di rumah kita yang doanya dikabulkan oleh Tuhan, yaitu doa ibu. Banyak orang memilih pergi ke dukun atau tempattempat keramat, seperti gunung, kuburan atau yang lainnya hanya untuk meminta doa agar tujuannya tercapai. Padahal, itu semua sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Lewat lagu Keramat inilah, Rhoma berusaha mengingatkan kepada semua orang agar tidak bosanbosannya untuk meminta doa kepada ibu.
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Struktur Puisi Ibu dan Lirik Lagu Keramat Langkah awal untuk memahami inti dari suatu karya adalah dengan cara menganalisis dan memahami struktur yang membangun karya. Hal ini sangat penting, karena di dalam struktur tersebut terdapat unsur-unsur yang saling berhubungan dalam rangka mencapai keutuhan tunggal. Begitu juga ketika ingin memahami inti dari puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji atau menganalisis struktur lahir dan batin dari kedua karya tersebut. Berikut ini hasil analisis struktur puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama. 1. Analisis Struktur Fisik Puisi Ibu a. Tipografi atau perwajahan Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri ini merupakan puisi bebas yang terdiri atas 3 (tiga) bait dan 29 (dua puluh sembilan) larik. Bait pertama, puisi Ibu ini terdiri atas lima belas larik. Sementara bait kedua, terdiri atas enam larik, dan di bait ketiga terdiri atas delapan larik. Tipografi dalam puisi ini tergolong puisi konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari sistematika penulisan bait dan larik yang telah dijabarkan. Di bait pertama dan kedua, Aku-lirik seolah berbicara kepada ibunya. Sementara itu, di bait ketiga, Aku-lirik seolah berbicara kepada Tuhan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa Aku-lirik sedang berdoa. Hal yang menunjukkan bahwa pada bait ketiga Aku lirik sedang berdoa adalah dengan penggunaan tanda kurung.
77
78
b. Versifikasi Dalam menganalisis struktur versifikasi dalam puisi Ibu ini penulis merujuk kepada pendapat Herman J. Waluyo, yaitu versifikasi terdiri atas rima, ritme, dan metrum, yang di dalam penjelasan selanjutnya Waluyo berpendapat, bahwa pengertian ritme dan metrum disamakan. Jika merujuk pada tipografi puisi Ibu yang tergolong ke dalam puisi bebas, maka pola rimanya pun tidak terpengaruh oleh puisi-puisi lama yang cenderung terikat, baik dari segi bait maupun baris. Selain itu, mengacu pendapat Waluyo yang mengatakan bahwa rima merupakan persamaan bunyi di awal, tengah, maupun akhir di dalam puisi Ibu ini tidak ditemukan. Hal tersebut kembali melihat pandangan penyair yang tidak bermanis-manis kata. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa puisi Ibu karya Gus Mus ini menggambarkan keagungan seorang ibu dalam pandangan Aku-lirik, sehingga ritme yang ditangkap penulis ketika puisi ini dibaca adalah dengan nada tinggi dan penuh penekanan, namun tinggi di sini bukan menunjukkan suatu kemarahan, tetapi untuk menciptakan efek keagungan. Selain itu, di larik-larik tertentu, ritme yang diucapkan ada yang menurun. Hal ini untuk menciptakan efek kelembutan atau kasih sayang seorang ibu yang ingin disampaikan penyair. c. Diksi Diksi yang digunakan oleh Gus Mus dalam puisi Ibu ini cenderung sederhana dan padat makna. Hal ini tidak lepas dari filosofi penyair itu sendiri, yaitu tidak bermanis-manis kata. Tujuannya agar pembaca lebih mudah dalam memahami pesan yang ingin disampaikan baik tersurat maupun tersirat. Jika dilihat dari penggunaan diksi yang dipakai oleh Gus Mus, terdapat beberapa bentuk diksi yang digunakan Gus Mus terpengaruh oleh bahasa daerah. Pertama, penggunaan kata brenti yang terdapat pada bait
79
pertama larik ke-12 (dua belas). Kata brenti seharusnya berhenti, yang merupakan hasil dari penambahan imbuhan (afiksasi) be + henti. Akan tetapi, Gus Mus memilih menggunakannya dengan bahasa percakapan yakni brenti. Kedua, kata sorga yang terdapat pada bait ke-2 (dua) larik ke-20 (dua puluh). Pemilihan kata sorga yang Gus Mus lakukan juga merupakan pengaruh terhadap bahasa daerah. Kata sorga yang digunakan Gus Mus menggunakan vokal /o/. Jika merujuk kepada standar buku Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Bahasa kata surga ditulis dengan sorga kurang tepat karena tidak sesuai dengan penulisan yang baku. Ketiga, penyimpangan pada penggunaan frasa kasihsayangMu yang terdapat pada bait ke-3 (tiga) larik ke-25 (dua puluh lima). Penyimpangan pada frasa kasihsayangMu ini juga tergolong bentuk penyimpangan morfologis. Frasa kasihsayangMu ditulis oleh Gus Mus dengan cara digabung tanpa diberi jarak (spasi). Seharusnya penulisan yang tepat adalah dipisah, seperti kasih sayang-Mu. Puisi Ibu karya Gus Mus ini juga banyak menggunakan istilah-istilah alam untuk menggambarkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik. Hal ini menunjukkan, bahwa kontruksi diksi yang diciptakan oleh Gus Mus dalam setiap karyanya tidak terlalu mementingkan kerapihan stilistik ataupun organisasi larik. Hal tersebut menjadikan puisi Gus Mus ini terlihat ramah, menghilangkan jarak formalitas puisi, sehingga terkesan ingin menyerahkan langsung ke pembaca. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa adanya kontruksi bangunan diksi yang sederhana pada puisi Ibu, yaitu dapat dilihat dari banyaknya penggunaan istilah alam yang diciptakan Gus Mus untuk menggambarkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik. Hal tersebut dikatakan sederhana, karena alam merupakan bentuk kekuasaan Allah yang dapat dilihat secara langsung. Selanjutnya, alam juga menunjukkan sesuatu yang berkuasa. Selain itu, alam merupakan sesuatu yang sangat dekat dengan manusia
80
(pembaca), sehingga pembaca tidak terlalu mengalami kesulitan untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh Gus Mus. Bait pertama pada puisi Ibu, sosok ibu digambarkan oleh Aku-lirik seperti sebuah gua, sebagai tempat untuk bertapa. Hal tersebut terdapat pada larik ke-2 dan ke-3 Kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu Pemilihan kata gua memang sangat lekat dengan kata bertapa, karena gua kebanyakan dijadikan tempat untuk bertapa atau mencari ilham, bahkan Nabi Muhamad Saw pun ketika mencari ilham dan mendapatkan wahyu pertamanya ada di sebuah gua (Gua Hira). Selanjutnya Gus Mus menyandingkan kata gua dengan kata teduh. Kata teduh, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti tenang atau aman150. Berdasarkan hal tersebut, pemilihan frasa gua teduh untuk mengibaratkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik menurut penulis adalah untuk menggambarkan sebuah rahim. Rahim merupakan tempat pertama, di mana seorang manusia mendapat kasih sayang dari seorang ibu, bahkan rahim pula menjadi tempat pertama seseorang mendapat pendidikan sebelum seorang anak dilahirkan. Alasan penulis, bahwa gua teduh merupakan penggambaran sebuah rahim, dapat dilihat dari pengertian yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kata gua menunjukkan sebuah tempat, selanjutnya kata teduh memiliki sifat tenang, damai, dan aman, kemudian penggunaan kata bertapa yang memiliki sifat mengasingkan diri. Selain itu, alasan yang menujukkan bahwa gua teduh merupakan gambaran rahim seorang ibu, diperkuat pada bait pertama larik ke-4 (empat), yaitu penggunaan frasa sekian lama. Frasa sekian lama ini menunjukkan waktu yang ada batasnya. Hal tersebut sesuai
150
Departemen Pendidikaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1417.
81
dengan kenyataan, bahwa seorang bayi ada batasnya berada di dalam rahim seorang ibu sampai akhirnya dilahirkan. Pada bait pertama larik ke-7 (tujuh), sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik diibaratkan bumi. Kemudian dilanjutkan pada larik ke-8 dan ke-9 mengenai penjelasan alasan ibu diibaratkan sebagai bumi. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku melepas lelah dan nestapa Kata bumi identik sebagai tempat kembali (orang yang telah meninggal). Selain itu, bumi juga dapat dikatakan sesuatu yang rendah. Korelasinya dengan larik selanjutnya, yaitu yang tergelar lembut bagiku/melepas lelah dan nestapa adalah menunjukkan kelemahan seorang anak di hadapan ibunya. Artinya, pemilihan istilah bumi di sini cukup tepat untuk menggambarkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik yang merupakan tempat mengadu (kembali) seorang anak. Hal ini tidak lepas pada kenyataan, bahwa seorang anak ketika mengalami kesenangan maupun kesedihan, orang yang pertama kali diceritakan adalah ibu. Selanjutnya makna dari bumi yang identik dengan sesuatu yang digunakan sebagai tempat berpijak, menunjukkan kerendah-hatian seorang ibu yang selalu siap menerima anaknya. Pada bait pertama larik ke-10 (sepuluh) dan ke-11 (sebelas), sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik diibaratkan sebuah gunung. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam Pemilihan kata gunung yang dipilih oleh Gus Mus juga cukup tepat. Gunung merupakan sesuatu yang kokoh. Hal tersebut menggambarkan sosok ibu yang perkasa. Selain itu, gunung juga merupakan penyeimbang bumi, hal tersebut menunjukkan sosok ibu yang bisa dijadikan penyeimbang
82
atau pemberi masukan dalam menjaga cita-cita seorang anak (mimpiku). Selanjutnya kata siang dan malam, menunjukkan waktu, yaitu setiap saat. Pada bait pertama larik ke-12 (dua belas) dan ke-13 (tiga belas), sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik diibaratkan seperti sebuah mata air. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: mata air yang tak brenti mengalir membasahi dahagaku Jika merujuk pada kenyataan, air (mata air) merupakan sumber kehidupan, sementara kata dahaga identik dengan rasa lelah. Pemilihan kata tersebut cukup tepat untuk menggambarkan sosok ibu sebagai penyemangat ketika seorang anak merasa lelah menjalani kehidupan. Bait pertama larik ke-14 dan ke-15, sosok ibu dalam pandangan Akulirik diibaratkan seperti sebuah telaga. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: telaga tempatku bermain berenang dan menyelam Kata telaga identik dengan ruang, sementara bermain identik dengan belajar, sehingga maksud dari kata telaga dan bermain adalah untuk menggambarkan sosok ibu sebagai ruang untuk anaknya belajar. Selanjutnya, pemilihan kata berenang dan menyelam adalah ibu sebagai tempat anak dalam menyelami kehidupan. Pada bait kedua larik pertama, sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik diibaratkan seperti laut dan langit. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini: Kaulah, ibu, laut dan langit. ............................................ Jika diambil makna tiap kata, laut identik dengan luas dan dalam, sedangkan langit identik dengan tinggi. Akan tetapi, jika dimaknakan secara keseluruhan, yaitu laut dan langit, maka makna yang muncul adalah segalanya. Kemudian di larik berikutnya (larik ke-2), terdapat kutipan /yang
83
menjaga lurus horisonku/. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata horison berarti langit bagian bawah yang berbatasan dengan permukaan bumi atau laut; kaki langit; cakrawala151, sehingga horison identik dengan jauh (mimpi) atau perjalanan mencari hal. Penulis berpendapat, pemilihan kata menjaga, lurus, dan horison, menggambarkan sosok ibu dalam pandangan Aku-lirik sebagai seseorang yang menjaga mimpi (cita-cita) seorang anak agar tetap lurus dengan mimpi awalnya. Pada bait kedua larik ke-3 (tiga), sosok ibu dalam pandangan Akulirik diibaratkan seperti mentari dan rembulan. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut ini: Kaulah, ibu, mentari dan rembulan .................................................... Kata mentari dan rembulan identik dengan cahaya. Selain itu kata mentari dan rembulan menunjukkan keterangan waktu. Korelasinya dengan larik berikutnya, yaitu /yang mengawal perjalananku/, menunjukkan bahwa ibulah yang mengarahkan anaknya di setiap perjalanan hidup seorang anak. Selanjutnya, perjalanan hidup yang dikemukakan Aku-lirik adalah perjalanan untuk mencapai surga. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan larik berikutnya (larik ke-5), mencari jejak sorga. Di bait kedua, tepatnya larik ke-5 dan ke-6, penyair mengutip sebuah hadis. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan berikut: mencari jejak sorga di telapak kakimu.152
151
Ibid, h. 507.
