Pengantar
Setiap orang dalam dunia ini tidak terlepas dari suatu aktivitas yang dinamakan dengan bekerja. Suatu pekerjaan tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan materi semata, tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan psikologis seseorang. Secara materi, orang mendapatkan gaji untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Namun secara psikologis pekerjaan dapat menunjukkan identitas seseorang, status, ataupun fungsi sosial (Steers & Porter dalam Eliana, 2003). Seseorang mampu mengatakan “Saya anggota Polisi atau Tentara”, hal ini menunjukkan bahwa bekerja merupakan bagian dari identitas diri. Dengan kata lain, orang merasa berharga jika ia bisa mengatakan posisi dan pekerjaannya. Dalam kenyataannya anggota tentara atau polisi tidak selamaya bertugas. Pada waktunya seseorang akan diminta untuk berhenti dari masa tugasnya, yang awamnya dikenal dengan istilah pensiun. Menurut Sulistyorini (2000) bagi anggota ABRI, batas usia untuk pensiun
adalah 48 tahun untuk golongan
Tamtama dan Bintara, sementara untuk golongan Perwira adalah 56 tahun. Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 adalah 53 tahun untuk golongan Tamtama dan Bintara, sementara untuk golongan Perwira adalah 58 tahun . Hal ini berlainan dengan negara barat, seseorang baru memasuki masa pensiun jika ia berusia 65 tahun. Dimana dari usia tersebut dari segi produktivitas kerja sudah mulai menurun, dan dari tugas perkembangan pun mereka telah dipersiapkan untuk menikmati kehidupan mereka (Longhurst, 2001).
Era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang dan jabatan dapat memperkuat harga diri). Oleh karenanya, sering terjadi orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang malahan mengalami stres. Hal ini diperkuat oleh Holmes dan Rahe (1966) yang menyatakan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar untuk kategori stres. Bahkan akibat yang paling buruk pada pensiunan adalah bisa mengakibatkan depresi dan bunuh diri (Zimbardo, 1979). Sedangkan, menurut Kim dan Moen (Rini, 2001) menyatakan bahwa masa pensiun cenderung menimbulkan depresi dan konflik dalam perkawinan. Sebuah kasus yang terjadi di Semarang, seorang pensiunan tentara berpangkat Sersan Mayor yang berinisial WH berusaha bunuh diri dengan cara terjun dari atap rumah. Perbuatan bunuh diri dipicu oleh depresi yang dialami WH dan persoalan keluarga (Liputan6.com, 2007). Selain itu, KN seorang pensiunan polisi berpangkat Kopka ditangkap polisi karena sebagai pengedar narkoba. Hal ini dilakukan KN guna mencukupi kebutuhan keluarga setelah ia tidak bekerja lagi (Banjarmasin Post, 2007). Kartono (1981)
menyatakan bahwa seseorang yang memasuki masa
pensiun sering kali merasa malu karena menganggap dirinya sebagai pengangguran sehingga menimbulkan perasaan-perasaan minder, rasa tidak berguna, tidak dikehendaki, dilupakan, tersisihkan, dan tanpa tempat berpijak. Hal ini berbeda dengan ketika orang tersebut masih bekerja, dirinya merasa terhormat dan merasa berguna. Selain itu pada waktu masih bekerja seseorang mendapatkan
bermacam-macam fasilitas materiil, sedangkan setelah pensiun semua fasilitas kerja tidak ada lagi. Oleh karena itulah seseorang yang memasuki masa pensiun akan mengalami kondisi kekosongan, merasa tanpa arti dan tanpa guna. Menurut Frankl (2003) menyatkan bahwa sikap bunuh diri, tindak kejahatan, pemujaan belebihan pada materi, pesimis terhadap masa depan adalah gambaran dari individu yang mengalami keterhambatan atau kegagalan dalam mencapai hidup bermakna. Kennedy, Kanthamani, dan Palmer (1994) menambahkan bahwa makna hidup yang rendah adalah gambaran dari individu yang tidak memiliki konsep, pandangan, dan nilai-nilai dalam hidup. Selain itu, individu juga tidak mampu memenuhi kebutuhannya, tidak memiliki tujuan dalam hidup serta selalu merasa kurang puas terhadap hidup. Individu yang mengalami ketidakbermaknaan hidup adalah seseorang yang gagal menemukan dan memenuhi makna hidupnya. Hal ini akan menimbulkan frustrasi dan kehampaan dalam dirinya, yang kemudian diikuti dengan kemunculan emosi-emosi negatif seperti perasaan hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tak berarti, serba bosan dan apatis (Bastaman, 2007). Dijelaskan juga oleh Edaward dan Helden (Anggriany, 2006) bahwa individu yang mengalami ketidakbermaknaan hidup cenderung muncul sikap untuk bunuh diri. Westgate (1996) meyatakan bahwa ketidakbermaknaan dalam hidup juga dapat menimbulkan perasaan negatif yang mengarah pada depresi. Sebaliknya, individu yang telah mengalami kebermaknaan hidup adalah seseorang yang mampu menemukan dan memenuhi makna hidupnya. Makna
