APLIKASI UPAYA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA (WTO) BERDASARKAN PENGATURANNYA DALAM AGREEMENT ON TECHNICAL BARRIERS TO TRADE (TBT AGREEMENT) DAN GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT)
Oleh : Aisia Arrifianty Fauzi Pembimbing : Melda Kamil Ariadno dan Hadi Rahmat Purnama
ABSTRAK WTO adalah salah satu organisasi internasional yang memiliki peranan terpenting dalam mengatur pelaksanaan praktik perdagangan internasional. Dalam praktiknya, seringkali perdagangan internasional terutama yang melewati batas-batas suatu negara, menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Karena hal tersebut lah WTO sering kali dikritik sebagai organisasi internasional yang environmentally-biased. Untuk itu pada perjanjian-perjanian WTO dicantumkan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan, antara lain dalam Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) dan juga General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Namun, penerapan ketentuan-ketentuan tersebut sering menimbulkan sengketa antara negara-negara anggota. Dengan demikian penting untuk mengetahui bagaimana hubungan antara perlindungan lingkungan dengan hukum perdagangan internasional, pengaturan mengenai perlindungan lingkungan dalam menurut hukum WTO, dan juga perkembangan keterkaitan antara perdagangan internasional dengan perlindungan lingkungan hidup dalam sengketa-sengketa dagang WTO berdasarkan TBT Agreement dan juga GATT. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dijawab melalui penelitian yuridis-normatif sehingga diperoleh simpulan bahwa WTO pada intinya sudah cukup mengakomodir kepentingan masing-masing negara anggota untuk melaksanakan upaya perlindungan lingkungan, sepanjang suatu tindakan perdagangan internasional yang diterapkan, tidak menimbulkan distorsi bagi perdagangan internasional. Kata kunci : WTO, perdagangan internasional, perlindungan lingkungan, TBT, GATT.
Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
1. Pendahuluan Munculnya era liberalisasi perdagangan di bawah rezim WTO yang mensyaratkan adanya kebebasan arus barang, jasa dan maupun investasi antar
negara
anggota
yang
ditandai
dengan
pengurangan
bahkan
penghapusan hambatan tarif maupun non tarif menimbulkan pertanyaan, apakah era perdagangan bebas tersebut akan paralel dengan kepentingan lingkungan terutama di negara berkembang yang mengalami gap ekonomi tajam terhadap negara maju. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kekhawatiran negara-negara berkembang, yaitu :1 Pertama, kekhawatiran tentang munculnya faktor lingkungan sebagai hambatan baru bagi perdagangan internasional oleh negara maju terhadap negara berkembang. Kekhawatiran ini muncul antara lain dengan adanya persyaratan-persyaratan perdagangan dari negara-negara maju yang menuntut suatu produk untuk memenuhi kriteria lingkungan tertentu dengan dalih tekanan konsumen. Apalagi dalam WTO dikenal adanya Prinsip National Treatment.2 Dengan prinsip ini, maka persyaratan lingkungan yang ketat di negara pengimpor dapat dijadikan alasan untuk menolak produk negara lain kalau persyaratan tersebut juga diberlakukan terhadap pelaku-pelaku kegiatan usaha di lingkungan nasionalnya. Kedua, kekhawatiran adanya relokasi industri maupun masuknya arus investasi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang demi menghindari persyaratan lingkungan yang relatif lebih ketat di negara-negara maju. Dalam hal ini negara-negara berkembang dikhawatirkan menjadi 1
Di kutip dari INFO RIO +10, diterbitkan oleh Konphalindo dalam htto://www.pelangi.or.id/resources, dimuat dalam : Anna Yulia Hartati, “Lingkungan Hidup dan Liberalisasi Perdagangan : Upaya Mencari Jalan Tengah”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 2, (2007). hlm. 196. 2
Pengaturan mengenai Prinsip National Treatment, diatur di dalam Pasal III:1 GATT. Prinsip National Treatment ini pada intinya mewajibkan seluruh negara-negara anggota WTO untuk memperlakukan produk-produk luar negeri, jasa, dan penyedia jasa, tidak kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan bagi produk domestik yang sejenis. Jadi pada intinya, prinsip ini mulai berlaku saat produk-produk luar negeri telah melewati perbatasan (contohnya bandara dan pelabuhan), dan telah memasuki pasar domestik, tidak boleh dijadikan subjek atas peraturan yang lebih kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang sejenis. Peter Van Den Bossche, The Law and Policy of The World Organization : Text, Cases, and Materials, (New York : Cambridge University Press, 2005), hlm. 40.
1 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
“pollution havens” (sampahnya polusi). Hal ini terkait dengan fenomena NIMBY (Not In My Back Yard)3 yang merupakan gejala munculnya sikap individualistis bahwa masyarakat tidak mau menanggung masalah di sekitarnya akibar pencemaran lingkungan. Dari dua kekhawatiran yang disebutkan di atas, liberalisasi perdagangan justru akan mengganggu upaya perlindungan kualitas lingkungan global.4 Salah satu bukti nyata dari hubungan antara liberalisasi perdagangan dengan lingkungan adalah kondisi degradasi lingkungan yang ada di negara China. Kondisi degradasi lingkungan tersebut jelas sekali berpengaruh besar pada kehidupan dan kesehatan masyarakat negara China. Sebagaimana yang dikutip dalam majalah The Financial Times : “China has six of the 10 most polluted cities in the world, just by , some children are smoking the equivalent of two packs of cigarettes a day; acid rain affects a third of the territory; more than three-quarters if the river water flowing through urban areas is unsuitable for drinking or fishing; each year 300.000 people die prematurely as a result of air pollution; in one part of Guangdong province, where circuit board had been processed and burned, levels of lead in the water were 2.400 times the guideline level set by the World Health Organization…. Yet, even now, 80 percent of China’s environmental protection budget comes from abroad.”5 Berdasarkan contoh yang sudah disebutkan di atas, maka dapat dilihat bahwa hubungan antara praktik perdagangan dengan perlindungan lingkungan nyatanya sudah menjadi perdebatan sejak lama. Dalam kaitannya dengan hukum WTO, sering kali para pengamat lingkungan hidup (environmentalist) berpendapat bahwa WTO, sebagai wadah dari praktik perdagangan dunia, adalah organisasi yang ‘environmentally-biased’. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sedikit sekali ketentuan dalam aturan-aturan yang ada dalam WTO yang mendukung masalah perlindungan lingkungan. 3
M. Baiquni dan Susilawardani, Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan : Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia, (Yogyakarta : Transmedia Global Wacana, 2002), hlm. 193. 4
Anna Yulia Hartati, Op.cit., hlm. 196.
5
Victor Mallet, “Dirty Business”, The River Runs Black : The Environmental Challenge to China’s Future, 2004, hlm. 26-27.
