Islam dan Sekularisme dan Dualisme dalam Pendidikan
Sekularisme 1. Kamus Dewan:
Sekular bermakna yang berkaitan dengan keduniaan dan tidak berkaitan dengan keagamaan.
Sekularisme bermakna faham, doktrin atau pendirian yang menolak nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sosial manusia
Dari Latin: saeculum - masa dan tempat Masa = Sekarang dan Tempat = Dunia
Ideologi yang pisahkan urusan dunia dari akhirat. ‘fasl al-dîn wa al-daulah
Tidak terhad pada politik sahaja, termasuk ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan
2. Asal Konsep Sekularisme
Sekularisme muncul pertama kali di Barat pada Abad Pertengahan.
Agama (Gereja) dikuasai oleh para pendeta, berkuasa absolut. Yang bertentangan dengan pendeta, dianggap bertentangan dengan agama (Tuhan).
Penafsiran-penafsiran teks Injil dan Bible dimonopoli, dan penafsiran lain di luar itu, dianggap telah menyimpang.
Berimplikasi negatif terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, termasuk perkembangan ilmu.
Agama pada akhirnya menjadi penghalang bagi penemuan-penemuan ilmiah.
Beberapa ilmuwan, diantaranya Galileo, harus mengakhiri hidupnya (dalam tahanan di rumah) hanya karena ia berani mengemukakan teori yang bertentangan dengan Injil – bumi bukan pusat alam semesta.
Secara global, kondisi sosial itu dapat kita gambarkan ke dalam beberapa poin di bawah ini: 1. Pemikiran zuhud, anti profan. 2.Kekuasaan absolut di tangan Pendeta. Mereka adalah orang-orang suci, dimana perkataannya dianggap sebagai titah Tuhan yang harus dilaksanakan. Sehingga, bentuk pemerintahan yang berlangsung adalah pemerintahan teokratis. 3.Gereja yang selalu bertentangan dengan
ilmu pengetahuan.
Keadaan ini meresahkan masyarakat, khususnya kaum intelekual. Pada akhirnya mereka terdorong untuk melakukan pembaharuan (al-ishlâh al-dîniy).
Konsep yang diusung oleh para pembaharu tersebut adalah bagaimana membatasi kekuasaan Gereja (pendeta) pada hal-hal yang bersifat religius dan ritual, tidak pada hal-hal yang bersifat keduniawian (profan). Urusan-urusan di luar itu, termasuk urusan kenegaraan, ditangani sendiri oleh masyarakat, tanpa campur tangan agama ataupun pendeta.
Slogan utama - “berikanlah untuk Tuhan apa yang yang menjadi urusannya, dan berikanlah untuk kaisar apa yang menjadi urursannya”. Konsep inilah yang selanjutnya kita kenal dengan sekularisme.
3. Ciri-iri Utama Sekularisme
Disenchantment of nature: Tidak lagi berminat menganggap alam sebagai sesuatu yang dicipta Tuhan
Desacralization of politics: Menghapuskan unsur agama (yang suci dan asas) daripada kuasa politik.
Deconsecreation of Values: Tidak lagi menggap nilai-nilai agama dalam sistem nilai, dan dalam nilai-nilai kebudayan sebagai mutlak.
3.1 Disenchantment of nature: Tidak lagi berminat menganggap alam sebagai sesuatu yang dicipta Tuhan o
Bebaskan alam dari agama, menidakkan adanya atau adanya hubungan anamisme, makhluk ghaib, tuhan dengan alam.
o
Memisahkannya dari Tuhan
o
Membezakan manusia dengan alam supaya manusia tidak lagi mengaggap alam sebagai sesuatu yang dicipta tuhan.
Membolehkan manusia melakukan sesuka hatinya terhadap alam supaya dapat membuat perubahan sejarah dan kemajuan.
o
3.2.
Salah dari segi Islam - percaya adanya Tuhan sahaja tidak cukup o
Sebab Allah itu Rabul Alami, Rahman, Rahim dan Samad. Yang memerintah dan tadbirkan alam.
o
Manusia tidak boleh bertindak sesuka hati terhadap alam. Ada adab, tidak boleh zalimi atau musnahkan alam, kerana ia akan musnahkan manusia. (contoh: ozone dan imbangan ekologi)
Desacralization of politics : Menghapuskan unsur agama (yang suci dan asas) daripada kuasa politik. Suatu prasyarat bagi perubahan politik dan perubahan social. Ia membolehkan munculnya proses sejarah.
o
Salah dari segi Islam : Allah mentadbir alam. Manusia memerintah alam sebagai Khalifah dan dengan Amanah.
o
3.1
Deconsecreation of Values: Tidak lagi menganggap nilai-nilai agama dalam sistem nilai, dan dalam nilai-nilai kebudayan, sebagai mutlak.
Salah dari segi Islam : Nilai agama Mutlak
4.
Manusia boleh ubah, cipta, & libatkan diri dalam proses evolusi dan buat perubahan mengikut yang difikirkan sesuai.
o
Akhlak Islami dituntut . Zina dulu dosa, sekarang dosa dan akan datang pun dosa.
o
Dalam sekularisme, sekarang zina diterima sebagai biasa
Sikap Islam terhadap Sekularisme 4.1
Agama Fitrah Beragama merupakan salah satu fitrah manusia. Manusia tidak bisa dipisahkan dengan fitrah tersebut.
