25 Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 1, hal. 25-31
NILAI HAGABEON DAN UPAYA MEMPEROLEH KETURUNAN PADA PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG INFERTIL Christina Juliana Simbolon* dan Rodiatul Hasanah Siregar Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Hagabeon merupakan nilai yang dianut oleh suku Batak Toba terkait dengan pentingnya bagi pasangan suami-isteri untuk memperoleh keturunan. Di dalam penelitian ini, kami mengeksplorasi secara kualitatif bagaimana dampak nilai hagabeon terhadap upaya pasangan bersuku Batak Toba dalam memperoleh keturunan. Untuk itu, kami mewawancarai dua pasangan infertil bersuku Batak Toba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai hagabeon membuat pasangan bersuku batak Toba yang infertil melakukan berbagai upaya untuk memperoleh keturunan. Berbagai upaya yang dilakukan dari segi medis modern, alternatif, tradisional, sampai pada pendekatan keagamaan dan mistis. Pasangan tetap gigih melakukan usaha untuk memperoleh keturunan meskipun sering sekali mengalami kegagalan dan hambatan dalam hal materi, waktu, dan kesehatan. Kata-kata kunci: Hagabeon, infertilitas, Batak Toba
HAGABEON AND THE EFFORT TO ATTAIN PROGENY AMONG BATAK TOBA INFERTILE COUPLE ABSTRACT Hagabeon is a value of acquiring progeny, held by the Batak Toba ethnic group (a subgroup of Batak Ethnic group, Indonesia). In the present research, we examined through a qualitative approach how hagabeon shapes persistency to acquire progeny among Batak Toba married couples. For the purpose of this research, we interviewed two Batak Toba infertile married couples. The result suggests that hagabeon does seem to motivate the persistence to acquire progeny among the couples in concern. Apart from seeking modern medical treatment, the couples also tries other means, such as through traditional, religious and other alternative and mystical approach treatment. Both couples maintain their effort despite of their personal limitation. Keywords: Hagabeon, infertility, Batak Toba
Keluarga dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan apabila dua orang sahabat lama baru berjumpa. Jarang sekali dalam suatu perjumpaan membicarakan soal kekayaan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya nilai anak dalam kehidupan seseorang/keluarga yang melebihi dari nilai harta kekayaan yang dimiliki. Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat bagi orang tua untuk mencurahkan kasih sayangnya, anak sebagai sumber kebahagiaan keluarga, anak sebagai bahan pertimbangan ketika ingin bercerai, anak sebagai tempat untuk mensosialisasikan nilai-nilai dalam keluarga dan harta kekayaan keluarga diwariskan serta anak sebagai tempat orang tua dalam
menggantungkan berbagai harapannya (Ihromi, 1999). Terlebih lagi bagi masyarakat Batak Toba yang sangat mengharapkan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarganya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Batak Toba menganggap anak sebagai harta yang paling berharga dalam hidupnya (Harahap & Siahaan, 1987). Hal inilah yang menjadi alasan mengapa dalam budaya Batak Toba, kehadiran seorang anak sangatlah ditekankan. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini masih banyak dijumpai pasangan Batak Toba yang sulit memiliki keturunan meskipun sudah menikah dalam kurun waktu relatif lama. Sebagaimana dijelaskan oleh Papalia dan Olds (1998) pasangan yang berhubungan ‘intim’ selama lebih dari 12
*Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Christina J. Simbolon melalui email:
[email protected]
Rekomendasi mensitasi: Simbolon, C. J., & Siregar, R. H. (2014). Nilai hagabeon dan upaya memperoleh keturunan pada pasangan suku Batak Toba yang infertil. Psikologia, 9(1), 24-31.
26
bulan lamanya tanpa menggunakan alat kontrasepsi dan tidak juga dikarunai keturunan disebut sebagai pasangan yang memili permasalahan infertilitas (Papalia & Olds, 1998). Keadaan infertilitas ini dapat membuat pasangan mengalami depresi, rasa bersalah, cemas, ketegangan dalam hubungan dan isolasi selama proses fertility treatment (DeGenova, 2005). Pasangan merasa bahwa mereka telah gagal, saling menyalahkan satu sama lain dan mereka sangat cemas ketika berusaha untuk hamil. Banyak pasangan yang sulit memiliki keturunan merasakan emosi seperti marah, panik, putus asa dan sedih yang dapat berpengaruh terhadap aktivitas seksual mereka (Read, 2004). HAGABEON: PENTINGNYA ANAK BAGI SUKU BATAK TOBA Menurut Harahap dan Siahaan (1987), hagabeon berarti bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan dalam hal keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup, karena keturunan itu adalah suatu kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Keturunan dalam budaya Batak Toba dianggap sebagai harta yang paling berharga. Adapun keberhargaan anak ini didasari hal-hal berikut: 1. Pencapai tujuan hidup yang ideal 2. Pelengkap adat Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan tersebut adalah hula-hula (keluarga dari pihak pemberi istri), dongan sabutuha (kawan semarga), boru (keluarga dari pihak penerima istri). Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan disebut dengan hula-hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga pihak penerima istri akan disebut boru.