2 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Pokok-pokok permasalahan yang akan di bahas adalah : 1.
Bagaimana Hubungan Antara Perlindungan Lingkungan dan Hukum Perdagangan Internasional?
2.
Bagaimana Pengaturan Mengenai Perlindungan Lingkungan yang Ada Dalam Hukum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)?
3.
Bagaimana Internasional
Perkembangan Dengan
Keterkaitan
Perlindungan
Antara
Lingkungan
Perdagangan Hidup
Dalam
Sengketa-sengketa Dagang WTO Berdasarkan Ketentuan Dalam TBT Agreement dan GATT? 2. Tinjauan Umum Terhadap Isu Perlindungan Lingkungan Dalam Hukum Perdagangan Internasional Latar belakang lahirnya isu mengenai perlindungan lingkungan dalam praktik perdagangan internasional adalah ketika dilaksanakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm. Pelaksanaan Konferensi Stockholm ketika itu memfokuskan pada dua pembahasan utama, yaitu pembentukan organisasi internasional untuk membahas mengenai isu-isu terkait dengan lingkungan hidup, dan yang kedua adalah diperluasnya cakupan terkait dengan isu-isu lingkungan hidup yang di bahas di tingkat intenasional, termasuk di dalamnya adalah fokus terhadap sumber polusi yang disebebkan oleh beberapa aktivitas beracun tertentu. Satu hal penting lainnya yang dibahas pada Konferensi Stockholm 1972 ini adalah mengenai hubungan antara perkembangan ekonomi dan juga isu perlindungan lingkungan.6 Para ekonom, ahli lingkungan maupun ahli hukum internasional sejak tahun 19707-an ini telah menyadari adanya konflik antara perdagangan internasional dan perlindungan lingkungan. 6
Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, (New York : Cambridge University Press, 2003), Ed.2., hlm. 31. 7
Richard Skeen, “Will the WTO Turn Green? The Implication of Injecting Environmental Issues Into the Multilateral Trading System”, Geo. International Environmental Law Review, (Fall, 2004), Vol. 17., hlm. 166. Lihat juga Debbie Collier dan Charles Moitui, “Africa’s Regulatory Approach to Biotechnology in Agriculture : An Opportunity to Seise Socio-Economic Concerns”, African Journal of International and Comparative Law, (2009), Vol. 17., hlm. 31.
3 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Setelah pelaksanaan Konferensi Stockholm 8 , hal lain yang menandai perkembangan interaksi antara hukum perdagangan internasional dengan perlindungan lingkungan adalah pelaksanaan United Nations Conference on Economic and Development (UNCED).
9
Tidak bisa dipungkiri bahwa
pelaksanaan UNCED menandai tingkat lebih lanjut dari proses integrasi ekonomi
dan
aspek
perlindungan
lingkungan
hidup
dalam
hukum
internasional.10 Kebergantungan antara dua aspek hukum ini dituangkan dalam Deklarasi Rio yang menyatakan bahwa demi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan harus lah menjadi bagian integral dari proses perkembangan tersebut dan tidak dapat dianggap sebagai pengecualian dari itu. 11 Agenda 21 12 UNCED bahkan menyatakan bahwa komunitas internasional harus menyediakan iklim internasional yang suportif demi tercapainya tujuan integrasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut mengenai hubungan antara perdagangan internasional dan perlindungan lingkungan hidup, Agenda 21 menyebutkan bahwa :13
8
A. Adede, “International Environmental Law from Stockholm to Rio : an Overview of Past Lessons and Future Challenges”, Environmental Policy and Law, (1992), hlm. 88. 9
Report of the UN Conference on Environment and Development, Rio de Janeiro, 3 – 14 Juni 1992, UN Doc. A/CONF.151/26/Rev.1, Vol. I-III. 10
R. Stewart, “Environmental Regulation and International Competitiveness”, Yale Law Journal, (1993), hlm. 2039; R. Hudec, “Differences In International Environmental Standards: The Level Playing-Field Dimension”, Minnesota Journal of Global Trade, (1995); R. Hudec dan J. Bahagwhati, Fair Trade and Harmonization, (1996); D. Esty dan D. Garadin, “Environmental Competitiveness and International Trade : A Conceptual Framework”, Journal of World Trade, (1998), hlm. 5. 11
Prinsip nomer 4 dari Deklarasi Rio.
12
Agenda 21 dibuat sebagai rencana tindakan dari dan untuk keseluruhan komunitas internasional, dibuat untuk mengintegrasikan lingkungan hidup dan kebutuhan pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (fulfillment of daily needs), meningkatkan standar kehidupan bagi seluruh masyarakat (improved living standards for all), perlindungan dan pengaturan ekosistem yang lebih baik (better protected and managed ecosystem), serta masa depan yang lebih aman dan sejahtera (safer and prosperous future). N. Robinson, et.al., The United Nations Conference on Environment and Development : Agenda 21 and The UNCED Proceedings, (1992). 13
Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis, The World Trade Organization : Law, Practice, and Policy, (Oxford : Oxford University Press, 2003), hlm. 440.
4 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
“Environment and trade policies should be mutually supportive. An open multilateral trading system makes possible a more efficient allocation and use of resources and thereby contributes to an increase in production and incomes and to lessening demands on the environment. It thus provides additional resources needed for economic growth… and improved environmental protection. A sound environment, on the other hand, provides the ecological and other resources needed to sustain growth and underpin continuing expansion of trade.” Ketika
pada
akhirnya
WTO
berdiri
sebagai
wadah
pelaksanaan
perdagangan internasional tahun 1994, sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang perdagangan. Kemajuan di bidang perdagangan tersebut tidak selalu memberikan keuntungan. Karena pada kenyataannya, lingkungan seringkali dikorbankan jika harus beradu melawan keuntungan dari sebuah perdagangan internasional. Masalah lingkungan dan perdagangan ini dapat dilihat dari beberapa sudut14, yaitu : (1) ketika perdagangan internasional mempengaruhi keadaan lingkungan domestik dari sebuah negara, (2) ketika perdagangan internasional mempengaruhi masalah ekologi lintas batas negara, dan (3) hubungan perdagangan internasional dengan “kepentingan bersama”.15 Hubungan antara kegiatan ekonomi dengan perlindungan lingkungan menjadi pusat perhatian komunitas internasional, karena pada dasarnya masalah lingkungan seringkali timbul sebagai akibat, serta menjadi korban dari pelaksanaan kegiatan ekonomi. Di negara-negara yang sedang membangun seperti Indonesia, kegiatan ekonomi menjadi tulang punggung pembangunan sehingga sering dianakemaskan sedemikian rupa sehingga dalam tingkat tertentu, menjadi kurang diawasi. Dalam kaitannya dengan lingkungan, kegiatan ekonomi berjalan sendiri. Kepentingan ekonomi sering dikelola tanpa memperhatikan perlindungan lingkungan. Tetapi kebebasan dalam berusaha (berdagang) ternyata ada batasnya. Kebebasan itu berakhir ketika hal tersebuh
14
Jane Holder dan Maria Lee, Environmental Protection : Law and Policy, (New York : Cambridge University Press, 2007), hlm. 270. 15
Kepentingan bersama yang dimaksud dalam konteks ini adalah aspek-aspek lingkungan hidup yang telah diatur dalam perjanjian internasional mengenai lingkungan hidup multilateral environmental agreements (MEAs).
