s^
3$ isN t\
c6) L
rtj.,L
ntx
$
s O
O
O ,\
$
slu
!^
et
st* E'F p
N) -A
P
f:O :i. Hr
a
ta
o 5 rb
{ a_
n (D
$
a-
;a
a a 3
(/)
(^
:s D a
r/i
(a
a C 3
s
J
r
d a f, >\ a q
.kt
oJ
I
..
A.
o
fu
3
l,l
fD
u a
o.,
9.
6-
3 o,
C f ?' (D a
fD
:l(..}
6'
f1
(./t
*
e..:z
(l)
-So=H
o,
st,(6
o): ,\< cO
gEl
\v,
.u
)-
ro
o'6 :f,C
n oJ= t+J
o-g CJ
n-r vt6 m:
a-+ *-r. LJ
-
ilEd
-t
o 5 = (U
S-r-F
-l
= = ETT O
5'-a
E
t* o gr?a a
E ]9 OOZ.:I
o-o j
T:f (D-{
6-d
B.B
)-
f a C= 3€ g.x
o
I
n g)
0) II
= €
\ \
\\
\ \
\,
$\\
,.$
t
\l
-r. \l \-. "
t$"
t\
N
N
N.
ti
N
\
N-
$ N N\ ft
IDENTIFIKASI SCAFFOLDING GURU MATEMATIKA MENUJU PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 Anwar1, Ipung Yuwono2, Edy Bambang Irawan2, Abdur Rahman As’ari2 1 Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang Email:
[email protected] 2 Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang Abstrak. Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran matematika adalah ketika guru memberikan scaffolding kepada siswa, yaitu pemberian bantuan guru secara terbatas yang mampu mendorong keberhasilan konstruksi pemahaman siswa selama pembelajaran. Artikel ini berasal dari observasi peneliti di SDI dan MTsI Surya Buana di Malang. Artikel ini membahas scaffolding yang diberikan guru matematika sebagai salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa menuju pelaksanaan kurikulum 2013. Hasil observasi menunjukkan bahwa scaffolding yang diberikan guru matematika merujuk kepada Anghileri (2006), masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit berada pada level 2 dan 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan explaining dengan showing dan telling. Kata-kunci: pembelajaran matematika, scaffolding, kurikulum 2013.
1.
Pendahuluan
Kegiatan pembelajaran matematika di kelas tidak terlepas dari interaksi antara guru dan siswa (Franke, 2007). Interaksi ini berkontribusi terhadap pencapaian praktik di ruang kelas yang mendukung penguasaan belajar siswa (h. 251). Namun, proses membangun interaksi ini tidaklah mudah. Hal ini bergantung dari pengalaman guru, keyakinan guru, pengetahuan guru tentang materi yang disampaikan, watak pribadi dan lain sebagainya (Hiebert & Grows, 2007; Rice, 2010; Unal, 2012). Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran adalah ketika guru memberikan scaffolding kepada siswa, yakni sebagai pemberian bantuan secara terbatas oleh guru yang mampu mendorong keberhasilan siswa mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri dalam pembelajaran. Perubahan kurikulum di Indonesia pada tahun 2013 sebagai kurikulum yang pembelajarannya menggunakan pendekatan saintifik, yang disingkat dengan K-13 (Kemendikbud, 2013), telah melahirkan tantangan baru bagi guru matematika yang tentu saja mempengaruhi interaksi pembelajaran di kelas. Beberapa tantangan itu secara garis besar berkaitan dengan: (1) pembenahan pemahaman guru tentang esensi kurikulum, (2) penyiapan dan penguasaan materi matematika yang difasilitasi, dan (3) pengelolaan pembelajaran matematika di dalam kelas. Untuk menghadapi tantangan ini, menurut As’ari (2014), diperlukan upaya guru mengubah mindset-nya. Dalam kaitan ini, ada dua hal yang sangat penting yang harus dilakukan guru yaitu: (1) guru harus berubah bukan lagi sebagai satu-satunya penyedia pengalaman belajar, dan (2) guru harus berubah dari sosok yang aktif menjelaskan menjadi pendorong siswa untuk mencari informasi, mengolahnya dan menyimpulkannya. Namun, perubahan kurikulum K-13 bukanlah bersifat total melainkan berupa penyesuaian dari kurikulum yang sudah digunakan selama ini, sejak tahun 1974 hingga kurikulum KTSP 2006. Kurikulum sebelum K-13 sudah memberikan ruang keaktifan siswa. Namun dalam K-13 ini diharapkan ruang keaktifan belajar tersebut lebih besar lagi terjadi, yakni dengan menerapkan kegiatan 5M. Kelima kegiatan tersebut seperti yang dituangkan dalam Permendikbud No. 81a 2013 adalah mengamati, menanya, menggali informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013) Tuntutan pelaksanaan 5M tersebut tentu akan memperkuat interaksi antara guru dengan siswa di dalam kelas. Apalagi, model yang disarankan untuk melaksanakan pembelajaran dalam K-13 adalah guided discovery learning, problem based learning, dan project based learning (As’ari, 2014: 6). Ketiga model ini berasaskan pendekatan konstruktivis yang mengarahkan pembelajaran berpusat pada siswa. Memperhatikan siswa sebagai individu yang sedang berkembang, tidak dipungkiri bahwa dalam pencapaian ketiga model itu diperlukan bantuan secara terbatas oleh guru (meminjam istilah Bruner disebut scaffolding). Pemberian scaffolding diharapkan akan mewujudkan kesuksesan belajar.
