PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN IMPLIKASINYA DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM1 (THE ROLE OF AGROFORESTRY SYSTEM IN WATERSHED MANAGEMENT AND ITS IMPLICATION IN CLIMATE CHANGE MITIGATION) Oleh : Dona Octavia2 Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 E-mail :
[email protected] 2 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Penerapan sistem agroforestry (wanatani) merupakan salah satu solusi pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) ditengah meningkatnya alih guna lahan hutan untuk pertanian dan perubahan iklim global. Suatu sistem manajemen lahan yang bersifat vegetatif dan dapat diterapkan baik di dataran tinggi maupun dataran rendah, sistem agroforestry berpotensi besar dalam memperlambat atau mengurangi laju perubahan iklim melalui penyerapan dan penyimpanan karbon sekaligus dapat memberikan manfaat ekonomi bagi petani/masyarakat lokal. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menguraikan beberapa sistem agroforestry yang berkembang di masyarakat dan peranannya dalam pengelolaan DAS serta mitigasi perubahan iklim. Hasil analisis deskriptif kualitatif terhadap data dan informasi sekunder sistem wanatani membuktikan bahwa kombinasi penanaman pohon dan tanaman semusim dalam sistem agroforestry mampu menekan laju erosi, mengurangi run-off, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah dan berpotensi meningkatkan penyerapan karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Kata kunci : Sistem wanatani, konservasi tanah dan air, perubahan iklim
1
Makalah pada Ekspose Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Solo dengan Tema “Pengelolaan DAS dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia” di Surakarta, 28 September 2010.
Dona Octavia |
87
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perubahan iklim dunia dipengaruhi antara lain oleh peningkatan karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitro oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Peningkatan GRK pada sistem atmosfer dapat menyebabkan gangguan terhadap neraca energi dan radiasi yang berdampak pada meningkatnya suhu udara dan suhu permukaan bumi. Fenomena ini dikenal dengan pemanasan global. Perubahan iklim ditunjukkan oleh peningkatan gejala El Nino dan La Nina. El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu permukaan air laut di Lautan Pasifik khatulistiwa sebaliknya fenomena La Nina ditandai dengan menurunnya suhu permukaan laut (anomali negatif) (NOAA, 2010). Curah hujan berlebihan yang menyertai kedatangan La Nina dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia. Sebaliknya, dampak fenomena El Nino juga tak kalah menakutkan, salah satu diantaranya adalah bencana kekeringan. Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer antara lain disebabkan penggunaan bahan bakar fosil dan pengelolaan lahan yang kurang tepat, seperti pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kedua aktivitas ini baik secara tersendiri maupun simultan menyebabkan terjadinya gangguan proses fisik pada sistem biosfer (Monteith dan Unsworth, 1990 dalam Rauf, 2004). Rusaknya hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah dampak pemanasan global, karena pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Pepohonan banyak menyerap karbon, sehingga sangat berperan mengurangi CO2 atmosfer dan mereduksi efek pemanasan global. Pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry) merupakan tempat penyimpanan karbon yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim (Hairiah dan Rahayu, 2007). Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah, seperti penurunan kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati, peningkatan erosi tanah, perubahan regim aliran (banjir maupun kekeringan) dan secara tidak langsung mengakibatkan perubahan iklim global.
88
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
Penerapan sistem agroforestry dalam pengelolaan DAS dapat dipandang sebagai salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim. Selain itu, sistem agroforestry juga dapat mengatasi peningkatan kebutuhan lahan untuk pertanian dan memperkecil hilangnya tutupan pohon yang bermanfaat bagi konservasi tanah dan air serta keanekaragaman hayati. B.
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan beberapa sistem agroforestry dalam pengelolaan DAS, khususnya konservasi tanah dan air dan peranannya dalam mitigasi perubahan iklim. II.
