[57] Runtuhnya Rezim-rezim Boneka di Negara-negara Muslim Wednesday, 05 October 2011 17:12
Oleh: Abdi Kurnia Djohan, SH.MH, Dosen Agama Islam Universitas Indonesia dan Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta
Pembicaraan tentang rezim-rezim politik di negara-negara Muslim tidak dapat dilepaskan dari situasi politik global yang melatarbelakangi kemunculan rezim-rezim tersebut. Runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyyah (Ottoman: dalam bahasa politik Barat) agaknya dapat dijadikan sebagai pijakan sejarah pembicaraan di atas. Pernyataan Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris (1919-1924) dan mantan Wali Negeri India (1898-1905), ketika ditanya mengapa Turki diberikan jaminan kemerdekaan ketika daerah-daerah kekuasaannya dikuasai Inggris, yang menyatakan bahwa, “The point issue is that Turkey has been destroyed and shall never rise again, because We have destroyed her spiritual powers, Khilafah and Islam .”
Kalimat terakhir dari pernyataan Curzon inilah yang dapat disimpulkan sebagai pemicu munculnya rezim-rezim boneka di negara-negara Muslim. Ambisi untuk menghancurkan dua kekuatan spiritual umat Islam itu tidak berhenti pada proses pendirian negara sekuler Turki, tetapi terus berlanjut kepada setiap upaya yang dilakukan oleh umat Islam di dalam merekonstruksi bangunan kekhalifahan setelah penghapusan Kekhalifahan Utsmaniyyah 3 Maret 1924.
Di dalam kasus Mesir, ambisi untuk meruntuhkan kekhilafahan telah dimulai sejak Perang Dunia I, yang ditandai dengan pemberontakan Kolonel Ahmad Urabi pada awal tahun 1880—yang kemudian dikenal sebagai revolusi Urabi (Urabi Revolt)—terhadap Kekhalifahan Utsmaniyyah Turki. Gerakan pemberontakan terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki di Mesir itu, menyerukan pentingnya liberalisasi Mesir dari pengaruh politik Turki. Revolusi setengah matang Urabi tersebut belum menemukan hasil sampai kemudian Saad Zaghlul melakukan kontak dengan negara-negara Barat, dalam hal ini Inggris dan Prancis, untuk membidani kelahiran partai (Partai Wafd) yang mengusung liberalisme bagi Mesir secara keseluruhan. Pengaruh kepentingan politik Barat di dalam gerakan Partai Wafd sangat terlihat dari paralelnya kebijakan kolonial Inggris di Mesir, yang dikeluarkan oleh Reginald Windgate, protektorat
1/5
[57] Runtuhnya Rezim-rezim Boneka di Negara-negara Muslim Wednesday, 05 October 2011 17:12
Inggris di Mesir, dengan isu-isu yang dihembuskan oleh Saad Zaghlul dan para pengikutnya.
Adapun di dalam kasus Saudi Arabia, ambisi untuk meruntuhkan kekhilafahan itu diwujudkan dengan mendorong pemberontakan suku-suku di wilayah Hijaz terhadap kekuasaan Turki Utsmani di jazirah Arab. Thomas Edward Lawrence (1888-1935) atau yang dikenal dengan sebutan Lawrence of Arabia, merupakan aktor penting dalam proses pembentukan negara Saudi Arabia.
Upaya untuk meruntuhkan bangunan khilafah tidak saja dilakukan di Timur Tengah. Di Indonesia, upaya meredam dukungan terhadap gagasan khilafah tidak luput dari perhatian Barat. Upaya itu terbaca dari perdebatan antara Soekarno dan Natsir pada era tahun 1920-an, tentang pemikiran Ali Abdul Raziq. Perdebatan di antara kedua tokoh di atas, tentu mengundang pertanyaan mengenai relevansi isu Ali Abdul Raziq dengan perkembangan politik di Tanah Air ketika itu. Agaknya terdapat pertalian yang erat antara perdebatan Soekarno-Natsir di atas dengan temuan Muhammad Imarah terhadap dokumentasi Harian Al-Ahram Nomor 12, bulan Mei 1925. Harian terkemuka Mesir itu memuat surat pernyataan utusan kesultanan-kesultanan di Nusantara—yang diwakili oleh Kesultanan Jambi Sumatera—yang berisi penyerahan keputusan Muktamar Khilafah yang diadakan di Mesir dan kesediaan kesultanan-kesultanan Nusantara untuk bergabung dengan kekhalifahan yang baru.
Sementara itu, Deliar Noer menyimpulkan adanya relasi yang erat di antara polemik Soekarno-Natsir dengan kebijakan etis Kolonial Belanda ketika itu. Salah satu dari kebijakan etis yang dikembangkan oleh Belanda ketika itu adalah modernisasi sistem pendidikan Indonesia. Implikasinya—sebagaimana disarankan oleh Snouck Hurgronje—adalah adanya penerimaan bangsa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, terhadap pemikiran kebudayaan Barat. Snouck, bahkan, menegaskan bahwa hal tersebut juga berimplikasi hilangnya cita-cita pan-Islamisme dari segala kekuatannya.
