41 NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN PANJI LARAS DI DESA MADEGAN SAMPANG Anisa Fajriana Oktasari Universitas Madura Abstrak: Kebudayaan lahir turun temurun dari nenek moyang. Kebudayaan sabung ayam ternyata dilakukan sejak kebudayaan nenek moyang kerajaan–kerajaan Hindu-Budha berkembang. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya sastra lisan Panji Laras yang di dalamnya bercerita tentang kebudayaan yang terus melekat pada masyarakat era modern. Sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan, Sampang merupakan salah satu bentuk sastra lisan meliputi tradisi sastra yang pewarisan dan perkembangannya dilakukan secara lisan dan turun-temurun sampai pada generasi berikutnya. Penelitian ini menggunakan teori nilai budaya, yaitu menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai pandangan dalam permasalahan kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang?” Tujuannya untuk memperoleh deskripsi objektif tentang nilai budaya dalam sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah informan KH. Ihksan Mawardi Dohri dengan teknik wawancara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode observasi, perekaman. Dari hasil analisis data tentang nilai budaya dalam sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut: nilai kenyataan (kebanaran). Kata Kunci: Nilai Budaya, Cerita rakyat
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kebudayaan lahir turun temurun dari nenek moyang. Kebudayaan sabung ayam ternyata dilakukan sejak kebudayaan nenek moyang kerajaan–kerajaan Hindu-Budha berkembang. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya sastra lisan Panji Laras yang di dalamnya bercerita tentang kebudayaan yang terus melekat pada masyarakat era modern. Sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan, Sampang merupakan salah satu bentuk sastra lisan meliputi tradisi sastra yang pewarisan dan perkembangannya dilakukan secara lisan dan turun-temurun sampai pada generasi berikutnya. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) (Hutomo, 1991:1). Kajian sastra lisan termasuk kajian foklor. Foklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantaranya kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat. (Pusposari, 2011: 1). Pada umumnya sastra lisan tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan yang jauh dari perkotaan, walaupun demikian hal ini bukan berarti bahwa sastra lisan tidak terdapat di dalam masyarakat yang telah mengenal tulisan, hanya peranannya tidak sebesar di dalam masyarakat yang belum atau sedikit mengenal tulisan. Di Desa Madegan memiliki cagar budaya yang melekat di hati masyarakatnya. Madegan adalah pusat pemerintahan dari kerajaan Madura yang ada di Sampang, di Desa Madegan ini juga terdapat buktibukti atau benda peninggalan yang berhubungan dengan cerita Panji Laras. Benda yang ada di Desa Madegan merupakan benda yang sangat berarti bagi masyarakat Madegan, karena benda tersebut merupakan bukti tentang keberadaan kerajaan pertama di Madura. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
234
Bagaimanakah nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang? Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penalaahan dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengamatan dan wawancara dan sastra lisan cerita panji laras di desa madegan sampang dianggap cerita lisan yang perlu adanya pengamatan, perekaman, pencatatan, wawancara mendalam dan teknik pengalihan wacana dari lisan ketulisan. Analisis Data Secara Induktif Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif karena analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama dan mempertajam hubungan-hubungan dalam konteks penelitian ini adalah untuk mempertajam hubungan-hubungan fokus yang dikaji yaitu nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Teori dan Dasar (Grounded Theory) Penelitian kualitatif menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subtantif yang berasal dari kata. Dalam penelitian ini menggunakan teori yang telah disusun secara sistematis yang menyesuaikan dari data yang dikaji. Deskriptif Mengutamakan deskripsi, dengan kegiatan antologis. Data yang dikumpulkan dan dimaksudkan untuk memberikan gambaran sewajarnya dari objek kajian. Dalam penelitian ini, data diidentifikasi dan diklasifikasikan menurut fokus kajian, setelah itu diberikan intrepretasi atau gambaran sewajarnya sesuai dengan fokus kajian yaitu nilai budaya. Teori Budaya dapat dibedakan antara kata “budaya dan kebudayaan”, tapi dalam ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama (Soelaeman, 2005:2). Secara etimoligis kebudayaan berasal dari kata Sanskerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi berarti budi atau akal. Kata kebudayaan mempunyai arti yang sama dengan Culture yang berasal dari kata latin Colere, yang artinya mengolah, mengerjakan, meyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Koentjaraningrat (dalam Sukidin dkk, 2003:4) mendefinikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” dan “daya” yang berarti cinta, karsa, dan rasa (Setiadi, dkk, 2006:27). Koentjaraningrat (dalam Widyosiswoyo, 1993:33) meyebutkan paling sedikitnya ada tiga wujud kebudayaan yaitu: 1) Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. 2) Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Sebagai benda-benda hasil karyanya Abrams menyatakan bahwa (dalam Sudikan, 2001:6) pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. PEMBAHASAN Nilai Kenyataan (kebenaran) Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran beberapa cara di tempuh untuk memperoleh kebenaran. Di dalam kehidupan nilai-nilai harus di junjung tinggi terutama nilai kebenaran, kadangkala sebagian orang tidak memikirkan hal itu, mereka hanya memikirkan diri sendiri tanpa melihat disekitar
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
235
kita ada mahkluk lain yang ingin dipelihara layakya manusia tanpa harus disakiti dan dianiaya. Hal ini terdapat pada cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Saamponna pan berempan arè tellor gelle’ teddes ajâm sè bhâgus. Ajâm gelle’ è berri’ nyama Cendi Laras sareng èbhuna. Ajâm gelle’ bhânarè èkèbhâ amaèn ka alas sambi èlatè sareng Panji Laras” (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:1/6) Kebenaran tercermin di dalam tingkah laku tokoh bernama Panji Laras yang senantiasa merawat ayam peliharaanya dengan sepenuh hati dan kasih sayangnya sehingga dia memberikan nama kepada ayamnya dengan nama Cendi Laras. Pada kenyataannya di lingkungan persabungan ayam tidak hanya anak remaja yang senantiasa menonton atau ikut andil di dalam pertandingan ayam akan tetapi seseorang yang sangat dewasa kakekkakek juga ikut menonton. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Saampona ajâmma èyaddhu pas ajâma mosona è pakala kabbhi pas Emba gelle’ atanya polè dâ’ Panji Laras “tojjuna bâ’na èntara dâ’ emma nak?” Panji Laras ajâwâb “tojjuna kaulâ nyarèa ajâm sè lebbi koat dâri sareng ajâm kaulâ terros kaulâ nyarèa rama kaulâ”. O..bâdâ nak iye arèa ajâmma Adipati Aryo Wiraraja sè bâdâ è Sorbâjâ. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/2). Mengadu ayam di zaman dulu sudah marak dilakukan dan dijadikan kebiasaan, tidak hanya dikalangan remaja dewasa, orang yang sudah tua pun juga ikut-ikutan andil di dalam tontonan seru sawung ayam dan kebiasaan orang zaman dulu sudah menjadi kebiasaan masyarakat masa kini khususnya di daerah Madegan Sampang dan wilayah madura pada umumnya. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide maupun daya cipta dan karya manusia berdasarka proses kebiasaan yang dilakukannya secara turun-temurun. Seringkali seseorang mengadakan kesepakatan bersama sebelum melakukan pertandingan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran supaya di akhir pertandingan tidak ada penyimpangan. Hal ini juga terdapat di dalam cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Adipati Aryo Wiraraja peggel Adipati Aryo Wiraraja atanya “anoapa bâ’na dâteng dâ’ enna’ bân tojjuna apa?” kaulâ terro ngaddhuwâ tang ajâm jâwâbbâ Panji Laras sambi mèsem, dengan salèra kaku Adipati Aryo Wiraraja ta’ nola’ tantanganna tapè Adipati Aryo Wiraraja ngajuaghi parjanjiyân, mon ajâmma Panji Laras sè mennang bi’ sèngko’ è berri’na hadiya sèaropa pèssè emmas, tapè mon tang ajâm sè mennang bâ’na kodhu toro’ oca’ apah sè èkaparènta engko’. Tabâren jârèya Panji Laras ta’ nola’ alias saroju’. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/3). Seorang Adipati Wiraraja membuat kesepakatan kepada Panji Laras sebelum pertandingan ayam dilakukan biar nanti sesudah pertandingan tidak terjadi kekacauan. Tidak hanya dikehidupan nyata di dalam sebuah cerita juga terdapat kenyataan (kebenaran) yang dibuat seseorang itu akan terbawa dalam kehidupan sekarang ini. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Nangèng nyatana saampona èyaddhu ajâma Panji Laras sè mennang. Akhèrra prajurit kerajaan Adipati Aryo Wiraraja bânnya’ sè ngallè pas noro’ Panji Laras molè ka alas. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/4). Kesepakatan yang dibuat Adipati Wiraraja harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya demi menjunjung tinggi nilai kebenaran di dalam sebuah kebiasaan yang diadakan oleh Adipati Wiraraja. Di dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tidak mungkin tanpa kebenaran. Segala sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide maupun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
236