5 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
mulai mengancam kehidupan orang lain. Sekarang amat nyata ditambahkan aspek baru yang sangat menonjol yaitu perlindungan lingkungan.16 Meningkatnya kesadaran akan pentingya perlindungan lingkungan (udara, air, tanah, kehidupan manusia, kehidupan tumbuhan, sumber-sumber alam dan sistem ekologi) telah membawa berbagai perubahan pada manusia di segala bidang. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam perlindungan lingkungan dewasa ini tidak hanya terbatas pada para produsen dan konsumen tetapi juga para pedagang, eksportir, importir, kalangan teknolog, kalangan ilmuwan dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan semakin tingginya kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan telah melahirkan berbagai penemuan dan pendekatan yang mampu menekan merosotnya kualitas lingkungan. Gerakan konsumen hijau dan pemasangan label bersahabat lingkungan pada produk yang peduli terhadap lingkungan telah membawa pengaruh yang besar di kalangan industriawan terutama di negara-negara maju untuk lebih peduli terhadap lingkungan. 17 Korelasi
yang
terdapat
antara
perlindungan
lingkungan
dengan
perdagangan internasional, membuat banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk mensinergikan kedua hal tersebut. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa perdagangan internasional dapat menyebabkan dampak positif dan negatif 18 terhadap lingkungan. Dampak positif perdagangan internasional antara lain : Pertama,
naiknya
pendapatan
per
kapita
menyebabkan
orang
lebih
memperhatikan lingkungan daripada memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan dan papan. Kedua, negara dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi akan memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik dan memiliki kebijakan lingkungan yang lebih baik.19 16
Th. Sumartana, “Ekonomi, Ekologi, dan Etika”, Merawat dan Berbagi Kehidupan, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 110-111. 17
Otto Soemarwoto, “Ekofisiensi : Strategi Peningkatan Daya Saing di Pasar Global”, Ecolabelling dan Kecenderungan Hidup Global, (Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara, 1995), hlm. 40. 18
Daniel C. Esty, Greenng the GATT : Trade, Environment, and the Future, (Washington : Institute for International Economics., 1994), hlm. 42. 19
Eric Neumayer, Greening Trade and Investment Environmental Protection Without Protectionism, (London : Earthscan Publication Ltd., 2001), hlm. 105. Lihat juga C. Ford Runge,
6 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Sedangkan, dampak negatif perdagangan internasional antara lain adalah terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam.20 Mengingat eratnya kaitan antara dua hal tersebut, maka harus ada sesuatu yang dilakukan di seluruh lapisan masyarakat untuk menyeimbangkan kedua hal tersebut. Namun seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, sering kali komitmen untuk menyeimbangkan antara praktik perdagangan internasional dengan isu perlindungan lingkungan, dibenturkan kembali kepada kepentingan masing-masing negara. Karena negara maju dan negara berkembang mengejar dua hal yang berbeda, untuk itu sangat dirasa sulit untuk melakukan sinergi tersebut. Selain dari apa yang sudah dikemukakan di atas, ada pula kritik terhadap sistem perdagangan internasional yang disampaikan oleh Daniel Esty21, yaitu antara lain : a.
Tanpa
pengamanan
menyebabkan
lingkungan,
kerusakan
perdagangan
lingkungan
internasional
dengan
dapat
mempromosikan
pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan konsumsi sumber daya alam yang berlebihan dan juga produksi limbah; b.
Pengaturan mengenai liberalisasi perdagangan seringkali berbuah pada pengaturan mengenai akses pasar yang mengalahkan ketentuan mengenai perlindungan lingkungan;
c.
Hambatan
perdagangan
harus
dijadikan
sebagai
alat
untuk
mempromosikan perlindungan lingkungan secara global, terlebih lagi terkait dengan kerusakan-kerusakan lingkungan lintas batas dan juga untuk menegakkan hukum lingkungan internasional. d.
Walaupun yang disebebkan tidak menyebar ke negara lain, namun bagi negara-negara yang standar lingkungan hidupnya kurang kuat, memiliki keuntungan kompetitif dalam persaingan global, sehingga menekan
Francois Ortalo-Magne dan Philip Vande Kamp, Freer Trade, Protected Environment Balancing Trade Liberalization and Environmental Interest, (New York : Council on Foreign Relations Press, 1994), hlm. 10. 20
Sri Wartini, “Implementasi Pasal XX (b) dan (g) GATT Dalam Penyelesaian Sengketa Di WTO”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No.3, Vol. 19, 2012, hlm. 421. 21
Daniel C. Esty, Greening the GATT : Trade, Environment, and the Future, (Washington : Institute for International Economics, 1994), hlm. 42.
7 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
negara-negara dengan standar lingkungan hidup yang tinggi terkait dengan standar lingkungan hidup mereka yang sangat kompleks. 3. Pengaturan
Mengenai
Perlindungan
Lingkungan
Dalam
Hukum
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) 3.1. Pengaturan Dalam Pasal XX (b) GATT Ketentuan dalam Pasal XX (b) pada intinya membenarkan tindakan perdagangan suatu negara, sepanjang tindakan tersebut perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan atau kehidupan manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan bunyi pasal tersebut dan berdasarkan putusan Appellate Body dalam kasus US – Tuna II, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal XX (b) GATT dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dibenarkan, yaitu : a. “Tujuan kebijakan” (intended to) yang ingin dicapai oleh suatu tindakan haruslah berupa perlindungan terhadap kehidupan atau kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan; dan b. Tindakan tersebut haruslah “diperlukan” (necessary) guna mencapai tujuan kebijakan yang dimaksud. 22 Syarat pertama, terkait dengan tujuan dari tindakan yang dilakukan, relatif lebih mudah untuk terpenuhi. Kebijakan yang dimaaksud harus masuk ke dalam cakupan kebijakan yang memang dibuat dan ditujukan untuk perlindungan kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhtumbuhan.23 Sebagai contoh adalah beberapa kasus yang sudah diputus oleh WTO. Pada kasus EC – Asbestos 24 , Perdana Menteri Perancis melarang 22
Laporan Appelate Body dalam Kasus US – Tuna II paragraf 5.29 menyatakan bahwa : “Article XX (b) has two requirements : (1) A showing that a measure is intended to protect human, animal plant life or health; (2) Proof that the measure is ‘necessary’.” 23
Panel dalam kasus US – Gasoline menyebutkan bahwa Amerika Serikat sebagai negara yang menggunakan Pasal XX (b) GATT harus menunjukkan bahwa : “1. That the policy in respect of the measures for which the provision was invoked fell within the range of policies designed to protect human, animal, or plant life or health; 2. That the inconsistent measures for which the exception was being invoked were necessary to fulfill the policy objectives…” 24
Laporan Panel WTO pada kasus European Communities – Measures Affecting Asbestos and Products Containing Asbestos, para 8.194.
