NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA SI BUYUNG BESAR MASYARAKAT MELAYU SERDANG
SKRIPSI Dikerjakan O L E H
FUAD SYARIAL NIM : 040702007
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN SASTRA DAERAH PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN 2009
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Lembar Pengesahan
NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA SI BUYUNG BESAR MASYARAKAT MELAYU SERDANG OLEH FUAD SYARIAL
DIKETAHUI / DISETUJUI OLEH : Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Yos Rizal, MSP NIP : 132006290
Drs. Warisman Sinaga, M.Hum NIP : 131789087
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
Ketua Pelaksana,
Drs. Baharuddin, M.Hum NIP : 131785647
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat serta hidah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Rakyat Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang” ini sebagai tugas akhir di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Shalawat teriring salam selalu disampaikan kepada Rasulullah SAW yang merupakan seorang revolusioner islam, yang menjadi tauladan hidup penulis sampai saat ini sekarang ini dan sampai akhir zaman ini. Amin. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih saya yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Syaifuddin, M.A., Ph.D Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara selaku pimpinan tertinggi di Fakultas yang memberikan nasehatnasehatnya kepada penulis. 2. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum selaku Ketua Departemen Sastra Daerah yang telah bersedia dan selalu membimbing sampai selesainya skripsi ini. 3. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP selaku pembimbing I, yang di bawah bimbingan dan arahan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. selaku pembimbing II dan selaku sekretaris Departemen Sastra Daerah yang telah membantu penulis demi kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap dosen/ staf pengajar Departemen Sastra Daerah dan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah memberi tuntunan, bimbingan, dan kemudahan dalam menyelesaikan perkulihan penulis.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
6. Buat yang teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda yang selalu penulis sayangi, yang telah membimbing, mengasuh, mengajari, penulis sedari kecil sampai dengan sekarang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk menyelesaikan gelar Sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, serta abang-abang dan adik-adik saya yang selalu penulis sayangi. 7. Kepada Rekan-rekan sepermainan di Sastra Daerah, yaitu : Siba, Dayat ( Pak Tua ), Citra ( BCL), Mustafa ( Toke ), Zupri, Eka. Serta kawan-kawan penulis di Sastra Daerah dan di Fakultas Sastra yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Buat Noni yang telah banyak merubah hidup penulis, yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis. Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Semoga skripsi ini bermanfat bagi kita semua, sekarang maupun yang akan datang.
Medan, Maret 2009 Penulis
FUAD SYARIAL
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI....................................................................................................... iii BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah………………………………………………….. 1
1.2
Perumusan Masalah……………………………………………………..... 4
1.3
Tujuan Penelitian………………………………………………………..... 4
1.4
Manfaat Hasil Penelitian………………………………………………...... 5
1.5
Anggapan Dasar…………………………………………………………... 5
1.6
Orisinilitas Penelitian……..………………………………………………. 6
1.7 Objek Penelitian…………………………………………………………... 6 1.8. Sosiologi Dan Sastra.................................................................................... 7 1.8.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra................................................. 11 1.8.2 Landasan Teori yang Digunakan....................................................... 12 1.9
Metode Penelitian........................................................................................ 14 1.9.1 Metode Dasar.................................................................................... 14 1.9.2 Metode Pengumpulan Data............................................................... 14 1.9.3 Metode Analisis Data........................................................................ 15
BAB II STRUKTUR CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR 2.1
Sinopsis………………………………………………………………....... 16
2.2
Tema........................................................................................................... 31
2.3
Alur………………………………………………………………............. 34
2.4
Latar………………………………………………………………............. 42
2.5
Watak dan Perwatakan………………………………………………….... 47
BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR 3.1
Adat Istiadat Manjunjung Duli…………………………………………… 53
3.2
Lapisan Masyarakat……………………………………………………… 56
3.3
Pribadi dan Masyarakat………………………………………………….. 60
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan…………………………………………………………......... 64
4.2
Saran………………………………………………………………........... 65
DAFTAR PUSTAKA
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak etnik, salah satunya
adalah etnik Melayu. Etnik Melayu mempunyai banyak kesusasteraan dan masih berkisar pada sastra lisan. Sastra lisan itu sebagian besar tersimpan di dalam ingatan orang tua atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang karena perkembangan zaman dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi. Sastra lisan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sastra tertulis. Sebelum munculnya sastra tulis, sastra lisan telah berperan membentuk apresiasi masyarakat terhadap sastra, sedangkan dengan adanya sastra tulis, sastra lisan terus hidup berdampingan dengan sastra tulis. Oleh sebab itu, studi tentang sastra lisan merupakan hal yang penting bagi para ahli yang ingin memahami peristiwa perkembangan sastra, asal mula timbulnya genre sastra, serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Hal ini disebabkan oleh adanya
hubungan antara studi sastra lisan dengan sastra tulis sebagaimana adanya kelangsungan tidak terputus antara sastra lisan dan sastra tertulis (Wellek dan Warren, 1998 : 47). Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan turun temurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan, melainkan juga sebagai alat cermin sikap pandangan dan lembaga kebudayaan serta alat pemeliharaan norma-norma masyarakat.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Sastra lisan, termasuk cerita lisan, merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, antara lain dalam hubungan pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan, sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat, dalam arti ciptaan yang berdasarkan lisan akan lebih mudah digauli karena ada unsur yang dikenal masyarakat. Dalam keadaaan masyarakat yang sedang membangun, seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama ternasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan
dan
pembaharuan
yang
sedang
meningkat.
Sehingga
dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau berbagai unsurnya yang asli tidak dapat dikenal lagi. Mengingat kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting, maka penelitian sastra lisan perlu dilakukan sesegera mungkin. Lebih-lebih lagi bila di ingat bahwa terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya kemajuankemajuan teknologi, adaya radio, televisi dapat menyebabkan berangsur hilangnya sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti melakukan penyelamatan sastra lisan itu dari kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewaris nilai budaya, karena dalam sastra lisan itu banyak ditemui nilai-nilai serta cara hidup dan berfikir masyarakat (nilai-nilai sosiologis masyarakat) yang memiliki sastra lisan itu. Hampir setiap suku bangsa Indonesia
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
mengenal adanya sastra lisan, demikian pula halnya dengan sastra lisan Melayu Serdang. Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan Melayu adalah cerita rakyat yang lahir dari etnik Melayu Serdang. Sastra lisan Melayu Serdang merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu diselamatkan. Salah satu usaha penyelamatan adalah dengan mengadakan penelitian dan inventarisasi. Di samping itu, penelitian ini bermanfaat pula sebagai salah satu upaya pembinaan dan pengembangan sastra lisan yang bersangkutan, sekaligus mempunyai manfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya daerah dan nasional. Si Buyung Besar menceritakan tentang kehidupan suami istri yang hidup rukun dan damai serta mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Si Buyung Besar, di mana pertumbuhan badannya sedemikian pesat menyebabkan perbedaan sifat dengan usianya. Kerumitan yang dihadapi oleh orang tuanya sehubungan dengan keganjilan perangai Si Buyung Besar menyebabkan kebingungan kedua orang tuanya.
Sehingga mereka memberikannya kepada
Datuk Penghulu, walaupun dengan perasaaan berat. Akhir cerita si anak yang berjiwa sosial dan tabah hati itu menemukan kebahagiaan.
Cerita ini selain
memiliki nilai-nilai sosiologis juga memiliki nilai-nilai pengajaran. Ditinjau dari segi kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti penting.
Ia dapat digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia dan daerah. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberikan sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan yang memuat unsur pendidikan dan budi pekerti luhur.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
1.2
Perumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan
masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar tidak meluas dan mencapai sasaran yang dikehendaki. Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada hakikatnya mencakup aspek nilai-nilai sosiologis dalam cerita Si Buyung Besar. Untuk mengetahui dan memahami aspek-aspek sosiologis dalam cerita rakyat tersebut maka dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu aspek-aspek pembangun dari cerita rakyat tersebut atau unsur-usur pembentuk dalaman cerita (unsur intrinsik) rakyat Si Buyung Besar. Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi adalah : 1.
Stuktur intrinsik yang membangun cerita rakyat Si Buyung Besar yaitu sinopsis, tema, alur, latar, dan perwatakan.
2.
Nilai-nilai sosiologis apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat Si Buyung Besar.
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam cerita
rakyat Si Buyung Besar secara khusus bertujuan untuk : 1.
Mengetahui struktur intrinsik cerita rakyat Si Buyung Besar yang terdiri atas sinopsis, tema, alur, latar, dan perwatakan.
2.
Mengetahui nilai- nilai sosiologis dalam cerita rakyat Si Buyung Besar sebagai karya sastra Melayu.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
1.4
Manfaat Hasil Penelitian Manfaat yang diharapkan oleh penelitian adalah :
1.
Membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun cerita rakyat Si Buyung Besar.
2.
Membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat Si Buyung Besar.
3.
Membangkitkan minat membaca kalangan cifitas akademika, terutama mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan masyarakat luas pada umumnya.
4.
Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.
5.
Menyelamatkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah khususnya melalui cerita-cerita rakyat daerah Sumatera Utara.
1.5 Anggapan Dasar Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat memberikan gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu, titik tolak yang dapat diterima kebenarannya. Maka penulis memiliki anggapan dasar bahwa dalam cerita rakyat Si Buyung Besar terkandung nilai-nilai sosiologi dari masyarakat pemilik cerita tersebut.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
1.6
Orisinalitas Penelitian Penelitian terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar ini telah dilakukan oleh
Rosmawati R dan kawan-kawan, pada tahun 1990, dengan judul Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang. Namun kajian yang dilakukan oleh Rosmawati R dkk., hanya menyangkut deskripsi fungsi dan kedudukan cerita rakyat tanpa menganalisis cerita rakyat Si Buyung Besar, baik dengan pendekatan sastra maupun dengan pendekatan sosiologis sastra Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar merupakan karya ilmiah yang masih asli (orisinal) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis fokuskan adalah nilai-nilai sosiologis yang terkandung di dalam cerita Si Buyung Besar.
1.7
Objek Penelitian Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita yang
diteliti oleh Rosmawati R dan kawan-kawan pada tahun 1990 dengan data sebagai berikut : a. Judul Buku
: Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang
b. Penulis
: Rosmawati R, Anni Krisna Srg, Ahmad Samin Srg, dan Zainal Abidin.
c. Cover Depan
: Gambar Ornamen MelayuWarna Orange
d. Cover Belakang
: Gambar Ornamen MelayuWarna Orange
e. Tebal Halaman
: 122 halaman
f. Ukuran
: 12 x 17,5 cm
g. Tahun Terbit
: 1990
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
h. Penerbit
: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1.8
Sosiologi dan Sastra Membicarakan sosiologi dan sastra adalah membicarakan sampai di mana
hubungan antara sosiologi dan sastra.
Dan membicarakan hasil sastra yang
relevan bagi seseorang. Sastra begitu dekat dengan kehidupan manusia.
Sastra tercipta untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai sesuatu yang perlu dinikmati karya sastra harus mengandung keindahan yang berasal dari keoriginalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai sesuatu yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang hanya dapat dimengerti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan teliti oleh masyarakat pembacanya.
Dengan demikian,
untuk mengungkapkan kandungan karya sastra dibutuhkan kepekaan luar biasa. Sebagai sesuatu perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia. Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Kenyataan
sosial
itu
dapat
berupa
tantangan
untuk
mempertahankan hidup, kebahagian dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan, dan lain sebagainya. Kenyataan sosial tersebut muncul sebagai akibat hubungan antar manusia, hubungan antar masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang. Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan Damono (1984 : 4-5) bahwa,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
”Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikan maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, mereflesikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara, 2. Ungkapan kekesalan, 3. Kritik sosial, 4. Nasihat, 5.Teguran, 6. Pemasyarakatan manusia yang menderita”. Secara sosiologi, sastra adalah strategi (sikap) untuk menghadapi situasi yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan.
