ANALISIS NILAI BUDAYA SASTRA LISAN BATAK TOBA “BATU SIGADAP” Oleh Enjelina Sinaga
ABSTRACT Oral literature is the literary expression of literature that includes citizens, a culture that spread and handed down orally (word of mouth). Because of its spread from mouth to mouth, oral literature will be easy to fade. For that the solution offered is to raise the research on oral stories to maintain the existence of the oral literature. Legend of Batu Sigadap is one form of oral literature Batak Toba community property, which is precisely Silalahi Silahisabungan District, Dairi. This study aimed to describe the composition of the stories and events that happened in the legend Batu Sigadap, structured and translated into a story and explore the cultural values contained therein. This research is a qualitative descriptive study, prioritize the meaning and context, the role of researcher of high demand. Informants in this study there were seven people in the two cultural experts Silalahi, one Raja Adat in Silalahi, three people Silalahi, and one journalist in Silalahi. The latter finding of this study is that there are eight cultural values, cultural values of the nine major Batak Toba in Batu Sigadap story, the cultural values of kinship, religion, conflict, law, hasangapon, hamoraon, hagabeon and protection. Based on this research, the value of cultural kinship says there are five events, religion and conflict each said there are three events, while the value of legal culture, hasangapon, hamoraon, hagabeon each said there are two events and cultural values aegis of the event said. Batu Sigadap oral literature, which is considered as a judge in the Silalahi believed to have supernatural powers to know the truth, based on research, until now Batu Sigadap still feared and trusted, which is why Batu Sigadap Silalahi sacred by the community. Key word: Cultural values, Batak Toba, Oral Literature, Batu Sigadap.
1
PENDAHULUAN Sastra lisan yang telah lama ada, lahir dan muncul dari masyarakat yang menjadikannya sebagai suatu tradisi dalam kelompok bermasyarakat. Sastra lisan hadir sebagai karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan. Tentunya seluruh daerah memiliki sastra lisan yang umumnya akan berbeda dengan yang lain. Sastra lisan, baik bentuk puisi maupun cerita tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya, nilai falsafah, pendidikan, moral, etika, dan masih banyak lagi nilai-nilai kehidupan yang positif yang amat penting ditanamkan ke dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut mencerminkan pola hidup masyarakat tempat sastra lisan itu pernah hidup dan berkembang. Menurut Suwardi Endraswara (2003:151) Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Oleh karena penyebarannya dari mulut ke mulut, banyak sastra lisan yang memudar karena tidak dapat dipertahankan. Selain keterbatasan memori manusia dalam mengingat, perkembangan teknologi yang semakin canggih di era globalisasi dewasa ini ikut menggeser sastra lisan yang pernah ada, termasuk sastra lisan masyarakat Batak Toba yang memiliki nilai budaya tinggi, yang seharusnya dapat dijaga kelestariannya. Secara umum kebudayaan terbagi atas dua komponen, yaitu kebudayaan nonmaterial dan material. Kebudayaan nonmaterial menunjukkan kekuatankekuatan kreatif dalam diri manusia sendiri yang menghasilkan kebudayaan, yang merupakan realisasi diri manusia, wujudnya dapat berupa kesempurnaan batin, seperti nilai-nilai dan perasaan-perasan. Kebudayaan nonmaterial juga terwujud dalam kebenaran, kebajikan dan keindahan. Sedangkan kebudayaan material merupakan hasil materialisasi dari kebudayaan nonmaterial tadi. Berbeda dengan kebudayaan nonmaterial, kebudayaan material dapat dinikmati, dipakai dan dipartisipasikan dengan orang-orang lain (Mudji Sutrisno, 2008:9). Sebagai produk budaya masyarakat, sastra lisan, baik genre prosa maupun puisi, dapat dijumpai hampir seluruh daerah. Namun, dewasa ini mulai menunjukkan gejala perubahan yang mengkhawatirkan, yaitu ketidakpedulian
2