152
Dari Mu‘wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui
Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: ―Apakah engkau masih mempunyai ibu?‖ Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: ―Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.‖ Syaikh al-Albani berkomentar: ―Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang
84
Penggunaan hadis tersebut, tidak lepas dari latar belakang penyair itu sendiri yang merupakan seorang ulama. d. Kata Konkret dan Kata Abstrak Penggunaan kata konkret dalam puisi bertujuan agar pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilakukan atau dirasakan oleh penyair. Berikut ini merupakan kata-kata konkret yang terdapat dalam puisi Ibu: Tabel I Kata Konkret Puisi Ibu Bait
I
II
III
Larik
Kata Konkret
1
Ibu
2
kawah, gua
3
Bertapa
5
kaulah, kawah
6
Aku
7
kaulah, bumi
10
Gunung
11
siang, malam
12
mata air
14
Telaga
1
kaulah, ibu, laut, langit
3
kaulah, ibu, mentari, rembulan
6
telapak kakimu
2
Aku
3
Ibuku
lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.‖ (as-Silsilah adh-Dha‘ifah wa al-Maudhu‘ah, pada penjelasan hadits no. 593)[3]
85
5
Ibuku
6
Kau
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kata konkret yang paling banyak digunakan penyair adalah istilah alam, seperti gua, kawah, bumi, gunung, mata air, telaga, laut, mentari, dan rembulan. Pemunculan istilah-istilah alam ini paling banyak terdapat di bait pertama dan kedua. Hal tersebut tidak lepas dari gambaran yang dimunculkan oleh penyair ketika puisi tersebut dibacakan, yaitu seolah-olah Aku-lirik sedang berbicara kepada ibu. Selanjutnya pemunculan istilah-istilah alam ini difungsikan untuk mengungkapkan bentuk kekaguman akan keagungan seorang ibu atau dapat dikatakan bahwa ibu sebagai ejawantah dari alam ciptaan Tuhan. Selain itu, penggunaan istilah-istilah alam ini juga memudahkan dan mendekatkan pembaca dalam melihat, merasakan, dan memahami imaji yang dimunculkan oleh penyair. Hampir di tiap larik, Aku-lirik mengagungkan sosok ibu dengan mengibaratkan alam sebagai ungkapan kekagumannya. Melalui ungkapanungkapan tersebut, Aku-lirik berusaha menumbuhkan kesadaran akan apa yang telah dilakukan seorang ibu selama ini. Akan tetapi, ungkapanungkapan kekaguman tersebut bukan hanya sebagai ucapan manis seorang anak terhadap ibunya, karena doa dari Aku-lirik sebagai ungkapan terima kasihnya membuat puisi Ibu ini mencapai klimaksnya. Aku-lirik mengakhiri kekagumannya dengan berdoa kepada yang Maha Agung (Tuhan) sebagai penutup pada bait ketiga, yaitu (Tuhan aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasihsayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihmu Amin).
86
Berbeda dengan kata konkret, kata abstrak berfungsi sebagai penambah estetika yang terdapat dalam puisi. Berikut ini merupakan katakata abstrak yang terdapat dalam puisi Ibu: Tabel II Kata Abstrak dalam Puisi Ibu Bait
I
II
III
Larik
Kata Abstrak
2
Teduh
4
sekian lama
6
meluncur, perkasa
8
tergelar, lembut
9
lelah, nestapa
10
menjaga, mimpiku
12
Mengalir
13
Membasahi
14
Bermain
15
berenang, menyelam
2
Menjaga, lurus, horisonku
4
Mengawal, perjalananku
5
Mencari, jejak, sorga
2
Bersaksi
3
Melaksanakan
4
Menyampaikan, kasihsayangMu
5
Kasihilah
6
Mengasihi
8
Kekasih-kekasihmu
Berdasarkan data di atas, kata abstrak yang terdapat dalam puisi Ibu dominan memiliki kedudukan sebagai predikat (P). Hal tersebut menandakan bahwa Aku-lirik cenderung memahami hakikat dan aktivitas
87
yang dilakukan oleh objek lirik, sehingga membuat kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang ibu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan Aku-lirik. Contohnya dapat dilihat pada bait kedua yang berbunyi /Kaulah, ibu, laut dan langit / yang menjaga lurus horisonku/. Maksud dari kata abstrak dalam larik tersebut, bahwa seorang ibu selalu menjaga serta mengarahkan mimpi atau cita-cita anak-anaknya. Pengawasan seorang ibu dalam menjaga lurus horison anaknya membuat mimpi atau cita-cita anaknya dapat tercapai. Kita ketahui bersama, bahwa dalam menggapai
cita-cita,
banyak
sekali
tantangannya,
bahkan
tidak
memungkinkan apa yang dicapai seorang anak berbanding terbalik dengan apa yang menjadi cita-cita awalnya. e. Imaji atau Pencitraan Puisi Ibu didominasi oleh imaji penglihatan (visual). Hal tersebut dikarenakan penggunaan istilah alam yang berkorelasi dengan visual di setiap gambaran yang dimunculkan penyair. Dominannya penggunaan istilah alam dan imaji visual dapat diasumsikan bahwa alam merupakan gambaran keagungan seorang ibu, karena alam menunjukkan sesuatu yang berkuasa. Tabel III Tabel Imaji dalam Puisi Ibu Bait
Imaji
Banyak
keterangan Ibu,
gua,
kawah,
I
Penglihatan
17
bertapa, meluncur,
perkasa,
bumi,
gunung,
menjaga,
siang, malam, mata air, mengalir, telaga, bermain, menyelam
berenang,
88
Perabaan
2
teduh, lembut ibu,
laut,
langit,
menjaga, horisonku, II
Penglihatan
9
mentari,
rembulan,
mengawal, mencari bersaksi, III
Penglihatan
2
melaksanakan, menyampaikan
Puisi Ibu dimulai pada larik pertama dengan menampilkan imaji penglihatan, yaitu Ibu. Hal tersebut dilakukan penyair untuk memberikan efek visual pertama supaya pembaca seolah-olah benar-benar melihat sosok ibu. Selanjutnya, pada larik-larik berikutnya, secara terus-menerus penyair menggunakan istilah-istilah alam. Hal tersebut juga memberikan efek visual supaya pembaca seolah-seolah melihat kebesaran seorang ibu serta melihat sikap dan perilaku seorang ibu dalam merawat dan membesarkan anaknya. Penyajian imaji visual ini juga diperkuat dengan imaji perabaan. Hal tersebut dilakukan penyair untuk memberikan efek supaya pembaca bukan hanya seolah-olah benar-benar melihat, tetapi juga pembaca seolah-olah ikut merasakan atas apa yang dilakukan seorang ibu. 2. Analisis Unsur Batin Puisi Ibu a. Tema Tema yang diangkat dalam puisi Ibu karya Gus Mus ini adalah keagungan ibu. Hal tersebut bisa dilihat dari permainan kata yang digunakan oleh Aku-lirik dalam memandang sosok ibu. Keagungan seorang ibu dalam pandangan Aku-lirik disampaikan dengan menggunakan istilah-istilah alam. Berikut ini merupakan contoh kutipan penggalan larik yang menunjukkan keagungan ibu dalam pandangan Aku-lirik:
89
Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku .............................................. gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam ............................................... Penggunaan istilah-istilah alam di sini bukan tanpa alasan. Alam merupakan bentuk kekuasaan Allah yang dapat dilihat secara langsung. Selain itu, alam menunjukkan sesuatu yang berkuasa. b. Rasa Rasa yang ingin diungkapkan oleh penyair dalam puisi Ibu ini adalah kekaguman seorang anak akan keagungan ibu. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa keagungan sosok ibu dalam puisi Ibu ini adalah dengan penggunaan istilah-istilah alam, yaitu merupakan sesuatu yang sangat dekat dengan manusia (pembaca). Pengungkapan rasa pada puisi Ibu erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologis Gus Mus, di mana Gus Mus bukan hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga sebagai budayawan maupun ulama. Selain itu, Gus Mus sejak kecil tumbuh dalam lingkungan pesantren. Hal ini menunjukkan sikap seorang Gus Mus terhadap ibunya dalam puisi Ibu ini. Dia tidak hanya kagum akan keagungan serta pengorbanan seorang ibu. Akan tetapi, kekaguman terhadap sosok ibu ini juga dibuktikan dengan mendoakan ibu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan larik berikut ini: ........................................................ maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu Amin). Berdasarkan penggalan puisi di atas, jika merujuk kepada Al-quran, perintah untuk mendoakan orangtua (ibu) sebetulnya memang diperintahkan di dalam diperintahkan dalam Al-quran dalam surat Al-Isra ayat 24 yang berbunyi ―Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
90
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". Dengan demikian, kekaguman Gus Mus pada sosok ibu selaras dengan perintah Allah. c. Nada Berbicara tentang nada, maka tidak lepas dengan tema dan rasa. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tema puisi Ibu ini adalah keagungan ibu. Melalui tema yang diangkat, maka nada yang muncul adalah Gus Mus berusaha mengajak pembaca untuk melihat keagungan seorang ibu. Memanfaatkan istilah-istilah alam, Gus Mus mengajak kepada pembaca untuk melihat betapa besar dan agung pengorbanan seorang ibu dalam membesarkan anaknya. d. Amanat Amanat yang terkandung dalam puisi Ibu, bahwa di balik sikapnya yang lemah dan lembut, ibu memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Kekuatan itulah membuat seorang ibu terlihat agung. Dalam hal ini penyair ingin menyampaikan kepada pembaca untuk mengetahui keagungan yang ada di dalam diri seorang ibu, seperti dalam merawat, menjaga, dan membesarkan anaknya. Pesan lain yang ingin disampaikan oleh penyair lewat puisi Ibu ini adalah, bahwa kita tidak bisa membalas semua kebaikan yang telah diberikan ibu terhadap kita, sehingga yang bisa kita lakukan hanyalah mendoakan ibu kita. 3. Analisis Unsur Fisik Lirik Lagu Keramat a. Versifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum) Di dalam lirik lagu, unsur rima menjadi sangat penting, sebab bukan hanya untuk menimbulkan unsur ritmis dalam lirik lagu, namun juga agar lirik lagu tersebut enak untuk didengar ketika dinyanyikan. Pada lirik lagu
91