Situasi yang
dialami manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi. Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa dengan sesuatu yang tepat, apa yang akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila ia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang. Dari uraian di atas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan itu bersifat sosial dan tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologis yang disebut sosiologi sastra. Dalam pembicaraan ini terdapat dua istilah ilmu yang perlu dijelaskan untuk memberikan pengertian yang lebih dalam yaitu istilah sosiologi dan sastra. Sosiologi (Soekanto, 1989 : 15-16), mengatakan :
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
”Suatu telaah atau studi yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama ; keluarga dengan moral ; hukum dengan ekonomi ;gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya), mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsosial (misalnya gejala geografis, geologis, dan sebagainya), dan mempelajari ciri-ciri umum semua jenis-jenis gejala sosial”. Apabila kita berbicara tentang gejala sosial maka perhatian kita tertuju pada hubungan manusia dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat dengan lingkungannya, baik yang bersifat sosial budaya maupun tidak.
Dengan
mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan yang lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya,
mekanisme
kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya. Sastra (Damono, 1984 : 7), mengatakan : ”Sebagaimana halnya sosiologi seperti yang disebutkan di atas, berurusan dengan manusia dengan masyarakat : usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hasil atau masalah yang sama”. Sosiologi sastra juga mempunyai cakupan yang cukup luas sebagaimana halnya dengan cakupan sastra seperti yang diuraikan di atas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologis terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sasta, dan masyarakat (masyarakat pembaca dan kenyataan nilai-nilai sosiologis dalam masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut), dengan menitik beratkan pada realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis yang ada di antara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah kecenderungan ke arah penyelidikan atau relasi antara kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut serta sikap budaya dan kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Danandjaya (1999 : 414) dalam bukunya yang berjudul Memilih Hasil Sastra Yang Relevan Bagi Seorang Sosiologi, mengatakan : “Berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra. Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasehat-nasehat bijaksana mengenai sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku di dalam masyarakat”. Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu masyarakat tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang, maka seseorang itu dapat membaca atau menganalisis karya
sastra.
Sebab, karya sastra akan
membicarakan suatu gambaran tentang sikap perilaku masyarakat yang berlaku di daerah tersebut. Dengan demikian, karya sastra melukiskan sikap dan perilaku suatu masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain, karya sastra merupakan pencerminan masyarakat pada zamannya. Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang diungkapkan Semi (1984 : 55), “Kesusasteraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, karya sastra hanyalah merupakan cerminan dari pengarang semata kalaupun pengarang menggambarkan suatu keadaan umum masyarakat dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri”. Sastra
sebagai
ungkapan
pribadi
pengarang,
juga
dikemukakan
Sumardjo(1986 : 3) yakni, ”Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang barupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan yang dapat membangkitkan gairah pembaca melalui bahasa”.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Bedasarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut, penulis berada di antaranya. Artinya, dari satu sisi, benar bahwa karya sastra merupakan karya individual pengarang dan karena itu tidak harus mencerminkan keadaan suatu masyarakat pada zamannya. Kalau pun karya sastra melukiskan keadaan suatu masyarakat, hal itu hanyalah karena telah terjadi persoalan pribadi pengarang. Akan tetapi, dari sisi lain, benar bahwa karya sastra merupakan pencerminan suatu masyarakat pada zamannya.
1.8.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendekati sebuah karya sastra, misalnya melalui apresiasi. Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas hasil seni atau budaya. Natawijaya (1980 : 3) membuat tingkat apresiasi dalam sosiologi sebagai pendekatan sastra. Tingkat apresiasi sastra itu di bagi ada lima yaitu : ”Tingkat penikmatan, tingkat penghargaan, tingkat pemahaman, tingkat penghayatan, dan tingkat implikasi. Tingkat penikmatan dan tingkat penghargaan berdasarkan tingkat operasionalnya masih bersifat monoton atau merasa senang serta bersifat pemilikan atau merasa kagum. Sedangkan tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan tingkat implikasi berdasarkan tindakan operasionalnya telah bersifat studi dan meyakini akan karya sastra yang diapresiasi. Selain itu, pendekatan sastra dapat juga dilakukan melalui kritik. Kritik adalah upaya menentukan nilai hakiki pada sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberikan pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang tepat”. Di samping tingkat apresiasi, ada pula cara lain yang dilakukan dalam upaya mendekati sebuah karya sastra. Sebagaimana yang telah penulis katakan bahwa karya sastra terbagi dua yakni berdasarkan bentuk dan berdasarkan isi. Maka cara yang lain penulis maksud adalah berdasar isi karya sastra, yang misalnya mengandung nilai agama psikologi, filsapat, dan lain-lain.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Meskipun bentuk pendekatan melalui salah satu tingakat apresiasi atau melalui satu jenis kritik, akan tetapi terkandung pendekatan tetap mengutamakan isi karya sastra tersebut. Artinya, mendekati karya sastra itu melalui isi yang dalam hal ini adalah sosiologi. Hanya yang menjadi masalah sekarang, apakah sosiologi dapat mendekati sastra atau sebaliknya sastra bagaimana hubungan keduanya. Salleh (1980 : 64), juga mengatakan bahwa : ”Seorang sosiolog dan sastrawan bahwa sosiologi menerima sumbangan dari sastra dan begitu pula sastra menerima sumbangan dari sosiologi. Hemat penulis, sumbangan yang dimaksud itu adalah : sumbangan sosiologi pada sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai saran pengembangan sosiologi kepada karya sastra, yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana sosiologi”. Dengan demikian, jelaslah sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya perlu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang mendahului pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat zamannya.
1.8.2 Landasan Teori yang digunakan Penulis membahas penelitian ini berdasarkan teori struktur dari segi intrinsik dan teori sosiologi sastra yang sesuai sehingga tidak menyimpang dari apa yang diharapkan. Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi.
Teori yang diperlukan untuk
membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Teori yang digunakan dalam pembahasan yaitu teori struktur dari segi
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
intrinsik yakni menjelaskan sinopsis, tema, alur, latar, dan watak dalam cerita rakyat Si Buyung Besar dan teori sosiologi sastra dalam buku karangan Sapardi Djoko Damono. Hal di atas didukung oleh pernyataan Abrams (Damono, 1981 : 178) mengatakan : ”Sosiologi sastra diaplikasikan pada tulisan-tulisan para kritikus sejarawan sastra yang menaruh perhatian utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca”. Waren dalam (Damono, 1999 : 84) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi : Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastrasastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Ian Watt (dalam Damono, 1999 : 3-4) melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal, yaitu : Pertama, konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor sosial yang mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, serta sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan unsur intrinsik sebagai landasan teori dalam menganalisis cerita rakyat Si Buyung Besar.
Menurut0pandangan teori ini, karya sastra di lihat hubungannya dan
kenyataan, di mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan-kenyataan yang di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang di acuh oleh sosiologi sastra. Sehingga sosiologi sastra erat
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
hubungannya, keduanya saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Juga berhubungan sosiologi sastra dengan unsur intrinsik dalam cerita rakyat Si Buyung Besar dari segi sinopsis, alur, tema, latar, dan perwatakan.
1.9
Metode Penelitian
1.9.1 Metode Dasar Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1987 : 63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya mendeskripsikan datadata fakta yang terdapat di dalam cerita sehingga dapat diketahui unsur-unsur pembentuk ceritanya dan nilai-nilai sosiologisnya. 1.9.2 Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan
mempelajari
buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian. b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai
sosiologi yang
terkandung dalam naskah.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
1.9.3 Metode Analisis Data Tahap untuk menyelesaikan sebuah data yang terkumpul adalah menganalisisnya. Penulis menggunakan metode kualitatif dan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang menentukan, menganalisis dan mengklasifikasinya melalui studi pustaka, seperti berikut : a. Mengumpulkan data berupa buku-buku yang berkaitan dengan nilai-nilai sosiologis sebagai bahan refrensi. b. Menetapkan langkah-langkah pendekatan analisis struktur dari segi intrinsik berdasarkan data yang telah diklasifikasikan .
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
BAB II STRUKTUR CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR
2.1
Ringkasan Cerita (Sinopsis) Berikut ini adalah ringkasan (sinopsis) cerita rakyat Si Buyung Besar, Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya
kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian. Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermainmain di atas pohon itu.
Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena
kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya.
“Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-
buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak.
Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan
bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi.
Segera ibunya
memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu.
Disana sang ayah
menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu.
Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan
mendidik Si Buyung Besar dengan baik.
Kemudian mereka permisi pulang
sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Setelah beberapa tahun berselang Si Buyung Besar pun telah dewasa, perangainya telah jauh berubah. Sekarang ia jadi pendiam dan hanya berbicara kalau orang menyapanya. Hanya sekali-sekali kedengaran nyanyian yang dulu itu. Suatu hari Datuk Penghulu menanyakan maksud nyanyian itu kepada si Buyung Besar.
“Apa maksud tak ada paksa dicari-cari, ada paksa dibuang-
buang”. Buyung Besar menjelaskan bahwa ia tidak tahu artinya dan menyatakan bahwa itulah nyanyiannya setiap hari. Kemudian Datuk Penghulu menanyakan apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut saja segala keinginan Datuk Penghulu. Dan Si Buyung Besar meminta dibuatkan sebuah kapal untuk dibawa berlayar. Datuk Penghulu bersedia membuatkan sebuah kapal. Dikerahkan semua tukang ditempat itu untuk mengerjakannya. Dalam waktu enam bulan kapal itu selesailah. Seminggu kemudian kapal itu berangkat membawa buah kelapa penuh dengan bantuan orang-orang kampung.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Kapal itu dilengkapi pula dengan sebuah meriam. Sebelum berangkat, malamnya, Si Buyung Besar lebih dahulu pamit kepada ayah bundanya untuk menyatakan maksud keberangkatannya serta minta doa restu keselamatan selama berlayar. Malamnya, setelah minta izin dari Datuk Penghulu, kapal yang berisi buah kelapa itu pun berangkatlah bersama para pembantunya. Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas lautan.
Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya
menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Buyung Besar berkata kepada penduduk negeri itu.
“Hai penduduk kampung, siapa yang hendak membeli
barang daganganku ini.
Aku membawa buah kelapa”.
Segera penduduk
kampung itu dating beramai-ramai dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai uang untuk membayarnya. “Barang siapa yang ingin mengerjakan buah kelapa ini saya berikan.
Minyak kelapanya ambillah untuk kalian.
tempurungnya isikan kembali kedalam kapal hamba”.
Sabut-sabut dan
Katanya.