masyarakat terhadap sastra lisan. Sastra lisan hanya dipandang sebagai kisahkisah yang tidak masuk akal dan berada di luar jangkauan akal sehat. Hal itu tentu saja menjadi ancaman terhadap eksistensi sastra lisan dalam kehidupan masyarakat (Nurelide, 2007:15). Masyarakat Batak Toba sebagaimana salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia mewariskan tradisi budaya yang kaya. Menyumbangkan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai suri teladan. Namun tradisi dan kesenian Batak Toba lebih sering diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dibandingkan dengan sastra. Sastra Batak Toba lebih banyak terpendam dan tidak jarang hanya sebagian indivu yang mengetahui kesusastraan tersebut. Sastra lisan Batak Toba dapat dipandang sebagai aset budaya yang penting dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan (Nurelide, 2006: 1). Sebagian dari sastra lisan Batak Toba masih ikut diterapkan dalam acara adat masyarakat tersebut. Mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folklor), merupakan genre prosa rakyat yang pernah hidup dalam mayarakat Batak Toba. Mite merupakan cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang melebihi batas kemampuan manusia yang diungkapkan secara gaib dan dianggap suci. Legenda merupakan cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah tetapi tidak dianggap suci, dan dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benat terjadi oleh empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat (Bascom dalam Danandjaya, 1984:50). Namun jika dikaji secara mendalam, ternyata legenda mempunyai pengertian yang mendalam, terdapat pandangan hidup, kehidupan religi, dan dunia sakral dari masyarakatnya. Sebagian individu dalam masyarakat mempercayai legenda sebagai penuntun hidupnya. Keingintahuan manusia untuk memahami sesuatu dibalik legenda semakin kuat, yaitu peristiwa yang menggambarkan sejarah dan nilai-nilai moral yang terdapat didalamnya dan hampir seluruh legenda memiliki hal-hal mistis. Sehingga, melalui karya sastra tersebut ditemukan pola hubungan kekerabatan, tingkah laku, kepercayaan dan segala sesuatu yang hidup dan menjadi tradisi dalam mayarakat tersebut (Nurelide, 2006:5). Melalui karya sastra yang juga
3
tercipta sebagai salah satu produk budaya tentunya dapat menjembatani untuk sampai pada pemahaman atau setidak-tidaknya sikap terbuka melakukan apresiasi terhadap berbagai kultur etnink yang ada di Nusantara. Oleh karena peneliti ikut terbuka dalam apresiasi sastra, maka peneliti tertarik untuk mengkaji sastra lisan dalam Batak Toba. Landasan utama dalam penelitian ini adalah mengkaji nilainilai budaya utama nonmaterial dalam sastra lisan Batak Toba “ Batu Sigadap”. Batu Sigadap merupakan salah satu cerita lisan yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba, yang berasal dari Silalahi atau “Tao Silalahi”, peninggalan dari Oppungku Raja Silahisabungan, yang dicatat dalam peta Belanda, pada saat penjajahan Belanda tahun 1832 dengan ejaan lama yang diberi nama
Tao
Silalahe.
(http://raja-silahisabungan.blogspot.com/2011/07/tao-
silalahi.html). Sedangkan peresmian Silalahi tercatat pada pembangunan tugu/makam Raja Silahisabungan yang diresmikan pada tanggal 23-27 Nopember 1981. (http://hogasipayung.blog.com/2011/10/08/ompu-raja-silahisabungan-yangvisioner/). Cerita “ Batu Sigadap” tersebut memiliki nilai suri teladan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Batu Sigadap merupakan bentuk persidangan dalam masyarakat Silalahi yang menekankan aspek kejujuran. Ketertarikan penulis dalam mengambil legenda Batu Sigadap, selain memiliki nilai suri teladan, tidak semua individu atau masyarakat Batak Toba yang mengenal cerita lisan tersebut, untuk itu peneliti ingin memperkenalkannya agar cerita tersebut tidak punah. Menurut (Olrik dalam Sukatman, 2009:13) kepunahan tradisi lisan disebabkan terlalu lama tidak diingat oleh masyarakat dan tidak pernah diperdengarkan lagi. Karena sastra lisan yang semakin memudar dan hanya berdasarkan daya ingat penuturnya sehingga dapat merubah keaslian suatu sastra
lisan,
peneliti
merasa
tertarik
untuk
mengkajinya
kemudian
mendokumentasikannya, harapan yang ingin dicapai dalam peneltian ini dapat menjadikan sastra lisan tersebut menjadi sastra yang selalu hidup dan dapat dipertahankan. Berdasar atas uraian tersebut, tulisan ini dimaksudkan: (1) Untuk menganalisis
dan
mendeskripsikan
