HUBUNGAN ANTARA PAPARAN TERHADAP KEKERASAN DAN SIKAP TERHADAP KEKERASAN PADA REMAJA LAKI-LAKI (The Relationship between Exposure to Violence and Attitude toward Violence among Adolescent Boys) Nova Ananda Pembimbing : Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki. Partisipan penelitian ini berjumlah 301 orang yang terdiri dari remaja laki-laki di komunitas umum dan remaja laki-laki di lembaga pemasyarakatan. Pengukuran paparan terhadap kekerasan menggunakan alat ukur KIDScreen for Adolescent Violence Exposure (KID-SAVE) dan pengukuran sikap terhadap kekerasan menggunakan alat ukur Attitudes Towards Violence Scale (ATVS). Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki (r = 0.442; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya, semakin tinggi paparan terhadap kekerasan yang dialami seseorang, maka semakin positif sikapnya terhadap kekerasan. Analisis tambahan menemukan perbedaan paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan yang siginifikan antara partisipan yang berada di komunitas umum dan di lembaga pemasyarakatan. Kata Kunci: Paparan terhadap kekerasan; sikap terhadap kekerasan; remaja laki-laki
ABSTRACT This research was conducted to find the correlation between exposure to violence and attitude toward violence among adolescent boys. The participants of this research are 301 adolescent boys who lived in general community and correctional institution. Exposure to violence was measured using an adaptation of KID-Screen for Adolescent Violence Exposure (KID-SAVE) scale and attitudes toward violence was measured using an adaptation of Attitudes Towards Violence Scale (ATVS). The results showed that there is a significant correlation between exposure to violence and attitude toward violence (r = 0.448; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). That is, the higher the exposure to violence experienced, the more positive one’s attitude toward violence. Additional analysis also find significant differences in exposure to violence and attitude toward violence between participants who lived in general community and correctional institution. Keyword: Exposure to violence; attitude toward violence; adolescent boys
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
PENDAHULUAN Sejak tahun 1966, World Health Organization (WHO) mendeklarasikan bahwa kekerasan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia yang dampaknya dirasakan di berbagai level mulai dari individu, keluarga, masyarakat, dan negara (Krug, Mercy, Dahlberg, & Zwi, 2012). Dalam hal ini, remaja menjadi populasi yang paling rentan dalam meningkatnya resiko paparan terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat luas. Masa remaja yang menjadi masa perubahan besar-besaran di area fisik, kognitif, dan psikososial diiringi juga dengan munculnya berbagai resiko bagi perkembangan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Penelitian menunjukkan persentase remaja yang terpapar dengan kekerasan cukup tinggi angkanya. Pada sebuah studi di Amerika, lebih dari 80% remaja yang tinggal di lingkungan perkotaan pernah menyaksikan kekerasan dan lebih dari 70% diantaranya telah menjadi korban kekerasan (Cooley-Strickland et al., 2009). Paparan terhadap kekerasan di Indonesia juga kian terjadi pada remaja dari tahun ke tahun. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (2011), pada tahun 2009 terjadi 1998 kasus kekerasan dengan rincian kekerasan fisik sebanyak 605 kasus, kekerasan seksual sebanyak 705 kasus, dan kekerasan psikis/psikologis sebanyak 688 kasus. Data kekerasan remaja yang terpisah dengan anak sulit untuk didapatkan karena di Indonesia belum ada Undang-Undang yang menetapkan definisi remaja. Remaja dimasukkan kedalam definisi anak dimana hal ini seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menjelaskan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Sementara itu, dalam perspektif perkembangan, batasan usia remaja adalah 11 sampai dengan 19 tahun (Papalia et al., 2009). Tingginya persentase remaja yang terpapar kekerasan membuat sejumlah ahli meneliti tentang dampak yang dapat ditimbulkan oleh paparan terhadap kekerasan terhadap perkembangan remaja. Dalam hal ini, paparan kekerasan yang dimaksud dapat terjadi bukan hanya ketika seseorang menjadi korban kekerasan namun juga ketika seseorang menyaksikan peristiwa kekerasan (Singer et al.; Singer et al., dalam Flannery, Singer, Van Dulmen, Kretschmar, & Belliston, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap kekerasan tidak hanya berdampak pada konsekuensi fisik langsung namun juga dampak negatif pada perkembangan, kesehatan mental, dan kesejahteraan remaja (Butters, Harrison, Korf, Brochu, & Erickson, 2011).