3. Penambah sahala (wibawa) orang tua. Ph.L.Tobing menyatakan sahala (wibawa) sebagai salah satu aspek dari tondi (roh). Seorang yang memiliki kewibawaan, kekayaan dan keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala seseorang bertambah apabila hal tersebut bertambah. 4. Pewaris harta kekayaan. Dalam budaya Batak Toba, yang menjadi pewaaris seutuhnya adalah anak lakilaki, sementaraa anak perempuan bisa memiliki sebagian harta warisan apabila saudaranya laki-laki tersebut mau berbagi sebagian dari harta yang diwarisi. 5. Penerus garis keturunan (marga). Dalam budaya Batak Toba anak lakilaki menjadi penerus garis keturunan dalam keluarga (marga). Oleh karena itu jika dalam budaya Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka garis keturunan akan punah. Adapun posisi anak perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain. Biasanya jika dalam sebuah keluarga Batak Toba tidak memiliki keturunan maka dapat mengakibatkan terjadinya halhal sebagai berikut garis keturunan akan punah, terjadinya pengangkatan anak (adopsi), beristri dua (bigami), perceraian serta tidak ada yang mewarisi harta kekayaan (Vergouwen, 1986). Untuk itu untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut maka biasanya pasangan Batak Toba yang sulit memiliki keturunan akan melakukan hal-hal sebagai berikut untuk bisa memiliki keturunan seperti: 1. Suami dan kerabat laki-lakinya akan mendatangi ayah dari pihak istri dan melalui upacara khusus memohon restu kiranya mertuanya sudi memanjatkan doa supaya putri dan menantunya diberi karunia keturunan. 2. Melakukan sombaon. Upacara ini berupa upacara penghormatan kepada
27
leluhur besar yang tertinggi dalam dunia roh yang mendekati kedudukan dewata, dia menjadi sombaon. Sombaon ini tinggal di tempat suci, di puncak gunung, di hutan belantara/di sebuah sungai besar. Sombaon selalu domohonkan dalam semua upacara religius. Upacara ini disertai dengan pemberian persembahan berupa hewan kurban yang dipersembahkan kepada leluhur tersebut yang dipimpin oleh datu dan diikuti dengan taritarian persembahan. 3. Manulangi. Kegiatan manulangi berupa kegiatan menyuapi yang biasanya ditujukan kepada mereka yang pantas mendapatkan persembahan makanan. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya/mertuanya dengan tujuan mendapatkan berkat dari orang tuanya atau mertuanya sehingga putrinya tersebut/menantunya tersebut cepat mendapatkan keturunan. 4. Pemberian dondon tua. Dondon tua diartikan sebagai dibebani nasib baik. Istilah ini diterapkan kepada benda yang diberikan kepada seseorang. Melalui benda ini diharapkan ada keberuntungan yang berpindah kepada orang yang menerimanya. Kegiatan ini bisa dilakukan kepada wanita yang sudah lama tidak memiliki keturunan dengan tujuan segera dikaruniai keturunan. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologis. Responden penelitian berjumlah dua pasang suami istri. Prosedur pengambilan responden menggunakan prosedur snowball/chain sampling (lihat Poerwandari, 2009). Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. Penelitian dilakukan di kota Medan.
