Nilai 'kebenaran' dalam Cariyos Elok
Oleh Titik Pudjiastuti
Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VII Denpasar, 28--30 Juli 2003
Nilai 'kebenaran' dalam Cariyos Elok Titik Pudjiastuti1
1. Pendahuluan Ketika sedang memeriksa katalog naskah Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Fakultas (1997) saya tertarik pada salah satu teks yang berjudul "Cariyos Elok." Dalam benak saya timbul rasa ingin tahu apa yang dimaksud dengan kata 'elok' pada teks tersebut, karena elok dalam bahasa Jawa berarti 'ajaib' (Prawiroatmojo, 1998: 112). Berdasarkan teksnya, dapat diketahui bahwa kata "elok" pada judul teks tersebut memang dimaksudkan demikian karena ceritanya memang dijalin dengan unsur keajaiban. Dari keterangan dalam katalog naskahnya diketahui bahwa isi teks menceritakan kisah Tuhusih, putri Demang Karangturi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kuburan. Ketika Ki Demang mengetahui hal tersebut, ia membawanya pulang. Setelah dewasa, Tuhusih tumbuh manjadi seorang gadis yang cantik dan menarik hati Sunan Pakubuwana V, Raja Surakarta, sehingga diangkat sebagai selirnya. Dari perkawinan tersebut lahir putranya yang diberi nama Kanjeng Pangeran Arya Panular. Setrelah membaca cerita tersebut timbul pertanyaan, fiktif atau faktakah serita ini ? Kapan dan siapa penggubahnya ? sebenarnya apa tujuan penulis menggubah cerita ini ? mengapa nama Pakubuwana V dan Kanjeng Pangeran Arya Panular yang dipilih untuk dikaitkan dengan cerita tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini dilakukan. Namun, sebagai langkah awal, agar memperoleh
1
Titik Pudjiastuti pengajar Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), alamat email:
[email protected]
gambaran yang lengkap mengenai teks Cariyos Elok itu, saya akan mulai dengan mengkaji naskahnya, kemudian dilanjutkan dengan membicarakan isinya.
2. Tinjauan Naskah Cariyos Elok merupakan salah satu naskah koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 3 A-B Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1997: 214) naskah ini tercatat dengan nomor CL 20 (B1.05), salinan ketik tembusan karbonnya tercatat dengan judul Cariyosipun patilasan ing Krangturi dengan nomor LS.43 (A.12.06). Oleh karena LS 43 merupakan tembusan karbon dari CL 20, maka untuk selanjutnya naskah ini tidak akan dibicarakan. Pada kata pengantar katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1997: xv) dijelaskan bahwa CL singkatan dari CERTA LAIN-LAIN dan yang termasuk dalam kelompok ini adalah teks-teks sastra yang berisi macam-macam cerita dongeng. Agakanya Cariyos Elok merupakan codex unicus karena berdasarkan pengamatan atas berbagai katalog naskah Jawa saya tidak menemukan teks yang sama dengan cerita ini. Secara fisik naskah CL.20 (B1.05) sangat sederhana. Naskahnya berukuran 34 x 22 cm. Sampulnya berupa jilidan baru dari karton manila berwarna kuning muda. Pada sudut kanan atas sampulnya tertulis nomor naskah dengan tinta berwarna hitam pekat: B 01-05. Pelindung dalam muka dan belakang dari kertas berwarna putih polos. Bahan naskah kertas bergaris yang telah berwarna kuning kecoklatan bahan kertasnya sudah mulai rapuh, sehingga mulai robek, Tebal naskah keseluruhan 11 halaman dengan setiap halaman berisi rata-rata 38 baris. Judul teks di margin atas tengah, tetapi di bawah nomor halaman. Di bawah judul teks agak ke kanan terdapat tulisan Latin tegak yang ditulis dengan pensil berwana biru: 'Karang Toeri.' Bingkai baca teks berukuran 3,5 cm dari margin kiri sampai tepi kertas di margin kanan, 3 cm dari margin atas, dan 3 cm dari margin bawah. Margin kiri yang agak luas agaknya selain difungsikan sebagai ruang untuk menempatkan perbaikan teks (hl.2)
