“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
DERADIKALISASI KEAGAMAAN: STUDI KASUS LEMBAGA DAKWAH KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA Andy Hadiyanto, Dewi Anggraeni, Rizki Mutia Ningrum Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Email:
[email protected] ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis Pandangan Lembaga Dakwah Kampus UNJ tentang Radikalisme dan Deradikalisasi.
Tulisan ini menunjukkan bahwa menurut pandangan LDK radikalisme Islam adalah adalah pemahaman agama yang ekstrim, eksklusif, dan mengklaim sebagai kebenaran satu-satunya. Pemahaman radikal ini seringkali dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkis yang merugikan, memaksakan kehendak, bahkan terkadang menjustifikasi tindakan-tindakan teror. Menurut pandangan LDK nilai-nilai utama Islam yang perlu diarusutamakan untuk mencegah menguatnya radikalisme adalah: toleransi, ilmu, dan tauhid. Tauhid sebagai ajaran pengesaan Allah menyaran pada keyakinan bahwa hanya Allah sajalah yang tunggal, dan segala sesuatu selain Dia pasti beragam (plural/ bhineka). Kesadaran tauhid ini mendorong penganut agama untuk tidak egois dan arogan dalam beragama, serta meyakini bahwa kebenaran manusia selalu relatif. Kata Kunci: deradikalisme, keagamaan, lembaga dakwah
PENDAHULUAN Islam sebagai ajaran universal dalam kenyataan hidup pemeluknya menunjukkan ekspresi dan aktualisasi yang beragam, sehingga muncul fenomena “islam” (nakirah/ indefinite) versus “al-Islam” (ma’rifah/ definite). Islam yang diwahyukan Tuhan memang satu tetapi terdapat banyak penafsiran tentangnya (Haedar Nashir, 2013: 51). Teks al-Qur’an sebagai inti agama Islam yang diyakini bersumber dari Tuhan, ketika memasuki kehidupan sosial manusia berubah menjadi teks yang terbentang secara historis untuk ditafsirkan dan disalahtafsirkan (Mustafa Akyol, 2014: 8). Inti Islam kerapkali mendapatkan tambahan doktrin, aturan-aturan, dan perilakuperilaku yang bersumber dari tradisi dan kadar kemampuan berpikir manusia pembacanya. Salah satu produk pemahaman terhadap teks inti Islam (al-Qur’an) adalah fundamentalisme dan radikalisme. Pada tataran global, radikalisme muncul di kalangan umat Islam akibat hantaman sejarah yang secara bertubi-tubi menempatkan sebagian muslim dalam posisi kesal tetapi tidak berdaya. Kondisi bangsa Arab yang terpecahbelah dan menjadi permainan negara-negara besar, kultur politik yang menindas, serta keterpurukan ekonomi makin menyuburkan radikalisme Islam (Muhammad Haniff Hassan, 2006: xvi). Secara sosologis, radikalisme agama merupakan salah satu reaksi umat
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
beragama dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi. Isu modernisasi dan globalisasi menjadi perdebatan di tengah-tengah umat beragama umumnya dan di tengah-tengah umat Islam khususnya, karena modernisasi memiliki karakteristik yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai Islam. Karakteristik modernisasi dianggap menghancurkan sendi-sendi keyakinan beragama karena: 1) Sikap reaksioner terhadap agama yang dianggap sebagai sumber keterbelakangan dan takhayul, 2) Rasionalisme sebagai basis tatanan moral obyektif, 3) Memposisikan agama sebagai produk sosiohistoris, 4) Menghedaki suasana keberagamaan yang dialogis dan tidak indoktriner, 5) Mengedepankan kebebasan dan keterbukaan dalam memahami wacana keagamaan (Free and open discourse), 6) Memunculkan paham sekularisme yang kontraproduktif terhadap pemahaman keagamaan mainstream, 7) Memunculkan nilai-nilai kebenaran baru yang dianggap bertolak belakang dengan kebenaran agama, dan 8) Pengakuan terhadap adanya kebenaran yang tidak tunggal. Menurut Syafii Maarif dalam pengantar tulisan Haedar Nasher, bangkitnya gerakan-gerakan Islam yang mengusung visi revivalisme, fundamentalisme, bahkan radikalisme dewasa ini dikondisikan oleh ketidakhadiran kelompok-kelompok Islam mainstream dalam kontestasi Islam sebagai ideologi vis avis modernisme dan westernisasi. Kelompok mainsstream dianggap gagal menegaskan identitas, posisi, dan orientasi perjuangannya di tengah kuatnya intervensi global, liberalisme, dan sekularisme (Haedar Nashir, 2013: 15). Nashir menengarai bahwa di samping faktor ketidakadilan struktural yang kompleks, latar belakang pemahaman doktrin (belief system) menjadi akar reproduksi gerakan-gerakan radikal. Keyakinan terhadap kredo Islam adalah solusi dan paham integralisme Islam, keyakinan akan autentisitas dan kesempurnaan ajaran Islam dengan tetap mengacu pada preseden historis generasi awal Islam (salaf as-Sholih) merupakan basis ideologis fundamentalisme, dan radikalisme (Haedar Nashir, 2013: 17). Posisi umat Islam yang masih berada dalam buritan peradaban, ketidakmampuan membaca ulang al-Qur’an dalam konteks yang baru, dan semakin kuatnya hegemoni dan daya represivitas dunia barat terhadap masyarakat muslim akan paralel dengan semakin menguatnya radikalisme dan fundamentalisme (Muhammad Haniff Hassan, 2006: xviii). Bahkan tidak jarang radikalisme agama menjadi pendorong bagi segelintir umat Islam untuk mengambil jalan pintas, dan membajak pemahaman agama untuk menjustifikasi tindakan dan perilaku agresif. Pemahaman Agama Islam radikal juga merupakan bahaya laten bagi stabilitas dan kelanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebangkitan radikalisme Islam di Indonesia ditengarai dengan munculnya gerakan Islam syariat yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut nashir, gerakan Islam syariat di Indonesia diawali dengan upaya memasukkan kembali piagam Jakarta dalam amandemen UUD 45, tuntutan penerapan UU syariat, hingga wacana penegakan khilafah Islamiyah (Haedar Nashir, 2013: 55). Generasi muda adalah aset berharga sebagai generasi penerus bangsa. Menyadari tentang posisi strategis kaum muda dalam menentukan arah dan pproyeksi bangsa dan negara pada masa depan, kelompok radikal seringkali menjadikan generasi muda sebagai target utama. Data yang dilansir oleh Komisi orang hilang dan korban NII Zaitun (Kontraz) misalnya, menunjukkan bahwa jumlah pengikut dan asset dana
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
