PEMERINTAH I(ABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAT{ DAERAH KABUPATEIV TULUNGAGUNG
NoMoR 28
TAHUN2OI2
TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YAITG MAHA ESA
BUPATI TULUNGAGUNG,
Menimbang:
bahwa ternak sapi dan kerbau betina produktif sebagai sumber daya genetik untuk pengembangbiakan ternak harus dijaga kelestarian dan ketersediannya; b. bahwa dalam rangka menjaga kelestarian dan mencukupi ketersediaan bibit ternak sapi dan kerbau betina produktif sebagaimana dimaksud pada huruf a, ma_ka seluruh a.
kegiatan yang berkaitan dengan pengeloiaan dan
pemalfaatan ternak sapi dan kerbau betina produktif perlu dikendalikan; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, maka perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif di Kabupaten Tulungagung;
Mengingat
:
1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945;
z-
Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1950
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran
tentang Dalam Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
9)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 273O);
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2OO4 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
(,
-2-
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 48441; 4.
5.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); Undang-Undang Nomor L2 Tahun 20ll tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20ll Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 523a1;
Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 1983
tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253); 7.
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 20 1 I te ntang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5260): Peraturan
Menteri Pertanian Nomor i 36/Permentan/ OT.laO I 812006 tentang Sistem Perbibitan Nasional; 9. Peraturan Menteri Pertalian Nomor 35/Permentan/OT.l4Ol7 /20ll tentang Pengendalian Ternak Ruminansia Betina Produktif; 10. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Uru san Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung (Lembaral Daera,h Kabupaten Tulungagung Tahun 2009 Nomor 01 Seri D); 11. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2011 Nomor 02 Seri D); 12. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 21 Tahun 2}ll tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2012 Nomor O5 Seri E); 13. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 15 Tahun 2Ol2 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung Tahun 2O12 Nomor 11 Seri E).
u
..:
--t
-
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG dan BUPATI TULUNGAGUNG MEMUTUSKAN:
MenetapKan:
PERATURAN DAERAHTENTANG PENGENDALIANTERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal
I
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan 1. Daerah adalah Kabupaten Tulungagung.
:
2. Pemerintal Daerah adalah Pemerintah 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
Kabuoaten
Tulungagung. Bupati adalah Bupati Tulungagung. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tulungagung Dinas Peternaftan yang selanjutnya disebut Dinas adalah Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung. Kepala Dinas Peternakan yang selanjutnya disebut Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Peternakan Kabuoaten Tulungagung. Petugas yang berwenang yang selanjutnya disebut petugas adalah Dokter Hewan atau Petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala Dinas. Ternak asli adalah ternak yang kerabat liarnya berasal dari dan proses domestikasinya terjadi di Indonesia. Ternak loka,l adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yng teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajement setempat.
Ternak sapi dan kerbau betina produktif adalah sapi dan kerbau betina yang telah dewasa kelamin sampai melahirkan kurang dari 5 (lima) kali atau berumur kurang dari 8 (delapan)
tahun. f 1. Bibit ternak yang selanjutnya disebut bibit adalah ternak yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. 12. Pembibitan adalah serangkaian kegiatan pembudidayaan untuk menghasilkan bibit sesuai dengan pedoman pembibitan ternak yang baik.
u
:. -a-
Penjaringan adalah serangkaian kegiatan untuk meperoleh ternak sapi dan kerbau betina produktii yang akart dijadikan ternak bibit dari hasil seleksi. 14. Seleksi adalah serangkaian kegiatan memilih ternak sapi dan kerbau betina produktif dad populasi sesuai kriteria bibit. 15. Identifikasi status reproduksi adalai serangkaian kegiatan pemeriksaan untuk memiiih ternak sapi dan kerbau betina produktif dan yang tidak produktif. 16. Pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif adalah seralgkaian kegiatan untuk mengelola penggunaan sapi dan kerbau betina produktif melalui identifikasi status reproduksi, 13.
seleksi, penjaringan dan pembibitan.
ternak yang mempunyai ciri dan karakteristik luar serta sifat keturunan yang sama dari satu
17. Rumpun adalah sekelompok
spesies.