juga digunakan untuk meletakkan nama-nama tokoh yang sedang berdialog dalam teksnya (hl. 3--10), Pada margin kiri halaman 2 terdapat satu basris kalimat sepanjang 27 cm (ditulis 5 cm dari margin bawah ke arah margin atas) yang ditulis dengan tulisan Jawa kursif dalam bahasa Jawa. Teksnya ternyata merupakan kelanjutan dari baris ke-27 yang agaknya terlompati ketika sedang disalin atau ditulis. Perbaikan kesalahan yang ditemukan dalam naskah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan memberitanda koreksi (seperti huruf E) di sisi teks yang kurang lengkap dan kemudian menempatkan perbaikan atau penambahan teksnya di margin kiri (hl.2) atau dengan mencoret huruf atau kata yanh salah dan menuliskan perbaikannya langsung di sebelah teks yang telah dicoret (hl. 3 baris ke-2), hl, 9 baris ke-4, hl. 10 baris ke-23 dan 28). Data yang berkenaan dengan waktu penulisan dan penulis teksnya kurang jelas. Pada bagian awal teks, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa cerita ini terjadi pada sekitar tahun 1820-an dan ceritanya berasal dari seorang bangsawan keturunan keempat Sunan Surakarta. Sementara itu, di sudut margin atas kanan halaman satu terdapat tulisan tangan dengan huruf Latin tegak yang ditulis dengan pensil dalam bahasa Belanda yang berbunyi afgeschenkent Maart'29 dan di bawahnya tertulis inisial Pigeaud Th.P. Agaknya naskah ini merupakan naskah hadiah yang diberikan untuk Pigeaud. Di margin kiri bawah halaman terakhir terdapat penanggalan yang ditulis dengan pensil: 3/10-27 dan di margin tengah bawah, di bawah kata 'titi' terdapat inisial nama seseorang yang ditulis dengan tulisan tangan dalam huruf besar Latin kursif: SSP pada naskah salinan ketik tembusan karbonnya (LS 43) terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa Cariyos Elok adalah jawaban dari permintaan Pusaka Jawi, tahun 1927.
3. Tinjuaan Isi Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai teks Cariyos Elok. Berikut ini akan disajikan ringkasan ceritanya. Cariyos Elok disajikan penulisnya dengan cara dibagi dua, pembagiannya ditandai dengan menempatkan judul bagian kedua: ing ngandhap
punika badhe kayekten eloking lalampahan ditengah--tengah margin, di antara bagian pertama dan kedua. Bagian pertama berupa pembuka yang berisi informasi tentang latar belakang cerita, sedangkan bagian kedua adalah initi ceritanya. Berikut ini adalah ringkasan cerita Cariyos Elok tersebut.
Bagian ke-1 Disebutkan bahwa cerita ini terjadi kira-kira pada tahun 120-an satus rong puluhan (?) diceritakan oleh seorang bangsawan generasi keempat keturunan Raja Surakarta. Tersebutlah, Karangturi sebuah desa di kawedanan Tegalreja, Magelang. karesidenan Kedu sangat terkenal karena dipimpin oleh seorang demang yang kaya raya. Namun pada masa itu, Ki Demang sedang dalam keadaan tidak bahagia karena istrinya Nyai Demang yang sedang hamil tua tengah menderita sakit yang sangat parah. Ki Demang telah berusaha mencari obat dan mamanggil tabib dari berbagai tempat untuk menyembuhkan penyakit istrinya, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya Nyai Demang meninggal dunia. Ki Demang sangat sedih hatinya, lama ia berduka.