Partisipan Penelitian ini melibatkan dua pasangan suami-isteri (selanjutnya disebut sebagai Pasangan 1 dan Pasangan 2), dengan kriteria: (1) Bersuku Batak Toba; (2) Telah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi, namun belum terjadi kehamilan; (3) Isteri belum menopause. Prosedur Penelitian ini menggunakan pengambilan data dengan indepth interview yang merupakan wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaanya tidak sekedar wawancara terstruktur tetapi juga memungkinkan untuk mengembangkan topik baru yang lebih mendalam. Penggunaan pedoman wawancara berfungsi untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yaitu openended question, yaitu bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan prosedur penelitian. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yang pertama adalah tahap persiapan penelitian, dimana peneliti mengumpulkan data, menyusun pedoman wawancara, melakukan persiapan untuk mengumpulkan data serta membangun raport dan menentukan jadwal wawancara. Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan dimana peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara, melakukan wawancara berdasarkan pedoman, memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim, melakukan analisa data dan menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran. Tahap ketiga adalah tahap pencatatan data dimana peneliti memindahkan hasil rekaman ke dalam transkrip verbatim ketikan di atas kertas. Pengolahan data Adapun prosedur analisa data yang digunakan oleh peneliti adalah:
28
1. Organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian. 2. Koding dan analisis. Peneliti kemudian menyusun transkripsi verbatim atau catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong sebelah kanan atau kiri transkrip untuk tempat kode-kode tertentu kemudian secara urut dan kontiniu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip. Selanjutnya peneliti mulai memberi perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan. 3. Pengujian terhadap dugaan. Peeliti akan mempelajari data yang kemudian akan mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Dalam hal ini peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analisis serta memeriksa bias-bias yang mungkin tidak disadari. 4. Strategi analisi. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau yang dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. 5. Interpretasi, yaitu peneliti beranjak dari apa yang disampaikan oleh subjek secara langsung, untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkrip wawancara).
HASIL Nilai hagabeon Berdasarkan hasil wawancara, baik Pasangan 1 dan 2 sama-sama menjunjung tinggi nilai hagabeon yang dipegang teguh oleh masyarakat Batak Toba. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan berikut: “…di Batak Toba “anakkhonhi do hamoraon di ahu”. Anaknya lambang kekayaan, lambang kebesaran baik itu dihadapan keluarga maupun dihadapan masyarakat. Falsafal orang Batak anak hamoran anak hasangapon. Jadi seseorang dikatakan kaya kalau sudah punya anak dan sangap kalau sudah punya anak.” (Pasangan 1)
Secara spesifik, nilai hagabeon yang dimiliki partisipan sangat kuat dalam rangka kepemilikan penerus garis keturunan bagi suku Batak Toba, yaitu mendapatkan keturunan laki-laki. “Ya kalau orang Batak Toba pasti memang pengen punya keturunan laki-laki. Pembawa marga itu kan. Itu dah pasti. Aku pun pengen. Pastilah. Itu kan konsep Batak Toba yah. Karena itu nanti penerus marga. Penerus nama keluarga. Kalau dari segi Batak Toba yah aku pengennya punya anak laki-laki.” (Pasangan 2)
Upaya memperoleh keturunan Berikut adalah penjelasan mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh Pasangan 1 dan 2 untuk mendapatkan anak atau keturunan. Pasangan I Setelah tiga tahun tidak dikaruniai anak, Pasangan 1 memulai usaha untuk memperoleh keturunan dengan pendekatan tradisional. Namun, usaha-usaha tersebut berujung pada kegagalan dan kekecewaan. “Pertama kali tahun ke-3 gak ada, dipanggil ke kampung. Berkusuk. Kasihlah obat tradisional. Adalah tanda kehamilan dua minggu tapi haid lagi itu, kecewa yah. Kemudian berobat lagi ke br sinaga, kirim obat dari palembang gak ada hasil juga, kecewa, ada itu 6 bulan…” (Pasangan 1)