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Secara khusus, Farrel dan Bruce (1997) mengungkapkan bahwa paparan terhadap kekerasan yang terus-menerus dapat memacu terjadinya desensitisasi. Teori desensitisasi ini mengajukan bahwa remaja akan mulai beradaptasi terhadap kekerasan melalui penyesuaian akan rasa sakit dan kehilangan, serta memandang kekerasan sebagai hal yang normal (CooleyQuille & Lorion; Fitzpatrick & Boldizar dalam Gaylord-Harden, Cunningham, & Zelencik, 2011). Remaja yang terpapar kekerasan juga akan cenderung lebih sedikit menunjukkan distress sejalan dengan meningkatnya kekerasan (Gaylord-Harden et al.). Berbagai perubahan dalam reaksi kognitif dan emosi yang terjadi menjadikan remaja yang mengalami desensitisasi terhadap kekerasan, berpotensi untuk mengembangkan sikap yang positif terhadap kekerasan. Carnagey et al. (2007) mengungkapkan desensitisasi terhadap kekerasan akan meningkatkan kepercayaan seseorang akan kekerasan yang dianggap sebagai hal yang normatif dan sebaliknya menurunkan sikap yang negatif terhadap kekerasan. Dalam hal ini, terlihat bahwa desensitisasi berperan sebagai faktor yang memediasi adanya keterkaitan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap yang mendukung kekerasan. Lebih lanjut, sejumlah penelitian telah menemukan adanya keterkaitan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap yang mendukung kekerasan. Ramirez (2012) menemukan bahwa paparan terhadap kekerasan dalam komunitas menjadi prediktor yang kuat bagi sikap yang mendukung kekerasan. Penelitian lain juga menemukan hal serupa dimana menjadi korban kekerasan maupun menyaksikan kekerasan dapat berpengaruh pada perkembangan sikap yang mendukung kekerasan (Slovak et al., 2007; Davidson & Canivez, 2012). Adanya sikap yang mendukung kekerasan dapat meningkatkan resiko perilaku kekerasan. Fishbein dan Ajzen (1975) dalam teorinya mengenai sikap menjelaskan bahwa perilaku seseorang terhadap objek ditentukan oleh sikapnya terhadap objek tersebut. Konsisten dengan teori tersebut, penelitian menunjukkan bahwa sikap terhadap kekerasan dapat menjadi prediktor yang baik dalam melakukan kekerasan (Gellman & Delucia-Waack, 2006). Penelitian juga menemukan bahwa sikap yang mendukung kekerasan dalam peer berhubungan secara signifikan dengan keterlibatan perilaku kekerasan dan viktimisasi (menjadi korban kekerasan) dalam peer pada remaja (Ali, Swahn, & Sterling, 2011). Meskipun sejumlah penelitian telah menemukan bahwa paparan terhadap kekerasan dapat memacu terbentuknya sikap yang positif terhadap kekerasan namun terdapat kemungkinan bahwa paparan terhadap kekerasan juga dapat memicu terbentuknya sikap yang negatif terhadap kekerasan. Oskamp dan Schultz (2005) mengungkapkan bahwa reward dan punishment yang dihubungkan dengan paparan terhadap stimulus menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Jika stimulus yang diasosiasikan dengan reward
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
dapat mempengaruhi terbentuknya sikap yang positif terhadap stimulus terkait, maka punishment juga dapat berperan dalam terbentuknya sikap yang negatif terhadap stimulus tersebut. Sama halnya dengan perilaku kekerasan yang diasosiasikan dengan punishment, juga dapat berpotensi untuk memunculkan sikap yang negatif terhadap kekerasan. Luasnya dampak yang dapat ditimbulkan dari paparan terhadap kekerasan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya hubungan yang terjadi antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan. Hubungan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan menjadi semakin penting untuk diteliti dimana keduanya turut berperan penting sebagai faktor resiko bagi remaja untuk melakukan kekerasan (Hawkins et al., 2000; U.S. Department of Health and Human Services, 2001). Krug et al. (2002) mengungkapkan bahwa memahami faktorfaktor yang meningkatkan resiko remaja untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan penting dalam mengembangkan kebijakan dan program yang efektif dalam upaya mencegah kekerasan. Lebih lanjut, meskipun telah ada sejumlah penelitian yang mengungkapkan terdapat keterkaitan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan namun penelitian serupa masih jarang dilakukan di Indonesia. Hal ini penting karena terdapat kemungkinan adanya perbedaan budaya yang dapat mempengaruhi paparan terhadap kekerasan yang terjadi di budaya yang berbeda, dalam hal ini di Negara Barat dan di Indonesia. Penelitian di Indonesia mengenai paparan terhadap kekerasan juga lebih banyak yang meneliti efek paparan dari tayangan di media namun masih sedikit yang meneliti paparan secara langsung di kehidupan masyarakat. Padahal seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa di Indonesia kasus kekerasan kian terjadi dari tahun ke tahun. Selain itu, paparan terhadap kekerasan ini juga penting diteliti karena paparan terhadap kekerasan terjadi dalam lingkup masyarakat yang lebih besar sehingga dibutuhkan perhatian dari berbagai pihak untuk mengatasinya. Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian yang melihat hubungan antara paparan kekerasan dan sikap terhadap kekerasan. Untuk mengukur variabel paparan terhadap kekerasan, peneliti menggunakan alat ukur Screen for Adolescent Violence Exposure (SAVE) (Flowers, Hastings, & Kelley, 2000). Selanjutnya, untuk mengukur variabel sikap, peneliti menggunakan alat ukur Attitude Towards Violences Scales (Funk, Elliot, Urman, & Flores, 1999). Partisipan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki yang berada di komunitas dan di lapas. Pemilihan remaja laki-laki didasarkan oleh pemikiran bahwa dibandingkan perempuan, lakilaki cenderung lebih memiliki sikap yang positif terhadap kekerasan (Mervin & Ellis; Smith,