daya cipta dan manusia berdasarkan proses kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Seringkali seseorang mengikuti sawung ayam dan ayamnya selalu menang pastinya banyak orang yang kagum pada ayam yang tergolong kuat dan biasanya nama dari si pemilik ayam juga ikut terkenal di kalangan orangorang penyawung ayam. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Sajân abit pangèkotna Panji Laras sajân bânnya’ polana sènneng dâ’ ajâmma Panji Laras. Sèllang pan berempan bulân, Panji Laras ollè sorat undangan kahormadhân dâri istana kerajaan Adipati Aryo Wiraraja undanganna sèamonyè masalah sayèmbara sabung ajâm. Pas kalagghuna Panji Laras pamèt dâ’ ka èbhuna kalabân nèat hadir dâ’ sayèmbara ganèko. Saampona dâpa’ ka arèna sabung ajâm, langsung èyund, terros kabenderren ajâmma Panji Laras amoso sareng ajâmma kerajaan Bali. Ternyata saampona èyaddhu mennang ajâmma Panji Laras (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:3/1). Lantaran ayam Panji Laras selalu menang dalam sawung ayam sehingga banyak orang yang senang kepada ayam Panji Laras, mereka yang kagum dengan ayam Panji Laras bersedia menjadi pengikut Panji Laras dan nama Panji Laras pun juga ikut dikenal sebagai pemilik ayam jago yang kuat juga tangguh. Tidak jarang Panji Laras mendapat surat undangan untuk mengikuti sawung ayam. Kebiasaan seseorang yang dirasa sejalan dengan hati rohaninya akan terbawa di dalam pergaulan sehari-harinya walaupun orang itu dalam keadaan susah sekalipun dia akan berusaha menyelipkan ditengah kesibukannya hanya demi memelihara dan menyawung ayam. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Samarèna jârèya Panji Laras èparèngi pakon ghuruna sè asma èpon Mbah Sabelang, èparèngi pakon nyebbaraghi ajhârân aghâma islam è daèra Pasuruan, polana èka’ dissa bâdâ bèntèng bâlândhâ sèrammè kabârrâ pareppa’na ghanèka kadhâddhiyân pembhunoan dâ’ Untung Sanopati, mèlana dâri ka’dinto Panji Laras bân Mbah Sabelang langsung ka Probolinggo teppa’ èdhisa Bantaran. Sabbân arèna Panji Laras èngghi ka’dinto dâ’emma’a saos pagghun ngeppe’ ajâm, saèngghâ èdhimma’a bhâi Panji Laras ngoladhi orèng neggu’ otabâ ngaddhu ajâm, Panji Laras pastè matabâr ajâm jagona onto’ èsabung tapè sabelluna èsabung Panji Laras ngajhuaghi parjhanjiyân, (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:4/4). Walaupun Panji Laras dalam keadaan terontang-anting dalam menjalankan tugasnya yaitu berdakwah menyebarkan agama islam dia menyempatkan kebiasaannya menyawung ayam, akan tetapi menyawung ayam disini hanya sebagai sarana dan prasarana dakwah untuk menislamkan para pesawung ayam yang marak sekali pada waktu itu. Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran tanpa melaksnakan konflik kebenaran, manusia kan mengalami pertentangan batin, karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan (kebenaran) dalam hidupnya yang dimana yang selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Saampona ollè aontaon è daèra Pasuruan, akhèrra èkèding bi’ kompennè bâlândhâ. Terros bi’ masyarat Probolinggo èsoro ngallè dâ’ daèra laèn. Akhèrra Panji Laras bân Mbah Sabelang ngallè dâ’ Situbondo teppa’ è daèra Kendik, èdissa Panji Laras bân Mbah Sabelang sapartè biasa ngala’sanaaghi tojjhuna èpon ènggghi ka’dinto nyebbereghi aghâma islam kalabân cara nyabung ajâm sè ngangguy kasapakadhân tertanto. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:5/1). Bahwasanya di dalam menegakkan kebenaran kadangkala seseorang harus terontang-anting demi menyampaikan kebenaran itu kepada sesorang yang banyak menyimpang dari kebanaran walaupun dengan jalan menyabung ayam.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
237
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data tentang nilai budaya dalam cerita Panji Laras di desa Madegan Sampang yaitu nilai kenyataan (kebenaran), Nilai kenyataan (kebanaran) yakni nilai yang tercermin di dalam sikap atau tingkah laku seorang tokoh Panji Laras yang senantiasa memelihara dan menyawung ayam, hingga dijadikan sarana dan prasana dalam proses pencarian ayah kandungnya dan sebagai alat untuk berdakwah menyebarkan agama islam. DAFTAR PUSTAKA Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Komda Jatim. Pusposari, Dewi. (2011). Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: Pustaka Kaiswaran. Setiadi, Elly. (2006). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenadamedia. Sudikan, Setya Yuwana. (2001). Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana. Sudikin. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Intan Cendikia. Soelaeman, Munandar. (2005). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Renika Cipta. Widyosiswoyo, Supartono. (1993). Ilmu Budaya Dasar. Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
238