Keramat ini, Rhoma Irama (Bang Haji) sangat memperhatikan unsur rimanya. Rima awal yang digunakan dalam lirik lagu Keramat ini dideskripsikan secara rapi oleh Bang Haji. Hal tersebut dapat dilihat persamaan kata pada kutipan lirik lagu berikut ini: Bukannya gunung .... Bukan lautan .... Bukan pula dukun .... Bukan kuburan .... Pada kutipan lirik lagu di atas, kerapihan rima awal yang digunakan Bang Haji terlihat kata bukan. Pengulangan kata bukan di awal larik tersebut jelas bukan hanya memberikan efek ritmis ketika lagu tersebut dinyanyikan, namun juga untuk mempertegas dan memperjelas bentuk penolakan yang ingin Bang Haji sampaikan. Kerapihan rima awal yang digunakan Bang Haji pada lirik lagu Keramat bukan hanya terletak pada pengulangan kata, namun juga pada pengulangan frasa. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan frasa dalam kutipan lirik lagu berikut ini: Bila kau sayang .... Lebih sayanglah .... Bila kau patuh .... Lebih patuhlah .... Pada kutipan lirik lagu di atas, kerapihan rima awal terlihat pada pengulangan frasa bila kau. Begitu juga dengan frasa lebih sayang dan frasa lebih patuh, keduanya dapat dikatakan pengulangan frasa, karena kata sayang dan patuh di sini mengikuti larik sebelumnya, sehingga efek ritmis tetap muncul. Kerapihan rima yang digunakan Bang Haji dalam lirik lagu Keramat ini tidak hanya terletak pada bentuk pengulangan rima awal. Persamaan bunyi tengah (rima tengah) yang dideskripsikan Bang Haji pada lirik lagu Keramat ini juga cukup rapi, yaitu dapat kita lihat dalam bentuk
92
pengulangan atau persamaan bunyi konsonan (aliterasi) dan bunyi vokal (asonansi). Bentuk asonansi yang digunakan Bang Haji dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini. Ridha Ilahi karena ridhanya Murka Ilahi karena murkanya Berdasarkan kutipan lirik lagu di atas, dapat dilihat bunyi vokal /a/ cukup dominan. Bunyi yang ditimbulkan oleh vokal tersebut (/a/) mampu menciptakan suasana yang mistis, yaitu mempertegas kekeramatan yang dibicarakan Bang Haji. Selanjutnya, rima tengah yang Bang Haji gunakan dalam lirik lagu Keramat ini juga terdapat bentuk pengulangan bunyi konsonan (aliterasi). Bentuk aliterasi yang digunakan Bang Haji dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini. Hai manusia hormati ibumu Yang melahirkan dan membesarkanmu Berdasarkan kutipan lirik lagu di atas, dapat kita lihat bunyi konsonan /m/ cukup dominan. Pengulangan bunyi konsonan /m/ ini memberikan efek adanya dengungan yang memberikan kesan sinis. Kesan sinis ini ditujukan kepada manusia-manusia yang tidak menghormati ibunya. Padahal, ibu adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkannya. Selanjutnya, kerapihan rima yang Bang Haji lakukan juga terdapat di rima akhir. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini: Darah dagingmu dari air susunya Jiwa ragamu dari kasih sayangnya Dialah manusia satu-satunya Yang menyayangimu tanpa ada batasnya
93
Berdasarkan kutipan lirik lagu di atas, dapat dilihat persamaan bunyi akhir yang terdapat pada kata -nya. Pengulangan kata -nya tersebut merujuk kepada sosok ibu, artinya bahwa segala sesuatu yang diperoleh atau didapatkan selama ini, salah satunya karena jasa dari seorang ibu. Selain itu, persamaan rima akhir yang digunakan Bang Haji juga bukan semata-mata hanya untuk mengejar unsur ritmisnya saja. Akan tetapi, melalui pengulangan bunyi pada rima akhir yang Bang Haji gunakan, semakin memperkuat pesan yang ingin disampaikan. b. Diksi Dalam menciptakan lirik-lirik lagu, pilihan kata yang Bang Haji gunakan tidak hanya mementingkan keselarasan bunyi ketika lirik lagu dinyanyikan, namun juga pilihan kata yang digunakan Bang Haji memiliki ketepatan makna. Pilihan kata yang digunakan pada lirik lagu Keramat ini nampaknya terinspirasi dari hadis nabi. Ini tidak lepas dari jargon yang diusung Rhoma Irama dan Soneta Grup dalam bermusik, yaitu The Voice of Moslem. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan lirik lagu Keramat berikut ini: ........................................... Ridha Ilahi karena ridhanya Murka Ilahi karena murkanya153 Berdasarkan kutipan lirik lagu Keramat di atas, terlihat bahwa Bang Haji mengutip sebuah hadis, yaitu “ridha Allah tergantung ridha orangtua, dan murka Allah tergantung murkanya orangtua”. Di sini, Rhoma sedikit mengkhususkan orangtua kepada sosok ibu. Pemilihan diksi tersebut juga menerangkan betapa tingginya posisi atau derajat seorang ibu di mata Allah. 153
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-‘Ash Radliyallaahu ‗anhu bahwa Nabi Shallallaahu
‗alaihi wa Sallam bersabda: ―Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.‖ Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.‖ Sumber: Ibnu Hajar al-Asqolani, Terjemahan lengkap Bulughul Maram, ( Jakarta: Akbar,cet 2,2009),hlm.671
94
Selain itu, penggunaan larik di atas sebagai penekanan dari larik sebelumnya. Pemilihan kata ridha di sini untuk menjelaskan bahwa yang paling diharapkan seorang hamba atau makhluk dari Tuhannya adalah ridhaNya, dan ridha tersebut tergantung dari ridha seorang ibu, sehingga dengan kata lain, ridha Ilahi adalah kunci untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang hakiki. Pendeskripsian Bang Haji mengenai sosok ibu di dalam lirik lagu Keramat ini sangatlah kuat. Hal tersebut terdapat pada kutipan lirik lagu berikut ini: Bila kau sayang pada kekasih Lebih sayanglah pada ibumu Bila kau patuh pada rajamu Lebih patuhlah pada ibumu Pilihan kata sayang dan patuh di sini jelas untuk menunjukkan bahwa ibu adalah seseorang yang harus disayangi dan dipatuhi. Hal ini menjadi menarik mengenai alasan Bang Haji lebih memilih kata sayangi dibandingkan kasih atau cinta. Jika merujuk pada KBBI, kata cinta berarti 1 suka sekali; sayang benar: 2 kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): 3 ingin sekali; berharap sekali; rindu: 4 kl susah hati (khawatir); risau.154 Merujuk pada pengertian kedua, kata cinta adalah perasaan sayang, namun lebih ke antara lawan jenis. Sementara kata kasih berarti perasaan sayang (cinta, suka kpd); menanggung rindu (cinta berahi); beri, memberi.155 Ini berarti bahwa kata kasih masih rancu antara ‖kasih‖ sebagai perasaaan atau ―kasih‖ sebagai perbuatan. Sementara itu, kata sayang menurut KBBI berarti kasih sayang (kpd); cinta (kpd); kasih (kpd); 2 v sayang akan (kpd); amat suka akan (kpd); mengasihi; mencintai.156 Ini
154
Departemen Pendidikaan Nasional., op. cit., h. 268. Ibid, h. 631. 156 Ibid, h. 1234. 155
95
berarti bahwa kata sayang menunjukkan perasaan yang lebih tinggi, sehingga pemilihan kata sayang yang digunakan Bang Haji cukup tepat. Selanjutnya, hal yang menarik dari kutipan lirik lagu Keramat di atas adalah penggunaan kata raja atau orang kedudukannya tinggi. Kenapa Bang Haji tidak menggunakan kata presiden, penguasa, atau pemimpin. Jika kembali merujuk pada KBBI, kata presiden berarti 1 kepala (lembaga, perusahaan, dsb); 2 kepala negara (bagi negara yg berbentuk republik).157 Ini berarti bahwa presiden hanya mencakup pada suatu lembaga, khususnya negara. Sementara, kata penguasa berarti sekelompok kecil orang dl masyarakat yg melakukan semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan memperoleh hak-hak istimewa.158 Ini berarti kata penguasa lebih merujuk pada lebih dari satu orang atau kelompok. Selanjutnya kata pemimpin berarti orang yang memimpin.159 Ini menunjukkan kepada panggilan orang berdasarkan tugasnya (sebagai pemimpin). Hal ini berbeda dengan kata raja yang memiliki arti yang cukup luas. Dalam KBBI ―raja‖ berarti 1 penguasa tertinggi pd suatu kerajaan (biasanya diperoleh sbg warisan); orang yg mengepalai dan memerintah suatu bangsa atau negara; 2 kepala daerah istimewa; kepala suku; sultan; 3 sebutan untuk penguasa tertinggi dr suatu kerajaan; 4 orang yg besar kekuasaannya (pengaruhnya) dl suatu lingkungan (perusahaan); 5 orang yg mempunyai keistimewaan khusus (spt sifat, kepandaian, kelicikan); 6 binatang (jin dsb) yg dianggap berkuasa thd sesamanya; 7 buah catur yg terpenting; 8 kartu (truf) yg bergambar raja. 160 Jika merujuk kepada semua pengertian KBBI, kata raja lebih menunjukkan suatu kekuasaan atau pengaruh yang sangat besar dibandingkan kata presiden, penguasa, atau pemimpin. Maka kata raja sudah tepat.
157
Ibid, h. 1101. Ibid, h. 746. 159 Ibid, h. 1075. 160 Ibid, h. 1133. 158
96
Di dalam lirik lagu Keramat ini, Bang Haji juga banyak menggunakan istilah-istilah alam. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini. Bukannya gunung tempat kau meminta Bukan lautan tempat kau memuja Bukan pula dukun tempat kau menghiba Bukan kuburan tempat memohon doa Pada kutipan di atas, terlihat Bang Haji menggunakan istilah-istilah sosial, seperti gunung, laut, dukun, kuburan untuk menyampaikan kritikannya. Selain itu, penggunaan istilah-istilah tersebut dapat dikaitkan dengan judul lagu ini, yaitu Keramat. Selama ini banyak orang menganggap gunung, laut, dukun, maupun sebagai tempat keramat atau sesuatu yang dianggap suci dan dapat memberikan apa yang diinginkan. Padahal, menurut Bang Haji, hal yang paling keramat di muka bumi ini adalah ibu, yaitu dengan doa dan ridhanya dapat memberikan apa yang diinginkan anaknya. c. Kata Konkret dan Kata Abstrak Di dalam menganalisis unsur fisik lirik lagu Keramat ini, penulis tidak menganalisis unsur tipografinya. Hal tersebut karena lagu merupakan karya seni audio yang diperdengarkan. Meskipun di dalam sebuah lagu terdapat lirik lagu, namun tetap tidak bisa dijadikan acuan sebagai tipologi asli dari penciptanya, sehingga penulis hanya mendasarkan pada jeda dan ritme lagu. Berdasarkan hal tersebut, dalam menganalisis kata konkret, penulis tidak bisa menyebutkan posisi kata konkret yang ditemukan. Akan tetapi, penulis akan menyebutkan frekuensi kata konkret yang muncul dari lirik lagu tersebut.
