Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
ANALISIS PELAKSANAAN ORIENTASI STUDI DAN PENGENALAN KAMPUS BAGI MAHASISWA BARU DI LINGKUNGANAKPER DAN STIKES BAHRUL ULUM TAHUN AKADEMIK 2014/2015 (STUDI TENTANG KONSTRUKSI SOSIAL PADA PANITIA OSPEK BERSAMA AKPER DAN STIKES BAHRUL ULUM) Oleh: Endah Wahyuningsih Dosen Akademi Keperawatan Bahrul Ulum Jombang email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Analisis Pelaksanaan Orientasi Studi Dan Pengenalan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (Studi Tentang Konstruksi Sosial Panitia Ospek Bersama Akper Dan Stikes Bahrul Ulum Jombang Tahun Akademik 2014/2015)”. Ospek merupakan kegiatan wajib universitas dalam memperkenalkan kehidupan kampus pada para mahasiswa baru. Ospek tanpa kekerasan merupakan slogan baru bagi kegiatan wajib ini. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya, tak jarang masih diwarnai oleh unsur-unsur kekerasan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mendalam konstruksi sosial makna ospek dari sudut pandang panitia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teori konstruksi sosial sebagai alat analisis. Data didapatkan melalui wawancara mendalam dengan para informan yaitu, para panitia ospek yang ditentukan secara purposif. Penelitian menemukan ospek dimaknai sebagai kegiatan pembentukan karakter yang bertanggung jawab, disiplin dan hormat pada senior. Pengalaman yang didapatkan panitia ketika menjadi peserta ospek dijadikan dasar perilaku informan. Pemaknaan ini merupakan fase internalisasi dimana individu dalam dunia sosio kultural mendapat proses imitasi yang mendalam. Inilah yang menjadikannya lingkaran setan kekerasan yang tak pernah putus. Keyword: Orientasi, sosio, kultural
Pendahuluan Setiap mahasiswa baru pasti melewati masa orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) bagi mahasiswa baru, selain untuk memperkenalkan kehidupan kampus sebagai mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi juga bertujuan untuk building caracter. Hal tersebut penting dilakukan karena masa menjadi mahasiswa adalah masa dimana seseorang mulai benar-benar belajar mandiri, hidup terpisah dari orang tua, belajar mengelola waktu, belajar mengelola keuangan dan belajar untuk bertanggung jawab akan masa depannya, oleh karena itu pada masa ospek inilah kemandirian, kedisiplinan dan tanggung jawab mulai dilatih dan dikembangkan dalam tataran nyata. Masa orientasi merupakan kegiatan awal pengenalan kampus pada calon mahasiswa, asas pelaksanaan pengenalan mahasiswa baru adalah asas keterbukaan, asas demokratis dan humanis. Sedangkan tujuan umum dari kegiatan ini adalah memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru
1
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus, khususnya kagiatan pembelajaran dan kemahasiswaan
1
Begitu bagusnya tujuan dilakukannya ospek bagi mahasiswa baru, maka setiap perguruan tinggi diwajibakan menyelenggarakan kegiatan ini sebelum para mahasiswa baru benar-benar dikukuhkan sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. Akan tetapi ketika pelaksanaan kita dihadapkan pada suatu realita yang berbeda, dimana dalam pelaksanannya ospek seringkali menjadi ajang“ploncoan”dan balas dendam dari seniornya, tidak jarang kita disuguhkan fakta tentang kekerasan ospek yang bahkan bukan hanya menyebabkan trauma psikis tetapi lebih jauh lagi terkadang sampai memakan korban jiwa. Terbitnya Surat Keputusan dari Dirjen Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor: 25/DIKTI/Kep/2014 tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru merupakan bentuk kepedulian pemerintah. Harapannya program pengenalan kampus haruslah direncanakan secara matang untuk dapat digunakan sebagai momentum untuk membangun pendidikan karakter pada mahasiswa baru. Selain itu mahasiswa diharapkan juga mendapatkan informasi yang tepat mengenai sistem pendidikan di perguruan tinggi baik itu berkenaan dengan bidang akademik maupun non akademik. Kegiatan pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru hendaknya dijadikan awal pembinaan idealisme, menanamkan dan membina rasa dan sikap cinta pada tanah air dan bangsa, menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama dan lingkungan dalam rangka menciptakan generasi yang jujur, cerdas, peduli, bertanggung jawab dan tangguh. Kegiatan ini juga dijadikan sebagai dukungan penuh civitas akademika perguruan tinggi untuk mendukung terciptanya budaya akademik yang kondusif bagi terselenggaranya