Setelah gagal melalui pendekatan tradisional, Pasangan 1 beralih kepada
29
pengobatan modern. Namun, hasilnya kembali tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. “Terus ke dokter lagi periksa USG, HSG, sel telur, bagus, amang boru itu sperma kurang baik, dikasi obatlah, gak berhasil juga, stop, ada itu 6 bulan, perasaan yah udah biasa aja! Terus amang boru berobat lagi ke dokter 3 bulan berhenti.” (Pasangan 1)
Kegagalan pada pendekatan modern membuat Pasangan 1 mencoba kembali pendekatan tradisional yang lainnya, yaitu pijat khusus untuk meningkatkan fertilitas. Pijat khusus ini juga dikombinasikan dengan pengkonsumsian obat-obat ‘multilevel marketing’ populer. Usaha ini masih juga berujung pada kegagalan. “Kemudian berobat tradisional lagi kusuk, obat tradisional, gagal, yah biasa aja! Kemudian berobat lagi, kusuk, pernah jatuh amang boru katanya, tapi aku gak dikusuk karna udah sering dikusuk, ada beberapa bulan itu kami berobat, sekali 3 minggu tapi gak berhasil. Kemudian coba lagi minum obat-obat multi level, tiansi, sanhok! Tiansi ada 1 tahun nonstop sanhop 3 bulan. Terus makan telur ayam kampung sampai sekarang non stop. Kemudian tradisional lagi, ke kampung, amang boru aja yang kusuk, 1 kali 2 minggu sekitar 5 bulan. Ada dikasi jamu jamu, obat. Itu sempat juga berhenti haid. Lama. Tapi datang lagi haidnya! Itu kecewa yah! Karna itu haid yg paling lama berhentinya hampir 1 bulan. Sedih kali yah kecewalah. Amang borumu juga sedih disitu!” (Pasangan 1)
Kemudian, Pasangan 1 kembali berupaya melalui pendekatan medis modern yang dibarengi dengan usahausaha yang bersifat keagamaan dan mistis. “Trus periksa lagi ke dokter daripada ada penyakit nanti, yah memang dah mau jadi kian kata dokter. Itulah terakhir kami berobat ke dokter, periksa saluran masih ada ato gak dah bagus, ada 4 bulan gak ada hasil sampai sekarang! Inseminasi lah mau kami coba lagi terakhir ….”Kalau adat … ziarah, kasih makan. Didekkei, diulosi juga udah. Tradisional, paling berkusut, minum jamu, minum kelapa muda, konsumsi telur. Terus kalau dari segi keagamaan, paling berdoa ke gua maria, doa rosario, ke namo pencawir, dan retret gitulah….berdoa ke kuburan nenek moyang.” (Pasangan 1)
Pasangan 2 Berbeda dengan Pasangan 1, Pasangan 2 tidak sampai menunggu tiga tahun pasca menikah untuk mengupayakan secara ekstra untuk mendapatkan anak. Setelah enam bulan menikah, Pasangan 2 memulai upaya melalui pendekatan medis modern. Kegagalan pada pendekatan ini membuat mereka sangat kecewa, terlebih karena, mereka merasa telah menghabiskan banyak dari segi materi dan ekonomi. “Dulu setelah 6 bulan menikah, kami pergi ke dokter elisabet girsang, di jalan gajah mada ujung kalau gak salah! Katanya disana aku ada kista tapi gak mengganggu kerahim! Dikasih aja obat! Beberapa bulan kami berobat tapi gak berhasil! Ya kami cari jalan lain! Ya perasaannya yah kecewa yah! Udah habis semua! (Pasangan 2)
Kekecewaan tersebut, tidak berlangsung lama, sama dengan Pasangan 1, pasangan 2 juga mencoba pijat tradisional sebagai upaya mendapatkan keturunan. Ada harapan! Habis itu kami kusut ke kabanjahe lebih 1 tahun! Katanya peranakan aku turun! Dibagusinlah yah! Tapi gak berhasil juga! Kecewa! (Pasangan 2)
Kegagalan pada pendekatan pijat tersebut kemudian membuat Pasangan 2 beralih ke pendekatan mistis, yang ujungnya lagi-lagi tidak sesuai dengan harapan. Ada orang pinter! Katanya sih ada yang menghalangi! Opung kami katanya! Jadi disuruh kasih makanlah kami! Disuruh kasi tulang makan! Tapi gak berhasil juga! Kecewalah! Mahal, tapi ujung ujungnya kayak memorotin! Hampir lama juga! Lebih dari 3 bulan juga yah! (Pasangan 2)
Pasangan 2 kemudian mencoba pengobatan alternatif. Ahli pengobatan tradisional yang mereka temui kemudian menyarankan untuk menjalankan prosedur medis modern, yaitu ensiminasi. Saran ini membawa Pasangan 2 untuk kembali menjalani pengobatan medis modern.