BEBERAPA SISTEM PENGELOLAAN DAS
AGROFORESTRY
DALAM
Sistem agroforestry merupakan salah satu pilihan yang tepat diterapkan dan dikembangkan dalam pengelolaan wilayah DAS yang padat penduduk seperti Pulau Jawa. Beberapa keunggulan sistem agroforestry dalam pengelolaaan DAS diantaranya adalah : (1) mampu menutup permukaan tanah dengan sempurna, sehingga efektif menekan aliran permukaan, erosi/longsor dan banjir serta mampu meningkatkan infiltrasi/pasokan dan cadangan air tanah, (2) variasi tanaman membentuk jaringan perakaran yang kuat baik pada lapisan tanah atas maupun bawah, akan meningkatkan stabilitas tebing, sehingga mengurangi kerentanan terhadap longsor, (3) terkait rehabilitasi lahan, mampu meningkatkan kesuburan fisik (pembentukan solum, perbaikan struktur tanah dan kandungan air), kesuburan kimia (peningkatan kadar bahan organik dan ketersediaan hara) dan biologi tanah (meningkatkan aktivitas dan diversitas mikro dan makro fauna tanah) (4) secara ekonomi meningkatkan pendapatan petani dan menekan resiko kegagalan panen (Atmojo, 2008). Contoh dalam praktek agroforestry, pada sebidang tanah yang ditanami sengon (Falcataria moluccana) yang memiliki tajuk tinggi dan luas, di lahan bawah tegakan dapat ditanami kopi (Coffea spp) yang memerlukan naungan untuk dapat berproduksi secara optimal. Sementara itu, lapisan paling bawah (permukaan tanah) dapat ditanami dengan tanaman empon-empon atau ganyong Dona Octavia |
89
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
(Canna edulis) yang toleran (tahan) terhadap naungan. Tanamantanaman tersebut dapat tumbuh secara acak, sehingga dapat menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Pola tanam seperti ini, pada sebidang lahan dapat dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi (Budiadi, 2005). Sistem agroforestry kompleks hampir menyerupai struktur hutan alam. Pada sebagian besar hutan alam dan hutan tanaman, kapasitas infiltrasi dan konduktivitas hidrolik tanah permukaan relatif tinggi. Kapasitas infiltrasi yang tinggi didukung oleh masukan bahan organik yang kontinyu ke permukaan tanah, karena tanah hutan tropis mengalami laju dekomposisi yang tinggi, horizon organik menjadi lebih tipis dibandingkan dengan tanah daerah temperate (Hairiah, 1999; Lal, 2002 dalam Sidle et al. 2006). Kanopi hutan multi strata dan penutup tanah dapat melindungi tanah mineral dari erosi akibat percikan/pukulan air hujan (Bruijnzeel,2004 dalam Sidle et al., 2006). Namun demikian, jika tinggi kanopi seragam, diameter tetesan air hujan secara spesifik meningkat (Nanko et al., 2004 dalam Sidle et al., 2006). Sistem agroforestry modern menawarkan pengelolaan yang simultan antara tanaman musiman, pepohonan serta memberi ruang bagi usaha peternakan. Komponen pohon dalam sistem agroforestry memberikan manfaat untuk mengendalikan erosi permukaan sebagai dampak dari terpeliharanya bahan organik, struktur tanah, infiltrasi tanah dan biomassa mikroba (Ong et al., 2000 dalam Sidle et al. 2006). Komponen tanaman semusim pada sistem ini juga berperan dalam penutupan tanah, tetapi kadang kala dapat menurunkan kualitas fisik dan kimia tanah dalam jangka panjang; tergantung pada intensitas pengolahan tanah yang dibutuhkan. Agroforestry selain untuk meningkatkan produktivitas lahan juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman berkayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa unsur-unsur hara (nutrient) yang ada pada lapisan tanah yang dalam ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa (serasah). Mekanisme alami ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Hal ini menyerupai mekanisme ekosistem hutan alam yang mampu memelihara kelestarian produksi dalam
90
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
jangka panjang tanpa menggunakan input dari luar, oleh karena itu, manfaat ganda sistem agroforestry pada tataran ideal adalah peningkatan produktivitas tanah dan pemeliharaan lingkungan (Budiadi, 2005). Berikut ini adalah sistem agroforestry yang dapat diterapkan di Indonesia. A.
Agroforestry Sempadan Sungai (Riparian Forest Buffer)
Agroforestry sempadan sungai/riparian merupakan suatu praktik manajemen lahan yang membantu pemilik hutan dan lahan untuk mendiversifikasi produk yang secara bersamaan dapat memperbaiki kualitas tanah dan air, meningkatkan habitat hidupan liar dan melestarikan sumberdaya lahan untuk jangka panjang (University of Missouri Extension, 2005). Hutan riparian adalah hutan di tepian sungai besar yang memiliki fungsi ekologi sebagai penyangga kehidupan dan ekosistem. Bentuknya bisa berupa hutan alam atau hutan yang dibangun kembali yang terdiri dari komponen pepohonan, semak belukar dan penanaman rumput (Gambar 1). Hutan ini dapat mengurangi polusi air sungai yang berasal dari daratan, mengurangi erosi tanah tepian sungai, melindungi lingkungan perairan dan meningkatkan nilai hidupan liar. Istilah "penyangga tepian sungai” (riparian buffer) yang dimaksudkan di sini adalah area tepian sungai tempat vegetasi tanaman tahunan yang dikelola semata-mata untuk memberikan manfaat konservasi seperti mengurangi limpasan (run-off) dan memperbaiki habitat (Dosskey, 1998). Berkurangnya laju limpasan yang terjadi sebagai akibat dari hambatan vegetasi riparian akan mengurangi pencemaran air dan sedimentasi oleh kontaminan yang berasal dari kegiatan produksi pertanian di wilayah sekitarnya (Gorsevski et al., 2008). Kondisi ini sangat menguntungkan dalam menjaga kualitas dan kontinuitas hasil air. Efek naungan vegetasi riparian akan mengurangi radiasi matahari dan suhu air pada aliran sungai sedang dan kecil. Hasil penelitian Ghermandi et al. (2009) di Belgia membuktikan bahwa keberadaan naungan pohon di areal Hutan riparian mampu mereduksi konsentrasi ganggang di sungai, sehingga kualitas air dapat ditingkatkan. Penanaman pohon penaung dapat diimplementasikan secara efektif sebagai sebuah strategi Dona Octavia |
91
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
memperbaiki kondisi kualitas air sungai yang banyak terpapar sinar matahari.