8 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
masuknya asbestos dari negara lain dengan mengeluarkan Keputusan No. 961133
untuk
melindungi
masyarakat
dari
bahaya
asbes.
25
Studi
ini
menyimpulkan bahwa chrysotile asbestos mengandung racun (carcinogenic) yang dapat mengancam kesehatan pada masyartakat.
26
Berdasarkan
keputusan tersebut, pemerintah Perancis melarang impor dan penjualan asbestos dan produk yang mengandung asbestos. Larangan tersebut ditujukan untuk melingungi kesehatan masyarakat. Syarat kedua, yaitu tindakan tersebut haruslah ‘diperlukan’ (necessity test) untuk melindungi kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan adalah persyaratan yang seringkali menimbulkan banyak perdebatan. Pada kasus Thailand – Cigarettes, Panel pada WTO memutuskan bahwa larangan impor yang diberlakukan oleh Thailand dapat dikategorikan sebagai tindakan yang perlu dilakukan berdasarkan Pasal XX(b) hanya apabila tidak ada alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan dan yang sesuai dengan GATT. 27 Dan dalam kasus tersebut, Panel GATT berkesimpulan bahwa ternyata masih banyak alternatif tindakan lain yang sesuai dengan ketentuan GATT yang dapat dilakukan oleh Thailand untuk mengatur kualitas dan jumlah rokok yang apabila dilakukan, dapat membantu pemerintah Thailand untuk mencapai tujuan kesehatan yang diinginkan. Berdasarkan yurisprudensi, tiga aspek penting mengenai necessity test yang ada dalam Pasal XX (b) GATT, yaitu :28 (i)
Pertama, Negara-negara anggota WTO memiliki hak sendiri untuk menentukan tingkat perlindungan kesehatan atau tingkat perlindungan lingkungan hidup yang sesuai dengan kepentingan negara mereka. Negara
lain
tidak
dapat
mempermasalahkan
mengenai
tingkat
perlindungan yang telah dipilih itu, melainkan hanya bisa berargumen mengenai apakah tindakan yang telah dilakukan oleh suatu negara, 25
Ibid. para. 3.11.
26
Ibid.
27
Laporan Panel GATT, Thailand – Cigarettes, para. 73 dan 75.
28
Peter Van den Bossche, Op.cit., hlm. 606.
9 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
benar-benar perlu dilakukan untuk mencapai tingkatan perlindungan tersebut.29 (ii)
Kedua, dalam menentukan apakah suatu tindakan alternatif yang ada merupakan tindakan yang masuk akal (reasonably available), beberapa faktor harus ikut dipertimbangkan, antara lain adalah kepentingan nilai sosial yang ingin dicapai oleh tindakan tersebut, tingkat kesulitan implementasi tindakan tersebut, dan sejauh mana kontribusi yang akan diberikan oleh alternatif tindakan itu terhadap perlindungan dan juga promosi nilai-nilai sosial tersebut.30
(iii) Ketiga, alternatif tindakan yang tersedia haruslah lebih tidak menghambat perdagangan (less trade-restrictive) dibandingkan dengan tindakan yang dipermasalahkan.31 3.2. Pengecualian Umum Berdasarkan Pasal XX (g) GATT Dalam Rangka Konservasi Sumber Daya Alam yang Tidak Dapat Diperbaharui Pengecualian yang tercantum dalam Pasal XX (g) GATT 1994 adalah pengecualian yang sangat penting, karena memberikan anggota WTO sebuah kemungkinan untuk menerapkan suatu tindakan guna melindungi lingkungan hidup berupa konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pasal XX (g) GATT juga sudah lumayan sering digunakan. Dan sama halnya dengan ketentuan dalam Pasal XX (b) GATT, apabila suatu negara ingin menggunakan Pasal XX (g) GATT, maka ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu : 1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai oleh tindakan tersebut haruslah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; 2. Tindakan tersebut haruslah diutamakan untuk konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; dan
29
Laporan Appellate Body WTO dalam kasus EC – Asbestos, para. 168.
30
Op.cit., hlm. 172.
31
Ibid.
10 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara efektif bersama-sama dengan larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.32 Apabila mengaitkan dengan syarat pertama penggunaan Pasal XX (g) GATT tersebut, maka sesungguhnya Appellate Body dalam kasus US – Shrimp Turtle telah mengeluarkan keputusan yang cukup penting terkait dengan definisi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Appellate Body WTO berpendapat bahwa sumber daya alam hayati, walaupun memang pada prinsipnya memiliki kemampuan reproduksi sehingga masuk ke dalam kategori dapat diperbaharui, namun dalam kondisi-kondisi tertentu mereka tetap dapat berkurang, habis, bahkan punah. Dan seringkali hal tersebut terjadi karena aktivitas manusia. Sehingga, sumber daya alam hayati sifatnya sama terbatasnya dengan minyak, batu bara, maupun sumber daya alam non hayati lainnya.33 Syarat kedua dari Pasal XX (g) GATT adalah tindakan tersebut harus berhubungan dengan tujuan dari tindakan itu sendiri, yang dalam hal ini adalah konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Dalam kasus US – Gasoline, Appellate Body berpendapat bahwa penafsiran prasyarat yang kedua dari Pasal XX (g) ini dilakukan dengan mengambil metode penafsiran yang tidak hanya berdasarkan tekstual saja tetapi juga memperhatikan tujuan dan maksud yang akan dicapai. Oleh karena itu, dalam memberikan pembenaran apakah suatu tindakan berkaitan dengan atau perlu untuk perlindungan lingkungan, harus dipahami secara keseluruhan berdasarkan keterkaitan antara tindakan dan seluruh kebijakan yang diambil dalam rangka untuk perlindungan lingkungan. 34 Dan dalam kasus US – Gasoline ini, ketentuan mengenai baseline establishment rules berhubungan langsung dengan konservasi udara bersih, dan memiliki hubungan yang signifikan 32
Peter van den Bossche, Daniar Natakusmah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 59. 33
Laporan Appellate Body WTO dalam kasus US – Shrimp, para. 128. Lebih lanjut, World Commission on Environment and Development, Our Common Future, (Oxford University Press, 1987), hlm. 13. 34
Anna Beth Snoderly, “Clearing the Air : Environmental Regulation, Dispute Resolution, and Domestic Sovereignty Under the World Trade Organization”, Columbia Journal of International and Comparative Regulations, Vol. 22, (Fall, 1996), hlm. 254.
