NILAI-NILAI RELIGI DALAM SASTRA LISAN DAYAK KENINJAL Oleh: H. Martono Abtrak: Religi suku Dayak Keninjal merupakan usaha masyarakat Dayak Keninjal untuk mencari hubungan dengan Tuhan. Mereka percaya bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Hidup mereka diatur oleh-Nya. Selain percaya kepada Tuhan. Mereka juga percaya kepada “Sebayat” yaitu roh nenek moyang suku Dayak Keninjal. Kata Kunci: Nilai Relegi, Sastra lisan, Dayak Keninjal. Pendahuluan Sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan. Sebagai gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum terpelajar. Menurut Tuloli (1991:1), isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut. Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan merupakan suatu bentuk pernyataan kehidupan masyarakat di masa lampau yang diwariskan secara turun-temurun kepada masyarakat pendukung secara lisan. Menurut Teeuw (1994:22), ada hubungan langsung antara kelisanan dalam kebudayaan tradisional dengan rasa kolektivitasnya yang kuat, di mana anggota-anggota masyarakat bersama-sama mempunyai informasi yang relevan untuk kelangsungan hidupnya, baik sebagai individu, maupun sebagai masyarakat seluruhnya. Dalam masyarakat semacam ini tukang cerita mempunyai peran yang sangat penting, sebab dalam cerita yang dia pentaskan atau disampaikan tersimpan informasi dan sistem nilai
yang langsung relevan untuk masyarakat yang bersangkutan. Menurut Berry (1999:103), nilai tampak sebagai ciri individu dan masyarakat yang relatif lebih stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya. Menurut Sukamto dkk. (1998), kebudayaan yang baik harus dilestarikan oleh masyarakat pemiliknya. Kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan manusia dalam masyarakat atau golongan tertentu yang dianggap lebih tinggi atau yang diinginkan. Kebudayaan milik bersama warga suatu masyarakat. Aspek-aspek kehidupan masyarakat meliputi cara berprilaku, berkepercayaan, bersikap, dan memiliki persamaan hingga dapat dibedakan dengan masyarakat lain. Menurut Bascom (dalam Danandjaya, 1991:19), fungsi sastra lisan adalah; (a). sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; (b). sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (c). sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device); dan (d). sebagai
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sastra lisan mempunyai fungsi penting dalam kehidupan sebab dapat mencerminkan kehidupan masyarakat dan untuk menanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri. Sastra lisan Daya Keninjal juga memiliki peranan. Peranan sastra lisan Dayak Kaninjal sangat besar. Peranan Sastra lisan Dayak Keninjal tidak hanya sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan bagi penuturnya, melainkan juga sebagai alat untuk pemelihara norma-norma masyarakat. Sastra lisan Dayak Keninjal banyak membicarakan norma-norma hukum, norma agama, norma sopan santun, dan norma kesusilaan. Norma-norma tersebut selalu dipelihara dan dipatuhi oleh Suku Dayak Keninjal. Dalam kehidupan bermasyarakat norma-norma tersebut sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku Dayak Keninjal. Suku Dayak Keninjal tanpa kecuali mempunyai kewajiban yang sama untuk menaati segala aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku, demi terselenggaranya kehidupan yang aman, sejahtera, damai, dan berkeadilan. Setiap masyarakat Suku Dayak Keninjal tunduk pada normanorma yang ada dan hidup sesuai dengan ketentuan norma tersebut. Apabila ada anggota masyarakat Suku Dayak Keninjal yang mengambil barang orang lain, orang itu dihukum adat. Orang yang berhak menghukumnya adalah kepala suku atau orang yang dituakan di kampung itu. Pembicaraan tentang nilainilai religi yang terdapat dalam sastra
149
lisan Dayak Keninjal pada penelitian ini dinilai perlu. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di dalam sebuah karya sastra akan direpleksikan nilai-niali religi yang dianut oleh si pemilik cerita. Hal ini terjadi karena nilai-nilai religi yang dianut oleh pencerita secara sadar maupun tidak sadar akan dituangkan di dalam cerita dalam upayanya membentuk satu kesatuan isi cerita. Berdasarkan kenyataan itulah, masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nilai-nilai religi dalam sastra lisan Dayak Keninjal ? Berdasarkan masalah itu, penelitian ini akan mendeskripsikan nilai-nilai religi yang terdapat dalam sastra lisan Dayak Keninjal. Kerangka Teori Sistem Religi dalam Suku Dayak Keninjal Menurut Swingwood (dalam Junus, 1984), sastra adalah cermin masyarakat, atau cerminan suatu zaman. Satra adalah refleksi sodial, atau dengan kata lain sastra merefleksikan kehidupan itu sendiri. Suku Dayak Keninjal hampir 100% beragama Kristen Protestan. Agama Kristen Protestan yang masuk ke dalam Suku Dayak Keninjal disebarkan oleh para misionaris Belanda. Sebelum masuk agama Kristen Protestan, Suku Dayak Keninjal memiliki kepercayaan. Agama mereka adalah animisme dan dinamisme. Ada nama-nama dan tempat-tempat yang diagungkan oleh suku Dayak Keninjal. a. Yang Mendiami Alam Atas Alam atas dalam istilah Suku Dayak Keninjal disebut “Sebayat”, penguasa udara atau alam atas disebut dengan “Soma Bujangga”.
150
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
b. Yang Menguasai Tanah Menurut kepercayaan suku Dayak Keninjal bahwa tanah dikuasai oleh “Piyang Gana” yang merupakan roh penguasa pertanian. Oleh karena itu, masyarakat suku Dayak Keninjal jika akan mebuka ladang harus memberi “sesaji” dan penyembahan kepada penguasa tanah yaitu “Piyang Gana”. c.