Sumber: University of Missouri Extension, 2005 Gambar 1. Tata letak sistem agroforestry di areal riparian buffer forest
Pada Gambar 1 terlihat rancangan sistem multi-species riparian buffer strip (MSRBS). Dalam sistem ini, jalur pembatas selebar 20 m terdiri dari 4 atau 5 baris tanaman keras cepat tumbuh (fast growing trees) yang ditanam paling dekat dengan tepian sungai. Tanaman keras yang lambat tumbuh (slow growing spesies) ditempatkan pada baris belakangnya diikuti oleh 2 baris tanaman semak dan terakhir adalah jalur selebar 7 meter berupa tanaman rumput yang berdekatan dengan barisan tanaman pertanian (Schultz et al., 1995). Kelompok fast growing trees disesuaikan dengan kondisi tapak mikro terutama kelembaban. Pohon-pohon yang dapat dipilih adalah yang toleran terhadap banjir. Tanaman pertanian biasanya jagung, kacang-kacangan dan kedelai. Tanaman semak dipilih karena mempunyai manfaat bagi hidupan liar yang diinginkan dan tanaman rumput yang ditanam secara rapat dapat menghentikan aliran terkonsentrasi yang berasal dari lahan pertanian dan meningkatkan laju infiltrasi secara efektif. Sistem ini akan berfungsi efektif untuk penambat unsur hara, polutan pestisida dan endapan sedimen yang berasal dari lahan pertanian yang terletak pada lereng yang lebih tinggi; produksi biomassa pada lahan pertanian; produksi kayu keras berkualitas tinggi dan meningkatkan estetika agro-ekosistem. Sistem MSRBS merupakan penerapan dari Best Management Practice pada areal Hutan
92
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
riparian (streamside). Salah satu contoh MSRBS adalah penutupan pohon dan bambu di sepanjang areal Hutan riparian (Fauzi, 2007). Selain tanaman bambu, pohon buah-buahan juga dapat dipilih dalam meningkatkan sistem penyangga Hutan riparian dengan hasil non kayu berupa buah. Beberapa fungsi ekologis sistem agroforestry riparian antara lain : a. b. c. d. e. B.
Memelihara temperatur air sungai supaya stabil dan mengatur jumlah cahaya yang mencapai aliran sungai dengan keberadaan naungan; Mengontrol erosi; Bio-remediasi limpasan nitrat; Menjaga kualitas air melalui mekanisme pengurangan limpasan; Koridor bagi hidupan liar dan habitat burung Agroforestry dalam Agroforestry)
Kawasan
Hutan
(Silvoarable
Silvoarable agroforestry merupakan penanaman pohon dan tanaman pertanian yang sesuai dengan sengaja pada lahan yang sama yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Di Indonesia, praktik ini terlihat pada pola tumpang sari (intercropping) di kawasan hutan Jati dengan sistem agrisilvikultur, yaitu kombinasi tanaman semusim (seperti palawija, padi) dan tanaman berkayu/tahunan serta repong damar yang merupakan sistem agroforestry khas Pesisir Krui di daerah Lampung yang hasil utamanya adalah getah damar, buah-buahan serta kebutuhan rumah tangga lainnya. Dalam agroforestry repong damar dikembangkan berbagai jenis tanaman buah-buahan dan tanaman lainnya, seperti pisang, pepaya, rambutan, sawo dan berbagai tanaman jambu-jambuan dan dibawahnya berkembang berbagai semak atau rerumputan, sehingga dapat berfungsi sebagai zona penyangga. Kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet campuran, „parak‟ sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di Sumatera Barat, kebun buah-buahan (mixed fruit tree homegardens) dan sistem repong damar merupakan sistem yang masih dapat memenuhi berbagai fungsi lindung pada daerah perbukitan (De Foresta et al., 2000 dalam Monde, 2003). Dona Octavia |
93
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
Hasil penelitian terhadap pengaruh lingkungan silvoarable agroforestry pada suatu lansekap dan sebidang lahan pertanian (Palma et al., 2007) membuktikan bahwa silvoarable agroforestry diprediksi dapat mengurangi erosi tanah hingga lebih dari 70%, mengurangi pencucian/pelindian N (N-leaching) hingga mencapai 20 sampai dengan 30%, meningkatkan sekuestrasi C selama 60 tahun hingga lebih dari 140 ton ha-1, dan meningkatkan keanekaragaman dalam lansekap lebih dari 4 kali. Penurunan erosi tanah dapat menjaga produktivitas tanah dan memitigasi polusi air permukaan dengan partikel tanah serta menyerap phosphor dan pestisida terlarut. Penurunan pencucian/pelindian N (N-leaching) melalui formasi ‟jaring pengaman‟ oleh sistem perakaran pohon yang berada lebih dalam dibanding perakaran tanaman pertanian dapat meningkatkan pengambilan air pada sistem. Penilaian erosi tanah berdasarkan formula Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE) (Renard et al., 1997 dalam Palma et al., 2007). Silvoarable agroforestry terdiri dari komponen tanaman hutan (Cf) dan tanaman pertanian yang cocok ditanam (Ca), maka untuk mengkalkulasi faktor C (faktor manajemen penutupan lahan) untuk agroforestry digunakan persamaan sebagai berikut : C CoveraCa Coverf C f
(1)
Covera dan Coverf adalah proporsi lahan yang ditutupi oleh komponen tanaman pertanian dan komponen tanaman hutan. C.
