Agustus 2015
Laporan Nusantara
VOLUME 10 NOMOR 3
|1
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Daftar Isi Kata Pengantar Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
Perekonomian Sumatera Boks: Peningkatan Konektivitas Untuk Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah di Sumatera
Bagian III
Perekonomian Jawa Boks: Dampak El Nino Terhadap Kinerja Sektor Pertanian
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan Boks: Transformasi Perekonomian Kalimantan - Pengembangan Hilirisasi di Kalimantan
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Boks: Perkembangan Hilirisasi Berbasis SDA di Kawasan Timur Indonesia
Bagian VI
Isu Khusus Daerah Isu Khusus 1: Peran Fiskal Daerah Dalam Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Isu Khusus 2: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Energi untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan Boks: Growth Diagnostic
Lampiran
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Kata Pengantar Dalam proses perumusan kebijakan, Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka didaerah dilakukan antara Dewan Gubernur 1 dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia . Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan. Pada triwulan II 2015 indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan perekonomian Indonesia masih menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi ini terkait dengan perkembangan perekonomian global yang tumbuh melambat disertai ketidakpastian yang tinggi, menyebabkan harga komoditas dunia masih dalam tren menurun. Lemahnya permintaan global dan koreksi harga mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia dari sisi eksternal yang ditandai oleh terbatasnya perbaikan ekspor, terutama di daerah-daerah yang selama ini mengandalkan sumber daya alam. Di sisi domestik, perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,67%, sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,70%. Perlambatan ekonomi pada triwulan II 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Kawasan Timur Indonesia (KTI). Perlambatan kegiatan ekonomi secara umum terutama dipengaruhi oleh melemahnya investasi dan masih rendahnya belanja fiskal. Kondisi tersebut mengakibatkan melemahnya kegiatan sektor-sektor utama di daerah, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan yang menyebabkan melemahnya daya beli. Sejalan dengan perlambatan perekonomian, penyaluran kredit perbankan tumbuh melambat disertai dengan adanya kecenderungan peningkatan rasio non performing loans (NPL) meskipun masih di bawah 5%. Memasuki triwulan III 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan adanya perbaikan kinerja ditopang oleh potensi peningkatan investasi khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penyerapan belanja daerah. Konsumsi RT diperkirakan akan membaik seiring dengan adanya hari besar keagamaan. Kinerja ekspor manufaktur juga diprakirakan membaik, khususnya di Jawa, sedangkan kinerja ekspor pertambangan KTI diprakirakan terbatas. Sementara itu, perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan masih akan terbatas, seiring dengan menurunnya kinerja pertambangan. Pertumbuhan perekonomian diperkirakan mulai membaik di semester II 2015, meski masih cenderung terbatas. Kondisi ini dipengaruhi perkembangan pemulihan ekonomi global yang masih terbatas dan penurunan harga komoditas, sehingga berdampak pada kinerja ekspor di seluruh wilayah. Secara keseluruhan, permintaan domestik akan masih kuat, salah satunya ditopang oleh upaya pemerintah dalam mengakselerasi penyerapan belanja anggaran di tingkat pusat dan daerah untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur strategis. Kondisi ini diperkirakan dapat menahan melambatnya laju perekonomian lebih lanjut di berbagai daerah. Sementara itu, inflasi pada Triwulan II 2015 di berbagai daerah masih cukup terkendali, meski secara tahunan masih berada pada level yang tinggi karena base effect kenaikan BBM tahun lalu. Terkendalinya inflasi terlihat dari laju kumulatif inflasi (year to date) Januari hingga Juni 2015 yang berada di bawah inflasi kumulatif periode yang sama selama 4 (empat) tahun terakhir. Tekanan inflasi yang relatif minimal pada periode ini didukung oleh terjaganya pasokan dan minimalnya kendala distribusi di tengah peningkatan tekanan permintaan di periode puasa Ramadhan di Juni 2015. Laju inflasi pada Juli 2015 tetap terkendali bahkan secara bulanan juga lebih rendah dibandingkan rata-rata historis inflasi bulan Juli pada 4 tahun terakhir. Inflasi Juli 2015 tercatat sebesar 0,93% (mtm) atau 7,26% (yoy), stabil dibandingkan inflasi pada akhir triwulan II 2015. Terkendalinya tekanan inflasi di berbagai daerah dipengaruhi oleh peran aktif TPID dalam menjaga pasokan pangan serta minimalnya gangguan distribusi 1
Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Laporan Nusantara|i
ditengah meningkatnya tekanan permintaan pada periode Ramadhan. Tekanan inflasi berasal dari peningkatan harga komoditas bahan makanan seperti daging ayam ras dan cabai merah serta peningkatan tarif berbagai angkutan (darat, laut dan udara). Kondisi terkendalinya inflasi diperkirakan terus berlanjut hingga pada akhir Triwulan III 2015 ditengah meningkatnya beberapa risiko inflasi terutama terkait meluasnya kekeringan akibat El Nino. Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Optimisme ini didukung oleh perkiraan surplus produksi pangan dan perbaikan berbagai infrastruktur konektivitas untuk meningkatkan efisiensi distribusi barang. Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi pada tahun 2015 yaitu kendala kesinambungan produksi pangan karena faktor iklim (El Nino) atau sebab lainnya dan pelemahan nilai tukar. Dengan mempertimbangkan risiko tekanan inflasi tersebut, upaya pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan pada berbagai langkah untuk menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, serta kelancaran distribusi barang dari sentra produksi hingga ke konsumen. Upaya pengendalian inflasi ditempuh melalui perluasan cakupan komoditas pangan untuk operasi pasar yang disesuaikan dengan karakteristik konsumsi daerah, secara intensif melakukan kegiatan monitoring kondisi pasokan di gudang-gudang, pemberian subsidi ongkos angkut dan program komunikasi untuk mengelola ekspektasi inflasi masyarakat. Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai peran fiskal dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi daerah dan isu mengenai kedaulatan energi yang merupakan salah satu agenda prioritas pembangunan pada era Kabinet Kerja. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I–IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 20 Agustus 2015 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung Direktur Eksekutif
L a p o r a n N u s a n t a r a | ii
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Perkembangan berbagai indkator ekonomi pada triwulan II 2015 mengindikasikan perekonomian di berbagai daerah masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan II 2015 tercatat sebesar 4,67% (yoy), sedikit melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,72% (yoy). Dinamika lingkungan global yang masih diwarnai oleh tingginya ketidakpastian diikuti oleh masih rendahnya harga komoditas di pasar ekspor memberikan implikasi yang kurang menguntungkan bagi kinerja perekonomian domestik. Kondisi ini berdampak pada masih terbatasnya perbaikan kinerja ekspor di berbagai daerah. Di samping itu, investasi tumbuh melambat karena realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang belum secepat perkiraan serta investasi dari sektor swasta yang terbatas terkait dengan kondisi permintaan domestik dan global yang cenderung melemah. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh belanja fiskal, baik di tingkat pusat dan daerah, yang masih terbatas. Terbatasnya belanja fiskal daerah terjadi justru ditengah meningkatnya alokasi dana transfer daerah yang juga disertai adanya alokasi dana desa. Selain itu, imbas dari penurunan harga komoditas menyebabkan beberapa daerah yang selama ini mengandalkan pada pendapatan bagi hasil sumber daya alam (SDA) harus melakukan penyesuaian belanja daerah (Lihat Isu Strategis 1: Mempercepat Penyerapan Belanja Fiskal Daerah). Demikian halnya dengan pertumbuhan konsumsi RT yang sedikit melambat karena dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang menurun.
Sumber: BPS (diolah)
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2015
Melambatnya pertumbuhan ekonomi terjadi di sebagian besar daerah di wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan secara agregat bahkan masih berada pada level yang rendah yakni sebesar 1,48% (yoy), melambat dibanding periode triwulan sebelumnya yang sebesar 1,69% (yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh kinerja ekspor batubara yang masih terbatas karena rendahnya harga di pasar global dan melemahnya permintaan Tiongkok, serta masih terbatasnya penyerapan belanja fiskal daerah. Produksi minyak bumi yang masih cenderung turun bahkan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur kembali mengalami kontraksi. Demikian halnya dengan perekonomian di sebagian besar daerah di Sumatera yang secara agregat tumbuh 2,85% (yoy) lebih rendah dibanding periode triwulan sebelumnya (3,56%,yoy) karena dipengaruhi terbatasnya peningkatan kinerja ekspor terkait masih rendahnya harga komoditas sehingga berdampak pada melemahnya konsumsi RT. Selain itu, berlanjutnya kontraksi
Laporan Nusantara|1
pertumbuhan di Aceh dan Riau akibat turunnya produksi migas turut memengaruhi perekonomian Sumatera secara keseluruhan. Perkembangan ekonomi di hampir seluruh daerah di Jawa secara agregat juga tumbuh sedikit melambat pada triwulan II 2015 yakni menjadi 5,07% dari 5,13% di triwulan sebelumnya. Perlambatan ekonomi Jawa bersumber terutama dari terbatasnya kinerja ekspor manufaktur dan investasi. Sementara itu, perekonomian berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) secara keseluruhan tumbuh dari 6,84% (yoy) ke 9,01% (yoy) di triwulan II 2015. Namun, perbaikan ekonomi di KTI lebih dipengaruhi oleh faktor base effect 2 dari ekspor mineral . Semakin besarya pengaruh dari penurunan harga komoditas terhadap kinerja ekspor daerah, terutama daerah-daerah yang selama ini mengandalkan pada ekspor barang mentah, menunjukkan langkah untuk mendorong hilirisasi menjadi semakin penting. Hal ini perlu didukung upaya lanjutan untuk membenahi iklim yang diperlukan untuk berkembangnya hilirisasi terutama pada faktor jaminan ketersediaan energi yang merata di seluruh nusantara (Lihat Isu Strategis 2: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Energi untuk Mendukung Ekonomi yang Berkelanjutan). Sejalan dengan kinerja ekonomi yang masih cenderung tumbuh melambat, penyaluran kredit perbankan juga masih terbatas. Hingga akhir triwulan II 2015, penyaluran kredit tercatat tumbuh melambat, baik pada penyaluran kredit ke korporasi (sektor utama) maupun ke sektor rumah tangga. Melambatnya penyaluran kredit ke sektor korporasi terjadi di hampir seluruh wilayah kecuali di KTI yang masih dapat mencatat adanya peningkatan ke beberapa sektor seperti industri pengolahan dan pertanian. Peningkatan penyaluran kredit di KTI terutama untuk pembiayaan kegiatan prapanen dan kebutuhan bibit baru pascapanen, serta pembiayaan ekspansi beberapa industri berbasis SDA. Namun, di sisi lain, non performing loans (NPL) menunjukkan kecenderungan yang sedikit meningkat di seluruh wilayah meski masih di bawah 5%. Penyaluran kredit ke sektor rumah tangga juga mengalami perlambatan di seluruh wilayah dengan disertai NPL yang sedikit meningkat, meski masih berada di bawah ambang batas yang dianggap aman. Pertumbuhan ekonomi yang melambat juga tercermin dari aktivitas transaksi keuangan di sistem pembayaran. Secara agregat, nilai transaksi melalui real-time gross settlement (RTGS) pada triwulan II 2015 tumbuh melambat pada level 17,66% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh di kisaran 21,27%. Nilai transaksi melalui kliring bahkan tumbuh negatif 25,91% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya masih tumbuh di kisaran 10,53%. Adapun dari segi volume transaksi, baik RTGS maupun kliring, mengalami pertumbuhan negatif masing-masing sebesar 34,67% dan 25,74% (yoy). Perlambatan kegiatan transaksi keuangan melalui RTGS dan kliring ini terjadi di hampir seluruh daerah, terutama di Jawa. Memasuki triwulan III 2015, perkembangan indikator ekonomi di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi yang relatif membaik meski masih terbatas. Di Sumatera, membaiknya kinerja perekonomian bersumber dari meningkatnya realisasi belanja pemerintah dan investasi terutama terkait pembangunan proyek infrastruktur berskala besar di beberapa daerah di Sumatera. Namun, perkembangan ekspor hasil perkebunan yang masih terbatas menahan perbaikan ekonomi Sumatera lebih lanjut. Demikian halnya dengan perkembangan ekspor batubara di Kalimantan yang cenderung masih tumbuh melambat sehingga diperkirakan menahan perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan. Perbaikan ekonomi Kalimantan ditopang oleh investasi seiring dengan realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Perekonomian Jawa diperkirakan membaik bersumber dari kinerja ekspor manufaktur yang membaik disertai meningkatnya realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah dan penyerapan belanja daerah yang lebih baik, serta masih kuatnya konsumsi RT. Di sisi lain, perekonomian KTI diprakirakan tumbuh melambat meski masih berada pada level yang cukup tinggi. Melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI terutama dipengaruhi oleh kinerja ekspor tambang yang masih terbatas seiring dengan pembatasan volume ekspor mineral dan berakhirnya masa panen di sektor pertanian.
2
Ekspor mineral kembali dapat dilakukan secara terbatas pada Triwulan III 2015 setelah implementasi larangan kebijakan ekspor mineral yang mulai berlaku pada Januari 2014.
Laporan Nusantara|2
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan III 2015* SUMATERA Tendensi Kawasan
Asesmen
JAWA (Termasuk JAKARTA) Tendensi Kawasan
Asesmen
KALIMANTAN Tendensi Kawasan
Asesmen
TIMUR INDONESIA Tendensi Kawasan
Asesmen
Pertumbuhan Ekonomi
Didorong oleh investasi dan konsumsi rumah tangga.
Peningkatan belanja konsumsi RT (Lebaran & tahun ajaran baru) dan optimisme pelaku usaha atas permintaan ekspor.
Konsumsi RT
Pola musiman, peningkatan ekspektasi konsumen, dampak pelonggaran kebijakan LTV.
Pencairan gaji ke-13, kenaikan gaji PNS dan momen menjelang Lebaran dan Tahun Ajaran Baru.
Peningkatan optimisme konsumen.
Peningkatan permintaan di musim peak season tertahan oleh adanya indikasi pelemahan keyakinan konsumen.
Konsumsi Pemerintah
Peningkatan penyerapan dana desa, peningkatan realisasi anggaran, persiapan pilkada serentak, DPK Pemda menurun hingga Juni 2015.
Percepatan belanja infrastruktur pemerintah, Pencairan gaji ke-13, kenaikan gaji PNS dan momen menjelang Lebaran dan Tahun Ajaran Baru.
Program baru di daerah seperti Dana Desa dan Upsus.
Percepatan realisasi anggaran sesuai pola siklikal setelah penyerapan yang belum optimal di awal tahun.
Investasi (PMTB)
Implementasi proyek pemerintah (jalan tol & rel KA), persiapan Asian Games di Sumsel, perbaikan investasi swasta, kredit investasi masih tumbuh.
Upaya percepatan belanja infrastruktur pemerintah, peningkatan realisasi investasi swasta (industri pengolahan) sesuai dengan rencananya di tahun 2014
Pembangunan IPP dan infrastruktur.
Perlambatan dari sisi investasi bangunan maupun non-bangunan milik swasta serta adanya keengganan pelaku usaha untuk berinvestasi.
Ekspor LN
Harga karet, CPO, karet, batubara internasional yang masih rendah hingga Juli, kebijakan CSF.
Optimisme perbaikan pada permintaan ekspor ke AS & Jepang, meskipun tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Jg tambahan rilis kendaraan baru di bbrp pabrikan otomotif Jabar untuk negara di Kawasan ASEAN.
Masih lesunya permintaan energi.
Perlambatan kinerja ekspor mineral karena diperolehnya izin ekspor pada triwulan yang sama tahun sebelumnya.
Impor LN
Impor guna mendukung realisasi proyek Pemerintah.
Optimisme perbaikan kinerja industri pengolahan, khususnya tekstil di Jateng.
Turunnya permintaan alat berat.
Penurunan konten impor untuk kegiatan ekspor pertambangan dan investasi.
Peningkatan produksi industri pengolahan.
Perlambatan kinerja ekspor hasil tambang dan pertanian.
* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Dari sisi perkembangan harga, inflasi pada Triwulan II 2015 di berbagai daerah masih cukup terkendali, meski secara tahunan berada pada level yang tinggi. Terkendalinya inflasi terlihat dari laju kumulatif (year-todate) inflasi sepanjang periode hingga akhir Triwulan II 2015 di berbagai daerah yang cenderung rendah dan berada di bawah kumulatif periode yang sama dalam empat tahun terakhir. Secara umum, tekanan inflasi yang relatif minimal pada periode ini didukung oleh terjaganya pasokan dan minimalnya kendala distribusi di tengah mulai meningkatnya tekanan permintaan terkait masuknya periode Ramadhan di Juni 2015. Inflasi yang lebih tinggi terjadi di sebagian daerah di Sumatera dan Kalimantan yang dipicu oleh kenaikan harga aneka cabai, daging ayam, dan ikan segar. Meski demikian, secara tahunan (year-on-year) inflasi masih berada pada level yang tinggi terkait faktor base effect dari kenaikan harga BBM pada November 2014 dengan yang tertinggi di Sumatera (7,74%) diikuti KTI (7,43%), Kalimantan (7,33%), dan Jawa (7,06%). Memasuki triwulan III 2015, secara umum laju inflasi pada Juli 2015 tetap terkendali, bahkan secara bulanan lebih rendah dibandingkan rata-rata historis inflasi bulan Juli pada 4 tahun terakhir. Terkendalinya tekanan inflasi di berbagai daerah dipengaruhi oleh terjaganya pasokan pangan, yang didukung oleh adanya panen komoditas pangan strategis seperti bawang merah di beberapa daerah sentra (Brebes dan Bima), serta minimalnya gangguan distribusi ditengah meningkatnya tekanan permintaan pada periode Ramadhan. Tekanan kenaikan inflasi yang lebih tinggi masih terjadi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan yang dipicu oleh meningkatnya harga beberapa komoditas bahan makanan dan juga kenaikan tarif angkutan udara. Kondisi terkendalinya inflasi diperkirakan terus berlanjut hingga pada akhir Triwulan III 2015 ditengah meningkatnya beberapa risiko inflasi terutama terkait meluasnya kekeringan akibat El Nino. Terkendalinya inflasi pada periode ini tidak terlepas dari menguatnya upaya yang ditempuh oleh Pemerintah ditingkat pusat dan daerah dalam menjaga stabilitas harga sebagai komitmen tindaklanjut arahan Presiden RI 3 pada Rakornas VI TPID . Di tingkat pusat, beberapa program kebijakan dilakukan seperti program gerai maritim, pasar murah dan operasi pasar bahan makanan, serta pemberian potongan tarif tol selama masa Ramadhan. Sementara di tingkat daerah, upaya pengendalian harga ditempuh melalui perluasan cakupan komoditas pangan untuk operasi pasar yang disesuaikan dengan karakteristik konsumsi daerah, secara intensif melakukan kegiatan monitoring kondisi pasokan di gudang-gudang, pemberian subsidi ongkos angkut dan
3
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) VI TPID diselenggarakan pada 27 Mei 2015 yang dipimpin langsung oleh Presiden RI
Laporan Nusantara|3
program komunikasi untuk mengelola ekspektasi inflasi masyarakat. Meski demikian, secara spasial tekanan inflasi di wilayah Kalimantan dan Sumatera masih lebih tinggi dari pola historisnya akibat kenaikan harga pangan dan kenaikan tarif angkutan udara yang masih cukup tinggi.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah
PROSPEK, RISIKO DAN TANTANGAN EKONOMI DAERAH Prospek Ekonomi Daerah Perkembangan perekonomian daerah terkini secara agregat mengindikasikan pertumbuhan ekonomi akan mulai membaik di semester II 2015 meski masih relatif terbatas. Hal ini terutama dipengaruhi oleh perkembangan pemulihan ekonomi global yang masih terbatas disertai harga komoditas yang cenderung menurun sehingga berdampak pada kinerja ekspor di berbagai daerah. Perkembangan ekonomi Tiongkok yang masih cenderung melambat memengaruhi kinerja ekspor komoditas tambang di Sumatera dan Kalimantan. Melemahnya perekonomian Tiongkok juga berimbas pada kinerja ekspor manufaktur Jawa yang tumbuh melambat, meski perlambatan lebih lanjut relatif tertahan oleh masih cukup kuatnya permintaan dari Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. Secara keseluruhan, permintaan domestik terkait dengan konsumsi rumah tangga yang masih kuat, serta upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendorong penyerapan belanja anggaran di tingkat pusat dan daerah untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur strategis diperkirakan dapat menahan melambatnya laju perekonomian lebih lanjut di berbagai daerah. Selain itu, penyelenggaraan pilkada serentak di akhir tahun 2015 diperkirakan dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja perekonomian di berbagai daerah. Pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama dialami oleh daerah-daerah di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Jawa terutama disebabkan oleh kinerja ekspor manufaktur yang cenderung tumbuh lebih rendah. Kondisi ini berdampak negatif pada kinerja industri pengolahan di Jawa. Di Sumatera, pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama dipengaruhi kinerja ekspor yang masih cenderung lemah disertai harga komoditas yang cenderung rendah sehingga berdampak pada kinerja di sektor perkebunan dan industri pengolahan berbasis SDA yang cukup dominan di Sumatera. Selain itu, terus menurunnya produksi migas di Aceh dan Riau turut menyebabkan kinerja Sumatera yang lebih rendah secara keseluruhan. Di Kalimantan, perlambatan ekonomi bersumber dari kinerja ekspor tambang yang terbatas disertai produksi (lifting) minyak bumi yang juga menurun. Kondisi ini selanjutnya berdampak pada menurunnya pendapatan ekspor sehingga memengaruhi konsumsi RT. Sementara itu, perekonomian KTI dapat tumbuh lebih tinggi karena kembali dapat dilakukannya ekspor mineral secara terbatas di beberapa daerah, setelah pada periode Januari-Agustus tahun 2014 sempat terhenti sebagai bagian dari langkah pemerintah untuk mendorong hilirisasi di sektor pertambangan. Langkah kebijakan pemerintah ini diikuti dengan adanya beberapa smelter besar yang mulai beroperasi di wilayah KTI, meski masih relatif terbatas.
Laporan Nusantara|4
Di sisi harga, perkembangan inflasi di berbagai daerah hingga akhir tahun 2015 diperkirakan tetap terkendali dan secara agregat di dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung oleh perkembangan inflasi terkini yang masih relatif terkendali terutama pada masa Ramadhan. Di beberapa daerah di Jawa dan KTI, perkembangan inflasi pada periode Ramadhan bahkan tercatat lebih rendah dibanding pola historisnya dalam empat tahun terakhir. Prakiraan terkendalinya tekanan inflasi hingga akhir tahun ini sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung berada di bawah tingkat potensialnya sehingga tekanan dari sisi permintaan diperkirakan masih rendah. Produksi pangan, khususnya beras, diperkirakan masih meningkat dibanding periode tahun sebelumnya meski tidak sebesar yang diprakiraan sebelumnya terkait dengan menguatnya intensitas El-Nino. Intensifnya upaya pemerintah untuk mengamankan capaian produksi pangan domestik diharapkan mampu meminimalkan tekanan inflasi pangan. Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih rendahnya tekanan harga komoditas di pasar global, khususnya harga minyak. Sementara itu, dampak imported inflation dari melemahnya nilai tukar relatif dapat diminimalisir oleh harga komoditas global yang masih cenderung menurun. Terkendalinya inflasi juga didukung oleh terjaganya ekspektasi inflasi baik ditingkat konsumen maupun pedagang.
Risiko dan Tantangan Ke Depan Kondisi pasar global masih menjadi faktor risiko yang perlu terus dicermati. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, risiko pertama bersumber dari besarnya ketidakpastian pemulihan ekonomi global yang diikuti oleh harga komoditas di pasar ekspor yang masih cenderung menurun sehingga berpotensi terus menekan kinerja ekspor daerah. Kondisi ini pada gilirannya berpotensi memengaruhi pendapatan ekspor sehingga berimbas pada daya beli masyarakat yang menurun. Risiko kedua terkait dengan penyerapan belanja daerah yang berpotensi masih belum optimal pada semester II 2015, termasuk belum teratasinya kendala penyerapan dana desa. Bilamana risiko ini termaterialisasi maka akan berimbas pada terbatasnya daya dukung fiskal daerah untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat. Hal ketiga yang menjadi risiko menekan kinerja perekonomian daerah adalah kekhawatiran semakin kuatnya intensitas El Nino yang menyebabkan meluasnya kekeringan di berbagai daerah. Kemungkinan dampak El Nino yang lebih kuat dialami oleh daerahdaerah di Jawa, yang merupakan basis produksi pertanian nasional, dapat berimplikasi pada menurunnya kinerja produksi sektor pertanian nasional secara signifikan. Sementara itu, risiko terkait inflasi yang perlu diwaspadai terutama terkait dengan dampak menguatnya intensitas El Nino. Perkembangan terkini mengindikasikan intensitas El Nino yang menguat dan berada pada tingkat yang sama dengan kondisi El Nino pada tahun 1997-1998. Dampak menguatnya intensitas El Nino ini telah menyebabkan kekeringan yang meluas hingga di daerah yang merupakan basis produksi pangan 4 nasional . Pada kondisi El Nino di tahun 1997, terjadi penurunan produksi padi dibandingkan dengan tahun 1996 hingga sekitar 3,37%. Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kondisi El Nino dengan intensitas yang menguat pada tahun ini diperkirakan berimbas pada lebih rendahnya kenaikan produksi pangan, khususnya beras, dibanding perkiraan sebelumnya yang sebesar 75,5 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Di samping itu, permasalahan kenaikan harga komoditas daging yang terjadi pada awal Triwulan III 2015 di sejumlah daerah serta masih rentannya kestabilan pasokan beberapa komoditas pangan lainnya seperti aneka cabai, ikan segar, dan bawang, turut menjadi risiko yang dapat memberikan tekanan kenaikan inflasi pangan. Selain itu, risiko terkait inflasi yang juga perlu diwaspadai bersumber dari rencana penerapan mekanisme distribusi baru untuk LPG 3 Kg dengan uji coba awal rencananya akan dilakukan di beberapa daerah (Batam, Bali dan Tarakan).
4
BMKG merilis indeks El-Nino pada 24 Juli 2015 berada pada besaran yang sama dengan kondisi di Juli 1997 yakni sebesar 1,49. Indeks El Nino pada tahun 1997 mencapai angka tertinggi 2,38 pada Desember 1997.
Laporan Nusantara|5
Menghadapi dinamika perekonomian yang masih cenderung melambat dan meminimalkan potensi risiko inflasi yang masih ada, setidaknya terdapat empat hal yang perlu menjadi perhatian: Pertama, masih terbatasnya penyerapan belanja daerah hingga semester I 2015 ditengah meningkatnya alokasi transfer ke daerah pada APBN-P 2015 yang juga disertai adanya alokasi dana desa sebagai amanat UU No.6 tahun 2014 tentang Desa. Kondisi ini menyebabkan dana idle milik pemerintah daerah di perbankan meningkat cukup besar. Hal ini menunjukan perlu adanya extra efforts untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang menghambat pemanfaatan anggaran yang meningkat di daerah sehingga anggaran yang besar tersebut dapat secara optimal memberikan stimulasi bagi aktivitas perekonomian. Upaya yang dapat ditempuh diarahkan untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah khususnya untuk merealisasikan proyek infrastruktur daerah, termasuk mempercepat APBD Desa (APBDes) Perubahan sebagai prasyarat pencairan dana desa serta penyusunan petunjuk teknis penggunaan dana dan adanya pendampingan, serta upaya meningkatkan kapasitas desa dalam pengelolaan dana desa. Kedua, harga komoditas di pasar global yang cenderung menurun berimbas pada pendapatan daerah-daerah yang selama ini mengandalkan pada hasil dari sumber daya alam, khususnya minyak bumi dan gas. Hal ini berimplikasi pada kemampuan belanja pembangunan di daerah tersebut yang cenderung semakin terbatas. Mengatasi hal ini diperlukan penerapan strategi pembangunan yang diprioritaskan pada peningkatan nilai tambah produksi di daerah melalui percepatan industrialisasi/hilirisasi dengan tahapan yang jelas dan komitmen yang kuat. Beberapa hal yang telah ditempuh untuk mendorong berkembangnya industrialisasi seperti pemberian insentif fiskal (tax holiday bagi pengembangan industri sumber daya terbarukan dan industri pengilangan minyak bumi, tax allowance) dan upaya mendorong skema pembiayaan public-private partnership (PPP) dalam proses akuisisi lahan, pengembangan proyek, termasuk penjaminan pemerintah melalui PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. Langkah kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat tersebut perlu disertai dukungan dan koordinasi yang kuat dari pemerintah daerah antara lain melalui penyederhanaan regulasi dan perizinan, serta kejelasan tata ruang di daerah. Ketiga, kemajuan realisasi proyek infrastruktur, khususnya terkait penyediaan energi listrik, masih menghadapi tantangan di dalam pelaksanaannya antara lain terkait persoalan lahan, pembiayaan, dan perizinan. Selain itu, pembangunan pembangkit listrik baru perlu lebih diarahkan untuk mendukung berkembangnya industri/hilirisasi di luar Jawa. Untuk itu, dalam implementasi pelaksanaan pembangunan pembangkit listrik diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, dukungan komitmen yang kuat daerah pada arah pengembangan hilirisasi, serta perubahan paradigma penyediaan infrastruktur energi dari demand driven ke arah demand creation sehingga pengembangannya dapat lebih tersebar merata ke luar Jawa. Untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur energi ini, beberapa langkah kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti pemberian prioritas khusus penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan proyek infrastruktur strategis, percepatan pemberian izin prinsip terhadap proyek pengembangan listrik 35 GW, serta relaksasi dan penyederhanaan perizinan. Keempat, mengantisipasi potensi risiko inflasi diperlukan penguatan koordinasi pengendalian inflasi di tingkat pusat maupun daerah melalui TPI dan TPID perlu difokuskan pada lima hal yakni: 1) mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meminimalkan dampak kekeringan akibat El-Nino terutama di daerah-daerah yang merupakan lumbung pangan nasional antara lain melalui penyediaan air melalui pompa, bibit di lahan kering, pengaturan pola tanam. 2) mengelola ekspektasi inflasi masyarakat melalui program komunikasi yang intensif dan terarah, serta meningkatkan kualitas akses informasi harga bagi masyarakat luas. 3) memperkuat stok pangan BULOG sebagai penyangga untuk menjamin stabilisasi harga pangan.
Laporan Nusantara|6
4) melakukan pengawasan yang intensif terhadap distribusi komoditas strategis di daerah untuk memastikan kesinambungan pasokannya bagi masyarakat. 5) melakukan penajaman terhadap agenda pengendalian inflasi di daerah dengan mengacu pada tahapan jangka menengah atau roadmap pengendalian inflasi.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala Departemen Regional pada 10 Agustus 2015 di Balikpapan. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia
Laporan Nusantara|7
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara|8
PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan II 2015 melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Ekonomi Sumatera tumbuh sebesar 2,85% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,56% (yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja ekspor seiring dengan masih rendahnya harga komoditas yang selanjutnya berdampak melemahnya konsumsi rumah tangga (RT). Perlambatan konsumsi rumah tangga ini juga turut memengaruhi kinerja sektor perdagangan. Perlambatan ekonomi terjadi di hampir semua provinsi di Sumatera dan bahkan terdapat dua provinsi yang masih mengalami kontraksi pertumbuhan yakni Aceh dan Riau. Pada triwulan II 2015 hanya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung yang mencatat kenaikan angka pertumbuhan ekonomi. Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2015 diprakirakan mengalami perbaikan, walaupun masih relatif terbatas. Perbaikan kondisi ekonomi terutama ditopang oleh peningkatan realisasi anggaran pemerintah dan investasi, ditengah masih terbatasnya kinerja ekspor. Realisasi proyek infrastruktur berskala besar di beberapa daerah di Sumatera, seperti pembangunan jalan tol dan double track kereta api, serta infrastruktur pendukung Asian Games 2018 diperkirakan akan mampu mendorong kinerja investasi Pemerintah. Perbaikan ekonomi juga diperkirakan didukung oleh menguatnya konsumsi rumah tangga karena pengaruh faktor musiman. Secara spasial, perbaikan ekonomi diperkirakan akan terjadi di hampir seluruh Sumatera, kecuali Aceh dan Riau karena kinerja migas yang diperkirakan masih akan mengalami kontraksi pertumbuhan. Secara keseluruhan, berbagai perkembangan terkini mengindikasikan perekonomian Sumatera pada 2015 diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding prakiraan sebelumnya. Perekonomian Sumatera untuk keseluruhan tahun 2015 diprakirakan tumbuh sebesar 3,40-3,90% (yoy). Perlambatan ini terutama disebabkan oleh kontraksi kinerja migas, serta rendahnya harga komoditas sebagai dampak permintaan global yang belum membaik sehingga menekan kinerja ekspor daerah. Kondisi tersebut diperkirakan menahan kinerja sektorsektor utama di Sumatera seperti pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan. Kinerja sektor pertanian juga dihadapkan pada risiko kekeringan akibat fenomena El Nino yang diperkirakan terjadi di semester II 2015. Perlambatan perekonomian akan terjadi di hampir seluruh Sumatera kecuali Sumatera Selatan dan Lampung seiring dengan pelaksanaan pembangunan megaproyek infrastruktur di kedua provinsi tersebut.
Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga (RT) di Sumatera tercatat tumbuh melambat pada triwulan II 2015 dibanding triwulan sebelumnya. Konsumsi RT pada triwulan II 2015 tumbuh 5,19% (yoy), melambat dibanding triwulan I 2015 sebesar 5,24% (yoy). Melambatnya kinerja konsumsi RT dipengaruhi oleh pendapatan ekspor yang menurun seiring dengan masih rendahnya harga komoditas di pasar global. Sejalan dengan perlambatan konsumsi RT ini, penyaluran kredit konsumsi juga cenderung tumbuh melambat (Grafik II.1) khususnya pada kredit kepemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor. Selain itu, optimisme masyarakat terhadap kondisi perekonomian pada hasil Survei Konsumen juga lebih rendah pada triwulan II 2015 (Grafik II.2). Konsumsi swasta pada triwulan III diperkirakan membaik, didukung oleh perbaikan ekspektasi konsumen. Membaiknya ekspektasi tersebut dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap perbaikan pendapatan seiring pencairan gaji ke-13 dan adanya Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran. Pendapatan petani juga menunjukkan perbaikan yang ditunjukkan oleh perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP) di bulan Juli. Selain itu, adanya kebijakan
Laporan Nusantara|9
pelonggaran rasio Loan To Value (LTV) diperkirakan mampu mendorong penjualan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda dua.
Grafik II.1. Perkembangan Kredit Konsumsi
Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2015 mengalami perbaikan dibandingkan triwulan I 2015. Konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 3,94% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,64% (yoy). Perbaikan konsumsi pemerintah terkait dengan adanya peningkatan penyerapan belanja fiskal di Sumatera. Meski demikian, kenaikan penyerapan anggaran daerah tersebut relatif masih terbatas ditengah transfer daerah yang meningkat. Secara rata-rata, penyerapan belanja fiskal daerah di seluruh daerah Sumatera pada akhir Triwulan II 2015 adalah sebesar 20% dengan penyerapan terendah tercatat terjadi di Riau. Masih terbatasnya penyerapan anggaran tersebut diikuti oleh meningkatnya dana milik Pemerintah Daerah diperbankan (Grafik II.3).
Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemerintah Daerah Sumatera di Bank Umum
Grafik II.4. Perkembangan Giro dan Deposito Pemerintah Daerah Sumatera di Bank Umum
Konsumsi pemerintah diperkirakan masih tumbuh meningkat pada triwulan III 2015. Pertumbuhan tersebut diantaranya didorong oleh pencairan gaji ke-13 PNS serta adanya berbagai upaya khusus yang ditempuh oleh pemerintah untuk mempercepat penyerapan belanja, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, penyerapan Dana Desa juga diperkirakan masih akan terus diakselerasi, mengingat terbatasnya realisasi di semester I 2015. Kondisi simpanan Pemerintah Daerah yang masih terus meningkat hingga triwulan II 2015 ditengah pelemahan kondisi ekonomi regional, memerlukan perubahan paradigma Pemerintah Daerah agar dapat merumuskan langkah strategis dan memanfaatkan dana yang ada sebagai stimulus perekonomian daerah (Grafik II.4).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
Investasi Kinerja investasi tumbuh membaik pada triwulan II 2015 dibanding triwulan sebelumnya, baik investasi pemerintah maupun investasi swasta. Investasi pada triwulan II 2015 tumbuh 1,66% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan triwulan I 2015 yang tumbuh 1,22% (yoy). Peningkatan investasi pemerintah didorong oleh realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang mulai berjalan setelah sempat tertunda pada triwulan sebelumnya. Beberapa proyek infrastruktur yang telah berlangsung antara lain pembangunan tol Sumatera di Ruas Inderalaya-Sumsel dan Ruas Bakauheni-Lampung. Selain itu, terdapat program pencetakan sawah baru melalui pembebasan lahan baru atau alih fungsi lahan oleh pemerintah khususnya di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, dan Bangka Belitung. Dari sisi investasi swasta, Penanaman Modal Asing (PMA) di Sumatera meningkat terutama terkait dengan pembangunan kelistrikan (Grafik II.5) dan investasi replanting komoditas perkebunan (karet dan kelapa sawit). Investasi diprediksikan masih akan tumbuh pada triwulan III 2015, ditopang oleh target Pemerintah dalam rangka mengejar pencapaian belanja modal. Beberapa pembangunan infrastruktur yang turut mendorong pertumbuhan investasi pada triwulan III 2015 diantaranya berlanjutnya pembangunan tol Sumatera, investasi bangunan hotel dalam rangka persiapan Asian Games di Sumatera Selatan, progress pembangunan double track kereta api, serta proyek pencetakan sawah baru. Selain itu, target pencapaian realisasi Dana Desa yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa juga menjadi faktor pendorong peningkatan investasi pemerintah. Sementara itu, investasi swasta terkait proses replanting karet dan peningkatan kapasitas pabrik CPO terutama di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan turut mendorong pertumbuhan investasi swasta di Sumatera. Potensi peningkatan investasi swasta terindikasi dari peningkatan kredit investasi pada triwulan II 2015 dari 8,57% (yoy) menjadi sebesar 10,11% (yoy). Kondisi tersebut juga terkonfirmasi dari indikator penjualan semen yang mulai meningkat (Grafik II.6) serta meningkatnya proyeksi investasi di triwulan III 2015 berdasarkan hasil liaison.
Grafik II.5. Perkembangan PMA Sumatera
Grafik II.6. Konsumsi Semen Sumatera
Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Sumatera menunjukkan perbaikan pada triwulan II 2015, dibandingkan triwulan sebelumnya. Ekspor Sumatera meningkat dari 4,63% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 11,21% (yoy) pada triwulan II 2015. Pertumbuhan ekspor didorong oleh peningkatan kinerja komoditas CPO dan kopi. Perbaikan ekspor CPO terkait dengan langkah pelaku industri pengolahan CPO yang mendorong produksinya sebelum implementasi kebijakan CPO Supporting Fund yang rencananya diberlakukan pada Juli 2015. Peningkatan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
kinerja CPO tersebut mampu menjadi penopang kinerja ekspor secara keseluruhan ditengah kontraksi yang terjadi pada kinerja karet, batubara, dan timah Sumatera (Grafik II.7). Namun, perbaikan kinerja pertumbuhan ekspor diperkirakan masih terbatas (Grafik II.8). Prospek pertumbuhan ekonomi global yang masih berjalan lambat disertai masih rendahnya harga komoditas diperkirakan menekan ekspor Sumatera. Hal itu mengindikasikan demand dunia yang diperkirakan masih akan terbatas dan harga komoditas yang diperkirakan masih belum akan membaik. Kebijakan compound rubber di China yang berlaku per 1 Juli 2015 juga turut memberikan tekanan pada ekspor karet Sumatera ke negara 5 tersebut .
Grafik II.7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Sumatera
Grafik II.8. Perkembangan Ekspor Impor
Impor Aktivitas impor luar negeri Sumatera juga masih mengalami kontraksi, terutama untuk jenis impor bahan baku. Impor Sumatera tercatat turun sebesar -14,94% (yoy), lebih dalam dibandingkan impor triwulan I 2015 yang turun sebesar -5,72% (yoy). Penurunan terjadi pada seluruh jenis barang impor, terutama bahan baku seperti besi dan baja (Grafik II.9). Selain itu, impor pupuk dan gandum Sumatera juga mengalami kontraksi dibanding periode sebelumnya (Grafik II.10). Penurunan impor juga terjadi dari sisi volume impor. Hal ini diperkirakan sebagai dampak melemahnya nilai tukar rupiah. Pertumbuhan impor diperkirakan kembali meningkat pada triwulan III 2015. Hal tersebut dipengaruhi kebutuhan impor barang modal untuk pembangunan infrastruktur dan impor barang konsumsi untuk memenuhi peningkatan permintaan masyarakat saat perayaan hari besar keagamaan. Perbaikan kinerja industri pengolahan diperkirakan juga akan mendorong peningkatan impor bahan baku untuk industri.
Grafik II.9. Perkembangan Nilai Kelompok Impor Sumatera
Grafik II.10. Perkembangan Nilai Komoditas Impor Sumatera
5
Mulai 1 Juli 2015, Tiongkok memberlakukan pengenaan bea masuk karet sebesar 20% untuk compound rubber yang memiliki kandungan karet alam lebih dari 88%. Hal tersebut bertentangan dengan Standard Indonesia Rubber (SIR) yang memiliki kandungan karet alam hampir 100%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Sektor pertanian pada triwulan II 2015 mengalami perlambatan pertumbuhan yang cukup dalam. Sektor pertanian tercatat hanya tumbuh sebesar 2,29% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan I 2015 yang tumbuh mencapai 5,69%. Melambatnya pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja pertanian di beberapa provinsi antara lain Riau, khususnya terjadi pada sub-sektor perkebunan kelapa sawit. Penurunan kinerja sub-sektor perkebunan disebabkan oleh faktor cuaca dan faktor masih rendahnya harga CPO (Provinsi Riau dan Sumatera Utara). Harga CPO internasional yang turun dari USD 625 per metrik ton pada triwulan I 2015 menjadi USD 600 per metrik ton pada triwulan II 2015 menjadi disinsentif bagi perkebunan (Grafik II.11). Kinerja sektor pertanian diperkirakan belum akan mengalami perbaikan yang berarti pada triwulan III 2015. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian masih akan tertahan, antara lain terindikasi dari penyaluran kredit sektor pertanian masih relatif rendah hingga pertengahan tahun (Grafik II.12). Selain itu, kekeringan dan kebakaran hutan di sejumlah wilayah seperti Riau dan Jambi diperkirakan menghambat produksi komoditas pertanian. Namun, pelaku usaha masih optimis bahwa penjualan sektor pertanian akan meningkat (hasil liaison).
Sumber: Bloomberg Grafik II.11. Harga CPO Internasional
Grafik II.12. Penyaluran Kredit Sektor Pertanian
Sektor Pertambangan Sektor pertambangan masih mengalami kontraksi dan menahan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera. Kinerja sektor pertambangan pada triwulan II 2015 turun sebesar -2,62% (yoy), meski tidak sedalam dibandingkan penurunan pada triwulan I 2015 yang sebesar -3,66% (yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh masih terus menurunnya kinerja produksi minyak di Provinsi Riau. Beberapa upaya yang ditempuh untuk menahan laju penurunan produksi minyak bumi seperti penerapan teknologi injeksi uap belum dapat menahan laju penurun produksi lebih lanjut. Sementara itu, produksi batubara masih menghadapi tekanan dari rendahnya harga komoditas di pasar ekspor (Grafik II.13). Kinerja sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan relatif membaik pada triwulan III 2015 meski masih menghadapi tekanan dari harga komoditas tambang yang rendah. Faktor yang menjadi pendorong perbaikan adalah perkiraan peningkatan lifting perusahaan minyak di Riau setelah penerapan teknologi injeksi gas, yang dikonfirmasi oleh data lifting hingga Agustus 2015 (Grafik II-14). Pemanfaatan double track di Sumatera Selatan diperkirakan dapat mendorong perbaikan ekspor batubara. Di sisi lain, terdapat base effect pencatatan produksi emas Martabe di Sumatera Utara sejak bulan Juni 2015 yang turut mendorong peningkatan kinerja sektor ini.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
Sumber : Bloomberg Grafik II.13. Harga Batubara Internasional
Sumber : Kementerian ESDM Grafik II.14. Perkembangan dan Proyeksi Lifting Minyak di Riau
Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan II 2015, kinerja industri pengolahan mengalami perbaikan kinerja dan tumbuh lebih baik dibandingkan triwulan I 2015. Sektor industri pengolahan ini tercatat tumbuh sebesar 3,09% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan lalu yang sebesar 2,24% (yoy). Peningkatan kinerja sektor ini dipengaruhi oleh pertumbuhan kinerja industri makanan dan minuman, seperti yang terjadi di Lampung dan Riau. Hal tersebut dipengaruhi oleh antisipasi peningkatan permintaan domestik menjelang hari besar keagamaan. Impor antar daerah di Sumatera menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yang diperkirakan merupakan bahan baku industri pengolahan. Selain itu, peningkatan kinerja sektor industri pengolahan CPO diperkirakan terkait dengan upaya pelaku untuk mendorong produksi sebelum pemberlakuan kebijakan CPO supporting fund pada Juli 2015 meski perbaikan harga CPO domestik masih terbatas (Grafik II.15).
Sumber : Dinas Perkebunan Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Domestik Sumatera
Grafik II.16. Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Industri Pengolahan
Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan berlanjut di triwulan III 2015. Hal ini sejalan dengan peningkatan ekspektasi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kondisi ekonomi kedepan. Indeks ekspektasi kegiatan usaha hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) sektor industri pengolahan juga mengalami peningkatan dari -6,6 menjadi 0,2 (Grafik II.16). Hasil liaison menunjukkan peningkatan likert scale industri pengolahan untuk penjualan domestik dan ekspor. Telah beroperasinya PUSRI 2B di Palembang dan Pabrik Unilever di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke, Sumatera Utara juga diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan sektor industri pengolahan di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Sumatera pada triwulan II 2015 masih cukup terkendali ditengah mulai meningkatnya tekanan permintaan dan adanya beberapa kendala pasokan di beberapa daerah. Terkendalinya inflasi terlihat dari laju kumulatif (Januari–Juni) yang masih rendah yakni 0,46% (ytd), lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata empat tahun terakhir yang mencapai 1,89% (ytd). Relatif terkendalinya inflasi didukung oleh semakin intensifnya upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas inflasi. Meski demikian, secara tahunan (year on year) inflasi masih berada pada level yang tinggi sebagai dampak base effect kenaikan harga BBM pada November 2014 lalu (Grafik II.17). Provinsi Bengkulu mencatat inflasi yang paling tinggi yakni sebesar 9,90% (yoy), diikuti Kepulauan Riau sebesar 8,21% (yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Aceh sebesar 6,24% (yoy). Tekanan inflasi pada Triwulan II 2015 terutama bersumber dari kenaikan beberapa komoditas pangan seperti cabe merah, daging ayam ras, telur ayam ras dan bawang merah (Grafik II.18). Sepanjang bulan April–Juni 2015, harga cabai merah mengalami kenaikan mencapai 69%. Adanya erupsi gunung Sinabung menyebabkan kenaikan harga bahan pangan di wilayah utara Sumatera seperti Aceh dan Sumatera Utara (Grafik II.19). Sementara itu, terbatasnya produksi bahan pangan dari Pulau Jawa, seperti cabai merah dan bawang merah, ketika menjelang hari besar keagamaan lalu menyebabkan peningkatan harga pada bulan Juni 2015 terutama di wilayah selatan seperti di Lampung, Sumatera Selatan dan Jambi. Kenaikan harga juga terjadi pada komoditas daging ayam ras dan telur ayam ras, akibat terbatasnya jumlah Day Old Chicken (DOC). Beberapa komponen lain yang turut memengaruhi inflasi di Sumatera pada periode Triwulan II 2015 adalah kenaikan harga BBM pada akhir Maret 2015 dan meningkatnya biaya sekolah.
Sumber: BPS, diolah Grafik II.17. Inflasi Tahunan Sumatera (%)
Sumber: BPS, diolah Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera
Sumber: BPS, diolah Grafik II.19. Inflasi Per Provinsi Sumatera
Pada triwulan III 2015, tekanan inflasi diperkirakan meningkat dibandingkan triwulan II 2015. Hal ini terlihat dari realisasi inflasi Juli 2015 yang menunjukkan peningkatan harga terutama untuk komoditas volatile food serta angkutan udara (Tabel II.1). Tekanan inflasi pangan pada periode awal triwulan III 2015 ini terutama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
berasal dari kelompok volatile food yakni cabai rawit, cabai merah dan beras. Sementara itu, peningkatan tarif angkutan udara pada bulan Juli 2015 yang disebabkan oleh peningkatan permintaan sebelum dan setelah Lebaran yang diperkirakan hanya bersifat sesaat. Tekanan inflasi pangan diperkirakan cenderung meningkat hingga akhir Triwulan III 2015 seiring dengan menguatnya intensitas El Nino yang melanda sejumlah daerah di Sumatera. Di samping itu, terdapat risiko kenaikan harga daging dan telur ayam akibat melonjaknya harga pakan yang disebabkan kebijakan penghentian impor jagung pada awal Agustus 2015. Tabel II.1. Komoditas Penyumbang Inflasi Tertinggi Triwulan April – Juli 2015 SUMBANGAN INFLASI (%) KOMODITAS Cabai Merah Bensin Daging Ayam Ras Angkutan Udara Telur Ayam Ras Rokok Kretek Filter Bahan Bakar Rumah Tangga Gula Pasir Bawang Merah Daging Sapi
Apr15 0.02 0.26 0.03 0.01
May15 0.32 0.01 0.09 0.01
Jun15 0.19 0.01 0.04 -0.04
Jul15 0.24 0.00 0.03 0.20
April - Juli 0.78 0.27 0.20 0.18
-0.01 0.02
0.04 0.02
0.05 0.01
-0.01 0.02
0.08 0.07
0.04 0.02 0.10 0.00
0.01 0.01 0.03 0.00
0.00 0.02 0.01 0.01
0.00 0.01 -0.09 0.04
0.05 0.05 0.05 0.05
Sumber: BPS, diolah
Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam rangka pengendalian inflasi menjelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri lalu, TPID di Sumatera telah melaksanakan beberapa kegiatan, sebagai berikut: 1. Pengelolaan ekspektasi masyrakat a. Himbauan kepada masyarakat untuk berkonsumsi dengan bijak. Kegiatan ini bertujuan untuk menghimbau dan mengedukasi masyarakat untuk bijak dan tidak berlebihan dalam berbelanja di bulan Ramadhan. Di beberapa provinsi, himbauan ini dilaksanakan bekerjasama dengan MUI ataupun pemuka agama untuk memperluas jangkauan sosialisasi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh beberapa provinsi seperti Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Riau, dan Jambi. b. Konferensi pers terkait kesiapan Pemerintah menjelang hari besar keagamaan. Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pasokan bahan makanan mencukupi selama bulan Ramadhan. Beberapa kegiatan yang mendukung program ini adalah: 1) Pemantauan harga secara regular yang dilaksanakan oleh Disperindag Provinsi/Kabupaten Kota maupun Survei Pemantauan Harga yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. 2) Publikasi harga baik melalui website PIHPS maupun surat kabar. 3) Inspeksi mendadak yang dilaksanakan oleh kepala daerah di pasar-pasar tradisional serta gudang/distributor untuk mengingatkan pedagang dan distributor untuk tidak menimbun dan menaikkan harga secara berlebihan. 4) Pemantauan kesiapan distributor akan pasokan sampai dengan beberapa bulan ke depan yang dilaksanakan oleh seluruh provinsi. 5) Komunikasi kepada masyarakat mengenai berbagai kesiapan yang telah dilakukan sehingga masyarakat tidak perlu resah serta menghindari panic buying menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. 2. Kegiatan pengendalian harga dan menjaga daya beli masyarakat. Dalam rangka menjaga kestabilan harga dan daya beli masyarakat yang kurang mampu, dilaksanakan beberapa kegiatan seperti:
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
a.
3.
Penyusunan data kalender pangan dan kerjasama antar daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk memproyeksi kebutuhan dan ketersediaan komoditas dalam beberapa bulan ke depan. Untuk Provinsi yang mengalami defisit komoditas tertentu merespon dengan melaksanakan kerjasama perdagangan dengan distributor (Sumatera Utara dan Sumatera Barat) b. Operasi pasar dan pasar murah. Operasi pasar dilaksanakan apabila kenaikan harga bahan makanan telah mencapai level tertentu (10% dalam setahun terakhir). Adapun penyelenggaraan pasar murah dilaksanakan bekerjasama dengan instansi terkait termasuk BUMN, TNI, Polri, dsb. Dari sisi pengendalian harga, kegiatan ini bermanfaat untuk membentuk ekspektasi masyarakat bahwa akan terdapat respon dari pemerintah apabila terdapat kenaikan harga di pasar. Sementara itu, penyelenggaraan pasar murah bersubsidi di daerah-daerah terpencil diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat yang kurang mampu. c. Percepatan distribusi raskin. Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan kecukupan ketersediaan beras bagi masyarakat yang kurang mampu. Di samping itu, dalam hal pengendalian harga, kegiatan ini cukup bermanfaat untuk meningkatkan pasokan bahan makanan dengan harga yang terjangkau. Kelancaran distribusi. Beberapa kegiatan yang dilakukan untuk menjaga kelancaran distribusi bahan makanan adalah: a. Prioritas transportasi yang membawa bahan makanan b. Pembatasan kapasitas muat kendaraan untuk mengurangi traffic lalu lintas dan menjaga kualitas jalan, serta pengaktifan jembatan timbang. c. Pengendalian tarif batas atas dan bawah angkutan d. Pengembangan infrastruktur transportasi
Selain itu, menindaklanjuti arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), TPID se-Sumatera telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Arahan dalam Rakornas
Progress
1
Pembentukan TPID Kab/Kota
2
Identifikasi inflasi
3
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pangan Penanaman cabai merah di pekarangan
Masih 6 Kabupaten di Prov. Lampung dan 6 Kabupaten di Prov. Aceh belum memiliki TPID Semua TPID Provinsi telah memiliki PIHPS dan menyusun mapping komoditas utama penyumbang inflasi ke dalam Roadmap Pengendalian Inflasi Provinsi Rencana pembangunan Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) dan Lembaga Distribusi Pangan (LDP). Optimalisasi program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
5
Alokasi anggaran untuk stabilisasi harga (pasar murah, subsidi ongkos angkut)
Telah dilakukan pasar murah Ramadhan bekerja sama dengan anggaran APBD
6
Pengawasan pasokan dan distribusi bahan makanan bersama aparat penegak hukum Revitalisasi peran BULOG sebagai penyangga yang juga meliputi komoditas selain beras Kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan pengawasan dan mencegah aksi-aksi penimbunan Pengembangan pasar lelang komoditas
Telah dilakukan sidak TPID bersama aparat hukum di pasar, gudang distribusi dan sentra produksi.
4
7
8
9
komoditas
penyumbang
Operasi pasar cabai merah
Inspeksi mendadak ke gudang-gudang distributor bahan pokok Berencana mengikutsertakan lelang komoditas penyumbang inflasi dalam pasar lelang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja penyaluran kredit korporasi tumbuh melambat sejalan dengan perlambatan ekonomi di Sumatera. Pada triwulan II 2015, kredit korporasi tumbuh 9,36% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 9,63% (yoy) (Grafik II.20). Secara sektoral, melambatnya penyaluran kredit terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit di sektor industri (Grafik II.21). Perlambatan kredit korporasi di sektor industri diduga terkait dengan kondisi ekonomi global dan regional.
Grafik II.20. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.21. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera
Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga, tercermin dari kualitas kredit korporasi yang masih berada dalam batas aman (Grafik II.22). Namun demikian, tren peningkatan non performing loan (NPL) yang terjadi perlu diwaspadai. Kenaikan NPL terutama terjadi pada debitur industri minerba dan debitur sektor perdagangan. Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami peningkatan dari 6,42% (yoy) menjadi 8,56% (yoy) pada triwulan II 2015 (Grafik II.23). Peningkatan terutama terjadi pada rekening giro. Kondisi ini juga masih merupakan dampak dari perlambatan ekonomi domestik dan global, yang mendorong pelaku usaha membatasi ekspansi usaha sehingga simpanan giro masih mengalami peningkatan. Di sisi lain, simpanan deposito mengalami perlambatan yaitu dari 6,51% (yoy) jadi 3,42% (yoy).
Grafik II.22. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.23. Perkembangan DPK Korporasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
Ketahanan Sektor Rumah Tangga 6
Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumatera mengalami perlambatan. Kredit konsumsi melambat dari 21,54% (yoy) di triwulan I 2015 menjadi 14,14% (yoy) di triwulan II 2015. (Grafik II.24). Perlambatan terjadi pada seluruh jenis kredit baik kredit multiguna, kredit properti maupun kredit kendaraan bermotor. Namun demikian, perlambatan kredit rumah tangga tersebut tidak disertai dengan perbaikan kualitas kredit yang ditunjukkan dengan peningkatan NPL dari 1,94% pada triwulan I 2015 menjadi 2,04% pada triwulan II 2015 (Grafik II.25). Peningkatan NPL terjadi baik pada kredit kendaraan bermootor, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun multiguna. Penurunan pendapatan sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang belum membaik diperkirakan memberikan andil terhadap kenaikan NPL di sektor rumah tangga.
Grafik II.24. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera
Grafik II.25. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Sumatera
7
Pada triwulan II 2015 penghimpunan dana sektor rumah tangga mengalami perlambatan (Grafik II.26). Penghimpunan dana tumbuh sebesar 8,92% pada triwulan II 2015, lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 10,72%. Perlambatan terjadi pada seluruh jenis simpanan terutama jenis deposito. Hal ini juga sejalan debt service ratio yang menunjukkan peningkatan pengeluaran masyarakat untuk konsumsi dan cicilan pinjaman pada triwulan II 2015. Namun, angka persentase cicilan pinjaman masih di bawah batas yang dianggap aman (30%) (Grafik II.27).
Grafik II.26. DPK Rumah Tangga
Grafik II.27. Debt Service Ratio
6
Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan Usaha Lainnya 7 Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit UMKM di Sumatera mengalami perlambatan, disertai dengan penurunan pangsa kredit UMKM terhadap total kredit. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan II 2015 tumbuh sebesar 3,78% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang sebesar 11,10% (yoy). Perlambatan disebabkan oleh adanya kebijakan Pemerintah dalam mengubah plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi lebih rendah. Selain itu, suku bunga juga rencananya akan diturunkan menjadi lebih rendah. Namun belum disahkannya keputusan tersebut membuat pelaku usaha UMKM menahan pinjaman kreditnya. Jumlah kepemilikan rekening kredit UMKM turut mengalami perlambatan dibandingkan triwulan I 2015 dari 24,57% (yoy) menjadi 12,37% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan penyaluran kredit UMKM disertai dengan menurunnya kualitas kredit, ditandai dengan kenaikan rasio non-perfoming loan (NPL) dari 5,89% di triwulan sebelumnya, menjadi 6,10%. Adapun penyaluran kredit UMKM mayoritas disalurkan kepada sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 51,75%, selanjutnya diikuti sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan sebesar 16,90%, dan sektor industri pengolahan sebesar 7,64%. Komposisi ini relatif sama dengan komposisi debitur UMKM pada triwulan I 2015.
Grafik II.28. Perkembangan Kredit UMKM Sumatera
Grafik II.29. Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera
Pengelolaan Sistem Pembayaran Perlambatan perekonomian Sumatera juga tercermin dari kegiatan sistem pembayaran non tunai yang melambat. Transaksi perbankan di wilayah Sumatera melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BIRTGS) pada Triwulan II 2015 tumbuh 23,25% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 26,88% (yoy). Kegiatan kliring perbankan di wilayah Sumatera juga mengalami penurunan sebesar 13,05% (yoy) menjadi Rp56,05 triliun, lebih dalam dibandingkan triwulan I 2015. Tabel II.2. Perkembangan RTGS Sumatera Perkembangan RTGS Sumatera Nilai (Rp Milliar) Volume (ribu lembar) Pertumbuhan (%yoy) Nilai Volume
I 618,755 604 22.8 5.0
2013 II III 744,812 755,021 641 610 8.9 (1.0)
17.4 (8.1)
IV 831,991 663
I 637,643 564
22.1 (5.9)
3.1 (6.5)
2014 II III 805,284 865,027 600 590 8.1 (6.5)
IV 963,619 602
14.6 (3.2)
15.8 (9.2)
2014 II III 64,464 63,734 1,698 1,569
IV 63,711 1,577
2015 I II 809,031 992,512 348 358 26.9 (38.4)
23.2 (40.4)
Tabel II.3. Perkembangan Kliring Sumatera Perkembangan Kliring Sumatera Nilai (Rp Milliar) Volume (lembar) Pertumbuhan (%yoy) Nilai Volume
I 65,587 1,649 6.5 7.7
2013 II III 63,249 67,636 1,628 1,569 (2.3) 1.8
4.7 1.5
IV 62,921 1,617
I 61,632 1,598
(3.5) 2.0
(6.0) (3.1)
1.9 4.3
(5.8) -
1.3 (2.5)
2015 I II 57,629 56,051 1,435 1,421 (6.5) (10.2)
(13.1) (16.3)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Transaksi keuangan tunai di Triwulan II 2015 menunjukkan peningkatan sejalan dengan masuknya bulan Ramadhan. Aliran uang kartal di Sumatera menunjukkan kondisi net outflow sejalan dengan tingginya kebutuhan akan uang tunai di musim liburan sekolah serta hari besar keagamaan, berbeda dengan triwulan sebelumnya yang menunjukkan net inflow. Kondisi net outflow ini dialami hampir seluruh provinsi di Sumatera kecuali Sumatera Barat. Secara total, net outflow Sumatera di Triwulan II 2015 mencapai Rp13,82 triliun meningkat 85,99% (yoy). Berdasarkan provinsinya, aliran uang keluar (outflow) terbesar berasal dari provinsi Sumatera Utara yang mencapai Rp7,05 triliun. Sementara itu, perkembangan uang palsu pada triwulan II 2015 ini menunjukkan penurunan dari 3.619 lembar menjadi 2.618 lembar dengan temuan uang palsu terbanyak berada di Lampung dan Sumatera Utara.
Grafik II.30. Perkembangan Inflow-outflow Sumatera Tabel II.4. Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Sumatera
PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Sumatera untuk tahun 2015 diprakirakan melambat dibandingkan tahun 2014 dan cenderung berada dibawah prakiraan sebelumnya. Perkembangan kondisi terkini mendorong perkiraan ekonomi Sumatera di tahun 2015 mengalami koreksi ke bawah atau menjadi berada pada kisaran 3,40-3,90% (yoy). Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya kinerja pertambangan minyak bumi dan gas Sumatera. Selain itu, kinerja ekspor komoditas perkebunan dan industri pengolahan juga diperkirakan melambat. Indikasi permintaan dunia yang belum menguat masih akan membatasi prospek perbaikan harga komoditas global ke depan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
Kondisi harga komoditas yang belum membaik memberikan tekanan terhadap kinerja sektor pertanian dan pertambangan Sumatera. Berbagai hasil liaison mengkonfirmasi bahwa tekanan harga sangat terasa di pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dan karet. Tekanan pada sektor pertanian juga ditambah oleh potensi kekeringan yang dialami beberapa wilayah di Sumatera akibat fenomena El Nino. Sementara itu, kinerja sektor pertambangan masih terbatas seiring dengan tekanan harga jual yang masih terjadi pada komoditas batubara, meskipun terdapat optimisme terhadap produksi minyak bumi ke depan. Perlambatan kinerja beberapa sektor utama di Sumatera diperkirakan mengakibatkan kinerja konsumsi rumah tangga Sumatera dan ekspor juga turut mengalami perlambatan. Berdasarkan berbagai risiko tersebut, Pemerintah dan berbagai pihak perlu menyusun rencana bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera agar lepas dari ketergantungan kondisi komoditas utama. Dukungan fiskal dalam realisasi berbagai proyek menjadi penentu untuk menekan biaya logistik Sumatera yang masih relatif besar. Berbagai proyek yang tengah dilakukan di Sumatera seperti mega proyek jalan tol Sumatera di ruas Lampung-Sumatera Selatan, serta jaringan kereta api perlu terus dipantau agar dapat berjalan lancar. Selain dukungan fiskal, berbagai proyek infrastruktur perlu mendapatkan dukungan khususnya terkait kejelasan Pemerintah Daerah mengenai pembebasan lahan. Berbagai proyek perlu terus didorong agar segera berlanjut dari fase groundbreaking. Penyelesaian berbagai proyek infrastruktur dasar ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi di Sumatera serta menarik minat investor untuk mengembangkan sumber pertumbuhan baru lainnya seperti hilirisasi industri, kegiatan perdagangan, dan potensi kegiatan ekonomi lainnya (Lihat Boks).
Prospek Inflasi Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan masih berada dalam kisaran yang sejalan dengan sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung dengan pencapaian inflasi tahun kalender hingga Juli yang baru mencapai 1,56%, lebih rendah dari nasional 1,90%. Perbaikan produksi pangan di awal tahun dan realisasi program pemerintah dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian diperkirakan cukup berkontribusi dalam peningkatan produksi pertanian, sehingga mendukung terjaganya inflasi Sumatera selama tahun 2015. Dari sisi permintaan, masih belum membaiknya harga komoditas menyebabkan terbatasnya pendapatan masyarakat sehingga konsumsi relatif lebih tertahan. Meskipun demikian, terdapat beberapa potensi risiko inflasi karena El Nino ke depan yang perlu diwaspadai, terutama yang berasal dari komoditas volatile food. Risiko kekeringan di sentra produksi dapat berdampak pada penurunan volume produksi yang berpotensi akan diikuti dengan gejolak kenaikan harga bahan makanan. Selanjutnya, risiko inflasi administered price berasal dari rencana penyesuaian tarif Listrik, LPG 3 kg serta harga BBM. Dari kelompok inti, tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah meskipun diminimalisir dampaknya oleh harga komoditas yang menurun. Di samping itu, tingginya alokasi infrastruktur di tahun 2015 dapat berdampak pada meningkatnya permintaan dan harga bahan bangunan terutama menjelang akhir tahun.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
Secara umum, kondisi perekonomian kabupaten/kota di wilayah timur Sumatera relatif lebih baik 8 dibandingkan di wilayah barat Sumatera. Hal ini tercermin dari beberapa indikator perekonomian seperti PDRB per kapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) per kapita yang lebih tinggi di pantai timur Sumatera. PDRB per kapita mengindikasikan tingkat kesejahteraan dan potensi perekonomian. Sementara itu, PAD mengindikasikan kapasitas ekonomi daerah terkait dengan pembayaran pajak hasil usaha. PAD juga mengindikasikan kemampuan fiskal pemerintah daerah untuk berperan dalam pembiayaan pembangunan. Adanya perbedaan atau kesenjangan ekonomi antara wilayah timur dan barat Sumatera ini disebabkan antara lain oleh sejumlah faktor berikut : (1) perbedaan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) terutama migas yang terletak di pantai timur (Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan);(2) risiko rawan gempa geografis di wilayah barat, serta (3) keuntungan geografis wilayah timur yang dekat dengan negara-negara ASEAN.