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Ellis & Benson; Funk et al; Slovak et al., dalam Sahin, Baloglu, Unalmis, 2010). Selain itu, sejumlah penelitian juga melaporkan bahwa remaja laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terpapar dengan kekerasan dalam masyarakat dibandingkan dengan remaja perempuan (Fitzpatrick & Boldizar; Jaycox et al.; Schwab-Stone et al.; Singer et al.; Weist et al., dalam Stein, Jaycox, Kataoka, Rhodes, & Vestal, 2003). PERMASALAHAN Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang diatas, maka penelitian ini memiliki satu pertanyaan utama, yaitu : “Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja lakilaki?” TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah mengetahui apakah terdapat hubungan antara paparan kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki. TINJAUAN PUSTAKA Kekerasan WHO (dalam Krug et al., 2002, p.5) mendefinisikan kekerasan sebagai: “The intentional use of physical force or power, threatened or actual, against oneself, another person, or against a group or community, which either results in or has a high likelihood of resulting in injury, death, psychological harm, maldevelopment or deprivation.” Dari definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai kekerasan. Pertama, kekerasan dilakukan dengan tujuan tertentu dan bukan merupakan perilaku yang tidak disengaja. Kedua, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk fisik ataupun power, yang dimaksud dengan power adalah kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan seperti kekerasan psikologis dalam bentuk ancaman dan intimidasi. Istilah power didalamnya termasuk juga kekerasan dalam bentuk pengabaian dan kekerasan seksual. Ketiga, kekerasan dapat terjadi terhadap diri sendiri, orang lain, kelompok, atau masyarakat. Terakhir, kekerasan memiliki dampak yang sangat luas termasuk kerugian fisik (seperti luka fisik dan kematian), psikologis, dan gangguan perkembangan atapun deprivasi.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Paparan terhadap Kekerasan Menurut Singer et al. (dalam Flannery et al., 2006), paparan terhadap kekerasan termasuk didalamnya yaitu menjadi korban kekerasan dan juga menjadi saksi dari peristiwa kekerasan. Dalam penelitian ini, paparan terhadap kekerasan didefinisikan sebagai peristiwa kekerasan yang dialami, disaksikan, ataupun didengar oleh seseorang. Dalam hal ini, paparan terhadap kekerasan yang dimaksud adalah yang terjadi di kehidupan nyata dan bukan berasal dari media seperti: televisi, radio, koran, majalah, internet dan lain sebagainya. Flowers et al. (2000) menggolongkan paparan terhadap kekerasan berdasarkan tingkat keparahannya kedalam 3 jenis. 1. Traumatic Violence Merupakan paparan terhadap kekerasan yang terjadi secara langsung dan tidak langsung. Individu menjadi korban peristiwa kekerasan yang menyebabkan luka serius atau menyaksikan peristiwa kekerasan yang menyebabkan luka serius dan kematian (contoh: seseorang diancam orang lain dengan pisau, seseorang melihat seseorang dibunuh). 2. Indirect Violence Merupakan paparan terhadap kekerasan yang terjadi secara tidak langsung. Individu menyaksikan kekerasan interpersonal yang tidak menyebabkan kematian ataupun mendengar tentang peristiwa kekerasan (contoh: seseorang melihat orang dewasa memukuli anak kecil, seseorang mendengar orang lain dilukai dengan pisau atau benda tajam lainnya). 3. Physical/Verbal Abuse Merupakan paparan terhadap kekerasan yang terjadi secara langsung dan tidak langsung. Individu menjadi korban kekerasan verbal dan fisik yang tidak menyebabkan kematian ataupun menyaksikan kekerasan fisik yang tidak menyebabkan kematian dan dampaknya tidak separah kekerasan traumatik (contoh: seseorang diteriaki oleh orang dewasa, seseorang melihat orang lain dilukai hingga parah). Sikap terhadap Kekerasan Fishbein dan Ajzen (1975, p.6) mendefinisikan sikap sebagai: “A learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorable manner with respect to a given object.” Dari definisi tersebut, terdapat 3 sifat utama dari sikap yaitu sikap dapat dipelajari, merupakan kecenderungan dalam berperilaku, dan perilakunya secara konsisten favorable
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
atau unfavorable terhadap objek yang terkait. Jika dikaitkan dengan kekerasan, maka perilaku kekerasan dalam hal ini menjadi objek sikap yang akan diberikan respon tertentu yaitu dengan cara yang positif atau negatif. Oleh karena itu, sikap terhadap kekerasan dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk merespon perilaku kekerasan dengan cara yang positif atau negatif. Funk et al. (1999) mengidentifikasi adanya dua faktor dalam sikap terhadap kekerasan yaitu culture of violence dan reactive violence. 1. Culture of violence Merupakan sikap yang telah menetap dan tertanam dalam identitas diri seseorang dimana seseorang memandang bahwa kekerasan merupakan aktivitas yang dapat diterima dan bernilai. Individu yang mendukung faktor ini memandang diri mereka sebagai bagian dari budaya kekerasan setempat. 2. Reactive violence Merupakan sikap yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam merespon ancaman baik yang nyata dan yang dipersepsi. Individu yang tergolong kedalam reactive violence mungkin tidak mengintegrasikan kekerasan kedalam identitas dirinya namun percaya bahwa menggunakan kekerasan dapat diterima dalam situasi hostile. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain peneletian ini merupakan non-experimental dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini juga termasuk ke dalam cross-sectional study karena peneliti hanya ingin memperoleh gambaran keseluruhan fenomena yang diteliti dalam satu waktu dan hanya sekali melakukan kontak dengan responden. Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Remaja laki-laki Berdasarkan perspektif perkembangan manusia, batasan usia remaja adalah antara 11 hingga 19 tahun (Papalia et al., 2009). 2. Kelompok beresiko yaitu: • Remaja laki-laki yang duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang terakreditasi B.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