Ia memiliki fungsi universalnya, yaitu memberikan petunjuk kepada sekalian manusia dan alam untuk mencapai kebahagiaan hidup, dan menjadi sumber moralitas manusia secara individu maupun sosial.
Islam, telah ikut menyumbangkan kemajuan peradaban manusia dengan ajaran-ajarannya yang universal dan komprehensif.
4.2
Interpretasi
Tetapi, pada perjalanannya, agama Islam mengalami berbagai perubahan atau perkembangan dalam hal pemahaman dan interpretasi.
Sebagian kalangan Islam menginterpretasi Islam dengan pola pikir fundamentalistik, atau pikir liberalistik. Banyak permasalahan yang menjadi sumber konflik antara kedua kelompok pemikiran tersebut, salah satunya adalah isu sekularisme.
o
Apa beza sekularisme dan sekular
o
Apa dia sekularisme dalam pemerintahan. Apakah sekularisme benar-benar bisa diterapkan sebagai ideologi suatu masyarakat atau negara?
o
Apa dia masyarakat, budaya dan ekonomi yang sekular?
o
Apa dia pendidikan sekular?
4.3 Sekularisme
Agama sebagai wilayah privat, tidak dapat dipadukan dengan negara atau kekuasaan yang berada di wilayah publik. Dari makna ini, seakan-akan dunia hendak ‘dipisahranjangkan’ dari agama.
Agama tidak berhak masuk ke dalam ruang-ruang publik, yaitu ruang sosial, masyakarat, bangsa dan negara.
Dalam tataran ini, jelas bahwa agama kemudian kehilangan fungsinya sebagai salah satu unsur perubahan sosial atau transformasi sosial.
Agama yang menjadi sumber moralitas masyarakat, disempitkan pada praktik-praktik ritual; berhubungan dengan Tuhan saja tanpa berkaitan dengan sesama manusia.
Negara sekular tentunya akan membentuk sumber daya manusia yang hanya soleh secara pribadi, tidak soleh secara sosial.
4.4 Islam Menolak Sekularisme
Dengan pengertian di atas, secara nyata kita ketahui bahwa konsep ini bertentangan dengan Islam sebagai agama sosial dan kemanusiaan.
Ia menginginkan balance antara kedua aspek, dunai dan akhirat.
Islam juga tidak mengenal konsep kekuasaan mutlak dan absolut para ulama sebagai rijâl aldîn (pendeta).
Perintah ketaatan yang ada hanyalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta para pemimpin.
Taat kepada pemimpin pun diikuti dengan catatan bahwa, masyarakat sebagai kontrol sosial, tidak wajib mentaatinya jika mereka menyimpang dari ketaatan Allah dan Rasul.
Intinya, dalam Islam, para penguasa tidak memiliki kedaulatan mutlak seperti keadaan Gereja pada Abad Pertengahan tersebut.
Hal ini berimplikasi positif terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan maupun perubahan sosial lainnya, ditambah dengan konsep kebebasan berpikir yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam.
Mengenai politik, benarkah negara Turki, misalnya, yang mengaku mempraktekkan paham sekularisme, secara total dapat memisahkan urusan negara. Negara-negara sekular itu tidak benar-benar bisa memisahkan agama dari negara secara mutlak.
Mengenai pendidikan, negara sekular beranggapan bahwa, pendidikan merupakan salah satu urusan negara, agama tidak boleh ikut campur, sampai-sampai, mata pelajaran agama tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal, sebab itu dianggap sebagai tindak kriminal.
Tetapi, apakah dengan begitu, berarti agama, dalam ajaran-ajarannya, tidak mendukung pendidikan Walaupun secara implisit ajaran agama tidak mengatur detail metode pendidikan, tetapi semangat itu adalah salah satu substansi ajaran agama. Begitu juga dalam bidang politik, budaya, ekonomi dan lainnya. Jadi, tidak bisa memilah secara tegas mana yang agama (al-dîniy) dan mana yang bukan agama (allâ dîniy).
Dan sekaligus ini menunjukkan bahwa Islam menolak sekularisme. Sampai di sini, sekularisme menemukan konotasi negatifnya, karena ia menjadikan agama sebagai lawan negara.
Inilah beberapa alasan mengapa Islam, mengambil sikap bertentangan dengan paham sekularisme.
Salah satu solusi yang ditawarkan sebagai terapi atas kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, adalah kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Secara eksplisit hal ini berarti bahwa, yang harus kita perbaiki adalah pemahaman kita kepada nash-nash tersebut. Pemahaman yang benar, bagi penulis, bukan dengan usaha meniru apa yang telah dipraktikkan masyarakat muslim (salaf shâlih) pada abad pertama itu, tanpa koreksi dan penyesuaian terhadap tuntutan realita. Sebab pemahaman bersifat dinamis (mutaghayyir), yang statis (tsâbit) adalah keterkaitan wahyu dengan Tuhan dan disampaikan melalui orang tertentu, yaitu Rasul.