yang dimiliki oleh gerakan NII semakin bertambah dari tahun ke tahun (Kontraz, 2011: 5). Yang patut diprihatinkan adalah mulai maraknya perekrutan anggota NII melalui kampus-kampus perguruan tinggi umum. Joko Santoso, mantan rector ITB pernah menyebutkan bahwa pada tahun 2008-2009 lebih dari 10% mahasiswa ITB drop out karena mereka menjadi korban gerakan NII (Joko Santoso, 2009). Fakta lain yang memperkuat asumsi di atas adalah data yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terorisme dalam bentuk peledakan dan bom bunuh diri di Indonesia adalah mereka yang masih muda. Para pelaku bom di Indonesia berumur antara 23-27 tahun (Tim Penulis, 55). Sebagaimana diketahui, maraknya kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi umum, di samping menggembirakan tetapi juga patut diwaspadai. Kewaspadaan tersebut terkait dengan masuknya radikalisme agama melalui kegiatankegiatan keagamaan di sekolah/ kampus. Ditakutkan, apabila kementrian pendidikan dan kebudayaan dan kementrian riset dan pendidikan tinggi tidak memiliki arahan yang jelas dalam upaya pembinaan organisasi keagamaan di sekolah dan kampus-kampus umum, akan muncul generasi-generasi intelektual muslim yang pandai dalam sains tetapi tidak cerdas dalam beragama. Salah satu wadah kegiatan keagamaan di kampus adalah Lembaga Dakwah Kampus (LDK). LDK adalah organisasi internal kampus yang bertujuan untuk menghidupkan budaya islami di kampus. LDK seolah merupakan suplemen kuliah Pendidikan Agama Islam di kampus, untuk mengartikulasikan ajaran Islam yang telah diajarkan secara teoritis di ruang-ruang kuliah. Sebagai kepanjangan tangan kuliah PAI, LDK diharapkan dapat menjadi produsen cara pandang, sikap serta prilaku keagamaan yang moderat dan toleran. LDKpun diharapkan dapat memberikan wacana bahwa kehadiran Islam harus ditunjukkan oleh umatnya untuk memberikan kedamaian dan kebaikan bagi keberlangsungkan kehidupan. Pendek kata, LDK diharapkan dapat memperkenalkan Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan memberikan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin). Bukan sebaliknya, agama Islam seakan menjadi penyebab terhadap ketidaknyamanan dan “duri” bagi ketentraman hidup bermasyarakat. Bertolak dari pemikiran di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang modelmodel pembinaan keagamaan di kampus. Terkait dengan itu, Lembaga Dakwah Kampus menarik untuk diteliti karena lembaga ini adalah organisasi mahasiswa yang berkonsentrasi dalam mensyiarkan Islam di dalam kampus di satu sisi. Di sisi lain, organisasi seperti ini rentan terhadap penyusupan dan infiltrasi radikalisme agama. Semangat beragama yang meluap-luap dibarengi dengan dasar yang kurang matang tentang ajaran Islam seringkali menjerumuskan mahasiswa dalam radikalisme. Kedudukan LDK sebagai lembaga dakwah patut diperhitungkan karena beberapa alasan, antara lain: 1) Mahasiswa merupakan agen perubahan kemasyarakatan (agent of societal change); 2) Lembaga dakwah kampus biasanya dianggap sebagai lembaga otoritatif kemahasiswaan untuk melaksanakan kegiatan syiar keagamaan; 3) Adanya realitas bahwa sebagian umat Islam masih mengembangkan paham fundamentalisme dan radikalisme agama, bahkan mereka melakukan tindakan-
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
tindakan terorisme atas nama agama.
PEMBAHASAN 1. Hakikat Radikalisme Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata radikalisme yang merupakan kata benda diterjemahkan sebagai paham atau aliran yg radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; atau sikap ekstrem dalam aliran politik. Sehingga makna radikalisme agama adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial yang drastis dan menghalalkan sikap ekstrem dan kekerasan yang menggunakan argumen-argumen keagamaan. Dalam praktik yang nyata, radikalisme agama ini bisa terwujud dalam bentuk terorisme dan tindakan kekerasan lainnya. Radikalimse di dalam Al quran di ungkapkan dengan berbagai diski yang berbeda yaitu; Al baghy (dalam surat an nahl: 90, yang memiliki konotasi permusuhan yang melampaui batas dengan tindak kekerasan yang berlebih), Tughyan (dalam surat hud:112, ibnu asyur mendefinisikan segala bentuk kerusakan/ ushul mafashid yang akan menjadikan ketidak harmonisan), Az zhulm( radikalisme merupakan salah satu bentuk kedzoliman), Al udwan ( dalam surat al baqarah :19. Dinyatakan bahwa permusuhan yang berlebih dan melampaui batas yang menyebabkan kerusakan dan mengancam keharmonisan merupakan bentuk perbuatan radikalimse), Al qatl (dalam surat al maidah:32, dari berbagai jenis pembunuhan, salah satu kategori radikalisme ialah pembunuhan yang disengaja/ qatlu amdin), Al hirbah (yakni terorisme atau aksi perampokan, pembunuhan yang menimbulkan kecemasan dan kekacawan). Semua kata diatas dalam Al Quran memberikan indikasi radikalisme. Dalam khazanah pemikiran Islam, radikalisme agama ditunjukkan dengan sikap ekstrim beragama yang sering disebut dengan ghuluw atau ifrath.Pemikiran ghuluw dalam beragama memiliki karakteristik: 1) Memahami teks agama (al-Qur’an dan as-Sunnah) secara tekstualis 2) Menganggap setiap ketentuan agama bersifat ta’abudy dan sakral 3) Setiap pemahaman yang berbeda dari keyakinan mereka adalah pemahaman sesat 4) Mengajak menghidupkan tradisi keberagamaan salaf sholih sesuai perspesi mereka 5) Keberagamaan yang kaku, rigid, dan anti dialog. Hal serupa dikemukakan oleh Rahmi Sabrin, radikalisme agama ditandai oleh 4 hal: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat orang lain; (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah; (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan Islam kebanyakan dan mengklaim bahwa cara beragama merekalah yang paling benar, yang kaffah, dan cara beragama yang berbeda dari mereka sebagai salah, kafir dan sesat; (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan (Rahimi Sabirin, 2004: 5). Pada tingkatan yang ekstrem, polakeberagamaan yang seperti inilah yang memunculkan kelompok yang lebih dikenal dengan fundamentalisme yang melahirkan radikalisme. Menurut Encyclopedia Britannica, kata "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
"reformasi radikal” yakni sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengeidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen. Sementara dalam khazanah keIslaman radikalisme sudah mulai ada sejak diutusnya Rasul pertama Nuh as , dimana kaum beliau tidak segan-segan mengejek dan menghina Nabi Nuh as untuk mempertahankan keyakinan yg mereka anut. Kemudian berlanjut sesuai dengan perjalanan waktu sampai pada masa Nabi Ibrâhîm as, dimana beliau mengalami penyiksaan dari kekuatan politik Namrud yang Radikal. Selanjutnya nabi Musa as, bagaimana pula beliau bersama bani Israil mengalami berbagai penyiksaan dan pembunuhan dari kekuatan politik yang radikal dibawah pinpinan Fir’aun. Bahkan Fir’aun dan kaumnya menuduh Nabi Musa as sebagai orang yang berbuat kerusakan di muka bumi (Al Quran surat Al-A’râf/7:128). Demikian pula radikalisme yang dilakukan oleh umat Yahudi terhadap Nabi Isa as. Hal yang sama, bahkan lebih dari itu yang dialami oleh Nabi Muhammad saw beserta para Shahabat di kota Mekah. Mereka ditindas, disiksa, bahkan dibunuh. Di era globalisasi radikalisme atas nama agama sebagai fenomena historissosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme. Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideology komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tuduhan dan propaganda Barat atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional (Pakdhe Keong, 22 Desember 2015). Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutusekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkapanyekan label radikalisme Islam. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam. Nurul Huda menyatakan bahwa bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sangat terkait dengan reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern (Nurul Huda Ma’arif, Kompas, 18 November 2002).