Mendengar
ucapan demikian penduduk kampung sangat gembira dan senang hati. Beberapa minggu berselang, selesai pekerjaan mereka itu. Seluruh sabutsabut dan tempurung kelapa telah diisikan kembali kedalam kapal Si Buyung Besar. Penduduk kampung itu mengucapkan terima kasih kepada Si Buyung Besar atas kebaikan hatinya seraya memohon agar dibawakan kembali buah kelapa yang lain kalau masih ada. Kembali mereka berlayar mengarungi lautan menuju kampung halamannya. Berbulan-bulan lamanya mereka di laut barulah sampai ditempat asalnya. Meriam dibunyikan pertanda bahwa mereka telah kembali dengan selamat.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Mendengar dentuman itu Datuk Penghulu segera menjumpainya ditambatan kapal seraya menanyakan kabar Buyung Besar. Buyung Besar menyampaikan kabar baik serta memberitahu bahwa hasil dagangannya itu “Pulang Pokok saja”. Datuk Penghulu tidak ambil pusing walaupun Si Buyung Besar yang dimodalinnya itu kembali tanpa untung. Dengan seizin Datuk Penghulu, Si Buyung Besar pergi menemui ayah bundanya untuk melepaskan rindu hati yang sudah berbulan-bulan berpisah tetapi hanya satu hari saja. Disana Si Buyung Besar menceritakan pengalamannya selama enam bulan itu dilaut serta menjelaskan bahwa dagangannya pulang pokok saja adanya. Mereka melihat perobahan anaknya setelah berlayar itu. Tabiatnya yang menetak-netakkan kapal ke atas pohon tidak diingatnya lagi. Demikian juga nyayian yang ganjil itu tidak pernah lagi tersembul dari mulutnya. Esok paginya ia berangkat menuju rumah Datuk Penghulu setelah pamit dari kedua orang tuanya. Di tempat Datuk Penghulu, Si Buyung Besar menyerahkan kebijaksanaan selanjutnya kepada Datuk Penghulu. Segera isi kapal itu dibersihkan, dikeluarkan dari dalam kapal serta menanyakan apakah Buyung Besar ingin berlayar lagi. Buyung Besar mengiakan dengan syarat kalau ada modal lagi ia akan menyanggupinya. Kali ini yang dibawa adalah padi. Para kuli memuat kapal itu penuh dengan padi, tetapi orangnya telah berganti bukan lagi mereka yang ikut berlayar pertama kali. Mereka itu tidak mau ikut lagi karena tidak mendapat gaji dari Datuk Penghulu atau dari Si Buyung Besar. Esok paginya Si Buyung Besar akan berangkat jika telah permisi dari Datuk Penghulu. Tetapi, hal itu lebih dahulu diberitahukannya kepada kedua orang tuanya di kampung. Disanalah ia
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
tidur malam itu dan baru pagi harinya minta izin dari Datuk Penghulu. Dijelaskan, kalau tidak ada halangan ia akan berangkat.
Dan Datuk
memerintahkan kepada pembantunya agar patuh kepada perintah Si Buyung Besar. Malam itu Buyung Besar bersama pembantu-pembantunya berangkat menuju lautan dengan barang dagangan padi. Pelayaran ini lebih lama dari yang pertama. Akhirnya mereka sampai di sebuah negeri lain (bukan negeri persinggahan semula). Buyung Besar berkata, “Hai penduduk kampung, saya ingin berjumpa dengan kalian”.
Penduduk negeri itu menanyakan diri Si Buyung Besar
dantentang tujuan mereka datang di tempat itu. Setelah menjelaskan diri dan kedatangannya, ia pun berkata, “Kalau kalian hendak menumbuk padi yang kami bawa, silahkan.
Berasnya kami hadiahkan kepada kalian tetapi segala kulit-
kulitnya keluarkan lalu masukkan kembali kedalam kapal ini”. Dengan senang hati penduduk negeri itu bekerja keras menumbuk padi. Setelah dua bulan berselang selesailah pekerjaan menumbuk padi itu dan kulitnya pun telah masuk kedalam kapal Buyung Besar yang baik hati. Mereka mengharapkan Buyung Besar kembali membawa dagangan serupa itu dan mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya. Setelah pamit dari penduduk kampung itu mereka pun kembali berlayar menuju kampung halaman. Antara sesama kuli-kuli terdengar ocehan, “Alangkah bodohnya dan bencinya aku melihat tingkah Si Buyung Besar ini. Seenaknya saja memberikan padi-padi itu kepada orang lain.
Kita telah bekerja keras menolongnya, mematuhi segala
perintahnya tetapi tidak diberi apa-apa.
Beras dikasih kepada orang itu dan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
kulitnya dibawa pulang. Mati aku melihat kebodohan Si Buyung ini”. Mereka tidak berani membantah atau mencela terus terang karena takut kepada Datuk. Setelah hampir dua bulan mereka berlayar pulang, tibalah kapal itu dengan selamat. Dentuman meriam pun dibunyikan tanda mereka telah tiba kembali. Datuk Penghulu menyuruh menterinya melihat siapa yang membunyikan meriam itu. Ia melihat akan Si Buyung Besar telah pulang dari pelayarannya. Datuk mendapat berita baik-baik dan jawaban yang serupa dengan pelayaran pertama yakni, “Pulang pokok saja”. Datuk hanya menyatakan syukur atas keselamatan mereka dan menekan agar sedikit demi sedikit Buyung Besar dapat menolong orang tuanya. Selesai berbincang-bincang dengan Datuk Penghulu, Buyung Besar pergi menjumpai orang tuanya. Diceritakanlah pengalamannya selama di rantau orang, tentang dagangannya dan sambutan penduduk negeri itu terhadapnya.
Kedua orang
tuanya sangat asyik mendengarkan cerita pengalaman anak tunggalnya itu. Larut malam barulah mereka tidur.
Esok paginya, Buyung Besar memberitahukan
keberangkatannya seraya memohon doa restu orang tuanya. Dengan seizin orang tuanya, Buyung Besar pergi ke tempat Datuk Penghulu.
Datuk berkata,
“Bagaimana Buyung Besar dibawa kemari, jadikah kamu berangkat malam nanti? Pandai besi serta pandai emas dan perak sudah siap menanti dan segala keperluan telah tersedia. Kuli-kuli yang kau bawa berlayar dulu tidak mau lagi pergi. Keberangkatanmu yang ketiga ini ditemani oleh tukang-tukang yang mahir membuat segala macam barang, baik ukiran maupun perabot”. Sebelum kapal berlayar Datuk Penghulu mengumpulkan semua orang yang akan ikut serta dan memerintahkan semua anak buah kapal dan tukang harus
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
menuruti perintah Buyung Besar dan tidak boleh membantah. Siapa yang berani membantah akan dihukum. Jadi sebelum ada perintah Buyung Besar, tidak boleh ada yang mengerjakan sesuatu. Selesai mendengarkan perintah Datuk, kapal itu pun berangkat. Setelah beberapa minggu berlayar, sebuah bayangan hitam berada didepan mereka.
Juru mudi memberitahukannya pada Buyung Besar, kapal mereka
ditujukan kesana. Tiada berapa lama, sampailah mereka. Rupanya bayangan itu tidak lain sebuah pulau yang penuh dengan besi. Namun karena belum ada perintah, mereka tidak berani. Perintah Buyung Besar yang ditunggu-tunggu itu tidak juga ada, sehingga salah seorang diantara mereka menggerutu”. Kalau perintah itu kita tunggu-tunggu, maka satu minggu ini pun kita belum juga akan bekerja. Karena itu, mari kita saja. “Dijawab oleh orang lain,”Yah, tetapi belum ada perintah, nanti kita dimarahi”. “Nah, kita dibawa kemari ‘kan untuk bekerja, kurasa dia tidak akan marah,” kata kawannya. Begitulah, mereka pun bekerja tanpa perintah Buyung Besar dan membuat barang dari besi menurut keahliannya masing-masing. Banyak lemari, kursi, tempat tidur, dan barang lainnya yang sudah mereka kerjakan. Pada suatu hari berkatalah Buyung Besar kepada juru mudi, “Angkat sauh, pasang layer, kita segera berangkat ketengah lagi.
Tidak seorang pun dapat
membawa barang-barang itu”. Mendengar perintah itu mereka merasa kesal dan gelisah, tetapi tidak seorang pun berani membantahnya karena membantah berarti masuk penjara. Juru mudi naik kapal. Kapal pun bergerak meninggalkan pulau besi itu ketengah lautan luas.
Kira-kira lima hari pelayaran juru mudi
menanyakan tujuan mereka berikutnya. Jawaban Buyung Besar singkat saja,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
yakni, “ Ke tengah”.
Juru mudi tidak berani melanjutkan pertanyaan selain
menujukan kapal itu ketengah lautan. Kira-kira sebulan kemudian tampaklah di depan mereka cahaya putih bersinar. Hal itu diberitahukan kepada Buyung Besar dan mendapat perintah agar kapal ditujukan kesana. Kiranya tabiat Buyung Besar selama dalam pelayaran itu tetap tidak banyak bicara. Sehari-harian ia berjalan dari butiran ke haluan sambil menetak-netakkan kapal kecilnya ke tepi dinding kapalnya. Tiada berapa lama kemudian mereka sampai ke tempat asal cahaya putih itu yang tidak lain sebuah pulau yang penuh dengan perak. Melihat perak itu, para tukang tidak dapat lagi menahan diri untuk segera mengerjakannya. Mereka berebut turun ke darat dan bekerja menurut keahliannya masing-masing.
Si
Buyung Besar tidak mengacuhkan mereka itu. Ia hanya mondar-mandir dari haluan ke buritan kapal sambil menetak-netakkan kapak kecilnya. Lebih kurang sebulan lamanya mereka berada di pulau perak itu. Buyung besar memerintahkan agar semua mereka yanag berada di darat naik kapal dan tidak boleh membawa barang-barang yang sudah dibuatnya karena hal itu tidak pernah diperintahkan.
Siapa yang membantah akan dihukum sesuai dengan
hukum Datuk Penghulu ketika berangkat. Para pandai perak itu takut membawa barang buatannya masing-masing dan naik kapal hampa tangan.
Kapal pun
bergerak meninggalkan pulau perak munuju ke tengah lautan. Mereka semua diam merenungkan apa yang akan terjadi berikutnya. Sepekan lamanya mereka berlayar, juru mudi menanyakan keadaan mereka kepada Buyung Besar dan ke mana tujuan berikutnya. Jawab Buyung Besar tetap singkat “ Ketengah lautan”, dan menegaskan bahwa mereka belum diperintahkan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
pulang. Kapal pun ditujukan ke tengah lautan selama berminggu-minggu. Pada pagi hari yang cerah, ketika para pekerja masih tidur nyenyak, juru mudi melihat cahaya merah di depan seolah-olah lautan ini terbakar. Dengan suara keras Ia berteriak “Oh Buyung Besar di muka kita ada ada cahaya merah seakan-akan lautan ini terbakar. Apakah kita putar haluan?” Buyung Besar memerintahkan agar cahaya itu dituju terus.
Dengan hati yang berdebar-debam juru mudi
mengarahkan kapal kea rah cahaya merah itu. Seisi kapal menjadi cemas dan hanya dapat berdoa kepada Tuhan agar dilindungi dari marabahaya.
Sehari
semalam berlayar sampailah mereka ke tempat itu yang tidak lain adalah sebuah pulau yang penuh denagn emas. Kali ini Si Buyung Besar memberi perintah kepada semua tukang untuk bekerja membuat apa saja dalam jumlah yang banyak untuk diri masing-masing. Dia diminta membuat sebuah kapal besar sebesar kapalnya dan sebuah peti berukuran satu depa kali dua depa yang kuncinya dari dalam. Mendengar perintah ini mereka membuat kapal seperti yang diinginkan oleh si Buyung Besar. Mereka bekerja dengan tekunnya dalam suasana gembira. Ringkas cerita, kapal dan peti Si Buyung Besar selesai mereka kerjakan. Begitu pula dengan barang-barang lain menurut selera masing-masing telah selesai. Kemudian mereka diperintahkan untuk memasukkan barang-barang itu ke dalam kapal dan tidak boleh mencampur baur barang yang satu dengan yang lainnya. Demikianlah kapal emas itu penuh dengan barang-barang yang diikatkan pada buritan kapal dan tidak seorangpun boleh menungguinya. Dalam perjalanan pulang, kapal kecil kepunyaan Buyung Besar terjatuh dalam lautan. Karena itu Buyung Besar memerintahkan juru mudi menghentikan kapalnya dan membuang sauh. Kepada semua awak kapal itu ia berkata dan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
berpesan, “Tuan-tuan sekalian, kapak saya sudah jatuh ke laut, sedangkan saya tidak dapat berpisah dengannya, sebab itu saya akan turun ke laut mengambilnya. Kapal kita tidak boleh berangkat sebelum saya kembali ke kapal walaupun setahun lamanya. Makanan dan minuman masih cukup untuk dimakan. Jika sauh itu bergoyang, tandanya saya akan kembali.
Jika tanda itu telah ada, maka
tariklah sauh ini.” Katanya sambil menunjuk ke tali itu.
