NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-HUJURAT AYAT 913 (KAJIAN PEMIKIRAN TAFSIR AL-MISBAH KARYA QURAISH SHIHAB)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh : NUR FAIZIN NIM: 111-12-013
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
tβθè=yϑ÷ètƒ tÏ%©!$# tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# çÅe³u;ãƒuρ ãΠuθø%r& š†Ïφ ÉL‾=Ï9 “ωöκu‰ tβ#uöà)ø9$# #x‹≈yδ ¨βÎ) ∩∪ #ZÎ6x. #\ô_r& öΝçλm; ¨βr& ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S Al-Israa’ 9)
vi
PERSEMBAHAN Alhamdulillahirobbil’alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kedua Simpai Keramatku Tercinta Ayahanda Nasikhun & Ibunda Ismiyani yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, memberikan nasihat, mendidik dari kecil sampai sekarang dan do’anya yang tidak pernah putus. 2. Adik perempuanku Arum Wulan Sari, terimaksih atas dukungan dan do’anya. 3. Para Guru, Asatidz, Sahabat dan teman-teman;PPHM & MHM Kalibening, KBQT, Smart Evo, Laa Tansa (PAI A 2012), PPL SMA N 3 Salatiga, KKN angkatan 2012 posko 33 dan JQH AL-FURQAN. 4. Almamaterku; Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan dan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. (kehadiranmu dihatiku sejak 2012 telah banyak mempengaruhi pemikiranku. Semoga ilmu dan pengalaman yang kau berikan bermanfaat dan barokah. Amiin..)
vii
KATA PENGANTAR
بِ ْس ِم ﷲِ ال ﱠرحْ مٰ ِن ال ﱠر ِح ْي ِم ُصالة َوال ﱠ.اال ْﺳ َال ِم ِ ْ اَ ْل َح ْم ُد ِِ َربﱢ ْال َعالَ ِم ْينَ َح ْم ًدا َو تَ ْم ِج ْي ًدا َو ُش ْك ًرا َعلَى َﻣا اَ ْك َم ْلتَ لَنَا ِﻣ ْن ِد ْي ِن . ََوال ﱠسال ُم َعلَى ﻧَبِيﱢنَا ُﻣ َح ﱠم ٍد َو َعلَى ٰألِ ِه َوأَﺻْ َحابِ ِه أَﺟْ َم ِع ْين Alhamdulillahi robbil ‘alamin, tiada kata yang pantas diucapkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, hidayah, dan inyah-Nya kepada diri yang lemah ini sehingga skripsi ini dapat terselesaiakan. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan seluruh umatnya. Beliaulah sebaik-baik makhluk yang pernah diciptakan, suri teladan bagi umatnya, yang sangat lembut hatinya, kasih sayangnya kepada kita tidak bisa diungkapkan lagi dengan katakata. Dengan segenap kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tersusunnya skripsi ini tidak lain karena berkat bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan arahan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M. Pd. Selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Selaku Ketua Jurusan PAI. 4. Bapak Dr. M.Gufron, M. Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar dan ikhlas mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan sumbangan pemikiran sejak awal penyusunan hingga selesainya sekripsi ini. 5. Bapak Drs. Bahrudin, M. Ag. Selaku dosen pembimbing akademik. 6. Bapak / Ibu Dosen IAIN Salatiga, yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.
viii
7. Abah KH. Abda’ Abdul Malik (Pengasuh Pon-Pes Hidayatul Mubtadi-ien Kalibening) atas kesabaran dan bimbingan yang diberikan untuk menempa diriku di pesantren yang akan selalu kurindu. Dan semua dewan asatidz yang telah mendidikku di pesantren dan madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. 8.
Kedua orang tua penulis, Ayahanda Nasikhun dan Ibunda Ismiyani, kuhaturkan terimakasih yang tak terhingga atas semua kasih sayang, do’a, nasihat dan didikannya selama ini.
9. Keluarga Besar Laa Tansa (PAI A 2012), Taufiq, Taufiqurrohmah, Kurnia, Puji, Ismi, Andri, Syamsudin, Bagus, Sariful, Olif, Ela, Riris, Hida, Tyas, Ngizul, Haroh, Chusna, Emy, Putri, Halimin, Dhofir, Farid, Munif, Nanda, Mafa, Fitri, Nisa, Ikhwan, Wafa, Awaf, Ali. Terimakasih atas kebersamaan dan jalinan ukhuwah yang indah selama ini semoga tidak lekang oleh ruang dan waktu. 10. Teman-teman seperjuangan UKM JQH Al-Furqan IAIN Salatiga, Kanda / Yunda (Andri, Lutfi, Ali, Hikmawan, Tri, Dedi, Hadi, Abidin, Sholikin, Zidni, Imam, Fajar, Ana, Nurul, Iklima, Umi, Novi, Zizah, Nikmah, Titik, Fiqoh, Fika, dan kanda-yunda lainnya yang tidak bisa kusebut satupersatu). Kebersamaan, perjuangan, suka dan duka dengan kalian memberikan pengalaman yang sangat berharga bagiku. Jazakumullahu khairan.. 11. Keluarga Besar PPHM Kalibening, rekan-rekan santri seperjuangan: Kang Sholikin, Kang Muhlisin, Kang Imam, Kang Amir, Kang Mustaqim, Kang Shobar, dll yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Terimakasih atas jalinan ukhuwah, motivasi, bantuan, dan kepeduliannya selama penulis menimba ilmu di Salatiga. Semoga ukhuwah kita senantiasa terjaga sebagai akhun fillah, dan sedikit banyak ilmu yang kita peroleh semoga berkah dan bermanfaat. Amiin.. 12. Teman-teman Mahasiswa PAI, PPL dan KKN angkatan 2012 yang saling memotivasi dan mendukung agar cepat menyelesaikan perkuliahan, terimaksih atas kebersamaannya selama ini.
ix
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan studi S-1 di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tulisan ini masih jauh dari sempurna, meskipun penulis telah mencurahkan seluruh kemampuan penulis. Apa-apa yang benar dari tulisan ini adalah datangnya dari Allah SWT, sedangkan apa yang salah berasal dari diri yang lemah ini. Untuk itu saran dan masukan dari semua pihak senantiasa penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangsih bagi dunia intelektual khususnya studi keislaman dan memberikan manfaat bagi kita semua.Amin.
Salatiga, 2 September 2016 Penulis
NUR FAIZIN
x
ABSTRAK Faizin, Nur. 2016. Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an Surat AlHujurat Ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir Al-Misbah Karya Quraish Shihab). Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing. Dr. M. Gufron, M. Ag Kata Kunci : Nilai-Nilai Kemasyarakatan, Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci universal -berlaku untuk setiap ruang waktuyang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Di dalamnya mengandung banyak nilai dan pesan universal yang berbicara tentang kemasyarakatan dengan fungsi utama untuk mendorong lahirnya perubahanperubahan positif dalam masyarakat. Problem-problem yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat tentu tidak pernah ada habisnya. Untuk itu al-Qur’an hadir menjadi solusi dengan memberikan petunjuk dan pedoman hidup mengenai nilainilai kemasyarakatan. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 yang penulis angkat menjadi tema penelitian ini, “Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Al-Hujurat Ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir AlMisbah Karya Quraish Shihab)”. Fokus penelitian yang dikaji adalah: 1. Nilainilai kemasyarakatan apa sajakah yang terdapat dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13. 2. Bagaimanakah penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13. 3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini. Dalam penelitian ini, kitab tafsir yang menjadi kajian utama adalah Tafsir al-Misbah Karya Quraish Shihab. Sebagaimana yang dikenal memiliki corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’i. Selain itu, Tafsir al-Misbah adalah karya mufassir kontemporer Indonesia, sehingga akan lebih relevan penafsirannya dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode analisis isi atau (content analysis). yakni suatu upaya menganalisis penafsiran al-Misbah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang terdapat di dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 kemudian dicari bagaimana relevansinya pada era sekarang ini. Dari hasil penelitian ini, penulis mendapatkan beberapa nilai dan pesan moral yang ada dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, yang penulis klasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, dalam bentuk perintah, yaitu; Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Kedua, dalam bentuk larangan, yaitu; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. Aturan moral dalam hubungan interaksi antar manusia inilah yang disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, bahwa Allah SWT ingin mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman dengan akhlak yang baik, jika berpegang teguh dengan nilai-nilai itu maka akan langgenglah rasa cinta, persatuan dan kesatuan serta menambah kuatnya ukhuwah dalam kehidupan bermasyarakat.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i HALAMAN BERLOGO................................................................................... ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TUISAN...........................................................
v
MOTTO............................................................................................................. vi PERSEMBAHAN.............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR....................................................................................... viii ABSTRAK........................................................................................................
xi
DAFTAR ISI.....................................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................
8
C. Tujuan Penelitian..............................................................
9
D. Kegunaan Penelitian.........................................................
9
E. Metode Penelitian.............................................................
10
1. Jenis Penelitian.....................................................
10
2. Sumber Data.........................................................
11
3. Metode Analisis Data...........................................
13
F. Penegasan Istilah..............................................................
13
G. Sistematika Pembahasan..................................................
15
xii
BAB II
BIOGRAFI QURAISH SHIHAB DAN GAMBARAN TAFSIR AL-MISBAH
BAB III
A. Biografi M. Quraish Shihab..............................................
17
B. Karya-karya M. Quraish Shihab.......................................
20
C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah....................................
21
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir...........................
21
2. Metode dan Sistematika Penulisan.......................
22
3. Corak Penafsiran...................................................
25
KAJIAN PUSTAKA A. Nilai..................................................................................
27
1. Pengertian Nilai....................................................
27
2. Tata Nilai..............................................................
29
3. Macam-macam Nilai............................................
30
B. Masyarakat........................................................................
32
1. Pengertian Masyarakat.........................................
32
2. Masyarakat dan Macamnya..................................
35
3. Asal Masyarakat...................................................
36
C. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan Secara Umum........
38
D. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an...
43
E. Surat Al-Hujurat Ayat 9-13..............................................
48
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan..............................
48
2. Gambaran Umum dan Pokok Kandungan Surat Al-Hujurat Ayat 9-13.........................................
BAB IV
50
3. Asbabun Nuzul.....................................................
52
4. Munasabah............................................................
57
ANALISIS NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM AL-QUR’AN
SURAT
AL-HUJURAT
AYAT
9-13
MENURUT TAFSIR AL-MISBAH A. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Perintah.................
xiii
64
1. Al-Islah (Perdamaian)...........................................
64
2. Adil.......................................................................
67
3. Ukhuwah (persaudaraan)......................................
71
4. Ta’aruf (saling mengenal)....................................
77
5. Al-Musawah (persamaan derajat).........................
79
B. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Larangan...............
82
1. Mengolok-olok.....................................................
82
2. Mengejek..............................................................
86
3. Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar Buruk....................................................................
88
4. Berprasangka Buruk (Su’u Zann).........................
91
5. Mencari-cari Kesalahan........................................
94
6. Menggunjing (Ghibah).........................................
96
C. Relevansi Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat AlHujurat ayat 9-13 dengan Kehidupan Masa Kini........... BAB V
100
PENUTUP A. Kesimpulan.......................................................................
104
B. Saran-Saran....................................................................... 110 C. Penutup............................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
111
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar SKK 2. Lembar Konsultasi 3. Daftar Riwayat Hidup
xv
iv
iv
iv
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara malaikat Jibril alaihis salam, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nash, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara Mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan Ibadah. ( Ash-Shaabuuniy, 1999: 15). Al-Qur’an juga sembagai sumber utama ajaran agama Islam. Di dalamnya mencakup ajaran tentang I’tiqad (keyakinan), akhlak (etika), sejarah, serta amaliyah (tindakan praktis). (Naim, 2009:56) Al-Qur’an merupakan peraturan bagi umat Islam sekaligus way of lifenya yang kekal hingga akhir masa. Oleh karena itu kewajiban umat Islam adalah memberikan perhatian yang besar terhadap al-Qur’an baik dengan cara membacanya, menghafal, atau mempelajarinya. Dalam al-Qur’an tidak terdapat sedikitpun kebatilan serta kebenaranya terpelihara dan dijamin keaslianya oleh Allah SWT sampai hari kiamat (Raghib, 2010:16). Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Hijr ayat 9
2
∩∪ tβθÝàÏ≈ptm: …çµs9 $‾ΡÎ)uρ tø.Ïe%!$# $uΖø9¨“tΡ ßøtwΥ $‾ΡÎ) “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (Departemen Agama RI, 1982:263)
Al-Qur’an merupakan kitab suci universal-berlaku untuk setiap ruang waktu-yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Keuniversalan al-Qur’an terletak pada cakupan pesannya yang menjangkau keseluruh lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana saja. (Kemenag RI, 2012:xiii) Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat menjalani kehidupannya dengan baik dan benar tanpa ada bimbingan dari al-Qur’an, dengan alasan yang sama dapat dipahamai mengapa kitab suci umat Islam ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa al-Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukumhukum kemasyarakatan. (Nurdin, 2007:219) Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tidak akan terlepas dari adanya hubungan (relationship) interaksi (interaction) dan kerjasama (cooperation) kepada antar sesamanya (Shihab, 2006:276). Pada dasarnya, kehidupan bermasyarakat adalah kerjasama yang didorong oleh kesadaran bahwa manusia tidak mampu hidup tanpa adanya kerjasama dengan lainnya. Kecenderungan untuk bekerjasama merupakan suatu esensi dari eksistensi
3
keberadaan manusia di hadapan Tuhannya. Karena pada dasarnya manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan suatu keniscayaan bagi mereka (Shihab, 1999:320). Mereka harus bekerjasama dan topang menopang antara satu dengan yang lainnya demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya. (Shihab, 2006:276) Problem-problem kemasyarakatan di dunia ini tidak akan pernah ada habisnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sikap persaudaraan, saling menghormati antar sesama, tidak memandang perbedaan dan kekurangan, saling menghargai baik sesama muslim maupun non-muslim merupakan landasan untuk menciptakan masyarakat yang ideal, hidup dengan damai, rukun, dan penuh rasa aman. Dalam konteks yang lebih sempit, sebagai contoh Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindu,
Budha,
Konghucu
kepercayaan. (Chanifah, 2012:1)
serta
berbagai
macam
aliran
4
Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang tindak dan wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal yang lainnya, tak dapat dipungkiri, mereka mempunyai pandangan yang beragam. Contohnya, masyarakat kita-dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda seperti, pendidikan, etnis, agama, kelas sosial dan ekonomi-mempunyai tindakan dan pandangan yang berbeda-beda pula tentang berbagai macam fenomena sosial seperti, kesetaraan gender, demokrasi, hak asasi manusia dan terhadap hal-hal yang lainnya. Ada anggota masyarakat yang kurang mendukung adanya proses demokrasi di negara ini, namun disisi lain tidak sedikit masyarakat yang menginginkan adanya demokrasi. Ada anggota masyarakat yang sangat peduli dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, namun disisi lain, tidak sedikit masyarakat yang tidak peduli terhadap masalah tersebut. Bahkan mereka dengan sengaja menggilas hak-hak asasi orang lain. Ada anggota masyarakat yang merespon baik dan bahkan mendukung adanya kesetaraan gender, namun tidak sedikit masyarakat yang menentangnya. (Yaqin, 2005:34) Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi, nepotisme,
premanisme,
terorisme,
perseteruan
politik,
kemiskinan,
kekerasan, perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian
5
dari multikulturalisme itu. Contohnya yang lebih kongkrit dan sekaligus menjadi pengalaman pahit bagi bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut partai komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis cina di Jakarta pada Mei 1998 dan perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Rangkaian konflik itu tidak hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia (Chanifah, 2012:3), dan yang barubaru ini terjadi di tahun 2016 aksi ricuh unjuk rasa pengemudi taxi yang diwarnai tawuran dan aksi lempar batu dengan pengemudi ojek online terkait konflik adanya wajah baru transportasi online yang dianggap merugikan transportasi model lama (konvensional) pada selasa 22 Maret 2016, tawuran antar warga johar Baru Jakarta Pusat pada 18 Mei 2016 malam, terjadi di 3 lokasi sekaligus yang hanya berselang satu jam lamanya, yaitu RT 06/03 Kelurahan Rawa, Jalan Taman Solo, dan Kampung Rawa (Liputan6.com 19/05/2016). Dan masih banyak lagi ratusan bahkan ribuan kasus yang belum kita ketahui karena tidak diinformasikan oleh media masa. Hal tersebut memberikan bukti bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang ada di dalam alQur’an belum diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia yang notabene penduduk muslimnya terbanyak di dunia.
6
Menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya pemerintah pada umumnya, tapi juga para kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. (Mahfud, 2004:2) Oleh karena itu, agama Islam tidak hanya agama yang mengajarkan ibadah saja, namun juga mengajarkan akhlak dan pergaulan diantara sesama muslim (Shalabi, tt: 267-268). Tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal (Habl min Allah) saja namun juga mengajarkan hubungan horizontal (Habl min al-Nas). Kedua hubungan tersebut harus sejalan dan seimbang sebagaimana bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai peran yang seimbang baik di ranah ilahiah maupun di ranah manusiawi. (Eickelman, dkk, 2010:140) Islam mengajarkan nilai-nilai universal dengan tujuan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin) maka kitab AlQur’an yang merupakan kitab suci yang universal di dalamnya terdapat ayatayat yang mengajarkan tentang perdamaian, persaudaraan, kasih sayang, menghormati perbedaan dan lain sebagainya.
7
Islam sebagai agama yang lengkap nan sempurna mempunyai konsepsi dan prinsip yang dapat memberikan solusi kongkrit dalam memecahkan problem hidup dalam bermasyarakat. Konsepsi dan prinsip tersebut telah tertuang dalam ajarannya –Al-Qur’an– (Muhsin, 2004:viii). AlQur’an hadir menjadi solusi akan hal tersebut dengan memberikan petunjuk dan pedoman hidup mengenai nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang terangkum di dalam 114 surat al-Qur’an. (Mustaqim, 2011:4) Telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Hujurat yang menjelaskan hakikat manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tak lain agar supaya mengenal dan saling menghargai antar sesama. Surat al-Hujurat merupakan salah satu dari beberapa surat yang intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan hidup manusia (Departemen Agama RI, 2009:844). Allah mewahyukan surat tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim maupun kemanusiaan global. Nilai-nilai dan pesan moral yang ada dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 antara lain dalam bentuk perintah seperti Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. Yang semua nilai-nilai itu merupakan pondasi penting bagi pembentukan gerakan muslim untuk perubahan masyarakat sosial.
8
Peneliti melihat bahwa dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 terkandung nilai-nilai kemasyarakatan yang juga layak untuk dikaji seiring dengan perkembangan zaman. Memahami suatu makna al-Qur’an tentunya tidak dapat lepas dari tafsir. Kitab tafsir yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini, ialah Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Peneliti tertarik menggunakan tafsir ini, ialah karena Tafsir al-Misbah adalah karya mufassir kontemporer Indonesia yakni Quraish Shihab, beliau memang bukan satusatunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar alQur'an lainnya. sehingga buah karyanya yakni Tafsir al-Misbah peneliti anggap lebih relevan penafsirannya dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 9-13 (Kajian Pemikiran Tafsir AlMisbah Karya Quraish Shihab) B. Rumusan Masalah Dalam tulisan ini, yang penulis jadikan sebagai rumusan masalah adalah : 1. Nilai-nilai kemasyarakatan apa sajakah yang terdapat dalam QS. alHujurat ayat 9-13 ?