terkandung dalam cerita
nilai-nilai
budaya
nonmaterial
yang
lisan legenda “Batu Sigadap” (2) Untuk membahas
4
relevansi sastra lisan legenda “ Batu Sigadap” terhadap nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat Silalahi dewasa ini. Sehingga berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian yang hendak dilakukan adalah, mengungkapkan nilai-nilai budaya utama Batak Toba, melihat relevansi pola budaya masyarakat Silalahi berdasarkan nilai-nilai budaya Batak Toba dalam legenda “Batu Sigadap”, terlebih mempertahankan sastra lisan agar tetap hidup, sehingga dapat menambah karya sastra dalam bentuk teks terjemahan. Kajian teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah sastra lisan dan nilai budaya utama Batak Toba. Nilai budaya utama nonmaterial Batak Toba secara khusus yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak, yang dianggap penting dan berharga terdiri dari sembilan nilai budaya utama yang sampai saat ini masih dipertahankan. Kesembilan nilai budaya tersebut adalah: Kekerabatan, Religi, Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon, Hamajuon, Hukum, patik dohot uhum, Pengayoman, dan Konflik. (Harahap & Siahaan 1987:134). Kekerabatan, terlihat pada tutur sapa baik karena pertautan darah atau solidaritas marga dan pertalian perkawinan. Religi, menyatu dengan agama adat. Kepercayaan masyarakat Batak Toba yang telah berganti dengan agama baru yang masuk ke tanah Batak tidak serta merta melupakan tradisi kepercayaan jaman dulu. Dalam kepercayaan religi Batak, leluhur adalah perwakilan dari Debata Mula Jadi Nabolon atau Tuhan Maha Pencipta di dunia. Dengan menghormati leluhur, berarti menghormati Tuhan. Hagabeon dalam kebudayaan Batak adalah mempunyai keluarga yang besar, panjang umur dan sekaligus menjadi panutan masyarakat (Harahap & Siahaan, 1987:160). Hukum, dalam adat Batak Toba disebut juga patik dohot uhum. Nilai patik dohot uhum merupakan nilai budaya yang diwariskan oleh orang Batak secara turun-temurun. Hamajuon, memiliki pengertian kemajuan, hanya dapat diraih dengan cara merantau dan menuntut ilmu. Konflik, merupakan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, memiliki mekanisme untuk menyelesaikan setiap konflik melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat ataupun rapat warga. Orang Toba mengatakan, kalau ada masalah harus segera dinetralisasikan agar tidak mendalam dan meluas menjadi
5
konflik.
Hamoraon
atau
kaya
raya
merupakan
tujuan
hidup
untuk
menyejahterakan dan menjadi sumber penting otoritas. Hasangapon, memiliki makna bermartabat dan yang terakhir pengayoman dalam adat Batak Toba adalah pemberi kearifan, pemberi kesejahteraan, pelindung yang ditaati, pencipta ketentraman batin yang dalam sistem kekerabatan Dalihan Na tolu diperankan oleh hula-hula. (Harahap & Siahaan, 1987:134).
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Alasan penulis menggunakan metode ini sesuai dengan pendapat Lofland (dalam Moleong, 2006:157) yang menyebutkan sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah Kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Metode tersebut dipilih karena data yang digarap adalah kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Penelitian ini ditekankan pada pendeskripsian nilai-nilai budaya yang terdapat dalam sastra lisan Batu Sigadap, yang digarap melalui katakata dari hasil wawancara, catatan lapangan dan foto dari sumber data utama yang ditemui di lapangan. Data-data yang telah terkumpul dijadikan sebagai usaha untuk memperoleh makna dan pemahaman dari sasaran kajian yang ingin diteliti. Lokasi penelitian yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah di Silalahi, Kecamatan Silhisabungan, Kabupaten Dairi, yang dilaksanakan selama dua bulan. Sumber data yang diperoleh adalah orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial dari cerita Batu Sigadap. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancari dilakukan secara purposive, yaitu orang-orang tua yang masih menguasai atau memahami cerita Batu Sigadap. berusia 50 tahun ke atas, mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi, tidak cenderung menyampaikan informasi hasil ” kemasannya” sendiri dan terpandang dalam masyarakat, misalnya ahli budaya, pengetua adat dan sebagainya. Teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Maka untuk menjaring data dalam penelitian ini, penulis