11 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
dengan kebijakan konservasi. Tanpa adanya baseline untuk memonitor dan mengkontrol, maka tujuan konservasi tidak akan tercapai, sehingga pada akhirnya Appellate Body berpendapat bahwa baseline establishment rules masuk ke dalam ruang lingkup Pasal XX (g) GATT.35 Syarat ketiga dari Pasal XX (g) GATT adalah bahwa apabila kebijakan perdagangan berupa larangan impor, maka kebijakan tersebut harus diimbangi dengan kebijakan serupa di tingkat domestik. Appellate Body dalam kasus US – Gasoline berpendapat bahwa Pasal XX(g) tidaklah menuntut agar produk domestik dan produk impor diperlakukan secara sama, tetapi tindakan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut haruslah diberlakukan kepada kedua kelompok produk tersebut.36 Dengan kata lain, segala ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh tindakan yang dilakukan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut tidak boleh hanya diberlakukan terhadap produk impor, tetapi juga harus secara adil diberlakukan terhadap baik produk impor maupun produk domestik. 3.2.1. Pemenuhan Unsur Pada Pembukaan Pasal XX Pada dasarnya, Pasal XX GATT mengatur mengenai tes dua tingkat (twotier test) untuk menentukan apakah suatu kebijakan dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XX GATT.37 Pertama, kebijakan tersebut harus memenuhi persyaratan salah satu dari sepuluh pengecualian umum yang ada dalam Pasal XX. Dan sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, penggunaan Pasal XX (b) dan Pasal XX (g) GATT memiliki prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi sendiri. Kedua, kebijakan tersebut harus memenuhi persyaratan dari Pembukaan (chapeau) dari Pasal XX itu sendiri. Kedua syarat ini adalah syarat
35
Laporan Appellate Body dalam kasus US – Gasoline, para. 19.
36
Appellate Body Report, US – Gasoline, para. 20.
37
Laporan Appellate Body dalam kasus US – Gasoline, para. 22.
12 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
yang sifatnya kumulatif, harus dua-duanya terpenuhi. Apabila ada salah satu yang tidak terpenuhi, maka Pasal XX tidak dapat digunakan. 38 Berdasarkan ketentuan dalam pembukaan Pasal XX, adapun persyaratan yang tertuang dalam pembukaan Pasal XX yang harus dipenuhi antara lain adalah : (i) Bahwa suatu kebijakan bukanlah suatu kebijakan diskriminatif yang tidak adil terhadap negara-negara dengan kondisi yang sama; (ii) Bukan dibuat untuk menciptakan perlindungan terselubung bagi produk dalam negeri; Salah satu kasus yang penting terkait dengan ketentuan mengenai pemenuhan syarat dalam Pasal XX ini adalah kasus US – Gasoline. Ketika kasus ini dibawa ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO (DSB), Appellate Body memutuskan bahwa kebijakan perdagangan Amerika Serikat tersebut telah memenuhi syarat-syarat dari Pasal XX (g) GATT dengan alasan sebagai berikut : (i) Dengan tidak menerapkan ketentuan mengenai baseline establishment rules kepada produsen bensin domestik, maka kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang diskriminatif terhadap produsen bensin luar negeri (dari Venezuela sebagai komplainan) (unjustifiable discrimination);39 (ii) Alasan yang digunakan Amerika Serikat untuk menjelaskan mengapa kebijakan baseline establishment rules nya kepada produsen domestik adalah karena pemerintah Amerika Serikat merasa bahwa beban fisik dan finansial yang harus ditanggung oleh produsen domestik itu akan sangat banyak.40 Dan Appellate Body menilai hal tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan terselubung (disguised restriction) dalam rangka melindungi industri dalam negeri.41
38
Steve Charnovitz, “The Law of Environmental ‘PPMS’ in the WTO : Debunking the Myth of Illegality”, Yale Journal of International Law, Vol. 27, (Winter, 2002), hlm. 78. 39
Laporan Appellate Body dalam kasus US – Gasoline, hlm. 49.
40
Ibid., hlm. 28.
41
Loc.cit.
13 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Dikarenakan dua alasan di atas lah maka Appellate Body WTO berpendapat bahwa kebijakan perdagangan Amerika Serikat itu tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pembukaan Pasal XX GATT42, karena merupakan
kebijakan
yang
diskriminatif
dan
juga
telah
menciptakan
perlindungan terselubung bagi industri dalam negerinya. 3.3. Pengaturan Dalam TBT Agreement Kepentingan lingkungan hidup dalam rezim perdagangan internasional, juga diatur dalam Agreement on Technical Barriers to Trade.43 Secara umum, perjanjian ini mengatur mengenai hambatan non-tarif terhadap perdagangan internasional. Dalam proses penyelesaian sengketa di WTO, perjanjian ini sudah sering digunakan, arena apabila melihat fenomena yang ada di dunia perdagangan internasional saat ini, hambatan-hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara-negara dalam rangka melindungi negara nya sudah tidak dapat dilakukan melalui instrumen tarif, mengingat komitmen negaranegara pendiri WTO adalah eliminasi tarif agar mempermudah perpindahan barang dan jasa antar negara anggota, untuk itu, upaya yang dapat dilakukan oleh negara-negara adalah memodifikasi regulasi teknis perdagangan di negaranya sedemikian rupa. Secara umum, TBT Agreement ini mengatur bagaimana hukum nasional mengatur mengenai regulasi teknis yang sifatnya memaksa, mengenai karakteristik produk, maupun proses pembuatan produk dan juga metode pembuatan suatu produk. Dan juga standar, yang tidak memaksa, panduan atau karakteristik bagi produk maupun metode proses dan produksi produk.44 Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam TBT Agreement ini terdiri dari 42
Ibid.
43
Agreement on Technical Barriers to Trade, 15 April 1994, Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization, Annex 1A, (selanjutnya disebut sebagai TBT Agreement). 44
Matthew Stilwell dan Jan Bohanes, “Trade and Environment” dalam Patrick F. J. Macrory, Arthur E. Appleton, dan Michael G. Plummer, The World Trade Organization : Legal, Economic, and Political Analysis, (New York : Springer Science + Business Media, Inc., 2005), hlm. 515.