Gambar II.1. PDRB Per Kapita dan Kapasitas Fiskal Daerah di Sumatera
Dari aspek investasi, baik yang dilakukan baik oleh asing (PMA) maupun domestik (PMDN) menunjukkan adanya perbedaan antara investasi di wilayah barat dan timur Sumatera. Secara nilai, investasi terbesar PMA dan PMDN terdapat di Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, sementara investasi terendah di Sumatera adalah di provinsi Bengkulu. Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh rasio realisasi investasi terhadap PDRB yang menunjukkan angka lebih tinggi di Provinsi Sumatera Selatan, Aceh dan Riau. Sementara itu, Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat menjadi provinsi dengan rasio realisasi investasi terhadap PDRB terendah. Sementara itu, terdapat pula perbedaan pada aspek kualitas sumber daya manusia dan tingkat kemiskinan antara daerah di pantai barat Sumatera dengan pantai timur Sumatera. Hal ini tercermin dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang cenderung lebih tinggi untuk daerah-daerah seperti di Riau, Kepri, dan Sumut. Gambaran saya sama juga terlihat pada tingkat kemiskinan yang cenderung lebih besar di daerahdaerah barat Sumatera seperti Aceh dan Bengkulu. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesenjangan wilayah timur dan barat Sumatera ini adalah terkait dengan akses terhadap daerah lain yang salah satunya melalui konektivitas udara. Studi menunjukkan bahwa adanya hub dalam penerbangan merupakan kunci untuk memaksimalkan konektivitas dalam meningkatkan 8
Wilayah timur meliputi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara wilayah barat meliputi Aceh, Sumatera Barat, dan Bengkulu.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
9
perdagangan serta investasi yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Saat ini, konektivitas udara antar provinsi di Sumatera terhubungkan melalui 3 (tiga) hub yakni Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Provinsi Kepulauan Riau (Batam) merupakan pintu gerbang ke negaranegara ASEAN yang saat ini sudah hampir seluruhnya terkoneksi melalui angkutan udara keseluruh provinsi di Sumatera kecuali Aceh. Di wilayah utara, konektivitas udara terhubung melalui kota Medan di Sumatera Utara sementara di wilayah selatan terhubung melalui kota Palembang di Sumatera Selatan. Adapun hub konektivitas udara melalui ketiga kota tersebut masih berpusat di wilayah timur. Di sisi lain, konektivitas di wilayah barat masih relatif terbatas seperti kota Padang yang baru terhubung dengan tiga kota dan Bengkulu dengan dua kota. Sumsel 4.20
Riau
3.53
Kep. Babel
3.30
Kepri
2.56
Lampung
2.32
Sumut
2.06
Sumbar
1.05
Jambi
0.99
Bengkulu
0.52
679.69 523.77 308.41 231.01 182.92 167.04 153.86 130.45 56.39 45.24
Grafik II.31. Nominal PMA dan PMDN Tahun 2014 (Rp triliun) Grafik II.32. Rasio PMA dan PMDN terhadap PDRB Tahun 2014
P JUTA)
.9
Riau Sumut Sumsel Lampung Kepri Sumbar Jambi Aceh Kep. Babel Bengkulu
6.35
Aceh
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) 2013 77.3 76.6
75.6 75.0
74.9 74.4
74.4
74.4 73.1
29.0
bar Lampung
26.7
24.8
Aceh
Bengkulu
Riau
Kepri
Sumut
Sumbar
Babel
Bengkulu Sumsel
Jambi
Aceh
72.9
Lampung
Sumber: BPS
Grafik II.33. Indeks Pembangunan Sumatera (2013)
Bengkulu 0.39 Aceh0.37 0.38 Lampung Sumsel Sumut Jambi Riau Sumbar Kepri Bengkulu Sumsel Babel Riau
GINI RATIO (2013)
0.36
0.36
Sumbar
0.36
17.1 17.0 0.35
9.9 8.4 8.0 6.9 6.4 Kepri5.0 Lampung Sumut
0.35
Jambi
0.34 14.2 13.6
Aceh
0.31
Babel
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.34. Tingkat Kemiskinan di Sumatera (%)
Hasil simulasi dengan menggunakan teknik minimum spanning tree menunjukkan gambaran optimal untuk 10 pengembangan konektivitas udara (Gambar 3) . Untuk meningkatkan konektivitas di wilayah barat, Provinsi Aceh memerlukan tambahan konektivitas ke Provinsi Sumatera Barat serta konektivitas antara Sumatera Barat dan Bengkulu. Sementara itu, untuk menghubungkan wilayah barat dan timur diperlukan konektivitas tambahan antara provinsi Sumatera Barat dan Riau. Selain itu, untuk mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, diperlukan konektivitas tambahan yang dapat menghubungkan Jambi dengan wilayah utara yakni Sumatera Utara dan wilayah selatan yakni Lampung. Adapun Kepulauan Bangka Belitung yang terpisah 9
Banno & Redondi (2014). Air connectivity and foreign direct investments : Economic effects of the introduction of new routes. European Transport Research Review. Springer. 10 Penggunaan teknik ini bertujuan untuk mendapatkan solusi konektivitas terbaik (efisien) yang dapat memberikan dampak ekonomi signifikan. Sebagai asumsi dasar, daerah yang paling banyak terhubung dengan daerah lain diyakini akan memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi. Konektivitas dalam studi ini diterjemahkan dalam bentuk analisa jarak secara geografi, proksi demand dan kapasitas ekonomi dengan pembobotan pada jarak ekonomi. Hal ini sejalan dengan harapan bahwa adanya konektivitas akan membuat pusat pertumbuhan baru dan memberikan dampak positif (spillover effect) kepada daerah sekitarnya. Simulasi menggunakan jarak secara geografi yang dihitung berdasarkan jarak antar pelabuhan udara di masing-masing daerah yang terkoneksi dengan daerah lainnya. Sementara frekuensi penerbangan langsung dari suatu daerah ke daerah lainnya di Sumatera menjadi proksi demand. serta. Adapun jarak secara ekonomi didekati dengan menggunakan korelasi pertumbuhan ekonomi antar daerah yang ditransformasikan menjadi pseudodistance.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
dengan daratan Sumatera juga terindikasi memerlukan adanya konektivitas baru yakni menuju Bengkulu dan Jambi. Keberadaan konektivitas langsung ke provinsi di wilayah barat tersebut diharapkan dapat memberikan spillover effect positif kepada kinerja ekonomi di daerah tersebut dan wilayah di sekitarnya sehingga secara tidak langsung akan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah barat dan timur Sumatera.
Gambar II.2. Kondisi Eksisting Konektivitas Udara di Sumatera
Gambar II.3. Hasil Simulasi Gambaran Optimal Konektivitas Udara di Sumatera
Perluasan konektivitas udara perlu diselaraskan dengan upaya menyeimbangkan pusat pertumbuhan di Sumatera sebagai salah satu strategi untuk mengurangi kesenjangan wilayah timur dan barat. Kebijakan yang mendorong pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah barat perlu didukung antara lain melalui perluasan akses konektivitas udara. Agar kebijakan yang dikeluarkan dapat efektif, perlu adanya pemetaan yang menggabungkan konektivitas udara dan kapasitas ekonomi di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian berbagai daerah di Jawa pada triwulan II 2015 tumbuh melambat. Pertumbuhan ekonomi Jawa secara agregat berada pada level 5,07% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan I 2015 yang sebesar 5,13% (yoy). Provinsi Yogyakarta tercatat tumbuh lebih rendah dibanding daerah lainnya di Jawa yakni sebesar 4,72% (yoy), diikuti oleh Jawa Tengah (4,84%, yoy) dan Jawa Barat (4,88%,yoy). Secara umum, melambatnya pertumbuhan ekonomi Jawa dipengaruhi oleh melambatnya realisasi investasi dan ekspor. Realisasi investasi PMA yang minim dan belum optimalnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah menekan pertumbuhan investasi pada periode ini. Perlambatan kinerja ekspor disebabkan oleh lemahnya permintaan ekspor ke Jepang dan Tiongkok sejalan dengan masih terbatasnya perbaikan kondisi ekonomi di negara tersebut. Melemahnya kinerja ekspor tersebut berimbas pada kinerja sektor industri pengolahan ditengah konsumsi domestik yang masih terbatas. Selain itu, rendahnya investasi bangunan sektor swasta dan masih belum optimalnya serapan belanja infrastruktur pemerintah mendorong perlambatan sektor konstruksi. Dari ketiga sektor utama, hanya sektor pertanian yang dapat tumbuh meningkat seiring panen raya padi, bawang dan cabe merah di awal triwulan II 2015. Memasuki triwulan III 2015, beberapa indikator perekonomian cenderung mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi yang membaik. Pertumbuhan ekonomi Jawa diperkirakan berada pada level 5,32%, didukung perkembangan kinerja industri pengolahan dan perdagangan besar. Kinerja ekspor diperkirakan juga membaik seiring dengan potensi berlanjutnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan Jepang. Sementara, komitmen pemerintah pusat dalam menggenjot realisasi belanja APBN-P di bidang infrastruktur, pertanian dan kemaritiman dapat menjadi pendorong perbaikan investasi. Secara sektoral, perbaikan ekonomi didorong oleh peningkatan kapasitas produksi sektor industri pengolahan dan peningkatan kinerja sektor perdagangan besar, disertai konsumsi RT yang masih relatif kuat. Namun, kinerja pertanian dihadapkan pada downside risk fenomena El Nino yang puncaknya diprakirakan terjadi pada Agustus dan Oktober 2015 yang berpotensi dapat menekan kinerja sektor pertanian. Untuk keseluruhan tahun 2015, berbagai indikator ekonomi mengindikasikan perekonomian Jawa berpotensi tumbuh dibawah rentang prakiraan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan berada di kisaran 5,30%-5,50% dengan kecenderungan yang masih bias ke bawah. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Jawa dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga, relatif lebih lambatnya kinerja investasi dan perdagangan luar negeri. Sementara itu, berbagai upaya khusus yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendorong peningkatan belanja infrastruktur diperkirakan dapat menopang kinerja perekonomian Jawa secara keseluruhan. Selain itu, optimisme perbaikan pertumbuhan juga bersumber dari sektor pertanian, seiring meningkatnya produksi pangan tahun ini yang didukung oleh meningkatnya ketersediaan sarana irigasi dan waduk meski juga dibayangi oleh potensi meluasnya dampak kekeringan akibat El Nino.
Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga (RT) di triwulan II 2015 masih tumbuh melambat dibanding periode triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,72% (yoy) di triwulan II 2015, lebih rendah dibanding realisasi di triwulan I 2015 yang tumbuh sebesar 4,96% (yoy). Kondisi ini dipengaruhi oleh meningkatnya harga BBM pada akhir triwulan I dan cenderung melemahnya daya beli masyarakat sebagaimana terindikasi dari hasil Survei Konsumen (SK). Selain itu, perkembangan beberapa indikator konsumsi lainnya seperti impor barang konsumsi, penyaluran kredit konsumsi, dan penjualan eceran menunjukkan hal yang sejalan dengan perlambatan konsumsi RT. Penyaluran kredit konsumsi bahkan tercatat melambat hingga di titik terendahnya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
selama 3 tahun terakhir yakni 9,95% (yoy). Pertumbuhan kredit kendaraan bermotor juga melambat cukup dalam hingga 5,78% (yoy), sejalan dengan rendahnya penjualan sepeda motor dan kendaraan roda 4 yang hanya tumbuh -18% dan -25% secara tahunan.
Grafik III.1. Indeks Penjualan Eceran (SPE)
Grafik III.2. Kinerja Kredit Konsumsi
Grafik III.3. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik III.4. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Momentum Idul Fitri, Idul Adha dan tahun ajaran baru yang terjadi di triwulan III 2015 diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Perkiraan ini didasari oleh adanya persepsi positif terhadap membaiknya ekonomi domestik yang tercermin dari indeks pengeluaran dan pendapatan bulanan rumah 11 tangga serta ekspektasi peningkatan omset penjualan eceran dalam 3 bulan yang akan datang . Pencairan gaji ke-13 dan adanya peningkatan gaji PNS di beberapa provinsi diharapkan mampu mendorong daya beli masyarakat pada triwulan ini. Namun, masih terdapat risiko yang dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yaitu potensi penyesuaian harga BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) serta dampak El Nino terhadap sumber pendapatan kelompok rumah tangga tani di Jawa.
Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan II relatif masih terbatas. Pertumbuhan konsumsi pemerintah di triwulan II 2015 tercatat sebesar 1,29%, sedikit berada di atas realisasi triwulan sebelumnya yang sebesar 0,58%. Penyerapan belanja APBD yang masih cenderung rendah berdampak pada rendahnya kontribusi konsumsi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Di tingkat pusat, adanya perubahan nomenklatur yang terjadi ditingkat Kementerian/Lembaga menjadi kendala utama dalam realisasi belanja Pemerintah Pusat. Sementara itu, masih terbatasnya belanja pemerintah di tingkat daerah terkait dengan beberapa kendala seperti keterlambatan pengesahan APBD, keterbatasan jumlah sumber daya manusia, serta kendala dalam pengadaan proyek. Data sementara mengindikasikan hingga akhir Triwulan II 2015, penyerapan anggaran belanja daerah di Jawa hanya sebesar 22% dan sebagian besar merupakan belanja operasional.
11
Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran Kawasan Jawa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
Penyerapan belanja APBD di DKI Jakarta bahkan tercatat hanya 19%, merupakan kedua yang terendah setelah Riau. Tracking realisasi belanja Pemerintah di triwulan III menunjukkan adanya perbaikan pertumbuhan konsumsi pemerintah. Perbaikan khususnya terjadi pada APBD DKI Jakarta melalui optimalisasi sistem e-budgeting yang diharapkan mampu mempercepat proses pengadaan barang dan jasa. Dengan tertahannya konsumsi pemerintah di semester I 2015, diharapkan pemerintah baik pusat maupun daerah mampu meningkatkan realisasi belanja operasionalnya di triwulan III dan IV 2015, khususnya pada belanja infrastruktur. Penyesuaian ketentuan mengenai larangan penyelenggaraan rapat di hotel oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), pencairan gaji 12 ke-13 serta kenaikan gaji PNS diharapkan dapat mendorong belanja operasional pemerintah pada triwulan ini.
Investasi Investasi di triwulan II 2015 tercatat melambat karena terbatasnya investasi swasta maupun pemerintah. Investasi triwulan II 2015 tercatat sebesar 4,70%, melambat dari 5,07% di triwulan I 2015. Data BKPM menunjukkan terjadinya penurunan realisasi investasi swasta domestik hingga 7,40% (yoy), sementara peningkatan realisasi investasi swasta asing masih terbatas. Demikian halnya dengan impor barang modal yang tercatat menurun cukup dalam hingga 21% (yoy) pada Juni 2015. Masih rendahnya anggaran belanja modal pemerintah baik pusat maupun daerah turut berdampak pada kinerja investasi Jawa.
Grafik III.5. Kinerja Investasi PMA
Grafik III.6. Kinerja Investasi PMDN
Perkembangan terkini mengindikasikan investasi di Jawa Barat pada triwulan III 2015 berpotensi tumbuh membaik. Perbaikan investasi lebih ditopang oleh realisasi proyek infrastruktur berskala besar seperti pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan waduk. Hal ini juga didukung oleh berbagai upaya khusus yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk merealisasikan penyerapan belanja pemerintah terutama untuk pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain perkembangan investasi di sektor swasta diperkirakan masih relatif terbatas terkait dengan preferensi pelaku usaha yang memandang masih tingginya ketidakpastian kondisi perekonomian. Hal ini tercermin dari likert score hasil liaison di berbagai daerah di Jawa yang mengindikasikan kecenderungan investasi yang masih tumbuh terbatas. Perkembangan positif investasi terlihat pada investasi pada industri galangan kapal sebagaimana terindikasi dari peningkatan impor barang modal pada bulan Mei 2015. Peningkatan investasi diharapkan terus berlangsung seiring komitmen pemerintah dalam mendorong pemanfaatan hasil produksi dalam negeri untuk memperkuat sistem 13 kemaritiman nasional.
12 13
Liaison Pemerintah Daerah, KPw DN Kawasan Jawa Liaison KPw Jawa Timur
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
Grafik III.7. Likert Scale Investasi dan perkiraannya
Grafik III.8 Indikator Perekonomian Mitra Dagang (PMI)
Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor kawasan Jawa di triwulan II 2015 tercatat melambat terutama dipengaruhi oleh masih lemahnya permintaan global. Ekspor Jawa pada triwulan II 2015 tumbuh sebesar 1,77%, melambat dibandingkan triwulan I 2015 yang tumbuh 4,83%. Ekspor ke beberapa negara tujuan utama masih tumbuh negatif, antara lain Jepang (-12,0%) dan Tiongkok (-8,8%). Sementara ekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa tumbuh cukup rendah, yakni 2,9% dan 2,4%. Penurunan ekspor antara lain terjadi pada komoditas besi baja dari Banten tujuan Tiongkok (-96,8%), produk elektronik dari Jawa Barat tujuan Jepang (-11,09%) dan ekspor pakaian dari DKI Jakarta ke Amerika Serikat (-7,5%). Penurunan ekspor di Jawa Timur terutama pada komoditas perikanan (-3,0%) meski sedikit membaik dibanding triwulan sebelumnya (-15,9%). Hasil liaison ke beberapa perusahaan di Jawa mengindikasikan melemahnya permintaan ekspor dari Amerika Serikat berimbas 14 pada kinerja perusahaan produk kulit di Yogyakarta . Selain itu, lemahnya permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama daerah-daerah di Jawa dipengaruhi juga oleh adanya implementasi pengetatan aturan pajak impor di negara mitra dagang seperti yang dilakukan di negara Korea. Pada triwulan III diperkirakan ekspor luar negeri akan tumbuh membaik. Meski perbaikan perekonomian Amerika Serikat maupun Jepang lebih terbatas, namun diperkirakan mampu mendorong perbaikan kinerja ekspor. Selain itu, rilis beberapa jenis kendaraan baru dari industri otomotif Jawa Barat diharapkan mampu mendorong kinerja ekspor menuju kawasan ASEAN. Pelemahan nilai tukar rupiah di satu sisi akan mendorong peningkatan margin sejumlah pengusaha eksportir yang bahan bakunya dari domestik, khususnya untuk produk mebel, makanan minuman dan alas kaki. Namun, di sisi lain, pelemahan nilai tukar menjadi tantangan bagi para pelaku usaha manufaktur guna memprioritaskan upaya pada pengembangan substitusi impor bahan baku.
Impor Pada triwulan II 2015, impor turun cukup signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya, khususnya impor barang antara, barang konsumsi dan barang modal. Impor mengalami penurunan hingga -4,85% (yoy), setelah tumbuh 0,23% pada triwulan sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan PMTB, impor barang modal melambat sangat dalam hingga -21% pada triwulan ini. Impor barang antara juga menurun hingga 15% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kondisi ini sejalan dengan perlambatan kinerja industri pengolahan di Pulau Jawa yang masih memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor. Stagnasi pertumbuhan konsumsi juga relatif sejalan dengan menurunnya impor barang konsumsi di Jawa.
14
Liaison KPw Daerah Istimewa Yogyakarta
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
Grafik III.9. Kinerja Ekspor Jawa
Grafik III.10. Kinerja Impor Jawa
Grafik III.11. Likert Scale Ekspor
Impor pada triwulan III 2015 diperkirakan kembali tumbuh meningkat seiring dengan perbaikan kinerja sektor industri pengolahan. Peningkatan konsumsi yang diperkirakan terjadi di triwulan III 2015 serta peningkatan ekspor diperkirakan berdampak pada peningkatan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi dalam negeri. Industri tekstil di DIY dan Jawa Tengah merupakan salah satu sub sektor yang diperkirakan akan meningkatkan ekspor di triwulan III 2015 dan membutuhkan bahan baku impor yang cukup tinggi.
Kinerja Produksi Sektor Utama Sektor Industri Pengolahan Perkembangan kinerja sektor industri pengolahan di Jawa secara agregat mengalami perlambatan dibandingkan triwulan I 2015. Sektor industri pengolahan pada triwulan II 2015 tumbuh 3,78% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,69% (yoy). Secara umum, perlambatan pada industri pengolahan terjadi di hampir seluruh daerah di Jawa, kecuali Jawa Timur yang masih cukup stabil dan DKI Jakarta yang mencatat kenaikan pertumbuhan dari 2,88% (yoy) di triwulan I 2015 menjadi 3,25% (yoy) di triwulan II-2015. Industri manufaktur di DKI Jakarta yang mengalami kenaikan tertinggi merupakan industri makanan 20,04% (yoy) diikuti industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer 14,92% (yoy). Hasil likert Scale juga menunjukkan penurunan penjualan domestik yang cukup dalam di triwulan II 2015. Selain itu, menurunnya kinerja industri pengolahan juga dipengaruhi oleh melemahnya ekspor dan impor. Penurunan kinerja ekspor menunjukan dampak dari melemahnya ekonomi negara mitra dagang khususnya Amerika Serikat dan Tiongkok. Salah satunya adalah pada kinerja industri kimia yang pada triwulan II 2015 mengalami tekanan akibat berkurangnya permintaan dari Tiongkok namun dapat ditopang oleh relatif stabilnya 15 permintaan domestik . Kondisi lain yang memicu terjadinya perlambatan pada industri pengolahan adalah meningkatnya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya energi, terutama tarif listrik.
15
Hasil liaison Banten
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
Grafik III.12. Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Usaha (SKDU) serta Likert Scale Penjualan Ekspor
Grafik III.13. Produksi Industri Kendaraan Bermotor
Pada triwulan III 2015, kinerja industri pengolahan diperkirakan kembali membaik. Industri pengolahan pada triwulan III 2015 diprakirakan tumbuh sebesar 4,22%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II 2015. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang menunjukkan peningkatan optimisme kegiatan usaha di triwulan III 2015. Beberapa industri seperti otomotif dan baja telah menunjukkan 16 peningkatan penjualan di bulan Mei dan Juni 2015 . Subsektor industri pengolahan seperti semen dan logam juga diperkirakan meningkat seiring dengan realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Sementara subsektor makanan minuman diperkirakan meningkat didorong oleh konsumsi saat menjelang hari raya keagamaan. Subsektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki juga diperkirakan meningkat pada triwulan III 2015. Salah satu perusahaan tekstil besar di Jawa Tengah hingga bulan Juli 2015 telah mencatatkan peningkatan ekspor 17 yang signifikan . Salah satu perusahaan alas kaki yang menghasilkan sepatu merk ternama dunia juga telah melakukan ekspansi pada tahun 2015 ke daerah Jawa Barat dan akan mulai berproduksi.
Sektor Konstruksi Kinerja sektor konstruksi di Jawa pada triwulan II 2015 mengalami perlambatan seiring terbatasnya realisasi pembangunan swasta maupun pemerintah. Sektor konstruksi tumbuh melambat dari 4,74% (yoy) pada triwulan I 2015, menjadi 3,69% pada triwulan II 2015. Perlambatan di sektor konstruksi sejalan dengan masih rendahnya penyerapan belanja infrastruktur pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan hasil FGD dengan dinas PU Bina Marga yang dilakukan di beberapa provinsi di Jawa, realisasi proyek pemerintah banyak terkendala oleh perubahan nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kondisi melemahnya kinerja sektor konstruksi ini juga tercermin dari turunnya konsumsi semen di Jawa sebesar -8,34% (yoy).
Grafik III.14. Pertumbuhan Konsumsi Semen Pulau Jawa
16 17
Grafik III.15. Kinerja Penjualan Properti Residensial Survei Properti Harga Residensial
Liaison di Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten Liaison di Jawa Tengah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
Kinerja sektor konstruksi di triwulan III 2015 diprediksi akan mengalami peningkatan menjadi 5,70% (yoy). Hal ini didukung oleh optimisme dan fokus pemerintah untuk meningkatkan realisasi belanja modal melalui pembangunan berbagai infrastruktur di triwulan III 2015. Peningkatan belanja modal ini nantinya diharapkan secara langsung menjadi pendorong kinerja sektor konstruksi. Sementara itu, investasi swasta didominasi oleh realisasi rencana di tahun 2014, meski dalam skala yang lebih rendah. Khusus terkait realisasi pembangunan industri smelter di Jawa Timur, masih terdapat kendala pada pembebasan lahan dan perizinan.
Sektor Pertanian Sektor pertanian pada triwulan II 2015 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2015 di hampir seluruh daerah di Jawa, kecuali DIY. Sektor pertanian tumbuh sebesar 6,04% (yoy) di triwulan II 2015, meningkat dibandingkan triwulan I-2015 yang tumbuh sebesar 2,06%. Meningkatnya sektor pertanian didukung oleh panen raya yang terjadi di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten. Utilisasi 18 lahan pertanian padi hingga triwulan II 2015 tercatat mencapai 100%. Kondisi pertanian sepanjang triwulan cukup baik dengan minimnya serangan hama dan didukung oleh kecukupan air dan irigasi. Sementara pada 19 peternakan, sejalan dengan hasil liaison, penjualan domba hingga triwulan II 2015 mengalami peningkatan hampir 10%. Peningkatan juga terjadi pada produksi sapi potong seiring dengan meningkatnya konsumsi menjelang hari besar keagamaan, bulan Ramadhan. Permintaan telur pada triwulan II mengalami peningkatan khususnya bulan Mei-Juni 2015, meskipun demikian produksi telur masih belum optimal sehingga menyebabkan kurangnya pasokan di triwulan II 2015. Berdasarkan SKDU, kapasitas utilisasi peternakan mengalami kenaikan di triwulan II 2015. Pertumbuhan yang terjadi pada sektor pertanian belum disertai perbaikan pada pertumbuhan penyaluran kredit maupun NPL di sektor ini. Kondisi berbeda terjadi pada sub sektor perkebunan yang justru mengalami sedikit perlambatan disebabkan oleh menurunnya kinerja penjualan 20 komoditas perkebunan seperti teh, karet, kelapa sawit, dan kina yang dipengaruhi terutama oleh melambatnya permintaan domestik dan penurunan harga komoditas global.
Grafik III.16. Perkembangan Kredit Pertanian
Grafik III.17. Kinerja Sektor Pertanian
Pada triwulan III 2015, sektor pertanian diperkirakan mengalami perlambatan yang disebabkan oleh menguatnya dampak El Nino. Menurut BMKG, dampak El Nino diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Agustus–Oktober 2015. Dampak lanjutan El Nino diprediksi akan menyebabkan mundurnya musim hujan dari Oktober menjadi pertengahan November. Hal ini berpotensi menyebabkan penurunan produksi padi sekitar 1,63%. Namun, pemerintah telah menyiagakan pompa air khususnya di kawasan lumbung pertanian, agar produksi tabama khususnya padi tidak menurun secara signifikan. El Nino diprakirakan berpotensi mendorong inflasi di Jawa sebesar 0,07% s.d 0,14% (lihat Boks). Sementara itu, kinerja peternakan diperkirakan mengalami peningkatan menjelang hari besar keagamaan Idul Adha.
18 19 20
Hasil liaison Jawa Timur Hasil liaison Banten Hasil liaison Jawa Barat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi berbagai daerah di Jawa sepanjang triwulan II 2015 relatif terjaga dan merupakan yang terendah dibandingkan wilayah lainnya. Hal ini terutama tercermin dari tingkat inflasi kumulatif (year to date) Januari hingga Juni Jawa secara agregat yang tercatat 0,94%, lebih rendah dibanding periode yang sama dalam 4 tahun terakhir. Terjaganya inflasi di berbagai daerah di Jawa didukung oleh melimpahnya pasokan produksi pertanian di sentra produksi Jatim, Jateng dan Jabar serta kesiagaan pemerintah dalam menjaga harga pangan menjelang bulan Ramadhan. Namun demikian, inflasi secara tahunan (year on year) masih berada pada level yang tinggi yakni 7,07% terkait base effect kenaikan harga BBM pada November 2014. Tekanan inflasi pada triwulan II lebih bersumber dari kelompok komoditas administered prices terkait dengan penyesuaian tarif listrik per 1 Juni 2015 terhadap beberapa golongan subsidi maupun non-subsidi serta penyesuaian harga bensin (pertamax dan pertamax plus) dengan kisaran Rp150–Rp500 per liternya. Sumbangan inflasi kelompok volatile food pada triwulan II 2015 cukup rendah, antara lain pada komoditas cabai dan daging ayam ras. Sementara, harga beras dan bawang merah relatif stabil dengan adanya tambahan pasokan pada akhir Juni 2015 sehingga dapat menahan tekanan inflasi yang lebih tinggi. Sementara, inflasi inti (core inflation) sedikit melambat sejalan dengan melemahnya permintaan domestik dan karena tekanan dari fluktasi harga emas tidak terlalu besar.
Grafik III.18. Perkembangan Inflasi
Grafik III.19. Disagregasi Kelompok Inflasi
Grafik III.20. Perkembangan Inflasi Spasial
Grafik III.21. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen
Tekanan inflasi di triwulan III 2015 diprakirakan masih terkendali, tercermin dari inflasi bulan Juli (bertepatan dengan Idul Fitri) yang lebih rendah dibandingkan pola historisnya selama 5 (lima) tahun terakhir. Berdasarkan rilis dari BPS, inflasi Jawa pada bulan Juli yang bertepatan dengan Idul Fitri sebesar 0,82% (mtm) atau 1,77% (ytd), lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun terakhir yang sebesar 0,92% (mtm). Penyumbang inflasi terbesar pada Juli 2015 berasal dari kelompok administered prices dan volatile food. Komoditas penyumbang inflasi terbesar dari kelompok administered prices adalah angkutan antar kota dan angkutan udara dengan sumbangan inflasi mencapai 0,15% (mtm), seiring dengan mobilisasi masyarakat di dalam wilayah Jawa sendiri maupun keluar Jawa yang meningkat. Sementara, sumbangan inflasi terbesar dari
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
kelompok volatile food berasal dari komoditas daging ayam ras, cabai merah dan cabai rawit akibat peningkatan permintaan. Inflasi inti cukup stabil dimana kenaikan harga hanya terjadi pada beberapa komoditas sandang seperti baju kaos, celana panjang jeans dan baju muslim. Meskipun demikian, perlu diwaspadai beberapa risiko pada triwulan III 2015 seperti dampak El Nino terhadap produksi pertanian, kenaikan cukai dan PPN rokok sebesar 10% dan adanya tahun ajaran baru pada bulan Agustus 2015 ini.
Koordinasi Pengendalian Inflasi Selama triwulan II 2015, TPID di seluruh provinsi wilayah Jawa telah melaksanakan beberapa kegiatan dalam rangka pengendalian inflasi, terutama dalam menghadapi Idul Fitri pada Juni-Juli 2015. Tingkat inflasi bulanan pada masa Idul Fitri tahun 2015 ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata inflasi dalam 5 tahun terakhir. Terkendalinya tingkat inflasi Jawa pada hari raya Lebaran tahun ini tidak terlepas dari efektivitas beberapa program TPID yang telah dilaksanakan. Sesuai dengan 10 instruksi Menteri Dalam Negeri dalam strategi pengendalian inflasi menghadapi Idul Fitri, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh TPID di wilayah Jawa antara lain sebagai berikut: 1) Pemantauan harga langsung atau inspeksi mendadak ke pasar-pasar utama, yang dipimpin langsung oleh kepala daerah setempat. 2) Pelaksanaan operasi pasar murah untuk komoditas utama seperti daging sapi dan daging ayam yang bekerjasama dengan instansi terkait. 3) Terlaksananya rapat koordinasi TPID baik dalam level tim teknis maupun high level meeting dalam mempersiapkan rencana pengendalian inflasi dan kerjasama antar daerah menghadapi bulan Ramadhan. 4) Pemantauan terhadap tarif angkutan dalam rangka mengantisipasi kenaikan tarif angkutan yang memiliki kecenderungan untuk meningkat saat Idul Fitri. 5) Sosialisasi kepada tokoh agama setempat maupun press conference kepada pihak media dalam rangka pengendalian ekspektasi masyarakat. 6) Pemanfaatan situs/website PIHPS yang telah dimiliki oleh beberapa provinsi dalam menyediakan informasi terkait harga komoditas terkini. Tabel III.1. Upaya Pengendalian Inflasi Menjelang Lebaran (Instruksi Mendagri)
Sebagian besar TPID Provinsi di wilayah Jawa telah melaksanakan upaya pengendalian inflasi berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri yang membutuhkan effort (usaha yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu strategi pengendalian inflasi) tinggi serta memiki magnitude (dampak dari terlaksananya strategi pengendalian inflasi) yang besar terhadap pencapaian inflasi yang rendah, terutama saat menjelang Idul Fitri. Beberapa upaya TPID yang dapat memberikan magnitude yang besar terhadap pengendalian inflasi adalah 1) Menjaga ketersediaan pasokan dan mempercepat distribusi barang; 2) Mengendalikan tarif angkutan darat; 4) Meningkatkan kerjasama antar daerah yang surplus dengan yang defisit; dan 9) Mempercepat pelaksanaan APBD 2015, khususnya program yang mendukung 1 s.d. 9.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Penyaluran pinjaman oleh sektor perbankan di wilayah Jawa pada triwulan II 2015 berdasarkan lokasi proyek masih mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit pada triwulan II 2015 hanya tumbuh sebesar 10,67% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya sebesar 11,70% (yoy). Total penyaluran kredit dengan lokasi proyek di wilayah Jawa mencapai Rp 2.664 triliun dengan share terhadap nasional mencapai 69%. Perlambatan penyaluran kredit secara umum didorong oleh melambatnya kredit investasi dan kredit konsumsi yang cukup signifikan, meskipun untuk kredit modal kerja masih mengalami pertumbuhan kredit yang positif. Di sisi lain, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di wilayah Jawa juga tumbuh melambat ke level 13,40% (yoy) atau setara Rp 3.304 triliun, lebih rendah bila dibandingkan triwulan sebelumnya yang dapat tumbuh 16,98% (yoy). Dengan perlambatan pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlambatan pertumbuhan kredit, maka Loan to Deposit Ratio (LDR) naik ke level 80,62%, meningkat dari triwulan sebelumnya yang berada pada level 79,01%. Perlambatan penyaluran kredit pada sektor rumah tangga lebih besar dibandingkan pada sektor korporasi, meskipun share kredit rumah tangga hanya sebesar 39%. Pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan ini melambat dari 12,24% menjadi 10,44% pada triwulan II 2015. Sementara, penyaluran kredit untuk korporasi melambat menjadi 10,30% dari triwulan II 2015 yaitu sebesar 11,74%.
Grafik III.22. Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga
Grafik III.23. Perkembangan Kredit Korporasi & RT
Ketahanan Sektor Korporasi Perlambatan ekonomi domestik dan Jawa, menjadi disinsentif perbankan dalam penyaluran kredit sektor riil baik korporasi maupun UMKM. Penyaluran kredit korporasi melambat menjadi 10,30% dari triwulan sebelumnya sebesar 11,74%, dengan tingkat NPL yang terus meningkat meskipun masih berada pada level aman 2,23%. Berdasarkan sektornya, penyaluran kredit terbesar disalurkan kepada sektor industri pengolahan (share 33%) dan sektor perdagangan (share 17%). Pertumbuhan kredit untuk kedua sektor tersebut melambat pada triwulan II 2015 menjadi 16,02% untuk sektor industri pengolahan dan 6,43% untuk sektor perdagangan. Melambatnya pertumbuhan kredit untuk sektor pengolahan turut membawa turun kualitas kredit yang disalurkan dengan tingkat NPL sebesar 2,18% dari sebelumnya 1,90%. Sementara, kualitas kredit sektor perdagangan justru membaik di tengah perlambatan penyaluran kredit menjadi sebesar 3,09%, dari 3,40% pada triwulan I 2015. Penyaluran kredit salah satu sektor utama di wilayah Jawa lainnya yaitu sektor pertanian, melambat cukup dalam dari 33,11% pada triwulan I 2015 menjadi 23,89% pada triwulan II 2015. Melambatnya sektor korporasi dikonfirmasi oleh menurunnya indeks harga korporasi manufaktur pada triwulan II 2015 yang merupakan gabungan harga-harga saham perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam Indonesia Stock Exchange (IDX). Sementara itu, bila dilihat berdasarkan per provinsi di wilayah Jawa, provinsi Jawa Barat dengan share sebesar 14% mengalami perlambatan yang terdalam menjadi 7,94% dari triwulan sebelumnya 15,84%. Perlambatan yang cukup dalam tersebut disebabkan oleh pertumbuhan negatif untuk kredit investasi di provinsi Jawa Barat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
Sedangkan provinsi Jawa Timur yang memiliki share sebesar 13%, mengalami sedikit perlambatan sebesar 2% menjadi 14,85% pada triwulan II 2015. Pertumbuhan kredit provinsi DKI Jakarta yang memiliki porsi pembiayaan terbesar 60% cukup stabil, sehingga masih dapat menahan perlambatan pertumbuhan kredit korporasi yang lebih dalam.