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Kondisi-kondisi politik yang demokratis yang dipandu dengan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat secara umum. Hal inilah kemudian yang ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi “sekuler”, yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam. Selanjutnya, seperti sudah bisa ditebak, muncullah radikalisme berbalut busana agama (Bassam Tibi sebagaimana dikutip dari Nurul Huda Ma’arif, Kompas, 18 November 2002). Dilihat dari dua teori mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan ilmu politik, yakni kritik ideologi dan analisis wacana, radikalisme dipahami sebagai gejala sosial dan politik yang lahir dalam kondisi dislokasi atau krisis yang bersifat permanen dalam masyarakat. Dari perspektif ini, radikalisme dilihat sebagai fenomena politis-kolektif bukan sebagai fenonema psikologis-individual belaka. Alih-alih memandang krisis sebagai anomali dari struktur sosial/ politik normal ala dari pendekatan positivistik, kedua pendekatan ini memahami krisis sebagai gejala yang selalu hadir menyertai upaya normalisasi yang dilakukan oleh satu atau lebih kekuatan ideologis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. manusia atau kelompok untuk mempertanyakan dan mengubah struktur sosial atau sistem politik yang dianggap tak adil dan menindas kebebasan (Sugiono, Hiariej, Djalong dan Hakim, 2011: 105). Radikalisme, dengan demikian, diasumsikan muncul karena menguatnya ketidakadilan dan ketidak bebasan yang diselenggarakan kelompok dominan dalam politik dan ekonomi. Dengan demikian konsep ini memperlihatkan keagenan politik manusia untuk perbaikan dan perubahan. Seseorang atau kelompok disebut radikal tidak saja karena sadar akan dominasi tetapi juga secara aktif mengusahakan perubahan ideologis dan dunia sosial. 2.
Lembaga Dakwah Kampus Universitas Negeri Jakarta Penelitian ini dilakukan terhadap pengurus dan aktifis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Negeri Jakarta (LDK UNJ) dan pengurus serta aktifis Badan Semi Otonom Mushola di lingkungan Universitas Negeri Jakarta (BSO Mushola) yang merupakan organisasi otonom di tiap fakultas di bawah koordinasi LDK UNJ. Lembaga Dakwah Kampus (disingkat LDK) adalah sebuah institusi organisasi kemahasiswaan intra kampus yang terdapat di tiap-tiap perguruan tinggi di Indonesia. Organisasi ini bergerak dengan Islam sebagai asasnya. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia pasti mempunyai LDK. Tiap-tiap perguruan tinggi, nama LDK bisa berbeda-beda. Kadang mereka menyebut dirinya sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa Islam, Kerohanian Islam, Forum Studi Islam, Lembaga Dakwah Kampus, Badan Kerohanian Islam, dan sebagainya. LDK lahir pada era tahun 60-an, sebagai tempat pendidikan, dan dakwah agama Islam pada kampus-kampus dan mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1970-an. Pada awal perkembangannya, Latihan Mujahidin Dakwah (LMD) merupakan generasi awal pergerakan tarbiyah di Indonesia. Organisasi ini pertama kali berdiri di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejumlah mahasiswa pun dikirim ke timur tengah untuk belajar Islam lebih mendalam sebagai usaha memeperkuat ajaran Islam, namun ketika mahasiswa ini kembali pada tahun 1990-an, mereka justru memperkenalkan ajaran baru yaitu Ikhwanul Muslimin. Berikutnya ajaran ini mulai berkembang di Kampus besar di Indonesia. Kini di berbagai kampus sudah terdapat
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani pergerakan tarbiyah, biasanya telah menamakan diri dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kerohanian, Forum Studi Islam (FSI), Lembaga Dakwah Kampus (LDK), dan lain-lain.
LDK UNJ merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang membidangi kerohanian Islam di lingkungan Universitas Negeri Jakarta. LDK UNJ secara resmi berdiri pada tahun 1991 dengan nama Lembaga Dakwah Kampus dan Mushola Mahasiswa IKIP Jakarta (LDKMM). Perubahan IKIP menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada tahun 1999, ikut mendorong perubahan nama LDKMM menjadi Lembaga Dakwah Kampus UNJ (LDK UNJ) (Tim Pembantu Rektor III UNJ, 2007: 54). LDK UNJ dikelola oleh mahasiswa untuk mengkoordinir dan mengembangkan kegiatan keislaman di lingkungan UNJ, dengan visi LDK UNJ sebagai sentral dakwah kampus yang idiologis, inovatif, dan profesional dalam semangat ukhuwah menuju masyarakat UNJ yang bersyakhsiyah Islamiyah (ORIS UNJ, 2010:19). Visi tersebut diturunkan menjadi beberapa misi, yaitu: 1) Mewujudkan pribadi muslim yang cinta al-Qur’an dan as-Sunnah 2) Menyemarakkan Syiar Islam yang inovatif dan profesional sehingga dapat dirasakan oleh seluruh civitas akademika UNJ 3) Melakukan soliditas kepengurusan LDK UNJ serta bersinergi dengan LDF dan LDJ 4) Menjalin ukhuwah untuk membangun dan menjaga komunikasi positif dengan pihak internal dan eksternal kampus sebagai pencitraan dakwah kampus 5) Melakukan pembinaan dan pengkaderan mahasiswa muslim UNJ secara sistematis sebagai saran peningjatan skill dan kompetensi demi terwujudnya kampus yang bersyakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam) 6) Mewujudkan budaya yang islamy di lingkungan civitas akademika UNJ. (ORIS UNJ, 2010:19) 3.