tri dhrama perguruan tinggi. Pada lingkungan pendidikan tinggi ilmu kesehatan, kegiatan pengenalan kampus ini juga dilakukan sebagai agenda rutin setiap tahunnya, begitu pula di Akper dan Stikes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, yaitu dua institusi yang berada dilingkungan pondok pesantren dibawah Yayasan Ponpes An-Najiyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kegiatan pengenalan kehidupan kampus untuk mahasiswa baru dilaksanakan selama empat hari, dimana satu hari untuk kegiatan pra-orientasi, dan tiga hari sebagai kegiatan inti dari orientasi studi dan pengenalan kehidupan kampus pada mahasiswa baru 1. Pelaksanaan kegiatan ini tentunya memiliki harapan dan tujuan sebagaimana diatas, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak jarang mahasiswa masih saja memasukkan unsur “ploncoan” tanpa sepengetahuan pembina. Dampak dari kegiatan ini adalah pada setiap tahun akademik selalu saja ada yang berhenti di tengah jalan ada yang dikarenakan sakit setelah beberapa hari mengikuti ospek dan takut untuk kembali, ada juga yang tidak kembali untuk melanjutkan kuliah setelah ospek 1
Definisi sesuai dengan Surat Keputusan Dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi nomor 25/DIKTI/Kep/2014
2
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
selesai dilaksanakan. Data di kedua institusi menunjukkan bahwa pada tahun 2012 terdapat satu mahasiswa yang tidak melanjutkan studi setelah masa orientasi, pada tahun 2013 terdapat dua orang, pada tahun 2014 terdapat dua orang 2. Menelaah hal tersebut diatas besar harapan kami dengan hadirnya keputusan Dirjen Dikti tersebut akan mampu mengubah perilaku panitia pelaksana ospek bagi mahasiswa baru dalam melaksanakan kegiatan ini, akan tetapi ternyata masih saja terdapat penyelewengan dengan dalih yang bermacam-macam. Kajian ini lebih ditekankan studi mendalam tentang kontruksi sosial dari panitia pelaksana ospek di kampus Akper dan Stikes Bahrul Ulum Jombang. Terbitnya surat keputusan dari Dirjen Dikti tentang panduan pengenalan kampus bagi mahasiswa baru ternyata tidak dengan serta merta menghapus kekerasan saat masa orientasi berlangsung. Oleh karena itulah perlu melakukan pengkajian lebih mendalam tentang apa yang melatarbelakangi terjadinya hal tersebut. Kajian ini untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimanakah konstruksi sosial dari panitia ospek mahasiswa baru di lingkungan Akper dan Stikes Bahrul Ulum Tahun Akademik 2014/2015? Tinjauan Teoritik Masyarakat adalah faktor penting dalam membentuk kenyataan sosial. Kenyataan social adalah cerminan dari dinamisasi proses konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Kemampuan ekspresi diri manusia mampu mengadakan obyektifikasi (objectivations), artinya memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan yang tersedia, baik bagi produsenprodusennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Obyektifikasi itu merupakan isyarat-isyarat dari proses subyektif para produsennya. 3 Dalam kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Dalam pemahaman konstruksi Berger, dalam memahami realitas/peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagi moment yaitu, pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik. Kedua, objektifasi yaitu hasil dari eksternalisasi yang berupa kenyataan objektif fisik ataupun mental. Ketiga,
2
Data pelaksanaan ospek akper & stikes bahrul ulum Berger, Peter L, & Luckman, Thomas, 1984, Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Yogyakarta, LP3ES, Hal 49
3
3
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif Masyarakat dapat dipahami dari proses dialektris yang berjalan secara terus menerus dan terdiri dari tiga momen, yaitu eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Hal itu juga berlaku bagi anggota masyarakat secara individual yang mengekstenalisasi keberadaannya sendiri ke dalam dunia sosial dan menginternalisasikannya sebagai suatu kenyataan obyektif sehingga eksternalisasi diartikan sebagai penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Tahap selanjutnya yakni obyektifikasi yang diartikan sebagai inteaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Tahap akhir adalah internalisasi, dimana individu mulai mengidentifiksikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya 4. Seringkali realita yang ada tidak mungkin diserap sempurna, maka anak mulai menginternalisir penafsirannya terhadap realita tersebut. Setiap anak memiliki