Selesai berpesan
demikian, ia pun terjun ke dalam laut. Tinggallah mereka di atas kapal menunggu nasib apa yang akan terjadi atas diri Buyung Besar. Di dasar lautan Buyung Besar tercengang melihat sebuah taman dan istana yang megah. Kiranya istana itu adalah istana Raja Lautan. Di sana tinggal, selain para pengawal dan hulubalang, Raja Lautan suami istri bersama putrinya. Di taman itulah putrid raja itu bermain-main. Waktu kapak kesayangan Buyung Besar jatuh, kebetulan putri Raja Lautan sedang berada di sana. Benda yang jatuh itu diambilnya lalu disimpannya dalam biliknya. Tidak seorangpun mengetahui bahwa Tuan Putri mendapatkan kapak itu. Buyung Besar terus pergi mendapatkan seorang yang sedang menjaga di depan istana. Ia memberi salam lalu bertanya “Wahai Tuan yang sedang berjagajaga, saya ini Buyung Besar, dari dunia. Saya datang kemari untuk mencari kapak saya yang jatuh ke dasar laut ini. Tahukah Tuan, siapa yang mendapatkannya? Saya bersedia menebusnya dengan apa saja,” katanya. “Wahai Tuan yang datang dari dunia. Apa yang Tuan katakan sungguh saya tidak tahu. Tetapi, ada baiknya kalau hal Tuan saya sampaikan ke[pada Raja kami. Bersabarlah Tuan menunggu di sini sementara hamba menyampaikan kepada Raja.” Pengawal itupun pergi menghadap rajanya, menyampaikan hal Si Buyung Besar.
Raja Lautan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
memerintahkan agar Si Buyung Besar datang menghadap. Kemudian Buyung Besar pergi meghadap raja dan raja menanyakan, “Hai orang dunia, apa hajat Tuan datang kemari. Katakanlah dengan yang sebenarnya, semoga kami dapat membantu.” Maka diceritakanlah hal kapak yang jatuh itu. Raja berkata, “Kalau begitu istirahatlah dulu agar kukumpulkan rakyatku untuk ditanya siapa yang telah mendapat kapakmu itu.”
Hulubalang diperintahkan memanggil semua
rakyatnya kecuali Tuan Putri.
Kepada hadirin Raja Lautan bertanya, “Hai
rakyatku sekalian, siapakah diantara kalian yang mendapatkan sebuah kapak kecil kepunyaan orang dunia ini?” Tidak seorangpun yang mengaku dan menyatakan pendapatnya. rumahnya.
Karena itu, raja pun memerintahkan agar mereka pulang ke Kemudian Raja berkata kepada istrinya, “Sungguh aneh, tidak
seoarang pun rakyat kita yang mendapatkan kapak orang dunia itu. Kasihan.” Lalu sambungnya, “Tadi tidak kulihat putri kita, di mana dia? Coba panggil, siapa tahu dia yang mendapatkannya”. Sang istri pun pergi memanggil putrinya ke hadapan Raja.
Setelah ditanya, putri raja mengaku bahwa dialah yang
mendapatkan kapak itu waktu bermain-main di dalam taman. Diterangkannya bahwa dia tidak hadir tadi karena tidak dipanggil dan juga tidak ditanya, lalu minta ampun atas kealpaannya itu. Ditegaskannya, kapak itu baru diberikannya setelah mendapatkan tebusan dari orang dunia.
Raja menanyakan kehendak
putrinya sebagai tebusan itu, dan sang Putri menginginkan diri Buyung Besar. Karena itu Raja termenung. Tiada lama berselang hal itu langsung dikatakan kepada orang dunia.
Buyung Besar kembali menyerah dan mengembalikan
persoalan itu kepada Raja Lautan. Baginya tiada pilihan lain selain memenuhi permintaan Tuan Putri, karena dia sendiri telah menjanjikan akan memberikan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
segala apa yang ada padanya. Singkat cerita, raja pun meresmikan perkawinan antara Buyung Besar dan Putri Raja Lautan. Pesta meriah diadakan selama 40 hari 40 malam. Setelah 6 bulan tinggal di dasar lautan bersama istrinya, barulah Buyung Besar teringat kembali kepada teman-temannya yang berada di atas kapal. Suatu hari Buyung Besar berkata kepada istrinya bahwa ia ingin segera pulang ke dunia tempat kawan-kawannya sedang menunggu-nunggu di atas kapal. Sang istri tidak merasa keberatan.
Bersama Buyung Besar ia lalu pergi
menghadap raja untuk minta izin pulang ke dunia. Raja tidak keberatan melepas keduanya malah memberi kepada menantunya sebanyak cincin dan sambungan kemenyan sambil berpesan, ”Aku tahu bahwa didunia berbeda dengan disini. Disana penuh dengan dengki dan iri hati. Karena itu, anakku cincin ini dapat memberimu makan bila kau kehendaki, dan kemenyan ini bakarlah agar kau terhindar dari bahaya”. Esoknya, berangkatlah Buyung Besar bersama istrinya kedunia.
Sesuai
dengan pesannya kepada teman-temannya dikapal, sauh digoyangkannya. Gegerlah penghuni kapal melihat tali sauh bergoyang. kesana, lalu ditarik oleh juru mudi.
Semua mata tertuju
Dan terlihatlah oleh mereka bayangan
Buyung Besar dalam air. Sesampainya diatas kapal, riuhlah teman-temannya dan menanyakan siapa yang melekat dibelakangnya itu.
Buyung Besar dengan
bangga menjelaskan bahwa itu adalah istrinya. Pekerja diperintahkan agar segera membukakan membukakan peti emas untuk memasukkan istrinya kedalamnya. Semua penghuni kapal itu tercengang dan takjub melihat kecantikan istrinya,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
tetapi tidak berani bertanya lagi karena takut akan ditindak Si Buyung Besar. Peti itu disuruh kunci dari dalam oleh istrinya. Kini mereka berangkat pulang. Tiada lama kemudian kapal pun sampai di muara. Meriam dibunyikan tiga kali sebagai tanda bahwa mereka telah datang kesana, tidak ketinggalan Datuk Penghulu. Dari jauh orang ramai telah melihat dua kapal disana.
Satu diantaranya telah dikenal dan satu lagi sangat
mengagumkan karena terbuat dari emas. Karena cahayanya, maka warna air disekitarnya berubah menjadi kuning kemerah-merahan. Kemudian turunlah Si Buyung Besar lalu disambut oleh Datuk Penghulu diiringi sorak sorai. Keduanya segera bersalaman. Buyung Besar ditanyai tentang keuntungan dan hal kapal emas itu. Buyung Besar menjawab bahwa keuntungannya tidak begitu banyak, lalu mempersilahkan Datuk Penghulu naik keatas kapal emas itu. Datuk sangat mengaguminya dan bangga akan hasil pekerjaan Buyung Besar. Dia hilir mudik diatas kapal emas seraya memperhatikan barang-barang dan benda-benda yang terbuat dari emas murni ini, ia tertarik akan peti emas dan menanyakan kepada Buyung Besar. Buyung Besar menjelaskan dan mengutarakan pendapatnya untuk membagi hasil pelayaran mereka itu. “Menurut hamba, Datuk tidak sukar membaginya.
Barang-barang
tumpukan kecil itu dibagikan kepada para pekerja. Yang lainnya, yakni kapal emas dan sebuah peti adalah untuk kita. Bagi hamba cukuplah peti yang kecil itu saja, “Kata Buyung Besar, tetapi Datuk sangat tertarik akan peti itu sejak dilihatnya tadi dan ingin mengetahui istrinya. Mendengar itu Datuk Penghulu bertanya lagi, “Sebelum pembagian yang kau usulkan itu, bolehkah aku mengetahui isi peti emas itu?
“Buyung Besar tidak merasa keberatan lalu
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
dibukanya dan menyatakan bahwa isinya itu adalah istrinya sendiri. Setelah tiga kali ketukan, terbukalah peti itu dari dalam lalu keluarlah istrinya, Putri Raja Lautan. Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak dapat berkata-kata selain menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu. Karena hari sudah mulai malam, orang-orang pun telah pergi meninggalkan muara. Buyung Besar memerintahkan agar awak kapal membagi-bagi barang kecil yang terbuat dari emas itu, jangan ada yang lebih, jangan ada yang kurang. Kemudian Buyung Besar bersama Datuk Penghulu pulang kerumah. Selama dalam perjalanan pulang itu, Buyung Besar terus diam, demikian juga istrinya. Sesampainya di istana Datuk memerintahkan agar mempersiapkan kamar untuk Putri Raja Lautan. Esok harinya para pembantu mempersiapkan pesta selama sepekan untuk menyongsong hari perkawinannya dengan Tuan Putri itu. Ia juga memesan agar Buyung Besar tetap berada di rumahnya dan turut mempersiapkan pesta itu. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Para undangan datang. Tuan kadi pun telah siap pula untuk menikahkan Datuk Penghulu dengan Putri Raja Lautan. Keduanya duduk diatas pelaminan untuk melakukan akad nikah.
Semua pengunjung
kagum menyaksikan
kecantikan Tuan Putri. Mereka memperkatakan betapa malangnya nasib Buyung Besar, istrinya yang cantik harus diserahkan kepada Datuk. Orang yang lain
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
menjawab pula. “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih dan itu adalah takdir baginya”.
Ketika akad nikah akan berlangsung Buyung Besar
meninggalkan ruangan itu lalu duduk seorang diri dihalaman sembari membakar kemenyan pemberian mertuanya Raja Lautan disertai doa (mantra). Waktu berlangsung akad nikah itu, tiba-tiba Datuk Penghulu berubah pikiran.
Ia tidak dapat melakukan akad nikah dengan sempurna walaupun
ditunjuki Tuan Kadhi berulang kali.
Bahkan Datuk Penghulu tidak dapat
menguasai dirinya lalu berdiri sambil mencak-mencak. tiarap seperti orang berenang.
Adakalanya kalanya
Demikianlah ia untuk beberapa saat lamanya
disaksikan oleh orang yang hadir disitu. Dalam keadaan demikian Tuan Kadhi turun kehalaman menjumpai Buyung Besar. Ia berkata,’’kiranya cukuplah sudah hukuman yang ditimpakan Tuhan kepada Datuk Penghulu. Kuharap ampunilah dia.“ Buyung Besar pun tersentak dari lamunannya lalu memandang Tuan Kadhi seraya berdiri. Buyung Besar berkata, “barangkali benar kata Bapak, marilah kita menemuinya ke ruangan.” kepayahan.
Terlihatlah oleh mereka Datuk Penghulu sedang
Didekatinya Datuk itu seraya meletakkan tangannya di atas
kepalanya. Begitupun mulai sadar. Beberapa saat kemudian Datuk Penghulu benar-benar telah sadar, lalu berucap kepada hadirin bahwa ia tidak jadi melangsungkan pernikahannya dengan Tuan Putri. Saat itu juga diumumkan bahwa Buyung Besar dinikahkan kepada Tuan Putri Raja Lautan dan saat itu pula ia mengundurkan diri dari jabatan Datuk seraya menunjukkan Buyung Besar sebagai penggantinya.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Demikianlah pesta untuk perkawinan Datuk Penghulu itu beralih menjadi pesta perkawinan Buyung Besar dengan Putri Raja Lautan. Kemudian Buyung Besar menjadi Datuk dan memerintahkan negeri dengan adil dan bijaksana. Mereka hidup bahagia, demikian juga masyarakatnya bertambah makmur adanya. 2.2
Tema Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dari sejumlah unsur
pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah keseluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tidak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut. Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda, tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro (2001: 80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan.
Pembagian Shipley ini
berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan paling sederhana sampai tingkatan yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut : a.
Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul (man as molecul). Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran atau ditunjukkan oleh
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutran serta unsur latar dalam tema tingkat ini mendapatkan penekanan. b.
Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma (man as protoplasm). Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan masalah seksualitas.
Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia
mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang. c.
Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial (man as socius). Tema karya sastra ini menyangkut kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat
berinteraksinya
manusia
dengan
manusia
dan
lingkungan,
mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propoganda, hubungan atasan dan bawahan, dan berbagai masalah yang muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. d.
Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu (man as individualism). Disamping sebagai makhluk sosial manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa menuntut pengakuan hak atas individualitasnya.. dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun memiliki banyak permasalahan dan konflik.
e.
Tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Masalah yang menonjol dalam tema ini adalah masalah hubungan manusia dan sang pencipta, masalah religius, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang bukan pekerjaan yang mudah.
Berhubung tema tersembunyi di balik cerita,
penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang sacara keseluruhan membangun cerita itu. Lubis ( 1998:25 ) untuk mengetahui tema sebuah karyasastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu:
(a) melihat persoalan yang paling menonjol;
(b) menghitung waktu
penceritaan; (c) melihat konflik yang paling banyak hadir. Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Si Buyung Besar termasuk cerita yang tegolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang kehidupan sosial seorang anak. Masalah dalam cerita ini adalah masalah hubungan manusia dengan manusia. Atau hubungan kasih sayang antara seorang datuk dan seorang anak yang selalu mematuhi perintah sang datuk sehingga muncul keegoisan dari sang datuk. Untuk menentukan tema dalam cerita rakyat Si Buyung Besar ini maka penulis menggunakan pendapat Mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya sastra berdasarkan tiga hal yaitu : a.
Persoalan yang paling menonjol dalam cerita Si Buyung Besar adalah masalah tingkah laku.
b.
Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita Si Buyung Besar menceritakan tentang sosial dan kepahlawanan.
c.
Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita Si Buyung Besar adalah tentang tingkah laku dan keegoisan.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan ketiga hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tema dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah tentang sosial dan kepahlawanan.
2.3
Alur Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang
yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur karya sastra yang lain.
Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering lebih
ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karana itu dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141). Namun, plot sebuah cerita sering tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian akhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau dibagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun. Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula. Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Lubis (1998: 10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima tahapan. Kelima
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
tahapan tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur pada sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan tersebut adalah : a.
Tahap penyituasian (tahap situation), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain. Berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b.
Tahap pemunculan konflik (tahap generating circumstances), masalahmasalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai mencuat.
Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan
konflik itu sendiri akan berkembang
dan akan dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya. c.
Tahap peningkatan konflik (tahap rising action), konflik yang telah dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
dikembangkan kadar intensitasnya.
semakin
berkembang
dan
Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. d.
Tahap klimaks (tahap climax), konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita pencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
e.
Tahap penyelesaian (tahap denouement), konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah plot lurus atau plot progresif.
Artinya, bahwa dalam ceria rakyat Si
Buyung Besar pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan akhir situasi dan tidak terdapat alur sorot balik (flashback) pada setiap bagian dari alur cerita tersebut. Adapun pentahapan alur dalam cerita Si Buyung Besar adalah sebagai berikut : a.
Tahap penyituasian (tahap situation), ini pengarang mulai menceritakan maupun melukiskan situasi latar, tokoh cerita, dan pembukaan cerita. Hal ini dapat kita lihat dari petikan cerita pada awal cerita ini, yaitu : Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian. Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya. Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 16-17 Pada awal cerita ini pengarang sudah memainkan atau memulai cerita dari lingkungannya dahulu. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan di atas “Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun masih kuat tinggallah seorang...” pada penggalan ini pengarang mencoba memulai awal ceritanya.
Lalu pengarang mengaitkannya dengan tokoh yang akan
dimasukkan di dalam cerita yang dapat kita lihat pada penggalan berikut ini, Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 17 Lalu terjadinya satu kesatuan yang utuh pada awal cerita ini. Sedikit demi sedikit pengarang mulai memasukkan tokoh ke dalam isi cerita sehingga tampaklah cerita akan segera dimulai oleh pengarang. Dari penggalan cerita di atas pengarang sudah memasukkan unsur-unsur yang selalu ada dalam sebuah karya sastra yaitu, waktu, tempat dan lingkungan kejadian cerita. Adanya faktorfaktor di atas yang membentuk sebuah cerita yang saling berkaitan merupakan kesatuan yang bulat dalam cerita rakyat Si Buyung Besar. b.
Tahap pemunculan konflik (tahap generating circumstances), tahap ini dimulai dengan masalah dan peristiwa-peristiwa yanga akan mencuatkan konflik seperti, keanehan yang dilakukan oleh Si Buyung Besar yang setiap harinya ia sering bermain-main di atas pohon dengan kapak kecilnya
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
kesayangannya dengan memukul-mukul dan bernyanyi yang aneh dan lucu kedengarannya. Maka kedua orang tuanya ingin menyerahkannya kepada datuk Penghulu. Hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita berikut, Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya. Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Hal : 16-17 Dari penggalan cerita di atas sudah terlihatlah permasalahan dan peristiwa yang menyebabkan konflik mencuat dari sifat Si Buyung Besar sehingga Si Buyung Besar pun diserahkan kepada Datuk Penghulu untuk dididik dan dibesarkan. Dari gambaran dan penggalan cerita ini jelas bahwa penulis mulai menggerakkan jalan cerita sehingga pembaca atau penikmat karya sastra ingin lebih mengetahui jalannya ataupun isi cerita selanjutnya. c.
Tahap peningkatan konflik (tahap rising action), pada tahap ini penulis sudah
ingin menampakkan maksud dan tujuan penulis terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar ini.
Keadaan cerita peningkatan konflik ini
ketika Si Buyung Besar
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
melakukan pelayaran yang diperintah Datuk Penghulu, dari awal pelayaran dengan sikap dan sifat yang aneh sampai akhir dari pelayarannya. Hal ini dapat kita lihat dari penggalan cerita berikut : Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas lautan. Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Buyung Besar berkata kepada penduduk negeri itu. “Hai penduduk kampong, siapa yang hendak membeli barang daganganku ini. Aku membawa buah kelapa”. Segera penduduk kampung itu dating beramai-ramai dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai uang untuk membayarnya. “Barang siapa yang ingin mengerjakan buah kelapa ini saya berikan. Minyak kelapanya ambillah untuk kalian. Sabut-sabut dan tempurungnya isikan kembali kedalam kapal hamba”. Katanya. Mendengar ucapan demikian penduduk kampung sangat gembira dan senang hati. Beberapa minggu berselang, selesai pekerjaan mereka itu. Seluruh sabutsabut dan tempurung kelapa telah diisikan kembali kedalam kapal Si Buyung Besar. Penduduk kampung itu mengucapkan terima kasih kepada Si Buyung Besar atas kebaikan hatinya seraya memohon agar dibawakan kembali buah kelapa yang lain kalau masih ada. Kembali mereka berlayar mengarungi lautan menuju kampung halamannya. Berbulan-bulan lamanya mereka di laut barulah sampai ditempat asalnya. Meriam dibunyikan pertanda bahwa mereka telah kembali dengan selamat. Mendengar dentuman itu Datuk Penghulu segera menjumpainya ditambatan kapal seraya menanyakan kabar Buyung Besar. Buyung Besar menyampaikan kabar baik serta memberitahu bahwa hasil dagangannya itu “Pulang Pokok saja”. Datuk Penghulu tidak ambil pusing walaupun Si Buyung Besar yang dimodalinnya itu kembali tanpa untung. Di tempat Datuk Penghulu Buyung Besar menyerahkan kebijaksanaan selanjutnya kepada Datuk Penghulu. Segera isi kapal itu dibersihkan, dikeluarkan dari dalam kapal serta menanyakan apakah Buyung Besar ingin berlayar lagi. Buyung Besar mengiakan dengan syarat kalau ada modal lagi ia akan menyanggupinya. Kali ini yang dibawa adalah padi. Para kuli memuat kapal itu penuh dengan padi, tetapi orangnya telah berganti bukan lagi mereka yang ikut berlayar pertama kali. Hal : 18-19 Dari awal pelayaran dengan sikap dan sifat yang aneh sampai akhir dari pelayaran yang membuat para kuli-kuli yang pertama ikut tidak lagi mau ikut dan digantikan dengan kuli-kuli yang baru dengan kepandaian yang berbeda pada pelayaran berikutnya. Hal ini dipertegas dengan penggalan cerita,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Malam itu Buyung Besar bersama pembantu-pembantunya berangkat menuju lautan dengan barang dagangan padi. Pelayaran ini lebih lama dari yang pertama. Akhirnya mereka sampai di sebuah negeri lain (bukan negeri persinggahan semula). Buyung Besar berkata, “Hai penduduk kampung, saya ingin berjumpa dengan kalian”. Penduduk negeri itu menanyakan diri Si Buyung Besar dantentang tujuan mereka datang di tempat itu. Setelah menjelaskan diri dan kedatangannya, ia pun berkata, “Kalau kalian hendak menumbuk padi yang kami bawa, silahkan. Berasnya kami hadiahkan kepada kalian tetapi segala kulit-kulitnya keluarkan lalu masukkan kembali kedalam kapal ini”. Dengan senang hati penduduk negeri itu bekerja keras menumbuk padi. Setelah dua bulan berselang selesailah pekerjaan menumbuk padi itu dan kulitnya pun telah masuk kedalam kapal Buyung Besar yang baik hati. Mereka mengharapkan Buyung Besar kembali membawa dagangan serupa itu dan mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya. Setelah pamit dari penduduk kampung itu mereka pun kembali berlayar menuju kampung halaman. Antara sesama kuli-kuli terdengar ocehan, “Alangkah bodohnya dan bencinya aku melihat tingkah Si Buyung Besar ini. Seenaknya saja memberikan padi-padi itu kepada orang lain. Kita telah bekerja keras menolongnya, mematuhi segala perintahnya tetapi tidak diberi apa-apa. Beras dikasih kepada orang itu dan kulitnya dibawa pulang. Mati aku melihat kebodohan Si Buyung ini”. Mereka tidak berani membantah atau mencela terus terang karena takut kepada Datuk. Setelah hampir dua bulan mereka berlayar pulang, tibalah kapal itu dengan selamat. Dentuman meriam pun dibunyikan tanda mereka telah tiba kembali. Datuk Penghulu menyuruh menterinya melihat siapa yang membunyikan meriam itu. Ia melihat akan Si Buyung Besar telah pulang dari pelayarannya. Datuk mendapat berita baikbaik dan jawaban yang serupa dengan pelayaran pertama yakni, “Pulang pokok saja”. Hal : 20-21 Penggalan cerita ini memperlihatkan bahwa penulis sudah ingin mencapai klimaks cerita sehingga memunculkan alur yang semakin memuncak dan mendekati klimaks, terlihat dari adanya tingkah laku Si Buyung Besar yang aneh dalam pelayaran yang membuat semua para kuli tidak suka dengan tingkah lakunya yang aneh tersebut. d.
Tahap puncak (tahap climax), puncak cerita ini yaitu ketika kepulangan Si Buyung Besar yang disambut oleh Datuk Penghulu. Hal ini diketahui dengan Datuk Penghulu yang menginginkan peti emas yang berisikan isteri dari Si Buyung Besar yang dibawanya sejak awal, dan terlihat oleh Datuk Penghulu.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Kemudian Datuk Penghulu yang pada akhirnya memutuskan pembagian dimana hasil berupa kapal emas dan hasil lainnya diserahkan kepada Si Buyung Besar dan isi dari peti emas yang tidak lain adalah isteri Si Buyung Besar menjadi bagian Datuk Penghulu dan ingin dinikahi oleh Datuk Penghulu. Akhirnya, Si Buyung Besar pun menuruti semua perintah Datuk Penghulu. Hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita berikut, Menurut hamba, Datuk tidak sukar membaginya. Barang-barang tumpukan kecil itu dibagikan kepada para pekerja. Yang lainnya, yakni kapal emas dan sebuah peti adalah untuk kita. Bagi hamba cukuplah peti yang kecil itu saja, “Kata Buyung Besar, tetapi Datuk sangat tertarik akan peti itu sejak dilihatnya tadi dan ingin mengetahui istrinya. Mendengar itu Datuk Penghulu bertanya lagi, “Sebelum pembagian yang kau usulkan itu, bolehkah aku mengetahui isi peti emas itu? “Buyung Besar tidak merasa keberatan lalu dibukanya dan menyatakan bahwa isinya itu adalah istrinya sendiri. Setelah tiga kali ketukan, terbukalah peti itu dari dalam lalu keluarlah istrinya, Putri Raja Lautan. Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak dapat berkata-kata selain menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu. Hal : 28-29 Dari penggalan cerita di atas sudah terlihatlah puncak (climax) dari cerita rakyat Si Buyung Besar. e.