Sebab-sebab Keruntuhan
2/5
[57] Runtuhnya Rezim-rezim Boneka di Negara-negara Muslim Wednesday, 05 October 2011 17:12
Upaya untuk mengubur pemikiran mengenai khilafah terus berlanjut hingga kini. Reproduksi pemikiran Ali Abdul Raziq dilakukan di berbagai forum di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, Abdullahi Ahmed Al-Na’im demikian gencar mengintroduksi pemikiran Abdurraziq tentang ketiadaan konsep negara dan penegakan syariah di dalam Islam. Di Indonesia, gagasan dekonstruksi khilafah Islamiyyah diperkenalkan oleh Harun Nasution, di dalam karya monumentalnya, “ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek”.
Hal itu kemudian dilanjutkan oleh Nurcholish Madjid. Cak Nur terlebih menawarkan gagasan desakralisasi politik Islam dengan sejumlah argumentasi faktual yang diketahui dan dirasakan oleh khalayak. Ide desakralisasi politik inilah yang dengan sendirinya, menuntun khalayak untuk melakukan penolakan terhadap gagasan Khilafah Islamiyyah dengan dalih bahwa gagasan tersebut adalah sesuatu yang utopis untuk diterapkan pada era modern ini.
Bagi rezim-rezim pengikut Barat, usaha kaum intelektual dalam mendekonstruksi ide Khilafah Islamiyyah jelas memberikan keuntungan tersendiri terutama dalam melanggengkan kekuasaan politik yang mereka pegang. Di Mesir, sebagai contoh, rezim Husni Mubarak memberi apresiasi terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Al-Asymawi, salah seorang tokoh Islam Liberal Mesir, yang meragukan validitas dan efektivitas syariah Islam di dalam menghadapi problematika zaman. Atas usaha-usaha yang dilakukannya, Al-Asymawi kemudian memperoleh jabatan Hakim Agung di Mahkamah Agung Mesir. Kondisi yang kurang lebih serupa juga dijumpai di Indonesia. Tidak sedikit kalangan cendekiawan Muslim yang pro Barat mendapatkan posisi strategis di berbagai instansi pemerintah karena usaha-usaha yang dilakukan dalam meredam laju pemikiran khilafah Islamiyyah.
Politik “etis” yang dikembangkan dalam rangka mendekonstruksi gagasan khilafah itu tanpa disadari, telah menyuburkan sikap hipokrit, yang berpotensi menghancurkan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan. Tanpa disadari pula politik etis yang dipelihara itu sesungguhnya telah menyeret rezim-rezim pendukung Barat, kepada kehancuran. Dari berbagai kasus kejatuhan rezim-rezim dukungan Barat di berbagai negara, termasuk di dunia Islam, dapat disimpulkan tiga hal yang menjadi penyebab kejatuhan mereka, yaitu demokrasi, ekonomi, dan liberalisasi kehidupan beragama.
3/5
[57] Runtuhnya Rezim-rezim Boneka di Negara-negara Muslim Wednesday, 05 October 2011 17:12
1. Demokrasi
Sebagai sebuah konsep, demokrasi bukanlah konsep yang matang dan mapan. Miriam Budiardjo mengutip kesimpulan UNESCO yang menyebutkan demokrasi sebagai ide yang bersifat ambigu—jika tidak dikatakan membingungkan.
2. Ekonomi
Isu ekonomi merupakan isu pemicu yang mempercepat tumbangnya beberapa rezim politik, seperti rezim Soeharto di Indonesia, Ben Ali di Tunisia, dan Husni Mubarak di Mesir.
3. Liberalisasi Kehidupan Beragama
Pemisahan agama dari negara, dengan cara liberalisasi, merupakan upaya yang sulit untuk dilakukan, walaupun oleh negara yang anti agama, seperti Cina dan Uni Sovyet, dahulu.
Penutup
Dari uraian singkat di atas, kemunculan rezim-rezim boneka tersebut merupakan kelanjutan dari gagasan Barat sebagaimana dikemukakan oleh Lord Curzon untuk menguatkan dominasi dan hegemoninya di dunia dan semuanya dalam skema permainan yang telah dirancang sedemikian oleh Barat.
Oleh karena itu, agenda besar umat Islam ke depan adalah melakukan revitalisasi pemikiran Islam di segala bidang, sehingga umat mampu melakukan assessment (penilaian) terhadap pemikiran-pemikiran liar yang berkembang di luar ajaran Islam. Merujuk kepada ungkapan Lord
4/5
[57] Runtuhnya Rezim-rezim Boneka di Negara-negara Muslim Wednesday, 05 October 2011 17:12
Curzon tentang kekuatan spiritual umat Islam, yaitu Islam dan Khilafah, sudah semestinya umat Islam merekonstruksi kembali bangunan pemikiran Islam yang kaffah dan memperkenalkan sistem politik Islam, yang genuine, agar umat dapat meraih kembali kejayaannya dengan tercapainya al-khilafah ala manhaj al-Nubuwwah . Selain itu umat perlu kritis terhadap ide Barat dan selalu menjaga ukhuwah sesama Muslim.
5/5