versi realita yang dianggapnya sebatas cermin dari dunia obyektif. Konstruksi sosial merupakan semesta kemaknaan (universe of meaning). Semesta kemaknaan adalah kesatuan pengetahuan bersama yang berbeda dari waktu ke waktu dan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Terbentuknya semesta kemaknaan pada mulanya melalui tahap tipifikasi dari perilaku manusia dalam realitas sosial yang merupakan lanjutan dari peran dan tipe-tipe (manusia, interaksi dan situasi) yang bersifat anonim dan abstrak. Realita kehidupan sehari-hari yang diabaikan sebenarnya merupakan realita yang lebih penting. Realita ini dianggap sebagai realita yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non problematik sebab dalam interaksi yang terpola realita sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi Berger menegaskan bahwa realita kehidupan sehari-hari memiliki dimensi obyektif dan subyektif. Manusia merupaka instrumen dalam menciptakan realita sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realita subjektif). Dalam model yang dialektris, dimana terdapat tesa, antitesa dan sintesa. Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia menjelajahi berbagai implikasi dimensi realita subyektif dan obyektif maupun proses dialektris dari eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi 5.
4
Berger, Peter L, & Luckman, Thomas, 1984, Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Yogyakarta, LP3ES, Hal 184 5 Poloma, Margaret, 1984, Sosiologi Kontemporer, Surabaya, CV. Rajawali, Hal. 308.
4
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Realitas sebagai Hasil Konstruksi Konstruktivisme sebagai suatu pandangan yang lain terhadap dunia, seperti yang diungkapkan oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epostimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan/ pandangan manusia dibentuk oleh kemampuan tubuh inderawi dan intelektual (asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari). Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah cerminan semesta, melainkan bahasa membentuk semesta, bahwa setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek tertentu dari semesta dengan caranya sendiri. Realitas sosial setidaknya adalah produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. Konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam hal ini pemahaman realitas dan pengetahuan dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kenyataanya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Dalam pemahaman konstruksi Berger, dalam memahami realitas/ peristiwa terjadi dalam tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagi moment yaitu, pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik, kedua, objektifasi yaitu hasil dari eksternalisasi yang berupa kenyataan objektif fisik ataupun mental, dan ketiga, internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahaman tentang realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan Berger menyebutnya sebagai momen : Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupu fisik. Adalah sudah sifat dasar manusia, ia akan selalu 5
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisasi yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami setiap orang. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Peraturan tentang pengenalan kampus yang sesuai dengan surat keputusan dirjen DIKTI no 25/DIKTI/Kep/2014 Hadirnya
Surat
Keputusan
Dari
Direktur
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
nomor
25/DIKTI/Kep/2014 tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru, merupakan landasan pelaksanaan kegiatan ini. Dimana didalamnya berisi antara lain tentang : landasah hukum, asas pelaksanaan, tujuan, materi-materi, pelaksanaan, serta pengawasan, evaluasi dan sanksi. Dimana semua itu harus diberikan pada saat kegiatan pengenalan kehidupan kampus pada mahasiswa baru. Kegiatan pelaksanaan pengenalan mahasiswa baru adalah asas keterbukaan, asas demokratis dan humanis. Sedangkan tujuan umum dari kegiatan ini adalah memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus, khususnya kagiatan pembelajaran dan kemahasiswaan, sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah :
6
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
1.
Mengenalkan arti pentingnya kesadaran berbangsa, bernegara, cinta tanah air, lingkungan dan bermasyarakat.
2.
Mengenalkan tata kelola perguruan tinggi, sistem pembelajaran dan kemahasiswaan (kurikuler, ko dan ekstrakurikuler).