hidup sendiri, menurut Frankl (2003) adalah suatu bagian yang penting dalam pembangunan pondasi jiwa dan merupakan motivator yang utama bagi individu dalam menghadapi tantangan hidup. Artinya, keberadaan makna hidup dapat berfungsi sebagai pembimbing dan pengarah bagi perilaku seseorang. Baumeister (Nickels dan Stewart, 2000) mengungkapkan karakteristik individu yang berhasil mengetahui dan memahami makna hidupnya yaitu adanya tujuan atau arah hidup, penghayatan akan efikasi atau kontrol diri, memiliki seperangkat nilai-nilai untuk melandasi tindakannya, dan perasaan bahwa dirinya berharga. Reaksi seseorang setelah memasuki masa pensiun sangat berbeda-beda tergantung dari masing-masing individu dalam menyikapi pensiun serta peran dari keluarga. Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim. Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi. Keluarga juga seharusnya sebagai tempat yang dapat memberi kenyamanan setelah anggotanya memasuki masa pensiun. Jika mengaitkan peranan keluarga dengan upaya mencari makna hidup, keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut setelah memasuki masa pensiun.
Dari pemaparan di atas, maka timbul pertanyaan ” Apakah ada hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kebermaknaan hidup pada pensiunan tentara dan polisi ?”
Tinjauan Pustaka Kebermaknaan Hidup Bastaman (2007) menjelaskan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam hidup. Bila hal tersebut dapat terpenuhi maka seseorang akan merasakan hidup yang lebih berarti. Ancok (Anggriany, 2006) menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup adalah sebuah kekuatan hidup manusia untuk memiliki sebuah komitmen kehidupan. Makna hidup berawal dari sebuah visi kehidupan, harapan dalam hidup, dan alasan mengapa seseorang harus tetap hidup. Kebermaknaan
hidup dapat
diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna bagi anak, istri, komunitas, negara dan umat manusia Battista dan Almond (Leath, 1999) mengembangkan Life Regard Index (LRI) sebagai instrumen pengukuran kebermaknaan hidup seseorang. Secara umum, Life Regard Index terdiri dari dua dimensi, yaitu: a. Framework dimension (dimensi kerangka) Framework dimension didefinisikan sebagai sistem keyakinan individu dan pemikiran individu tentang eksistensi dirinya. Battista dan Almond (Agustina, 2006) mengungkapkan bahwa dimensi ini didesain untuk mengukur
sejauhmana individu mampu berkomitmen dan memimpikan hidupnya dalam berbagai perspektif yang penuh makna dan telah mendapatkan serangkaian tujuan hidup atau filosofi hidup dari perspektif ini. b. Fulfillment dimension (dimensi pemenuhan) Dimensi pemenuhan ini diartikan sebagai kesenangan yang dirasakan individu atas
pemenuhan
hidupnya.
Battista
dan
Almond
(Agustina,
2006)
mengungkapkan bahwa skala ini berguna untuk mengukur sejauhmana individu merasa bahwa dirinya telah berhasil mencapai tujuan hidup atau paling tidak sedang dalam proses untuk mencapainya. Bastaman (2007) melakukan penyederhanaan atas logoanalisis temuan Crumbaugh yang terdiri dari empat metode yaitu: Self evaluation, Action as if, Establishing an encounter (personal & Spiritual), Searching for meaningful values. Dimodifikasi menjadi lima ragam metode yang dinamakan “ Panca Cara Temuan Makna”, yakni: a. Pemahaman Diri Mengenali secara objektif kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan diri sendiri sangat dibutuhakan untuk pengembanagan individu. Dengan pemahaman diri yang baik individu akan mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan yang dimiliki serta keadaan lingkungan sekitar. a. Bertindak Positif Mencoba menerapkan dan melaksanakan dalam perilaku dan tindakantindakan nyata sehari-hari yang dianggap baik dan bermanfaat.