• Remaja laki-laki di lapas yang dipenjarakan karena kasus yang melibatkan tindak kekerasan. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling karena peneliti tidak dapat mengetahui besar populasi yang sebenarnya, probabilitas individu untuk dipilih tidak dapat diketahui, dan metode pengambilan sampelnya didasarkan pada kemudahan (Gravetter & Forzano, 2009). Pengambilan sampelnya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan (institutional based) yaitu mengambil sampel pada lapas anak dan pada sekolah yang terakreditasi B. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Terdapat dua kuesioner yang digunakan yaitu adaptasi dari KID-Screen for Adolescent Violence Exposure (KID-SAVE) (Flowers et al., 2000) dan Attitudes Towards Violence Scale (ATVS) (Funk et al., 1999). Peneliti mengadaptasi KID-SAVE untuk mengukur paparan terhadap kekerasan yang dialami di kehidupan nyata yang setelah diadaptasi berjumlah 20 item. Terdapat 3 dimensi yaitu Traumatic Violence, Indirect Violence, dan Physical/Verbal Abuse. Setiap item diskor dengan skala 0= Tidak pernah, 1= Kadang-kadang, dan 2= Sering. Semakin tinggi skor yang anak peroleh menunjukkan semakin tinggi frekuensi paparan terhadap kekerasan yang dialami. Kemudian ATVS untuk mengukur sikap individu terhadap perilaku kekerasan yaitu kecenderungan individu untuk memiliki sikap yang mendukung kekerasan yang setelah diadaptasi berjumlah 13 item. Terdapat 2 dimensi yaitu culture of violence dan reactive violence. Setiap item dinilai dengan skala Likert 4 poin (1= Sangat tidak setuju, 4= Sangat setuju) terkecuali untuk item-item yang unfavorable (item no.4 dan 13) dinilai dengan membalikkan skor (1=Sangat setuju, 4=Sangat tidak setuju). Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin positif sikap terhadap kekerasan. Teknik Pengolahan Data Untuk mengolah data yang diperoleh, peneliti menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) for Windows dengan teknik statistika yang digunakan yaitu: Statistika Deskriptif, Pearson Correlation, dan Independent sample t-test.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Partisipan Karakteristik partisipan penelitian ini adalah remaja laki-laki yang berdomisili di Jabodetabek. Adapun jumlah kuesioner yang dapat terpakai dalam penelitian ini adalah 301 kuesioner dengan rincian 120 kuesioner dari remaja laki-laki di lapas dan 181 kuesioner dari remaja di komunitas (SMP dan SMA). Dari gambaran umum partisipan, diperoleh usia termuda partisipan 12 tahun dan usia tertua 19 tahun. Secara keseluruhan, kelompok usia terbanyak partisipan berada pada tahap remaja madya yaitu 15-17 tahun (54,8 %). Secara khusus, kelompok usia terbanyak dari partisipan di komunitas berada pada tahap remaja awal yaitu 12-14 tahun (50,8 %) dan di lapas berada pada tahap remaja madya yaitu 15-17 tahun (68,3 %). Lebih lanjut, partisipan yang mengikuti penelitian ini tingkat pendidikannya bervariasi dari SD, SMP, SMA, dan tidak sekolah dengan mayoritas partisipan berada dalam tingkat pendidikan SMP (48,2 %) dan SMA sederajat (45,5 %). Untuk partisipan di komunitas, tingkat pendidikan terbanyak adalah SMP (55,8 %) dan di lapas adalah SMA sederajat (47,5 %). Terkait data demografi orang tua partisipan, secara keseluruhan, partisipan dalam penelitian ini sebagian besar ayah dan ibunya masih hidup (86,4 %). Begitu juga jika dilihat secara khusus, sebagian besar partisipan di komunitas (90,6 %) dan lapas (80,0 %) kedua orang tuanya masih hidup. Kemudian, secara keseluruhan, mayoritas ayah partisipan tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA sederajat (43,2 %). Begitu juga jika dilihat secara khusus, ayah partisipan di komunitas (42,6 %) dan di lapas (44,2 %) tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA sederajat. Sama dengan tingkat pendidikan ayah partisipan, ibu partisipan sebagian besar tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA sederajat (44,2 %). Secara khusus, tingkat pendidikan terakhir ibu partisipan di komunitas (45,3 %) dan lapas (42,5 %) juga adalah SMA sederajat. Gambaran Bentuk Paparan terhadap Kekerasan Yang Terbanyak Dialami Partisipan Tabel 4.1 Gambaran Bentuk Paparan terhadap Kekerasan Yang Terbanyak Dialami Partisipan Dimensi
Komunitas
Traumatic Saya melihat seseorang violence mengancam orang lain dengan pisau atau benda tajam lainnya (no.3)
Persentase (%) 44,2
Lapas Saya melihat seseorang mengancam orang lain dengan pisau atau benda tajam lainnya (no.3)
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Persentase (%) 69,2
Indirect violence
Physical/ verbal abuse
Saya melihat seseorang diserang dengan pisau atau benda tajam lainnya (no.20) Seseorang mengancam saya dengan pisau atau benda tajam lainnya (no.5) Saya mendengar ada orang dipukuli hingga babak belur (no.17) Saya melihat polisi atau petugas keamanan menangkap seseorang (no.2) Saya melihat orangorang yang saling berteriak satu sama lain (no.10) Saya melihat ada orang yang dilukai orang lain hingga parah (no.4)
32,6
Orang dewasa di rumah (atau di lingkungan) meneriaki saya (no.7) Seseorang mengancam akan memukuli saya (no.9)
Saya melihat seseorang diserang dengan pisau atau benda tajam lainnya (no.20) Saya diserang dengan pisau atau benda tajam lainnya (no.15)
15,5
82,9
60
42,5
Saya mendengar ada orang dipukuli hingga babak belur (no.17) Saya melihat polisi atau petugas keamanan menangkap seseorang (no.2) Saya melihat seseorang dipukuli hingga babak belur (no.18)
97,5
57,5
Saya melihat ada orang yang dilukai orang lain hingga parah (no.4)
84,1
48,6
Seseorang mengancam akan memukuli saya (no.9) Saya dipukul oleh anak seumur saya (no.19)
81,3
80,1
44,2
91,6
89,2
70 58,3
Dari persentasenya terlihat bahwa diantara ketiga dimensi paparan terhadap kekerasan, paparan indirect-violence menjadi bentuk paparan terhadap kekerasan yang paling banyak dialami diikuti dengan paparan physical/verbal abuse, dan paparan traumatic violence. Dapat dikatakan, partisipan dalam penelitian ini paling banyak mengalami bentuk paparan terhadap kekerasan secara tidak langsung yaitu menyaksikan kekerasan interpersonal yang tidak menyebabkan kematian ataupun mendengar tentang peristiwa kekerasan. Hasil Utama Penelitian Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Korelasi antara Paparan terhadap Kekerasan dan Sikap terhadap Kekerasan Variabel Paparan terhadap Kekerasan dan Sikap terhadap Kekerasan **Signifikan pada L.o.S 0,01 (2-tailed)
R
Sig (p)
0,442(**)
0,000