9
2. Bagaimanakah
penafsiran
Quraish
Shihab
terhadap
nilai-nilai
kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 ? 3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung pada QS. al-Hujurat ayat 9-13. 2. Untuk mengetahui penafsiran Quraish Shihab terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13 3. Untuk megetahui relevansi dari nilai-nilai kemasyarakatan dalam QS. alHujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini. D. Kegunaan Penelitian Sedangkan kegunaan atau manfaat yang dapat kita ambil dari penelitian telaah QS. al-Hujurat ayat 9-13 ini adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih komprehensif terhadap pemahaman nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam QS. al-Hujurat ayat 913 dan relevansinya terhadap kehidupan masyarakat modern. 2. Hasil dari pengetahuan ini diharapkan mampu membantu dalam usaha penghayatan dan pengamalan terhadap isi kandungan dan nilai-nilai
10
kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an baik yang tersurat maupun yang tersirat dan lebih khusus lagi pada QS. al-Hujurat ayat 9-13 3. Hasil penelitian ini diharapkan mendapat sambutan hangat dari para peminat studi keislaman dan melengkapi khazanah intelektual Islam, terlebih menjadi sumbangsih literatur bagi IAIN salatiga dalam visinya sebagai pusat kajian Islam Indonesia. E. Metode Penelitian Istilah metode berasal dari kata methodos (yunani) berarti cara atau jalan. Menyangkut dengan upaya ilmiah, metode dihubungkan dengan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapat data dan informasi mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Darmawan, 2013:127). Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Studi pustaka adalah teknik penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi, didasarkan atas bantuan berbagai macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Baik berupa buku, majalah, jurnal, dan beberapa tulisan lain yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam penelitian (Subagyo, 1991:100). Studi
11
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. (Nazir, 1998:111) 2. Sumber Data Data penelitian ini diperoleh dari kitab suci al-Qur’an yang merupakan peraturan bagi umat Islam sekaligus way of lifenya yang kekal hingga akhir masa. Selain itu, sumber data penulisan ini juga diambil dari buku-buku atau bahan bacaan yang relevan dengan pembahasan masalah dalam penelitian skripsi ini. Sumber data penelitian ini penulis bedakan menjadi dua kelompok, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer merupakan pokok yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai informasi yang dicari atau sebagai sumber utama dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini sumber primernya adalah Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, akan tetapi peneliti juga memasukkan pendapat mufassir lainnya yang sepaham dengan mufassir tersebut guna mendapatkan gambaran yang utuh, yang selanjutnya dideskripsikan dan dianalisis sehingga memudahkan menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
12
b. Sumber data sekunder Data skunder merupakan data penunjang yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitianya, atau dijadikan alat untuk dapat menganalisis pembahasan skripsi ini, baik interpretasi mufasir, tokoh intelektual, dan para ilmuan mengenai pokok permasalahan di atas. Sumber sekunder yang digunakan adalah mencakup semua buku, kitab, artikel yang bertema kemasyarakatan dan tulisan-tulisan yang membahas mengenai surat al-Hujurat. c. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data, proses pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dari sumber data berupa buku-buku, kitabkitab, jurnal ilmiah, makalah, ensiklopedi, dokumen, web site dan tulisan-tulisan yang lain sesuai tema yang diangkat. Langkah-langkah yang ditempuh ialah penelusuran data, klasifikasi dan pengorganisasian data kemudian penyajian data. 3. Metode Analisis Data Analisis data adalah alat bantu statistik atau yang lainnya yang digunakan untuk menganalisis data atau menguji hipotesis yang diperoleh (Pratiwi, 2009:52). Analisis non-statistik sesuai untuk data deskriptif atau data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis macam ini juga disebut analisis isi (content analysis) (Suryabrata, 2005:85). Dari data yang diperoleh penulis, untuk
13
menganalisisnya digunakan metode analisis isi atau content analysis. Menurut Wimmer dan dominick, dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif karya Burhan Bungin (2011: 135) menjelaskan bahwa analisis isi yaitu teknik penelitian untuk mengajari dan menganalisis komunikasi secara sistematis, objektif, dan komunikatif terhadap pesan yang tampak. Analisis isi juga bisa didefinisikan sebagai teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru shahih data dengan memperhatikan konteksnya (Anton Bekker,dkk, 1990: 65). Disini peneliti menggunakan metode content analysis dalam menguraikan makna yang terkandung dalam redaksi al-Qur’an, setelah itu dari hasil interpretasi tersebut dilakukan analisa secara mendalam dan seksama guna menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis. F. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman penafsiran terhadap judul skripsi ini, yaitu nilai-nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam QS. al-Hujurat ayat 9-13, maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini, yaitu: Nilai Kemasyarakatan Sebelum membahas lebih mendalam mengenai isi dari surat alHujurat ayat 9-13, maka penulis kemukakan lebih dahulu apa arti nilai dan kemasyarakatan.
14
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Nilai berarti sifat-sifat (halhal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Purwadarminta, 1999: 677) menurut Chabib Toha (1996:60) nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Kata majemuk “nilai-nilai” menurut Muhaimin berasal dari kata dasar “nilai” diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting (Muhaimin, 1993:110). Dalam hal ini nilai yang dimaksudkan adalah mengenai surat alHujurat ayat 9-13.
Sedangkan Kemasyarakatan adalah mengenai masyarakat, sifat-sifat atau hal masyarakat. (Purwadarminta, 1999: 751) Masyarakat, dalam arti yang luas, berarti sekelompok manusia yang memiliki kebiasaan, ide dan sikap yang sama, hidup di daerah tertentu, menganggap kelompoknya sebagai kelompok sosial dan berinteraksi. (Arifin,2008:45)
Dengan begitu, dapat peneliti simpulkan bahwa Nilai Kemasyarakatan adalah suatu etik nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh; nilai yang berhubungan dengan akhlak; nilai atau aturan yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh masyarakat. Sehubung dengan luasnya cakupan pembahasan mengenai nilai-nilai kemasyarakatan, peneliti membatasi pembahasan hanya pada ayat 9-13 surat al-Hujurat yang dalam surat tersebut menurut hasil analisa peneliti terdapat
15
nilai-nilai dan pesan moral antara lain dalam bentuk perintah seperti Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika skripsi ini secara garis besar sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan, dalam bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang
masalah,
rumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika pembahasan. Bab II
Biografi Quraish Shihab, dalam bab ini akan dipaparkan biografi Quraish
Shihab
yang
meliputi,
riwayat
hidup,
aktivitas
keilmuan, dan karya- karyanya. Selain itu, menjelaskan pula kitab tafsirnya yaitu seputar latar
belakang penulisan tafsir, metode
penafsiran, sumber, corak penafsiran dan sistematika penafsiran. Bab III
Kajian pustaka, dalam bab ini dibahas mengenai tinjauan umum mengenai masyarakat dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, serta tinjauan umum mengenai surat al-Hujurat ayat 9-13. Pembahasan
16
pertama mengenai nilai-nilai kemasyarakatan dalam cakupan luas yang
menggambarkan secara umum nilai-nilai kemasyarakatan di
kehidupan manusaia. Pembahasan kedua fokus pada konsep kemasyarakatan dalam Islam yang bersumber dari al-Qur’an beserta nilai-nilai idealnya. Dan pembahasan terakhir yakni deskripsi surat al-Hujurat ayat 9-13 dengan menyajikan gambaran umum surat
tersebut beserta asbabun nuzul, munasabah ayat dan
pokok-pokok yang Bab IV
terkandung di dalamnya.
Deskripsi dan analisis penafsiran Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13, pembahasan selanjutnya ialah relevansi dari nilai-nilai kemasyarakatan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 dengan kehidupan masa kini.
Bab V
Penutup, simpulan dan saran, bab penutup memuat kesimpulan penulis dari
pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat
penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.
17
BAB II BIOGRAFI QURAISH SHIHAB DAN GAMBARAN TAFSIR AL-MISBAH
A.Biografi M. Quraish Shihab Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, kabupaten Sidrap (sidenereng, Rappang), Sulawesi Selatan. Anak ke empat dari Prof. KH. Abdurrahman Sihab seorang ulama dan guru besar ilmu tafsir yang pernah menjadi Rektor Universitas Mulimin Indonesia (UMI) dan IAIN Alauddin Makasar.(Shihab, 1994:14) Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan putra-putrinya tentang islam, yaitu beliau sering sekali mengajak
anak-anaknya
duduk
bersama.
Pada
saat
inilah
beliau
menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal dari Al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar Al-Qur’an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang membimbingnya. Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan melanjutkan
18
studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya. (Shihab, 1994:14) Quraish Shihab berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Selama sepuluh tahun lebih dia belajar di negeri pyramid itu. Ia belajar di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir-Hadis. Pada tahun 1967 ia lulus Sarjana setingkat S1 bergelar Lc dan dua tahun kemudian lulus S2 bergelar MA
dengan
tesis
berjudul Al-I’jaz
at-Tasyri
li
al-Qur’an
al-
Karim (Kemukjizatan al-Quranul Karim dari segi Hukum). Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur. Pada tahun 1980, ia kembali ke Mesir untuk mengambil gelar doktor di almamaternya, Universitas al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus doktor untuk bidang ilmu tafsir al-Qur’an dengan disertasinya yang berjudul Namz ad-Dural li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian Terhadap Kitab Durar (Rangkuman Mutiara) Karya al-Biqa’i), serta predikat Mumtaz
Ma’a
Laude prestasi istimewa).
Martabah
asy-Syarif
al-‘Ula (Summa
Cum
19
Selanjutnya berbagai amanah diembannya sekembalinya ke Indonesia sejak 1984 diantaranya: a. Guru Besar Ilmu Tafsir di Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1993). b. Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII pada masa
pemerintahan
Presiden Suharto (1998). c. Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Arab Saudi pada masa pemerintahan Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid. d. Ketua MUI Pusat (1984) e. Lajnah Pentashih Departemen Agama (1989) f. Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989) Keilmuan yang dimiliki Qurais Shihab mengantarnya terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Mulsim Indoneisa (ICMI). Di sela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibah dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Di samping kegiatan tersebut, M. Qurais Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media televisi. Beliau diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta,moderat.
20
B.Karya-karya M Qurasih Shihab Quraish
Shihab
dengan
keilmuan
yang
dimilikinya
telah
menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun kumpulan artikel yang dihimpun menjadi buku. Berikut karya-karya yang pernah ditulis oleh Qurais Shihab : a. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung pandang, IAIN Alauddin, 1984) b. Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994) c. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996) d. Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994) e. Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) f. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-Ayat Tahlili (Jakarta: Lentera Hati, 1999) g. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (15 jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003) h. Al Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz ‘Amma (Jakarta: Lentera Hati) Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
21
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapatpendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat. (id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03) C. Seputar Kitab Tafsir Al-Misbah 1.Latar Belakang Penulisan Tafsir Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab ditujukan agar tafsir tersebut berfungsi serupa dengan makna Misbah yang berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi sebagai penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Sehingga ia berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa. Tafsir al-Misbah adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan selama kurang lebih empat tahun oleh penulisnya. M. Quraish Shihab memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423 H/5 September 2003.(Shihab, 2003:Vol.15 h.penutup)
22
Niat awal menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan tidak lebih dari tiga volume, namun kenikmatan ruhani justru lebih dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca dan menulis tafsirnya hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume. Satu hal yang membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu surat yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami menunggu karya ilmiah pak Quraish yang lebih serius.”.(Shihab, 2003:Vol.15 h.penutup) Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz lengkap. Keindonesiaan penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah SWT. 2. Metode dan Sistematika Penulisan Dalam sekapur sirih volume 1 Quraish Shihab menuturkan bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir al Mishbah bukan sepenuhnya ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip dan menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas alAzhar, Kairo dua puluh tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir Pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Tanthawi,
23
Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi dan tidak ketinggalan Sayyid Quthb, Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lain. (Shihab, 2003:Vol.1 h.V) Quraish Shihab tidak hanya mengutip atau mengumpulkan buah pikir ulama-ulama yang disebutkan diatas, melainkan ia lebih mengarahkan kutipan tersebut sebagai apresiasi atas kekagumannya terhadap pemikiran ulama terdahulu yang dituangkan dalam karya tafsirnya ini. Bentuk apresiasi itu terwujud dalam komentar yang ia berikan setelah mengutip karya para ulama. Namun, tidak hanya memberikan apresiasi, ia juga memberikan pendapat yang kontradiktif dari para ulama, jika dalam prespektifnya pendapat tersebut tidak sesuai atau salah. Sistematika penulisanTafsir al-Misbah ini dimulai dari penulisan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Setelah itu menguraikan makna-makna penting dalam tiap kosa kata, makna kalimat, maksud ungkapan. Setidaknya, menurut pakar tafsir al-Azhar University, Abdul Hay al-Farmawi, dalam penafsiran al-Qur’an dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i. (al-Farmawi, 2002:23).Jika melihat sistematika penulisan dari Tafsir al-Misbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode yang dipakainya dalam menafsirkan adalah metode tahlily.
24
Metode tafsir tahlili adalah metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsir tahlili, mufassir mengikuti urutan ayat dan surat sebagaimana yang telah disusun di dalam mushaf ‘Utsmani. Muffasir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata yang diikuti dengan
penjelasan
mengenai
arti
global
ayat.
Mufassir
juga
mengemukakan munasabah (korelasi), ayat-ayat, dan menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, membahas sabab alnuzul (latar belakang turunnya ayat) jika ada, dan menyampaikan dalildalil dari hadits, atau dari sahabat, dan atau dari para tabi’in. (Budihardjo, 2012:132) Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Menurut Quraish Shihab, ada beberapa prinsip yang dipeganginya dalam karya Tafsir al-Mishbah, baik tahlilymaupun maudhu’i, bahwa alQur’an merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka tidak luput pembahasan ilmual-munasabat dalam karyanya ini. (Shihab, 2003:Vol.1 h.xxiii)
25
3.Corak Penafsiran Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada Tafsir al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Corak tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan kemasyarakatan umat, dan lainnya. Corak tersebut sangat terlihat jelas, sebagai contoh ketika Quraish Shihab menafsirkan kata َ ھوﻧاdalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish Shihab menjelaskan: “Kata (َ )ھوﻧاhaunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah masdar/indifinite nun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan. Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (
َ)عَل َى األ ً رض ھَوﻧا ِ
َيَم ُشون
yamsyuuna ‘ala al-ardhi haunan/berjalan di atas
bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata
(َ)ھوﻧا
haunan, disiplin lalu
lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang
26
melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya. Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad SAW, dilukiskan sebagai seseorang yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah disiplin lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin sebagai contoh. Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini digolongkan dalam corak al-Adabi al-Ijtima`i. (http://anamko.blogspot.co.id/2013/08/kajian-kitab-tafsir-diindonesia-tafsir.html.diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03)
27
BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. Nilai 1. Pengertian Nilai Nilai disamping juga sebagai produk dari masyarakat, juga merupakan alat atau media untuk menyelaraskan antara kehidupan pribadi dengan kehidupan bermasyarakat. Menanamkan nilai yang baik juga merupakan fungsi utama pendidikan. Ada banyak tokoh pendidikan yang mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milon Rokeach dan Jams Bank yang dikutip oleh Chabib Thoha dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam adalah sebaga suatu sistem kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. ( Thoha, 1996:60) Dalam buku yang sama Chabib Thoha juga mengutip pendapat J.R Fraenkel yang mendefinisikan nilai sebagai berikut: A value is an idea a concept about what some one thinks important in life ( Thoha, 1996:60). Dari pengertian yang dikemukakan oleh J.R Fraenkel, ini menunjukkan bahwa nilai bersifat subyektif, artinya tata nilai pada masyarakat satu belum tentu tepat diterapkan untuk masyarakat yang lain, hal tersebut dikarenakan nilai diambil dari suatu hal yang penting bagi masyarakat tertentu.
28
Sebagai contoh untuk memahami devinisi nilai dari J.R Fraenkel adalah sebagai berikut : a. Segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di daerah pedalaman dari pada segenggam emas. Hal tersebut dikarenakan segengam garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan. Sedangkan segenggam emas hanya sebagai pehiasan. b. Segenggam emas lebih berarti dari pada sekarung garam bagi masyarakat perkotaan. Adanya perbedaan tersebut adalah dikarenakan segi manfaat dari suatu hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Pengertian ketiga yang dikutip Chabib Thoha dalam buku yang sama mengenai pengertian nilai, dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurut Sidi Gazalba pengertian nilai adalah sebagai berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar atau salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi. (Thoha, 1996:61). Pengertian di atas menunjukkan adanya hubungan antara subjek penelitian dengan objek. Seperti halnya garam dikatakan bernilai karena ada subjek yang menganggapnya penting, jika garam tidak ada yang membutuhkan, maka garam dapat dikatakan tidak memiliki nilai. Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil satu kesimpulan tentang definisi nilai yaitu hasil dari pendapat seseorang mengenai suatu hal.
29
2. Tata Nilai Nilai secara umum adalah suatu faham yang sangat varian, dan lebih bertendensi abstrak. Nilai timbul dari olahan sosial yang mempengaruhi individu terus-menerus, sehingga nilai itu menyatu dengan diri. Tanpa adanya interaksi tidak ada nilai. Orang yang sendirian dalam kamar yang terkunci, baginya tidak berlaku nilai apapun. Dalam kesendirian, orang bisa berbuat semaunya, tanpa mengaitkan nilai. Secara prediktif (perkiraan), nilai bisa berupa pandangan, pertimbangan, keyakinan hidup, atau juga bisa timbul dari ramuan agama, atau suatu anggapan yang implisit terikat pada individu atau kelompok individu yang patut dan wajar. Maka, kadang suatu nilai tidak mudah bisa dilepaskan begitu saja, karena telah menjadi bagian atau aspek yang integral dari seluruh kepribadian seseorang. Dalam interaksi sosial, konsep seperti kebenaran, keadilan, kepahlawanan, kesucian kasihsayang, dan sebagainya adalah dambaan nilai, yang membuat pergaulan menjadi sejuk dan abstrak. Merusak nilai pada akhirnya juga merusak norma dan merusak pergaulan. (Sukanto, 1994:45) Nilai dan norma hanya bisa timbul, jika ada keharusan tanggung jawab dan larangan, pada saat manusia hidup berkelompok, karena orang yang menyendiri itu tidak terikat oleh suatu nilai, maka norma pun menjadi tidak berguna baginya. Ini artinya, orang yang suka hidup menyendiri, menjauhi alam dan pergaulan adalah orang yang hidup tanpa nilai dan norma, dan juga tidak memerlukan kualitas kepribadian. Dalam konstelasi alam semesta sebagai keseluruhan, alam dan kehidupan merupakan dua
30
komponen lingkungan hidup manusia dalam sistem alam semesta. Dengan sistem nilai dengan nilai tertentu, manusia bisa mengubah kadar alam menjadi sumber keidupan yang posistif (bermanfaat), atau juga bisa menimbulkan nilai yang negatif (madharat). Dampak manfaat akan membawa manusia kepada kebahagiaan dunia-akhirat. Sedangkan dampak negatif bisa menyebabkan kehancuran dan kesengsaraan kehidupan manusia sendiri, juga dunia-akhirat. Oleh karena itu, mendalami tata nilai berarti bahwa dalam menyelnggarakan kehidupan di bumi ini, orang harus mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Tuhan, kepada diri sendiri, kepada masyarakat, dan kepada alam semesta. (Sukanto, 1994:45 Op. cit) 3. Macam-macam Nilai Menurut Noeng Muhadjir nilai dibedakan menjadi dua macam, yaitu nilai Ilahiyah dan Insaniyah (Thoha, 1996:64). Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai Insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula. Nilai Ilahiyah dapat dibagi menjadi dua, pertama nilai ubudiyah yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku dan beribadah terhadap Tuhannya. Nilai uluhiyah sering kita sebut dengan istilah “hablum minallah”. Kedua, nilai muammalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Tuhan bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Nilai Insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial,
31
nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik, dan nilai estetik. Nilai ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”. (Thoha, 1996:64). Menurut analisa peneliti, termasuk dalam nilai insaniyah juga meliputi nilai disiplin lalu lintas, nilai budaya dan juga nilai tradisi. Allah SWT berfirman:
∩⊇∪ šÎ=Îγ≈pgø:$# Çtã óÚÌôãr&uρ Å∃óãèø9$$Î/ ó÷ß∆ù&uρ uθøyèø9$# É‹è{ “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. alA’raf:199). (Departemen Agama RI , 1982:177) Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Kalimat al-‘urf adalah bentukan dari kata al-ma’ruf yang berarti segala bentuk kebaikan yang telah diketahui secara umum oleh masyarakat. Kata Al-Ma’ruf sendiri banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an yang bermakna kebaikan yang selaras dengan kebaikan yang diterima oleh manusia secara umum. Dalam hal ini al-ma’ruf juga bermakna adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga ayat ini memiliki banyak hubungan (munasabah) dengan ayat-ayat yang membicarakan tentang adat/’urf yang ada di masyarakat. (http://majelispenulis.blogspot.co.id/2013/12/tafsir-al-quran-al-araf199.html. diakses senin 8 Agustus 2016 pukul 11.38)
32
Dari kedua jenis nilai di atas maka nilai Ilahiyah merupakan nilai yang tidak lagi bersifat subyektif melainkan menjadi obyektif pada kalangan agama tertentu. Hal ini dikarenakan nilai Ilahiyah tentunya didasarkan pada firman Tuhan yang terdapat pada kitab suci agama tertentu. Meski nilai pada masyarakat berbeda namun beragama sama, tentu saja aplikasi beragama pada masyarakat tersebut tetaplah sama. Begitu juga nilai-nilai Ilahiyah dalam agama Islam tentulah sama walau berada dalam masyarakat yang memiliki budaya berbeda. Berdasarkan adanya dua macam nilai di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai-nilai Ilahiyah maupaun Insaniyah yang ada dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9-13. B. Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat
33
yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009:115-118). Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soerjono Soekanto 2006:22), memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat. Menurut Ralph Linton (dalam Soerjono Soekanto, 2006:22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasbatas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
34
Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai sekumpulan manusia di dalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah: 1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama; 2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama; 3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; 4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Menurut Emile Durkheim (dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29 31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial di dalam bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006: 22). Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society. Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah
35
sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. 2. Masyarakat dan macamnya Masyarkat adalah satu kesatuan yang selalu berubah, yang hidup karena proses masyarakat yang menyebabkan perubahan itu (Shadily, 1980:33). Dalam zaman biasa masyarakat mengenal kehidupan yang teratur dan aman, disebabkan oleh karena pengorbanan sebagian kemerdekaan dari anggota-anggotanya, baik daengan paksa maupun suka-rela. Pengorbanan di sini dimaksudkan menahan nafsu atau kehendak sewenang-wenang, untuk mengutamakan kepentingan dan keamanan bersama. Dengan paksa berarti tunduk dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan (negara, dan sebagaiya) ; dengan sukarela berarti menurut adat dan berdasarkan keinsyafan akan persaudaraan dalam kehidupan bersama itu (desa berdasarkan adat dan sebagainya). Masih dalam buku yang sama menurut Hassan Shadily (1980:33), cara terbentuknya masyarakat mendatangkan pembagian dalam : a. Masyarakat paksaan, umpamanya negara, masyarakat tawanan ditempat tawanan dan sebagainya. b. Masyarakat merdeka yang terbagi pula dalam :
36
1) Masyarakat alam (nature) yaitu yang terjadi dengan sendirinya : sukugolongan (horde) atau suku (stam), yang bertalian karena darah atau keturunan, umumnya yang masih sederhana sekali kebudayaanya. 2) Masyarakat kultur, terdiri karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan (keagamaan), yaitu antara lain kongsi perekonomian, koperasi, gereja dan sebagaianya. (Shadily, 1980:33) 3. Asal Masyarakat Bemacam-macam penyelidikan dijalankan, untuk mendapatkan jawaban tentang asal masyarakat, tetapi menurut Hassan Shadily dalam bukunya Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, tiada suatupun yang dapat ditegaskan benar, semua pendapat hanya merupakan kira-kira dan pandangan saja. Antara lain orang berkesimpulan, bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri, hidup dalam gua atau dipulau sunyi umpamanya. Selalu ia akan tertarik kepada hidup bersama dalam masyarakat, karena: a.