14 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
ketentuan-ketentuan
nasional
yang
memang
dibuat
untuk
melindungi
lingkungan, antara lain adalah stadar efisiensi, skema ekolabel, aturan mengenai manajemen limbah, konservasi energi, preservasi sumber daya alam, dan juga variasi kebijakan lain yang dibuat untuk menerapkan ketentuan dalam MEAs. Pengecualian untuk melindungi lingkungan hidup pada TBT Agreement terdapat pada Pasal 2.2.45 Pada intinya pasal tersebut menyebutkan bahwa suatu ketentuan teknis perdagangan harus tidak membatasi dari perdagangan dari yang seperlunya untuk mencapai tujuan yang sah. Salah satu tujuan yang sah yang hendak dicapai oleh Pasal 2.2 TBT Agreement itu antara lain adalah perlindungan kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhtumbuhan, atau perlindungan lingkungan hidup. 4. Analisis Penerapan Kebijakan Ekolabel dan Kebijakan Metode Proses dan Produksi Sebagai Bentuk Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup Dalam Sengketa-sengketa Dagang WTO Berdasarkan TBT Agreement dan GATT 4.1. Kebijakan Metode Proses dan Produksi Produk (PPMs) Dalam Kasus US – Shrimp Turtle Isu mengenai PPMs ini di WTO pada dasarnya merupakan hal yang baru, karena
belum
banyak
kasus-kasus
yang
diajukan
ke
WTO
dengan
mendasarkan pada PPMs ini. Di samping itu, dalam putusan Panel maupun putusan Appellate Body pada kasus US – Shrimp Turtle hanya sedikit sekali analisis yang membahas mengenai bisa atau tidaknya suatu produk dibedakan
45
Pasal 2.2 TBT Agreement yang berbunyi : “Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect or creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive tha necessary to fulfill a legitimate objective, taking account of the risks non-fullfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia : national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter ali: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.”
15 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
berdasarkan PPMs nya. Namun, hal tersebut bukan berarti PPMs bukanlah menjadi salah satu isu di dalam kasus US – Shrimp Turtle ini. Salah satu aspek yang berkaitan dengan PPMs dalam kasus US - Shrimp Turtle ini sebenarnya berada pada komplain yang diajukan berdasarkan Pasal I:1 GATT. Pasal I:1 mengatur mengenai Prinsip MFN dan berdasarkan ketentuan tersebut, para komplainan berpendapat bahwa larangan impor Amerika merupakan pelanggaran dari MFN ini karena terhadap impor udang dan produk-produk udang yang secara fisik sama, Amerika Serikat memberikan perlakuan yang berbeda. 46 Pada dasarnya, secara implisit Malaysia, India, Pakistan, dan Thailand tidak mengakui bahwa PPMs dapat dijadikan dasar untuk memperlakukan produk yang sejenis secara berbeda-beda. Terlebih lagi kalau PPMs tersebut tidak berdampak apa-apa pada bentuk fisik produk akhirnya. Pada tingkat banding, sayangnya AB sama sekali tidak membahas lebih lanjut mengenai konsep PPMs yang diangkat dalam kasus US – Shrimp Turtle ini. AB hanya membahas mengenai justifikasi penggunaan Pasal XX (g) GATT, berikut juga ketentuan yang terdapat dalam pembukaan Pasal XX. Dalam putusan akhir AB, akhirnya disimpulkan bahwa larangan impor yang yang diterapkan oleh AS memang telah memenuhi kriteria Pasal XX (g) GATT, yaitu berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Namun, larangan impor tersebut telah tidak memenuhi syarat dalam pembukaan Pasal XX, hingga pada akhirnya larangan impor AS tidak dapat dibenarkan melalui Pasal XX (g) GATT. Sebetulnya, pengaturan yang mengatur mengenai cara memperlakukan produk berdasarkan PPMs nya merupakan pelanggaran terhadap ketentuan GATT, dan hanya bisa dijustifikasi dengan menggunakan pengecualian umum yang ada dalam Pasal XX.47 Dalam kasus ini, AB melihat Pasal XX sebagai pengaturan yang tidak terlalu penting untuk digunakan dalam menjustifikasi 46
Laporan Panel WTO US – Shrimp Turtle, para. 7.18.
47
Robert Howse, “The Appellate Body Rulings in the Shrimp/Turlte Case : A New Legal Baseline for the Trade and Environment Debate”, dalam Columbia Journal of Environmental Law 491, (2002), hlm. 14.
16 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
perbuatan yang memposisikan akses pasar berdasarkan bagaimana suatu produk impor itu di produksi, dibandingkan dengan kebijakan dari negara importir. 48 Karena alasan tersebut di ataslah maka AB tidak membahas mengenai isu PPMs dalam kasus ini. Berdasarkan dari kritik-kritik terhadap putusan AB tersebut, kasus-kasus sebelumnya yang ada di WTO, seperti kasus EC - Asbestos maupun kasus US – Tuna I, dan US – Tuna II, setidaknya sudah memberikan jawaban terhadap bagaimana WTO memberlakukan produk berdasarkan PPMsnya. Dalam kasus ini, dengan AB yang tidak menyinggung hal tersebut, maka justru menimbulkan pertanyaan mengenai PPMs Namun dalam hal ini penulis berpendapat bahwa, dengan tidak disinggungnya mengenai isu PPMs tersebut, maka dapat disimpulkan secara implisit bahwa sebetulnya PPMs memang dapat digunakan dalam menentukan suatu tindakan terhadap produk-produk impor yang secara fisik sejenis. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Hal tersebut dapat dilakukan, sepanjang tidak menimbulkan hambatan bagi perdagangan internasional dan selama tidak menimbulkan diskriminasi tidak adil bagi produkproduk impor yang sejenis. 4.2. Kebijakan Ekolabel Dalam Kasus US – Tuna III Dalam Kasus US – Tuna III, kebijakan label bebas lumba-lumba yang dikenakan kepada negara-negara importir tuna dan produk-produk tuna, ditujukan oleh pemerintah AS untuk mencapai dua tujuan, yaitu melindungi konsumen dan juga dalam rangka perlindungan lumba-lumba. Mengenai sah atau tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah Amerika Serikat tersebut, Panel WTO berpegang pada putusan WTO pada kasus EC – Sardines. Laporan Panel pada kasus EC – Sardines
menyatakan bahwa
penting bagi responden untuk menentukan seberapa luas cakupan tujuan regulasi teknis untuk mencapai tujuan yang sah tersebut.49 48
Robert Howse dan Donald Regan, “The Product/Process Disctinction – An Illusory Basis for Disciplining ‘Unilaterism’ in Trade Policy” dalam European Journal of International Law 249, (2000), hlm. 11. 49
Laporan Panel EC – Sardines, paras. 276 – 277.