Silvopastura (Silvopasture)
Silvopastura merupakan salah satu sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (ternak atau pakan ternak) (Sarjono et al., 2003). Sistem Silvopastura diantaranya dijumpai di wilayah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Struktur ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia dengan berbagai tipe penggunaan lahan seperti lahan penggembalaan ternak, hutan rakyat sengon dan areal pertanian. Hasil penelitian Ceballos et al. (2002) menunjukkan bahwa limpasan (run-off) pada areal permukaan tanah yang ditutupi oleh pepohonan, rumput dan semak relatif rendah, sehingga dapat mengurangi laju erosi tanah. Sementara itu, laju limpasan pada
94
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
areal yang ditutupi oleh pohon saja terjadi relatif tinggi, karena karakter tanah yang hidrofobik. Kombinasi campuran dalam sistem agroforestry silvopastura dengan adanya sebagian pepohonan di areal lahan penggembalaan (padang rumput) akan lebih menguntungkan dari aspek manfaat ekonomi dan ekologi. III. PERANAN AGROFORESTRY PERUBAHAN IKLIM
SEBAGAI MITIGASI
Tutupan lahan oleh pepohonan dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air dan konsentrasi CO2 di atmosfer. Tutupan lahan ini dapat berupa hutan alami, tanaman budidaya, pohon dan tanaman semusim yang ditanam secara spasial maupun temporal dalam suatu praktik agroforestry maupun monokultur, misalnya hutan tanaman industri. A.
Penyerapan dan Penyimpanan Karbon
Pepohonan jika dilihat dari kebutuhan intensitas cahaya untuk fotosintesis pada reaksi gelap (fiksasi karbon) termasuk dalam kelompok tumbuhan C3. Pada tumbuhan C3, produk fiksasi pertama yang terbentuk adalah unsur C3 (3-Phosphoglyceric Acid), kebutuhan CO2 lebih tinggi, kebutuhan intensitas cahaya lebih rendah dikarenakan tingginya fotorespirasi (respirasi akibat penerimaan cahaya) dan kurang efisien dalam menggunakan karbon untuk proses fotosintesis (boros karbon) (Whatley dan Whatley, 1980). Fisiologis seperti ini, tumbuhan C3 berpotensi besar dalam mengurangi laju pemanasan global, sehingga secara tidak langsung akan berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Berkaitan dengan penyadapan karbon di atmosfer, agroforestry dinilai sangat layak dapat diterapkan. Secara umum potensi global sektor kehutanan untuk menekan karbon untuk kurun waktu 1995-2050 adalah sebesar 60 sampai dengan 87 G ton karbon dan 10% diantaranya dapat dilakukan melalui penerapan sistem agroforestry (Sathaye 1999 dalam Rauf, 2004). Sistem agroforestry memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menyimpan dan mempertahankan cadangan karbon (C) jika dibandingkan dengan perkebunan monokultur dan rotasi tanam dalam sistem pertanian tanaman semusim (Tabel 1). Dona Octavia |
95
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010 Tabel 1. Cadangan C per rotasi tanam pada berbagai sistem penggunaan lahan Umur maksimum (tahun) Hutan alami 120 Hutan sekunder 60 Agroforestry karet 40 Perkebunan karet (monokultur) 25 Rotasi padi-bera rerumputan 7 Rotasi ubikayu-alang-alang 3 Sumber : Tomich, 1998 dalam Widianto et al., 2003 Sistem penggunaan lahan
Cadangan C per rotasi tanam (Mg. ha-1) 254 176 116 97 74 36
Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa sistem agroforestry memiliki kemampuan menyimpan karbon yang lebih besar dari hutan tanaman walaupun masih lebih rendah jika dibandingkan cadangan karbon di hutan alam (Lampiran 1). B.