Tahap penyelesaian cerita (tahap denouement) ini adalah ketika tidak dapatnya melakukan pernikahan dengan sempurna dan bahkan Datuk Penghulu tidak dapat menguasai diri (seperti orang gila). Pada akhirnya Si Buyung Besar pun meletakkan tangan dan memaafkannya (Datuk Penghulu). Akhirnya Datuk Penghulu benar-benar sadar lalu menikahkan Si Buyung Besar dengan Puteri Raja Laut dan mengumumkan ia mundur dari jabatan sebagai seorang Datuk. hal ini terlihat pada penggalan cerita berikut,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Waktu berlangsung akad nikah itu, tiba-tiba Datuk Penghulu berubah pikiran. Ia tidak dapat melakukan akad nikah dengan sempurna walaupun ditunjuki Tuan Kadhi berulang kali. Bahkan Datuk Penghulu tidak dapat menguasai dirinya lalu berdiri sambil mencak-mencak. Adakalanya kalanya tiarap seperti orang berenang. Demikianlah ia untuk beberapa saat lamanya disaksikan oleh orang yang hadir disitu. Dalam keadaan demikian Tuan Kadhi turun kehalaman menjumpai Buyung Besar. Ia berkata,’’kiranya cukuplah sudah hukuman yang ditimpakan Tuhan kepada Datuk Penghulu. Kuharap ampunilah dia.“ Buyung Besar pun tersentak dari lamunannya lalu memandang Tuan Kadhi seraya berdiri. Buyung Besar berkata, “barangkali benar kata Bapak, marilah kita menemuinya ke ruangan.” Terlihatlah oleh mereka Datuk Penghulu sedang kepayahan. Didekatinya Datuk itu seraya meletakkan tangannya di atas kepalanya. Begitupun mulai sadar. Beberapa saat kemudian Datuk Penghulu benar-benar telah sadar, lalu berucap kepada hadirin bahwa ia tidak jadi melangsungkan pernikahannya dengan Tuan Putri. Saat itu juga diumumkan bahwa Buyung Besar dinikahkan kepada Tuan Putri Raja Lautan dan saat itu pula ia mengundurkan diri dari jabatan Datuk seraya menunjukkan Buyung Besar sebagai penggantinya. Demikianlah pesta untuk perkawinan Datuk Penghulu itu beralih menjadi pesta perkawinan Buyung Besar dengan Putri Raja Lautan. Kemudian Buyung Besar menjadi Datuk dan memerintahkan negeri dengan adil dan bijaksana. Mereka hidup bahagia, demikian juga masyarakatnya bertambah makmur adanya. Hal : 30
2.2
Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertia tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2001:218). Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan demikian merasa dipermudah dimungkinkan
untuk untuk
“mengoperasikan” berperan
serta
daya secara
imajinasi-nya, kritis
disamping
sehubungan
dengan
pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang di ceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
sebenarnya menjadi bagian dirinya.
Hal ini akan terjadi jika latar mampu
mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita. Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempa, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masingmasing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang digunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu maupun lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang di
jumpai dalam dunia nyata misalnya hutan, pantai, desa, kota, kamar, dan lainlain. b.
Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.
Pembaca berusaha
memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan.
Adanya persamaan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
perkembangan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi. c.
Latar sosial, latar ini menyarankan poada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai
masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain. Setelah penulis membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka latar yang terdapat dalam cerita tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Latar tempat, latar tempat yang ada dalam cerita rakyat Si Buyung Besar yaitu :
a. Di rumah Datuk Penghulu tempat Si Buyung Besar dibesarkan dan di didik oleh Datuk Penghulu. Kutipan cerita yang menegaskannya adalah, Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 17 b. Di lautan dan di pulau, tempat Si Buyung Besar berlayar dan berniaga yang diperintah oleh Datuk Penghulu. Hal ini bisa kita lihat dalam penggalan cerita berikut,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas lautan. Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Buyung Besar berkata kepada penduduk negeri itu. “Hai penduduk kampung, siapa yang hendak membeli barang daganganku ini. Aku membawa buah kelapa”. Segera penduduk kampung itu dating beramai-ramai dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai uang untuk membayarnya. “Barang siapa yang ingin mengerjakan buah kelapa ini saya berikan. Minyak kelapanya ambillah untuk kalian. Sabut-sabut dan tempurungnya isikan kembali kedalam kapal hamba”. Katanya. Mendengar ucapan demikian penduduk kampung sangat gembira dan senang hati. Hal : 18 c. Di dasar lautan, tempat Si Buyung Besar menemukan jodohnya. Hal ini dapat kita lihat dari penggalan cerita berikut, Singkat cerita, raja pun meresmikan perkawinan antara Buyung Besar dan Putri Raja Lautan. Pesta meriah diadakan selama 40 hari 40 malam. Setelah 6 bulan tinggal di dasar lautan bersama istrinya, barulah Buyung Besar teringat kembali kepada teman-temannya yang berada di atas kapal. Hal : 27 d. Di atas pohon, tempat Si Buyung Besar bermain-main dan menetak-netakkan kapaknya sambil bernyanyi. Hal ini dapat kita lihat dari penggalan cerita berikut, Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. Hal : 16 2.
Latar waktu, dalam cerita Si Buyung Besar ini seperti yang biasa pada sebuah karya sastra lama klasik lainnya. Dalam cerita Si Buyung Besar ini waktu yang diceritakan sebahagian besar tidak dinyatakan dengan tepat dan jelas. Misalnya pada zaman dahulu, pada suatu hari, setelah beberapa minggu setelah beberapa tahun, seminggu, beberapa minggu, setelah dua bulan, akhinya mereka sampai, lebih kurang, sepekan lamanya, dan sebagainya. Dan tidak jarang juga disebutkan jangka waktunya, seperti 40 hari 40 malam, satu
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
malam, dua malam, minggu berganti bulan, dua bulan berlayar, 6 bulan tinggal di dasar lautan, dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan cerita berikut, Pesta meriah diadakan selama 40 hari 40 malam. Setelah 6 bulan tinggal di dasar lautan bersama istrinya, barulah Buyung Besar teringat kembali kepada teman-temannya yang berada di atas kapal. Hal : 27 Setelah itu juga tampak latar yang meliputi waktu dari penggalan cerita berikut, Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas lautan. Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Hal : 18 3.. Latar sosial, dalam cerita Si Buyung Besar adalah keadaan sosial secara keseluruhan yang ada di dalam cerita.
Bila ditinjau dari segi
kemasyarakatannya akan terlihat adanya sikap masyarakat Melayu terhadap Datuk. Dalam kaitan ini Datuk dinyatakan sebagai orang yang dituakan dan bisa dikatakan sebagai wali Tuhan. Adanya gelar ini menampakkan adanya Stratifikasi atau pelapisan sosial yang terdapat pada masyarakat. Karena Datuk adalah orang yang dianggap berpengaruh, mendidik, dan memancarkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Suasana umum tokoh cerita yang termasuk di dalam latar ini dimaksudkan untuk memudahkan tanggapan terhadap masalah yang akan timbul kemudian. Dalam kesempatan ini, latar yang membawa sebagian perwatakan atau tokoh akan dibahas pada penokohan.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
2.4
Watak dan Perwatakan Dalam pembicaraan sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya, tidak menyaran pada pengertian yang persis sama, walau ada diantaranya sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada tehknik pengembangannya dalam sebuah cerita. Istilah “tokoh” menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan : “ Siapakah tokoh utama cerita rakyat itu?”, atau “Ada berapa orang pelaku dalam cerita rakyat itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita itu?”, dan sebagainya.
Watak, perwatakan, dan
karakter, menunjukkan pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi, karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.
Atau seperti dikatakan oleh (Jones dalm
Nurgiyantoro, 2001:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan pada sebuah cerita. Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokohtokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2001:165). Dengan demikian, karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Antara seorang tokoh dengan perwatakan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Hal itu terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti Sampuraga dengan sifat-sifat jahatnya dan lain-lain. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis- berkembang-tipikal.
Adapun jenis-jenis tokoh cerita
tersebut adalah : a.
Tokoh utama dan tokoh tambahan Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya di munculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita yang bersangkutan.
b.
Tokoh protagonis dan antagonis Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Membaca sebuah karya sastra, pembaca, sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tertentu, memberikan simpati, dan simpati melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (Alterbend dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2001:178). Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang mendahulukan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Demikian pula sebaliknya, tokoh antagonis, adalah tokoh yang menampilkan seseuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita, tidak seseuai denhan norma-norma dan nilai-nilai yang tidak ideal bagi kita. c.
Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memilki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Dan tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kpribadiannya, dan jati dirinya. Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar dapat diketahui watak dan perwatakannya sebagai berikut :
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
1.. Watak atau Tokoh Cerita Tokoh utama dari cerita rakyat Si Buyung Besar adalah Si Buyung Besar karena tokoh ini adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dalam cerita rakyat tersebut. Mulai dari awal cerita sampai akhir cerita, fokus cerita lebih banyak ditujukan kepada Si Buyung Besar. Sedangkan tokoh tambahan dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah tokoh Datuk Penghulu. Tokoh ini merupakan tokoh yang melengkapi cerita saja, walaupun tokoh ini juga memiliki kapasitas yang hampir sama dengan tokoh Si Buyung Besar namun porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh Si Buyung Besar. 2.
Perwatakan atau Penokohan Tokoh cerita dalam cerita rakyat Si Buyung Besar hanya ada dua yaitu Si Buyung Besar dan Datuk Penghulu. Adapun perwatakan dari kedua tokoh ini adalah :
a. Si Buyung Besar Si Buyung Besar adalah tokoh yang memiliki sifat yang sabar.
Hal ini
terlihat ketika ia mendapatkan seorang putri yang cantik dari hasil pengembaraannya di dasar laut. Ketika sampai didaratan akan direbut oleh orang tua angkatnya sendiri (Datuk Penghulu), Ia tetap sabar menerima apa adanya dengan menjalankan wasiat mertua, dan akhirnya dia berbahagia. Hal ini dapat kita lihat dalam penggalan cerita berikut, Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
dapat berkata-kata selain menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu. Hal : 29 Selain sabar, Si Buyung Besar juga adalah seorang anak yang berkemauan keras dan berbakti kepada orang tuanya. Dimana ia selalu mencoba suatu pekerjaan yang diberikan tanpa adanya kebosanan. Hal ini terlihat ketika Si Buyung Besar diminta untuk pergi berlayar oleh orang tua angkatnya (Datuk Penghulu) hingga terus menerus dan akhirnya berhasil. Hal ini dapat dilihat dari penggalan cerita berikut, Suatu hari Datuk Penghulu menanyakan maksud nyanyian itu kepada si Buyung Besar. “Apa maksud tak ada paksa dicari-cari, ada paksa dibuangbuang”. Buyung Besar menjelaskan bahwa ia tidak tahu artinya dan menyatakan bahwa itulah nyanyiannya setiap hari. Kemudian Datuk Penghulu menanyakan apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut saja segala keinginan Datuk Penghulu. Dan Si Buyung Besar meminta dibuatkan sebuah kapal untuk dibawa berlayar. Hal : 17 b.