Bagian ke-2 Diceritakan kuburan nyai demamg yang letaknya dekat dengan jalan raya desa Karangturi sangt nyaman suasanya; teduh dan bersih tidak heran jika bayak anak-anak yang bermain di tempat itu, apalagi pedagang makanan keliling kemudian juga banyak yang menetap dan berjualan di sana. Kira-kira dua tahun setelah kematian nyai demang, kuburan nyai demang terlihat bolong, tetapi karena tidak ada yang memperhatikan maka tidak ada yang menimbunnya Suatu hari kira-kira jam setengah enam sore saat anak-anak asyik bermain di jalan dekat kuburan, salah seorang anak di antaranya melihat sosok anak kecil yang muncul dari dalam lubang kuburan dengan merangkak gesit ke arah mereka. Akan tetapi belum sampai mendekat anak-anak yang bermain sudah ketakutan, mereka berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak " Ada hantu bayi ...! kawan-kawannya meskipun tiak melihat ikut berlari dan berteriak ketakutan. Setibanya di rumah anak-
anak tersebut menceritakan tentang hantu bayi itu kepada orangtuannya, tetapi orangtua mereka tenang-tenang saja, seperti tidak memeprhatikan. Sejak peristiwa itu sampai beberapa hari kemudan anak-anak tidak ada yang mau bermain dekat kuburan, begitu juga para pedagang tidak lagi berjualan di sana, mereka masih takut. Beberapa bulan kemudian para pedagang sudah mulai berjualan lagi di jalan dekat kuburan. Ketika itu ada lima orang pedagang yang sedang berjualan mereka menghadapi dagangannya sambil bercakap-cakap. Saat menjelang senja mereka melihat ada seorang anak kecil yang merangkak gesit keluar dari dari salah satu lubang makam. Para pedagang perempuan yang melihat sosok aneh tersebut seketika mengambil barang dagangannya dan langsung berebutan berlari sambil berteriakteriak: " Hi, apa itu aku takut ...! Namun, tidak semua pedagang itu ketakutan, salah seorang ibu pedagang yang berani bahkan mendekati dan memperhatikan anak kecil itu. Akhirnya ibu itu mengtahuinya bahwa anak kecil yang merangkak itu masuk ke dalam kuburan Nyai Demang yang bolong. Ibu pedagang itu kemudian pulang, setelah beristirahat sejenak ia cepat-cepat pergi ke rumah Ki Demang untuk melaporkan hal tersebut. Setibanya di rumah Ki Demang, ibu pedagang segera memberitahukan kepada Ki Demang tentang peristiwa yang dilihatnya di kuburan Nyai Demang. Pada mulanya Ki Demang tidak percaya pada laporannya, tetapi setelah ibu pedagang itu membawa saksi pedangang lain dan juga anak-anak yang pernah melihaht 'hantu bayi' itu akhirnya Ki Demang berjanji akan menyelesaikan masalah itu. Setelah ibu pedagang pulang, Ki Demang memanggil adiknya yuang menjadi gebayan (pamong) desa, mereka berbincang mengenai laporan yang disampaikan oleh ibu pedagang. Kemudian diputuskan bahwa esok pagi mereka bersama beberapa kawan Ki Gebayan akan pergi untuk memperbaiki kuburan Nyai Demang. Esok paginya Ki Demanng bersama dengan Ki Gebayan dan kawan-kawannya pergi ke kuburan Nyai Demang. Setibauya di sana mereka melihat bahwa kuburan Nyai Demang memang bolong, tetapi ketika akan dibongkar Ki Demang berkata kepada adiknya. " Agaknya lubang ini biasa digunakan, kalau begitu sebaiknya sebelum dibongkar disumpal saja dulu, khawatir kalau dibongkar nanti ada yang tertimbun dan tidak bisa keluar."