97
Tabel IV Kata konkret dalam Lirik Lagu Keramat Kata Konkret
Banyaknya
Manusia
2
Ibumu
5
Darah dagingmu
1
Air susunya
2
Dialah
1
Kau
5
Kekasih
1
Rajamu
1
Gunung
1
Lautan
1
Dukun
1
Kuburan
1
Dunia
1
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kata konkret yang paling banyak digunakan Bang Haji adalah ibumu, kau, dan penggunaan istilahistilah alam (gunung, lautan, dan dunia), serta istilah-istilah sosial (dukun, kuburan). Pemunculan kata Ibumu dan kau relatif seimbang, yaitu 5 kali. Hal tersebut tidak lepas dari nada yang ingin disampaikan Bang Haji, yaitu berupa nasihat yang ditujukan kepada semua orang, tanpa melihat batas usia. Perlu diketahui, Bang Haji juga menggunakan kata manusia yang muncul sebanyak 2 kali. Kata manusia di awal lirik merujuk kepada pendengar. Sementara itu, kata manusia yang muncul kedua lebih ditujukan kepada sosok ibu. Hal ini menjadi menarik, sebab dari banyaknya kata konkret yang relatif seimbang membuat lirik lagu ini seolah-olah mengajak berbicara pendengar untuk menyadari yang sesungguhnya harus ditakuti
98
kekeramatannya, yaitu dengan menggunakan istilah alam sebagai bentuk gambaran penolakan serta kata ibumu sebagai bahan nasihatnya yang banyaknya juga sama dengan kata kau. Akan tetapi, dengan menggunakan istilah-istilah alam, lirik lagu Keramat ini terkesan tidak menggurui, sehingga mudah diterima oleh pendengarnya. Sama halnya dalam menganalisis kata konkret, dalam menganalisis kata abstrak, penulis juga tidak bisa menyebutkan posisi kata abstrak yang ditemukan. Akan tetapi, penulis hanya menyebutkan frekuensi kata abstrak yang muncul dari lirik lagu tersebut. Tabel V Kata Abstrak dalam Lirik Lagu Keramat Kata Abstrak
Banyaknya
Hormati
1
Melahirkan
1
Membesarkan
1
Kasih sayangnya
1
Menyayangimu
1
Doa
1
Dikabulkan
1
Tuhan
1
Kutukannya
1
Kenyataan
1
Ilahi
1
Sayang
1
Sayanglah
1
Patuh
1
Patuhlah
1
Meminta
1
99
Memuja
1
Menghiba
1
Memohon
1
Keramat
1
Kata-kata abstrak dalam lirik lagu Keramat kedudukannya sebagai predikat (P). Kata-kata tersebut semakin menggambarkan secara nyata bahwa fenomena yang digambarkan Bang Haji benar-benar terjadi di masyarakat. Pemilihan kata meminta, memuja, menghiba, dan memohon merupakan bentuk sindiran halus Bang Haji. Melalui kata-kata itu pula, Bang Haji memberikan pandangannya menolak tahayul-tahayul yang masih ada dan diterapkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia, seperti meminta kepada gunung, memuja laut, serta datang ke dukun, kuburan, atau tempat-tempat lain yang dianggap keramat. d. Imaji atau Pencitraan Sama halnya ketika menganalisis kata konkret maupun kata abstrak, dalam menganalisis imaji atau pencitraan, penulis tidak bisa menyebutkan posisi imaji yang ditemukan. Akan tetapi, penulis hanya menyebutkan jenis imaji dan kutipannya. Tabel VI Tabel Imaji dalam Lirik Lagu Keramat Imaji
Banyak
Keterangan
Pendengaran
4
Hai manusia, Hormati ibumu, Sayanglah, Patuhlah
Penglihatan
16
Melahirkan, melahirkan, membesarkanmu,
100
manusia, kekasih, patuh, rajamu, gunung, meminta, lautan, memuja, dukun, menghiba, kuburan, memohon, dunia
Lirik lagu Keramat ini didominasi oleh imaji penglihatan (visual). Dominannya penggunaan imaji visual ini diasumsikan sebagai bentuk penolakan terhadap perilaku-perilaku yang selama ini dianggap Bang Haji salah. Penyajian imaji visual ini dilakukan Bang Haji supaya pendengar seolah-olah melihat bahwa perilaku yang selama ini dikerjakan adalah salah, yaitu bertahayul dengan menjadikan gunung dan laut sebagai tempat pemujaan atau pergi ke dukun, kuburan, serta tempat-tempat yang diangggap keramat hanya untuk berdoa. Bang Haji juga memperkuat imaji visualnya dengan memberikan efek seolah-olah pendengar melihat bahwa sesungguhnya ibulah manusia yang memiliki kekeramatan itu, bukan gunung, laut, dukun, maupun kuburan. 4. Analisis Unsur Batin Lirik Lagu Keramat a. Tema Tema yang diangkat dalam lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama adalah tentang kekeramatan seorang ibu. Jika melihat pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata keramat dapat diartikan sesuatu yang suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain. Melalui lirik lagu tersebut, Bang Haji ingin menggambarkan bentuk keramat yang ada di dalam diri seorang ibu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini:
101
Doa ibumu dikabulkan Tuhan Dan kutukannya jadi kenyataan ................................................ Selain itu, melalui lirik lagu ini pula, Bang Haji ingin mengkritik kepada orang-orang melupakan tuah seorang ibu, yaitu orang-orang yang lebih memilih pergi ke dukun atau tempat-tempat yang dianggap keramat dibandingkan meminta doa atau restu kepada ibunya sendiri. Hal tersebut terdapat pada penggalan lirik lagu berikut ini: Bukan pula dukun tempat kau menghibah Bukan kuburan tempat memohon doa ....................................................... b. Rasa Rasa atau sikap Bang Haji terhadap pokok permasalahan yang terdapat di dalam lirik lagu Keramat ini adalah ironi atau bentuk keprihatinannya terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh masyarakat. Keperihatinan Bang Haji banyak ditunjukkan dengan penggunaan istilah alam, seperti gunung, laut, dukun, serta kuburan yang sekaligus menjadi bentuk penolakannya atas perilaku menyimpang. Sama halnya dengan Gus Mus, pengungkapan rasa atau sikap pada lirik lagu Keramat ini juga erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologis Bang Haji. Sudah ketahui bersama, bahwa jargon Bang Haji dalam bermusik adalah The Voice of Moslem. Bang Haji ingin menjadikan lagu-lagunya bukan hanya sebatas media hiburan, tetapi juga Bang Haji ingin menjadikan lagu-lagunya sebagai alat untuk dirinya berdakwah. Dari hal tersebut, dapat dilihat sikap seorang Bang Haji terhadap perilakuperilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat. Bang Haji tidak hanya sebatas perihatin atas perilaku menyimpang yang dilakukan masyarakat. Akan tetapi, keprihatinannya diperkuat dengan solusi yang ia berikan, yaitu dengan menunjukkan sosok ibu sebagai seseorang yang seharusnya dianggap keramat.
102
c. Nada Nada yang diungkapkan oleh pencipta dalam lirik lagu Keramat ini adalah berupa nasihat yang ingin disampaikan kepada semua orang, tanpa melihat batas usia. Hal tersebut ditunjukkan dengan kata manusia di awal lirik lagu. Bentuk nasihat yang digunakan oleh pencipta bukan hanya berupa perintah, melainkan juga dalam bentuk peringatan. Bentuk peringatan Bang Haji banyak menggunakan istilah-istilah yang sederhana, sehingga lirik lagunya tidak terkesan menggurui, namun tetap mengena ke hati pendengarnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan lirik lagu berikut ini: Hai manusia, hormati ibumu! Yang melahirkan dan membesarkanmu Darah dagingmmu dari air susunya Jiwa ragamu dari kasih sayangnya d. Amanat Amanat yang terkandung dalam lirik lagu Keramat ini adalah berupa sikap hormat kepada seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anaknya dengan segala kasih sayang, sehingga seorang anak bisa tumbuh dan berkembang. Selain itu, lewat
lirik lagu Keramat ini, Bang Haji
mengingatkan kepada kita semua akan kekeramatan seorang ibu. Maka dari itu, jangan pernah membuat ibu marah apalagi sedih, karena ridha dan murkanya Allah tergantung kepada ridha dan murkanya ibu. B. Analisis Perbandingan Gaya Bahasa Pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Perbandingan gaya bahasa yang terdapat di dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dapat dilihat dari analisis struktur yang membangun serta nilai yang terdapat di dalamnya. Analisis struktur tersebut memiliki peran yang sangat penting sebagai acuan memahami perbandingan gaya bahasa yang terdapat di dalam kedua karya tersebut.
103
Berdasarkan hasil analisis, puisi Ibu memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan lirik lagu Keramat. Meskipun kedua karya tersebut jenisnya berbeda, yaitu puisi dan lirik lagu, serta diciptakan oleh orang yang berbeda. Hal tersebut tidak membatasi keterkaitan antara keduanya, sehingga menarik untuk dianalisis. Keterkaitan yang ditangkap penulis pada dua karya tersebut adalah lirik lagu Keramat karya Bang Haji merupakan bentuk penguatan dari penggambaran objek lirik (ibu) sebagaimana yang dibicarakan oleh Gus Mus dalam puisi Ibu. Sudah dijelaskan pada kajian teori, bahwa dalam menganalisis perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat, penulis merujuk kepada pendapat Gorys Keraf, yaitu gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan pilihan kata, nada, struktur kalimat, serta langsung tidaknya makna. Berikut ini akan dijelaskan perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat. 1. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata Pada puisi Ibu, jika dilihat gaya bahasa berdasarkan pilihan katanya, Gus Mus cukup tepat memilih kata mana yang sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam puisi tersebut untuk menggambarkan hal yang ingin ia sampaikan. Ketepatan pilihan kata yang digunakan Gus Mus, serta kesesuaiannya menempatkan posisi kata yang dipilih dapat dilihat pada bait pertama puisi ini. Pada bait pertama baris kedua, Gus Mus memilih kata gua untuk menggambarkan rahim seorang ibu. Hal tersebut dikatakan tepat, sebab gua dapat diartikan seperti sebuah tempat. Ketepatan pemilihan kata gua diperkuat ketika kata tersebut disandingkan dengan kata teduh yang memilki arti tenang atau aman. Kedua kata inilah yang membentuk frasa gua teduh yang menurut penulis merupakan gambaran rahim seorang ibu. Hal tersebut membuktikan, bahwa gua teduh merupakan gambaran rahim seorang ibu. Apalagi jika kita menghubungkan dengan baris selanjutnya (baris ketiga),
104
yaitu terdapat kata bertapa, dalam hal ini sangat lekat dengan kata gua serta memiliki sifat mengasingkan diri. Setelah menggunakan frasa gua teduh untuk menggambarkan rahim seorang ibu atau menggambarkan pengorbanan ibu ketika mengandung anaknya, Gus Mus selanjutnya memilih menggunakan kata kawah untuk mengambarkan pengorbanan seorang ibu dalam melahirkan anaknya. Gambaran pengorbanan seorang ibu melahirkan anaknya diperkuat dengan penggunaan kata meluncur dan perkasa yang menggambarkan bahwa ibu melahirkan anak-anaknya dengan sempurna, sehat, dan kuat. Selanjutnya Gus Mus menggunakan kata bumi untuk menggambarkan sosok ibu sebagai tempat untuk mengadu. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan selanjutnya, yaitu yang tergelar lembut bagiku/melepas lelah dan nestapa menunjukkan kelemahan seorang anak di hadapan ibunya. Berdasarkan hal tersebut, Gus Mus cukup tepat memilih kata bumi. Selain karena alasan yang telah disebutkan sebelumnya, kata bumi identik dengan sesuatu yang rendah menunjukkan kerendahatian seorang ibu yang selalu siap menerima anaknya. Setelah Gus Mus menggunakan kata bumi untuk menggambarkan sosok ibu sebagai tempat mengadu (kembali), selanjutnya Gus Mus menggunakan kata gunung untuk menggambarkan posisi seorang ibu sebagai penyeimbang atau pemberi masukan dalam menjaga cita-cita (mimpi) seorang anak. Hal tersebut tidak lepas dari makna, bahwa gunung merupakan sesuatu yang kokoh atau sebagai penyeimbang bumi. Selanjutnya, Gus Mus menggunakan frasa mata air untuk menggambarkan sosok ibu sebagai seseorang yang selalu menjadi penyemangat untuk anakanaknya. Hal tersebut tidak lepas dari korelasi yang diciptakan Gus Mus pada frasa mata air dengan kata dahaga. Jika kita merujuk pada kenyataan, air (mata air) merupakan sumber kehidupan, sementara kata dahaga identik dengan rasa lelah. Hal tersebut membuktikan, bahwa pilihan kata yang Gus Mus lakukan sudah cukup tepat. Selanjutnya, bait pertama pada puisi Ibu ini
105
ditutup dengan penggunaan kata telaga untuk menggambarkan sosok ibu sebagai ruang untuk belajar. Hal tersebut dapat dilihat pada korelasi yang diciptakan Gus Mus pada bait pertama larik ke-14, yaitu pada kata telaga dan bermain. Kata telaga identik dengan ruang, sementara bermain identik dengan belajar. Berdasarkan analisis bait pertama yang sudah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan, bahwa pilihan kata pada gaya bahasa yang digunakan Gus Mus sudah cukup tepat, yaitu secara konsisten menggunakan istilah alam untuk menggambarkan sosok ibu. Selain cukup tepat dalam menggunakan pilihan kata yang ia gunakan, Gus Mus juga cermat memposisikan tiap kata yang ia gunakan. Kecermatan Gus Mus dalam memposisikan pilihan kata yang ia gunakan terlihat dari urutan gambaran pengorbanan seorang ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut dapat dilihat dari analisis yang sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu menggunakan kata gua yang melambangkan rahim seorang ibu. Sudah diketahui bersama, bahwa rahim merupakan tempat dimana seorang anak pertama dibentuk menjadi manusia utuh.