Pemaknaan dan Faktor Penyebab Radikalisme Menurut pandangan aktifis LDK UNJ, radikalisme ditandai dengan beberapa indikator, yaitu: 1) Ekstrem (ghukuw) dalam beragama 2) Eksklusif dan Klaim kebenaran 3) Fanatik berlebihan terhadap sebuah pemahaman 4) Beragama secara fundamental, yaitu keinginan kembali ke hal-hal mendasar dalam ajaran Islam 5) Berupaya memahami agama dari akarnya, artinya langsung dari sumber asli berupa al-Qur’an dan as sunnah 6) Kekerasan dalam mengekspresikan agama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa radikalisme dalam pandangan aktifis LDK adalah pemahaman agama yang ekstrim, eksklusif, dan mengklaim sebagai kebenaran satu-satunya. Pemahaman radikal ini seringkali dibarengi dengan tindakantindakan anarkis yang merugikan, memaksakan kehendak, bahkan terkadang menjustifikasi tindakan-tindakan teror. Pendapat mereka sejalan dengan pandangan para pengamat radikalisme. Abdul
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
A’la yang memaknai radikalisme sebagai gejala beragama yang memecahbelah umat dan memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan, karena mengedepankan klaim kebenaran atas tafsir agama yang dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkhis (Abd A’la, 2014: v). Sementara Syaukanie mengidentifikasi pemahaman radikal melalui beberapa indikator, yaitu: 1) Ikonoklasme, yaitu paham tekstual yang menganggap bahwa modernisasi sebagai produk budaya barat seperti berhala-berhala baru yang harus dimusuhi dan dihancurkan 2) Demonasi, yaitu paham yang menganggap bahwa orang lain selain mereka adalah syetan, salah, sesat, kafir, dan berbagai stigma negatif lainnya. Menurut paham ini hanya merekalah yang suci dan benar 3) Fatwa kekerasan, paham radikal mempunyai kecendrungan untuk menyikapi pihak lain yang berbeda dengan keras, karena setiap yang berbeda akan distigmatisasi sebagai sesat 4) Konservativisme, paham yang menolak untuk melihat Islam dengan pendekatan historis dan antroposentris. Islam sebagai artefak telah dinyatakan sempurna sejak zaman Nabi hingga saat ini, karenanya Islam yang otentik adalah Islam yang mereka pahami sebagai Islam masa lalu. 5) Budaya instan, pemahaman agama yang radikal ditengarai disebabkan oleh model pembelajaran agama yang instan dan siap saji. Agama disajikan sebagai doktrin dan dogma yang tidak bisa diperdebatkan. 6) Puritanisme, pemahaman yang menginginkan untuk memahami Islam secara orisinil, dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan As Sunnah dengan mengesampingkan hasil pemikiran dan ijtihad para ulama-ulama terdahulu. Konsekwensi dari sikap ini, mereka cenderung untuk melihat teks al-Qur’an dan As Sunnah secara harfiyah dan tekstual. (Luthfi Assyaukanie, 2007: 129-178) Berdasarkan keterangan informan dan hasil analisis secara teoritis dapat dikatakan bahwa para aktifis LDK UNJ telah memiliki pemahaman yang memadai tentang radikalisme. Pemahaman tersebut diharapkan menjadi landasan bagi gerakan deradikalisasi di kalangan aktifis LDK sendiri. Pemahaman tersebut telah mengindikasikan bahwa mahasiswa aktifis LDK di UNJ menilai radikalisme sebagai pemahaman yang menyimpang dan harus dihindari. Mereka telah menyadari bahwa radikalisme merupakan ancaman bagi stabilitas dan ketenangan umat beragama. Pandangan mereka tentang radikalisme di atas sejalan dengan visi LDK yang telah dicanangkan, ” sebagai sentral dakwah kampus yang idiologis, inovatif, dan profesional dalam semangat ukhuwah menuju masyarakat UNJ yang bersyakhsiyah Islamiyah.”. LDK berupaya mengedepankan ukhuwah, jiwa inovatif, dan profesional dalam mengembangkan kepribadian islamy di kampus. Pesan dari term ukhuwah, inovatif, dan profesional di sini adalah bahwa LDK adalah lembaga yang terbuka dan siap beradaptasi dengan kemajuan jaman. Namun ungkapan ”sentral dakwah kampus yang idiologis” sedikit bermasalah dan bertolak belakang dengan spirit keterbukaan. Hal itu karena idiologisasi Islam
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
selalu muncul dari gerakan Islam politik. Islam politik selalu muncul karena asumsi bahwa Islam butuh untuk dibela eksistensinya, warisan budayanya, dan negerinegerinya. Keinginan untuk membela Islam diantaranya muncul karena nostalgia sejarah kejayaan umat masa lalu (konservativisme), di samping anggapan bahwa dunia modern bertentangan dengan spirit Islam (Basyir Musa Nafi’, 2010: 9). Pendek kata Islam idiologis tidak bisa dipisahkan dari Islam politik, dan Islam politik menyimpan di dalamnya unsur-unsur fundamentalisme. Fundamentalisme sedikit berbeda dengan radikalisme. Fundamentalisme adalah sebuah pemahaman agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Biasanya pemahaman ini menuntut penganutnya untuk secara disiplin berpegang pada teks suci agama (jika perlu secara tekstual). Sedangkan Radikalisme adalah pemahaman yang menginginkan perubahan secara drastis dan menggunakan nalar kekerasan. Dari temuan di atas dapat dinyatakan bahwa LDK UNJ secara teologis dapat dikategorikan sebagai fundamentalisme karena ingin menampakkan diri sebagai Islam ideologis. Islam ideologis biasanya menampakan diri sebagai gerakan Islam revivalis yang mempercayai bahwa: 1) kebangkitan Islam memerlukan reformasi dan revolusi paradigmatis seperti yang dilakukan oleh Rasul, 2) agama adalah bagian integral dari negara dan masyarakat, 3) penyimpangan dari norma-norma Islam akan mengakibatkan kemunduran dan hilangnya kewibawaan umat Islam, 4) perilaku tidak Islami hanya bisa dihilangkan dengan menerapkan hukum Islam, 5) sinkretisme Islam dengan budaya lokal hanya akan menimbulkan kemunduran umat Islam, 6) mekanisme jihad dan perjuangan bersenjata diperlukan untuk menegaskan kembali posisi hak Islam dalam masyarakat (Haedar Nashir, 2013: 72-73). Irwan menyitir pendapat Hasan Hanafi mengemukakan sisi positif dan negatif fundamentalisme. Pertama, berkaita erat dengan gerakan perlawanan terhadap imperialisme. Keuda, dakwahnya mampu menyentuh kalangan pedagan, petani, dan pelajar. Ketiga, struktru organisasinya dapat bekerja secara efektif. Keempat, terbuka dalam menerima pengalaman dari peradaban lain, tanpa mengorbankan autentisitas tradisinya sendiri (Irwan Masduqi, 2011: 88-89). Sedangkan sisi negatifnya adalah: 1) cenderung dogmatis dan tidak rasionalis, 2) dihegemoni oleh konsep kedaulatan Tuhan, 3) rentan menjadi radikal dengan ambisi untuk menerapkan syariat Islam dan negara teokrasi, dan kadang terburu-buru untuk melakukan perubahan sosial, 4) dikotomi Islam dan kafir secara simplistik, dan 5) terjebak dalam eksklusifisme (Irwan Masduqi, 2011: 88-89). Singkat kata, radikalisme Islam adalah bentuk ekstrim dari Islam fundamentalis, politis, revivalis, dan ideologis. Para aktifis LDK yang menjadi informan dalam penelitian ini belum secara rigid memisahkan antara terma-terma di atas. Di sisi lain, nampak bahwa pandangan mereka a historis karena tidak mengacu pada sejarah dan visi-misi LDK UNJ. Kenyataan ini juga menunjukkan adanya tren keterbukaan di LDK UNJ, sehingga para informan sebagai aktifis LDK UNJ sadar benar tentang pentingnya menerima perbedaan dan keterbukaan terhadap liyan. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang mengalami dinamika seiring dengan dinamika kehidupan poilitik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka pernyataan para informan mengindikasikan adanya
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