17 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Lebih lanjut, panel dalam kasus ini juga menyebutkan bahwa dalam menentukan apakah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu negara sah atau tidak, beban pembuktian ada di komplainan.50 Jadi dalam kasus ini, Meksiko harus membuktikan bahwa memang terjadi pelanggaran terhadap Pasal 2.2 TBT Agreement ini. Meksiko harus membuktikan bahwa kebijakan label bebas lumba-lumba
Amerika
Serikat
merupakan
yang
lebih
menghambat
perdagangan dari yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah (more trade-restrictive than necessary to fulfill a legitimate objective). 51 Sehingga, panel dalam hal ini Panel juga harus melakukan determinasi apakah tujuan yang hendak dicapai termasuk kebijakan yang sah berdasarkan Pasal 2.2 TBT Agreement.52 Meksiko, pertama kali mengemukakan bahwa kebijakan Amerika Serikat ini tidak melindungi kesehatan maupun kehidupan manusia, hewan, tumbuhtumbuhan maupun lingkungan dalam arti luas. Tujuan dari kebijakan ini menurut Meksiko adalah untuk mengawetkan stok lumba-lumba dari operasi pengambilan tuna di wilayah timur lautan pasifik. 53 Dalam argumennya, Amerika Serikat mengemukakan bahwa, tujuan dari label bebas lumbalumbanya adalah untuk : a. Memastikan bahwa konsumen tidak tertipu apakah produk tuna mengandung tuna yang ditangkap dengan cara yang membahayakan lumba-lumba; dan b. Melindungi lumba-lumba, dengan meyakinkan bahwa pasar Amerika Serkat tidak digunakan untuk mendukung penangkapan ikan tuna dengan cara yang membahayakan lumba-lumba.54 Salah satu syarat dari tujuan yang hendak dicapai oleh suatu negara dengan menggunakan ketentuan teknisnya, berdasarkan Pasal 2.2 TBT 50
Laporan Panel US – Tuna III, para. 7.392.
51
Ibid.
52
Laporan Panel EC – Sardines, para. 282.
53
Op.cit., para. 7.394.
54
Ibid., para. 7.395.
18 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Agreement adalah dalam rangka perlindungan kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan juga perlindungan lingkungan. Tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah Amerika Serikat pada kasus ini pun sama, yaitu dalam rangka melindungi kehidupan lumba-lumba. Karena alasan itu lah kemudian pemerintah Amerika Serikat menerapkan kebijakan label bebas lumba-lumba bagi impor tuna dan produk tuna yang datang ke Amerika Serikat. Terhadap tujuan perlindungan lumba-lumba, Panel WTO berpendapat sebagai berikut : “….we first note that the United States’ own description of its operation implies an end-and-means relation between two different elements, i.e. ensuring that the US market is not used to encouraged certain fishing techniques, in order to contribute to the protection of dolphins. In other words, as we understand it, the ulterior objective is contributing to the protection of dolphins, whereas the means chosen to achieve this objective is to ensure that the US market is not used to encourage certain fishing techniques.”55 Di samping itu, Panel WTO juga berpendapat bahwa ketentuan mengenai label bebas lumba-lumba diatur dalam Subchapter II dari Title 16, Section 1385 USC, berjudul Conservation and Protection of Marine Mamals. Hal tersebut semakin mendukung pendapat AS bahwa kebijakan label tersebut memang bertujuan untuk melindungi hewan mamalia, termasuk juga lumba-lumba.56 Analisis terhadap keberlakuan kebijakan label bebas lumba-lumba ini kemudian juga dilakukan dengan melihat apakah tujuan perlindungan lumbalumba tersebut merupakan tujuan yang sah berdasarkan Pasal 2.2 TBT Agreement. Menurut analisis Panel WTO, perlindungan lumba-lumba dapat dipahami sebagai ditujukan untuk perlindungan kehidupan atau kesehatan hewan atau lingkungan.57 Dalam hal ini, menurut panel WTO suatu kebijakan tidak perlu secara khusus ditujukan untuk spesies-spesies yang terancam punah. Pasal 2.2 merujuk kepada kehidupan dan kesehatan hewan secara 55
Ibid., para. 7.416.
56
Ibid., para. 7.417.
57
Ibid., para. 7.437.
19 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
umum, dan hal tersebut tidak perlu dihubungankan dengan tujuan konservasi. 58
Terkait dengan keabsahan kebijakan label nya itu sendiri, Panel WTO berpendapat bahwa pengaturan mengenai informasi apa saja yang harus muncul dalam label suatu produk untuk memastikan agar konsumen merasa aman untuk memilih sesuai dengan preferensi mereka adalah mekanisme yang sah untuk dilakukan demi mencapai tujuan perlindungan lumba-lumba. 59 Penerapan kebijakan label bebas lumba-lumba ini pada intinya didasari pada urgensi dari Amerika Serikat itu sendiri untuk melakukan perlindungan lumbalumba. Dengan melihat bahaya yang mengancam kehidupan lumba-lumba dalam proses penangkapan ikan tuna, maka kemudian Amerika Serikat menerapkan kebijakan ini. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai keberlakuan kebijakan ekolabel berdasarkan TBT Agreement dengan menggunakan interpretasi Panel pada kasus US – Tuna III. Beberapa hal tersebut antara lain adalah : a. Diterima atau tidak diterimanya kebijakan ekolabel sebagai sebuah bentuk regulasi teknis suatu negara berdasarkan TBT Agreement, sepenuhnya kembali lagi kepada tujuan yang akan dicapai oleh negara yang bersangkutan. Apakah tujuan yang akan dicapai itu termasuk tujuan yang sah berdasarkan Pasal 2.2 TBT Agreement; b. Dalam menentukan apakah tujuan yang akan dicapai oleh suatu kebijakan ekolabel sah atau tidak, maka suatu negara memiliki hak untuk menentukan sendiri tingkat kepentingan tujuan tersebut. c. Dalam kaitan antara tujuan perlindungan lingkungan hidup dengan perdagangan internasional, mengingat standar lingkungan masing-masing negara berbeda, maka perlu diperhatikan bahwa tiap negara bebas untuk menentukan tingkat perlindungan lingkungannya masing-masing. Hal
58
Ibid.
59
Ibid., para. 7.440.
20 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
tersebut tentu saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam GATT maupun juga dalam perjanjian-perjanjian lainnya. 5. Penutup 5.1. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat ditarik oleh Penulis adalah sebagai berikut : 1.
Hubungan antara kegiatan ekonomi dengan perlindungan lingkungan menjadi pusat perhatian komunitas internasional, karena pada dasarnya masalah lingkungan seringkali timbul sebagai akibat, serta menjadi korban dari
pelaksanaan
perdagangan
kegiatan
dengan
ekonomi.
perlindungan
Hubungan lingkungan
antara sudah
praktik menjadi
perdetbatan di dalam WTO. Sering kali para pengamat lingkungan hidup (environmentalist) berpendapat bahwa WTO, sebagai wadah dari praktik perdagangan dunia, adalah organisasi yang ‘environmentally-biased’. Hal ini didukung oleh fakta bahwa sedikit sekali ketentuan dalam aturanaturan yang ada dalam WTO yang mendukung masalah perlindungan lingkungan. 2.