3.
Memberikan gambaran tentang pentingnya pendidikan karakter khususnya nilai integritas, moral, etika, kejujuran, kepedulian, tanggung jawab dan kedisiplinan dalam kehidupan di kampus dan masyarakat.
4.
Mendorong mahasiswa untuk proaktif beradaptasi, membentuk jejaring, menjalin keakraban dan persahabatan antarmahasiswa, mengenal lebih dekat dengan lingkungan kampus.
5.
Memotivasi dan mendorong mahasiswa baru untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Sedangkan hasil dari kegiatan pengenalan kehidupan kamppus bagi mahasiswa baru ini memiliki hasil yang diharapkan adalah : 1.
Meningkatnya kesadaran bernegara, berbangsa dan cinta tanah air dalam diri mahasiswa baru.
2.
Mahasiswa baru memahami arti pentingnya pendidikan yang akan ditempuhnya dan pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Mahasiswa baru memahami dan mengenali lingkungan barunya, terutama organisasi dan struktur perguruan tinggi, sistem pembelajaran dan kemahasiswaan.
4.
Terciptanya persahabatan antarmahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan
Jadi materi yang diberikan dalam kegiatan pengenalan kehidupan kampus haruslah berisikan tentang Wawasan Kebangsaan, Pendidikan tinggi di Indonesia, Kegiatan akademik di perguruan tinggi, Pengenalan nilai budaya, tata krama, dan etika keillmuan, Organisasi dan kegiatan kemahasiswaan, Layanan mahasiswa, dan Persiapan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Sehingga jika merujuk pada hal tersebut diatas maka materi yang diberikan ketika masa pengenalan kehidupan kampus adalah yang berwawasan kebangsaan, pendidikan tinggi di Indonesia, kegiatan akademik di PT, pengenalan nilai budaya, tata krama dan etika keilmuan, organisasi dan kehidupan kemahasiswaan, layanan mahasiswa, serta persiapan penyesuaian diri di PT. Selain itu juga diberikan materi pilihan yang disesuaikan dengan perguruan tinggi setempat antara lain : 1.
Pendidikan karakter menuju tata kehidupan dan etika kehidupan yang baik (Anti Narkoba, HIV/AIDS, Anti Korupsi dan Anti Plagiarisme).
2.
Prospek peluang kerja lulusan perguruan tinggi.
3.
Motivasi dan atau kiat sukses belajar dan berprestasi. 7
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
4.
Pemutaran film tentang kehidupan kampus, prestasi, kegiatan ko-dan ekstrakurikuler, dsb.
5.
Kegiatan yang bertemakan green living movement di kampus (cinta kebersihan, cinta lingkungan, kepedulian mahasiswa dan sejenis).
6.
Materi lain sesuai kebutuhan perguruan tinggi, misalnya disesuaikan dengan kebutuhan lokal yang konstruktif dan produktif
Selain itu terdapat poin penting yaitu yang berkenaan dengan pengawasan, evaluasi dan sanksi, yang dijabarkan sebagai berikut : 1.
Pengawasan Tujuan pengawasan agar pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan oleh yang ditetapkan panitia yang terdiri atas unsur sivitas akademika, pejabat struktural, karyawan, orang tua dan semua unsur lain yang di anggap perlu.
2.
Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan pencapaian tujuan program sekaligus menganalisis manfaat materi/aktivtas, efektivitas dan efisiensi, termasuk analisis kelemahan dan kendala yang terjadi pada penyelenggaaan kegiaan. Evaluasi dilaksanakan oleh panitia dengan membentuk tim yang terdiri atas unsur sivitas akademika, pejabat struktural, karyawan, orangtua, serta unsur lain yang dianggap perlu. Evaluasi dilaksanakan selama kegiatan berlangsng antara lain dengan cara mengedarkan kuesioner kepada para mahasiswa baru.
3.