Yang Menguasai Alam Bawah Air Air menurut suku Dayak Keninjal ada yang menjaganya. Roh yang menjaga air disebut “Diba Duwata”. Roh penguasa air sering dipuja saat suku Dayak Keninjal memohon kesuburan tanah, dan memohon hujan disaat musim kemarau. Suku Dayak Keninjal juga percaya kepada roh-roh nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Roh nenek moyang mereka disebut oleh Suku Dayak Keninjal dengan sebutan “Sebayat”. Istilah Sebayat juga dipakai oleh Suku Dayak Keninjal sebagai alam kekal atau surga bagi orang yang meninggal dunia. Arwah orang yang telah meninggal dunia akan berada di alam kekal. Suku Dayak Keninjal juga percaya bahwa roh orang yang telah meninggal akan mendiami Bukit Saran. Nenek moyang dan kaum kerabat yang telah meninggal dunia rohnya dapat dipanggil dan dimintai pertolongan bagi kaum keluarga yang masih hidup. Untuk memanggil rohroh tersebut disediakan tempat untuk pemujaan seperti di pohon-pohon besar, batu-batu besar, ataupun dalam bentuk patung yang disebut oleh suku
Dayak Keninjal dengan istilah “Temaduk”. Roh-roh nenek moyang Suku Dayak Keninjal disimpan. Tempat menyimpan roh-roh tersebut dibuatkan suatu tugu yang disebut “Sandung/Sanduk”, “pantar”, “Tambak”. Waktu pembuatan tempat roh-roh tersebut dilakukan dengan upacara sakral. Pelaksanaan upacara itu harus disediakan sesaji untuk para leluhur nenek moyang Suku Dayak Keninjal. Sesaji beras ketan dan kepala babi atau kepala sapi. Pemujaan yang dilakukan oleh Suku Dayak Keninjal terhadap roh nenek moyang mereka yang telah meninggal tidaklah berdiri sendiri atau terlepas dari rentetan keilahian dan pemujaan ilahi tertinggi. Semuanya termasuk dalam struktur religius suku Dayak Keninjal. Pemujaan terhadap roh nenek moyang maupun terhadap ilah-ilah, semuanya mempunyai hubungan erat dengan keilahian tertinggi yakni “Alah ta’ala” (Idayani, 1995: 211). Suku Dayak Keninjal sangat takut dengan penguasa alam dan rohroh nenek moyang mereka. Mereka yakin untuk membuka ladang, maupun rumah panjang, atau upacara apa saja (misal panen padi) harus memyediakan sesaji kepada “Piyang Gana”, “Diba Duwata”, “Soma Bujanga” yang mereka sembah dan mereka yakini ada. Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ini adalah rancangan deskriptif kualitatif. Dengan rancangan model deskriptif kualitatif ini peneliti dapat memerikan tujuan penelitian secara objektif. Hal ini
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
karena; (1). menggunakan dokumen karya sastra (yang kemudian dijadikan sebagai sumber data) yakni Sastra lisan Dayak Keninjal yang pernah ditelilit oleh Sokamto dkk. (1997). Cerita yang akan digunakan sebagai sumber data adalah; {1}. Maseket(M), {2}. Tuan Si Ijau dongan Tuan Si Kuning (TH-TK), {3}. Abang Setingan (AS), {4}. Mambak Papa dongan Mia Zara (MPMZ), {Umpat Umak} (UU) (2). peneliti sebagai instrumen kunci (human reseach), (3). berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sikap hidup orang Dayak (sesuai masalah) yang terkandung dalam sastra lisan Dayak Keninjal. Agar analisis data mengenai atau lebih mendekati maka digunakan pendekatan sosiologi sastra (simak Damono, 1984) Pendekatan ini digunakan untuk melihat budaya suku Dayak Keninjal. Sastra lisan merupakan cermin kehidupan masyarakat pemiliknya. Analisis data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan hermeneutik. Hermeneutika Ricoeur (2003). Hermeneeutika Ricoeur diperluas oleh Thomson (1983) menjadi empat tahap yang harus dilakukan oleh penafsir: (1). tahap pemahaman (comprehension), (2). tahap pengudaran (penguraian) karya (explication), (3). tahap penjelasan (explanatoni), (4). tahap interpretasi (interpretation). Hasil Penelitian dan Pembahasan Niliai-Nilai Religi dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal Religi lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit baing). Menurut Fazer (dalam Koentjaraningrat,1992), religi adalah segala sistem perbuatan manusia
151
untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahlukmahluk halus seperti roh, dewa dsb. yang menempati alam). Religi merupakan sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural); serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan. Religi juga merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, Dewa atau mahluk halus yang mendiami alam gaib. Oleh karena itu, bagian ini melihat bagaimana sikap Suku Dayak Keninjal dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan masalah relegi. Menurut Andrew Lang (dalam Pritchard, 1984:20-21), penyembahan kepada roh nenek moyang sebagai kunci dari semua kepercayaan akan melihat roh nenek moyang yang telah ditingkatkan di dalam Jehovan (Tuhan di dalam kitab Perjanjian Lama), atau semacam Dewa etis yang melekat pada batu barangkali sebuah batu nisan kuno dari seorang penghulu padang pasir. Suku Dayak Keninjal menganggap kekuatan gaib adalah suci. Hal ini menunjukkan bahwa pada tataran paling sederhana nilai religius bisa hanya berkenaan dengan keterikatan manusia kepada kekuatan gaib yang dianggap suci. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal dibuatkan tugu yang disebut “sandung/sanduk”, “pantar”, “tambak”. Apabila akan membuat tempat pemujaan ini diperlukan suatu upacara yang sakral serta diikuti dengan sesajen beras ketan. Ini termasuk di dalam nilai religi.
152
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Hal-hal tersebut banyak direpresentasikan di dalam cerita sastra lisan Dayak Keninjal, seperti dalam cerita “Maseket”, “Tuan Si Hijau dengan Tuan Si Kuning”, “Abang Sentingan”, “Mambak Papa dan Mia Zara”, “Umpat Umak”. Unsur religinya adalah percaya kepada ahli nujum, percaya kepada takdir, percaya kepada mimpi, percaya kepada roh/benda gaib, percaya pertanda alam, bersyukur,. Di bawah ini dipaparkan unsur-unsur yang berhubungan dengan masalah relig 1.