38
Sebagaimana dikemukakan Hiebert (2007) bahwa mengajar adalah sesuatu yang bisa diubah di bawah kondisi yang mendukungnya. Pemberian scaffolding adalah dalam rangka mencapai strategi pembelajaran yang efektif. Menurut Sowder (2007), guru yang efektif haruslah dapat memprediksi apa yang dipahami siswa, bagaimana siswa memahami, dan bagaimana memberi bantuan yang diperlukan sehingga siswa tidak mengalami kesalahpahaman. Paraguru haruslah memainkan peran penting dalam mengantisipasi kesukaran belajar siswa sehingga pembelajaran menjadi efektif. Oleh karena itu, guru matematika perlu mempertimbangkan kegiatan yang dirasa paling sesuai dengan tuntutan K-13 tersebut. Di sinilah peran pemberian scaffolding diperlukan. Guru matematika yang efektif tidak hanya memikirkan bagaimana rencana pembelajaran dibuat tetapi bagaimana menyampaikan materi secara tepat dan memberikan bantuan yang diperlukan seperlunya sehingga siswa menjadi mandiri. Para guru harus tahu bagaimana pemberian scaffolding yang dapat membantu pengembangan pemahaman para siswa. Namun, diingatkan oleh Yuwono (2014), penjelasan guru yang bersifat dogmatis, mencontohi, atau menggurui, harus diminimalkan. Guru di kelas hanya sebagai fasilitator kegiatan belajar siswa, sehingga siswa belajar secara bermakna.
Tujuan Artikel ini berusaha untuk mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru matematika sebagai salah satu bentuk interaksi antara guru dengan siswa selama pembelajaran. Diharapkan identifikasi yang diperoleh bermanfaat untuk pengembangan pembelajaran matematika menuju pelaksanaknaan kurikulum 2013.
2.
Tinjuauan Pustaka
Kerangka Teori Scaffolding Kata scaffolding berasal dari bahasa Inggrsis yaitu dari kata benda “scaffold” yang berarti perancah atau penopang, selanjutnya berkembang menjadi scaffolding. Metaphora ini banyak digunakan dalam teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung (Yamin, 2013). Teori pemberian scaffolding ini pertama kali diperenalkan oleh Wood, Bruner dan Ross di-akhir tahun 70-an dan sejalan dengan teori Vygotsky dengan istilah Zone Proximal Development (ZPD) (Akhtar, 2014). ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial, yakni jarak antara apa yang siswa mampu pahami secara mandiri dengan kemampuan siswa memahami sesuatu yang membutuhkan orang lain. Menurut pandangan ini, setiap anak membutuhkan bantuan orang lain yang lebih dewasa yang semakin lama semakin harus dikurangi. Anak dalam perkembangannya secara sosial memiliki tiga wilayah (daerah) perkembangan intelektual yakni: 1) daerah yang anak secara bebas melakukan sesuatu tanpa ada bantuan orang lain, 2) daerah yang anak melakukan sesuatu memerlukan bantuan orang lain, dan 3) daerah yang tidak mungkin dicapai oleh anak. Pemberian bantuan mengajar berada dalam daerah pertengahan . Menggunakan kata-kata Vigotsky, “what the child is able to do in collaboration today he will be able to do independently tomorrow” (Akhtar, 2014). Meskipun banyak perbedaan definisi yang diberikan para ahli mengenai scaffolding, tetapi pada prinsipnya scaffolding merupakan bantuan secara terbatas yang sifatnya sementara dari orang yang lebih mampu kepada orang yang membutuhkan bantuan. Orang yang lebih mampu itu misalnya para ahli, guru, teman sejawat, atau alat-alat yang dipergunakan ketiga membutuhkan bantuan seperti kertas, penggaris atau software. Pemberi scaffolding, sebut saja scaffolder, harus mampu mengorganisasikan prosedur dan konsep agar pemahaman siswa menjadi benar. Dalam pembelajaran, scaffolding haruslah berkenaan dengan empat tujuan 1) tujuan yang berkenaan dengan pengetahuan domain belajar, 2) mempelajari bagaimana belajar itu sendiri, 3) belajar menggunakan alat bantu belajar, dan 4) belajar mengadaptasikan atau memodifikasi konteks dan keunggulan belajar (Azevedo & hadwin, 2005). Menurut Anghileri (2006), pembelajaran matematika sekarang telah mengubah peran guru dari pendekatan pembelajaran tradisonal yang menekankan “showing and telling” menuju pembelajaran yang cepat tanggap yang membimbing siswa mengembangkan pikirannya sendiri. Inilah hakikat dari
39