Konservasi Tanah dan Air
Teknologi konservasi tanah secara sipil teknis yang umum dilakukan diantaranya berupa teras gulud dan teras bangku. Cara ini akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan konservasi tanah secara vegetatif. Perspektif konservasi tanah, adanya variasi antara tanaman pertanian (pangan, hortikultura) dengan rumput di antara tegakan tanaman tahunan akan meningkatkan efektivitas penutupan lahan. Atmojo (2008) mengemukakan bahwa tanaman pangan (semusim) yang dapat ditanam pada bidang teras adalah padi, kacang tanah, kedelai, jagung dan kacang panjang sebagai tanaman sela. Pada bidang teras yang sama juga ditanami tanaman tahunan sebagai tanaman pokok, seperti jati, mahoni, pinus dan lainnya, dengan jarak tanam antara 6 m sampai 8 m tergantung pada kondisi lokasi. Jika tanaman pohon sebagai tanaman pokok sudah semakin rapat penutupan tajuknya, maka perlu dicarikan tanaman yang lebih tahan terhadap naungan seperti empon-empon. Pada tepi teras selain diperkuat dengan batuan, dapat ditanami dengan tanaman penguat teras yang terdiri dari tanaman rumput, lamtoro dan dapat ditanami tanaman hortikultura seperti srikaya, nanas dan pisang. Tanaman rumput pada tepi teras selain berfungsi sebagai penguat teras juga dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak (sapi atau kambing). Limbah ternak yang berupa kotoran ternak dapat dikembalikan ke lahan olah untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah. Praktik pertanian juga perlu disesuaikan sedemikian rupa,
96
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan nutrisi, mengurangi air larian dan mengontrol erosi. Untuk itu perlu dilakukan rotasi tanaman, tidak menerapkan pola tanam mono-cropping (menanam hanya satu jenis tanaman saja) dan menjaga jarak tanam. Sistem agroforestry mampu mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman (Widianto et al. 2003), melalui :
Perlindungan permukaan tanah dari pukulan air hujan oleh keberadaan tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun. Pelapukan serasah yang jatuh ke permukaan tanah maupun pemangkasan tajuk pepohonan secara berkala yang ditambahkan ke permukaan tanah (lopping) untuk mempertahankan dan menambah kandungan bahan organik tanah di lapisan atas. Peningkatan populasi dan aktivitas makro dan mikroorganisme. Ketersediaan bahan organik tanah menjadi sumber energi bagi makro dan mikroorganisme. Aktivitasnya berpengaruh terhadap sifat fisik tanah seperti terbentuknya pori mikro dan pori makro (bioporous) dan pemantapan agregat, sehingga akhirnya mampu meningkatkan kapasitas infiltrasi dan menjaga aerasi tanah
Sidle et al. (2006) melaporkan bahwa praktik agroforestry di Asia Tenggara yang menggabungkan tanaman pertanian dan pepohonan sebagai penutup tanah mampu mengurangi erosi permukaan akibat limpasan jika dibandingkan dengan penanaman monokultur yang tanpa tanaman penutup tanah. Lahan miring terbuka yang diolah tanpa adanya tanaman penutup tanah akan sangat mudah tererosi (Gambar 2). Tingkat erosi pada berbagai tipe penggunaan lahan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dona Octavia |
97
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
(b) Sumber : Sidle et al. (2006) Gambar 2. (a) Erosi tanah pada perkebunan kopi monokultur (b) Praktek agroforestry yang relatif lestari di Sumatera
Pada Gambar 2a terlihat bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan berbasis kopi di Daerah Sumberjaya, Lampung Barat, Sumatera berdampak negatif terhadap sifat fisik tanah. Wilayah yang dulunya berhutan di lereng bukit yang telah dikonversi menjadi perkebunan kopi monokultur, hampir tidak dijumpai penutup tanah, sehingga erosi permukaan akibat limpasan terlihat signifikan bersamaan dengan longsoran kecil dan dangkal (ditunjukkan dalam lingkaran). Sebaliknya, pada gambar 2b terlihat penerapan sistem agroforestry di lahan miring (lereng bukit) di kawasan sungai utama di Sumatera relatif lestari, dijumpai pohon kayu manis (Cinnamomum burmanii) tumbuh dengan penutup tanah jenis legum. Praktek agroforestry berupa hutan campuran dengan tanaman penutup tanah pada kelerengan kurang dari 300 menghasilkan erosi yang jauh lebih kecil dibandingkan areal sayur-sayuran, areal pertanian dan tanah terbuka (Lampiran 2). Dengan praktik agroforestry, erosi bisa diminimalkan. Pada Lampiran 2 dapat dilihat penanaman campuran sistem budidaya lorong (alley cropping) dan praktik agroforestry lainnya memberikan dampak erosi yang lebih kecil dibanding pola penggunaan lahan lainnya. Budidaya sayur-sayuran memberikan dampak erosi terbesar diantara sistem penggunaan lahan yang ada setelah erosi pada tanah terbuka. Kombinasi penanaman pohon dan tanaman semusim serta semak terlihat efektif dalam mengendalikan erosi tanah permukaan di kawasan Asia Tenggara. Laju erosi tanah pada perkebunan kopi dan coklat tanpa vegetasi penutup tanah secara berturut-turut adalah sebesar 19 sampai dengan 185 ton ha-1
98
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