Percaya kepada Takdir Menurut Prasetya (1998), takdir adalah kesadaran bahwa hidup manusia sejak semula dari segi titiktolak, kemungkinan-kemungkinan perealisasian diri dan pengakhirannya sudah ditetapkan dan tidak ada yang bisa mengelakkan ketetapan itu. Setiap orang mempunyai tempatnya yang spesifik yang sudah ditakdirkan baginya dan daripadanya ia tidak bisa pergi. Tempat itu ditentukan secara jelas melalui kelahiran, kedudukan sosial dan lingkungan geografis. Hidup dan mati, nasib buruk dan penyakit merupakan nasib yang tidak bisa dilawan. Suku Dayak Keninjal percaya bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Hidup manusia diatur oleh-Nya. Segala sesuatu yang terjadi dalam diri manusia harus disikapi sebagai takdir dari Tuhan, dan manusia harus menerimanya dengan pasrah. Manusia menjadi kaya atau miskin itu kehendak Tuhan/Dewa, tetapi manusia harus berusaha untuk memperoleh kebaikan. Untuk memperoleh kebaikan manusia harus berusaha dan bekerja keras. Sikap ini
sangat mendominasi kehidupan orang Dayak Keninjal dalam menghadapi segala peristiwa kehidupan seharihari. Ada ungkapan dalam suku Dayak Keninjal berkaitan dengan nasib, yaitu “Papa pulak kayu, ulot nyadi raja”, artinya nasib manusia sudah ditentukan Tuhan tetapi manusia harus kerja keras untuk mengubah nasib oleh karena itu seorang hamba atau budak belian akan dapat mengubah nasibnya menjadi raja. Apabila manusia sudah berusaha namun gagal atau belum tercapai tujuannya maka kita harus menerimanya. Sikap ini direpleksikan dalam sastra lisan Dayak Keninjal yang berjudul “Maseket,” “Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning,” “Abang Sentingan,” “Mambak Papa dan Mia Zara.” Sikap seperti ini tampak dalam diri Segagar Matai dalam cerita “Maseket”. Segagar Matai sekeluarga akan dipancung berdiri oleh Raja Dengki jika tidak dapat membuat mahligai dengan intan sebesar buah kundur sebagai antaran Maseket melamar Putri Miloh. Menurut Segagar Matai itu adalah nasib yang harus mereka terima . Dari kutipan dibawah ini dapat diketahui bahwa Segagar Matai percaya kepada Takdir. Bagaimana Pak pinangan kita?” Tanya Maseket. “Oh … nasiblah kita sekeluarga, tiga hari lagi kita akan dipancung berdiri, kecuali jika kamu dapat membuat mahligai dengan intan sebesar buah kundur”. “Apa boleh buat, jika memang demikian, tapi biarlah aku yang lebih dahulu mati”. “Jika kamu mati, akupun akan ikut mati, jika memang mereka mau membunuh kita, ya
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
bunuh saja, mungkin ini garis hidup kita”, ujar Segagar Matai ( M). Sikap ini juga dimiliki oleh Maseket. Maseket yakin bahwa nasib baiklah yang mempertemukan dia dengan Pinang Mansak (adiknya). Telah banyak cobaan yang dilaluinya. Sekarang mereka telah hidup enak. Kutipan di bawah ini menunjukkan Maseket yang percaya kepada takdir. Sampai pada bulan ke tiga setelah pernikahan, Maseket berkata kepada adiknya, “Kita berdua sudah lama terpisah, nasib baiklah yang mempertemukan kita di sini, aku dituduh mencuri dan dibuang ke sungai, hidup dengan hantu, hanyut lagi ke sungai ketika aku mencoba kemari, ditelan ikan kemudian ditolong oleh Segagar Matai, jadi aku sekarang sudah beristri dan kaupun sudah bersuami, hidup kita juga sudah enak, “Itu lebih bagus, sebaiknya memang demikian, jika orang tua kalian masih hidup maka bawalah kemari”, sela Segagar Matai (M). Dalam cerita “Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning” sosok tokoh Marak Kerena memiliki sikap percaya kepada takdir. Marak Kerena dan masyarakat di kampung sudah mencari adiknya yang hilang. Mereka mencari sepanjang sungai, keseluruh kampung, dan pelosok rimba, tetapi adik Marak Kerena tidak ditemukan. Usaha mereka sia-sia, Marak Kerena menganggap bahwa ini adalah takdir yang harus ia terima. Sikap pasrah ini dipahami sebagai suatu sikap yang harus diambil setelah berusaha namum hasilnya belum memuaskan, oleh karena itu harus diterima sebagai takdir Tuhan/Dewa. Kutipan di bawah ini mengungkap sikap Marak Kerena percaya kepada takdir.
153
Maka dibunyikanlah gong tanda pencarian dimulai. Dicari ke sepanjang sungai, keseluruh kampung dan pelosok rimba. Tetap juga si bungsu tidak ditemukan. “Apa boleh buat jika memang tidak ditemukan, adikku pasti dibawa oleh orang yang memakai celana hijau dan membawa ayam hijau yang sering datang kemari”’ ujar Marak Kerena, maka pencarianpun dihentikan (TH-TK). Sikap percaya kepada Takdir juga dimiliki Tatai dalam cerita “Abang Setingan”. Tatai pasrah bahwa ia belum saatnya melahirkan walaupun sudah sembilan bulan kandungannya. Tatai merasa bahwa belum waktunya dan belum ada tanda-tandanya ia akan melahirkan. Sikap ini juga dimiliki oleh Mpuning dan Buku Tobu. Sikap tokoh di atas dapat diketahui dari kutipan di bawah ini. Saat itu Tatai istri Pak Deah sedang hamil, dua bulan, tiga bulan, empat bulan sampai sembilan bulan belum juga melahirkan. “Apa sebab demikian, sudah sembilan bulan belum juga melahirkan”. “Aduh … aduh Pak Deah, saya belum saatnya melahirkan, belum juga sakit perut”. “O…, Iya”, jawab Pak Deah. “Iya, belum saatnya Tantai melahirkan, belum waktunya bayi itu keluar”, ujar Mpuning Bangku Tebu yang saat itu sedang bertandang ke rumah mereka. (AS). Berdasarkan analisis data tampak bahwa Suku Dayak Keninjal percaya akan takdir. Semua yang terjadi pada diri manusia harus disikapi sebagai takdir dari Tuhan/Dewa, tetapi manusia wajib berusaha memperbaiki atau meningkatkan nasib yang dialaminya dengan cara berusaha. Apabila usaha
154
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
yang dilakukan sia-sia atau gagal maka harus mendekatkan diri kepada pencipta. 2.