Hasrat yang berdasar naluri (kehendak yang di luar pengawasan akal) untuk memelihara keturunan, untuk mempunyai anak, kehendak mana akan memaksa ia mencari isteri sehingga masyarakat keluarga terbentuk.
b.
Kelemahan manusia selalu terdesak ia untuk mencari kekuatan bersama, yang terdapat dalam berserikat dengan orang lain, sehingga berlindung bersama-sama dan dapat pula mengejar kebutuhan kehidupan sehari-hari dengan tenaga bersama.
37
Sejak lahirnya sebagai bayi manusia telah tampak dalam kelemahannya, kebutuhan untuk perlindungan dari ibu-bapak selalu diharapkannya, demikian pula perlindungan keluarga itu sendiri terhadap bahaya yang mengancam dari luar. Demikian keluarga terjadi, dan selanjutnya suku bangsa, bangsa dan sebagainya. c.
Pendapat Aristoteles yang dikutip Hassan Shadily (1980:34): bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka daripada hidup sendiri. Masih berhubungan dengan pendapat Aristoteles, mengingatkan
akan
pikiran-pikiran Darwin yang seolah-olah diperkuat olehnya. Manusia yang dikatakan satu keturunan dengan kera tentu saja terdapat hidup bergolongan, karena nyata sekali bahwa kera dan sebangsanya selalu terdapat hidup dalam bergolongan. Juga hewan-hewan yang lebih rendah cara hidupnya seperti burung, ikan, dan lainnya telah terdapat dalam golongan. Selanjutnya adalah kerjasama, pertolongan, penjagaan dan pembalasan bersama terdapat dalam gerombolan semut, kera, gajah dan sebagainya (Tiersosiologi- Dr. F Alves) dimana bukan akal tetapi naluri yang menjadikan mereka bersatu. Sedikit sekali kiranya kekeliruan, jika manusia yang masih sederhana cara hidup dan pikirannya dipersamakan aturan
hidupnya
dengan
hewan-hewan
tersebut.
Artinya
mereka
mengadakan hidup bersama dengan tak memikir untung-rugi lebih dahulu
38
menurut prinsip ekonomi umpamanya. Yang selalu terdapat pada manusia modern. d.
Lain dari pada Aristoteles, Hassan Shadily juga mengutip pendapat Bergson (lahir 1859): bahwa manusia hidup bersama bukan oleh persamaan, melainkan oleh karena perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya, demikian oleh karena pendapat ini berdasar kepada pelajaran dialektika, yang mencoba melihat kebenaran dalam kenyataanya dengan mengadakan perbedaan dan perbandingan. Pendapat Aristotels yang telah kuno itu tidak berentangan dengan pendapat Bergson yang bersifat modern ; kedua-duanya dapat diakui kebenaran dasar pemikirannya. (Shadily, 1980:34)
C. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan Secara Umum 1. Pembawaan Sosial Manusia sebagai makhluk masyarakat. salah satu kehilafan yang sangat umum ialah anggapan, bahwa manusia “menurut kodratnya” adalah egois dan bahwa ia mempunyai kebebasan yang sangat luas. Tiap orang mengenal kekuatan “akunya” sendiri, tetapi hanya sedikit orang yang menginsyafi, betapa erat “aku” ini dengan “kita”. Manusia baru menjadi manusia, karena hidup bersama dengan manusia yang lain. (Bouman, 1976:16) Bouman (1976:16) dalam bukunya Ilmu Masyarakat Umum, mendefinisikan pembawaan manusia dalam masyarakat sebagai jumlah dari
39
segenap sifat yang berkembang dalam pergaulan dengan orang lain. Sifatsifat tersebut kerap kali terdapat dalam pertentangan satu dengan lainnya : perasaan harga diri di samping kecenderungan untuk patuh atau menyerah, simpati dan sifat-sifat penolong di samping nafsu berjuang, hasrat menyampaikan perasaan atau pikiran di samping kecenderungan menyendiri dan menyimpan rahasia. Justru dalam pertentangan-pertentangan inilah tersembunyi kekayaan alam tabiat manusia yang tak ubahnya dengan semua bentuk-bentuk hidup. Pembawaan sosial memang meperlihatkan beberapa sifat-sifat yang tetap, tetapi hasrat naluri adalah tetap lebih penting, karena ia bersama-sama dengan sifat-sifat yang diperoleh kemudian, menjadi sebab dapat berubahubahnya alam tabiat manusia dalam
batas-batas tertentu. Bilamana
pembawaan sosial manusia tidak dapat berubah dan tidak dapat diolah lagi, maka tidak akan mungkin ada pendidikan dan perkembangan kebudayaan. Maka manusia akan tetap terkurung dalam kehidupan kehewanan yang tidak bersejarah, yang terus berulang-ulang seperti suatu lingkaran yang tak berujung berpangkal. Ini menggambarkan bagaimana alam tabiat manusia baru dapat berkembang setelah ia bergaul dengan sesama manusia. (Bouman, 1976:16-17) 2. Kecenderungan Meniru dan Saling Bergaul (berinteraksi) Kecenderungan meniru termasuk kecenderungan naluriah, yang berubah-ubah dalam pergaulan masyarakat dan yang banyak mempunyai
40
peranan yang pentin-penting. Apa yang ada dalam permainan anak-anak masih berupa “peniruan”, jika dilihat dari sudut kemasyarakatan mempunyai dua arti: a. Mempertahankan bentuk-bentuk kebudayaan dan adat istiadat yang diambil secara diam-diam oleh keturunan yang satu dari keturunan yang lain. Hal ini terutama berlaku untuk segenap adat sopan-santun. b. Penghematan tenaga. Tidak semua tindakan dapat didasarkan atas keputusan kehendak yang bebas. Sebagai ganti pertimbangan yang teliti, dapat diadakan peniruan, untuk memudahkan hidup. (Bouman, 1976:22) Dalam abad kesembilanbelas, karena pengaruh cara berpikir ilmu pengetahuan alam, orang telah mengemukakan pentingnya naluri bergaul sebagai suatu keharusan hayati, yang rupanya juga dalam zaman purbakala telah menjadi syarat untuk mencari makanan dan untuk keamanan. Barulah kemudian orang mulai memahami golongan sebagai kesatuan kemasyarakatan, di mana antara lain karena kecenderungan manusia untuk bergaul, dalam hal ini pergaulan itu mempuyai peranan sebagai tadi-sekarang dalam arti yang lebih luas- seluruh pembawaan kemasyarakatan tiap orang dapat berkembang, menjadi penolong terbentuknya pribadi seseorang. (Bouman, 1976:24) 3. Tolong-menolong dan Simpati Simpati ialah kesanggupan untuk dengan langsung turut merasakan apa yang orang lain rasakan. Batas antara ‘aku’ dan ‘kita’ jadi kabur dan
41
jadilah perasaan suka “mengerti”. Mengerti adalah semacam mengetahui, di samping ‘langsung merasakan’ atau ‘ikut merasakan’. Pada bentuk simpati yang murni, perasaan-perasaan yang tak sadarlah berkuasa. Perasaanperasaan serupa itu kebanyakan ditimbulkan dalam hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak melihat sesuatu kejadian atau bilamana gambarnya kabur, maka tampaklah bahwa kekuatan perasaan simpati itu berkurang. Hal ini berlaku pula bagi kecenderungan tolong-menolong, yang demikian erat hubungannya dengan simpati. Kecenderungan naluriah untuk menolong orang lain sebenarnya berdasarkan perasaan simpati daripada perasaan kasihan yang bersifat sepihak saja. Orang yang terjun ke dalam air untuk menolong seseorang yang hendak tenggelam, biasanya bukanlah didorong oleh perasaan kasihan. kebanyakan tolong-menolong terbatas pada pemberian pertolongan kecilkecil antara seseorang dengan orang lain. Bantu-membantu ini mempererat hubungan antara sesama manusia (jugs hubungsn batin) dan oleh karena itu menjadikan faktor dalam pembentukan perasaan bersatu padu. (Bouman, 1976:24) 4. Hasrat Berjuang Arti hasrat berjuang ini untuk masyarakat, terutama terletak dalam kenyataan, bahwa oleh karenannya individu menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam dirimya tumbuh sifat-sifat yang memungkinkannya untuk mempertahankan diri dalam hubungan golongan. Kedua: hasrat
42
berjuang ini memperkuat perasaan persatuan, bilamana ia dapat melahirkan pembelaan masyarakat dengan cara tersusun, baik dengan bertindak bersama-sama terhadap ancaman dari luar, maupun dengan mengambil tindakan-tindakan terhadap orang yang membahayakan persatuan dan ketertiban dalam sebuah golongan. 5. Hasrat Memberitahukan dan Mudah Menerima Kesan Hasrat
untuk
memberitahukan
sebagai
kebutuhan
untuk
menyampaikan perasaan-perasaan atau pengetahuan sendiri kepada orang lain. Hasrat memberitahukan yang sebenarnya berdasarkan kecenderungan kemasyarakatan untuk mencari hubungan dengan orang lain. Percakapan yang dilakukan dalam kereta api atau dalam toko tentang udara, jarang dimaksudkan untuk betul-betul mempercakapkan keadaan iklim. Keinginan untuk menyatakan perasaan hati dengan berbagai suara dan isyarat, diperkuat karena adanya sifat mudah menerima kesan dari yang diajak bercakap. Tiap hasrat menyampaikan sesuatu, menghendaki semacam balasan atau resonansi pada orang lain. Di siniah letak arti kecenderungan tersebut untuk kehidupan dalam masyarakat: orang mencari hubungan dan mempererat tali hubungan itu. Kehidupan bergolongan menjadi teguh karenanya. Sifat saling memperhatikan memajukan penyebaran pengetahuan dalam lingkungan masyarakat; rasa ‘asing’ terhadap orang lain dalam masyarakat itu hilang. (Bouman, 1976:29-30)
43
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dalam kehidupan bermasyarakat terdapat aspek-aspek nilai kemasyarakatan secara umum yang di dalamnya mencakup pembawaan sosial, saling bergaul, saling berinteraksi, mudah menerima kesan, simpati, kerjasama, gotong-royong, memiliki tujuan bersama, saling membutuhkan satu sama lain, serta memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang diikat oleh kesamaan budaya, wilayah, identitas, tradisi, sikap dan juga adat istiadat. D. Aspek-Aspek Nilai Kemasyarakatan dalam Al-Qur’an Islam memandang manusia berasal dari satu diri (QS. 4:1) yang kemudian berkembang menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa (QS. 49:13). Baik dilihat dari asal manusia yang satu diri maupun setelah ia berkembang biak
memenuhi
bumi,
manusia
seyogyanya
tidak
membeda-bedakan
sesamanya dengan dalil apapun, seperti karena perbedaan keturunan, ras, suku, bangsa, agama, dan sebagainya. Justru perbedaan itu mendorong manusia untuk saling mengenal, saling berhubungan, dan saling berlomba-lomba dalam kebaikan (QS. 49:13). Perbedaan derajat manusia hanyalah di sisi Tuhan saja sedang manusia sama sekali tidak berwenang untuk menarik garis kesenjangan dengan cara-cara yang tidak menurut aturan Tuhan, lebih-lebih jika dengan cara yang tidak manusiawi. Allah memandang manusia bertingkat rendah dan tinggi, hina dan mulia sesuai dengan tinggi rendahnya persentasi dimensi ketakwaan kepada-Nya.
44
Menurut Islam atribut inti manusia adalah kepribadian, yang mencakup pemilikan kesadaran diri, pengarahan diri, kehendak dan intelek kreatif. Dari pribadi-pribadi itu tersusun kelompok-kelompok manusia mulai dari unit terkecil (keluarga), himpunan dari keluarga-keluarga (seperti RT) dan selanjutnya dibangun suatu masyarakat besar baik terikat dalam kesamaan bangsa, bahasa, negara, maupun persaudaraan seagama. Secara pribadi-pribadi manusia bertanggung jawab kepada Tuhan dalam hal-hal yang berkaitan dengan soal pengabdian (ibadah) secara vertikal kepada-Nya. Akan tetapi dalam rangka itu sebagai makhluk, ia hidup dalam keberadaan makhluk lain, dan hidup berdampingan dengan sesamanya. Ia selama hidup di dunia, sejak lahir sampai mati, memeng tidak bisa terlepas dari manusia lainnya. Karena itu manusia
adalah
makhluk
individu
sekaligus
makhluk
sosial
(yang
bermasyarakat) (QS. 2:213;49:13). Perbedaan-perbedaan yang tampak di sisi manusia karena status sosial, ekonomi, ras, dan derajat keturunan umpamannya tidaklah boleh terlalu ditonjolkan sehingga akibatnya akan menampilkan berbagai kekeruhan dan perpecahan dalam masyarakat yang bersangkutan (QS. 49:11-12) Meskipun manusia diciptakan dalam beribu-ribu tabiat dan selera dalam keindividuan dan pribadi, namun ia difitrahkan untuk hidup bermasyarakat. Adalah di luar jangkauan kemampuan manusia untuk hidup sendiri-sendiri. Para peneliti menemukan, bahwa siksaan yang paling mencekam bagi manusia adalah terkurungnya ia dalam penjara kesendirian. Demikian itu karena setiap
45
individu pada dasarnya sangat banyak tergantung pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberadaannya dalam kelompok. Masyarakat dalam pandangn Islam merupakan alat atau sarana untuk melaksanakan
ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama.
Karena itulah masyarakat harus menjadi dasar kerangka kehidupan duniawi bagi kesatuan dan kerja sama untuk menuju adanya suatu pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan. Pembinaan masyarakat haruslah dimulai dari pribadi-pribadi, masing-masing wajib memelihara diri, meningkatkan kualitas hidup, agar dalam hidup di tengah masyarakat itu, disamping dirinya berguna bagi masyarakat, ia juga tidak merugikan orang lain. Islam mengajarkan bahwa kualitas manusia dari suatu segi bisa dipandang dari manfaatnya bagi manusia yang lain. Dengan pandangan mengenai status dan fungsi individu inilah Islam memberikan aturan moral yang lengkap ini didasarkan pada waktu suatu sistem nilai yang berisi norma-norma yang sama dengan sinar tuntutan religius seperti: ketakwaan, penyerahan diri, kebenaran, keadilan, kasih sayang, hikmah, keindahan dan sebagainya. (Kaelany, 2000:156-158) Peran individu yang berkembang tidaklah berarti harus menganggap diri sendiri sebagai kelas istimewa, justru sikap dan sifat kreatif yang muncul dari diri individu itu selain dimanfaatkan untuk diri sendiri, juga hendaknya dapat mendorong dan membantu yang kurang berkembang untuk melakukan upaya yang lebih besar lagi. Dengan demikian, tampillah rasa toleransi dan rasa demokrasi dalam kehidupan sosial yang luas dan saling pengertian. Dalam
46
hal ini peranan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat amatlah penting dalam membina individu-individu itu. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya dengan jelas menyinggung betapa pentingnya peranan keluarga dalam pembinaan pribadi manusia, seperti dikemukakan dalam QS. 31:13-19 dan QS. 66:6.
$pκön=tæ äοu‘$yfÏtø:$#uρ â¨$¨Ζ9$# $yδߊθè%uρ #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩∉∪ tβρâ÷s∆÷σム$tΒ tβθè=yèøtƒuρ öΝèδttΒr& !$tΒ ©!$# tβθÝÁ÷ètƒ āω ׊#y‰Ï© ÔâŸξÏî îπs3Í×‾≈n=tΒ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Departemen Agama RI, 1982:561)
Al-Qur’an menekankan “Persaudaraan orang-orang yang beriman” bersama-sama semua implikasinya (QS. 49:10). Dengan demikian, masyarakat Islam adalah masyarakat persaudaraan. Aturan-aturan al-Qur’an yang berhubungan dengan hubungan-hubungan internasional di kalangan orangorang Islam dan non-Islam serta etika al-Qur’an mengenai perang didasarkan atas keadilan mutlak serta mengakui kerendahan hati. Demikian pula al-Qur’an melarang orang-orang Islam untuk memburu orang-orang non-Islam dan memaksa mereka masuk Islam, dengan demikian memberikan kebebasan memilih bagi mereka.