6
menggunakan alat-alat sebagai berikut: (1) buku catatan, yang berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan informan, (2) tape recorder, yang berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan, khususnya merekam cerita lisan Batu Sigadap, dan (3) kamera, yang berfungsi untuk memotret informan dan data-data yang mendukung objek-objek peninggalan Batu Sigadap. Setelah data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data, maka langkah selanjutnya untuk menganalisis data adalah sebagai berikut: (1) mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data, seperti rekaman dan catatan lapangan
dari
observasi
dan
wawancara,
(2)
hasil
rekaman
tersebut
didokumentasikan dan catatan lapangan diarsipkan, (3) rekaman dan catatan ditranskip ke bentuk tulisan, disertai terjemahan teks, (4) membaca dan menganalisis cerita sambil melakukan reduksi, reduksi dilakukan dengan tujuan memfokuskan pada nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita,
HASIL PENELITIAN Batu Sigadap, merupakan batu yang dapat ditemui di Silalahi Nabolak, terletak di Sidabariba Toruan desa Silalahi I sekitar 300 m dari pusat desa Silalahi, kecamatan Silahisabungan yang diciptakan oleh Raja Silahisabungan. Raja Silahisabungan merupakan manusia pertama yang menempati Silalahi, yang pindah dari desa Balige. Keseluruhan tanah yang ada di Silalahi merupakan tanah Raja Silahisabungan. Jika hendak bepergian ke Silalahi, terlebih dahulu melewati pagar Raja Silahisabungan yang terletak di Lae Pondom, pagar yang diciptakan oleh Raja Silahisabungan tersebut, merupakan pagar yang mengetahui orangorang yang masuk atau keluar dari desa Silalahi Nabolak, pagar tersebut juga pagar yang mengetahui tingkah laku orang-orang yang ingin masuk ke desa
7
Silalahi Nabolak. Pada jaman dahulu, orang-orang jahat, seperti penjajah Belanda yang ingin masuk ke desa Silalahi akan gagal dan berputar-putar disekeliling pagar. Pagar tersebut dikatakan sebagai pengawal desa Silalahi Nabolak, manusialah yang ditanam didalam pagar tersebut dan hingga kini dipercayai manusia pengawal tersebut masih hidup. Pagar tersebut juga dikatakan sebagai pagar roh dan nyawa, supaya tetap mendapat kesehatan, maka hendaknya meminta ke pagar tersebut agar kesehatan badan selalu dijaga. Agar suka cita tetap terasa maka diletakkanlah sirih dan jeruk purut dan memohon kepada pagar agar suka cita tersebut tetap terjaga. Setelah pagar, Raja Silahisabungan juga menciptakan air kehidupan. Air, tempat dimana Raja Silahisabungan minum. Air yang dapat melegakan bagi orang-orang yang letih berjalan atau bagi orang yang lelah bekerja. Dahulu kala, Raja Silahisabungan dan istrinya boru Padang Batanghari melakukan perjalanan ke desa Balna, karena perjalanan yang begitu jauh dan sulit, boru Padang Batanghari lelah dan merasa haus. Raja Silahisabungan pun memukulkan tongkatnya ke sebuah batu, dan keluarlah air, dan air tersebutlah yang diminum oleh boru Padang Batanghari dan Raja Silahisabungan. Setelah meminumnya Raja Silahisabungan dan boru Padang Batanghari memperoleh kekuatannya lagi untuk melanjutkan perjalana ke desa Balna. Jika hendak mandi ke air kehidupan tersebut, tetaplah meletakkan sirih dan jeruk purut. Sirih dan jeruk purut dipercayai oleh masyarakat Silalahi sebagai jalan untuk meminta. Jika hujan deras atau musim kemarau, debit air kehidupan tersebut tidaklah berubah. Tidak akan banjir jika hujan, atau kering jika musim kemarau. Raja Silahisabungan memiliki tujuh orang anak dari istri pertama, boru Padang Batanghari. Yaitu, Loba Raja (Sihaloho), Tungkir Raja (Situngkir), Sondi Raja (Ruma Sondi), Butar Raja (Sinabutar), Dabariba Raja (Sidabariba), Debang Raja (Sidebang), Batu Raja (Pintu Batu) dan satu orang putri yang bernama Deang Namora. Dari istri kedua lahir seorang anak yang bernama Tambun Raja (Tambunan). Istri kedua yaitu boru Nairasaon, dahulu kala boru Nairasaon sedang sakit di Balige, pada waktu itu Raja Silahisabungan sedang mengadakan perjalanan ke Balige, karena Raja Silahisabungan merupakan orang yang sakti,
8