Demikianlah, ketika tanah kuburan nyai demang telah bersih disibakkan terlihat bahwa papan penutup mayat terjungkit dan tampaknya papan itu biasa digunakan sebagai sarana naik-turun. Papan penutup itu lalu diangkat dan astaga ! Ternyata ada seorang anak kecil yang menempel erat di dada mayat nyai demang. Mayat nyai demang tampak tinggal tulang, tetapi anehnya kedua payudara nyai demang terlihat segar dan penuh, seperti lazimnya orang yang tengah menyusui. Melihat hal itu, seketika Ki Demang meloncat ke dalam lubang kubur dan berteriak: " Aduh anakku....!" sambil tangannya berusaha mengangkat anak kecil itu dari dada mayat istrinya. Namun, usaha Ki demang sama sekali tidak berhasil, anak itu baru dapat dilepaskan dan diangkat dari dada ibunya setelah Ki Gebayan membantu menariknya. Anak kecil yang kemudian diketahui sebagai anak perempuan itu menangis menjeritjerit sambil berontak dari pelukan Ki Demang -- yang juga memeluknya sambil meenangis-- tetapi dekapan ki demanng sangat kuat, sehingga anak kecil itu tidak berdaya. Setelah kuburan nyai demang selesai diperbaiki, mereka pulang. Setibanya di rumah, Ki Demang memanggil Nyai Gebayan, ia minta tolong kepada Nyai Gebayan untuk merawat putrinya yang disangka orang sebagai hantu bayi itu sebagai anak sendiri. Nyai Gebayan menyanggupi. Ki Demang menamakan putrinya Tuhusih. Nyai Gebayan merawat dan mengasuh Tuhusih dengan penuh kasih sayang dan mendidiknya sengat
baik, sehingga Tuhusih tumbuh menjadi gadis yang sopan
santun, manis budi bahasanya dan mengerti kuwaiban seorang perempuan., Pada masa itu, Kedu masih berada di bawah kekuasaan Surakarta dan yang menjadi raja adalah Susuhunan Pakubuwana V. Keajaiban kisah Tuhusih yang terkenal sudah didengar oleh baginda raja. Sunan Pakubuwana V
menghendaki
Tuhusih dibawa ke istana. Mula-mula ia hanya dijadikan sebagai hamba istana, tetapi karena lama kelamaan kecantikan dan kehalusan budinya semakin tampak, Akhirnya Tuhusih dijadikan selir oleh Susuhunan Pakubuwana V. Dari perkawinan itu lahir seorang anak lelaki yang kelak setelah dewasa diberi nama Kanjeng Pangeran Arya Panular. Ki Demang Karangturi sangat bangga karena cucunya menjadi Pangeran Agung Keraton Surakarta. Tamat
4. Nilai "kebenaran" dalam Cariyos Elok Berdasarkan tinjauan isi teks kita melihat bahwa pada teks Cariyos Elok terdapat dua nilai kebnenaran, yaitu kebenaran fiktif yang berkonotasi pada sastra dan kebenaran faktual yang berkonotasi kepada sejarah. Kebenara fiktif pada teks tercermin pada uraian tentang kisah ajaib Tuhusih yang dilahirkan oleh mayat ibunya di dalam kuburan. Secara logika peristiwa kelahiran Tuhusih tentu tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin seorang manusia yang tidak hidup lagi (mati) dapat melahirkan dan menyusui seorang bayi dan bagimana mungkin terjadi seorang bayi yaag berada dalam ruang tak berudara mampu hidup? bahkan dapat keluar masuk dari dalam lubang kubur yang cukup dalam ? Namun, karena peristiwa itu terjadi di dalam sebuah karya sastra, sedangkan dalam karya sastra segala sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi, maka dalam konteks sastra kisah ajaib Tuhusih dapat diterima sebagai suatu "kebenaran. Menurut pakar sastra dan sejarah Jawa seperti Ricklefs, Carey, Poerbatjaraka, dan Behrend, Pakubuwana V dan Arya Panular dikenal sebagai tokoh penting dalam dunia satra dan budaya Jawa. Pakubuwana V adalah raja Jawa era Surakarta yang ketiga (Behrend dan Titik Pudjiastuti, 1997: 1043) juga dikenal sebagai Sunan Sugih (Ensiklopedia Indonesia V: 2518). Ia dilahirkan pada tahun 1820. Masa pemerintahannya tidak lama, hanya tiga tahun, yaitu 1829 -- 1823. Pakubuwana V terkenal sebagai raja yang lebh banyak memberi perhatian kepada budaya dari pada politik. Niatnya pada dunia