Selanjutnya,
Gus
Mus
menggunakan
kata
kawah
untuk
menggambarkan pengorbanan seorang ibu dalam melahirkan anaknya, bahkan pada proses ini, ibu harus berjuang antara hidup dan mati. Setelah menggambarkan pengorbanan seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan, seorang ibu juga harus merawat dan menjaga anak-anaknya menjadi anak yang sehat dan cerdas, menjadi tempat mengadu bagi anakanaknya, membantu mewujudkan cita-cita anak, menjadi penyemangat, serta menjadi tempat untuk anaknya agar terus belajar. Semua gambarangambaran pengorbanan seorang ibu tersebut diposisikan secara cermat oleh Gus Mus, tentunya dengan pemilihan kata yang tepat pula. Kecermatan Gus Mus dalam memposisikan pilihan kata yang ia gunakan tidak hanya di bait pertama. Hal tersebut dapat dilihat pada bait selanjutnya (bait kedua). Jika di bait pertama Gus Mus memposisikan tiap
106
kata yang ia gunakan untuk menggambarkan tiap aspek pengorbanan seorang ibu, di bait kedua Gus Mus memposisikan tiap kata yang ia gunakan untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu secara menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat pada baris pertama bait kedua. Gaya bahasa yang Gus Mus pilih masih tentang alam, yaitu kata laut dan langit. Jika kita melihat makna tiap kata, laut identik dengan luas dan dalam, sedangkan langit identik dengan tinggi. Akan tetapi, jika dimaknakan secara keseluruhan, yaitu laut dan langit, maka makna yang muncul adalah segalanya. Kemudian di baris selanjutnya (baris ketiga), Gus Mus memilih menggunakan kata mentari dan rembulan untuk menggambarkan sosok ibu sebagai penerang bagi perjalanan hidup anaknya, yaitu perjalanan mencapai surganya Allah. Gaya bahasa yang digunakan Gus Mus yang dijelaskan sebelumnya juga sangat cermat diposisikan oleh Gus Mus. Apalagi di akhir bait kedua ini, Gus Mus menggunakan sebuah hadis yang merangkum isi di bait kedua tersebut. Terakhir, gaya bahasa yang digunakan Gus Mus ditutup dengan sebait doa (bait ketiga) untuk seorang ibu. Hal tersebut membuktikan bahwa Gus Mus cukup tepat dalam memilih tiap kata yang dijadikan gaya bahasanya serta memposisikan pilihan kata yang ia gunakan. Di bait ketiga ini pula, Gus Mus seolah memberikan penekanan, bahwa atas semua bentuk pengorbanan yang dilakukan seorang ibu, sudah seharusnya kita mendoakan ibu, karena tidak ada apapun yang bisa membalas semua pengorbanan yang ibu lakukan, selain hanya doa dari anaknya. Jika tadi dilihat ketepatan dan kecermatan seorang Gus Mus dalam memilih gaya bahasa yang ia gunakan serta memposisikannya secara cermat dalam puisi Ibu, lalu bagaimana dengan Rhoma Irama dalam lirik lagu Keramat. Di dalam lirik lagu Keramat ini, ternyata gaya bahasa yang Bang Haji gunakan bukan hanya untuk mengejar unsur ritmis semata. Sudah diketahui bersama, bahwa lirik lagu bukan hanya menuntut kata-katanya saja, tetapi lirik lagu juga dituntut pas untuk didengar ketika dinyanyikan.
107
Ada hal yang menarik jika kita membandingkan puisi Ibu karya Gus Mus dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, yaitu keduanya samasama banyak menggunakan istilah-istilah alam pada tiap karya. Akan tetapi, istilah alam yang digunakan Gus Mus dalam puisi Ibu lebih kaya dibandingkan istilah alam yang digunakan Bang Haji dalam lirik lagu Keramat. Hal tersebut tidak lepas dari fungsi yang ingin dicapai. Jika Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu kepada anaknya serta sebagai bentuk kekagumannya akan keagungan seorang ibu. Sementara itu, Bang Haji memposisikan istilah alam sebagai bentuk penolakannya terhadap perilaku-perilaku yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut karena banyak masyarakat yang berpikiran keliru, yaitu menganggap gunung, laut, dukun, dan kuburan sebagai tempat yang suci dan dapat memberikan apapun yang diminta. Padahal ada tempat atau perantara yang sebetulnya lebih tepat, yaitu seorang ibu. Melalui cinta, kasih, dan doanya, mengabulkan apa yang diinginkan anaknya. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan perbandingan gaya bahasa pada puisi Ibu karya Gus Mus dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama dengan melihat gaya bahasa pada tiap pilihan katanya. Ternyata terdapat persamaan dan perbedaannya. Persamaannya, dapat dilihat pada banyaknya penggunaan istilah alam yang digunakan. Sementara itu, perbedaannya adalah fungsi dari istilah alam digunakan. Jika Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan keagungan seorang ibu, sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam yang ia gunakan sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku masyarakat yang keliru. 2. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada Berdasarkan nadanya, gaya bahasa didasarkan pada pengaruh dari rangkaian kata-kata yang telah dipilih pada sebuah wacana. Seringkali
108
pengaruh ini akan terlihat jika diikuti dengan pengaruh suara ketika wacana tersebut dibacakan. Di dalam puisi Ibu ini, jika puisi tersebut dibacakan, maka nada yang muncul adalah ajakan kepada pembaca untuk melihat keagungan seorang ibu. Bukan hanya mengajak untuk mengagumi sosok ibu, Gus Mus juga mengajak pembaca untuk selalu mendoakan ibu. Merujuk kepada pendapatnya Gorys Keraf, gaya bahasa yang digunakan Gus Mus berdasarkan nadanya, maka tergolong gaya mulia dan bertenaga. Hal tersebut tidak lepas dari pilihan kata yang digunakan Gus Mus mampu menggerakkan emosi baik pembaca maupun pendengarnya ketika puisi tersebut dibacakan. Sama halnya dengan nada yang muncul dari puisi Ibu, pada lirik lagu Keramat, berdasarkan nadanya tergolong ke dalam jenis gaya bahasa mulia dan bertenaga. Hal tersebut terlihat dari maksud lirik lagu Keramat ini, yaitu berupa nasihat. Akan tetapi, bentuk nasihat yang digunakan Bang Haji bukan hanya berupa perintah, melainkan juga bentuk peringatan. Bentuk peringatan yang dilakukan Bang Haji banyak menggunakan istilahistilah yang sederhana. Hal inilah yang membuat lirik lagu ini tidak terkesan menggurui, namun tetap mampu menggerakkan emosi pendengarnya. Berdasarkan analisis yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan perbandingan gaya bahasa pada puisi Ibu karya Gus Mus dengan lirik lagu Keramat karya Bang Haji dengan melihat berdasarkan nadanya, maka samasama tergolong ke dalam jenis gaya bahasa mulia dan bertenaga. Perbedaannya hanya terletak pada tujuannya. Jika Gus Mus menggunakan gaya bahasa mulia dan bertenaga untuk mengajak kepada pembacanya, sedangkan Bang Haji menggunakan gaya bahasa tersebut sebagai bentuk nasihat serta peringatan kepada pendengarnya. 3. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya bahasa dalam puisi Ibu karya Gus Mus ini cenderung menggunakan gaya bahasa repetisi. Pengulangan
109
bunyi dalam puisi Ibu ini membentuk musikalitas, sehingga dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi lebih merdu jika dibaca. Contohnya pada larik /Kaulah gua teduh/ tempatku bertapa bersamamu/ sekian lama/ Kaulah kawah/ darimana aku meluncur dengan perkasa/ kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku/. Berdasarkan kutipan tersebut, Gus Mus menggunakan pengulangan pada frasa kaulah. Pengulangan frasa kaulah ini bukan hanya mengejar agar puisi tersebut merdu untuk dibaca. Akan tetapi, Gus Mus juga menggunakan lambang bunyi. Jika merujuk kepada kutipan yang telah disebutkan sebelumnya, lambang bunyi yang dipilih Gus Mus adalah istilah alam. Penulis berpendapat, bahwa pemilihan bunyi-bunyi yang digunakan Gus Mus dengan memanfaatkan istilah alam sudah cukup tepat untuk mendukung perasaan atau suasana puisi. Sudah diketahui bersama, bahwa puisi Ibu ini menggambarkan tentang kekaguman akan keagungan seorang ibu, sehingga dengan menggunakan pengulangan pada frasa kaulah, kemudian didukung dengan lambang bunyi, yaitu berupa istilah alam semakin memperkuat unsur kekaguman akan keagungan yang ditunjukkan Aku-lirik kepada objek-lirik (ibu). Begitu juga dengan Bang Haji dalam lirik lagu Keramat. Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya bahasa yang Bang Haji gunakan juga banyak menggunakan repetisi (pengulangan). Sama halnya dengan yang dilakukan Gus Mus, penggunaan repetisi yang dilakukan Bang Haji pun bukan hanya untuk mengejar unsur musikalitas pada lirik lagunya atau membuat lirik lagu menjadi semakin merdu jika dinyanyikan. Akan tetapi, ada maksud lain yang ingin dilakukan Bang Haji dengan menggunakan bentuk pengulangan, yaitu untuk memberikan penegasan atas kritik yang disampaikan. Ada hal yang menarik jika membandingkan gaya bahasa yang digunakan Gus Mus pada puisi Ibu dengan gaya bahasa yang digunakan Bang Haji dalam lirik lagu Keramat dengan melihat struktur kalimatnya, yaitu keduanya sama-sama cenderung menggunakan bentuk pengulangan.
110
Persamaan penggunaan pengulangan yang dilakukan Gus Mus dengan Bang Haji juga dapat dilihat dari lambang bunyi yang digunakan untuk mendukung repetisi tersebut. Jika Gus Mus memilih menggunakan lambang bunyi, yaitu berupa istilah alam untuk mendukung perasaan dan suasana puisinya, serta memperkuat unsur kekaguman akan keagungan Aku-lirik kepada objek-lirik (ibu). Sementara itu, Bang Haji menggunakan lambang bunyi yang juga berupa istilah alam untuk mendukung perasaan dan suasana lirik lagunya. Contohnya terdapat pada lirik /bukannya gunung tempat kau meminta/ bukan lautan tempat kau memuja/ bukan dukun tempat kau meminta/ bukan kuburan tempat memohon doa/. Berdasarkan kutipan lirik lagu tersebut, bentuk repetisi yang dilakukan Bang Haji terdapat pada pengulangan kata bukan kemudian disandingkan dengan penggunaan lambang bunyi yang cukup tepat, yaitu berupa istilah alam. Sudah diketahui, bahwa lirik lagu Keramat karya Bang Haji ini menggambarkan tentang kritikannya kepada masyarakat akan kekeliruannya yang telah menjadikan gunung, laut, dukun, serta kuburan sebagai tempat yang suci atau memiliki kekeramatan. Melalui pengulangan kata bukan inilah, Rhoma ingin mempertegas kritikannya. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan mengenai
perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu karya Gus Mus
dengan lirik lagu Keramat karya Bang Haji dengan melihat struktur kalimatnya.
Keduanya
sama-sama
banyak
menggunakan
repetisi
(pengulangan) yang disandingkan dengan pemilihan istilah-istilah alam yang cukup tepat. Sementara itu, jika melihat fungsi dari bentuk repetisi yang digunakan, keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Jika Gus Mus menggunakan repetisi untuk memperkuat kekaguman akan keagungan Akulirik kepada sosok ibu, sedangkan Bang Haji menggunakan repetisi untuk memperkuat kritikan-kritikannya. 4. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
111
Jika melihat gaya bahasa pada puisi Ibu berdasarkan makna dengan mengukur langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan makna, maka gaya bahasa yang digunakan Gus Mus banyak mengalami perubahan makna atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya. Hal tersebut tidak lepas dari cara Gus Mus banyak menggunakan bahasa kiasan di dalam puisi Ibu ini. Melalui bahasa kiasan inilah Gus Mus seakan menggunakan bahasa yang ia gunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yaitu secara tidak langsung mengungkapkan makna dari puisi Ibu. Hal tersebut membuat puisi Ibu ini menjadi memiliki banyak makna atau kaya akan makna. Telah disebutkan sebelumnya, bahwa berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa yang telah digunakan Gus Mus banyak menggunakan pengiasan, sehingga menimbulkan makna kias dari puisi Ibu. Hal tersebut membuat pembaca harus bisa menafsirkan kiasan yang dibuat Gus Mus. Bentuk kiasan yang digunakan Gus Mus sendiri tergolong bentuk kiasan langsung atau disebut juga gaya bahasa metafora. Hal tersebut tidak lepas dari benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya. Penyair mengiaskan ibu yang ia kagumi dengan istilah-istilah alam. Hal tersebut dapat dilihat dari cara Gus Mus menghadirkan benda yang ia kiaskan, di mana sosok ibu ada bersama pengiasnya, yaitu berupa istilah alam. Meskipun sosok ibu sebagai benda yang dikiaskan hanya muncul sekali, tepatnya di awal baris pada bait pertama. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi eksistensi sosok ibu sebagai benda yang dikiaskan. Istilah-istilah alam yang digunakan Gus Mus bukan hanya sebagai pengias. Akan tetapi, istilah-istilah alam yang Gus Mus gunakan juga sebagai bentuk perlambangan yang digunakan untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana puisi menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah hati pembacanya. Di dalam puisi Ibu ini, Gus Mus sangat memperhatikan lambang yang ia gunakan. Hal tersebut menjadi sangat
112
penting, sebab kata-kata dari kehidupan sehari-hari saja belum cukup untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Oleh sebab itu, diperlukan pergantian dengan benda lain atau simbolisasi, sebab dengan simbolisasi makna akan menjadi lebih hidup, jelas, dan mudah dibayangkan oleh pembacanya. Gus Mus telah memilih istilah alam sebagai bentuk
perlambangan
atau
simbolisasinya
dalam
menggambarkan
keagungan seorang ibu. Hal tersebut membuat puisi Ibu menjadi semakin hidup, jelas, dan mudah dibayangkan pembacanya. Macam-macam lambang yang telah Gus Mus pilih pastinya sudah dipertimbangkan sebelumnya, termasuk dengan melihat keadaan atau peristiwa yang ingin Gus Mus gambarkan untuk mengganti keadaan atau peristiwa. Puisi Ibu memperlihatkan keadaan kekaguman akan keagungan sosok ibu cukup tepat. Ketepatan pemilihan lambang yang Gus Mus lakukan dengan memilih istilah alam karena alam merupakan bentuk kekuasaan Allah yang dapat dilihat secara langsung. Selanjutnya, alam juga menunjukkan sesuatu yang berkuasa. Selain itu, alam juga merupakan sesuatu yang dekat dengan manusia (pembaca). Hal tersebut semakin memudahkan pembaca membayangkan puisi Ibu ini, serta pembaca tidak terlalu mengalami kesulitan untuk menangkap maksud yang ingin disampaikan Gus Mus dalam puisi Ibu ini. Jika tadi dilihat gaya bahasa pada puisi Ibu berdasarkan makna dengan mengukur langsung tidaknya makna, dimana Gus Mus banyak menggunakan bahasa kiasan serta perlambangan, yaitu berupa istilah alam, sehingga membuat puisi Ibu menjadi kaya akan makna. Berbeda dengan yang dilakukan Bang Haji. Memang di dalam lirik lagu Keramat, Bang Haji juga cukup banyak menggunakan istilah alam sebagai bentuk perlambangan. Akan
tetapi,
istilah-istilah
alam
yang
Bang
Haji
pilih
masih
mempertahankan makna denotatifnya, sehingga pemilihan istilah alam yang Bang Haji gunakan tidak dapat dikatakan untuk memperkaya makna, tetapi hanya sebatas memperkaya kata yang ada di dalam lirik lagu tersebut.
113
Selain itu, tujuan yang ingin Bang Haji capai dengan menggunakan istilah alam adalah untuk mempertegas kritikannya. Hal tersebut semakin memperkuat, bahwa makna yang ada pada lirik lagu Keramat tetap mengacu kepada makna sebenarnya. Lirik lagu Keramat ini juga merupakan gambaran kritikan Bang Haji atas perilaku menyimpang yang dilakukan masyarakat. Hal tersebut membuat Bang Haji banyak menggunakan gaya bahasa ironi untuk mendukung kritik yang ingin ia sampaikan. Contohnya pada kutipan lirik /bila kau sayang pada kekasih/ lebih sayanglah pada ibumu/ bila kau patuh pada rajamu/ lebih patuhlah pada ibumu/. Berdasarkan kutipan tersebut, sangat terlihat ironi yang ditunjukkan Bang Haji, yaitu banyak orang yang ketika jatuh cinta menjadi lupa diri, bahkan rasa sayangnya pun melebihi rasa sayang kepada ibunya sendiri. Selain itu, Bang Haji juga menunjukkan ironinya, yaitu banyak orang lebih takut kepada raja atau atasan dibandingkan dengan ibunya sendiri, sehingga kepentingan ibu sering dinomorduakan dibandingkan kepentingan atasan. Bang Haji bisa saja menyampaikan kritikannya dalam bentuk sinisme atau sarkasme. Memang dengan menggunakan bentuk sinisme atau sarkasme, kritikan yang Bang Haji sampaikan langsung mengena kepada pendengarnya. Akan tetapi, keestetisan lirik lagu tersebut menjadi sedikit memudar, bahkan respon yang diterima pendengarnya pun menjadi berkurang. Hal tersebut dikarenakan jika menggunakan sinisme atau sarkasme, lirik lagu tersebut menjadi terkesan terlalu menggurui. Berbeda jika Bang Haji menyampaikan kritikannya dalam bentuk ironi, maka meskipun lirik tersebut berupa kritikan, namun lirik lagu tersebut tidak terkesan menggurui, sehingga lirik lagu tersebut menjadi mudah diterima pendengarnya. Perlu diketahui, berdasarkan langsung tidaknya makna, lirik lagu Keramat ini juga terdapat jenis gaya jenis gaya bahasa sinekdoke, yaitu pars pro toto. Contohnya terdapat pada kutipan lirik lagu /darah dagingmu dari
114
air susunya/ jiwa ragamu dari kasih sayangnya/. Berdasarkan kutipan tersebut, terdapat frasa yang menunjukkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan, yaitu pada darah dagingmu dan jiwa ragamu. Keduanya dikatakan digolongkan ke dalam jenis gaya bahasa pars pro toto karena pada frasa darah daging menunjukkan hubungan anak dengan ibu berdasarkan lahiriah (darah daging), sementara jiwa ragamu menujukkan hubungan batiniyah seorang anak dengan ibunya (kasih sayang). Berdasarkan analisis yang telah dijelaskan, maka terdapat perbedaan gaya bahasa antara puisi Ibu dengan lirik lagu Keramat berdasarkan langsung tidaknya makna. Jika Gus Mus cenderung banyak menggunakan gaya
bahasa
simile
dengan
memanfaatkan
istilah
alam
untuk
menggambarkan keagungan seorang ibu. Sementara itu, Bang Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi yang juga dengan memanfaatkan istilah alam. Selain itu, fungsi dari gaya bahasa yang digunakan Gus Mus dengan gaya bahasa yang digunakan Bang Haji juga memiliki perbedaan. Jika Gus Mus banyak menggunakan gaya bahasa simile dengan banyak menciptakan kiasan untuk menciptakan efek kekayaan makna, sehingga lebih efektif untuk ditangkap pembaca, serta membuat bahasa puisi menjadi lebih sugestif. Sementara, Bang Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi, bertujuan untuk mempertegas tujuan yang ingin disampaikan, yaitu berupa nasihat. Selain itu, dengan menggunakan gaya bahasa ironi, lirik lagu Keramat menjadi tidak terkesan menggurui, sehingga dapat diterima oleh pendengarnya. C. Analisis Fungsi Gaya Bahasa Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat Karya Rhoma Irama Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, baik dari struktur yang membangun maupun analisis perbandingan gaya bahasa antara puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama, ternyata memiliki fungsi yang berbeda. Jika Gus Mus memfungsikan puisi Ibu
115
sebagai bentuk penggambaran keagungan sosok ibu, sementara Bang Haji memfungsikan lirik lagu Keramat sebagai alat untuk melakukan kritik sosial. Berikut ini analisis fungsi gaya bahasa yang terdapat dalam puisi Ibu dan lirik lagu Keramat. 1. Berdasarkan gaya bahasa yang digunakan, tepatnya dari pilihan kata yang digunakan, Gus Mus mengajak pembaca untuk melihat keagungan seorang ibu yang telah berkorban dalam merawat dan membesarkan anaknya. Penggunaan istilah alam yang tepat serta kecermatan dalam memposisikannya
semakin
menegaskan
penggambaran
yang
ditunjukkan Aku-lirik yang selalu kagum akan keagungan seorang ibu. Berbeda dengan yang Bang Haji lakukan. Berdasarkan pilihan kata dari gaya bahasa yang digunakan, Bang Haji menyindir atau mengkritik kepada orang-orang yang menurut Bang Haji keliru. Penggunaan istiilah alam, seperti gunung, laut, dukun, serta kuburan semakin menegaskan sindiran keras yang ditujukan kepada orang-orang yang dianggapnya keliru. Keliru dalam memahami hakikat yang kekeramatan yang ada di dunia. 2. Berdasarkan nadanya, Gus Mus memfungsikan gaya bahasa yang digunakan untuk mengajak kepada pembaca. Bentuk ajakan yang Gus Mus lakukan adalah untuk melihat keagungan seorang ibu. Gus mus juga mengajak pembaca untuk selalu mendoakan ibu. Sementara itu, jika dilihat berdasarkan nadanya, Bang Haji memfungsikan gaya bahasanya sebagai alat untuk menyampaikan nasihat. Akan tetapi, ketepatan Bang Haji menggunakan gaya bahasa yang sederhana, membuat lirik lagu Keramat ini tidak terkesan seperti menggurui, sehingga mudah diterima pendengarnya. 3. Gaya bahasa yang digunakan Gus Mus berdasarkan struktur kalimatnya difungsikan untuk memperkuat gambaran akan kekaguman Aku-lirik kepada sosok ibu. Penggunaan repetisi yang disandingkan dengaan pemilihan istilah-istilah alam yang cukup tepat, semakin menegaskan