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Berdasarkan tabel 4.1, diperoleh koefisien korelasi (R) sebesar 0,442 dengan p= 0,000 signifikan pada L.o.S 0,01 (two-tailed). Dengan demikian, hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima sehingga dapat dinterpretasikan terdapat hubungan yang signifikan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan. Koefisien korelasi yang bernilai positif menunjukkan semakin tinggi frekuensi paparan terhadap kekerasan yang dialami partisipan, semakin positif sikapnya terhadap kekerasan, begitu pula sebaliknya. Hasil Tambahan Penelitian Peneliti juga melakukan analisis tambahan dengan membandingkan paparan terhadap kekerasan berdasarkan karakteristik partisipan yaitu pada kelompok partisipan di lapas dan di komunitas. Hasil penelitian tambahan ini diperoleh dari perbandingan dua kelompok dengan menggunakan perhitungan independent sample t-test. Tabel 4.3 Perbandingan Paparan terhadap Kekerasan di Lapas dan di Komunitas Paparan Terhadap Kekerasan Total Traumatic violence Indirect violence Physical/verbal violence
Kelompok
N
Mean
lapas komunitas Lapas komunitas Lapas komunitas lapas komunitas
120 181 120 181 120 181 120 181
17,96 10,97 3,33 1,31 10,13 7,28 4,51 2,38
Signifikansi Keterangan p=0,000 t=9,592 p=0,000 t=7,676 p=0,000 t=7,978 p=0,000 t=8,432
Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
Tabel diatas menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata skor total paparan terhadap kekerasan yang signifikan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas (t=9,592 , p< 0.05). Begitu juga jika ditinjau berdasarkan dimensinya (traumatic violence, indirect violence, dan physical/verbal abuse), terdapat perbedaan rata-rata skor masing-masing dimensi paparan terhadap kekerasan yang signifikan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas. Partisipan yang berada di lapas memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi dari partisipan di komunitas. Dapat dikatakan, partisipan yang berada di lapas mengalami frekuensi paparan terhadap kekerasan yang lebih tinggi dibandingan partisipan yang berada di komunitas. Selain itu, peneliti juga membandingkan sikap terhadap kekerasan berdasarkan karakteristik partisipan yaitu pada kelompok partisipan di lapas dan di komunitas.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Tabel 4.4 Perbandingan Sikap terhadap Kekerasan di Lapas dan di Komunitas Sikap Terhadap Kekerasan Total Culture of violence Reactive violence
Kelompok
N
Mean
lapas komunitas lapas komunitas lapas komunitas
120 181 120 181 120 181
29,15 26,34 11,30 10,22 17,85 16,13
Signifikansi Keterangan p=0,042 t=5,425 p=0,048 t=4,092 p=0,157 t=4,708
Signifikan Signifikan Signifikan
Tabel diatas menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata skor total sikap terhadap kekerasan yang signifikan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas (t=5,425 , p< 0.05). Begitu juga jika ditinjau berdasarkan dimensinya (culture of violence dan reactive violence), terdapat perbedaan rata-rata skor masing-masing dimensi sikap terhadap kekerasan yang signifikan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas. Partisipan yang berada di lapas memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi dari partisipan di komunitas. Dapat dikatakan, partisipan yang berada di lapas memiliki sikap yang lebih positif terhadap kekerasan dibandingkan partisipan yang berada di komunitas. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan utama penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki. Dengan kata lain, semakin tinggi paparan terhadap kekerasan yang dialami maka semakin positif sikap seseorang terhadap kekerasan. Selain itu, dari hasil tambahan penelitian peneliti memeroleh beberapa temuan yaitu: 1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada paparan terhadap kekerasan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas. Partisipan yang berada di lapas mengalami frekuensi paparan terhadap kekerasan yang lebih tinggi dibandingan partisipan yang berada di komunitas. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap terhadap kekerasan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas. Partisipan yang berada di lapas memiliki sikap yang lebih positif terhadap kekerasan dibandingkan partisipan yang berada di komunitas.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Diskusi Remaja menjadi masa dimana resiko paparan terhadap kekerasan semakin meningkat (Loeber & Farrington, dalam Bradshaw et al., 2009). Penelitian telah membuktikan sejumlah dampak negatif dari paparan terhadap kekerasan yang dapat ditimbulkan bagi perkembangan remaja. Dalam penelitian ini, paparan terhadap kekerasan dihubungkan dengan munculnya sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki. Dari perhitungan yang dilakukan, diperoleh hubungan yang signifikan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan pada remaja laki-laki. Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan antara paparan terhadap kekerasan dalam masyarakat dan sikap terhadap kekerasan baik yang cultural dan reactive (Ramirez, 2012). Hubungan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan ini juga didukung dengan teori dari Oskamp & Schultz (2005) yang mengungkapkan bahwa paparan yang berulang merupakan salah satu hal yang memengaruhi pembentukan sikap, dalam hal ini yaitu sikap terhadap kekerasan. Hasil penelitan juga menunjukkan semakin tinggi frekuensi paparan terhadap kekerasan yang dialami seseorang semakin positif sikapnya terhadap kekerasan. Owens dan Straus (dalam Ramirez, 2012) mengungkapkan bahwa semakin seseorang terpapar dengan kekerasan, semakin tinggi kecenderungannya untuk menerima kekerasan sebagai perilaku yang normal. Adanya hubungan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap yang mendukung kekerasan ini dapat dijelaskan melalui proses desensitisasi yang terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan kekerasan secara terus-menerus (Farrel & Bruce, 1997). Carnagey et al. (2007) menjelaskan bahwa individu yang mengalami desensitisasi terhadap kekerasan akan mengalami penurunan persepsi terhadap keparahan dari luka, penurunan atensi terhadap peristiwa kekerasan, dan penurunan simpati terhadap korban kekerasan. Individu juga akan mengalami peningkatan kepercayaan bahwa kekerasan merupakan hal yang normatif dan mengalami penurunan sikap yang negatif terhadap kekerasan. Lebih lanjut, Ng-Mak, Salzinger, Feldman dan Stueve (2004) mengajukan adanya model adaptasi patologis yang menyatakan bahwa remaja yang terpapar kekerasan akan mulai merespon kekerasan dengan emotional numbing yang dapat dibuktikan dari adanya tingkat internalizing symptom yang lebih rendah dari yang diharapkan. Kekerasan yang seharusnya dapat menimbulkan dampak negatif seperti stres, kecemasan, dan depresi (Flowers et al., 2000) justru tidak memiliki atau hanya sedikit memiliki efek pada kesejahteraan mental seseorang. Pada akhirnya, hal-hal tersebut yang kemudian meningkatkan kecenderungan bagi remaja untuk mengembangkan sikap yang positif terhadap kekerasan.