OKTOBER 2013
Laporan Nusantara
VOLUME 8 NOMOR 3
|1
I. Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Regional
4
II. Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
10
IIII. Perekonomian Kawasan Jawa
16
IV. Perekonomian Kawasan Jakarta
24
V. Perekonomian Kawasan Sumatera
34
VI. Isu Strategis: Membangun Struktur Produksi yang Kokoh di Nusantara Menuju Negara Maju
42
Boks 1. Fenomena Offshoring Produksi Barang Kompleks dalam Rantai Nilai Global dan Implikasinya pada Necara Perdagangan
Lampiran I – Pertumbuhan Ekonomi Daerah Lampiran II – Inflasi Daerah Lampiran III – Profil Struktur Perekonomian Wilayah
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818161, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara |2
Di dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek perekonomian termasuk berbagai dinamika ekonomi dalam perspektif kewilayahan. Pembahasan menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Perwakilan Bank Indonesia seluruh Indonesia. Hasil dari pembahasan dimaksud menjadi bagian penting yang melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang. Secara umum, perkembangan berbagai indikator makro ekonomi di daerah cenderung melambat pada triwulan III 2013. Perkembangan ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian yang tinggi menyebabkan perbaikan ekspor di daerah relatif terbatas di tengah indikator konsumsi domestik dan investasi yang diperkirakan cenderung melemah. Sementara itu, perkembangan tekanan inflasi pada akhir triwulan III 2013 mulai mereda setelah pada dua bulan pertama triwulan laporan meningkat cukup tinggi terkait dampak kenaikan BBM bersubsidi dan tekanan inflasi pangan. Upaya untuk membawa inflasi kembali ke arah sasarannya akan terus dilakukan melalui koordinasi yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Buku Laporan Nusantara ini menguraikan secara lengkap asesmen kondisi terkini dan prospek perekonomian daerah. Dalam publikasi Laporan Nusantara edisi kali ini juga diuraikan pembahasan yang lebih mendalam terkait aspek struktural dalam mendorong pembangunan struktur produksi yang lebih kokoh di daerah. Penyusunan buku ini dilakukan secara berkolaborasi antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Kantor Perwakilan Wilayah II, Kantor Perwakilan Wilayah VI, dan Kantor Perwakilan Wilayah VIII. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia di dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 8 Oktober 2013 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Dody Budi Waluyo Direktur Eksekutif
Laporan Nusantara|3
Bagian I
Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Regional Berbagai indikator ekonomi daerah pada triwulan III 2013 secara agregat cenderung melambat. Indikasi perbaikan ekspor yang mulai terlihat di sebagian besar daerah tertahan oleh masih relatif rendahnya harga komoditas di pasar global sehingga diperkirakan belum dapat mengimbangi perlambatan yang terjadi pada konsumsi rumah tangga dan investasi. Melambatnya pertumbuhan ekonomi diprakirakan terjadi terutama di sebagian besar daerah di Sumatera dan Jakarta, sedangkan Jawa dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) terindikasi dapat tumbuh sedikit meningkat. Sementara itu, inflasi di seluruh daerah tercatat lebih tinggi pada triwulan laporan sebagai dampak dari kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Juni 2013 dan terjadinya gangguan pasokan pangan. Meskipun demikian, tekanan inflasi mulai mereda pada akhir triwulan laporan seiring dengan mulai teratasinya kendala pasokan pangan, terutama untuk komoditas bawang merah dan cabai, serta adanya tambahan pasokan impor daging. Pada akhir triwulan, tekanan inflasi pangan yang lebih rendah bahkan terjadi di beberapa daerah di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara karena disertai koreksi harga yang dalam pada komoditas ikan segar.
Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah hingga kuartal ketiga tahun 2013 secara agregat cenderung mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat. Kondisi ini tidak terlepas dari dinamika perekonomian global yang masih dibayangi ketidakpastian yang tinggi sehingga menyebabkan lambatnya tempo perbaikan pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia, serta turut memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah sepanjang triwulan laporan. Indikasi perbaikan ekspor yang mulai terlihat di sebagian besar daerah tertahan oleh masih relatif rendahnya harga komoditas di pasar global sehingga diperkirakan belum dapat mengimbangi konsumsi rumah tangga dan investasi yang diperkirakan tumbuh melambat. Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Triwulan III 2013*)
*) Angka Estimasi Pertumbuhan PDRB bersumber dari Kantor Perwakilan BI di masing-masing daerah **)Rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 2010 – 2013 = 6,3%
Laporan Nusantara|4
Melambatnya pertumbuhan ekonomi diprakirakan terutama terjadi di sebagian besar daerah di Sumatera dan Jakarta. Hal ini terindikasi pada berbagai indikator terkait konsumsi rumah tangga yang cenderung melemah seperti nilai tukar petani, impor barang konsumsi dan kredit konsumsi. Masih terbatasnya perbaikan harga komoditas hasil-hasil perkebunan dan tingginya kenaikan inflasi pangan diperkirakan berdampak pada melambatnya konsumsi domestik. Peningkatan kinerja ekspor yang mulai terlihat di berbagai daerah di Sumatera tertahan oleh terbatasnya perbaikan harga komoditas di pasar global (Grafik I.1 dan Grafik I.2). Di samping itu, produksi hasil perkebunan juga terindikasi tumbuh lebih rendah karena pengaruh iklim dan minimalnya insentif harga jual. Sementara itu, perekonomian Jakarta menghadapi tekanan dari melemahnya kinerja investasi terkait mulai meningkatnya suku bunga pinjaman dan depresiasi nilai tukar rupiah. Grafik I.1. Pertumbuhan Volume Ekspor Kawasan
Grafik I.2. Kontribusi Pertumbuhan Nilai Ekspor Kawasan
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jawa dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) terindikasi sedikit meningkat yang terutama didukung oleh perbaikan kinerja ekspor dan masih relatif stabilnya konsumsi domestik. Membaiknya kinerja ekspor terjadi di sebagian besar daerah di Jawa seperti Jawa Barat dan Jawa Timur yang merupakan daerah basis ekspor manufaktur. Demikian halnya dengan kinerja ekspor KTI yang cenderung meningkat pada triwulan laporan, terutama untuk barang tambang seperti nikel, batu bara, dan tembaga, di tengah masih terbatasnya perbaikan harga di pasar global. Di samping itu, kembali normalnya aktivitas produksi tambang tembaga di Papua setelah sempat terhenti selama beberapa waktu turut berkontribusi pada membaiknya pertumbuhan ekonomi di KTI. Namun, laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di Jawa tertahan oleh perkembangan kinerja investasi yang diperkirakan masih cenderung lemah. Secara keseluruhan, konsumsi pemerintah diperkirakan mengalami peningkatan di berbagai daerah seiring dengan penyaluran gaji ke-13 yang baru terealisasi pada awal triwulan III 2013 dan adanya upaya percepatan realisasi penyelesaian proyek infrastruktur. Rilis Kementerian Keuangan memprakirakan pengeluaran belanja APBD secara agregat hingga Agustus 2013 mencapai Rp358,6 triliun atau 50,6% dari total APBD1.
1
Publikasi Estimasi Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Agustus 2013, Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah, Kementerian Keuangan
Laporan Nusantara|5
Pembiayaan Perbankan Masih cukup kuatnya pertumbuhan ekonomi di sebagian daerah tersebut tidak terlepas dari dukungan penyaluran kredit perbankan yang diperkirakan masih relatif stabil hingga akhir triwulan III 2013. Pertumbuhan penyaluran kredit pada triwulan laporan berada pada kisaran 15,7% dan 23,4% (Grafik I.3). Masih relatif stabilnya penyaluran kredit di Jawa, KTI, dan Sumatera terutama ditopang oleh masih cukup kuatnya pertumbuhan penyaluran kredit modal kerja dan konsumsi. Menguatnya penyaluran kredit untuk modal kerja bahkan dapat mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perbankan di Jakarta sehingga secara umum cenderung meningkat selama triwulan laporan. Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) perbankan cenderung tumbuh meningkat di berbagai daerah sejalan dengan indikasi peningkatan suku bunga simpanan, khususnya pada suku bunga deposito (Grafik I.4). Grafik I.3. Perkembangan Kredit Lokasi Proyek 50
Grafik I.4. Perkembangan Dana Pihak Ketiga 30
% yoy
45
Sumatera
Jakarta
40
Jawa
KTI
35
% yoy
25 20
30
25
15
20
10
15 10
5
5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
2013
Sumatera
Jakarta
Jawa
KTI
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
2013
Pertumbuhan kredit UMKM secara nasional hingga triwulan laporan tumbuh lebih tinggi dibanding posisi Juni 2013. Kenaikan pertumbuhan kredit UMKM terutama dikontribusi dari pertumbuhan penyaluran kredit UMKM di Jawa, diikuti KTI dan Sumatera. Sementara itu, kontribusi penyaluran kredit UMKM di Jakarta justru cenderung tumbuh melambat. Hingga periode Agustus 2013, pangsa penyaluran kredit UMKM terhadap total kredit berada di kisaran 20% dan diharapkan sejalan dengan target pangsa penyaluran kredit UMKM sampai dengan akhir tahun 2013 sebesar 20%. Dalam kaitan ini, berbagai langkah telah didorong oleh Bank Indonesia untuk terus mendorong aksesibilitas masyarakat terhadap perbankan. Grafik I.5. Kontribusi Pertumbuhan Kredit UMKM 15
Grafik I.6. Pangsa Kredit UMKM Triwulan III 2013
%,yoy
10 5 0 (5)
Sumatera
DKI Jakarta
Jawa
KTI
(10) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011
2012
2013
Ket: Data s.d. Agustus 2013
Laporan Nusantara|6
Inflasi Daerah Inflasi pada triwulan III 2013 di semua wilayah tercatat lebih tinggi dibanding periode akhir triwulan sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari dampak kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Juni 2013. Di samping itu, tekanan kenaikan inflasi juga dipengaruhi oleh terjadinya gangguan pasokan bahan pangan – terutama bawang merah, cabai, daging ayam, daging sapi – di tengah meningkatnya permintaan menjelang perayaan hari raya Idul Fitri. Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat yang merupakan penyangga Jakarta seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi tercatat mengalami lonjakan kenaikan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya pada bulan pertama setelah implementasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Tekanan pelemahan nilai tukar rupiah sejak Juli 2013 juga turut meningkatkan harga berbagai barang. Tekanan inflasi mulai mereda pada akhir triwulan laporan seiring dengan membaiknya pasokan pangan, terutama bawang merah dan cabai, serta adanya tambahan pasokan impor daging. Beberapa daerah di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara pada September 2013 bahkan secara bulanan dapat mencatat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lainnya karena koreksi harga yang dalam juga terjadi untuk komoditas ikan segar. Meski demikian, terdapat beberapa daerah yang masih mencatat inflasi hingga di kisaran 10%, antara lain Sumatera Barat, Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Timur, dan Banten. Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah (%,yoy) – September 2013
Inf > 8,50% 8,00% < inf ≤ 8,50% 6,80% < inf ≤ 8,00% Inf ≤ 6,80%
Prospek Perekonomian Daerah Prospek pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah pada triwulan IV 2013 secara agregat diprakirakan akan kembali melambat dibandingkan dengan triwulan III 2013. Pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat disertai tingginya ketidakpastian ekonomi global masih akan membayangi prospek pertumbuhan ekonomi daerah. Perlambatan ekonomi diprakirakan terjadi di Kawasan Jawa dan KTI. Di Kawasan Jawa, perlambatan disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat dan investasi yang menurun. Sementara itu, melambatnya pertumbuhan ekonomi di KTI pada triwulan mendatang dipengaruhi oleh kinerja investasi yang terhambat oleh belum adanya perbaikan harga komoditas yang berarti dan terbatasnya pemulihan ekspor. Hingga akhir 2013, perkembangan neraca perdagangan luar negeri di daerah, terutama Jawa dan Jakarta, secara keseluruhan diperkirakan mencatat defisit neraca perdagangan luar negeri yang lebih besar dibandingkan dengan periode tahun 2012. Hal ini terjadi seiring dengan terbatasnya Laporan Nusantara|7
pemulihan kinerja ekspor dan masih cukup besarnya kebutuhan impor. Ke depan, tekanan neraca perdagangan di daerah perlu diatasi melalui kebijakan struktural yang diarahkan untuk memperkuat kapabilitas sektor industri sehingga mampu mengimbangi kebutuhan domestik yang semakin kompleks. Kebijakan penguatan tersebut merupakan prasyarat bagi kesinambungan migrasi Indonesia menuju ke negara maju. Dampak kebijakan pada basis penciptaan pendapatan per kapita dapat lebih optimal jika diiringi pula dengan kebijakan yang mendorong Nusantara sebagai salah satu lokasi utama dalam pembuatan barang jadi dan komponennya yang bersifat kompleks di sepanjang rantai nilai global. Dari sisi inflasi, tekanan inflasi yang mereda pasca penyesuaian terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi masih juga dibayangi beberapa risiko yang dapat memengaruhi perkembangan hargaharga umum di daerah pada triwulan mendatang. Pengaruh dari depresiasi nilai tukar rupiah terhadap harga-harga umum menjadi salah satu faktor risiko yang cukup besar dan dapat membawa tekanan inflasi kembali meningkat. Risiko tekanan inflasi juga berasal dari komoditas pangan yang harganya mudah bergejolak (volatile food), antara lain terkait dengan masa paceklik di berbagai daerah sentra produksi padi dan baru akan kembali memasuki masa panen pada awal tahun 2014, serta tekanan permintaan pada komoditas daging seiring dengan perayaan hari raya Idul Adha dan akhir tahun. Di samping itu, implementasi kenaikan tarif listrik tahap keempat yang akan berlaku pada Oktober 2013, kemungkinan terjadinya kenaikan harga LPG 12 Kg, serta kenaikan tarif angkutan udara seiring dengan siklus akhir tahun (peak season) merupakan risiko yang perlu diwaspadai dampaknya pada kenaikan inflasi umum. Menghadapi masih besarnya risiko kenaikan inflasi, Bank Indonesia dan Pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah terus memperkuat koordinasi dalam upaya pengendalian inflasi khususnya melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di berbagai daerah. Dalam jangka pendek, TPID perlu diarahkan untuk secara intensif mengatasi beberapa hal utama, yakni menurunkan inflasi pangan (volatile food) yang saat ini berada di kisaran 14% (yoy), meredam dampak depresiasi nilai tukar rupiah terhadap kenaikan harga-harga umum, serta menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi pasokan pangan.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan Kepala-Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah di seluruh Indonesia pada 3 Oktober 2013 di Jakarta. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia
Laporan Nusantara|8
Bagian II
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh di kisaran 5,1%-5,5%, terutama didorong oleh daerah-daerah yang merupakan basis produksi tambang, seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Perbaikan ekonomi tersebut didorong oleh kinerja ekspor yang membaik dan konsumsi yang masih cukup kuat. Di samping itu, selama triwulan laporan aktivitas produksi tambang kembali meningkat setelah sempat terkendala pada triwulan II 2013. Sementara itu, inflasi pada triwulan laporan meningkat tinggi sebagai dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi dan terbatasnya pasokan pangan. Tingginya permintaan di tengah terbatasnya pasokan dan cuaca ekstrem yang menghambat produksi dan distribusi di berbagai provinsi di KTI mendorong kenaikan tekanan inflasi. Namun, tekanan inflasi pada akhir triwulan III 2013 mulai mereda seiring mulai lancarnya pasokan komoditas pangan dan mulai menurunnya dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga diprakirakan masih tumbuh cukup kuat pada triwulan III 2013, sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.1). Meningkatnya konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pembayaran tunjangan hari raya (THR), realisasi penyaluran gaji ke-13 bagi PNS, masuknya tahun ajaran baru dan perayaan hari besar keagamaan. Selain itu, masih kuatnya konsumsi juga dipengaruhi oleh meningkatnya penyelenggaraan meeting, incentive, conference, exhibition (MICE) berskala besar di berbagai daerah di KTI seperti APEC dan Miss World 2013 di Bali, Sail Komodo di NTT, Festival Derawan di Kalimantan Timur, serta DarwinAmbon Yacht Race di Maluku. Di samping itu, meningkatnya konsumsi rumah tangga terindikasi dari penyaluran kredit konsumsi yang masih cukup kuat disertai melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan. (Grafik II.2). Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah di KTI pada triwulan III 2013 diprakirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut dipengaruhi antara lain oleh penyerapan belanja APBD yang lebih tinggi menjelang akhir tahun sesuai dengan pola tahunannya. Kenaikan belanja pemerintah juga dipengaruhi oleh penyelenggaraan MICE dengan sumber dana dari fiskal daerah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, yang diperkirakan dapat memengaruhi konsumsi pemerintah pada triwulan laporan. Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, hingga periode Agustus 2013, beberapa daerah di KTI seperti Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Utara mencatat realisasi penyerapan APBD yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Laporan Nusantara|9
Grafik II.1. Pertumbuhan Konsumsi KTI 8.0
Grafik II.2. Pertumbuhan Tabungan dan Deposiito 30
% yoy Konsumsi Rumah Tangga
7.5
Konsumsi
% (yoy)
Deposito
25
7.0
20
6.5
15
6.0
10
5.5
5
Tabungan
-
5.0
I
II
III
IV
2011
I
II
III 2012
IV
I
II
IIIp 2013
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III*
2013
Ket: P proyeksi Bank Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Investasi Investasi di KTI diprakirakan tumbuh sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya kegiatan investasi ini bersumber dari masih berlangsungnya pembangunan proyek-proyek berskala besar di berbagai daerah baik yang bersifat multiyears maupun yang dimulai pada triwulan laporan. Beberapa pembangunan infrastruktur yang dilakukan antara lain penyelesaian infrastruktur pendukung terkait persiapan penyelenggaraan APEC di Bali, jalan layang di Banjarmasin, dan pembangkit listrik (PLTU) Donggi Senoro di Sulawesi Tengah. Selain itu, terdapat beberapa proyek investasi swasta yang direalisasikan selama triwulan laporan, terutama investasi terkait pertambangan dan industri pengolahan seperti pembangunan smelter tambang di Sulawesi Tengah, penambahan pabrik Pupuk Kaltim, pabrik alumina di Kalimantan Barat, industri garam di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bosowa Energi di Sulawesi Selatan. Peningkatan investasi ini juga terindikasi dari penyaluran kredit investasi di KTI yang pada Agustus 2013 yang masih cukup tinggi yakni mencapai 38,2% (yoy) walaupun cenderung melambat dibandingkan dengan periode akhir triwulan sebelumnya (Grafik II.3).