pembelajaran scaffolding dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya, ditambahkan oleh Angileri bahwa ada 3 tingkatan (level) yang secara hierarki merupakan interaksi yang berkaitan dengan praktik pembelajaran yang dapat meningkatkan belajar matematika. Ketiga level itu adalah 1) environmental provision, 2) explaining, reviewing, dan restucturing, 3) developing conceptual thinking. Untuk level pertama memungkinkan pembelajaran dapat melakukannya tanpa bantuan guru. Sementara untuk kedua level lainnya memerlukan interaksi langsung guru antara guru dan siswa yang lebih besar. Namun, dalam pembelajaran tertentu dapat terjadi semuanya. Kegiatan guru pada level 1, misalnya memilih benda-benda yang diperlukan (papan tulis, alat manipulatif, permainan, dan alat alat yang tepat), pengorganisasian kelas seperti pengaturan tempat dan urutan pembelajaran). Meskipun hal ini tidak memberi kesan langsung sebagai scaffolding tetapi ia mempengaruhi pembelajaran. Pemberian LKS (lembar kerja siswa) atau kegiatan yang diarahkan guru, pengelompokan siswa untuk bekerja secara kooperatif, termasuk dalam level ini. Kegiatan guru pada Level 2, bantuan secara terbatas berupa penjelasan (explaining) termasuk di dalamnya penunjukan (showing), mengatakan (telling) ide yang dipelajari. Dalam pembelajaran tradisional lebih didominasi dengan kegiatan showing dan telling, sehingga kontribusi belajar siswa sangat sedikit. Penjelasan yang tidak dalam batas-batas berpikir siswa dapat berakibat bertumpuknya kesulitan yang dihadapi siswa sehinga dapat menimbulkan masalah baru bagi siswa. Oleh karena itu suatu alternatif dari showing dan telling adalah mengembangkan pemahaman siswa melalui rewiewing dan restructuring. Rewieweing berkaitan dengan interaksi yang dibangun guru yang mendorong pengalaman belajar matematika yang ada pada diri siswa. Misalnya, guru meminta siswa melihat, menyentuh, atau menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan. Guru meminta siswa menjelaskan dan membenarkan. Guru menginterpretasikan apa yang dilakukan dan dikatakan siswa. Guru menggunakan pertanyaan yang melacak. Restrucuring berkaitan dengan kegiatan guru membuat suatu adaptasi untuk memodikasi pengalaman belajar siswa. Perhatian guru secara progresif memperkenalkan modifikasi yang akan membuat ide-ide lebih mudah diterima, tidak hanya membangun kontak dengan siswa tetapi mengambil makna selanjutnya. Hal ini berbeda dengan reviewing yakni interaksi guru dan siswa cenderung mendorong refleksi, penjelasan tetapi tidak mengubah pemahaman yang ada pada siswa. Kegiatan guru antara lain membekali konteks bermakna untuk situasi abstrak, menyederhanakan masalah dengan membatasi agar jangan terlalu meluas, mengucapkan kembali perkataan siswa, dan mendiskusikan makna. Kegiatan guru pada level 3, merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi pembelajaran yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan menghasilkan kesempatan menyingkap pemahaman bersama antara guru dan siswa. Guru perlu mencari perkembangan konsep melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan abstraksi. Di sini peran guru lebih bersifat perintah. Meskipun sedikit sekali terjadi, pembelajaran akan efektif jika difokuskan pada pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan guru antara lain mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan dengan interpretasi dan menggunakan sistem gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong siswa memahami simbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa, baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai “bentuk atap”, meskipun secara formal dinamai prisma segitiga. Kegiatan guru pada level 3, yang merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi pembelajaran yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan menghasilkan kesempatan untuk menyingkap pemahaman bersama antara gru dan siswa. Guru perlu mencari perkembangan konsep melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan abstraksi. Di sini peran guru lebih bersifat perintah. Meskipun sedkit sekali terjadi, pembelajaran akan efektif jika difokuskan pada pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan guru antara lain mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan dengan interpretasi dan menggunakan system gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong siswa memahami symbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa, baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai “bentuk atap”, meskipun secara formal dinamai prisma segitiga.