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Lebih lanjut, hubungan antara paparan dan sikap terhadap kekerasan ini dapat dijelaskan melalui teori belajar sosial dari Bandura. Menurut Bandura (1977), pikiran, perilaku, dan respon emosi seseorang dapat dipelajari melalui pengalaman langsung maupun observasi. Sama halnya dengan sikap juga dapat dibentuk melalui pengalaman langsung dan observasi dengan objek, ide, ataupun peristiwa terkait. Sebagai contoh, Bradshaw et al. (2009) menemukan bahwa menyaksikan kekerasan dalam lingkungan masyarakat dapat menjadikan seseorang memvalidasi perilaku kekerasan. Individu belajar bahwa kekerasan diasosiasikan dengan atribut yang positif (misalnya, status, uang) sehingga menjadikan kekerasan dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Hal ini mencerminkan adanya sikap yang positif terhadap culture of violence dimana individu memasukan kekerasan kedalam bagian dari identitas dirinya dan menjadikan kekerasan sebagai hal yang dapat diterima dan bernilai (Funk et al., 1999). Dengan kata lain, kekerasan pada akhirnya menjadi kebiasaan atau membudaya dalam lingkungan dimana seseorang hidup. Selain dari hasil analisis utama, analisis tambahan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada paparan terhadap kekerasan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas. Partisipan di lapas mengalami frekuensi paparan terhadap kekerasan yang lebih tinggi dibanding partisipan di komunitas. Penelitian lain juga menemukan hasil serupa yaitu terdapat perbedaan paparan terhadap kekerasan antara kelompok remaja yang memiliki riwayat melakukan kekerasan dan yang tidak pernah melakukan kekerasan (Gellman & Delucia-Waack, 2006). Lebih tingginya tingkat paparan terhadap kekerasan pada partisipan yang berada di lapas dibandingkan partisipan yang berada di komunitas menunjukkan bahwa remaja di lapas memiliki lebih banyak faktor resiko untuk terlibat kekerasan dibandingkan dengan remaja di komunitas umum. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tahanan remaja beresiko lebih besar untuk menjadi pelaku kekerasan dan menjadi korban kekerasan oleh teman sebaya dibandingkan dengan remaja dalam populasi umum (Apel & Burrow; Chang, Chen, & Brownson; Chen; Jennings, Higgins, Tewksbury, Gover, & Piquero; Lauritsen & Quinet; Maldonado-Molina, Jennings, Tobler, Piquero, & Canino; Schreck, Stewart, & Osgood, dalam Day et al., 2013). Dalam hal ini, faktor lingkungan juga berperan besar bagi resiko remaja di lapas untuk terpapar dengan kekerasan. Hawkins et al. (2000) mengungkapkan bahwa lingkungan masyarakat yang tidak terkelola dengan baik yang menghadirkan tindak kejahatan, penjualan obat-obatan terlarang, geng, dan keadaan rumah yang buruk meningkatkan resiko seseorang untuk terlibat tindak kekerasan. Keadaan ini juga ditemukan
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
pada partisipan yang berada di lapas seperti yang terungkap dari hasil wawancara, mereka umumnya memiliki lingkungan pergaulan yang negatif dimana penggunaan alkohol, obatobatan terlarang, dan tawuran menjadi hal yang wajar ditemui. Resiko ini semakin diperparah karena remaja yang berada di lapas tidak mendapatkan atau hanya sedikit pengawasan dari orang tua. Rendahnya pengawasan orang tua ini menyebabkan remaja mudah untuk terlibat dalam keanggotaan dengan peer yang menyimpang, dimana hal ini juga dapat meningkatkan kecenderungan remaja untuk menyaksikan kekerasan di masyarakat (Halliday-Boykins & Graham, dalam Lambert et al., 2005). Lebih tingginya resiko remaja di lapas untuk terpapar kekerasan ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini karena penelitian ini tidak membedakan paparan terhadap kekerasan yang dialami saat di lapas dan paparan yang dialami di lingkungan tempat tinggal mereka sebelum di lapas. Sejalan dengan tingginya paparan terhadap kekerasan pada partisipan di lapas, penelitian ini juga menemukan terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap terhadap kekerasan antara partisipan yang berada di lapas dan di komunitas. Partisipan yang berada di lapas memiliki sikap yang lebih positif terhadap kekerasan dibandingkan dengan partisipan yang berada di komunitas. Gelman dan Delucia-waack (2006) menjelaskan individu yang hidup di lingkungan yang penuh kekerasan cenderung menjadikan kekerasan sebagai respon pertama yang dipilih dalam situasi yang mengancam. Sama halnya dengan partisipan yang berada di lapas dimana mereka memiliki resiko lebih tinggi untuk terpapar dengan kekerasan dan sekaligus memang terbukti mengalami paparan terhadap kekerasan yang tinggi. Mereka belajar bahwa kekerasan menjadi hal yang wajar dilakukan sehingga kekerasan telah menjadi bagian dari identitas dirinya. Dengan kata lain, sikapnya terhadap kekerasan pun juga semakin positif. Meskipun demikian, perlu diteliti lebih lanjut apakah sikap yang mendukung kekerasan ini memang sudah dimiliki oleh partisipan sebelum mereka masuk lapas atau justru terjadi perubahan sikap saat partisipan ini tinggal di lapas. Misalnya, para remaja ini sebelumnya sikapnya negatif atau tidak memiliki sikap tertentu terhadap kekerasan namun sejak berada di lapas, terbentuk budaya kekerasan yang menjadikan sikap mereka positif terhadap kekerasan. Lebih lanjut, dibandingkan partisipan yang berada di komunitas, partisipan yang berada di lapas lebih mengidentifikasi kekerasan sebagai aktivitas yang dapat diterima dan bernilai (culture of violence). Adanya sikap yang lebih positif terhadap culture of violence ini menjadi sangat mungkin terjadi karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para remaja di lapas telah mengalami paparan terhadap kekerasan sebagai hal yang umum ditemui di lingkungan tempat tinggal mereka. Sikap ini menjadi semakin diperkuat ketika mereka tinggal