Permintaan Ekspor Kinerja ekspor KTI diperkirakan cenderung meningkat pada triwulan III 2013 terutama didorong oleh ekspor barang hasil tambang (Grafik II.4). Peningkatan ekspor barang tambang, terutama batubara, dipengaruhi oleh adanya kenaikan permintaan dari China dan India. Hal ini terindikasi dari volume stok batubara di Pelabuhan Transit Taboneo, Kalimantan Selatan, (Grafik II.5) yang menunjukkan berkurangnya penumpukan batubara yang sempat terjadi pada beberapa bulan sebelumnya dan secara bertahap telah diserap oleh pasar mancanegara. Di samping itu, hasil liaison kepada beberapa perusahaan tambang besar mengindikasikan adanya upaya perluasan pasar atau ekspansi negara tujuan ekspor batu bara ke ASEAN dan Indo-China, seperti pasar Filipina dan Vietnam, yang diperkirakan turut mendukung peningkatan ekspor batubara. Komoditas utama ekspor di KTI lainnya, yaitu nikel dan tembaga, juga tumbuh meningkat pada triwulan III 2013. Hal ini antara lain didukung oleh kembali normalnya aktivitas produksi tembaga di Papua setelah sempat terhenti selama beberapa waktu pada triwulan II 2013 dan berakhirnya proses pemeliharaan pabrik pengolahan feronikel di Sulawesi Tenggara (Grafik II.6).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
Grafik II.3. Penyaluran Kredit Investasi – KTI 160,000
Kredit Investasi
Miliar Rp
60
% yoy
gKredit Investasi (rhs)
140,000
Grafik II.4. Ekspor Pertambangan KTI
50
3,500
Ekspor Pertambangan
Juta USD
% yoy
gEkspor Pertambangan (rhs)
3,000
30
120,000
40
100,000 80,000
30
2,500
10
2,000
0 (10)
20
1,000
40,000 10
20,000 0 II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
(40)
1
III*
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 1
2
3
2012
2013
Stok Batubara di Pelabuhan Transit Taboneo
4
5
6
7
2013
Grafik II.6. Produksi Konsentrat Tembaga
% yoy
120
gStok Batubara di Pelabuhan Transit Taboneo (rhs)
7
(30)
0
Grafik II.5. Stok Batubara Taboneo Juta ton
(20)
500
I
8
2,375 20
1,500
60,000
40
300
Produksi Konsentrat Tembaga
Juta Pounds
% yoy
250
gProduksi Konsentrat Tembaga (rhs)
100
200
250 6
80
5
60
4
40
150
3
20
100
2
0
1
(20)
150
200
100 50
0
(40) 2012
-50
0
-100 I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011
0
50
II
2013
III
IV
I
II
2011
Sumber: KSOP Banjarmasin
III
IV
I
II
2012
III*
2013
Sumber: Data perusahaan, diolah
Sektor Pertambangan Sektor pertambangan pada triwulan III 2013 tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Produksi batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh meningkat di tengah masih relatif rendahnya harga batubara di pasar global (Grafik II.7). Hal ini diperkirakan terkait dengan pemenuhan kontrak jangka panjang dengan negara mitra dagang. Meski demikian, perkembangan terakhir mengindikasikan risiko terkait adanya upaya renegosiasi kontrak oleh India karena melemahnya nilai tukar rupee dan pemberlakuan bea masuk impor batu bara lignite oleh China pada akhir Agustus 2013. Grafik II.7. Indeks Produksi Batubara Indeks
Produksi Batubara
gProduksi Batubara (rhs)
Grafik II.8. Produksi Biji Nikel % yoy
240
25
220
20
200 180
15
Produksi Biji Nikel
Ribu Ton
gProduksi Biji Nikel (rhs)
% yoy
1,400
100
1,200
80
1,000
60
800
160 140 120
100
40
10
600
5
400
20 0
200
80
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7
2011
2012
Sumber: Data Perusahaan, diolah
2013
0
(20) I
II
III
IV
2011
I
II
III
2012
IV
I
II
IIIP
2013
Ket: P angka proyeksi Sumber: Data Perusahaan, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
Kembali pulihnya aktivitas tambang dan optimalisasi produksi tambang menjelang diberlakukannya UU Minerba pada tahun 2014 turut mendorong peningkatan produksi tambang. Aktivitas tambang tembaga di Papua yang sempat terhenti selama beberapa waktu pada triwulan sebelumnya, telah kembali normal. Demikian pula dengan aktivitas tambang nikel (Grafik II.9) dan hasil olahannya yaitu feronikel di Sulawesi kembali meningkat. Di samping itu, meningkatnya kinerja produksi tambang turut dipengaruhi oleh adanya relaksasi kebijakan ekspor mineral sebagai bagian dari Paket Kebijakan Pemerintah sampai dengan akhir tahun 2013.
Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan diprakirakan akan kembali tumbuh positif setelah triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan yang cukup besar. Peningkatan tersebut didorong oleh kembali meningkatnya kinerja produksi LNG di Papua Barat dan diperkirakan tumbuh membaik meskipun masih mengalami pertumbuhan negatif sebagai dampak keterbatasan pasokan gas (feeding gas) yang merupakan bahan baku utama produksi LNG. Membaiknya kinerja industri pengolahan LNG ditunjukkan oleh membaiknya target pengapalan LNG di triwulan III 2013 yang mencapai 44 cargo (Grafik II.9). Peningkatan di sektor ini juga didorong oleh peningkatan produksi kilang minyak seiring terealisasinya investasi beberapa peralatan produksi. Selain itu, industri pengolahan makanan juga diproyeksikan dapat tumbuh menguat pada triwulan laporan. Hal ini tercermin dari tingkat produksi tepung terigu dari produsen utama di Sulawesi Selatan yang menunjukkan peningkatan seiring permintaan yang meningkat dalam menghadapi masa puasa dan hari raya Idul Fitri sejak Juli 2013 (Grafik II.10). Grafik II.10. Produksi Terigu
Grafik II.9. Target Produksi Pengilangan LNG Target Pengapalan LNG
80
gTarget Pengapalan LNG (rhs) % yoy
Cargo
Produksi Terigu
Ribu Ton
0
gProduksi Terigu (rhs)
% yoy
200,000
25 20 15 10 5 0 (5) (10) (15) (20) (25)
180,000
70
(5)
160,000
60
140,000
(10)
50 40
120,000 100,000
(15)
80,000
30
(20)
60,000
20
40,000
(25)
10 0
20,000 0
(30) I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
Ket: P proyeksi
IV
I
II
I
III*
II
III 2011
2013
IV
I
II
III 2012
IV
I
II
IIIP
2013
Sumber: Data perusahaan, diolah
Sumber: Data perusahaan, diolah
Perdagangan, Hotel dan Restoran (Pariwisata) Sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) diperkirakan tumbuh membaik pada triwulan III 2013. Peningkatan kinerja sektor PHR didorong oleh meningkatnya industri pariwisata yang tercermin dari meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal tersebut dipengaruhi oleh masuknya masa liburan sekolah serta perayaan hari besar keagamaan. Selain itu, selama triwulan laporan terdapat banyak penyelenggaraan kegiatan berskala besar seperti APEC dan Miss World 2013 di Bali, Sail Komodo di NTT, Festival Derawan di Kalimantan Timur, serta DarwinAmbon Yacht Race di Maluku pada triwulan III 2013. Data kunjungan wisatawan mancanegara di L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
beberapa pintu utama kedatangan internasional tercatat meningkat tinggi hingga 32,4% (yoy) selama periode Juli-Agustus 2013 (Grafik II.11). Di samping itu, beberapa penyelenggaraan Pilkada baik di tingkat kabupaten maupun provinsi di KTI juga diperkirakan turut mendukung kinerja sektor PHR. Grafik II.11. Kunjungan Wisatawan Mancanegara 60 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) (40) (50)
% yoy
I
II
III
KTI
Ngurah Rai
Sam Ratulangi
Makassar
IV
I
2011
II
III
IV
I
2012
II
III*
2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Pertanian Sektor pertanian pada triwulan III 2013 diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya sektor pertanian terindikasi baik pada sub sektor perkebunan maupun sub sektor tananaman bahan makanan (tabama). Indikasi melambatnya kinerja subsektor perkebunan tercermin dari penurunan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di wilayah Kalimantan (Grafik II.12) sebesar 12,58% (yoy). Penurunan ini dipengaruhi oleh kondisi tanaman sawit yang mengalami masa trek, yaitu kondisi tanaman kelapa sawit yang tidak dapat berproduksi secara optimal karena mengalami gugur bunga. Selain itu produksi kakao di Sulawesi Tengah juga terganggu akibat curah hujan yang tinggi, hama penyakit dan usia tanaman yang tidak produktif. Pada subsektor tabama, penurunan terlihat untuk produksi tabama di berbagai daerah sentra produksi di Sulawesi-Maluku-Papua karena adanya faktor cuaca (Grafik II.13). Indikasi lain terlihat dari pertumbuhan kredit ke sektor pertanian yang tumbuh melambat pada triwulan laporan (28,2%, yoy) dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya (32,5%, yoy). Grafik II.12. Produksi Sawit - Kalimantan (juta ton)
Produksi TBS Sawit
Grafik II.13. Produksi Padi - Sulampua
% yoy
G Produksi TBS Sawit (rhs)
1,600
40
1,400
30
1,200
Produksi Padi Sulampua 8.4
gProduksi Padi Sulampua (rhs) % yoy
Juta Ton
8.2
8
8.0
1,000 800
10
20
7.8
6
10
7.6
4
7.4
600
0
400 -10
200
7.2
2
7.0
0
6.8
0
-20 I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
Sumber: Dinas Perkebunan di Kalimantan, diolah
-2
6.6
6.4
-4 2009
2010
2011
2012
2013*
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
Pembiayaan Perbankan Pada triwulan III 2013, penyaluran kredit perbankan relatif tumbuh melambat. Meski melambat, kredit perbankan berada pada level yang cukup tinggi, yakni sebesar 23,1% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 25,4% (Grafik II.14). Perlambatan kredit terutama terjadi pada kredit investasi dan konsumsi, sedangkan modal kerja mengalami sedikit peningkatan. Secara sektoral, penyaluran kredit ke sektor utama masih terjaga baik untuk sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, maupun perdagangan besar dan eceran (Grafik II.15). Sementara itu, kualitas kredit yang disalurkan (non performing loans, NPL) di KTI masih terjaga pada batas aman sekitar 1,9% meskipun mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 1,8%. Penyaluran kredit UMKM masih tumbuh tinggi, dengan mayoritas kredit dikucurkan untuk skala mikro dan kecil dengan proporsi 56,3% dari penyaluran kredit UMKM. Penggunaan kredit UMKM dialokasikan untuk jenis modal kerja (71%), dengan penyaluran difokuskan untuk kegiatan perdagangan besar dan eceran (61%). Secara keseluruhan, peran intermediasi perbankan di KTI yang terindikasi dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio, LDR) masih terjaga di kisaran 118%. Grafik II.14. Penyaluran kredit KTI Kredit
600
gKredit (rhs)
% yoy
Triliun Rp
500
Grafik II.15. Kredit Sektor Ekonomi di KTI 70
% yoy
50 45
60
40
50
I-12
II-12
III-12
I-13
II-13
III-13*
IV-12
35
400
30 300
25
20 200
15
10
100
5
0
0 I
II
III 2011
IV
I
II
III 2012
IV
I
II
III* 2013
40 30 20 10
0
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Perdagangan Besar dan Eceran
Inflasi Seluruh wilayah KTI mengalami tekanan kenaikan inflasi yang cukup tajam pada triwulan III 2013 (Grafik II.16). Inflasi KTI tercatat sebesar 8,01% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (5,30% yoy). Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang memicu penyesuaian tarif transportasi dan juga memengaruhi kelompok volatile food (Grafik II.17). Di sisi lain, kuatnya tekanan eksternal terutama akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan membaliknya tren penurunan harga emas juga memberikan sumbangan pada tekanan inflasi di periode ini. Dilihat dari kelompok barang dan jasa, inflasi kelompok bahan makanan berada pada tingkat yang cukup tinggi. Subkelompok bumbu-bumbuan mengalami lonjakan harga yang paling tinggi dibandingkan dengan rata-rata inflasi selama tiga tahun terakhir, yakni mencapai sekitar 65%. Hal ini terutama disebabkan oleh kebijakan kenaikan harga BBM dan tingginya permintaan menjelang hari raya. Sementara itu, pasokan mengalami hambatan karena adanya pembatasan impor produk hortikultura dan gagal panen di beberapa daerah sentra penghasil. Tingginya inflasi bumbu-bumbuan akibat kebijakan tersebut juga menjadi perhatian pemerintah daerah dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia melalui wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
(TPID). Terdapat beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan swasembada pangan di daerah, misalnya melalui pengembangan klaster pangan di hampir seluruh daerah, pengembangan urban farming/rumah pangan Lestari (sebagian besar provinsi), desa binaan hortikultura dan pembukaan resi gudang (Gorontalo), penyediaan cold storage (Maluku), pengembangan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), serta perbaikan fasilitas infrastruktur dan sarana pendukung lainnya. Grafik II.16. Perkembangan Inflasi KTI 12
Grafik II.17. Disagregasi Inflasi KTI 20
% yoy
Inflasi IHK (yoy) Inti Volatile Food Adm Price
% yoy
Inflasi Nasional
10
15
Inflasi KTI
8
10 6
5
4
0
2 0 I
II
III
2009
IV
I
II
III
IV
2010
I
II
III
IV
I
2011
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
(5) 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Prospek Ekonomi Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan IV 2013 diprakirakan melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan dipicu oleh melemahnya kinerja beberapa sektor utama di KTI seperti industri pengolahan dan PHR. Produksi LNG di KTI untuk keseluruhan 2013 diperkirakan lebih rendah 13% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Keterbatasan pasokan dari ladang gas merupakan faktor yang menyebabkan menurunnya produksi sepanjang tahun 2013. Di samping itu, kinerja ekspor diperkirakan masih menghadapi tantangan dari terbatasnya perbaikan harga komoditas di pasar global, termasuk implikasi dari adanya upaya renegosiasi kontrak dari negara mitra dagang utama karena dalamnya depresiasi nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan tahun 2013 diprakirakan berada di kisaran 5,1%–5,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi KTI pada triwulan IV 2013 diperkirakan kembali meningkat, dipengaruhi oleh tekanan kenaikan harga pangan. Masuknya masa paceklik di sejumlah daerah sentra produksi dan mulai tingginya curah hujan diperkirakan berdampak pada kenaikan harga pangan, khususnya beras dan ikan-ikanan. Di samping itu, meningkatnya tekanan permintaan seiring perayaan hari besar keagamaan dan libur akhir tahun, serta rambatan dampak pelemahan rupiah dan kenaikan harga emas dunia diperkirakan turut mendorong peningkatan inflasi pada triwulan IV 2013. Beberapa rencana implementasi kebijakan harga seperti kenaikan harga LPG 12 Kg dan tarif tenaga listrik juga menjadi hal yang turut memengaruhi inflasi pada triwulan mendatang. Memperhatikan perkembangan inflasi hingga triwulan III 2013 dan faktor risiko ke depan, inflasi KTI pada triwulan IV 2014 diprakirakan berada pada kisaran 8,0%-8,5% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
Bagian III
Perekonomian Kawasan Jawa Perekonomian kawasan Jawa pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh sekitar 6,4%–6,7% (yoy). Pertumbuhan ekonomi pada periode ini terutama ditopang oleh perbaikan kinerja ekspor manufaktur dan masih cukup kuatnya konsumsi domestik. Di sisi lain, inflasi mengalami peningkatan yang cukup tinggi hingga mencapai 8,6% (yoy) pada akhir triwulan III 2013. Kenaikan inflasi terutama didorong oleh tekanan kelompok volatile food sebagai akibat kebijakan importasi produk hortikultura dan kuota daging sapi, struktur pasar beberapa komoditas strategis yang cenderung oligopoli, dan kurang optimalnya upaya penyelesaian permasalahan logistik khususnya di sektor pertanian.
Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga berbagai daerah di Kawasan Jawa diprakirakan masih cukup kuat sebagaimana terindikasi dari perkembangan sejumlah indikator (Grafik III.1). Berdasarkan hasil survei, Indeks Pengeluaran Konsumen saat ini di kawasan Jawa (Grafik III.2), Indeks Penjualan Eceran (Grafik III.3) dan Indeks Tendensi Konsumen (Grafik III.4) mengindikasikan pengeluaran konsumen yang masih kuat terutama untuk pengeluaran kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, dan tembakau. Hasil liaison terhadap beberapa perusahaan ritel besar dan perusahaan produsen consumer goods, personal care, dan toileteries juga mengonfirmasi penjualan ritel yang meningkat pada triwulan III 2013. Penjualan otomotif juga terindikasi mengalami kenaikan baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat. Konsumsi Pemerintah Pada triwulan III 2013, konsumsi pemerintah diperkirakan meningkat seiring dengan percepatan realisasi berbagai proyek pemerintah. Berbagai persiapan pengadaan yang telah dilakukan pada awal hingga pertengahan tahun memungkinkan pelaksanaan proyek maupun termin pembayaran telah dimulai pada triwulan III 2013. Hal ini mendukung terlaksananya akselerasi realisasi belanja pemerintah pada triwulan ini. Di samping itu, realisasi beberapa proyek pembangunan infrastruktur berskala besar diperkirakan turut mendorong adanya percepatan realisasi anggaran. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur di Jawa Barat dipercepat setelah Idul Fitri, antara lain pembangunan jalan penghubung antara Jawa Barat Selatan dan Banten Selatan. Di Jawa Timur, pemerintah pusat dan Kabupaten Pamekasan tengah menyelesaikan proyek pembangunan pelabuhan nasional di pesisir pantai utara Pamekasan yang telah dimulai sejak tahun 2006. Pembangunan pelabuhan nasional tersebut diperkirakan selesai pada akhir tahun 2013. Proyek pembangunan jalan lingkar selatan Jawa Timur juga terus dilanjutkan. Jalan tersebut akan melintasi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
Grafik III.1. Pertumbuhan Konsumsi dan
Grafik III.2. Indeks Pengeluaran Konsumsi – Jawa
Konsumsi Rumah Tangga - Jawa Konsumsi
% yoy
8
Konsumsi Rumah Tangga
190
7 5.5
6
5.6
5.9
Indeks
Indeks Pengeluaran Konsumen
185 180 175
5
170
4
3
160
2
155
169.35
166.27 161.84
165
150
1
145 0 I
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
I
III *
II
III
IV
I
II
2012
2013
III
2013
Ket: Perkiraan Bank Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.3. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil 120
% yoy
Grafik III.4. Indeks Tendensi Konsumen Jawa 114
Jawa Barat
Indeks
112.99
112
100
Jawa Tengah
80
110.06
110 108
Jawa Timur
105.76
106
60
104 102
40
100 20
98 96
0 I
II
III
IV
I
2011
II
III 2012
IV
I
II 2013
III *
94 I
II
III 2011
IV
I
II
III 2012
IV
I
II
III *
2013
Ket: Data s.d. Agustus 2013
Investasi Investasi swasta di Jawa pada triwulan III 2013 diperkirakan cenderung tumbuh melambat. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya indikasi perilaku industri yang cenderung menahan realisasi investasinya terkait perkembangan nilai tukar rupiah dan stabilitas politik menjelang Pemilu tahun 2014. Meski demikian, beberapa pelaku industri juga terpantau melakukan ekspansi usaha untuk menjaga tingkat kapasitas utilisasi sebagai antisipasi meningkatnya kembali permintaan. Indikator penyaluran kredit investasi perbankan di Jawa juga cenderung tumbuh melambat (Grafik III.5). Demikian pula halnya dengan perkembangan impor barang modal yang cenderung tumbuh melambat (Grafik III.6). Meski demikian, beberapa perusahaan di Jawa terindikasi melakukan ekspansi usaha berupa pembangunan pabrik baru. Di Jawa Bagian Barat, industri kimia membangun pabrik baru yang hasilnya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri di Jawa. Pembangunan pabrik baru dan perluasan pabrik juga dilakukan oleh beberapa industri di Jawa Bagian Timur dan Jawa Bagian Tengah, seperti industri logam, industri pupuk, dan industri makanan dan minuman, dan industri migas. Beberapa bentuk investasi yang dilakukan oleh dunia usaha ditunjukkan oleh Tabel III.1.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
Grafik III.5. Kredit Investasi Kawasan Jawa Triliun Rp
Kredit Investasi
gKredit Investasi (rhs)
Grafik III.6. Impor Barang Modal Kawasan Jawa
% yoy
1400
140
45
1200
120
40 35
100
30
60
20
400
10 5
0
0
40 20
600
20
60
800
25
40
0 (20)
200 0
(40) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 2012
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 2012
80
1000
80
15
% yoy
Juta USD
2013
Impor Barang Modal
2013
gImpor Barang Modal (rhs)
Tabel III.1. Bentuk Investasi
Sektor Pertanian Industri TPT Industri Otomotif Industri Kimia Industri Makanan dan Minuman PHR - Perdagangan Jasa Pengangkutan
Investasi Pemanfaatan lahan instansi dan teknologi (hand tractor ), pembangunan kandang ayam Peremajaan mesin, pembangunan pabrik dan toko, pembelian mesin Pembelian mesin baru yang terotomasi, pembangunan lini produksi baru, dan pabrik ban sepeda motor Peremajaan mesin, pembangunan cracker dan pabrik butadiene Peremajaan mesin dan penambahan lini produksi baru, pembangunan pabrik Pembukaan jaringan toko di daerah saat ini dan lain Perbaikan infrastruktur, penambahan armada dan jaringan kantor
Sumber: Hasil Liaison Bank Indonesia
Permintaan Ekspor Kinerja ekspor kawasan Jawa pada triwulan III 2013 diperkirakan cenderung tumbuh relatif stabil (Grafik III.7 dan Grafik III.8). Di wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar), kinerja ekspor dipengaruhi oleh melambatnya permintaan dari negara tujuan terutama Asia (Jepang, Hong Kong, Timur Tengah) untuk produk elektronik dan Eropa untuk produk ban. Ekspor kayu ke Timur Tengah pun menurun karena adanya gejolak politik di wilayah tersebut. Namun, ekspor di wilayah Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) dan Jawa Bagian Timur (Jabagtim) ke Amerika masih meningkat, sehingga diperkirakan mampu mendukung kinerja ekspor seluruh Jawa. Secara umum, dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah mulai dirasakan oleh pelaku usaha dari sisi kenaikan biaya produksi, terutama yang memiliki kandungan impor tinggi. Meski demikian, mempertimbangkan kondisi pasar yang belum stabil, produsen cenderung menekan margin usahanya daripada menaikkan harga jual produknya. Grafik III.7. Ekspor dan Impor LN Jawa USD Juta
Net Ekspor-Impor
Ekspor
6,000
Tren Ekspor
Tren Impor
Impor
Grafik III.8. Total Volume Ekspor LN Jawa 6000
Juta USD
% yoy
10
5,000
4000
4,000
5
3000
3,000
0 (5)
2000
(10)
2,000
1000
1,000
0
(15) (20)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
(1,000)
20 15
5000
2012
2013
Total Ekspor
gEkspor (rhs)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
Industri Pengolahan Kinerja industri pengolahan pada triwulan III 2013 diperkirakan masih tumbuh relatif stabil seiring dengan masih kuatnya konsumsi domestik dan adanya perbaikan kinerja ekspor. Membaiknya perkembangan industri terutama terindikasi pada industri otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT), dan elektronik. Pada industri otomotif, kenaikan penjualan mobil disertai pula dengan telah diterbitkannya aturan teknis terkait kebijakan Low Cost Green Car (LCGC). Penjualan motor juga terindikasi mulai ada perbaikan walaupun masih terbatas (Grafik III.9 dan Grafik III.10). Pada industri tekstil, kinerja ekspor TPT tumbuh lebih tinggi daripada yang diperkirakan di awal tahun (Grafik III.11). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan kenaikan ekspor TPT untuk keseluruhan tahun 2013 diperkirakan berada di kisaran 5%. Lebih baiknya perkembangan ekspor TPT ini antara lain dipengaruhi oleh adanya pengalihan permintaan TPT negara maju dari Bangladesh ke Indonesia terkait insiden runtuhnya pabrik besar di negara tersebut dan beberapa isu lainnya. Meski demikian, perkembangan industri TPT menghadapi tantangan terkait persaingan produk impor sejenis di pasar domestik. Industri hulu petrokimia mengalami peningkatan dan menjadi unggulan dalam investasi industri pengolahan. Investasi berupa pembangunan pabrik petrokimia mendorong pertumbuhan positif bagi industri ini. Paket insentif fiskal dari pemerintah dipercaya memberikan respons sentimen positif untuk penanaman investasi pada industri pengolahan domestik (Grafik III.12). Grafik III.9. Penjualan Mobil 140
unit (ribu)
Grafik III.10. Penjualan Sepeda Motor % yoy
Penjualan Mobil
130
120
950
unit (ribu)
120
80
110
850
70
% yoy
Penjualan Sepeda Motor
100
50
gPenjualan Sepeda Motor (rhs)
100
60
750
30
90
40
650
10
80
20
550
-10
450
-30
70
0
60
-20
50 40
-40
350
2011
2012
2011
2013
Sumber: Gaikindo
Juta USD
Ekspor TPT
% yoy
gEkspor TPT (rhs)
Tren Ekspor
1,000
30
Juta USD
25
600
20
800
10 600
5
0 400
(5) (10)
200
(15) -
(20) 2
3
4
5
6
2013
Grafik III.12. Perkembangan Ekspor Kimia
15
1
2012
Sumber: Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia
Grafik III.11. Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil 1,200
-50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
7
2012
8
9 10 11 12 1
2
3
4
5
2013
6
7
8
% yoy 10
580
5
560
0
540
-5
520
-10
500
-15
480
-20
460
-25
440
-30
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 1
2012
Ekspor Kimia
2
3
4
5
6
7
8
2013
gEkspor Kimia (rhs)
Tren Ekspor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
Pertanian Kinerja sektor pertanian diperkirakan tumbuh meningkat pada triwulan III 2013. Perbaikan kinerja sektor pertanian didorong oleh masuknya masa panen raya beras di berbagai daerah sentra produksi Jawa disertai dukungan cuaca yang kondusif dan minimalnya gangguan hama. Demikian pula halnya dengan produksi beberapa komoditas hortikultura, terutama bawang merah, yang meningkat di Jawa Tengah. Melimpahnya panen pada triwulan III 2013 diperkirakan terkait dengan terjadinya perubahan pola tanam dan panen akibat terjadinya pergeseran musim. Namun. perkembangan terakhir mengindikasikan beberapa daerah sentra produksi mengalami penundaan musim tanam karena belum stabilnya iklim. Di samping itu, ARAM I BPS mengindikasi laju peningkatan produksi beras untuk keseluruhan tahun 2013 diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan produksi di Luar Jawa. Grafik III.13. Produksi Padi
Grafik III.14. Perkembangan Penumpang Kereta Apii dan Kapal Laut di Tj. Perak
900
Produksi Padi
Ribu Ton
gProduksi Padi (rhs)
% yoy
800
500 400
ribu orang
Penumpang Kereta Api
8
Penumpang Kapal (rhs)
ribu orang
120
7
700 300
600 500
200
5
400
100
4
300
0
200
100
6
80 60
3
40
2 -100
100 0
-200 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011
2012
2013
Sumber: Dinas Pertanian Cirebon, Majalengka, Indramayu, Kuningan, diolah
20
1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
2013
Sumber: BPS, PT Kereta Api, Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah
Pengangkutan dan Komunikasi Sektor pengangkutan penumpang meningkat drastis dua pekan menjelang hari raya, baik untuk angkutan darat, laut, maupun udara yang diakibatkan oleh tradisi mudik dan musim liburan sekolah. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah penumpang yang datang dan pergi pada saat arus mudik dan balik pada tahun ini meningkat sebesar 30%. Sementara itu, jumlah penumpang melalui bandar udara di D.I. Yogykarta terus mengalami peningkatan sejalan dengan libur musim panas di Eropa dan kegiatan Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition (MICE) di kota Yogyakarta yang mulai meningkat pascalebaran. Salah satu kegiatan internasional yang diselenggarakan pada September 2013 adalah Festival Ramayana Internasional di Candi Prambanan yang diikuti oleh perwakilan kontingen dari 9 negara di Asia.
Pembiayaan Perbankan Fungsi intermediasi perbankan di Kawasan Jawa masih berjalan dengan baik. Loan-to-deposit ratio (LDR) perbankan pada triwulan III 2013 mencapai 89,5%, sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 89,2%. Hal ini masih sejalan dengan rencana diberlakukannya ketentuan LDR dari Bank Indonesia sebesar 92% mulai 2 Desember 2013. NPL sedikit meningkat dari 2,3% pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
triwulan II 2013 menjadi 2,4% pada triwulan III 2013. Dibandingkan dengan triwulan II 2013, Kredit Modal Kerja (KMK) mengalami peningkatan, sedangkan Kredit investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) mengalami penurunan. Dari jenis penggunaannya, pangsa KMK tercatat sebesar 49,3% dan KK sebesar 36,2%. Penyaluran kredit kepada pelaku usaha mikro, makro, kecil, dan menengah menunjukkan peningkatan. Kredit untuk UMKM tumbuh dari 16,6% (yoy) pada triwulan II 2013 menjadi 21,1% (yoy). Pangsa kredit kepada UMKM perbankan Kawasan Jawa pada periode laporan adalah sebesar 29,3% atau mencapai Rp231,8 triliun. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan kepada kawasan Jawa pada triwulan III 2013 tumbuh meningkat 24,8% (yoy) atau menjadi Rp20,0 triliun. Pangsa kredit kepada UMKM perbankan Kawasan Jawa pada periode laporan adalah sebesar 2,6% atau mencapai Rp20,0 triliun. Suku bunga kredit dan deposito di Jawa bergerak relatif stabil, namun masih dalam tren yang menurun (Grafik III.15). Suku bunga deposito stabil dibandingkan dengan triwulan II 2013, yaitu sebesar 3,3%, dengan suku bunga tertinggi di Banten dan terendah di D.I. Yogyakarta. Sementara itu, suku bunga kredit mengalami sedikit peningkatan menjadi 12,6% pada triwulan III 2013 dengan suku bunga tertinggi di Banten dan terendah di Jawa Timur. Dampak dari kenaikan BI Rate mulai nampak pada Agustus 2013 sebagaimana tercermin dari mulai terjadinya penyesuaian suku bunga baik deposito maupun kredit. Tabel III.2. Indikator Perbankan Jawa
Grafik III.15. Suku Bunga Kredit vs Deposito di Jawa
Tw II Tw III * Indikator Utama Nominal Growth Nominal Growth (Triliun Rp) (yoy) (Triliun Rp) (yoy) Aset Kredit Lok. Proy. Kredit Lok. Bank DPK LDR NPL
1.117 1.040 764 856 89,2% 2,3%
15,7% 23,6% 23,5% 14,7% -
1.156 1.079 790 883 89,5% 2,4%
16,5% 24,8% 24,5% 16,0% -
Grafik III.16. Perkembangan Kredit UMKM Kredit UMKM
Rp Triliun
gUMKM (rhs)
Suku Bunga Kredit
% 16
Suku Bunga Deposito (rhs)
% 6
15 5
14 13
4
12 11
3
10 9
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
2013
Grafik III.17. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat
240
% yoy 30
220
25
25
Rp Triliun
KUR
NPL KUR (rhs)
%
5
20
4
15
3
10
2
5
1
20
200
15
180
10
160
5 0
140
-5
120
-10
100
-15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
2013
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 2011
2012
2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
Inflasi Inflasi di seluruh daerah di Jawa meningkat tinggi. Inflasi tercatat meningkat cukup signifikan, yaitu dari 6,3% (yoy) pada triwulan II 2013 menjadi 8,6% (yoy) pada akhir triwulan III 2013. Secara wilayah, Jabagbar mengalami inflasi tertinggi di antara wilayah Kawasan Jawa lainnya karena terhambatnya pasokan bahan pangan. Faktor penyebabnya antara lain yaitu: (i) adanya Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sehingga pintu masuk impor yang semakin jauh; (ii) permasalahan di sentra produksi karena faktor anomali cuaca dan pembenihan yang tidak tepat; (iii) dugaan kartel pada komoditas daging ayam ras dan terhambatnya pasokan impor daging sapi karena izin rekomendasi belum keluar; (iv) rantai tata niaga yang panjang ditambah dengan aliran pasokan yang mengutamakan daerah dengan daya beli lebih tinggi seperti Jakarta; (v) beberapa daerah penyangga Ibukota RI (Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor) yang bukan merupakan basis produksi mengalami inflasi yang lebih tinggi dari Jakarta karena pasokan diperoleh dari Jakarta. Peningkatan laju inflasi pada triwulan III 2013 terutama disebabkan oleh kelompok volatile food dan kelompok administered price. Pasokan komoditas pangan seperti daging sapi, bawang merah, dan cabe merah masih terbatas di saat permintaan yang tinggi pada periode puasa, lebaran, dan liburan. Namun, pada akhir triwulan III 2013, pasokan komoditas hortikultura sudah membaik seiring dengan panen yang melimpah di sentra produksi. Tekanan inflasi kelompok volatile food juga disebabkan oleh tingginya harga DOC. Akibatnya harga daging ayam ras melonjak. Sejauh ini, kendali harga DOC masih dipegang oleh perusahaan breeder, dan ada dugaan praktek kartel yang perlu ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Sementara itu inflasi yang tinggi pada kelompok administered price terjadi akibat kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan tarif angkutan dalam kota dan disertai dengan kenaikan tarif listrik. Tekanan pada kelompok inflasi inti mulai meningkat pada triwulan laporan. Ekspektasi masyarakat cenderung meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, musim lebaran, liburan, dan tahun ajaran baru. Pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin tajam pada triwulan III 2013 juga turut mendorong peningkatan ekspektasi harga pada berbagai komoditas yang diimpor, seperti kedelai, daging sapi, dan berbagai produk manufaktur berbahan baku impor. Kelompok makanan jadi seperti nasi dan ayam goreng juga turut mendorong inflasi inti pada triwulan ini. Sementara itu, berbagai kelompok jasa seperti pendidikan, rekreasi, kecantikan, pertukangan, dan sewa rumah juga mengalami inflasi untuk menyesuaikan terhadap kenaikan harga BBM dan listrik. Grafik III.18. Disagregasi Inflasi Jawa 25
Inflasi IHK Administered Prices
% yoy
Volatile foods Core
Grafik III.19. Inflasi Bahan Makanan Kawasan Jawa 80
20
60
15
40
10
20
5
0
% yoy
Padi-padian Daging-dagingan Bumbu-bumbuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2011
2012
2013
(20)
2011
2012
2013
(40)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
Prospek Perekonomian Perekonomian Jawa pada triwulan IV 13 diprakirakan melambat pada kisaran 6,1% - 6,5% (yoy). Tekanan ekonomi eksternal di tengah ketidakpastian yang tinggi menjadi risiko yang dapat berdampak pada melambatnya ekonomi Jawa. Dari sisi permintaan, risiko melambatnya konsumsi dan investasi pada triwulan mendatang diperkirakan turut memberi tekanan terhadap kinerja perekonomian keseluruhan. Perlambatan ekonomi triwulan IV 2013 juga dipengaruhi oleh pertumbuhan impor bahan baku yang cenderung masih meningkat seiring dengan tingginya kebutuhan industri. Dari sisi penawaran, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan masih mengalami pertumbuhan, sedangkan sektor PHR dan pertanian diperkirakan akan mengalami perlambatan. Laju inflasi Kawasan Jawa pada triwulan IV 2013 diperkirakan akan meningkat dari 8,6% (yoy) menjadi pada kisaran 9,1% - 9,5% (yoy). Kondisi tersebut terjadi karena ketersediaan pasokan bahan pangan yang masih terbatas, khususnya daging sapi, daging ayam ras, cabe merah, dan bawang merah. Harga komoditas daging ayam ras di wilayah Jawa Barat masih mendapatkan tekanan dari kenaikan harga DOC (anak ayam umur sehari) dan pakan. Permintaan yang meningkat terhadap daging sapi sehubungan dengan hari raya Idul Adha, Natal dan Tahun Baru 2014 juga diperkirakan akan mendorong kenaikan harga. Sementara itu, memasuki periode musim tanam beberapa pasokan komoditas tanaman pangan akan menjadi terbatas. Risiko tekanan inflasi lainnya bersumber dari rencana kebijakan terkait harga antara lain kenaikan tarif listrik, gas, tarif PAM dan cukai rokok. Menghadapi besarnya risiko tekanan inflasi, beberapa langkah upaya ditempuh oleh TPID. Dalam jangka pendek, mengarahkan ekspektasi masyarakat melalui penyampaian data dan informasi perkembangan harga dan ketersediaan pasokan secara intensif, baik melalui media massa, dialog interaktif, maupun iklan layanan masyarakat di media televis. Dalam jangka panjang, upaya yang dilakukan dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan berdasarkan rantai nilai hulu ke hilir yang meliputi rantai produksi, distribusi dan sistem logistik, serta perdagangan. Koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) anggota TPID dan koordinasi antar TPID lintas kabupaten/kota dan provinsi akan diintensifkan. Beberapa hal lain yang ditempuh oleh TPID di berbagai daerah di Jawa antara lain memperluas akses masyarakat terhadap informasi harga, menginisiasi pengembangan pertanian rumah tangga, revitalisasi terminal agribisnis, dan memperkuat pengembangan resi gudang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
Bagian IV
Perekonomian Kawasan Jakarta Perekonomian Kawasan Jakarta pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh 5,8%-6,2% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 6,3% (yoy). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan investasi dan ekspor terkait dengan faktor masih tingginya ketidakpastian global yang berdampak pada perekonomian domestik. Di sisi lain, konsumsi diperkirakan dapat tumbuh sedikit lebih tinggi terkait adanya faktor Lebaran. Secara sektoral, kinerja sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR), sektor pengangkutan dan komunikasi diprediksi meningkat. Namun, sektor konstruksi serta sektor jasa keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan diperkirakan mengalami perlambatan. Dari sisi perkembangan harga, tekanan inflasi di Kawasan Jakarta mengalami peningkatan signifikan di awal triwulan terkait dengan kenaikan harga BBM dan masih tingginya tekanan inflasi pangan. Meskipun demikian, pada akhir triwulan tekanan inflasi mulai mereda.
Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga di Kawasan Jakarta pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan didukung oleh meningkatnya permintaan, khususnya bahan makanan dan sandang menjelang Lebaran sebagaimana pola musimannya. Peningkatan belanja rumah tangga tersebut juga didorong oleh adanya pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) atau gaji ketigabelas dan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, masuknya tahun ajaran baru juga mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. Beberapa indikator konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan mengindikasikan peningkatan. Hasil survei penjualan eceran menunjukkan adanya peningkatan, walaupun tidak setinggi periode yang sama pada tahun 2012 (Grafik IV.1). Masih kuatnya konsumsi rumah tangga tercermin dari meningkatnya penjualan eceran pasca Lebaran secara signifikan. Hal tersebut antara lain terindikasi dari transaksi penjualan di pameran Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013 pada September 2013 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkiraan meningkatnya pertumbuhan konsumsi pada triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya juga ditunjukkan oleh meningkatnya penyaluran kredit konsumsi pada triwulan laporan di wilayah Jakarta. Pertumbuhan kredit konsumsi terutama terindikasi pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), dan kredit kendaraan bermotor (Grafik IV.2). Penyaluran kredit konsumsi secara nominal tertinggi terjadi pada Juli dan Agustus 2013. Di sisi lain, beberapa indikator hasil survei mengindikasikan potensi terbatasnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Survei Konsumen memperlihatkan berlanjutnya pesimisme atau persepsi negatif dari konsumen Jakarta terhadap kondisi perekonomian secara umum (Grafik IV.3).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
Hal tersebut dipengaruhi oleh peningkatan inflasi, depresiasi nilai tukar, potensi kenaikan suku bunga kredit yang akan menekan daya beli dan konsumsi rumah tangga. Indeks penghasilan konsumen dan ketersediaan lapangan kerja juga mengalami penurunan (Grafik IV.4). Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah diprakirakan mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja konsumsi Pemerintah pada triwulan III 2013 diperkirakan cukup signifikan terkait dengan realisasi gaji ketigabelas bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik di pusat maupun di daerah. Sesuai dengan pola musimannya, pencairan gaji ke-13 menjelang Lebaran mendukung realisasi belanja pemerintah. Secara khusus, pencairan gaji ke-13 akan mendorong signifikan peningkatan konsumsi pemerintah terkait dengan porsi belanja Pemerintah Pusat yang dominan di Jakarta. Selain itu, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah juga ditengarai melakukan berbagai upaya untuk mendukung realisasi belanja yang masih kurang optimal pada semester I 2013. Grafik IV.1. Indeks Penjualan Eceran
Grafik IV.3. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik IV.2. Pertumbuhan Kredit Konsumsi
Grafik IV.4. Indeks Penghasilan Konsumen dan Ketersediaan Lapangan Kerja
Investasi Kinerja investasi di Jakarta diprediksi melambat signifikan pada triwulan III 2013. Melambatnya kinerja investasi di Jakarta disebabkan oleh faktor eksternal maupun domestik. Dari sisi eksternal, adanya rencana pengurangan program stimulus fiskal (pembelian obligasi) oleh Bank Sentral Amerika Serikat diperkirakan menahan realisasi investasi khususnya dari sumber Penanaman Modal Asing (PMA). Hal ini diindikasikan oleh besarnya dana asing yang keluar dari pasar modal. Selain berdampak pada jasa keuangan, penurunan investasi juga berpotensi memengaruhi investasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
bangunan di Jakarta. Sementara itu, prospek investasi dari sisi domestik dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi demikian diperkirakan berpengaruh terhadap realisasi investasi terutama Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tantangan yang dihadapi investor domestik adalah peningkatan harga-harga barang dan jasa akibat tingginya inflasi dan biaya bunga. Depresiasi rupiah juga menyebabkan terjadinya penyesuaian harga barang modal yang berasal dari impor. Selain itu, biaya investasi di Jakarta juga dipengaruhi oleh faktor upah tenaga kerja yang cukup tinggi. Investor cenderung menahan realisasi investasi mengingat adanya potensi risiko yang meningkat di tengah iklim investasi yang kurang kondusif. Adapun paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pada akhir Agustus 2013, ditengarai belum cukup mendukung investasi di Jakarta, meskipun terdapat dua kebijakan strategis terkait investasi. Kebijakan strategis berupa pemberian insentif pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan diyakini tidak terlalu berpengaruh ke industri di Jakarta yang lebih berorientasi pada padat modal. Demikian pula dengan kebijakan strategis yang memangkas perizinan investasi juga lebih mengarah pada perizinan di sektor migas daripada sektor jasa yang dominan di Jakarta. Investasi nonbangunan yang utamanya pada sektor industri dan jasa diprakirakan tumbuh stagnan pada triwulan laporan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan volume impor barang modal dan kredit investasi (Grafik IV.5 dan IV.6). Hasil liaison ke sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri pengolahan, yaitu industri kimia, kertas, dan bahan-bahan pendukung proses industri, menunjukkan pertumbuhan investasi yang terbatas. Sementara itu, investasi di sektor jasa keuangan, jasa pembiayaan termasuk perbankan, dan jasa perdagangan yang sebagian besar bersumber dari PMA diperkirakan melambat pada triwulan laporan. Demikian pula investasi bangunan, diprediksi tumbuh terbatas pada triwulan laporan terkait dengan penundaan proyek properti baru di Jakarta. Penundaan tersebut dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang mendorong sentimen negatif konsumen dalam melakukan investasi di properti, terlebih lagi dengan adanya risiko krisis properti apabila kondisi perekonomian terus memburuk. Ekspektasi kenaikan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terkait dengan depresiasi rupiah dan inflasi juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Melambatnya investasi bangunan diperkirakan terjadi pada properti komersial terutama ruang ritel. Grafik IV.5. Pertumbuhan Volume Impor
Grafik IV.6. Pertumbuhan Kredit Investasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
Permintaan Ekspor Luar Negeri Ekspor produk Jakarta diprediksi tumbuh melambat pada triwulan III 2013. Hal itu dipengaruhi oleh faktor global, pelemahan konsumsi domestik dan relokasi industri pakaian jadi. Perlambatan ekspor Jakarta terindikasi baik secara volume maupun nilai (Grafik IV.7). Melambatnya ekspor tersebut terkait dengan turunnya kinerja ekspor produk Jakarta sejalan dengan masih terbatasnya permintaan global. Selain itu, penurunan ekspor juga dipengaruhi oleh adanya gangguan keluar masuk barang di Pelabuhan Tanjung Priok serta relokasi industri pakaian jadi (garmen) yang mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan UMP di Jakarta. Perlambatan ekspor manufaktur Jakarta terindikasi pada sejumlah produk ekspor utama seperti kendaraan bermotor, pakaian jadi, makanan olahan, dan alat listrik. Ekspor kendaraan bermotor roda empat tumbuh negatif secara tahunan (yoy) terkait dengan masih terbatasnya permintaan global. Adapun perlambatan yang lebih signifikan terjadi pada ekspor kendaraan bermotor roda dua. Potensi peningkatan ekspor kendaraan roda empat berasal dari realisasi ekspor kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV) ke Amerika Latin. Selain ekspor ke negara Saudi Arabia, Thailand, dan Filipina untuk jenis kendaraan penumpang dan ekspor kendaraan niaga ke Jepang, diversifikasi ekspor ke pasar Amerika Latin tersebut diprediksi akan berpengaruh pada kinerja ekspor industri otomotif Jakarta pada triwulan mendatang. Di sisi lain, juga telah dilakukan langkah diversifikasi ekspor suku cadang kendaraan bermotor ke negara-negara Eropa. Melambatnya ekspor Jakarta juga disebabkan oleh penurunan ekspor pakaian jadi yang cukup dalam. Ekspor pakaian jadi yang merupakan produk ekspor dengan pangsa terbesar kedua di Jakarta mengalami kontraksi pertumbuhan cukup dalam pada Agustus 2013 (Grafik IV.8). Kontraksi yang cukup dalam tersebut adalah dampak dari relokasi dan penutupan sejumlah pabrik pakaian jadi (garmen) yang berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung. Koreksi ekspor yang cukup dalam pada Agustus juga terjadi pada produk ekspor Jakarta lainnya, yakni produk makanan olahan dan alat listrik (generator dan komponen listrik). Salah satu faktor terbatasnya pertumbuhan ekspor di Jakarta pada triwulan laporan juga terkait dengan gangguan keluar masuk barang di Pelabuhan Tanjung Priok. Gangguan tersebut terjadi pada akhir Juli sebagai dampak dari keterlambatan pengeluaran barang impor dan pengangkutan barang ekspor di terminal peti kemas Tanjung Priok. Tingginya impor menjelang Lebaran sesuai pola musiman tidak diantisipasi dengan baik, sehingga terjadi penimbunan peti kemas dalam jumlah signifikan. Selain itu, volume angkutan barang yang telah melebihi kapasitas pelabuhan Tanjung Priok serta antrian panjang truk akibat buruknya kondisi akses jalan pelabuhan dan kemacetan lalu lintas menjadi penyebab utama terhambatnya distribusi barang impor maupun pengangkutan barang ekspor. Namun, secara keseluruhan impor pada triwulan laporan diperkirakan tumbuh stabil khususnya terkait dengan tingginya impor barang konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan Lebaran.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
Grafik IV.7. Pertumbuhan Nilai dan Volume Ekspor
Grafik IV.8. Nilai Ekspor LN Produk Manufaktur
Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan Jakarta diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan III 2013. Melambatnya kinerja sektor industri Jakarta terutama dipengaruhi oleh penurunan ekspor luar negeri. Adapun sektor industri pengolahan yang diprediksi mengalami perlambatan adalah pada industri kendaraan bermotor dan pakaian jadi (garmen). Penurunan kinerja industri kendaraan bermotor tercermin dari penurunan penjualan kendaraan bermotor di pasar domestik (Grafik IV.9). Di sisi lain, potensi perbaikan kinerja terdapat pada industri suku cadang terkait dengan investasi dari Jepang dan diversifikasi produk untuk mendukung industri otomotif di Jakarta. Hal ini berpotensi mengurangi ketergantungan impor suku cadang kendaraan bermotor dalam jangka panjang. Penurunan kinerja industri pakaian jadi dipengaruhi oleh relokasi dan penutupan sejumlah pabrik pakaian jadi (garmen) berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung, Jakarta Timur. UMP 2013 yang tinggi di Jakarta serta peningkatan biaya produksi terutama biaya logistik dan distribusi merupakan faktor yang memengaruhi de-industrialisasi tersebut. Dampak dari penutupan usaha oleh investor asing tersebut adalah dilakukannya PHK dalam jumlah yang cukup signifikan.
Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Kinerja sektor PHR khususnya perdagangan di Jakarta pada triwulan III 2013 diprakirakan meningkat dalam level moderat. Hal ini terlihat dari meningkatnya indeks penjualan eceran pada awal triwulan laporan berdasarkan Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia. Berbagai kegiatan promosi penjualan menjelang Lebaran turut mendukung pertumbuhan subsektor perdagangan pada triwulan laporan. Kenaikan omzet diprakirakan sekitar 30%, sementara kenaikan harga secara bertahap sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM di kisaran 10%-15% (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia/Aprindo). Meskipun demikian, kontak liaison perusahan consumer goods, yang cukup dominan di pasar, cenderung untuk melakukan penyesuaian harga produk setelah Lebaran. Pengurangan margin dianggap sebagai pilihan yang lebih baik untuk mempertahankan volume penjualan. Indikasi peningkatan sektor perdagangan juga tercermin dari peningkatan penjualan kendaraan bermotor menjelang Lebaran (Grafik IV.9) dan kenaikan volume impor barang konsumsi (Grafik IV.10). Meskipun demikian, kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok mengalami kontraksi pada bulan Juli terkait dengan adanya gangguan keluar masuk barang (Grafik IV.11). Di sisi lain, relatif moderatnya pertumbuhan sektor perdagangan juga tercermin dari beberapa indikator lain. Jumlah wisatawan dan tingkat hunian hotel di Jakarta menurun pada triwulan laporan yang ditengarai sebagai pengaruh dari terbatasnya belanja konsumen (Grafik IV.12). Demikian pula L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
dengan pendapatan restoran diperkirakan mengalami penurunan sejalan dengan melambatnya perekonomian serta kenaikan biaya bahan baku (bahan makanan) dan biaya operasional (listrik, upah pekerja). Grafik IV.9. Penjualan Kendaraan Bermotor
Grafik IV.10. Impor Barang Konsumsi
Sumber: CEIC
Grafik IV.11. Kegiatan Bongkar Muat di Tj. Priok
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.12. Indikator Subsektor Pariwisata
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Konstruksi Sektor konstruksi di Jakarta diprediksi tumbuh melambat pada triwulan III 2013. Hal tersebut tercermin dari melambatnya volume konsumsi semen yang cukup drastis (Grafik IV.13) sebagai pengaruh permintaan yang menurun berdasarkan hasil liaison ke perusahaan semen. Demikian pula dengan penjualan bahan bangunan mengalami penurunan pada triwulan laporan (Grafik IV.14). Penundaan pembangunan properti baru diprediksi terkait dengan sentimen negatif terhadap perkembangan perekonomian terkini. Secara khusus, penundaan realisasi proyek konstruksi tersebut dipengaruhi oleh sentimen terhadap kenaikan suku bunga kredit dan depresiasi nilai tukar rupiah. Kenaikan suku bunga kredit memiliki pengaruh terhadap penjualan properti dan menjadi pertimbangan pengembang dalam merealisasikan pembangunan. Sementara itu, melemahnya nilai tukar berdampak pada peningkatan biaya konstruksi terutama untuk proyek pembangunan yang banyak menggunakan komponen bahan bangunan impor, yakni properti yang tergolong premium (mewah). Proyek konstruksi Pemerintah diperkirakan tumbuh stabil. Sepanjang triwulan laporan tidak terlihat adanya indikasi proyek pembangunan fisik Pemerintah yang cukup besar. Meski demikian, beberapa persiapan proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta telah berjalan seperti
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
pelebaran jalan dan persiapan pekerjaan terminal Dukuh Atas. Pekerjaan pembangunan MRT dan Monorel direncanakan pada bulan Oktober 2013. Dalam skala yang lebih kecil, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merealisasikan proyek peremajaan pasar (Blok G Pasar Tanah Abang) dan fasilitas publik lainnya, termasuk di dalamnya juga pembenahan waduk dan perumahan rakyat. Grafik IV.13. Konsumsi Semen
Grafik IV.14. Indeks Penjualan Bahan Bangunan 180
Indeks
Indeks
30
160
25
140
20
120
15
100
10 Bahan konstruksi dari logam
80
Bahan konstruksi dari kayu
5
Bahan konstruksi dari tanah liat (rhs) 60
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
2013
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Jasa Keuangan Sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di Jakarta pada triwulan III 2013 diperkirakan mengalami perlambatan signifikan. Perlambatan tersebut terutama berasal dari subsektor jasa keuangan yaitu penurunan kinerja pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan yang signifikan pada triwulan laporan. Kekhawatiran pengurangan program stimulus fiskal Amerika Serikat mendorong keluarnya dana asing dari pasar modal. Sementara itu, inflasi yang cukup tinggi dan pelemahan nilai tukar turut memperburuk persepsi pelaku pasar. Sementara itu, kinerja perbankan di Jakarta diprediksi tumbuh terbatas pada triwulan III 2013. Terbatasnya pertumbuhan perbankan terkait dengan melambatnya penyaluran kredit yang berpotensi menurunkan laba perbankan. Selain itu, kenaikan BI rate untuk mengantisipasi tekanan inflasi ke depan ditengarai menaikkan beban bunga yang dibayarkan ke penyimpan (depositor). Di tengah ketatnya persaingan antarbank saat ini, beberapa bank diperkirakan cenderung membatasi kenaikan suku bunga kredit yang berisiko pada pengurangan laba. Pendapatan bunga serta provisi dan komisi (fee) perbankan diperkirakan menurun di triwulan III 2013. Potensi penurunan kinerja perbankan pada triwulan laporan terutama diprediksi bersumber dari menurunnya pendapatan bunga. Sementara itu, penerimaan provisi dan komisi perbankan diperkirakan masih terjaga dengan keberlangsungan kegiatan bisnis di Jakarta. Kinerja perusahaan pembiayaan yang memiliki fokus pada pembiayaan kredit kendaraan bermotor dan barang konsumsi diprediksi mengalami penurunan. Penurunan kredit kendaraan bermotor dan barang konsumsi (elektronik dan alat komunikasi) terutama terjadi pasca-Lebaran sejalan dengan menurunnya permintaan. Sama halnya dengan perbankan, kenaikan suku bunga kredit dan melemahnya nilai tukar rupiah diperkirakan turut menekan realisasi kredit oleh perusahaan pembiayaan. Pertumbuhan subsektor persewaan (real estate) dan jasa perusahaan diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan III 2013. Perlambatan tersebut terkait dengan terbatasnya penjualan L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
properti baik dari sisi permintaan maupun penawaran proyek properti baru. Sementara itu, perlambatan kinerja jasa perusahaan diperkirakan sebagai akibat dari kenaikan biaya jasa-jasa serta kecenderungan konsumen dan perusahaan untuk membatasi belanja jasa yang tidak tergolong utama atau yang dapat ditunda realisasinya.
Pembiayaan Perbankan Pembiayaan perbankan di Jakarta pada triwulan III 2013 terjaga pada level yang stabil. Berdasarkan jenis penggunaan, kenaikan penyaluran kredit terutama diprediksi berasal dari kredit modal kerja (Grafik IV.15). Sementara itu, penyaluran kredit investasi (Grafik IV.6) dan kredit konsumsi (Grafik IV.2). Penyaluran kredit modal kerja ke korporasi turut memberikan andil pada kinerja pertumbuhan beberapa sektor utama Jakarta pada triwulan laporan. Adapun penyaluran kredit sektoral di Jakarta masih difokuskan ke sektor manufaktur, konstruksi, PHR, pengangkutan dan komunikasi, serta jasa. Adapun Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan mengindikasikan adanya tren peningkatan yang ditengarai sebagai pengaruh dari peningkatan suku bunga simpanan. Nonperforming-loan (NPL) secara umum terjaga, namun terdapat kekuatiran peningkatan risiko gagal bayar sebagai imbas dari melemahnya perekonomian. Pembiayaan perbankan ke UMKM diperkirakan masih dalam tren melambat (Grafik IV.16). Pangsa kredit UMKM di Jakarta sendiri baru mencapai 9,6% dari total kredit. Pemberian kredit terhadap UMKM juga dimaksudkan untuk menopang pertumbuhan perekonomian Jakarta, mengingat fleksibilitas UMKM dalam melakukan penyesuaian usaha di tengah tekanan kondisi perekonomian. Meskipun demikian, ekspansi kredit UMKM juga memerhatikan aspek risiko. Dalam hal ini perbankan masih memiliki preferensi untuk memberikan kredit ke korporasi non-UMKM. Grafik IV.15. Kredit Modal Kerja
Grafik IV.16. Indikator Perbankan % (yoy) 40
Rp Triliun 900 800
35
700
30
600
25
500
20
400
15
300 200
10
100
5
-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
Modal Kerja
2013
g Kredit Modal Kerja
Inflasi Inflasi Jakarta pada triwulan III 2013 tercatat sebesar 0,21% (mtm) atau 8,38% (yoy). Realisasi inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya. Tingginya inflasi pada kelompok administered prices dan volatile food merupakan dampak dari kenaikan BBM dan masih tingginya harga beberapa komoditas hortikultura. Kenaikan BBM menyebabkan inflasi (yoy) subkelompok transpor pada Juli 2013 mencapai 22,95%, lebih tinggi dibandingkan kenaikan BBM pada tahun 2008. Selain kenaikan BBM, inflasi juga bersumber dari kelompok bahan makanan. Kenaikan harga kelompok bahan makanan disebabkan oleh pasokan beberapa komoditas hortikultura yang belum
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
memadai dan tidak terlepas dari faktor Lebaran. Komoditas dalam kelompok bahan makanan yang memberikan andil inflasi tertinggi yaitu bawang merah dengan inflasi sebesar 211,72% (yoy). Kenaikan harga bawang merah disebabkan oleh pasokan dari daerah penghasil (Brebes, Jawa Tengah) dan realisasi impor yang terbatas. Inflasi inti juga menunjukkan peningkatan pada triwulan laporan. Peningkatan terutama bersumber dari komoditas emas perhiasan, sewa dan kontrak rumah. Tekanan inflasi inti tersebut tidak terlepas dari faktor pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi semenjak Juli 2013. Grafik IV.17. Disagregasi Inflasi
Grafik IV.18. Subkelompok Inflasi BAHAN MAKANAN 15.00 10.00
TRANSPORTASI
MAKANAN JADI
5.00 0.00 PENDIDIKAN
PERUMAHAN
KESEHATAN
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
SANDANG
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Prospek Pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan IV 2013 diprakirakan sedikit membaik menjadi 5,8%6,2% (yoy). Prospek perekonomian Jakarta masih dibayangi oleh faktor global terutama penundaan pengurangan program stimulus fiskal oleh Bank Sentral Amerika Serikat yang berpotensi menekan nilai tukar rupiah. Di satu sisi, depresiasi rupiah memberikan kesempatan Jakarta untuk melakukan ekspansi ekspor sejalan dengan semakin kompetitifnya produk Jakarta. Di sisi lain, berbagai masalah domestik berpotensi menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Jakarta, di antaranya stabilitas harga, defisit neraca perdagangan, serta ekspektasi kenaikan UMP Jakarta tahun 2014. Kondisi demikian berpotensi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekspor, investasi, dan konsumsi di Jakarta pada triwulan IV 2013. Namun, pelaku pasar juga masih cukup optimis menyikapi potensi perlambatan konsumsi masyarakat (Grafik IV.19). Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan IV 2013 diprakirakan bersumber dari sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Hal itu sejalan dengan perbaikan kinerja ekspor dan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dalam skala besar yang direncanakan pada triwulan akhir tahun 2013. Di sisi lain, sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa terbesar di Jakarta, diprakirakan masih tumbuh melambat. Hal ini terkait ketidakpastian dan volatilitas pasar modal serta keterbatasan penyaluran kredit perbankan. Demikian pula pertumbuhan sektor PHR serta sektor pengangkutan dan komunikasi diprakirakan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebagai dampak dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Meskipun demikian, faktor musiman akhir tahun diyakini turut menopang kegiatan perekonomian di Jakarta terutama di sektor PHR. Di samping itu, peningkatan belanja kampanye Pemilu tahun 2014 yang diperkirakan akan dimulai pada triwulan IV 2013 akan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
mendukung kinerja sektor PHR, subsektor telekomunikasi, dan sektor jasa. Kontak liaison perusahaan penyiaran televisi mengonfirmasi potensi peningkatan belanja iklan pada akhir tahun 2013. Tekanan inflasi Jakarta pada triwulan IV 2013 diprakirakan mulai mereda sejalan dengan ketersediaan pasokan. Ketersediaan pasokan khususnya bahan pangan baik dari sumber domestik maupun impor menjadi faktor meredanya tekanan inflasi Jakarta. Namun masih terdapat risiko yang cukup besar terkait dengan depresiasi nilai tukar. Relatif tingginya komponen impor dalam menjaga ketersediaan pasokan menjadi masalah di saat terjadi pelemahan mata uang rupiah seperti saat ini. Kenaikan harga-harga secara umum juga masih berpotensi terjadi sebagai dampak dari penyesuaian akhir Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan tarif tol. Ekspektasi inflasi juga masih berada pada tren meningkat terkait dengan kondisi makroekonomi, utamanya defisit neraca perdagangan dan pelemahan nilai tukar Rupiah (Grafik IV.20). Hal tersebut berpotensi untuk menekan pertumbuhan ekonomi di Jakarta dan menurunkan daya saing Jakarta sebagai tujuan investasi dalam lingkup nasional maupun internasional. Merujuk pada perkembangan dan faktor-faktor risiko tersebut, inflasi Jakarta pada akhir tahun 2013 diprakirakan sebesar 8,8% - 9,2% (yoy). Grafik IV.19. Indeks Ekspektasi Konsumen
Grafik IV.20. Indeks Ekspektasi Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
Bab V V
Perekonomian Kawasan Sumatera Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan bersumber dari melemahnya konsumsi rumah tangga sejalan dengan penurunan daya beli. Selain itu, investasi juga tumbuh melambat terkait meningkatnya biaya produksi, tingkat upah, dan harga barang modal impor. Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami perbaikan meski masih terbatas. Sementara itu, inflasi pada akhir triwulan III 2013 tercatat lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2013. Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi memberikan tekanan kenaikan inflasi dan mencapai puncaknya pada Juli 2013. Tekanan inflasi kembali mereda pada akhir triwulan laporan seiring dengan kembali membaiknya pasokan pangan.
Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga di kawasan Sumatera pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh melambat. Perlambatan tersebut sejalan dengan penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya tingkat inflasi. Indikasi perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang cenderung menurun (Grafik V.1) dan Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik V.2), serta perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi. Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) juga lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.3). Hal itu terkait dengan penurunan pendapatan petani, khususnya pada petani perkebunan rakyat, sebagai implikasi tren penurunan harga komoditas perkebunan di pasar internasional yang berdampak pada menurunnya harga jual di pasar domestik. Di sisi lain, biaya produksi dan biaya hidup meningkat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan pola realisasi belanja konsumsi pemerintah daerah yang cenderung meningkat menjelang akhir tahun. Sebagian besar realisasi belanja pemerintah daerah di kawasan Sumatera hingga Agustus 2013 diprakirakan baru sekitar 51% (Grafik V.4). Indikasi dari peningkatan realisasi belanja konsumsi pemerintah terlihat pada menurunnya jumlah simpanan pemerintah daerah dalam bentuk giro di perbankan di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
Grafik V.1. Survei Penjualan Eceran 80
Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen Indeks
% (yoy)
130
70 60
120
50 110
40 30
100
20
Indeks Keyakinan Konsumen
10
90
Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini
0
(10) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2013
(30)
II
III
IV
I
2011
80
70 60 Sumatera
Kep. Riau
Babel
Lampung
Bengkulu
Sumsel
Jambi
Riau
Sumbar
50 Sumut
II
III
2013
III-2013*
Sumatera
90
Aceh
I
Kep. Riau
100
Sumber: Badan Pusat Statistik
IV
Babel
110
III-2012
Jambi
120
%
Riau
80 70 60 50 40 30 20 10 0
III-2013
Sumbar
II-2013
Aceh
Indeks 130
III 2012
Grafik V.4. Realisasi APBD – Agustus 2013
Sumut
Grafik V.3. Nilai Tukar Petani
II
Lampung
2012
I
Bengkulu
2011
Indeks Ekspektasi Konsumen 80
Sumsel
(20)
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Investasi Pertumbuhan investasi di Sumatera diprakirakan melambat pada triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal itu dipengaruhi oleh melemahnya permintaan dan cenderung naiknya biaya barang bahan baku serta barang modal yang berasal dari impor terkait depresiasi nilai tukar rupiah. Indikasi perlambatan realisasi investasi terlihat pada impor barang modal (capital good) yang mengalami penurunan (Grafik V.5). Hasil liaison menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha cenderung menahan rencana belanja investasinya setidaknya dalam satu tahun ke depan (Grafik V.6). Selain itu, beberapa permasalahan lain seperti keterbatasan lahan perkebunan, belum adanya kontrak baru pada pelaku industri perkapalan dan konstruksi pertambangan, serta kapasitas produksi terpakai yang masih terbatas pada hampir semua sektor kegiatan usaha menyebabkan pelaku usaha tidak banyak melakukan kegiatan investasi besar pada triwulan laporan. Investasi yang dilakukan hanya berupa investasi rutin yang diperuntukkan guna menunjang operasional produksi seperti perawatan dan penggantian mesin-mesin industri. Kenaikan suku bunga kredit dan regulasi pemerintah terkait lahan turut berkontribusi pada tertahannya kegiatan investasi. Kenaikan BI rate yang sudah direspon oleh kenaikan suku bunga berdampak pada penyaluran kredit investasi yang mulai cenderung tumbuh melambat. Berdasarkan hasil liaison, pelaku usaha juga mencermati kepastian regulasi pemerintah terkait penetapan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), serta tingginya kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP)/Upah Minimum Kota (UMK) di tengah melambatnya permintaan eksternal.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Grafik V.5. Volume Impor Bahan Baku dan Barang
Grafik V.6. Kapasitas Terpakai dan Investasi 1 Tahun
Modal
ke Depan
Bahan Baku (LHS)
Ribu Ton
Barang Modal (RHS)
Ribu Ton
1600
250
1400 200
1200 1000
150
800 100
600 400
50
200 0
0
1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
SBT
I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 2011
2012
Miliar USD
Impor
III
Kapasitas terpakai
I
II
III
2013
Grafik V.8. Volume Ekspor Impor Sumatera
Net Ekspor
Juta Ton
Ekspor
5
9
4
7
3
5
2
3
1
IV
2012
11
Ekspor
Investasi 1 thn ke depan
II
2013
Grafik V.7. Nilai Ekspor Impor Sumatera 6
Investasi
Impor
Net Ekspor
1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 2011
2012
2013
-1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 2011
2012
2013
Ekspor Ekspor diprakirakan sedikit membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pengaruh perlambatan ekonomi China terhadap ekspor non-migas Sumatera dapat sedikit terkompensasi oleh adanya diversifikasi ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya (Grafik V.9). Hasil liasion mengkonfirmasi bahwa perlambatan ekonomi China belum banyak berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor (Grafik V.10). Sebagian pelaku usaha, seperti pelaku industri pengolahan kelapa sawit melakukan perubahan orientasi dari ekspor ke pasar domestik. Selain itu, sebagian eksportir di industri lainnya mulai menjajaki pasar ekspor negara-negara lainnya seperti ke Afrika Selatan. Sepanjang tiga tahun terakhir, kontribusi China terhadap total volume ekspor non-migas Sumatera mulai menurun dan bergeser ke negara-negara tujuan ekspor lainnya. Depresiasi nilai tukar rupiah juga belum memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan ekspor non-migas. Sementara itu, impor diprakirakan tumbuh melambat akibat semakin tingginya harga barang impor baik bahan baku maupun barang modal. Melambatnya impor di Sumatera diperkirakan terkait dengan melemahnya kinerja industri perkapalan dan industri konstruksi pertambangan sebagaimana terindikasi dari cukup besarnya penurunan impor besi dan baja. Sementara itu, kebutuhan impor pupuk masih terlihat cukup besar terutama untuk memenuhi kebutuhan pada masa pemupukan perkebunan kelapa sawit.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
Grafik V.9. Kontribusi Volume Ekspor Non Migas Berdasarkan Negara Tujuan 5.2
5.7
5.4
9.1
8.0
8.7
11.0 11.6
12.4 11.7
10.7 11.7
Grafik V.10. Hasil Survei Dampak Pengaruh Perlambatan Ekonomi China terhadap Ekspor Ada
Japan
Tidak Ada
USA
55%
China
85%
17.1
16.9
17.2
India
20.4
20.1
20.9
Europe
25.1
25.7
25.4
2011
2012
2013*
45% 15%
Others
ASEAN
Dampak Pengaruh Perlambatan Ekonomi Cina terhadap Ekspor
Ketersediaan Substitusi Impor
Grafik V.11. Nilai dan Volume Ekspor Minyak Kelapa
Grafik V.12. Nilai dan Volume Ekspor Karet Mentah
Sawit (CPO)
(Crude Rubber)
Volume (rhs)
Miliar USD
Nilai
Juta Ton
2.5
2.5
2.0
2.0
Miliar USD 180
Volume (RHS)
Ribu Ton 400
Nilai (LHS)
160
350
140
300
120
1.5
1.5
1.0
1.0
250
100 200 80
0.5
0.5
150
60
100
40
50
20
-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2011
2012
2013
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 2011
2012
2013
Sektor Pertambangan Sektor pertambangan diprakirakan masih tumbuh negatif terkait masih terus menurunnya produksi minyak bumi dan timah. Lifting produksi minyak bumi di Riau terus menurun seiring dengan usia sumur yang semakin tua (Grafik V.13). Perbaikan metode dan teknologi eksplorasi oleh perusahaan kontraktor minyak bumi juga belum dapat mendorong kenaikan volume poduksi secara signifikan. Sementara itu, eksplorasi minyak dan gas bumi di Blok Natuna, Kepulauan Riau belum dapat mendorong perbaikan kinerja sektor pertambangan di Sumatera. Produksi timah di Bangka Belitung juga terus menurun. Berdasarkan hasil liaison, selama periode Januari-Juli 2013, produsen timah hanya mampu berproduksi sebesar 50% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh sulitnya mencari timah yang memenuhi standar ekspor akibat banyaknya tempat penambangan ilegal. Kebijakan standarisasi timah untuk ekspor melalui bursa timah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 tahun 2013 mewajibkan pelaku usaha timah memenuhi kualitas dan spesifikasi standar timah yang tinggi dengan kandungan stannum (sn) sebesar 99,9%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
Grafik V.13. Lifting Produksi Minyak Bumi Ribu Barel/Hari 450
Lifting Produksi (LHS)
Pertumbuhan (RHS)
Grafik V.14. Harga Minyak Dunia
% (yoy) 20
120
15
100
30
80
20
60
10
40
0
20
-10
400 350
10
300 250
5
200
0
150
(5)
100 50
(10)
0
(15) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
USD/barel
Harga Minyak Dunia (LHS)
Pertumbuhan (RHS)
% (yoy)
0
40
-20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011
2012
2013 2011
Sumber: Perusahaan Minyak Bumi di Riau
2012
2013
Sumber: Bloomberg
Pembiayaan Perbankan Beberapa indikator perbankan seperti aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh melambat. Perkembangan aset perbankan di Sumatera pada triwulan laporan tumbuh melambat dari 14,3% (yoy) menjadi 13% (yoy). DPK juga tumbuh melambat dari 9,5% (yoy) menjadi 8,0% (yoy). Perlambatan pertumbuhan terutama bersumber dari penurunan simpanan dalam bentuk giro, salah satunya giro milik pemerintah daerah seiring dengan mulai banyaknya realisasi belanja konsumsi APBD menjelang akhir tahun. Namun di sisi lain, tabungan dan deposito tumbuh meningkat dipicu oleh peningkatan suku bunga simpanan. Sementara itu, pertumbuhan kredit meningkat didorong oleh kredit modal kerja yang tumbuh meningkat. Penyaluran kredit kepada debitur di wilayah Sumatera pada triwulan laporan tumbuh 17,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 16,8% (yoy). Peningkatan pertumbuhan terutama terjadi pada penyaluran kredit modal kerja, dari semula tumbuh 9,3% (yoy) menjadi 12,1% (yoy). Hal ini diperkirakan sebagai dampak perilaku pelaku perbankan di Sumatera yang mulai membatasi kredit di subsektor perkebunan, dan mengalihkan kredit kepada pedagang pengumpul yang lebih berisiko kecil. Indikasi pergeseran penyaluran kredit dari semula kepada subsektor perkebunan ke subsektor perdagangan yang umumnya berupa kredit modal kerja mulai terlihat. Berbeda halnya dengan kredit modal kerja, perkembangan kredit konsumsi dan kredit investasi justru cenderung tumbuh lebih lambat. Kredit konsumsi tercatat hanya tumbuh 12,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 13,0% (yoy). Perlambatan ini sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang juga tumbuh melambat. Penyaluran kredit investasi juga tumbuh melambat dari semula 36,5% (yoy) menjadi 35,9% (yoy). Hal ini terkait dengan terbatasnya kegiatan investasi pada triwulan laporan (Grafik V.15). Dari sisi kualitas kredit, angka rasio Non Performing Loans (NPL) masih terjaga di kisaran yang cukup rendah walaupun mulai terdapat sedikit peningkatan dibanding posisi akhri triwulan II 2013. Akses masyarakat terhadap jasa keuangan perbankan menunjukkan perbaikan. Membaiknya akses layanan jasa perbankan terlihat pada rasio jumlah rekening simpanan terhadap 1.000 penduduk yang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat (Tabel V.1). Kendati demikian, sebaran alat penunjang pelayanan perbankan dan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) relatif masih