yang dapat memohon langsung kepada Tuhan sang pencipta, maka Raja Silahisabungan pun mengobati boru Nairasaon. Upah yang diminta dari ayah boru Nairasaon yaitu Datu Pejel adalah jika ia bisa menyembuhkan boru Nairasaon maka Raja Silahisabungan meminta agar boru Nairasaon menjadi istrinya. Padahal pada waktu itu boru Nairasaon telah memiliki kekasih yang bermarga Sianturi yang pada waktu itu melakukan perjalanan, tetapi demi kesembuhan boru Nairasaon, maka upah yang diminta Raja Silahisabungan pun dituruti. Setelah beberapa lama, marga Sianturi pulang dari perjalanannya, dan ia marah ketika mengetahui boru Nairasaon telah menikah. Dikejarlah Raja Silahisabungan, hingga akhirnya Raja Silahisabungan kembali ke Silalahi Nabolak bersama anaknya Tambun Raja. Raja Silahisabungan sempat menyembunyikan keberadaan Tambun Raja dari boru Padang Batanghari, tetapi tidak beberapa lama kemudian Raja Silahisabungan pun menceritakan keberadaan Tambun Raja kepada boru Padan Batanghari, setelah boru Padang Batanghari berjanji tidak akan marah jika Raja Silahisabungan menceritakan yang disembunyikannya. Setelah Raja Silahisabungan menceritakannya, benarlah boru Padang Batanghari tidak marah, sebaliknya boru Padang Batangharilah yang membesarkan Tambun Raja seperti ketujuh anak dan satu putrinya. Tambun Raja begitu dimanja oleh Raja Silahisabungan dan boru Padang Batanghari, sehingga menimbulkan kebencian ketujuh anak tersebut. Tambun Raja pun selalu dimaki oleh ketujuh anak boru Padang Batanghari. Maka mengadulah Raja Tambun kepada boru Padang Batanghari. Karena mereka sering bertengkar, maka boru Padang Batangahari memberitahukan kepada suaminya, Raja Silahisabungan dan Raja Silahisabungan pun menyuruh boru Padang Batanghari untuk membuatkan sagu-sagu marlangan. Sagu-sagu marlangan, merupakan sejenis makanan yang terbuat dari tepung beras. Boru Padang Batanghari membutkan sagu-sagu marlangan tersebut menyerupai bayi yang sedang duduk dalam sebuah bakul. Selama tiga puluh hari lamanya boru padang Batanghari membuatkan sagu-sagu marlangan tersebut. Setelah sagu-sagu marlangan terbentuk dipanggillah semua anak-anak dan duduk menghadap sagu-sagu marlangan, diikuti dengan upacara sambil berdoa kepada Tuhan Maha pencipta. Setelah mendoakannya, Raja Silahisabungan membuat
9
sagu-sagu marlangan berisi nasehat, nasehat tersebut bunyinya seperti ini: pertama, “kalian dan keturunanmu harus saling mengasihi”. Kedua, “ketujuh abng, tidak boleh mengatakan bahwa kalian bukan satu ayah satu ibu dengan sang adik, si Tambun Raja. Ketiga, “ketujuh abangnya dan semua keturunannya harus lebih mengasihi saudara perempuan mereka dari keturunan sang adik, Tambun Raja. Demikian juga Tambun Raja dan seluruh keturunannya, harus lebih mengasihi saudara perempuan dari keturunan ketujuh abangnya”. Keempat, “pantang keturunan ketujuh abang mengawini keturunan sang adik, Tambun Raja. Demikian sebaliknya, pantang keturunan Tambun Raja mengawini keturunan ketujuh abangnya”, dan yang kelima, “ kalian tidak boleh memulai perselisihan, jika ada perselisihan diantara kalian bertujuh hingga keturunanmu, maka harus Tambun Raja dan keturunannyalah yang menjadi juru damai, yang memberikan keputusan yang adil dan tidak memihak, serta harus dipatuhi. Sebaliknya, kalau ada perselisihan diantara keturunan Tambun Raja, maka juru damai harus dari keturunan ketujuh abangnya yang memberikan keputusan yang adil dan tidak memihak, yang harus dipatuhi pihak yang berselisih. Dan perselisihan di antara kedelapan putraku jangan diselesaikan oleh pihak lain”. Nasehat tersebutlah yang harus menjadi pegangan anak-anak dari Raja Silahisabungan. Setelah nasehat itu dinyatakan, Raja Silahisabungan menyuruh anak-anaknya memegang sagu-sagu marlangan, tanda menuruti nasehat yang ia berikan. Setelah pembuatan sagu-sagu marlangan itu jugalah Raja Silahisabungan memberangkatkan Tambun Raja pulang kembali ke Balige untuk menjumpai pamannya. Setelah sagu-sagu marlangan tersebut tebentuk maka akurlah anak-anak dari Raja Silahisabungan. Terlebih Deang Namora, ia begitu rajin menenun di gubuknya untuk membuatkan baju abang-abangya. Digubuk itu jugalah ia menghidupi abang-abangya. Di gubuk tersebut terdapat sebuah batu lebar, di batu tersebutlah ia meluruskan kakinya untuk menenun. Dan di gubuk itu pula abang-abangnya menyampaikan keinginannya kepada Deang Namora, agar Deang Namora menyampaikan keinginan abang-abangnya yang ditujukan kepada Raja Silahisabungan. Deang Namora yang lebih dipercaya meminta kepada Raja Silahisabungan dan untuk menyampaikan keinginan abang-abangnya. Di gubuk itu pula Deang Namora