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
di lapas yang memang beresiko tinggi dengan kekerasan dimana kekerasan telah menjadi kebiasaan. Shapiro (dalam Slovak et al., 2007) menambahkan bahwa sikap yang positif terhadap kekerasan melibatkan ide bahwa berkelahi dapat memperbaiki self-esteem yang dilukai dan juga adanya kenyamanan dengan perilaku kekerasan. Selanjutnya, dibandingkan partisipan yang berada di komunitas, partisipan yang berada di lapas lebih memiliki sikap yang membenarkan penggunaan kekerasan sebagai respon terhadap ancaman baik yang nyata dan yang dipersepsi (reactive violence). Hal ini juga mungkin terjadi karena partisipan yang berada di lapas telah terbiasa hidup di lingkungan yang memaparkan kekerasan sehingga kekerasan menjadi respon pertama yang digunakan dalam menghadapi berbagai situasi yang mengancam keselamatan mereka. Meskipun demikian, Ramirez (2012) menemukan bahwa sikap reactive violence tidak mengindikasikan dampak yang negatif dimana pada lingkungan yang rawan terjadi kekerasan hal ini menjadi upaya seseorang untuk mempertahankan diri. Terkait dengan proses penelitian, peneliti merasa masih terdapat beberapa keterbatasan yang mungkin dapat memengaruhi hasil yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan sampel remaja di lapas dan juga di komunitas yang berasal dari mayoritas SES rendah, dimana kedua kelompok ini tergolong dalam kelompok yang lebih beresiko untuk terlibat kekerasan. Penggunaan sampel ini mungkin membatasi hasil penelitian dimana paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan umum ditemukan pada konteks remaja yang beresiko. Keterbatasan lainnya yaitu penelitian ini hanya melihat paparan terhadap kekerasan yang dialami oleh partisipan selama satu tahun terakhir. Hal ini mungkin membatasi pengaruhnya terhadap sikap terhadap kekerasan yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terinternalisasi dalam diri seseorang. Disamping itu, penelitian ini juga tidak dapat membedakan konteks dimana paparan terhadap kekerasan terjadi atau dialami partisipan. Hal ini dapat terlihat misalnya pada partisipan yang berada di lapas yang memiliki tingkat paparan terhadap kekerasan yang cukup tinggi dimana paparan yang mereka alami mungkin dapat terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka sebelumnya, terjadi justru saat berada di lapas, ataupun kombinasi dari keduanya. Terakhir, kekurangan penelitian ini adalah hanya melihat frekuensi atau seberapa sering individu mengalami paparan terhadap kekerasan. Padahal mungkin saja terdapat perbedaan antara individu yang mengalami paparan yang tidak terlalu parah namun dialami secara terus-menerus (sifatnya kronis) dengan individu yang mengalami paparan yang parah namun hanya sekali atau beberapa kali dialami (sifatnya akut).
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Saran Peneliti mengajukan beberapa saran metodologis untuk penelitian selanjutnya. 1. Menggunakan metode wawancara kualitatif untuk mengetahui dinamika yang terjadi pada remaja yang terpapar dengan kekerasan sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan sikap terhadap kekerasan. 2. Menggunakan orang tua dan guru untuk menilai paparan terhadap kekerasan yang dialami remaja untuk meminimalisir terjadinya bias. 3. Melakukan studi longitudinal untuk melihat efek kumulatif dari paparan terhadap kekerasan yang telah dialami bertahun-tahun. 4. Populasi yang digunakan agar lebih heterogen dengan memasukan remaja dari SES yang lebih bervariasi dan juga remaja perempuan. 5. Meneliti sikap terhadap kekerasan berdasarkan domainnya (misalnya, kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam kelompok). 6. Memperhatikan secara jelas pengkategorian jenis paparan terhadap kekerasan. Mengukur paparan terhadap kekerasan berdasarkan konteks yang berbeda misalnya di rumah, di sekolah, di lingkungan tempat tinggal, dan di lembaga permasyarakatan (khusus bagi populasi di lapas). 7. Jika penelitian ini hanya melihat frekuensi paparan terhadap kekerasan yaitu seberapa sering atau jarang paparan dialami, penelitian selanjutnya dapat meneliti tentang paparan terhadap kekerasan berdasarkan tingkat keparahan bentuk paparan yang dialami. 8. Meneliti tentang dampak paparan terhadap kekerasan berdasarkan frekuensi dan tingkat keparahan bentuk paparan terhadap kekerasan yang dialami. Dalam interpretasi tentang keparahannya juga perlu diperhatikan apakah terdapat perbedaan antara individu yang mengalami paparan yang tidak terlalu parah namun dialami secara terus-menerus (sifatnya kronis) dengan individu yang mengalami paparan yang parah namun hanya sekali atau beberapa kali dialami (sifatnya akut). Sementara itu, saran praktis yang diajukan sehubungan dengan penelitian ini adalah: 1. Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan antara paparan terhadap kekerasan dan sikap terhadap kekerasan, maka pihak terkait dapat memberikan intervensi yang sesuai untuk menangani para remaja yang terbukti mengalami paparan terhadap kekerasan. 2. Hasil analisis tambahan menunjukkan terdapat tingkat paparan terhadap kekerasan yang lebih tinggi di lapas dibandingkan di komunitas, dimana hal ini menunjukkan adanya peran faktor lingkungan yang besar dalam membentuk sikap seseorang. Oleh karenanya,
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