Di GATT, ketentuan mengenai perlindungan lingakungan hidup diatur dalam ketentuan mengenai pengecualian umum dalam Pasal XX (b) dan Pasal XX (g) GATT. Pasal XX (b) GATT memiliki dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu : (i) tujuan kebijakan yang dicapai oleh suatu tindakan haruslah berupa perlindungan terhadap kehidupan atau kesehatan, manusia, binatang atau tumbuhan’ dan (ii) tindakan tersebut haruslah diperlukan (necessary) guna mencapai tujuan kebijakan yang dimaksud. Sedangkan persyaratan berdasarkan Pasal XX (g) GATT adalah : (i) tujuan kebijakan yang ingin dicapai oleh tindakan tersebut haruslah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; (ii) tindakan tersebut haruslah diutamakan untuk konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui; dan (iii) tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara efektif bersama-sama dengan larangan terhadap
21 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
produksi atau konsumsi domestik. Selain syarat-syarat berdasarkan ayat (b) dan (g), suatu kebijakan juga harus memenuhi syarat yang termuat dalam pembukaan Pasal XX GATT, yaitu (i) Bahwa suatu kebijakan bukanlah suatu kebijakan diskriminatif yang tidak adil terhadap negaranegara dengan kondisi yang sama; dan (ii) Kebijakan tersebut bukan dibuat untuk menciptakan perlindungan terselubung bagi produk dalam negeri. Disamping ketentuan dalam GATT, pengaturan mengenai perlindungan lingkungan hidup juga diatur dalam Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). Perlindungan lingkungan hidup dalam Pasal 2.2 TBT Agreement disebutkan sebagai salah satu tujuan objektif yang harus dipenuhi oleh suatu negara dengan menggunakan ketentuan teknisnya tersebut. 3.
Perkembangan isu perlindungan lingkungan hidup di WTO ditandai dengan munculnya kasus US – Tuna III dan kasus US – Shrimp Turtle. Isu penting dalam dua kasus ini adalah penerapan kebijakan ekolabel dan juga mengenai metode proses dan produksi produk (PPMs) di dalam WTO. Dalam dua kasus ini dapat dilihat bahwa bagi suatu negara untuk menerapkan suatu kebijakan perdagangan berdasarkan bagaimana suatu produk itu diproduksi, dan juga berdasarkan bagaimana standar labeling dari produk tersebut, pada dasarnya diperbolehkan oleh WTO. Namun, beberapa hal yang membatasi kebijakan itu adalah bahwa kebijakan tersebut harus memperlakukan produk impor yang sejenis dengan produk domestik, maupun produk impor dari negara-negara lain. Di samping itu, kebijakan tersebut juga tidak boleh menciptakan hambatan bagi perdagangan internasional.
22 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA BUKU Baiquni, M., dan Susilawardani, Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan : Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia, Yogyakarta : Transmedia Global Wacana, 2002. Bhala, Raj, Modern GATT Law : A Treatise On The General Agreement on Tariffs and Trade, London : Sweet and Maxwell, 2005. Esty, Daniel C., Greening the GATT : Trade, Environment, and the Future, Washington : Institute for International Economics, 1994. Ford Runge, C., Francois Ortalo-Magne dan Philip Vande Kamp, Freer Trade, Protected Environment Balancing Trade Liberalization and Environmental Interest, New York : Council on Foreign Relations Press, 1994. Matsushita, Mitsuo, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis, The World Trade Organization : Law, Practice, and Policy, Ed.1., Oxford : Oxford University Press, 2003. Sands, Philippe, Principles of International Environmental Law, Ed.2., New York : Cambridge University Press, 2003. Van Den Bossche, Peter, The Law and Policy of The World Organization : Text, Cases, and Materials, New York : Cambridge University Press, 2005. Van den Bossche, Peter, Daniar Natakusmah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010.
23 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
JURNAL Adede, A., “International Environmental Law from Stockholm to Rio : an Overview of Past Lessons and Future Challenges”, dalam Environmental Policy and Law, (1992). Charnovitz, Steve, “The Law of Environmental ‘PPMS’ in the WTO : Debunking the Myth of Illegality”, dalam Yale Journal of International Law, Vol. 27, (2002). Esty, D. dan D. Garadin, “Environmental Competitiveness and International Trade : A Conceptual Framework”, Journal or World Trade, (1998). Freestone, D., “The Road from Rio : International Environmental Law After the Earth Summit”, dalam Journal of Economic Law, (1994). Howse, Robert, “The Appellate Body Rulings in the Shrimp/Turlte Case : A New Legal Baseline for the Trade and Environment Debate”, dalam Columbia Journal of Environmental Law 491, (2002). Howse, Robert dan Donald Regan, “The Product/Process Disctinction – An Illusory Basis for Disciplining ‘Unilaterism’ in Trade Policy” dalam European Journal of International Law 249, (2000). Hudec, R., “Differences In International Environmental Standards: The Level Playing-Field Dimension”, dalam Minnesota Journal of Global Trade, (1995). Hudec, R. dan J. Bahagwhati, Fair Trade and Harmonization, (1996); D. Esty dan D. Garadin, “Environmental Competitiveness and International Trade : A Conceptual Framework”, dalam Journal of World Trade, (1998).
24 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013
Mallet, Victor, “Dirty Business”, dalam The River Runs Black : The Environmental Challenge to China’s Future, 2004. Robinson, N., et.al., The United Nations Conference on Environment and Development : Agenda 21 and The UNCED Proceedings, 1992. Skeen, Richard, “Will the WTO Turn Green? The Implication of Injecting Environmental Issues Into the Multilateral Trading System”, dalam Geo. International Environmental Law Review, Vol. 17, (2004). Stilwell, Matthew dan Jan Bohanes, “Trade and Environment”, dalam Patrick F. J. Macrory, Arthur E. Appleton, Michael G. Plummer, The World Trade Organization : Legal, Economic, and Political Analysis, (New York : Springer Science + Business Media, Inc., 2005). Wartini, Sri, “Implementasi Pasal XX (b) dan (g) GATT Dalam Penyelesaian Sengketa Di WTO”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No.3, Vol. 19, (2012). Yulia Hartati, Anna, “Lingkungan Hidup dan Liberalisasi Perdagangan : Upaya Mencari Jalan Tengah”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 11, Nomor 2, (2007).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN WTO, General Agreement on Tarrifs and Trade, 1994. WTO, Agreement on Technical Barriers to Trade, 1994.
25 Aplikasi upaya..., Aisia Arrifianty, FH UI, 2013