47
«!$$Î/ -∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω ∩⊄∈∉∪ îΛÎ=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#uρ 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρóãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. 2:256) (Departemen Agama RI, 1982:43)
Al-Qur’an telah menjadikan jihad sebagai salah satu kewajiban setiap umatnya yang tidak bisa dihindari (QS. 22:78), dan telah menekankan bahwa nilai manusia ini tergantung hasil kerjanya (QS. 53:39). Di samping itu, alQur’an juga mengutuk kesenangan akan kehidupan duniawi (QS. 79:38-39). Yang dimaksud dengan kutukan disini, adalah bagi orang-orang mencintai dunia terlalu berlebih-lebihan (QS. 3:138), seperti pengeluaran yang boros dan sia-sia, hidup mewah sehingga lupa diri, mencari kehidupan tanpa mengenal halal dan haram, demi kesenangan apa saja dilakukan. Sebaliknya al-Qur’an berkali-kali mengajak untuk memupuk rasa kasih sayang terhadap Tuhan (QS. 2:165), yang otomatis akan tercermin dalam kecintan terhadap sesama (QS. 2:177). Ini menjadikan kesederhanaan sebagai cita-cita kehidupan Islam, seperti yang telah dicontohkan dengan berhasil oleh Nabi Muhammad SAW, dan dipraktekkan oleh semua yang berjalan dalam derap langkah Islam. Hidup sederhana bukan berarti cepat merasa puas berusaha, atau bermalas-malas, melainkan giat menghadapi hidup dengan berbagai usaha dan upaya, tetapi
48
hasil usaha itu bukan dipergunakan sendiri untuk bermewah-mewah. (Kaelany, 2000:163-164) Dengan demikian, tujuan yang harus dicapai melalui nilai-nilai kemasyarakatan telah dilestarikan oleh al-Qur’an dalam konsep ukhuwah yakni persaudaraan, konsep Islah yakni perdamaian, konsep ta’aruf yakni saling mengenal, konsep musawah yakni persamaan derajat, konsep keadilan, dan juga konsep jalalah yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan yang kesemuanya telah dengan jelas dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat. E. Surat Al-Hujurat Ayat 9-13 1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
$yϑßγ1y‰÷nÎ) ôMtót/ .βÎ*sù ( $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù (#θè=tGtGø%$# tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# zÏΒ Èβ$tGxÍ←!$sÛ βÎ)uρ (#θßsÎ=ô¹r'sù ôNu!$sù βÎ*sù 4 «!$# ÌøΒr& #’n<Î) uþ’Å∀s? 4®Lym Èöö7s? ÉL©9$# (#θè=ÏG≈s)sù 3“t÷zW{$# ’n?tã tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# $yϑ‾ΡÎ) ∩∪ šÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) ( (#þθäÜÅ¡ø%r&uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ $yϑåκs]÷t/ tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ
∩⊇⊃∪ tβθçΗxqöè? ÷/ä3ª=yès9 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 ö/ä3÷ƒuθyzr& t÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù ×οuθ÷zÎ)
>!$|¡ÎpΣ ÏiΒ Ö!$|¡ÎΣ Ÿωuρ öΝåκ÷]ÏiΒ #Zöyz (#θçΡθä3tƒ βr& #|¤tã BΘöθs% ÏiΒ ×Πöθs% öy‚ó¡o„ Ÿω (#θãΖtΒ#u }§ø♥Î/ ( É=≈s)ø9F{$$Î/ (#ρâ“t/$uΖs? Ÿωuρ ö/ä3|¡àΡr& (#ÿρâ“Ïϑù=s? Ÿωuρ ( £åκ÷]ÏiΒ #Zöyz £ä3tƒ βr& #|¤tã $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊇∪ tβθçΗÍ>≈©à9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù ó=çGtƒ öΝ©9 tΒuρ 4 Ç≈yϑƒM}$# y‰÷èt/ ä−θÝ¡àø9$# ãΛôœeω$# Ÿωuρ (#θÝ¡¡¡pgrB Ÿωuρ ( ÒΟøOÎ) Çd©à9$# uÙ÷èt/ āχÎ) Çd©à9$# zÏiΒ #ZÏWx. (#θç7Ï⊥tGô_$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $\GøŠtΒ ÏµŠÅzr& zΝóss9 Ÿ≅à2ù'tƒ βr& óΟà2߉tnr& =Ïtä†r& 4 $³Ò÷èt/ Νä3àÒ÷è−/ =tGøótƒ
49
ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊄∪ ×ΛÏm§‘ Ò>#§θs? ©!$# ¨βÎ) 4 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 çνθßϑçF÷δÌs3sù öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 9.“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.. 10.“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaiakanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”. 11.“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolokolok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuanperempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. 12.“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencaricari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. 13.“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:405-419)
50
2. Gambaran Umum dan Pokok Kandungan Surat Al-Hujurat Ayat 9-13 Surat al-Hujurat terdiri dari 18 ayat, ini termasuk surat Madaniah, surat al-Hujurat merupakan surat yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan. (Qutbh, 2004:407) Nama “al-Hujurat” termabil dari kata yang disebut pada salah satu ayatnya (ayat 4). Kata tersebut merupakan kata satu-satunya dalam alQur’an sebagaimana nama surat ini “al-Hujurat” adalah satu-satunya nama banginya. (Shihab, 2002:567) Tema utama surat ini adalah tentang tata krama, yakni tata krama terhadap (1) Allah SWT, (2) Rasul SAW, (3) Sesama muslim yang taat, (4) Sesama muslim yang durhaka, dan (5) terhadap semua manusia. Karena itu terdapat lima kali panggilan يَا أَ ﱡيھَا الﱠ ِذينَ آ َﻣنُواyang terulang pada surat ini untuk kelima macam objek tersebut. (Shihab, 2012:4) Dalam konteks uraian tentang tema itu, maka ditemukan dalam surat ini banyak nilai luhur yang dipaparkan, seperti tentang kesatuan kemanusiaan, substansi Iman, demikian juga tuntunan menghadapi perbedaan dan perselisihan, serta uraian tentang cara menghindarinya.
51
Dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai itu, akan tercipta kehidupan bahagia bagi setiap individu sekaligus wujud dan mantap sistem kemasyarakatan yang sejahtera. (Shihab, 2012:4) Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam telah memberikan perhatian terhadap perlunya pembinaan masyarakat. Sehubungan dengan itu, pada pembagian ini akan dikaji ayat-ayat yang berhubungan dengan pembinaan masyarakat. (Nata, 2012:232) Surat al-Hujurat merupakan salah satu dari beberapa surat yang intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan hidup manusia (Departemen Agama RI, 2009:844). Allah mewahyukan surat tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim maupun kemanusiaan global. Pada surat al-Hujurat ayat 9-13, dari hasil analisa peneliti di dalamnya terkandung nilai-nilai kemasyarakatan antara lain: dalam bentuk perintah seperti Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, seperti; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari keburukan, dan menggunjing. Yang kemudian akan peneliti kaji lebih mendalam pengertian dari masing-masing nilai tersebut menggunakan kitab tafsir kontemporer
52
yang menjadi kajian utama penelitian ini yakni Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. 3. Asbabun Nuzul Menurut bahasa “Asbabun Nuzul” berarti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih selama 23 tahun. Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki akidah, akhlak, ibadah dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Sebab turunnya ayat atau asbabun nuzul
(sebab-sebab turunnya ayat) disini
dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat-ayat tertentu. Berdasarkan rumusan di atas, bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.( Syadali dan Rofi’i, 2000: 89-90). Dalam kehidupan yang penuh dengan tanda tanya merupakan hal yang tidak mustahil terjadi dikarenakan ada hukum kausal yang sudah menjadi ketetapan mutlak. Allah SWT menjadikan segala sesuatu melalui sebab musabab dan menurut sesuatu ukuran. Tidak seorangpun lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab musabab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak satupun yang terjadi dalam wujud ini kecuali setelah
53
melalui pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga pada perubahan pada cakrawala manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Demikian juga dengan kitab suci al-Qur’an. Sehingga jelas bahwa Al-Qur’an diturunkan melalui sebab musabab (Asbabun nuzul), tetapi tidak semua ayat yang terdapat di AlQur’an memiliki asbabun nuzul. Demikian juga dengan Surat Al-hujurat. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai Asbaun nuzul ayat, berikut ini akan dipaparkan mengenai sebab turun dari surat Al-Hujurat ayat 9-13: Pada ayat 9-10, riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan pertengkaran yang mengakibatkan perkelahian dengan menggunakan alas kaki.
ال َ ََس ب ِْن َﻣالِ ٍك ق ِ َح ﱠدثَنَا ُﻣ َح ﱠم ُد ب ُْن َع ْب ِد ْاألَ ْعلَى ْالقَي ِْس ﱡي َح ﱠدثَنَا ْال ُم ْعتَ ِم ُر ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَﻧ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳلﱠ َم لَوْ أَتَيْتَ َع ْب َد ﱠ ﺻلﱠى ﱠ َ ال فَا ْﻧ ب ِح َمارًا َ َطل َ ق إِلَ ْي ِه َو َر ِك َ َﷲِ ْبنَ أُبَ ﱟي ق َ يل لِلنﱠبِ ﱢي َ ِق ْ َ َ ﱠ ﱠ ﱠ ٌ ﱠ َ َ َ َ َ ال إِل ْيكَ َعنﱢي َ َوا ْﻧطل َ َﺻلى ﷲُ َعل ْي ِه َو َﺳل َم ق َ ق ال ُم ْسلِ ُمونَ َو ِھ َي أرْ ضٌ َﺳبَخَ ة فَل ﱠما أتَاهُ النبِ ﱡي ُول ﱠ ار َو ﱠ فَ َو ﱠ ﺻلﱠى َ ِﷲ َ ال َر ُﺟ ٌل ِﻣ ْن ْاألَ ْﻧ َ َال فَق َ َاركَ ق ِ ﷲِ لَ ِح َما ُر َرﺳ ِ ص ِ ﷲِ لَقَ ْد آ َذاﻧِي ﻧَ ْت ُن ِح َم ْ َﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳلﱠ َم أ ب لِ َع ْب ِد ﱠ ﱠ ب لِ ُك ﱢل َ َض َ َﷲِ َر ُﺟ ٌل ِﻣ ْن قَوْ ِﻣ ِه ق َ َض َ َطيَبُ ِريحًا ِﻣ ْنكَ ق ِ ال فَغ ِ ال فَغ ال فَبَلَ َغنَا أَﻧﱠھَا َ َال ق َ ال فَ َكانَ بَ ْينَھُ ْم َ َاح ٍد ِﻣ ْنھُ َما أَﺻْ َحابُهُ ق ِ َو ِ ضرْ بٌ بِ ْال َج ِري ِد َوبِ ْاألَ ْي ِدي َوبِالنﱢ َع ْ َﻧَزَ ل ت فِي ِھ ْم َ } َوإِ ْن { َان ِﻣ ْن ْال ُم ْؤ ِﻣنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَﺻْ لِحُوا بَ ْينَھُ َما ِ طائِفَت Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul A'la Al Qaisi telah menceritakan kepada kami Al Mu'tamir dari ayahnya dari Anas bin Malik dia berkata, "Seseorang mengusulkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Alangkah baiknya seandainya anda datang menjenguk Abdullah bin Ubay." Anas berkata, "Kemudian beliau pergi menjenguknya dengan mengendarai keledainya bersama-sama dengan beberapa orang Muslim, sementara Ubay tinggal di tanah yang gersang. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya, dia berkata, "Menjauhlah kamu dariku, demi Allah bau keledaimu telah menyakitiku." Seorang laki-laki dari Anshar menyahut, "Demi Allah, bau keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi
54
wasallam lebih harum daripada baumu sendiri." Anas berkata, "Lalu seorang laki-laki dari kaumnya (Ubay) angkat bicara hingga masingmasing pihak sama-sama marah dan hampir terjadi perkelahian antara mereka." Anas melanjutkan, "Mereka saling pukul memukul dengan pelepah kurma, dengan tangan dan dengan sepatu atau sandal. Anas berkata, "Berkenaan dengan mereka, maka turunlah ayat: '(Jika dua golongan antara orang-orang Mukmin berkelahi, maka damaikanlah mereka…) ' (Qs. Al Hujurat: 9). (Shohih Muslim, hadist no. 3357) Dalam riwayat yang lain,
ض َي ﱠ ُ ال َﺳ ِمع ال َ َﷲُ َع ْنهُ ق َ ََح ﱠدثَنَا ُﻣ َس ﱠد ٌد َح ﱠدثَنَا ُﻣ ْعتَ ِم ٌر ق ِ ْت أَبِي أَ ﱠن أَﻧَسًا َر ﺻلﱠى ﱠ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳل ﱠ َم لَوْ أَتَيْتَ َع ْب َد ﱠ ﺻلﱠى ﱠ َ ﷲِ ْبنَ أُبَ ﱟي فَا ْﻧ ﷲُ َعلَ ْي ِه َ َطل َ ق إِلَ ْي ِه النﱠبِ ﱡي َ يل لِلنﱠبِ ﱢي َ ِق ْ َ َ ﱠ ٌ ْ ﱠ ُ َ َ َ َ َ َخ ْر ْ ق ال ُمسلِ ُمونَ يَ ْمشونَ َﻣ َعهُ َو ِھ َي أ ضٌ َﺳبِ ة فل ﱠما أتَاهُ النبِ ﱡي َ ب ِح َمارًا فاﻧطل َ َو َﺳل َم َو َر ِك َ ﱠ ﱠ ﺻلﱠى ﱠ ْ ْ ْ َ َ َ ﱢ َ َ َ َ َ ْ ْ ُ َ ار َ ال َر ُﺟ ٌل ِﻣن األﻧ َ اركَ فق َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳل َم فق َ ِ ص ِ ال إِل ْيكَ َعني َوﷲِ لقد آذاﻧِي ﻧتن ِح َم ْ َ ب لِ َع ْب ِد ﷲِﱠ ﱠ ﱠ ﱠ ﱠ ﱠ ْ َ َ َ َ َض َ ُِول ﷲ ِ ﺻلى ﷲُ َعل ْي ِه َو َﺳل َم أطيَبُ ِريحًا ِﻣنكَ فغ ِ ِﻣ ْنھُ ْم َوﷲِ ل ِح َما ُر َرﺳ ضرْ بٌ بِ ْال َج ِري ِد َ اح ٍد ِﻣ ْنھُ َما أَﺻْ َحابُهُ فَ َكانَ بَ ْينَھُ َما َ َض ِ ب لِ ُكلﱢ َو ِ َر ُﺟ ٌل ِﻣ ْن قَوْ ِﻣ ِه فَ َشتَ َمهُ فَغ ْ َال فَبَلَ َغنَا أَﻧﱠھَا أُ ْﻧ ِزل ت ِ َو ْاألَ ْي ِدي َوالنﱢ َع َ } َوإِ ْن { َان ِﻣ ْن ْال ُم ْؤ ِﻣنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَﺻْ لِحُوا بَ ْينَھُ َما ِ طائِفَت Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Mu'tamir berkata, aku mendengar bapakku bahwa Anas radliallahu 'anhu berkata: "Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam "Sebaiknya Baginda menemui 'Abdullah bin Ubay." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya dengan menunggang keledai sedangkan Kaum Muslimin berangkat bersama Beliau dengan berjalan kaki melintasi tanah yang tandus. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya, ia berkata: "Menjauhlah dariku, demi Allah, bau keledaimu menggangguku". Maka berkatalah seseorang dari kaum Anshar diantara mereka: "Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik daripada kamu". Maka seseorang dari kaumnya marah demi membela 'Abdullah bin Ubay dan ia mencelanya sehingga marahlah setiap orang dari masing-masing kelompok. Saat itu kedua kelompok saling memukul dengan pelepah kurma, tangan, dan sandal. Kemudian sampai kepada kami bahwa telah turun ayat QS. Al Hujurat: 10 yang artinya ("jika dua kelompok dari kaum muslimin berperang maka damaikanlah keduanya"). (Shahih Bukhari, hadist no. 2494)
Menurut Quraish Shihab (2002:587-598), riwayat di atas tidak berarti bahwa bukan hanya peristiwa itulah yang dikomentari atau mengakibatkan turunnya ayat di atas. Kasus di atas disebut sebagai Sabab
55
Nuzul, dalam arti kejadian di atas termasuk salah satu contoh yang dicakup pengertiannya oleh ayat di atas. Pada ayat 11, dalam riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Salamah. Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah orang-orang mempunyai dua atau tiga nama.
ك يرةَ ب ُْن ال ﱠ َ ِال َح ﱠدثَنِي أَبُو َﺟب َ ََح ﱠدثَنَا إِ ْﺳ َما ِعي ُل َح ﱠدثَنَا دَا ُو ُد ب ُْن أَبِي ِھ ْن ٍد ع َِن ال ﱠش ْعبِ ﱢي ق ِ ضحﱠا ْ َال فِينَا ﻧَزَ ل َت فِي بَنِي َﺳلِ َمة َ َق {ب ِ } َو َال تَنَابَ ُزوا بِ ْاألَ ْلقَا ﺻلﱠى ﱠ ٌان أَوْ ثَ َالثَة َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳلﱠ َم ْال َم ِدينَةَ َولَي َ ﷲ َ َق ِ ال قَ ِد َم َرﺳُو ُل ﱠ ِ ْس ِﻣنﱠا َر ُﺟ ٌل إِ ﱠال َولَهُ ا ْﺳ َم ُول ﱠ ضبُ ِﻣ ْن ھَ َذا َ ﷲِ إِﻧﱠهُ يَ ْغ َ فَ َكانَ إِ َذا ُد ِع َي أَ َح ٌد ِﻣ ْنھُ ْم بِاﺳ ٍْم ِﻣ ْن تِ ْلكَ ْاألَ ْﺳ َما ِء قَالُوا يَا َرﺳ ْ َال فَنَزَ ل ت َ َق {ب ِ } َو َال تَنَابَ ُزوا بِ ْاألَ ْلقَا Telah menceritakan kepada kami Isma'il telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abu Hind dari Asy Sya'bi ia berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Jabirah bin Adl Dlahak ia berkata, "Telah turun ayat berkenaan dengan kami, yakni Bani Salamah: '(Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan..) ' (Qs. Al Hujuraat: 11). Abu Jabirah berkata, "Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di kota Madinah, tidak seorang laki-laki dari kami yang mempunyai nama kecuali memiliki nama lebih dari dua atau tiga. Dan jika salah seorang dari mereka dipanggil dengan salah satu nama tersebut mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah karena panggilan itu." Maka turunlah ayat: '(Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan) '. (Musnad Ahmad, hadist no. 17572) Dalam riwayat yang lain,
َح ﱠدثَنَا َع ْب ُد ﱠ َاحبُ ْالھَ َر ِويﱢ ع َْن ُش ْعبَة َ ْح َ ق ْال َجوْ ھ َِريﱡ ْالبَصْ ِريﱡ َح ﱠدثَنَا أَبُو زَ ْي ٍد َ ﷲِ ب ُْن إِﺳ ِ ﺻ ُ ي ي َُحد ُ ع َْن دَا ُو َد ب ِْن أَبِي ِھ ْن ٍد قَال َﺳ ِمع ﱠاك قَا َل يرةَ ب ِْن ال ﱠ َ ِﱢث ع َْن أَبِي َﺟب ِ ضح ْت ال ﱠش ْعبِ ﱠ ْ ال فَنَزَ َل ت َ َضھَا فَ َع َسى أَ ْن يَ ْك َرهَ ق ِ ان َوالثﱠ َالثَةُ فَيُ ْدعَى بِبَ ْع ِ َكانَ ال ﱠر ُﺟ ُل ِﻣنﱠا يَ ُكونَ لَهُ ِاال ْﺳ َم َھَ ِذ ِه ْاآليَة {ب ِ } َو َال تَنَابَ ُزوا بِ ْاألَ ْلقَا
56
ٌ ال أَبُو ِعي َسى ھَ َذا َح ِد َﱠاك ب ِْن خَ لِيفَة ت ب ِْن ال ﱠ َ ِﺻ ِحي ٌح أَبُو َﺟب َ يث َح َس ٌن َ َق ِ ضح ِ ِيرةَ ھُ َو أَ ُخو ثَاب ْ َ َ ٌ احبُ الھَ َر ِويﱢ بَصْ ِريﱞ ثِقَة َح ﱠدثَنَا أبُو َﺳلَ َمةَ يَحْ يَى َ يع َ أَ ْﻧ ِ ﺻ ِ ص ِ ِاريﱞ َوأبُو زَ ْي ٍد َﺳ ِعي ُد ب ُْن ال ﱠرب يرةَ ْب ِن ٍ َب ُْن خَ ل َ ِف َح ﱠدثَنَا بِ ْش ُر ب ُْن ْال ُمفَض ِﱠل ع َْن دَا ُو َد ب ِْن أَبِي ِھ ْن ٍد ع َْن ال ﱠش ْعبِ ﱢي ع َْن أَبِي َﺟب َ ٌ ﺻ ِحي ٌح ال ﱠ َ ال أبُو ِعي َسى ھَ َذا َح ِديث َح َس ٌن َ َﱠاك ﻧَحْ َوهُ ق ِ ضح Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ishaq Al Jauhari Al Bashri telah menceritakan kepada kami Abu Zaid teman Al Harawi, dari Syu'bah dari Dawud bin Abu Hind berkata: Aku mendengar Asy Sya'bi menceritakan dari Abu Jabirah bin Adl Dlahhak berkata: Seseorang dari kami memiliki dua atau tiga nama lalu dipanggil dengan salah satunya dan mungkin ia tidak suka. Abu Jabirah berkata: Lalu ayat ini turun: "Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (keburukan)." (Al Hujuraat: 11) Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. Abu Jabirah adalah saudara Tsabit bin Adl Dlahhak bin Khalifah Al Anshari. Abu Zaid Sa'id bin Ar Rabi', teman Al Harawi, adalah orang Bashrah tsiqah. Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahya bin Khalaf telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal dari Dawud bin Abu Hind dari Asy Sya'bi dari Abu Jabirah bin Adl Dlahhak sepertinya. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. (Sunan Tirmidzi, hadist no. 3191)
Kemudian ayat 12, dalam satu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus
tidur
dan
mendengkur.