diperlukan upaya pencegahan dengan mempertimbangkan berbagai faktor protektif yang dapat melindungi remaja yang rentan untuk terpapar kekerasan di lingkungannya. 3. Adanya perbedaan sikap culture of violence antara remaja di lapas dan di komunitas menunjukkan diperlukannya intervensi yang berbeda bagi remaja yang di lapas dan dalam populasi umum. 4. Memberikan seminar atau penyuluhan ke sekolah dan orang tua murid mengenai upaya preventif untuk melindungi remaja dari dampak negatif paparan terhadap kekerasan. 5. Pihak sekolah sebagai tempat dimana remaja menghabiskan sebagian besar waktunya, dapat mengoptimalkan kegiatan ekstrakurikuler sebagai upaya memantau aktivitas remaja. Dengan lebih aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, remaja diharapkan dapat terhindar dari pergaulan negatif di lingkungan sekitarnya yang rentan untuk memaparkan kekerasan. DAFTAR PUSTAKA Ali, B., Swahn, M.H., Sterling, K.L. (2011). Attitudes about violence and involvement in peer violence among youth: findings from a high-risk community. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 88(6), 1158-1174. doi:10.1007/s11524-011-9601-6 Bandura, A. (1977). Social learning theory. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Bradshaw, C., Roders, C., Ghandour, L., & Garbino, J. (2009). Social-cognitive mediators of the association between community violence exposure and aggressive behavior. Social Psychology Quarterly, 24(3), 199-210. doi: 10.1037/a0017362 Butters, J., Harrison, L., Korf, D.J., Brochu, S., & Erickson, P.G. (2011). The impact of violence on at-risk youth in canada, the united states, and the netherlands. Victims & Offenders: An International Journal of Evidence-based Research, Policy, and Practice, 6(4), 341-355. doi: 10.1080/15564886.2011.607392 Carnagey, N.L., Anderson, C.A., & Bushman, B.J. (2007). The effect of video game violence on physiological desensitization to real-life violence. Journal of Experimental Social Psychology, 43, 489–496. Diunduh dari http://www.sciencedirect.com Cooley-Strickland, M., Quille, T.J., Griffin R.S., Stuart, E.A., Bradshaw, C.P., & FurrHolden, D. (2009). Community violence and youth: Affect, behavior, substance use and academics. Clin Child Fam Psychol Rev, 12, 127–56. doi 10.1007/s10567-0090051-6
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Day, D.M., Hart, T.A., Wanklyn, S.G., McCay, E., Macpherson, A., & Burnier, N. (2013). Potential Mediators Between Child Abuse and Both Violence and Victimization in Juvenile Offenders. Psychological Services, 10(1), 1541-1559. doi: 10.1037/a0028057 Davidson. M.M., & Canivez, G.L. (2012). Attitudes toward violence scale: Psychometric properties with a high school sample. Journal of Interpersonal Violence, 27(18), 3660–3682. doi: 10.1177/0886260512447578 Farrel & Bruce (1997). Impact of exposure to community violence on violent behavior and emotional distress among urban adolescent. Journal of Clinical Child Psychology, 26 (1), 2-14. Diunduh dari http://search.ebscohost.com/ Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention, and behavior: An introduction to theory and research. Reading, MA: Addison-Wesley. Flannery, D.J., Singer, M.I., Van Dulmen, M., Kretschmar, J.M., & Belliston, L.M. (2006). Exposure to violence, mental health, and violent behavior. In Flannery, D.J., Vazsonyi, A.T., Waldman, I.D. (2007). The cambridge handbook of violent behavior and aggression. New York: Cambridge University Press. Flowers, A.L., Hastings, T.L., & Kelley, M.L. (2000). Development of a screening instrument for exposure to violence in children: The KID-SAVE. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, 22(1), 91-104. Diunduh dari http://proquest.umi.com Funk, J.B., Elliot, R., Urman, M.L., Flores, G.T. (1999). The attitudes towards violences scale.
Journal
of
Interpersonal
violence,
14(11),
1123-1136.
doi:10.1177/088626099014011001 Gaylord-Harden, N.K., & Cunningham, J.A., & Zelencik, B. (2011). Effects of Exposure to Community Violence on Internalizing Symptoms: Does Desensitization to Violence Occur in African American Youth? J Abnorm Child Psychol, 39, 711–719. doi: 10.1007/s10802-011-9510-x Gellman, R., & DeLucia-Waack, J. (2006). Predicting school violence: A comparison of violent and nonviolent male student on attitudes toward violence, exposure level to violence, and PTSD symptomatology. Psychology in the Schools, 43, 591-598. doi:10.1002/pits.20172 Gravetter, F.J. & Forzano, L.B. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd ed.). Canada: Wadsworth, Cengage Learning. Hawkins, J.D., Herrenkohl, T.I., Farrington, D.P., Brewer, D., Catalano, R.F., Harachi, T.W., &
Cothern,
L.
(2000).
Predictors
of
Youth
Violence.
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013
Diunduh
dari
http://www.safecommunitiestaskforce.org/uploads/6/8/4/6/6846151/predictors_of_you th_violence.pdf. Komisi Nasional Perlindungan Anak (2011). Kompilasi pantauan pelanggaran hak anak periode 2007 – 2009. Diunduh dari http://komnaspa.or.id Krug, E. G., Mercy, J. A., Dahlberg, L. L., & Zwi, A. B. (2002). Youth violence: World report on violence and health. Diunduh dari
situs World Health Organization:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/violence/world_report/en/ Lambert, S.F., Lalongo, N.S., Boyd, R.C., Cooley, M.R. (2005). Risk factors for community violence exposure in adolescence. American Journal of Community Psychology, 36, 29-48. doi: 10.1007/s10464-005-6231-8 Ng-Mak, D.S., Salzinger, S., Feldman, R.S. & Stueve, C.A. (2004). Pathologic Adaptation to Community
Violence
Among
Inner-City
Youth.
American
Journal
of
Orthopsychiatry,Vol.74, No. 2, 196–208 doi: 10.1037/0002-9432.74.2.196 Oskamp, S. & Schultz, P.W. (2005). Attitudes and opinions (3rd ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th ed.). New York: McGraw-Hill. Ramirez, M.M.B. (2012). Early exposure to violence and subsequent adult behavior and attitudes towards violence. (Disertasi). Diunduh dari Proquest Dissertations and Theses database. (UMI No. 3523745) Sahin, R., Baloglu, M., & Unalmis, M., (2010). Turkish adolescents’ attitudes toward violence.
Procedia
Social
and
Behavioral
Sciences,
2,
2092–2098.
doi:10.1016/j.sbspro.2010.03.287 Slovak, K., Carlson, K., & Helm, L. (2007). The influence of family violence on youth attitudes. Child and Adolescent Social Work Journal, 24(1), 77-99. doi: 10.1007/s10560-006-0063-8 Stein, B.D., Jaycox, L.H., Kataoka, S., Rhodes, H.J., & Vestal, K.D. (2003). Prevalence of child and adolescent exposure to community violence. Clinical Child and Family Psychology Review, 6 (4),247-264. Diunduh dari http://proquest.umi.com Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Diunduh
dari
http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4c331e8cef4c2/parent/26791 U.S. Department of Health and Human Services. (2001). Youth violence: A report of the surgeon general. Diunduh dari http://www.surgeongeneral.gov/library/youthviolence
Hubungan Antara ..., Nova Ananda, FPsi UI, 2013