transformasi ideologis di LDK UNJ, dari sebuah organisasi yang sangat eksklusif dan ideologis, menjadi organisasi yang inklusif dan moderat. Beberapa informan LDK melihat bahwa radikalisme muncul sebagai respon negatif terhadap modernisasi dan perubahan budaya yang begitu cepat. Situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya global yang semakin memojokkan kaum beragama disikapi dengan pemahaman agama yang fundamentalistik. Menurut Kimball, penyikapan modernisasi yang negatif sehingga menimbulkan radikalisme agama, disebabkan oleh keberagamaan yang sakit. Keberagamaan yang sakit ditandai dengan beberapa indikator, di antaranya: 1) Adanya klaim kebenaran mutlak satu-satunya 2) Ketaatan buta (fanatisme) terhadap institusi keagamaan, dengan pembatasan penggunaan akal dan intelek 3) Kegandrungan terhadap zaman ideal, karena anggapan bahwa zaman sekarang telah melenceng dari semangat luhur agama 4) Pembenaran prinsip tujuan yang membenarkan cara. (Charles Kimball, 2013: ix-xxi) Syafii Maarif dalam pendahuluan tulisan Haedar Nashir mengatakan bahwa bangkitnya gerakan revivalis, fundamentalis, dan radikal dikondisikan dari ketidakhadiran kelompok-kelompok Islam mainstream dalam kontestasi Islam sebagai ideologi vis a vis modernisme dan westernisasi. Gerakan Islam mainstream gagal menegaskan identitas, posisi, dan orientasi perjuangannya di tengah kuatnya intervensi politik global, liberalisme, dan sekularisme (Ahmad Syafii Maarif, Pengantar dalam Haedar Nashir: 15). Sedangkan A’la menulis bahwa ideologi radikal lahir dari amalgamasi beragam persoalan pelik yang dihadapi manusia kontemporer. Permasalahan diawali dengan globalisasi yang sarat dengan ketidakadilan hingga politisasi agama (Abd A’la, : viii). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa radikalisme agama muncul sebagai bentuk keberagamaan yang sakit akibat respon negatif umat beragama terhadap modernisasi dengan berbagai perniknya. Radikalisme juga muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap keberagamaan mainstream yang dianggap tidak responsif terhadap problematika global yang dianggap memarginalkan kaum beragama. Radikalisme merupakan respon teologis dan ideologis dari kaum beragama yang sakit terhadap modernisasi dan globalisasi. Modernisasi dengan berbagai implikasinya disikapi oleh umat beragama secara akomodatif ataupun reaktif. Euphoria terhadap modernisasi berlebihan di kalangan umat beragama melahirkan liberalisme dan sekularisme. Agama menjadi termarginalkan dan kehilangan elanvitalnya dalam berbagai sendi kehidupan manusia. Kelompok yang pertama ini mendefinisikan modernisasi sebagai bentuk pembebasan terhadap keterbelakangan, ketidakefisienan, takhayul, dan sikap reaksioner. Untuk itu, modernisasi menghendaki teologi rasional yang dilandasi dengan perspektif sosiologis historis, dialogis, dan terbuka sehingga dapat melahirkan nilai-nilai kebenaran baru yang tak tunggal.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Sebaliknya, respon penolakan terhadap modernisasi melahirkan fundamentalisme dan radikalisme. Kelompok ini menolak modernisasi yang berkembang di Eropa karena telah mencabut akar-akar keimanan dalam kehidupan umat manusia. Tipologi ini meyakini teologi fideisme, bahwa kebenaran metefisik, moral, dan religius tidak dapat dimasuki oleh rasio manusia dan hanya bisa diterima melalui iman, yaitu sebuah keyakinan yang muncul dari sebuah otoritas tertinggi (Tuhan). Sebagai ganti dari modernisasi, kelompok ini menawarkan gerakan revivalis dengan menyebarluskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa salaf as-sholih (generasi awal yang terbaik). Berdasarkan pandangan dan pendapat di atas, maka secara garis besar faktorfaktor yang menyebabkan muncul dan suburnya radikalisme dapat dilihat dalam tabel berikut: No Faktor Penyebab Uraian 1 Kesehatan mental Radikalisme muncul sebagai produk kejiwaan (psikologis) dari jiwa yang rentan pada saat ia berupaya untuk mencari dan menegaskan jati dirinya 2 Kesenjangan ekonomi Radikalisme dipacu oleh ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang dialami oleh seorang individu, sehingga ia terdorong untuk melawan ketidakadilan tersebut secara sistematis, bermula dari aspek ideologis dan teologis 3 Sosial-Politik Radikalisme muncul sebagai respon terhadap kondisi sosial politik global, yang cenederung semakin memecah belah kehidupan umat manusia. 4 Emosi keagamaan Radikalisme muncul akibat interpretasi keagamaan yang mendorong individu melihat adanya gap antara idealisme dan norma agama dengan realita umat 5 Kebijakan pemerintah Radikalisme muncul sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang dianggap oleh komunitas beragama tidak mengacu pada nilai dan norma agama Secara teoritis dikemukakan bahwa paham radikal terjadi karena terjadinya proses radikalisasi yang dipengaruhi oleh 3 aspek yaitu: 1) Proses individu Yaitu proses perkembangan kepribadian untuk menemukan identitas seseorang. Proses individu dapat menjadi jalan masuknya radikalisme, ketika dalam pencarian identitasnya, orang tersebut memiliki ketidakpuasan terhadap situasi kondisi yang dihadapi, dan ia ingin melakukan perubahan drastis terhadapnya. Biasanya orangorang yang memiliki semangat perubahan, kegelisahan sosial, dan keyakinan teologis yang tinggi dibarengi dengan tingkat keputusasaan dan ketidakpuasan
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
dengan institusi sosial keagamaan yang ada, membuat mereka mudaa menerima radikalisme sebagai solusi. 2) Dinamika interpersonal Yaitu proses interaksi dan komunikasi antara individu dengan pihak-pihak lain yang terjadi secara intens dan massif, sehingga mampu mempengaruhi pemahaman individu untuk simpati dan empati kepada radikalisme. Individu yang mudah terpengaruh oleh paham radikalisme biasanya hanya memiliki lingkungan pergaulan yang terbatas, sehingga wacana keagamaan dan sosial politiknya cenderung didominasi oleh orang-orang di lingkarannya yang secara intensif dan massif memasok wacana-wacana tertentu. Dengan demikian, mereka yang mudah untuk menerima paham radikal adalah mereka yang cenderung tertutup dan eksklusif dalam bergaul. 3) Pengaruh lingkungan Yaitu adanya tawaran-tawaran idiologis dan teologis yang ditawarkan oleh kelompok-kelompok atau organisasi tertentu (kebanyakan adalah organisasi tanpa bentuk) yang menurutnya dapat dijadikan alternatif untuk menyelesaikan situasi yang menurutnya telah jauh dari idealime dan norma-norma Islam. (Adi Sulistiyo, https://www.academia.edu/7242507) Adi menyimpulkan bahwa proses radikalisasi memiliki dua tipe, pertama radikalisasi yang disebabkan oleh krisis identitas akibat kekhawatiran tentang kondisi makro seperti integrasi, kebijakan luar negeri, perkembangan politik, budaya, dan ekonomi global (Adi Sulistiyo, https://www.academia.edu/7242507). Krisis identitas terebut mendorong munculnya keyakinan bahwa kekerasan sebagai solusi, artinya perlu dilakukan tindakan revolusioner untuk mengubah kondisi politik, ekonomi, sosialbudaya, dan keagamaan yang dianggap sudah tidak sesuai dengan spirit Islam yang sesungguhnya. Sedangkan proses radikalisasi yang kedua dihasilkan dari dinamika interaksi sosial pada kondisi mikro yang dipengaruhi oleh media, teman sebaya, pemimpin, anggota keluarga, atau lingkungan sekitar, sehingga menerima sistem kepercayaan/pemahaman bahwa sesuatu dapat dan harus dilakukan untuk menghadapi hal – hal yang menjadi ancaman terhadap aliran kepercayaan atau pemahaman yang diyakininya (Adi Sulistiyo, https://www.academia.edu/7242507). 4.