Galur adalah sekelompok individu ternak dalam satu rumpun yang dikembangbiakkan untuk tujuan pemuliaan dan/atau karakteristik tertentu. 19. Sumberdaya genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam individu suatu populasi rumpun ternak yang secara genetik unik yang terbentuk dalam prose s domestikasi dari masing-masing spesies yang merupakan sumber sifat keturunan yarg mempunyai nilai potensial maupun nyata serta dapat dimanfaatkan dan dikembangbiakkan atau dirakit untuk menciptakan rumpun atau galur unggul/baru. 20. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternat dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. 21. Uji performans adalah methode pengujian untuk memilih ternak bibit berdasarkan sifat kualitatif dan kuantitatif meliputi pengukuran, penimbangan dan peniiaian. 22.Uji, zuriyat adalah methode pengujian untuk mutu genetuk calon pejantan untuk mengetahui produksi anak betinanya. 18.
23.
Teknologi biologi molekuler adalah teknologi
yang
UP|D adalah satuan organisasi bersifat mandiri
yang
memanfaatkan molekul DeoxyribonucleicAcid (DNA) untuk menghasilkan individu yang membawa sifat-sifat tertentu. 24. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah suatu bangunan atau komplek bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. 25. Unit Pelatsana Teknis Dinas yang selanjutnya disebut dengan melalsanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari organisasi induknya di Daerah.
u
BAB II AZAS DAN TUJUAN Pasal 2
Pengendalian
ternak sapi dan kerbau betina
produktif
dilaksanakan berdasarkan azas : a. kemalfaatan dan berkelanjutan; b. keamanan dan kesehatan; c. kerakyatan dan keadilan; d. keterbukaan dan ketemaduan; e. kemandirian; f. kemitraan;dan g. keprofesionalan. Pasal 3
Tujuan pengendalial ternak sapi dan kerbau betina produktif ini adalah: a. mengelola sumber daya hewani secara bermartabat, bertanggung jawab dan berkelaljutan; b. mencukupi kebutuhan pangan asal hewan secara mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan; mempertahankan c. keberadaan dan populasi ternak sapi dan kerbau betina produktif; d. melindungi ternak sapi dal kerbau betina produktif dari ancarnan pemotongan; e. menjaga ketersediaan bibit sapi dan kerbau yang berkualitas. BAB III PtrNGIDENTIFIKASIAN STATUS REPRODUKSI Pasal 4
(l) Pengidentifikasian dilakukan untuk mendapatkan ternak sapi dan kerbau betina produktif dari populasi ternak sapi dan kerbau betina. (2) Pengidentifikasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di UPID, kelompok peternak, pasar hewan, RpH dan tempat pelayanan lainnya. Pasal 5
(1)
Pengidentifikasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
(2)
dilakukan oleh tenaga kesehatan hewan. Tenaga kesehatat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usulan Kepala Dinas.
(1)
Pasal 6
(1) Pengidentifikasian sebngeimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan terhadap ternak sapi dan kerbau betinayang: a. telah dewasa kelamin sampai melahirkan kurang dari 5 (lima) kali atau berumur kurarg dari 8 (delapan) tahun. b. tidak cacat lisik;
G
-o-
c. d.
memiliki organ reproduksi normal dan/atau tidak mengalami gangguan;dan memenuhi persyaratan kesehatan reproduksi. Pasal 7
Pengidentifikasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat menghasilkan ternak sapi dan kerbau betina tidak produktif dan ternak sapi dan kerbau betina produktif; t2l Terhadap ternak sapi dan kerbau betina tidak produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan penggemukan untuk dijadikal ternak potong; (3) Terhadap ternak sapi dan kerbau betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan seleksi untuk dijadikan bibit. (11
BAB IV PENYELEKSIAN Pasal 8
Penyeleksial ternak sapi dan kerbau betina produktif untuk dijadikan bibit sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) dilakukan berdasarkan kriteria bibit. Pasal 9
(1) Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dilakukan terhadap ternak yang memenuhi kriteria: a. merupakan ternak asli dan/atau lokal; b. sehat dan bebas dari penyakit hewan menular yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter hewan;dan c. memiliki performa memenuhi standard bibit. (2) Performa sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c didasarkan pada rumpun, umur, kuantitatif dan kualitatif. Pasal 10
(l)Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam pasal g dilaksanakan oleh pengawas bibit; (2)Pengawas bibit sebagaimana dimaksud pada ayat {1} ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usulan Kepala Dinas. Pasal
11
Terhadap ternak sapi dan kerbau betina produktif yang sesuai dengan kriteria bibit sebagaimana dimaksud dalam pasal g direkomendasikan kepada Bupati melalui Kepala Dinas untuk dilakukan penjaringan.
tL
-7-
BAB V PENJARINGAN Pasal 12 (1)
(2)
Penjaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dila-kukan dengan cara pemeriksaan terhadap dokumen kepemilikan ternak yang dikeluarkan oleh Kepala Desa / Lurah. Terhadap ternak sapi dan kerbau betina produktif hasii penjaringar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diberikan tanda untuk selanjutnya dilakukan pembibitan di UPID danlatau kelompok peternak.