116
gambaran yang dilakukan Gus Mus. Sementara itu, jika dilihat berdasarkan struktur kalimatnya, Bang Haji memfungsikan gaya bahasa yang digunakan untuk mengkritik orang-orang yang dianggap Bang Haji keliru. Penggunaan repetisi yang disandingkan dengan pemilihan istilahistilah alam yang cukup tepat pula semakin menegaskan sindiran atau kritikan yang Bang Haji lakukan. 4. Jika dilihat berdasarkan langsung tidaknya makna, Gus Mus yang cenderung menggunakan gaya bahasa metafora dengan banyak menggunakan kiasan, yaitu memanfaatkan istilah alam, difungsikan untuk menciptakan efek kekayaan makna, sehingga lebih efektif untuk ditangkap pembaca, serta membuat bahasa puisi menjadi lebih sugestif. Sementara itu, lirik lagu Bang Haji yang cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi, difungsikan untuk mempertegas tujuan yang ingin disampaikan, yaitu berupa nasihat. D. Implikasi Perbandingan Gaya Bahasa pada Puisi Ibu Karya Mustofa Bisri dengan Lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak hanya dipandang dan menitikberatkan pada aspek pengetahuan saja. Akan tetapi, juga memperhatikan dan menekankan pada aspek penerapan nilai-nilai atau yang terdapat dalam pengetahuan. Jika merujuk pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembahasan puisi Ibu ini diimplikasikan ke dalam pokok bahasan sastra yang terdapat dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, yakni kelas X semester I (ganjil). Sementara kompetensi dasar (KD) yang dipilih dalam pokok bahasan sastra tersebut adalah mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman.
117
Puisi Ibu ini menggambarkan kekaguman akan keagungan Aku-lirik kepada seorang ibu. Bentuk kekaguman kepada ibu ini diungkapkan dengan memanfaatkan istilah-istilah alam. Hampir di tiap larik, Aku-lirik mengungkapkan sosok ibu dengan mengibaratkan alam sebagai ungkapan kekagumannya. Dapat dikatakan bahwa ibu sebagai ejawantahan dari alam ciptaan Tuhan. Melalui pembahasan puisi Ibu ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kepada diri siswa akan apa yang telah dilakukan seorang ibu selama ini bahwa di dalam sikapnya yang lemah dan lembut, ibu memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itulah yang membuat seorang ibu terlihat agung. Setelah siswa menyadari akan hal tersebut, diharapkan tumbuh kesalehan sosial dalam diri mereka. Kesalehan sosial tercermin ketika para siswa memahami peran ibu yang diungkapkan secara tersirat dalam puisi ini. Selanjutnya, kesalehan sosial juga tercermin ketika para siswa memahami akan derajat seorang ibu. Bahkan, sampai ada hadis yang mengatakan bahwa ―surga di telapak kaki ibu‖, sehingga menimbulkan kesadaran siswa untuk selalu hormat kepada seorang ibu. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggalan puisi ibu berikut ini. Kaulah, ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku mencari jejak sorga di telapak kakimu Melalui puisi Ibu ini tidak hanya menumbuhkan kesalehan sosial, tetapi juga diharapkan tumbuh kesalehan spiritual dalam diri siswa. Kesalehan spiritual akan tercermin ketika para siswa memahami pesan tersirat dalam puisi Ibu berikut ini. (Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasihsayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi
118
kekasih-kekasihMu Amin). Penggalan puisi di atas, mengajak para siswa agar sadar bahwa sebagai seorang anak, harus mendoakan kedua orang tuanya. Hal tersebut juga diperintahkan di dalam Al-quran surat dalam surat Al-Isra ayat 24 yang berbunyi ―Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".” Jika para siswa menyadari akan keagungan seorang ibu, tentu mereka akan menjadi pribadi yang selalu mawas diri serta berbuat dan memberi yang terbaik bagi kedua orang tuanya. Setelah para siswa memahami pesan tersirat dari penggalan puisi di atas, maka diharapkan tidak akan ada lagi realita anak yang durhaka kepada orang tua. Alasan penulis memfokuskan pada siswa, yaitu karena siswa merupakan generasi penerus bangsa. Di pundak siswalah (pemuda) amanah besar bangsa ini dibebankan. Jika para siswa mampu menerjemahkan pesanpesan yang terdapat dalam karya sastra, tentu mereka akan menjadi pribadi yang lebih bijak dalam berucap dan bersikap. Selain itu, di tengah krisis moral yang terjadi, diharapkan melalui pembahasan ini para siswa tumbuh menjadi pribadi-pribadi intelektual yang menjunjung tinggi etika moral, sehingga mereka jika mereka menjadi kaum intelektual tidak lupa untuk tetap menghormati orang tua. Pembahasan mengenai perbandingan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama ini berkaitan dengan analisis terhadap struktur yang membangun puisi, baik lahir maupun batin, baik lisan maupun tulisan. Pembahasan mengenai keterkaitan antar unsur puisi dengan realita realita sosial dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada siswa untuk menganalisis lebih seksama. Melalui analisis ini jugalah para siswa
119
diarahkan untuk berpikir kritis, logis, dan sistematis, sehingga dengan sikap kritis tersebut para siswa mampu menarik benang merah di antara kedua karya yang dikaji dengan realita sosial secara sistematis dan dapat diterima oleh akal. Dalam
kegiatan
menganalisis
struktur
puisi,
siswa
akan
mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yaitu menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Sebelum menganalisis struktur puisi, siswa menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah dalam menganalisis struktur puisi. Setelah para siswa selesai menyimak penjelasan guru mengenai cara dan langkah-langkah menganalisis puisi, mereka ditugaskan
membaca
puisi
yang
akan
dikaji.
Kemudian
siswa
mengidentifikasi unsur-unsur dalam struktur puisi. Setelah semua unsur selesai diidentifikasi, para siswa menyampaikan hasil analisis melalui bahasa tulis (menulis) dan bahasa lisan. Adapun lirik lagu Keramat digunakan sebagai media untuk membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik, sehingga sikap kritis siswa akan muncul, di antaranya dengan membandingkan gaya bahasa yang terdapat di dalam puisi Ibu dengan gaya bahasa yang terdapat di dalam lirik lagu Keramat.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan analisis terhadap puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dengan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah, maka dapat disimpulkan sebagi berikut: 1. Gaya bahasa pada puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan lirik lagu Keramat karya Rhoma Irama (Bang Haji) dapat terlihat persamaan dan perbedaannya. Jika melihat gaya bahasa pada tiap pilihan katanya, keduanya sama-sama banyak menggunakan istilah alam. Perbedaannya terletak pada fungsi dari istilah alam yang digunakan. Jika Gus Mus menggunakan istilah alam untuk menggambarkan pengorbanan seorang ibu atau sebagai gambaran kekaguman akan keagungan seorang ibu, sedangkan Bang Haji memposisikan istilah alam yang ia gunakan sebagai bentuk penolakan atau kritikannya kepada perilaku masyarakat yang keliru. Selanjutnya, Jika melihat struktur kalimatnya, keduanya sama-sama banyak menggunakan bentuk repetisi (pengulangan) yang disandingkan dengan pemilihan istilah-istilah alam yang cukup tepat. Perbedaannya terletak pada fungsi dari bentuk repetisi yang digunakan. Jika Gus Mus menggunakan repetisi untuk memperkuat kekaguman akan keagungan Aku-lirik kepada sosok ibu, sedangkan Bang Haji menggunakan
repetisi
untuk
memperkuat
kritikan-kritikannya.
Kemudian, jika berdasarkan langsung tidaknya makna dapat dilihat perbedaan penggunaan gaya bahasa. Jika Gus Mus cenderung banyak menggunakan gaya bahasa metafora dengan memanfaatkan istilah alam untuk menggambarkan keagungan seorang ibu. Sementara itu, Bang Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi yang juga
120
121
dengan memanfaatkan istilah alam. Selain itu, fungsi dari gaya bahasa yang digunakan Gus Mus dengan gaya bahasa yang digunakan Bang Haji juga memiliki perbedaan. Jika Gus Mus banyak menggunakan gaya bahasa metafora dengan banyak menciptakan kiasan untuk menciptakan efek kekayaan makna, sehingga lebih efektif untuk ditangkap pembaca, serta membuat bahasa puisi menjadi lebih sugestif. Sementara, Bang Haji cenderung banyak menggunakan gaya bahasa ironi, bertujuan untuk mempertegas tujuan yang ingin disampaikan, yaitu berupa nasihat. 2. Pembahasan puisi Ibu dapat memenuhi Kompetensi Dasar (KD) yang berkaitan dengan sikap spiritual, kritis, bertanggungjawab, dan sosial dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KD yang berkaitan dengan materi pokok bahasan sastra, yaitu memahami struktur pembangun dan nilai-nilai dalam puisi yang terdapat pada kelas XII SMA semester II (genap). Kegiatan menganalisis struktur dan nilai-nilai yang terdapat dalam puisi dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap teori analisis puisi, menumbuhkan sikap dan minat membaca, menumbuhkan kepekaan terhadap realita sosial, serta membuka pandangan tentang kondisi sosial manusia dan bangsa Indonesia. Selanjutnya, dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yaitu menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. B. Saran 1. Puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini dikarenakan di dalam puisi tersebut terdapat nilai-nilai sosial yang dapat dipelajari oleh peserta didik. 2. Lirik lagu Keramat dapat digunakan sebagai media untuk membuat proses pembelajaran puisi menjadi lebih menarik, sehingga sikap kritis siswa akan muncul, di antaranya dengan membandingkan gaya bahasa
122
yang terdapat di dalam puisi Ibu dengan gaya bahasa yang terdapat di dalam lirik lagu Keramat.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Aning, Floriberta. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Jakarta: NARASI, 2007. Aswinarko dan Bahtiar, Ahmad. Kajian Puisi Teori dan Praktik. Jakarta: Unindra Press, 2013. Bungin, H. M. Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2010. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Djohan. Respons Emosi Musikal. Bandung: CV. Lubuk Agung, 2010. Eastman, Arthur M. (ed). The Norton Reader An Anthology of Expository prose. London: W. W. Norton & Company, 1984. Esha, Teguh., dkk. Ismail Marzuki: musik, tanah air, dan cinta. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia, cet 16, 2009. Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Ibrahim, Nini. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: UHAMKA Press, 2009. Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010. Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012.