thn-1 dan 11 sampai dengan 121 ton ha-1 thn-1, tetapi laju erosi tanah dapat berkurang menjadi 0 sampai dengan 3.4 ton. ha-1. thn-1 jika dikombinasi dengan tanaman penutup tanah. Tanpa tanaman penutup tanah, butiran hujan berukuran besar yang menetes melalui kanopi pohon dapat menyebabkan terjadinya perpindahan tanah (Nanko et al., 2004 dalam Sidle et al., 2006). Adanya tanaman penutup tanah penambat nitrogen, pohon atau semak bermanfaat untuk memelihara tapak jangka panjang pada sistem agroforestry (Bohringer, 2001). Untuk mencegah tingginya laju erosi permukaan dalam sistem agroforestry perlu dipilih spesies pohon dan tanaman semusim secara hati-hati. Hasil penelitian Gopinathan dan Sreedharam (1989) dalam Rauf (2004) membuktikan bahwa kombinasi Eucalyptus dan Cassava yang ditanam dengan mengikuti kontur lebih efektif dalam mengendalikan erosi dibandingkan dengan penanaman Eucalyptus monokultur maupun kombinasi penanaman Eucalyptus dan Cassava secara acak. Hairiah et al., (2007) dalam Atmojo (2008) menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk meningkatkan stabilitas tebing adalah dengan meningkatkan keanekaragaman pohon yang ditanam dalam suatu lahan untuk memperkuat jaringan perakaran baik pada lapisan tanah atas maupun bawah. Kedalaman perakaran beberapa jenis tanaman disajikan pada Lampiran 3. Konservasi areal tebing rawan longsor, khususnya areal berlereng curam dengan kemiringan lebih dari 80% atau lebih dari 400, sebaiknya ditanami dengan tanaman yang memiliki perakaran dalam dan diselingi dengan tanaman yang memiliki perakaran lebih dangkal dan ringan, bagian dasarnya ditanami rumput. Berbagai praktek pengolahan tanah mempengaruhi jumlah pelepasan CO2 ke atmosfer. So et al. (1999) menyebutkan bahwa di beberapa kondisi, penerapan pengolahan tanah yang bersifat konservatif maupun sistem pertanian yang baik akan mengurangi emisi CO2 dari permukaan tanah dan secara efektif menyimpan C di dalam tanah. Hasil penelitiannya pada beberapa bentuk pengolahan tanah membuktikan bahwa rotasi gandum dan legum meningkatkan C organik tanah (1,46 %) dibandingkan penanaman gandum tanpa rotasi (0,96%). Sebaliknya, laju emisi CO2 yang dihasilkan dari pengolahan tanah konservatif (tanpa pengolahan tanah) dengan sistem silvopastur lebih rendah dibandingkan Dona Octavia |
99
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
pengolahan tanah konvensional (dengan pengolahan tanah). Lal (2003) mengemukakan bahwa restorasi lahan terdegradasi, konversi penggunaan lahan pertanian menjadi bentuk sistem penggunaan lahan yang sesuai akan mengubah kecenderungan degradasi lahan dan meningkatkan penjerapan C organik tanah. Sehubungan dengan pernyataan di atas, dalam sistem agroforestry, opsi yang dapat ditawarkan untuk penjerapan C organik tanah, antara lain melalui praktek pengolahan tanah konservatif, masukan serasah dan penggunaan pupuk kandang, kompos sebagai strategi manajemen unsur hara. Penjerapan karbon terutama pada kondisi curah hujan rendah lebih terjamin apabila diterapkan kombinasi pengolahan tanah konservatif dan silvopastur maupun rotasi tanaman. Efek pengolahan tanah melalui keberadaan pohon diperoleh dari aktivitas perakaran yang menjadikan struktur tanah lebih remah. Dengan demikian, dari aspek pengolahan dan konservasi tanah secara vegetatif, agroforestry berperan penting dalam mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan kandungan C organik tanah. Tutupan pohon mempengaruhi aliran air dalam bentuk intersepsi air hujan, daya pukul air hujan, serapan air dan drainase lansekap (Van Noordwijk et al., 2004). Hidrologi berhubungan dengan tata air dan aliran air dalam suatu kawasan, diantaranya hujan, penguapan dan simpanan air tanah. Vegetasi berupa hutan lindung mempunyai fungsi perlindungan aktif terhadap aliran air ke daerah hilir. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada saat hujan. Fungsi penyangga dapat diperoleh melalui keberadaan vegetasi, berupa pohon dan rerumputan dalam praktik agroforestry. Agroforestry berperan penting dalam mereduksi hasil sedimen (sediment yield) sekaligus meningkatkan hasil air (water yield) dengan regim yang relatif sama sepanjang waktu. Hasil penelitian Anwar et al. (1995) membuktikan bahwa sistem agroforestry di Desa Kadipaten, SubDAS Citanduy sangat efektif dalam memperkecil aliran permukaan (run-off) dan erosi tanah. Run-off (0,31%) dan erosi tanah (0,061 t.ha-1.thn-1) yang terjadi masih jauh di bawah ambang toleransi erosi tahunan (10-12,5 t.ha-1.thn1). Aktivitas perakaran akan memperbaiki tekstur tanah menjadi
100
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
remah, meningkatkan kapasitas infiltrasi, sehingga memperbesar kemampuan menyimpan air yang didukung oleh keberadaan rerumputan dalam menghambat aliran permukaan terutama di areal berlereng. KESIMPULAN Pengurangan laju perubahan iklim dapat dilakukan melalui pencegahan emisi GRK terutama CO2. Banjir, kekeringan, peningkatan suhu udara dan penurunan keanekaragaman hayati merupakan rangkaian proses fisik yang menyertai pemanasan global akibat perubahan lingkungan. Keberadaan pohon dalam sistem agroforestry berperan penting dalam mengurangi dampak pemanasan global melalui peningkatan penyerapan karbon (carbon sequestration) dalam proses fotosintesis dan sebagai tempat penyimpanan karbon (carbon sinc) yang berperan penting dalam strategi mitigasi GRK. Kombinasi penanaman pohon dan tanaman semusim maupun rumput dengan pemilihan jenis yang tepat dalam sistem agroforestry merupakan salah satu bentuk pengelolaan DAS yang bersifat vegetatif dan lestari yang meminimalkan pengolahan tanah yang berdampak pada pengurangan emisi CO2 ke atmosfer. Penanaman pohon dalam agroforestry terbukti dapat memperbaiki struktur tanah melalui aktivitas perakaran, meningkatkan infiltrasi tanah, mengurangi erosi tanah, limpasan dan pencucian N, sehingga dapat berfungsi sebagai konservasi tanah dan air serta menjadi salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim.