BAB VI PEMBIBITAN Pasai 13
(l) Bibit yang dihasilkan da-ri proses penjaringan dikualilikasikan
secara berjenjang meliputi bibit dasar, bibit induk dan bibit sebar.
(2) Bibit dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai pemuliaan diatas nilai rata-rata. (3) Bibit induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoteh dari proses pengembangbiakan bibit dasar. (4) Bibit sebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari proses pengembangbiakan bibit induk. Pasal 14
(1) Dalam rangka mempertahankan bibit dasar sebagai rumpun dal/atau galur murni dilakukan usala-usa,ha untuk menjaga
kemurnian. (2) Untuk menjaga kemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengembangbiakan bibit dasar dilakukan dengan mengawinkan di dalam rumpun d,an/atau galur dengan menghindari terjadinya kawin antar keluarga. (3) Selain dengan mengawinkan didalam rumpun dan/atau galur, pengembangbiakan dapat dilakukan dengan persilangan. (41 Pengembangbiakan bibit dasar melalui persilangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan di kawasan atau di lokasi yang bukan wilayah sumber bibit dan tidak bertentangan dengan kaidan-kaidah agama, sosial budaya dan keamanan hayati. Pasal 15 (1) (21
Pengembangbiakan bibit dapat dilakukan oleh pemerintah Daerah, badan hukum, kelompok peternak dan/ atau perorangan. Pemerintah Daerah membina berkembangnya penangkaral bibit di wilayah-wilayah sumber bibit.
u
-8-
(3) Perorangan warga Negara asing dan/atau badan hukum asing yang melakukan pengembangbiakan bibit dasar yang berasal dari
sumber daya genetik ternak asli atau lokal untuk tujuan komersial harus memperoleh izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 16
(1)
(2)
(3)
Pengembangbiakan dan pemanfaatan ternak yang mengandung materi genetik hasil pemuliaan ternak asli dan/atau lokal dilakukan oleh Bupati melalui Kepala Dinas. Pengembangbiakan dan pemanfaatan ternak yang mengandung materi genetik hasil pemuliaan ternak asli dan/atau lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan komersial dapat dilakukan oleh badan hukum, asosiasi, koperasi peternak, setelah mendapat izin dari Bupati melalui Kepala Dinas. rzin pengembangbiakan dan pemanfaatan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 17
Badan hukum, asosiasi, koperasi peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) harus membantu dalam kegiatan pengelolaan sumber daya genetik ternak yang dilakukan oleh kelompok peternak. Pasal 18 Proses produksi
bibit harus dilakukan dengan memperhatikan aspek kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, bioetika dan kelestarian lingkungan. Pasal 19
Pembibitan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dilakukan melalui pemuliaan serta mengacu pada pedoman pembibitan ternak
yang baik berdasarkan peraturan perundang-undangan. BAB VII KESE.JAHTERAAN TERNAK Pasal 2O
(1) setiap usaha peternakan sapi dan kerbau harus mengindahkan aspek kesejahteraan ternak. (21
Aspek kesejahteraan ternak sapi dan kerbau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan penanganan, penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan perawatan,
pengangkutan, pemotongan dan penyembelihan, serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap ternak sapi dan kerbau. (3) Kesejahteraan ternak sapi dan kerbau sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diwujudkan melalui cara-cara yang manusiawi berupa : a. penempatan dan pengandangan ternak sapi dan kerbau agar dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
Lh
-9-
b. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman ternak sapi dan kerbau agar bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, pengaliayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan: c. pengangkutan ternak sapi dan kerbau tanpa menimbulkan rasa takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan; d. penggunaan dan pemanfaatan ternak sapi dan kerbau tanpa pengan iayaan dan penyalahgunaan; e. pemotongar dan pembunuhan ternak sapi dan kerbau tanpa
disertai dengan rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan. BAB VIII PENGENDALIAN PEMOTONGAN Pasal 21
Upaya pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif dari pemotongan dilakukan melalui : a. sosialisasi kepada pelaku pemotongan dan tata niaga ternak; b. komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat; dan
c. intensifikasi pemeriksaan ternak sapi dan kerbau betina produktif yang akan dipotong. Pasal 22
(1) Setiap pemilik ternak sapi dan kerbau yang akan memotong ternak sapi dan kerbau betina, wajib melapor kepada petugas untuk dilakukan pemeriksaan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan di kandang penampungan RPH atau ditempat lain paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 3 (tiga) hari sebelum dipotong. (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Petugas menerbitkan Surat Keterangan Hasil Pemeriksaaa Ternak Sapi dan Kerbau Betina. Pasal 23
Ternak sapi dan kerbau betina produktif segera dikeluarkan dari RpH dan diselamatkan melalui program penyelamatan dan penjaringan ternak sapi dan kerbau betina produktif. Pasal 24
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dikecualikan terhadap pemotongan ternak untuk keperluan upacara keagamaan dal/ atau upacara adat.