Pada
waktu
itu
ada
orang
yang
mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang mengumpat, menceritakan keaiban orang lain. Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzil yang bersumber dari Ibnu Juraij. (Saleh, dkk, 1988:474-475) Dan ayat 13, Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak mereka. (Shihab, 2002:616)
57
Diriwayatkan oleh Abu Mulaikah bahwa tatkala terjadi Pembebasan Mekah, yaitu kembalinya negeri Mekah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW pada tahun 8 Hijriyah, maka Bilal disuruh Rasulullah SAW untuk mengumandangkan adzan. Ia memanjat Ka’bah dan mengumandangkan adzan, berseru kepada kaum muslimin untuk shalat berjamaah. ‘Attab bin Usaid ketika melihat Bilal naik ke atas Ka’bah untuk beradzan, berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku sehingga tidak sempat menyaksikan peristiwa hari ini.” Haris bin Hisyam, ia berkata, “Muhammad tidak akan menemukan orang lain untuk beradzan kecuali burung gagak yang hitam ini.” Maksudnya mencemoohkan Bilal karena warna kulitnya yang hitam. Maka datanglah Malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah SAW, apa yang mereka ucapkan itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri karena kedudukan, kepangkatan, kekayaan, keturunan dan mencemoohkan orang-orang miskin. Diterangkan pula bahwa kemuliaan itu dihubungkan dengan ketakwaan kepada Allah. (Departemen Agama RI, 2009:419-420) 4. Munasabah Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-muqarabah) dan kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). ia juga berarti hubungan atau persesuaian. Secara terminologi munasabah adalah ilmu al-Qur’an yang digunakan untuk mengetahui secara keseluruhan dan latar belakang penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut Shihab sebagaimana dikutip Baidan bahwa munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-
58
hal tertentu dalam al-Qur’an baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya (Baidan, 2010:184-185). Dengan demikian, ilmu ini menjelaskan aspek-aspek hubungan antara beberapa ayat atau surat al-Qur’an baik sebelum maupun sesudahnya. Hubungan tersebut bisa berupa hubungan am (umum) dan khas (khusus), antara yang abstrak dan yang kongkrit, antara sebab dan akibat, antara yang rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif. Adapun yang menjadi ukuran (kriteria) dalam menerangkan macammacam munasabah ini dikembalikan pada derajat kesesuaian (tamatsul atautasyabuh) antara aspek-aspek yang dibandingkannya. Jika munasabah itu terjadi pada masalah-masalah yang satu sebabnya dan ada kaitan antara yang awal dan akhirnya, maka munasabah ini dapat dipahami dan diterima akal. Sebaliknya jika munasabah itu terjadi pada ayat-ayat yang berbeda sebabnya dan masalahnya, tidak ada keserasian antara satu dengan lainnya, maka hal itu dapat dikatakan berhubungan (tanasub) karena sebagaian ulama mengatakan: munasabah adalah suatu urusan (masalah) yang dapat dipahami, jika ia dikemukakan terhadap akal, niscaya akal menerimanya” (Usman, 2009:161). Jadi dapat disimpulkan bahwa munasabah termasuk hasil ijtihad mufasir bukan tawqifi (petunjuk Nabi), buah penghayatannya terhadap kemukjizatan (i’jaz) al-Qur’an dan rahasia retorika (makna) yang dikandungnya (Sapina dan M. Karman, 2002:161-162)
59
a. Surat Al-Hujurat ayat 9
$yϑßγ1y‰÷nÎ) ôMtót/ .βÎ*sù ( $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù (#θè=tGtGø%$# tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# zÏΒ Èβ$tGxÍ←!$sÛ βÎ)uρ (#θßsÎ=ô¹r'sù ôNu!$sù βÎ*sù 4 «!$# ÌøΒr& #’n<Î) uþ’Å∀s? 4®Lym Èöö7s? ÉL©9$# (#θè=ÏG≈s)sù 3“t÷zW{$# ’n?tã ∩∪ šÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) ( (#þθäÜÅ¡ø%r&uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ $yϑåκs]÷t/ “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Ayat di atas memerintahkan untuk melakukan ishlah sebanyak dua kali. Yang pertama ( ) فاًﺻلحٮابينھماfaashlihuu bainahumaa tanpa diikuti dengan kata ( ) بالعدلbi al ’adl/ dengan adil. Hal ini tidak berarti bahwa ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja yang kedua lebih ditekankan atau lebih keras lagi diperintahkan untuk berlaku adil. ( ) فاًﺻلحٮابينھما بالعدلfaashlihuu bainahumaa bi al ’adli wa aqsithuu, hal ini dikarenakan yang kedua telah didahului oleh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama. Menurut Quraish Shihab (2002:597), kata al muqsithiin terambil dari kata qisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara para ulama mempersamakan makna dasar qisth dan ‘adl, dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa al qisth adalah keadilalan yang
60
diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedang ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. (Shihab, 2002:597) Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan islah diantara dua kelompok mukmin yang bertikai dan dengan diletakkannya ‘adl sebelum qisth dapat diartikan bahwa Allah SWT tetap mememerintahkan untuk bertindak adil meskipun menyakitkan atau membuat tidak senang pada salah satu pihak. Tetapi Allah lebih senang apabila keadilan dapat dicapai sekaligus dapat menjadikan semuanya baik-baik saja atau bahkan lebih baik. b. Surat Al-Hujurat ayat 10
∩⊇⊃∪ tβθçΗxqöè? ÷/ä3ª=yès9 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 ö/ä3÷ƒuθyzr& t÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù ×οuθ÷zÎ) tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# $yϑ‾ΡÎ) “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaiakanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Setelah
ayat
yang
lalu
memerintahkan
untuk
melakukan
perdamaian antara dua kelompok orang-orang beriman, ayat di atas menjelaskan mengapa hal itu perlu dilakukan. Hal tersebut perlu dilakukan dan ishlah perlu ditegakkan bagi orang-orang yang beriman meskipun tidak seketurunan. Karena hubungan setiap manusia merupakan saudara. (Shihab, 2002:598)
61
c. Surat Al-Hujurat ayat 11
Ÿωuρ öΝåκ÷]ÏiΒ #Zöyz (#θçΡθä3tƒ βr& #|¤tã BΘöθs% ÏiΒ ×Πöθs% öy‚ó¡o„ Ÿω (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ (#ρâ“t/$uΖs? Ÿωuρ ö/ä3|¡àΡr& (#ÿρâ“Ïϑù=s? Ÿωuρ ( £åκ÷]ÏiΒ #Zöyz £ä3tƒ βr& #|¤tã >!$|¡ÎpΣ ÏiΒ Ö!$|¡ÎΣ ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù ó=çGtƒ öΝ©9 tΒuρ 4 Ç≈yϑƒM}$# y‰÷èt/ ä−θÝ¡àø9$# ãΛôœeω$# }§ø♥Î/ ( É=≈s)ø9F{$$Î/ ∩⊇⊇∪ tβθçΗÍ>≈©à9$# “Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuanperempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan ishlah akibat pertikaian yang muncul, ayat di atas memberi petunjuk tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. (Shihab, 2002:605) d. Surat Al-Hujurat ayat 12
Ÿωuρ ( ÒΟøOÎ) Çd©à9$# uÙ÷èt/ āχÎ) Çd©à9$# zÏiΒ #ZÏWx. (#θç7Ï⊥tGô_$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ϵŠÅzr& zΝóss9 Ÿ≅à2ù'tƒ βr& óΟà2߉tnr& =Ïtä†r& 4 $³Ò÷èt/ Νä3àÒ÷è−/ =tGøótƒ Ÿωuρ (#θÝ¡¡¡pgrB ∩⊇⊄∪ ×ΛÏm§‘ Ò>#§θs? ©!$# ¨βÎ) 4 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 çνθßϑçF÷δÌs3sù $\GøŠtΒ
62
“Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencaricari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Ayat di atas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang lalu. Hanya di sini hal-hal buruk yang sifatnya tersembunyi. Karena itu panggilan mesra kepada orang-orang beriman diulangi untuk kelima kalinya. Di sisi lain, memanggil dengan panggilan buruk “yang telah dilarang oleh ayat yang lalu” boleh jadi panggilan/gelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang tidak berdasar. (Shihab, 2002:608) e. Surat Al-Hujurat ayat 13
4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:419)
Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan sesama muslim, ayat di atas beralih kepada uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu, ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan
63
yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. (Shihab, 2002:615)
64
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN DALAM SURAT ALHUJURAT AYAT 9-13 MENURUT TAFSIR AL-MISBAH
A. Nilai Kemasyarakatan dalam Bentuk Perintah 1. Al-Islah (Perdamaian) Salah satu tuntutan Allah SWT yang tertera dalam kitab suci AlQur’an adalah perdamaian. Perdamaian dalam Al-Qur’an umumnya disebut
( ) الصلحash-sulh, seakar dengan ( ) اإلﺻلحal-ishlah (perbaikan) dan ( ) الصلحash-shalah (kebaikan). Pelaku perdamaian disebut ( ) ﻣصلحmuslih, dan orang yang berbuat baik disebut ( )ﺻالحshalih. Ayat mengenai perdamaian disebut sebanyak 180 kali dalam Al-Qur’an pada surat yang berbeda-beda. Kata yang sepadan dengan ( ) الصلحash-sulh adalah (
)السلمas-silm (perdamaian) yang seakar dengan kata ( ) السالﻣةas-salamah (aman/tentram) dan ( ) اإلﺳالمAl-Islam (kepasrahan/kepatuhan). Konsep perdamaian secara umum hanya terbatas dalam hubungan internasional dan hubungan antar faksi yang terkadang menimbulkan peperangan atau pertikaian sehingga memerlukan perdamaian. Akan tetapi al-Qur’an, memperkenalkan konsep perdamaian dalam lingkup yang lebih luas dan terpadu dengan berbagai unsur yang sering terkait dengan masalah-
65
masalah perdamaian itu sendiri ( Majid, 2000:144). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 9 berikut:
$yϑßγ1y‰÷nÎ) ôMtót/ .βÎ*sù ( $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù (#θè=tGtGø%$# tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# zÏΒ Èβ$tGxÍ←!$sÛ βÎ)uρ (#θßsÎ=ô¹r'sù ôNu!$sù βÎ*sù 4 «!$# ÌøΒr& #’n<Î) uþ’Å∀s? 4®Lym Èöö7s? ÉL©9$# (#θè=ÏG≈s)sù 3“t÷zW{$# ’n?tã ∩∪ šÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) ( (#þθäÜÅ¡ø%r&uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ $yϑåκs]÷t/ “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Dari ayat tersebut dapat diambil kata kunci ( ) أﺻلحواaslihu terambil dari kata ( ) أﺻلحaslaha yang asalnya adalah ( ) ﺻلحshaluha. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata ( ) فسد fasada, yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang ( ) إﺻالحislah adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Memang ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sesuatu agar ia bermanfaat atau agar ia dapat berfungsi dengan baik. Kursi, misalnya, harus memiliki kaki yang sempurna baru dapat berfungsi dengan baik dan dapat bermanfaat. Jika salah satu kaki kursi tersebut rusak, maka perlu dilakukan islah / perbaikan
66
agar ia dapat berfungsi dengan baik serta bermanfaat sebagai kursi. Dalam konteks
hubungan
antar-manusia,
nilai-nilai
itu
tercermin
dalam
keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antara dua pihak retak atau terganggu, akan terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Ini menuntut adanya islah yakni perbaikan agar keharmonisan pulih dan, dengan demikian, terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan. (Shihab, 2002:596) Ali Nurdin (2006, 278-279) dalam bukunya menerangkan bahwa ayat ini memerintahkan komunitas mukmin agar menciptakan perdamaian di lingkungan dalam masyarakat mereka. Jika ada dua golongan dari orangorang mukmin berperang, orang-orang mukmin diperintahkan agar menghentikan mereka dari peperangan, dengan nasihat atau dengan ancaman dan atau dengan sanksi hukum. Dengan kata lain, orang-orang mukmin yang lain mendamaikan kedua golongan mukmin yang berperang itu dengan mengajak kepada hukum Allah dan meridai dengan apa yang terdapat di dalamnya, baik yang berkaitan dengan hak-hak maupun kewajiban-kewajiban dengan adil. Tetapi, jika salah satu kelompok enggan menerima perdamaian menurut hukum Islam dan melanggar dengan apa yang telah ditetapkan Allah tentang keadilan bagi makhluknya, maka kelompok itu boleh diperangi sehingga tunduk dan patuh kepada hukum Allah, dan kembali kepada perintah Allah yaitu perdamaian. Jika kelompok itu kembali kepada
67
hukum dan perintah Allah, maka orang-orang mukmin harus mendamaikan kedua kelompok itu dengan jujur dan adil, dan menghilangkan trauma peperangan agar trauma peperangan agar permusuhan diantara keduanya tidak menimbulkan peperangan lagi diwaktu yang lain. Oleh karena itu, perlu diberikan catatan khususnya kepada orang-orang mukmin yang bertindak sebagai juru damai, harus berlaku adil dan jujur terhadap kedua kelompok yang bertikai tersebut. Dari keterangan di atas dapat diambil suatu nilai kemasyarakatan yakni, al-Islah (perdamaian).
Islah di sini yakni
upaya menghentikan
kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam konteks hubungan antar-manusia, nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan khususya dalam hubungan kemasyarakatan. 2. Adil Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar menegakkan keadilan. Iman yang hidup mestilah dapat dibuktikan dalam bentuk tindakan dan bisa memberikan manfaat bagi kehidupan. Salah satu pembuktiannya adalah kesediaan menjadi penegak keadilan. Keadilan mesti ditegakkan bukan karena rasa iba atas kemiskinan, dorongan nafsu karena kebencian, atau cinta duniawi, tetapi atas dasar faka dan peristiwa yang terjadi ( Anwar, dkk, 2014:201). Perintah Allah secara tegas untuk berlaku adil terdapat pada akhir surat Al-Hujurat ayat 9 berikut :
68
šÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) ( (#þθäÜÅ¡ø%r&uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù ôNu!$sù βÎ*sù ∩∪ “jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
Dari ayat tersebut Allah SWT, memerintahkan untuk berlaku adil dengan sebutan ‘adl dan qisth. Kata ( ‘) عدلadl terambil dari kata ‘adala yang terdiri dari huruf-huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkain huruf-huruf ini mengandung dua makna yang bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama” dan “bengkok dan berbeda”. Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seorang yang adil berpihak kepada seorang yang salah. Sayyid Qutub memberikan penekanan makna ( )العدلal‘adl sebagai persamaan yang merupakan asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan bagi Qutb adalah bersifat terbuka, tidak khusus untuk golongan tertentu, sekalipun umpamanya yang menetapkan keadilan itu seorang muslim untuk orang non-muslim (Nurdin, 2006:247-248) Menurut Quraish Shihab (2002:597), Kata ( ) المقسطينal-muqsithin terambil dari kata ( ) قسطqisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara ulama mempersamakan makna dasar ( ) قسطqisth dan ( ‘ ) عدلadl, dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa ( ) القسطal-qisth
69
adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedang, ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. Dengan demikian win-win solution dapat merupakan salah satu bentuk dari qisth. Allah
senang
ditegakkannya
keadilan
walau
itu
mengakibatkan
kerenggangan hubungan anatara dua pihak yang berselisih, tetapi Dia lebih senang jika kebenaran dapat dicapai sekaligus menciptakan hubungan harmonis antara pihak-pihak yang tadinya telah berselisih. Ayat di atas memerintahkan untuk melakukan islah sebanyak dua kali. Tetapi, yang kedua dikaitkan dengan kata ( ) بالعدلbi al-‘adl/dengan adil. Ini bukan berarti bahwa perintah islah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja pada yang kedua itu ditekankan lebih keras lagi karena yang kedua telah didahului oleh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima islah yang pertama. Dalam menindak itu bisa jadi terdapat hal-hal yang menyinggung perasaan atau bahkan menganggu fisik yang melakukan islah itu sehingga jika ia tidak berhati-hati dapat saja lahir ketidakadilan dari yang bersangkutan akibat gangguan yang dialaminya pada upaya islah yang pertama. Dari sini, ayat di atas menyebut secara tegas perintah berlaku adil itu. (Shihab, 2002:597) Manusia tidak dapat hidup sendirian, selalu membutuhkan yang lain. Keniscayaan itu melahirkan perlunya aturan hidup bersama. Hukum adalah seperangkat peraturan bagaimana kehidupan bersama dapat dilakukan
70
dengan baik dan bermanfaat. Namun tak akan bermakna apabila tidak diperlakukan secara sama bagi setiap orang. Di sinilah, keadilan bagi penegak hukum menjadi hal yang wajib dilaksanakan. Dalam menegakkan keadilan, konsep persamaan hak manusia dibuktikan. Menegakkan keadilan dalam hukum berarti memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Bahkan, persamaan dan keadilan ini tidak hanya dihadapan hukum, tetapi juga mencakup persamaan dihadapan Allah. Dan persamaan itu sama sekali tidak memperhitungkan soal rizki, status sosial, dan hal-hal lain. Dalam QS. 4:135 ditegaskan bahwa Allah memerintahkan supaya berlaku adil di antara sesama manusia, tanpa membedakan keturunan, kekayaan, atau kekuasaan. Kewajiban berlaku adil disebabkan dua hal utama: 1) Keadilan adalah milik semua orang tanpa pandang bulu. Masyarakat biasa, bangsawan, miskin, ataupun kaya haruslah
mendapatkan
perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2) Rasulullah mengingatkan bahwa ketidakadilan hukum bisa menjadi penyebab
utama
kerusakan
masyarakat.