Sanksi Semua bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di atas dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. 6
Metode Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian kulitatif, yang berupaya untuk menyajikan dunia sosial dan pespektifnya didalam dunia dari segi konsep, perilaku, dan persepsi untuk memahami fenomena yang dialami obyek penelitian. Fokus penelitian ini adalah kedalaman dan proses dalam upaya mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian. Teknik pemilihan informan
dengan cara purposive. Jumlah informan yang diperlukan
sesuai dengan kebutuhan dimana informasi digali sebanyak mungkin sampai berhenti pada titik saturasi (saturation point). Penelitian ini menggunakan informan sebanyak 8 orang (dengan memperhatikan saturasi point). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan guide interview. Teknik analisis data diawali dengan pembuatan transkrip kemudian dilakukan pengolahan data dengan dua cara, pertama dengan membuat mapping, kedua menghubungkan kategori hasil yang sesuai dengan referensi teori. 6
Surat Keputusan Dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi nomor 25/DIKTI/Kep/2014
8
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Analisis data dengan menggunakan teknik analisis kualitatif artinya focus pada analisis kualitatif adalah pada penunjukkan hal-hal yang bersifat unik / khas. Hasil Penelitian Memahami Konstruksi Sosial Panitia Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus pada Ospek Bersama Akper dan Stikes Bahrul Ulum Jombang Dalam sosiologi pengetahuan dalam hal ini konstruksi sosial Berger manusia dipandang sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan konsep berfikir yang dialektis (tesis-antitesis-sintesis), Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.
Eksternalisasi : Momen Adaptasi Diri Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ini merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosiokultural. Dalam momen ini sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio kulturalnya. Pada momen ini terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga ada yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri dengan dunia sosiokultural tersebut. Secara konseptual momen penyesuaian diri tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Dalam hal ini ketika informan/ panitia dulu mulai masuk perguruan tinggi melalui pintu gerbang orientasi studi dan pengenalan kampus untuk bisa mendapatkan gelar mahasiswa yang sesungguhnya. Pada fase ini panitia tentunya dihadapkan pada kehidupan baru dimana harus jauh dari orang tua, teman, lingkungan untuk memulai hidup baru yang penuh kebebasan dan tanggung jawab, baik berkenaan dengan kebebasan pergaulan, kebebasan pengelolaan keuangan dan kebebasan dalam menentukan studinya, dan tidak semua orang akan mampu beradaptasi sesuai dengan yang diharapkan. Pada masa pelaksanaan ospek informan dihadapkan pada lingkungan baru dan para senior yang tidak semua welcome atas kehadirannya. Seringkali senioritas akan sangat menentukan perilaku dalam berinteraksi. Kondisi seperti ini menuntut para informan untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh para seniornya. Pada proses eksternalisasi ini, informan/ panitia yang menjadi pelaksana ospek akan melakukan adaptasi dengan perilaku seniornya dulu, mulai dari cara memperlakukan yuniornya
9
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
sampai dengan memberikan hukuman jika melanggar aturan yang telah ditetapkanpun mencontoh seniornya yang dahulu. Salah satu informan menyatakan bahwa “apa yang saya dulu rasakan harus dirasakan oleh yuniornya agar yuniornya bias menjadi seperti saya saat ini”. Dari informan tersebut dapat dijelaskan bahwa pada fase ini terjadi pemaksaaan agar yunior mengikuti semua perintah dari seniornya. Jadi perilaku yang saat ini mereka tunjukkan kepada yuniornya merupakan hasil dari proses imitasi dengan seniornya dimasa lampau.