40
Dalam membuat koneksi, intervensi guru sangat diperlukan sebagai bantuan bagi belajar siswa. Guru dapat memperluas strategi yang digunakan sebelumnya sebagai sesuatu pengaitan yang baru. Misalnya, dari pada meminta siswa “menjumlahkan 6 ditambah 6”, lebih baik mengatakan “coba gandakan 6nya” sebagai bentuk menyatakan kembali selesaian yang diberikan siswa. Contoh lain ketika pebelajaran decimal, kegiatan dapat ditingkatkan dengan mengaitkan pecahan dan persen yang telah dibuat. Misalnya, ½ x 40, 40 x 0.5, 50% dari 40. Selanjutnya, dalam hal membangun wacana konseptual, guru harus melampaui scaffolding yang telah dilewati sebelumnya. Misalnya, setelah mengurutkan bentuk-bentuk benda yang dapat bergulir, guru menanyakan “Mengapa ia akan bergulir?” dan dilanjutkan dengan diskusi. Bahkan sampai meminta siswa membuat contoh sendiri. Berikut adalah tiga level scaffolding dan contohnya menurut Anghileri (2006). Tabel 1. Jenis Scaffolding dan Contohnya
Level Scaffolding
1.
Enviro nmental Provision
2.
Explai ning, reviewing, dan restructuring: melibatkan interaksi langsung dengan siswa
3. Developing Conceptual thinking: lebih bersifat imperative (perintah)
Contoh
1. Artefacts (memilih alat-alat yang cocok, benda tiruan, papan tampilan dinding), tekateki, perangkat pengukuran. 2. Free play (menggunakan papan blok) 3. Grouping (kerjasama kelompok) 4. Interjection (ujaran khas, spontan) atau balikan, mendapatkan perhatian 5. Self constructing task (tugas-tugas yang dilakukan sendiri) Reviewing 1. Meminta siswa melihat, menyentuh dan menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan 2. Meminta siswa menjelaskan dan membenarkan 3. Menginterpretasikan kegiatan dan omongan siswa 4. Menggunakan pertanyaan yang melacak 5. Menggunakan strategi alternative (parallel model) Restructuring 6. Identifying meaningful context [“6:12= ?” disederhanakan ”6 kue akan dibagikan kepada 12 orang”] 7. Symplifying the problem [“Menyederhanakan pengulangan benda dengan meminta yang dua sisi dan satu sisi saja”] 8. Re-phrasing student talk [menyebutkan kubus sebagai istilah yang benar dari ucapan siswa yang menyebutkan “persegi”] 9. Negotiating meaning [berjuang bersama-sama guru dan siswa untuk memahami sesuatu yang dipahami dalam belajar matemaika sebenarnya] 1. Mengembangkan alat-alat representasi:[memperkenalkan prisma segitiga sebagai “bentuk atap”. “Guru menggunakan representasi grafis dan spreadsheets” untuk memaknai struktur matematika apa yang disajikan” 2. Membuat koneksi [menggunakan ide “gandakan 6-nya” daripada “ 6 tambah 6” dalam mengulangi kerja yang sudah dilakukan siswa.] 3. Membangun wacana konseptual [Setelah mengurutkan bentuk-bentuk pilihan benda yang bisa bergelinding, guru menanyakan “mengapa ia akan bergelinding”. “Menanyakan strategi yang digunakan unuk 6 + 7. Jika perlu mintalah siswa untuk membuat contoh mereka sendiri]
Pemberian Scaffolding Pada Pembelajaran Matematika Salah satu prinsip yang dituangkan dalam proses pembelajaran menggunakan K-13 adalah pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah (Kemendikbud, 2013). Hal ini berarti bahwa pelaksanaan K-13 menuntut adanya kemandirian siswa yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran tidaklah mengapa jika siswa melakukan kesalahan selama proses mereka menyelesaikan masalah. Yang lebih dipentingkan dalam pembelajaran tersebut adalah prosesnya di samping hasilya. Tugas guru adalah memfasilitasi proses belajar siswa sehingga siswa dapat
41