10
meninggal dunia, karena sakit hati mengetahui adiknya Tambun Raja diberangkatkan ke Balige. Sampai saat ini, jika keturunan Raja Silahisabungan ingin meminta sesuatu maka diletakkanlah pisang, ayam putih dan sirih. Makanan yang manis dan lembut itu diberikan bertujuan jika Deang Namora marah, menjadi lemah lembutlah hatinya. Setelah nasehat dinyatakan, Raja Silahisabungan kembali berpikir untuk hari esok, untuk melengkapi sagu-sagu marlangan. Akan bagaimana lagi anakanaknya jika tumbuh perkelahian, ia teringat kembali kelakuan anak-anaknya dulu. Berpikir dan berdoalah Raja Silahisabungan apa yang akan hendak ia buat esok hari agar anak-anaknya takut melakukan yang tidak baik, yang tidak akan melakukan dosa di hadapan Tuhan Maha pencipta. Maka diciptakanlah Batu Sigadap, setelah itu dipanggillah seluruh anak-anaknya dan dijejerkanlah dihadapan Batu Sigadap. Batu Sigadap tersebut telah di doakan berdasarkan kuasa Tuhan, dan dikuatkan oleh Tuhan. Batu tersebut terdiri dari dua buah batu, satu jonjong (berdiri) dan satunya lagi gadap (tergeletak). Dan dinyatakanlah kepada seluruh anak-anaknya agar saling berterus terang. Siapa yang menyatakan kebenaran maka ia akan tetap benar seperti batu jonjong (berdiri), dan siapa yang salah ia akan mati seperti batu gadap (tergeletak). Hingga sekarang masyarakat Silalahi masih takut terhadap Batu Sigadap, mereka masih percaya terhadap kesaktian Batu Sigadap. Jika ada perkara atau yang hendak mencari kebenaran, maka orang tersebut akan dihadapkan ke Batu Sigadap dan ditempat itulah mereka meletakkan sirih dan menyatakan pengakuan. Siapa yang salah tetapi tidak mengaku salah, ia akan gadap (tergeletak) dan bisa saja akan terkena imbas kepada keturunannya. Setelah Raja Silahisabungan menciptakan keseluruhannya, ia pun meninggal dunia. Raja Silahisabungan meninggal di depan tugu (monumen). Di depan tugu tersebut adalah air tempat pemandian Raja Silahisabungan. Karena ia mengetahui ia akan meninggal dunia, maka di air tersebutlah mas dan uang yang dibungkus dalam kain ditenggelamkan. Ditempat pemandian itu dilarang untuk bercanda dan sampai sekarang banyak keturunan marga Silahisabungan yang meminta
sesuatu
ke
tempat
pemandian
11
Raja
Silahisabungan
tersebut.
Diletakkanlah
sirih
dan
jeruk
purut,
dan
mandilah
keturunan
marga
Silahisabungan tersebut membersihkan diri dan meminta kesehatan.
PEMBAHASAN Nilai Budaya dalam Cerita Kekerabatan Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu (Hula-hula, dongantubu, boru). Hubungan kekerabatan dalam hal ini terlihat pada tutur sapa baik karena pertautan darah, solidaritas marga, martandang
dan segala yang berkaitan dengan hubungan
kekerabatan karena perkawinan. Dalam cerita Batu Sigadap, terdapat tokoh-tokoh seperti ayah, ibu, anak dan saudara-saudara
yang mencakup hubungan
kekerabatan. Nilai kekerabatan dalam legenda “Batu Sigadap” terdiri dari lima persitiwa tuturan. Pertama, solidaritas tolong menolong yang dilakukan oleh Raja Silahisabungan kepada calon istri keduanya Boru Nairasaon. Kedua, Raja Silahisabungan menghormati ayah Boru Nairasaon, sehingga ia meminta persetujuan terlebih dahulu untuk menikahi Boru Nairasaon. Ketiga, ketika Boru Nairasaon
memiliki
seorang
kekasih
sebelum
menikah
dengan
Raja
Silahisabungan. Keempat, pada saat Raja Silahisabungan memberangkatkan anak dari istri keduanya menemui pamannya. Kelima, ketika anak-anak Raja Silahisabungan sudah akur. Religi Religi mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang, kemudian yang mengatur hubungannya dengan maha pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya. Orang Batak boleh dibilang sangat religius. Dalam kepercayaan religi Batak, leluhur adalah perwakilan dari debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Maha Pencipta) di dunia. Dengan menghormati nenek moyang, berarti juga menghormati Tuhan.
12
Hubungan adat yang berwujud pemujaan terhadap Debata Mula Jadi Nabolon dengan religi yang telah masuk kedalam masyarakat Batak Toba, yang sebagian besar adalah Kristen Protestan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat batak Toba. Pengormatan terhadap Debata Mula Jadi Nabolon juga terlihat dari pembangunan tugu yang diciptakan oleh masyarakat Batak toba. Di Silalahi sendiri didirikan tugu Silalahi tempat makam Raja Silahisabungan yang cukup mewah. Nilai religi dalam legenda ”Batu Sigadap terdapat tiga peristiwa tutur. Doa merupakan jalan untuk memohon kepada sang pencipta. Dalam legenda ”Batu Sigadap”. Tuturan pertama, Raja Silahisabungan dan keluarga mengadakan upacara sambil berdoa kepada Tuhan Maha Pencipta dihadapan Sagu-Sagu Marlangan. Tuturan kedua, agar menjauhi larangan Tuhan. Untuk mengantisipasi perilaku anak-anak Raja Silahisabungan agar tidak melakukan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, Raja Silahisabungan menciptakan ” Batu Sigadap”. Tuturan ketiga, Raja Silahisabungan kembali mendoakan ” Batu Sigadap” Hagebeon Orang sangat menghargai orang yang memiliki banyak anak dan berumur panjang. Dahulu semakin banyak anak, dianggap semakin kaya seseorang. Kehadiran anak dianggap sebagai generasi penerus orang tuanya, yang akan membawa nama keluarga dikemudian hari. Dalam prinsip hagabeon, disebut juga dengan prinsip saurmatua, yaitu seseorang yang mati sempurna pada saat dia tua dengan anak-anak yang sudah menikah dan memiliki banyak cucu. Nilai Hagabeon ( banyak anak) terdapat dua perstiwa tutur. Pertama, Raja Silahisabungan memiliki tujuh orang anak dan satu putri dari istri pertamanya, boru Padang Batanghari. Kedua, disebutkan Raja Silahisabungan memiliki satu orang anak dari istri kedua. Uhum (Hukum ) Sebelum adanya hukum formal seperti sekarang, masyarakat Batak Toba menganut hukum tradisional yang berkaitan dengan hukum adat. Harahap & Siahaan (1987:166) juga mengatakan hukum tradisional mengandung makna religi dan kesadaran hukum formal. Hukum tradisonal adalah aturan yang datang
13
dari Debata Mula Jadi Nabolon melalui nenek moyang hula-hula, yang mengatur kehidupan manusia dengan manusia dan alam sekitarnya, sekaligus mengatur hubungan manusia dengan roh nenek moyang dan Debata Mula Jadi Nabolon. Selain bersumber dari uhum adat yang berlaku dikalangan masyarakat, Uhum juga ditetapkan oleh kepala-kepala suku atau raja-raja adat setempat. Dalam cerita Batu Sigadap makna hukum sangatlah kuat. Batu Sigadap berlaku bagi masyarakat Silalahi tidak lain sebagai penghakiman terakhir yang melakukan pelanggaran. Nilai hukum terdapat dua perstiwa tutur. Tuturan pertama menyebutkan hukuman orang jahat yang hendak masuk Silalahi akan berputar-putar di sekeliling Pagar. Tuturan kedua menyebutkan orang yang bersalah akan mendapat hukuman mati dihadapan “Batu Sigadap”. Konflik Menurut Harahap, konflik dipandang dari sudut lain, merupakan komponen yang penting dalam proses sosialisasi orang Toba. Proses melibatkan atau dilibatkan dalam suasana konflik, mendidik orang toba menjadi orang yang terbuka. Hal ini dapat dipahami, karena hampir tidak ada konflik yang disembunyikan. Berkonflik dalam masyarakat Toba bukanlah suatu aib Nilai konfik dalam legenda ”Batu Sigadap” terdapat tiga peristiwa tutur. Pertama, kemarahan marga Sianturi mengetahui boru Nairasaon telah menikah. Kedua, Kebencian anak-anak Raja Silahisabungan terhadap saudara tirinya yang dimanja oleh Raja Silahisabungan. Ketiga, adanya saudara tiri, menimbulkan seringnya perkelahian. Hamoraon (kekayaan) Harahap menyatakan bahwa hamoraon merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak. Secara lebih luas hamoraon merupakan tujuan hidup untuk menyejahterakan dan menjadi sumber penting otoritas. Kekayaan dianggap sebagai lambang keberhasilan seseorang dalam menjalani hidup. Dengan kekayaan, ia bisa mengangkat status sosial dirinya di mata keluarga.
14
Nilai hamoraoan juga disebutkan sebagai pemicu bagi orang Batak untuk meraih kehormatan diri dan keluarganya. Nilai Hamoraon terdapat dua perstiwa tutur. Yang pertama, Raja Silahisabungan adalah pemilik tanah Silalahi. kedua, Raja Silahisabungan memiliki banyak uang dan emas. Hasangapon (arif dan bijaksana) Istilah hasangapon bagi masyarakat Batak Toba adalah pemberi kearifan dan kebijaksanaan. Seseorang akan dikatakan sangap jika ia mampu bersikap arif dan bijaksana dalam menyelesaika konflik atau masalah Nilai
Hasangapon
terdapat
dua
peristiwa
tutur.