Datuk Penghulu Datuk Penghulu adalah tokoh yang memiliki sifat yang ambisius atau egois. Keegoisannya yaitu terlihat ketika ia ingin memiliki istri dari anak angkatnya sendiri (Si Buyung Besar). Namun akhirnya keinginannya gagal dan ia pun menyesal. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut, Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada Buyung Besar, “usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Hal : 29 Selain bersifat ambisius atau egois, tokoh Datuk Penghulu juga digambarkan sebagai tokoh yang patut dipuji kekerasan dan ketabahan atau kesabarannya. Hal ini dapat terlihat ketika ia membimbing anak angkatnya dari kecil hingga
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
dewasa sehingga menjadi anak yang berguna. Hal ini dapat dilihat pada penggalan cerita berikut, Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Setelah beberapa tahun berselang Si Buyung Besar pun telah dewasa, perangainya telah jauh berubah. Hal : 17 Demikianlah paparan watak dan perwatakan dalam cerita rakyat Si Buyung Besar. Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa watak atau tokohnya hanya dua orang saja, yaitu Si Buyung Besar dan Datuk Penghulu digambarkan pengarang dengan sangat baik sekali karena watak kedua tokoh tersebut sangat hidup layaknya manusia dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan perwatakannya yang digambarkan oleh pengarang seperti sifat dan perilaku manusia dalam kehidupan yang nyata.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR MASYARAKAT MELAYU SERDANG
3.1
Adat Istiadat Menjunjung Duli Megahnya suatu gelar sebenarnya haruslah diakui dan kelihatannya sudah
berakar bagi bangsa dan negara yang tinggal di kepulauan nusantara khususnya. Karena hal tersebut berkaitan erat dengan tinggi rendahnya kedudukan sosial seseorang. Dalam kaitan ini gelar yang dimaksukan adalah gelar raja, karena kedudukan bukan karena gelar kebangsawanan. Adanya unsur-unsur mitologis mengenai asal usul para raja dihubungkan dengan awal kehidupan manusia di dunia ini. Misalnya seperti penghuni surgawi dari dunia khayangan, mereka dianggap sebagai nenek moyang raja-raja dan oleh karena itu mereka memperoleh martabat yang tinggi. Mengingat kedudukan seorang raja yang istimewa itu, maka dalam histografi tradisional dimuatlah tentang geneologi raja-raja dengan biografi mereka. Silsilah raja disusun tidak lagi secara historis realistis tetapi secara kosmis-religiomagis (di luar kekuatan yang ada pada manusia biasa). Kebudayaan Islam memabawa perubahan terhadap pengertian raja yang dipandangnya tidak lagi seperti Dewa, akan tetapi bagi manusia biasa. Penghormatan terhadap raja tetap besar akan tetapi hanya sebatas berkewajiban menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijaksana. Dalam kaitan ini hubungan raja dengan rakyat digambarkan melalui daulat serta durhaka. Raja berdaulat diseluruh kerajaannya dan rakyat menjunjung daulat tersebut.
Akan tetapi,
apabila raja tidak lagi bertindak sebagai pelindung rakyat, maka menjadi hak rakyat menggalah kedaulatan raja. Hal ini seseuai dengan pepatah Melayu,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Raja adil raja disembah Raja zalim raja disanggah. Dari ungkapan di atas tampak jelas bahwa selama raja masih berbuat adil serta mencintai rakyatnya maka raja dapat dipatuhi, namun tentangan akan timbul dari rakyat apabila raja tidak lagi bisa menjadi pelindung rakyat. Dalam buku Adat Raja-Raja Melayu edisi Sujiman (1982:133), dijelaskan, ”Kelakian maka adalah seorang raja itu telah dikarunia Allah Ta’ala dilebihkan daulanya, yakni tuahnya. Maka adalah yang bernama tuah itu banyak namanya : apakah ia duduk kepada menteri, bertuah namanya; jika ia duduk kepada orang kebanyakan, beruntung namanya. Demikian lagi pada di mana tempat yang didudukinya oleh tuah itu, kesemuanya jadi menjadi baik semata-mata jau adanya. Istimewa pula jika duduk pula tuah itu kepada raja kerajaan, maka dinamai akan dia berdaulat. Maka tatkala itu segala manusia pun kasih sayang dan takut akan dia. Maka mereka itu pun menurutlah seorang perkataannya, dan memuji-muji atas segala kelakuan dan relalah segala mereka itu menerima segala hukumannya.” Adanya adat menjunjung Duli ini dimaksudkan untuk menunjukkan penghormatan terhadap seseorang yang lebih tinggi martabat atau pun kedudukannnya. Cara memberi penghormatan itu tentunya berbeda dalam setiap bangsa, suku bangsa, atau golongan. Dalam hal ini raja diberi sembah harus membalas sembah. Tengku H.M. Lah Husny (Fadilla 1989:150), mengemukakan adat menjunjung Duli atau menghadap raja di istana, ”Pertama, kedua belah tangan dengan jari-jari lurus dipertemu-rapatkan, tersusun rata empu jari dengan empu jari dan kelingking dengan kelingking. Kedua, kedua tangan diangkat dan di letakkan kedua ujung empu jari diantara dua alis mata. Ketiga kaki kiri berlutut, kaki kanan tegak lurus hingga lutut, kemudian baru boleh menyembah (boleh juga duduk bersila)”. Adat menjunjung Duli dalam kerajaan atau istana Melayu akan kelihatan pada saat orang bawahan baik itu bendahara, hulubalang, maupun dayangdayang. Dalam hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
“Kemudian Datuk Penghulu menanyakan apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut saja segala keinginan Datuk Penghulu. Dan Si Buyung Besar meminta dibuatkan sebuah kapal untuk dibawa berlayar. Datuk Penghulu bersedia membuatkan sebuah kapal”. Hal: 18
Maka kalau kita lihat dari penggalan cerita di atas bahwasanya Si Buyung Besar adalah anak angkat dari Datuk Penghuluyang patuh dan taat akan perintah dari Datuk Penghulu. Si Buyung Besar selalu menjalankan yang perintah yang diembannya, seperti kita lihat pada penggalan cerita diatas ia disuruh berniaga ke luar negeri. Dapat juga kita lihat dari penggalan lainnya yaitu, “Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, katanya. Buyung Besar tidak menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak dapat berkata-kata selain menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu”. Hal : 30 Pada penggalan ini juga kita lihat bahwa Si Buyung Besar, juga sebagai anak yang patuh dan taat akan perintah serta sabar akan keinginan dari Datuk Penghulu, yang dapat dapat kita lihat dari penggalan cerita di atas. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa adat istiadat menjunjung duli dalam sistem lapisan masyarakat Melayu atau kerajaan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pada masa lalu.
Walaupun ada perbedaannya adalah
proseduralnya saja, akan tetapi prinsipnya sama.
Apa pun istilahnya pokok
prinsip dari adat istiadat menjunjung duli ini tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk penghormatan. Timbulnya bentuk penghormatan ini dikarenakan adanya perbedaan lapisan sosial di dalam masyarakatnya. Hal ini tidak hanya ditemui di dalam istana kerajaan atau kesultanan kerajaan Melayu pada masa lalu, akan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
tetapi juga ditemui dalam kehidupan sosialpada saat ini (versinya berbeda), seperti hubungan atasan dan bawahan sehingga terjadilah hubungan yang harmonis.
3.2
Lapisan Masyarakat Soekanto (1989), mengatakan umumnya sistem berlapis-lapis di dalam
masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Biasanya yang menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat terjadi dengan sendirinya adalah dari kepandaian, tingakat umur (senior), sifat keaslian anggota kerabat seseorang anggota masyarakat dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan-alasan yang dipakai dalam masyarakat adalah berlainan tiap-tiap masyarakat.
Pada masyarakat yang
hidupnya berburu hewan yang dijadikan alasan utama adalah kepandaian berburu hewan, sedangkan masyarakatnya yang hidupnya dari melaut maka yang dijadikan alasan utama adalh kepandaian melaut. Jadi, lapisan masyarakat itu ada sejak manusia mengenal kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Hal ini ditegaskan oleh Sorokin (Soekanto, 1989: 219-220), “Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atasan tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat, tetapi kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif, yaitu mereka yang memiliki uang banyak, misalnya akan mudah sekali mendapat tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan, sedangkan mereka yang mepunyai kekuasaan yang besar, mudah menjadi kaya dan mengusahakan ilmu pengetahuan”. Kemudian ditegaskan lagi oleh Surokin (Soekanto, 1989: 220) yakni, “Lapisan masyarakat (sosial stratification), adalah pembedaan penduduk tau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak hanya keseimbangan dalam pembagian hak-
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
hak, kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial, dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat”. Bila kita tinjau dari sifatnya sistem lapisan dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan bersifat terbuka (open social stratification).
Yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya
seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas dan gerak ke bawah. Dalam sistem ini salah satu cara untuk masuk menjadi anggota dari suatu masyarakat adalah dengan kelahiran. Sedangkan sebaliknya sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan atau untuk mereka yang tidak beruntung akan jatuh ke lapisan yang rendah atau di bawahnya. Pada umumnya sistem terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk jadikan landasan pembangunan masyarakat dari sistem tertutup. Dalam masyarakat Melayu juga kita kenal adanya lapisan masyarakat, yaitu golongan bangsawan dan golongan rakyat biasa atau orang kebanyakan, maka diberilah nama turunan bangsawan di depan nama anak turunan itu sebagai suatu kode dalam turunan martabatnya atau tingkatan martabatnya, sebab turunan bangsawan itu bertingkat.
Gelar kebangsawanan dalam masyarakat Melayu
bersifat tertutup (closed social stratification).
Artinya, seorang rakyat biasa
hampir tidak mungkin meninggikan derajatnya untuk menelusuri kelas bangsawan. Disebabkan oleh karena gelar dalam masyarakat Melayu dikarenakan oeh kelahiran. Hal ini terdapat pada cerita rakyat Si Buyung Besar, Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Hal : 18 Dari cerita di atas tampaklah jelas bahwa gelar Datuk yang di dapat oleh Datuk Penghulu adalah dari kelahirannya. Lalu gelar itu turun pada keturunannya (anaknya).
Dalam masyarakat Melayu merupakan suatu tanda bukti tentang
keturunannya, hal ini untuk membedakan gelar yang diperoleh karena kedudukan dan kehormatan.
Artinya gelar yang dimaksud adalah secara otomatis akan
diperoleh hak memakainya sebaik seorang anak lain tanpa melalui upacara adat atau memotong qurban. Dalam adat istiadat Melayu. Pada mulanya gelar kebangsawanan dalam masyarakat Melayu telah diatur dalam buku mengenai “Adat Raja-Raja Melayu” edisi Sudjiman (1982).
Setelah proses Islamisasi ( abad XIII ) gelar
kebangsawanan dalam buku tersebut mengalami perubahan. Sampai saat ini gelar kebangsawanan dalam masyarakat Melayu disesuaikan dengan perubahan yang ada dan didasari atas keturunan, dengan panggilan urutan masing-masing menurut martabatnya yaitu :
1.
1.
Tengku
2.
Raja
3.
Wan
4.
Datuk dan Aja
5.
Orang Kaya dan Encik
Tengku Adapun yang berhak yang memakai gelar ini adalah turunan (putera-puteri Sultan dan keturunan dari ayahnya yang memakai gelar Tengku walaupun
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
ibunya bukan Tengku.
Dalam masyarakat Melayu, gelar ini dianggap
menjadi suatu hak kebangsawanan yang di teruskan oleh keturunan ayahnya atau pihak laki-laki). 2.
Raja Gelar Raja dalam kebangsawanan Melayu tidak sama dengan gelar Raja kebangsawanan lain. Gelar ini diberikan kepada anak laki-laki dari hasil perkawinan seorang wanita yang bergelar Tengku dengan pria keturunan bangsawan luar.
3.
Wan Gelar Wan dalam masyarakat Melayu terbentuk karena, apabila seorang wanitaTengku (anak Sultan) kawin dengan seorang yang bukan Tengku (Datuk, Orang Kaya) atau dengan rakyat biasa, maka anaknya memakai gelar Wan. Untuk itu anak turunan mereka yang laki-laki tetap memakai gelar ini, sedangkan anak yang perempuan tergantung pada siapa ia menikah. Jika suami lebih rendah dari istrinya maka gelar tersebut bagi anak mereka akan hilang.
4.
Datuk dan Aja Gelar ini diberikan kepada mereka yang mempunyai otonomi wilayah pemerintahan yang terbatas oleh dua sungai.
Karena batas-batas daerah
dahulu umumnya sungai, baik itu batas kedatukan, kejeruan, dan lain-lain. Datuk yang berkedudukan seperti ini dinamakan dengan Datuk asal. Anak laki-lakinya diberi gelar ini dan anak perempuannya memakai gelar Aja.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
5.
Orang Kaya dan Encik Pada zaman dahulu oleh Sultan (Raja) ada juga yang diberikan pangkat Datuk (bukan Datuk Asal) pada seseorang oleh karena ada beberapa sebab. Secara turun-temurun anak laki-laki dari Datuk seperti ini berhak memakai gelar Orang Kaya, sedangkan anak perempuannya tidak ada gelarnya.
Untuk
mereka hanyalah panggilan kesopanan yaitu Encik atau biasa disingkat dengan Cek. Jikalau ada penyalahgunaan penempatan gelar pada masyarakat Melayu, tidaklah diawasi secara ketat.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menuntut
kesadaran masyarakat, namun semasih adat terbentang, gelar-gelar yang ada dianggap penting. Seperti yang berkaitan pada urusan dengan pemberian hak kepada seseorang, peraturan kerajaan, ataupun dalam urusan perkawinan. Hal ini berguna untuk menghindari perselisihan antar setaraf.
Seiring perkembangan
zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, masalah penggolongan tersebut tidak membawa pengaruh yang cukup serius bagi keadaan sosial masyarakat. Disamping itu tidak menimbulkan kontradiksi antara golongan bangsawan dan orang kebanyakan. Karena secara umum masyarakat Melayu menyadari masalah penting lainnya yaitu adat dan budaya yang masih harus tetap dihayati dan dijadikan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat.
3.3
Pribadi dan Masyarakat Pengertian masyarakat itu menunjukkan kepada sejumlah manusia dengan
pandangan dan kepribadiannya masing-masing yang terkait oleh rasa identitas bersama. Dalam kaitannya kepribadian dimaksudkan adalah sebagai gabungan diri sikap-sikap yang dimiliki oleh seseorang sebagai latar belakang dari
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
perikelakuan. Dengan kata lain kepribadian adalah abstraksi dari individu dan kelakuannya.
Koentjaraningrat (1985 : 102) mengungkapkan, “Kepribadian
(personality) merupakan susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu dari manusia”. Kepribadian itu mencakup kebiasaan-kebiasaan, keinginan menjadi satu dengan manusia yang lain disekelilingnya (masyarakat), keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya dengan sifat dan sikap dari manusia yang berkembang. Disamping itu juga kepribadian mencakup seluruh kemampuan dan segenap pengalaman sepanjang kehidupan manusia itu. Suku Melayu sebagai salah satu suku bangsa adalah sebuah golongan bangsa yang menyatukan dirinya melalui ikatan perkawinan antar suku bangsa, beragama Islam, memakai adat resam, serta menggunakan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan. Nama Melayu itu bukan berasal dari luar, tetapi orang Melayu itu sendiri menamakan dirinya orang Melayu. Hal ini sesuai dengan sifatsifat orang Melayu seperti, secara sadar merendahkan diri (tetapi tidak suka direndahkan), tertib, sopan dalam berbahasa dalam majelis ataupun dalam pergaulan sehari-harinya serta lemah lembut dalam perangai. Oleh karenanya, untuk mencapai sifat atau kepribadian di atas orang Melayu harus melayukan (meluluhkan) sifat sombong, takabbur, tinggi hati, dan sebagainya. Ini dapat kita lihat dari penggalan cerita berikut, Suatu hari Datuk Penghulu menanyakan maksud nyanyian itu kepada si Buyung Besar. “Apa maksud tak ada paksa dicari-cari, ada paksa dibuangbuang”. Buyung Besar menjelaskan bahwa ia tidak tahu artinya dan menyatakan bahwa itulah nyanyiannya setiap hari. Kemudian Datuk Penghulu menanyakan apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut saja segala keinginan Datuk Penghulu. Hal : 2
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Dari cerita di atas menampakkan bahwa kepatuhan dan rendah diri dari tokoh yang ada dalam cerita menampakkan sifat dan sikap yang baik serta mulia dari Si Buyung Besar yang patuh terhadap titah atau perintah ayah angkatnya (Datuk Penghulu). Hal ini merupakan cerminan dari ciri dari orang Melayu itu sendiri yaitu sikap optimis dan toleransi akan terlihat dalam hidup dan kehidupan orang Melayu. Karena mereka percaya kepada ketentuan langkah, rezeki, pertemuan, dan maut itu datangnya dari Allah. Di samping itu juga orang Melayu percaya akan mencapai sesuatu dengan usahanya, Karena manusia yang diberi akal oleh Allah. Karena dia berakal maka manusia itu berbudaya dan hal inilah yang membedakan ia dengan makhluk lainnya. Apabila orang Melayu itu di timpa musibah maka ia percaya bahwa itu berasal dari Allah maka ia menerimanya dengan syukur dan tawaqqal, karena dengan sifat inilah menjauhkan diri dari sifat putus asa.
Orang Melayu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa mereka tidak
kehilangan sesuatu dalam hidup ini. Karena hidup ini menurut mereka adalah fana (sementara), yang kekal adalah kehidupan akhirat. Oleh karenanya, sedini mungkin mereka menyiapkan untuk kehidupan akhirat kelak.
Adanya sifat
menerima ini menjadikan menuntut mereka melayukan dan menjauhkan mereka dari sifat sombong, takabbur, ria, angkuh dan sebagainya. Seperti kutipan ini, Dalam waktu enam bulan kapal itu selesailah. Seminggu kemudian kapal itu berangkat membawa buah kelapa penuh dengan bantuan orang-orang kampung. Kapal itu dilengkapi pula dengan sebuah meriam. Sebelum berangkat, malamnya, Si Buyung Besar lebih dahulu pamit kepada ayah bundanya untuk menyatakan maksud keberangkatannya serta minta doa restu keselamatan selama berlayar. Malamnya, setelah minta izin dari Datuk Penghulu, kapal yang berisi buah kelapa itu pun berangkatlah bersama para pembantunya. Hal : 2
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Sopan santun dan kebiasaan tidak menonjolkan diri adalah salah satu watak orang Melayu.
Dalam menikmati kegembiraan hidup dan sikapnya terhadap
orang lain akan kelihatan nilainya. Orang Melayu kurang senang berkata-kata tepat atau tegas, yang lebih digemarinya adalah secara melingkar, seperti menggunakan perumpamaan, berpantun, dengan pepatah atau sejenisnya. Dengan jalan itu apa yang dimaksudkan dan yang diinginkannya mengena kepada orang lain atau setidaknya orang lain akan tersentuh. Masyarakat lain sering keliru dalam menilai orang melayu karena sifatnya yang demikian. Bagi masyarakat Melayu berpantun, menggunakan perumpamaan, dan sejenisnya masih tetap dipertahankan dalam adat resam. Di dalam cerita ini ada juga perumpamaanperumpamaan dalam kutipan, “Tak ada paksa di cari-cari, ada paksa di buang-buang”. “Malang tak dapat di tolak, untung tak dapat di raih”. Dari sisi lain adanya sikap sopan santun dan kebiasaan tidak menonjolkan diri bagi orang Melayu bukanlah sebuah falsafah hidup, tetapi melainkan hasil dari lingkungan iklim dan geografis alam Melayu itu sendiri.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN Setelah menganalisis cerita rakyat Si Buyung Besar, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan sastra dengan sosiologi sangat erat, karena sastra lahir dari masyarakat dan untuk masayarakat. Sosiologi dan sastra mempunyai objek yang sama, yakni sastra dan sosiologi berurusan dengan masyarakat. 2. Menganalisis sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan di luar karya sastra (dari sudut ekstrinsik), maka tidak terlepas dari unsur-unsur intrinsiknya.
Setidaknya membahas unsur-unsur yang dianggap dominan
sebagai tolak dasar tinjauan. 3. Tema cerita rakyat
Si Buyung Besar ini adalah “kesosialan dan
kepahlawanan.” 4. Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah alur maju yaitu pemaparan cerita dari awal sampai disajikan secara berurutan tanpa menggunakan sorot balik. 5. Latar yang digunakan dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. 6. Perwatakan dalam cerita ini terdiri dari tokoh utama yaitu Si Buyung Besar dan tokoh tambahan yaitu Datuk Penghulu. Si Buyung Besar digambarkan sebagai tokoh yang tabah, patuh, dan pekerja keras, sedangkan tokoh Datuk Penghulu digambarkan sebagai tokoh yang penyabar dan egois atau ambisius.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
7. Nilai-nilai sosiologis dalam cerita ini adalah adat-istiadat menjunjung duli, lapisan masyarakat, pribadi dan masyarakat.
4.2 Saran Banyak hal tidak terpikirkan oleh kita tentang eksistensi karya sastra lama terlebih-lebih sastra rakyat di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Boleh
disebut hal-hal yang pernah terpikirkan itu adalah kesalahan pada diri kita secara disadari atau tidak disadari. Mengapa demikian?
Karena kebanyakan orang
beranggapan, karya sastra seperti cerita rakyat (mite, legenda dan dongeng) hanya hiburan semata, penuh peristiwa hal yang irasional dan banyak lagi alasan yang maknanya setingkat dengan itu.
Akibatnya kita tidak pernah ingin tahu dan
mengetahui apa manfaat yang sebenarnya. Padahal sastra rakyat itu banyak yang bernilai kehidupan. Untuk itu, penulis menyarankan agar ditingkatkan upaya mengangkat kembali cerita-cerita rakyat yang menurut penulis dapat ditempuh melalui menuliskan kembali cerita rakyat tersebut ke dalam sebuah buku oleh orang yang mengetahuinya, membahas atau meninjau cerita itu dengan ilmu sastra ataupun di luar ilmu sastra guna mendapatkan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Abrams. 1981. Pedoman Sosiologi Sastra. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Damono, Grebstein. 1984. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sosiologi Sastra. Jakarta : Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Danandjaya. 1999. Memilih Hasil Sastra Yang Relevan Bagi Seorang Sosiologi. Fadillah. 1989. Tinjauan Sosiologis Terhadap Hikayat Hang Tua Edisi Abas Dato’ Pamuntjak Nan Sati. Universitas Sumatera Utara. Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PN Angkasa Baru. Lubis, Mochtar. 1998. Tehnik Mengarang. Jakarta: Nunang Jaya. Natawijaya, P. Suparman. 1980. Apresiasi Sastra Budaya. Jakarta: PN Intermasa. Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. Gajah Mada. University Press. Nurgiyantoro. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Rosmawati R, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Salleh. 1980. Sastra dan Sosiologi. Jakarta: Gramedia. Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa Soekanto, Soerjono. 1989. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: C.V. Rajawali
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
Sudjiman, Panuti. 1982. Adat Raja-Raja Melayu. Jakarta. PN Universits Indonesia Sumardjo, Jacob dan Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Gramedia. Jakarta. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1998. Teori Kesusastraan. (Terjemahan Dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budiyanto). Jakarta : Gramedia.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008