Pemaknaan dan Upaya Deradikalisasi Setelah menelusuri pandangan informan tentang radikalisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya, maka perlu ditelusuri pula pemahaman mereka seputar deradikalisasi dan upaya apa saja yang telah dilakukan LDK UNJ untuk membendung dan menanggulangi radikalisme agama. Dari pandangan-pandangan informan di atas dapat disimpulkan bahwa deradikalisasi adalah upaya untuk meminimalisasi pemahaman radikal yang dimiliki oleh individu atau sekelompok orang, sehingga mereka tidak lagi mengedepankan nalar kekerasan dalam beragama. Dalam hal ini mayoritas informan hanya memfokuskan pandangan mereka pada tindakan radikal, padahal tindakan radikal bermula dari nalar dan pemahaman agama yang radikal.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Menurut abd A’la, penyelesaian masalah radikalisme harus dilakukan secara tuntas dan sistematis. Upaya tuntas dan sistematis untuk menghadapi radikalisme perlu diawali dengan upaya untuk memberaantas ide dan pemikiran yang ada di baliknya (Abd A’la, : viii). Seiring dengan itu, Arkoun menawarkan deideologisasi agama untuk mengantisipasi radikalisme. Tawaran kedua adalah desakralisasi lembaga agama, sistem hukum, dan sistem politik yang sering dimanipulasi dalam bentuk teokrasi. Melalui rekonstruksi pandangan para infroman di atas dipadukan dengan perspektif teoritis yang dikemukakan para pakar, maka upaya deradikalisasi keagamaan dalam upaya mencegah dan memberantas pemahaman dan ekspresi beragama yang radikal dapat dilakukan dengan upaya-upaya berikut: Tabel : Paduan pandangan informan LDK UNJ, dan uraian penulis tentang Pendidikan Agama Islam berbasis toleransi, serta uraian pimpinan BNPT Ansyaad Mbai tentang upaya deradikalisasi No Upaya 1 Pendidikan dan Pembinaan
2
Dakwah
3
Poltitik
Uraian Pencegahan dan pemberantasan paham radikal dilakukan melalui pendidikan agama Islam yang terbuka, komprehensip, kontekstual historik, pendekatan antroposentris, dan pembelajaran yang dialogis Dakwah Islam yang tidak ideologis dan politis, mengedepankan dialog dan keterbukaan, menghargai budaya dan kearifan lokal, dan mengarusutamakan moderatisme Islam. Di kalangan Islam perlu digelorakan semangat Islam rahmatan lil alamin. Ketegasan pemerintah dan DPR dalam menghadapi tindakan kekerasan dan anarkisme dengan cara: keseimbangan antara kebebasan dan kepentingan untuk meindungi keamanan bangsa dan negara, dukungan politik bagi aparat keamanan untuk melakukan tindakan terhadap aksi radikal. Di samping itu perlu dibangkitkan kesadaran para pemimpin bangsa, pemerintah, pimipnan keagamaan yang moderat tentang adanya ancaman radikalisme, lalu diikuti sinergi antara mereka dengan aparat penegak hukum untuk merespon radikalisme.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
4
Hukum
Dilakukan dengan: 1) memperkuat kerangka hukum seperti kriminalisasi terhadap propaganda yang mengarah pada kebencian dan permusuhan, dan kriminalisasi terhadap yang melakukan pelatihan militer, 2) tegakkan UU kewarganegaraan, dengan mencabut kewarganegaan orang yang mengangkat sumpah dan janji setia pada negara asing, 3) perketat keimigrasian untuk mengawasi keluar masuk jaringan teroris, dan 4) tegakkan hukum pidana tentang setiap kegiatan konspirasi, dan upaya makar terhadap negara.
Di samping mengupayakan deradikalisasi pemahaman agama, LDK UNJ dituntut untuk ikut serta mencairkan fundamentalisme agama melalui upaya-upaya antara lain: 1) Pembebasan dari pola budaya timur Tengah 2) Islam tidak identik dengan Arab, ia adalah ajaran yang mengglobal dan menzaman dengan ekspresi lokal temporal. Menjadi Islam bukan berarti mengambil ekspresi keberagamaan khas Arab tanpa memperhatikan konteks pembacaannya saat ini. Islam yang dieskpresikan dengan artikulasi Arab seringkali menampakkan wajah Islam yang garang dan galak (Andy Hadiyanto, 29 Juni 2006). Kondisi alam yang keras dan monoton seringkali muncul dalam ekspresi beragama Muslim Arab yang kaku, rigid, dan keras. Islam yang diartikulasikan dalam pemikiran Arab pun cenderung memperkuat primordialisme kelompok dan eksklusifisme. 3) Perkembangan Islam transnasional di Indonesia, nyata-nyata memberikan sumbangan terhadap mengentalnya fundamentalisme dan radikalisme agama. Upaya mengkaunter menguatnya fundamentalisme dapat diawali dengan memberikan penyadaran untuk dapat membedakan antara substansi ajaran Islam yang mengglobal dan menzaman (sholih likulli zaman wa makan) dan ekspresi keberagamaan yang lokal dan temporal. 4) Pengembangan dimensi keruhanian (SQ) 5) Pemahaman agama yang terlalu menitikberatkan pada aspek formal-normatif, mengakibatkan munculnya idiologisasi agama dan politisasi agama. Idiologisasi agama hanya akan mengkerdilkan agama dalam indikator-indikator yang sifatnya simbolik dan formal. Dakwah Islam hanya dimaknai sebagai upaya menegakkan syariah atau gerakan politik untuk menegakkan negara Islam. 6) Di sisi lain, keberagamaan yang formalistik melahirkan fenomena religiusitas yang tinggi namun tidak dibarengi dengan meningkatnya indikator keadaban dan keberadaban. Agama akhirnya hanya menjadi alat klaim identitas, namun tidak pernah menyentuh kesadaran pribadi dan kolektif. Oleh sebab itu, perlu transformasi pendidikan dan dakwah Islam yang memadukan aspek formal dengan spiritual. Ajaran Islam yang telah memanifestasi dalam sejarah manusia, perlu ditansendenkan sehingga diketemukan spiritnya yang universal, untuk kemudian
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
direformulasi dan diproyeksikan sesuai dengan konteksnya yang beragam (Andy Hadiyanto, Presentasi seminar). 7) Pengembangan jiwa kritis dan dimensi sosial 8) Beragama yang bertanggung jawab dan toleran bisa dicapai melalui penguatan model kebragamaan yang berbasi rasio dan pemikiran kritis. Di samping mengajukan argumen naqly (berdasarkan al-qur’an dan al-hadis) proses pendidikan dan dakwah islam perlu mengajukan argumen aqli (rasionnil). Melalui rasionalistas dalam bersikap umat tidak akan mudah terprovokasi oleh propaganda-propaganda yang semata-mata menyedot emosi. 9) Mengakhiri mentalitas isolatif 10) Menguatnya fundamentalisme dan radikalisme disebabkan oleh adanya ketertutupan dan keterbatasana wacana umat. Umat yang tidak biasa berdialog dan berdiskusi akan cenderung memilih kekerasan dalam menyebarkan pemahaman mereka. Untuk itu, dakwah islam harus disampaikan secara terbuka dan dialogis sehingga umat terbiasa dengan kebhinekaan wacana dan ekspresi keagamaan. 11) Memperluas kesadaran tanggung jawab pribadi pada Tuhan 12) Umat perlu dibiasakan untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap hal. Melalui kehadiran Tuhan, maka tidak akan berkembang kultur kekerasan dalam beragama, karena Tuhan selalu menyapa hambanya dengan kelembutan dan kedamaian. Kesadaran tentang tanggung jawab pribadi pada Tuhan membuat manusia waspada dan berhati-hati dalam bersikap. Adanya tanggung jawab pribadi pada Tuhan akan mereduksi arogansi umat beragama, sehingga ia mau membuka diri dan wawasan untuk menerima liyan. Al-Qur’an dan as-Sunnah di samping mengandung ayat-ayat polemik juga mengandung ayat-ayat dan argumen tentang perdamaian. Pemahaman Islam secara parsial yang dikembangkan oleh orientalisme dan diadopsi oleh kelompok radikal membuat sisi “sangar” Islam nampak lebih mengemuka dibanding sisi “ramah”nya. Pemahaman tentang radikalisme menuntut pemahaman secara komprehensip terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, salah satu di antaranya adalah pemahaman ayat dan hadis yang menentang radikalisme. Terkait dengan itu, perlu dilacak sejauh mana pemahaman informaan dari LDK tentang ayat dan hadis damai, toleran, dan terbuka. Dalam rangka mencairkan fundamentalisme dan radikalisme agama perlu dilakukan perombakan pola pikir keagamaan (akidah) yang lebih terbuka dan toleran. Pemahaman agama yang terbuka dan toleran dapat dicapai melalui pembelajaran agama yang berkarakteristik: 1) Anthroposentris : Humanis Pendidikan Agama harus memperhatikan keanekaragaman sosial dan budaya. Pemahaman terhadap keanekaragaman sosial budaya menuntut pemahaman bahwa wahyu Tuhan diturunkan dengan mengandung pesan universal namun disampaikan dengan ekspresi lokal. Pesan universal tersebut dapat diekspresikan dalam ekspresi yang spektrumnya luas, sesuai dengan dinamika kehidupan sosial budaya umat manusia. Keberagamaan yang antroposentris menyandarkan pada keyakinan bahwa yang mutlak dan esa hanya Allah, dan selain Tuhan selalu beragam dan relatif.