Percaya kepada Ahli Nujum Nujum diartikan perbintangan untuk meramalkan (mengetahui) nasib orang dsb. Nujum adalah usaha untuk memperoleh informasi mengenai hal-hal di masa mendatang atau hal-hal yang luput dari pengamatan biasa, dengan meminta bantuan kepada informan yang bukan manusia (Danamony, 1995:61). Ahli nujum adalah orang yang ahli/pandai dalam meramal nasib orang. Mereka pandai karena memiliki pengetahuan dan ilmu untuk menyembuhkan penyakit dalam masyarakatmasyarakat lokal. Suku Dayak Keninjal sangat percaya kepada ahli nujum karena dianggap pandai dalam meramal, oleh karena itu mereka selalu pergi ke ahli nujum/dukun jika akan melihat nasib mereka di masa akan datang, selain itu ahli nujum dianggap pandai mengobati orang sakit. Sampai sekarang masih dijumpai pengobatan orang sakit yang dilakukan oleh balien atau dukun (Anyang, 1998:70). Ilmu dukun biasanya mempergunakan banyak ilmu gaib, tetapi disamping itu para dukun seringkali juga mempunyai pengetahuan yang luas tentang ciri-ciri dan sifat tubuh manusia, tentang letak dan susunan urat (Kontjaraningrat, 1992: 287). Keberadaan balien ini berkaitan dengan adanya anggapan pada orang Dayak Keninjal bahwa penyakit kebnayakan ditimbulkan oleh roh halus yang dikatakan suka menangkap jiwa manusia. Ahli nujum selalu membaca mantra saat mengobati orang sakit. Mantra-
mantra yang dibaca oleh ahli nujum dianggap mengandung kekuatan. Menurut Pritchard (1984:53), ritual magis dan mantera-mantera orang primitif secara psikologis berhubungan dengan perbuatanperbuatan kesurupan dan rumusanrumusan yang melindungi neurotik. Mantra menurut Suku Dayak Kenunjal disebut “cuca doa”, lebih khusus lagi disebut “berayah” untuk belian, dan “nyengkolat” untuk mantra perkataan nikah. Seorang nujum saat meramal seseorang juga melihat tanda-tanda fisik dan pengetahuan tentang tanda-tanda yang ada pada fisik seseorang dikaitkan dengan nasib (baik buruk) yang akan diterimanya. Menurut Hulter (dalam Anyang, 1998:52), meskipun sudah Katolik, Protestan, atau Islam, kepercayaan orang Dayak pada dukun belum hilang seluruhnya. Kepercayaan kepada ahli nujum direpresentasikan di dalam sastra lisan Dayak Keninjal. Dalam sastra lisan Dayak Keninjal yang berjudul “Maseket” tercermin sikap percaya kepada ahli nujum. Sikap ini dapat dilihat dari sikap tokoh ayah dan ibu Maseket. Ayah dan ibu Maseket merasa kecewa dengan nasibnya. Mereka ingin hidup enak dan kaya. Sudah bosan makan sayur pakis, rebung dan daun-daunan kayu lainnya. Oleh karena itu untuk melihat nasib mereka, kedua suami istri tersebut bertanya kepada ahli nujum. Sikap ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. “Oi ... Nujum ! Tolonglah lihat nasib hidup kami, apakah pekerjaan yang sesuai untuk untuk kami kerjakan, sudah puas rasanya kami hidup miskin, makan hanya dengan sayur pakis, rebung dan daun-
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
daun kayu lainnya, apakah yang membawa sial dalam hidup kami serumah?” Jika kamu ingin hidup enak dan kaya, maka kamu harus mau membuang kedua anakmu karena kedua anakmu itulah yang mambawa sial dalam kehidupan tanggamu, jika keduanya tidak dibuang maka hidupmu akan tetap seperti ini. “Anak kita memang harus diusir, karena itulah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib hidup kita sekeluarga”. “Terserahlah jika memang harus diusir, aku menyerah saja”, jawab si istri lagi (M). Berdasarkan analisis data di atas, Suku Dayak Keninjal dapat dikatakan sangat percaya kepada seorang Nujum. Mereka yakin bahwa Nujum dapat melihat nasib mereka di masa yang akan datang, dan nujum juga menurut mereka dapat menyembukan orang sakit karena memiliki kesaktian. 3.
Percaya kepada Mimpi Menurut Taylor (dalam Koentjaraningrat, 1992), asal mula religi adalah kesadaran manusia akan paham jiwa. Kesadaran akan paham itu disebabkan oleh dua hal yaitu: (a). Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Suatu mahluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tak lama kemudian mahluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati; (b). Dalam mimpinya manusia melihat dirinya ditempat-tempat lain daripada tempat tidurnya. Manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada ditempat tidur dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat.
155
Suku Dayak Keninjal percaya kepada mimpi. Mimpi merupakan sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur. Bermimpi berarti melihat, (mengalami) sesuatu dalam mimpi. Pesan yang ada dalam mimpi dianggap mendatangkan keuntungan/ kebaikan atau sebaliknya. Mimpi/wangsit merupakan pesanpesan gaib yang di dapat saat tidur. Pesan-pesan gaib tersebut kadangkadang berupa petunjuk untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Pesanpesan gaib menurut mereka (suku Dayak Keninjal) bisa diperoleh melalui roh-roh leluhur/keluarga. Mereka yakin bahwa roh nenek moyang mereka dapat dimintai pertolongan atau memberi pertolongan tanpa diminta. Oleh karena itu, nilai ini direpleksikan dalam cerita “Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning,” dan dalam cerita “Mambak Papa dan Mia Zara.” Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal, tokoh Marak Kerena dalam cerita “Tuan Si Hijau dengan Tuan Si Kuning” sangat percaya kepada mimpi. Marak Kerena hidupnya sangat miskin. Ia memiliki dua orang adik. Mereka menderita miskin sejak kedua orang tua mereka meninggal. Marak Kerena bermimpi bertemu dengan ayahnya. Ayahnya berpesan agar Marak Kerena memancing di tempat permandian. Pesan ayahnya dalam mimpi dilaksanakan keesokan harinya. Ia mendapat ikan satu, dua ekor. Sikap ini tersirat dalam kutipan di bawah ini. Dalam tidurnya Marak Kerena bermimpi bertemu dengan ayahnya. “Cobalah besok kalau memancing, kamu memancing di tempat pemandian orang”, ujar ayahnya dalam mimpi. Keesokan harinya,
156
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
seperti yang dikatakan dalam mimpi ia memancing ke tempat yang dikatakan ayahnya, dapatlah ia satu ekor, dua ekor. Kemudian haripun gelap maka Marak segera pulang. (TH-TK) Marak Kerena tidak hanya satu kali bermimpi bertemu ayahnya. Dalam mimpinya, ayah selalu berpesan kepada Marak Kerena. Mimpi kali ini ayahnya bertanya kepada Marak Kerena “Mengapa dia menjual ikan yang telah diberi oleh ayahnya ?” Dalam perut ikan terdapat cincin yang dapat mengubah nasib Marak Kerena. Dalam mimpi saat itu ayahnya menyuruh Marak Kerena mengambil kembali ikan seluang yang telah dibeli Si Nujum. Setelah terbangun dari mimpinya, Marak Kerena akan berusaha mengambil ikan seluang yang telah dibeli oleh Si Nujum. Sikap percaya kepada mimpi yang tercermin dalam diri Marak Kerena tersirat dalam kutipan di bawah ini. Dalam tidurnya itu, kembali Marak Kerena bermimpi bertemu ayahnya. “Mengapa engkau menjual ikan yang telah kuberikan kepadamu. Aku sangat kasihan melihat nasibmu karena itulah aku memberimu cincin itu agar dapat mengubah nasibmu”, ujar bapaknya. Kamu harus berusaha mengambil kembali ikan seluang itu sebelum si nujum mengambil cincin yang ada di perut ikan itu”. “Baiklah besok akan kulaksanakan”, ujar Marak lagi. Setelah itu Marak terbangun, Ia menjadi sadar akan kekeliruannya, ia sangat menyesal, “Jika apakku dewa, umakku raja bawalah cincin itu kembali kepadaku” kata Marak Kerena sambil membaca mantra (TH-TK).