menyelesaikan masalahnya, yang dikenal sebagai scaffolding produktif (lawan dari scaffolding tak produktif) Pembelajaran matematika dengan menerapkan kurikulum K-13 merupakan atmosphere baru bagi guru matematika di Indonesia. Hal ini berdampak tidak hanya pada poses pembelajaran yang dilakukan guru di kelas, tetapi juga pada proses siswa mengelola belajarnya. Tuntutan melahirkan kegiatan 5M di kelas menyebabkan beban kognitif siswa berbeda dari yang selama ini difasilitasi guru. Menurut (Danilenko, 2010), beban kognitif adalah suatu konstruksi penyajian beban yang menunjukkan suatu tugas khusus yang membebani system kognitif siswa. Beban kognitif ini terdiri dari tiga komponen, yaitu intrinsic, extraneous, dan germane. Ketiga beban ini sifatnya sementara. Beban intrinsic berkaitan dengan kealamiahan dan hubungan dengan materi yang dipelajari. Beban kognitif extraneous dibutuhkan pada memory kerja karena cara materi itu difasilitasi ke siswa. Beban germane merupakan hasil dari upaya yang sengaja yang dihabiskan secara aktif atau mengotomatiskan scheme. Pembelajaran guru matematika memunculkan kegiatan 5M pada diri siswa tidaklah mudah. Kondisi ini memungkinkan terjadinya beban kognitif yang tinggi bagi siswa. Pemberian scaffolding untuk memunculkan 5M merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat mengurangi beban kognitif siswa dan membantu siswa mengkreasikan skema yang telah dimiliki guna mencapai hasil belajar yang lebih tinggi.
3.
Metode
Artikel ini merupakan deskripsi hasil observasi pembelajaran matematika yang dilakukan oleh dua guru, masing-masing bertempat di SD Islam Surya Buana dan di MTs Surya Buana pada tanggal 7 April 2014 dan 14 April 2014, keduanya di Malang. Observasi dilakukan 1 kali di masing-masing sekolah selama 90 menit. Pembelajaran juga menggunakan rekaman video dan selanjutnya hasil rekaman dianalisis guna mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru selama pembelajaran matematika berlangsung.
4.
Hasil dan Pembahasan
Berikut ini adalah deskripsi pembelajaran yang merupakan hasil pengamatan kelas terhadap dua guru matematika Ibu AN dan Bapak IR (bukan nama sebenarnya)
Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Ibu AN Ibu AN, seorang guru lulusan sarjana matematika, berpengalaman kurang dari lima tahun, sedang memfasilitasi pelajaran tematik integratif di kelas IV. Materi tematiknya antara lain tentang PKn (kerja sama), Matematika (sudut) dan IPS (berbagai profesi dan pekerjaan). Proses pembelajaran diberikan secara berurutan, diawali dengan masalah berbagai profesi (PKn), kemudian diikuiti oleh kerjasama (IPS) dan terakhir dengan masalah sudut (Matematika). Ibu AN membagikan LKS dan menjelaskan cara mengisi LKS dengan detail. Siswa dibagi dalam enam kelompok guna menerapkan pembelajaran kooperatif. Siswa diminta bekerja dalam kelompoknya dan pada umumnya para siswa aktif mengikuti instruksi guru dengan penuh antusias. Selama pembelajaran guru tidak pernah menulis di papan tulis, meskipun untuk menjelaskan matematika. Sebagaimana dituliskan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Ibu AN ingin menerapkan pembelajaran yang bernuansa pendekatan saintifik berdasarkan K-13, sebagai kurikulum terbaru di Indonesia. Ketika membahas matematika dengan materi memahami sudut, Ibu AN melakukan praktik yang meminta siswa menggunting kertas yang telah disiapkannya. Selama itu, Ibu AN banyak memberikan bantuan kepada kelompok siswa, baik dengan cara memberi penjelasan, atau ketika ada siswa yang tidak bisa melakukan sesuatu atau bertanya, pada umumnya Ibu AN langsung menjawabnya, baik dengan cara melanjutkan kerja siswa (menggunting) atau menunjukkannya. Dengan cara ini anakanak terlihat senang dengan Ibu AN. Namun, di akhir pembelajaran ternyata masih ada juga kelompok siswa yang tidak tuntas mengerjakan tugas dari Ibu AN. Ketika pelajaran usai, Ibu AN berusaha meminta siswa menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi karena pada umumnya siswa belum mampu menyimpulkan maka akhirnya Ibu AN sendirilah yang memberi simpulan.
42
Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Bapak IR Pak IR, seorang guru matematika berpendidikan magister dengan pengalaman mengajar kurang dari 5 tahun sedang memfasilitasi materi segitiga. Tujuan pebelajarannya adalah menentukan keliling segitiga dan menggambarkan segitiga yang sisi-sisinya diketahui. Pembelajaran berlangsung aktif dan bersemangat, baik guru maupun siswanya. Pembelajaran dimulai dengan memberikan apersepsi yang menggali pemahaman siswa tentang segitiga dengan menanyakan bentuk-bentuk segitiga yang ada di alam. Ada siswa yang menyebutkan contoh segitiga yang ada pada penggaris, segitiga Bermuda, dll. Selanjutnya guru menanyakan yang bukan segitiga, sebagai non contoh. Seorang siswa, namanya Dier, memberikan contoh benda yang bukan segitiga adalah roda mobil. Katanya roda mobil berbentuk lingkaran. Ada siswa lain, Ilman memberikan jawaban yang merupakan segitiga yaitu piramida (sisinya). Untuk menyakinkan apakah siswa mampu menggolongkan contoh dan non contoh segitiga, guru mengeluarkan beberapa bangun geometri yang ada dalam sakunya. Ketika itu, ada siswa yang mengatakan segitiga sama kaki, ada yang mengatakan bukan segitiga. Selanjutnya, guru memperlihatkan bangun persegipanjang. Semua siswa tahu jika bangun yang diperlihatkan itu adalah persegipanjang. Tetapi ketika ditanya mengapa namanya persegi panjang, alasan siswa karena bentuknya panjang. Anehnya lagi, ketika diambil bentuk lain dari saku guru berbentuk belah ketupat, siswa sukar menentukan apakah bangun itu segitiga atau bukan. Oleh karena itu, guru mencoba menggunting bangun tersebut menjadi dua bagian sehingga membentuk segitiga dan akhirnya siswa mampu mengatakan bahwa setengah potongan belah ketupat tadi sebagai contoh segitiga. Setelah siswa mampu membedakan segitiga dan bukan segitiga, barulah kegiatan pembelajaran dimulai. Guru membagi siswa menjadi enam kelompok. Setelah memberikan LKS kepada masing-masing kelompok, guru memberi penjelasan tentang cara mengerjakan lima masalah dari LKSnya dengan membacakannya. LKS terdiri dari tiga kegiatan siswa yaitu menentukan keliling segitiga dengan cara mengukur panjang sisi yang diberikan, menggambar bentuk segitiga dari panjang ruas garis yang diketahui, dan memberikan alasan kapan suatu segitiga dapat dibentuk dari tiga ruas garis yang diketahui. Melalui scaffolding yang diberikan selama pembelajaran dengan cara berkeliling ke setiap kelompok dengan penunjukan dan bekerja sama dengan siswa akhirnya semua kelompok dapat menyelesaikan dua tugas yang pertama. Tetapi, hanya satu kelompok saja yang dapat memberikan simpulan kapan tiga ruas garis dapat membentuk suatu segitiga.
Analisis Scaffolding yang Diberikan Kedua Guru Berdasarkan hasil observasi penulis terhadap dua guru, baik ibu AN dan pak IR, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika selalu ada scaffolding dan kedua guru tersebut memberikan scaffolding berbeda. Hal ini bergantung dari pengetahuan dan pengalaman mengajar guru. Sebagaimana dituliskan dalam deskripsi Ibu AN, sejak awal hingga akhir pembelajaran, Ibu AN banyak sekali memberikan scaffolding kepada siswanya. Scaffolding yang diberikan berupa pengarahan langsung, pujian, memberikan simpulan, dan gerakan (tindakan). Pada umumnya, scaffolding yang diberikan Ibu AN berupa kata-kata yang bersifat menjelaskan dan tindakan langsung oleh Ibu AN sendiri. Menurut penulis, Ibu AN sebagai fasilitator terlalu mendominasi pembelajaran. Ketika ada siswa yang meminta bantuan, misalnya ketika melekatkan potongan setiap sudut dari suatu persegi panjang hingga memperlihatkan jumlah besar sudut satu lingkaran, Ibu AN langsung memberikan contohnya dengan melakukannya sendiri. Seharusnya, Ibu AN cukup memfasilitasi siswa dengan memberi tahu mereka atau menunjukkan cara melekatnya (bukan Ibu AN yang melekatkannya). Dengan kata lain, pemberian scaffolding seperti itu perlu diminimalkan (Yuwono, 2014), karena kurang produktif. Akibat konstruksi siswa yang kurang terjadi, maka siswa tidak bergitu terdorong dalam mengkonstruk sendiri masalah yang dihadapinya. Hal ini terjadi hingga akhir pembelajaran. Sebagai akibatnya, masih ada kelompok siswa yang belum menyelesaikan tugasnya sampai akhir pembelajaran. Ibu AN lebih banyak diberikan secara oral (telling, lisan) dan gerakan menunjuk (showing). Secara telling, guru lebih banyak memberikan pertanyaan, arahan, penjelasan, dan instruksi. Secara gerakan, guru lebih mengunakan gerakan tangan (khususnya jari), menunjukkan kerja siswa, dan membantu langsung kegiatan siswa. Jarang sekali guru memberikan scaffolding yang berbentuk tulisan. Hal ini
43
mungkin karena pengamatan dilakukan pada kedua kelas tersebut menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai media belajar. Beberapa bantuan yang diberikan Ibu AN yaitu: (1) memberi tahu jawaban bahwa jumlah sudut dalam satu putaran adalah 360o dan sudut siku-siku adalah 90o, (2) mengerakkan tangan membentuk lingkaran untuk menunjukkan satu putaran besarnya 360o. (3) menunjukkan bagian yang akan dipotong, dan melekatkan sendiri potongan gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa. Menurut Anghileri (2006), bantuan guru seperti ini termasuk memenuhi kriteria scaffolding. Adapun menurut Yuwono (2014), penjelasan guru seperti ini harus diminimalkan.
Gambar 1. Jenis Scaffolding tindakan Ibu AN (gerakan menunjuk dan mela-kukan sendiri potongan gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa) Berbeda dengan Ibu AN, meskipun tidak mengatakan secara jelas model pembelajarannya, pak IR yang pendidikannya lebih tinggi dari Ibu AN telah melaksanakan pembelajaran dengan baik. Kekuatan belajar pak IR adalah pada pemberian apersepsi yang lama, yakni mengeksplorasi contoh dan noncontoh segitiga, dan penyiapan LKS, serta pemberian scaffolding yang lebih produktif selama pembelajaran. Hambatan kecil terjadi ketika Pak IR menuangkan teks dalam LKS-nya yang ternyata masih sukar dipahami siswa. Namun, dengan scaffolding (menurut Angileri (2006) scaffolding ini disebut scaffolding analogi) yang diberikan pengamat kepada pak IR, akhirnya siswa memahami maksud dari perintah yang diinginkan dalam LKS. Temuan analogi ini sesuai dengan temuan Hidayah (2011) bahwa dengan berpikir analogi siswa dapat menyelesaikan masalah baru. Beberapa bantuan yang diberikan pak IR adalah: (1) gerakan menunjuk, (2) gerakan peragaan mencontohkan sambil melibatkan siswa, (3) bantuan berupa analogi pengerjaan, yakni bantuan berupa benda manipilatif yang mirip ruas garis untuk membantu pemahaman siswa merangkai tiga ruas garis membentuk segitiga. Semua bantuan ini termasuk scaffolding menurut Anghileri (2006).
44
Gambar 3. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (berupa gerakan menunjuk, peragaan mencontohkan sambil melibatkan siswa, dan bekerja sama)
Gambar 4. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (membuat analogi pengerjaan ) Dalam kaitannya dengan K-13, ternyata scaffolding yang diberikan guru yang mengarah langsung kepada kegiatan 5M masih sulit terjadi. Hal ini terbukti dari dua observasi yang ditunjukkan di atas. Meskipun Ibu AN telah secara nyata menyatakan bahwa ia melaksanakan pembelajaran saintifik seperti yang dituliskan dalam RPPnya, tetapi kegiatan 5M masih sulit terjadi. Demikian pula pada pembelajaran yang dilakukan pak IR, mungkin karena pengetahuannya yang lebih tinggi dari Ibu AN telah membawa kesuksesan belajar siswa, tetapi juga belum sepenuhnya menerapkan 5M. Oleh karena itu, pelaksanaan K-13 perlu diberikan secara spesifik mengarah kepada selain mendorong guru memunculkan 5M, perlu diupayakan pula mendorong guru memiliki pengetahuan memunculkan scaffolding pada setiap kegiatan 5M.
5.
Simpulan
Pelaksanakan K-13 yang menerapkan kegiatan 5M memerlukan lebih banyak scaffolding dari guru. Merujuk kepada Angileri (2006), scaffolding guru masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit berada pada level 2 dan jarang sekali berada pada level 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan explaining dengan showing dan telling. Juga, masih ditemukan adanya pemberian scaffolding yang berlebihan sehingga kurang dapat mengembangkan konstruksi pemahaman siswa atau kurang produktif. Tantangan ke depan guru perlu memberikan scaffolding lebih banyak pada level 2 dan level 3. Guru diharapkan mampu mengembangkan scaffolding yang dapat memunculkan kegiatan 5M untuk setiap materi matematika yang difasilitasi kepada siswa. Adanya scaffolding akan bermanfaat bagi siswa dan guru dalam membangun interaksi di kelas sebagaimana harapan dari pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivis. Oleh karena itu, pemberian scaffolding sebagai suatu strategi guru dalam memfasilitasi belajar perlu selalu diberikan dalam pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka Akhtar, M. (2014). Patterns of Scaffolds in One-to-One Mathematics Teaching: An Analysis. Educational Research International. Vol (3)1 Februari 2014. ISSN: 2307-3721, e ISSN: 23073713.
45
Anghileri, J. (2006). Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education (2006) 9: 33–52. A’sari, Abdur Rahman. (2014). Mewujudkan Pendekatan Saintifik Dalam Kelas Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional dengan tema “Curriculum In Global Perspective” Pada Tanggal 8 Maret 2014 di Universitas Muhammadiyah Ponorogo.s Azevedo, R., & Hadwin, A. F. (2005). Scaffolding self-regulated learning and metacognitionImplications for the design of computer-based scaffolds. Instructional Science. 33:367-379. DOI 10.1007/s11251-005-1272-9. Danilenko, E.P. (2010). The Relationship of Scaffolding on Cognitive Load in an Online Self-Regulated Learning Environment. A Dissertation Submitted to the Faculty of the Graduate school of the University of Minnesota. Franke, M.L. et al. (2007). Mathematics Teaching and Classroom Practice. In Lester Jr, F. (Ed). Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp. 225-256). America: Information Age Publishing Inc. Hidayah, I. N. (2011). Analogi Dalam Struktur Aljabar 1. Jurnal Pembelajaran Matematika. Tahun I, Nomor 1, Januari 2011. ISSN: 2078-913X Hiebert J. & Grouws, D. A. (2007). The Effect of Classroom Mathematics Teaching on Students’ Learning. In Lester Jr, F. (Ed). Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp. 371-404). America: Information Age Publishing Inc. Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 65, tahun 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 81a, tahun 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Rice, J.K., (2010). The Impact of Teacher Experience Examining the Evidence and Policy Implications. National Center for Analysis of Longitudinal Data in Educational Research (CALDER). Grant R305A060018. Urban Institute, Washington DC. Sowder, J.T. (2007). The Mathematics Education and Development of Teachers. Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp. 157-223). America: Information Age Publishing Inc. Ünal, Zafer & Ünal Aslihan (2012). The impact of Years of Teaching Experience on the Classroom Management Approaches of Elementary School Teachers. International Journal of Instruction, July 2012 vol.5, no.2, e-ISSN: 1308-1470. www.e-iji.net p-issn: 1694-609x. Yamin, M. (2013). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Anggota IKAPI. Yuwono, I. (2013). Pendidikan Matematika dan Pendidikan Karakter Dalam Implementasi Kurikulum 2013. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung. Volume 1, Tahun 2014. ISSN 2355-0473.
46