0
NILAI SOSIOLOGIS SASTRA DALAM CERITA RAKYAT SI BAROAR MANDAILING SUMATERA UTARA
Oleh Sulaiman Siregar Ita Khairani, S.Pd, M.Hum. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai sosiologis sastra dalam cerita rakyat Si Baroar Mandailing Sumatera Utara. Responden penelitian ini adalah masyarakat desa Panyabungan Tonga, Mandailing Sumatera Utara yang terdiri dari usia muda (15-25) tahun, usia menengah (26-49) tahun, usia tua (50 tahun ke atas) dengan jumlah responden sebanyak 10 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian meliputi unsur intrinsik yang terdiri dari, tema yang terkandung di dalamnya yaitu saktinya seorang anak setelah mengalami berbagai gejolak kehidupan. Alur dalam cerita Si Baroar ini merupakan alur campuran. Tokoh utama adalah Si Baroar, tokoh tambahan yaitu Sutan Pulungan, Si Sauwa, Sri Mayapada, dan Hulubalang. Latar yang dipakai dalam cerita ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Sementara sudut pandangnya adalah menggunakan orang ketiga serba tahu. Dan yang terakhir gaya bahasa yang digunakan antara lain mengunakan majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Dalam cerita rakyat Si Baroar terdapat nilai sosiologis masyarakat, baik itu secara material dan spiritual (kebenaran, kebaikan, keindahan dan religi). Sedangkan nilai vital tidak ditemui dalam cerita Si Baroar. Dan yang terakhir cerita Si Baroar ada yang relevan dan ada yang tidak relevan terhadap masyarakat Mandailing. Nilai materil dan nilai spiritual yang masih relevan.karena masyarakat sudah mengalami perubahan dalam pola berfikir. Nilai-nilai sosiologi yang terdapat didalamnya tidak terlepas dari pola kehidupan yang semakin maju. Kata kunci: Unsur Intrinsik, Nilai Sosiologis, Fakta Sosial
PENDAHULUAN Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup disuatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat 1
yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Karya sastra itu sendiri bersifat dinamis berjalan dengan perkembangan masyarakat karena sastra itu hasil ciptaan seseorang yang merupakan bagian dari masyarakat. Di dalam masyarakat seorang individu menjalani berbagai macam kejadian yang ia alami. Dari kejadian yang dialami pada dunia nyata itulah sebagai dasar ide dalam penulisan karya sastra. Keberagaman budaya disejajarkan oleh Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Selain hal di atas, budaya dapat diketahui juga dari cerita-cerita yang sering kita baca atau kita dengar. Cerita tersebut sangat bersangkutan dengan sastra. Sastra memiliki nilai dan kekhasan tersendiri dalam perkembangan sastra. Sastra terbagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusatraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke telinga) termasuk cerita Si Baroar. Penyebaran cerita Si Baroar secara lisan dan hanya berdasarkan daya ingat penuturnya. Sehingga
tidak
mustahil
sangat
mudah
mengalami
perubahan
dan
penyimpangan dari bentuknya yang asli. Selain itu, orang tua yang menguasai sastra lisan Si Baroar jumlahnya semakin kecil. Keadaan ini mempercepat punahnya sastra lisan yang asli dan terjadilah kesalahan penafsiran pada kalangan masyarakat era baru terhadap sastra lisan Si Baroar yang berasal dari Mandailing. Sastra lisan juga merupakan nilai-nilai luhur yang harus dikembangkan misalnya mitos, legenda, dongeng, dan lain-lain. Sastra tulisan adalah sastra yang timbul setelah manusia mengenal tulisan, di Indonesia mulai berlangsung setelah bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan asing, yakni kebudayaan Hindu, Islam, dan Barat (KBBI, 2005:1002). Sastra tulisan dalam penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca banyak orang. Sastra tulisan ini banyak yang berasal dari sastra lisan misalnya dongeng yang diceritakan dari seseorang kemudian diceritakan dan dibukukan oleh orang yang mendengarnya. Dengan segala kekurangan penulis mengangkat karya sastra tersebut berupa cerita 2
rakyat yaitu Si Baroar yang berasal dari desa Panyabungan Tonga Mandailing, Sumatera Utara. Penulis tertarik meneliti cerita tersebut karena sepengatahuan penulis belum pernah ada yang mengkaji dan mengembangkannya. Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu dengan pengarang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi. Proses tersebut bersifat individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-tiap pengarang dapat berbeda. Perbedaan itu meliputi beberapa hal diantaranya metode, munculnya proses kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang hingga bahasa penyampaian yang digunakan. Dari pandangan di atas, maka dalam mengkaji suatu karya sastra dapat dihubungkan dengan sastra. Ilmu tersebut membahas karya sastra yang dihubungkan dengan masyarakat sehingga disebut sosiologi sastra. Sosiologi sastra juga dapat didefenisikan penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan struktur sosialnya (Ratna,2003:25). Dengan dua pengertian tersebut maka karya sastra dapat dihubungkan dengan masyarakat. Karya sastra adalah dunia miniatur karena sastra berfungsi sebagai pengekspresian kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola kreativitas dan imajinasi. Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat, seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang. Sastra dan masyarakat erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan dan permasalahan pada manusia serta lingkungannya. Kemudian, dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang pengarang tinggal menuangkan masalah-masalah di sekitarnya menjadi sebuah karya sastra. Salah satu karya sastra yang dapat dikaji dalam pemahaman sastra, yaitu cerita rakyat. Salah satu ciri teks sastra yang multiinterpretasi membuat tanggapan pembaca terhadap satu cerita rakyat yang sama tentu akan berbedabeda sesuai dengan tingkat pemahaman dan daya imajinasi pembaca, (Riris K. Toha-Sarumpaet,2002:35). Hal tersebut membuat pemahaman sastra di masyarakat menjadi lebih menarik, terlebih jika masyarakat mampu menafsirkan cerita yang ada didalam masyarakat itu sendiri. Pemahaman apresiasi sastra merupakan rangka memperkenalkan karya sastra kepada masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar 3
masyarakat memiliki kemampuan menghayati, memahami, dan menikmati serta menilai karya sastra yang dibacanya. Setelah usaha itu dilakukan masyarakat diharapkan dapat mengambil manfaat dari karya yang dibacanya. Masyarakat diharapkan akan meneladani sikap dan nilai-nilai kehidupan yang positif dari tokoh-tokoh yang ada di dalam karya satra itu. Salah satu cerita yang dapat ditemukan dalam suatu daerah ialah Cerita Rakyat Si Baroar yang berasal dari Mandailing Sumatera Utara. Cerita Rakyat Si Baroar berisikan tentang seorang anak yang sangat sakti. Dalam cerita Si Baroar ini mengisahkan seorang Raja yang bernama Sutan Pulungan yang bertindak
semena-mena
terhadap
rakyatnya,
salah
satunya
berupaya
membunuh Si Baroar dengan alasan yang tidak wajar. Si Baroar adalah anak yang dipungut dari tengah hutan saat berburu rusa oleh raja Sutan Pulungan beserta pasukannya, kemudian ia diserahkan dan sekaligus di asuh seorang Inang Asuh bernama si Sauwa yang sama sekali belum punya anak di sebuah perkampungan di Panyabungan Tonga. Analisis cerita Si Baroar meliputi, unsur Intrinsik yang terdapat dalam cerita Si Baroar, yang kedua yaitu kerelevanan cerita Si Baroar masih relevan dengan nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat Mandailing di Desa Panyabungan Tonga saat ini. Dan yang terakhir adalah kejadian-kejadian dalam cerita yang berhubungan dengan fakta-fakta sosial yang ada dalam masyarakat Mandailing di Desa Panyabungan Tonga. METODE PENELITIAN Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode deskriptif merupakan suatu cara untuk memecahkan permasalahan yang menjadi tujuan dalam penelitian ini dengan cara mendeskripsikan dan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lokasi penelitian. Metode deskriptif kualitatif akan menghasilkan pendeskripsian yang sangat mendalam karena ditajamkan dengan analisis kualitatif. Hal itu sangat memungkinkan meningkatnya kualitas teknis analisis data sehingga hasil penelitian pun semakin berkualitas. (Mahi, 2011:37).
4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasi lapangan dengan melibatkan beberapa masyarakat Desa Panyabungan Tonga untuk diminta memberi tanggapan atas pertanyaan mengenai Si Baroar untuk kemudian dianalisis dan dipaparkan secara deskriptif. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data masyarakat Desa Panyabungan Tonga, Mandailing Sumatera Utara terhadap nilai sosiologi cerita Si Baroar. Dalam penulisan skripsi ini, rumusan masalah sangat penting mengingat dari rumusan masalah tersebut kita dapat melihat isi dari skripsi dan permasalahan yang hendak diselesaikan. Adapun masalah dalam skripsi ini adalah. a. Unsur intrinsik dalam cerita Si Baroar Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu. Dalam kajian intrinsik, sastra dianggap sebagai sebuah dunia otonom. Karena kajian intrinsik hanya memperhatikan karya sastra sebagai sebuah dunia otonom, maka yang dikaji adalah unsur-unsur sastra dalam karya sastra itu sendiri, antara lain adalah penokohan, konflik, latar, tema, dan hal-hal semacam itu. Dengan demikian, kejayaan sebuah karya sastra ditentukan oleh keberhasilan pengarang dalam mengolah unsur-unsur sastra itu. Berikut ini merupakan uraian-uraian dari unsur intrinsik dalam cerita rakyat: 1.Tema Tema merupakan sesuatu yang penting dalam suatu cerita karena tema merupakan inti cerita yang penting dalam suatu cerita karena tema merupakan inti cerita yang mendasari suatu cerita. Bertolak dari inti cerita, pengarang akan mengembangkan cerita menjadi suatu bentuk yang lebih luas (Budi Darma, 2004:24). Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannnya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Perlu diingat bahwa suatu cerita rakyat akan dapat dianalisis dengan sejumlah tema yang berbeda atau bahkan saling terkait. Pembaca menentukan kekuatan dan kepentingan utama yang ada dalam cerita rakyat tersebut. 5
Artinya, dari sekian tema tersebut dapat ditarik agar ia memiliki tema besar yang dikandungnya. Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas tema merupakan gagasan utama. Hampir semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang paling sering diambil adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan ini, seperti ambisi, kesetiaan, kecemburuan, frustasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya (Wahyudi Siswanto, 2008:161). 2. Alur Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Ada beberapa pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu cerita. Tahapa-tahapan peristiwa tersebut antara lain: pengenalan, konflik, klimaks, penyelesaian. Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan alur. Agar menjadi sebuah alur, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan. Kegiatan ini dilihat dari sisi pengarang, merupakan pengembangan plot atau dapat juga disebut sebagai pemplotan, pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri meliputi kegiatan memilih peristiwa yang akan diceritakan dan kegiatan menata (mengolah dan menyiasati) peristiwaperistiwa itu ke dalam struktur linear karya fiksi. Alur adalah suatu urutan cerita atau peristiwa yang teratur dan terorganisasi. Plot dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam cerita bukannnya dalam kehidupan yang sewajarnya. Dapat disimpulkan dari berbagai pendapat bahwa plot atau alur adalah rangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang diderita dan dikerjakan oleh pelaku-pelaku sepanjang novel yang bersangkutan. Plot atau alur merupakan struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam cerita tapi yang disusun secara logis. 3.Tokoh dan Penokohan Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas 6
moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Penokohan adalah salah satu unsure yang penting dalam membina struktur. Penokohan sudah selayaknya ada dalam setiap cerkan, karena tanpa tokoh cerita tidak akan terbentuk. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam cerita dapat didefinisikan sebagai subjek dan sekaligus objek peristiwa dan kejadian, pelaku dan sekaligus sasaran kedua hal tersebut. Tanpa tokoh, tidak akan tercipta peristiwa. Tokoh selalu mempunyai identitas, mempunyai watak tertentu, yang menentukan tindakannya dan sikapnya terhadap lingkungan di sekitarnya, baik yang berupa tokoh-tokoh lain maupun yang berupa lingkungan benda-benda alam dan benda-benda budaya. Seorang tokoh tidak dapat berdiri sendiri atau berkelakuan sendiri tanpa kehadiran tokoh lain. 4. Latar atau Setting Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa. Membaca sebuah cerita kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain tempat terjadinya peristiwa. Di samping itu, kita juga akan berurusan dengan hubungan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang, malam, pukul, saat bulan purnama, saat hujan gerimis diawal bulan, atau kejadian yang menyarankan pada waktu tipikal tertentu, dan sebagainya. Kesimpulan dari keseluruhan kutipan-kutipan istilah latar atau setting ini berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para tokoh menjalankan perannya. Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner atau pun faktual. 5. Sudut Pandang Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, terdapat tiga sudut pandang yakni sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama “Aku”, dan sudut pandang campuran. Sudut pandang orang ketiga terbagi menjadi dua,
7
yaitu “Dia” mahatahu dan “Dia” terbatas (sebagai pengamat). Sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua, yakni “Aku” tokoh utama dan “Aku” tokoh tambahan. Siswanto menyatakan bahwa sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya mengenai tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri. Pusat pengisahan menerangkan “siapa yang bercerita”. Kesimpulan dari pendapat di atas sudut pandang adalah cara sebuah cerita dikisahkan. Segala sesuatu yang diceritakan menjadi kebebasan pengarang untuk berkreasi bahkan mampu memperlihatkan teknik pengarang dalam menggagas sesuatu. Sudut pandang dapat diketahui melalui unsur intrinsik lainnya, seperti percakapan antar tokoh, gerak-gerik tokoh, alur dalam cerita tersebut, dan gaya bahasa yang digunakan pengarang (Widjojoko dan Endang Hidayat, 2006: 47). 6. Gaya Bahasa Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Aminuddin menyatakan bahwa gaya bahasa mengandung pengertian keindahan dan keharmonisan bahasa yang digunakan pengarang dalam menyampaikan cerita sehingga mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual, dan mampu menggugah emosi pembaca. Semi menyatakan bahwa gaya penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa yang menjadikan sastra hadir. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Pada buku tentang pengajaran gaya bahasa ini, ada beberapa jenis gaya bahasa, diantaranya: majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. Majas hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Majas personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari 8
gagasan-gagasan sebelumnya (Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, 2010:20). b. Nilai dalam cerita Si Baroar masih relevan dengan nilai - nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat Mandailing di Desa Panyabungan Tonga saat ini. Nilai merupakan sesuatu yang baik, yang diinginkan, yang dicita-citakan, dan dianggap penting oleh warga masyarakat. Nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat. Agar nilai-nilai social itu dapat tercipta dalam masyarakat, maka perlu diciptakan norma sosial dengan sanksi-sanksi sosial. Nilai sosial merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup bersama. Koentjaraningrat mengatakan, nilai merupakan suatu sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Struktur sosial adalah jalinan antara unsur - unsur sosial pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok - kelompok sosial, serta lapisan - lapisan sosial. Menurut Notonogoro dalam (http://rani1991.wordpress.com/2011/04/04/), berdasarkan wujudnya, ada tiga macam nilai yakni: (1) nilai fisik atau nilai materil, (2) nilai aktivitas atau nilai vital, dan (3) nilai non fisik atau nilai spiritual. 1. Nilai fisik atau nilai materil Nilai fisik atau nilai materil adalah segala sesuatu yang berguna bagi unsure jasmani manusia. Artinya, sesuatu objek dikatakan mempunyai nilai materil apabila memiliki daya guna, berguna, memiliki asa guna bagi jasmani manusia. Misal makanan, minuman, pakaian, rumah, dan sebagainya. 2. Nilai aktivitas atau nilai vital Nilai aktivitas atau nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melakukan kegiatan (aktivitas), apabila memiliki daya guna dan berguna. Artinya sesuatu objek dikatakan mempunyai nilai vital apabila objek tersebut dapat mengakibatkan
manusia memiliki aktivitas.
Misalnya, transportasi, transaksi jual beli,dan sebagainya. 3. Nilai non fisik atau nilai spritual 9
Bila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai spritual merupakan nilai yang tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sosial-budaya keterikatan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam pandangan orang beragama disebut sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Dewa, Yang Maha Pencipta, dan sebagainya. Manusia sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya dan bila perlu rela mengorbankan apa saja harta, jiwa/nyawa sebagai bukti kepatuhan dan ketundukan terhadap yang memiliki kekuatan tersebut. Nilai spiritual dibagi menjadi empat, yaitu: (1) nilai kebenaran, (2) nilai keindahan, (3) nilai kebaikan, dan (4) nilai religious. c. Apakah kejadian-kejadian dalam cerita Si Baroar masih berhubungan dengan fakta - fakta sosial yang ada dalam masyarakat Mandailing di Desa Panyabungan Tonga. Fakta sosial adalah cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut. Sehingga ketika seseorang berbuat lain dari apa yang diharapkan oleh masyarakat maka ia akan mendapatkan tindakan koreksi, ejekan, celaan, bahkan mendapat sebuah hukuman. Fakta sosial mengarahkan pada sesuatu yang ada diluar individu yang mengharuskannya untuk mengikuti adat istiadat, sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai anggota masyarakat dan melakukan hubungan antar individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat. Dengan perkataan lain, fakta sosial seperti tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang berpedoman dengan norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain. Fakta sosial harus dijelaskan berdasarkan fakta-fakta sosial yang mendahuluinya sehingga dapat mengetahui sebab dari terbentuknya fakta sosial tersebut. Setelah sebab tersebut ditemukan, selanjutnya mencari 10
penyebab fakta sosial tersebut masih ada. Kenyataan bahwa fakta sosial itu masih ada selanjutnya dapat dijelaskan berdasarkan fungsi yang dimilikinya. Adapun jumlah masyarakat Desa Merdeka yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah berjumlah 10 orang, dengan klasifikasi usia tua (50 tahun keatas) yaitu Sayuddin Nasution (68), Khairuddin Batubara (69), H. Nauli Hasean Nasution(74), dan Ali Rachman Nasution S.H (52). Usia menengah (26-49 tahun)
yaitu Rohima Nasution (35), Muhammad Fuad Nasution S.Sos (38), dan Saida Nasution (31). Dan usia muda (15-25 tahun) yaitu Muhammad Siddik Nasution (23), Misbah Hasanah Lubis (22), Muhammad Fauzi (22).
Dengan alasan semua narasumber mengetahui kisah Si Baroar dan memang pernah terjadi, hingga dulu sampai sekarang masyarakat Panyabungan Tonga mewarisi cerita Si Baroar dari nenek moyang terdahulu, sehingga masyarakat penduduk setempat mengetahui bagaimana alur cerita tersebut. Pembahasan Hasil Penelitian a. Unsur Intrinsik dalam Cerita Rakyat Si Baroar Peneliti menganalisis unsur intrinsik yang meliputi, tema yang terkandung di dalamnya yaitu saktinya seorang anak setelah mengalami berbagai gejolak kehidupan. Alur dalam cerita Si Baroar ini merupakan alur campuran. Tokoh utama adalah Si Baroar, tokoh tambahan yaitu Sutan Pulungan, Si Sauwa, Sri Mayapada, dan Hulubalang. Latar yang dipakai dalam cerita ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Sementara sudut pandangnya adalah menggunakan orang ketiga serba tahu. Dan yang terakhir gaya bahasa yang digunakan antara lain mengunakan majas hiperbola, personifikasi, dan klimaks. b. Nilai dalam cerita ”Sibaroar” masih relevan dengan nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat Mandailing di Desa Panyabungan Tonga saat ini. Relevansi cerita Si Baroar akan didapatkan yaitu sebagai berikut. Relevansi Cerita Si Baroar terhadap nilai Sosiologis Material, boleh dikatakan masih sangat relevan. Manusia bekerja untuk mencukupi kebutuhan sandang dan pangan dengan cara bertani maupun berladang. Dalam cerita Si Baroar juga menceritakan bahwa makanan, minuman, dan lain -lain yang paling pokok. Relevansi Cerita Si Baroar terhadap nilai Sosiologis Vital, dalam cerita Si baroar berbeda dengan nilai sosiologis material dan nilai sosiologis spiritual 11
yang masih relevan dengan masyarakat Mandailing. Nilai sosiologis Vital (aktivitas) sudah tidak berhubungan lagi dengan masyarakat Mandailing dewasa ini, segala aktivitas dapat ditempuh dengan menggunakan kenderaan bermotor untuk melakukan perjalanan tidak lagi berjalan kaki serta alat - alat penunjang lainnya untuk mempercepat pekerjaan mereka dalam bertani. Masyarakat Mandailing sudah maju dengan berani merantau mencari pekerjaan dan memperoleh pendidikan. Relevansi Cerita Si Baroar terhadap nilai Sosiologis Spritual, dalam masyarakat Mandailing juga masih berhubungan. Pada cerita Si baroar nilai Spritual yang meliputi kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religi atau kepercayaan menunjukkan hubungan kasih sayang, saling tolong menolong, dan rasa persaudaraan. Hingga sekarang nilai budaya tersebut masih dipelihara dan dijaga baik oleh masyarakat mandailing. Rasa persaudaraan terhadap sesama dan saling tolong-menolong sangat kuat dalam masyarakat ini. Kekerabatan dan pertautan marga dan perkawinan juga masih sangat kental. c. Kejadian - kejadian dalam cerita Si Baroar masih berhubungan dengan fakta-fakta sosial yang ada dalam masyarakat Mandailing di Desa Panyabungan Tonga. Fakta - fakta sosial yang terdapat dalam cerita Si Baroar pada umumnya masih berlaku pada pola kehidupan masyarakat Desa Panyabungan Tonga deawsa ini. Dalam cerita Si Baroar mengisahkan bila adanya suatu pesta semua ikut gotong royong mendirikan atau membangun Sopo Godang sekaligus diadakan horja bolon (pesta besar) dengan memotong kerbau. Dan ini masih diberlakukan hingga sekarang, yaitu memotong kerbau dalam suatu pesta misalkan pemberian marga dan pesta pernikahan. Maka adat ini diberlakukan bagi yang masih punya silsilah keturunan raja Si Baroar tersebut terkecuali masyarakat awam atau masyarakat biasa. Boleh saja masyarakat biasa atau masyarakat luar mengadakan adat tersebut akan tetapi bila ada kesanggupan untuk membiayai proses pesta yang mau dilaksanakan. Masyarakat Mandailing masih menjunjung tinggi nilai budaya yang diwarisi keturunan Raja Si Baroar. Tenggang rasa, saling tolong menolong dan persaudaraan masih kuat misalnya dalam suatu acara besar seperti acara pernikahan ataupun acara lainnya. Hingga sekarang nilai budaya nilai budaya tersebut masih dipelihara dan dijaga baik oleh masyarakat Mandailiing.
12
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil simpulan yaitu, relevansi Cerita Si Baroar terhadap nilai Sosiologis Vital, dalam cerita Si baroar berbeda dengan nilai sosiologis material dan nilai sosiologis spiritual yang masih relevan dengan masyarakat Mandailing. Nilai sosiologis Vital (aktivitas) sudah tidak berhubungan lagi dengan masyarakat Mandailing dewasa ini, segala aktivitas dapat ditempuh dengan menggunakan kenderaan bermotor untuk melakukan perjalanan tidak lagi berjalan kaki serta alat - alat penunjang lainnya untuk mempercepat pekerjaan mereka dalam bertani. Masyarakat Mandailing sudah maju dengan berani merantau mencari pekerjaan dan memperoleh pendidikan. Relevansi Cerita Si Baroar terhadap nilai Sosiologis Spritual, dalam masyarakat Mandailing juga masih berhubungan. Pada cerita Si baroar nilai Spritual yang meliputi kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religi atau kepercayaan menunjukkan hubungan kasih sayang, saling tolong menolong, dan rasa persaudaraan. Hingga sekarang nilai budaya tersebut masih dipelihara dan dijaga baik oleh masyarakat mandailing. Rasa persaudaraan terhadap sesama dan saling tolong-menolong sangat kuat dalam masyarakat ini. Kekerabatan dan pertautan marga dan perkawinan juga masih sangat kental.
13
DAFTAR PUSTAKA
M. Hikmat, Mahi. Metode Penelitian: Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Ratna, Nyoman Kuta. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
14