123
124
Mahsun.
Metode
Penelitian
Bahasa
(Edisi
Revisi).
Jakarta:
PT
Rajagrafindo Persada. 2011. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. PaEni, Mukhlis (ed). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009. Parlindungan S, Utan. Musik dan Politik: Genjer – Genjer, Kuasa dan Kontestasi
Makna.
Yogyakarta:
Laboratorium
Jurusan
Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2007. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kasinius, 2000. Ratna, Nyoman Kutha. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-4, 2008. Shofan, Moh. Rhoma Irama Politik Dakwah dalam Nada. Depok: Imania, 2014. Simon, Peter (ed), The Norton Introduction to Literature. London: W.
W.
Norton & Company, 2002. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008. Supriatna, Nanang dan Sugeng Syukur. Pendidikan Seni Musik. Bandung: U PI Press, 2006. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 1985. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga, 1987. Widyamartaya,
A.
Seni
Menggayakan
Kalimat:
Bagaimana
Mengembangkan, Mengefektifkan dan mencitarasakan kalimat. Yogyakarta: Kasinius, 1990.
125
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Zaidan, Abdul Rozak. Goenawan Muhamad, Berpuisi dengan Ironi. Jakarta: Bukupop, 2009. Zain, Labibah. Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta: LkiS, 2009.
Surat Kabar Abdul Wachid B.S. K. H. A. Mustofa Bisri dan Puisi. Pikiran Rakyat. 23 Oktober 2005. Baharudin, Ruly. Hidup dalam Sehari Kiai Haji Ahmad ‗Penyair Balsem‘ Mustofa Bisri. Republika, 23 Mei 1993. Kristanto, Tri Agus. ―K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi Balsem‖. Kompas. 31 Januari 1994. Marzuki, Arief Fauzi. ―Gus Mus Pada Sebuah Negeri Daging‖. Republika. 9 Februari 2003. Toda, Dami N. Baca Puisi Gus Mus di Universitas Hamburg. Kompas, 16 Januari 2000.
Artikel Maya Aidila, Tahta. ―Lagu-lagunya Rhoma dipelajari Sejumlah Negara‖, http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/13/11/22/mwnietlagulagunya-rhoma-irama-dipelajari-sejumlah-negara. 17 Maret 2014, pukul 08.30 WIB. Anonim. ―Biografi Achmad Mustofa Bisri‖, http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa bisri/biografi/indexs.html. _______, Komunitas Mata Air. ―Mustofa Bisri, Kiai, Penyair dan Pelukis‖, http://www.gusmus.net/page.php?mod=statis&id=1.
126
_______, ―Suara Soneta-38 Tahun The Sound of Moeslem Musik Lintas Generasi‖, http://www.sonetamania.com/index.php?option=com_content&view =article&id=298:38-tahun-the-sound-ofmoeslem&catid=58:artikel-rhoma-a- soneta&Itemid=116,
diakses
Senin, 17 Maret 2014 pukul 08.00 WIB. Harahap, Sulaiman. ―Rhoma Irama: Sang Penghulu Mempelai Dangdut dan Dakwah‖, http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/12/04/16/m2kji3rhoma- irama-sang-penghulu-mempelai-dangdut-dan-dakwah, diakses pada 17 Maret 2014 jam 08.00 wib. Hurek,
Lambertus.
―Bertemu
Rhoma
Irama
Sang
Superstar‖,
http://hurek.blogspot.com/2008/10/bertemu-rhoma-irama-sangsuperstar.html, diakses pada 17 Maret 2014, pukul 08.00 WIB. Islahudin, ―Begadang Lagu Terbaik Rhoma Irama Sepanjang Masa‖, http://www.merdeka.com/peristiwa/begadang-lagu-terbaik-rhomairama-sepanjang-masa.html
Lampiran 1 IBU Ibu Kaulah gua teduh tempatku bertapa bersamamu sekian lama Kaulah kawah dari mana aku meluncur dengan perkasa Kaulah bumi yang tergelar lembut bagiku melepas lelah dan nestapa gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam mata air yang tak brenti mengalir membasahi dahagaku telaga tempatku bermain berenang dan menyelam
Kaulah, ibu, laut dan langit yang menjaga lurus horisonku Kaulah, ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku mencari jejak sorga di telapak kakimu
(Tuhan, aku bersaksi ibuku telah melaksanakan amanatMu menyampaikan kasihsayangMu maka kasihilah ibuku seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu Amin).
Lampiran 2
Keramat Hei manusia hormati ibumu Yang melahirkan dan membesarkanmu
Darah dagingmu dari air susunya Jiwa ragamu dari kasih sayangnya Dialah manusia satu-satunya Yang menyayangimu tanpa ada batasnya
Doa ibumu dikabulkan Tuhan Dan kutukannya jadi kenyataan Ridha Ilahi karena ridhanya Murka Ilahi karena murkanya
Bila kau sayang pada kekasih Lebih sayanglah pada ibumu Bila kau patuh pada rajamu Lebih patuhlah pada ibumu
Bukannya gunung tempat kau meminta Bukan lautan tempat kau memuja Bukan pula dukun tempat kau meminta Bukan kuburan tempat memohon doa
Tiada keramat yang ampuh di dunia Selain dari doa ibumu juga
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Satuan Pendidikan
: Sekolah Menengah Atas
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas
: X (Sepuluh)
Semester
: 1 (Satu)
Alokasi waktu
: 4 x 40 menit
A. Standar kompetensi Mendengarkan: Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/ tidak langsung B. Kompetensi dasar Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman. C. Indikator 1. Mengidentifikasi (majas, rima, kata-kata berkonotasi dan bermakna lambang) 2. Menanggapi unsur-unsur puisi yang ditemukan 3. Mengartikan kata-kata berkonotasi dan makna lambang D. Tujuan pembelajaran 1. Mengidentifikasi majas/gaya bahasa yang dipergunakan oleh penyair. 2. Mengidentifikasi rima atau persajakan akhir. 3. Mengidentifikasi kata-kata berkonotasi dan bermakna lambang. 4. Menanggapi unsur-unsur puisi yang ditemukan 5. Mengartikan kata-kata berkonotasi dan makna lambang
E. Materi pembelajaran Rekaman puisi atau pembacaan langsung: a. majas, b. irama c. kata-kata konotasi d. kata-kata bermakna e. lambang F. Metode pembelajaran 1. penugasan 2. diskusi 3. tanya Jawab 4. ceramah 5. demonstrasi G. Strategi Pembelajaran Tatap Muka Unsur-unsur suatu
Terstruktur
bentuk Contoh rekaman puisi
puisi
disampaikan
yang atau pembacaan langsung secara
langsung ataupun melalui
Mandiri Siswa
mengidentifikasi
(majas,
rima,
kata-kata
berkonotasi dan bermakna lambang).
rekaman
H. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran : No. 1.
Kegiatan Belajar Kegiatan Awal :
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa Bersahabat/
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari komunikatif ini.
2.
Kegiatan Inti
:
Tanggung jawab
Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi : Mendengarkan pembacaan puisi ―Ibu‖ karya A. Mustofa Bisri. Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, Mendiskusikan
unsur-unsur
bentuk
puisi
tersebut. Melaporkan hasil diskusi. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. 3.
Kegiatan Akhir :
Bersahabat/
Refleksi
komunikatif
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini. Penugasan
I. Sumber/alat/bahan belajar : 1. Buku paket Bahasa Indonesia untuk SMA kelas X semester I 2. Kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus, A. Mustofa Bisri. 3. Tuturan/Pembacaan langsung
J. PENILAIAN : Penilaian dilakukan selama proses dan sesudah pembelajaran
Soal Instrumen 1. Catatlah pokok-pokok materi yang telah disampaikan! 2. Buatlah analisa unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik berdasarkan puisi yang telah dibuat! 3. Buatlah analisa mengenai manfaat dan fungsi puisi dalam kehidupan sehari-hari! Soal penugasan 1. Sebutkan dan jelaskan struktur yang membangun puisi, abik lahir maupun batin! 2. Bacalah puisi Ibu karya A. Mustofa Bisri! Kemudian analisa majas, irama, kata-kata konotasi, kata-kata bermakna, dan lambang.
Mengetahui,
Ciputat, Juni 2014
Kepala Sekolah
Guru Mapel Bahasa Indonesia
_______________
________________________
BIODATA PENULIS Fahrudin Mualim, dilahirkan pada hari minggu tanggal dua puluh tiga bulan Agustus tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh dua dari Ibu Latipah, merupakan anak keempat
dari
enam
bersaudara.
Nama
Fahrudin Mualim adalah pemberian sang ayah (Didi Suryadi) yang mengambil dari tataran bahasa Arab, disertai harapan agar si anak kelak menjadi manusia yang memiliki pendirian tegas. Sejak balita, belia, hingga dewasa ia mengembang dan membesar di Kebalen, kalau melihat di peta Bekasi daerah ini termasuk kelurahan dan Kecamatan Babelan, Bekasi Utara. Jenjang pendidikan dimulai dengan mengeyam pendidikan tingkat dasar di sekolah milik swasta, yakni MI. Attaqwa 06 Kebalen (1998-2004), kemudian melanjutkan ke sekolah milik pemerintah alias negeri, yakni SMPN 1 Babelan (2004-2007), dan SMAN 1 Babelan (2007-2010). Pendidikan tiga jenjang tersebut dilanjutkannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010 dan meluluskan dirinya di tahun kelima, semester sembilan, 2014. Semasa kuliah, ia sempat bergelut di beberapa kelompok, badan, dan organisasi legal kampus dan terlebih sering di institusi legal di luar kampus, bahkan di kelompok-kelompok independen yang dibangun bersama temanteman seperjuangan. Organisasi legal kampus yang dinaunginya adalah Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Di luar badan resmi kampus, ia sempat menjadi kader Front Mahasiswa Islam. Sedangkan untuk kelompok di kampus dengan label ilegal, ia bersama teman-teman seangkatan mendirikan dan bergiat
diskusi, meneliti, serta menulis di Komunitas Tinta Perak. Bersama temanteman di Komunitas Tinta Perak, ia berhasil menerbitkan Antologi Puisi Gemuruh Cinta untuk Dunia.