Dona Octavia |
101
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
DAFTAR PUSTAKA Anwar, C., K. Baheramsyah dan Z. Hamzah. 1995. Efektivitas Semak dan Agroforestry di Desa Kadipaten (Sub DAS Citanduy) dalam Memperkecil Aliran Permukaan dan Erosi. Buletin Penelitian Hutan (569) : 1-8. Bogor. Atmojo, S. W. 2008. Peran Agroforestri dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor DAS. Universitas Negeri Sebelas Maret. Surakarta. Bohringer, A. 2001. Facilitating The Wider Use of Agroforestry for Development in Southern Africa. Development in Practice, Vol. 11, No. 4. Pp.434-448. Budiadi, 2005. Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan lingkungan?. Inovasi Online. Vol.3/XVII/2005. Ceballos, A., A. Cerda and S. Schnabel. 2002. Run-off Production and Erossion Processes on A Dehesa in Western Spain. Geographical Review. Vol. 92. No.3. Pp.333-353. Dosskey, M. 1998.Viewpoint: Applying riparian buffers to Great Plains Rangelands. Journal of Range Management, Vol. 51, No. 4 (Jul., 1998), pp. 428. Didownload dari http://www.jstor.org/stable/4003328. Fauzi, A. 2007. Let's Protect Our Jungle Rubber Agroforest. RUPES E-News Issue 5 - March 2007. Rewarding Upland Poor for Environmental Services (RUPES). Didownload dari http://www.worldagroforestry.org/sea/Networks/RUPES. Ghermandi, A., V. Vandenberghe, L. Benedetti, W. Bauwens and P.A. Vanrolleghem. 2009. Model-Based Assessment of Shading Effect by Riparian Vegetation on River Water Quality. Ecological engineering 35. Pp. 92–104. Gorsevski, P.V., J. Boll, E. Gomezdelcampo and E.S. Brooks. 2008. Dynamic Riparian Buffer Widths from Potential NonPoint Source Pollution Areas in Forested Watersheds. Forest Ecology and Management 256. Pp. 664–673. Hairiah, K., Utami, S.R., Suprayogo, D., Widianto, Sitompul, S.M., Sunaryo, Lusiana, B., Mulia, R., van Nordwijk, M., dan Cadisch, G. 2000. Agroforestri pada Tanah Masam di
102
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
Daerah Tropika Basah : Pengelolaan Interaksi antara PohonTanaman Semusim. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor. Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran „Karbon Tersimpan‟ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre-ICRAF. Bogor. Lal, R. 2003. Global Potential of Soil Carbon Sequestration to Mitigate the Greenhouse Effect. Critical Reviews in Plant Sciences, Volume 22, Issue 2. Pp.151-184. Monde, A. 2003. Sistem Agroforestri Repong Damar sebagai Salah Satu Bentuk Pengelolaan DAS yang Sustainable. Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. NOAA. 2010. El Nino. http://www.elnino.noaa.gov/. Palma, J. H.N., A.R. Graves, P.J. Burgess, K.J. Keesman, H. van Keulen, M. Mayus, Y. Reisner, F. Herzog. 2007. Methodological Approach for The Assessment of Environmental Effects of Agroforestry at The Landscape Scale. Ecological Engineering 29. Pp. 450–462 Rauf, A. 2004. Agroforestri dan Mitigasi Perubahan Iklim. Makalah Falsafah Sains. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Sardjono, M.A., T. Djogo, H. S. Arifin dan N. Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bahan Ajar. International Center for Research in Agroforetry. ICRAF Southeast Asia. Bogor, Indonesia. Schultz, R.C., J.P.Colletti, T.M. Isenhart, W.W.Simpkins, C.W.Mize and M.L. Thompson. 1995. Design and Placement of a Multi-Species Riparian Buffer Strip System. www.sref.info/publications/print_pubs/pub_467/view . The University of Georgia. Sidle, R.C.,A. D. Ziegler, J.N. Negishi, A.R. Nik, R. Siew and F.Turkelboom. 2006. Erosion Processes in Steep TerraiTruths, Myths, and Uncertainties Related to Forest Management in Southeast Asia. Forest Ecology and Management 224.199-225. Dona Octavia |
103
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010
So, H.B., R.C. Dalal, K.Y. Chan, N.M. Menzies dan D.M. Freebairn. 1999. Potential of Conservation Tillage to Reduce Carbon Dioxide Emission in Australian Soils. Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion Research Laboratory. University of Missouri Extension. 2005. Establishing and Managing Riparian Forest Buffers. Missouri. Van Noordwijk, M., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasya, B. Verbist dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri Dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Agrivita Vol. 26 No.1. Whatley, J.M dan F.R. Whatley. 1980. Light for Plant Growth. Edward Arnold Publisher. London. Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito dan M. A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Yudhistira. 2006. Potensi dan Keragaman Cadangan Karbon Hutan Rakyat dengan Pola Agroforestri: Kasus di Desa Kertayasa Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
104
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
LAMPIRAN Lampiran 1.