Pertama,
Raja
Silahisabungan meminta kepada anak-anaknya agar menuruti nasehatnya. Kedua, anak-anak Raja Silahisabungan lebih mempercayai saudara perempuan mereka untuk mewakilkan permintaan kepada sang ayah. Pengayoman (Pelindung) Kehadiran pengayom dalam kehidupan orang Toba sangat diperlukan. Pengayom adalah pemberi kearifan, pemberi kesejahteraan, pelindung yang ditaati, pencipta ketentraman batin. Pengayom hanya diperlukan pada saat-saat yang kritis, misalnya ketika yang diayomi mengalami penderitaan baik lahir maupun batin Nilai pengayoman terdapat satu peristiwa tutur, yaitu pada saat anak Raja Silahisabungan mengadu kepada istri pertama Raja Silahisabungan.
Relevansi Legenda Batu Sigadap dengan Nilai Budaya Masyarakat Silalahi Dewasa ini. Legenda Batu Sigadap sangat relevan atau berhubungan dengan pola hidup masyarakat Silalahi. Hal ini dapat dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap cerita legenda tersebut. Masyarakat Silalahi meyakini kebenaran cerita Batu Sigadap. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam legenda Batu Sigadap tidak terlepas dengan pola budaya masyarakat dewasa ini. Masyarakat Silalahi juga menganggap bahwa cerita itu ada dan benar-benar terjadi, dari keyakinan
15
inilah lahir kepercayaan atau nilai-nilai yang bersifat religius, sehingga masyarakat Silalahi mempercayai dan meyakini adanya kekuatan-kekuatan supranatural yang dilahirkan cerita tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dari seorang ahli budaya Silalahi, Efendi Silalahi (50 tahun) kebanyakan pihak yang bertikai akan menolak dibawa ke Batu Sigadap karena masih mempercayai kekuatan didalamnya dan memilih menyelesaikan
masalah
berdasarkan
kekeluargaan
daripada
menerima
konsekwensi yang berat.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam cerita lisan legenda Batu Sigadap terdapat delapan nilai utama budaya Batak Toba, Nilai kekerabatan terdapat lima peristiwa tutur, religi tiga peristiwa tutur, konflik tiga peristiwa tutur, hasangapon dua peristiwa tutur , hagabeon dua peristiwa tutur, hamoraon dua peristiwa tutur, hukum dua peristiwa tutur dan pengayoman satu peristiwa tutur, legenda Batu Sigadap juga masih sangat relevan terhadap masyarakat Silalahi. Mereka masih sangat mempercayai kekuatan Batu Sigadap, sehingga memilih menyelesaikan masalah secara kekeluargaan daripada diperhadapakan pada Batu Sigadap, nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerita Batu Sigadap juga tidak terlepas dengan pola budaya yang dianut oleh masyarakat Silalahi. Nilai-nilai budaya yang ada dalam legenda Batu Sigadap masih diterapkan dalam kehidupan masyarakat Silalahi, dan itu sebabnya Batu Sigadap dikeramatkan oleh masyarakat Silalahi.
DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 1986. Folkor Indonesia Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Grafitipers Endraswara, Suwardi . 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Caps Harahap, B.H. dan Hotman M Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar
16
Moleong, Lexy. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2010. Melayu Pesisir dan Batak Toba Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia ____2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Suatu Pendekatan Sejarah, Antropolgi Budaya Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang Sutrisno, Mudji. 2008. Filsafat Kebudayaan Ikhtiar Sebuah Teks. Penerbit: Hujan Kabisat Tinambunan, T.Raman, dkk. 1996. Sastra Lisan Dairi Inventarisasi dan Analisis Struktur Prosa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pemngembangan Bahasa Sumber Lain Edward Silalahi, Sejarah Silalahi, Error! Hyperlink reference not valid., 06/12/2012 Hogasipayung, Sejarah Batu Sigadap, http://hogasipayung.blog.com/2011/10/08/ompu-raja-silahisabungan-yangvisioner/, 06/11/2012 Nurelide. 2006. Menelusuri Makna Simbolik Budaya Batak Toba Dalam Sastra Lisan Batak Toba Tinjauan Antropologis dan Semiotik. (Pada Penelitian Mandiri) Medan: Pusat Bahasa ____2007. Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba Dalam Cerita Sigalegale Telaah Cerita Rakyat Dengan Pendekatan Antropologi Sastra. (Tesis) Semarang: Universitas Diponegoro
17