h
-10-
Pasal 25
(1) Ternak sapi dan kerbau betina produktif dilarang dipotong kecuali untuk keperluan penelitian, perbibitan, atau untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.
(2) Pemotongan ternak sapi dan kerbau betina hanya diperbolehkan jika ternak sapi dan kerbau betina dalam keadaan: a. cacat sejak lahir; b. mengalami kecelakaan berat;
c. menderita penyakit hewal menular; d. membahayakan keselamatan manusia; dan e.
tidak memenuhi standa,r bibit dan/atau apabila populasi terna-k betina telah mencukupi ketersediaan bibit ternak pada tingkat populasi yang aman.
(3) Tingkat populasi yang aman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hurufe ditetapkan dengan Keputusar Bupati. (4) Terhadap pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diadakan pemeriksaan oleh Petugas dan dilaporkan kepada Kepala Dinas. Pasal 26
Ternak sapi dan kerbau betina produktif dilarang dibuat sakit atau cacat untuk tujuan menghindar dari larangan pemotongan. BAB IX PENGENDALIAN LALU LINTAS TERNAK Pasal 27
(1) Ternak sapi dan kerbau betina produktif dilarang dikeluarkan dari wilayah Daerah kecuali untuk dibudidayakan. (2) Usaha pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif untuk budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: a. mendapatkan rekomendasi pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif dari Kepala Dinas; b. ketersediaan bibit di daerah mencukupi;
c. daerah
tujuan
memiliki
lokasi/unit
untuk
pembibitan/ budidaya ternak; dan
d. daerah tujuan menjamin bahwa bibit temak dari daera,h akan dibudidayalan dan tidak dipotong. (3) Tatacara usaha pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif untuk budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. IA
-l tBAB X PEMBIAYAAN Pasal 28
(l)Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif; (2)Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan keuangan Daerah dan dapat dilakukan berdasarkan prioritas ternak sapi dan kerbau betina produktif yang akan dijaring sesuai dengan kondisi spesifik lokasi. BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 29
(l)Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif; (2)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatal sosialisasi dan peran serta masyarakat. (3)Pengawasan pengelolaan ternak sapi dan kerbau betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Dinas (4)Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Kepala Dinas kepada Bupati setiap 3 (tiga) bulan. BAB XII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 30
(l)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dapat dilakukan sejak identifikasi status reproduksi, seleksi, penjaringan dan/ atau pembibitan; (2)Bagi warga masyara-kat yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberi penghargaan oleh pemerintah Daerah. BAB XIII KETENTUAN SANKSI Pasal 31
(l)Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 dan pasaj 2T ayat (l) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.5O.000.00O,- (lima puluh juta rupiah). (2)Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah 1/3 (sepertiga) jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau korporasi. (3)Tindak pidana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(s
''. t.)