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Keanekaragamaan ekspresi keagamaan sebagai manifestasi pancaran kebenaran Tuhan dalam keberbagaian (seperti pantulan cermin dari berbagai sudut). 2) Rasionil : Obyektif Pendidikan Agama harus mampu menjelaskan doktrin-doktrin agama secara logis sesuai dengan kadar kemampuan berpikir siswa. Pembelajaran Agama diharapkan juga menggunakan berbagai pendekatan ilmu-ilmu modern. Proses pembelajaranpun diharapkan dapat menyampaikan data dan fakta terkait dengan ekspresi keagamaan secara obyektif tanpa tendensi dan prejudice. 3) Dialogis : Dialektik Pendidikan Agama harus membiasakan siswa untuk mendialogkan dan mengkomunikasikan perbedaan keyakinan dan pemahaman agama, dan mendiskusikan dan mendialogkan berbagai corak pemahaman secara obyektif tanpa pemihakan. Di samping itu pembelajaran agama dilakukan dengan membandingkan berbagai model pemahaman dan keyakinan secara analitis dan obyektif. 4) Transformatif : Transendentif Pendidikan Agama harus mampu menanamkan nilai-nilai ketuhanan universal dalam konteks yang berbeda-beda, dan menekankan pada pembentukan karakter. Sejalan dengan itu, Pendidikan agama harus dapat menyuburkan spiritualitas. Pembelajaran agama yang transformatif menuntut pemahaman tentang prinsip distingsi intensional instrumental dalam pembacaan al-Qur’an. 5) Historis Pendidikan Agama diharapkan mampu memilah ajaran-ajaran agama yang sakral dan profan, memahamkan teks-teks agama sebagai produk dan produser budaya. Pendidikan Agama juga dihapakan dapat menempatkan keragaman pemahaman dan keyakinan agama dalam konteks psiko-sosio historisnya masing-masing (Andy Hadiyanto, Presentasi seminar). Secara umum para informan LDK beranggapan bahwa nilai-nilai utama Islam yang perlu diarusutamakan untuk mencegah menguatnya radikalisme adalah: toleransi, ilmu, dan tauhid. Tauhid sebagai ajaran pengesaan Allah menyaran pada keyakinan bahwa hanya Allah sajalah yang tunggal, dan segala sesuatu selain Dia pasti beragam (plural/ bhineka). Kesadaran tauhid ini mendorong penganut agama untuk tidak egois dan arogan dalam beragama, serta meyakini bahwa kebenaran manusia selalu relatif. Islam menghendaki umatnya agar menjadi pembelajar abadi (min al-mahdi ila al-lahd). Banyak ayat dalam al-Qur’an yang mendorong umat agar berpikir, dengan menggunakan terma-terma seperti: tafakkur, aql, tadabur, nazhr, I’tibar, qira’ah, tilawah, dan sebagainya. Melalui aktifitas menelaah dan mengkaji umat diharapkan dapat menggali wacana yang luas tentang spektrum kebenaran. Dengan keinsafan tentang luasnya spektrum kebenaran, maka seseorang akan bersikap terbuka dan fleksibel. LDK UNJ belum memiliki perhatian terhadap program deradikalisasi dan pencairan fundamentalisme agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa LDK masih terpengaruh oleh fundamentaslime dalam tingkat-tingkat tertentu. Berikut indikator-indikator yang menunjukkan adanya fundamentalisme yang ditengarai dapat memperkuat radikalisme dalam tubuh LDK UNJ, yaitu:
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
1) Model pengajian yang theocentris, lebih mengarah pada bagaimana melihat fenomena sosial budaya dari kacamata Tuhan, dengan selalu menyandarkan semua argumen pada teks-teks agama. Pendekatan teosentris biasanya tercermin pada nalar bayani, yaitu nalar teks. Kajian-kajian yang menggunakan nalar jenis ini lebih banyak terfokus pada kajian yang bernuansa teologis dan fiqih. 2) Doktrinisasi dan dogmatis dalam penyampaian materi keagamaan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah yang menyajikan hal-hal sederhana secara rumit dan kompleks, pendekatan doktrin menyampaikan hal-hal yang rumit secara sederhana dengan harapan mudah dilakukan dan diamalkan. Kegiatan-kegiatan yang diprogram LDK lebih banyak yang bersifat praktis aplikatif, sehingga menghadirkan pembicara yang secara persuasif langsung dapat mengarahkan audiens untuk mengikuti pesan yang disampaikannya. 3) Kajian-kajian yang dilakukan oleh LDK lebih bersifat monoperspektif, karena yang diundang sebagai pembicara mayoritas adalah para ustaz yang memiliki latar belakang ideologis yang relatif sama. Pemahaman yang monoperspektif membuat cakrawala pandang aktifis LDK cenderung tertutup dan sulit menerima perspektif yang berbeda. Hal itu ditengarai dengan kecendrungan mereka untuk mudah menyalahkan orang yang dianggap tidak sejalan dengan mereka. 4) Formalistik Normatif, keberagamaan yang dikembangkan melalui kegiatankegiatan LDK lebih mengarah pada pencitraan muslim kaafah. Muslim kaafah dalam pandangan mereka adalah individu yang menampilkan atribut-atribut keislaman yang direduksi dalam jilbab lebar, baju koko, jenggot, dan sejenisnya. 5) Kecendrungan untuk memperlakukan doktrin islam secara a-historis, Islam dianggap sebagai ajaran yang turun di ruang hampa sejarah. Konsekwensi dari pemahaman ini, semua yang ada dalam al-Qur’an dan hadis secara tekstual harus diimplementasikan dan dipraktekkan dalam keseharian. Dampak dari pemahaman seperti ini adalah kecenderungan untuk menerima model keberagamaan yang diklaim paling murni, yaitu seperti apa yang dieskpresikan oleh muslim di tanah aslinya di Arab. Dengan karakteristik di atas, sangat sulit untuk mengandalkan LDK UNJ sebagai pioner untuk mencegah berkembangnya radikalisme agama. LDK pun belum dapat dijadikan andalan untuk melakukan program deradikalisasi, karena di dalam dirinya masih ada unsur-unsur fundamentalisme. Untuk itu LDK harus melakukan evaluasi diri untuk merekonstruksi basis ontologi, epsitemologi, dan aksiologi gerakan dakwah mereka. Cara beragama orang-orang fundamental sendiri cenderung menghasilkan penyakit kejiwaan, bukan agama-nya yang menyebabkan gangguan kejiwaan, melainkan cara beragamanyalah yang menyebabkannya. Maka di sini perlu disadari oleh LDK bahwa cara beragama fundamental cenderung menghasilkan sikap serta tindakan yang menjurus kepada radikal.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