Ketika
hukum
hanya
membela kelompok atas dan menindas kelompok bawah, maka masyarakat berada di pintu kehancuran. Sebab, keadilan adalah
salah
satu pilar utama dari bangunan masyarakat. Menegakkan
keadilan
dilakukan di berbagai bidang dan dengan berbagai cara,
misalnya
menjalankan pemerintahan bagi seorang pemimpin, atau
memutuskan
71
perkara bagi seorang hakim. Hal itu berlaku pula di
lingkungan
keluarga
dan hal-hal lain. (Anwar, dkk, 2014:201)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai kemasyarakatan yaitu adil yang dimaksud di sini adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Adil dalam hukum berarti memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. 3. Ukhuwah (persaudaraan) Suatu masyarakat tidak akan berdiri tegak apabila anggota warganya tidak menjalin persaudaraan. Persaudaraan tidak akan terwujud apabila tidak ada rasa saling mencintai dan bekerja sama. Setiap anggota masyarakat yang tidak diikat oleh ikatan kerjasama dan kasih sayang serta persatuan yang sebenarnya, tidak mungkin dapat bersatu untuk mencapai tujuan bersama. Curahan rahmat kepada suatu masyarakat khususnya masyarakat muslim akan diberikan oleh Allah sepanjang sesama warganya memelihara persaudaraan di antara mereka. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 10 secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara:
∩⊇⊃∪ tβθçΗxqöè? ÷/ä3ª=yès9 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 ö/ä3÷ƒuθyzr& t÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù ×οuθ÷zÎ) tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$# $yϑ‾ΡÎ) “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaiakanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Departemen Agama RI, 2009:405)
72
Ayat 10 ini Quraih Shihab (2002:601) menyatakan bahwa, Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan perdamaian antara dua kelompok orang beriman, ayat di atas menjelaskan mengapa itu perlu dilakukan. Itu perlu dilakukan dan islah perlu ditegakkan karena sesungguhnya orang-orang mukmin yang mantap imannya serta dihimpun oleh keimanan, kendati tidak seketurunan, adalah bagaikan bersaudara seketurunan, dengan demikian mereka memiliki keterkaitan bersama dalam iman dan juga keterikatan bagaikan keturunan; karena itu, wahai orangorang beriman yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian antar kelompok-kelompok, damaikanlah walau pertikaian itu hanya terjadi antara kedua saudara kamu apalagi jika jumlah yang bertikai lebih dari dua orang dan bertakwalah kepada Allah, yakni jagalah diri kamu agar tidak ditimpa bencana. Baik akibat pertikaian itu maupun selainnya, supaya kamu mendapat rahmat antara lain rahmat persatuan dan kesatuan. Kata ( ) إﻧّماinnama digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini, kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar-mereka kecuali persaudaraan itu. Kata ( ) إﻧّماinnama bisa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata ( ) إﻧّماinnama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara
73
pasti bahwa kaum beriman bersaudara sehingga semestinya tidak terjadi dari pihak mana pun hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu. Kata ( ) إخوةikhwah adalah bentuk jamak dari kata ( ) أخakh, yang dalam kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama. Persamaan dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga persamaan dalam sifat atau bentuk apapun. Persamaan kelakuan pemboros dengan setan menjadikan para pemboros adalah saudara-saudara setan (baca QS. al-Isra’ [17]: 27). Persamaan dalam kesukuan atau kebangsaan pun mengakibatkan persaudaraan (baca QS. al-A’raf [7]:65). Ada juga persaudaraan karena persamaan
kemakhlukan,
seperti
ketika
Nabi
Muhammad
SAW.
Menamakan jin adakah saudara-saudara manusia. Beliau melarang menjadikan tulang sebagai alat beristinja’ karena itu adalah makanan saudara-saudara kamu dari jenis jin. Demikian sabda beliau. Kata ( ) أخakh itu juga biasa dijamak dengan kata ( ) إخوانikhwan. Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata ( ) إخوةikhwah yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang
74
kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi jika masih direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib, dan sepenanggungan. Kata ( ) أخويكمakhawaikum adalah bentuk tasniyah dari kata ( ) أخ akh. Penggunaan bentuk tasniyah di sini untuk mengisyaratkan bahwa jangankan banyak orang, dua pun, jika mereka berselisih, harus diupayakan islah antar mereka sehingga persaudaraan dan hubungan harmonis mereka terjalin kembali. Quraish Shihab (1999:489) dalam bukunya wawasan Al-Qur’an mengemukakan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an paling tidak terdapat empat macam persaudaraan: 1. Ukhuwah ‘ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa :
Νä3ä9$sVøΒr& íΝtΒé& HωÎ) ϵø‹ym$oΨpg¿2 çÏÜtƒ 9È∝‾≈sÛ Ÿωuρ ÇÚö‘F{$# ’Îû 7π−/!#yŠ ÏΒ $tΒuρ “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. (QS. Al-An’am:38) 2. Ukhuwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu. Rasulullah SAW. Juga menekankan lewat sabda beliau,
75
َح ﱠدثَنَا َع ْب ُد ﱠ ك ع َْن أَبِي ﱢ ﷲِ ب ُْن يُوﺳُفَ أَ ْخبَ َرﻧَا َﻣالِ ٌ ج ع َْن أَبِي الزﻧَا ِد ع َْن ْاألَ ْع َر ِ ض َي ﱠ ﷲُ َع ْنهُ ھُ َري َْرةَ َر ِ ﺻلﱠى ﱠ ُول ﱠ ث َو َال ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳلﱠ َم قَ َ ﷲِ َ أَ ﱠن َرﺳ َ ال إِيﱠا ُك ْم َوالظﱠ ﱠن فَإ ِ ﱠن الظﱠ ﱠن أَ ْك َذبُ ْال َح ِدي ِ ت ََح ﱠسسُوا َو َال تَ َج ﱠسسُوا َو َال تَنَا َﺟ ُشوا َو َال ت ََحا َﺳ ُدوا َو َال تَبَا َغضُوا َو َال تَدَابَرُوا َو ُكوﻧُوا ِعبَا َد ﱠ ﷲِ إِ ْخ َواﻧًا Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk ucapan yang paling dusta, dan janganlah kalian saling mendiamkan, saling mencari kejelekan, saling menipu dalam jual beli, saling mendengki, saling memusuhi dan janganlah saling membelakangi, dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang )bersaudara." (Shohih Bukhari, hadis no. 5606 3. Ukhuwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Seperti dalam Firman-Nya :
#YŠθèδ ôΜèδ%s{r& >Š%tæ 4’n<Î)uρ “Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara )mereka, Hud. (QS. Al-A’raf:65 4. Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama muslim. Rasulullah SAW. Bersabda,
س َوقُتَ ْيبَةُ ب ُْن َﺳ ِعي ٍد َو َعلِ ﱡي ب ُْن حُجْ ٍر َﺟ ِميعًا ﱡوب َو ُﺳ َر ْي ُج ب ُْن يُوﻧُ َ َح ﱠدثَنَا يَحْ يَى ب ُْن أَي َ ﱡوب َح ﱠدثَنَا إِ ْﺳ َم ِعي ُل أَ ْخبَ َرﻧِي ْال َع َال ُء ع َْن أَبِي ِه ع َْن ال اب ُْن أَي َ يل ب ِْن َﺟ ْعفَ ٍر قَ َ ع َْن إِ ْﺳ َم ِع َ أَبِي ھُ َري َْرةَ ﺻلﱠى ﱠ ُول ﱠ َار قَوْ ٍم ال الس َﱠال ُم َعلَ ْي ُك ْم د َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َﺳل ﱠ َم أَتَى ْال َم ْقب َُرةَ فَقَ َ ﷲِ َ أَ ﱠن َرﺳ َ ُﻣ ْؤ ِﻣنِينَ َوإِﻧﱠا إِ ْن َشا َء ﱠ ﷲُ بِ ُك ْم َال ِحقُونَ َو ِد ْد ُ ت أَﻧﱠا قَ ْد َرأَ ْينَا إِ ْخ َواﻧَنَا قَالُوا أَ َولَ ْسنَا إِ ْخ َواﻧَكَ يَا َرﺳُو َل ﱠ ال أَ ْﻧتُ ْم أَﺻْ َحابِي َوإِ ْخ َواﻧُنَا الﱠ ِذينَ لَ ْم يَأْتُوا بَ ْع ُد فَقَالُوا َك ْيفَ ﷲِ قَ َ ُول ﱠ ْر ُ ال أَ َرأَيْتَ لَوْ أَ ﱠن َرﺟ ًُال لَهُ خَ ْي ٌل ﷲِ فَقَ َ ت بَ ْع ُد ِﻣ ْن أُ ﱠﻣتِكَ يَا َرﺳ َ ف َﻣ ْن لَ ْم يَأْ ِ تَع ِ َ ﱠ ُ ٌ ُغرﱞ ُﻣ َح ﱠجلَة بَ ْينَ َ ْر ُ ُول ﷲِ قَا َل ف خَ ْيلَهُ قَالوا بَلَى يَا َرﺳ َ ظھ َْريْ َخ ْي ٍل ُد ْھ ٍم بُھ ٍْم أ َال يَع ِ ْ ْ ْ َ َ ُ ض أ َال لَيُ َذاد ﱠَن فَإِﻧﱠھُ ْم يَأتُونَ ُغ ًّرا ُﻣ َح ﱠجلِينَ ِﻣ ْن ال ُوضُو ِء َوأﻧَا فَ َرطھُ ْم َعلَى ال َحوْ ِ ضي َك َما يُ َذا ُد ْالبَ ِعي ُر الضﱠالﱡ أُﻧَا ِدي ِھ ْم أَ َال ھَلُ ﱠم فَيُقَا ُل إِﻧﱠھُ ْم قَ ْد بَ ﱠدلُوا ِر َﺟا ٌل ع َْن َحوْ ِ بَ ْعدَكَ فَأَقُو ُل ﺳُحْ قًا ﺳُحْ قًا.
76
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Suraij bin Yunus dan Qutaibah bin Sa'id dan Ali bin Hujr semuanya meriwayatkan dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail telah mengabarkan kepadaku al'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: "Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, " sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita." Para Sahabat bertanya, 'Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudarasaudara kita ialah mereka yang belum berwujud." Sahabat bertanya lagi, 'Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? ' Beliau menjawab dengan bersabda: "Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu? ' Para Sahabat menjawab, 'Sudah tentu wahai Rasulullah.' Beliau bersabda lagi: 'Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat'. Aku memanggil mereka, 'Kemarilah kamu semua'. Maka dikatakan, 'Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat'. Maka aku bersabda: "Pergilah jauh-jauh dari sini." (Shohih Muslim hadis no. 367)
Makna dari macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Qur’an. Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh al-Qur’an adalah persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ayat-ayat di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa jalinan hubungan antar sesama muslim seakan-akan hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat al-Qur’an disebut oleh kata almu’minun), melainkan juga seakan-akan dijalin oleh persaudaraan
77
seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin persaudaraan yang harmonis diantara mereka, dan tidak satupun yang dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan. Karena, persatuan dan kesatuan serta hubungan harmonis antar-anggota masyarakat kecil atau besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan perang saudara sebagaimana dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan. (Shihab, 2002:601) Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa Ukhuwah (persaudaraan) yang dimaksud di sini merupakan persaudaraan yang bukan saja dijalin oleh keimanan, tetapi juga persaudaraan yang dijalin oleh persaudaraan sesama makhluk Allah, sesama manusia, seketurunan dan sebangsa. 4. Ta’aruf (saling mengenal)
4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
78
bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:419)
Dari ayat di atas dapat diambil kata kunci ( ) تعارفواta’arafu terambil dari kata ( ‘ ) عرفarafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik. Dengan demikian, ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan iu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak dapat saling melengkapi dan menarik manfaat, bahkan tidak dapat saling bekerjasama tanpa saling mengenal. Saling mengenal yang digarisbawahi oleh ayat di atas adalah “pancing”nya bukan “ikan”nya. Yang ditekankan adalah caranya bukan manfaatnya karena, seperti kata orang, memberi “pancing” jauh lebih baik daripada memberi “ikan”. Demikian halnya dengan pengenalan terhadap alam raya. Semakin banyak pengenalan terhadapnya, semakin banyak pula rahasia-rahasianya yang terungkap, dan ini pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menciptakan kesejahteraan lahir dan batin,
79
dunia dan akhirat. Dari sini pula sejak dini al-Qur’an menggarisbawahi bahwa:
∩∠∪ #o_øótGó™$# çν#u§‘ βr& ∩∉∪ #xöôÜuŠs9 z≈|¡ΣM}$# ¨βÎ) Hξx. “Sungguh manusia berlaku sewenang-wenang bila ia merasa tidak butuh” (QS. Al-‘Alaq: 6-7). (Departemen Agama RI, 1982:598)
Salah satu dampak ketidakbutuhan itu adalah keengganan menjalin hubungan, keengganan saling mengenal dan ini pada gilirannya melahirkan bencana dan perusakan di dunia. (Shihab, 2002:617-618). Dari beberapa pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai kemasyarakatan yaitu Ta’aruf (saling mengenal). merupakan Ta’aruf dengan tujuan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. 5. Al-Musawah (persamaan derajat) Prinsip persamaan dalam Islam tidak hanya sekedar retorika. Islam datang dengan menghadirkan bahwa semua manusia adalah sama. Terutama bila berhadapan dengan syari’ah. Yang membedakan mereka semua adalah ketakwaannya saja (Majid, 2000:96). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 13:
80
4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4s\Ρé&uρ 9x.sŒ ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛÎ=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesunggu, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Departemen Agama RI, 2009:419)
Berkenaan dengan ayat 13 ini, Quraish Shihab (2002:615-617) dalam tafsirmya al-Misbah memberi penjelasan bahwa, ayat di atas menguraikan tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu ayat di atas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orangorang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, Adam dan Hawa, atau dari sperma (benih laki-laki) dan ovum (indung telur perempuan), serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal yang mengantar kamu untuk bantu-membantu serta saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, walau detak detik jantung dan niat seseorang.
81
Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut pada penggalan terakhir ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa”. Karena itu, berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang mulia di sisi Allah. (Shihab, 2002:615-617) Ayat di atas menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi daripada yang lain, bukan saja antara satu bangsa, suku, atau warna kulit dan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka. Karena kalaulah seandainya ada yang berkata bahwa Hawwa’, yang perempuan itu, bersumber dari pada tulang rusuk Adam, sedang Adam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu lebih tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi seandainya ada yang berkata demikian itu hanya khusus terhadap Adam dan Hawwa’, tidak terhadap semua manusia karena manusia selain mereka berdua –kecuali’Isa as. –lahir akibat percampuran laki-laki dan perempuan.
82
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai kemasyarakatan yaitu al-Musawah (persamaan derajat) mengandung pengertian bahwasanya semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku, satu bangsa, warna kulit dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh sebab itu, tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi daripada yang lain. B. Nilai Kemasyarakatan Dalam Bentuk Larangan 1. Mengolok-olok Allah SWT menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang Mukmin kepada sesama saudara Mukmin. Seorang Mukmin tidak sepatutnya mengolok-olok saudara seimannya, baik di hadapannya maupun di belakangnya. Ia juga tidak sepatutnya menjulukinya dengan julukan yang menyakiti hatinya. Tindakan itu sangatlah buruk. Barangsiapa tidak bertobat setelah ia melakukannya, ia telah memburukkan jiwanya dan melakukan kejahatan yang besar. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurat ayat 11:
Ÿωuρ öΝåκ÷]ÏiΒ #Zöyz (#θçΡθä3tƒ βr& #|¤tã BΘöθs% ÏiΒ ×Πöθs% öy‚ó¡o„ Ÿω (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ (#ρâ“t/$uΖs? Ÿωuρ ö/ä3|¡àΡr& (#ÿρâ“Ïϑù=s? Ÿωuρ ( £åκ÷]ÏiΒ #Zöyz £ä3tƒ βr& #|¤tã >!$|¡ÎpΣ ÏiΒ Ö!$|¡ÎΣ
83
ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù ó=çGtƒ öΝ©9 tΒuρ 4 Ç≈yϑƒM}$# y‰÷èt/ ä−θÝ¡àø9$# ãΛôœeω$# }§ø♥Î/ ( É=≈s)ø9F{$$Î/ ∩⊇⊇∪ tβθçΗÍ>≈©à9$# “Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuanperempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
Pada ayat 11 ini, Quraih Shihab (2002:605-606) memberikan penafsiran setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan islah akibat pertikaian yang muncul, ayat di atas memberi petunjuk tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Allah berfirman memanggil kaum beriman dengan panggilan mesra: Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum, yakni kelompok pria, mengolok-olok kaum kelompok pria yang lain karena hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian –walau yang diolok-olok kaum yang lemahapalagi boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok sehingga dengan demikian yang berolok-olok melakukan kesalahan berganda. Pertama mengolok-olok kedua yang diolok-olok lebih baik dari mereka; dan jangan pula wanita-wanita, yakni mengolok-olok, terhadap wanita-wanita lain karena ini menimbulkan keretakan hubungan antar-mereka, apalagi boleh jadi mereka, yakni wanita yang mengolok-olok
84
itu, dan janganlah kamu mengejek siapapun –secara sembunyi-sembunyidengan ucapan, perbuatan, atau isyarat karena ejekan itu akan menimpa diri kamu sendiri dan janganlah kamu panggil-memeanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk oleh yang kamu panggil –walau kamu menilainya benar dan indah- baik kamu yang menciptakan gelarnya maupun orang lain. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan kefasikan, yakni panggilan buruk sesudah iman. Siapa yang bertaubat setelah melakkan hal-hal buruk itu, maka mereka adalah orang-orang yang menelusuri jalan lurus dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim dan mantap kezalimannya dengan menzalimi orang lain serta dirinya sendiri. Secara jelas, perintah yang merupakan larangan saling mengolokolok termaktub dalam kata ( ) يسخرyaskhar/memperolok-olokan yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan, atau tingkah laku. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat, mendengar, bahkan terlibat dalam sendau-gurau. Bila hal tersebut dilakukan dalam tempat dan waktu yang tepat serta dilakukan secara wajar, maka ia bisa menimbulkan kedekatan dan kesenangan. Tetapi, jika hal tersebut dilakukan secara berlebihan, pada waktu dan tempat yang tidak tepat, serta dengan cara yang tidak wajar, hal tersebut jatuh menjadi olok-olok atau menghina seseorang
85
atau kelompok lain. Jika ini terjadi, ia dapat berdampak buruk pada diri sendiri, kelompok atau lingkungan. Adalah realitas bahwa terdapat kecenderungan umat Islam Indonesia untuk memperolok orang dan kelompok lain. Terdapat beberapa motif dari orang-orang yang memperolok orang atau kelompok lain. 1. Agar menimbulkan kesan sok akrab atau dekat secara psikologis. 2. Untuk guyonan, agar si pendengar merasa terhibur (tertawa), sebagaimana dapat disaksikan di acara humor pada berbagai media. Padahal disebutkan dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Celakalah orang yang berbohong (memperolokkan orang lain) agar orang lain tertawa. Ceakalah dia, celakalah dia.” (HR Abu Dawud, Tirmizi, Darimi, Ahmad) 3. Untuk sindiran 4. Untuk menghina dan menjatuhkan mental atau kredibilitas seseorang atau kelompok lain, baik melalui guyonan (satire atau ironi) atau secara langsung (sarkasme). Terkait dengan hal tersebut, setiap mukmin baik secara individual maupun secara berkelompok, dilarang untuk memperolok orang lain atau kelompok lain (QS. 49:11). Hal ini disebabkan belum tentu orang atau kelompok yang diperolokkan lebih buruk (jelek) daripada dirinya dan atau
86
kelompoknya. Bahkan mungkin saja, orang atau dan kelompok tersebut lebih baik dibandingkan dengan dirinya. (Anwar, dkk, 2014:1033) Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa larangan untuk tidak mengolok-olok yakni menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan, atau tingkah laku. Karena belum tentu orang atau kelompok yang diperolokkan lebih buruk (jelek) daripada dirinya dan atau kelompoknya. 2. Mengejek
Ÿωuρ öΝåκ÷]ÏiΒ #Zöyz (#θçΡθä3tƒ βr& #|¤tã BΘöθs% ÏiΒ ×Πöθs% öy‚ó¡o„ Ÿω (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ (#ρâ“t/$uΖs? Ÿωuρ ö/ä3|¡àΡr& (#ÿρâ“Ïϑù=s? Ÿωuρ ( £åκ÷]ÏiΒ #Zöyz £ä3tƒ βr& #|¤tã >!$|¡ÎpΣ ÏiΒ Ö!$|¡ÎΣ ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù ó=çGtƒ öΝ©9 tΒuρ 4 Ç≈yϑƒM}$# y‰÷èt/ ä−θÝ¡àø9$# ãΛôœeω$# }§ø♥Î/ ( É=≈s)ø9F{$$Î/ ∩⊇⊇∪ tβθçΗÍ>≈©à9$# “Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuanperempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
87
Allah SWT menyebut larangan tidak boleh mengejek terdapat pada kata تلمزواyang berasala dari akar kata لمزا- يلمز- لمزyang berarti memberi isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan, atau kata-kata yang dipahami seebagai ejekan. (Departemen Agama RI, 2009:408) Ayat ke 11 ini, melarang melakukan al-lamz terhadap diri sendiri, sedang maksudnya adalah orang lain. Menurut Quraih Shihab (2002:605606), redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusmya seseorang merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri. Di sisi lain, tentu saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan itu menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk daripada yang diejek itu. Firman-Nya: ( ) عسى ان يكون خيرا ﻣنھمboleh jadi mereka yang diolok-olok
itu
lebih
baik
dari
mereka
yang
mengolok-olok.
Mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi bersabda dengan tolak ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain justru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal, jika
88
mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan Allah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek. Shihab (2002:606-607) Demikian penulis simpulkan bahwa, nilai kemasyarakatan pada ayat ke 11 ini, yakni Allah SWT melarang melakukan lamz terhadap diri sendiri, padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan kalimat anfusakum dimaksudkan bahwa sesama manusia terutama dalam kehidupan bermasyarakat adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita, artinya juga diderita oleh diri kita sendiri. Maka dapat dikatakan siapa yang mengejek orang lain sesungguhnya dia telah mengejek dirinya sendiri. 3. Panggil Memanggil dengan Gelar-Gelar Buruk
Ÿωuρ öΝåκ÷]ÏiΒ #Zöyz (#θçΡθä3tƒ βr& #|¤tã BΘöθs% ÏiΒ ×Πöθs% öy‚ó¡o„ Ÿω (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ (#ρâ“t/$uΖs? Ÿωuρ ö/ä3|¡àΡr& (#ÿρâ“Ïϑù=s? Ÿωuρ ( £åκ÷]ÏiΒ #Zöyz £ä3tƒ βr& #|¤tã >!$|¡ÎpΣ ÏiΒ Ö!$|¡ÎΣ ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù ó=çGtƒ öΝ©9 tΒuρ 4 Ç≈yϑƒM}$# y‰÷èt/ ä−θÝ¡àø9$# ãΛôœeω$# }§ø♥Î/ ( É=≈s)ø9F{$$Î/ ∩⊇⊇∪ tβθçΗÍ>≈©à9$# “Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuanperempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Departemen Agama RI, 2009:408)
89
Larangan Allah SWT untuk tidak panggil memanggil dengan gelargelar buruk terdapat pada kata kunci ( ) تنا بزوtanabazu, yang terambil dari
( ) النّبذan-nabz, yakni gelar buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal-balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena at-tanabuz lebih banyak terjadi daripada al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk sehingga terjadi tanabuz. Shihab (2002:607) Lebih lanjut menurut analisa peneliti, pada Tafsir al-Misbah larangan tanabuz dalam ayat ini tidak serta-merta ditafsirkan mengacu pada teks melainkan masih ada penambahan keterangan, bahwa terdapat sekian gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar buruk, tetapi karena ia sedemikian populer dan penyandangnya pun tidak lagi keberatan dengan gelar itu maka di sini menyebut gelar tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya, Abu Hurairah, yang nama aslinya adalah Abdurrahman ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Bahkan, alA’raj (si Pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Humuz
90
dan al-A’masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran, dan lain-lain. (Shihab, 2002:607) Kata ( )اإل ﺳمal-ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian, ayat di atas bagaikan menyatakan: “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda dan jika demikian ayat ini berarti: “seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang telah dilakukannya.” Misalnya, dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri dan lain-lain. (Shihab, 2002:607) Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa larangan untuk tidak panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk di sini, merupakan bentuk larangan dengan menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal-balik. Sebagaimana yang terjadi biasanya gelar buruk disampaikan secara terangterangan dengan memanggil yang bersangkutan, sehingga siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk sehingga terjadi tanabuz.
91
4. Berprasangka Buruk (Su’u Zann)
Ÿωuρ ( ÒΟøOÎ) Çd©à9$# uÙ÷èt/ āχÎ) Çd©à9$# zÏiΒ #ZÏWx. (#θç7Ï⊥tGô_$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ϵŠÅzr& zΝóss9 Ÿ≅à2ù'tƒ βr& óΟà2߉tnr& =Ïtä†r& 4 $³Ò÷èt/ Νä3àÒ÷è−/ =tGøótƒ Ÿωuρ (#θÝ¡¡¡pgrB ∩⊇⊄∪ ×ΛÏm§‘ Ò>#§θs? ©!$# ¨βÎ) 4 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 çνθßϑçF÷δÌs3sù $\GøŠtΒ “Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencaricari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Dari ayat 12 surat Al-Hujurat ini dapat diambil kata kunci ( ) الظن az-zan. kata الظنadalah bentuk masdar dari kata يظن- ظنyang berarti menduga, menyangka, dan memperkirakan. Bentuk jamaknya adalah ظنون umunya kata ini digunakan pada sesuatu yang dianggap tercela. Ketika sangkaan ini kuat, maka ia akan melahirkan sifat ‘ilm. Tetapi tidak bisa disebut ‘ilm atau yakin hakiki (yakin ‘iyan) karena keyakinan hakiki hanya bisa didapat melalui ilmu. Antara yakin dan ragu tetapi kecenderungan terhadap keyakinan lebih kuat. Jadi kata zann diartikan dengan mengetahui seperti dalam firman Allah Surat al-Qasas/28:39. Tetapi ketika dugaan itu melemah, maka akan menjadi sebuah keraguan (syak). Untuk menunjukkan keyakinan biasanya kata ini disertai dengan huruf anna atau an. Oleh karena itu zanantu saya telah mengetahui. Kata zann memang lebih banyak digunakan pada sesuatu yang tercela atau buruk. Zann juga berarti menuduh
92
atau berprasangka. Az-Zanin berarti tertuduh. Zann juga ditujukan pada sifat lemah. Rajul zanun berarti lelaki yang sangat lemah dan sering berburuk sangka. Bi’r zanun berarti sumur yang belum pasti apakah ada airnya atau tidak. Dan zanun berarti hutang yang pemiliknya tidak yakin apakah sudah dibayar atau belum. Dari beberapa pengertian di atas, kata zann untuk menunjukkan sesuatu yang belum jelas dan pasti serta masih bersifat praduga. (Departemen Agama RI, 2009:412) Dari ayat ini Allah menjelaskan agar menjauhi zann (prasangka) karena sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa. Prasangka yang tidak berdasar tentu meresahkan kehidupan bermasyarakat karena satu sama lainnya saling mencurigai dan akan mengakibatkan perpecahan. Dalam kehidupan keseharian, setiap orang pernah mempunyai anggapan yang kurang baik terhadap orang lain atau sesuatu, baik dalam lingkungan keluarga, tetangga, pendidikan, maupun pekerjaan. Anggapan kurang baik inilah yang disebut sebagai prasangka buruk. Adakalanya, kita menilai seseorang sebagai orang jahat hanya karena ia berpenampilan urakan, atau adakalanya kita menilai seseorang sebagai orang yang tidak berpendidikan atau kalangan miskin hanya karena ia berpenampilan sederhana. Penilaian tersebut belum tentu benar, tetapi belum tentu juga salah. Bila penilaian tersebut masih dalam bentuk pikiran, maka ia dapat saja menjadi pertimbangan untuk kehati-hatian, tetapi bila ia telah terucapkan maka ia bisa jadi bermasalah. Bakar Ibn Abdullah al-Muzani berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar
93
kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah berdosa (fitnah). Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu.” (Anwar, dkk, 2014:1035) Ayat di atas menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa, yakni dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan dugaan buruk tanpa dasar karena ia dapat menjerumuskam seseorang ke dalam dosa. Dengan menghindari dugaan dan prasangka buruk. Anggota masyarakat akan lebih tenang dan tentram serta produktif karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan energinya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi setiap anggota masyarakat dari tuntutan terhadap hal-hal yang baru bersifat prasangka. Dengan demikian, ayat ini mengukuhkan prinsip bahwa:
Tersangka
belum
dinyatakan
bersalah
sebelum
terbukti
kesalahannya , bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran dugaan yang dihadapkan kepadannya. Memang, bisikan-bisikan yang terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi asal bisikan tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan sangka buruk. (Shihab, 2002:610) Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat nilai kemasyarakatan berupa larangan untuk tidak berprasangka buruk (Su’u Zann), hal ini karena sebagaian dugaan/prasangka itu adalah dosa, yakni dugaan/prasangka yang tidak berdasar. Ini berarti ayat di atas melarang
94
melakukan dugaan buruk tanpa dasar karena dapat menjerumuskam seseorang ke dalam dosa. Prasangka yang tidak berdasar tentu meresahkan kehidupan bermasyarakat karena satu sama lainnya saling mencurigai dan akan mengakibatkan perpecahan. 5. Mencari-cari Kesalahan
Ÿωuρ ( ÒΟøOÎ) Çd©à9$# uÙ÷èt/ āχÎ) Çd©à9$# zÏiΒ #ZÏWx. (#θç7Ï⊥tGô_$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ϵŠÅzr& zΝóss9 Ÿ≅à2ù'tƒ βr& óΟà2߉tnr& =Ïtä†r& 4 $³Ò÷èt/ Νä3àÒ÷è−/ =tGøótƒ Ÿωuρ (#θÝ¡¡¡pgrB ∩⊇⊄∪ ×ΛÏm§‘ Ò>#§θs? ©!$# ¨βÎ) 4 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 çνθßϑçF÷δÌs3sù $\GøŠtΒ “Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencaricari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412) Potongan ayat yang berbunyi “ ”وال تجسسوberasal dari kata ()ﺟس jassa
yang arti awalnya adalah menyentuh dengan tangan. Mendeteksi
denyut nadi seseorang untuk mengetahui kesehatannya dan memeriksa dengan cara meraba juga makna dari jassa.( ) المجسةAl-Majassah adalah daerah yang diraba oleh tangan. Dari kata ini muncul pengertian lain seperti menyelidiki, meneliti, memeriksa, mengamati, dan memata-matai. ()ﺟسس Jasus adalah istilah untuk spionase karena tugasnya memata-matai musuh.
( )الجسسةAl-Jassasah adalah nama binatang di lautan yang bertugas mencari berita untuk Dajjal. Sebagaian ulama menganggap sama antara hass (dengan
95
ha) dengan jass (dengan jim). Jawasul-insan adalah tangan, mata, mulut, hidung, dan telinga, sama dengan pengertian hawasul-insan. Sebagian membedakannya dengan kata jass lebih khusus dari hass yang berarti mengetahui melalui apa yang dirasakan sedangkan al-jass mengetahui sesuatu dari perasaan itu. Al-Hass hanya memeriksa dari luar sedangkan aljass memeriksa bagian dalam dan lebih banyak digunakan pada kejelekan. Al-Jass mencari berita untuk orang lain dengan cara menyelidiki sedangkan al-hass mencari untuk dirinya sendiri dengan jalan mendengar. Al-Jasus adalah pemilik rahasia kejahatan dan an-namus pemilik rahasia kebaikan. (Departemen Agama RI, 2009:413) Dalam ayat ini, kalimat tajasus diartikan dengan mencari-cari kesalahan orang lain. Mencari kesalahan orang lain biasanya berawal dari sebuah prasangka (az-zann) buruk. Dari situ kemudian timbul ghibah dengan menggunjingkan hasil dari zann dan tajassus tadi. Oleh karena itu, Allah secara runtut melarang tiga perkara ini. Quraish Shihab (2002:610), menukil pendapat dari Imam Ghazali memberikan pemahaman bahwa larangan ini jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni, setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian, jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakanya itu. Lebih jelas lagi beliau menegaskan bahwa mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya. Karena itu, ia disebutkan setelah larangan menduga atau berprasangka.
96
Berdasarkan beberapa pemaparan di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya nilai kemasyarakatan berupa larangan untuk tidak mencari-cari kesalahan, mengandung artian dilarang mencaricari kesalahan orang lain. Karena mencari kesalahan orang lain biasanya berawal dari sebuah prasangka buruk. Yang kemudian dari prasangka buruk itu timbul ghibah dengan menggunjingkan hasil dari zann dan tajassus tadi. 6. Menggunjing (Ghibah)
Ÿωuρ ( ÒΟøOÎ) Çd©à9$# uÙ÷èt/ āχÎ) Çd©à9$# zÏiΒ #ZÏWx. (#θç7Ï⊥tGô_$# (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ϵŠÅzr& zΝóss9 Ÿ≅à2ù'tƒ βr& óΟà2߉tnr& =Ïtä†r& 4 $³Ò÷èt/ Νä3àÒ÷è−/ =tGøótƒ Ÿωuρ (#θÝ¡¡¡pgrB ∩⊇⊄∪ ×ΛÏm§‘ Ò>#§θs? ©!$# ¨βÎ) 4 ©!$# (#θà)¨?$#uρ 4 çνθßϑçF÷δÌs3sù $\GøŠtΒ “Wahai orang-orang yang beriman! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencaricari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang Suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Departemen Agama RI, 2009:412)
Dari ayat 12 ini, Allah SWT menyebut larangan tidak boleh menggunjing terdapat pada ( ) يغتبyaqtab. Kata yaqtab merupakan fi’il mudari’ yang berasal dari kata ( غيبا- يغب- ) غبgaba-yagibu-gaiban yang berarti hilang tidak terlihat. ( غبة الشمسGabatisy-syams) berarti matahari terbenam karena tidak bisa dilihat. Kalimat ini digunakan pada sesuatu yang hilang dari pancaindra ataupun hilang dari pengetahuan manusia. Seseorang
97
yang tidak hadir berarti dia gaib. Gaib juga berarti hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia, tetapi bisa diketahui melalui berita para Nabi. Allah bersifat gaib karena sifatnya yang transender. Tetapi bagi Allah tidak ada yang gaib علم الغيوب, ‘( علم الغيب وشھادةalimul-gaibi wasy-syahadah, ‘allamul-guyub). Malaikat, setan, dan jin juga disebut gaib karena tidak bisa dilihat oleh manusia. Dari pengertian ini, seseorang yang membicarakan kejelekan atau aib orang lain tanpa kehadiran orang yang dibicarakan itu disebut dengan gibah. (Departemen Agama RI, 2009:413-414) Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang larangan bergibah atau menyebut
kejelekan
orang
lain
tanpa
kehadirannya.
Gibah
bisa
menimbulkan bahaya yang lebih besar. Para ulama membolehkan gibah dengan syarat gibah dimaksudkan untuk kemaslahatan baik bagi dirinya atau orang lain. Misalkan meminta fatwa atau menyebut keburukan orang lain yang memang tidak segan menampakkan keburukannya di depan orang lain, menyampaikan keburukan kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya kemungkaran, menyampaikan keburukan kepada siapa yang membutuhkan informasi seperti dalam khitbah (pertunangan). (Departemen Agama RI, 2009:413-414) Quraish Shihab (2002:162-163) dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat
dari
Thabathaba’i
dalam
komentarnya
tentang
ghibah/menggunjing, Thabathaba’i menulis bahwa ghibah merupakan perusakan bagian dari masyarakat satu demi satu sehingga dampak positif
98
yang diharapkan dari wujudnya satu masyarakat menjadi gagal dan berantakan. Yang diharapkan dari wujudnya masyarakat adalah hubungan harmonis antar-anggota-anggotanya, dimana setiap orang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai. Masing-masing mengenal anggota masyarakat lainnya sebagai seorang manusia yang disenangi, tidak dibenci atau dihindari. Adapun bila ia dikenal dengan sifat yang mengundang kebencian atau memperkenalkan aibnya, akan terputus hubungan dengannya sebesar kebencian dan aib itu. Dan ini pada gilirannya melemahkan hubungan kemasyarakatan sehingga gunjingan tersebut bagaikan rayap yang menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit hingga berakhir dengan kematian. Lebih lanjut, Thabathaba’i menulis bahwa tujuan manusia dalam usahanya membentuk masyarakat adalah agar masing-masing dapat hidup di dalamnya dengan satu identitas yang baik sehingga dia dapat –dalam interaksi sosialnya- menarik dan memberi manfaat. Menggunjingnya mengantar yang bersangkutan kehilangan identitas itu, bahkan merusak identitasnya serta menjadikan salah seorang dari anggota masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Dan jika pergunjingan ini meluas, pada akhirnya beralih kebaikan menjadi keburukan dan sirna ketenangan, keamanan, dan kedamaian bahkan obat pada akhirnya menjadi penyakit. Berdasarkan
beberapa
keteranagn
di
atas
terkait
nilai
kemasyarakatan berupa larangan Ghibah, menurut analisa penulis
99
bersumber dari kitab Tafsir al-Misbah karya Quraih Shihab (2002:613), pendapat Thabathaba’i tersebut di atas dalam konteks larangan bergunjing, diperolehnya kesan dari adanya kata akhih(i)/saudara. Yang mana larangan tersebut hanya berlaku jika yang digunjing adalah seorang muslim karena persaudaraan yang diperkenalkan disini adalah persaudaraan seiman. Pendapat serupa dikemukakan juga oleh beberapa ulama lainnya. Akan tetapi disini Quraish Shihab dengan argumennya tidak sependapat dengan pendapat tersebut. Karena menurutnya kata akh/saudara yang digunakan alQur’an tidak harus selalu berarti saudara seagama. Bahkan al-Qur’an menegaskan
kata
seagama
jika
bermaksud
menghilangkan
kesan
persaudaraan yang tidak seagama seperti firman-Nya:
ǃÏe$!$# ’Îû öΝä3çΡ≡uθ÷zÎ*sù nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r&uρ (#θç/$s? βÎ*sù “Jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itulah) adalah saudara-saudara kamu seagama” (QS. At-Taubah:11) (Departemen Agama RI, 1982:189)
Di sisi lain, Islam mengundang semua anggota masyarakat untuk bekerjasama menciptakam kesejahteraan bersama. Menggunjing salah seorang anggota masyarakat dapat melumpuhkan masyarakat itu –seperti yang dikemukakan juga oleh Thabathaba’i. Di sisi lain, bukankah menggunjing adalah suatu perbuatan yang tidak baik? Melakukan suatu perbuatan buruk –terhadap siapapun ditujukan- pastilah tidak direstui agama. Bukankah pergunjingan merupakan perlakuan tidak adil dan agama
100
memerintahkan untuk menegakkan keadilan kepada siapapun, walau terhadap orang-orang kafir. ( Shihab, 2002:613 Op. cit) C. Relevansi Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Surat Al-Hujurat Ayat 9 -13 dengan Kehidupan Masa Kini Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim terbesar di dunia memiliki banyak keanekaragaman agama, budaya, ras, suku dan adat istiadat. Hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia hidup di tengah-tengah berbagai macam perbedaan. Sehingga, dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut seringkali memudahkan dalam memicu berbagai konflik di tengahtengah kehidupan mereka jika tidak disertai dengan beberapa sikap yang positif, yakni rasa persaudaraan, perdamaian, toleransi, keadilan, saling menghormati satu sama dengan yang lain dan saling menghargai perbedaan yang ada. Sejarah mencatat, konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya ialah, konflik yang terjadi di Aceh, kekerasan terhadap etnis cina di Jakarta pada Mei 1998, pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut partai komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003, Perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 (Chanifah, 2012:3). Yang baru-baru ini terjadi di tahun 2016, aksi ricuh unjuk rasa pengemudi taxi yang diwarnai tawuran dan aksi lempar batu dengan pengemudi ojek online terkait konflik adanya wajah baru transportasi online yang dianggap merugikan
101
transportasi model lama (konvensional), tawuran antar warga Johar Baru Jakarta Pusat, terjadi di 3 lokasi sekaligus yang hanya berselang satu jam lamanya (Liputan6.com 19/05/2016). Kasus-kasus yang lain seperti, banyaknya tawuran baik antar warga dalam sebuah komuditi maupun antar pelajar tingkat SMP dan SMA, bentrok kerusuhan di kalangan mahasiswa dan politisi, serta tidak ketinggalan aksi bom-bom terorisme yang acapkali mengatasnamakan agama. Fenomena seperti di atas menurut peneliti memberikan gambaran bahwa di dalam diri masyarakat Indonesia masih belum memiliki sikap persaudaraan, perdamaian, saling menghormati, dan persamaan sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Karena sampai pada hari ini masih saja dijumpai kasus-kasus pertikaian dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat, baik itu yang disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, maupun perbedaan ras, golongan, maupun keyakinan. Seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Tolikara, Tanjung Balai, dan lain sebagaianya. Hal tersebut memberikan bukti bahwa kesadaran maupun perhatian masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan pesanpesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup masih sangat rendah dan juga nilainilai kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an khususnya surat al-Hujurat ayat 9-13 belum sepenuhnya diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia. Sehingga menurut peneliti, masih sangat penting dan relevan bila nilai-niai kemasyarakatan yang bersumber dari al-Qur’an ini diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keanekaragaman agama, budaya, ras, suku dan adat istiadat dengan mayoritas masyarakatnya muslim.