Grafik III.24. Pertumbuhan & NPL Kredit Korporasi
Grafik III.25. Kredit Korporasi Sektor Utama
Grafik III.26. Pertumbuhan Kredit Korporasi Spasial
Grafik III.27. Perkembangan Indeks Harga Korporasi Manufaktur
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Sejalan dengan perlambatan perekonomian, sektor rumah tangga juga mengalami perlambatan pada triwulan II 2015. Pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan II 2015 berada pada level 10,44% (yoy). Jenis kredit rumah tangga yang paling merasakan dampak dari terbatasnya daya beli masyarakat adalah Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). KPR dan KPA yang saat ini memiliki outstanding kredit sebesar Rp 240 triliun melambat cukup tinggi dari 12,85% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 4,81% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan KPR di wilayah Jawa terjadi untuk semua tipe rumah, 2 dengan perlambatan terdalam dialami oleh KPR untuk rumah tipe di bawah 21 m . Dengan kondisi perlambatan pertumbuhan KPR dan KPA, maka kualitas kredit dari KPR juga sedikit memburuk menjadi 2,15% dari sebelumnya 2,08% di triwulan I 2015. Sejalan dengan penjualan kendaraan roda 4 yang turun hingga 22,46% (yoy) serta kendaraan roda 2 yang turun sebesar 29,26% (yoy), permintaan akan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) juga mengalami perlambatan dari 11,73% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 5,78% (yoy) pada triwulan II 2015. Mulai masuknya bulan Ramadhan pada akhir triwulan II 2015 belum mampu untuk mengangkat permintaan kredit dari kendaraan bermotor. Meski demikian, tingkat NPL dari KKB masih cukup baik dan hanya naik tipis ke level 1,10% dari sebelumnya 0,96%. Sementara itu, pertumbuhan dari kredit multiguna masih cukup baik, hanya sedikit melambat ke angka 27,26% (yoy) dari 30,38% (yoy) pada triwulan I 2015. Kualitas dari kredit multiguna masih cukup terjaga aman dan stabil di level 1,16%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
Grafik III.28. Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga
Grafik III.29. NPL Kredit Sektor Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Perlambatan pertumbuhan kredit sektor UMKM pada triwulan II 2015 cukup signifikan, disertai dengan kualitas kredit yang memburuk. Penyaluran kredit UMKM tumbuh melambat dari 16,93% (yoy) pada trwiulan I 2015, menjadi 7,14% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan pada triwulan II 2015 ini merupakan yang terdalam dalam beberapa tahun terakhir. Tingkat NPL kredit UMKM saat ini meningkat menjadi sebesar 4,01%, dari 3,81% pada triwulan sebelumnya. Menurunnya kinerja sektor UMKM perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah karena sektor UMKM menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Apabila dilihat per provinsi, kredit UMKM dari provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta mengalami pertumbuhan terendah, yaitu sebesar 1,20% untuk Jawa Barat dan 9,68% untuk DKI Jakarta, jauh lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang masing-masing sebesar 15,42% dan 23,16%. Porsi pembiayaan UMKM yang berasal dari Jawa Barat dan DKI Jakarta mencapai 50% dari total pembiayaan UMKM di wilayah Jawa, sehingga menarik turun pertumbuhan kredit UMKM secara keseluruhan. Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM yang cukup dalam dari kedua provinsi di atas disertai dengan menurunnya kualitas kredit yang cukup besar. Sementara itu, share dari kredit UMKM terhadap total kredit yang outstanding di wilayah Jawa menurun tipis dari 16,78% pada triwulan I 2015 menjadi 16,57% pada triwulan II 2015.
Grafik III.30. Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM
Grafik III.31. Penyaluran Kredit UMKM Spasial
Pengelolaan Sistem Pembayaran Pada triwulan II 2015, nilai transaksi non-tunai BI RTGS tercatat tumbuh melambat sejalan dengan kondisi perekonomian regional saat ini. Nilai transaksi BI RTGS tumbuh melambat sebesar 3,86 % (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan periode lalu, berada pada nominal Rp5.977 triliun. Transaksi RTGS masih ditopang oleh transaksi dari Provinsi DKI Jakarta dengan kontribusi sebesar 75,83% dari total transaksi wilayah Jawa. Secara volume, transaksi RTGS pada triwulan II 2015 di kawasan Jawa mengalami penurunan atau tumbuh negatif sebesar 35,21% (yoy) dengan jumlah transaksi tercatat sebesar 1,3 juta lembar. Faktor lain yang memperlambat pertumbuhan RTGS adalah berpindahnya transaksi dengan nominal di bawah 100 juta rupiah yang saat ini tidak diperkenankan lagi menggunakan RTGS.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI pada triwulan II 2015 juga menunjukkan perlambatan. Nilai transasksi SKNBI tercatat sebesar Rp606,2 triliun atau hanya tumbuh sebesar 5,88% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sedangkan secara volume, transaksi SKNBI tercatat sebesar 23,7 juta lembar, tumbuh melambat sebesar 5,10% (yoy). Meskipun penerapan aturan transfer di bawah Rp100 juta tidak dapat melalui RTGS telah dilakukan, namun jumlah nominal transaksi SKNBI masih lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah nominal transaksi yang menggunakan BI RTGS.
Grafik III.32. Transaksi RTGS
Grafik III.33. Transaksi Kliring
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan II 2015, kawasan Jawa mengalami net-outflow dimana lebih banyak uang yang keluar (cash outflow) dibandingkan dengan uang (cash inflow). Pada triwulan II 2015, seluruh provinsi di wilayah Jawa kecuali Jawa Barat dan Jawa Jawa Tengah, mengalami net outflow. Bagi perekonomian regional, cash outflow menunjukkan peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya momen seasonal (Ramadhan) pada akhir triwulan laporan yang meningkatkan kebutuhan uang kartal di masyarakat, sesuai dengan pola historisnya. Secara keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net outflow sebesar Rp 19,27 triliun pada triwulan II 2015, lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014 yang mengalami net outflow sebesar Rp3,3 triliun.
Grafik III.34. Temuan UPAL
Grafik III.35. Perkembangan Netflow
Penemuan Uang Palsu (UPAL) pada triwulan II 2015 berdasarkan laporan penemuan uang palsu kepada Bank Indonesia mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu hanya sejumlah 24.797 lembar UPAL. Penemuan UPAL ini didorong oleh meningkatnya awareness masyarakat dan perbankan terhadap uang palsu serta peran aktif kepolisian yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait dalam menindak pemalsuan uang. Peningkatan pemahaman terkait ciri-ciri keaslian uang masih perlu ditingkatkan agar masyarakat semakin jeli dalam membedakan uang yang asli dengan uang yang diragukan keasliannya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Untuk keseluruhan tahun 2015, realisasi pertumbuhan ekonomi Jawa terkini mengindikasikan perekonomian Jawa berpotensi tumbuh dibawah rentang prakiraan sebelumnya. Mempertimbangkan perkembangan berbagai dinamika perekonomian terkini dan prospek ke depannya, maka pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan berada di kisaran 5,10%-5,50% dengan kecenderungan yang masih bias ke bawah. Dari sisi permintaan, perlambatan ini dipicu oleh melemahnya permintaan ekspor, seiring masih terbatasnya pemulihan ekonomi global dan tren penurunan harga komoditas industri internasional antara lain tekstil dan komoditas kimia, meski perlambatan lebih lanjut dapat tertahan oleh menguatnya permintaan dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Di sisi lain, realisasi belanja investasi sektor swasta tumbuh terbatas, seiring dengan kecenderungan pelaku usaha untuk menurunkan tingkat kapasitas produksi dari perencanaan sebelumnya di tahun 2014. Sementara itu, belanja konsumsi rumah tangga diperkirakan stabil yang ditopang oleh terjaganya pendapatan khususnya di kelompok fixed employment. Harapan pendorong ekonomi Jawa tahun ini bertumpu pada komitmen percepatan belanja infrastruktur pemerintah yang cukup besar untuk tahun 2015. Dari sisi sektoral, ketiga sektor utama diperkirakan mengalami perkembangan yang beragam. Kinerja industri pengolahan dan perdagangan besar diperkirakan tertahan oleh masih lemahnya prakiraan kinerja ekonomi domestik (Kalimantan dan Sumatera) yang menjadi mitra perdagangan antar pulau serta beberapa downside risk terkait kenaikan biaya produksi (upah minimum, biaya energi dan bahan baku). Selain itu, target peningkatan produksi pangan pada tahun 2015 dibayangi oleh menguatnya intensitas El Nino yang berpotensi menyebabkan kekeringan di berbagai daerah. Kondisi ini perlu diwaspadai karena dapat berimplikasi pada penurunan kinerja produksi hasil pertanian. Optimisme sumber pertumbuhan pada tahun ini bertumpu pada sektor konstruksi dan industri pengolahan (sub sektor logam dan bahan bangunan), seiring komitmen percepatan belanja infrastruktur pemerintah. Perbaikan infrastruktur ini diharapkan dapat mendorong daya saing produk domestik, khususnya dalam pengembangan produk substitusi impor dan mendorong minat investasi asing dalam menjadikan industri Jawa sebagai part of global chain.
Prospek Inflasi Inflasi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan terkendali dan lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2014. Untuk keseluruhan tahun 2015, inflasi Jawa diperkirakan berada pada rentang 3,90-4,30% (yoy). Tekanan inflasi pada tahun 2015 diprakirakan akan bias ke atas didorong risiko inflasi pada kelompok volatile food yang meningkat seiring dengan risiko El Nino. El Nino yang diperkirakan menguat oleh BMKG hingga awal tahun 2016 dengan puncak musim kemarau diperkirakan pada Agustus-Oktober 2015 sehingga mengakibatkan mundurnya awal musim hujan ke pertengahan November. Pilkada serentak yang rencananya akan diselenggarakan di beberapa daerah di Jawa pada akhir tahun dan penguatan US Dollar juga berpotensi mendorong kenaikan harga komoditas dari kelompok inflasi inti. Dari sisi kelompok administered prices, risiko tekanan inflasi diprakirakan masih berpotensi meningkat jika terjadi kenaikan harga BBM pada Tw IV 2015. Jika transmisi ini berlanjut pada kenaikan tarif angkutan baik dalam kota maupun luar kota, maka akan mendorong kenaikan IHK. Sementara itu faktor penahan inflasi diperkirakan bersumber dari upaya optimalisasi alokasi dan realisasi anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendukung peningkatan produksi pangan dan perbaikan kualitas infrastruktur. Dengan adanya dukungan pemerintah pusat dan daerah, diyakini juga dapat mengendalikan risiko peningkatan inflasi khususnya dalam meminimalisir risiko kekeringan akibat El Nino yang cukup kuat. Perhatian pemerintah terkait inflasi dapat dilihat melalui berbagai upaya yang akan dilakukan, antara lain melalui peningkatan luas areal tanam maupun panen, program GTCK (Gerakan Tanam Cabai Kemarau), bantuan pupuk bersubsidi dan peralatan pertanian. Diharapkan berbagai program ini dapat mengendalikan harga pada kelompok volatile food. Sedangkan perbaikan konektivitas jalur darat dan monitoring tarif angkutan kota diharapkan dapat menjaga harga pada kelompok administered price.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Sebagai lumbung pangan dengan sebaran sentra produksi di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur, Kawasan Jawa menyumbang 60% dari produksi nasional. Hingga semester I 2015, kinerja pertanian Jawa berada di atas 4% (yoy), tertinggi secara historis selama 5 tahun terakhir, seiring dengan minimnya gangguan iklim dan keberhasilan panen raya serentak. Namun, target pencapaian sebesar 37,54 juta ton di tahun 2015 dihadapkan pada risiko El Nino yang berpotensi menyebabkan kekeringan panjang sehingga dapat berimplikasi pada penurunan produksi pangan. Indeks Southern Oscillation Index (SOI) (Grafik III.36) telah melebihi angka -8, mengindikasikan risiko El Nino yang semakin meningkat. El Nino terjadi karena peningkatan o suhu permukaan laut yang terjadi di perairan Pasifik Tengah dan Timur. Kenaikan suhu dari 25 C menjadi di o atas 28 C ini menimbulkan efek penurunan curah hujan atau musim kemarau yang lebih panjang di wilayah Indonesia. Fenomena El Nino pada 2015 diperkirakan akan menyebabkan pergeseran musim hujan yang semula akan dimulai pada akhir Oktober bergeser menjadi pertengahan November. Hasil pemetaan BMKG mengindikasikan dampak kekeringan terbesar diperkirakan terjadi pada Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, (Grafik III.37). Indeks intensitas El Nino yang dirilis oleh BMK mengindikasikan besaran indeks yang mulai berada pada besaran yang hampir sama dengan dengan intensitas El Nino pada 1997 (Grafik III.38).
Sumber: BoM Australia Grafik III.36. Southern Oscillation Index (SOI)
Sumber: BMKG Grafik III.37. Prakiraan Kemarau Jawa 2015
Sumber: BMKG
Sumber: Kementerian Pertanian (diolah) Grafik III.39. Produksi Padi Jawa
Grafik III.38. Indeks El Nino
Risiko kekeringan sebagai dampak dari El Nino berpotensi untuk mengganggu produksi padi di wilayah Jawa. Berdasarkan simulasi dengan menggunakan data historis serta informasi potensi El Nino tahun 2015, diperkirakan produksi padi akan menurun sebesar 1,63% (Grafik III.39). Produksi padi yang terganggu akan berdampak pada kenaikan inflasi pangan, khususnya beras, pada tahun 2015 dengan memberikan risiko tambahan inflasi tahunan sebesar 0,07%-0,14% terhadap inflasi Jawa. Dalam menghadapi besarnya potensi El
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Nino, perlu ditempuh langkah-langkah yang terkooordinasi dengan baik untuk mengantisipasi risiko kekeringan akibat El Nino dan menjaga tingkat inflasi 2015 sesuai sasaran inflasi 4±1%, antara lain melalui penguatan lumbung pangan, penyediaan air melalui pompa dan mempercepat proses pembuatan embung, bantuan bibit di lahan kering, dan pengaturan pola tanam.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
Perekonomian Kalimanta PERTUMBUHAN EKONOMI Pada triwulan II 2015, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan cenderung melambat dan berada pada level yang cukup rendah. Secara agregat, perekonomian Kalimantan pada triwulan II 2015 tercatat sebesar 1,48% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 1,69% (yoy). Secara umum, melambatnya perekonomian berbagai daerah di Kalimantan dipengaruhi oleh faktor melemahnya kinerja ekspor pertambangan khususnya batubara terkait masih lemahnya permintaan global yang juga diikuti oleh penurunan harga komoditas tersebut di pasar internasional. Kondisi pasar ekspor yang kurang menguntungkan tersebut pada gilirannya berimbas pada menurunnya kinerja di sektor pertambangan. Selain itu, produksi minyak yang mengalami penurunan turut menekan kinerja di sektor pertambangan dan industri migas. Penurunan produksi minyak bumi tersebut kembali menyebabkan terkontraksinya pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur. Selain itu, penyerapan belanja fiskal daerah yang relatif masih terbatas hingga akhir triwulan II 2015 turut menahan kinerja perekonomian Kalimantan. Memasuki triwulan III 2015, perkembangan berbagai indikator ekonomi mengindikasikan perekonomian Kalimantan masih akan tumbuh terbatas. Pergerakan harga komoditas batubara yang masih berada pada level yang rendah di pasar global dan masih berlanjutnya pelemahan ekonomi Tiongkok berimbas pada kinerja ekspor batubara yang masih menurun. Selain itu, penurunan produksi minyak bumi yang berlanjut akan berdampak pada menurunnya pendapatan ekspor sehingga memengaruhi konsumsi RT, dan pada akhirnya menekan kinerja perekonomian Kalimantan secara keseluruhan. Namun, peningkatan produksi pertanian, terutama perkebunan, diperkirakan dapat menopang kinerja ekonomi Kalimantan triwulan III 2015 hingga triwulan IV 2015. Untuk keseluruhan tahun 2015, perkembangan kategori pertambangan yang cenderung tumbuh rendah akibat pengaruh penurunan ekspor disertai dengan masih rendahnya tingkat harga internasional menyebabkan perekonomian Kalimantan tumbuh lebih rendah dibandingkan capaian di tahun sebelumnya.
Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga (RT) Pertumbuhan konsumsi RT di berbagai daerah Kalimantan mengalami sedikit perbaikan pada triwulan II 2015. Hal ini ditopang oleh terutama oleh meningkatnya aktivitas masyarakat menghadapi periode Ramadhan dan libur sekolah yang memberikan dampak positif terhadap konsumsi rumah tangga. Namun, perbaikan lebih lanjut tertahan oleh melemahnya pendapatan ekspor karena masih rendahnya harga komoditas tambang di pasar global. Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan penyaluran kredit konsumsi di berbagai daerah di Kalimantan juga cenderung melambat (Grafik IV.2). Memasuki triwulan III 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga mulai menunjukkan perbaikan meski masih cenderung terbatas. Hal tersebut tercermin pada optimisme konsumen dalam memandang perekonomian ke depan meningkat pada Indeks Tendensi Konsumen yang meningkat di triwulan III (Grafik IV.1). Adanya pencairan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya pada awal triwulan III 2015 diperkirakan turut memengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap pendapatan yang diterimanya. Meski demikian, prospek harga komoditas yang masih diperkirakan masih cenderung lemah akan menahan perbaikan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
Grafik IV.1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK)
Grafik IV.2. Kredit Konsumen
Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah di sebagian besar provinsi Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan II 2015. Hal ini terutama dipengaruhi oleh masih rendahnya penyerapan belanja APBD di hampir seluruh daerah. Persentase realisasi belanja hingga akhir triwulan II 2015 secara umum berada di kisaran 30% dan hanya Kalimantan Tengah yang dapat mencatat penyerapan belanja hingga 43,6%. Sementara itu, realisasi belanja Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang masih cenderung rendah terkait dengan pendapatan daerah yang cenderung menurun. Penurunan ini utamanya disebabkan pagu belanja yang tidak setinggi tahun 2014. Dari sisi penggunaan, baik belanja operasional maupun modal tercatat lebih rendah dibandingkan tahun 2014 (Grafik IV.3). Sejalan dengan hal tersebut, pergerakan kenaikan pertumbuhan realisasi anggaran pemerintah di beberapa provinsi tidak setinggi periode yang sama tahun sebelumnya (Grafik IV.4).
Sumber : DJPK Grafik IV.3. Anggaran Belanja Provinsi di Kalimantan
Sumber : DJPK Grafik IV.4. Realisasi Belanja Provinsi di Kalimantan
Pada triwulan III 2015, diperkirakan pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat seiring upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mempercepat realisasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Selain itu, pembagian tunjangan hari raya (THR) kepada pegawai negeri yang dilakukan di awal triwulan juga ikut mendorong peningkatan konsumsi pemerintah. Ditambah lagi dengan mulai terealisasinya penggunaan Dana Desa pada semester II 2015, yang diperkirakan akan berkontribusi pada peningkatan realisasi belanja pada triwulan III 2015, meski diperkirakan tidak terlalu signifikan.
Investasi Secara agregat, kegiatan investasi berbagai daerah di Kalimantan mengalami perlambatan pada triwulan II 2015. Melambatnya investasi terutama disebabkan oleh mundurnya pelaksanaan beberapa proyek investasi seperti transmisi di kawasan utara, terminal mini LNG dan beberapa investasi lainnya dengan total 45% dari nilai investasi. Hal ini tercermin pada realisasi pertumbuhan tahunan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik IV.5 dan Grafik IV.6). Melemahnya kinerja investasi terkonfirmasi dari hasil liaison, utamanya pada sektor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
pertambangan sehubungan dengan lesunya prospek batubara ke depan akibat menurunnya permintaan Tiongkok yang menyebabkan harga masih rendah. Indikator lain yang mengkonfirmasi perlambatan investasi tercermin pada impor barang modal periode laporan yang terkontraksi lebih dalam dibandingkan triwulan lalu.
Sumber: BKPM, diolah Grafik IV.5. Pertumbuhan Tahunan Realisasi PMA di Kalimantan
Sumber: BKPM, diolah Grafik IV.6. Pertumbuhan Tahunan Realisasi PMDN di Kalimantan
Memasuki triwulan III 2015, kinerja investasi diperkirakan membaik sejalan dengan membaiknya realisasi proyek konstruksi. Peningkatan kinerja investasi didorong oleh prakiraan perbaikan investasi yang terindikasi oleh peningkatan likert scale investasi ke depan (Grafik IV.8). Perbaikan kinerja investasi diperkirakan terutama terjadi di Kalimantan Barat terkait pembangunan smelter (Grafik IV.7). Pada triwulan III 2015, diperkirakan sebanyak 65% total nilai investasi akan terlaksana sesuai jadwal, relatif lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 55%. Mulai naiknya investasi di Kalimantan didorong oleh pembangunan infrastruktur pemerintah, seperti jalan Kapuas-Tanjung Kelanis, jalan Pelabuhan Trisakti serta Pelabuhan Samarinda dan Sampit. Berdasarkan hasil liaison, investasi sektor pertanian diperkirakan meningkat (Grafik IV.8) utamanya didukung oleh rencana pelaku usaha yang akan membuat pabrik CPO. Meski demikian, investasi di Kalimantan Timur belum menunjukkan indikasi perbaikan yang cukup signifikan, khususnya investasi pada sektor pertambangan. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab terbatasnya perbaikan investasi di Kalimantan.
Grafik IV.7. Pertumbuhan Investasi PDRB di Kalimantan
Grafik IV.8. Perkiraan Investasi Hasil Liaison
Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan masih terkontraksi pada triwulan II 2015. Kontraksi ekspor yang terjadi terutama disebabkan oleh menurunnya ekspor batubara (Grafik IV.9). Penurunan ekspor terjadi untuk pengiriman ke sebagian besar negara tujuan ekspor Kalimantan, kecuali Eropa dan Amerika Serikat (Grafik IV.10). Selain itu, ekspor batubara ke Tiongkok dan India juga belum menunjukan adanya perbaikan. Perekonomian Tiongkok yang menyentuh angka pertumbuhan terendah sejak 2009, yaitu sebesar 7%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
mengakibatkan turunnya permintaan batubara. Kinerja ekspor Kalimantan lebih ditopang oleh perbaikan ekspor crude palm oil (CPO) dan karet seiring dengan peningkatan produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) sawit di Kalimantan (Grafik IV.9).
Grafik IV.9. Pertumbuhan Ekspor Berdasar Komoditas
Grafik IV.10. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar Negara Tujuan Utama
Memasuki triwulan III 2015, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan belum menunjukkan perbaikan. Hampir semua provinsi diprakirakan masih tumbuh melambat. Perlambatan terjadi akibat belum membaiknya sektor pertambangan, baik batubara maupun minyak bumi. Perlambatan masih terjadi pada komoditas batubara akibat masih lesunya permintaan gobal yang tercermin dari tren harga batubara acuan yang semakin turun. Kinerja minyak bumi juga diperkirakan akan turun sejalan dengan belum adanya penambahan sumur baru dengan kapasitas yang signifikan. Di sisi lain, kenaikan ekspor CPO dan bahan olahan mineral menjadi faktor penahan terjadinya penurunan ekspor lebih besar. Selain itu, ekspor bahan olahan mineral diperkirakan akan membaik, didukung oleh mulai beroperasinya smelter bauksit di Kalimantan Barat meski belum optimal.
Impor Pertumbuhan impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan II 2015 meneruskan tren menurun, hampir untuk semua jenis barang. Perlambatan terjadi untuk jenis barang modal yang juga terkorfirmasi oleh kegiatan liaison kepada pelaku usaha di bidang pertambangan dan pengangkutan batubara, yang menyatakan perusahaan cenderung menahan pembelian barang modal karena faktor harga jual batubara di pasar internasional yang masih rendah. Penurunan impor barang modal tersebut sejalan dengan perlambatan investasi. Di samping barang modal, penurunan juga terjadi pada impor bahan baku.
Grafik IV.11. Pertumbuhan Impor Tahunan
Grafik IV.12. Perkiraan Pertumbuhan Tahunan Impor PDRB
Untuk triwulan III 2015, impor luar negeri diprakirakan meningkat sejalan dengan dorongan peningkatan impor dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Peningkatan kebutuhan impor terutama terjadi pada jenis barang modal dan bahan baku. Peningkatan impor barang modal, terkait dengan pembangunan smelter di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
Kalimantan Barat. Sementara itu, impor bahan baku yang meningkat didorong oleh besarnya kebutuhan pupuk untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, seiring usia tanaman yang relatif masih muda.
Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan Pada triwulan II 2015 kinerja sektor pertambangan di Kalimantan mengalami penurunan. Secara agregat, pertumbuhan sektor pertambangan terkontrakasi lebih dalam dari sebelumnya terkontraksi 0,51% menjadi 2,61% pada periode laporan. Penurunan kinerja pertambangan tersebut terjadi di semua provinsi. Secara spasial, sektor pertambangan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah memberikan sumbangan yang cukup besar pada penurunan kinerja sektor pertambangan di Kalimantan. Sektor pertambangan Kalimantan Timur mengalami kontraksi lebih besar pada periode laporan dari 1,16% menjadi 2,99%. Selain itu, penurunan yang sangat signifikan juga terjadi di Kalimantan Tengah yang terkontraksi sebesar 1,30% (yoy) dari sebelumnya tumbuh sangat tinggi 10,9% (yoy).
Sumber : Mc Closkey Grafik IV.13. Produksi Batubara Kalimantan
Grafik IV.14. Pertumbuhan tahunan Ekspor Tambang Batubara Berdasarkan Negara Tujuan, %
Melemahnya kinerja pertambangan terutama dipicu oleh masih terkontraksinya produksi batubara dan minyak di Kalimantan. Pada triwulan II 2015 produksi batubara terkontraksi menjadi sebesar 13,23% (yoy) (Grafik IV.13). Berkurangnya produksi batubara antara lain disebabkan oleh turunnya permintaan dari Tiongkok, India dan Jepang yang masing-masing sebesar 50% (yoy), 16% (yoy) dan 28% (yoy). Kondisi ini berbeda dengan perkiraan semula, yang memperkirakan terjadi peningkatan permintaan batubara dari India, sehubungan dengan masih tingginya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di India. Untuk migas, penurunan produksi minyak sebesar 9,41% (yoy) disebabkan oleh kondisi sumur-sumur tambang yang sudah tua dan tidak lagi produktif (Grafik IV. 16). Meski demikian, lifting gas diprakirakan naik terbatas sehingga menahan laju kontraksi sektor pertambangan pada tingkat yang lebih dalam.
Grafik IV.15. Lifting Gas Kalimantan
Grafik IV.16. Lifting Minyak Kalimantan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan sektor pertambangan diprakirakan masih mengalami kontraksi pada level yang lebih besar, akibat belum membaiknya kondisi pertambangan batubara. Lesunya perekonomian Tiongkok disertai dengan kebijakan Pemerintah Tiongkok untuk mengutamakan produksi dalam negeri, serta dikenakannya kenaikan pajak impor batubara di Korea Selatan mulai 1 Juli 2015, menjadi faktor penahan kinerja produksi batubara. IMF memprakirakan harga batubara pada triwulan III masih dalam tren menurun yaitu sebesar 24,2% (yoy). Pada pertambangan minyak bumi, penurunan lifting juga masih akan terus terjadi, mengingat umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang sudah tua dan belum ada investasi yang signifikan dalam waktu dekat.
Sektor Industri Pengolahan Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan II 2015 masih kontraksi, khususnya akibat masih belum dapat berkembangnya industri di Kalimantan Timur. Pertumbuhan industri pengolahan di Kalimantan Timur masih terkontraksi, sehubungan dengan penurunan lifting minyak olahan yang kemudian berpengaruh pada penurunan industri olahan minyak. Di sisi lain, kenaikan kinerja industri gas sedikit menahan industri olahan terkontraksi lebih dalam. Kinerja industri nonmigas juga mengalami peningkatan, yang terindikasi pada peningkatan produksi CPO dan pupuk. Memasuki triwulan III 2015, industri pengolahan tetap terkontraksi meski tidak sebesar periode sebelumnya. Industri nonmigas diperkirakan akan menjadi pendorong pertumbuhan sektor industri secara umum, sementara pertumbuhan industri migas masih akan tumbuh terbatas. Hal tersebut sejalan dengan hasil liasion, yang memperkirakan terjadinya peningkatan penjualan pada industri non migas. Hal tersebut sejalan dengan perbaikan industri CPO yang ditandai dengan membaiknya proyeksi harga CPO oleh IMF, serta peningkatan produksi tandan buah segar (TBS) sawit.
Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian Kalimantan pada triwulan II 2015 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan II 2015, sektor pertanian tumbuh 5,10% (yoy) dari sebelumnya yang tercatat sebesar 3,93% (yoy). Peningkatan kinerja tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi di Kalimantan. Peningkatan didukung oleh naiknya produksi perkebunan dan tanaman bahan makanan (tabama). Sesuai perkiraan sebelumnya adanya banjir di Kalimantan Selatan, membuat panen bergeser ke triwulan II 2015 sehingga mendorong kinerja sektor dimaksud pada periode berjalan. Hal tersebut sejalan dengan hasil panen padi di Kalimantan Barat yang menunjukan peningkatan dibandingkan periode sebelumnya dari 1,68% (yoy) menjadi 2,99% (yoy).
Sumber: Dinas Pertanian Kalimantan Barat dan Kalimantan Sekatan, diolah Grafik IV.17. Pertumbuhan Tahunan Luas Tanam dan Luas Panen di Kalimantan
Sumber: IMF, diolah Grafik IV.18. Perkiraan Harga Minyak Mentah dan CPO di Pasar Internasional
Perkembangan berbagai indikator pertanian di Kalimantan mengindikasikan adanya perbaikan kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2015, antara lain tercermin pada peningkatan produksi tabama dan perkebunan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
Kenaikan produksi tabama tersebut dipengaruhi oleh upaya khusus yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi pangan di Kalimantan. Luas panen padi diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan luas tanam pada triwulan II 2015. Pada triwulan II 2015, luas tanam padi meningkat sebesar 49,8%(yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I yang hanya tumbuh 1% (yoy), hal ini akan mendorong kenaikan luas panen padi pada triwulan III 2015. Selain itu berdasar liaison, perluasan lahan pada tahun 2010 yang dilakukan oleh para pelaku usaha sawit di Kalimantan mulai menghasilkan sehingga turut berkontribusi positif bagi perbaikan kinerja sektor pertanian.
PERKEMBANGAN INFLASI Perkembangan inflasi di berbagai daerah Kalimantan sepanjang triwulan II 2015 relatif terjaga walaupun cenderung lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Hal ini tercermin dari laju kumulatif inflasi (year-to-date) periode Januari-Juni 2015 yang tercatat sebesar 2,15% (ytd), lebih rendah dibanding rata-rata periode yang sama dalam empat tahun terakhir yaitu sebesar 2,86% (ytd). Terjaganya inflasi terutama didukung oleh terkendalinya kenaikan harga pangan seiring dengan musim panen yang berlangsung pada triwulan II 2015 di beberapa daerah sentra produksi lokal seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Selain itu, pasokan ikan segar cukup berlimpah sejalan dengan peningkatan hasil produksi ikan tangkap. Meningkatnya tekanan inflasi di wilayah ini terjadi pada akhir Juni 2015 disebabkan terjadinya peningkatan permintaan memasuki masa Ramadhan. Beberapa komoditas yang menunjukkan peningkatan di akhir periode triwulan II 2015 antara lain daging ayam ras, telur, dan bawang merah. Secara tahunan (year-on-year), inflasi di Kalimantan masih berada pada level yang tinggi karena faktor base effect kenaikan harga BBM pada November 2015. Inflasi Kalimantan pada Juni 2015 tercatat sebesar 7,33% (yoy), dengan inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Barat (9,04%) dan Kalimantan Timur (7,55%).
Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah Grafik IV.19. Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Indonesia Grafik IV.20. Disagregasi Inflasi Kalimantan
Memasuki awal triwulan III 2015, berbagai daerah di Kalimantan mengalami tekanan inflasi yang lebih tinggi. Pada Juli 2015, inflasi Kalimantan tercatat sebesar 1,51% (mtm) dan secara tahunan menjadi 7,99% (yoy), lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Kenaikan inflasi terjadi pada semua kelompok barang terutama akibat meningkatnya permintaan pada masa Ramadhan. Kenaikan tekanan harga yang cukup signifikan terutama terjadi pada tarif angkutan udara sehingga menyebabkan Kalimantan Barat mengalami inflasi tertinggi secara nasional. Berbagai upaya yang cukup intensif ditempuh oleh pemerintah daerah melalui forum TPID seperti penyelenggaraan program pasar murah menjadi penyeimbang untuk mengefisienkan biaya distribusi dan program peningkatan produksi antara lain melalui metode Hazton, relatif dapat menahan tekanan kenaikan harga-harga lebih lanjut. Meski demikian, tekanan inflasi diperkirakan akan mereda di akhir triwulan III pasca berakhirnya aktivitas perayaan Idul Fitri masih dibayangi risiko akan meluasnya kekeringan di sejumlah daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Hal tersebut diperkirakan akan berdampak pada penurunan produksi pertanian.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam rangka pengendalian inflasi di Wilayah Kalimantan, berbagai upaya koordinasi dan kegiatan melalui TPID diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil, khususnya masa Idul Fitri. Pengendalian ekspektasi inflasi dari masyarakat dilakukan melalui diseminasi kegiatan TPID melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, untuk memperkuat koordinasi, dilakukan berbagai kegiatan antara lain rapat koordinasi TPID bersama dinas dan instansi di daerah. Dalam menjaga suplai komoditas pangan, TPID secara aktif melakukan operasi pasar, menyelenggarakan pasar murah, mempercepat penyaluran raskin, mendirikan pasar penyeimbang, mendorong penerbitan SK Gubernur terkait tarif angkutan pada masa Idul Fitri, melakukan inspeksi mendadak (sidak) pasar induk dan distributor, melakukan sidak ketersediaan BBM dan LPG, dan berbagai kegiatan lainnya. Dalam rangka memperkuat fungsi TPID, Kemendagri memberikan surat penugasan kepada TPID untuk melakukan melakukan pengawasan dan pemantauan penerapan kebijakan penetapan harga khusus saat puasa dan Idul Fitri tahun 2015. TPID diminta melaksanakan sepuluh kegiatan dalam menjaga stabilnya harga pada bulan puasa dan Idul Fitri. Secara umum, instruksi dari Kemendagri tersebut telah dilaksanakan dengan cukup baik di Kalimantan. Namun demikian, instruksi pembentukan pos pengaduan yang menampung keluhan masyarakat terkait kelangkaan dan ketidakpastian harga pangan masih belum dapat direalisasikan oleh TPID di Kalimantan. Tabel IV.1. Tindak Lanjut Surat Kemendagri No
Upaya Pengendalian Inflasi
Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim
1
Menjaga ketersediaan pasokan dan mempercepat distribusi barang khususnya kebutuhan pokok masyarakat (C, VF)
2
Mengendalikan tarif angkutan darat (AD)
3
Menyediakan informasi terkait produksi, ketersediaan dan harga komoditas bahan pangan pokok (VF)
4
Meningkatkan kerjasama antar daerah yang surplus komoditas dengan daerah yang defisit komoditas (VF)
5 6
Mengefektifkan TPID untuk memantau ketersediaan, kelancaran distribusi dan perkembangan harga (VF, C) Menghimbau masyarakat agar lebih bijaksana dalam pola konsumsi (VF, C)
7
Membentuk pos pengaduan yg menampung keluhan masyarakat terkait kelangkaan dan ketidakstabilan harga pangan (VF)
8
Bersama-sama dengan seluruh anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah untuk melakukan pengawasan (VF, C)
9 10
Mempercepat pelaksanaan APBD 2015, khususnya program yang mendukung angka 1 s.d. 8 (AD, C, VF) Melaporkan upaya-upaya secara berjenjang ke Pimpinan Daerah
a
a
a
a
a
a
a a
a
a
a a a
a a
a a
a a
a
a
a
a
a
a a
a a
Keterangan kelompok inflasi : C (core/inti); VF (volatile food); AP (administered prices)
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi Pembiayaan ke sektor korporasi di Kalimantan pada triwulan II 2015 didominasi oleh sektor pertanian, terutama disalurkan untuk perkebunan sawit dengan pangsa 32%. Selain sektor pertanian, sektor pertambangan, industri dan perdagangan juga memiliki peran yang cukup dominan dalam pembiayaan oleh sektor korporasi Kalimantan dengan pangsa masing-masing 16%, 14% dan 12%. Masih lesunya perekonomian Kalimantan yang dipengaruhi oleh koreksi harga dan turunnya permintaan komoditas global membuat kinerja kredit sektor korporasi melambat dari 6,19 % menjadi 5,84%. Walaupun melambat, risiko kredit korporasi mengalami sedikit perbaikan yang tercermin dengan penurunan NPL dari 4,35% menjadi 4,29%. Penurunan NPL didorong oleh sektor pertanian, konstruksi serta transportasi dan komunikasi, sementara untuk sektor pertambangan dan industri mengalami peningkatan dan berada pada level yang cukup tinggi. Secara spasial, tingkat NPL tertinggi berada di Kalimantan Timur yang mencapai 6,29%, sedangkan di provinsi lainnya masih pada level yang aman yakni di bawah 5%. Tekanan NPL di Kalimantan Timur merupakan dampak langsung dari kontraksi pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan batubara dan migas serta sektor-sektor pendukungnya yang mengalami perlambatan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
Grafik IV.25. Pertumbuhan Kredit Sektoral
Grafik IV.26. NPL Sektoral
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Sejalan dengan melambatnya kondisi perekonomian, pada triwulan II-2015 penyaluran kredit sektor rumah tangga di Kalimantan tumbuh melambat. Pada akhir triwulan II 2015, pertumbuhan kredit ke sektor rumah tangga tercatat sebesar level 14,67% (yoy), lebih rendah dibanding posisi akhir triwulan sebelumnya yang mencapai 18,97% (yoy). Melambatnya pertumbuhan terjadi pada hampir setiap jenis penggunaan kredit. Meskipun melambat, risiko kredit rumah tangga masih tetap terjaga yang tercermin dari rendahnya tingkat NPL yakni 1,96%. Tingginya ketahanan stabilitas sistem keuangan sektor rumah tangga juga terindikasi pada rendahnya level debt-to-service ratio Kalimantan pada triwulan II 2015 yakni 14,70%. Sementara itu, DPK perseorangan di Kalimantan tumbuh cukup stabil meskipun terjadi tren perlambatan selama setahun terakhir. Pada triwulan II 2015, DPK Perseorangan di Kalimantan tumbuh sedikit meningkat dari 7,05% (yoy) menjadi 7,25% (yoy).