Marak Kerena bertemu kembali bersama ayah dan Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning dalam mimpinya. Dalam mimpi Marak Kerena mendapat pesan dari ayahnya agar menjaga cincin yang diberinya, karena cincin itu akan mengubah nasip Marak Kerena menjadi kaya dan terpandang. Mimpi kali ini Marak Kerena bertemu Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning yang mengambil adiknya yang dijadikan istrinya. Kedua adik iparnya itu berpesan kepada Marak Kerena jika memerlukan pertolongan mereka. Pesan ayah, Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning dilakukan oleh Marak Kerena. Untuk memanggil Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning, Marak Kerena hanya menaburkan beras di daratan dan di sungai masing-masing tujuh kali. Sikap ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Sebelum berangkat, malam harinya ia bermimpi bertemu ayahnya, dan tuan Si Hijau dan tuan Si Kuning. “Cincin yang sudah kau dapatkan itu jangan kau hilangkan, itu adalah napasmu, hidupmu dan dengan cincin itu kelak hidupmu akan jadi kaya dan terpandang’, ucap ayahnya dalam mimpi. “Kap janganlah susah dan bersedih, kedua adik Kap telah kami jadikan sebagai istri, yang pertama datang dulu adalah tuan Si Kuning dan yang kedua adalah tuan Si Hijau. Kami adalah dua bersaudara. Jika Kap membutuhkan pertolongan, taburkanlah beras di daratan dan di sungai masing-masing sebanyak tujuh kali”, ujar tuan Si Kuning dan tuan Si Hijau (TH-TK). Mambak Papa tokoh dalam cerita “Mambak Papa dan Mia Zara” juga memiliki sifat percaya kepada mimpi. Mambak Papa dalam mimpi
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
bertemu orang sakti. Orang sakti itu bertanya kepada Mambak Papa mengapa selalu bersedih. Mambak Papa menceritakan perihal hidupnya. Orang sakti di dalam mimpi Marak Kerena memberi jalan keluar. Saat menanam padi, istrimu disuruh duduk di gelanggang benih, setelah itu tikamlah kujur dibadanya. Kemudian seret jenazahnya mengelilingi ladangmu. Pesan orang sakti dilaksanakan oleh Mambak Papa tanpa berpikir panjang, karena ia yakin bahwa nasibnya akan berubah setelah ia melaksanakan petunjuk orang sakti dalam mimpinya. Sikap ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Keduanya bekerja seharian di ladang karena itu tertidur dengan pulas. Rupanya saat itu Mambak bermimpi. Ia bertemu dengan orang yang sakti dari alam gaib. “Apakah yang menjadi beban pikiranmu sehingga engkau nampak sangat susah ?”. “Kami suami istri ini jika berladang tidak pernah mendapatkan padi yang cukup, selalu merosot hasilnya. Suruhlah istrimu duduk di gelanggang benih, setelah istrimu duduk di sana kamu berpura-puralah menghampirinya, ketika sudah dekat dengannya tikamlah kujur di badannya”. “Apakah istriku tidak mati karena tikaman kujur itu ?” “Ia, pasti mati. Setelah ia meninggal angkatlah jenazahnya kemudian seretlah mayat itu mengelilingi humamu. Tetesan darah istrimu yang mengenai huma akan membuat ladangmu menjadi ladang yang subur”. “Untuk apa aku mendapatkan padi yang banyak, jika istriku meninggal ?” “Kamu jangan takut, kemudian istrimu dapat hidup lagi”, jawab si makhluk gaib.
157
Setelah berbicara dengan makhluk gaib dalam mimpinya, Mambak Papa terbangun. “Aku akan mencoba apa yang dipesankan oleh orang tadi, mudah-mudahkan dengan ini bisa mengubah nasib hidup keluargaku”, pikir Mambak (MPMZ). Sikap Mambak Papa yang percaya kepada mimpi juga terjadi lagi. Setelah istrinya hidup kembali dan mereka hidup kaya, Mambak Papa bermimpi. Dalam mimpinya Mambak Papa bertemu orang sakti. Orang sakti dalam mimpinya berpesan agar Mambak Papa menganti namanya dan nama istrinya. Nama Mambak Papa berarti miskin dan Mia Zara berarti sengsara. Oleh karena itu hidup suami istri itu selalu miskin. Mambak Papa harus diganti mambak Ponuh dan Mia Zara menjadi Mia Ada. Nama itu mengandung arti kalian berdua selalu penuh dan ada padi. Setelah bangung Mambak Kerena menganti namanya dan nama istrinya. Sikap ini tercermin dalam kitipan di bawah ini. Setelah kejadian itu, esoknya Mia Zara dibawa Mambak Papa melihat padi mereka yang subur luar biasa. Petang harinya mereka segera pulang. Pada malam itu Mambak Papa bermimpi lagi “Sekarang kalian berdua sudah hidup dengan layak, namamu Mambak Papa itu salah, karena Mambak Papa itu artinya miskin dan nama Mia Zara itu juga salah karena artinya sengsara. Itulah sebabnya keluargamu selalu hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Mulai sekarang namamu harus diganti dengan Mambak Ponuh dan Nama istrimu menjadi Mia Ada, nama itu mengandung arti kalian berdua selalu penuh dan ada padi” (MP-MZ).
158
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Suku Dayak Keninjal sangat percaya kepada mimpi. Mimpi menurut Suku Dayak Keninjal bukanlah sekadar sesuatu yang dialami waktu tidur yang tidak bermakna, akan tetapi mimpi adalah sesuatu yang sangat bermakna. Pesan roh leluhur mereka atau pesan orang sakti diyakini akan dapat mengubah nasib mereka. Mereka akan melakukan pesan yang diperoleh saat tidur. 4.
Percaya kepada Roh/Benda Gaib Menurut Marett (dalam Pritchard, 1984:43), orang-orang primitif mempunyai perasaan bahwa ada sesuatu kekuatan gaib pada orang-orang dan benda-benda tertentu, dan ada atau tiadanya perasaan inilah yang memisahkan antara yang suci (ukhrowi) dengan duniawi, dunia ajaib dengan dunia sehari-hari, dan suatu hal yang bersifat tabu bila antara kedua jenis dunia itu dipisahkan; dan perasaan ini adalah rasa “takwa”, suatu gabungan dari rasa takut, damba, kagum, tertarik, hormat, bahkan barangkali juga cinta. Senada dengan pendapat di atas, Koentjaraningrat (1992:240) menyatakan manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tak tampak, yang ada di luar batas pancaindranya dan di luar batas akanlnya. Dunia itu adalah dunia gaib atau supernatural. Mahluk dan kekuatan yang menduduki dunia gaib itu adalah: (a). dewa-dewa yang baik maupun jahat; (b). mahluk-mahluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain nya yang baik maupun yang jahat hantu dsb; (c). kekuatan
sakti yang bisa berguna maupun yang bisa menyebabkan bencana. Suku Dayak Keninjal mempercayai adanya kekuatan gaib, mereka percaya bahwa di alam atas “Sebayat” ada yang menguasainya yakni “Soma Bujangga” di tanah di kuasai oleh “Piyang Gana”, dan di air ada roh yang disebut “Diba Duwata”. Di samping roh-roh tersebut, suku Dayak Keninjal juga percaya kepada roh-roh nenek moyang “Sebayat” yang sudah meninggal. Roh dan benda-benda yang mempunyai kekuatan gaib selalu dimintai pertolongan. Ini menandakan bahwa Suku Dayak Keninjal percaya akan kekuatan-kekuatan pada benda-benda seperti pusaka, jimat. Ini tercermin dalam diri tokoh Maseket dalam cerita “Maseket”. Maseket minta kepada jogol cinta kini luak milik Inik Gragasi yang diambilnya. Ia minta dikirim bala bantuan tukang tempa dan tukang besi untuk membuat mahligai dan minta intan sebesar buah kundur. Maseket melakukan itu untuk memenuhi permintaan Raja Dengki. Maseket boleh menikah dengan Putri Miloh jika dapat membuat mahligai dan intan sebesar buah kundur. Kutipan di bawah ini memperlihatkan kepercayaan suku Dayak Keninjal terhadap roh gaib. Malam itu keluarga yang hanya menunggu nasib tidak dapat makan dan tidur. Si Maseket tiba-tiba teringat pada Jogol Cinta Kini Luak milik Inik Gragasi yang diambilnya dulu. Lalu ia membaca mantra, “Kalau umak aku raja, apak aku dewa, aku minta dikirim bala bantuan tukang tempa dan tukang besi untuk membuat mahligai, serta minta dikirimkan intan sebesar biji kundur” (M).
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
Sikap percaya kepada roh benda gaib juga dapat dilihat dari tokoh Marak Kerena dalam cerita “Tuan Si Hijau dengan Tuan Si Kuning”. Marak Kerana mengalami kesulitan. Cincin damadinya dan mahlagai milik putri Miloh dicuri Si Nujum. Marak Kerena merasa kuatir karena ia akan berperang melawan putra bungsu Raja Guruk Kencorak. Cincin damadi yang menjadi andalannya dicuri Si Nujum. Marak Kerena teringat pesan Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning. Kemudian ia menaburkan beras tujuh kali di darat dan tujuh kali di sungai. Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning datang menemui Marak Kerena. Sikap percaya kepada roh/benda gaib dapat dilihat dari kutipan di bawah ini. Marak sangat kesal, mengetahui barang-barang berharga tersebut hilang. “Bagaimana aku berperang nanti, cincin kesaktianku hilang aku harus berusaha menemukannya. Aku akan melakukan pesan Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning. Maka segeralah ia menaburkan beras, tujuh kali di darat dan tujuh kali di sungai. Seperti yang dipesankan, tiba-tiba “ngung… “Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning terbang dan menjumpai Marak Kerena. “Apakah kesulitan yang Kap hadapi kak ?” “Mahligai dan cincin damadi miliknya hilang dicuri nujum”. “Kami akan menolong untuk mencarinya, seorang mencari ke belakang langit, dan yang seorang lagi mencari ke dalam tanah” (TH-TK). Sikap ini di dalam masyarakat suku Dayak Keninjal sangat tampak. Di “botak banyak” rumah panjang yang mereka diami memiliki kekuatan. Kekuatan berada di atap rumah panjang. Kekebalan Suku
159
Dayak Keninjal yang berdiam di rumah panjang ini terletak “Manuk biring Kuning kukuk inik” yang berarti Ayam berbulu kuning, berkokok mengeluarkan suara inik”. Mereka yakin “Manuk biring Kuning kukuk inik” ini dapat melemahkan lawan dan tidak mempan senjata tajam. Marak Kerena tidak hanya satu kali memohon bantuan roh/benda gaib. Marak Kerena kembali memohon pertolongan sama Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning. Permohonan kedua ia lakukan saat berperang melawan putra bungsu Raja Guruh Kencorak. Marak Kerena belum dapat memenangkan peperangan itu. Tenaganya sudah terkuras, ia tersandar. Tiba-tiba ia teringat kepada Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning. Marak Kerena menaburkan beras tujuh kali di darat dan tujuh kali di sungai, maka muncullah kedua adik ipar Marak Kerena. Kutipan di bawah ini menggambarkan sikap Marak Kerena yang percaya kepada roh/benda gaib. Tiba-tiba ia teringat kepada Tuan Si Hijau dan Tuan Si Kuning, ditaburkannya beras tujuh kali di darat dan tujuh kali di sungai maka muncullah kedua adik ipar Marak Kerena. “Aduh … ! Aku mungkin mati, karena musuhku sangat kuat dan sakti”, Marek Kerena mengadu kepada kedua makhluk halus tersebut. Mendengar hal itu, Tuan Su Hijau dan Tuan Si Kuning segera menerjang ke kiri dan ke kanan, musuh dilalapnya tanpa terkecuali. (TH-TK). Sikap percaya kepada roh/benda gaib juga dapat dilihat dari sikap tokoh Abang Setingan dalam cerita “Abang Setingan”. Abang Setingan minta tolong kepada
160
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
roh/benda gaib melalui “jogol cinta kini luak “ yang dimilikinya. Orang yang memiliki jogol cinta kini luak bisa meminta apa saja dengan membaca mantra-mantran. Abang Setingan dilarang tidur di pondok Pangkat Osak. Ia hanya bisa makan dan tidur di tanah terpisah dari saudara-saudara yang lain. Akhirnya Abang Setingan mengambil jogolnya dan diambilnya tujuh batang bemban. Bemban itu ia dirikan, kemudian ia membaca mantra agar dibuatkan rumah yang lengkap dengan segala isinya. Sikap Abang Setingan tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Abang Setingan memiliki jogol cinta kini luak, segera diambilnya jogol tersebut, diambilnya pula tujuh batang bemban, didirikannya, kemudian ia membaca mantra. “Jogol cinta kini luak, tolonglah aku malam ini, jandikanlah bemban tujuh batang ini menjadi sebuah rumah, dinding papan, atap tebelian, lengkap dengan segala isinya, lengkap dengan ayam, babi, anjing, sapi, kerbau, rotan, akar”, Abang Setingan memejamkan matanya, maka setelah itu juga yang dimintanya telah tersedia di depan mata (AS). Keyakinan Abang Setingan terhadap jogol cinta inik luak yang dimilikinya tidak diragukan. Abang Setingan minta tolong lagi sama jogolnya. Saat Abang Setingan mencari kepala orang tua dan leluhur Putri Miloh yang berada di perkampungan orang di belakang langit. Abang Setingan dan Mpuning serta Buku Tobu tiba di naik “rampu tanah betali”. Disinilah mereka menginap. Abang Setingan minta dibuatkan rumah lengkap dengan
perabotan rumah tangga serta hewan ternak. Abang Setingan juga dibuatkan perahu. Ia minta tolong sama para roh gaib melalui jogol cinta inik luak. Kutipan di bawah ini menggambarkan kepercayaan Abang Setingan kepada roh/benda gaib. Diambilnya jobol cinta kini luak, ditancapkannya bemban ke tanah kemudian ia mengucapkan mantranya. Ia meminta agar dibuatkan rumah yang beratapkan tebelian, lantai tebelian, dinding tebelian, lengkap dengan segala perabotan dan ternak. Sekejap mata tersedialah semua barang yang disebut oleh Abang Setingan. “Uh, Abang ini macam-macam saja kepandaiannya”, ucap Mpuning dan Buku Tobu terkesima (AS). Berdasarkan data, tampak Suku Dayak Keninjal sangat yakin kepada roh/benda gaib yang dapat menolong manusia jika manusia memohon pertolongan darinya. Dalam cerita yang berjudul “Maseket,” “Abang Sentingan,” tokoh Maseket dan tokoh Abang Sentingan sangat percaya kepada benda gaib yang memiliki kekuatan. Maseket dan Abang Sentingan memiliki “Jogol Cinta Kini Luak” (jimat). Benda itu dianggap sakti, keramat, dan mempunyai kekuatan gaib oleh karena itu harus dipuja, diberi sesajen, dan dibungkus dengan kain kuning. 5.
Percaya Pertanda Alam Menurut Hand (dalam Danandjaya, 1991:155-156), takhayul dapat digolongkan menjadi empat golongan besar, yaitu: (1). takhayul di sekitar lingkungan hidup manusia; (2). takhayul mengenai alam gaib; (3). takhayul mengenai terciptanya
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
alam semesta dan dunia; (4). jenis takhayul lainnya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa takhayul di sekitar lingkungan hidup manusia dibagi ke dalam tujuh kategori (1). lahir, masa bayi, dan masa kanak-kanak; (2). tubuh manusia dan obat-obatan rakyat; (3). rumah dan pekerjaan rumah tangga; (4). mata pencaharian dan hubungan sosial; (5). perjalanan dan perhubungan; (6). cinta, pacaran, dan menikah; (7). kematian dan adat pemakaman. Takhyul menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya takhyul diwariskan melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (signs) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (result). Suku Dayak Keninjal juga mempercayai takhayul. Takhayul yang mereka yakini ada yang bersumber dari alam di sekitar mereka. Oleh karena itu, Suku Dayak Keninjal sangat memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Alam menurut suku ini memiliki kekuatan dan melambangkan keadaan. Mereka meyakini bahwa hidup manusia ini sangat bergantung pada kekuatan alam. Alam yang ada di sekeliling kita bisa memberi berkat dan perlindungan, tetapi alam juga bisa mengancam keselamatan hidup manusia. Oleh karena itu, manusia harus bersikap “hormat dan menjaga” alam, sebab alamlah yang menentukan keselamatan dan kehancuran manusia. Suku Dayak Keninjal percaya sebelum ke luar rumah mereka memandang dulu ke tanah dan ke udara. Memandang ke tanah untuk mengetahui tanda-tanda
161
yang diberikan oleh benda-benda yang ada di tanah. Jika ada ular, biawak, pelandung, suara kijang yang terlihat atau terdengar oleh panca indra mereka, maka diyakini akan terjadi sesuatu hal yang ditakuti. Demikian juga jika di udara terlihat burung “muas” berarti suatu duka cita akan dan sedang terjadi. Semua ini menentukan langkah yang harus diambil pada hari itu (Idayani, 1995). Dalam cerita “Umpat Umak” tokoh Mambak Kesasau dan ibunya sangat percaya pertanda alam. Mambak Kesasau yang kawin dengan Mia Barangah (burung barengah) mendengar pesan istrinya. Istrinya berpesan kepada Mambak Kesasau, jika akan berladang atau mencari tanah untuk bercocok tanam harus memperhatikan pertanda yang diberikan oleh burung. Ada burung gurap, irap, kutuk, kitik, embak, rayau, mereka semua adalah anakanak kita. Semua burung tersebut memiliki pertanda masing-masing. Selain itu jika akan mendirikan rumah maka harus menyiapkan sesaji untuk burung-burung tersebut yang merupakan anak mereka. Sikap seperti ini masih berlaku sampai sekarang jika mereka akan membuka ladang atau akan mendirikan rumah. Mereka masih berorientasi pada tanda-tanda yang diberikan alam. Sikap percaya pertanda alam dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. Jika kamu akan berladang atau mencari tanah untuk tempat Kap bercocok tanam, Kap harus memperhatikan pertanda yang diberikan oleh burung. Ada burung gurap, irap, kutuk, kitik, embak, rayau, mereka semua adalah anakanak kita. Jika burung gurak bersuara di sisi kiri jalan itu berarti tanah yang
162
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
udah kau pilih tidak baik, bisa mendatangkan penyakit bagimu, atau demikian pula halnya jika ia hanya bersuara di sebelah kanan jalan. Tetapi jika burung gurak bersuara di sisi kiri jalan dan disahut oleh gurak di sisi kanan jalan itu berarti tanak yang kata pilih baik dan boleh kau kerjakan. Jika ada suara ‘cit kekeh-cit kekeh’ di kiri jalan itu namanya kutuk memotong, suara burung yang ini menandakan bahwa jika Kap tetap mengerjakan tanah yang sudah dipilih maka akan membawa akibat yang sangat parah artinya nyawa bisa melayang. Tetapi jika suara burung kutuk padat dan terkekeh-kekeh itu berarti tanah yang kau pilih itu baik, subur dan bisa digarap. Ada lagi burung muas, apabila burung itu berkicau pas di atas kepala ikan, Kap jangan berjalan ke luar rumah, akibatnya akan besar jika tetap pergi ke ladang maka Kap akan luka parah, kalau pergi menebang maka Kap pasti akan ditimpa kayu atau batu. Ingatingatlah apa yang kupesan ini. Dan satu hal lagi jika Kap akan mulai berhuma, Kap harus memberi anakanak kita makan. Makanannya adalah air, tuak, ayam panggang, dan kue yang terbuat dari tepung ketan, masukkan makanan itu ke dalam kelongkak dan gantung di tengahtengah huma, anak kita pasti akan datang memakannya” (UU). Data menunjukkan Suku Dayak Keninjal yakin bahwa alam (batu, gunung, sungai, pantai, hewan, pohon dll) dapat digunakan sebagai media untuk menentukan nasib manusia. Suku Dayak Keninjal masih memperhatikan pertanda alam jika mereka akan membuka ladang, bertanam, mendirikan rumah, dan jika akan pergi.
6.
Bersyukur Menurut Koentjaraningrat (1992:262), bersyukur termasuk di dalam unsur-unsur dari upacara keagamaan. Suatu upacara keagamaan yang kompleks seringkali dapat dikupas ke dalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya adalah: (a). bersaji, (b). berkorban, (c). berdoa, (d). makan bersama, (e). menari dan menyanyi, (f). berprosesi, (g). memainkan seni drama, (h). berpuasa, (i). intoxiksi, (j). bertapa, (k). bersamadi. Bersyukur merupakan wujud cinta kepada Tuhan/Dewa. Rasa Syukur manusia kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang beragama/ kepercayaan. Suku Dayak Keninjal selalu bersyukur kepada “Diba Duwata”, “Piyang Gana,” dan “Soma Bujangga”. Jika mereka berhasil atau mendapat kebaikan wujud syukur Suku Dayak Keninjal biasa dilakukan dengan selamatan (Pegowai). Acara syukuran juga dilakukan terhadap arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal. Roh-roh nenek moyang yang telah meninggal dapat dipangil dan dimintai pertolongan bagi keluarga yang masih hidup. Tempattempat pemujaan dilakukan seperti di pohon besar, batu besar ataupun patung yang disebut “Temaduk.” Untuk menyimpan roh nenek moyang mereka dibuatkan tugu yang disebut “Sandung/Sanduk,” “Pantar,” “Tambak.” Pembuatan tempat-tempat pemujaan harus mengadakan upacara sakral. Dalam melaksanakan upacara tersebut harus disediakan “sesajen”. Sesajen itu untuk memberi para Dewa dan roh leluhur mereka.
Nilai -Nilai Religi Dalam Sastra Lisan Dayak Keninjal (Martono)
Di dalam sastra lisan Dayak Keninjal yang berjudul “Abang Setingan” tokoh Miloh, Mpuning, Buku Tobu dan masyarakat merupakan cermin manusia yang bersyukur kepada Tuhan/Dewa. Mereka bersyukur karena Abang Setingan hidup kembali. Tujuh hari tujuh malam Abang Setingan meninggal. Abang Setingan meninggal karena kalah perang melawan Abang Lontar. Miloh, Mpuning, Buku Tobu dan masyarakat menanggisi kepergian Abang Setingan. Suku Dayak Keninjal jika mendapat musibah kematian “bebulik” seluruh keluarga dan masyarakat sekampung turut berbela sungkawa. Ketika mereka sedang bergabung tiba-tiba datang burung pipit dan burung irap. Kedua ekor burung itu yang menyemburkan kencur bebalik, jerangau bepulang yang mereka ambil dari tanah Jawa (Majapahit). Sampai tujuh kali Abang Setingan disembur baru hidup kembali. Setelah Abang Setingan hidup mereka mengadakan selamatan. Kutipan di bawah ini mencerminkan sikap tersebut di atas. Setelah Abang Setingan kembali hidup, mereka mengadakan selamatan. Sapi, kerbau, babi, ayam dipotong, dijadikan makanan yang lezat-lezat. Tidak lupa pula dibuat tuak manis sebagai minuman dalam pesta besar itu. Selain itu mereka juga menabuh kelenang untuk mengiringi tarian-tarian. Semalaman mereka berpesta tanpa henti. Mereka menyukuri kehidupan kembali Abang Setingan. (AS) Syukuran juga dilakukan oleh Abang Setingan dan saudaranya, serta rakyat yang diperintah Abang Setingan. Mereka mengadakan
163
syukuran karena Abang Setingan berkumpul kembali bersama orang tua dan saudara kandungnya. Dalam acara selamatan itu juga mengadati Miloh sebagai anggota keluarga Abang Setingan dengan acara “nyboh”. Acara ini harus dilakukan untuk menyambut mempelai perempuan masuk menjadi keluarga mempelai laki-laki. Sikap ini dapat dilihat di dalam kutipan di bawah ini. Setelah semua anggota keluarga berkumpul, kembali mereka mengadakan selamatan sekaligus mengadati Miloh sebagi anggota keluarga Abang Setingan dengan acara “nyboh”. Pada acara pesta itu tiga sampai empat puluh sapi dan kerbau dipotong, tidak ketinggalan ayam dan babi, tuak dan berbagai jenis kue melimpah ruah (AS). Berdasarkan data, menunjukkan Suku Dayak Keninjal selalu bersyukur, selamatan (pegowai) kepada Tuhan/Dewa. Mereka mengadakan pesta, agar terhindar/terlepas dari musibah. Wujud syukur yang mereka lakukan adalah berdoa kepada “Diba Duwata,” “Piyang Gana”, dan “Soma Bujangga.” Penutup Sastra lisan Dayak Keninjal merupakan potret pemiliknya. Melalui sastra lisan pembaca dapat ‘memahami’ Suku Dayak Keninjal. Menurut Teeuw, (1984) karya sastra ditulis tidak dalam situasi kekosongan budaya. Pendapat senada dikemukakan Hardjana (1991), karya sastra adalah hasil imajinasi pengarangnya, karya tersebut tidak lahir dari situasi kekosongan sosial. Dalam sastra lisan Dayak Keninjal tercermin nilai-nilai religi,
164
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
yaitu orang Dayak Keninjal percaya kepada takdir, percaya kepada ahli nujum, percaya kepada mimpi, percaya di alam atas “Sebayat” ada yang menguasai yakni “Soma Bujangga”, di tanah dikuasai oleh “Piyang Gana”, dan di air ada roh yang disebut “Diba Duwata”. Selain itu, Suku Dayak Keninjal percaya kepada Roh Nenek Moyang mereka karena dianggap bisa mendatangkan kekuatan gaib. Kekuatan gaib bisa terdapat pada benda, seperti Mandau, tombak, tempayan, dan benda-benda lainnya. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal dibuatkan tugu yang disebut “sandung”, “pantar”, “tambak”. Tujuan dibuatkan tempat bagi Roh Leluhurnya adalah agar mudah dimintai pertolongan. Di dalam sastra lisannya Suku Keninjal selalu mengadakan selamatan/pemujaan kepada Tuhan/Dewa apabila akan mengadakan kegiatan, dan usaha yang mereka lakukan berhasil. Mereka juga akan mengadakan selamatan apabila terhindar dari musibah. Orang yang memimpin acara selamatan/pemujaan biasanya dukun atau ketua adat. Daftar Pustaka Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. CV. Sinar Baru. Anyang, Thambun. 1988. Kebudayaan dan Perubahan Dayak Taman Kalimantan dalam Arus Modernisasi. Jakarta. Gramedia. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Danandjaya, James. 1991. Foklor Indonesia. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Berry. John W, Poortinga. Ype H, Segall. Marshall, Dasen. Pierre R. 1992. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Terjemahan Edi Suhardono. 1999. Jakarta. Gramedia. Fowler, James W. Tanpa Tahun. Teori Perkembangan Kepercayaan. Terjemahan Agus Cremes. 1995. Yogyakarta. Kanisius. Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta. Gramedia. Idayani, Theresia. 1996. Nilai Budaya Dayak Kenilai dalam cerita Sekulak Segata. Pontianak. Skripsi. Tidak diterbitkan. Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra, Persoalan, Teori dan Metode. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. Dian Rakyat. Peursen. Tanpa Tahun. Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. 1993. Yogyakarta. Kanisius. Prasetya, Djoko Tri. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta. Rineka Cipta. Pritchard. E.E. Evans. Tanpa Tahun. Teori-Teori Tentang Agama Primitif. Terjemahan H. A. Ludjit. 1984. Jakarta. PLP2M. Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing, Orality and Literacy in The Malay Word. London. University of California Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya. Tololi, Nani. 1990. Tanggomo, Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta. Intermasa.