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
belum merata. Hal ini terlihat dari rasio jumlah mesin ATM per 10 ribu penduduk dewasa di Sumatera yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya (Tabel V.2). Grafik V.15. Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan
Grafik V.16. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK)
Menurut Lokasi Proyek % (yoy)
% (yoy)
40 35 30 25 20 15 10 5 0
25 20 15 Total Kredit
DPK Giro Tabungan Deposito
10
Modal Kerja Investasi
5
Konsumsi
I
II
III
IV
2012
I
II
III*
2013
0 I
II
III
IV
2012
I
II
III*
2013
Tabel V.1. Rasio Jumlah Rekening Simpanan per 1.000
Tabel V.2. Rasio Jumlah Mesin ATM per 10 Ribu
Penduduk
Penduduk Dewasa 2013
Kawasan/Wilayah Sumatera Sumbagut Sumbagteng Sumbagsel
2011 39.9 42.1 48.3 30.7
2012 44.7 47.4 52.1 36.0
2013* 46.5 48.2 54.5 38.3
Provinsi/Kawasan Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Kepri Babel Sumsel Bengkulu Lampung Sumatera Jawa KTI
Rasio 2.29 2.44 2.32 3.17 2.41 6.74 3.34 2.53 1.90 1.62 2.54 3.54 3.10
Ket: Penduduk dewasa adalah penduduk Usia 15-64 Tahun
Inflasi Inflasi Kawasan Sumatera pada triwulan III 2013 meningkat signifikan. Inflasi Kawasan Sumatera mencapai 8,27% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,58% (yoy) (Grafik V.17). Kombinasi kenaikan harga BBM bersubsidi dan gejolak harga pangan menyebabkan sebagian besar provinsi di Sumatera mengalami inflasi tahunan lebih dari 7%. Realisasi inflasi tertinggi terjadi di Sumatera Barat, yaitu sebesar 10,03% (yoy), dan yang terendah terjadi di Aceh yaitu sebesar 5,70% (yoy) (Grafik V.18). Tekanan inflasi di Sumatera terutama berasal dari kelompok administered prices dan volatile food. Meningkatnya tekanan inflasi kelompok administered price terkait dengan kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir triwulan II. Namun, besaran kenaikan inflasi tidak setinggi pada periode kenaikan BBM tahun 2008. Hal ini dipengaruhi oleh level harga yang relatif sudah berada pada level yang cukup tinggi. Sementara itu, tekanan inflasi volatile food terutama bersumber dari gangguan pasokan pada beberapa komoditas strategis seperti cabe merah dan bawang merah, terlambatnya realisasi impor daging sapi, serta pergeseran masa tanam produksi padi. Sebagian besar daerah di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
Sumatera mengalami defisit produksi bawang merah dan cabe merah. Kondisi ini menyebabkan pergerakan harga dipengaruhi oleh daerah penghasil utama, khususnya di Jawa. Grafik V.17. Disagregasi Inflasi Sumatera % (yoy) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 I
Grafik V.18. Inflasi Sumatera Triwulan III 2013 % (yoy)
10.0
Core
9.3
Volatile Foods
9.5
9.0 7.7
8.0 7.3
8.2 7.2
7.7
7.4
7.6
8.3
Adm. Prices 5.4
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
IV
I
II
III
2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Prospek Pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan IV 2013 diprakirakan relatif stabil dengan kecenderungan sedikit meningkat. Peningkatan pertumbuhan terjadi di semua wilayah baik Sumbagut, Sumbagteng maupun Sumbagsel. Hal itu didukung oleh perkembangan kinerja sektor utama di Sumatera yang sebagian besar diperkirakan membaik. Sektor pertanian pada triwulan IV diprakirakan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi seiring dengan masuknya masa panen tanaman perkebunan. Sektor industri pengolahan diprakirakan juga tumbuh meningkat, didukung oleh panen kelapa sawit dan karet yang diperkirakan akan meningkatkan pasokan bahan baku untuk industri pengolahan kelapa sawit dan karet. Sementara itu, sektor pertambangan diprakirakan tidak mengalami banyak perbaikan dan masih tumbuh negatif sejalan dengan volume produksi minyak bumi yang menurun dan produksi timah yang juga diprakirakan masih mengalami penurunan.. Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Sumatera pada tahun 2013 diprakirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya. Faktor utama perlambatan ekonomi terjadi akibat melambatnya pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan lebih rendahnya produksi tanaman bahan makanan dan perkebunan seiring anomali cuaca dan penurunan insentif produksi kelapa sawit dan karet terkait harga di pasar dunia yang terus menurun. Di samping itu, volume lifting minyak bumi dan produksi timah yang terus menurun berdampak pada kinerja sektor pertambangan. Inflasi Sumatera pada triwulan IV diprakirakan meningkat. Peningkatan inflasi diprakirakan terjadi di semua wilayah Sumatera. Namun, dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi semakin mereda. Dari sisi core inflation, potensi risiko terhadap peningkatan inflasi bersumber dari nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi dan berdampak pada meningkatnya harga barang impor (imported inflation). Dari sisi volatile food, potensi peningkatan inflasi selain dari gejolak harga pangan produksi domestik, juga diprakirakan berasal dari komoditas pangan impor seperti kedelai, daging sapi dan bawang putih. Sementara dari sisi administered price, potensi peningkatan inflasi berasal dari rencana kebijakan menaikan harga gas elpiji non-subsidi 12 kg serta kelanjutan kenaikan secara bertahap Tarif Tenaga Listrik (TTL).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Bagian VI – Isu Strategis
Membangun Struktur Produksi yang Kokoh di Nusantara untuk Bermigrasi Menjadi Negara Maju1 Prasyarat bagi kesinambungan migrasi menuju ke negara berpenghasilan tinggi adalah kapabilitas industrial. Asesmen terhadap struktur produksi di berbagai wilayah menunjukkan bahwa masih terdapat ruang yang luas bagi Indonesia untuk memperkuat kapabilitas tersebut terutama untuk barang jadi dan komponennya yang bersifat kompleks. Penguatan kapabilitas industrial secara langsung dapat memperbaiki struktur neraca perdagangan dan pola penyerapan tenaga kerja sehingga akan memperkuat basis bagi penciptaan pendapatan per kapita. Agar dampak positif dari pembangunan kapabilitas industrial dapat optimal, Indonesia perlu bersaing untuk menjadi salah satu lokasi utama dalam pembuatan barang jadi dan komponennya yang bersifat kompleks di sepanjang rantai nilai global. Secara spasial, Kawasan Jawa dapat dipromosikan sebagai lokasi tersebut.
Indonesia Sebagai Negara Berpenghasilan Menengah Awal abad 21 ini ditandai oleh fakta bahwa Indonesia telah memantapkan diri dalam kategori negara berpenghasilan menengah. Sejak tahun 2004, pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia yang dihitung berdasarkan Gross National Income (GNI, Atlas Method – Bank Dunia) telah berhasil melampaui USD1.025 atau di batas bawah untuk negara berpenghasilan rendah2. Capaian tersebut menandai keberhasilan Indonesia menghindari jebakan kemiskinan akibat krisis Asia 1998/99. Pada tahun 2012 lalu pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia telah mencapai sebesar ±USD3.500/orang/tahun. Grafik VI.1. Perkembangan Kelas Menengah di
Grafik VI.2. Konsumsi Kelompok Kelas Menengah
Indonesia
dan Miskin/Hampir Miskin
Sumber: PovcalNet Bank Dunia, diolah
1
Kajian Grup Riset Ekonomi, Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia.
2
Klasifikasi negara berdasarkan pendapatan per kapita oleh Bank Dunia membagi negara atas empat kategori, yaitu: (1) Negara berpenghasilan rendah (low income country) dengan Gross National Income (GNI) per kapita < USD1.035, (2) Negara berpenghasilan menengah bawah (lower middle income country) dengan GNI per kapita antara USD1.036 sampai USD4.085 (3) Negara berpengasilan menengah atas (upper middle income country) dengan GNI per kapita antara USD4.086 sampai USD12.615 dan (4) negara berpenghasilan tinggi (high income country) dengan GNI per kapita diatas > USD12.615. Laporan Nusantara
| 41
Sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita tersebut, jumlah penduduk Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai penduduk kelas menengah meningkat pesat (Grafik VI.1)3. Sampai akhir tahun 2010 setidaknya 5 dari 10 penduduk Indonesia tidak dapat lagi dikategorikan sebagai penduduk miskin. Kondisi ini kontras dengan dekade tahun 1990-an yang mayoritas penduduknya dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin atau hampir miskin. Perkembangan ini memberi implikasi positif berupa pasar domestik yang semakin membesar dan permintaan barang dan jasa yang semakin beragam (Grafik VI.2). Peningkatan pendapatan per kapita dan ekspansi kelas menengah diperkirakan dapat terus berlanjut di masa mendatang. Perkiraan ini tidaklah berlebihan. Salah satu dampak dari peningkatan ukuran dan keragaman permintaan barang terkait ekspansi kelas menengah adalah adanya potensi hubungan timbal balik positif dengan aktivitas penyerapan tenaga kerja dan investasi. Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan bahwa total pasar konsumsi domestik Indonesia pada tahun 2012 menjadi salah satu yang terbesar di Asia (Grafik VI.3). Tidak mengherankan jika rasio investasi domestik sampai dengan akhir 2012 merupakan yang tertinggi dalam dua dekade terakhir. Grafik VI.3. Perbandingan Pasar Konsumsi: BRIC, Indonesia dan Negara Lainnya
Sumber: World Development Indicators, Bank Dunia, diolah
Prasyarat Migrasi Menuju Perekonomian Berpenghasilan Tinggi Capaian positif di atas menyimpan pesan penting untuk menjaga kesinambungan migrasi Indonesia dari negara berpenghasilan menengah ke negara berpengasilan tinggi (high income country). Dalam perspektif historis, tidak banyak perekonomian yang mampu menjaga kesinambungan migrasi tersebut. Sebagaimana diilustrasikan pada Grafik VI.4, negara-negara yang berangkat dengan tingkat pendapatan per kapita yang relatif sama pada tahun 1970, tidak seluruhnya mampu konvergen menjadi High Income Country (HIC). Di Asia Timur, hanya beberapa negara saja yang mampu mengejar ketertinggalan, misalnya Korea Selatan, Singapura, dan Hong Kong4. Sementara itu, untuk 3
Analisa di ADB (2010) membagi penduduk atas setidaknya tiga kelompok besar, yaitu (1) kelompok penduduk miskin dan hampir miskin dengan pendapatan < USD2 per hari, (2) kelompok kelas menengah bawah (lower middle class)/baru keluar dari kemiskinan dengan pendapatan antara USD2 – USD4 per hari, dan (3) kelompok kelas menengah-menengah dan kelas atas dengan pendapatan > USD4 per hari. 4
Dalam keseluruhan sejarah umat manusia, Korea Selatan adalah negara yang paling cepat bermigrasi dari low menjadi high income country, yaitu dalam 19 tahun. Singapura dan Hong Kong telah termasuk dalam kategori negara berpengasilan menengah bawah (lower middle income) di tahun 1970.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
negara-negara lain di kawasan Asia dan juga di belahan bumi yang lain, terdapat suatu fenomena yang memperlihatkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita negara-negara cenderung tertahan dan berada di kategori middle income untuk waktu yang sangat lama. Negara-negara tersebut berpotensi mengalami jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap)5. Salah satu pembeda utama yang memisahkan negara yang mampu dengan cepat bermigrasi ke HIC dan yang masih tertinggal adalah kapabilitas industrial, yaitu kemampuan memproduksi barang jadi yang kompleks dan komponen barang jadi yang bersifat kompleks6. Kemampuan manufaktur domestik (baik PMDN, PMA, maupun joint ventures) dalam suatu negara untuk memproduksi barang jadi yang kompleks dan komponen-komponen kompleks dari suatu barang jadi mencerminkan kapabilitas industrial yang tinggi (atau ketergantungan teknologi yang rendah). Kapabilitas industrial tersebut selanjutnya akan tercermin pada jenis-jenis barang berteknologi menengah dan tinggi yang mampu diekspor oleh negara tersebut dan/atau yang mampu untuk diproduksi di dalam negeri (tanpa harus mengimpor). Terkait hal ini, beberapa peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan kapabilitas industrial sangat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk bermigrasi menuju negara berpenghasilan tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kapabilitas industrial merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah perekonomian tidak berlama-lama berada di kategori middle income7.
5
Lihat Paus, Eva (2011, 2012).
6
Barang kompleks dapat didefinisikan secara generik sebagai barang yang memiliki banyak komponen didalamnya. Komponen tersebut sangat beragam dari sisi fungsinya, serta saling terintegrasi agar barang tersebut dapat berfungsi secara utuh (Lihat Sosa E.M., et al (2007)). Barang kompleks dapat pula didefinisikan sebagai barang-barang yang dihasilkan oleh industri-industri berteknologi menengah dan tinggi, sementara barang sederhana adalah barang-barang yang dihasilkan oleh industri-industri berteknologi rendah. Contoh barang kompleks adalah turbin, gen-set, chip, microprocessor, laptop, smart-phone, mesin, transmisi dan mobil, sementara contoh barang sederhana adalah sepatu, baju, furnitur, tusuk gigi, air kemasan dan ember plastik. 7
Lihat tulisan Ricardo Hausmann, Jason Hwang dan Dani Rodrik (2005) dan Hausmann et al (2011).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
Grafik VI.4. Evolusi Pendapatan Per Kapita di Berbagai Negara
Sumber: World Development Indicators, Bank Dunia, diolah
Asesmen Kapabilitas Industrial di Nusantara Indonesia sebagai sebuah negara berpenghasilan menengah memiliki banyak ruang untuk memperkuat kapabilitas industrial dan menurunkan tingkat ketergantungan teknologi. Asesmen terhadap struktur produksi dan neraca perdagangan di berbagai wilayah di Nusantara setidaknya memberi indikasi ke arah itu. Grafik VI.5 secara ilustratif memberi gambaran tentang tingkat ketergantungan teknologi di berbagai wilayah di Nusantara, yang diukur dari ekspor neto atau impor neto yang tercatat di wilayah tersebut menurut empat kategori produk. Kategori produk tersebut merujuk pada klasifikasi dari United Nations Industrial Development Organization (UNIDO, 2004), yaitu: (1) produk SDA (non-migas), (2) produk industri berteknologi rendah, (3) produk industri berteknologi menengah dan (4) produk industri berteknologi tinggi. Khusus untuk produk industri berteknologi rendah dilakukan lagi pembagian menjadi produk industri berteknologi rendah padat karya dan produk industri berteknologi rendah padat modal.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
Dapat dilihat pada Grafik VI.5 bahwa di berbagai wilayah di Nusantara terdapat ketergantungan teknologi yang cukup tinggi yang tercermin dari kondisi impor neto untuk produk-produk dalam kategori hasil industri berteknologi rendah padat modal, menengah, dan tinggi. Intensitas ketergantungan terhadap produk-produk industri berteknologi tinggi terlihat kuat di Jabagbar, Jabagtim dan Sumbagteng, yang terkait dengan impor neto (a) produk-produk kompleks barang antara dan modal untuk keperluan industri manufaktur di Jawa dan aktivitas ekstraktif padat SDA (non-migas) di luar Jawa, dan (b) barang jadi yang kompleks bernilai tambah tinggi untuk konsumsi di seluruh Nusantara. Grafik VI.5 juga memberi gambaran tentang kondisi kapabilitas industrial di Nusantara. Produk industri berteknologi rendah padat karya di Kawasan Jawa, Bali-Nustra, dan Sumbagut tercatat mengalami ekspor neto. Sementara itu, di Jabagbar juga tercatat ekspor neto untuk produk industri berteknologi rendah padat modal. Terkait industri-industri padat SDA nonmigas, Nusantara mencatat ekspor neto untuk aktivitas ekstraktif. Kinerja sektor SDA ini terlihat paling kuat di Sulampua dan Sumbagteng. Grafik VI.5. Ketergantungan Teknologi dan Kapabilitas Industrial di Nusantara
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kapabilitas industrial di Nusantara sangat kuat untuk produk-produk sederhana hasil industri teknologi rendah padat karya dan berbasis SDA. Kondisi ini menggambarkan bahwa Nusantara adalah sebuah perekonomian berbasis tenaga kerja berketerampilan rendah-sedang (Kawasan Jawa) dan warisan SDA yang melimpah di luar Jawa (Kawasan Sumatera dan KTI)8. Selanjutnya, Indonesia juga terindikasi masih memiliki ruang yang besar untuk membangun kapabilitas industrial untuk barang kompleks. Barang yang dimaksud terutama: (a) mesin (rotating machinery and equipment) dan (b) barang elektronik berbasis semi konduktor. Barang-barang ini merupakan barang antara untuk industri barang jadi, baik yang produknya kompleks (bernilai 8
Teori Perdagangan Hecksher-Ohlin misalnya mengatakan bahwa sebuah negara akan mendapat keunggulan komparatif pada factor endowments yang tersedia melimpah sehingga industri-industri yang mampu bersaing dalam perdagangan global adalah industri-industri yang basis faktor produksinya selaras dengan endowments yang melimpah tersebut.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
tambah tinggi) maupun sederhana. Hal ini ditunjukkan pada Grafik VI.6 yang menggambarkan informasi mengenai total nilai perdagangan ekspor ditambah impor (total trade size) dari suatu produk berdasarkan klasifikasi Standard International Trade Code (SITC) 3 digit dan rasio penetrasi impor dari produk tersebut (impor dibagi total nilai perdagangan). Dapat dicermati pada Grafik VI.6 bahwa penetrasi impor sangat tinggi (dengan rasio > 0.8 dari total trade size) di berbagai wilayah di Nusantara terutama untuk kategori produk-produk berteknologi menengah-tinggi, terutama jenis rotating machinery dan komponen berbasis semi-konduktor. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam struktur produksi domestik, masih terdapat ruang kosong (middle hollow) untuk industri produsen barang dengan karakteristik dan tingkat teknologi tersebut. Implikasinya adalah penetrasi impor yang sangat tinggi terhadap total nilai perdagangan. Lebih lanjut, fakta bahwa tidak semua rasio penetrasi impor bernilai satu menunjukkan pula bahwa pada derajat tertentu terdapat perdagangan intra-industri pada produk-produk tersebut, walaupun dengan pola yang kemungkinan vertikal karena masih adanya ketergantungan teknologi yang cukup tinggi. Dengan kata lain, produk impor yang juga mampu diproduksi di dalam negeri, tingkat muatan teknologi dan kualitasnya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produk sejenis yang berorientasi ekspor. Grafik VI.6. Ketergantungan Teknologi dan Penetrasi Impor di Berbagai Wilayah Berdasarkan Klasifikasi Produk
Ket: Klasifikasi produk berdasarkan UN Industrial Development Organization (UNIDO, 2004) SITC 3 digit. Klasifikasi wilayah berdasarkan pembagian wilayah kerja Bank Indonesia di Nusantara. Sumber: COGNOS, SITC 3 digit, DSTa, BI, diolah.
Sementara itu, dari sisi yang lain, observasi terkait barang yang memiliki penetrasi ekspor tinggi, yaitu rasio ekspor terhadap total nilai perdagangan > 0.8 menunjukkan bahwa kapabilitas industrial di Nusantara sangat kuat untuk produk sederhana hasil industri berteknologi rendah, khususnya di Kawasan Jawa. Hal ini dapat dicermati pada Grafik VI.7. Karakteristik produk dengan penetrasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
ekspor tinggi tersebut mayoritas merupakan produk yang proses produksinya membutuhkan rotating machinery/equipment, dan/atau peralatan yang berbasis semi-konduktor dengan penetrasi impor di kedua jenis produk ini sangat tinggi, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada Grafik VI.6. Semua observasi di atas menegaskan bahwa kapabilitas industrial Indonesia secara umum sangat kuat untuk industri berteknologi rendah padat karya berketerampilan rendah sampai sedang. Sementara itu, masih terdapat banyak ruang untuk penguatan dan pembangunan lebih lanjut terkait industri barang kompleks dengan tingkat teknologi menengah dan tinggi, yang merupakan prasyarat migrasi menuju negara maju. Grafik VI.7. Kapabilitas Industrial dan Penetrasi Ekspor di Berbagai Wilayah Berdasarkan Klasifikasi Produk
Ket: Klasifikasi produk berdasarkan UN Industrial Development Organization (UNIDO, 2004) SITC 3 digit. Klasifikasi wilayah berdasarkan pembagian wilayah kerja Bank Indonesia di Nusantara. Sumber: COGNOS, SITC 3 digit, DSTa, BI, diolah.
Deskripsi lebih detil untuk setiap wilayah di Indonesia terkait ketergantungan teknologi dan kapabilitas industrial disampaikan di Lampiran III. Sebagaimana yang dapat dipelajari di Lampiran III kapabilitas industrial di Nusantara terlihat menonjol pada industri terkait tekstil, produk tekstil, alas kaki dan furniture, terutama di seluruh wilayah di Jawa (IV, V, dan VI). Industri-industri tersebut adalah industri berteknologi rendah padat tenaga kerja berketerampilan rendah sampai sedang. Sementara itu, ketergantungan teknologi untuk produk industri berteknologi menengah dan tinggi terlihat beragam secara spasial sesuai dengan basis produksi wilayah. Sebagai ilustrasi, Wilayah Kalimantan misalnya, banyak mengimpor barang berteknologi menengah dan tinggi untuk menopang kegiatan ekstraktif berbasis SDA, yaitu peralatan konstruksi sipil dan kapal/struktur terapung untuk barang teknologi menengah, kemudian mesin rotating elektrik dan peralatan pengukuran/pengendali untuk barang teknologi tinggi. Struktur ketergantungan teknologi di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
Kalimantan ini terlihat mirip dengan struktur ketergantungan teknologi di Sumbagteng sebagai wilayah yang basis ekonominya juga sangat sarat aktivitas ekstraktif berbasis SDA. Hal ini terlihat dari produk yang mengalami impor neto di Sumbagteng yang secara umum mirip dengan yang tercatat di Kalimantan (Lampiran III). Sementara itu untuk Kawasan Jawa, ketergantungan teknologi terlihat dari impor neto mesin untuk industri tekstil padat karya di Jabagteng, dan produk padat komponen berbasis semikonduktor di Jabagteng dan Jabagtim (peralatan telekomunikasi). Ketergantungan terhadap barang teknologi padat modal juga terlihat di Kawasan Jawa sebagaimana ditunjukkan oleh impor neto produk baja di Jabagteng dan Jabagtim, serta impor neto barang input berteknologi menengah, seperti pupuk di Jabagtim. Sementara, di Jabagbar dan Jabagtim, tercatat impor neto produk padat rotating machinery serta semikonduktor sebagai barang modal untuk sektor transportasi. Produk dalam kategori ini terutama adalah pesawat terbang, yang merupakan barang modal untuk mendukung ekspansi sektor transportasi udara seiring dengan ekspansi kelas menengah. Tabel VI.1. Faktor-Faktor Penopang Pendapatan Per Kapita Regresi Cross-Section 27 Provinsi di Nusantara (data: Rerata 2005-2010, sumber: BPS & DSta) Variabel Dependen : Pendapatan Per Kapita Variabel Independen Ketergantungan Teknologi
Impor (High Tech + Med Tech + Capital Intensive) Total Impor
-0,64 ***
Pangsa Pendidikan ≥ SMA Total Jumlah Penduduk
1,68 ***
Human Capital Infrastruktur & Pasokan Energi Infrastruktur Jalan Infrastruktur Pelabuhan
Kapasitas Listrik Terpasang
0,42 ***
Rasio Panjang Jalan
-0,38 **
Jumlah Bongkar Muat Total Perdagangan
0,12 **
Investasi PDRB
0,55 ***
Akumulasi Kapital Fisik Konstanta
R-Kuadrat Yang Sudah Disesuaikan Standar Error Dari Regresi Statistik - F
0,87 0,27 21,12
Probabilitas (Statistik - F)
0,00
Heteroskedastisitas White : Probabilitas F (6,19)
0,82
8,57 ***
Ket: Signifikansi pada tingkat * (10%) ; ** (5%) ; *** (1%)
Memperkuat Migrasi Menuju Perekonomian Maju Untuk memperkuat migrasi ke negara berpenghasilan tinggi, Indonesia dapat memanfaatkan ruang yang masih terbuka luas bagi peningkatan kapabilitas industrial (penurunan ketergantungan teknologi) terkait produksi barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi. Regresi cross section di 27 provinsi di Nusantara menunjukkan bahwa penurunan ketergantungan teknologi (diproksi dari rasio impor barang berteknologi menengah-tinggi dan barang padat modal terhadap total impor) merupakan faktor yang sangat penting dalam memengaruhi pendapatan per kapita (Tabel 1). Hasil regresi juga menunjukkan faktor produksi komplementer yang perlu disediakan untuk menopang peningkatan pendapatan per kapita dari waktu ke waktu, yaitu (a) peningkatan jumlah modal
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
manusia dengan pendidikan setidaknya sekolah menengah atas, (b) akumulasi modal fisik (investasi), dan (c) penguatan infrastruktur, khususnya infrastruktur listrik dan konektivitas maritim9. Dari sisi spasial, peningkatan kapabilitas industrial secara nasional dapat diawali dengan memperkuat kapasitas dan kapabilitas industrial di Kawasan Jawa, mengingat saat ini Jawa adalah wilayah dengan kapabilitas industrial yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain di Nusantara. Sebagaimana dilaporkan di Lampiran III, di Jabagbar sudah terdapat industri barang kompleks berteknologi tinggi yang mengalami ekspor neto seperti mesin pembangkit listrik dan permesinan kantor, serta industri barang kompleks berteknologi menengah yang berbasis semikonduktor seperti industri konverter gambar dan suara (elektronik). Di Jabagteng, terdapat industri barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi yang mengalami ekspor neto seperti mesin rotating elektrik dan peralatan distribusi listrik. Sementara itu, di Jabagtim terdapat industri barang kompleks teknologi menengah yang mengalami ekspor neto seperti komponen dan aksesoris kendaraan bermotor dan industri teknologi rendah padat modal, misalnya logam dasar. Dinamika sektoral ini menunjukkan bahwa kapabilitas industrial di Kawasan Jawa berpotensi untuk dapat diperkuat dan diperluas lebih lanjut. Lebih dari itu, Kawasan Jawa juga memiliki ketersediaan faktor produksi komplementer yang relatif lebih memadai dibandingkan dengan wilayah lain di Nusantara dalam rangka menopang pembangunan kapabilitas industrial di Indonesia. Terdapat dua hal penting terkait ketersediaan faktor produksi komplementer di Kawasan Jawa yang dapat memperkuat pertimbangan konsentrasi spasial pembangunan industrial di Nusantara. Pertama, tersedianya institusi-institusi pendidikan tinggi di bidang riset dan IPTEK yang bersaing secara global. Faktor produksi komplementer ini sangat penting mengingat produksi barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi akan sangat padat dalam menyerap tenaga kerja terampil (padat modal manusia)10. Kedua, Jawa adalah lokasi dari dua pelabuhan bongkar muat utama di Indonesia, yaitu Tanjung Priok di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya yang menjadi penopang utama (hub) aliran perdagangan antarwilayah di Nusantara dan antar-Nusantara dengan dunia, sehingga penempatan aktivitas industri di kedua lokasi tersebut dapat menurunkan biaya transportasi dan perdagangan internasional11. Akhirnya, pembangunan kapabilitas industrial untuk komponen kompleks berteknologi menengah dan tinggi di Kawasan Jawa perlu memerhatikan fakta tentang adanya fenomena global offshoring yang semakin menguat dalam rantai nilai global (lihat Boks 1). Fenomena ini mengirim pesan bahwa peningkatan kapabilitas industrial di Kawasan Jawa mensyaratkan bahwa produsen global barang 9
Hasil yang kontraintuitif terkait rasio panjang jalan mungkin mengindikasikan bahwa produktifitas marjinal dari penambahan jalan akan cenderung menurun jika di suatu wilayah konektivitas transportasi daratnya telah jenuh, sehingga penguatan kualitas infrastruktur jalan menjadi relevan. Terkait ini, penelitian oleh Maryaningsih dkk (2012, WP DKEM, BI) dengan metodologi panel data untuk di-33 provinsi menyimpulkan bahwa konektifitas maritim dan ketersediaan sarana/prasarana listrik merupakan faktor-faktor terkait infrastruktur yang kuat pengaruhnya pada peningkatan pendapatan per kapita disamping infrastruktur jalan. Oleh karenanya, secara keseluruhan hasil-hasil empiris ini menunjukkan pentingnya kebijakan pengembangan infrastruktur maritim disamping infrastruktur kontinental. 10
Dalam konteks ini pula, pembangunan kapabilitas industrial terkait barang berteknologi menengah dan tinggi akan dengan cepat mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan menyejahterakan. 11
Terkait aliran perdagangan antar-pulau di Indonesia, lihat kajian MHA Ridhwan dkk (2012, WP – DKEM, BI) dengan menggunakan tabel I/O regional.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
kompleks berteknologi menengah-tinggi membangun rantai produksi barang antara dan komponennya di Kawasan Jawa. Tanpa prasyarat ini, ketergantungan teknologi akan tetap menjadi kendala utama bagi migrasi yang lebih cepat ke kelompok negara berpenghasilan tinggi. Dalam kaitan ini, pembangunan kapabilitas industrial mensyaratkan pula adanya implementasi strategi kebijakan industri, kebijakan pengembangan wilayah, dan penanaman modal yang selaras dan kompetitif terhadap kebijakan di negara-negara pesaing. Negara-negara tersebut saat ini merupakan lokasi produksi dan menjadi bagian penting dari rantai nilai produsen global barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi, misalnya China, Taiwan (Provinsi ROC), Malaysia, dan Thailand.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
BOKS 1. Fenomena Offshoring Produksi Barang Kompleks dalam Rantai Nilai Global dan Implikasinya pada Necara Perdagangan Perdagangan dunia Abad 21 sudah jauh berbeda dari era pra-Revolusi Industri. Pada era itu, biaya transportasi dan komunikasi masih sangat mahal, sehingga produk biasanya diproduksi dekat dengan pasarnya dan perdagangan dunia didominasi pertukaran antar-barang jadi (finished goods). Biaya transportasi dan komunikasi yang rendah di era global Abad 21 menyebabkan “time & space compression” sehingga memungkinkan fragmentasi (offshoring) proses produksi, termasuk spesialisasi produksi untuk barang antara di berbagai lokasi yang berbeda12. Fenomena global offshoring (trade in tasks) tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar A.1 tentang rantai produksi global untuk produk gadgets. Timah mentah yang diekstraksi di Provinsi Bangka dan Belitung akan diekspor ke pasar global untuk kemudian diproses oleh produsen global kabel timah dan solder yang selanjutnya digunakan oleh produsen komponen global (Global Vendor) di berbagai negara. Gambar A.1. Rantai Nilai Global Produk-Produk Gadgets Sebagai Barang Kompleks Berbasis Semikonduktor
Sumber: Dipinjam dan disadur dari FOE (2012) dan Xing (2013)
12
Lihat eksposisi di Gene M. Grossman and Esteban Rossi-Hansberg (2006) dan juga tulisan oleh Thomas Friedman (2005); dan Alan Blinder (2006). Fragmentasi atau offshoring lokasi spesialisasi produksi komponen tersebut kerap pula disebut sebagai fenomena trade in tasks. Lihat juga publikasi WTO (2012) tentang global offshoring (trade in tasks) industri manufaktur.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
Gambar A.2. Distribusi Nilai Komponen-Komponen dari Sebuah Mobil sebagai Barang Jadi Kompleks
Sumber: Dipinjam dan diolah dari BoA Merryl Lynch Automotive Survey (2012) untuk mobil yang dipasarkan di AS
Komponen-komponen kompleks yang diproduksi di berbagai negara selanjutnya akan dikirim ke China untuk perakitan akhir smartphone, tablet PC dan music player, yang kemudian didistribusikan ke konsumen di seluruh dunia melalui rantai distribusi global, termasuk ke Indonesia. Diagram 1 juga memberi indikasi tentang distribusi nilai nominal komponen yang diproduksi di berbagai negara tersebut termasuk nilai tambah dari perakitan akhir di China. Beberapa implikasi terkait neraca perdagangan barang kompleks dan penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dari Ilustrasi pada Gambar A.1 diatas. Pertama, walaupun China hanya menambah sekitar USD6,5 dari proses perakitan akhir, tapi fakta bahwa produk jadi akhir selanjutnya di ekspor dapat menopang neraca perdagangan China untuk produk gadgets tersebut. Jepang, Jerman, dan AS mendapat keuntungan yang terbesar dari seluruh negara produsen komponen, karena sebagian besar nilai tambah komponen kompleks dari gadgets diproduksi di ketiga negara tersebut. Ini berarti pula bahwa di kedua negara tersebut terdapat penyerapan tenaga kerja sains dan teknik dengan keahlian dan keterampilan tinggi (skilled workers) yang terbesar sementara di China terjadi penyerapan tenaga kerja dengan keterampilan sedang. Dampak dari pola penyerapan tenaga kerja ini menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan per kapita akan tetap kuat di negara penghasil komponen kompleks, sementara di China akan terjadi peningkatan pendapatan per kapita terkait penyerapan tenaga kerja berketrampilan menengah yang semakin luas. Indonesia sebagai pemasok bahan baku timah untuk industri global produsen mendapat bagian dari hasil ekspor bahan mentah dan penyerapan tenaga kerja berketrampilan rendah sampai sedang. Akan tetapi karena Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumen terbesar produk akhir gadgets, maka secara total Indonesia mengalami defisit dalam keseluruhan rantai nilai. Defisit tersebut akan dapat menurun jika Indonesia mampu menjadi perakit akhir yang selanjutnya melakukan ekspor. Akan tetapi jika pasar domestik Indonesia yang besar menjadi orientasi pemasaran produk akhir, maka defisit neraca perdagangan hanya dapat diturunkan secara signifikan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
jika Indonesia menjadi lokasi produksi untuk komponen-komponen kompleks dari produk-produk gadgets tersebut, misalnya sebagai lokasi produksi untuk flash memory, processor, display module dan layar sentuh. Hal yang sama juga berlaku untuk produk kompleks lain, misalnya mobil sebagaimana yang diilustrasikan di Gambar A.2. Indonesia akan menguasai nilai tambah terbesar dari produk mobil bila lokasi produksi untuk komponen kompleks jenis rotating machinery / equipment dan yang berbasis semikonduktor ada di Indonesia. Kedua jenis komponen kompleks ini secara total membentuk sekitar 60% dari nilai tambah. Dengan kombinasi muatan lokal yang besar dan mayoritas konsumsi oleh pasar domestik, maka defisit neraca perdagangan terkait produk mobil dapat ditekan pada level yang rendah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penempatan lokasi produksi komponen kompleks di Indonesia oleh produsen global akan memberi dampak positif pada neraca perdagangan. Selain itu akan terdapat pula dampak tambahan berupa penyerapan tenaga kerja berketerampilan tinggi dan pekerja sains/teknologi yang lebih besar. Hal ini akan memperkuat basis penciptaan pendapatan per kapita Indonesia. Akhirnya, dalam keseluruhan konteks diskusi di atas dapat pula disimpulkan bahwa kesinambungan migrasi Indonesia menuju high income country mensyaratkan agar Indonesia menjadi lokasi produksi untuk barang kompleks dan komponen-komponennya serta meningkatkan partisipasinya di dalam rantai nilai global. Dalam ulasan di atas, fokus spasial dari lokasi produksi tersebut dapat dimulai dari Kawasan Jawa sebagai kawasan dengan kapabilitas industrial and ketersediaan faktor produksi komplementer yang telah selangkah lebih maju dibanding kawasankawasan lain di Nusantara.