1) Radikalisme dalam pandangan aktifis LDK adalah pemahaman agama yang ekstrim, eksklusif, dan mengklaim sebagai kebenaran satu-satunya. Pemahaman radikal ini seringkali dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkis yang merugikan, memaksakan kehendak, bahkan terkadang menjustifikasi tindakan-tindakan teror. 2) Radikalisme Islam adalah bentuk ekstrim dari Islam fundamentalis, politis, revivalis, dan ideologis. Para aktifis LDK yang menjadi informan dalam penelitian ini belum secara rigid memisahkan antara terma-terma di atas. Di sisi lain, nampak bahwa pandangan mereka menunjukkan adanya tren keterbukaan di LDK UNJ, sehingga para informan sebagai aktifis LDK UNJ sadar benar tentang pentingnya menerima perbedaan dan keterbukaan terhadap liyan. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang mengalami dinamika seiring dengan dinamika kehidupan poilitik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka pernyataan para informan mengindikasikan adanya transformasi ideologis di LDK UNJ, dari sebuah organisasi yang sangat eksklusif dan ideologis, menjadi organisasi yang inklusif dan moderat. 3) Secara umum para informan LDK beranggapan bahwa nilai-nilai utama Islam yang perlu diarusutamakan untuk mencegah menguatnya radikalisme adalah: toleransi, ilmu, dan tauhid. Tauhid sebagai ajaran pengesaan Allah menyaran pada keyakinan bahwa hanya Allah sajalah yang tunggal, dan segala sesuatu selain Dia pasti beragam (plural/ bhineka). Kesadaran tauhid ini mendorong penganut agama untuk tidak egois dan arogan dalam beragama, serta meyakini bahwa kebenaran manusia selalu relatif. 4) Islam menghendaki umatnya agar menjadi pembelajar abadi (min al-mahdi ila allahd). Banyak ayat dalam al-Qur’an yang mendorong umat agar berpikir, dengan menggunakan terma-terma seperti: tafakkur, aql, tadabur, nazhr, I’tibar, qira’ah, tilawah, dan sebagainya. Melalui aktifitas menelaah dan mengkaji umat diharapkan dapat menggali wacana yang luas tentang spektrum kebenaran. Dengan keinsafan tentang luasnya spektrum kebenaran, maka seseorang akan bersikap terbuka dan fleksibel. 2. 1)
2)
3)
4)
Saran Bertolak dari hasil penelitian dapat disarankan hal-hal berikut: Bagi Pengurus LDK UNJ: penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan melakukan evaluasi diri dan reformulasi basis ontologis, aksiologis, dan aksiologis gerakan dakwah mereka. Bagi Pimpinan UNJ: penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan pengembangan model pembinaan kehidupan beragama, dalam upaya untuk mencairkan fundamentalisme dan radikalisme di kampus UNJ. Bagi pemerintah: penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan pengembangan program pembinaan kehidupan beragama di kampus-kampus negeri dan swasta, sehingga tercipta pemahaman Islam yang moderat dan compatible dengan nilainilai keindonesiaan. Bagi peneliti selanjutnya: keterbatasan penelitian ini, karena hanya mengeksplorasi dan mengelaborasi hasil wawancara dengan informan, dan belum dilakukan FGD
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
yang mendalam, dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk membongkar sisi idiologis LDK UNJ. Penelitian ini juga dapat ditindaklanjuti dengan penelitian tentang pengembangan model pembinaan LDK di UNJ.
DAFTAR PUSTAKA A’la, Abd. Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan.Yogyakarta: LkiS, 2014 Abdirian Syaputra, Abdirian. Lembaga Dakwah kampus, Antara Tarbiyah dan Kepentingan Politik Asing Akyol, Mustafa. Islam tanpa Ekstrimisme. Jakarta: Alex Media Komputindo, 2014 Assyaukani, Luthfie. Islam Benar Versus Islam Salah. Depok: Katakita, 2007 Dawisha, Adeed. The Arabic Radical. Cambridge University Press Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999 FORIS UNJ. Buku Pintar Belajar di Universitas Negeri Jakarta 2010. Jakarta: LDK UNJ, 2010 Hadiyanto, Andy. Wacana Islam Aliran dalam Menghadapi Modernisasi, Presentasi pada Seminar Sehari PK PMII UNJ “Islam Indonesia: ‘Antara Agama dan Kebudayaan’ Masjid Nuurul Irfaan UNJ, Kamis 29 Juni 2006 Haniff Hassan, Muhammad. Pray to Kill. Jakarta: Grafindo, 2006 Hasan, Hamka. Belajar Deradikalisasi dari Timur Tengah, dalam Najih Ibrahim Abdullah, Membela Islam dengan Benar. Jakarta: BNPT, 2013 Hendropriyono, A.M. Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Kompas, 2009 Jurnal Harmoni, volume x, nomor 2, April-Juni 2011 Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana. Jakarta: Mizan, 2013 Kontraz. NII Masuk Kampus .Jakarta: Kontraz, 2011 MAARIF, Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Vol 8, No, 1. Juli 2013 Maarif, Syafii, Ahmad Islam and the Challenge of Managing Globalisation, paper presented at Trilateral Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran. Bandung: Mizan, 2011 Mbai, Ansyaad. Dinamika Baru Jejaring Teror Di Indonesia. Jakarta: Asproduction Indonesia, 2014 Muhaimin. Urgensi Pendidikan Islam Multikultural untuk Menciptakan Toleransi dan Perdamaian di Indonesia, Munir Mulkhan, Abdul dan Bilveer Singkh. Teror dan Demokrasi dalam I’dad dan Jihad Yogyakarta: Metro Episteme, 2013 Nafi’, Basyir Musa. Al-Islamiyun. Doha: Aljazeera Center for Studies, 2010 Nashir, Haedar. Islam Syariat. Jakarta: Mizan, 2013 Nasution, Harun Theologi Islam, (Jakarta, UII press, 1992) Rofiq, Aunur. Tafsir Resolusi Konflik. Malang: UIN Maliki Press, 2012 Sabirin, Rahimi. Islam & Radikalisme. Jakarta, Ar Rasyid: 2004 Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci. Jakarta: Gramedia, 2013
“ العاطفة من مركز الدراسات االسالميةPassion of the Islamic Studies Center” JPI_Rabbani
Surahman, Cucu. Renungan Bagi Aktivis Dakwah Kampus. Jakarta: Kompas Gramedia, PT Elex Taher, Tarmizi Anatomi Radikalisme Keagamaan Dalam Sejarah Islam, dalam Bahtiar Effendy Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN Tim Pembantu Rektor III UNJ. Profil Organisasi Kemahasiswaan Universitas Negeri Jakarta. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2007 Tim Penulis. Diary Perdamaian: Mengenal, Mewaspadai, dan Mencegah Terorisme di Kalangan Generasi Muda. Jakarta: BNPT, 2014 Tormey, Simon, International Enyclopedia of Social Sciences U. Maman Kh, M.Si, et.al, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: Rajawali