Pasal 32
Pengenaan sanksi pidana berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud da.lam Pasai 31 tidak membebaskan peiaku dari pengenaan sanksi pidana berdasarkan peratura,n perundangundangal yang berlaku. Pasal 33
Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: a. peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,dan/ atau peredaran; c. pencabutan nomor pendafta-ran dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran; d. pencabutan izin; ataru e. pengenaan denda. Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pengenaan sanksi pidana dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 33 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati BAB XIV KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 35 (
1)
Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang Peternakan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara pidana; (2)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (3)Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Slpil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Menerima, mencari, mengumpulkan dal meneliti keterangan atau laporan berkenaar dengan tindak pidana dibidang Peternakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribada atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengaa tindak pidana dibidang Peternakan;
c.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badalsehubungan dengan tindak pidana dibidang peternakan;
(t
-lJ-
d. Memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan
dengan
tindak pidana dibidang Peternakan ; e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penltaan terhadap bahal bukti tersebut; f. Meminta bantuan tenaga ahli da-lam rangka melaksaaakan tugas penyidikan tindak pidana dibidang Peternatan; g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan
sedang
berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan/atau dokumen yang dibawa; h. Me motret seseorang yang berkaitan dengan tindat pidana dibidang Peternakan; i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. Menghentikan penyidikan;dan/atau k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang Peternakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangal. (4)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (l) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 36
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahakan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung. Ditetapkan
di
Tulungagung
padatangsal ?B DEC Z1n BUPATI TULUNGAGUNO,A
Diundangkan di Tulungagung pada 25 Pebruari 2013
t6-/
HERU TJAHJONO
DAERAH
Pembina Utama Muda NrP. 19590919 199003 1006
lembaran Daerah Kabupaten T\rlungagung Tahun 2Ol3 Nomor 7 Seri E
0
-t4PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH I{ABUPATEN TULUNGAGUNG
NoMoR 28
tanunzorz
TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF
I.
UMUM
Dengal telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2O09 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dimana di dalamnya mencakup beberapa aspek penting baik dalam segi penyelenggaraan peternakan maupun penyelenggaraan kesehatan hewan, maka perlu diambil kebijakan dibidang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif. Peraturan Daerah tentang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Be
tina Produktif merupakan salal satu kebijakan dalam rangka di bidang peternakan sebagai sumber daya genetik untuk
pengendalian
pengembangbiakan yang harus dijaga kelestarian dan ketersediannya. Dalam rangka menjaga kelestarian dal mencukupi ketersediaan bibit ternak sapi dan kerbau betina produktif, maka seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan ternak sapi dan kerbau betina produktif perlu dikendaiikan.
Peraturan Daerah ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum dan pedoman kebijakan dalam pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif, sehingga kelestarian dan ketersediaan bibit ternat sapi dan kerbau betina produktif dapat teqjaga keberadaannya. II.PASAL DEMI PASAI Pasal I Cukup jelas. Pasa,l 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas "kemanfaatan dan keberlanjutan" adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
memerhatikan kondisi sosial budaya. Huruf b Yang dimatsud dengan asas "keamanan dan kesehatan" adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan harus menjamin
produknya aman, layak untuk dikonsumsi, dan meniamin ketenteraman batin masyarakat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas 'kerak5ratan dan keadilan" adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, da_lam
b
, '
-15-
memberikan
izin harus dicegah tefadinya praktik
monopoli,
monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
Huruf d Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan dan keterpadual" adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan memerhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses oieh masyarakat serta dilaksanakan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya .
Huruf
e
Yang dimaksud dengan asas "kemandirian" adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan mengutamakan penggunaan bahan, sarana produksi, dan sarana pendukung lainnya dari dalam negeri untuk mencapai penyediaan ternak dan produk hewan bagi masyarakat.
Huruf f Yang dimaksud dengan asas "kemitraan' ada.lah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan
kekuatan jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek kesetaraan dalam berusaha secara
^
proporsional.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas "keprofesionalan'
adatah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan melalui
pendekatan kompetensi
pengetahuan dan teknologi.
dan berorientasi pada kaidah
ilmu
Pasal 3
Cukup jelas. Pasa-l 4
Cukup jelas. Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6
Cukup jelas. Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasa_l 13
Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud mempunyai nilai pemuliaan diatas nilai rata-rata adalah nilai ternak hasil pemuliaan diatas nilai rata-rata ternak pada umumnya, baik dinilai dari segi genetik maupun performanya.
q J/
-
l6-
Ayat (3) CukuP jelas. AYat (4) CukuP jelas'
Pasal 14 CukuP jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 2O
Cukup jelas. Pasal 21
Cukup jelas.
Pasd22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31
Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas.
tJ'