sastra telah terlihat semenjak ia masih menjadi putra mahkota bernama Kanjeng Gusti Pangeran AdipatiA Anom. Pada masa itu telah cukup banyak karya sastra Jawa tercipta atas prakarsanya. Menurut Poerbatjaraka (1954: 157--8) hampir semua karya pujangga besar Surakarta Yasadipura II digubah atas perintahnya. Di antara karya-karya yang paling terkenal adalah serat Centhini, sebuah karya sastra agung yang digubah di Solo pada sekitar tahun 1815 (Lombard, 1996: 149. Buku ini berisi pengetahuan tentang mistik Islam Jawa yang dituturkan melalui kisah perjalanan seorang murid agama bernama Seh Among Raga (Ricklefs, 1993: 126) Sebgaai budayawan, menurut Carey (1981:
LVI No. 22P Pakubuwan V juga diketahui sebagai seorang moderat, semasa masih menjadi putra mahkotaa ia selalu berpakaian Eropa jika mengunjungi residen. Adapun Arya Panular menurut Carey (1992: xvi) adalah putra Hamengkubuwana I yang memerintah Yogyakarta pada tahun 1755--1792. Ibunya adalah istri selir Hamengkubuwana I yang bernama Mas Ayu Tandhasari, putri Blambangan yang dihadiahkan setelah perang Giyanti. Arya Panular dilahirkan pada tahun 1772 dan meninggal karena dibunuh di Lengkong, Sleman pada tahun 1826. Arya Panular juga pendukung budaya dan sastra Jawa, karyanya yang terkenal adalah Babad Bedah Ngayogyakarta. Menilik informasi di atas, sangat tidak mungkin Arya Panular adalah putra Pakubuwana V, karena masa kehidupan mereka jauh berbeda. Bahkan jika diperhatikan angka tahun kelahirannya (1772),
Arya panular lahir lebih dahulu
daripada Pakubuwana V (1785). Jika demikian, apakah yang keliru adalah penulis sejarah Jawa ataukah ada Arya Panular yang lain yang sesungguhnya memang putra Pakubuwana V ?
5. Penutup Berdasarkan informasi di atas, tampak bahwa teks Cariyos Elok kurang lengkap. Oleh karena itu sulit sekali menentukan waktu penulisan dan siapa penulis teksnya. Informasi intern dan ekstern yang terdapat pada naskahnya baru menjelaskan satu hal, yaitu naskah ini adalah naskah salinan yang diberikan kepada Pigeaud pada bulan Maret 1829. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan penanggalan 3 Oktober 1927 ? Apakah ini merupakan tanggal penciptaan teksnya ? Demikian juga halnya denga penulis atau penyalin naskah, sejauh ini belum dapat diketahui siapa penggubah teks Cariyos Elok tersebut. Memang. pada halaman akhir teks CL 20 tertulis akronim S.S.P., tetapi akronim siapakah ini, pemilik, penulis atau penyalin naskahkah ? Akan halnya nilai kebenaran yang terdapat dalam teksnya juga masih harus dipertanyakan lagi, terutama 'kebenaran' yang berkonotasi pada sejarah. Pilihan penulis teks untuk mengkaitkan cerita yang digubahnya dengan Pakubuwana V dan Arya Panular tentunya bukan sekedar penyebutan saja, tetapi apa tujuannya masih harus diteliti lebih lanjut.
Penelitian ini merupakan penelitian awal, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di muka
masih belum terjawab. Oleh karena itu, penelitian lanjut menegnai cerita
Cariyos Elok ini kiranya masih harus dilakukan.
Daftar Bacaan Behrend, T.E. dan Titik Pudjiastuti, 1997, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 3, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Carey, Peter B., 1981, Babad Dipanegara, Kuala Lumpur: Art Painting Works --- , 1992 The British in Ajva 1811--1816. New York: Oxford University Press Ensiklopedia Indonesia, 1990, jld.5, Jakarta: Ichtiyar Baru-van Hoeve Lombard, Denys, 1996, Nusa Jawa Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Poerbatjaraka, R.M.Ng., 1954, Kepustakaan Jawa, Jakarta: Djambatan Prawiroatmojo, S., 1998 Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: Haji Mas Agung Ricklefs, M.C., 1993, History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2ed., Houndmills & London: The Macmillan Press