Daftar Pustaka Blinder, A. (2006), “Offshoring – The Next Industrial Revolution?” Foreign Affairs. March/April BoA Merryl Lynch (2012), “Who Makes the Car – 2012,” diunduh dari http://ftalphaville.ft.com/2012/04/26/975171/the-sum-of-a-cars-parts tanggal 07 Oktober 2013 Friedman, T. (2005), “The World is Flat – A Brief History of the 21st Century,” Farrar, Straus, & Giraux Grossman, G.M. dan Rossi-Hansberg, E. (2006), “The Rise of Offshoring: It’s Not Wine for Cloth Anymore,” Princeton University Hausmann, R., Hwang, J., dan Rodrik, D. (2005), “What You Export Matters,” NBER Working Paper 11905. Hausmann, R., Hidalgo, C., et al (2011), “The Atlas of Economic Complexity, Mapping Paths to Prosperity, Harvard University Center for International Development, Harvard Kennedy School & MIT Media Lab. FOE (2012), “Mining for Smartphones: The True Cost of Tin,” Maryaningsih, N., Hermansyah, O., Savitri, M. (2012), ”Konvergensi Antarwilayah dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,” DKEM, Working Paper Paus, Eva (2011), “Latin America’s Middle Income Trap,” Americas Quarterly, winter 2011.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
Paus, Eva (2012), “Confronting the Middle Income Trap. Insights from Small Latecomers,” Studies in Comparative International Development, 2012, 47: 115-138 Ridhwan, M.H.A., Ibrahim, Indawan, F., Karlina, I (2012), “Perdagangan Antar Daerah, Distribusi, Transportasi, dan Pengelolaan Stok Komoditas Pangan Strategis di Indonesia”, DKEM, Working Paper Sosa, M.E., Eppinger, S.D., dan Rowles, C.M. (2007), “A Network Approach to Define Modularity of Components in Complex Products,” Conference Paper UNIDO (2004), “Inserting Local Industries into Global Value Chains and Global Production Networks: Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia”. World Trade Organization & IDE-JETRO (2011), “Trade Patterns and Global Value Chains in East Asia – From Free Trade to Trade in Tasks”. Xing, Y. (2013), “The Supply Chain of the iPhone and Trade in Value Added,” Asia Development Bank Institute, Regional Conference on Integrating Domestic Industries with Global Production Networks and Supply Chains
ag
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
Lampiran I – Pertumbuhan Ekonomi Daerah NO
PROVINSI
2010 2011
1 ACEH 2.6 2 SUMATERA UTARA 6.4 3 SUMATERA BARAT 5.9 4 RIAU 4.2 5 JAMBI 7.3 6 SUMSEL 5.8 7 BENGKULU 6.1 8 LAMPUNG 6.0 9 BANGKA BELITUNG 6.0 10 KEPULAUAN RIAU 7.2 11 DKI JAKARTA 6.5 12 JAWA BARAT 6.2 13 JAWA TENGAH 5.8 14 DI YOGYAKARTA 4.9 15 JAWA TIMUR 6.7 16 BANTEN 6.1 17 BALI 5.8 18 NUSA TENGGARA BARAT 6.3 19 NUSA TENGGARA TIMUR 5.3 20 KALIMANTAN BARAT 5.5 21 KALIMANTAN TENGAH 6.6 22 KALIMANTAN SELATAN 5.6 23 KALIMANTAN TIMUR 5.1 24 SULAWESI UTARA 7.2 25 SULAWESI TENGGARA 8.2 26 SULAWESI SELATAN 8.2 27 SULAWESI TENGAH 8.8 28 GORONTALO 7.6 29 SULAWESI BARAT 11.9 30 MALUKU 6.5 31 MALUKU UTARA 8.0 32 PAPUA BARAT 29.8 33 PAPUA -3.2
5.2 6.6 6.3 5.0 8.6 6.5 6.5 6.4 6.5 6.7 6.7 6.5 6.0 5.2 7.2 6.4 6.5 -3.2 5.6 6.0 6.8 6.1 4.1 7.4 9.4 7.6 9.1 7.7 10.3 6.1 6.4 25.8 -5.4
2012 I II III 5.1 5.3 5.2 6.3 6.2 6.3 4.7 6.6 6.7 4.5 3.5 3.9 6.1 7.1 7.3 7.0 6.1 5.5 7.2 6.7 6.7 5.7 6.4 6.4 5.8 5.9 5.1 7.6 7.2 8.6 6.4 6.7 6.4 6.3 6.5 6.6 6.5 6.6 6.0 7.1 6.0 4.1 7.3 7.3 7.4 6.3 6.5 5.9 6.1 6.8 6.8 -2.4 2.8 -3.7 5.4 4.9 5.9 5.7 6.1 6.2 6.2 6.8 7.1 6.4 5.9 4.7 6.1 5.4 2.5 7.5 7.2 8.2 10.1 10.7 11.3 8.0 8.1 8.8 10.0 9.4 6.6 8.4 8.3 6.6 15.6 8.9 4.0 7.6 11.7 7.9 7.3 7.3 6.3 35.8 24.6 3.9 -11.2 -3.3 1.3
2013 IV Total I 5.2 5.2 4.8 6.1 6.2 6.1 7.4 6.3 7.2 2.4 3.5 1.2 9.1 7.4 8.4 5.5 6.0 6.2 6.0 6.6 5.5 7.4 6.5 5.8 6.1 5.7 6.1 9.5 8.2 8.3 6.5 6.5 6.5 5.5 6.2 5.9 6.3 6.3 5.7 4.3 5.3 5.1 7.1 7.3 6.6 5.9 6.1 5.8 6.9 6.7 6.7 -0.8 -1.1 4.7 5.5 5.4 5.4 5.4 5.8 5.8 6.6 6.7 6.4 6.0 5.7 5.6 2.0 4.0 0.2 8.4 7.9 7.6 7.8 9.9 9.7 2.0 8.4 7.8 11.0 9.3 10.6 7.6 7.7 7.6 8.2 9.0 8.4 4.3 7.8 3.2 5.8 6.7 6.0 5.2 15.8 9.9 18.9 1.1 16.2
f
II Total III IVf 3.9 3.9 - 4.3 4.0 - 4.4 4.1 - 4.3 6.2 5.5 - 5.9 5.5 - 5.9 5.8 - 6.0 6.1 5.4 - 5.8 5.5 - 5.9 6.0 - 6.2 2.7 1.9 - 2.3 1.7 - 2.1 1.9 - 2.1 7.3 6.7 - 7.1 6.7 - 7.1 7.3 - 7.5 6.1 5.6 - 6.0 5.6 - 6.0 5.9 - 6.1 5.1 4.8 - 5.2 5.2 - 5.6 5.2 - 5.4 6 5.6 - 6.0 6.1 - 6.5 5.9 - 6.1 5.5 5.1 - 5.5 5.1 - 5.5 5.4 - 5.6 5.2 5.7 - 6.1 6.1 - 6.5 6.2 - 6.4 6.3 5.8 - 6.2 5.8 - 6.2 6.0 - 6.4 5.7 6.0 - 6.4 5.8 - 6.2 6.0 - 6.2 6.1 5.9 - 6.3 5.8 - 6.2 5.8 - 6.0 5.7 5.6 - 6.0 5.7 - 6.1 5.5 - 5.7 7 6.9 - 7.3 6.7 - 7.1 6.8 - 7.0 5.7 6.0 - 6.4 6.0 - 6.4 5.9 - 6.1 6.1 6.1 - 6.5 6.2 - 6.6 6.3 - 6.5 3.5 3.9 - 4.3 3.4 - 3.8 4.1 - 4.3 5.4 5.4 - 5.8 4.9 - 5.3 5.3 - 5.5 5.5 5.3 - 5. 7 5.0 - 5.4 5.3 - 5.5 7.5 6.8 - 7.2 6.3 - 6.7 6.8 - 7.0 5.5 5.1 - 5.5 5.6 - 6.0 5.4 - 5.6 1.1 2.4 - 2.8 2.6 - 3.0 1.8 - 2.0 7.2 7.3 - 7.7 6.3 - 6.7 7.1 - 7.3 7.1 10.2 - 10.7 7.2 - 7.6 8.6 - 8.8 6.4 7.1 - 7.5 6.5 - 6.9 7.0 - 7.2 11.2 10.0 - 10.4 7.2 - 7.6 9.8 - 10.0 7.7 6.2 - 6.6 7.9 - 8.3 7.4 - 7.6 10 10.6 - 11.0 7.4 - 7.8 8.9 - 9.1 1.9 4.2 - 4.6 6.1 - 6.5 3.9 - 4.1 6.3 5.4 - 5.8 6.2 - 6.6 6.0 - 6.2 3.6 5.5 - 5.8 5.9 - 6.3 6.1 - 6.3 0.3 0.0 - 0.3 1.7 - 2.1 4.2 - 4.4
Sumber: BPS Provinsi f Proyeksi Kantor Perwakilan Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Lampiran II – Inflasi Daerah NO
PROVINSI
1 Lhokseumawe 2 Banda Aceh 3 Pdg Sidempuan 4 Sibolga 5 Pmtg Siantar 6 Medan 7 Padang 8 Pekanbaru 9 Dumai 10 Batam 11 Tanjung Pinang 12 Jambi 13 Bengkulu 14 Palembang 15 Pangkal Pinang 16 Bandar Lampung 17 Jakarta 18 Serang 19 Cilegon 20 Tangerang 21 Tasikmalaya 22 Bandung 23 Cirebon 24 Bogor 25 Sukabumi 26 Bekasi 27 Depok 28 Purwokerto 29 Surakarta 30 Semarang 31 Tegal 32 Yogyakarta
2010
2011
7.19 4.64 7.42 11.83 9.68 7.65 7.84 7.00 9.05 7.40 6.17 10.52 9.08 6.02 9.36 9.95 6.21 6.18 6.12 6.08 5.56 4.53 6.70 6.57 5.43 7.88 7.97 6.04 6.65 7.11 6.73 7.38
3.55 3.32 4.66 3.71 4.25 3.54 5.37 5.09 3.09 3.76 3.32 2.76 3.96 3.78 5.00 4.24 3.97 2.78 2.35 3.78 4.17 2.75 3.20 2.85 4.26 3.45 2.95 3.40 1.93 2.87 2.58 3.88
Mar 4.15 3.22 4.12 3.74 4.67 3.75 3.95 4.20 2.75 3.27 2.73 3.90 3.65 3.82 5.15 3.42 4.13 3.92 2.76 3.98 4.61 3.76 3.59 2.55 4.69 3.26 2.85 3.75 3.39 3.63 2.41 3.44
2012 Jun Sep 5.92 2.47 3.28 1.67 6.50 3.90 7.12 4.91 7.11 5.26 5.20 2.47 6.19 4.74 5.68 4.21 4.39 3.47 3.41 1.98 3.37 4.25 6.80 4.43 4.80 4.14 3.94 2.60 5.47 5.83 4.66 4.32 4.12 3.97 5.28 4.60 4.08 4.86 4.42 4.54 4.92 5.07 4.00 5.13 4.04 4.28 2.17 4.45 5.25 4.20 4.28 4.99 4.51 4.61 4.24 4.70 4.40 3.19 4.85 5.09 3.75 3.49 4.27 3.91
Des 0.39 0.06 3.54 3.30 4.73 3.79 4.16 3.35 3.21 2.02 3.92 4.22 4.61 2.72 6.57 4.30 4.52 4.41 3.91 4.44 3.87 4.02 3.36 4.06 3.98 3.46 4.11 4.73 2.87 4.85 3.09 4.31
Mar 3.19 1.29 4.29 6.26 6.68 5.78 6.50 5.36 5.56 3.02 5.08 6.06 7.44 5.23 8.80 6.81 5.70 7.57 6.94 6.65 5.11 5.11 6.29 6.61 5.56 5.42 6.85 6.23 6.20 6.66 4.01 6.36
2013 Jun 3.66 3.26 4.33 6.44 6.62 6.76 7.94 5.56 6.28 3.59 6.11 5.24 7.89 4.74 9.38 5.29 5.67 7.13 6.77 7.00 4.97 6.08 6.38 7.76 5.55 6.80 7.02 6.77 5.41 5.67 3.19 5.66
Sep 5.63 5.12 7.47 8.11 9.44 9.51 10.03 7.79 7.53 6.66 9.96 7.96 9.54 7.21 7.35 7.68 8.37 10.13 8.28 9.98 6.97 8.40 8.25 8.92 8.38 9.55 10.43 8.16 8.08 7.89 5.79 7.60
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
Lampiran II – Inflasi Daerah (Lanjutan) NO
PROVINSI
33 Jember 34 Kediri 35 Malang 36 Surabaya 37 Sumenep 38 Probolinggo 39 Madiun 40 Pontianak 41 Singkawang 42 Palangkaraya 43 Sampit 44 Banjarmasin 45 Balikpapan 46 Samarinda 47 Tarakan 48 Manado 49 Palu 50 Makassar 51 Watampone 52 Parepare 53 Palopo 54 Kendari 55 Gorontalo 56 Ambon 57 Ternate 58 Jayapura 59 Manokwari 60 Sorong 61 Mamuju 62 Denpasar 63 Mataram 64 Bima 65 Kupang 66 Maumere
2010
2011
7.09 6.80 6.70 7.33 6.75 6.68 6.54 8.52 7.10 9.49 9.53 9.06 7.38 7.00 7.92 6.28 6.40 6.82 6.74 5.79 3.99 3.87 7.43 8.78 5.32 4.48 4.68 8.13 5.12 8.10 11.07 6.35 9.97 8.48
2.43 3.62 4.05 4.72 4.18 3.78 3.49 4.91 6.72 5.28 3.60 3.98 6.45 6.23 6.43 0.67 4.47 2.87 3.94 1.60 3.35 5.09 4.08 2.85 4.52 3.40 3.64 0.90 4.91 3.75 6.38 7.19 4.32 6.59
Mar 2.49 4.33 3.77 4.19 5.09 3.19 3.36 5.71 6.34 7.59 5.54 6.03 6.17 5.56 5.41 0.95 2.50 4.10 5.69 2.00 4.27 5.10 5.91 8.65 4.54 1.94 3.45 1.72 3.81 4.52 9.14 7.71 3.11 6.21
2012 Jun Sep 4.14 4.40 5.04 5.25 4.42 4.59 4.69 4.30 5.45 6.05 4.67 5.56 3.94 3.91 6.83 5.82 7.77 3.90 6.87 4.95 5.61 4.53 5.51 5.14 4.80 5.67 4.43 4.38 6.28 8.08 3.73 5.23 4.99 6.78 3.91 4.61 4.42 3.94 2.54 3.78 3.99 4.15 4.65 2.03 5.95 5.40 6.25 7.07 4.30 3.87 1.80 2.94 5.78 3.78 3.69 5.98 3.24 3.71 4.32 4.37 8.76 6.13 7.56 7.22 4.37 4.66 8.45 8.07
Des 4.49 4.63 4.60 4.39 5.05 5.88 3.51 6.62 4.21 6.73 4.69 5.96 6.41 4.81 5.99 6.04 5.87 4.57 3.65 3.49 4.11 5.25 5.31 6.73 3.29 4.52 4.88 5.12 3.28 4.71 4.10 3.61 5.10 6.49
Mar 6.51 6.70 7.01 6.63 7.42 8.20 6.04 6.49 4.41 6.45 5.56 5.25 6.84 5.61 6.98 6.83 5.97 4.76 2.90 4.67 4.34 3.02 5.18 2.58 3.97 5.46 7.11 7.76 4.19 6.47 4.92 6.22 7.06 7.38
2013 Jun 5.39 6.06 6.46 5.88 5.56 6.40 5.10 6.96 3.73 6.34 5.81 4.74 7.03 6.64 9.80 4.95 3.89 4.54 3.28 4.50 3.04 3.76 3.59 1.70 2.93 6.07 5.30 5.91 4.30 5.47 5.44 5.62 5.56 3.73
Sep 7.77 7.79 8.16 7.76 6.76 8.02 7.22 8.80 5.43 6.97 7.87 7.09 7.95 10.17 11.50 7.73 7.29 7.41 6.72 7.41 5.33 7.30 3.39 9.86 9.66 8.58 5.38 10.80 5.86 7.91 7.73 9.68 8.88 5.32
Sumber: Badan Pusat Statistik
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
Lampiran III – Profil Struktur Perekonomian Wilayah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
I SULAMPUA
[Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $1.718,63 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 6,5% Rerata inflasi 2009-2012 ……………………... 5,1% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,38 Jumlah penduduk 2010 …………. 23,5 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010…………………….. 7,67
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
Neraca Perdagangan Wilayah
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
SDA
Teknologi Rendah Padat Karya
Teknologi Rendah
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SDA Non-Migas
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
II KALIMANTAN
[Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $3.869,67 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,1% Rerata inflasi 2009-2012 ……………………... 6,3% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,36 Jumlah penduduk 2010 …………. 13,8 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010…………………….. 7,74
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
SDA Teknologi Rendah
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Karya
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
SDA Non-Migas
Neraca Perdagangan Wilayah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
III BALINUSTRA
[Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur]
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $1.217,16 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 4,3% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 6,3% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,37 Jumlah penduduk 2010 …………….. 13 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………….. 7,0
Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
Neraca Perdagangan Wilayah
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri
SDA
Teknologi Rendah Padat Karya
Teknologi Rendah
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Modal
Indikator Utama
SDA Non-Migas
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
IV JABAGTIM [Jawa Timur]
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $2.286,81 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 7,0% Rerata inflasi 2009-2012 ……………………... 5,0% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,35 Jumlah penduduk 2010 …………. 37,5 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010………………………. 7,0
Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
SDA Teknologi Rendah
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Karya
Neraca Perdagangan Wilayah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri
SDA Non-Migas
Indikator Utama
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
JABAGTENG
[Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ………... $1.505,85 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 6,0% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 4,7% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,38 Jumlah penduduk 2010 ………….. 35,8 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………... 7,79
Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
Neraca Perdagangan Wilayah
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri
SDA
Teknologi Rendah Padat Karya
Teknologi Rendah
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Modal
V
SDA Non-Migas
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
VI JABAGBAR [Jawa Barat dan Banten]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $1.934,22 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 6,3% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 4,5% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,39 Jumlah penduduk 2010 …………. 53,7 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………… 7,87
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
SDA Teknologi Rendah
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Karya
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
SDA Non-Migas
Neraca Perdagangan Wilayah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
VII SUMBAGSEL
[Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ………... $1.904,90 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 3,2% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 5,3% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,34 Jumlah penduduk 2010 ………….. 19,7 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………... 7,56
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri
Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
Neraca Perdagangan Wilayah
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
SDA
Teknologi Rendah Padat Karya
Teknologi Rendah
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SDA Non-Migas
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
VIII SUMBAGTENG
[Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $2.178,24 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,6% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 4,9% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,33 Jumlah penduduk 2010 …………. 15,1 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………… 8,28
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
SDA Teknologi Rendah
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Karya
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
SDA Non-Migas
Neraca Perdagangan Wilayah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
SUMBAGUT
[Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ………... $2.230,95 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,9% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 5,1% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,32 Jumlah penduduk 2010 ………….. 17,4 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………... 8,66
Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
Neraca Perdagangan Wilayah
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri
SDA
Teknologi Rendah Padat Karya
Teknologi Rendah
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Modal
IX
SDA Non-Migas
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
DKI JAKARTA [Daerah Khusus Ibukota Jakarta]
Indikator Utama
Karakteristik Daya Saing
Pendapatan per kapita 2010 ……….. $9.875,89 Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,9% Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 5,1% Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,32 Jumlah penduduk 2010 …………. 13,7 Juta Jiwa Rerata lama sekolah 2010……………………… 8,6
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama Untuk Setiap Klasifikasi Industri
Teknologi Tinggi
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga Kerja
SDA Teknologi Rendah
[X-M] Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Total Neraca Perdagangan Non-Migas Teknologi Teknologi Tinggi Menengah
Teknologi Rendah Padat Karya
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
SDA NonMigas
Neraca Perdagangan Wilayah
Teknologi Rendah Padat Modal
Teknologi Menengah
Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
Editor Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Kontributor Kantor Perwakilan Wilayah II – Kalimantan Kantor Perwakilan Wilayah VI – Jawa Bagian Barat Kantor Perwakilan Wilayah VIII – Sumatera Bagian Tengah
Laporan Nusantara