102
Begitu juga dengan dampak yang ditimbulkan dari adanya konflikkonflik tersebut di atas pasti akan dirasakan oleh masyarakat luas, baik yang secara langsung terlibat maupun yang tidak. Dampak-dampak yang diakibatkan oleh konflik dapat berupa kehancuran dari aspek fisik maupun infrastruktur. Akan tetapi yang paling berbahaya ialah menghancurkan mentalitas masyarakat dan bangsa yang berpotensi mengganggu keutuhan dan mengikis persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dampak yang lain dari konflik yang terjadi, seharusnya masyarakat harus lebih dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan. Semua itu dijadikan ibroh ataupun refleksi bahwa adanya konflik merupakan keadaan yang tidak enak dirasakan agar dapat diantisipasi sehingga tidak terjadi konflik lagi dikemudian hari. Dalam
konteks
tersebut,
masih
pentingnya
arti
nilai-nilai
kemasyarakatan dari tafsir ayat 9 sampai dengan ayat 13 surat al-Hujurat dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena ayat-ayat ini merupakan ayat-ayat yang mengkaji berhubungan dengan pembinaan masyarakat dan juga surat al-Hujurat sendiri
merupakan salah satu dari
beberapa surat yang intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan hidup manusia. Allah mewahyukan surat tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim maupun kemanusiaan global.
103
Oleh karena itu dalam konteks seperti saat ini, dapat terealisasikannya nilai-nilai yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 di tengah-tengah masyarakat merupakan solusi agar dapat terwujudnya kesejahteraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, teraktualisasinya nilai-nilai yaitu, Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), musawah (persamaan derajat), tidak mengolok-olok, tidak mengejek, tidak panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan, dan tidak menggunjing diharapkan dapat mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih aman, tentram, damai menuju kehidupan masyarakat Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur .
104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melakukan telaah terhadap nilai-nilai kemasyarakatan yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 kajian Tafsir al-Misbah maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Pertama, nilai-nilai kemasyarakatan yang terdapat dalam surat alHujurat ayat 9-13, penulis menemukan sebanyak 11 nilai yang ada, terbagi dalam dua kategori, yakni dalam bentuk perintah dan larangan. Dalam bentuk perintah, yaitu; Islah (perdamaian), adil, ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan musawah (persamaan derajat). Sementara dalam bentuk larangan, yaitu; mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelargelar buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing. Menurut penulis, pesan al-Qur’an melalui surat al-Hujurat ayat 9-13 pada intinya adalah menyuruh umat manusia untuk menciptakan persaudaraan, perdamaian, keadilan, persatuan umat dan sikap saling menghormati serta melarang
semua perbuatan yang dapat menimbulkan pertiakaian maupun
perpecahan yang dapat merusak tatanan hubungan antar sesama manusia dalam masyarakat.
105
Kedua, menurut penafsiran Quraish Shihab, bahwa nilai-nilai dan pesan yang Allah SWT sampaikan melalui surat al-Hujurat ayat 9-13 merupakan suatu isyarat yang sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan serta hubungan harmonis antar –anggota masyarakat kecil atau besar akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang lahirnya bencana buat mereka. Dengan demikian, manusia hendaknya memperhatikan apa yang telah dipesankan oleh sang Pencipta manusia Yang Maha Mengetahui dan mengenal mereka juga kemaslahatan mereka. Kesimpulan dari pesan yang disampaikan dalam surat al-Hujurat, Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah membagi pesan intinya menjadi tiga bagian besar. Pertama, menjelaskan perintah untuk melakukan ishlah terhadap kelompok/golongan yang bertikai atau berselisih. Kedua, menjelaskan beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Ketiga, menjelaskan tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Bagian pertama: perintah untuk melakukan ishlah terhadap kaum mukminin yang bertikai. 1. Mendamaikan dua kelompok/golongan yang bertikai dalam bentuk sekecil apapun. Dengan ishlah berarti menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. 2. Dalam melakukan ishlah lakukanlah dengan adil. Adil yakni menempatkan
segala
sesuatu
pada
tempatnya
walau
tidak
106
menyenangkan satu pihak. Adil dalam hukum berarti memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. 3. Ishlah perlu dilakukan dan ditegakkan, karena semua manusia pada hakikatnya adalah bersaudara. Terlebih persaudaraan yang dijalin oleh keimanan, persaudaraan sesama makhluk Allah, sesama manusia, seketurunan dan sebangsa. Bagian kedua: beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. 1. Larangan mengolok-olok, yakni menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan, atau tingkah laku. Karena belum tentu orang atau kelompok yang diperolokkan lebih buruk (jelek) daripada dirinya dan atau kelompoknya. 2. Larangan mengejek siapa pun, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun isyarat. Karena dampak buruk ejekan itu akan menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk. 3. Larangan panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk dalam arti timbal-balik.
Sebagaimana
disampaikan
secara
yang
terjadi
terang-terangan
biasanya
dengan
gelar
buruk
memanggil
yang
bersangkutan, sehingga siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk.
107
4. Larangan berprasangka buruk (Su’u Zann), yakni prasangka/dugaan yang tidak berdasar, dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. 5. Larangan mencari-cari kesalahan orang lain, mencari kesalahan orang lain berawal dari sebuah prasangka buruk. Yang kemudian dari prasangka buruk itu timbul ghibah dengan menggunjingkan hasil dari zann
dan
tajassus.
Melakukan
tajassus
dapat
menimbulkan
kerenggangan hubungan karena itu pada prinsipnya ia dilarang. 6. Larangan menggunjing (Ghibah), yakni menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Larangan menggunjing ini tidak hanya berlaku jika yang digunjing adalah seorang muslim, melainkan berlaku juga kepada manusia secara umum. Menggunjing salah seorang anggota masyarakat berarti melumpuhkan masyarakat itu sendiri. Bagian ketiga: prinsip dasar hubungan antar manusia. 1. Al-Musawah
(persamaan
derajat),
Semua
manusia
derajat
kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku, satu bangsa, warna kulit dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan seorang perempuan, karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh sebab itu, tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi daripada yang lain.
108
2. Ta’aruf (saling mengenal), Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, serta menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya saling mengenal. Dengan saling mengenal mengantar manusia untuk bantu-membantu dan saling melengkapi. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat, karenannya perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Ketiga, bahwa 11 nilai kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9-13 tersebut, bila dikontekstualkan dengan kehidupan masa kini masyarakat Indonesia yang memiliki banyak keanekaragaman agama, budaya, ras, suku dan adat istiadat dengan mayoritas masyarakatnya muslim masih sangat relevan, Karena sampai pada hari ini masih saja dijumpai kasuskasus pertikaian dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat kita, baik itu yang disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, maupun perbedaan ras, golongan, maupun keyakinan. Seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Tolikara, Tanjung Balai, dan lain sebagaianya. Hal tersebut memberikan bukti bahwa kesadaran maupun perhatian masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan pesan-pesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup masih sangat rendah dan juga nilai-nilai kemasyarakatan yang ada dalam al-Qur’an khususnya surat al-
109
Hujurat ayat 9-13 belum sepenuhnya diaktualisasikan oleh masyarakat Indonesia. Dalam
kaitanya
kehidupan
bermasyarakat
sehari-hari.
Sejauh
penelaahan yang penulis lakukan, ayat-ayat ini merupakan ayat-ayat yang mengkaji berhubungan dengan pembinaan masyarakat dan juga surat alHujurat sendiri merupakan salah satu dari beberapa surat yang intens dan fokus pada pembahasan mengenai aspek akhlak dan pergaulan hidup manusia. Allah mewahyukan surat tersebut untuk memberikan pengajaran dan sekaligus meletakkan aturan tingkah laku umum serta seperangkat moral ideal bagi orang-orang muslim maupun kemanusiaan global. Dengan
demikian
dalam
konteks
seperti
saat
ini,
dapat
terealisasikannya nilai-nilai yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 di tengah-tengah
masyarakat
merupakan
solusi
agar
dapat
terwujudnya
kesejahteraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, teraktualisasinya
nilai-nilai
yaitu,
Islah
(perdamaian),
adil,
ukhuwah
(persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), musawah (persamaan derajat), tidak mengolok-olok, tidak mengejek, tidak panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan, dan tidak menggunjing diharapkan dapat mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih aman, tentram, damai menuju kehidupan masyarakat Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur .
110
B. Saran-saran Al-Qur’an merupakan kitab suci universal-berlaku untuk setiap ruang waktu-yang dianugrahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Keuniversalan al-Qur’an terletak pada cakupan pesannya yang menjangkau keseluruh lapisan umat manusia, kapan saja dan dimana saja. al-Qur’an alKarim bagaikan lautan luas yang tidak akan ada habisnya untuk dijelajahi. Isi dan kandungannya terdiri dari berbagai pesan yang dapat membimbing dan mengarahkan manusia untuk mengarungi kehidupannya, dari 114 surat yang ada, kajian terhadapnya tidak pernah kering, salah satu surat dalam al-Qur’an yang mempunyai pesan membentuk kepribadian individu dan masyarakat adalah surat al-Hujurat. Penelitian penulis ini tentunya tidak dapat berhenti sampai disini saja, tentunya masih banyak pesan atau nilai yang belum terungkap dan tergali. Maka selengkapnya ayat demi ayat, surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an perlu dikaji dan digali lebih dalam lagi sebagai wahana khazanah keilmuan umat Islam untuk menciptakan kondisi masyarakat yang harmonis Dar assalam sesuai dengan aturan atau nilai yang terdapat dalam al-Qur’an khusunya surat al-Hujurat. Penulis merasa masih banyak yang belum terungkap dari apa yang ditafsirkan oleh Quraish Shihab mengenai surat al-Hujurat ayat 9-13. Oleh karena itu, penulis menyarankan penelitian lebih lanjut terhadap penafsiran Quraish Shihab yang merupakan salah satu mufasssir ataupun cendekiawan
111
muslim Indonesia harus tetap dilakukan, baik pada surat al-Hujurat maupun pada surat-surat yang lain, baik pada tema-tema kemasyarakatan (al-Ijtima’i) maupun pada tema-tema yang lain. C. Penutup Akhirnya
demikian
penelitian
penulis
tentang
nilai-nilai
kemasyarakatan dalam surat al-Hujurat ayat 9-13 melalui kajian Tafsir alMisbah karya Quraish Shihab, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk diri penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Teriring segala puji bagi Allah SWT atas karunia yang diberikan, sehingga penulis diberikan kekuatan, kemudahan, dan kelancaran untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian yang sederhana ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangatlah penulis harapkan dalam upaya memperbaiki karya ini. Jika ada yang benar dari penelitian ini maka itu datangnya dari Allah SWT, dan jika terdapat banyak kesalahan maka itu datangnya dari penulis. Wallahu A’lam bii al-Sowwab...
112
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Ash-Shaabuuny. 1999. Study Ilmu Al-Qur’an. Cet. I. Bandung: Pustaka Setia. Al Farisi, Zaka, dkk. 2009. Asbabun Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. Anwar, Rosihon, dkk. 2014. The Wisdom ; Al-Qur’an Disertai Tafsir Tematis yang Memudahkan Siapa Saja untuk memahami Al-Qur’an. Bandung: AlMizan. Arifin, Tajul. 2008. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Gunung Djati Press. Baidan, Nashruddin, 2005. metodologi penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2010. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bakker, Anton, dkk. 1990. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Bouman. 1976. Ilmu Masyarakat Umum. Jakarta: Pembangunan. Budihardjo. 2012. Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Yogyakarta: Lokus. Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Chanifah, Abu. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Surah Al-Anbiya’ ayat 107 dan Surah Al-Hujurat ayat 9- 13). Skripsi. Salatiga: Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga. Darmawan. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an Disempurnakan). Jakarta: DEPAG.
dan
Tafsirnya
(Edisi
yang
. 1982. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: DEPAG. Djuretna, A. Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi menurut Emile Durkheim & Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius. Erickelman, Dare F, dkk. 2010. Al-Qur’an Sains dan Ilmu Sosial. Terj. Lien iffah Naf’atu Fina dan Ari Hendri. Yogyakarta: Elsaq Press. al-Farmawi, Abd al-Hayy. 1988. Metode Tafsir Maudu’i Penerapanya.Terj. Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia.
dan
Cara
113
Hamka. 1961. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang Kaelany HD. 2005. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi Aksara. Kementerian Agama RI. 2012. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik, Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Koentjaraningrat. 2009. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan . 1976. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press. Mahfud, Chorul. 2004. Menggagas Pendidikan Multikultural. Surabaya: Radar. Muhsin. 2004. Bertetangga dan Bermasyarakat dalam Islam. Jakarta: al-Qalam. Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: trigenda Karya. Mustaqim, Abdul. 2011. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS. Majid, Abd. 2000. Tantangan dan Harapan Umat Islam di Era Globalisasi. Bandung: Pustaka Setia. Nata, Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Naim, Ngainun. 2009. Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Teras. Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Nurdin, Ali. 2006. Qur’aic Societ: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an. Jakarta: Erlangga. Poerwadarminta, W.J.S. 1999. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Qutbh, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Qurían. Terj. Asías Yasin. Cet. I. Jilid X Jakarta: Gema Insani Press. Raghib, As Siraji. 2010.Cara Cerdas Hafal Al-Qur‟an, Solo: Aqwam. Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an. Jakarta: Lentera Hati. . 1999. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
114
. 2006. Menabur Pesan Ilahi: al-Qur’an dan Dninamika Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati. . 1996. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. . 2012. Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. Saleh, Qamarrudin, dkk. 1988. Asbab Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an). Bandung: Diponegoro. Shadily, Hassan. 1980. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Surabaya: USANA. Shalabi, Ahmad. tt. Masyarakat Islam. Surabaya : CV. Ahmad Nabhan. Subagyo, P. Joko, 1991. Metode Penelitian dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Sukanto. 1994. Dinamika Islam dan Humaniora. Solo: Judika Press. Sumadi, Suryabrata. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Press. Soekanto, Soerjono. 2006. Emile Durkheim ; Aturan Aturan Metode Sosiologis. Jakarta: Rajawali. Supiana dan Karman M. 2002. Ulumul Quran dan Pengenalan Metode Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika. Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 2000. Ulumul Quran 1. Bandung: CV Pustaka Setia. Taneko, Soleman B. 1984. Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: RaJawali. Toha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras. Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. http://anamko.blogspot.co.id/2013/08/kajian-kitab-tafsir-di-indonesia-tafsir.html. diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03. id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diakses kamis 19 November 2015 pukul 13.03.
115
(http://majelispenulis.blogspot.co.id/2013/12/tafsir-al-quran-al-araf-199.html. diakses senin 8 Agustus 2016 pukul 11.38). Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist. http://Liputan6.com/19/05/2016/Tawuran-Antar-warga.html, diakses kamis 28 Juli 2016 pukul 10.30.
116
DAFTAR SATUAN KETERANGAN KEGIATAN(SKK)
NAMA
: NUR FAIZIN
NIM
: 11112013
FAKULTAS / JURUSAN
: TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN / PAI
NO
1.
2.
3.
4.
NAMA KEGIATAN
PELAKSANAAN
KETERANGAN
NILAI
OPAK STAIN Salatiga 2012 dengan tema “Progresifitas Kaum Muda, Kunci Perubahan Indonesia”
5-7 September 2012
PESERTA
3
OPAK Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga dengan tema “Mewujudkan Gerakan Mahasiswa Tarbiyah Sebagai Tonggak Kebangkitan Pendidikan Indonesia”
8-9 September 2012
PESERTA
3
Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan tema “Membangun 10 September 2012 Karakter Keislaman Bertaraf Internasiomal di Era Globalisasi Bahasa”
PESERTA
2
Seminar Entrepreneurship dan
PESERTA
2
11 September 2012
117
Perkoperasian 2012 dengan tema “Explore Your Entrepreneurship Talent” 5.
6.
7.
8.
9.
Achievment Motivation Training (AMT) dengan tema 12 September 2012 “Dengan AMT, Bangun Karakter Raih Prestasi”
PESERTA
2
UPT Perpustakaan STAIN Salatiga 13 September 2012 “LIBRARY USER EDUCATION”
PESERTA
2
Musabaqoh Lughoh ‘Arobiyah (MLA) dengan tema “Mewujudkan Potensi Berbahasa Dengan Musabaqoh Lughoh ‘Arobiyah”
17 Oktober 2012
PESERTA
2
Penerimaan Anggota Baru JQH dengan tema “Membentuk Paradigma Mahasiswa Qur’ani Dengan Panca Indra, Akal dan Hati”
17-18 November 2012
PESERTA
2
Tabligh Akbar Bertajuk “Tafsir Tematik Dalam Upaya Menjawab Persoalan Israel dan Palestina Landasan QS. AlFath: 26-27”
1 Desember 2012
PESERTA
2
118
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
SK Pengangkatan Pengurus Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffadz (JQH) STAIN Salatiga 2013
31 Januari 2013
PENGURUS (Kaderisasi Bidang Khottul ‘Arobi)
4
Tafsir Tematik dengan tema “Sihir dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hukum Negara”
4 Mei 2013
PESERTA
2
“Sosialisasi Bos Bagi Pondok Pesantren Se Jateng Angkatan 11” oleh Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah
21-24 Mei 2013
PESERTA
4
Gorah Massal & Bimbingan Tilawah Nasional
24-25 Mei 2013
PESERTA
Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) ke V dengan tema “MTQ Sarana Apresiasi untuk Mencetak Insan Qur’ani”
23 Oktober 2013
PANITIA
3
Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH dengan tema “Kristalisasi Nilai Qur’ani Menuju Insan yang Penuh Hikmah”
23-24 November 2013
PANITIA
3
31 Januari 2014
PENGURUS (Staff Dev. Tafsir)
4
SK Pengangkatan Pengurus Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffadz (JQH) Al-Furqan STAIN Salatiga 2014
8
119
17.
18.
19.
20.
21.
22.
SK Panitia dan Pemateri Tafsir Tematik JQH AlFurqan
10 Mei 2014
SK Panitia, Pemateri, dan Peserta Achievemen Motivation Training (AMT) OPAK STAIN Salatiga 2014
8 Agustus 2014
PANITIA (Sie. Perlengkapan)
3
SK Penylenggara Gebyar Seni Qur’ani JQH Al-Furqan STAIN Salatiga 2014
5 November 2014
PANITIA
4
Gebyar Seni Qur’aniyy Umum keVI Se- Jawa Tengah dengan tema “Aktualisasi Makna dan Syi’ar Al-Qur’an Sebagai Sumber Inspirasi”
5 November 2014
PESERTA (Rebana)
4
Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH AlFurqan 2014
13-14 Desember 2104
PANITIA
3
MUJAROFADZ (Musyawaroh Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffadz)
25 Desember 2014
PANITIA
3
PANITIA 3 (Ketua)
120
121
DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama
: Nur Faizin
Nama Ayah
: Nasikhun
Nama Ibu
: Ismiyani
Tempat / Tanggal Lahir
: Kab. Semarang, 14 Maret 1994
Alamat
: Ling. Gintungan RT 002 / RW 005, Kel. Bandungan, Kec. Bandungan, Kab. Semarang
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Warga Negara
: Indonesia
RIWAYAT PENDIDIKAN Formal 2000 – 2006
SD N Bandungan 02, Bandungan, Kab. Semarang
2006 – 2009
SMP Qaryah Thayyibah, Tingkir, Kota Salatiga
2009 – 2012
PKBM Qaryah Thayyibah, Tingkir, Kota Salatiga
2012 – 2016 Program Sarjana (S1) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Non Formal 2006 – 2015
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening, Tingkir, Salatiga
2006 – 2009
Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening, Tingkir, Salatiga
2009– 2012
Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi-ien, Kalibening, Tingkir, Salatiga