30
Sayangnya, biaya yang terlalu mahal menjadi kendala utama bagi mereka. Terus itu kami disuruh inseminasi aja! Katanya sperma uda nya gak bagus! Karna mahal, dibilangnya sekali suntik 3.5 juta! Cuman kami tanya berapa kali suntik biar bisa berhasil dok tapi dokter itu gak bisa memastikan! Keuangan kami pun terbatas! Kalau dibilang 2 atau 3 kali kan kami masih bisa lakukan! Cuman gak bisa dia menjamin berapa kali! (Pasangan 2)
Kendala ekonomi kemudian membuat Pasangan 2 beralih kembali ke pengobatan mistis. Sayangnya, mereka kembali mengalami kegagalan. Ada orang pinter juga katanya! Katanya gitu juga! Katanya ada opung kami yang mengikutin! Gitulah! Lalu dibilangnya, kami hanya jodoh badan saja! Tondi kami gak! Maka dipanggillah orangtua! Disahkan lagi kami, diulosi lama kami disitu! Tapi gak berhasil juga! Kecewa juga! Disuruh lagi kami mandi ke putri deli! Ada 8 bulan itu! Sampai disuruh berpantang! Gak boleh makan daging babi katanya! Banyaklah dulu kalau pantangannya! Dibilangnya dijaminnya kami akhir tahun 2012 dulu dipastikannya kami punya anak! Tapi dah lewat 2012 tetap juganya gak punya anak! (Pasangan 2)
Menolak untuk menyerah, Pasangan 2 terus mengupayakan berbagai macam cara untuk untuk mendapatkan anak. Kasi makan tulang! Didekkei! Disonggot songgoti! Jiarah ke opung mama. Diulosi, pokoknya semua udahlah yang adat batak dilakukan. Banyak! Dari dokter misalnya disuruh makan makanan laut, kurangi makanan berlemak, cukup waktu istirahat (jangan terlalu capek). Kemudian kalau dari orang tua, katanya banyak makan daging merah, banyak makan sayur dan buah buahan. Kemudian kalau dari internet, dapat informasi gimana biar sperma laki laki itu biar bagus. Jangan merokok, kurangi goreng gorengan, makan multivitamin, istirahat yang cukup dan hindari strees. Alternatif ya pergi kusut! Terus kalau adat pergilah menjumpai tulang, jiarah.” (Pasangan 2)
DISKUSI Sebagaimana telah kami jabarkan, pasangan infertil bersuku Batak Toba yang menjadi responden penelitian ini menjunjung tinggi nilai hagabeon. Penjungjungan nilai ini terkhususkan pada
preferensi untuk memperoleh anak lakilaki. Hal ini merupakan kewajaran mengingat dalam budaya Batak Toba anak laki-laki merupakan penerus garis keturunan dalam keluarga (marga). Ketiadaan keturunan anak laki-laki secara khusus dapat mengancam kepunahan marga. Nilai hagabeon yang merupakan dorongan yang kuat bagi pasangan Batak Toba yang infertil untuk melakukan berbagai upaya memperoleh keturunan. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi pengobatan medis, alternatif, tradisional hingga kepada melakukan usaha yang berhubungan dengan keagamaan dan mistis. Meskipun sering sekali mengalami hambatan dalam hal materi, kesehatan, dan waktu, nilai hagabeon yang dianut terus membuat pasangan untuk persisten dalam berusaha untuk mendapatkan keturunan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai hagabeon menjadi satu syarat bagi pasangan Batak Toba untuk mencapai tujuan hidup yang ideal. Nilai hagabeon juga membuat kedua pasangan menolak untuk mencoba jalan pintas, misalnya perceraian dan bigamy. Hal ini sesuai dengan Vergouwen (1986) yang menyatakan bahwa nilai hagabeon pada masyarakat Batak Toba merupakan nilai yang menghindarkan pasangan yang belum memiliki keturunan untuk bercerai atau melakukan bigami. REFERENSI Degenova, M. K, (2005). Intimate relationships, marriages and families (7th ed.). Boston: McGraw-Hill. Harahap, B. H., & Siahaan, H. M. (1987). Orientasi nilai-nilai budaya Batak Toba: suatu pendekatan terhadap perilaku Batak Toba dan AngkolaMandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar. Ihromi, T. (1999). Bunga rampai sosiologi keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI.
31
Papalia, D., & Olds, S. (1998). Human development. (7th ed.). New York: Mc.Graw Hill. Peterson, C. & Seligman, M. (2004). Character strengths and virtues: a handbook and classification. New York: Oxford University Press. Poerwandari, E.K. (2009). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: LPSP3 UI. Read, J. (2004). Sexual problems associated with infertility, pregnancy and aging. British Medical Journal, 329, 559-561. Vergouwen, J.C. (1986). Masyarakat dan hukum adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet.