NILAI BUDAYA DALAM UPACARA MAKKULIWA PADA KOMUNITAS NELAYAN DI PAMBUSUANG POLEWALI MANDAR CULTURAL VALUES OF MAKKULIWA CEREMONY IN THE FISHING COMMUNITY IN PAMBUSUANG POLEWALI MANDAR Ansaar Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166 Handphone: 081342362575 Diterima: 16 Januari 2015; Direvisi: 12 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT 0DNNXOLZDLVDULWXDOFHUHPRQ\ZKLFKLVVWLOOKHOGE\WKH¿VKLQJFRPPXQLW\LQ3DPEXVXDQJ3ROHZDOL0DQGDU For them who have operation area into offshore, kuliwa is very important because there is the hope and prayer of salvation on it. They believe that if do not conduct kuliwa when going to sea, maybe there will be something WKDWLVERWKHULQJLQWKHFUXLVH7KHPDWHULDORIWKLVDUWLFOHLVWDNHQIURPWKHUHVXOWVRI¿HOGUHVHDUFKE\XVLQJ interviews, observation and study of literature. This paper aims to describe the implementation of makkuliwa ceremony and to examine the cultural values contained. The result of the discussion shows that the makkuliwa FHUHPRQ\KHOGZKHQWKHUHLVVRPHWKLQJQHZLQWKH¿VKHUPHQIRUH[DPSOHWKHXVHRIQHZERDWVQHZHQJLQHV and starting down into the sea. It took place in two stages in accordance with activities, namely: (1) on the boat DQG RQWKHERDWRZQHU3RQJJDZDORSL 'XULQJWKHSURFHVVLRQRIPDNNXOLZDLWLVUHÀHFWHGFXOWXUDOYDOXHV such as: deliberation value, solidarity or family value, religious value, artistic value, accuracy or precision value, and obedient value. Keywords: cultural values, traditional ceremony, makkuliwa. ABSTRAK Makkuliwa adalah suatu upacara ritual yang masih diselenggarakan oleh masyarakat nelayan di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar. Bagi mereka yang wilayah operasi penangkapannya hingga lepas pantai, kuliwa sangat penting karena mengandung harapan dan doa keselamatan. Mereka meyakini bahwa jika tidak melakukan kuliwa ketika akan melaut, kemungkinan akan ada sesuatu hal yang merisaukan hati selama pelayaran. Materi tulisan ini diambil dari hasil penelitian lapangan yang menggunakan metode wawancara, pengamatan dan kajian pustaka. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan upacara makkuliwa dan mengkaji nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa upacara makkuliwa diselenggarakan apabila ada sesuatu yang baru, misalnya: penggunaan perahu baru, mesin baru, atau akan memulai melaut. Penyelenggaraannya berlangsung pada dua tempat sesuai dengan tahap-tahap kegiatan, yaitu: (1) di atas perahu, dan (2) di rumah pemilik perahu (ponggawa lopi). Selama prosesi makkuliwa, tercermin adanya nilai-nilai budaya, antara lain: nilai musyawarah, nilai solidaritas atau kekeluargaan, nilai religi, nilai seni, nilai ketelitian atau kecermatan dan nilai kepatuhan. Kata kunci: nilai budaya, upacara tradisional, makkuliwa
PENDAHULUAN Kebudayaan dalam arti etiomologis, adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Budaya adalah sistem nilai yang merupakan hasil cipta rasa dan karsa manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama dan menjadi kekuatan pendukung dalam menggerakkan kehidupan. Dengan demikian
budaya merupakan seluruh cara hidup suatu masyarakat yang mewujud dalam tingkah laku dan hasil tingkah laku yang dipelajari dari berbagai sumber. Kebudayaan diciptakan oleh faktor biologis manusia, lingkungan alam, lingkungan psikologis serta lingkungan sejarah (http://wahyukusumaningrum.blogspot.com). Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban manusia. Selain itu, kebudayaan 113
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 113—125 juga bisa menunjukkan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia, di dalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya. Penghayatan terhadap kebudayaan dapat dilakukan melalui proses sosialisasi (Koentjaraningrat, 1980:243). Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat nilai-nilai dan cara berlaku (kebiasaan) yang dipelajari dan pada umumnya dimiliki oleh para warga dari suatu masyarakat (Ihromi, 1996:21). Jadi kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Hal itu meliputi cara-cara bertingkah laku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Suatu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila masih memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya unsur itu akan punah apabila tidak berfungsi lagi. Demikian pula dengan upacara tradisional sebagai unsur kebudayaan, tidak mungkin dipertahankan apabila masyarakat pendukungnya sudah tidak merasakan manfatnya lagi (Mulyadi dkk, 1983:8). Dalam suatu tradisi selalu ada hubungannya dengan upacara tradisional (Isyanti, 2007:131). Upacara tradisional, adalah bahagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya yang berfungsi sebagai pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku dalam masyarakat secara turun temurun, seperti upacara pesta panen, upacara perkawinan adat, ataupun upacara pesta nelayan. Norma-norma serta nilainilai budaya itu ditampilkan melalui bentuk upacara yang dilakukan dengan penuh hikmat oleh warga masyarakat pendukungnya, sehingga upacara tersebut dapat menjadi pegangan hidup dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Pelaksanaan upacara dengan segala perlengkapannya senantiasa mewujudkan emosi keagamaan yang menjadi perhatian anggota masyarakat. Pelaksanaan upacara, selain berfungsi komunikatif, juga berfungsi sosialisasi pewarisan nilai-nilai dan norma-norma yang terkait dengan sistem kepercayaan. Sosialisasi 114
dapat ditempuh dengan berbagai cara, tetapi upacara bersama simbol-simbol adalah suatu cara yang mempercepat terjadinya sosialisasi. Oleh karena upacara tidak saja menampilkan materi dan tahap-tahap upacara, melainkan di dalamnya terkandung ungkapan-ungkapan emosional yang merangsang terciptanya kekukuhan norma dan nilai bersifat kohesif di antara para anggota masyarakat (Yusuf, 1992:3). Sebagaimana dengan suku-suku bangsa lain di seluruh wilayah nusantara, suku bangsa Mandar, khususnya yang ada di Desa Pambusuang Kabupaten Polewali Mandar, juga mengenal berbagai upacara tradisional sebagai bagian kekayaan budaya. Salah satu di antaranya ialah upacara makkuliwa. Upacara tersebut hingga kini masih tetap diselenggarakan masyarakat pendukungnya (komunitas nelayan), khususnya ketika ada sesuatu hal yang baru pada mereka, misalnya pengadaan perahu baru, mesin baru, peralatan tangkap baru, termasuk ketika baru akan melaut untuk melakukan operasi menangkap ikan. K u l i w a d a l a m b a h a s a M a n d a r, berarti seimbang. Jadi makkuliwa berarti menyeimbangkan. Makkuliwa dalam kaitannya dengan ritual nelayan adalah doa selamatan. Doa ini dimaksudkan agar tatanan kehidupan, baik di darat maupun di laut senantiasa berada dalam keseimbangan, tidak saling mengganggu dan merusak, sehingga bisa hidup tenang (Ismail, 2007:110). Ada keyakinan pada diri nelayan, bahwa laut memiliki penghuni yang senantiasa harus dihargai, dijaga kehormatannya dan tidak boleh melecehkannya, bahkan harus mengikuti aturan-aturan dan yang dipantangkan. Jika melewati sesuatu tempat yang dianggap sakral, harus memberi “salam” dan memohon “izin”. Ini dimaksudkan sebagai penghormatan agar para penghuni laut itu tidak mengganggu dan menghalangi perjalanannya. Dalam konteks inilah kuliwa sangat penting artinya bagi nelayan, karena di dalamnya terdapat harapan dan doa keselamatan. Nelayan meyakini, jika tidak melakukan kuliwa ketika ada sesuatu yang baru dimiliki, misalnya menggunakan perahu baru, mesin baru, peralatan tangkap baru atau baru akan melaut, maka boleh jadi akan ada sesuatu hal yang
Nilai Budaya dalam ... Ansaar
merisaukan hati di dalam pelayaran. Dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa, selain melibatkan keluarga dari pemilik hajat dan para sawi, juga kerabat, sahabat dan tetangga. Menurut Ansaar (2010:193), bahwa keterlibatan anggota kerabat, sahabat, dan tetangga di dalam suatu kegiatan upacara menunjukkan nilai solidaritas yang tinggi atas dasar nilai kekeluargaan dan ketetanggaan. Selain itu, Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat, 1985:24) menyatakan, bahwa pelaksanaan upacara dapat mengintensifkan persatuan orangorang yang hadir dalam wujud solidaritas bersama. Komunitas nelayan di Desa Pambusuang, dalam menyelenggarakan upacara makkuliwa sebagai suatu tradisi, dilakukan dengan dua pola atau cara. Pola pertama yakni, pembacaan barasanji di atas perahu yang kemudian dilanjutkan dengan massissing posi (menututp pusat) perahu dan terakhir dilakukan lagi pembacaan barasanji di rumah ponggwa lopi yang dirangkaikan acara makan bersama. Sedangkan pola kedua, yaitu pembacaan barasanji terlebih dahulu di rumah ponggawa lopi yang dirangkaikan acara makan bersama, lalu kemudian dilanjutkan dengan doa bersama di atas perahu. Kedua pola penyelenggaraan upacara tersebut, berlangsung dua tahap dan intinya sama, hanya saja prosedur pelaksanaanya berbeda. Jika pada pola pertama prosesinya diawali dari perahu, maka pada pola yang kedua dimulai dari rumah ponggawa lopi kemudian dilanjutkan ke perahu. Selain itu, kedua pola tersebut juga memiliki tujuan yang sama, yaitu memanjatkan doa keselamatan dan harapan untuk mendapat rezeki selama melaut. Dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa, juga diwarnai dengan sikap, tindakan dan ucapanucapan simbolik yang memiliki makna budaya. Makna-makna budaya yang diberikan terhadap simbol-simbol upacara itu sendiri, mencerminkan adanya sistem nilai-nilai luhur yang sejak lama telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat pendukungnya. METODE Penelitian sebagai sumber materi artikel ini menggunakan metode deskriptif melalui
pendekatan kualitatif, dengan mengamati, menggambarkan dan mengungkapkan perilaku upacara. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui data primrer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumber-sumber referensi yang relevan dengan objek atau upacara yang dikaji. PEMBAHASAN 3UR¿O'HVD3DPEXVXDQJ Pambusuang adalah nama salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Desa yang terletak di pesisir Teluk Mandar ini, dikenal sebagai salah satu sentra produksi perahu Sandeq di Sulawesi Barat. Jarak tempuh antara Desa Pambusuang dengan ibu kota kecamatan (Kecamatan Balanipa) sekitar 5 km, sedangkan dengan ibu kota kabupaten (Polewali Mandar) adalah kurang lebih 38 km, dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Desa Pambusuang dengan luas wilayah VHNLWDUKDPHPSXQ\DLOHWDNJHRJUD¿V\DQJ sangat strategis, karena berada pada jalan poros Trans Sulawesi (Makassar-Manado) jalur Barat. Dari sisi administratif, desa ini berbatasan langsung dengan Desa Lambanan di sebelah Utara, sementara di sebelah Selatan terdapat hamparan laut yang luas atau yang dikenal dengan Teluk Mandar. Pada sisi sebelah Timurnya berbatasan dengan Desa Bala dan di Sebelah Barat dengan Desa Sabang Subik. Penduduk Desa Pambusuang berjumlah 5.255 jiwa, terdiri atas penduduk laki-laki 2.484 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.771 jiwa. Keseluruhan jumlah penduduk tersebut terakomodasi ke dalam tiga wilayah satuan pemukiman yang disebut dusun, yaitu Dusun Ba’ba Lembang, Pambusuang, dan Dusun 3DUDSSH 0RQRJUD¿ 'HVD 3DPEXVXDQJ Mata pencaharian yang banyak digeluti adalah sebagai nelayan. Jenis pekerjaan ini sudah ditekuninya sejak dahulu dan menjadi alternatif yang terbaik bagi mereka. Pilihan ini sangatlah EHUDODVDQ PHQJLQJDW NRQGLVL JHRJUD¿V ZLOD\DK pemukimannya yang berada di pesisir pantai.
115
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 113—125 Mereka lebih memilih pekerjaan sebagai nelayan dibanding dengan pekerjaan lainnya, karena prinsip mereka bahwa dengan bekerja sebagai nelayan bisa cepat mendapatkan hasil. Di samping sektor nelayan, pekerjaan lain yang juga banyak diminati ialah menenun, berdagang, beternak, bertani dan sebagai pegawai perkantoran. Khusus dalam hal pekerjaan menenun, mereka melakukannya bukan hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu dimaksudkan untuk mengisi waktu senggang bagi keluarga nelayan apabila suami mereka sedang melaut. Penduduk Desa Pambusuang seluruhnya menganut agama Islam. Mereka termasuk penganut agama yang taat melaksanakan rukunrukun Islam dan memanifestasikannya melalui tingkah lakunya. Ketaatan atau kepedulian mereka terhadap agama terlihat, antara lain pada pelaksanaan upacara keagamaan, seperti memperingati Maulid Nabi Muhammad saw., Isra Mi’raj dan sebagainya. Di antara upacara hari-hari besar Islam tersebut, yang paling disemarakkan adalah peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Peringatan hari besar Islam ini setiap tahunnya selalu diupacarakan dengan melakukan berbagai rangkaian kegiatan, seperti acara penamatan (khatamul Qur’an) secara massal, perlombaan perahu sandeq dan berbagai kegiatan lainnya (Ismail, 2007:51). Deskripsi Upacara Makkuliwa Makkuliwa adalah nama salah satu upacara tradisional suku bangsa Mandar, khususnya masyarakat nelayan di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa di Kabupaten Polewali Mandar. Upacara yang bersifat ritual tersebut hingga kini masih tetap diselenggarakan, terutama ketika ada sesuatu yang baru dimiliki nelayan, misalnya pengadaan perahu baru, pengadaan mesin baru atau perlengkapan nelayan lainnya, termasuk ketika nelayan bersangkutan baru akan memulai melaut melakukan operasi penangkapan ikan. Makkuliwa berasal dari kata kuliwa yang dalam bahasa Mandar berarti seimbang. Jadi makkuliwa berarti menyeimbangkan. Makkuliwa dalam kaitannya dengan ritual nelayan adalah doa selamatan. Doa ini dimaksudkan agar tatanan kehidupan, baik di darat maupun di laut senantiasa 116
berada dalam keseimbangan, tidak saling mengganggu dan merusak, sehingga bisa hidup tenang. Ada keyakian pada diri nelayan, bahwa laut memiliki penghuni yang senantiasa harus dihargai dan dijaga kehormatannya, tidak boleh melecehkannya. Bahkan harus mengikuti aturanaturan dan yang dipantangkan. Ini dimaksudkan sebagai penghormatan agar para penghuni atau penjaganya tidak mengganggu dan menghalangi pelayaran. Bagi para nelayan, usaha penangkapan ikan merupakan pekerjaan yang berat, terutama nelayan pukat atau nelayan rompong yang wilayah operasinya hingga laut lepas. Laut penuh diliputi oleh misteri-misteri yang tidak dapat diketahui oleh para nelayan. Suatu saat laut sangat tenang dan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi masyarakat, di saat yang lain ia memperlihatkan kemurkahannya. Pada saat seperti itulah, nelayan merasa takut akan kemarahan penghuni atau penjaga laut. Karena itulah, untuk mengatasi agar dia tidak mengganggu atau menghalangi pelayaran, maka dalam konteks inilah kuliwa sangat penting artinya bagi nelayan, karena di dalamnya terdapat harapan dan doa keselamatan. Nelayan meyakini, jika tidak melakukan kuliwa ketika ada sesuatu yang baru dimilikinya, khususnya dalam kaitannya dengan mata pencaharian hidup, misalnya memulai menggunakan perahu baru, maka boleh jadi akan ada sesuatu hal yang merisaukan hati di dalam PHQMDODQNDQDNWL¿WDVQ\DLWX%DJLSDUDQHOD\DQ maksud dan tujuan diselenggarakannya upacara makkuliwa, tidak lain adalah untuk memohon keselamatan dan rezeki kepada Yang Maha Kuasa agar dalam menjalankan aktivitas di laut dapat berjalan lancar. Di samping itu juga dimaksudkan sebagai kegiatan peneguhan hati, karena terkait dengan kesiapan mental bagi nelayan. Untuk menyelenggarakan upacara makkuliwa harus disesuaikan dengan waktu tertentu yang dianggap ideal. Bagi nelayan setempat, waktu yang dianggap paling baik menyelenggarakan makkuliwa adalah pada malam hari, sekitar pukul 19.00 wita atau sesudah magrib. Sedangkan mengenai hari pelaksanaannya menurut tradisi mereka, biasanya dilakukan dua atau tiga hari sebelum perahu baru yang akan
Nilai Budaya dalam ... Ansaar
dikuliwa diluncurkan ke laut. Misalnya, jika perahu itu akan beroperasi atau berangkat pada hari Kamis, maka prosesi makkuliwa idealnya dilakukan pada hari Senin atau malam Selasa. Sudah menjadi tradisi sejak dahulu, bahwa dalam setiap penyelenggaraan makkuliwa di Desa Pambusuang, pelaksanaannya selalu berlangsung di dua tempat sesuai tahap-tahap kegiatan dalam rangkaian upacara itu. Kedua tempat itu yakni, di atas perahu dan di rumah pemilik perahu (ponggawa lopi). Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraannya dapat dibedakan atas: 1) penyelenggara teknis upacara, 2) pemimpin upacara dan 3) peserta upacara. Penyelenggara teknis yang dimaksud dalam hal ini, adalah orangorang yang mengerti dan faham tentang upacara yang akan diselenggarakan. Sebab bilamana yang menjadi penyelenggara teknis bukan orang yang mengerti tentang upacara yang akan dilaksanakan, maka niscaya upacara yang diselenggarakan tidak akan mencapai apa yang diharapkan. Oleh karena itu peran penyelenggara teknis dalam hal ini sangatlah penting. Penyelenggara teknis upacara makkuliwa ialah pemilik perahu sendiri (ponggawa lopi) beserta keluarganya, annang guru atau puang imang (imam setempat), dukun perahu (sando lopi) dan para sawi. Di samping orang-orang tersebut, masih terdapat pihak-pihak lainnya, seperti kerabat ponggawa lopi, keluarga sawi, dan tetangga. Kehadiran mereka ini hanyalah sekedar turut meramaikan (partisipan) sekaligus menyampaikan ucapan selamat kepada pemilik hajat atas selesainya pekerjaan perahu miliknya dan akan digunakan dalam prosesi penangkapan ikan. Dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa di Desa Pambusuang, yang bertindak selaku pemimpin upacara, adalah sando lopi (dukun perahu) dan seorang imam setempat (annang guru atau puang imang). Keduanya masing-masing memimpin jalannya upacara pada tempat yang berbeda, namun tetap merupakan satu rangkaian. Jika penyelenggaraan makkuliwa berlangsung di atas perahu, maka yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah sando lopi (dukun perahu), sedangkan jika pelaksanaanya di rumah ponggawa lopi, maka annang guru atau puang
imanglah yang berperan memimpin jalannya upacara. Dalam beberapa kasus, peran sando lopi kadangkala diperankan oleh annang guru atau puang imang.. Mereka bertugas membacakan barzanji dan doa selamatan. Demikian halnya dengan seorang annang guru atau puang imang. Tokoh ini juga dianggap memiliki peranan yang sangat penting, khususnya pada penyelenggaraan makkuliwa di rumah ponggawa lopi. Dia dianggap sebagai orang yang memahami tentang ilmu keagamaan, termasuk pembacaan ayat-ayat alquran. Pemimpin upacara ini juga bertugas membacakan barazanji dan doa-doa selamatan bagi pemilik perahu. Penyelenggaraan upacara makkuliwa ini, selain dihadiri para remaja dan orang tua, juga tidak ketinggalan para anak-anak (usia 6-13 tahun), lakilaki maupun perempuan. Mereka cukup antusias mengikuti jalannya upacara. Adapun perlengkapan atau bahan yang digunakan pada penyelenggaraan makkuliwa, dapat disebutkan seperti: sokkol atau nasi ketan tiga warna (putih, hitam dan kuning), beberapa sisir pisang, peca’ lopi atau bubur, ketupat, kelapa muda, air secukupnya dan kuekue tradisional lainnya. Untuk menunjang bahanbahan upacara tersebut, digunakan pula berbagai peralatan yang merupakan syarat minimal bagi terselenggaranya upacara, seperti: cerek, piring dan mangkuk, gelas dan daun lembagu tiga lembar (bahan untuk membungkus peca’ lopi), talang bundar, seperangkat alat pedupaan (undungan), sebilah parang, serta seekor ayam jantan. Penyelenggaraan upacara makkuliwa, secara garis besar terbagi dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Dalam tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan antara lain: 1) menyiapkan dana untuk pemenuhan kebutuhan selama upacara berlangsung. 2) menetapkan waktu penyelenggaraan upacara melalui musyawarah oleh pemilik perahu dan keluarganya, serta meminta petunjuk atau nasehat kepada sando lopi (dukun perahu) dan annang guru atau puang imang terkait mengenai penentuan waktu penyelenggaraan upacara tersebut, dan 3) mempersiapkan bahan dan perlegngkapan upacara. Jika semua persiapan awal tersebut telah rampung, maka penyelenggara upacara akan fokus pada kegiatan menjelang 117
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 113—125 dilaksanakannya upacara makkuliwa, yakni membersihkan atau membenahi perahu yang akan dikuliwa. Pada saat bersamaan, para sawi yang akan turut melaut, mulai pula membakar beberapa kulit kelapa di belakang perahu, disaksikan ponggawa lopi dan keluarganya. Beberapa saat setelah kulit kelapa terbakar, para sawi beserta ponggawa lopi beranjak dari tempatnya menuju rumah ponggawa lopi guna mengambil barang perlengkapan serta peralatan tangkap yang akan dibawa ke atas perahu yang akan dikuliwa. Sikap yang ditunjukkan para nelayan (sawi) saat mengambil perlengkapan dan peralatan tangkap seperti digambarkan di atas menunjukkan, bahwa unsur ritual dalam prosesi persiapan makkuliwa ini sangat tampak, sebab di samping ada pembakaran api di belakang perahu yang dimaksudkan sebagai peneguh semangat dan harapan rezeki yang banyak, para sawi yang mengangkat barang perlengkapan dan peralatan tangkap, semuanya menggunakan pakaian rapi, seperti tutup kepala (kopiah hitam, kopiah putih, ada juga yang hanya mengikat kepala dengan sehelai kain). Pakaian rapi seperti itu mengandung makna sebagai penghormatan, karena aktivitas penangkapan ikan yang akan dilakukan dianggap misi suci yang penuh perjuangan. Selanjutnya, pada malam harinya mulailah diselenggarakan prosesi makkuliwa di atas perahu dengan dihadiri para sawi, ponggawa lopi, kerabat dekat serta sebagian tetangga. Sebagai kegiatan awal, yakni pemimpin upacara, dalam hal ini annang guru bersama seperangkat alat pedupaan yang telah dibakar, mulai membacakan kitab al barzanji dan doa-doa keselamatan, disaksikan seluruh peserta upacara. Usai pembacaan doa, prosesi berikutnya ialah penyiraman air oleh pemimpin upacara, dimulai dari bagian depan perahu (pamarung olo), posi (pusat perahu) dan terakhir di bagian belakang perahu (palaming atau buritan perahu). Saat prosesi penyiraman telah selesai, sejumlah anak-anak yang hadir mulai beranjak dari tempatnya untuk kemudian berebut hidangan yang telah disuguhkan seperti: sokkol tallung rupa (nasi ketan tiga warna; putih, hitam dan merah) masing-masing satu piring dan ketupat. Hidangan lain yang turut disuguhkan, yakni bubur kacang ijo (peca’ lopi) dan kue-kue tradisional 118
lainnya, seperti kue cucur dan kue manis. Di dekat hidangan tersebut, diletakkan pula beberapa sisir pisang seperti loka tira’ atau pisang ambon, loka warangang atau pisang raja dan loka manurung atau pisang kapok. Menurut tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat nelayan, bahwa semua apa yang telah dihidangkan di tempat pelaksanaan upacara tidak boleh ada yang tersisa, dalam arti bahwa semua harus dihabiskan. Pemilik perahu merasa senang jika anak-anak yang hadir saat itu memperebutkan hidangan ritual yang telah disiapkan. Sebab menurut pemahaman pemilik perahu, dengan adanya kerumunan anak-anak seperti itu, setidaknya mengandung simbol dan harapan, bahwa misi suci yang dilakukan akan mendapat berkah dan limpahan rezeki dari Yang Maha Kuasa. Setelah penyelenggaraan makkuliwa di atas perahu selesai, prosesi berikutnya adalah massissing posi’ (menutup pusat perahu). Acara yang berlangsung di bagian bawah dari perahu ini, juga memiliki arti yang sangat penting bagi sebuah perahu. Ini sesuai dengan pernyataan salah seorang nelayan (Jenis, 62 tahun), bahwa: “Iya dzio posina lopi, rapang toi tuqu nyawana rupa tau, haqiqinna lopi, apa mua sala-sala memangngi, malai tuqu simata mirua sussa. Jari mua meloqi tau manyamang, dipacoai memammi itainna iya anu namaka manjari posi. Apa’ andiang toi tuqu melamua sambarang begai, diang toi tia tandatandana” Artinya: Penutup posi’ (pusat) perahu itu sama halnya dengan nyawa manusia, itulah hakikinya perahu. Karena itu bilamana terjadi kesalahan dalam proses pembuatannya, maka hanya kesusahanlah yang akan didapat. Jadi bila ingin senang (tidak diliputi kesusahan), hendaklah diperhatikan dengan cermat bahan kayu yang akan dijadikan penutup posi’, sebab kayu yang baik ada juga tanda-tandanya. Adapun jenis kayu yang biasa dipakai sebagai penutup posi, adalah kayu yang diambil dari batang durian, atau terbuat dari laso anjoro (pucuk buah kelapa). Ukurannya kecil bulat memanjang kurang lebih 5 cm, seperti jari telunjuk orang dewasa, hanya sedikit lebih pendek. Di tengah lingkaran kayu penutup posi, diberi lubang kemudian diisi dengan sammang (semacam serbuk berwarna keabu-abuan yang didatangkan dari Mekkah) dan kerikan emas.
Nilai Budaya dalam ... Ansaar
Kedua jenis benda tersebut dibungkus dengan kapas kemudian dimasukkan ke dalam lubang kayu penutup posi. Upacara massissing posi’ dipimpin oleh seorang sando lopi (dukun perahu), dihadiri pemilik perahu bersama keluarganya. Upacara ritual ini dimulai saat sando lopi memasuki ruang dalam perahu, lalu kemudian duduk bersila menghadap posi lopi. Beberapa saat kemudian, salah seorang sawi menghampiri sando lopi sambil menyerahkan seekor ayam jantan. Dengan diawali bacaan mantra, sando lopi mengambil pisau lalu mengiriskannya pada bagian jengger ayam itu, sehingga mengeluarkan darah. Darah ayam itulah yang kemudian disepuhkan pada kayu penutup posi. Dengan membaca basmalah serta salawat Nabi, sambil menahan nafas, kayu penutup posi itupun disumbatkan pada lubang “posi” oleh sando lopi dengan cara memukulnya dengan parang agar penutup posi’ benar-benar rapat. Makanan yang dihidangkan antara lain: sokkol tallung rupa (nasi ketan tiga warna), beberapa sisir pisang, seperti pisang ambon, pisang raja dan pisang kapok, serta segelas bubur kacang ijo. Jika penyelenggaraan upacara dalam perahu telah selesai, maka dilanjutkan dengan pembacaan barazanji di rumah ponggawa lopi. Turut hadir dalam acara tersebut, antara lain para sawi, keluarga dekat pemilik hajat (ponggawa lopi), para tetangga dan ponggawa lopi sendiri beserta keluarganya. Upacara ini diawali dengan pembacaan kitab barazanji oleh pemimpin upacara (annang guru atau imam setempat) lalu dilanjutkan pembacaan doa, diakhiri acara makan bersama sebagai tanda berakhirnya rangkaian acara di rumah ponggawa lopi. Pada penyelenggaraan upacara di rumah ponggawa lopi tersebut, juga disiapkan hidangan berupa: nasi putih, masakan ayam dan ikan, lauk pauk serta satu talang berisi sokkol tallung rupa (nasi ketan tiga warna; hitam, merah dan putih). Di dekat talang yang berisi nasi ketan, juga terdapat beberapa bungkusan berisi kue-kue manis ditambah bungkusan nasi ketan dan beberapa buah pisang. Bungkusan-bungkusan tersebut dibuat untuk dibagikan kepada semua peserta yang hadir untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat nelayan, bahwa jika acara pembacaan barazanji yang dirangkainan dengan pembacaan doa di rumah ponggawa lopi telah selesai, ponggawa tukang perahu sebagai orang yang memimpin pekerjaan pembuatan perahu, diberi cendera mata sebagai tanda terima kasih dari ponggawa lopi selaku pemilik hajat, seperti: beras lima liter, pakaian baru, sarung, kopiah baru dan seekor ayam jantan. Selain sebagai tanda terima kasih, pemberian cendera mata itu bermakna pula agar hubungan silaturrahmi antar keduanya tetap berjalan harmonis. Pada penyelenggaraan upacara makkuliwa di Desa Pambusuang, terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi pesera upacara, seperti: 1) Pantang bagi penyelenggara upacara menyiapkan bahan yang kualitasnya kurang baik, seperti buah pisang. Begitu pula air yang digunakan untuk menyiramkan bagian-bagian tertentu pada perahu usai pembacaan doa, juga tidak boleh diambil dari sembarang tempat, tetapi harus diambil dari kolam tempat ibadah (mesjid). Pelanggaran terhadap pantangan tersebut akan berimplikasi pada tidak tercapainya harapan yang diinginkan bersama, terutama bagi si penyelenggara upacara. 2) Pantang bagi penyelenggara upacara menyalahi prosedur pelaksanaan upacara yang telah ditetapkan leluhur sebelumnya. Bilamana hal tersebut dilanggar, maka diyakini penyelenggaraan upacara tidak akan mencapai tujuannya. Dengan kata lain, doa keselamatan dan harapan untuk memperoleh rezeki akan sulit terkabulkan. 3) Pantang bagi setiap peserta upacara mengeluarkan ucapan atau berbicara dengan sesama peserta upacara lainnya saat prosesi upacara tengah berlangsung, terutama saat pembacaan barasanji. Bilamana ada peserta yang tidak mematuhi pantangan tersebut, maka bisa berdampak dengan tidak tercapainya apa yang diharapkan dari penyelenggaraan upacara tersebut. 4) Terhadap semua makanan yang dihidangkan, pantangan bagi penyelenggara upacara dan keluarganya jika tidak dihabiskan, terutama ketika upacara itu berlangsung di atas perahu. Karena menurut harapan dia, jika semua makanan yang disiapkan habis, maka misi suci yang dilakukan akan mendapat berkah dan 119
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 113—125 limpahan rezeki dari Yang Maha Kuasa. Karena itu, bagi penyelenggara upacara (ponggawa lopi) akan merasa senang bila makanan yang dihidangkan semua dihabiskan oleh peserta upacara, Nilai Budaya dalam Upacara Makkuliwa Sebelum dipaparkan lebih lanjut tentang nilai budaya yang terkandung dalam upacara makkuliwa, terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri. Secara konseptual, pengertian nilai budaya menurut Koentjaraningrat (2000:204), terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alatalat, dan tujuan-tujuan pembuatan suatu benda budaya. Itu berarti bahwa dalam setiap perilaku, sikap dan semua yang dihasilkan oleh masyarakat terdapat nilai-nilai di dalamnya. Sumber nilai berasal dari hal-hal yang berhubungan dengan kebaikan, berupa ajaran agama, kebiasaan dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, nilai budaya dapat pula diartikan sebagai pedoman untuk menentukan baik-buruk, harus-tidak harus, perlu tidak-perlu, dan sebagainya berkenaan dengan hal-hal yang penting dalam kehidupan manusia. Nilai budaya ini selalu ada di balik setiap perilaku manusia, karena diwujudkannya perilaku-perilaku tertentu menunjukkan bahwa perilaku-perilaku itulah yang dianggap baik dan perlu untuk ditampakkan dan bukan perilaku yang lain (Faisal, 2008:6). Batas pengertian istilah nilai budaya telah dikemukakan pula oleh Ahimsa Putra (2004:2), bahwa nilai budaya yang selanjutnya akan GLVHEXW³QLODL´VDMDGDSDWGLGH¿QLVLNDQVHEDJDL pandangan-pandangan, pendapat-pendapat yang digunakan oleh warga suatu komunitas atau masyarakat untuk menilai, untuk menentukan baik-buruknya, bermanfaat-tidaknya, unsurunsur yang ada dalam lingkungan mereka. Dengan kata lain, nilai-nilai ini juga merupakan semacam alat ukur. Alat ukur atau perangkat 120
penilaian ini adanya dalam pengetahuan manusia dan diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupan suatu masyarakat yang biasa disebut sebagai proses sosialisasi. Dari beberapa pengertian nilai budaya sebagaimana dikemukakan di atas, perwujudannya dapat dilihat dari berbagai aspek tradisi budaya yang ada di masyarakat, antara lain pada upacara-upacara tradisional, baik yang terkait dengan bidang pertanian, lingkaran hidup (life cycle) maupun yang berhubungan dengan sektor nelayan. Salah satu tradisi budaya pada komunitas nelayan di Desa Pambusuang Kabupaten Polewali Mandar yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang, adalah menyelenggarakan upacara tradisional makkuliwa. Upacara yang bersifat ritual ini tidak hanya bertujuan untuk memohon keselamatan dan rezeki kepada Yang Maha Kuasa, tetapi di dalam pelaksanaannya juga terkandung nilai-nilai budaya yang sangat positif yang dapat dijadikan pedoman untuk menentukan baik buruknya sesuatu yang dikerjakan. Karena itu, untuk mengetahui keragaman nilai-nilai budaya dimaksud, di bawah ini dikemukakan sebagai berikut: Nilai Musyawarah Salah satu tradisi budaya yang hingga kini tetap dipertahankan komunitas nelayan di Desa Pambusuang dalam rangka penyelenggaraan upacara makkuliwa, ialah melakukan pertemuan atau musyawarah dengan annang guru (imam setempat) atau sando lopi (dukun perahu) untuk mufakat dalam menetapkan segala sesuatu menyangkut kelancaran pelaksanaan upacara makkuliwa. Dalam konteks ini, keputusan mengenai waktu penyelenggaraan upacara tidak dilakukan sendiri oleh penyelenggara upacara (ponggawa lopi dan keluarganya), sebaliknya hal itu selalu diputuskan bersama melalui suatu musyawarah dengan seorang annang guru atau sando lopi selaku pihak yang akan memimpin jalannya upacara. Nilai Religius Bagi masyarakat nelayan di Pambusuang, dalam menetapkan waktu penyelenggaraan upacara makkuliwa, senatiasa disesuaikan
Nilai Budaya dalam ... Ansaar
dengan pengetahuan budaya mereka tentang adanya waktu dan buruk. Berkenaan dengan itu maka dalam konsep pengetahuan tentang waktu itu, terkandung nilai religi dimana masyarakat nelayan setempat mempercayai adanya sesuatu kekuatan supernatural yang menguasai setiap peredaran waktu. Berdasar pada sistem kepercayaan tersebut, para nelayan berupaya menghindarkan waktu tertentu untuk melakukan suatu kegiatan, termasuk menyelenggarakan upacara makkuliwa, karena mereka mempercayai adanya kekuatan supernatural tertentu yang mendominasi alam raya pada saat itu, sedangkan kekuatan itu tidak mendukung aktivitas pencaharian hidup manusia. Sebaliknya pada saat tertentu, misalnya waktu yang dianggap berisi, mereka melakukan aktivitas pencaharian hidup dengan keyakinan bahwa kekuatan supernatural yang menguasai alam raya pada saat itu akan senantiasa berpihak pada mereka. Demikian, dalam penetapan waktu penyelenggaraan upacara makkuliwa, setidaknya juga terkandung nilai relegi yang berorientasi pada anggapan kepercayaan masyarakat setempat, khususnya para nelayan tentang adanya kekuatan supernatural yang dapat mendukung aktivitas mereka atau sebaliknya. Nilai religius lainnya dalam pelaksanaan upacara makuliwa juga masih tampak jelas saat dilaksanakannya acara massissing posi’ (menutup pusat perahu) di bagian dalam perahu. Dalam prosesi ritual ini, pemimpin upacara (sando lopi) membacakan doa-doa selamatan lalu kemudian meneteskan darah ayam pada kayu penutup posi’ (pusat perahu) sebagai inti acara. Begitu pula pada saat kayu penutup posi’ akan disumbatkan ke lubang posi’, sando lopi pun tak lupa membaca basmalah serta salawat nabi. Sikap yang ditunjukkan sando lopi dalam hal ini, jelas mengandung makna, bahwa nilai religius memberi bimbingan dan arahan untuk mengajak manusia untuk menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar keselamatan dan kesusksesan yang diinginkan dapat tercapai. Ada suatu keyakinan pada diri nelayan, bahwa manakala terjadi kesalahan dalam pelaksanaan massissing posi’, maka itu bisa
berakibat fatal, misalnya si pemilik perahu akan selalu diliputi rasa kesusahan, begitupun rezeki yang diharapkan tidak kunjung datang. Keyakinan para nelayan tersebut cukup beralasan, sebab keberadaan posi’ perahu itu diibaratkan sama dengan nyawa manusia, sehingga bagaimanapun juga harus dihargai dan diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam kaitannya dengan persiapan dan perlengkapan upacara, perwujudan nilai religius itupun juga dapat dilihat melalui beberapa hal, seperti pada alat pedupaan dan perangkatnya. Bagi warga masyarakat nelayan, alat ini dipandang sebagai suatu sarana untuk memohon keselamatan dan berkah dari Yang Maha Kuasa. Karena itu pedupaan dengan seluruh perangkatnya dianggap mempunyai nilai religius yang sangat tinggi. Buah kelapa muda, juga dipandang sebagai salah satu bahan perelengkapan upacara yang mengandung nilai religius. Ini relevan dengan pandangan masyarakat setempat (termasuk para nelayan) yang percaya, bahwa air kelapa itu merupakan air suci. Hal ini diandasi oleh kekaguman dan rasa takjub leluhur sejak zaman lampau terhadap buah kelapa yang ternyata berisi air yang cukup manis, kendati tidak ada seorangpun yang sengaja memasukkan air itu ke dalamnya. Karena itu, buah kelapa bersama airnya dipercayai dapat membawa berkah serta menyembuhkan penyakit. Demikian sehingga air kelapa itu dianggap mengandung nilai religius yang amat tinggi. Sementara itu, jika dikaitkan dengan sikap, tindakan dan ucapan pemimpin atau peserta upacara, maka nilai religius itupun perwujudannya masih dapat dilihat, antara lain ketika berlangsung pembacaan barzanji diikuti dengan pembacaan doa, baik di atas perahu maupun di rumah ponggawa lopi. Dalam prosesi tersebut seluruh peserta yang hadir senantiasa menunjukkan sikap tenang dan mengikutinya dengan penuh hikmat hingga acara selesai. Ini membuktikan betapa besar penghormatan dan penghargaan mereka terhadap kelangsungan upacara. Begitupun ketika pemimpin upacara melakukan penyiraman air terhadap bagianbagian tertentu pada perahu sambil berdoa dalam 121
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 113—125 hati, juga mengandung makna religius agar keselamatan dan harapan untuk memperoleh rejeki dari Yang Maha Kuasa dapat terkabulkan. Nilai Sosialisasi Dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa juga terkandung nilai sosialisasi. Secara umum sosialisasi diartikan sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, sosialisasi juga bermakna interaksi manusia yang saling memengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja, tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk ekspresi seni dan teknologi. Fungsi sosialisasi dalam hal ini adalah untuk menginformasikan, mendidik, menghibur dan memengaruhi (Hadi, tth:119). Dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa, proses sosialisasi terjadi terutama kepada anak-anak dan remaja sebagai generasi muda penerus bangsa. Meskipun mereka tidak terlalu banyak berperan dalam penyelenggaraan upacara, misalnya membantu mengerjakan berbagai kegiatan demi suksesnya penyelenggaraan upacara, akan tetapi setidaknya mereka juga belajar tentang budaya dan tradisi tersebut yang pada akhirnya kelak dapat menggantikan generasi sebelumnya. Generasi muda dapat mengambil hikmah, bahwa penyelenggaraan upacara dapat menciptakan kerukunan, keakraban dan harmonisasi di antara para nelayan, kerabat dan warga lainnya. Selain itu mereka juga belajar, bahwa di dalam upacara terjadi sifat kebersamaan dan solidaritas yang tinggi, bukan hanya sesama anggota kerabat dari si penyelenggara upacara, tetapi juga tetangga dan sahabat tanpa membeda-bedakan status sosial. Nilai Solidaritas Tempat penyelenggaraan upacara makkuliwa, terutama yang terselenggara di atas perahu, ternyata juga mencerminkan adanya nilai solidaritas. Pandangan ini sesuai dengan beberapa indikasi, bahwa tempat penyelenggaraan upacara, baik di atas perahu 122
maupun di rumah ponggawa lopi menjadi suatu tempat pertemuan antar sesama kerabat, tetangga dan teman. Semuanya itu tentu semakin mendorong timbulnya semangat persaudaraan, kekeluargaan dan solidaritas di antara seluruh peserta upacara. Hal ini relevan dengan apa yang dikemukakan Ansaar (2010:193), bahwa kehadiran anggota kerabat, tetangga dan sahabat di dalam suatu kegiatan upacara, menunjukkan nilai solidaritas yang tinggi atas dasar nilai kekeluargaan dan ketetanggaan. Selain itu, Koentjaraningrat (2000:171) menyatakan, bahwa nilai solidaritas yang ada pada setiap komunitas merupakan penggerak dalam masyarakat. Aplikasi nilai solidaritas tidak lahir secara spontanitas untuk berbakti kepada sesamanya, tetapi pada prinsipnya mereka terdorong oleh perasaan saling butuh-membutuhkan. Dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa, juga terdapat satu tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, yakni pemberian cendera mata atau sumbangan oleh ponggawa lopi selaku pemilik hajat kepada ponggawa tukang (orang yang telah memimpin pekerjaan pembuatan perahu) sebagai tanda ucapan terima kasih atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Jenis atau besarnya sumbangan yang diberikan itu relatif, tergantung dari kemampuan pemilik hajat. Hanya saja yang umum selalu diberikan, adalah beras lima liter, sehelai baju, sarung, kopiah dan ayam jantan satu ekor. Menurut Durkheim (dalam Ritzer, 2012:145), bahwa pemberian bantuan atau sumbangan yang dapat ia berikan tidak begitu penting dibanding dengan efek moral yang ia hasilkan dan fungsinya untuk menciptakan perasaan solidaritas antara dua orang atau lebih. Sementara Faisal (2014:27) menyatakan, bahwa nilai solidaritas itu memiliki fungsi sosial sebagai pengikat tali persaudaraan bukan hanya dalam lingkungan keluarga atau kerabat, tetapi juga dalam lingkungan tetangga dan sahabat. Oleh karena itu, setiap orang apapun status dan peranannya dalam masyarakat senantiasa merupakan bagian yang integral dalam masyarakat. Selain apa yang telah digambarkan di atas, perwujudan nilai solidaritas lainnya pun masih sangat tampak dalam kaitannya dengan persiapan
Nilai Budaya dalam ... Ansaar
dan perlengkapan upacara. Berbagai pekerjaan yang dilakukan dalam tahap persiapan upacara, termasuk mempersiapkan alat-alat perlengkapan upacara, semuanya tidak akan berjalan sempurna bilamana tidak ada keterlibatan atau dukungan dari beberapa pihak. Sebagai contoh saat proses pembuatan atau penyediaan berbagai jenis makanan yang akan disuguhkan dalam upacara. Dalam proses pekerjaan tersebut, pihak yang terlibat bukan hanya ponggawa lopi dan keluarganya selaku penyelenggara upacara, tetapi juga unsur kerabat, keluarga para sawi bahkan tetangga pun turut pula memberi bantuannya demi suksesnya penyelenggaraan upacara. Ini membuktikan. bahwa hanya dengan dasar semangat solidaritas, seluruh kebutuhan upacara mampu disiapkan secara sempurna. Tidak ada seorangpun yang mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa melalui bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Penggunaan perangkat pedupaan sebagai salah satu perlengkapan upacara, di dalamnya juga tercermin nilai solidaritas. Perangkat pedupaan itu merupakan media pemersatu antara segenap peserta upacara, baik annang guru atau sando lopi sebagai pemimpin upacara maupun warga lainnya sebagai peserta upacara. Ini tercermin saat diadakannya pembacaan barzanji (baik di atas perahu maupun di rumah ponggawa lopi) dimana setiap peserta upacara secara bersama-sama mengikuti jalannya upacara dengan penuh hikmat. Semua yang hadir terhitung sebagai warga komunitas tanpa melihat perbedaan status. Nilai Seni Nilai seni yang dimaksudkan dalam hal ini, adalah seni barzanji dan pembacaan doa. Saat lafal barsanji dibacakan, baik ketika prosesi upacara berlangsung di atas perahu maupun di rumah ponggawa lopi, maka saat itu pula terdengar suara-suara merdu, terutama saat pemimpin upacara mulai melafalkan bacaanbacaan tertentu, lalu kemudian diikuti peserta lainnya. Seni barzanji dalam prosesi penyelenggaraan upacara makkuliwa dimaksudkan sebagai tata cara ideal yang dilakukan pemimpin upacara bersama dengan peserta upacara lainnya untuk
memohon berkah dan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut lazimnya, pembacaan barzanji itu dilakukan oleh orangorang tertentu (dalam hal ini annang guru dan sando lopi) yang telah dianggap fasih melafalkan kitab barzanji dengan suara merdu sehingga bukan hanya enak didengar oleh seluruh peserta upacara, tetapi lebih dari itu diharapkan bahwa melalui pembacaan barzanji, misi suci yang dilakukan penyelenggara upacara akan mendapat berkah dan limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Disamping itu, perwujudan nilai seni lainnya juga dapat dilihat pada salah satu bahan perlengkapan upacara yakni kelapa muda. Bahan perlengkapan upacara tersebut ketika akan digunakan, dibuat sedemikian rupa sehingga nampak kelihatan indah. Dalam hal ini bagian bawah buah kelapa dipotong rata, sedangkan bagian atasnya dibuat runcing sehingga menarik dilihat. Jika diamati sepintas, hal itu tampak sederhana, namun bagaimanapun juga di dalamnya terkandung nilai seni, khususnya seni keindahan dalam kaitannya dengan perlengkapan upacara. Nilai Kecermatan/Ketelitian Dalam proses pemilihan bahan perlengkapan upacara, kecermatan atau ketelitian dari si penyelenggra upacara amat diperlukan. Beberapa jenis bahan perlengkapan upacara, seperti buah kelapa muda dan pisang, dalam proses pengadaannya harus betul-betul dipilih yang terbaik kualitasnya, sebab jika yang dipilih tidak sesuai dengan yang disyaratkan, maka dikhawatirkan penyelenggaraan upacara tidak akan membawa berkah. Terkait mengenai kelapa muda, ada sebagian masyarakat berpendapat, bahwa buah kelapa muda yang baik untuk dijadikan bahan perlengkapan upacara, adalah yang kulitnya masih berwarna kehijauan dan bilamana ditepuk permukaannya maka di dalamnya tidak kedengaran hampa yang menandakan berisi dan airnya cukup banyak. Demikian, nilai kecermatan atau ketelitian ini sangat penting dan perlu ditanamkan secara terus menerus dalam diri masing-masing orang, sebab nilai tersebut sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. 123
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 113—125 Nilai kepatuhan/ketaatan Salah satu unsur yang paling penting dalam rangkaian penyelenggaraan upacara makkluliwa di Desa Pambusuang, ialah adanya pantangan-pantangan upacara. Dari hasil kajian tersebut terbukti, bahwa dalam pantanganpantangan upacara dimaksud, kandungan nilai religius dan nilai kepatuhan sebagai suatu nilai budaya, sangatlah menonjol. Hal itu dapat dilihat dalam setiap pantangan upacara, seperti tidak boleh menyajikan bahan perlengkapan upacara yang yang kualitasnya kurang baik (misalnya pada buah pisang dan buah kelapa). Sebab menurut para nelayan, bahan-bahan yang disajikan tersebut merupakan sesuatu yang sakral, sehingga bilamana persyaratannya tidak terpenuhi, maka bisa jadi maksud dan tujuan dari penyelenggaraan upacara tidak akan tercapai sesuai apa yang diinginkan. Ini menunjukkan bahwa perwujudan nilai kepatuhan dalam kaitannya dengan pantangan upacara benarbenar sangat menonjol. Di samping itu, pantang mengucapkan kata-kata “tidak” bagi penyelenggara upacara atau peserta upacara lainnya saat berlangsung pembacaan barzanji (baik di atas perahu maupun di rumah ponggawa lopi), adalah juga merupakan pencerminan dari nilai kepatuhan yang harus dijalankan. Karena menurut kepercayaan nelayan setempat, bahwa apabila kata-kata tersebut diucapkan, maka bisa saja itu menjadi pertanda NHJDJDODQGDODPPHQMDODQNDQDNWL¿WDVGLlaut. Sebab dalam kata itu sendiri (kata “tidak”) sudah terkandung makna kosong atau gagal. Pantangan seperti ini merupakan suatu gambaran, bahwa nilai kepatuhan masih tetap diwujudkan dalam pandangan hidupnya agar apa yang mereka harapkan dapat terwujud dengan baik.
operasi penangkapan ikan. Nelayan memandang bahwa penyelenggaraan upacara makkuliwa amat penting artinya karena terkait dengan tatanan kehidupan, baik di darat maupun di laut. Mereka sangat mengharapkan tatanan kehidupan tersebut senantiasa berada dalam keseimbangan, tidak saling mengganggu dan merusak, sehingga bisa hidup tenang. Bagi masyarakat nelayan di Pambusuang, ada dua pola yang dapat diterapkan dalam menyelenggarakan upacara makkuliwa. Pola pertama, acara diawali di atas perahu, kemudian dilanjutkan dengan acara massissing posiq (menutup pusat perahu), lalu diadakan lagi pembacaan barzanji di rumah ponggwa lopi. Sementara pola yang kedua yakni, diawali pembacaan barzanji terlebih dahulu di rumah ponggawa lopi dirangkaikan makan bersama, lalu kemudian dilanjutkan acara doa bersama di atas perahu. Dari kedua pola penyelenggaraan upacara tersebut, terdapat satu bagian atau tahap pelaksanaan upacara yang paling penting, yakni ketika berlangsungnya prosesi massissing posi’ (menutup pusat perahu). Masyarakat nelayan memandang, bahwa posi’ (pusat) perahu itu sama halnya dengan nyawa manusia, dan itulah hakikinya perahu. Karena itu bilamana terjadi kesalahan dalam proses pembuatannya, maka hanya kesusahanlah yang akan didapat oleh pemilik dan keluarganya. Ada beberapa nilai budaya yang terungkap dalam penyelenggaraan upacara makkuliwa. Kandungan nilai-nilai budaya tersebut tercermin mulai dari tahap persiapan upacara sampai pada penyelenggaraannya. Namun dari sekian nilai budaya yang terungkap itu, nilai religius merupakan salah satu nilai yang paling menonjol dan hampir dapat dijumpai pada setiap tahap penyelenggaraan upacara.
PENUTUP Sudah menjadi tradisi sejak lama, bahwa makkuliwa sebagai suatu upacara yang bersifat ritual, baru terselenggara apabila terdapat sesuatu yang baru di antara para nelayan, khususnya yang terkait dengan pekerjaannya, seperti pengadaan perahu baru, pengadaan mesin baru, peralatan tangkap baru, termasuk ketika mereka baru akan memulai melaut untuk melakukan 124
DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ibrahim. 1999. Pendekatan Budaya Mandar. (Cetakan I). Makassar: UD. Hijrah *UD¿ND Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2004. Fungsi Nilai-Nilai Budaya dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya. Bandung: Makalah Pelatihan Tenaga Teknis Nilai
Nilai Budaya dalam ... Ansaar
Budaya. Ansaar. 2010. “Nilai Budaya yang Mendasari Gotong Royong pada Masyarakat Petani: Kasus di Kelurahan Sapanang Kabupaten Pangkep”, dalam Jurnal Walasuji, Vol. 1, No. 2, Desember 2010. BPSNT Makassar. Faisal. 2014. “Mepokoaso dalam Sistem Berladang di Desa Eewa, Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara”, dalam Jurnal Walasuji. Vol. 5, No. 1, Juni 2014. BPNB Makassar. Faisal. 2008. “Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya Etnik Mandar dalam Arena Sosial”. Makalah. Hadi, Abdul, (Tanpa Tahun). Strategi Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Http:/wahyukusumaningrum, blogspot. com/2009/10/ketahanan-budaya-indonesia. Diakses tanggal 27 Maret 2014. Ismail, Arifuddin. 2007. Religi Manusia Nelayan Masyarakat Mandar. (Cetakan I). Makassar: &9,QGRELV5HNDJUD¿V ,V\DQWL³7UDGLVL0HUWL%XPL6XDWX5HÀHNVL Masyarakat Agraris”, dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Jantra Vol. II, No.3 Juni 2007, BPSNT Yogyakarta.
Ihromi, TO. 1996. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia . Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1980. Metode-Metode A n t ro p o l o g i d a l a m P e n y e l i d i k a n Masyarakat dan Kebudayaan di Indonsesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kantor Desa Pambuasuang: Monografi Desa Pambusuang, 2010. Mulyadi. 1983. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud: Proyek IDKD. Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Yusuf, Wiwiek P. 1992. Upacara Kematian Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek P2NB Sulawesi Selatan.
125