Grafik IV.27. Pertumbuhan Kredit RT
Grafik IV.28. Pertumbuhan NPL
Grafik IV.29. Debt-to-Service Ratio Per Provinsi
Grafik IV.30. Pertumbuhan DPK Perseorangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pada triwulan II 2015, pembiayaan terhadap UMKM juga mengalami perlambatan dari 13,41% (yoy) menjadi 4,78% (yoy). Perlambatan pembiayaan UMKM disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan sektor perdagangan dan penurunan dari sektor konstruksi serta transportasi dan komunikasi. Namun demikian, penyaluran kredit UMKM pada sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Risiko kredit UMKM di Kalimantan juga perlu diwaspadai karena tingkat NPL yang sudah berada di atas 5% selama dua triwulan berturut-turut, dengan kecenderungan yang meningkat dari 5,3% menjadi 5,8%. Peningkatan risiko tersebut terjadi utamanya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertambangan. Secara sektoral, risiko kredit tertinggi terdapat pada sektor sekunder dan tersier seperti konstruksi (13,40%), transportasi (9,71%) dan jasa (9,10%).
Grafik IV.31. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik IV.32. NPL Kredit UMKM
Sementara itu, perkembangan indikator keuangan inklusif di Kalimantan masih belum sebaik di wilayah lainnya. Hal ini terlihat dari rendahnya rasio rekening per penduduk di Kalimantan dibandingkan dengan nasional. Selain itu, rasio kredit dan DPK terhadap PDRB cenderung tidak setinggi nasional yang mengindikasikan dukungan keuangan dalam perekonomian relatif masih terbatas. Di sisi lain, ketersediaan dukungan sektor keuangan terhadap UMKM di Kalimantan cukup baik meskipun rasio rekening kredit UMKM terhadap total rekening kredit di Kalimantan sedikit di bawah nasional. Tabel IV.2. Indikator Keuangan Inklusif
Sumber: BPS, Bank Indonesia, diolah
Pengelolaan Sistem Pembayaran Masih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif melambat pada triwulan II 2015, transaksi non tunai khususnya kliring masih terus terkontraksi. Transaksi kliring cenderung masih terkontraksi dari sebesar 0,36% (yoy) menjadi terkontrakasi lebih dalam lagi sebesar 1,43% (yoy) dengan nominal Rp 18,65 triliun. Meski demikian, secara keseluruhan transaksi nontunai di Kalimantan pada triwulan II 2015 mengalami peningkatan dengan total nominal tercatat Rp382,60 triliun, atau tumbuh 48,99% (yoy). Kenaikan tersebut terutama didorong oleh kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI, yang tertangkap pada transaksi RTGS, yang tumbuh dari 9,60% (yoy) menjadi 48,99% (yoy) dengan total nominal Rp364,02 triliun.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
Tabel IV.3. Perkembangan RTGS Kalimantan
Nilai (Rp triliun) g. Nilai (% yoy) Volume (ribu lembar) g. Volume (% yoy)
I 214.74 34.96 237.94 14.46
2013 II 256.79 28.11 249.87 4.90
III 247.44 31.04 233.33 -3.01
IV 250.74 15.97 252.31 -5.86
I 219.07 2.02 221.51 -6.90
2014 II III 244.32 249.40 -4.86 0.79 226.37 224.19 -9.41 -3.92
IV 276.05 10.09 226.10 -10.39
2015 I 240.09 9.60 111.48 -49.67
IV 19.97 -1.99 555.10 -3.06
2015 I II 18.65 18.58 -0.36 -1.43 539.17 540.27 2.55 -1.28
II 364.02 48.99 116.24 -48.65
Tabel IV.4. Perkembangan Kliring Kalimantan
Nilai (Rp triliun) g. Nilai (% yoy) Volume (ribu lembar) g. Volume (% yoy)
I 18.18 6.06 549.61 1.48
2013 II 18.42 2.61 570.82 1.12
III 19.34 10.71 558.50 0.60
IV 20.37 11.81 572.65 1.79
I 18.72 2.99 525.76 -4.34
2014 II III 18.85 18.33 2.33 -5.24 547.28 519.99 -4.12 -6.90
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Transaksi tunai Bank Indonesia se-Kalimantan pada triwulan II 2015 tercatat mengalami net outflow Rp5,1 triliun. Net outflow ini merupakan dampak kenaikan kebutuhan uang tunai menjelang Idul Fitri dan libur sekolah. Secara spasial, outflow terjadi di hampir semua provinsi kecuali Kalimantan Tengah yang mengalami net inflow. Pada triwulan II pertumbuhan outflow meningkat tajam dari kontraksi -1,52% (yoy) menjadi tumbuh 29,30% (yoy). Di sisi lain terjadi perlambatan inflow dari tumbuh 20,96% (yoy) menjadi hanya tumbuh 9,67% (yoy). Sementara itu, perkembangan uang palsu pada triwulan II 2015 ini menunjukkan penurunan dari 3.619 lembar menjadi 2.618 lembar dengan temuan terbesar di Kalbar dan Kalsel.
Grafik IV.33. Perkembangan Inflow-outflow Kalimantan Tabel IV.5. Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Kalimantan
Provinsi Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim Kalimantan
Inflow Outflow Net Outflow 1,072,654 2,077,780 1,005,126 682,023 2,773,266 2,091,244 2,027,610 1,680,597 -347,013 1,838,940 4,169,232 2,330,292 5,621,227 10,700,875 5,079,649
PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Secara umum, pemulihan kinerja perekonomian berbagai daerah di Kalimantan diperkirakan masih tumbuh terbatas pada tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diperkirakan berada pada kisaran 1,40-1,90% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 3,19% (yoy). Faktor utama perlambatan tersebut karena pemulihan ekonomi global yang masih terbatas sehingga menghambat kinerja sektor pertambangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
khususnya batubara sehingga ekspor masih tertahan. Selain itu, penurunan lifting minyak bumi juga turut menahan laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan. Melambatnya ekonomi Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015, terutama dipengaruhi oleh perkembangan pemulihan ekonomi global yang masih terbatas, yang disertai harga komoditas yang cenderung menurun sehingga berdampak pada kinerja ekspor di berbagai daerah Kalimantan. Perkembangan ekonomi Tiongkok yang cenderung melambat diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekspor batubara. Meski demikian, permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga masih cukup kuat. Selain itu, upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendorong penyerapan belanja anggaran di tingkat pusat dan daerah untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur strategis diperkirakan dapat menahan melambatnya laju perekonomian lebih lanjut. Kemudian, penyelenggaraan Pilkada serentak di akhir tahun 2015 diperkirakan dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja perekonomian. Pada sisi penggunaan, perlambatan ekonomi yang diakibatkan penurunan kinerja ekspor tambang yang disertai produksi (lifting) minyak bumi selanjutnya akan berdampak pada menurunnya pendapatan ekspor sehingga memengaruhi konsumsi RT. Oleh karena itu, konsumsi dan ekspor diperkirakan tumbuh terbatas. Prospek pemulihan perekonomian Tiongkok yang berjalan lambat akan berdampak pada pemulihan kinerja ekspor batubara Kalimantan. Hal ini tercermin pada harga batubara yang diproyeksikan turun hingga sebesar 20% (yoy) pada tahun 2015 oleh IMF. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kenaikan royalti di saat harga batubara rendah dapat membuat pelaku usaha yang berhenti beroperasi. Terbatasnya konsumsi rumah tangga sejalan dengan belum membaiknya perekonomian Kalimantan khususnya sektor pertambangan. Investasi diperkirakan tumbuh membaik, didukung oleh investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara kinerja ekspor diperkirakan ditopang oleh prospek kinerja ekspor CPO yang diperkirakan mengalami perbaikan dan ekspor mineral olahan yang dimulai tahun 2015. Dari sisi sektoral, sumber utama melambatnya pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan berasal dari pertambangan yang kinerjanya memburuk. Selain itu, industri pengolahan juga diproyeksikan akan mengalami kontraksi sebesar 0,3% (yoy). Industi hilir migas yang memiliki share 45% terhadap total industri di Kalimantan, mengalami penurunan seiring dengan rendahnya lifting minyak bumi di sisi hulu dan harga LNG yang diproyeksikan terkontraksi. Namun masih terdapat potensi industri CPO, pupuk dan kayu olahan yang dapat menahan laju penurunan industri olahan. Selain itu, kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan di tahun 2015. Sektor pertanian, diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi sejalan dengan semakin tingginya produktivitas sawit memasuki usia produktifnya. Kinerja subsektor tanaman bahan makanan juga diperkirakan meningkat didukung oleh program swasembada pangan secara Nasional. Pemerintah menetapkan target produksi beras pada tahun 2015 di Kalimantan sebesar 5,82 juta ton atau naik 21,89% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2014. Target peningkatan produksi beras ini sangat tinggi dibandingkan dengan historis, dengan rata-rata kenaikan produksi beras hanya 1,67%. Secara spasial, perlambatan perekonomian Kalimantan pada 2015 diprakirakan terutama terjadi di daerah yang bergantung pada komoditas batubara. Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur diproyeksikan akan melambat cukup dalam, akibat menurunnya kinerja sektor pertambangan. Sementara itu, pertumbuhan Kalimantan Tengah akan tetap meningkat, didukung oleh perbaikan kinerja pertanian dan pertambangan mineral. Perbaikan di sektor pertambangan mineral juga terjadi di Kalimantan Barat, sehingga dapat menahan penurunan perekonomian Kalimantan Barat. Diperkirakan pada tahun 2015, perekonomian Kalimantan Barat tumbuh stabil.
Prospek Inflasi Perkembangan inflasi di Kalimantan hingga akhir tahun 2015 diperkirakan tetap terkendali dan masih sejalan dengan sasaran inflasi nasional yang berada pada kisaran 4%±1%. Prakiraan terkendalinya tekanan inflasi hingga akhir tahun ini sejalan dengan perlambatan ekonomi Kalimantan, yang berdampak pada melemahnya tekanan inflasi pada sisi permintaan, terutama di Kalimantan Timur yang pertumbuhan ekonominya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
mengalami kontraksi sepanjang semester I 2015. Pada sisi penawaran, produksi pangan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, khususnya untuk komoditas beras, diperkirakan masih meningkat dibanding periode tahun sebelumnya sebagai dampak penerapan program swasembada pangan. Risiko inflasi yang perlu diwaspadai terutama berasal dari kelompok volatile foods. Menguatnya intensitas El Nino, berisiko untuk menurunkan produksi beras di Kalimantan Barat. Disamping itu, permasalahan kenaikan harga komoditas daging yang terjadi pada awal triwulan III 2015 serta masih rentannya kestabilan pasokan beberapa komoditas pangan strategis lainnya seperti aneka cabai, ikan segar, dan bawang, turut menjadi risiko yang dapat memberikan tekanan kenaikan inflasi pangan. Pada sisi distribusi, mulai tingginya gelombang juga menjadi risiko bagi kestabilan harga di Kalimantan, khususnya di Kota Tarakan yang berada terpisah dari pulau Kalimantan dan hampir seluruh barang konsumsinya didatangkan dengan transportasi laut dari kota lain seperti Balikpapan, Surabaya dan Makasar. Risiko lain yang perlu diwaspadai berasal dari kelompok administered prices. Risiko inflasi administered prices berasal dari rencana penyesuaian tarif Listrik, LPG 3 kg serta harga BBM. Selain itu risiko lain berasal dari kenaikan tarif angkutan udara pada masa Sembayang Kubur II bulan Agustus. Secara historis, tekanan inflasi angkutan udara yang cukup signifikan selalu terjadi pada masa Sembayang Kubur karena tingginya arus keluar masuk penumpang di Kalimantan Barat, baik Kota Pontianak maupun Singkawang. Selain itu, risiko lainnya yang perlu diwaspadai berasal dari kelompok inti adalah kenaikan harga sewa rumah pada masa ajaran kuliah baru di bulan Agustus dan September. Mengantisipasi potensi meningkatnya risiko inflasi, akan dilakukan melalui penguatan koordinasi pengendalian inflasi melalui TPID, diantaranya melalui (i) program minimalisir dampak kekeringan akibat El-Nino, (ii) mengelola ekspektasi masyarakat salah satunya melalui PIHPS yang sudah terbentuk. Selain itu juga dilakukan pengawasan yang intensif terhadap distribusi komoditas strategis untuk memastikan kesinambungan pasokannya bagi masyarakat serta menjaga stok bahan makanan sepanjang waktu, hal ini dilakukan melalui kandang penyangga dan pasar penyeimbang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Perekonomian Kalimantan yang secara umum lebih mengandalkan pada komoditas sumber daya alam (SDA) menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan cenderung tidak sustainable. Struktur ekspor Kalimantan selama 10 tahun terakhir sangat bergantung pada ekspor SDA mentah. Pada tahun 2000, ekspor bergantung pada komoditas kayu, dan semenjak tahun 2010 beralih ke batubara. Sebagian besar produksi batubara yang dihasilkan di Kalimantan ditujukan untuk ekspor, dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan domestik. Ketergantungan ini membuat perekonomian Kalimantan sangat rentan dipengaruhi dinamika harga komoditas di pasar global, terutama terkait dengan harga komoditas SDA ekspor. Melihat kondisi perekonomian Kalimantan ini, diperlukan transformasi ekonomi berbasis SDA ke berbasis industri atau melalui hilirisasi. Dalam konteks tersebut, hilirisasi memiliki peran sentral dalam mendukung transformasi perekonomian Kalimantan guna tercapainya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Gambar IV.1. Pentingnya Transformasi Ekonomi Kalimantan
Upaya untuk hilirisasi di Kalimantan akan memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian. Potensi SDA yang sangat besar di Kalimantan menjadi modal dasar untuk hilirisasi, diantaranya adalah bauksit, bijih besi, karet, sawit, gas, minyak dan batubara. Produksi bauksit Kalimantan merupakan yang terbesar di Indonesia, mencapai 60% dari total produksi Indonesia. Sama halnya dengan bijih besi dan batubara yang sekitar 90% produksi Indonesia berasal dari Kalimantan. Potensi migas Kalimantan juga sangat besar, dimana 27% produksi minyak dan 12% gas Indonesia dari Kalimantan. Sebagai upaya untuk mempercepat hilirisasi di sektor tambang, pemerintah mulai menetapkan larangan ekspor mineral dalam bentuk mentah sejak awal tahun 2014 yang juga merupakan amanat dari UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat ini telah beroperasi masing-masing satu industri alumina dan sponge iron, serta tujuh pabrik pemurnian Zircon. Selain itu akan dibangun sebelas smelter untuk memproduksi bauksit dan bijih besi. Berdasar simulasi perhitungan ESDM, hilirisasi meningkatkan nilai tambah bauksit sebesar 21 kali (alumina) dan 8 kali untuk bijih besi (sponge iron). Pengembangan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus juga dilakukan untuk mendorong berkembangnya hilirisasi di Kalimantan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20152019, pemerintah berencana membangun 4 kawasan industri prioritas di Kalimantan Selatan (Batulicin dan Jorong) dan 2 kawasan di Kalimantan Barat (Ketapang dan Landak). Selain itu juga akan dibangun satu kawasan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
ekonomi khusus (KEK Maloy) dan satu pengilangan minyak di Kalimantan Timur. Komoditas utama yang akan dikembangkan adalah karet, sawit, batubara, besibaja, migas, bauksit, dan zircon.
SAAT INI
PERTAMBANGAN ENERGI
KE DEPAN INFRASTRUKTUR
Batubara
Minyak Bumi Gas Air
Bijih Besi Bauksit
ELEKTRONIK OTOMOTIF
ENERGI
1
BAHAN BAKU
INDUSTRI TEKNOLOGI TINGGI
2
EKSPOR
1
BARANG ½ JADI
Batubara,
EKSPOR
Minyak Bumi Gas, Air
BAHAN BAKU
ALUMINA, BESI BAJA
Bijih Besi Bauksit
EKSPOR
2
IMPOR
4
INDUSTRI TEKNOLOGI TINGGI
DOMESTIK
BARANG ½ JADI
3
ELEKTRONIK OTOMOTIF
ALUMINA, BESI BAJA
Gambar IV.2. Skema Hilirisasi Kalimantan
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kandungan cadangan gas bumi yang besar di Kalimantan yang mencapai 24% dari total cadangan gas bumi nasional yang saat ini belum dapat diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Potensi yang besar ini dapat menjadi modal dasar pengembangan industri hilir di Kalimantan. Salah satunya adalah industri petrokimia yang dapat menghasilkan produk-produk metanol, amoniak dan bahan lainnya yang selanjutnya dapat diproses menjadi bahan baku produk manufaktur yang dibutuhkan di industri hilir seperti industri tekstil, plastik, karet sintetik, serat sintetik, pelarut, bahan pelembut, kosmetik, pestisida, bahan pembersih, bahan farmasi, bahan peledak, bahan bakar dan kulit. Tabel IV.6. Struktur Industri Petrokimia Menurut Pohon Industri
Sumber : BPPMD Kalimantan Timur
Belum berkembangnya industri petrokimia di secara nasional merupakan peluang bagi Kalimantan yang memiliki potensi besar dari kandungan gas yang dimilikinya. Sampai saat ini, kebutuhan impor produk antara industri kimia terus meningkat untuk memenuhi permintaan bahan baku industri hilir terutama pada kelompok produk olefin dan aromatik. Potensi gas alam di Kalimantan membuka peluang yang besar bagi untuk memacu pengembangan industri hilir petrokimia lebih besar Saat ini di Kalimantan terdapat satu
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
kawasan industri petrokimia di Bontang, Kalimantan Timur yang merupakan 1 dari 4 klaster prioritas 21 Kemenperin. Peran industri pengolahan petrokimia di Bontang ini cukup dominan, dilihat dari pangsa produksi pupuk PT. Pupuk Kaltim yang mencapai sekitar 40% dari total nasional. Selain itu, di kawasan industri petrokimia Kalimantan Timur juga terdapat pabrik methanol satu-satunya di Indonesia.
Gambar IV.3. Klaster Industri Petrokimia dan Peta Cadangan Minyak
Namun, upaya mendorong hilirisasi di Kalimantan menghadapi beberapa tantangan yang perlu untuk dapat segera diatasi. Tantangan pertama berasal dari minimnya kondisi infrastruktur di Kalimantan. Baik dari kondisi jalan, pelabuhan, dan bandara. Tantangan kedua berasal dari penyediaan lahan dan tumpang tindih perizinan lahan. Tantangan lain yang harus dihadapi adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia serta konsistensi aturan yang ada. Di samping itu, tantangan dari kesinambungan ketersediaan energi di Kalimantan juga menjadi hal yang penting untuk mendukung berkembangnya industri petrokimia dan hilirisasi secara keseluruhan. Gambaran ketersediaan energi listrik di Kalimantan masih merupakan salah satu faktor yang perlu menjadi perhatian untuk segera diatasi. Permasalahan ketersediaan listrik terlihat dari kondisi cadangan listrik di sebagian besar daerah di Kalimantan seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah serta status 22 defisit di Kalimantan Barat . Hal ini turut menyebabkan Kalimantan menjadi daerah dengan persentase 23 penggunaan genset terbesar kedua setelah Riau . Secara umum, pengembangan hilirisasi merupakan bagian penting dari transformasi Kalimantan guna melepas tingginya ketergantungan terhadap ekspor SDA mentah. Upaya untuk mendorong pengembangan hilirisasi di Kalimantan memerlukan komitmen serta koordinasi yang kuat antara antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan komitmen dan sinergi antara pusat dan daerah, diharapkan berbagai tantangan dalam pengembangan hilirisasi dapat diatasi.
21
Tiga klaster prioritas petrokimia lainnya adalah : (1) Berbasis minyak bumi (crude oil) di Cilegon dan Balongan; (2) Berbasis gas bumi di Bontang, Kalimantan Timur; (3) Berbasis minyak bumi aromatik di Tuban, JawaTimur 22 Statistik PLN 2014 23
KPPOD, 2007
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
PERTUMBUHAN EKONOMI 24
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan II 2015, secara agregat tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perekonomian KTI pada triwulan II 2015 tercatat tumbuh mencapai 9,01% (yoy), setelah tumbuh sebesar 6,84% (yoy) pada triwulan I 2015. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di KTI terutama dikontribusikan oleh beberapa provinsi yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dan hasil olahannya, antara lain Provinsi Sulawesi Selatan (padi, nikel matte), Sulawesi Tenggara (bijih nikel), Maluku Utara (bijih nikel), Papua Barat (LNG), Papua (tembaga), dan NTB (tembaga). Perkembangan sektor pertanian, khususnya untuk komoditas tanaman bahan makanan (tabama) yang mengalami pergeseran panen dari triwulan I 2015 ke triwulan II 2015, berdampak positif bagi meningkatnya pertumbuhan ekonomi beberapa daerah di KTI seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua, Bali, dan NTB. Meski demikian, secara keseluruhan, kenaikan laju pertumbuhan ekonomi KTI lebih dipengaruhi oleh faktor base effect dari diperkenankankannya kembali ekspor mineral secara terbatas dari Papua Barat dan NTB. Memasuki triwulan III 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi KTI yang cenderung tumbuh melambat. Hal ini juga terlihat dari hasil survei dan pendalaman informasi (FGD dan liaison) yang mengindikasikan adanya tendensi perlambatan. Melambatnya perekonomian KTI terutama dipengaruhi oleh base effect ekspor mineral tembaga dan berakhirnya musim panen tabama. Pada triwulan III 2014, kegiatan ekspor mineral tembaga telah dapat dilakukan kembali oleh produsen utama dari Papua setelah tercatat nihil sejak awal tahun 2014. Oleh karena itu, laju pertumbuhan ekspor luar negeri diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan III 2015 sehubungan dengan terdorongnya tingkat produksi dengan signifikan pada periode sama tahun sebelumnya. Selain itu, lebih lambatnya laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan terkait dengan berakhirnya puncak panen pada triwulan II 2015. Untuk keseluruhan tahun 2015, adanya perpanjangan izin ekspor mineral serta beroperasinya pabrik pengolahan nikel dan gas alam yang baru, dapat menopang pertumbuhan ekonomi KTI berada di kisaran 7,70% - 8,10% (yoy), atau lebih tinggi dari tahun 2014 (6,03%, yoy).
Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2015 masih cukup kuat, meski tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat dari 6,02% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 5,88% (yoy) pada triwulan laporan. Pada awal triwulan II 2015, dorongan permintaan rumah tangga masih cukup baik sehubungan dengan terdapat beberapa hari libur nasional dan keagamaan yang jatuh dipenghujung pekan sehingga mendorong aktivitas konsumsi rumah tangga, khususnya untuk wisatawan domestik. Meski demikian, terdapat beberapa faktor yang menjadi penahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut. Masih cenderung rendahnya harga komoditas ekspor menyebabkan pendapatan ekspor yang relatif terbatas. Pelemahan keyakinan konsumen rumah tangga tercermin pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di beberapa kota besar di KTI cenderung menurun, khususnya penurunan ketepatan waktu pembelian barang tahan lama, terutama pada akhir triwulan II 2015 (Grafik V.1). Di samping itu, kinerja pariwisata juga menunjukan tren perlambatan sebagaimana tercermin dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang masih dalam tren menurun (Grafik V.2).
24
Kawasan Timur Indonesia (KTI) terdiri dari 13 provinsi di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
Memasuki triwulan III 2015, perkembangan berbagai indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terindikasi dari pergerakan IKK masih menunjukkan kecenderungan penurunan di tengah adanya faktor musiman liburan sekolah dan perayaan hari besar keagamaan (Idul Fitri dan Idul Adha), yang menjadi pemicu kegiatan konsumsi. Hingga awal triwulan III 2015, IKK di hampir seluruh kota di KTI cenderung melemah seiring persepsi terhadap kondisi perekonomian di masa depan yang menurun. Selain itu, indikator kredit yang disalurkan untuk keperluan konsumsi juga masih berada dalam tren yang menurun. Namun, datangnya musim peak season (liburan sekolah, Idul Fitri, Idul Adha, dsb) dinilai akan menjadi penopang konsumsi rumah tangga baik dari sisi perdagangan maupun pariwisata. Hal tersebut tercermin pada omset penjualan eceran yang masih bertumbuh positif dan terus meningkat hingga pertengahan triwulan III 2015 (Grafik V.3).
Grafik V.1. Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.2. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Konsumsi Pemerintah Pada triwulan II 2015, penyerapan anggaran KTI meningkat sesuai pola siklikalnya, namun laju pertumbuhannya tidak terakselerasi karena adanya beberapa kendala realisasi anggaran. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2015 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dari 6,42% (yoy) menjadi 4,93% (yoy). Salah satu permasalahan terkendalanya realisasi anggaran dimaksud yaitu terkait lambatnya proses pengesahan APBD dan administrasi dokumen pendukung APBD di beberapa daerah seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Bali. Di samping itu, penyaluran dana desa di beberapa daerah juga masih terbatas. Pelaksanaan lelang proyek APBD juga dinilai tidak berjalan sesuai harapan dan lebih lama dari yang diharapkan. Perubahan nomenklatur dan mutasi kepegawaian dalam struktur kuasa anggaran di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) juga menjadi kendala realisasi anggaran. Hal tersebut tertangkap pada pergerakan rekening giro Pemerintah Daerah di perbankan yang tercatat meningkat pada triwulan II 2015 (Grafik V.4).
Grafik V.3. Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Grafik V.4. Simpanan Giro Pemerintah Daerah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan relatif lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Realisasi anggaran yang masih cukup rendah hingga paruh pertama tahun 2015 karena berbagai kendala, diprediksi akan teratasi dan akan mendorong intensitas penyerapan anggaran belanja di daerah pada triwulan berjalan. Selain itu, faktor pendorong realisasi juga datang baik dari komponen belanja operasional rutin maupun belanja operasional lainnya. Untuk komponen belanja operasional yang bersifat rutin, adanya pembayaran gaji ke-13, pelaksanaan kegiatan festival kedaerahan, serta kegiatan halal bihalal pasca Idul Fitri akan meningkatkan realisasi anggaran Pemerintah Daerah. Untuk belanja operasional lainnya, peningkatan realisasi diperkirakan akan didorong oleh pengadaan untuk kebutuhan operasional kantor sebagai persiapan Pilkada.
Investasi Pada triwulan II 2015, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mencatat pertumbuhan yang meningkat dari triwulan sebelumnya. Penguatan kinerja investasi yang tumbuh sebesar 10,46% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan sebelumnya yang tercatat 9,72% (yoy), didukung baik oleh investasi yang bersifat non-bangunan maupun bangunan. Dari komponen investasi non-bangunan, percepatan pertumbuhan PMTB terutama didorong oleh aktivitas ekspansi sektor riil, khususnya dari sektor pertambangan dan industri pengolahan, di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, NTB, dan Papua Barat. Sementara itu, dari sisi investasi bangunan, proyek pembangunan yang bersifat multiyears masih terus berlanjut antara lain pembangunan pusat perbelanjaan, hotel, kompleks perumahan, pabrik, serta infrastruktur transportasi (pelabuhan laut, bandar 25 udara, jalan). Indikator penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN), mengkonfirmasi akselerasi pertumbuhan yang terjadi (Grafik V.5). Selain itu, dukungan dari sisi perbankan untuk investasi juga tercatat mengalami peningkatan pada triwulan II 2015 (Grafik V.6).
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik V.5. Realisasi Penanaman Modal
Grafik V.6. Penyaluran Kredit Investasi
Pada triwulan III 2015, komponen PMTB diperkirakan tumbuh melambat terutama karena perlambatan investasi dari pihak swasta. Selesainya proyek pembangunan smelter nikel dan pabrik LNG di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara diperkirakan memberi dampak penurunan pada investasi swasta. Meski ekspansi kapasitas produksi masih terus akan dilakukan oleh pemilik pabrik dan belanja modal pemerintah diperkirakan membaik pada triwulan berjalan, hal tersebut dinilai tidak dapat mendorong pertumbuhan investasi menjadi lebih tinggi dari capaian triwulan sebelumnya. Berdasarkan hasil SKDU, indikator realisasi investasi pada sektor industri pengolahan juga diperkirakan mengalami penurunan sehingga memperkuat dugaan pelemahan investasi.
25
Beberapa contoh proyek infrastruktur antara lain adalah proyek di Pelabuhan Gili Mas (NTB), Pelabuhan Perikanan Nusantara Teluk Awang (NTB), Gorontalo Outer Ring Road (Gorontalo), Jalan Nasional Wilayah I Provinsi Papua (Papua), pengembangan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan proyek pembangunan Bandara Buntu Kunik Tana Toraja (Sulawesi Selatan).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
Perdagangan Luar Negeri Ekspor Pada triwulan II 2015, kinerja ekspor luar negeri tercatat tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang bersumber dari ekspor pertambangan dan hasil industri. Tingginya pertumbuhan ekspor pertambangan (Grafik V.7) didorong oleh perbaikan kinerja ekspor konsentrat tembaga. Kenaikan pertumbuhan tersebut pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh faktor base effect. Setelah adanya larangan ekspor mineral mentah yang membuat ekspor tembaga tercatat nihil selama triwulan II 2014, izin ekspor telah diberikan kembali kepada produsen di Papua dan NTB sehingga ekspor tembaga ke luar negeri dapat dilakukan sejak akhir triwulan III 2014. Akselerasi pertumbuhan untuk produk industri didorong oleh ekspor olahan nikel dan gas alam. Hal ini didukung oleh aktivitas smelter dan pabrik LNG baru di Sulawesi. Di samping itu, permintaan negara mitra dagang masih meningkat untuk beberapa komoditas lain seperti kakao olahan dan kayu olahan. Perkembangan tersebut mendorong pertumbuhan ekspor luar negeri dari 29,09% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 56,32% (yoy). Memasuki triwulan III 2015, ekspor luar negeri diperkirakan tumbuh melambat sebagai akibat terjadinya perlambatan kinerja ekspor pertambangan. Faktor base effect masih memberikan pengaruh yang kuat pada perlambatan ekspor mineral jenis tembaga selama triwulan berjalan. Pada triwulan III tahun 2014, produsen tembaga utama di KTI telah memperoleh izin untuk kembali menjual konsentrat tembaganya ke negara importir. Oleh karena itu, pertumbuhan ekspor pertambangan pada triwulan III 2015 relatif akan lebih kecil dari triwulan sebelumnya. Selain itu, dukungan dari ekspor pertanian juga diperkirakan masih terbatas seiring dengan berakhirnya puncak panen komoditas tabama dan kakao. Meski demikian, ekspor hasil industri pengolahan diperkirakan masih akan menopang kinerja ekspor luar negeri yang didukung oleh perbaikan ekspor nikel olahan (faktor permintaan) dan LNG (insentif harga). Perkembangan ekspor luar negeri yang fluktuatif menggambarkan pertumbuhan ekonomi KTI yang tidak sustainable karena masih bergantung pada sektor tertentu, khususnya pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang. Oleh karena itu, upaya 26 untuk mendorong sumber pertumbuhan yang baru perlu disegerakan, khususnya melalui hilirisasi SDA.
Impor Pada triwulan II 2015, impor luar negeri KTI tercatat tumbuh positif setelah terkontraksi pada triwulan I 2015. Pertumbuhan komponen impor luar negeri terutama didorong oleh perbaikan pada kontraksi impor sektor barang modal dan bahan baku (Grafik V.8). Kebutuhan produksi dari industri existing dan industri baru menjadi sumber utama perbaikan impor barang modal selama triwulan II 2015. Selain itu, pelaku usaha juga meningkatkan persediaan bahan bakunya sebagai persiapan dalam menghadapi periode peak season. Dengan perkembangan tersebut, impor luar negeri mampu tumbuh sebesar 0,10% (yoy) setelah sebelumnya terkontraksi sebesar -12,89% (yoy).
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.7. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas 26
Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik V.8. Impor Luar Negeri Menurut Sektor Barang
Isu terkait hilirisasi diperdalam pada Boks.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
Pada triwulan III 2015, komponen impor luar negeri diproyeksikan tumbuh meningkat. Pergerakan impor yang meningkat tersebut diperkirakan sebagai dampak dari masih cukup stabilnya kinerja konsumsi rumah tangga dan meningkatnya konsumsi pemerintah. Hal ini akan berdampak pada menguatnya permintaan untuk barang sektor konsumsi. Sementara itu, kinerja investasi yang masih bertumbuh di level yang tinggi juga menopang kebutuhan impor barang modal sehingga tidak mengalami kontraksi. Adapun kinerja impor bahan baku dinilai masih bertumbuh positif karena adanya kebutuhan dari sektor industri pengolahan yang diproyeksikan masih meningkat pada triwulan III 2015.
Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian KTI kembali mengalami akselerasi pada triwulan II 2015 yang didukung oleh peningkatan pertumbuhan dari provinsi berbasis mineral nikel dan tembaga. Permintaan bijih nikel untuk industri olahan nikel masih cukup kuat seiring dengan kebutuhan produksi dari smelter baru di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Selatan, produsen nikel matte mampu mencatat akselerasi pertumbuhan karena adanya efisiensi dari sisi biaya dan proses produksi (Grafik V.9). Kemudian, setelah mencatat tingkat produksi yang terbatas pada triwulan II 2014, produsen tembaga di NTB mendorong produksi untuk mencapai kuota yang diperoleh untuk tahun 2015. Hal yang sama juga dilakukan oleh produsen tembaga dan emas di Papua (Grafik V.10). Dengan perkembangan tersebut, sektor ini tercatat tumbuh dari 10,52% (yoy) menjadi 21,81% (yoy) pada triwulan II 2015. Memasuki triwulan III 2015, pertumbuhan sektor tambang diperkirakan mengalami perlambatan, terutama disebabkan oleh pengaruh base effect produksi tembaga. Pada triwulan III 2014, produsen tembaga terbesar di KTI kembali memperoleh izin ekspor setelah sebelumnya dilarang untuk mengirimkan produknya pasca implementasi UU Minerba di awal 2014. Oleh karena itu, meski perpanjangan izin ekspor untuk triwulan III 2015 telah diperoleh, pertumbuhan sektor tambang dinilai tidak akan sebaik capaian triwulan sebelumnya. Di sisi lain, produsen tembaga dari NTB akan mengoptimalkan kapasitas produksinya dan menghabiskan kuota produksi pada triwulan III 2015 sehubungan dengan izin ekspornya yang akan berakhir pada September 2015. Hal ini dinilai dapat menopang kinerja sektor pertambangan KTI sehingga masih dapat bertumbuh di level yang tinggi meski mengalami perlambatan.
Sumber: Produsen, diolah Grafik V.9. Produksi Nikel Matte
Sumber: Produsen, diolah Grafik V.10. Produksi Tembaga dan Emas
Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan II 2015, sektor industri pengolahan KTI tumbuh meningkat dan mendukung penguatan ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan sektor industri meningkat cukup tinggi hingga mencapai 9,98% (yoy), setelah sebelumnya tercatat tumbuh 4,78% (yoy). Sumber utama penguatan pertumbuhan tersebut berasal dari hasil produksi smelter nikel yang belum lama beroperasi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, serta pabrik LNG yang juga belum lama berproduksi di Sulawesi Tengah. Berjalannya hilirisasi tersebut meningkatkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
nilai tambah industri pengolahan KTI sejak triwulan sebelumnya. Di samping itu, beberapa industri juga menunjukkan perkembangan yang positif, salah satunya adalah produksi LNG di Papua Barat yang mengalami percepatan seiring insentif dari sisi harga jual di pasar global. Kemudian, produksi industri kakao olahan, kayu olahan, serta semen mencatat kenaikan pertumbuhan akibat dorongan dari sisi permintaan. Adapun kinerja industri mikro dan kecil juga masih menunjukkan perbaikan (Grafik V.11). Pada triwulan III 2015, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan kembali meningkat seiring dengan permintaan importir yang masih cukup kuat dan pasokan bahan baku yang terjaga. Perbaikan permintaan ekspor diperkirakan berasal dari beberapa negara mitra dagang KTI seperti Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa, serta Tiongkok. Hal tersebut diperkirakan dapat mendorong produksi beberapa komoditas ekspor dari KTI seperti feronikel dan makanan olahan. Di samping itu, ketersediaan bahan baku industri perikanan dan CPO diperkirakan akan berada dalam kondisi yang lebih baik pada triwulan III 2015 sehingga dapat mendukung akselerasi produksi di industri tersebut. Adapun produksi smelter nikel dan pabrik LNG baru di KTI masih akan terus meningkat seiring adanya optimisme dari sisi produsen. Hal tersebut sejalan dengan hasil SKDU yang memperkirakan terjadinya peningkatan kegiatan usaha dan harga jual sektor industri pengolahan pada triwulan III 2015 (Grafik V.12).
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.11. Pertumbuhan Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil
Grafik V.12. Saldo Bersih Tertimbang Sektor Industri Pengolahan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan II 2015 mengalami percepatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya seiring produksi tabama yang mengalami akselerasi. Periode triwulan II 2015 merupakan periode terjadinya puncak panen tabama di beberapa daerah sentra produksi KTI, khususnya untuk komoditas padi. Hal ini kemudian diperkuat dengan adanya pergeseran musim panen dari triwulan I 2015 ke triwulan II 2015 yang terjadi secara menyeluruh di tingkat nasional. Meningkatnya produksi padi tersebut membuat pertumbuhan sektor pertanian tercatat meningkat dari sebelumnya sebesar 4,16% (yoy) menjadi 6,46% (yoy). Perkembangan kinerja tabama yang positif tercermin pada indikator Nilai Tukar Petani (NTP) di beberapa daerah yang menunjukkan tren peningkatan selama periode triwulan II 2015 (Grafik V.13). Pada triwulan III 2015, sektor pertanian diperkirakan tumbuh melambat terutama karena berakhirnya puncak panen tabama dan kakao serta masih terkontraksinya produksi ikan tangkap. Secara historis, meski masih berada dalam periode panen, nilai tambah produksi pertanian yang dihasilkan tidak akan setinggi triwulan sebelumnya. Harga internasional kakao yang sedikit meningkat juga tidak akan memberikan insentif yang besar karena panen kakao terjadi di akhir triwulan II 2015 dan di awal triwulan berjalan saja. Subsektor perikanan juga diperkirakan belum akan mengalami perbaikan. Meski hasil tangkapan nelayan di daerah sentra meningkat karena dukungan cuaca yang cukup kondusif, tingkat produksinya diperkirakan masih berada jauh di bawah kinerja historisnya sebagaimana tercermin pada indikator produksi ikan tangkap yang menunjukan tren penurunan (Grafik V.14).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik V.13. Nilai Tukar Petani
Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah Grafik V.14. Produksi Ikan Tangkap
Sektor Konstruksi Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat mengalami sedikit peningkatan. Sektor ini tumbuh sebesar 9,22% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 9,25% (yoy) pada triwulan II 2015 seiring dukungan dari proyek-proyek pembangunan pihak swasta. Berbagai proyek multiyears di sektor industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas, perdagangan, transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi, serta jasa kesehatan terus berlangsung selama triwulan II 2015. Hal tersebut sejalan dengan pergerakan indikator pengadaan semen yang tumbuh meningkat di KTI karena kebutuhan dari proyek pembangunan tersebut (Grafik V.15). Di samping itu, proyek baru yang bernilai besar (lebih dari US$200 juta) dengan tahap konstruksi yang dimulai pada triwulan II 2015 juga tercatat meningkat hingga mencapai 169 proyek, lebih tinggi dari periode triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 99 proyek (Grafik V.16).
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah Grafik V.15. Pengadaan Semen
Sumber: BCI Asia, diolah Grafik V.16. Jumlah Proyek Baru Dalam Tahap Konstruksi
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan melambat sehubungan dengan selesainya pembangunan tahap pertama beberapa proyek hilirisasi di KTI oleh pihak swasta. Kegiatan ekspansi kapasitas dari fasilitas hilirisasi yang baru memang masih akan dilakukan oleh investor namun diperkirakan tidak sebesar investasi pada periode sebelumnya. Di samping itu, aktivitas konstruksi diperkirakan tertahan oleh sikap pelaku usaha yang cenderung pesimis dan belum berencana untuk menambah investasi bangunan hingga akhir tahun terkait dengan ekspektasi terhadap belum kondusifnya perkembangan kondisi global seperti harga komoditas dan perkembangan ekonomi dunia yang moderat.
PERKEMBANGAN INFLASI Laju inflasi KTI pada triwulan II 2015 masih cukup terkendali, meski secara tahunan berada dalam level yang lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Apabila dilihat laju inflasi kumulatif (year-to-date) KTI pada dasarnya relatif terkendali karena bergerak di bawah angka inflasi kumulatif selama empat tahun terakhir. Hal tersebut terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Bali, NTB, dan NTT. Tekanan inflasi yang masih terjaga didukung oleh pasokan pangan yang memadai sehingga dapat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
memenuhi kebutuhan masyarakat serta relatif lancarnya arus distribusi barang selama periode triwulan II 2015. Namun secara tahunan, laju iInflasi pada periode laporan tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 6,83% (yoy) menjadi 7,43% (yoy). Peningkatan inflasi terutama lebih disebabkan oleh adanya penyesuaian harga BBM dan TDL serta faktor permintaan yang cenderung meningkat menjelang perayaan Idul Fitri. Hal ini tercermin pada indikator ekspektasi konsumen terhadap harga barang yang secara historis mengalami peningkatan menjelang hari besar keagamaan (Grafik V.17). Mengawali triwulan III 2015, inflasi pada Juli 2015 tercatat sebesar 0,99% (mtm) atau berada di bawah ratarata inflasi bulan Lebaran selama empat tahun terakhir (1,19%, mtm). Inflasi yang lebih rendah dari rata-rata historisnya dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat yang relatif terkendali sehingga kenaikan harga komoditas pangan tercatat lebih rendah dari kenaikan yang terjadi di masa lalu. Seluruh komponen disagregasi (administered prices, core inflation, dan volatile food) mengalami inflasi pada Juli 2015. Peningkatan harga secara umum disebabkan oleh naiknya permintaan untuk komoditas terkait transportasi dan pangan, antara lain angkutan udara, beberapa jenis ikan tangkap, daging ayam ras, beras, serta angkutan antarkota. Meski demikian, inflasi tertahan oleh penurunan harga komoditas aneka bumbu. Hal ini didukung oleh panen komoditas bawang di daerah sentra, yaitu Brebes (Jawa Tengah) dan Bima (NTB). Dengan perkembangan inflasi di bulan Juli 2015 tersebut, laju inflasi tahunan KTI pada triwulan III 2015 diperkirakan hanya akan mengalami sedikit peningkatan. Faktor pendorong inflasi pada periode tersebut terutama tekanan permintaan yang masih cukup kuat sehubungan dengan datangnya peak season (liburan dan hari besar keagamaan). Namun demikian, tekanan harga pada komoditas transportasi diperkirakan akan menurun sebagai koreksi pasca arus balik Idul Fitri. Hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) di KTI hingga minggu ke-II Agustus 2015 menunjukkan terjadinya penurunan harga beberapa komoditas berbobot tinggi seperti bawang merah, emas perhiasan, dan aneka ikan tangkap. Adapun harga beras tercatat sedikit meningkat sehubungan dengan berakhirnya puncak musim panen padi (Grafik V.18). Peningkatan harga beras tersebut perlu mendapat perhatian karena adanya risiko kekeringan yang meluas akibat fenomena El Nino yang terjadi lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek, Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.18. Perkembangan Harga Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Koordinasi Pengendalian Inflasi Periode triwulan II 2015 yang bertepatan dengan dimulainya pola musiman perayaan hari besar keagamaan merupakan tantangan pengendalian inflasi yang tidak mudah. Akumulasi dampak dari kenaikan permintaan di tengah gejolak harga administered prices mendorong perlunya langkah affirmative untuk mengantisipasi dan mengendalikan ekspektasi masyarakat. Oleh karena itu, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di KTI, baik TPID di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, telah menyusun roadmap pengendalian inflasi untuk beberapa komoditas strategis penggerak inflasi di daerah masing-masing. Tindak lanjut terhadap roadmap tersebut telah dilakukan antara lain dengan melakukan komunikasi dengan Pemerintah Daerah serta dengan pemangku kepentingan lain seperti perusahaan distribusi barang, asosiasi pedagang, maskapai penerbangan, serta otoritas data terkait harga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
Dalam menjawab tantangan pengendalian inflasi terkait tekanan dari sisi permintaan, TPID di masing-masing provinsi telah berupaya untuk menstabilkan harga yang disesuaikan dengan karakteristik inflasi musimannya. Evaluasi kondisi stok pangan melalui inspeksi langsung ke pasar menjelang bulan puasa dan Idul Fitri menjadi salah satu langkah strategis yang dilaksanakan di seluruh provinsi. Langkah ini diharapkan dapat mencegah penimbunan bahan makanan sebagai aksi spekulasi untuk menaikkan harga lebih tinggi. Pelaksanaan operasi pasar murah serta pasar penyeimbang juga turut dilakukan di hampir seluruh provinsi untuk mengurangi risiko kenaikan harga. Selain langkah-langkah tersebut, beberapa provinsi juga telah melakukan kegiatan talk show dan sosialisasi untuk menghimbau pengendalian ekspektasi dan perilaku konsumtif menjelang hari besar keagamaan. Langkah ini diambil untuk membangun awareness masyarakat akan besarnya peran pola konsumtif masyarakat dalam pengendalian inflasi pada periode musiman. Ke depan, karena kerentanan dari sisi supply di KTI, upaya koordinasi yang terintegrasi dari semua lini yang berperan dalam pembentukan harga menjadi hal yang krusial untuk ditempuh secara berkesinambungan. Koordinasi dimaksud akan diperkuat untuk mengurangi ketergantungan pangan dari daerah lain terutama melalui penyediaan stok pangan hingga akhir tahun. Penyediaan stok pangan yang lebih memadai ditempuh oleh TPID di berbagai daerah melalui beberapa langkah, antara lain: (1) memantau stok beras Bulog dan melakukan koordinasi dengan SKPD terkait target produksi pangan dalam upaya melihat ancaman kurangnya stok pangan; (2) mendukung program peningkatan produksi pangan lokal seperti urban farming (Bali) serta memperkuat kerjasama antardaerah (Gorontalo); (3) membentuk pasar penyeimbang untuk komoditas pangan strategis (Maluku); (4) melakukan roadshow untuk mempertemukan produsen dengan pedagang (Maluku Utara); serta (5) memastikan kelancaran distribusi, memperbaiki infrastruktur distribusi, dan berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) setempat, khususnya bidang transportasi. Terkait dengan gejolak harga administered prices, TPID juga telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan dampak penyesuaian yang dilakukan Pemerintah Pusat. Upaya dimaksud menjadi sangat penting karena penyesuaian harga administered prices memberikan dampak lanjutan atau second round effect pada komoditas lain. Upaya-upaya yang telah dilakukan, antara lain: (1) melakukan koordinasi dengan produsen serta pihak berwenang untuk memastikan kelancaran distribusi komoditas energi dan memastikan tidak adanya penimbunan yang dilakukan oleh pihak tertentu demi keuntungan sendiri; (2) membangun awareness Pemerintah Daerah terkait dampak langsung dan tidak langsung dari penyesuaian harga administered prices terhadap inflasi; (3) melakukan pemantauan harga BBM dan LPG di lapangan secara rutin untuk memastikan tidak adanya penyimpangan harga; serta (4) membentuk posko pengaduan adanya kelangkaan dan ketidakstabilan harga komoditas administered prices strategis (Sulawesi Utara).
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi Meski pertumbuhan kredit korporasi di KTI relatif meningkat, kualitas kredit mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit korporasi pada periode laporan tercatat meningkat dengan pertumbuhan sebesar 20,59% (yoy) atau cenderung mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 19,44% (yoy) (Grafik V.19). Faktor yang mendorong penguatan pada kredit korporasi adalah perkembangan pada sektor pertanian dan sektor industri. Pada sektor pertanian, kegiatan prapanen dan kebutuhan bibit pasca panen mendorong peningkatan kebutuhan pembiayaan di sektor pertanian. Sementara itu, ekspansi investasi subsektor industri semen, pengilangan migas, mesin pertambangan, dan minuman menjadi faktor pendorong kredit untuk sektor industri. Meski demikian, akselerasi pertumbuhan kredit korporasi disertai meningkatnya rasio non performing loans (NPL). Rasio NPL pada akhir triwulan I 2015 tercatat 4,08% dan sedikit meningkat menjadi 4,56% pada triwulan lI 2015 (Grafik V.20). Peningkatan NPL kredit korporasi secara keseluruhan, terutama dipengaruhi oleh kualitas kredit pada sektor konstruksi dan industri yang sedikit mengalami penurunan. Lebih lanjut, peningkatan NPL
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
pada sektor konstruksi dipicu oleh munculnya kenaikan risiko kredit bermasalah di Papua dan Bali, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, serta Sulawesi Selatan.
Grafik V.19. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Grafik V.20. NPL Kredit Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga Penyaluran kredit ke sektor rumah tangga tercatat juga mengalami perlambatan. Kredit ke sektor rumah tangga tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan dari 13,08% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 11,91% (yoy) pada triwulan II 2015 (Grafik V.21). Perlambatan pada kredit rumah tangga terutama dipengaruhi oleh melambatnya kredit rumah tangga yang digunakan untuk pembelian tempat tinggal dan bangunan toko (KPR), pembelian kendaraan bermotor (KKB), serta pembelian perlengkapan rumah tangga. Kondisi ini relatif sejalan dengan kondisi perekonomian nasional yang belum pulih secara merata sehingga memberikan pengaruh pada kegiatan konsumsi. Sementara itu, rasio NPL ke sektor rumah tangga menunjukkan kenaikan meskipun masih berada dalam batas aman. NPL sektor rumah tangga tercatat mengalami peningkatan dari 1,45% pada triwulan l 2015 menjadi 1,56% pada triwulan laporan (Grafik V.22). Peningkatan rasio NPL tersebut dipengaruhi oleh peningkatan NPL pada jenis kredit KPR (terutama apartemen atau KPA) dan jenis kredit KKB (terutama roda dua). Perkembangan pertumbuhan kredit rumah tangga yang melambat serta NPL yang meningkat sangat terkait dengan kondisi suku bunga kredit rumah tangga yang cenderung naik. Peningkatan suku bunga kredit, berdasarkan hasil pengumpulan informasi dari perbankan di KTI, dipengaruhi oleh kondisi persaingan suku bunga antara bank penyalur serta adanya tren peningkatan cost of fund yang harus ditanggung perbankan.
Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik V.22. NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di KTI masih terus menunjukan kecenderungan melambat. Perlambatan tersebut telah terjadi sejak akhir tahun 2013 (Grafik V.23). Pada triwulan II 2015, pertumbuhan kredit UMKM tercatat sebesar 10,04% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya (12,62%, yoy). Perlambatan dinilai disebabkan oleh pergerakan NPL kredit UMKM yang terus berada dalam tren meningkat sejak triwulan IV 2013 sehingga perbankan cenderung membatasi ekspansi kredit UMKM. Bank di KTI dinilai cenderung melakukan pemilihan debitur secara lebih selektif. Di sisi lain, suku bunga kredit UMKM tercatat relatif stabil di kisaran yang cukup tinggi, yakni sekitar 14,00% sejak dua tahun terakhir. Suku bunga yang cukup tinggi tersebut juga memengaruhi NPL kredit UMKM yang tercatat meningkat dari 4,47% menjadi 4,56%. Jika diamati secara spasial, pertumbuhan kredit UMKM tertinggi terjadi di Provinsi NTT dengan pertumbuhan tahunan mencapai 18,00% (yoy) pada triwulan II 2015. Pertumbuhan tertinggi berikutnya terjadi di Provinsi Bali (15,89%, yoy) dan Maluku (15,10%, yoy). Di sisi lain, NPL tertinggi terjadi di Provinsi Gorontalo (10,00%), Provinsi Papua Barat (8,90%), dan Provinsi Papua (7,93%). Upaya pengembangan UMKM terus ditempuh Bank Indonesia di KTI selama triwulan II 2015 untuk mendukung program pemberdayaan ekonomi daerah. Hal ini dilakukan melalui penguatan kapasitas UMKM serta peningkatan kinerja klaster komoditas unggulan di daerah. Di Sulawesi Utara, berbagai kegiatan dalam pengembangan klaster, terutama untuk replikasi klaster komoditas pemicu inflasi yakni cabai terus digencarkan. Selama triwulan II 2015, replikasi klaster cabai telah diimplementasikan di dua kabupaten perbatasan yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Sitaro yang disertai dengan penguatan kapasitas bagi para petani terkait teknologi budidaya. Hal serupa juga dilaksanakan di NTT melalui pelaksanaan pelatihan dan praktek pengelolaan pakan limbah pertanian sebagai langkah antisipasi musim kemarau untuk pengembangan klaster sapi. Peningkatan kapasitas dan kinerja klaster pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kelayakan UMKM yang belum memperoleh akses pembiayaan maupun memperbesar repayment capacity bagi UMKM yang sudah menerima layanan perbankan.
Grafik V.23. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik V.24. NPL Kredit UMKM
Pengelolaan Sistem Pembayaran Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI dilihat dari indikator transaksi kliring dan transaksi real time gross settlement (RTGS) tercatat mengalami peningkatan yang terbatas. Transaksi dengan RTGS tercatat tumbuh sebesar 8,13% (yoy) pada triwulan II 2015 setelah tumbuh sebesar 5,31% (yoy) pada triwulan I 2015 (Grafik V.25). Sementara itu, transaksi dengan kliring, hingga pertengahan triwulan II 2015, tercatat tumbuh sebesar 3,30% (yoy) setelah membukukan pertumbuhan sebesar 2,92% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik V.26). Secara historis, peningkatan transaksi keuangan memang terjadi pada triwulan II 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya seiring dengan selesainya konsolidasi keuangan pelaku usaha di awal tahun. Dari sisi masyarakat, faktor pendorong transaksi keuangan lebih dipengaruhi oleh kebutuhan transaksi menjelang hari raya besar keagamaan dan peak season liburan. Peningkatan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai terus dilakukan oleh Bank Indonesia di KTI. Bank Indonesia senantiasa meningkatkan layanan sistem pembayaran yang prima dengan tentunya mengedepankan perlindungan konsumen. Salah satu program yang terus didorong oleh Bank Indonesia adalah Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang telah dicanangkan dan telah mulai dimplementasikan di berbagai daerah di KTI. Pada triwulan II 2015, salah satu bukti komitmen tersebut
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
diwujudkan dengan adanya penandatanganan MoU antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Kota Manado, serta DPRD Sulawesi Utara dalam hal penggunaan instrumen nontunai untuk pembayaran gaji pegawai.
Grafik V.25. Perkembangan Total Transaksi RTGS
Grafik V.26. Perkembangan Total Transaksi Kliring
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah Pengedaran uang kartal (pengelolaan uang tunai) di KTI mencatat peningkatan pada sisi outflow selama triwulan II 2015. Hal tersebut sesuai dengan pola historisnya yaitu terjadinya peningkatan kebutuhan uang yang beredar menjelang periode liburan di tengah tahun yang pada tahun 2015 juga bertepatan dengan bulan Ramadhan (Grafik V.28). Hal ini mendorong masyarakat untuk melakukan penarikan dananya dari perbankan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan. Sementara itu, temuan uang palsu mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada awal triwulan II 2015 namun kembali menurun mendekati akhir triwulan II 2015 (Grafik V.28). Upaya untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat terhadap penipuan dengan uang palsu terus digiatkan oleh Bank Indonesia di daerah. Ke depan, kegiatan komunikasi dan sosialiasi tersebut akan ditingkatkan intensitas maupun luas cakupan materi dan pesertanya.
Grafik V.27. Perkembangan Pengedaran Uang
Grafik V.28. Perkembangan Temuan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan perkembangan terkini, untuk keseluruhan tahun 2015, perekonomian KTI diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Angka pertumbuhan ekonomi KTI untuk tahun 2015 diprakirakan berada pada kisaran 7,70%-8,10% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya (6,0%, yoy). Secara spasial, penyumbang akselerasi di KTI adalah Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua, NTB, serta NTT. Sektor pertambangan dan industri pengolahan menjadi motor utama pertumbuhan di tahun 2015. Pada sektor pertambangan, percepatan pertumbuhan disumbangkan oleh kinerja produsen tembaga (Papua, NTB) yang meningkat karena diperpanjangnya izin ekspor mineral meski
L a p o r a n N u s a n t a r a | 70
dengan kuota yang dibatasi. Di samping itu, kinerja nikel juga diperkirakan meningkat seiring dengan adanya peningkatan demand bijih nikel terkait dengan telah beroperasinya pabrik pengolahan baru yang ada di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Kehadiran fasilitas hilirisasi yang baru tersebut sekaligus menjadi faktor pendorong penguatan pertumbuhan sektor industri pengolahan. Hal ini masih ditambah dengan adanya pabrik baru lainnya untuk pengolahan gas alam menjadi LNG yang beroperasi di Sulawesi Tengah. Tren perbaikan kondisi ekonomi KTI secara keseluruhan tercermin dari indikator ekspektasi penghasilan dan kondisi ekonomi yang akan meningkat menuju penghujung tahun 2015 (Grafik V.29). Hasil liaison juga mengkonfirmasi optimisme pelaku usaha yang menilai masih adanya perbaikan pada sisi penjualan, tingkat upah, harga jual, dan investasi di KTI pada tahun 2015. Faktor risiko yang dapat memengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi KTI selama 2015 berasal baik dari sisi eksternal maupun internal. Pada sisi eksternal, harga komoditas global yang diekspor oleh KTI cenderung masih dalam tren yang menurun. Hal ini berpotensi menjadi faktor penghambat akselerasi untuk sektor tradable, khususnya komoditas non-pertambangan seperti minyak kelapa, minyak kelapa sawit, kakao, ikan segar maupun olahan, serta kayu lapis. Selain itu, ekonomi Tiongkok yang menjadi salah satu importir utama KTI masih diwarnai perlambatan yang dapat menekan pertumbuhan dari sisi demand. Terkait aspek internal, terdapat tiga risiko utama yang perlu diperhatikan. Pertama, adanya tendensi konsumsi yang melambat secara nasional yang dapat melemahkan ekspektasi di tingkat regional. Kedua, risiko dari sisi kebijakan pemerintah terkait hilirisasi mineral dan morotarium perikanan yang harus dipantau secara berkesinambungan agar komitmen dari para pelaku usaha dapat dijaga. Terakhir, risiko ketepatan waktu realisasi proyek pembangunan, khususnya dari sisi APBD. Keterlambatan dalam realisasi penyerapan belanja modal diperkirakan dapat menekan pertumbuhan konsumsi pemerintah. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk menghindari risiko-risiko tersebut harus segera dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pemangku kepentingan.
Prospek Inflasi Meski inflasi tahunan masih berada pada level yang cukup tinggi, inflasi KTI hingga akhir tahun 2015 diperkirakan berada dalam tren yang menurun dan masih dalam kisaran pencapaian sasaran nasional 4% + 1% (yoy). Penurunan inflasi terutama akan dipengaruhi oleh menurunnya tekanan inflasi administered prices sehingga inflasi dapat berada pada kisaran 4,40% - 4,80% (yoy). Selama harga BBM tidak disesuaikan ke tingkat yang lebih tinggi dari harganya di akhir tahun 2014, tekanan inflasi administered prices dinilai akan berkurang cukup besar dan mengantarkan inflasi KTI ke sasaran inflasi nasional. Di samping itu, penurunan inflasi juga akan didukung oleh beberapa faktor yang lain, salah satunya adalah ekspektasi masyarakat yang diperkirakan terkendali dan wajar terkait dengan perkembangan harga yang terjadi. Hal ini didukung oleh proses komunikasi secara intensif yang dilakukan TPID dengan masyarakat terkait penyediaan stok pangan dan pengendalian dampak penyesuaian harga BBM dan TDL secara berkala. Efektivitas kegiatan tersebut tertangkap pada pergerakan ekspektasi harga jangka panjang menurut konsumen di KTI yang cenderung menurun pada triwulan IV 2015 (Grafik V.30). Meski ekspektasi kemudian meningkat pada Desember 2015, besaran indeks tercatat tidak setinggi besaran historis selama tiga tahun terakhir. TPID di daerah juga terus mendorong kegiatan peningkatan produksi pangan lokal serta menindaklanjuti arahan Presiden dari Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) TPID melalui penyesuaian dan penguatan program kerja hingga tahun 2017. Selain risiko faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya, beberapa faktor risiko non-musiman yang dapat meningkatkan laju inflasi di KTI juga harus tetap diwaspadai. Fenomena El Nino yang diperkirakan terjadi Indonesia pada tahun 2015 menjadi salah satu risiko utama karena intensitasnya yang semakin menguat. Dampak dari penguatan intensitas El Nino adalah kekeringan yang meluas sehingga dapat memengaruhi pencapaian target produksi pangan nasional dan pada akhirnya memberi tekanan inflasi dari komponen volatile food. Faktor risiko utama lain yang menjadi perhatian adalah penyesuaian harga komoditas yang diatur oleh pemerintah, khususnya BBM dan TDL. Kebijakan penyesuaian harga BBM dan TDL secara berkala, apabila tidak diantisipasi, dapat menciptakan ekspektasi yang berlebihan sehingga direspon dengan kenaikan harga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 71
komoditas pada komponen disagregasi yang lain (second round effect). Kedua risiko tersebut patut dicermati oleh pemangku kepentingan, khususnya oleh TPID. Berbagai langkah yang bersifat preventif dan antisipatif kemudian perlu dirumuskan dan dilaksanakan untuk meminimalkan dampak kekeringan akibat El Nino maupun risiko lainnya dalam pengendalian inflasi di KTI.
Grafik V.29. Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.30. Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
Perkembangan dinamika global yang diwarnai tingginya ketidakpastian disertai terus menurunnya harga komoditas global telah berdampak negatif pada kinerja perekonomian berbagai daerah di KTI. Hal ini terutama disebabkan oleh besarnya ketergantungan KTI terhadap pendapatan ekspor komoditas sumber daya alam (SDA). Ketergantungan pada hasil ekspor SDA tambang ini terbukti berpengaruh pada perekonomian KTI baik pada saat era harga komoditas tinggi (boom) maupun era harga komoditas menurun (bust). Pada kondisi saat ini dengan harga komoditas yang cenderung terus menurun berimbas negatif melemahnya ekonomi KTI yang selanjutnya memengaruhi capaian kinerja perekonomian secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan yang besar pada pendapatan ekspor hasil sumber daya alam dalam jangka panjang tidak akan sustain, selain juga sifat komoditas SDA yang habis pakai. Dalam kaitan ini, upaya untuk mengurangi potensi dampak dari ketergantungan ekonomi pada SDA tersebut merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, perlu dilakukan policy shifting dengan transformasi (diversifikasi) ekonomi. Hal ini dilakukan melalui hilirisasi SDA tambang dan pengembangan sumber pertumbuhan baru di luar pertambangan. Peluang hilirisasi masih cukup besar khususnya pada sektor pertambangan dan pertanian yang memiliki potensi besar di KTI. Langkah pemerintah untuk mendorong berkembangnya hilirisasi di sektor tambang yang juga merupakan amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara merupakan hal yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan dengan komitmen bersama yang kuat. Komitmen ini sangat penting karena dalam jangka pendek kebijakan tersebut berdampak pada kinerja perekonomian KTI akibat penyesuaian dan konsolidasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
Hilirisasi Pertambangan Potensi pertambangan di KTI tercatat cukup tinggi khususnya pada dua komoditas utama bijih nikel dan tembaga. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian ESDM, kandungan nikel di KTI mencapai 1,4 milyar Ton, jika dikonversi dengan menggunakan harga ore saat ini maka cadangan tersebut bernilai US$ 87 Milyar yang tersebar di Sulawesi (47%) dan Maluku (30%). Sementara itu, cadangan tembaga di KTI tercatat sebanyak 3,1 milyar ton, jika dikonversi dengan harga ore saat ini maka cadangan tersebut bernilai US$ 240,8 Milyar. Sebaran tembaga di KTI terutama berada di Papua dan Nusa Tenggara Barat. Upaya untuk mendorong hilirisasi barang tambang ini menunjukkan beberapa perkembangan. Perkembangan hilirisasi untuk bijih nikel terlihat dari mulai beroperasinya dua smelter baru pengolahan bijih nikel pada akhir 2014, sehingga saat ini di KTI telah memiliki empat smelter bijih nikel. Ke depan, direncanakan penambahan 34 smelter pengolahan nikel di KTI yang terpusat di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Jika seluruh smelter sudah beroperasi hingga tahun 2018 diperkirakan pengolahan bijih nikel 27 akan dapat mencapai 36.57 Juta ton per tahun atau meningkat 50% dibandingkan tahun 2013 . Produksi Nickel Pig Iron diperkirakan yang terbesar mencapai 2.7 juta ton, dengan peningkatan nilai tambah hingga 30 kali. Disusul oleh produksi Ferronickel sebesar 2,7 juta ton dengan peningkatan nilai tambah mencapai 103 kali. Selain itu, juga terdapat produksi Sponge Nickel dan Nickel Matte meski relatif kecil namun memiliki nilai tambah besar >20 kali (Tabel Target Produksi Olahan Bijih Nikel Tahun 2018 & Nilai Tambahnya). Namun pencapaian target produksi tersebut pada tahun 2018 dinilai akan lebih rendah dari rencana, mengingat kemajuan pembangunan 34 smelter hingga triwulan II-2015 yang relatif terbatas. Hingga Juni 2015, 28 hanya lima proyek yang mampu mencapai progress >50% dan akan beroperasi penuh di tahun 2017.
27 28
Produksi 2013 merupakan produksi normal sebelum diberlakukannya UU Minerba larangan ekspor mineral. Sumber: Kementerian ESDM
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
Sementara 28 proyek smelter baru menunjukkan progress >10%. Hingga akhir tahun 2015 diperkirakan realisasi pembangunan smelter tidak jauh berbeda dibandingkan dengan capaian pada triwulan II-2015. Tabel V.1. Target Produksi Olahan Bijih Nikel Tahun 2018 & Nilai Tambahnya
No
Jenis Produk
1 Nickel Pig Iron 2 Ferronickel 3 Sponge Nickel 4 Nickel Matte Sumber : ESDM
Hasil Produk
Nilai Tambah dibanding ore
2.709.140 1.404.080 52.000 75.000
30x 103x 30x 23x
Masih relatif terbatasnya pembangunan smelter tersebut di atas terkendala oleh beberapa hal, yakni (1) pasokan energi listrik yang terbatas sehingga investor harus mengalokasikan investasi yang lebih tinggi untuk pembangunan pembangkit. Jaminan suplai listrik sangat kritikal pada pengoperasian smelter, terkait dengan besarnya penggunaan listrik untuk peleburan bijih nikel. Adapun kebutuhan tambahan investasi apabila 29 perusahaan harus membangun pembangkit sendiri adalah minimal sebesar US$ 45 Juta ; (2) Banyaknya terjadi konflik alih fungsi lahan, karena sebagian besar daerah dengan cadangan nikel cukup besar merupakan wilayah konservasi hutan, sehingga proses izin alih fungsi lahan harus melewati proses perizinan dan analisa dampak lingkungan yang cukup panjang; dan (3) Proses perizinan pembangunan dan operasional hilirisasi yang melibatkan lebih dari satu instansi pemerintah juga turut menjadi permasalahan utama dalam realisasi investasi pembangunan smelter. Pembangunan smelter minimal membutuhkan izin dari Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang membutuhkan waktu cukup panjang.
Grafik V.31. Perkembangan Pembangunan Smelter
Berbeda dengan komoditas nikel yang proses hilirisasinya sudah berjalan meski terbatas, proses hilirisasi tembaga baru memasuki tahap awal pencapaian kesepakatan dengan pemerintah. Pengembangan hilirisasi tembaga masih bergantung pada kesepakatan pemerintah dengan pelaku usaha utama pertambangan tembaga. Kapasitas smelter yang akan dibangun direncanakan sebesar 3 juta ton dengan total investasi US$ 2.16 Milyar. Smelter tersebut akan menggunakan input bahan baku dari Papua dan Nusa Tenggara Barat. Target operasi smelter yang semula di awal tahun 2015, diperkirakan akan mundur hingga awal tahun 2016 disebabkan oleh proses pemilihan lokasi serta perizinan ekspor bahan mentah. Preferensi pemerintah daerah untuk pembangunan smelter yang dekat dengan lokasi pertambangan masih belum dapat dipenuhi pelaku usaha karena adanya kendala ketersediaan listrik yang terbatas. Hal ini akan berimplikasi pada peningkatan biaya investasi bagi pelaku usaha. Operasional smelter tembaga diperkirakan membutuhkan pasokan listrik sebesar 300 – 400 MW atau setara dengan US$ 450 juta – US$ 600 juta tambahan investasi.
29
Dengan menggunakan asumsi rata-rata investasi listrik sebesar US$ 1,5 Juta, dan dengan asumsi minimal kebutuhan listrik untuk operasional smelter bijih nikel dengan kapasitas 300 ribu ton per tahun sebesar 30 MW (Sumber : http://kip.esdm.go.id/pelayananpublik).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
Hilirisasi Pertanian Pengembangan hilirisasi juga perlu dilakukan untuk komoditas berbasis pertanian yang memiliki potensi besar di KTI. Tiga komoditas utama di KTI yang memiliki pangsa produksi >40% terhadap nasional adalah kelapa, kakao, dan perikanan. Ketiga komoditas tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk bernilai tambah tinggi. Masing-masing komoditas jika dikembangkan menjadi produk olahan akan memberikan nilai tambah yang cukup besar antara 30% - 600%. Sebagai gambaran tingginya potensi ekspor produk olahan ketiga komoditas tersebut, Malaysia sebagai salah satu importir Kakao terbesar Indonesia, mengolahnya menjadi coklat batangan, yang kemudian di ekspor ke sejumlah negara termasuk Indonesia. Demikian pula, Filipina yang juga sebagai negara importir kelapa, telah berhasil memanfaatkan kelapa sebagai bio-cocofuel. Selanjutnya, untuk komoditas perikanan, Thailand menjadi salah satu contoh sukses dengan keberhasilannya mendominasi pasar ekspor ikan kaleng, meski sebagian besar bahan bakunya masih diimpor dari Indonesia. Tabel V.2. Potensi Hilirisasi Pertanian
No.
Pangsa Komoditas Nasional
Sebaran Produksi (ribu ton)
Produktivitas Produksi Ekspor
Nilai Tambah Produk Turunan
1
Kelapa Pangsa terhadap nasional : 41.7%
Nasional = 0.8 ton/ha KTI = 0.86 ton/ha Prod. KTI = 1.3 Jt ton Ekspor KTI = 15.7 rb ton
2
Perikanan Pangsa terhadap nasional : 59.3%
Kopra = 66% Tepung kopra = 78% Minyak Mentah = 76% SVO – Biodiesel = 30% Minyak goreng = 120% Ikan beku : 100% Ikan asap, bumbu, dll = 200% Ikan fillet, pembungkusan = 300% Ikan kaleng = 600%
3
Kakao Pangsa terhadap nasional : 74.9%
Sulut = 283 Malut = 249 Sulteng =185 Maluku = 95 Sulsel = 79 Sulsel = 2.888 NTT = 1.955 Sulteng = 1.590 Maluku = 1.146 Sultra = 1.140 Sulsel = 150 Sulteng = 149 Sultra = 133 Sulbar = 84 Maluku = 13
Nasional = 7.4 ton/ha KTI = 1.43 ton/ha Prod. KTI = 11.6 Jt ton Ekspor KTI = 5 rb ton Nasional = 0.42 ton/ha KTI = 0.49 ton/ha Prod. KTI = 582 rb ton Ekspor KTI = 68.3 rb ton
Serbuk kako = 40% Kosmetik = 230% Makanan = 170%
Sumber : Kementerian Pertanian & Cognos, diolah
Keberhasilan negara-negara tersebut dalam melakukan hilirisasi disebabkan oleh terpenuhinya faktor pendukung antara lain suplai listrik yang mencukupi, sistem perizinan yang lebih sederhana dan jelas, serta jaminan kontinuitas bahan baku baik melalui impor maupun produksi lokal. Belum terpenuhinya faktor-faktor tersebut khususnya listrik dan kontinuitas bahan baku menyebabkan rendahnya preferensi pelaku usaha untuk melakukan hilirisasi. Alokasi listrik yang masih dominan untuk rumah tangga, menyebabkan pemenuhan listrik industri relatif terbatas. Namun, ditengah berbagai kendala tersebut, hilirisasi pada ketiga komoditas telah dilakukan meski masih terbatas dalam bentuk barang setengah jadi dan dengan skala relatif kecil. Kondisi ini terlihat dari share ekspor produk olahan komoditas tersebut baik terhadap total produksi maupun terhadap ekspor nasional yang masih rendah. Sebagai contoh, dari produksi kakao sebesar 582,3 ribu ton hanya 34 ribu ton yang diekspor dari KTI dalam bentuk barang setengah jadi yakni serbuk, butter, shell, liquor, dan cacao cake. Jumlah ini hanya 15% dari ekspor nasional untuk jenis produk serupa. Demikian pula dengan komoditas perikanan, dari produksi 11,6 juta ton hanya 180 ton yang diekspor dalam bentuk ikan yang diawetkan (diasinkan, asap, dan sejenisnya) atau 0,46% ekspor nasional untuk produk serupa dan hanya 10 ribu ton yang diekspor dalam bentuk olahan ikan atau 0,13% ekspor nasional untuk produk serupa. Berbeda dengan komoditas lainnya, ekspor olahan dari
L a p o r a n N u s a n t a r a | 75
komoditas kelapa sudah mencapai 100% dari total produksi, namun nilai tambah produk tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan produk yang mampu dihasilkan oleh Filipina.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
Bagian VI
Meningkatnya anggaran transfer daerah pada APBN-P 2015 disertai adanya alokasi dana desa sebagai amanat UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan peluang besar bagi daerah untuk dapat mempercepat pembangunan di daerah. Peluang ini menjadi semakin penting ditengah dinamika perekonomian domestik yang cenderung tumbuh melambat sehingga belanja daerah dapat berperan menjadi stimulus bagi tetap berkembangnya aktivitas perekonomian. Di samping itu, alokasi anggaran yang besar di daerah memberikan harapan akan lebih cepatnya upaya pembenahan struktural di daerah untuk memperkuat fundamental perekonomian yang dapat lebih menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Namun, perkembangan penyerapan belanja fiskal daerah pada Semester I 2015 yang justru diikuti oleh adanya peningkatan penempatan dana milik Pemerintah Daerah di perbankan menunjukkan tantangan yang cukup besar dalam penyerapan belanja daerah. Selain itu, kondisi fiskal di beberapa daerah dihadapkan pada kondisi penurunan alokasi DBH, khususnya bagi daerah yang berbasis migas, sehingga berimplikasi pada perlu dilakukannya penyesuaian pada belanja daerah. Kecenderungan penurunan DBH ini, khususnya DBH sumber daya alam, tidak terlepas dari perkembangan harga komoditas di pasar global yang terus mengalami penurunan sejalan dengan masih lemahnya ekonomi global. Untuk itu, daerah-daerah yang selama ini banyak mengandalkan pada DBH sumber daya alam sebagai sumber pendapatan perlu memprioritaskan upaya hilirisasi untuk berperan sebagai sumber pendapatan baru sekaligus sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019, target pembangunan yang ditetapkan pemerintah dalam jangka 5 tahun kedepan difokuskan pada percepatan pembangunan kewilayahan. Hal ini sesuai dengan Nawa Cita ketiga mengenai membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dengan pembangunan yang lebih merata, diharapkan ketimpangan antar wilayah dapat diminimalisir sehingga daerah mampu berkonstribusi lebih bagi perekonomian nasional. Peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah dan penambahan alokasi dana desa sebagaimana amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada APBN-P tahun 2015 merupakan salah satu upaya dan bentuk komitmen pemerintah pusat untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah. Tabel VI.1. Transfer Daerah miliar Rp
Transfer ke Daerah & Dana Desa A. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan 1) DBH - Pajak - SDA 2) DAU 3) DAK b. Dana Otonomi Khusus c. Dana Keistimewaan DIY d. Dana Transfer Lainnya B. Dana Desa Jumlah
2013 APBNP 529.363 445.531 102.695 49.751 52.944 311.139 31.697 13.446 70.386 -
2014 APBNP 596.504 491.883 103.399 41.938 62.001 341.219 31.895 16.149 524 87.949 -
2015 % Pe ruba ha n 2014-2015 APBN APBNP 637.975 648.835 8,8 516.401 521.761 6,1 127.693 110.052 6,4 50.569 54.217 29,3 77.124 55.835 (9,9) 352.888 352.888 3,4 35.821 58.821 84,4 16.616 17.116 6,0 547 548 4,5 104.411 104.411 18,7 9.066 20.766 -
529.363
596.504
647.041
664.601
11,4
Peningkatan dana transfer ke daerah terutama terjadi pada Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan bagi pembangunan infrastruktur fisik daerah. Dalam APBN-P 2015, secara total dana transfer daerah meningkat sebesar 8,8% dibandingkan tahun 2014 atau menjadi senilai Rp648,8 triliun. DAK yang pada APBN 2015 dialokasikan sebesar Rp35,8 triliun, pada APBN-P 2015 ditambah hingga mencapai Rp58,8 triilun atau Laporan Nusantara| 77
meningkat 84,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Penambahan DAK pada APBN-P 2015 dialokasikan untuk mendukung program prioritas pemerintah yang sebagian besar berkaitan dengan infrastruktur. Kedepan, dana transfer ke daerah akan terus ditingkatkan, sehingga anggaran belanja daerah akan memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan pusat. Alokasi anggaran dalam jumlah besar yang diberikan kepada daerah memberikan ruang bagi daerah untuk mempercepat berbagai pembenahan struktural di daerah, khususnya terkait dengan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur daerah merupakan pra-syarat penting bagi daerah untuk dapat mengejar ketertinggalan ekonominya. Pemanfaatan anggaran dengan tepat menjadi semakin penting ditengah dinamika perekonomian yang tumbuh melambat, dimana belanja daerah diharapkan dapat berperan sebagai stimulus bagi perekonomian daerah.
Sumber : TEPRA, diolah (data base Kab/Kota di sistem TEPRA masih terbatas) Gambar VI.1. Indikasi Penyerapan Belanja APBD Provinsi s.d. Triwulan II 2015
Namun, tampaknya hal tersebut masih menghadapi tantangan seiring dengan terbatasnya realisasi belanja pemerintah pada semester I 2015. Penyerapan belanja daerah hingga akhir semester I-2015 secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penyerapan belanja daerah tercatat 30 sebesar 25,9% pada semester I 2015, lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2014 (31,1%) . Penyerapan belanja yang lebih rendah terjadi di sebagian Jawa, Sumatera, dan KTI. Provinsi DKI Jakarta dan Riau merupakan dua daerah yang mencatatkan penyerapan belanja terendah yakni dibawah 20%. Rendahnya penyerapan belanja di DKI Jakarta merupakan dampak dari permasalahan yang berlarut dalam proses pengesahan APBD DKI Jakarta. Sementara, rendahnya penyerapan belanja Riau disebabkan oleh keterlambatan pengesahan panitia pelaksana anggaran. Realisasi belanja yang lebih rendah terindikasi pada belanja pemerintah di tingkat provinsi pada akhir Semester I 2015 sebesar 24,2%, sementara di tingkat kabupaten/kota sebesar 24,6%. Penyerapan belanja daerah yang rendah diikuti oleh peningkatan penempatan dana Pemerintah Daerah di perbankan. Hingga data Juni 2015, penempatan dana pemerintah daerah di perbankan berada dalam tren meningkat sehingga mencapai Rp279,8 triliun, merupakan jumlah yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Dana perbankan milik Pemerintah Daerah di wilayah Jawa mengambil porsi 37% dari total dana milik Pemerintah Daerah di perbankan. Tingginya dana perbankan milik Pemerintah Daerah juga didorong oleh adanya peningkatan transfer APBN ke daerah dan transfer Dana Desa secara signifikan. Anggaran transfer ke daerah pada APBN-P 2015 meningkat 11,4% dengan pangsa mencapai 33,3% dari total belanja APBN di 2015. Kenaikan transfer daerah terbesar terdapat pada komponen Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk
30
Tim Evaluasi Percepatan Realisasi Anggaran, Kemendagri, dan Laporan Monitoring Realisasi APBD & Dana Idle Tw III-2014, DJPK, Kemenkeu.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
31
mendukung program prioritas pemerintah . Kenaikan Dana Bagi Hasil (DBH) ditopang oleh kenaikan DBH Pajak, ditengah penurunan DBH SDA. Sementara itu, alokasi Dana Desa meningkat menjadi Rp20,8 T dari sebelumnya hanya Rp9,1 T. 300,000
Tertinggi dlm 3 th terakhir
Rp Milyar
250,000 200,000 150,000
2014
100,000
2013
50,000 0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
2013 138516 160871 175009 196876 192794 201365 183672 186551 214364 197429 192230 94116.9 2014 138364 150803 162806 182913 206213 231144 172228 197846 244109 234505 222761 114873 2015 172290 184121 230856 257933 259818 279817
Sumber: DJPK, Kemenkeu Grafik VI.1. Tren Penempatan Dana Daerah di Perbankan
Grafik VI.2. Tren Perkembangan SILPA Wilayah
Kurang optimalnya penyerapan fiskal daerah pada semester I 2015, menyebabkan terbatasnya dukungan fiskal untuk mendorong peningkatan aktivitas perekonomian di tengah perlambatan ekonomi yang sedang terjadi. Penyerapan belanja daerah yang tepat sasaran perlu menjadi concern Pemerintah Daerah agar belanja yang dilakukan mampu memberikan kontribusi dan multiplier effects bagi perekonomian daerah. Alokasi anggaran yang besar, tanpa disertai belanja daerah yang tepat guna berpotensi menyebabkan tidak optimalnya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Kondisi ini terindikasi terjadi di wilayah KTI digambarkan oleh 32 Kurva Rahn (Grafik VI.4), dimana pada beberapa daerah semakin besarnya porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB tidak dapat secara optimal meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Kondisi fiskal daerah dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu (i) daerah dengan share pengeluaran terhadap PDRB yang cukup tinggi namun dampak pengeluaran pemerintah masih rendah seperti Gorontalo; (ii) daerah dengan share pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap PDRB yang rendah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Bali; (iii) daerah dengan share pengeluaran terhadap PDRB yang cukup tinggi dengan dampak pengeluaran pemerintah masih rendah namun pertumbuhan ekonominya relatif rendah seperti di NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat; (iv) daerah dengan share pengeluaran terhadap PDRB yang cukup tinggi dengan dampak fiskal yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti di NTB dan Papua.
Grafik VI.3. Kurva Rahn Perbandingan Pengeluaran Pemerintah Dengan Pertumbuhan Ekonomi
31
Kedaulatan pangan, revitalisasi pasar tradisional, konektivitas, dan layanan kesehatan.
32
Rahn, R. and Fox, H. (1996). What Is the Optimum Size of Government. Dalam Kurva Rahn, pada awalnya semakin besar pengeluaran pemerintah akan mendorong perekonomian namun hanya sampai dengan level tertentu pengeluaran pemerintah tersebut dapat pertumbuhan ekonomi yang maksimal dan akan terus menurun jika pengeluaran pemerintah diperbesar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah yang optimal adalah sekitar 20% dari GDP.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan, kendala dalam penyerapan anggaran terutama disebabkan faktor teknis dan administrasi, antara lain keterlambatan juknis, penundaan lelang, peralihan sistem akuntansi 33 dari berbasis kas ke akrual. Dari hasil rekap permasalahan yang dikumpulkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah, faktor teknis dan administrasi mewakili lebih dari 55% kendala yang ditemui dalam penyerapan APBD. Hanya di wilayah Kalimantan faktor teknis tidak menjadi kendala yang dominan, namun faktor keterbatasan SDM dari sisi jumlah maupun kapasitas dinilai lebih berpengaruh terhadap lambatnya penyerapan belanja APBD. Selain itu, juga terdapat pertimbangan aspek hukum terkait dengan tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan konsekuensi risikonya. Adapun belum tersalurkannya Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke rekening Desa terkendala oleh permasalahan administratif terutama terkait belum adanya pengesahan APBDesa-Perubahan yang mencakup alokasi tambahan Dana Desa dari APBN-P. Jika keterbatasan penyerapan anggaran ini terus berlanjut, maka akan terjadi penumpukan dana “idle” di perbankan dan berdampak pada tingginya SILPA di akhir tahun anggaran. Selain terbatasnya penyerapan belanja, fiskal daerah juga dihadapkan pada tantangan terkait dengan transfer DBH, khususnya bagi daerah yang basis ekonominya adalah Sumber Daya Alam (SDA). Penurunan jumlah alokasi DBH SDA sebesar 9,9% pada 2015 terkait dengan harga minyak dan gas bumi yang lebih rendah disertai kinerja lifting migas yang menurun. Sementara, DBH Pertambangan Umum masih meningkat sehingga dapat menahan penurunan DBH SDA lebih besar. Penurunan DBH migas antara lain terjadi di Provinsi Kaltim, Riau, dan Kepri. Namun demikian, terdapat daerah yang mengalami peningkatan alokasi DBH migas yaitu Provinsi Jatim, seiring dengan beroperasinya blok Cepu (Banyu Urip). Beberapa daerah memiliki porsi sumber pendapatan DBH yang cukup dominan dalam APBD sehingga penurunan alokasi besaran DBH yang diterima berimplikasi pada perlunya penyesuaian belanja. Kondisi ini ditengarai terjadi pada Provinsi Kaltim, Riau, dan Jambi yang APBD-nya telah mengalami defisit anggaran selama beberapa waktu terakhir. Alokasi DBH yang lebih rendah dari ekspektasi pada APBD 2015 menyebabkan dilakukannya penyesuaian anggaran belanja. Di Kalimantan, penyesuaian belanja terutama dilakukan pada anggaran belanja barang modal dan belanja barang dan Jasa, dengan penurunan belanja modal paling dalam terjadi di Kaltim. Tabel VI.2. Struktur APBD Beberapa Provinsi
Provinsi
Pendapatan (triliun Rp) 2011
Riau Jambi Sumsel Kaltim Papua Barat
5,4 2,1 4,0 9,8 3,7
2013
7,0 2,9 5,5 11,6 5,6
%PAD
%DAU
%DBH
Belanja (triliun Rp)
2015* 2011 2013 2015* 2011 2013 2015* 2011 2013 2015* 2011 2013 2015*
8,7 3,3 7,2 8,5 6,1
40,6 47,3 46,6 45,9 4,1
39,0 37,0 37,0 50,6 4,2
41,9 7,0 10,4 7,5 37,0 28,1 29,1 30,2 38,7 16,3 15,9 13,7 65,0 0,5 0,5 0,7 4,8 18,9 18,9 21,0
51,3 22,4 33,1 53,0 20,1
40,7 20,8 32,1 45,3 33,0
39,7 20,2 30,7 30,0 27,4
4,3 1,8 3,8 8,1 3,6
7,5 3,3 5,7 13,8 4,5
10,7 3,5 6,6 9,3 6,8
Sumber: DJPK, Kemenkeu *) Anggaran
Berbagai inisiatif telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong percepatan penyerapan belanja APBD. Langkah yang dilakukan pemerintah pusat secara umum mencakup pengetatan monitoring (sistem pelaporan realisasi APBD), revisi aturan pengadaan, optimalisasi teknologi untuk mempercepat pengadaan (e-catalog/LKPP) serta pemberlakukan sistem insentif (reward) dan punishment dalam rangka mendorong penyerapan anggaran (Dana Insentif Daerah). Kemendagri juga telah secara khusus membentuk tim pemantuan realisasi anggaran di daerah. Sementara itu, langkah mendorong penyerapan belanja yang 33
Penerapan sistem akuntansi berbasis akrual untuk pencatatan keuangan negara mulai dilakukan pada tahun anggaran 2015. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005. Sistem akuntansi akrual seperti yang lazim dilakukan korporasi dipandang lebih menjamin transparansi yang akan meningkatkan kepercayaan publik.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
dilakukan pemerintah daerah lebih bersifat persuasif dan monitoring intensif terhadap realisasi anggaran oleh SKPD (koordinasi internal). Hanya sebagian kecil Pemerintah Daerah yang cukup aktif melakukan koordinasi dengan pihak eksternal antara lain terkait pengadaan lahan (koordinasi dengan BPN atau Kementerian LHK) serta melakukan pembenahan sistem pengadaan dengan penerapan aplikasi IT (e-procurement). Selain itu, upaya untuk mengoptimalkan penyerapan belanja juga menghadapi kendala aspek non teknis seperti politik anggaran dan pengadaan lahan serta kekuatiran atas jeratan tindak pidana korupsi. Pengetatan monitoring kinerja fiskal daerah (APBD) dilakukan secara simultan oleh Kemenkeu dan Kemendagri. Monitoring secara triwulanan dilakukan oleh Kemenkeu dan Kemendagri yang mencakup pula 34 penilaian kinerja pengelolaan pemerintahan daerah . Berdasarkan ketentuan, terdapat sanksi yang dikoordinasikan antara Kemenkeu dan Kemendagri berupa penundaan penyaluran DAU sebesar 25% pada setiap bulannya apabila laporan monitoring tidak disampaikan. Bagi daerah yang tidak mendapatkan DAU, penetapan sanksi dikenakan sebesar 25% dari jumlah DBH Pajak Penghasilan yg akan disalurkan pada tahun anggaran berjalan. Meski Kemendagri tidak memberikan sanksi finansial atas keterlambatan penyampaian laporan realisasi triwulanan, namun terdapat pertimbangan dalam hal penilaian/pemeringkatan kinerja pengelolaan pemerintah daerah. Selain itu, diimplementasikan pula sistem monitoring di bawah koordinasi Kantor Staf Presiden sebagai upaya penguatan intensitas dan mekanisme pelaporan keuangan APBN/APBD.
Sumber: Departemen Regional I-IV dan KPwDN, Bank Indonesia, diolah Gambar VI.2. Upaya Percepatan Penyerapam Anggaran di Daerah
Upaya mendorong percepatan penyerapan belanja daerah maupun daerah juga diwujudkan dalam kebijakan 35 revisi ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah Perpres 172/2014 dengan Perpres 4/2015 . Perpress 4/2015 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pengadaan barang dan jasa antara lain melalui percepatan proses tender (3-10 hari kerja) dan ketentuan pengadaan secara elektronis (e-catalogue, epurchasing, e-procurement). Percepatan tender dimungkinkan apabila menggunakan mekanisme e-tendering (LKPP) dan pemanfaatan informasi terkait penyediaan barang dan jasa (pra-kualifikasi). Perpres 4/2015 juga secara spesifik mengatur pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah Daerah, yakni dengan kewajiban bagi Pemerintah Daerah mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa secara terbuka kepada masyarakat luas pasca disetujuinya rancangan Perda APBD oleh DPRD. Hal ini diharapkan akan mempercepat proses pencarian vendor yang sesuai kualifikasi. Adapun ketentuan pengadaan barang dan jasa di tingkat Desa diatur melalui Peraturan Bupati/Walikota mengacu pada pedoman yang ditetapkan LKPP sebagai payung 34
Terdapat dua sistem aplikasi pelaporan realisasi APBD, yakni Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang dikelola DJPK (Laporan semesteran realisasi APBD H+30 dari triwulan yang dilaporkan : http://www.djpk.kemenkeu.go.id/sikd sejak 2006) dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) yang dikelola Ditjen Keuda (Laporan semesteran realisasi APBD (H+30 dari triwulan yang dilaporkan) : http://keuda.kemendagri.go.id/sipkd sejak 2010) 35 Perubahan ke-4 dari Perpres 54/2010.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
hukum proses pengadaan menggunakan Dana Desa. Meski belum tercakup dalam Perpres dimaksud, telah terdapat wacana untuk membuat ketentuan pemberian pelayanan hukum kepada pejabat pengadaan yang menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup pengadaan barang dan jasa. Ke depan, perlu diupayakan kebijakan yang lebih bersifat struktural untuk mengakselerasi penyerapan belanja daerah dan mengatasi ketergantungan pendapatan daerah terhadap komoditas SDA. Forum koordinasi lintas sektor/wilayah/pusat-daerah sebagai jembatan dalam mencari penyelesaian kendala penyerapan belanja daerah perlu ditingkatkan, seperti forum daerah dengan BPN untuk masalah pertanahan. Selain itu, perlu diupayakan peningkatan kapasitas SDM terkait dengan public finance management serta penyusunan langkah konkrit untuk mengatasi kekuatiran terkait potensi jeratan tindak pidana korupsi akibat kesalahan prosedural administrasi pengadaan. Terkait dengan penurunan pendapatan daerah di beberapa provinsi, khususnya pendapatan DBH migas, daerah dipandang perlu untuk segera merumuskan strategi pentahapan percepatan hilirisasi SDA.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 82
Bagian VI
Gambaran ketersediaan energi saat ini menunjukkan masih rentannya dukungan ketersediaan energi untuk berkembangan perekonomian nasional. Hal ini dicerminkan oleh (i) tingginya ketergantungan terhadap energi primer, khususnya migas, yang sebagian bersumber dari impor; (ii) terbatasnya pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), serta (iii) ketersediaan listrik yang masih terbatas dan belum merata sebagaimana tercermin dari kondisi cadangan listrik dan rasio elektrifikasi yang masih rendah. Di tengah kondisi perekonomian domestik yang masih cenderung dibayangi risiko perlambatan karena tingginya ketidakpastian perekonomian global, upaya pemerintah untuk juga memprioritaskan penyediaan energi, khususnya energi listrik, memberikan peluang untuk mempercepat berkembangnya perekonomian ke depan. Selain itu, jaminan ketersediaan energi akan memacu berkembangnya aktivitas produksi yang memberikan nilai tambah besar melalui industrialisasi/hilirisasi. Namun, di sisi lain, upaya meningkatkan ketersediaan energi listrik melalui pembangunan proyek 35 GW menghadapi sejumlah kendala baik di tingkat pusat maupun di daerah terutama terkait dengan proses pengadaan lahan dan perizinan proyek. Upaya mendorong kesinambungan ketersediaan energi juga menuntut perubahan paradigma penyediaan infrastruktur energi dari demand driven ke arah demand creation sehingga pengembangannya dapat lebih tersebar merata ke luar Jawa. Sejalan dengan visi kedaulatan energi dalam Nawa Cita untuk mewujudkan kemandirian ekonomi berbasis sektor strategis domestik, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 ketahanan energi dan kelistrikan menjadi salah satu sasaran strategis dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ketahanan energi secara umum mencakup tiga aspek utama, yakni (1) Ketersediaan pasokan baik melalui eksplorasi maupun optimalisasi produksi; (2) Keterjangkauan harga terutama dari sisi harga keekonomian; serta (3) Manajemen permintaan yang mengarah pada diversifikasi dan konservasi (efisiensi) energi. Adapun kebijakan pencapaian sasaran ketahanan energi dalam RPJMN 2015-2019 diarahkan pada upaya peningkatan produksi dan optimalisasi penggunaan energi domestik, peningkatan cadangan penyangga dan operasional energi, peningkatan peran Energi Baru Terbarukan (EBT), serta 36 peningkatan aksesibilitas dan efisiensi energi. Dalam kaitan tersebut, pembangunan infrastruktur energi menjadi kunci suksesnya pencapaian sasaran dimaksud. Secara umum, potensi ketersediaan energi primer yang cukup melimpah baik minyak bumi dan gas alam (migas), batubara, serta sumber energi baru terbarukan belum dimanfaatkan secara optimal. Utilisasi pemanfaatan saat ini masih relatif terbatas untuk pemenuhan pendapatan ekspor. Untuk minyak bumi, meski memiliki cadangan yang termasuk salah satu terbesar di dunia, terbatasnya eksplorasi baru menyebabkan produksi migas secara nasional terus mengalami penurunan. Sementara di sisi lain kebutuhannya meningkat 37 lebih cepat . Untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan pemenuhan hasil produksi domestik berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan terhadap impor. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas batubara. Sebagai salah satu negara dari 10 negara produsen batubara terbesar di dunia, hanya kurang dari 20% yang diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan domestik 36
Adanya perubahan paradigma dengan memprioritaskan energi sebagai aset nasional untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. 37 Konsumsi energi primer meningkat 4,9% per tahun yang didominasi oleh sektor industri dan rumah tangga. Sementara pasokan energi primer yang mayoritas berbentuk migas dan batubara hanya tumbuh 4,3% per tahun. Sebagian dari pasokan energi juga masih bersumber dari impor khususnya minyak bumi.
Laporan Nusantara| 83
38
dan selebihnya ditujukan untuk ekspor . Sementara itu, shifting penggunaan energi primer dari sumber fosil ke energi baru terbarukan (EBT) masih sangat minim sebagaimana tercermin dari peringkat energy sustainability Indonesia yang jauh berada dibawah negara peer (peringkat 106 dari 129 negara pada 2014 dan 39 berada di bawah Singapura, Malaysia dan Filipina) . Sementara itu, ketersediaan energi listrik juga masih relatif belum optimal dan belum merata antar satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi ini tercermin dari kondisi cadangan listrik dan rasio elektrifikasi yang masih rendah.
POTENSI
FAKTA Batubara
Minyak & Gas
Listrik
Target RPJMN 2015-2019: Ketahanan Energi & Kelistrikan
Kondisi kerentanan energi Belum optimalnya dukungan pada pembangunan perekonomian berkelanjutan
Geothermal
Batubara
Minyak & Gas
Listrik
Geothermal
Sumber : Kementerian ESDM, Laporan McKinsey Gambar VI.3. Diagram Gambaran dan Tantangan Sektor Energi
Masih rentannya kesinambungan pasokan energi merupakan isu krusial yang perlu segera diatasi untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Langkah pemerintah untuk mendorong percepatan penyediaan energi listrik melalui proyek pembangunan pembangkit listrik 35 GW merupakan langkah strategis yang diharapkan dapat memacu lebih berkembangnya aktivitas perekonomian. Semakin besarnya tantangan perekonomian ke depan, terutama ditengah dinamika pemulihan ekonomi global yang masih diwarnai tingginya ketidakpastian, pembangunan pembangkit listrik 35 GW merupakan bagian penting dari langkah pembenahan struktural guna mendorong meningkatnya nilai tambah perekonomian dan sekaligus memperkuat fundamental perekonomian nasional.
Tantangan Penyediaan Energi Kelistrikan Ketersediaan listrik merupakan prasayarat utama berkembangnya industrialisasi yang diperlukan untuk mendorong peningkatan nilai tambah perekonomian. Namun, energi listrik diidentifikasi sebagai kendala utama bagi berkembangnya perekonomian, khususnya sektor industri. Hasil kajian growth diagnostic yang dilakukan oleh Bank Indonesia di seluruh daerah mengindikasikan ketersediaan listrik sebagai salah satu hal utama (most binding constraint) yang menghambat pembangunan di daerah. Di sisi lain, penyediaan energi listrik yang memadai akan memacu peningkatan output perekonomian secara signifikan terutama pada sektor industri (Lihat Boks Growth Diagnostic).
38
Data Kementerian ESDM menunjukkan pada tahun 2014 produksi batubara nasional tercatat sebesar 435 juta ton dengan 359 juta ton di ekspor dan sisanya untuk pasar domestik. 39 World Energy Council, 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
Sumber : PLN Gambar VI.4. Peta Kondisi Kelistrikan Nasional 2014
Isu keterbatasan energi listrik tidak terlepas dari kemampuan pembangkit listrik yang belum sebanding dengan kebutuhan berkembangnya aktivitas perekonomian. Gambaran peta ketersediaan listrik menunjukkan bahwa kemampuan kapasitas terpasang pembangkit listrik terhadap beban puncak di sebagian besar daerah masih berada di bawah 30% atau dalam status siaga. Dari 24 sistem kelistrikan nasional yang ada, hanya 5 sistem dalam keadaan normal sementara 14 sistem dalam status siaga dan 5 sistem mengalami krisis (defisit) yang berdampak pada rentannya dilakukan pemadaman bergilir. Daerah dengan kondisi listrik defisit tertinggi berada di KTI, yakni di Sulawesi dan Papua.
10.5 8.1
7.2 3.7 0.4
0.7 Philippines
0.8 India
2
0.8
Pakistan
90 1.3
Indonesia
Thailand
China
Malaysia
Hongkong
Japan
2.3
Vietnam
4.4
Singapore
95,8%
93,6%
95
5.8
South Korea
97,4%
100 91,3% 87,7%
85
Sumber : Business Monitor International, 2014 Grafik VI.4. Konsumsi Listrik per Kapita di ASEAN (MWh)
80 2015
2016
2017
2018
2019
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024 Grafik VI.5. Target Elektrifikasi
Kondisi kerentanan energi listrik juga terindikasi dari rasio elektrifikasi yang secara nasional sekitar 88% pada 40 2015 dengan mayoritas daerah memiliki rasio elektrifikasi di bawah 90%. . Rasio elektrifikasi tertinggi di wilayah Jawa, sementara yang terendah di KTI. Dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia, konsumsi listrik per kapita Indonesia pada 2014 juga menjadi salah satu yang terendah. Selain kurangnya pembangkit, sistem kelistrikan nasional dengan total kapasitas sekitar 47 GW hanya didukung oleh 7 sistem interkoneksi, sementara 500 sistem kelistrikan lainnya terisolasi dan tersebar dalam skala yang lebih kecil. Terbatasnya cadangan listrik berpengaruh pada indeks daya saing Indonesia, khususnya pada aspek kemudahan memperoleh layanan listrik. Indeks Doing Bussiness 2014 yang dikeluarkan Bank Dunia mencatat Indonesia di peringkat 78 untuk indikator kemudahan mendapatkan listrik (getting electricity) khususnya pada 40
Rasio elektrifikasi Negara peer di ASEAN yang telah mencapai hamper 100%, termasuk di Vietnam.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
usaha kecil-menengah. Peringkat tersebut jauh di bawah negara peer di ASEAN. Selain itu, kualitas listrik juga menjadi faktor daya saing yang menjadi pertimbangan dalam investasi. Berdasarkan World Economic Forum (WEF), kualitas infrastruktur kelistrikan Indonesia berada pada ranking 84 dari 144 negara, juga lebih rendah dibandingkan dengan negara peer di ASEAN. Tabel VI.3. Kualitas Listrik
Sumber : Global Competitiveness Report, WEF
Tabel VI.4. Peringkat Doing Business
41
Sumber : Indeks Doing Business, 2015, Bank Dunia
Di sisi lain, kebutuhan terhadap energi listrik terus mengalami akselerasi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan produksi listrik. Rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik dalam 10 tahun terakhir sekitar 7,4%, lebih rendah dibanding tingkat produksi listrik yang sebesar 6,9% per tahun. Dalam 10 tahun mendatang, pertumbuhan konsumsi listrik rata-rata setiap tahunnya diproyeksi akan semakin meningkat mencapai 8,8%. Hal ini dengan memperhitungkan target pertumbuhan ekonomi sejalan dengan rencana pembangunan industri serta target rasio elektrifikasi yang mencapai 97,4%. Saat ini, konsumsi listrik terbesar masih berasal dari golongan rumah tangga dan industri yang mencapai 76% dari total konsumsi.
Sumber: Kementerian ESDM, RUPTL PLN 2015-2024 Grafik VI.6. Perkembangan Produksi & Konsumsi Listrik
Sumber: Dewan Energi Nasional Grafik VI.7. Konsumsi Listrik Per Sektor 2015
Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional, pemerintah menginisiasi proyek pembangunan listrik 35 GW yang tersebar di seluruh nusantara. Secara umum, pembangunan pembangkit proyek 35 GW sebagian besar berada di wilayah Jawa dan Sumatera. Diluar proyek 35 GW, pemerintah juga masih melanjutkan penyelesaian konstruksi pembangkit listrik yang merupakan bagian dari Fast Track Program (FTP) I & FTP II 42 sebesar 7,4 GW . Pada tahun 2019 ditargetkan terdapat penambahan kapasitas listrik ditargetkan sebesar 42,9 GW dengan commercial on date (COD) sebesar 19 GW. Sebagian besar dari proyek listrik 35 GW merupakan proyek dengan pengembang listrik swasta. Secara wilayah, pengembang listrik swasta mendominasi proyek pembangunan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara, PLN lebih berperan dalam pembangunan proyek di KTI yang mencakup Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dari total 4632 MW yang direncanakan dibangun di KTI, 68% proyek akan dilaksanakan oleh PLN. Hal 41
Doing Business (World Bank) mengukur dan membandingkan regulasi yang berkaitan dengan siklus bisnis usaha kecil hingga menengah di 189 wilayah. 42 Fast Track Program (FTP) Tahap I dan Tahap II dimulai pada tahun 2004. 43
Selengkapnya lihat Hausmann, R, Rodrik, D & Velasco, A 2005, 'Growth Diagnostic ', John F. Kennedy School of Government, Harvard University, pp. 1-26.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 86
yang berkebalikan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang mana keterlibatan swasta hampir mencapai 78% dari seluruh proyek. Berdasarkan jenis pembangkit yang akan dibangun, sebagian besar dari proyek listrik 35 GW merupakan pembangkit dengan menggunakan batubara, disusul dengan tenaga air. Sumatera
Kalimantan
Juta USD
11.327 MW
76 Pembangkit 14.281,5
19.305 kms
210 Transmisi 3.839,5
2.852 MW
Sulawesi & Nusa Tenggara
68 Transmisi
1.122
4.159 MW
83 Pembangkit 5.433,7
324,3
7.207 kms
90 Transmisi 1.168,6
5.620 MVA 165 Gardu Induk
Total Indonesia 42.940 MW 46.597 kms 108.789 MVA
Juta USD
3.910 MVA 115 Gardu Induk
7.883 kms
32.406 MVA 398 Gardu Induk 2.475,2
Juta USD
40 Pembangkit 4.000,5
412,1
Juta USD
291 Pembangkit 53.663,1 732 Transmisi 10.893,1 1.375 Gardu Induk 8.386,4
Total
72.942,6*
*Belum termasuk kebutuhan dana untuk tanah, Interest During Construction (IDC) dan pajak-pajak
Catatan: Data per Juli 2015
Jawa-Bali
Juta USD
Maluku & Papua
Juta USD
23.863 MW
49 Pembangkit
28.955
739 MW
43 Pembangkit
11.185 kms
349 Transmisi
4.615
1.017 kms
15 Transmisi
148
66.083 MVA 672 Gardu Induk
5.114
770 MVA
25 Gardu Induk
60,8
Legenda:
MW: Megawatt
kms: Kilometer-sirkuit
992,4
MVA: Mega-volt ampere
Sumber: PLN Gambar VI.5. Sebaran Proyek Listrik 35 GW
Hingga akhir semester I 2015, sebagian besar proyek 35 GW sudah dalam tahap pengadaan dan masih sebagian kecil yang sudah memasuki tahap konstruksi. Hal ini tidak terlepas dari adanya sejumlah kendala terutama terkait pengadaan lahan dan perijinan. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan di berbagai daerah, kendala yang dihadapi dalam implementasi proyek 35 GW antara lain terkait dengan permasalahan perijinan khususnya dalam hal ijin eksplorasi dan penetapan lokasi, serta ijin penggunaan kawasan hutan lindung.
Rencana 35 GW
Sumber: PLN, diolah Grafik VI.8. Sebaran Proyek 35 GW Berdasarkan Wilayah
Sumber: PLN Grafik VI.9. Jenis Pembangkit Rencana
Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, berbagai langkah telah ditempuh oleh Pemerintah baik dalam kerangka penyederhanaan perijinan maupun prioritas penggunaan lahan untuk infrastruktur strategis. Dalam hal perizinan, Kementerian ESDM telah melakukan penyederhanaan perizinan ketenagalistrikan dari 52 izin menjadi 29 izin dan waktu pengurusannya dari 923 hari menjadi 256 hari. Sejak awal tahun 2015, Kementerian ESDM telah mendelegasikan perizinan ketenagalistrikan (termasuk EBT), diantaranya izin operasi, izin panas
L a p o r a n N u s a n t a r a | 87
bumi, penugasan survei pendahuluan panas bumi, penetapan wilayah usaha, dan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik. Sementara terkait dengan penyediaan lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memproses berbagai perijinan yang menjadi kewenangannya, termasuk berbagai persetujuan prinsip kepada PT. PLN. Namun, berbagai hal yang telah ditempuh di tingkat pusat memerlukan dukungan pemerintah daerah yakni dengan mengoptimalkan fungsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan dengan mempercepat proses penetapan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Sumber: PLN dan Kementerian ESDM, diolah Grafik VI.10. Progress Pembangunan Proyek Listrik 35 GW Semester I 2015
Ke depan, upaya untuk mendorong penyediaan energi di daerah perlu dilakukan dengan mengubah demand driven menjadi demand creation. Hal ini sangat penting guna mengarahkan pembangunan infrastruktur energi yang lebih merata di seluruh nusantara. Untuk itu, diperlukan juga komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dalam pengembangan industrialisasi atau hilirisasi dengan tahapan yang jelas dan tertuang dalam rencana pembangunannya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 88
BOKS: Growth diagnostic (GD) merupakan metode analisis yang mendiagnosa penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah yang difokuskan pada investasi. Metode ini dikembangkan oleh Hausman, Rodrik, dan Velasco (HRV) pada tahun 2005. Metode GD berbasis decision tree yang ditujukan untuk melakukan analisa hambatan-hambatan dalam berinvestasi di suatu negara (Grafik 1). Cabang utama dari decision tree yaitu menganalisa kemungkinan rendahnya return dari aktivitas ekonomi dan kemungkinan tingginya ongkos pembiayaan. Selanjutnya kedua cabang tersebut masing-masing memiliki beberapa cabang tambahan, misalnya analisa kemungkinan faktor makro dan mikro yang dapat mempengaruhi tingkat 43 investasi. Pendekatan GD ini pada akhirnya bertujuan untuk memperoleh binding constraint yang menghambat investasi. kt c t (ct )(rt (at , t , xt , kt )(1 ) ) kt ct
Low return to economic activity
Low social returns
Poor geography Low human capital
High cost of finance
Inadequate international finance
Low appropriability
Inadequate local finance
Poor natural resource management Infrastructure bottlenecks
Micro risks: property rights, corruption, taxes
Government failures
Macro risks: financial, monetary, fiscal instability
Market failures
Information externalities: “self-discovery”
Low domestic saving
Poor intermediation
Need for better coordination
Gambar VI.6. Decision Tree HRV (2005)
Pada awal penelitiannya, HRV melakukan kajian GD pada Brasil, El Salvador, dan Republik Dominika. Mereka menemukan bahwa saving menjadi masalah utama disamping human capital atau tingkat pendidikan labor di Brasil. Sedangkan di El Salvador, investasi yang rendah disebabkan oleh rendahnya returns to capital, bukan masalah ketersediaan saving. Permasalahan yang utama di El Salvador yaitu terkait dengan penerimaan pajak yang rendah, kestabilan makro, birokrasi dan infrastruktur yang kurang memadai. Sementara itu, Republik Dominika memiliki permasalahan terkait lemahnya institusional atau birokrasi, sistem keuangan yang kurang kuat, dan juga permasalahan terkait fiskal. Pada perkembangannya, metode decision tree digunakan dalam beberapa kajian GD di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Penelitian oleh ADB, ILO, dan IDB (2010) dengan pendekatan GD menunjukkan bahwa permasalahan infrastruktur seperti jaringan transportasi dan listrik perlu menjadi perhatian. Hal yang sama ditemukan oleh Anderson et al (2013) yang menemukan bahwa infrastruktur pelabuhan dan jalan merupakan salah satu binding constraint di Indonesia. Pada tingkat Provinsi, World Bank telah melakukan kajian GD di Provinsi Banda Aceh (2009) dan Provinsi Jawa Timur (2011). Hasil temuan di kedua Provinsi tersebut juga terkait dengan masalah infrastruktur, namun dengan penekanan yang berbeda mengingat Provinsi Jawa Timur 43
Selengkapnya lihat Hausmann, R, Rodrik, D & Velasco, A 2005, 'Growth Diagnostic ', John F. Kennedy School of Government, Harvard University, pp. 1-26.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
didominasi oleh sektor industri. Sehingga iklim investasi dan infrastruktur, masalah ketidakefisienan di pelabuhan dan pasokan listrik untuk industri merupakan hambatan terbesar di Jawa Timur. Tabel VI.5. The Most Binding Constraint di 24 Provinsi Sumatera
Jawa
Kalimantan
KTI
Aceh: 1. Listrik 2. Pungutan liar 3. Kurangnya fasilitas pendukung pasar
DKI Jakarta: 1. Kemacetan lalu lintas 2. Kondisi geografi (banjir)
Kalsel: 1. Listrik 2. Kualitas jalan 3. Human capital
Sulut: 1. Listrik 2. Masalah upah 3. Human capital
Sumut: 1. Kualitas jalan 2. Listrik 3. Korupsi 4. Kriminalitas
Banten: 1. Listrik 2. Human capital 3. Kemudahan berbisnis 4. Pengagguran
Kaltim: 1. Listrik 2. Ketersediaan air bersih 3. Human capital
Sulsel: 1. Human capital 2. Masalah pergudangan 3. Irigasi 4. Listrik
Sumbar: 1. Kurangnya jalur kereta api 2. Listrik 3. Masalah tanah ulayat 4. Minimnya dukungan Pemda thd investasi
Jabar: 1. Listrik 2. Ketersediaan pelabuhan 3. Human capital 4. Teknologi
Kalteng: 1. Listrik 2. Human capital 3. Keterbatasan sarana angkutan batubara
Maluku: 1. Listrik 2. Kapasitas pelabuhan 3. Human capital
Sumsel: 1. Human capital 2. Kualitas jalan 3. Listrik 4. Korupsi
Jateng: 1. Bandara 2. Irigasi 3. Kapasitas pelabuhan 4. Kualitas jalan
Kalbar: 1. Human capital 2. Listrik 3. Kualitas jalan 4. Keterbatasan pelabuhan sungai
Malut: 1. Kualitas jalan 2. Listrik 3. Kurangnya keragaman industri
Kepri: 1. Kapasitas pelabuhan 2. Listrik 3. Kemudahan berbisnis 4. Birokrasi
Yogyakarta: 1. Bandara 2. Masalah Pembiayaan 3. Masalah lahan
Bali 1. Human capital 2. Listrik 3. Kualitas jalan 4. Kapasitas bandara
Riau: 1. Listrik 2. Kapasitas pelabuhan 3. Korupsi 4. Birokrasi
Jatim: 1. Kapasitas pelabuhan 2. Kemudahan berbisnis 3. Kualitas jalan 4. Listrik
NTB 1. Human capital 2. Listrik 3. Kapasitas pelabuhan 4. Irigasi
Bengkulu: 1. Irigasi 2. Kualitas jalan 3. Masalah pembiayaan Lampung: 1. Kualitas jalan 2. Listrik 3. Human capital
Kajian GD terkini dilakukan oleh Bank Indonesia di 24 Provinsi dari total 34 Provinsi yang ada pada tahun 2015. Hasil kajian tersebut menemukan bahwa ketersediaan listrik menjadi the most binding constraint hampir di 44 semua Provinsi yang menjadi obyek studi (lihat Tabel 1). Hasil ini menunjukan bahwa kebutuhan energi listrik sudah sangat mendesak. Tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, listrik juga sangat dibutuhkan untuk industri. Untuk mengembangkan industri di wilayah luar Jawa, seperti Kalimantan, ketersediaan pasokan listrik menjadi salah satu syarat utama. Sehingga, hasil kajian GD mengkonfirmasi bahwa kebutuhan listrik merupakan salah satu the most binding constraint. Adapun hambatan utama lainnya seperti masalah kualitas jalan, kapasitas pelabuhan, birokrasi yang terkait dengan proses perijinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia juga dirasakan mendesak untuk diperbaiki di beberapa Provinsi. Dari hasil temuan the most binding constraint dalam berinvestasi, maka dilakukan simulasi Reform Impact Assessment. Model yang digunakan untuk melakukan simulasi dimaksud yaitu model INDOTERM yang berbasis 45 Computable General Equilibrium (CGE). Hasil simulasi Reform Impact Assessment menggambarkan bahwa kebijakan pembangunan listrik nasional berpotensi memberikan dampak positif ke pertumbuhan ekonomi di 46 seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah luar Jawa. Bila dibandingkan dengan kondisi baseline tanpa kebijakan struktural, rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi meningkat 0.26% (Grafik 2) dan penyerapan tenaga kerja berpotensi meningkat 0.62% (Grafik 3) di atas kondisi baseline. Dampak 44
Temuan ini juga telah diperkuat oleh hasil Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan di 10 Provinsi yaitu Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan NTB. 45 Model CGE dimaksud menggunakan Tabel IRIO sehingga dapat meilhat link antar Provinsi di Indonesia. 46
Simulasi dilakukan oleh Staf DKEM-BI, dengan menggunakan model INDOTERM Multiregional Computable General Equilibrium© yang dibangun oleh Bappenas, CoPS Australia, CEDS UNPAD, ADB dan USAID. Implementasi simulasi menggunakan software GEMPACK. Angka estimasi yang disampaikan adalah hasil sementara penelitian GD oleh Bank Indonesia di tahun 2015.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 90
perekonomian terbesar akan dirasakan oleh Kalimantan dan KTI. Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan listrik di luar Jawa sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi. Sementara itu, dampak yang kecil di daerah Jawa menggambarkan bahwa kebutuhan listrik dalam kondisi business as usual sudah cukup besar, sehingga apabila target penyediaan tenaga listrik tidak tercapai, maka pertumbuhan ekonomi berpotensi menjadi lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.
Grafik VI.11. Dampak pada rata-rata gPDRB (2015-2020)* *Selisih terhadap “baseline no policy” (poin persentase)
Grafik VI.12. Dampak pada Agregate Employment (20152020)** **Selisih Kumulatif terhadap “baseline no policy” (poin persentase)
Simulasi pembangunan listrik nasional dimodelkan dengan melalui dua skenario: (1) Terjadi peningkatan investasi dalam membangun tambahan kapasitas listrik, dan (2) Terjadi peningkatan produktivitas di sektor manufaktur akibat berkurangnya defisit listrik. Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024, pembangunan kapasitas listrik lebih diutamakan untuk daerah luar Jawa, sehingga kapasitas listrik diasumsikan meningkat pada tahun 2019 dibandingkan kondisi saat ini sebesar (a) Jawa 35%, (b) Sumatera dan Kalimantan 40%, dan (c) KTI 50%. Disamping itu, berkaitan dengan peningkatan produktivitas, berdasarkan Worldbank Entreprise Surveys (2009), perusahaan manufaktur dan jasa di beberapa wilayah Indonesia, telah mengalami kerugian sebesar 0,4-1,6% dari penjualan tahunan akibat terjadinya pemadaman listrik. Kerugian terbesar dialami oleh sektor tekstil, karet dan barang yang terbuat dari karet, serta pengolahan makanan.
Grafik VI.13. Dampak terhadap pertumbuhan output sektor non jasa Kalimantan*** ***persen kontribusi kenaikan total output non jasa di Kalimantan)
Grafik VI.14. Dampak terhadap pertumbuhan ekspor Kalimantan**** ****persen kontribusikenaikan ekspor Kalimantan terhadap nasional)
Di beberapa daerah, peningkatan kapasitas listrik juga perlu di dorong dengan transformasi perekonomian. Hasil analisis sektoral pada spesifik regional Kalimantan sebagai daerah yang memperoleh benefit tertinggi, menggambarkan bahwa pembangunan listrik nasional berpotensi mempertahankan pertumbuhan dan kontribusi ekspor Kalimantan, terutama pada sektor-sektor yang merupakan pada modal (capital intensive),
L a p o r a n N u s a n t a r a | 91
seperti produk hasil olahan kilang minyak, LNG, dan kimia (Grafik VI.13). Untuk menopang pertumbuhan ekonomi Kalimantan yang lebih terdiversifikasi dengan dampak penyerapan tenaga kerja formal yang lebih besar dan beragam, diperlukan reformasi dibidang-bidang lain untuk melengkapi reformasi di sektor kelistrikan. Kebijakan-kebijakan reformasi tersebut perlu ditujukan dalam upaya mendorong perbaikan daya saing Kalimantan sebagai lokasi investasi sektor manufaktur padat karya, berbasis SDA dan berorientasi ekspor. Hasil simulasi menunjukan terdapat peningkatan ekspor pada beberapa produk di Kalimantan (Grafik VI.14). Simpul-simpul kebijakan yang perlu disegerakan antara lain adalah penyediaan lahan untuk industri dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, penguatan iklim kemudahan berusaha dan layanan birokrasi, penguatan infrastruktur konektivitas dan digital, penguatan fasilitasi perdagangan untuk ekspor, dan penyediaan layanan dasar yang layak bagi penduduk dalam rangka menarik tenaga kerja ke Kalimantan. Dari hasil kajian GD dan simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kapasitas listrik secara bertahap dalam 5 tahun ke depan akan mendukung pertumbuhan ekonomi. Secara khusus dengan studi kasus di Kalimantan, peningkatan kapasitas listrik dapat meningkatkan output maupun ekspor di industri petrokimia, LNG, dan kimia. Mengingat ketiga industri tersebut tergolong dalam padat modal (capital intensive) yang membutuhkan investasi dalam jumlah besar, maka dirasa perlu adanya reformasi dalam penyediaan enablers industri, seperti pengadaan lahan untuk industri, penguatan iklim kemudahan berusaha dan layanan birokrasi serta fasilitasi perdagangan untuk ekspor, penguatan infrastruktur, dan penyediaan layanan dasar publik dalam rangka menarik tenaga kerja berkualitas ke Kalimantan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 92
Lampiran
Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah
2014
2015 f
2015f
I
II
III
4.64
3.56
2.85
3.44
3.40 - 3.90
Kons ums i Ruma h Ta ngga
5.42
5.24
5.19
5.40
4.99 - 5.49
Kons ums i LNPRT
11.19 (3.10) (2.92) (9.75) (7.26) - (6.76)
Kons ums i Pemeri nta h
3.03
0.64
3.94
6.12
3.27 - 3.77
Pembentuka n Moda l Teta p Bruto
3.98
1.22
1.66
3.94
2.85 - 3.35
-
-
-
-
-
-
-
-
-
PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan
Eks por Impor Net Eks por
4.89
17.82 12.15 (2.16) 10.23 - 10.73
Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n
5.32
5.69
Perta mba nga n da n Pengga l i a n
(1.36) (3.66) (2.62) (1.34) (2.46) - (1.96)
Indus tri Pengol a ha n
4.69
2.24
3.09
3.25
2.73 - 3.23
Penga da a n Li s tri k da n Ga s
5.92
7.21
3.22
5.32
4.37 - 4.87
Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng
4.90
5.38
5.85
4.82
5.33 - 5.83
Kons truks i
7.03
3.56
2.43
5.07
3.96 - 4.46
Perda ga nga n Bes a r da n Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor
5.73
4.88
4.16
4.90
4.50 - 5.00
Tra ns porta s i da n Perguda nga n
6.41
7.82
7.02
7.38
6.68 - 7.18
Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num
7.82
8.06
6.77
8.41
7.53 - 8.03
Informa s i da n Komuni ka s i
7.59
8.26
9.22
9.55
8.55 - 9.05
Ja s a Keua nga n da n As ura ns i
3.79
4.67
0.69
4.51
3.08 - 3.58
Rea l Es ta te
6.60
5.59
5.47
5.33
5.26 - 5.76
Ja s a Perus a ha a n
6.65
6.65
6.15
6.28
6.00 - 6.50
Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b
6.12
5.82
8.29
5.03
5.80 - 6.30
Ja s a Pendi di ka n
7.86
8.99
7.13
6.39
6.62 - 7.12
Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l
7.38
6.76
7.39
7.89
7.10 - 7.60
Ja s a l a i nnya
6.73
7.23
7.65
7.52
7.35 - 7.85
Provi ns i Aceh
1.65
(2.12) (1.72) (1.84)
(1.6) - (1.1)
Provi ns i Suma tera Uta ra
5.23
4.83
5.11
5.20
4.77 - 5.27
Provi ns i Suma tera Ba ra t
5.85
5.49
5.27
5.69
5.19 - 5.69
Provi ns i Ri a u
2.62
(0.03) (2.64) (1.08) (0.90) - (0.40)
Provi ns i Ja mbi
7.76
5.96
5.18
5.38
5.26 - 5.76
Provi ns i Kepul a ua n Ri a u
7.32
7.14
5.57
6.23
6.03 - 6.53
Provi ns i Suma tera Sel a ta n
4.68
4.74
4.87
5.64
4.96 - 5.46
Provi ns i Bengkul u
5.49
5.43
5.33
5.45
5.09 - 5.59
Provi ns i La mpung
5.08
4.93
5.07
5.17
4.78 - 5.28
Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung
4.68
4.11
3.93
4.25
3.83 - 4.33
Sisi Produksi 2.29
2.30
3.50 - 4.00
PDRB (%,yoy)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 93
Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah
2014
2015 I
II
IIIf
2015f
Inflasi IHK (%,yoy)
8.62
6.12
7.74
7.85
4.22 - 4.72
Provi ns i Aceh
8.08
5.45
6.24
6.16
4.22 - 4.72
Provi ns i Suma tera Utara
8.17
6.14
7.81
8.13
4.51 - 5.01
Provi ns i Suma tera Ba ra t
11.57
6.28
8.17
8.16
3.88 - 4.38
Provi ns i Ri a u
8.64
6.17
7.39
6.58
3.31 - 3.81
Provi ns i Kepul a ua n Ri a u
7.59
5.66
8.21
8.57
4.75 - 5.25
Provi ns i Ja mbi
8.75
4.88
6.42
7.17
3.81 - 4.31
Provi ns i Suma tera Sel a tan
8.48
6.26
7.49
7.69
3.64 - 4.14
Provi ns i Bengkul u
10.85
7.65
9.90
9.02
4.23 - 4.73
Provi ns i La mpung
8.09
6.64
8.17
8.69
4.49 - 4.99
Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung
9.04
6.74
6.90
6.50
4.75 - 5.25
Kredit Perbankan (%, yoy)
9.43
10.12
8.60
DPK (%, yoy)
12.12 13.76 10.70
L a p o r a n N u s a n t a r a | 94
Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy)
2014 5.59
2015
2015f
I
II
IIIf
Ivf
5.13
5.07
5.3
5.5
4.96
4.72
4.9
4.9
4.7 - 5.1
0.8
2.0
(5.9) - (5.5)
5.1 - 5.5
Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga
4.81
Konsumsi LNPRT
12.79
Konsumsi Pemerintah
2.86
0.58
1.29
3.7
4.8
2.7 - 3.1
Pembentukan Modal Tetap Bruto
4.82
5.07
4.70
5.1
5.1
5.4 - 5.8
Ekspor
6.53
4.83
1.77
2.7
4.1
4.2 - 4.6
(11.80) (12.23)
Impor
2.28
0.23
(4.85)
-1.0
3.8
4.1 - 4.5
Net Ekspor Antar Daerah
(1.69)
(1.88)
(6.91)
-2.1
-2.2
(0.6) - (0.2)
Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
0.80
2.06
6.04
4.4
3.6
3.9 - 4.3
Pertambangan dan Penggalian
3.54
(0.37)
5.99
1.7
3.5
2.5 - 2.9
Industri Pengolahan
5.87
4.69
3.78
4.2
4.5
4.1 - 4.5
Pengadaan Listrik dan Gas
4.09
(4.23)
(3.41)
0.0
2.9
(1.4) - (1.0)
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
3.32
4.73
4.33
5.3
4.4
4.5 - 4.9
Konstruksi
5.45
4.74
3.69
5.7
6.7
5.0 - 5.4
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
4.44
4.36
4.34
4.5
4.8
4.3 - 4.7
Transportasi dan Pergudangan
6.70
8.41
8.57
8.7
8.0
8.2 - 8.6
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
9.41
6.21
6.45
6.3
6.6
6.2 - 6.6
Informasi dan Komunikasi
11.14
9.98
10.05
10.7
9.3
9.8 - 10.2
Jasa Keuangan dan Asuransi
4.82
7.64
3.13
4.0
4.3
4.5 - 4.9
Real Estate
6.07
5.64
4.98
5.7
5.7
5.3 - 5.7
Jasa Perusahaan
8.91
7.19
7.65
7.8
7.6
7.4 - 7.8
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
2.29
2.87
4.00
3.8
4.1
3.5 - 3.9
Jasa Pendidikan
7.39
6.80
8.43
8.2
6.8
7.4 - 7.8
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
8.88
8.69
7.67
8.6
7.3
7.9 - 8.3
Jasa lainnya
8.19
7.75
6.44
6.6
9.0
7.3 - 7.7
PDRB (%,yoy)
5.59
5.10
5.07
5.3
5.5
5.1 - 5.5
DKI Jakarta
5.95
5.08
5.15
5.2
5.5
5.0 - 5.4
Jawa Barat
5.07
4.93
4.88
5.0
5.1
4.8 - 5.2
Banten
5.47
5.69
5.26
5.4
5.4
5.2 - 5.6
Jawa Tengah
5.42
5.55
4.84
5.4
5.7
5.1 - 5.5
DI Yogyakarta
5.18
4.20
4.72
5.1
5.2
4.6 - 5.0
Jawa Timur
5.86
5.18
5.25
5.7
5.8
5.3 - 5.7
Inflasi IHK (%,yoy)
8.35
6.31
7.07
7.14
4.07
3.9 - 4.3
DKI Jakarta
8.95
7.10
7.59
7.48
4.38
4.2 - 4.6
Jawa Barat
7.60
5.46
6.51
6.51
3.47
3.3 - 3.7
Banten
10.20
7.46
8.91
9.13
5.16
5.0 - 5.4
Jawa Tengah
8.21
5.64
6.15
6.85
3.94
3.7 - 4.1
DI Yogyakarta
6.59
5.12
5.68
5.25
3.83
3.6 - 4.0
Jawa Timur Kredit Perbankan (%, yoy)
7.77 12.14
6.17 11.70
6.77 10.67
6.92
4.02
3.8 - 4.2
DPK (%, yoy)
12.84
16.95
13.40
L a p o r a n N u s a n t a r a | 95
Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy)
2014 3.2
2015 IIIf
I 1.7
II 1.5
1.7
2015f 1.40 - 1.90
Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga
4.68
3.31
3.40
3.66
3.17 -3.67
Konsumsi LNPRT
8.70
-4.58
3.64
5.36
2.53 - 3.03
Konsumsi Pemerintah
4.19
9.75
8.84
9.70
4.39 - 4.89
Pembentukan Modal Tetap Bruto
6.07
5.91
3.96
4.50
7.08 - 7.58
Ekspor
-1.79
2.82
1.07
-
0.73 - 1.23
Impor
-3.24
9.55
8.29
-
5.57 - 6.07
Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
4.25
3.93
5.10
5.73
4.51 - 5.01
Pertambangan dan Penggalian
0.08
-0.51
-2.61
-2.99
(2.61) - (2.11)
Industri Pengolahan
2.19
-3.05
-0.63
-0.09
(0.81) - (0.31)
Pengadaan Listrik dan Gas
15.81
44.76
33.30
40.60
30.03 - 30.53
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
6.65
3.40
5.57
5.60
5.14 - 5.64
Konstruksi
7.50
5.18
3.61
5.52
4.73 - 5.23
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
5.43
3.54
3.62
3.12
3.55 - 4.05
Transportasi dan Pergudangan
6.73
6.65
7.10
4.67
5.62 - 6.12
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
5.93
5.21
6.68
6.73
6.36 - 6.86
Informasi dan Komunikasi
10.47
11.57
10.24
9.39
9.74 - 10.24
Jasa Keuangan dan Asuransi
5.24
4.84
-0.48
3.79
2.87 - 3.37
Real Estate
6.86
5.61
4.41
4.49
4.70 - 5.20
Jasa Perusahaan
8.18
3.20
2.18
5.29
3.86 - 4.36
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
7.95
7.82
13.48
12.23
11.29 -11.79
Jasa Pendidikan
9.88
9.84
10.25
10.93
9.41 - 9.91
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
7.43
7.17
10.36
9.70
9.27 - 9.77
7.22
6.38
7.91
8.57
7.78 - 8.28
Jasa lainnya PDRB Per Provinsi (%,yoy) Kalimantan Selatan
4.85
3.92
3.18
3.68
3.21 - 3.71
Kalimantan Timur & Utara
2.02
-0.32
-0.25
-0.17
(0.38) - 0.12
Kalimantan Barat
5.02
4.79
4.01
4.61
4.26 - 4.76
Kalimantan Tengah Inflasi IHK (%,yoy)
6.21
7.70 7.30
6.98 7.33
6.47 7.66
6.53 - 7.03
7.87
Kalimantan Selatan
7.28
7.00
6.07
6.53
4.51 - 4.91
Kalimantan Timur & Utara
7.67
7.08
7.55
8.06
4.72 - 5.12
Kalimantan Barat
4.83 - 5.23
9.43
8.94
9.04
9.17
5.82 - 6.22
Kalimantan Tengah Kredit Perbankan (%, yoy)
7.07 9.69
5.90 7.59
5.85 7.44
5.52
4.06 - 4.46
DPK (%, yoy)
5.25
8.03
6.46
L a p o r a n N u s a n t a r a | 96
Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Luar Negeri Impor Luar Negeri Net Ekspor Antardaerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB Per Provinsi (%, yoy) Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Utara Provinsi Maluku Provinsi Papua Barat Provinsi Papua Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur
2014
2015
2015f
6.03
I 6.84
II 9.01
IIIf 8.64
7.7 - 8.1
6.03 10.05 4.59 8.75 -9.79 9.86 -10.68
6.02 -3.95 6.42 9.72 29.09 -12.89 49.52
5.88 -1.42 4.93 10.46 56.32 0.10 38.81
5.95 4.15 9.55 9.34 20.55 16.70 15.20
5.8 - 6.2 0.9 - 1.3 5.9 - 6.3 8.7 - 9.1 27.7 - 28.1 5.0 - 5.4 23.4 - 23.8
6.60 -2.99 7.94 9.66 5.57 8.39 7.56 6.84 7.04 7.26 6.77 7.70 7.68 8.09 7.38 8.74 7.58
4.16 10.52 4.78 11.86 2.42 9.22 6.04 6.46 6.89 7.34 9.99 6.91 4.00 6.27 8.92 7.86 7.12
6.46 21.81 9.98 1.74 3.54 9.25 6.67 7.21 5.40 7.38 3.11 6.60 5.20 7.17 8.33 8.12 6.89
4.35 20.16 12.18 6.97 4.87 7.16 7.94 7.53 7.07 7.73 6.36 6.61 6.20 6.86 7.31 7.88 6.62
4.9 - 5.3 13.5 - 13.9 10.4 - 10.8 6.9 - 6.3 3.9 - 4.3 8.0 - 8.4 7.2 - 7.6 6.8 - 7.2 6.6 - 7.0 7.5 - 7.9 6.3 - 6.7 6.8 - 7.2 5.7 - 6.1 6.8 - 7.2 7.3 - 7.7 7.4 - 7.8 6.9 - 7.3
7.57 8.73 6.26 5.11 7.29 6.31 5.49 6.70 5.38 3.25 6.72 5.06 5.04
5.36 5.85 5.79 16.81 4.72 6.41 5.26 4.06 -1.78 5.79 6.21 16.52 4.64
7.62 8.40 7.45 15.72 6.37 6.27 6.54 5.80 7.39 12.77 6.02 16.51 5.03
7.29 6.52 7.63 13.85 7.05 6.46 6.61 6.81 6.08 3.25 6.12 31.30 5.43
7.1 - 7.5 7.1 - 7.5 7.1 - 7.5 14.8 - 15.2 6.3 - 6.7 6.3 - 6.7 6.1 - 6.5 5.9 - 6.3 4.8 - 5.2 7.5 - 7.9 6.0 - 6.4 14.1 - 14.5 5.0 - 5.4
L a p o r a n N u s a n t a r a | 97
Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur Kredit Perbankan (%, yoy) DPK (%, yoy)
2014 8.31 8.61 7.89 8.45 8.84 6.14 9.67 7.19 9.35 9.11 6.56 8.43 7.22 7.76 11.20 13.28
2015 I 6.83 7.13 6.68 7.80 5.28 5.28 7.99 9.07 7.92 6.84 7.00 6.42 5.98 5.39 14.57 13.51
II 7.21 7.20 6.28 7.72 5.87 5.82 7.97 8.73 8.92 9.10 7.45 6.95 6.73 5.60 12.38 13.43
IIIf 7.41 8.09 7.75 6.43 5.78 6.06 8.93 9.50 6.47 7.85 8.28 7.44 5.56 6.11
2015f 4.4 - 4.8 4.7 - 5.1 4.5 - 4.9 2.6 - 3.0 3.2 - 3.6 3.9 - 4.3 4.2 - 4.6 7.6 - 8.0 5.1 - 5.5 4.9 - 5.3 6.1 - 6.5 4.1 - 4.5 3.9 - 4.3 3.9 - 4.3
L a p o r a n N u s a n t a r a | 98
Penanggung Jawab dan Editor Arief Hartawan
Koordinator Penyusun Handri Adiwilaga
Tim Penulis Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi
:
Grup Riset Ekonomi
:
Departemen Regional I (Sumatera) Departemen Regional II (Jawa) Departemen Regional III (Kalimantan) Departemen Regional IV (Kawasan Timur Indonesia)
: : : :
Darius Tirtosuharto Neva Andina Puput Kurniati Maximilian T. Tutuarima Nurul Pratiwi Andi Parenrengi Anggi Adiprasetio Donni Fajar Anugrah Yenny Fridayanti Febby Leorisa Septine Wulandini Komalia Rahmayani Rizki Fitrama Adela Putri Rizkia Bernad Hasiholan Evy Marya Deswita Siburian Andree Breitner Makahinda
Laporan Nusantara
Laporan Nusantara