b. Hubungan yang Akrab Secara sengaja meningkatkan hubungan yang baik dengan pribadi-pribadi tertentu ( misalnya anggota keluarga, teman, rekan kerja, tetangga ), sehingga masing-masing merasa saling menyayangi, saling membutuhkan dan bersedia bantu-membantu. c. Pendalaman Catur Nilai Berusaha untuk memahami dan memenuhi empat macam nilai yang merupakan sumber makna hidup, yaitu nilai kreatif (kerja, karya, mencipta), nilai penghayatan ( keindahan, kasih, iman), nilai bersikap (menerima dan mengambil sikap yang tepat terhadap derita yang tidak dapat dihindari lagi), nilai pengharapan(percaya adanya perubahan yang lebih baik dimasa mendatang) d. Ibadah Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri pada sang pencipta yang pada akhirnya memberikan perasan damai, tentaram, dan tabah. Keberfungsian Keluarga Menurut Smith, dkk. (2004), keberfungsian keluarga (family functioning) adalah suatu istilah luas yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik yang bermacam-macam pada lingkungan keluarga seperti kesejahteraan orang tua, kualitas perkawinan, hubungan antara orang tua dan anak, kohesi (kepaduan), pernyataan perasaan, konflik, dan sebagainya. Sementara itu, Hartmann (2002) mendefinisikan keberfungsian keluarga sebagai keluarga yang sehat dimana
memiliki ciri-ciri seperti sifat dasar peraturan, batas, pola-pola komunikasi, dan peran. Agustina (2006) dalam mendefinisikan keberfungsian keluarga tidak dapat dilepaskan dari istilah keluarga fungsional yang diartikan sebagai keluarga yang dapat menjalankan fungsi-fungsi yang ada pada keluarga tersebut dengan sebaikbaiknya. Mengenai fungsi dalam keluarga itu sendiri, menurut Asfriyati (2003), Keluarga menjadi fungsi terpercaya untuk saling membagikan beban masalah, mendiskusikan pokok-pokok masalah, mematangkan segi emosional, dan mendapatkan dukungan spiritual. Dalarn keluarga juga dapat terealisasi makna kebersamaan, solidaritas, cinta kasih, pengertian, rasa hormat menghormati dan rasa saling memiliki.
Metode Penelitian Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah pensiunan tentara dan polisi yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan POLRI (PEPABRI) Kabupaten Klaten Jawa Tengah dengan usia minimal 48 tahun. Metode Pengumpulan data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data primer. Data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 2005).
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah kuesioner yang terdiri atas dua buah skala pengukuran, yaitu 1. Skala Kebermaknaan Hidup Skala kebermaknaan hidup ini digunakan untuk mengetahui tingkat kebermaknaan hidup subjek. Skala kebermaknaan hidup yang digunakan merupakan adaptasi dari Life Regard Index (LRI) yang dikembangkan oleh Battista dan Almond (Leath, 1999; Nickels dan Steward, 2000) yang terdiri dari dua aspek yaitu: Fulfilment dan Framework. 2. Skala Keberfungsian Keluarga Skala keberfungsian keluarga ini digunakan untuk mengetahui tingkat keberfungsian keluarga subjek. Skala keberfungsian keluarga yang digunakan merupakan adaptasi dari Family Functioning Scale yang dikembangkan oleh Bernard L. Bloom (1985). Aspek-aspek yang digunakan terdiri dari cohesion, conflict, expressiveness, , intelectual-culture orientation, active-recreational orientation, religious emphasis, organization, family sociability, external locus of control, family idealization dan disengagement. Pemberian nilai dalam skala ini menggunakan model Likert dengan pilihan jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S), netral (S/TS) tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Pernyataan favorable SS diberi skor 5, S diberi skor 4, netral 3 TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Pernyataan unfavorable jawaban STS diberi skor 5, TS diberi skor 4, netral 3, S diberi skor 2, dan SS diberi skor 1.
Metode analisis data Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode statistik. Metode statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan teknik korelasi Product Moment Pearson, mengingat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara dua variabel penelitian, yakni keberfungsian keluarga dan kebermaknaan hidup. Untuk mempermudah proses perhitungan statistik, maka keseluruhan perhitungan dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 12.0 for Windows
Hasil Penelitian 1.
Uji Asumsi Sebelum dilakukan uji hipotesa, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi
yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas terhadap sebaran data penelitian yang ada. Pengujian asumsi ini dilakukan dengan bantuan program statistik dalam paket SPSS version 12.0 for Windows. a.
Uji Normalitas Hasil uji normalitas menunjukkan sebaran yang normal pada skala keberfungsian keluarga dengan koefisien KS-Z 0.692 dan p = 0.725 (p > 0.05). Sedangkan pada skala kebermaknaan hidup juga menunjukkan sebaran yang normal dengan koefisien KS-Z 1.184 dan p = 0.121 (p >0.05). Dengan hasil uji normalitas yang demikian, maka uji asumsi normalitas untuk kedua skala terpenuhi dengan distribusi yang normal.
b.
Uji Linieritas Hasil uji linearitas menunjukkan koefisien F sebesar 43.470 dengan p = 0.000 (< 0.05). Hal ini berarti hubungan antara variabel kebermaknaan hidup dan keberfungsian keluarga memenuhi asumsi linearitas
2.
Uji Hipotesis Setelah data penelitian dapat memenuhi asumsi normalitas dan linieritas, maka untuk selanjutnya dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis adakah hubungan antara keberfungsian keluarga dan perkembangan moral. Uji hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson. Hasil analisa menunjukkan kofisien korelasi r sebesar 0.609 dengan p=0.000 (p < 0.01) pada uji satu sisi (one-tailed). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa terdapat korelasi positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga dengan kebermaknaan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi tingkat kebermaknaan hidup pada pensiunan. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya dapat diterima
3.
Analisis Tambahan Selain uji hipotesis korelasi Product Moment Pearson, penulis juga melakukan uji regresi pada setiap aspek keberfungsian keluarga untuk mengetahui aspek mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kebermaknaan hidup. Hasil uji regresi tersebut menunjukkan bahwa dari sebelas aspek keberfungsian keluarga, hanya tiga aspek yaitu: family idealization, active recreational orientation, dan cohesion yang mempunyai
pengaruh paling besar dan dapat berfungsi sebagai prediktor bagi kebermaknaan hidup. Artinya, melalui ketiga aspek tersebut, sebenarnya tingkat kebermaknaan hidup seseorang sudah dapat diprediksi
Pembahasan Melihat hasil penelitian ini, dapat dipahami bahwa berhasil atau tidaknya keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsi yang ada akan berpengaruh terhadap kebermakanaan hidup pada pensiunan tentara dan polisi. Artinya keberfungsian keluarga mempunyai peranan dalam pencapaian makna hidupn para pensiunan tentara dan polisi. Keluarga yang fungsional akan menciptakan suasana yang kondusif sehingga masalah-masalah yang ada dapat diatasi. Hal ini sejalan dengan Friedemann, dkk.(2003) bahwa keluarga yang sehat memiliki tingkat konflik yang rendah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan dan fungsi dalam kehidupan manusia bersifat primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena di dalam keluarga akan tercipta suasana kebersamaan, cinta kasih, solidaritas, saling pengertian, rasa hormat menghormati dan rasa saling memiliki (Asfriyati, 2003). Dalam suatu keluarga yang fungsional seorang pensiunan akan lebih mudah untuk menghayati makna hidup melalui berbagai nilai-nilai positif yang hadir dalam keluarga. Hal ini sejalan dengan Taylor (Collie dan Long, 2005) bahwa rasa kebersamaan dengan keluarga merupakan sarana dalam mencapai kebermaknaan hidup. Dengan berjalannya fungsi-fungsi dalam keluarga maka
akan mampu menghadirkan semangat kebersamaan, keterbukaan, cinta kasih, kepedulian yang tulus, toleransi dan rasa menghargai. Nilai-nilai kehidupan yang positif inilah yang akan menimbulkan perasaan bermakna dan apabila dihayati secara mendalam dapat menjadi salah satu sumber makna hidup (Bastaman, 1996). Selain menunjukkan adanya hubungan yang positif antara keberfungsian keluarga dan kebermaknaan hidup pada pensiunan tentara dan polisi, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa subjek penelitian secara umum memiliki tingkat kebermaknaan hidup sedang ke bawah yang artinya sebagian besar dari subjek penelitian memiliki tingkat kebermaknaan hidup antara sedang dan sangat rendah daripada tingkat kebermaknaan hidup antara sedang dan sangat tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pensiunan tentara dan polisi belum sepenuhnya mampu memaknai dan menghayati kehidupannya. Hal ini akan membawa pensiunan kembali mempertanyakan eksistensi dirinya setelah tidak bekerja lagi. Dilain sisi, ketika pensiunan mempertanyakan kembali eksistensi dirinya, ini mengindikasikan bahwa pensiunan masih mempertanyakan konsep dirinya. Menurut Eliana (2003) masa pensiun bisa mempengaruhi konsep diri, karena pensiun menyebabkan seseorang kehilangan peran (role), identitas dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi harga diri mereka. Sejalan dengan temuan Agustina (2006) bahwa peran (role) seseorang dalam lingkunganya dapat berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup. Pensiun akan menyebabkan seseorang
kehilangan
perannya
dalam
masyarakat
yang
selanjutnya
mempengaruhi statusnya dan pada akhirnya bisa mempengaruhi konsep diri menjadi negatif. Dengan konsep diri yang negatif menandakan bahwa seseorang kurang mampu memahami tentang keadaan dirinya. Pemahaman diri yang kurang baik akan membuat seseorang tidak mampu mengenali secara objektif kekuatan dan kelemahan dirinya. Sebaliknya, individu yang paham akan dirinya akan mampu merumuskan tujuan yang sesuai dengan kemampuan dirninya, yang pada gilirinnya akn mempermudah untuk menemukan dan mendapatkan makna hidup (Bastaman, 2007). Hal ini diperkuat Bastaman (2007) bahwa pemhaman diri merupakan salah satu faktor untuk menemukan makna hidup seseorang. Sejalan dengan Wong (Wiebe, 2001) menyatakan bahwa self acceptence (memperlakukan diri dengan baik dan kemampuan untuk mengintegrasikan kesalahan di masa lalu dan keterbatasan diri dalam menjalani kehidupan saat ini dan cita-cita di masa depan) dapat mempengaruhi seseorang dalam menemukan makna hidup. Selain itu, dari hasil analisis tambahan (analisis regresi) yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa dari aspek-aspek keberfungsian keluarga, aspek family idealization, active recreational orientation dan cohesion saja yang memiliki peranan paling besar dalam mempengaruhi kebermaknaan hidup dan dapat berfungsi sebagai prediktor. Hal ini ditunjukkan dari sumbangan efektif aspek family idealization, dimana korelasi dengan variabel kebermaknaan hidup sebesar 28,5%. Ini mununjukkan bahwa keluarga yang ideal akan menciptakan suasana yang harmonis dimana terjalin keakaraban antar anggota keluarga, kasih sayang dan perhatian yang tulus, rasa menghargai dan menghormati antar anggota
keluarga. Suasana yang harmonis akan membuat pensiun merasa bahagia, puas, tentram dan perasaan bermakana. Hal ini memperkuat pendapat Wrong dan Fry (Anggriany, 2006) bahwa hubungan yang baik dengan orang lain merupakan aspek penting mencapai kebermaknaan hidup. Selanjutnya aspek active recreational orientation memberi sumbangan sebesar 12,7% terhadap kebermaknaan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Reker (dalam Reker & Chamberlain, 2000) bahwa aktifitas rekreasi merupakan salah satu sumber kebermaknaan hidup. Menurut penulis, keterlibatan pensiunan dalam aktifitas rekreasi akan membuat pensiunan menemukan gagasan, perasaan, dan pengalaman sehingga terasa bermanfaat, berharga, dan bermakna. Frankl (Wiebe, 2001) meyakini bahwa kebermaknaan hidup dapat ditemukan melalui berbagai aktifitas dan pengalaman. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa aspek cohesion berperan dalam mempengaruhi kebermaknaan. Dengan sumbangan efektif sebesar 4,25%. Dengan adanya keterikatan dalam keluarga (kohesivitas) akan membentuk komitmen yang kuat terhadap keluarga sehingga tercipta suasana kebersamaan dalam keluarga (Ahmad, 2003). Terciptanya suasana kebersamaan dalam kelurga akan membuat pensiuanan merasa lebih dekat (intim) dan masih berharga sehingga dapat menimbulkan perasaan bermakna.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga dan
kebermaknaan hidup pada pensiunan tentara dan polisi. Semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi tingkat kebermaknaan hidup pada pensiunan tentara dan polisi. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya dapat diterima
Saran 1. Bagi Keluarga Hendaknya para anggota keluarga menyadari bahwa komunikasi dan sikap saling terbuka antar anggota diperlukan oleh pensiunan untuk mencapai kebermaknaan hidup. Dengan komunikasi dan sikap saling tebuka antar anggota akan membuat pensiunan merasa masih dihargai setelah tidak bekerja lagi.. Selain itu, hendaknya para anggota keluarga menjaga perilaku dan aturan atau norma yang berlaku di dalam keluarga sehingga ketegangan dan konflik dalam keluarga dapat diminimalisir sehingga tercipta iklim yang kondusif. 2. Bagi Pensiunan Pensiunan hendaknya mulai berupaya untuk mencari jalan ke sumbersumber makna hidup yang lain di luar keluarga seperti: meningkatkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, meningkatkan kearifan, spritual, mengikuti kegiatan sosial masyarakat, dan melanjutkan hobi yang dulu tidak sempat dilakukan karena bekerja. Sebab, ketika kondisi dalam keluarga ternyata tidak mampu memberikan keadaan yang kondusif bagi penemuan dan pencapaian kebermaknaan hidup, maka pensiunan masih mempunyai pedoman lain dalam memperoleh makna hidupnya.
3. Peneliti Selanjutnya Bagi yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema serupa, mungkin peneliti lain dapat menindaklanjuti dari temuan penelitian ini dengan menggunakan
metode
kulitatif
untuk
mengeksplorasi
sumber-sumber
kebermaknaan hidup para pensiunan tentara dan polisi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membedakan kepangkatan. Selain itu, sampel penelitian diperlebar untuk meningkatkan taraf hidup pensiunan tentara dan polisi.
Daftar Pustaka
Agustina, I. 2006. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Ancok, D. 2003. Pengantar Edisi Bahasa Indonesia Logoterapi. Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensial. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana. Anggrany, N. 2006. Motif Sosial Dan kebermaknaan Hidup Remaja Pagaralam. Jurnal Psikologika XI, No. 21, 50-63. Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Azwar, S. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Azwar, S. A. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bastaman, H. D. 1996. Meraih Kebermaknaan Hidup: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis. Jakarta: Penerbit Paramadina. Bastaman, H. D. 2007. LOGOTERAPI: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada Cynthia, T. 2007. Proses Pencapaian Kebermaknaan Hidup Pada Perempuan Yang Mengalami Peristiwa Traumatis. Proceeding PESAT, Vol. 2, 18582559. Debats, Louis, D., Joost, Hansen & Prartho. 1995. Experiences of Meaning in Life: A Combined Qualitative and Quantitative Approach. British Journal of Psychology. Vol 86 Part 3, page 359 Eliana, R. 2003. Konsep Diri Pensiun. USU digital library, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Frankl, V. E. 2003. Logoterapi. Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensial. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana Friedemann, M. L., Kurki, P. A., & Paavilainen, E. 2003. Development of a Family Assessment Instrument for Transcultural Use. Journal of Transcultural Nursing, 14, 90. Hawari, D. 2004. Al-Qur’an. Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Penerbit Dana Bhakti Prima Yasa
Kennedy, J.E., Kanthamani, H., & Palmer, J. 1994. Psychic And Spiritual Experiences, Health, Well-Being, and Meaning in Life. The Journal of Parapsychology, Vol. 58, pp. 353-383 Klein, S. R., Bartholomew, G. S., & Hibbert, J. 2002. Inmate Family Functioning. International Journal Offender Therapy and Comparative Criminology , 46, 95. Kountur, R. 2004. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Penerbit PPM Leath, C. 1999. The Experience of Meaning in Life From A Psychological Perspective. Junior Paper, Psychology Honors Program. United States: University of Washington Morris, M. L. & Blanton, P. 1998. Predictors of Family Functioning Among Clergy and Spouses: Influences of Social Context and Perceptions of WorkRelated Stressors. Journal of Child and Family Studies, Vol. 7, No. 1, pp. 2741 Nickels, J. B & Steward, M. E. 2000. The Relationship between Life-Meaning and Commitment to and Consistency in Life-Values. Honours Thesis (tidak diterbitkan). Canada: University of Manitoba O’Connor, K & Chamberlain, K. 1996. Dimensions of Life Meaning: A Qualitative Investigation at Mid-Life. British Journal of Psychology. August 1996; 87; 3, page 461. Olson, D. H & DeFrain, J. 2003. Marriage and Families. New York: Mc.GrawHill Companies Qudsy, H. 2007. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Penalaran Moral Pada Anak Usia Akhir (late childhood). Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Model-model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisisus Visser, W. 2004. Personal Meaning in Life, Transformational Leadership and Corporate Sosial Responsibility. ICCSR Research Paper Series. Nottingham: University Bussiness School Walsh, F. 2003. Normal Family Processes, Third Edition : Growing Diversity and Complexity. New York : Guilford Publication