Potensi penyimpanan (cadangan) C pada beberapa sistem penggunaan lahan
Sistem penanaman
Potensi penyimpanan C (t. ha-1) 21,31-80,78
Kondisi umum tegakan
Lokasi penelitian
Umur kebun 1540 tahun
Leuwiliang, Bogor (Yuli, 2003)
41,61-85,27
Umur kebun 1540 tahun
Hutan tanaman 24,48-64,39 jati Hutan rakyat 10,69-166,24 sengon Kebun kopi 92 campuran (sistem naungan) Kopi monokultur 44 Sumber : Yudistira (2006)
KU I-IV (5-40 thn) berdasarkan umur tegakan umur 2-30 tahun
Area resapan Sungai Citanduy, Ciamis (Ginoga et al., 2004) Madiun (Ojo, 2003) Wonosobo (Sianturi 2004) Lampung (Van Noordwijk et al. (2002)
Agroforestry (kebun campuran) : tanaman berkayu (didominasi jenis buah-buahan) Agroforestry (kebun campuran)
umur 1-21 tahun
Lampiran 2. Erosi tanah pada berbagai kondisi pengelolaan tanah dan penutupan lahan di wilayah tropis Asia Tenggara Lokasi Lembah Belalong, Brunei
Sumberjaya, Lampung, Indonesia
Metode/ kelerengan Plot, 300
Plot, 150
Penutupan lahan/perlakuan Campuran Dipterokarpa: 1. Lantai hutan utuh 2. Akar utuh, tanpa serasah 3. Tanah erbuka Pohon kopi dengan : 1. Tanpa penutup tanah 2. Penutup tanah Paspalum 3. Rumput alami
Erosi (t. ha-1. thn-1 1,2 23 46
19-42 0-1,5 0,5-14
Referensi Ross dan Dykes (1996)
Rosadi et al. (1999); Oki et al. (1999)
Dona Octavia |
105
Ekspose Hasil Litbang BPK Solo 2010 Lokasi Citereup, Jawa Barat, Indonesia Jawa Timur, Indonesia
Metode/ kelerengan DAS DAS
DAS Cikamutuk, Jawa Barat, Indonesia
DAS dan mikro DAS
Pantai Timur Peninsula, Malaysia
Plot luas, 100
106
Penutupan lahan/perlakuan Sayur-sayuran 1. Hutan tanaman campuran 2. Sayuran 3. Campuran (pertanian dan hutan) 4. Pertanian pada teras bangku Teras bangku, tanaman pertanian campuran, rumput, anggrek dan semak 1. Level bangku 2. Level lereng bukit 3. Level DAS Agroforestri : coklat dan pohon penaung dengan : 1. Tumpangsari dengan pisang; tanah terbuka 2. Tumpangsari dengan pisang dan legum penutup tanah 3. Monocropping; legum 4. Monocropping; tanah terbuka 5. Terbuka, tanpa tanaman pertanian
Erosi (t. ha-1. thn-1 42-75 0,44
Referensi Sinukaban (1998) van Dijk (2002)
87 10-12 19-25
van Dijk (2002)
24-202 11-70 47-73
70
Hashim et al. (1995)
3,4 1,0 11,2 121
| PERAN SISTEM AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN …
LAMPIRAN Lampiran 2. Lanjutan… Lokasi Laguna, Philipina
Metode/ kelerengan Plot, 8-120
Penutupan lahan/perlakuan
Jagung dan buncis dengan : 1. Pengolahan kelerengan 2. Budidaya lorong tanaman pagar, pengolahan kontur 3. Sama no.2 dan pemberian mulsa dari sisa tanaman 4. Alley cropping, tanpa pengolahan tanah, pemberian mulsa
Erosi (t. ha-1. thn-1 140 23
Referensi Paningbata n et al. (1995)
2,8 1,8
Sumber: Sidle et al. (2006) Lampiran 3. Beberapa jenis tanaman dengan kedalaman akar dan sebaran tajuk yang berbeda
Lamtoro Kaliandra Gamal Dadap
Kedalaman perakaran Dangkal Sedang Dangkal Sedang
Petaian
Dalam
Sungkai Jengkol Sengon Jambu air Melinjo Kapuk Jambu mete Nangka Mangga Durian
Sangat dangkal Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal Dalam Dalam Sangat dalam Sangat dalam Sangat dalam
Jenis tanaman
Sebaran tajuk Menyebar, perlu 3-5 pangkasan/thn Menyebar, perlu 3-5 pangkasan/thn Menyebar, perlu 3-5 pangkasan/thn Menyebar, perlu 3-5 pangkasan/thn tapi kurang tahan terhadap pangkasan Terpusat di tengah, pangkasan maksimal 3 kali per tahun Sempit Sedang Menyebar Sedang Sempit Menyebar sedang sedang sedang sedang
Sumber : Hairiah et al. , 2000
Dona Octavia |
107