Objektivasi : Momen Interaksi Diri dengan Dunia Sosiokultural Didalam objektivasi, realitas social itu seakan-akan berada diluar diri manusia. Ia menjadi realitas objektif. Karena objektif, sepertinya ada dua realitas yaitu realitas diri yang subjektif dan realitas lainnya yang berada diluar diri yang objektif. Dua realitas itu membentuk jaringan interaksi inter subjektif melalui proses perlembagaan dan institusionalisasi. Realitas objektif yang seharusnya ada adalah yang tertuang di dalam surat keputusan Dirjen Dikti, dimana kegiatan ospek merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi mahasiswa baru dimana dia belajar mengenal lebih dekat tentang kampus dan kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. Tetapi kenyataannya yang terjadi tidak demikian, informan mengungkapkan pengalamannya ketika menjalani ospek bahwa kegiatan ospek dijadikan ajang ploncoan dengan kedok ingin menumbuhkan jiwa yang bertanggung jawab dan displin serta kreatifitas pada mahasiswa. Informan juga memaknai pelaksanaan ospek yang bertujuan untuk mengenalkan kampus dan menanamkan kedisiplinan pada mahasiswa baru dengan hukuman, ancaman, bentakan adalah bentuk ketidaksesuaian antara cara-cara militer dengan melestarikannya dari tahun ke tahun. Walaupun informan menyadari bahwa penanaman nilai-nilai baru dalam waktu singkat dan dengan paksaan serta tekanan sangatlah tidak efektif. Informan juga memaknai bahwa penugasan oleh panitia pada saai dulu dengan pembuatan aneka atribut yang aneh merupakan bentuk pemborosan waktu dan uang serta tidak sebanding dengan nilai-nilai yang ingin dicapai, belum lagi hukuman-hukuman berupa fisik dan hujatan tidak akan mampu menghilangkan perilaku buruk seseorang tetapi hanya akan meninggalkan trauma pada diri seseorang. Arogansi para senior sangat terlihat jelas dimana hampir semua informan menyatakan bahwa merekalah aktor yang akan merubah mahasiswa baru sebagai pribadi baru yang disiplin dan bertanggung-jawab dengan cara mereka. Walaupun sudah ada aturan baku tentang pelaksaaan ospek oleh Dirjen Dikti tetapi mereka tetap memberlakukan beberapa kegiatan yang bersifat menekan dan menghukum.
10
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Para senior yang menjadi informan tidak sepenuhnya menyadari bahwa seharusnya para senior memiliki kesadaran dan berusaha untuk menghilangkan arogansi dari senior, karena ospek bukan ajang ploncoan yang ditunjukan dengan arogansi senior yang seringkali identik dengan tindakan yang diwarnai oleh kekerasan, intimidasi, penghinaan atau aktivitas negatif yang lain. Perilaku yang terjadi dianggap benar dan dikuti oleh informan, sehingga menjadi budaya yang akan terus berlangsung dan bahkan mungkin langeng. Dimana persepsi yang benar menurut mereka (informan) akan ditularkan/ diikuti oleh yunior dan yunior akan mengadopsi perilaku tersebut karena adanya anggapan yang benar dari para yunior. Hal ini akan seperti lingkaran yang sulit untuk diputus, jika tidak terjadi penyadaran/ dekonstruksi akan nilai-nilai baru tentang ospek pada masing-masing pribadi untuk merekonstruksi apa yang telah mereka lihat dan alami selama ini. Internalisasi : Momen Identifikasi Diri dalam Dunia Sosiokultural Internalisasi adalah proses individu melakukan identifikasi diri didalam dunia sosio kulturalnya. Internalisasi merupakan momen penarikan realitas sosial itu berada didalam diri manusia dan dengan cara itu maka diri manusia akan teridentifikasi didalam dunia sosiokulturalnya. Kedelapan informan berdasarkan proses eksternalisasi dan objektivasi maka pada proses internalisasi ini yang merupakan penarikan realitas sosial yang didapat berdasarkan interaksi yang telah dilakukan. Dalam momen ini panitia ospek memaknai kegiatan orientasi ini sebagai berikut : Informan yang menjadi panitia ospek yang dulu pernah merasakan sebagai golongan tertindas yang pada saat itu mereka dipaksa untuk memilih atau melakukan apa yang dipola oleh penindasnya. Golongan tertindas tentu akan berfikir seribu kali untuk melakukan perlawanan, karena hal itu akan memberatkan mereka sendiri. Lagi pula, belum tentu kawan-kawannya yang lain akan membantu. Kebanyakan kaum tertindas akan memilih diam dan patuh. Keadaan seperti ini membuat kaum tertindas akan larut dalam sikap tersebut, dimana apa yang informan rasakan saat menjadi mahasiswa baru dimana dicetak menjadi sosok yang patuh tanpa memberikan mereka ruang untuk berpikir menggunakan akal dan logika yang mereka miliki. Berkaitan dengan kekerasan fisik dan verbal, mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercabut dari kemanusiaannya. Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat kemanusian yang sempurna. Perilaku-perilaku yang informan terima dimasa lalu, ternyata menimbulkan rasa dendam dan membuat informan melampiaskan dendamnya kepada yuniornya, junior harus merasakan seperti yang informan rasakan. Perilaku informan yang dilatarbelakangi dendam tersebut diaplikasikan apa yang mereka dulu rasakan ketika menjadi yunior dengan modus ingin menciptakan mahasiswa yang
11
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
disiplin, kreatif dan bertangung jawab. Selain kekerasan, bentuk ketidakrelevanan lainnya adalah pemberian tugas berlebih. Pemberian tugas berlebihan sebelum atau saat ospek membuat mahasiswa kelelahan dalam melaksanakan kegiatan ospek. Dikatakan berlebih apabila dengan adanya tugas tersebut, membuat mahasiswa tidak lagi memperhatikan tujuan adanya ospek yaitu pengenalan sistem akademik dan pengenalan lingkungan kampus. Tugas – tugas yang seakan memang dirancang untuk tidak dapat diselesaikan akan memberikan pengaruh buruk pada kondisi psikologis peserta ospek karena pusat perhatian mereka tertuju pada penyelesaian tugas. Kekhawatiran timbul akibat akan ada berbagai macam hukuman yang akan mereka terima apabila tugas tidak terselesaikan. Mereka mengerjakan tugas bukan karena tugas itu perlu dan memberikan dampak positif jika dikerjakan, namun mereka mengerjakan dengan alasan takut untuk mendapatkan hukuman. Internalisasi nilai ketakutan tentu bukan yang diharapkan oleh proses yang dinamakan ospek. Penutup Para informan yang dahulu pernah merasakan pahit getirnya ospek dimasa menjadi mahasiwa baru ternyata menimbulkan luka dan rasa dendam. Keinginan agar mahasiswa baru saat ini merasakan yang dahulu mereka rasakan merupakan elemen mendasar atas perilaku mereka. Pada fase internalisasi yang merupakan proses individu melakukan identifikasi diri didalam dunia sosiokulturalnyalah mereka memperoleh proses imitasi yang lebih mendalam. Hadirnya pedoman orientasi dari Dirjen Dikti ternyata belum mampu menghapuskan gap / batas antara senior dan junior yang tercermin dalam perilaku mereka selama masa orintasi. Dengan berbagai alasan dan modus serta motif yang dikemas secara begitu bagus hanyalah sebagai topeng bagi mereka agar para yunior merasakan apa yang dahulu mereka rasakan. Hal ini seperti mata rantai yang harus segera diputus, karena perubahan social tidak akan mungkin terjadi jika tidak adanya kesadaran dari internal pelaku ospek dalam hal ini adalah seniornya. Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan diantaranya, sesegera mungkin dilakukan dekonstruksi nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru secara sadar. Pola-pola ospek terutama di institusi kesehatan seperti diatas yang sudah terlanjur dianggap sebagai suatu kewajaran sebisa mungkin segera diganti dengan nilai-nilai baru yang relevan untuk dapat mendukung pencapaian tujuan ospek. Hal ini memang tidaklah mudah dibutuhkan tekat dan keseriusan untuk mengembalikan ospek sesuai dengan tujuannya. Menghadirkan nilai-nilai baru tentang ospek dengan menghilangkan kegiatan yang tidak berguna dan urakan, arahkan kegiatan ospek untuk memperkenalkan dunia baru yang intelek, menghilangkan tindakan yang menekan (represif) yang membuat stress tapi diganti kegiatan yang memotivasi (self-motivation) mampu memacu interaksi dan bersosialisasi.
12
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Daftar Pustaka Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas, 1984, Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Yogyakarta,LP3ES. Moleong, Lexy J., 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Parera, Frans M, 1990, Menyikap Misteri Manusia Sebagai Homo Faber, dalam Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Peter L Berger dan Thomas Luckman, LP3ES, Jakarta. Paulo Freire, 1985, Pedagogi of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), LP3ES Poloma, Margaret, 1984, Sosiologi Kontemporer, Surabaya, CV. Rajawali. Surat Keputusan Dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi nomor 25/DIKTI/Kep/2014
13